• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kehidupan Sosial Para Homeless di Jepang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Kehidupan Sosial Para Homeless di Jepang"

Copied!
74
0
0

Teks penuh

(1)

KEHIDUPAN SOSIAL PARA HOMELESS DI JEPANG

NIHON NO HOMURESU NO SHAKAI SEIKATSU

SKRIPSI

Skripsi ini diajukan Kepada Panitia Ujian Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Medan untuk melengkapi salah satu syarat ujian

sarjana dalam bidang Ilmu Sastra Jepang

Oleh:

SAVITRI HANDAYANI 100708065

DEPARTEMEN SASTRA JEPANG FAKULTAS ILMU BUDAYA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(2)

KEHIDUPAN SOSIAL PARA HOMELESS DI JEPANG

NIHON NO HOMURESU NO SHAKAI SEIKATSU

SKRIPSI

Skripsi Ini Diajukan Kepada Panitia Ujian Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Medan untuk Melengkapi Salah Satu Syarat Ujian Sarjana

dalam Bidang Ilmu Sastra Jepang Dan Telah Disetujui Oleh :

Pembimbing I Pembimbing II

Mhd. Pujiono, S.S., M.Hum Prof. Hamzon Situmorang, M. S, Ph. D NIP: 19691011 2002 12 1 001 NIP: 19580704 198412 1 001

DEPARTEMEN SASTRA JEPANG FAKULTAS ILMU BUDAYA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(3)

Disetujui Oleh

Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Medan

Medan, Januari 2015 Departemen Sastra Jepang Ketua

(4)

KATA PENGANTAR

Dengan mengucapkan Alhamdulillahi rabbil „alamin, segala puji hanya milik Allah SWT yang telah member rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Shalawat dan salam semoga dilimpahkan kepada Rasulullah saw, keluarganya, para sahabatnya, dan siapa saja.

Skripsi ini berjudul : Kehidupan Sosial Para Homeless di Jepang. Penulisan

skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk menyelesaikan pendidikan dan meraih gelar sarjana pada Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara. Pada kesempatan ini peulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Bapak Dr. Syahron Lubis, M.A., selaku Dekan Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Drs. Eman Kusdiyana, M. Hum, selaku Ketua Departemen Sastra Jepang.

3. Bapak Mhd. Pujiono, S.S., M. Hum, selaku dosen pembimbing I yang telah meluangkan waktu dalam membimbing penulis.

4. Bapak Prof. Hamzon Situmorang, M.S., Ph.D, selaku dosen pembimbing II yang telah meluangkan waktu dalam membimbing penulis.

(5)

6. Orang tua dan keluaraga yaitu ayahanda Said Purba, ibunda Sri Asni, yang telah memberikan bantuan dukungan material maupun moril serta menjadi penyemangat bagi penulis.

7. Teman- teman tersayang yang bersama-sama berjuang Echa, Liska, Dila, Elvi, Martha, Baim, Rauf, Barry yang selalu ada untuk penulis dan dengan senang hati membantu penulis dalam proses pembuatan skripsi ini.

8. Teman-teman penulis di kelas A 2010 Dian, Fitri, Lina, Ila, Linda, Puti, , Putri, Reni, Ridar, wulan, Kak Yuli, Kak Fuji, Ana, Icha, Pratiwi, Susanti, Rina, Ayu Cunuk, Arien, Ina, Cici, Titra, Krismawati, Dewi, Siska, Budi, Lim, Rovindo, Pandi, Firman, Fauzan yang telah membantu penulis dalam proses pembuatan skripsi ini.

9. Teman- teman Sastra Jepang Stambuk 2010 yang telah memberi banyak bantuan dan dukungan kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna. Untuk itu penulis mengaharapkan masukan berupa kritik dan saran yang membangun demi kesempurnaan skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat berguna bagi kita semua.

Medan, November 2014

Penulis,

(6)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ……… .. i

DAFTAR ISI ………. iii

BAB I PENDAHULUAN ……….. 1

1.1 Latar Belakang Masalah ……… 1

1.2 Perumusan Masalah ………4

1.3 Ruang Lingkup Pembahasan ………. …5

1.4 Tinjauan Pustaka dan Kerangka Teori ………...6

1.5 Tujuan dan Manfaat Penelitian ………10

1.6 Metode Penelitian ...……….…11

BAB II TINJAUAN UMUM TERHADAP HOMELESS 2.1 Definisi Homeless ………... 13

2.2 Latar Belakang Terjadinya Homeless ………. 17

2.2.1 Setelah Perang Dunia II ………17

2.2.2 Homeless dari Kaum Buruh Yoseba ………18

2.2.3 Homeless dari Pekerja Reguler dan Non Reguler ………19

(7)

2.4 Jumlah Homeless ………... 25

BAB III DAMPAK DAN PENANGANAN HOMELESS DALAM KEHIDUPAN SOSIAL MASYARAKAT JEPANG 3.1 Dampak Homeless ………. 34

3.1.1 Diri Sendiri ………. 34

3.1.2 Keluarga ………. 36

3.1.3 Masyarakat ………... 36

3.1.4 Pemerintah……….. ……… 37

3.2 Upaya Penanganan Homeless ……….... 38

3.2.1 Masyarakat ………. 38

3.2.2. Pemerintah ………. 39

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN 4.1 Kesimpulan ………. 47

4.2 Saran ………... 48

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN

(8)

DAFTAR TABEL DAN GRAFIK

Daftar Tabel

Tabel 1 Jumlah Homeless di Jepang ………. 25

Tabel 2 全国 ホーム ス数 ( Jumlah Homeless di Seluruh Negeri).………26

Tabel 3 Jumlah Homeless di Jepang ……….. 27

Tabel 4 都 府県別 ホーム ス数 ( Jumlah Homeless berdasarkan kota atau desa)……… 28

Tabel 5 Jumlah Homeless di Daerah yang ditunjuk Pemerintah dan 23 Distrik di Ibukota Tokyo………. 29

Tabel 6 中核 別 ホーム ス数 (Jumlah Homeless di Daerah Inti)………….. .30

Tabel 7 場所別 状況 ( Kondisi Masing-Masing Tempat)………...……31

Tabel 8 Jumlah Homeless Berdasarkan Jenis Kelamin………... 33

Tabel 9 Jumlah Homeless di Tempat-Tempat Umum ………. …33

Tabel 10 Jumlah Homeless di Beberapa Kota Besar ………33

(9)

Grafik 2 全国 ホーム ス 分 状況 (Situasi Penyebaran Homeless di Seluruh

Negeri) Tahun 2011………27

Grafik 3場所別 ホーム ス数 ( Jumlah Homeless di Berbagai Tempat Umum).32

Grafik 4 Persentase Jumlah Homeless di Berbagai Tempat Umum……….. 32

(10)

ABSTRAK

Kehidupan Sosial Para Homeless di Jepang

Homuresu berasal dari bahasa Inggris yaitu homeless yang artinya tidak memiliki

rumah. Tapi masyarakat Jepang dahulu menyebutnya furosha yang berarti gelandangan atau tunawisma. Pertumbuhan homeless pertama kali meningkat pada tahun 1960-an setelah perang dunia II. Homeless muncul akibat resesi ekonomi yang melanda Jepang. Para homeless tersebut berasal dari kaum buruh yoseba, para pekerja reguler dan non reguler. Yoseba adalah sebutan untuk tempat jasa bantuan untuk menunggu lowongan pekerjaan dan losmen peristirahatan bagi para buruh harian.

Penyebab munculnya homeless disebabkan oleh beberapa faktor yaitu:

1) faktor ekonomi , akibat dari krisis ekonomi yang melanda Jepang banyak pegawai-pegawai perusahaan yang di PHK dan pada akhirnya menjadi pengangguran dan menjadi homeless.

2) faktor terjerat bunga hutang atau rentenir, menjalani kehidupan di negara maju seperti Jepang membuat banyak masyarakat meminjam uang kepada rentenir hingga akhirnya terjerat hutang demi memenuhi kebutuhannya.

3) faktor kondisi kesehatan atau fisik, kondisi fisik atau tubuh yang lemah, sakit atau menderita luka juga menyebabkan seseorang menjadi homeless karena tidak dapat bekerja untuk memenuhi kebutuhannya.

4) faktor bencana alam, akibat dari bencana alam seperti tsunami banyak masyarakat yang kehilangan pekerjaan dan menjadi homeless.

5) faktor sosial, faktor sosial yang menyebabkan seseoraang menjadi homeless, seperti perceraian. Dengan adanya kasus perceraian, hal itu membuat seseorang tidak mempunyai tempat tinggal.

(11)

pachinko, ketergantungan pada alkohol atau karena orangnya memang malas bekerja

Karena hal tersebut, membuat mereka tidak memiliki uang dan akhirnya menjadi homeless.

