• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Hubungan Antara Stressor Kerja dengan Gangguan Mental Emosional pada Pekerja di Pabrik Pengolahan Crude Palm Oil PT. Asianagro Agung Jaya Kota Tanjungbalai Tahun 2013

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Analisis Hubungan Antara Stressor Kerja dengan Gangguan Mental Emosional pada Pekerja di Pabrik Pengolahan Crude Palm Oil PT. Asianagro Agung Jaya Kota Tanjungbalai Tahun 2013"

Copied!
92
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS HUBUNGAN ANTARA STRESSOR KERJA DENGAN GANGGUAN MENTAL EMOSIONAL PADA PEKERJA

DI PABRIK PENGOLAHAN CRUDE PALM OIL PT. ASIANAGRO AGUNG JAYA KOTA

TANJUNGBALAI TAHUN 2013

TESIS

Oleh

WAHYUNI 117032130 / IKM

PROGRAM STUDI S2 ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

(2)

PERNYATAAN

ANALISIS HUBUNGAN ANTARA STRESSOR KERJA DENGAN GANGGUAN MENTAL EMOSIONAL PADA PEKERJA

DI PABRIK PENGOLAHAN CRUDE PALM OIL PT. ASIANAGRO AGUNG JAYA KOTA

TANJUNGBALAI TAHUN 2013

TESIS

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.

Medan, Oktober 2013

(3)

ANALISIS HUBUNGAN ANTARA STRESSOR KERJA DENGAN GANGGUAN MENTAL EMOSIONAL PADA PEKERJA

DI PABRIK PENGOLAHAN CRUDE PALM OIL PT. ASIANAGRO AGUNG JAYA KOTA

TANJUNGBALAI TAHUN 2013

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat

untuk Memperoleh Gelar Magister Kesehatan (M.Kes) dalam Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat

Minat Studi Kesehatan Kerja pada Fakultas Kesehatan Masyarakat

Universitas Sumatera Utara

Oleh

WAHYUNI 117032130 / IKM

PROGRAM STUDI S2 ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

(4)

Judul Tesis : ANALISIS HUBUNGAN ANTARA STRESSOR KERJA DENGAN GANGGUAN MENTAL EMOSIONAL PADA PEKERJA DI PABRIK PENGOLAHAN CRUDE PALM OIL

PT. ASIANAGRO AGUNG JAYA KOTA TANJUNGBALAI TAHUN 2013

Nama Mahasiswa : Wahyuni Nomor Induk Mahasiswa : 117032130

Program Studi : S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Minat Studi : Kesehatan Kerja

Menyetujui Komisi Pembimbing

(Prof. Dr. M. Josoef Simbolon, Sp.K.J(K)) (

Ketua Anggota

Dra. Lina Tarigan, Apt, M.S)

Dekan `

(Dr. Drs. Surya Utama, M.S)

(5)

Telah diuji

Pada Tanggal : 28 Agustus 2013

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. Dr. M. Josoef Simbolon, Sp.K.J(K) Anggota : 1. Dra. Lina Tarigan, Apt, M.S

(6)

ABSTRAK

Penelitian dilakukan di PT.Asianagro Agung Jaya Kota Tanjungbalai Tahun 2013 untuk mengetahui hubungan antara stressor kerja dengan gangguan mental emosional. Adapun stressor kerja yang ada yaitu ketaksaan peran, konflik peran, beban kerja berlebih kuantitatif, beban kerja berlebih kualitatif dan tanggungjawab terhadap orang lain. Kondisi lingkungan juga ikut mempengaruhi seperti suara atau bising di lokasi kerja saat bekerja di bagian Refinery, Fraksinasi serta di bagian Boiler adalah 83 dBA. Suhu udara di bagian Refinery adalah 35oC, 34oC di bagian Fraksinasi serta 32o

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisa hubungan antara stressor kerja dengan gangguan mental emosional. Penelitian dilakukan menggunakan desain penelitian cross – sectional study dengan metode survei. Sampel penelitian merupakan total populasi yaitu 59 orang pekerja pabrik. Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan kuesioner Survey Diagnosis Stress (SDS) dan kuesioner Symptom Check List – 90 (SCL-90).

C di daerah Boiler. Selain itu, shift kerja yang tidak teratur dan sanitasi yang buruk seperti adanya bau yang tidak yang berasal dari toilet dan tumpahan minyak serta keadaan yang tidak ergonomi seperti ruang istirahat yang kotor, sempit, gelap dan licin. Hal inilah yang berpotensi menimbulkan stres kerja.

Hasil analisis univariat dalam penelitian ini menunjukkan bahwa tingkat stres kerja tinggi terdapat pada stressor beban kerja berlebih kuantitatif. Sementara itu dari 59 responden, terdapat 30 responden yang mengalami gangguan mental emosional. Dari 10 gangguan mental emosional diketahui gangguan mental terbanyak yang dialami adalah somatisasi. Pengujian bivariat menggunakan uji Chi Square dengan nilai p≤0,05 didapat bahwa keseluruhan stressor kerja yaitu ketaksaan peran, konflik peran, beban kerja berlebih kuantitatif, beban kerja berlebih kualitatif dan tanggungjawab terhadap orang lain mempunyai hubungan yang bermakna dengan gangguan mental emosional. Analisis multivariat dengan menggunakan uji regresi berganda diketahui bahwa stressor yang paling kuat mempunyai hubungan dengan gangguan mental emosional adalah stressor beban kerja berlebih kuantitatif.

Saran yang diberikan kepada perusahaan dikarenakan stressor yang paling kuat adalah beban kerja berlebih kuantitatif dan adanya shift kerja yang tidak beraturan yang menimbulkan kelelahan pada pekerja, hendaknya dapat mempertimbangkan untuk memperbaiki shift kerja dan memberikan libur kepada pekerja.

(7)

ABSTRACT

The study was conducted at PT.Asianagro Agung Jaya, Tanjungbalai City in 2013. The existing work stressors, namely role ambiguity, role conflict, excessive workload quantitative, qualitative excessive workload and responsibility towards others. Environmental conditions also influence such as sound or noise in the workplace while working at the refinery, as well as at the Boiler Fractionation is 83 dBA. The air temperature at the Refinery is 35oC, 34oC in the Fractionation and 32o

The purpose of this study was to analyze the relationship between work stressors with emotional mental disorders. The study was conducted using the design of a cross - sectional study with a survey method. The study sample represents a total population of factory workers is 59. The data was collected using questionnaire, that is Stress Diagnostic Survey (SDS) questionnaire and Symptom Check List - 90 (SCL-90).

C in the boiler. In addition, irregular shift work and poor sanitation as the smell that coming from the toilet and the oil spill and the circumstances of ergonomics as a break room dirty, cramped, dark and slippery.

Results of univariate analysis in this study shows that there are high levels of work stress on quantitative stressor excessive workload and excessive workload qualitative. Meanwhile, 59 respondents, there were 30 respondents who experienced emotional mental disorders. Mental emotional disorder known mental disorders are the most experienced somatization. Bivariate testing using Chi Square test with p ≤ 0.05 is found that overall job stressor has a significant association with mental disorders emotional . Multivariate analysis using multiple regression test is known that the most powerful stressors have a relationship with mental disorders are emotional stressor excessive workload quantitative .

Advice given to the company and the leadership of the company is should be able to repair shift for workers and give holiday for workers simultaneously.

(8)

KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Allah SWT, yang telah memberikan rahmat dan ridhonya sehingga dengan izin – Nya, penulis dapat menyelesaikan tesis yang berjudul ”Analisis Hubungan Antara Stressor Kerja dengan Gangguan Mental Emosional pada Pekerja di Pabrik Pengolahan Crude Palm Oil PT. Asianagro Agung Jaya Kota Tanjungbalai Tahun 2013”.

Tesis ini merupakan salah satu persyaratan akademik untuk menyelesaikan Pendidikan Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Minat Studi Kesehatan Kerja pada Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

Dalam penyusunan tesis ini, penulis mendapat bantuan, dorongan, semangat dan bimbingan dari berbagai pihak. Untuk itu, pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terimakasih kepada :

1. Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, D.T.M&H, M.Sc (CTM),Sp.A(K) selaku Rektor Universitas Sumatera Utara.

2. Dr. Drs. Surya Utama, M.S selaku Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara, atas kesempatan penulis menjadi mahasiswa Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

(9)

4. Prof. Dr. M. Josoef Simbolon, Sp.K.J(K) selaku Ketua Komisi Pembimbing, dan Anggota Komisi Pembimbing Dra. Lina Tarigan, Apt, M.S. atas segala ketulusannya dalam menyediakan waktu untuk memberikan bimbingan, saran dan perhatian selama proses proposal hingga tesis ini selesai.

5. dr. Halinda Sari Lubis, M.K.K.K selaku Ketua Tim Penguji dan Anggota Komisi Penguji, Namora Lumongga Lubis, M.Sc, Ph.D. yang telah memberikan saran dan bimbingan selama penulisan tesis ini.

6. Pimpinan Perusahaan PT.Asianagro Agung Jaya Kota Tanjungbalai dan Ibu Dewi, yang telah banyak membantu dalam proses pengambilan data di pabrik. 7. Halmayanti, S.H selaku Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kota

Tanjungbalai, atas segala saran dan bantuan yang diberikan selama proses pengambilan data di PT.Asianagro Agung Jaya Kota Tanjungbalai.

8. Sukardi, S.H selaku Kepala Bidang Pengawasan K3 Disnakertrans Kota Tanjungbalai, atas bantuannya yang sangat berarti dalam pengambilan data penelitian.

9. Para dosen, staff dan semua pihak yang terkait di lingkungan Progran Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

(10)

11. Teman-teman seperjuangan di Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Minat studi Kesehatan Kerja pada Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara angkatan 2011, atas bantuannya dalam penyusunan tesis ini.

Akhirnya penulis menyadari segala keterbatasan yang ada, untuk itu, saran dan kritik yang membangun sangat penulis harapkan demi kesempurnaan tesis ini, dengan harapan semoga tesis ini bermanfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan.

Medan, Oktober 2013 Penulis

(11)

RIWAYAT HIDUP

Wahyuni lahir pada tanggal 20 Juni 1987 di Binjai, Sumatera Utara. Beragama Islam. Bertempat tinggal di Jalan Inspeksi Titi Papan, Griya Marelan III Blok Orchid A10A, Kecamatan Medan Marelan, Medan, Sumatera Utara.

(12)

DAFTAR ISI Halaman ABSTRAK... ABSTRACT... KATA PENGANTAR... RIWAYAT HIDUP... DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... DAFTAR SINGKATAN... i ii iii vi vii ix x xi xii

BAB 1. PENDAHULUAN... 1

1.1 Latar Belakang Masalah... 1

1.2 Permasalahan... 7

1.3 Tujuan Penelitian... 7

1.4 Hipotesis ... 8

1.5 Manfaat Penelitian... 8

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA... 9

2.1.Stressor Kerja ... 9

2.1.1. Definisi Stressor Kerja... 9

2.1.2. Sumber Stres (Stressor) Pekerjaan...……...….… 2.1.3. Aspek – Aspek Stres Kerja... 2.1.4. Gejala Stres... 2.1.5. Dampak Stres... 10 19 22 24 2.2. Gangguan Mental Emosional... 28

2.2.1. Definisi Gangguan Mental Emosional... 2.2.2. Jenis-Jenis Gangguan Mental Emosional... 2.2.3. Upaya Penanggulangan Gangguan Mental Emosional.. 2.3.Landasan Teoritis... 2.4.Kerangka Konsep …………... 28 28 39 40 44 BAB 3. METODE PENELITIAN……… 45

3.1.Jenis Penelitian……… 45

3.2.Lokasi dan Waktu Penelitian………..………. 45

3.2.1. Lokasi Penelitian………...… 45

3.2.2. Waktu Penelitian………... 45

3.3.Populasi dan Sampel……… 46

3.3.1. Populasi……… 46

3.3.2. Sampel………... 46

(13)

3.4.1. Data Primer...……….. 46

3.5.Variabel dan Definisi Operasional……….. 47

3.5.1. Variabel Penelitian………...…… 47

3.5.2. Defenisi Operasional………..…………. 48

3.6.Metode Pengukuran………. 49

3.6.1. Alur Penelitian………. 52

3.7.Metode Analisis Data……….. 54

BAB 4. HASIL PENELITIAN………. 56 4.1.Deskripsi Lokasi Penelitian………. 56

4.2.Analisis Univariat……… 57

4.2.1. Karakteristik Responden……… 57

4.2.2. Stres Kerja Berdasarkan Stressor Kerja………. 58

4.2.3. Gangguan Mental Emosional………. 59

4.2.4. Prevalens Gangguan Mental Emosional……… 59

4.3.Analisis Bivariat……….. 60

4.3.1. Hubungan Stressor Kerja dengan Gangguan Mental Emosional……….. 61

4.4.Analisis Multivariat………. 62

4.4.1. Uji Regresi Logistik Berganda………... 62

BAB 5. PEMBAHASAN………... 64 5.1.Hubungan Antara Stressor Kerja dengan Stres Kerja di Pabrik Pengolahan Crude Palm Oil PT. Asianagro Agung Jaya Kota Tanjungbalai……….. 64

5.2.Hubungan Antara Stressor Kerja dengan Gangguan Mental Emosional di Pabrik Pengolahan Crude Palm Oil PT. Asianagro Agung Jaya Kota Tanjungbalai……….. 67

BAB 6. KESIMPULAN DAN SARAN……….. 70 6.1.Kesimpulan……… 70

6.2.Saran……….. 71

(14)

DAFTAR TABEL

No Judul Halaman

4.1.

4.2.

4.3.

4.4.

4.5.

4.6.

Distribusi Responden Berdasarkan Karakteristik Responden... Distribusi Responden Berdasarkan Tingkat Stres dan Stressor Kerja………... Distribusi Responden Berdasarkan Gangguan Mental Emosional………... Distribusi Responden Berdasarkan Prevalens Gangguan Mental Emosional……….. Hubungan Stressor Kerja dengan Gangguan Mental Emosional………... Uji Signifikansi Parsial Variabel Stressor Kerja dengan Gangguan Mental Emosional………

57

58

59

59

61

(15)

DAFTAR GAMBAR

No Judul Halaman

2.1.

2.2. 2.3. 3.1.

Teori Model Stressor dan Hasil Oleh Ivancevich (2006)... Teori Model Person – Environment Fit... Kerangka Konsep Penelitian... Alur Penelitian………

(16)

DAFTAR LAMPIRAN

No Judul Halaman

1. 2. 3.

4.

5.

6.

7.

Surat Permohonan Izin Penelitian………. Surat Keterangan Pelaksanaan Penelitian... Daftar Kuesioner Survei Diagnosis Stress (SDS)...

Daftar Kuesioner Symptom Check List – 90

(SCL – 90)………..……

Laporan Pengukuran Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) oleh Bidang Pengawasan Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kota Tanjungbalai……….. Dokumentasi Gambar Lingkungan Kerja PT.Asianagro Agung Jaya………. Hasil Uji Statistik………...

75 76

77

81

90

(17)

DAFTAR SINGKATAN

CPO : Crude Palm Oil dBA : Decible Adjusted

DSM IV – TR : Diagnostic And Statistical Manual Of Mental Disorder Fourth Edition Text Revision

HSCL – 25 : Hopkins Symptom Check List

KGGME : Kecenderungan Gejala Gangguan Mental Emosional NAB : Nilai Ambang Batas

NIOSH : National Institute For Occupational Safety and Health SDS : Survey Diagnosis Stress

(18)

ABSTRAK

Penelitian dilakukan di PT.Asianagro Agung Jaya Kota Tanjungbalai Tahun 2013 untuk mengetahui hubungan antara stressor kerja dengan gangguan mental emosional. Adapun stressor kerja yang ada yaitu ketaksaan peran, konflik peran, beban kerja berlebih kuantitatif, beban kerja berlebih kualitatif dan tanggungjawab terhadap orang lain. Kondisi lingkungan juga ikut mempengaruhi seperti suara atau bising di lokasi kerja saat bekerja di bagian Refinery, Fraksinasi serta di bagian Boiler adalah 83 dBA. Suhu udara di bagian Refinery adalah 35oC, 34oC di bagian Fraksinasi serta 32o

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisa hubungan antara stressor kerja dengan gangguan mental emosional. Penelitian dilakukan menggunakan desain penelitian cross – sectional study dengan metode survei. Sampel penelitian merupakan total populasi yaitu 59 orang pekerja pabrik. Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan kuesioner Survey Diagnosis Stress (SDS) dan kuesioner Symptom Check List – 90 (SCL-90).

C di daerah Boiler. Selain itu, shift kerja yang tidak teratur dan sanitasi yang buruk seperti adanya bau yang tidak yang berasal dari toilet dan tumpahan minyak serta keadaan yang tidak ergonomi seperti ruang istirahat yang kotor, sempit, gelap dan licin. Hal inilah yang berpotensi menimbulkan stres kerja.

Hasil analisis univariat dalam penelitian ini menunjukkan bahwa tingkat stres kerja tinggi terdapat pada stressor beban kerja berlebih kuantitatif. Sementara itu dari 59 responden, terdapat 30 responden yang mengalami gangguan mental emosional. Dari 10 gangguan mental emosional diketahui gangguan mental terbanyak yang dialami adalah somatisasi. Pengujian bivariat menggunakan uji Chi Square dengan nilai p≤0,05 didapat bahwa keseluruhan stressor kerja yaitu ketaksaan peran, konflik peran, beban kerja berlebih kuantitatif, beban kerja berlebih kualitatif dan tanggungjawab terhadap orang lain mempunyai hubungan yang bermakna dengan gangguan mental emosional. Analisis multivariat dengan menggunakan uji regresi berganda diketahui bahwa stressor yang paling kuat mempunyai hubungan dengan gangguan mental emosional adalah stressor beban kerja berlebih kuantitatif.

Saran yang diberikan kepada perusahaan dikarenakan stressor yang paling kuat adalah beban kerja berlebih kuantitatif dan adanya shift kerja yang tidak beraturan yang menimbulkan kelelahan pada pekerja, hendaknya dapat mempertimbangkan untuk memperbaiki shift kerja dan memberikan libur kepada pekerja.

(19)

ABSTRACT

The study was conducted at PT.Asianagro Agung Jaya, Tanjungbalai City in 2013. The existing work stressors, namely role ambiguity, role conflict, excessive workload quantitative, qualitative excessive workload and responsibility towards others. Environmental conditions also influence such as sound or noise in the workplace while working at the refinery, as well as at the Boiler Fractionation is 83 dBA. The air temperature at the Refinery is 35oC, 34oC in the Fractionation and 32o

The purpose of this study was to analyze the relationship between work stressors with emotional mental disorders. The study was conducted using the design of a cross - sectional study with a survey method. The study sample represents a total population of factory workers is 59. The data was collected using questionnaire, that is Stress Diagnostic Survey (SDS) questionnaire and Symptom Check List - 90 (SCL-90).

C in the boiler. In addition, irregular shift work and poor sanitation as the smell that coming from the toilet and the oil spill and the circumstances of ergonomics as a break room dirty, cramped, dark and slippery.

Results of univariate analysis in this study shows that there are high levels of work stress on quantitative stressor excessive workload and excessive workload qualitative. Meanwhile, 59 respondents, there were 30 respondents who experienced emotional mental disorders. Mental emotional disorder known mental disorders are the most experienced somatization. Bivariate testing using Chi Square test with p ≤ 0.05 is found that overall job stressor has a significant association with mental disorders emotional . Multivariate analysis using multiple regression test is known that the most powerful stressors have a relationship with mental disorders are emotional stressor excessive workload quantitative .