Ada beberapa alasan yang membuat seseorang menjadi homeless yaitu, pendapatan berkurang, lapangan pekerjaan menurun, bangkrut, pengangguran, sakit, luka, dan sudah tua tidak dapat bekerja. Faktor-faktor tersebut membuat jumlah homeless di Jepang meningkat. Pada tahun 2003 jumlah homeless sebanyak 25.296 jiwa, tapi berkat usaha yang dilakukan pemerintah jumlah homeless sudah semakin berkurang dari tahun ke tahun, sehingga tahun 2012 jumlah homeless menjadi sebanyak 9.576 jiwa. pada tahun 2012 Homeless terbanyak adalah laki-laki yaitu 8.933 jiwa sedangkan wanita 304 jiwa. Para homeless tersebut banyak menempati tempat umum seperti, taman kota, stasiun, bantaran sungai, jalanan dan lain-lain.

Masalah sosial seperti homeless ini menimbulkan beberapa dampak terhadap homeless itu sendiri, keluarga, masyarakat dan pemerintah. Dampak terhadap diri

mereka sendiri yaitu, mereka rentan mengalami tindakan kekerasan, pembunuhan dan berbagai macam penyakit seperti HIV/AIDS dan TBC. Sedangkan terhadap keluarga yaitu, mereka mengalami perceraian, terpisah dari anak-anak, anak-anak mereka juga mengalami depresi, cemas, menarik diri dari lingkungan dan lain-lain. Bagi masyarakat keberadaan homeless mengganggu pemandangan indah suatu kota dan merasa tidak nyaman. Kemudian bagi pemerintah sendiri tentu menjadi beban dan semakin menambah masalah yang harus segera mereka atasi.

(12)

ABSTRAK

Kehidupan Sosial Para Homeless di Jepang

Homuresu berasal dari bahasa Inggris yaitu homeless yang artinya tidak memiliki

rumah. Tapi masyarakat Jepang dahulu menyebutnya furosha yang berarti gelandangan atau tunawisma. Pertumbuhan homeless pertama kali meningkat pada tahun 1960-an setelah perang dunia II. Homeless muncul akibat resesi ekonomi yang melanda Jepang. Para homeless tersebut berasal dari kaum buruh yoseba, para pekerja reguler dan non reguler. Yoseba adalah sebutan untuk tempat jasa bantuan untuk menunggu lowongan pekerjaan dan losmen peristirahatan bagi para buruh harian.

Penyebab munculnya homeless disebabkan oleh beberapa faktor yaitu:

1) faktor ekonomi , akibat dari krisis ekonomi yang melanda Jepang banyak pegawai-pegawai perusahaan yang di PHK dan pada akhirnya menjadi pengangguran dan menjadi homeless.

2) faktor terjerat bunga hutang atau rentenir, menjalani kehidupan di negara maju seperti Jepang membuat banyak masyarakat meminjam uang kepada rentenir hingga akhirnya terjerat hutang demi memenuhi kebutuhannya.

3) faktor kondisi kesehatan atau fisik, kondisi fisik atau tubuh yang lemah, sakit atau menderita luka juga menyebabkan seseorang menjadi homeless karena tidak dapat bekerja untuk memenuhi kebutuhannya.

4) faktor bencana alam, akibat dari bencana alam seperti tsunami banyak masyarakat yang kehilangan pekerjaan dan menjadi homeless.

5) faktor sosial, faktor sosial yang menyebabkan seseoraang menjadi homeless, seperti perceraian. Dengan adanya kasus perceraian, hal itu membuat seseorang tidak mempunyai tempat tinggal.

(13)

pachinko, ketergantungan pada alkohol atau karena orangnya memang malas bekerja

Karena hal tersebut, membuat mereka tidak memiliki uang dan akhirnya menjadi homeless.

Ada beberapa alasan yang membuat seseorang menjadi homeless yaitu, pendapatan berkurang, lapangan pekerjaan menurun, bangkrut, pengangguran, sakit, luka, dan sudah tua tidak dapat bekerja. Faktor-faktor tersebut membuat jumlah homeless di Jepang meningkat. Pada tahun 2003 jumlah homeless sebanyak 25.296 jiwa, tapi berkat usaha yang dilakukan pemerintah jumlah homeless sudah semakin berkurang dari tahun ke tahun, sehingga tahun 2012 jumlah homeless menjadi sebanyak 9.576 jiwa. pada tahun 2012 Homeless terbanyak adalah laki-laki yaitu 8.933 jiwa sedangkan wanita 304 jiwa. Para homeless tersebut banyak menempati tempat umum seperti, taman kota, stasiun, bantaran sungai, jalanan dan lain-lain.

Masalah sosial seperti homeless ini menimbulkan beberapa dampak terhadap homeless itu sendiri, keluarga, masyarakat dan pemerintah. Dampak terhadap diri

mereka sendiri yaitu, mereka rentan mengalami tindakan kekerasan, pembunuhan dan berbagai macam penyakit seperti HIV/AIDS dan TBC. Sedangkan terhadap keluarga yaitu, mereka mengalami perceraian, terpisah dari anak-anak, anak-anak mereka juga mengalami depresi, cemas, menarik diri dari lingkungan dan lain-lain. Bagi masyarakat keberadaan homeless mengganggu pemandangan indah suatu kota dan merasa tidak nyaman. Kemudian bagi pemerintah sendiri tentu menjadi beban dan semakin menambah masalah yang harus segera mereka atasi.

(14)

BAB I PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang Masalah

Jepang adalah sebuah negara kepulauan di Asia Timur. Letaknya di ujung barat Samudera Pasifik, di sebelah timur Laut Jepang, dan bertetangga dengan Republik Rakyat Cina, Korea, dan Rusia. Jepang terdiri dari kurang lebih 4000 pulau besar dan kecil, luas wilayahnya sekitar 370.000 km2. Pulau-pulau utama dari utara ke selatan adalah Hokkaido, Honshu, Shikoku, dan Kyushu. Penduduk Jepang berjumlah 128 juta orang, dan berada di peringkat ke-10 negara berpenduduk terbanyak di dunia (2014: id.m.wikipedia.org/wiki/Jepang). Jepang merupakan salah satu negara maju di Asia dan di dunia, baik di bidang ekonomi maupun teknologi dan informasi. Sebagai negara maju sudah sewajarnya Jepang memiliki kesejahteraan sosial yang cukup tinggi, namun pada kenyataannya masyarakat Jepang memiliki daya saing yang tinggi untuk dapat bertahan hidup ditengah-tengah kerasnya kehidupan di Jepang dan negara maju, seperti Jepang juga pernah mengalami masalah resesi ekonomi. Jepang mengalami resesi ekonomi sejak Perang Dunia II berlangsung. Hal ini menyebabkan munculnya masalah-masalah sosial atau shakai mondai, salah satu masalah yang menarik perhatian yaitu homeless.

Homeless merupakan suatu masalah sosial yang terjadi pada negara maju

(15)
(16)

dengan pengucilan dari masyarakat sekitar terhadap keberadaan mereka. Bahkan beberapa kasus pembunuhan para manula homeless banyak menghiasi berita-berita di media massa Jepang. Beberapa hal yang menarik diamati lainnya dari homeless di Jepang ini, mereka sangat erat hubungan sosialnya. Mungkin karena perasaan satu nasib satu sepenanggungan, bahkan kelompok-kelompok homeless ini pun mempunyai iuran, mengelola usaha sendiri (bercocok tanam), dan membuat aturan-aturan yang dibuat untuk kelangsungan hidup mereka (2007: saniroy.archiplan.ugm.ac.id). Kondisi rumah atau tenda-tenda yang semi permanen kadang memberi keterbatasan akses mereka untuk memiliki asuransi karena alamat permanen di sebuah wilayah legal di Jepang menjadi sebuah syarat mutlak sebagai informasi diri.

Homeless memang merupakan masalah yang cukup menarik perhatian

pemerintah Jepang. Pertumbuhan homeless pertama kali meningkat pada tahun 1960-an setelah Per1960-ang Dunia II berakhir (Hasegawa, 2006: 23) d1960-an jumlah homeless meningkat tajam ketika resesi ekonomi melanda tahun 1992 (Stephanie, 2010: 1). Karena jumlah para homeless semakin bertambah pemerintah Jepang membuat undang-undang khusus untuk masalah homeless. Undang-undangnya sendiri dikeluarkan tahun 2002 dengan judul: Hoomuresu no Jiritsu no Shien Nado ni Kansuru Tokubetsu Sochihou (undang-undang khusus untuk mendukung kemandirian

(17)

tidak mau memanfaatkan fasilitas tersebut dan lebih memilih hidup di area luar dengan fasilitas ruang-ruang publik.

Ada pun beberapa faktor yang meyebabkan munculnya masalah sosial homeless ini adalah ( 2012 : mbantoelpoenya.wordpress.com) :

1. Faktor kondisi kesehatan atau fisik misalnya cacat

2. Faktor ekonomi misalnya krisis ekonomi dunia, kegagalan atau kebangkrutan usaha dan pemecatan.

3. Faktor terjerat bunga hutang atau rentenir yang dalam istilah Jepang dikenal dengan istilah yami kinyuu.

4. Faktor mental atau permasalahan individu misalnya terjerat judi, maniak pachinko, ketergantungan pada alkohol atau karena orangnya memang

malas bekerja.