Advice given to the company and the leadership of the company is should be able to repair shift for workers and give holiday for workers simultaneously.

(20)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Pekerja di suatu perusahaan adalah ujung tombak perusahaan yang paling utama dalam proses produksi, oleh karena itu, kesehatan fisik maupun mental pekerja harus baik dan mendapat perhatian dari perusahaan agar produktivitas dan kreativitas pekerja dapat ditingkatkan. Selain kondisi fisik, kondisi kesehatan jiwa sama pentingnya bagi kesehatan seseorang. Berbagai masalah di lingkungan kerja misalnya jenjang karir, pembagian tugas, hubungan dengan atasan, dan juga kondisi lingkungan kerja seperti penataan ruangan, suhu, penerangan, kebisingan, kelengkapan peralatan kerja dan lain-lain bisa menjadi stressor kerja pada pekerja di suatu tempat kerja (Sosrosumihardjo, 2008). Selain itu, pekerja juga merupakan aset bagi suatu perusahaan, maka mereka harus sehat secara fisik dan mental (Nindya, 2001).

(21)

Semua pekerja memiliki fungsi dan peran lain di luar lingkungan kerja mereka misalnya sebagai kepala rumah tangga dan lainnya. Kedua peran ini saling berpengaruh terhadap satu dengan lainnya dan tidak menutup kemungkinan dapat terjadi benturan yang memicu terjadinya suatu masalah. Hal ini sejalan dengan hasil observasi yang dilakukan, dimana tampak seorang pekerja yang marah, memukul benda dan mengucapkan kata-kata “kotor” kepada pekerja lainnya. Hal ini mungkin saja dikarenakan adanya pemicu masalah yang ada.

Job Stress Model dari National Institute For Occupational Safety and Health

(NIOSH) menyatakan bahwa berbagai stressor kerja di lingkungan kerja dapat

menimbulkan reaksi psikis, behavior dan fisiolgis yang dapat mempengaruhi kesehatan. Beberapa reaksi psikis ringan yang dapat timbul akibat stres antara lain cemas, tegang, marah-marah, gelisah, depresi dan menurunnya konsentrasi. Apabila hal ini terus dialami oleh pekerja maka akan berdampak pada produktivitas pekerja dan kinerja perusahaan.

(22)

Lingkungan kerja yang baik merupakan aspek yang penting dalam bekerja. Oleh karena itu, pekerja membutuhkan lingkungan kerja yang aman, sehat, dan bebas dari pencemaran lingkungan. Hal ini menjadi perhatian setiap tempat kerja agar terciptanya kesehatan dan keselamatan kerja di tempat kerja. Selain itu ada berbagai faktor yang mempengaruhi kondisi lingkungan dan pekerja di tempat kerja yang harus diperhatikan agar dapat dikategorikan sebagai tempat kerja yang bebas dari bahaya, yaitu (a) faktor fisik, (b) faktor kimia, (c) faktor biologi, (d) faktor ergonomi, dan (e) faktor psikologis.

Faktor psikologis merupakan salah satu faktor penting yang mempengaruhi lingkungan kerja meliputi kondisi mental dan emosional seorang pekerja. Kondisi mental emosional seorang pekerja dipengaruhi oleh lingkungan tempat ia bekerja. Semakin ergonomi tempat kerja maka akan semakin rendah prevalensi terjadinya gangguan mental pada pekerja yang dapat menyebabkan kecelakaan kerja di tempat kerja. Hal ini dikarenakan rendahnya tingkat stres yang terdapat di tempat kerja tersebut.

(23)

lingkungan dikarenakan di bagian pabrik dirasakan kondisi lingkungan kerja yang tidak membudayakan kesehatan dan keselamatan kerja. Hal ini dapat dilihat dari kondisi fisik lingkungan kerja yang bising, panas dan bergetar serta kondisi lantai yang licin dan menimbulkan bau yang tidak enak. Inilah yang menjadi stressor kerja di pabrik pengolahan Crude Palm Oil ini. Sesuai dengan pernyataan Ivancevich (2006) bahwa pabrik adalah salah satu tempat kerja yang mempunyai stressor kerja yang membahayakan bagi pekerja.

Stressor kerja merupakan suatu peristiwa eksternal atau situasi yang secara potensial membahayakan seseorang (Ivancevich, dkk, 2006). Selain itu stressor juga merupakan penyebab utama stres dimana stres merupakan kondisi lingkungan tempat tuntutan fisik dan emosional pada pekerja (Sopiah, 2008). Stressor kerja dapat timbul dari lingkungan kerja ataupun dari luar lingkungan kerja. Stressor yang timbul dari lingkungan kerja meliputi lingkungan fisik, stres karena peran atau tugas, penyebab stres antar pribadi dan organisasi sedangkan stressor yang berasal dari luar lingkungan kerja seperti keadaan ekonomi dan keluarga. Stressor yang terjadi dalam durasi yang panjang akan mengakibatkan gangguan fisik dan emosional pada pekerja yang mengarah kepada stres kerja (Ivancevich, 2006).

(24)

(Gibson,dkk.,2000), sehingga mendefinisikan stres sebagai suatu tanggapan adaptif ditengahi oleh perbedaan individual dan/atau proses psikologis, yaitu suatu konsekuensi dari setiap kegiatan (lingkungan), situasi, atau kejadian eksternal yang membebani tuntutan psikologis atau fisik yang berlebihan pada seseorang (Gibson,dkk.,2000).

Stres yang membebani tuntutan psikologis salah satunya akan berdampak pada gangguan mental emosional pekerja. Gangguan mental emosional ini dapat berupa luapan kemarahan, kecemasan, sulit berkonsentrasi, dan mudah tersinggung (Bambang Tarupolo, 2002). Hal ini dapat diketahui melalui hasil survei pendahuluan yang telah dilakukan, didapati adanya perilaku kemarahan yang bergejolak sampai melakukan pengrusakan barang yang dilakukan oleh pekerja di pabrik tersebut dan hal ini menurut informasi yang diterima sering terjadi di pabrik tersebut. Penelitian di Swedia di Pusat Kesehatan Kerja yang diukur menggunakan Hopkins Symptom Check List (HSCL-25) didapatkan bahwa stres kerja menyebabkan Kecenderungan

Gejala Gangguan Mental Emosional (KGGME) (Claxton, 1999). Penelitian senada juga mendapatkan pravalensi KGGME sebesar 27,6 % pada karyawan pengawas perbankan di Jakarta.

(25)

positif, serta meningkatkan daya tahan tenaga kerja terhadap stres. Menurut pendapat Keith Davis dan John W.Newstrom (2003), ada 4 (empat) pendekatan terhadap stres kerja yang dapat diterapkan, yaitu dukungan sosial (social support), meditasi (meditation), biofeedback, dan program kesehatan pribadi (personal wellness

programs).

Survei awal yang dilakukan di pabrik crude palm oil tersebut dengan memberikan kuesioner Survei Diagnostik Stres pada 20 orang pekerja di pabrik ditemukan bahwa 17 orang pekerja berada dalam kategori stres tinggi dan 3 orang berada dalam kategori stres sedang serta tidak ada pekerja yang berada pada kategori stres rendah. 10 orang diantaranya bekerja di bagian Refinery yaitu yang merupakan tempat pengelolaan CPO (Crude Palm Oil) dengan kapasitas 300 ton/hari.

Refinery merupakan salah satu tempat yang tidak nyaman dikarenakan suhu

yang ada berkisar 35o

PT.Asianagro Agung Jaya merupakan salah satu pabrik pengolahan Crude Palm Oil dengan kapasitas 300 ton/hari. Berdiri pada tahun 1983 dan berlokasi di

Desa Kapias Batu VIII Pulau Buaya Kec. Teluk Nibung, Tanjungbalai, Sumatera C serta kebisingan di lokasi kerja tersebut adalah 85 dBA atau decibel adjusted yang merupakan ukuran untuk menyatakan tingkat kebisingan. Hal

(26)

Utara. Lokasi pabrik ini bukanlah di daerah perkebunan melainkan di daerah yang sebagian besar penduduknya bermata pencaharian sebagai Nelayan. Pabrik terdiri dari 2 (dua ) plant yaitu Fraksinasi dan Refinery serta daerah tempat Boiler. Crude Palm Oil yang diproduksi berasal dari grup sendiri dan dipasarkan lokal dan export

melalui pelabuhan Belawan.

Setelah melakukan survei pendahuluan di PT. Asianagro Agung Jaya dan berdasarkan uraian permasalahan diatas maka peneliti tertarik untuk penelitian dengan judul : “Analisis Hubungan Antara Stressor Kerja Dengan Gangguan Mental Emosional Pada Pekerja Di Pabrik Pengolahan Crude Palm Oil PT.Asianagro Agung Jaya Kota Tanjungbalai Tahun 2013”.

1.2. Permasalahan

Berdasarkan uraian pada latar belakang maka dirumuskan permasalahan penelitian sebagai berikut : “Bagaimana Analisis Hubungan Antara Stressor Kerja Dengan Gangguan Mental Emosional pada Pekerja di Pabrik Pengolahan Crude Palm Oil PT.Asianagro Agung Jaya Kota Tanjungbalai Tahun 2013 ?”

1.3. Tujuan Penelitian

(27)

1.4. Hipotesis

Ada hubungan antara stressor kerja dengan gangguan mental emosional pada pekerja di Pabrik Pengolahan Crude Palm Oil PT.Asianagro Agung Jaya Kota Tanjungbalai Tahun 2013.

1.5. Manfaat Penelitian

1. Menjadi masukan bagi masyarakat untuk menambah wawasan dalam upaya mengetahui gangguan mental emosional yang timbul pada pekerja akibat dari stressor kerja yang terdapat di pabrik.

2. Menjadi masukan bagi PT. Asianagro Agung Jaya untuk mengetahui dan meminimal stressor kerja di pabrik dalam upaya menerapkan kesehatan dan keselamatan kerja di tempat kerja.

(28)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Stressor Kerja

2.1.1. Definisi Stressor Kerja

Stressor adalah penyebab stres, yakni apa saja kondisi lingkungan tempat tuntutan fisik dan emosional pada seseorang (Sopiah, 2008). Menurut Gibson, dkk (2000) Stres adalah kata yang berasal dari Bahasa Latin, yaitu ‘stringere’, yang memiliki arti keluar dari kesukaan (draw tight). Definisi ini menjelaskan sebuah kondisi susah atau penderitaan yang menunjukkan paksaan, tekanan, ketegangan atau usaha yang kuat, diutamakan ditunjukkan pada individual, organ individual atau kekuatan mental seseorang.

(29)

Stres kerja oleh Riggio (2003) didefinisikan sebagai interaksi antara seseorang dan situasi lingkungan atau stressor yang mengancam atau menantang sehingga menimbulkan reaksi pada fisiologis maupun psikologis pekerja. Selain itu Rice (1999) juga menyatakan bahwa stres kerja yang terjadi pada individu meliputi gangguan psikologis, fisiologis, perilaku, dan gangguan pada organisasi. Selain itu, pekerja yang mengalami stres tidak hanya dikarenakan di dalam perusahaan, mungkin saja karena masalah rumah tangga yang terbawa ke pekerjaan dan masalah pekerjaan yang terbawa ke rumah tangga (Rice, 1999). Oleh karena itu, perusahaan harus bisa melihat stressor yang terdapat di lingkungan tempat kerja yang dapat mengganggu keseimbangan fisiologi dan psikologis.

Ivancevich, dkk (2006) menyatakan bahwa stressor yang diakibatkan peran seseorang dalam menjalani suatu profesi tertentu seperti kelebihan beban kerja, tanggung jawab atas orang lain, perkembangan karier, kurangnya kohesi kelompok, dukungan kelompok yang tidak memadai, struktur dan iklim organisasi, wilayah dalam organisasi, karakteristik tugas, pengaruh kepemimpinan.

2.1.2. Sumber Stres (Stressor) Kerja

(30)

1. Faktor Intrinsik dalam Pekerjaan

Yang termasuk dalam faktor intrinsik ialah kondisi pekerjaan yang buruk, kerja gilir (shift), beban kerja berlebih, beban kerja terlalu sedikit, dan hubungan antar karyawan.

a. Kondisi Fisik Pekerjaan

Beberapa stressor fisik yang biasa dijumpai pada lingkungan kerja yang dapat memperburuk stres di tempat kerja adalah bising, suhu, pencahayaan, masalah ergonomi, getaran, sanitasi lingkungan, dan tata ruang (Munandar, 2001)

1) Bising

Selain dapat menimbulkan gangguan sementara atau tetap pada alat pendengaran, juga dapat merupakan stressor kerja yang menyebabkan penurunan kewaspadaan. Hal ini dapat memudahkan timbulnya kecelakaan kerja. Pajanan terhadap bising dapat menimbulkan rasa lelah, sakit kepala, lekas tersinggung, dan ketidakmampuan untuk berkonsentrasi. Akibat paparan tersebut dalam bentuk perilaku misalnya akan terjadi penurunan produktivitas kerja, terjadinya kecelakaan kerja, penurunan perilaku membantu, bersikap lebih negatif terhadap oranglain, rasa bermusuhan yang lebih terbuka dan agresi.

(31)

2) Panas

Kondisi suhu suatu lingkungan kerja berhubungan dengan iklim dan lokasi kerja. Efek dari kondisi suhu selama melakukan pekerjaan tergantung pada jenis pakaian yang digunakan, lama terpajan, temperatur, arus angin, jumlah panas radiasi, dan status kesehatan tenaga kerja yang terpajan. Fungsi mental dapat terganggu karena heat stress, yang ditandai dengan gejala awal berupa perubahan pada tingkat aktivitas seseorang. Untuk Indonesia, suhu nyaman adalah 24oC - 28oC. Perbedaan suhu di dalam dan di luar ruangan sebaiknya tidak lebih dari 5 oC. Sehingga dapat diketahui bahwa suhu di luar ruangan sebaiknya tidak lebih dari 33o

3) Pencahayaan

C.

Tiap-tiap pekerjaan memerlukan tingkat pencahayaan tersendiri. Biasanya untuk pekerjaan yang membutuhkan tingkat ketelitian tinggi akan diberikan tambahan pencahayaan disamping pencahayaan umum. Sistim pencahayaan yang buruk dapat menimbulkan ketidaknyamanan dan kelelahan mata sehingga dapat menimbulkan stres kerja.

4) Faktor Ergonomi

(32)

5) Sanitasi Lingkungan Kerja

Lingkungan yang kotor dan tidak sehat merupakan salah satu stressor kerja. Pada pekerja industri / pabrik sering menggambarkan kondisi kotor, akomodasi pada waktu istirahat yang kurang baik, juga toilet yang kurang memadai. Hal ini dinilai oleh pekerja sebagai faktor penyebab stres. b. Kerja Gilir (Shift)

Penelitian menunjukkan bahwa kerja shift merupakan sumber yang berpotensi untuk terjadinya stres kerja bagi pekerja di pabrik (Monk & Tepas, 2001). Menurut Cooper (dalam Munandar, 2001) shift kerja merupakan tuntutan tugas yang dapat menyebabkan stres kerja. Pengaruhnya adalah emosional dan biologis karena gangguan ritme circadian dari tidur / daur keadaan bangun (wake cycle), pola suhu, dan ritme pengeluaran adrenalin. Sharpe (dalam Maurits & Widodo, 2008) menyatakan bahwa pekerja pada shift malam memiliki resiko 28% lebih tinggi mengalami cidera atau kecelakaan.

(33)

c. Beban Kerja

Beban kerja dibedakan atas beban kerja berlebih (work overload) dan beban kerja terlalu sedikit (work underload). Dibedakan lagi atas beban kerja berlebih kuantitatif dan beban kerja berlebih kualitatif (Ivancevich, dkk., 2006).

1) Beban Kerja Berlebih Kuantitatif

Beban kerja berlebih secara kuantitatif terutama berhubungan dengan desakan waktu. Setiap tugas diharapkan dapat diselesaikan secepat mungkin secara tepat dan cermat. Berdasarkan kondisi ini, orang harus bekerja berkejaran dengan waktu. Sampai taraf tertentu, adanya batas waktu (deadline) dapat meningkatkan motivasi. Namun bila desakan waktu melebihi kemampuan individu maka dapat menimbulkan banyak kesalahan dan menyebabkan kondisi kesehatan seseorang berkurang. 2) Beban Kerja Kuantitatif Terlalu Sedikit

Penggunaan mesin di dunia kerja akan berdampak pada pekerja dikarenakan sering terjadi efisiensi kerja. Pada pekerjaan sederhana yang banyak melakukan pengulangan gerak akan menimbulkan rasa bosan yang dapat menjadi sumber stres.

3) Beban Kerja Berlebih Kualitatif

(34)

stres apabila kemajemukannya memerlukan teknik dan intelektual yang lebih tinggi daripada yang dimiliki pekerja. Sampai pada titik tertentu, hal ini dapat menjadi tantangan kerja dan motivasi. Namun apabila melebihi kemampuan individu maka akan timbul kelelahan mental, reaksi emosional, juga reaksi fisik yang merupakan respon dari stres. 4) Beban Kerja Kuantitatif dan Kualitatif Berlebih

Proses pengambilan keputusan merupakan suatu kombinasi yang unik dari kondisi beban kuantitatif dan kualitatif berlebih. Faktor – faktor yang dapat menentukan besarnya stres dalam mengambil keputusan adalah akibat dari suatu keputusan, derajat kemajemukan keputusan, siapa yang bertanggungjawab dan lain sebagainya.

2. Peran Individu dalam Organisasi

Setiap pekerja bekerja dengan perannya masing-masing, artinya setiap pekerja mempunyai tugas-tugas yang ia lakukan sesuai dengan yang diharapkan oleh perusahaan tempat ia bekerja. Walaupun demikian, pekerja tidak selalu berhasil dalam menjalankannya. Kurang berfungsinya peran adalah merupakan salah satu pembangkit stres yaitu berupa konflik peran (role conflict) dan ketaksaan peran (role ambiguity) (Ivancevich, dkk., 2006).

a. Ketaksaan Peran (Role Ambiguity)

(35)

lingkup tanggungjawab seseorang. Stres timbul karena ketidakjelasan itu sendiri atau ketidakmampuan individu untuk menempatkan diri pada posisi yang tepat.

b. Konflik Peran (Role Conflict)

Terjadi bila terdapat dua atau lebih harapan yang saling berkompetisi untuk mendapatkan pemuasan secara berrsamaan tidak dapat terpenuhi. Konflik dapat terjadi apabila seseorang mempunyai beberapa peran sekaligus namun tidak memiliki kemampuan untuk memenuhi keduanya. Sehingga individu tersebut mengalami stres. c. Pengembangan Karir

Everly dan Girdano menganggap bahwa untuk menghasilkan kepuasan pekerjaan dan mencegah timbulnya frustasi pada pekerja perlu diperhatikan unsur penting pengembangan karir yaitu peluang untuk menggunakan keterampilan jabatan sepenuhnya, peluang mengembangkan keterampilan yang baru dan penyuluhan karir untuk memudahkan keputusan-keputusan yang mencakup karir. Pengembangan karir merupakan pembangkit stres yang sangat potensial yang mencakup ketidakpastian pekerjaan (job insecurity), promosi yang berlebihan (over promotion) dan promosi yang kurang (under promotion) (Sopiah, 2008).