Faktor-faktor di atas cukup menjelaskan mengapa homeless menjadi salah satu masalah sosial, dimana masyarakat luas umumnya mengetahui bahwa Jepang merupakan negara maju yang kecil kemungkinannya untuk mengalami masalah kesejahteraan sosial, namun hal itu tidak menjadi patokan bahwa Jepang juga bisa mengalami masalah tersebut dan cukup menarik perhatian di Jepang.

Untuk mengetahui lebih jauh tentang Homeless ini penulis akan mencoba membahasnya melalui skripsi yang berjudul : “ Kehidupan Sosial Para Homeless di

(18)

1.2Perumusan Masalah

Kehidupan sosial para homeless di Jepang, merupakan suatu topik yang menarik ketika kita sedang membicarakan tentang Jepang. Homeless merupakan suatu masalah sosial yang menjadi perhatian pemerintah Jepang. Homeless adalah orang-orang yang tidak mempunyai tempat tinggal dan pekerjaan yang tetap dan hidup di tempat-tempat umum seperti di pinggir jalan, bantaran sungai dan stasiun. Hal ini merupakan salah satu masalah yang dihadapi oleh negara Jepang sejak tahun 90-an. Jika hal ini terus berlanjut, maka dikhawatirkan akan berdampak buruk bagi lingkungan maupun pemerintah.

Berdasarkan hal di atas, permaslahan penelitian ini mencoba menjawab masalah yang dirumuskan dalam bentuk pertanyaan sebagai berikut:

1. Bagaimana latar belakang terjadinya Homeless di Jepang?

2. Bagaimana dampak yang ditimbulkan oleh Homeless terhadap kehidupan sosial masyarakat di Jepang dan upaya penanganan Homeless?

1.3Ruang Lingkup Pembahasan

Dari permasalahan yang telah dikemukakan di atas sebelumnya, maka penulis menganggap perlu adanya pembatasan ruang lingkup dalam pembahasan. Hal ini dilakukan agar masalah tiak menjadi terlalu luas sehingga penulis dapat lebih terfokus dan terarah dalam pembahasan terhadap masalah.

(19)

ditimbulkan terhadap kehidupan sosial masyarakat Jepang. Untuk mendukung pembahasan ini, penulis juga akan membahas tentang penyebab terjadinya Homeless, definisi Homeless, jumlah Homeless dari tahun 2003 hingga 2012 serta upaya yang dilakukan untuk menanggulangi masalah sosial ini.

1.4 Tinjauan Pustaka dan Kerangka Teori

1. Tinjauan Pustaka

(20)

yang muncul dalam realitas kehidupan bermasyarakat (Soetomo, 2008: 28). Menurut

Soekanto (2012: dirtyfarms.blogspot.com) masalah sosial adalah suatu ketidaksesuaian antara unsur-unsur kebudayaan atau masyarakat, yang membahayakan kehidupan kelompok sosial. Jika terjadi bentrokan antara unsur-unsur yang ada dapat menimbulkan gangguan hubungan sosial seperti kegoyahan dalam kehidupan kelompok atau masyarakat. Menurut Weinberg dalam Soetomo (2008: 7), masalah sosial adalah situasi yang dinyatakan sebagai sesuatu yang bertentangan dengan nilai-nilai oleh warga masyarakat yang cukup signifikan, di mana mereka sepakat dibutuhkannya suatu tindakan untuk mengubah situasi tersebut. Masalah sosial juga erat kaitannya dengan kesejahteraan sosial untuk menunjukkan kualitas hidup suatu masyarakat.

(21)

2. Kerangka Teori

Kerangka teori menurut Koentjaraningrat (1976: 1) berfungsi sebagai pendorong proses berfikir deduktif yang bergerak dari bentuk abstrak ke dalam bentuk yang nyata. Dalam penelitian suatu kebudayaan mesyarakat diperlukan satu atau lebih teori pendekatan yang sesuai dengan objek dan tujuan dari penelitian ini. Dalam hal ini, untuk memahami istilah homeless, perlu memahami konsepsi kemiskinan. Kemiskinan merupakan kondisi absolut atau relatif yang menyebabkan seseorang atau kelompok masyarakat dalam suatu wilayah tidak mempunyai kemampuan atau mencukupi kebutuhan dasarnya sesuai dengan tata nilai atau norma tertentu yang berlaku di dalam masyarakat. Secara sosiologis sebab-sebab timbulnya masalah ini adalah karena salah satu lembaga kemasyarakatan tidak berfungsi dengan baik yaitu lembaga kemasyarakatan di bidang ekonomi (Soekanto, 2009: 320). Di Jepang, pandangan masyarakat mengenai kemiskinan, khususnya masalah homeless masih dangkal. Maka dari itu penulis menggunakan teori sosiologi, kesejahteraan sosial dan konsep homeless untuk meneliti tentang masalah Homeless. Selain itu untuk menjelaskan latar belakang terjadinya Homeless, penulis akan menggunakan teori historis.

(22)

Kesejahteraan sosial menurut Segal dan Brzuzy dalam Suud (2006: 5) menyatakan bahwa kesejahteraan sosial adalah kondisi sejahtera dari suatu masyarakat. Kesejaahteraan sosial meliputi kesehatan, keadaan ekonomi, kebahagiaan, dan kualitas hidup rakyat. Sedangkan menurut Wickeden dalam Suud (2006: 8) mengatakan bahwa kesejahteraan sosial adalah suatu sistem peraturan, program-program, kebaikan-kebaikan, pelayanan-pelayanan yang memperkuat atau menjamin penyediaan pertolongan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan sosial yang diakui sebagai dasar bagi penduduk dan keteraturan sosial. Teori ini berhubungan dengan sistem kesejahteraan sosial bagi para homeless di Jepang yaitu perlindungan hidup kepada masyarakat Jepang.

Ada beberapa konsep atau definisi Homeless menurut ahli, yaitu menurut Iwata (1995: 55), homeless umumnya diartikan sebagai “furousha” atau orang-orang yang tinggal di tempat-tempat umum seperti taman, bantaran sungai, di pinggir jalan dan stasiun.

Pada tahun 2002, pemerintah Jepang melalui Departemen Kesejahteraan, Kesehatan, dan Buruh, menetapkan definisi Homeless sebagai berikut dalam Sitorus (2008: 28):

,都 園 ,河川 , 路 ,駅舎 ,

,施設 ,故 ,起居 ,場所

(23)

,営 い ,者 ホーム ス ,自立 ,支援 ,関

,特別措置法

Artinya, orang-orang yang hidup dalam kondisi darurat atau memprihatinkan yang tinggal di taman-taman kota, bantaran sungai, jalanan, sekitar stasiun dan tempat-tempat umum lainnya. (Aturan tindakan khusus menyangkut bantuan untuk membuat para homeless bisa hidup mandiri).

Konsep homeless ini berhubungan dengan bagaimana yang dikatakan homeless sesungguhnya yang akan di jelaskan dalam definisi homeless.

Penulis juga menggunakan pendekatan historis , yaitu kajian logik terhadap peristiwa-peristiwa setelah peristiwa itu terjadi. Menurut Abdulgani (2014: id.m.wikipedia.org/wiki/sejarah) ilmu sejarah adalah salah satu cabang ilmu yang meneliti dan menyelidiki secara sistematis keseluruhan perkembangan masyarakat serta kemanusiaan di masa lampau beserta kejadian-kejadian dengan maksud untuk kemudian menilai secara kritis seluruh hasil penelitian tersebut, untuk selanjutnya dijadikan perbendaharaan pedoman bagi penilaian dan penentuan keadaan sekarang serta arah proses masa depan. Penulis menggunakan pendekatan ini untuk mengetahui peristiwa-peristiwa yang melatarbelakangi munculnya homeless di Jepang.

Jadi penulis menggunakan teori sosiologis, kesejahteraan sosial, konsep homeless serta teori historis untuk mejawab hal-hal yang melatarbelakangi terjadinya

(24)

Jepang, karena masalah homeless adalah salah satu bentuk masalah kesejahteraan dan kemiskinan yang terjadi di masyarakat.

1.5Tujuan dan Manfaat Penelitian

Sesuai dengan pokok permasalahan sebagaimana yang telah dikemukakan sebelumnya, maka tujuan penelitian ini, sebagai berikut :

1. Tujuan Penelitian

Dalam penulisan skripsi ini, penulis memiliki tujuan sebagai berikut: 1. Untuk mengetahui latar belakang terjadinya Homeless.

2. Untuk mengetahui dampak yang ditimbulkan oleh Homeless terhadap kehidupan sosial masyarakat Jepang.

2. Manfaat Penelitian

Berdasarkan tujuan penelitian, hasilnya diharapkan memberi manfaat bagi pihak-pihak tertentu, antara lain :

1. Bagi peneliti sendiri diharapakan dapat menambah wawasan dan pengetahuan tentang Homeless.

(25)

3. Bagi para pembaca, penelitian ini juga dapat dijadikan sumber ide dan tambahan informasi bagi peneliti selanjutnya yang ingin meneliti Homeless lebih jauh.