Job insecurity merupakan perubahan-perubahan lingkungan menimbulkan

(36)

Over dan Under promotion adalah peluang kecil untuk promosi yang dapat

menjadi stressor pada pekerja yang merasa sudah waktunya mendapatkan promosi. Stress yang timbul karena over promotion memberikan kondisi yang sama seperti beban kerja berlebih, harga diri yang rendah dihayati oleh pekerja yang mendapatkan promosi terlalu dini, atau yang dipromosikan ke jabatan yang menuntut pengetahuan dan keterampilan yang tidak sesuai dengan bakatnya.

d. Hubungan di dalam Pekerjaan

Komunikasi dengan orang lain adalah hal yang dibutuhkan oleh setiap orang, namun hal tersebut dapat menjadi sumber stres. Kondisi hubungan kerja antara sesama rekan kerja atau atasan dapat mempengaruhi kondisi stres pekerja. Penelitian menunjukkan bahwa tingginya tingkat dukungan sosial dari teman kerja maupun atasan dapat menghilangkan stres.

e. Struktur dan Iklim Organisasi

Faktor - faktor seperti kebijakan perusahaan, komunikasi yang tidak efektif, tidak disertakan dalam pengambilan keputusan dan pembatasan perilaku diduga menjadi penyebab timbulnya stres. Penelitian menunjukkan bahwa dukungan dari perusahaan kepada pekerja dapat meningkatkan produktivitas, kepercayaan diri serta menurunkan tingkat gangguan fisik dan mental.

3. Faktor Individu

(37)

pelatihan dan pembelajaran). Tanggungjawab terhadap orang lain merupakan salah satu faktor individu dimana sebuah resiko atau konsekuensi dari sebuah hal yang diberikan orang lain atau ketika mendapatkan sebuah tugas atau tanggungan dari orang lain harus dapat ditanggungjawabi oleh individu tersebut. Sehingga menurut Ivancevich (2006) semakin banyak orang lain yang menjadi tanggung jawab seorang individu di dalam pekerjaan maka akan pekerja tersebut dapat mengalami stres apabila individu tersebut tidak dapat mengorganisirnya dengan baik. Selain itu ada beberapa faktor yang menentukan bagaimana individu bereaksi terhadap stres potensial.

a. Kepribadian

Kepribadian merupakan faktor predisposisi dalam menentukan respon tubuh terhadap stres. Kepribadian tipe A dan B merupakan jenis-jenis kepribadian yang terdapat pada individu. Kepribadian tipe A bercirikan perilaku yang agresif, tak sabaran, cenderung berkompetisi, tergesa-gesa, sering menelantarkan aspek-aspek kehidupan seperti keluarga dan sosial. Sedangkan keperibadian tipe B, digambarkan sebagai individu easy going dan santai.

b. Kecakapan

Kecakapan meliputi intelegensia, pendidikan, latihan dan keahlian. Individu yang tidak mampu memecahkan masalah namun situasi tersebut merupakan ancaman bagi dirinya dan ia mengalami stres dan menimbulkan ketidakberdayaan, disebut distress. Sebaliknya, jika merasa mampu, dan merasa ditantang dan motivasinya

(38)

maka semakin banyak target yang dibuat. Hal ini akan berpotensi menimbulkan stres apabila individu tersebut tidak dapat mencapainya.

c. Umur

Umur merupakan faktor yang sangat rentan untuk terjadinya gangguan mental emosional. Seiring bertambahnya umur, maka semakin rentan individu mengalami gangguan mental emosional. Walaupun demikian, orang yang berumur sangat muda dan sangat tua lebih mudah mengalami gangguan mental emosional apabila menghadapi stres.

d. Jenis Kelamin

Faktor perbedaan jenis kelamin berpengaruh untuk beradaptasi terhadap stres. Banyak penelitian yang menunjukkan tidak adanya perbedaan yang bermakna antara pria dan wanita. Secara biologis, pekerja wanita dan pria berbeda terutama untuk pekerjaan yang menuntut aktivitas fisik berlebih. Dalam kondisi ini wanita cenderung lebih mudah mengalami stres daripada pria.

2.1.3. Aspek-aspek Stres Kerja

Stres adalah pengalaman emosional negatif yang disertai dengan perubahan biochemical, fisiologis, kognitif, dan perubahan tingkah laku yang dapat diukur dan

(39)

penilaian pekerja yang menunjukkan adanya ketidakseimbangan atau ketidaksesuaian antara karakteristik tuntuntan-tuntutan pekerjaan dengan kemampuan dan kepribadian pekerja.

Pernyataan lainnya dikemukakan oleh Beehr dan Franz (dikutip dari Bambang Tarupolo, 2002) menyatakan bahwa stres kerja adalah respons penyesuaian terhadap situasi eksternal dalam perkerjaan yang menyebabkan penyimpangan secara fisik, psikologis, dan perilaku pada orang-orang yang berpartisipasi dalam organisasi (dalam Rice,1999). Shinn (dalam Rahayu, 2000) juga menyatakan bahwa kondisi lingkungan kerja yang bersifat negatif yang dihadapi oleh karyawan dan menimbulkan respons pekerja terhadap kondisi tersebut, baik respons yang bersifat patologik maupun fisiologik, namun timbul atau tidaknya stres kerja ini tergantung persepsi serta reaksi individu terhadap kondisi tersebut.

Pernyataan yang telah dikemukakan diatas dikategorikan menjadi beberapa kategori menurut Beehr dan Newman (dalam Rice, 1999) yaitu :

a. Aspek Fisiologis

Stres kerja sering ditunjukkan pada simptoms fisiologis. Penelitian dan fakta oleh ahli-ahli kesehatan dan kedokteran menunjukkan bahwa stres kerja dapat mengubah metabolisme tubuh, menaikkan detak jantung, mengubah cara bernafas, menyebabkan sakit kepala, dan serangan jantung. Beberapa yang teridentifikasi sebagai simptoms fisiologis adalah:

(40)

2) Mudah lelah fisik

3) Kepala pusing, sakit kepala 4) Ketegangan otot

5) Gangguan pernapasan, termasuk akibat dari sering marah (jengkel). 6) Sulit tidur, gangguan tidur

7) Sering berkeringat, telapak tangan berkeringat 8) Meningkatnya kadar gula dan tekanan darah b. Aspek Psikologis

Stres kerja dan gangguan - gangguan psikologis adalah hubungan yang erat dalam kondisi kerja. Simptoms yang terjadi pada aspek psikologis akibat dari stres adalah :

1) Kecemasan, ketegangan

2) Mudah marah, sensitif dan jengkel 3) Kebingungan, gelisah

4) Depresi, mengalami ketertekanan perasaan 5) Kebosanan

6) Tidak puas terhadap pekerjaan 7) Menurunnya fungsi intelektual 8) Kehilangan konsentrasi. 9) Hilangnya kreativitas.

(41)

12) Merasa gagal 13) Mudah lupa

14) Rasa percaya diri menurun 2.1.4. Gejala Stres

Gejala- gejala stres kerja dapat berupa letih dan lelah, kecewa, perasaan tidak berdaya, gangguan tidur, kegelisahan, ketegangan, kecemasan, cepat marah, kehilangan rasa percaya diri, perasaan kesepian atau keterasingan, makan terlalu sedikit, mudah tersinggung, berdebar-debar dan sulit berkonsentrasi (Bambang Tarupolo, 2002). Menurut Munandar (2001) gejala- gejala stres di tempat kerja sebagai berikut:

a. Tanda- tanda Suasana Hati (Mood )

Individu menjadi overexcited, cemas, merasa tidak pasti, sulit tidur malam hari, menjadi mudah bingung dan lupa, menjadi sangat tidak enak dan gelisah, menjadi gugup.

b. Tanda- tanda Otot Kerangka (Musculoskeletal)

Jari- jari dan tangan gemetar, tidak dapat duduk diam atau berdiri di tempat, mengembangkan tic (gerakan tidak sengaja), kepala mulai sakit, merasa otot menjadi tegang atau kaku, menggagap ketika bicara, leher menjadi kaku.

c. Tanda- tanda Organ- Organ dalam Badan (Viseral)

(42)

Carry Cooper dan Alison Straw (2000) membagi gejala stres kerja menjadi tiga yaitu :

a. Gejala Fisik

Gejala stres menyangkut fisik bisa mencakup nafas memburu, mulut dan kerongkongan kering, tangan lembab, merasa panas, otot tegang, pencernaan terganggu, mencret- mencret, sembelit, letih yang tak beralasan, sakit kepala, salah urat dan gelisah.

b. Gejala - gejala dalam Wujud Perilaku

Gejala stres yang menjelma dalam wujud perilaku, mencakup:

1) Perasaan, berupa bingung, cemas, dan sedih, jengkel, salah paham, tak berdaya, tak mampu berbuat apa- apa, gelisah, gagal, tak menarik, kehilangan semangat.

2) Kesulitan dalam berkonsentrasi, berfikir jernih, membuat keputusan. 3) Hilangnya kreatifitas, gairah dalam penampilan, minat terhadap orang lain. c. Gejala - gejala di Tempat Kerja

Sebagian besar waktu bagi pekerja berada di tempat kerja, dan jika dalam keadaan stres, gejala-gejala dapat mempengaruhi kita di tempat kerja, antara lain:

(43)

6) Kreatifitas dan inovasi berkurang

7) Bergulat pada tugas- tugas yang tidak produktif. 2.1.5. Dampak Stres

Stres kerja tidak hanya berpengaruh pada individu, namun juga terhadap biaya organisasi dan industri. Begitu besar dampak dari stres kerja, oleh para ahli perilaku organisasi telah dinyatakan sebagai agen penyebab dari berbagai masalah fisik, mental, bahkan output organisasi (Gabriel & Marjo, 2001). Menurut Gibson dkk (2000), dampak dari stres kerja banyak dan bervariasi. Dampak positif dari stres kerja diantaranya motivasi pribadi, rangsangan untuk bekerja lebih keras, dan meningkatnya inspirasi hidup yang lebih baik. Meskipun demikian, banyak efek yang mengganggu dan secara potensial berbahaya. Cox (dalam Gibson, dkk., 2000), membagi menjadi 5 (lima) kategori efek dari stres kerja yaitu :

a. Subyektif berupa kekhawatiran atau ketakutan, agresi, apatis, rasa bosan, depresi, keletihan, frustasi, gangguan emosi, penghargaan diri yang rendah, gugup, kesepian.

b. Perilaku berupa mudah mendapat kecelakaan, kecanduan alkohol, penyalahgunaan obat, luapan emosional, makan atau merokok secara berlebihan, perilaku impulsif, tertawa gugup.