1.6 Metode Penelitian

Meode adalah alat untuk mencapai tujuan dari suatu kegiatan. Dalam melakukan penelitian, sangat diperlukan metode-metode untuk menunjang keberhasilan tulisanyang akan disampaikan penulis kepada para pembaca. Untuk itu, dalam melakukan penelitian ini, penulis menggunakan metode deskriptif. Menurut Koentjaraningrat (1976: 30), penelitian yang bersifat deskriptif yaitu memberikan gambaran yang secermat mungkin mengenai suatu individu, keadaan, gejala, atau kelompok tertentu. Oleh karena itu, data-data yang diperoleh dikumpulkan, disusum, diklasifikasikan, sekaligus dikaji dan kemudian diinterpretasikan dengan tetap mengacu pada sumber data dan informasi yang ada.

Dalam mengumpulkan data-data penelitian ini, penulis menggunakan teknik studi kepustakaan, dengan mengambil acuan dari berbagai buku yang berkaitan dengan masyarakat, masalah sosial dan lain-lain.

(26)

BAB II

TINJAUAN UMUM TERHADAP HOMELESS

2.1 Definisi Homeless

Istilah homuresu berasal dari bahasa Inggris, yaitu homeless, yang artinya tidak memiliki rumah, atau tidak mempunyai tempat tinggal yang tetap. Sedangkan dalam bahasa Indonesia kita lebih mengenal dengan istilah tunawisma.

Pada masa sebelum perang dan sesaat setelah perang, istilah homuresu belum dipakai oleh masyarakat Jepang. Saat itu istilah yang sering digunakan untuk

menyebut kaum homeless adalah furosha (浮 浪 者). Furosha sendiri berarti

gelandangan atau tunawisma, tetapi sebenarnya secara tidak langsung memiliki makna „kehilangan keluarga dan relasi sosial‟.

Pada masa sebelum perang definisi homeless di kemukakan oleh Yokoyama dan diterjemahkan oleh Gill (2001: 15) sebagai berikut:

To poor people who cannot afford a house, a single tatami mat in a flop house

(27)

Artinya adalah, bahwa homeless di Jepang adalah orang-orang yang tidak mampu memiliki rumah sehingga menggelar satu tikar tatami sebagai gantinya.

Sementara itu, pada zaman Tokugawa istilah yang digunakan untuk menyebut

homeless adalah yadonashi (宿無 ), dan mushuku (無宿) yang secara harfiah kedua

istilah tersebut memiliki arti „tidak memiliki rumah tempat tinggal‟.

Namun, saat ini masyarakat Jepang lebih sering menggunakan istilah serapan homuresu untuk menyebut homeless.

Istilah homeresu mulai dipublikasikan ke dalam media-media Jepang pada awal tahun 1990-an oleh dua perusahaan media terbesar di Jepang, yaitu Yomiuri dan Asahi Groups. Istilah homuresu telah menjadi suatu isu sosial yang sedang hangat diperbincangkan karena Jepang sedang mengalami stagnasi ekonomi. Pada tahun 1960 sampai awal tahun 1990, keberadaan para homeless di Jepang tidak tampak ke permukaan dan cenderung diabaikan eksistensinya. Akan tetapi, setelah tahun 1990 keberadaan homeless telah tampak nyata terlihat dalam masyarakat Jepang. Oleh sebab itu, untuk memberikan konotasi yang berbeda, media-media di Jepang mulai menggunakan istilah homuresu (Sitorus, 2008: 26). Selain menggunakan istilah homuresu, ada beberapa istilah lain yang dipakai oleh masyarakat Jepang untuk

menyebut kaum homeless, yaitu rojouseikatsusha (路 生活者) dan nojukusha (野宿

(28)

orang-orang Tokyo, sedangkan nojukusha (野宿者) adalah sebutan yang dipakai oleh

orang-orang Osaka (Sitorus, 2008: 27).

Untuk lebih mengetahui pengertian homeless itu sendiri, berikut beberapa definisi homeless menurut ahli.

Menurut Kagita dalam Stephanie (2010: 20) yang dimaksud dengan homeless yaitu, orang-orang yang hidup dalam kondisi darurat yang tidur dengan menggelar tikar di taman, jalanan, stasiun, bantaran sungai, atau di tempat umum yang terbuka.

Selain itu, menurut sarjana kesejahteraan bernama Iwata Masami dalam Sitorus (2008, 28), mendefinisikan homeless sebagai berikut:

Homelessness as a condition of extreme poverty characterized by lack of

“conventional, regular housing”.

Artinya, suatu kondisi kemiskinan ekstrim yang dicirikan dengan ketidaklaziman tempat tinggal dan tidak mempunyai tempat tinggal tetap.

Dan menurut sekelompok penganjur perumahan untuk para homuresu dalam Hasegawa (2006: 147) mendefinisikan homeless sebagai berikut:

“those are without stable housing and living in places which cannot be called

housing” (Nihon Jutaku Kaigi 1987)

(29)

Pada tahun 2002, pemerintah Jepang melalui Departemen Kesejahteraan, Kesehatan, dan Buruh, menetapkan definisi Homeless sebagai berikut dalam Sitorus (2008: 28):

,都 園 ,河川 , 路 ,駅舎 ,

Artinya, orang-orang yang hidup dalam kondisi darurat atau memprihatinkan yang tinggal di taman-taman kota, bantaran sungai, jalanan, sekitar stasiun dan tempat-tempat umum lainnya. (Aturan tindakan khusus menyangkut bantuan untuk membuat para homeless bisa hidup mandiri)

Berdasarkan beberapa definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa seseorang disebut homeless jika mereka tidak memiliki tempat tinggal yang tetap dan juga layak disebut rumah.

(30)

2.2 Latar Belakang Terjadinya Homeless

Masalah homeless bukanlah masalah baru dalam masyarakat Jepang. Seiring dengan sejarah kemiskinan, fenomena homeless sebenarnya telah ada sejak awal peradaban manusia termasuk di Barat. Saat itu, orang-orang yang tidak memiliki rumah, hidup sebagai budak kaum kelas atas. Jadi, bisa dikatakan bahwa fenomena homeless telah lebih dahulu terjadi di Barat sebelum terjadi di Jepang. Orang-orang

miskin yang tinggal dan tidur di jalanan sesungguhnya saudah ada sebelum perang dunia kedua. Hanya saja jumlah mereka sedikit, sehingga tidak tampak ke permukaan.

2.2.1 Setelah Perang Dunia II

(31)

harian yang merupakan pekerja tidak tetap menjadi kelompok yang rentan terkena masalah homeless. Tapi di akhir tahun 1960-an masalah homeless mulai tidak terlihat.

2.2.2 Homeless dari Kaum Buruh Yoseba

Pada tahun 1970-an, meskipun para kaum homeless tetap ada, kebanyakan keberadaan mereka tidak terlihat dalam masyarakat Jepang karena keberadaan mereka merupakan fenomena sementara dan singkat serta terbatas hanya pada kaum

buruh harian yoseba. Yoseba (寄 場) adalah sebutan untuk tempat jasa bantuan

untuk menunggu lowongan pekerjaan dan losmen peristirahatan bagi para buruh harian (Iwata, 2007: 99). Kata yoseba pertama kali muncul pada tahun 1790 selama perang dunia kedua berlangsung dan dipakai untuk menyebut kemah para buruh kasar yang dibawa dari Korea, dan kemahnya dikelola oleh paara yakuza (Gill, 2001: 21-22). Sejak awal tahun 1970-an, yoseba telah menjadi tempat tinggal para buruh harian (Hasegawa, 2006:33). Para kaum yoseba mayoritas adalah buruh harian laki-laki dan pada umumnya bekerja di bidang konstruksi dan manufaktur, sehingga kesejahteraan kaum yoseba sangat tergantung pada perkembangan dan kesempatan kerja dalam industri ini. Selain itu, buruh harian di yoseba juga mayoritas orang tua yang rata-rata berusia 55 tahun. Kondisi ini telah menyebabkan jumlah homeless di kalangan kaum yoseba meningkat pada tahun 1990-an. Pada masa Jepang mengalami resesi ekonomi,

(32)

setelah krisis minyak. Sebelumnya 10% per tahun, sesudah krisis pertama menjadi 5% dan sesudah krisis kedua menjadi 3% (Ishinomori dalam Sitorus, 2008:33). Setelah krisis minyak tersebut, mereka cenderung menjadi homeless musiman, yaitu saat tidak ada pekerjaan mereka akhirnya menjadi homeless. Pekerjaan kaum yoseba berubah-ubah tergantung pada jadwal pemerintah memberikan proyek. Jadi, masalah homeless berubah-ubah tergantung pada kondisi. Inilah yang dimaksud dengan homeless musiman.