(44)

d. Fisiologis berupa kandungan glukosa darah meningkat, denyut jantung dan tekanan darah meningkat, mulut kering, berkeringat, bola mata melebar, panas, dan dingin.

e. Organisasi berupa angka absensi, omset, produktivitas rendah, terasing, dari mitra kerja, komitmen organisasi dan loyalitas berkurang.

Efek stres yang lain yaitu perilaku tidak produktif dan menarik diri seperti lekas marah, kecanduan alkohol, penyalahgunaan obat, dan tindakan legal (hukum) secara khusus mengganggu dalam bentuk hilangnya produktivitas. Menurut Bambang Tarupolo (2002), pekerja yang tidak mampu bereaksi secara baik terhadap stres yang dialami, kesehatan jiwanya akan terganggu dan karenanya kualitas hidup dan produktivitasnya menjadi rendah. pekerja tersebut akan menunjukkan:

1) Sering mengeluh sakit dan berobat 2) Malas dan sering mangkir

3) Sering membuat kesalahan dalam pekerjaan dan cenderung mengalami kecelakaan kerja

4) Sering marah dan tidak mampu menyesuaikan diri dengan baik 5) Tidak peduli dengan lingkungan, bingung dan pelupa

6) Cara pandang yang negatif dan rasa permusuhan 7) Terlibat penyalahgunaan narkoba

(45)

a. Penyakit fisik yang diinduksi oleh stres yaitu penyakit jantung koroner, hipertensi, gangguan menstruasi, gangguan pencernaan, mual, muntah, dan sebagainya. b. Kecelakaan kerja: terutama pada pekerjaan yang menuntut kinerja yang tinggi,

bekerja bergiliran (shift), penyalahgunaan zat aditif

c. Absen: pegawai yang sulit menyelesaikan pekerjaan sebab tidak hadir karena pilek, sakit kepala.

d. Lesu kerja: pegawai kehilangan motivasi bekerja

e. Gangguan jiwa: mulai dari gangguan yang mempunyai efek yang ringan dalam kehidupan sehari-hari sampai pada gangguan yang mengakibatkan ketidakmampuan yang berat. Gangguan jiwa ringan seperti mudah gugup, tegang, marah- marah, mudah tersinggung, kurang berkonsentrasi, apatis dan depresi. Perubahan perilaku berupa kurang partisipasi dalam pekerjaan, mudah bertengkar, terlalu mudah mengambil resiko. Gangguan yang lebih jelas lagi dapat berupa depresi, gangguan cemas (Laurentius Panggabean, 2003).

Jacinta (2002) juga menyatakan bahwa stres kerja dapat juga mengakibatkan hal- hal sebagai berikut:

a. Dampak terhadap Perusahaan

1) Terjadinya kekacauan, hambatan baik dalam manajemen maupun operasional kerja

2) Mengganggu kenormalan aktivitas kerja 3) Menurunnya tingkat produktivitas

(46)

Berdasarkan penelitian yang dilakukan Randall Schuller, stres yang dihadapi pekerja berhubungan dengan penurunan prestasi kerja, peningkatan ketidakhadiran kerja dan kecenderungan mengalami kecelakaan. Demikian pula jika banyak diantara pekerja di tempat kerja mengalami stres kerja, maka produktivitas dan kesehatan organisasi itu akan terganggu.

b. Dampak terhadap Individu

Munculnya masalah- masalah yang berhubungan dengan:

1) Kesehatan, dimana banyak penelitian yang menemukan adanya akibat-akibat stres terhadap kesehatan seperti jantung, gangguan pencernaan, darah tinggi, maag, alergi, dan beberapa penyakit lainnya.

2) Psikologis, apabila stres berkepanjangan akan menyebabkan ketegangan dan kekuatiran yang terus menerus yang disebut stres kronis. Stres kronis sifatnya menggerigoti dan menghancurkan tubuh, pikiran dan seluruh kehidupan penderitanya secara perlahan- lahan.

(47)

2.2.Gangguan Mental Emosional

2.2.1. Definisi Gangguan Mental Emosional

Gangguan mental emosional adalah keadaan mental dan emosi yang menyebabkan gangguan pada diri seseorang, baik karena emosi yang timbul terlalu kuat atau emosi yang tidak hadir. Karena pada hakikatnya tidak ada emosi yang positif dan negatif, tergantung persepsi individu yang terkait dan akibat yang akan dialaminya.

Menurut Achmanto (2007) ada beberapa alasan orang mengalami gangguan mental emosional dikarenakan hal-hal seperti berikut:

a. Seseorang mengalami emosi tertentu, seperti kecemasan, dan kemarahan yang terlalu sering atau terlalu kuat.

b. Seseorang mengalami emosi tertentu yang terlalu jarang atau terlalu lemah. Mereka merasa tidak mampu menunjukkan rasa sayang, kepercayaan, marah atau penolakan.

c. Seseorang merasa kesulitan untuk berhubungan dengan orang lain.

d. Seseorang merasa mengalami beberapa konflik karena dua atau lebih emosi. Misalnya antara marah dan takut, antara benci dan cinta.

2.2.2. Jenis-Jenis Gangguan Mental Emosional

(48)

gangguan somatoform, berbagai gangguan fisik dan psikologis yang telah ada sebelumnya.

a. Depresi

Depresi adalah salah satu bentuk gangguan mental pada alam perasaan (affective/mood disorder) yang ditandai dengan kemurungan, kelesuan, rasa rendah

diri, penurunan gairah hidup, putus asa dan sebagainya. Sindroma depresi secara relatif bermanifestasi menetap. Keadaan ini dapat berlangsung beberapa hari sampai beberapa minggu, akan tetapi tidak melebihi beberapa bulan setiap kali timbul (Diagnostic And Statistical Manual Of Mental Disorder Text Revision (DSM IV – TR)). Secara lengkap gejala klinis depresi adalah sebagai berikut :

1) Afek disforik, yaitu perasaan murung, sedih, gairah hidup menurun, tidak semangat, tidak berdaya.

2) Perasaan bersalah, berdosa, penyesalan. 3) Nafsu makan menurun.

4) Berat badan menurun.

5) Konsentrasi dan daya ingat menurun.

6) Gangguan tidur, insomnia (susah tidur, atau sebaliknya hipersomnia (terlalu banyak tidur). Dan sering ditandai dengan mimpi-mimpi buruk. 7) Agitasi atau retardasi psikomotor (gaduh gelisah atau lemah tak

berdaya).

(49)

9) Gangguan seksual.

10) Pikiran-pikiran tentang kematian, bunuh diri.

Ciri kepribadian depresi tersebut berbeda-beda pada setiap orang. Seorang baru dikatakan mengalami gangguan depresi jika gangguan tersebut sudah mengganggu fisik dan psikis sehingga mengganggu fungsi dalam kehidupannya sehari-hari, di rumah, di tempat kerja ataupun di lingkungan sosialnya.

b. Kecemasan / Ansietas

Kecemasan merupakan komponen utama bagi hampir semua gangguan mental. Mengacu pada Diagnostic And Statistical Manual Of Mental Disorder Text Revision (DSM IV – TR), secara klinis gejala kecemasan dibagi dalam :

1) Gangguan Cemas (Anxiety Disorder)

2) Gangguan Cemas Menyeluruh (Generalized Anxiety Disorder / GAD) 3) Gangguan Panik (Panic Disorder)

4) Gangguan Phobia (Phobic Disorder)

5) Gangguan Obsesif-Kompulsif (Obsessive-Compulsive Disorder)

Menurut Freud ada dua sebab timbulnya kecemasan diantaranya adalah adanya bahaya yang berasal dari dunia nyata ( misalnya terjebak dalam lift) dan adanya kesadaran akan datangnya hukuman yang berkaitan dengan pelampiasan dorongan seperti seksual dan tindakan amoral lainnya yang pada dasarnya di larang oleh norma agama.

(50)

tidak di sadari antara impuls id dengan kendala yang telah di tetapkan oleh ego dan super ego. Kecemasan sebagai respon yang disadari artinya seseorang tidak

memfokuskan pada konflik yang terjadi tetapi lebih fokus pada bentuk asosiasi kecemasan tersebut. Kecemasan sebagai akibat kurang kendali, orang mengalami kecemasan bila menghadapi situasi yang tampak berada di luar kendalinya.

1) Gangguan Cemas

Tidak semua orang yang mengalami stresor psikososial akan menderita gangguan cemas. Hal ini tergantung pada struktur kepribadiannya. Ciri kepribadian pencemas antara lain tidak tenang, cemas, gugup, tidak percaya diri, khawatir berlebihan, menyalahkan oranglain, mudah tersinggung, serta ragu dalam mengambil keputusan.

2) Gangguan Cemas Menyeluruh (General Anxiety Disorder)

Secara klinis gejala cemas menyeluruh dan menetap (paling sedikit berlangsung selama 1 (satu) bulan ) dengan manifestasi tiga dari empat kategori gejala sebagai berikut :

a) Ketegangan Motorik yaitu gemetar, nyeri otot, letih, kurang rileks, kening berkerut, kelopak mata bergetar, muka tegang, gelisah, tidak dapat diam, mudah kaget.