2.2.3 Homeless dari Pekerja Reguler dan Non Reguler

Pada tahun 1980-an, kaum homeless tidak tampak ke permukaaan karena yang mengalami homeless terbatas hanya di kalangan kaum buruh harian di yoseba yang tidak mendapatkan pekerjaan (homeless musiman). Tapi, memasuki tahun1990-an, para homeless sudah mulai terlihat karena jumlah buruh harian yang mengalami homeless semakin bertambah. Kemudian, pada akhir tahun 1990-an, jumlah homeless

semakin meningkat dengan semakin banyaknya komunitas homeless yang berasal dari kalangan pekerja regular dan non regular dalam perusahaan Jepang.

(33)

berdasarkan senioritas (nenkojoretsu) (Sitorus, 2008: 51). Akibatnya, perusahaan tidak dapat lagi memberikan jaminan bagi para pegawai supaya mereka dapat tetap bekerja dalam perusahaan dan tidak dapat lagi menikmati gaji yang lebih tinggi.

Dalam menghadapi krisis ekonomi, perusahaan menerapkan biaya produksi

rendah dengan lebih banyak mempekerjakan pekerja non regular (hiseishain 非正社

員) karena pekerja ini digaji dengan gaji yang relatif murah, jarang mendapatkan

promosi, bantuan (jaminan kerja, jaminan kesehatan, jaminan masa) dapat diabaikan, tidak diperlukan kontribusi asuransi sosial kepada pemerintah, dan mudah diberhentikan. Hal inilah yang membuat pekerja non regular rentan mengalami

homeless. Para pekerja regular (seishain • 正社員) juga tidak luput dari masalah

homeless. Para pekerja regular yang telah menjadi korban restrukturisasi sehingga

kehilangan pekerjaan, sangat susah mendapatkan kembali pekerjaan karena lowongan pekerjaan yang semakin sedikit. Pada akhirnya, para pekerja regular tersebut banyak yang menjadi buruh lepas atau buruh harian. Dan saat ini jumlah homeless di kota-kota besar seluruh Jepang mengalami peningkatan.

2.3 Penyebab Terjadinya Homeless

Muncul dan meningkatnya jumlah para homeless di Jepang cukup menarik perhatian, karena Jepang yang dikenal sebagai negara maju mengalami masalah

sosial seperti homeless yang biasanya identik dengan faktor ekonomi dan kemiskinan. Hal ini tentu disebabkan oleh beberapa faktor tertentu.

(34)

terjadinya homeless di Jepang:

1. Faktor Ekonomi

Ekonomi merupakan salah satu faktor terbesar yang memicu munculnya para homeless di Jepang. Akibat dari krisis ekonomi yang melanda Jepang, banyak

perusahaan yang bangkrut dan tidak dapat lagi memberikan jaminan bagi para pegawai supaya mereka dapat tetap bekerja dalam perusahaan dan memutuskan untuk restrukturisasi dan rasionalisasi jumlah pegawai. Maka dari itu banyak pegawai-pegawai perusahaan yang di PHK dan pada akhirnya menjadi pengangguran. Akibatnya mereka tidak dapat membayar uang sewa apartemen dan harus segera keluar, karena mereka tidak mempunyai tempat tinggal yang layak untuk tidur, mereka tidur di tempat-tempat umum seperti taman, stasiun, dan jalanan. Hal tersebut sesuai dengan konsep

homeless menurut Kagita dalam Stephanie (2010: 24), yaitu yang dikatakan sebagai

homeless adalah orang-orang yang hidup dalam kondisi darurat yang tidur dengan menggelar alas tidur di taman, jalanan, stasiun, bantaran sungai, atau di tempat umum yang terbuka. Lapangan pekerjaan yang sedikit, berkurangnya kesempatan kerja bagi para pekerja non- skill, dan kurangnya pendapatan juga menjadi penyebab munculnya para homeless di Jepang.

(35)

Kesejahteraan Jepang pada tahun 2007 dalam MHLW.

Grafik 1 Alasan Menjadi Homeless Tahun 2007

sumber: http://www.mhlw.go.jp/houdou/2007/04/dl/n0406-5f.pdf

Berdasarkan data statistik di atas alasan seseorang menjadi homeless adalah karena lapangan pekerjaan menurun sebanyak 31,40%, alasan karena perusahaan bangkrut atau pengangguran sebanyak 26.60 %, alasan karena sakit atau luka atau sudah terlalu tua sehingga tidak bisa bekerja sebanyak 21%, dan alasan karena pendapatan berkurang sebanyak 16.40%. Seperti data dari grafik di atas, bahwa memang faktor ekonomi sangat mempengaruhi kemunculan para homeless.

2. Faktor Terjerat Bunga Hutang atau Rentenir

(36)

dalam istilah Jepang dikenal dengan istilah yami kinyuu. Menjalani kehidupan di negara maju seperti Jepang yang mepunyai tingkat persaingan yang tinggi, pastilah berat terlebih lagi jika hidup di kota-kota besar. Karena itu, cukup banyak masyarakat yang meminjam uang kepada rentenir hingga akhirnya terjerat hutang demi memenuhi kebutuhannya dan meninggalkan kediaman

untuk melarikan diri (2014: http://ja.wikipedia.org/wiki

ホーム

).

3. Faktor Kondisi Kesehatan atau Fisik

Selain dari faktor ekonomi, faktor kondisi kesehatan atau fisik juga

merupakan salah satu faktor yang menyebabkan timbulnya masalah homeless di Jepang. Kondisi fisik atau tubuh yang lemah, sakit atau menderita luka juga menyebabkan seseorang menjadi homeless karena tidak dapat bekerja

untuk memenuhi kebutuhannya. Selain itu, kebanyakan orang-orang yang menjadi homeless adalah orang-orang yang sudah berusia lanjut, ketika

seseorang memasuki masa pensiunnya dan tidak dapat bekerja kembali menyebabkan dirinya tidak mempunyai penghasilan untuk membayar uang

sewa rumah dan secara terpaksa menjadi homeless.

4. Faktor Bencana Alam

Faktor bencana alam yang terjadi juga menjadi pemicu munculnya homeless di Jepang. Gempa bumi yang lalu diikuti tsunami yang melanda Jepang 11

(37)

penduduk yang terkena dampak bencana. Selain itu krisis energi listrik akan

dialami warga Jepang karana rusaknya PLTN Fukushima yang menyebabkan reaktor nuklir mengalami kebocoran dan saat ini bahaya radiasi telah

menyebar di sekitar areal PLTN Fukushima. Penduduk yang rumahnya rusak serta mereka yang masih tinggal di penampungan, membuat mereka

kehilangan mata pencarian untuk sementara waktu. Kehilangan pekerjaan sementara waktu dapat membuat seseorang menjadi homeless (2011:

arumsekartaji.wordpress.com).

5. Faktor Sosial

Selain faktor ekonomi seperti yang telah disebutkan di atas, terdapat pula faktor sosial yang menyebabkan seseoraang menjadi homeless, seperti perceraian. Dengan adanya kasus perceraian, hal itu membuat seseorang tidak mempunyai tempat tinggal. Atau karena melarikan diri dari tindakan kekerasan dalam rumah tangga, mantan pasangan yang menguntit dan mencari untuk kembali bersama-sama, itu adalah situasi yang tidak aman sehingga

lebih memilih menjadi homeless (2014: http://ja.wikipedia.org/wiki

ホーム

).

6. Faktor Mental atau Permasalahan Individu

Faktor mental dan permasalahan individu juga merupakan salah satu

(38)

maniak bermain pachinko, ketergantungan pada alkohol atau karena

orangnya memang malas bekerja (2012: mbantoelpoenya.wordpress.com). Karena hal tersebut, membuat mereka tidak memiliki uang dan akhirnya

menjadi homeless.

2.4 Jumlah Homeless

Jumlah homeless di Jepang meningkat drastis dalam kurun waktu sepuluh tahun terakhir. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Departemen

Kesejahteraan, Kesehatan, dan Buruh Jepang, pada tahun 2003 terdapat 25.296 orang homeless di Jepang (Sitorus, 2008: 34). Jumlah tersebut merupakan jumlah

terbanyak dari penelitian yang pernah dilakukan.

Tabel 1 Jumlah Homeless di Jepang

Tahun 1999 Tahun 2001 Tahun 2003

Seluruh Jepang 20.451 24.090 25.296

Tokyo 5.800 5.600 5.927

(39)

Nagoya 1.019 1.318 1.788

Yokohama 794 602 470

Kawasaki 901 901 829

Kyoto 300 492 624

Kobe 335 341 323

Fukuoka 269 341 607

Kita Kyushu 166 197 421

Hiroshima 115 207 156

Sapporo 43 68 83

Sendai 111 131 203

(40)

Tabel 2 全国 ホーム ス数 ( Jumlah Homeless di Seluruh Negeri)

Sumber:http://www.mhlw.go.jp/stf/houdou/2r985200000191qr-att/2r985200000191uk.pdf

(41)

Tabel 3 Jumlah Homeless di Jepang

2003 2007 2009 2010 2011 2012

25,296 18,564 15,759 13,124 10,890 9,576 Sumber: http://mbantoelpoenya.wordpress.com/tag/homeless-di-jepang/

Grafik 2 全国 ホーム ス 分 状況 (Situasi Penyebaran Homeless di

(42)

Sumber:http://www.mhlw.go.jp/stf/houdou/2r985200000191qr-att/2r985200000191uk.pdf

Grafik di atas menjelaskan bahwa jumlah homeless di seluruh negeri pada tahun 2011 sebanyak 10.890 orang (451 distrik dan desa). Di ibukota Tokyo yaitu 23 distrik sebanyak 2.396 orang atau 22%. Di kota yang ditunjuk pemerintah yaitu 19 kota sebanyak 5.298 orang atau 48,7%. Dan pada kota inti yaitu 40 kota, jumlah homeless sebanyak 764 orang atau 7,0%. Selain itu di 369 distrik dan desa terdapat 2.432 orang atau 22,3%.

Tabel 4 都 府県別 ホーム ス数 ( Jumlah Homeless berdasarkan kota atau

(43)

Sumber:http://www.mhlw.go.jp/stf/houdou/2r985200000191qr-att/2r985200000191uk.pdf

(44)

Tabel 5 Jumlah Homeless di Daerah yang ditunjuk Pemerintah dan 23 Distrik di

Ibukota Tokyo

Sumber:http://www.mhlw.go.jp/stf/houdou/2r985200000191qr-att/2r985200000191uk.pdf

(45)

Tabel 6 中核 別 ホーム ス数 (Jumlah Homeless di DaerahInti)

Sumber:http://www.mhlw.go.jp/stf/houdou/2r985200000191qr-att/2r985200000191uk.pdf

Tentang situasi di daerah inti, berjumlah 764 jiwa menduduki 7% dari jumlah homeless di seluruh negeri. Jika dibandingkan dengan penelitian tahun lali, berkurang

sebanyak 182 jiwa atau 19,2%. Mengenai pengurangan jumlah homeless di masing-masing daerah, urutan pengurangan terbanyak adalah di Osaka Timur berkurang sebanyak 30 jiwa, Kumamoto berkurang 25 jiwa, Nishimiya berkurang 23 jiwa.

(46)

Sumber:http://www.mhlw.go.jp/stf/houdou/2r985200000191qr-att/2r985200000191uk.pdf

Tentang kondisi tempat-tempat homeless, masing-masing fasilitas jumlahnya berkurang. Persentase masing-masing fasilitas tidak terlihat perubahan yang besar sejak tahun lalu.

Grafik 3場所別 ホーム ス数 ( Jumlah Homeless di Berbagai Tempat

(47)

Sumber:http://www.mhlw.go.jp/stf/houdou/2r985200000191qr-att/2r985200000191uk.pdf

Grafik 4 Persentase Jumlah Homeless di Berbagai Tempat Umum

Sumber:http://www.mhlw.go.jp/stf/houdou/2r985200000191qr-att/2r985200000191uk.pdf

Berikut ini adalah data jumlah homeless di Jepang pada tahun 2012.

(48)

Pria Wanita Tidak Diketahui

8.933 304 339

Sumber: http://mbantoelpoenya.wordpress.com/tag/homeless-di-jepang/

Dari data di atas dapat diketahui bahwa jumlah homeless pria lebih banyak dari pada homeless wanita.

Tabel 9 Jumlah Homeless di Tempat-Tempat Umum

Taman Kota

Sekitar

Sungai Jalan Stasiun Tempat Lain

2,587 2,851 1,677 461 2,000

Sumber:http://mbantoelpoenya.wordpress.com/tag/homeless-di-jepang/

Tabel 10 Jumlah Homeless di Beberapa Kota Besar

Tokyo Osaka Nagoya Yokohama Lainnya

2,134 2,179 347 609 4,307

Sumber: http://mbantoelpoenya.wordpress.com/tag/homeless-di-jepang/

(49)

BAB III

DAMPAK DAN PENANGANAN HOMELESS DALAM KEHIDUPAN SOSIAL

(50)

3.1 Dampak Homeless

Negara maju seperti Jepang juga tidak luput dari masalah sosial seperti masalah homeless. Hal ini cukup menjadi perhatian bagi masyarakat maupun pemerintah Jepang. Karena masalah homeless memiliki dampak terhadap homeless itu sendiri, keluarga, masyarakat, maupun pemerintah. Adapun dampak-dampak tersebut adalah:

3.1.1 Diri Sendiri

Hidup sebagai homeless tentu sangat berat, hal itu juga banyak menimbulkan dampak-dampak negatif, tidak hanya terhadap orang lain tapi juga terhadap diri mereka sendiri. Hidup di jalan membuat para homeless lebih rentan terhadap berbagai ancaman. Seperti yang telah diungkapkan oleh National Law Center on Homelessness & Poverty bahwa selama dekade terakhir, telah terjadi lebih dari 600 serangan terhadap para homeless. Para homeless secara brutal diserang dengan tongkat baseball, rantai dan senjata lainnya. Selain itu homeless wanita telah diperkosa (http://money.howstuffworks.com/homeless4.htm).

Seperti kasus di Akabane Tokyo, Kita-ku ditemukan seorang tunawisma/ homeless laki-laki yang terluka parah karena luka bakar. Selain itu ada juga kasus

pembunuhan antar sesama homeless itu sendiri, alasannya biasanya karena masalah uang atau masalah berebut tempat tinggal. Dan banyak juga yang ditemukan tewas

(51)

ム ス). Selain kasus kekerasan atau pembunuhan, para homeless juga rentan

terkena berbagai macam penyakit. Hal ini disebabkan karena kehidupan mereka yang tidak teratur dan tidak memperhatikan perilaku hidup bersih. Tunawisma dewasa beresiko lebih besar untuk kondisi kesehatan yang serius. Kondisi hidup yang tidak sehat dapat menyebabkan radang, borok kaki, dan infeksi saluran pernafasan. Penyakit serius seperti HIV/AIDS, diabetes dan TBC lebih sering terjadi pada para homelessdari pada populasi umum (http://money.howstuffworks.com/homeless4.htm).

Dampak yang mereka terima tidak sampai disitu saja, status kewarganegaraan juga menjadi masalah yang mereka hadapi. Karena mereka memutuskan untuk menjadi homelesss, tentu mereka tidak mempunyai alamat yang tetap sehingga kartu penduduk mereka dihapus. Hal ini tentu sangat merugikan setelah kartu penduduk dihapus, mereka akan kehilangan hak pilih, tidak dapat membuat SIM karena sebagian besar prosedur administratif yang diperlukan tidak dapat diterima secara

substansial (2014: http://ja.m.wikipedia.org/wiki/ホ ー ム ス). Selain itu mereka

yang tidak punya KTP tidak dapat menerima asuransi pengangguran maupun program perlindungan hidup (Sitorus, 2008: .57). Tidak hanya KTP yang dihapus, bahkan mereka dihapus dari kartu keluarga karena mereka hilang selama

bertahun-tahun (2014: http://ja.m.wikipedia.org/wiki/ホーム ス).

(52)

Karena berbagai faktor yang menyebabkan seseorang menjadi homeless misalnya saja faktor ekonomi, hal ini membuat hubungan dengan keluarga menjadi tidak baik. Banyak yang memilih untuk bercerai, sang suami memutuskan menjadi homeless dan sang istri kembali ke keluarganya atau berjuang sendiri untuk mengurus

anak-anaknya. Tapi ada juga ibu yang sudah tidak sanggup untuk merawat anaknya sehingga harus menempatkan anak-anaknya ke kerabat lainnya. Atau membawanya ke tempat penampungan, tapi ada beberapa penampungan yang tidak akan mengambil

anak laki-laki (2014: http://ja.m.wikipedia.org/wiki/ホーム ス)..

Menjadi homeless sangat mengerikan bagi anak-anak. Anak-anak homeless akan rentan mengalami masalah seperti depresi, cemas, menarik diri dari lingkungan, dan lebih mengalami kesulitan di sekolah dari pada rekan-rekan mereka. Atau bahkan mereka tidak akan mampu bersekolah lagi karena mengalami kesulitan keuangan

((2014: http://ja.m.wikipedia.org/wiki/ホーム ス).

3.1.3 Masyarakat

(53)

kebakaran, keindahan, pencemaran lingkungan dan masalah sosial lainnnya (2012: http://mbantoelpoenya.wordpress.com). Maka dari itu masyarakat merasa terganggu akan hadirnya para homeless tersebut karena membuat lingkungan mereka tidak nyaman.

Pada akhirnya masalah homeless ini menimbulkan pandangan dalam masyarakat terhadap para homeless tersebut. Mereka menganggap bahwa homeless itu menakutkan, kotor, malas, berpenyakit, menyedihkan dan lain sebagainya (Ernawati, 2009: 38). Karena hal itu akibatnya membuat masyarakat tidak nyaman jika ada para homeless.