(51)

seni, diare, rasa tidak enak di ulu hati, kerongkongan tersumbat, muka merah atau pucat, denyut nadi dan nafas yang cepat pada waktu istirahat. c) Rasa Khawatir Berlebihan yaitu cemas, khawatir, takut, berpikir

bayangkan akan datangnya kemalangan terhadap dirinya atau orang lain. d) Kewaspadaan Berlebih yaitu mengamati lingkungan secara berlebihan,

susah konsentrasi, susah tidur, merasa ngeri, mudah tersinggung dan tidak sabar.

3) Gangguan Phobia

Gangguan phobik adalah salah satu bentuk kecemasan yang didominasi oleh gangguan alam pikir phobia. Phobia adalah ketakutan yang menetap dan tidak rasional terhadap suatu objek, aktivitas atau situasi tertentu yang menimbulkan keinginan mendesak untuk menghidarinya. Selain itu, Menurut Meitchati (2008), phobia adalah ketakutan yang tidak dapat terkendalikan, tidak normal kepada suatu hal atau kejadian tanpa diketahui sebabnya

Perasaan takut ini yang tidak masuk akal, orang yang mengalami gangguan tersebut sebenarnya menyadari akan keadaan tetapi ia tidak dapat membebaskan diri dari ketakutannya itu. Jenis phobia menurut DSM IV - TR, yaitu:

(a) Phobia sederhana atau spesifik (Phobia terhadap suatu obyek/keadaan tertentu) seperti pada binatang, tempat tertutup, ketinggian, dan lain lain.

(52)

(c) Phobia kompleks (Phobia terhadap tempat atau situasi ramai dan terbuka) misalnya di kendaraan umum/mall) orang seperti ini bisa saja takut keluar rumah.

Pada umumnya phobia disebabkan karena pernah mengalami ketakutan yang hebat atau pengalaman pribadi yang disertai perasaan malu atau bersalah yang semuanya kemudian ditekan kedalam alam bawah sadar. Peristiwa traumatis di masa kecil juga dianggap sebagai salah satu kemungkinan penyebab terjadinya phobia. Adapun jenis-jenis dari phobia adalah sebagai berikut :

(a) Acrophobia / Hypsophobia: Ketakutan pada tempat yang tinggi.

(b) Agyophobia: Ketakutan akan jalan yang ramai dan cenderung takut untuk menyeberang.

(c) Arachnephobia: Ketakutan pada laba-laba. (d) Brontophobia: Ketakutan akan suara halilintar

(e) Cibophobia: Takut makan karena takut menjadi sakit akibat kuman yang ada dalam makanan.

(f) Clinicophobia: Ketakutan untuk ke dokter atau berobat (g) Cynophobia: Ketakutan terhadap anjing.

(h) Entomophobia / Melissophobia: Ketakutan pada serangga. (i) Galeophobia / Ailurophobia / Gatophobia: Takut akan kucing. (j) Gamaphobia: Takut akan perkawinan

(53)

(m)Hydrophobia / Iyssophobia: Takut pada air. 4) Gangguan Obsesif-Kompulsif

Obsesi adalah suatu bentuk kecemasan yang didominasi oleh pikiran yang terpaku (persistence) dan berulang kali muncul (recurrent). Sedangkan kompulsi adalah perbuatan yang dilakukan berulang-ulang sebagai konsekuensi dari pikiran yang bercorak obsesif tadi. Secara klinis menurut DSM IV – TR, kriteria diagnostik gangguan obsesif-kompulsif adalah sebagai berikut :

Obsesi adalah gagasan, pikiran, bayangan yang berulang-ulang dan menetap, yang bersifat ego-distonik, yaitu tidak dihayati berdasarkan kemauan sendiri tetapi sebgai pikiran yang mendesak kedalam kesadaran dan dihayati sebagai sesuatu hal yang tidak masuk akal atau tidak disukai. Ada usah-usaha untuk tidak menghiraukannya atau menekannya.

(54)

5) Gangguan Panik

Merupakan serangan yang datangnya mendadak, tidak dapat dijelaskan dan tidak dapat dikendalikan. Ketika mengalaminya seseorang akan merasakan sulit bernapas, gemetar, mual, berkeringat banyak, denyut jantung tidak teratur dan tanda-tanda ketegangan otot lainnya. Kecemasan ini sulit ditelusuri asal usulnya karena itulah sering disebut sebagai timbul tanpa rintangan (free floating).

Faktor penyebab panik (menurut teori Freud), yaitu:

1) Ego berusaha mencegah id menyalurkan nalurinya/keinginannya. Konflik sadar antara id dan ego inilah yang menimbulkan kecemasan (menurut teori Freud).

2) Sistem saraf otonom menjadi giat.

3) Faktor bawaan genetika atau stres yang sangat besar seolah sebelumnya sudah dapat memprogramkan pada diri orang ini untuk dikemudian hari mengembangkan gangguan panik tersebut.

c. Somatisasi

Somatisasi adalah keluhan somatik yang majemuk, sering berulang selama bertahun-tahun dan tidak ditemukan kelainan fisik berdasarkan pernyataan medis. Gejala somatik sudah berlangsung sebelum usia 30 tahun dan berjalan kronik serta berfluktuasi. Diagnosis somatisasi dinyatakan berdasarkan kriteria ditemukannya paling sedikit 12 gejala dari 30 gejala berikut menurut DSM IV – TR :

(55)

2) Gejala psudo neurologik atau konversi.

3) Susah menelan, suara hilang, pelupa, kejang-kejang, susah berjalan, kelumpuhan atau kelemahan otot, hambatan atau gangguan kencing. 4) Gejala gastro intestinal.

5) Sakit perut, mual, muntah, bertahak, kembung, tidak tahan terhadap berbagai bahan makanan, diare.

6) Gejala psikoseksual.

7) Bersikap acuh tak acuh terhadap seks, kurang dan tidak dapat menikmati persetubuhan, rasa sakit dalam persetubuhan.

8) Nyeri (nyeri pinggang, nyeri punggung, sakit pada ekstremitas, sakit di genetalia, nyeri waktu kencing dan berbagai keluhan nyeri lainnya). 9) Gejala jantung, paru-paru, sesak nafas, berdebar-debar, sakit dada,

pusing. d. Paranoid

(56)

mungkin tampak seperti sibuk dan efisien tetapi mereka seringkali menciptakan ketakutan atau konflik bagi orang lain.

Kriteria diagnostik untuk gangguan kepribadian paranoid ditandai dengan ketidakpercayaan dan kecurigaan yang pervasif kepada orang lain sehingga motif mereka dianggap sebagai berhati dengki. Hal ini ditunjukkan empat atau lebih hal berikut :

1) Menduga tanpa dasar yang cukup bahwa oranglain memanfaatkan, membahayakan, atau mengkhianati dirinya.

2) Preokupasi dengan keraguan yang tidak pada tempatnya tentang loyalitas atau kejujuran teman atau relasi kerja.

3) Enggan untuk menceritakan rahasia orang lain karena rasa takut yang tidak perlu bahwa informasi akan digunakan secara jahat untuk melawan dirinya.

4) Membaca arti merendahkan atau mengancam yang tersembunyi dari ucapan atau kejadian yang biasa.

5) Secara persisten menyimpan dendam, tidak memaafkan kesalahan, kerugian dan kelalaian.

6) Merasakan serangan terhadap karakter atau reputasinya yang tidak tampak bagi oranglain dan dengan cepat bereaksi secara marah atau balas menyerang.

(57)

e. Gangguan Psikotisme

Skizofrenia atau dalam bahasa Inggris Schizophrenia adalah gangguan psikotik dengan gangguan dasar pada kepribadian, distorsi khas proses pikir, kadang-kadang mempunyai perasaan bahwa dirinya sedang dikendalikan oleh kekuatan dari luar dirinya, waham yang kadang-kadang aneh, gangguan persepsi, afek abnormal yang terpadu dengan situasi nyata atau sebenarnya dan autisme. Penyebab skizofrenia belum diketahui, ditemukan kelainan pada area otak tertentu termasuk sistim limbik, korteks frontal, dan basal ganglia. Manifestasi klinis pada skizofrenia harus ada paling sedikit satu gejala yang jelas atau dua / lebih bila gejala kurang jelas (DSM IV – TR), yaitu sebagai berikut :

1) Tought echo, isi pikiran dirinya sendiri yang berulang atau bergema dalam kepalanya (tidak keras) dan isi pikiran ulangan, walaupun isinya sama tapi kualitasnya berbeda. Tought insertion, isi pikiran yang asing dari luar masuk kedalam pikirannya atau isi pikirannya diambil ke luar oleh sesuatu dari luar dirinya (withdrawl). Thought broadcasting, isi pikirannya tersiar keluar sehingga orang lain atau umum mengetahuinya. 2) Delution of control, waham tentang dirinya dikendalikan oleh suatu

(58)

3) Halusinasi auditorik, suara halusinasi yang berkomentar secara terus menerus terhadap perilaku orang tersebu, atau suara yang mendiskusikan perihal dirinya diantara mereka sendiri, atau jenis suara halusinasi lain yang berasal dari salah satu bagian tubuh.

4) Waham-waham menetap jenis lainnya, yang menurut budaya setempat tidak wajar dan sesuatu yang mustahil, misalnya perihal keyakinan agama atau politik tertentu atau kekuatan di atas manusia biasa.

Gejala-gejala khas tersebut telah berlangsung selama kurun waktu satu bulan atau lebih (tidak berlaku untuk setiap fase prodormal non-psikotik) dan harus ada perubahan yang konsisten serta bermakna dalam keseluruhan dari beberapa aspek perilaku pribadi, bermanifestasi sebagai hilangnya minat, hidup tidak ada tujuan, tidak berbuat sesuatu, sikap larut dalam diri sendiri dan penarikan diri secara sosial. 2.2.3. Upaya Penanggulangan Gangguan Mental Emosional

Upaya yang dilakukan dalam penanggulangan ganguan mental emosional adalah :

a. Terapi holistic, yaitu terapi yang tidak hanya menggunakan obat dan ditujukan kepada gangguan emosinya saja, dalam arti lain terapi ini memberikan perlakuan menyeluruh kepada individu.