3.1.4 Pemerintah

Jumlah homeless yang cukup banyak dan tersebar di berbagai daerah di Jepang mebuat pemerintah menaruh perhatian kepada masalah sosial ini. Dampak yang ditimbulkan akibat masalah homeless ini terhadap berbagai aspek diatas saling berkesinambungan satu sama lain. Maksudnya ialah jika homeless ini menibulkan suatu masalah atau dampak terhadap diri mereka sendiri itu juga berarti berdampak kepada pemerintah. Atau dampak yang ditimbulkan terhadap masyarakat lainnya juga merupakan masalah bagi pemerintah. Karena apa yang terjadi ditengah-tengah masyarakat adalah tanggung jawab pemerintah.

(54)

yang datang ke Jepang merasa tidak nyaman sehingga menimbulkan masalah bagi pemerintah. Maka dari itu pemerintah berusaha untuk mengatasi masalah homeless ini.

3.2 Upaya Penanganan Homeless

Masalah ekonomi yang dialami Jepang membuat banyak perusahaan-perusahaan yang mengalami kebangkrutan sehingga harus melakukan PHK kepada karyawan-karyawannya. Hal ini menyebabkan masalah lainnya muncul, salah satunya adalah masalah sosial seperti homeless. Akibat dari resesi ekonomi pertumbuhan homeless semakin meningkat. Pertumbuhan homeless ini menandai kurangnya tingkat

kesejahteraan sosial dalam masyarakat Jepang karena seseorang atau kelompok yang menjadi masyarakat negara Jepang tidak berada dalam kondisi sejahtera yang meliputi kesehatan maupun keadaan ekonomi (Stephanie, 2010: 28). Hal ini tentu tidak dapat dibiarkan begitu saja, oleh karena itu para homeless membutuhkan bantuan untuk mendukung dan membantu mereka agar mendapat kehidupan yang layak. Berikut ini adalah beberapa bentuk bantuan yang diberikan kepada para homeless.

(55)

Masalah homeless menjadi masalah yang cukup menarik perhatian dan memprihatinkan. Maka dari itu, sebagian masyarakat yang perduli kepada para homeless ikut bergabung kedalam organisasi sosial yang mendukung para homeless

tersebut. Yayasan sosial banyak yang menjalankan pola seperti mendidik dan menyiapkan homeless kemudian menjembatani homeless tersebut dengan perusahaan agar mendapatkan pekerjaan. Sekolah atau kampus juga ada yang membentuk ekstrakurikuler yang tujuannya mengumpulkan dana, pakaian dan sebagainya untuk disumbangkan ke para homeless. Sukarelawan juga aktif misalnya ada yang membuat majalah lowongan pekerjaan khusus untuk homeless. Gereja juga ada yang berpartisipasi dengan membagi sembako dan pakaian (2012: mbantoelpoenya.wordpress.com). Hal ini dilakukan untuk membantu kemandirian para homeless serta mengurangi pertumbuhan homeless di Jepang.

3.2.3 Negara atau Pemerintah

(56)

Sochiho”. Undang-undang ini terdiri dari empat belas bab dengan lima hal penting yaitu: pertama, pemerintah menyadari bahwa banyak orang yang menjadi homeless bukan karena kesalahan mereka sendiri tetapi disebabkan oleh pergeseran yang terjadi dengan masyarakat setempat. Kedua, undang-undang ini diatur dengan mengambil tindakan yang mengacu pada penyediaan tempat tinggal dan pekerjaan tetap bagi para homeless dan resikonya menjadi homeless untuk memberikan kesempatan kepada mereka untuk memperahankan haknya dan mendapat dana jaminan yang cukup. Ketiga, orang yang bertugas di taman-taman dan di tempat-tempat umum diberi kuasa untuk menghilangkan tempat-tempat tinggal para homeless, namun petugas tersebut tidak diperkenankan merampas fasilitas mereka. Kunci yang keempat adalah pemerintah menyanggupi untuk melakukan sensus nasional populasi homeless. Yang terakhir, yang kelima adalah penetapan undang-undang ini hanya

bersifat sementara dan akan diperiksa kembali setelah sepuluh tahun.

Pemerintah membuat tiga program khusus yaitu konseling, shelter dan jiritsu shien senta atau pusat bantuan kemandirian untuk homeless untuk memfokuskan program bantuannya. Yang pertama adalah program konseling. Konseling ini dilakukan pemerintah untuk mendapatkan jawaban dari kebutuhan-kebutuhan para homeless agara dapat mengambil langkah selanjutnya. Program konseling ini merupakan pelaksanaan dari undang-undang Homuresu no Jiritsu Shien Nado ni Kansuru Tokubetsu Sochiho pasal 8 ayat 2.1 yang isinya adalah sebagai berikut:

,基本方針 ,次 ,掲 , 項

(57)

一 ,ホ ー ,ム ス ,就業

2 Kebijaksanaan dasar dilakukan untuk memberikan bantuan mengenai kebutuhan pada bagian selanjutnya

1 Jaminan kesempatan bekerja homeless, jaminan tempat tinggal yang tetap, jaminan kesehatan dan pemeriksaan kesehatan, dan konseling dan bimbingan terhadap kehidupan homeless (Stephanie, 2010: 38).

Yang kedua adalah, berdasarkan undang-undang Homuresu no Jiritsu Shien Nado ni Kansuru Tokubetsu Sochiho yaitu pasal 8 ayat 2 yang diaplikasikan dalam Homuresu no Jiritsu Shien Nado ni Kansuru Kihon Houshin pasal 3 ayat 6.u, seorang

homeless harus mendapatkan tempat tinggal yang aman untuk tidur dengan jangka waktu tertentu. Berikut ini adalah isi dari Homuresu no Jiritsu Shien Nado ni Kansuru Kihon Houshin pasal 3 ayat 6.u (Stephanie, 2010: 42):

(58)

Terjemahan:

Di bawah situasi ekonomi yang ketat sekarang ini, karena turunnya lapangan pekerjaan, pendapatan menurun dan lain-lain, karena yang tinggal di tempat peristirahatan adalah orang yang hidup susah dan tadinya tidur di luar, direncanakan tempat tinggal yang aman seperti shelter.

Berdasarkan pasal diatas pemerintah mendirikan shelter atau tempat perlindungan bagi para homeless. Shelter merupakan tempat tinggal sementara bagi para homeless sampai mereka mendapatkan pekerjaan. Shelter ini didirikan di setiap kota di Jepang, dan kebanyakan didirikan dekat dengan tempat para buruh harian berkumpul atau yang biasa disebut yoseba. Shelter ini memiliki program bagi para homeless seperti mengadakan pemeriksaan kesehatan, konseling tentang pekerjaaan,

dan penyediaan lowongan kerja. Hal ini dilakukan agar mereka dapat mempunyai penghasilan sendiri dan tidak menjadi homeless lagi.

Yang terakhir, selain program konseling dan shelter ada juga program pusat bantuan kemandirian untuk homeless yang biasa disebut jiritsu shien senta. Program ini sebagai pelaksanaan dari undang-undang Homuresu no Jiritsu Shien Nado ni Kansuru Tokubetsu Sochiho yaitu pasal 8 ayat 2 yang diaplikasikan dalam Homuresu

no Jiritsu no Shien Nado ni Kansuru Kihon Houshin pasal 3 ayat 5.a.a seorang

(59)

(

Proyek bantuan kemandirian, proyek bantuan kemandirian, terhadap penggunaan Jiritsu Shien Senta memberikan bantuan tempat untuk tidur dan makanan dan lain-lain bersama dengan penawaran pelayanan penting kehidupan sehari-hari dan pelayanan diagnosis kesehatan serta secara aktif bekerja.

Program ini dibuat agar para homeless dapat menjalankan hidup dengan mandiri. Para homeless yang dikumpulkan dari jalanan diperiksa kesehatan dan kebersihannya, kemudian diberikan motivasi untuk menghargai diri mereka dan dibantu untuk dapat kembali ke kehidupan yang normal. Mereka diberikan jangka waktu kurang lebih enam bulan, mendapatkan makanan satu hari sekali, konsultasi kesehatan, dan konseling pekerjaan. Layanan ini bisa mereka dapatkan di setiap daerah di Jepang dengan peraturan yang berbeda di setiap daerah. Contohnya di daerah Osaka tepatnya Nishinari Jiritsu Shien Senta ( Nishinari JSS), Nishinari JSS ini mempunyai 80 tempat tidur dan pekerja 24 jam (full timer) di delapan

(60)

pesawat dan dokter datang memeriksa kesehatan para homeless (Stephanie, 2010: 46-47).

Grafik 5 Statistik Jumlah Homelesss yang Mengikuti Program Bantuan 2003

Sumber :http://www.mhlw.go.jp/bunya/seikatsuhogo/homeless08/pdf/data.pdf Dari grafik diatas dapat di simpulkan bahwa sebanyak 38.90% homless mengikuti program bantuan jiritsu shien senta. Sebanyak 38,70% para homeless mengikuti program bantuan pemerintah berupa shelter. Sedangkan yang mengikuti program konseling sebanyak 33,10%.