(59)

c. Farmakoterapi, yaitu terapi dengan menggunakan obat. Terapi ini biasanya diberikan oleh dokter dengan memberikan resep obat pada orang yang mengalami gangguan emosi.

d. Terapi perilaku, yaitu terapi yang dimaksudkan agar individu berubah, baik sikap maupun perilakunya terhadap obyek atau situasi yang menakutkan. Secara bertahap individu yang bersangkutan dibimbing dan dilatih untuk menghadapi berbagai objek atau situasi yang menimbulkan rasa panik dan takut. Sebelum melakukan terapi ini diberikan psikoterapi untuk memperkuat kepercayaan

2.3. Landasan Teoritis

Stressor kerja merupakan apa saja kondisi lingkungan tempat tuntutan fisik dan emosional pada seseorang (Sopiah, 2008). Beehr dan Newman (dalam Rice, 1999) mendefinisikan stressor kerja sebagai tuntutan pekerjaan yang berlebihan melebihi kemampuan pekerja meliputi interaksi antara kondisi pekerjaan dengan sikap individu yang mengubah kondisi normal dan fungsi psikologis pekerja sehingga menyebabkan orang merasa sakit, tidak nyaman atau tegang karena pekerjaan, tempat kerja atau situasi kerja yang tertentu.

(60)
(61)
[image:61.612.116.564.103.569.2]

v

Gambar 2.1. Teori Model Stressor dan Hasil oleh Ivancevich (2006) Model konsep Person – Environment Fit merupakan derajat kesesuaian antara karakteristik seseorang dengan lingkungannya secara subjektif maupun objektif. Dalam konsep ini kesehatan mental yang baik di lingkungan kerja tergantung pada hasil interaksi objektif lingkungan-objektif seseorang. Kondisi

Tingkat Individu - Konflik Peran - Kelebihan beban

peran

- Ketidakjelasan peran - Tanggungjawab atas

orang - Pelecehan

- Kecepatan perubahan

Tingkat Kelompok - Perilaku, manajerial - Kurangnya

kohesivitas - Konflik

Intrakelompok - Status yang tidak

sesuai

Tingkat organisasi - Budaya - Teknologi - Gaya manajemen - Rancangan organisasi - Politik

Non Pekerjaan - Perawatan orang

lanjut usia dan anak - Ekonomi

- Kurangnya mobilitas - Pekerjaan sukarela - Kualitas kehidupan

STRESSOR KERJA

Penilaian

Kognitif STRES

Perilaku - Kepuasan - Kinerja - Absen

- Perputaran pekerja - Kecelakaan

- Penyalahgunaan obat - Klaim perawatan

kesehatan

Kognitif - Pengambilan

keputusan yang buruk - Kurangnya konsentrasi - Lupa - Frustasi - Apatis Fisiologis

- Tekanan darah yang meningkat

- Sistem kekebalan - Kolestrol tinggi

Fisiologis

- Penyakit jantung koroner

(62)

tersebut dapat menentukan kesejahteraan dan prestasi dari seseorang. Lingkungan yang dimaksud adalah lingkungan sosial dan lingkungan fisik. Secara umum orang berpendapat bahwa jika seseorang dihadapkan pada tuntutan pekerjaan yang melampaui kemampuan individu tersebut, maka dikatakan bahwa individu tersebut mengalami stres kerja.

Hubungan dengan realita

[image:62.612.124.514.253.432.2]

Ketepatan dari penilaian diri

Gambar 2.2. Teori Model Person – Environment Fit

Kondisi lingkungan fisik yang tidak sehat, aman dan bebas dari bahaya dapat berpotensi sebagai sumber stressor yang akan menimbulkan gangguan emosional pada pekerja. Sehingga apabila pekerja bekerja tidak dalam keadaan kesehatan fisik dan mental yang baik, akan menurunkan produktivitas kerja serta akan terjadi kecelakaan kerja. Sebaliknya apabila pekerja dalam kondisi sehat maka akan terwujud kesehatan dan keselamatan di tempat kerja.

Objektif

Lingkungan Subjektif Lingkungan

Objektif P –

E Fit Coping

Subjektif P-E Fit

Defense Stres Sakit

Objektif seseorang

(63)

2.4. Kerangka Konsep

[image:63.612.112.551.221.445.2]

Kerangka teoritis yang merupakan kerangka konsep dalam penelitian ini dapat digambarkan sebagai berikut :

Gambar 2.3. Kerangka Konsep Penelitian

Berdasarkan kerangka konsep penelitian diatas, maka dapat dijelaskan bahwa definisi konsep dalam penelitian ini adalah dengan variabel bebas (variabel independen atau variabel X) yaitu stressor kerja dan variabel terikat (variabel

dependen atau variabel Y) adalah gangguan mental emosional. Ditambahkan pula

variabel pengganggu (variabel intervening atau variabel Z) dalam penelitian yaitu panas, bising, shift kerja dan sanitasi yang dalam penelitian ini variable Z .

STRESSOR KERJA 1. Ketaksaan peran 2. Konflik peran 3. Beban kerja berlebih

kuantitatif

4. Beban kerja berlebih kualitatif

5. Tanggungjawab terhadap orang lain

LINGKUNGAN KERJA 1. Panas 2. Bising 3. Shift Kerja 4. Sanitasi

Stres Kerja

(64)

BAB 3

METODE PENELITIAN

3.1. Jenis Penelitian

Penelitian ini menggunakan desain penelitian cross – sectional yakni data penelitian dikumpulkan pada satu waktu untuk memperoleh gambaran karakteristik penelitian. Metode pengumpulan data yang digunakan adalah metode survei karena mengambil sample dari satu populasi dengan menggunakan kuesioner sebagai alat pengumpul data (Sugiyono, 2010).

Penelitian cross – sectional adalah untuk menggambarkan dan menganalisis suatu keadaan dalam suatu saat tertentu. Cross – sectional study dilakukan untuk menganalisis hubungan antara stressor kerja sebagai variabel bebas dan gangguan mental emosional sebagai variabel terikat.

3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian 3.2.1. Lokasi Penelitian

Penelitian dilakukan di PT. Asianagro Agung Jaya Kota Tanjungbalai - Asahan dengan pertimbangan bahwa pabrik pengolahan Crude Palm Oil yang merupakan salah satu tempat kerja yang mempunyai stressor kerja yang membahayakan pada pekerja (Ivancevich, 2006).

3.2.2. Waktu Penelitian

(65)

3.3. Populasi dan Sampel 3.3.1. Populasi

Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas objek atau subjek yang mempunyai kualitas karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulan (Sugiyono, 2010). Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh pekerja yang berada di pabrik PT. Asianagro Agung Jaya yang berjumlah 59 orang pekerja.

3.3.2. Sampel

Sampel dalam penelitian ini adalah total populasi yaitu seluruh pekerja yang berada di pabrik PT. Asianagro Agung Jaya yang berjumlah 59 orang pekerja.

3.4. Metode Pengumpulan Data 3.4.1. Data Primer

Metode pengumpulan data primer dalam penelitian ini melalui wawancara langsung dengan pekerja di pabrik pengolahan Crude Palm Oil PT. Asianagro Agung Jaya di Kota Tanjungbalai - Asahan. Untuk menilai stressor kerja dilakukan pemeriksaan melalui pengisian kuesioner yaitu Survei Diagnostik Stress (SDS). Sedangkan untuk mengukur gangguan mental emosional diukur dengan Symptom Check List 90 (SCL – 90). Data sekunder diperoleh melalui pencatatan berbagai

dokumen dilokasi penelitian yang berkaitan dengan penelitian.

(66)

Departemen Kesehatan RI. Kuesioner ini sudah divalidasi dan dinilai cukup akurat serta bisa digunakan di Indonesia.

Pengukuran gangguan mental emosional diukur dengan Symptom Check List 90 (SCL – 90). Kuesioner ini bersifat “self rating”. Alat ukur ini sudah divalidasi dan

dinilai cukup akurat sehingga dapat dipercaya untuk diper

Gambar

Gambar 2.1. Teori Model Stressor dan Hasil oleh Ivancevich (2006)
Gambar 2.2. Teori Model Person – Environment Fit
Gambar 2.3. Kerangka Konsep Penelitian
Gambar 3.1. Alur Penelitian
+6

Referensi

Dokumen terkait

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga saya dapat menyelesaikan Laporan Praktik Kerja Lapangan pada Dinas Pendapatan

diklasifikasikan sebagai moderate shrinkage sedangkan bulletin HPM&S memberi batas maksimum shrinkage pada umur mortar 28 hari sebesar 400 microstain. Hal

[17] reported that a moderately anionic POD (approximately p I 6.7) was activated by Al stress in tobacco cells. It appears that toxic metals change POD activity both quantitatively

[r]

Tidak ada larangan untuk seorang perempuan dari golongan Bangsawan menikah dengan laki-laki dari golongan nonBangsawan, akan tetapi tetap ada usaha dari pihak keluarga untuk

Potensi daun krinyuh tidak hanya dapat menghambat pertumbuhan bakteri yang belum mengalami resisten seperti Staphylococcus aureus tetapi juga dapat menghambat pertumbuhan

Beberapa hal yang dapat dilakukan terhadap limbah peternakan sapi pedaging antara lain adalah penggunaan feses sapi sebagai pupuk alami dengan pengolahan yang sederhana

Shinta Heru Satoto(2011) Analisis Fenomena pengujian Monday Effect dan Week Four Effect (Studi Empiris terhadap return saham perusahaan LQ 45 DI BEI ) 1. 2.Variabel