Selain program undang-undang yang telah disebutkan di atas, pemerintah juga melakukan langkah-langkah tindakan guna mengurangi dan menghindari pertumbuhan homeless. Berikut ini merupakan serangkaian kebijakan yang dibuat oleh pemerintah lokal Tokyo dan pemerintah Jepang dari tahun 1990-an dalam merespon masalah homeless di Jepang (Sitorus, 2008: 59-60):

(61)

untuk para buruh harian San‟ya.

1993 : Pada bulan Desember, TMG meminta kepada manajer Kesejahteraan untuk mengakannya konferensi dan bertemu dengan para homeless.

1999 : Pada bulan Februari pemerintah pusat membentuk Konferensi Liaison untuk masalah homeless, dan pada bulan Mei mengumumkan “ Tindakan Secepatnya untuk Menangani Masalah Homeless,” yang berpusat pada pusat-pusat tunjangan makanan. Pada bulan Juli, Departemen Kesejahteraan membentuk workshop mengenai tunjangan makanan untuk para homeless untuk mempelajari kebijaksanaan dan gejala-gejala homeless.

2003 : Pada bulan Januari-Februari, diadakan penelitian di seluruh Jepang sebagai aksi bantuan untuk para homeless. Kemudian pada bulan Juli, pemerintah mengumumkan kebijakan nasional untuk masalah sosial ini. Berikut ringkasannya:

1. Pekerjaan (aktivitas advokasi dengan para penyedia lapangan pekerjaan; penyediaan informasi pekerjaan dan konseling; proyek pengenalan pekerjaan percobaan; job training; dan promosi keterlibatan organisasi swasta).

2. Tempat tinggal (alokasi perumahan umum untuk para homeless dengan jumlah yang lebih banyak; penyediaan informasi mengenai rumah swasta yang disewakan dan perusahaan-perusahaan penjamin).

(62)

4. Konsultasi dan pengajaran (pengadaan konseling dan jaringan pengajaran fasilitas kesejahteraan; konseling ke jalanan dan penyerahan ke pusat pelayanan yang tersedia).

5. Proyek bantuan makanan dan proyek lain untuk memenuhi kebutuhan individu, seperti penampungan sementara, makanan, pemeriksaan medis, dan konseling pekerjaan dan pengaturan hidup sehari-hari).

6. Bantuan ke tempat-tempat yang banyak terdapat homeless (penyediaan penampungan dan konseling pekerjaan; pelatihan kemampuan dan pekerjaan percobaan untuk para buruh harian; konseling ke jalanan dan penyerahan ke pusat pelayanan yang tersedia).

7. Langkah emergensi dan perlindungan hidup (kesejahteraan bagi individu yang membutuhkan perawatan medis secepatnya).

8. Perlindungan hak asasi manusia.

9. Perbaikan lingkungan (patroli dan pengambilalihan taman dan tempat-tempat publik lainnya).

10. Keamanan lingkungan (bantuan patroli dan kepolisian). 11. Kerjasama dengan organisasi swasta

12. Lain-lain

Semua kebijakan-kebijakan di atas merupakan usaha pemerintah untuk memberikan para homeless pekerjaan sehingga mereka bisa memiliki pendapatan sendiri dan tidak kembali menjadi homeless lagi. Dan tentu saja untuk menekan angka pertumbuhan homeless di Jepang.

(63)

4.1 Kesimpulan

1. Istilah homuresu berasal dari bahasa Inggris yaitu homeless yang artinya tidak memiliki rumah. Tapi masyarakat Jepang dahulu menyebutnya furosha yang berarti gelandangan atau tunawisma. Istilah homuresu mulai dipublikasikan kedalam media-media Jepang pada awal tahun 1990-an oleh dua perusahaan media terbesar di Jepang yaitu, Yomiuri dan Asahi Groups.

2. Masalah homeless bukanlah masalah baru dalam masyarakat Jepang. Pertumbuhan homeless pertama kali meningkat pada tahun 1960-an setelah perang dunia II. Homeless muncul akibat resesi ekonomi yang melanda Jepang. Para homeless tersebut berasal dari kaum buruh yoseba, para pekerja reguler dan non reguler.

3. Penyebab munculnya homeless disebabkan oleh beberapa faktor yaitu, faktor ekonomi, faktor terjerat bunga hutang atau rentenir, faktor kondisi kesehatan atau fisik, faktor bencana alam, faktor sosial dan faktor mental atau permasalahan individu. Faktor ekonomi merupakan salah satu faktor terbesar yang menyebabkan munculnya homeless.

(64)

menempati ruang-ruang publik seperti, taman kota, stasiun, bantaran sungai, jalanan dan lain-lain.

5. Masalah sosial seperti homeless ini menimbulkan beberapa dampak terhadap homeless itu sendiri, keluarga, masyarakat dan pemerintah. Dampak terhadap

diri mereka sendiri yaitu, mereka rentan mengalami tindakan kekerasan, pembunuhan dan berbagai macam penyakit. Sedangkan terhadap keluarga yaitu, mereka mengalami perceraian, terpisah dari anak-anak, anak-anak mereka juga mengalami depresi, cemas, menarik diri dari lingkungan dan lain-lain. Kemudian bagi pemerintah sendiri tentu menjadi beban dan semakin menambah masalah yang harus segera mereka atasi.

6. Berbagai cara dilakukan untuk mengatasi masalah homeless ini. Pemerintah membuat undang-undang Homuresu no Jiritsu Shien Nado ni Kansuru Tokubetsu Sochihou (undang-undang khusus untuk mendukung kemandirian para homeless). Pemerintah juga membuat program konseling, shelter dan jiritsu shien senta untuk membantu para homeless. Bantuan juga datang dari kalangan masyarakat, yayasan sosial, sekolah, gereja dan lain-lain.

4.2 Saran

(65)

seperti mencari pekerjaan part time, jangan terburu-buru untuk meminjam uang ke rentenir karena itu akan menambah masalah.

2. Untuk orang-orang tua yang memang sudah tidak dapat bekerja lagi sebaiknya menghubungi keluarga yang lain atau bisa tinggal di panti jompo untuk mendapatkan kehidupan yang lebih layak.

3. Bagi masyarakat lainnya jangan menganggap sebelah mata para homeless, sebaliknya para homeless itu harus dibantu agar bisa hidup mandiri.

(66)

DAFTAR PUSTAKA

Bahan Buku

Ernawati. 2009. Suatu Kajian Mengenai Aspek Kehidupan Homeless di Jepang. Jurnal Volume 01/ no 00. Jakarta: Universitas Al Azhar Indonesia

Gill, Tom. 2001. Men of Uncertainty- The Social Organization of Day Laborers in Contemporary Japan. State University of New York

Hasegawa, Miki. 2006. We are Not Garbage! The Homeless Movement in Tokyo, 1994-2002. New York: Routledge

Iwata, Masami. 1995. Sengo Shakai Fukushi no Tenkai to Dai-Toshi Sai-teihen (The Development of POSTWAR Social Welfare and The Down-and-Out in Big

Cities). Kyoto: Minerva

ata asami. . endai no inkon- kingupu -Homuresu-Seikatsuhogo.

Tokyo

Koentjaraningrat. 1976. Metode Penelitian Masyarakat. Yogyakarta: Gajahmada University Press

Sitorus, Santi. 2008. Homeless Sebagai Salah Satu Bentuk Kemiskinan Struktural. Skripsi Sarjana. Jakarta

(67)

Soekanto, Soerjono. 2009. Sosiologi Sebagai Pengantar. Jakarta: Rajawali Pers

Soetomo. 2008. Masalah Sosial dan Upaya Pemecahannya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Stephanie, Iswinda. 2010. Analisis Program Bantuan Pemerintah Terhadap Menurunnya Jumlah Homeless di Jepang Tahun 2007. Skripsi Sarjana.

Jakarta

Suud, Mohammad. 2006. 3 Orientasi Kesejahteraan Sosial. Jakarta: Prestasi Pustaka Publisher

Upe, Ambo. 2010. Tradisi Aliran dalam Sosiologi: dari Filosofi Positivistik ke Positivistik. Jakarta: Rajawali Pers

Waluya, Bagja. 2007. Sosiologi: Menyelami Fenomena Sosial di Masyarakat. Bandung: PT. Setia Purna Inves

Sumber dari Internet

http://kehidupansosialmanusia.blogspot.com/

http://www.psychologymania.com/2013/07/pengertian-kehidupan-sosial.html

http://dirtyfarms.blogspot.com/2012/12/masalah-sosial-yang-terjadi-di.html

http://networkedblogs.com/zeT8Y

(68)

id.m.wikipedia.org/wiki/Jepang

http://arumsekartaji.wordpress.com/2011/03/31/homeless-in-japan/

id.m.wikipedia.org/wiki/sejarah

http://ja.wikipedia.org/wiki

http://ja.wikipedia.org/wiki

ホーム ス

http://money.howstuffworks.com/homeless4.htm

intand14kiiroi.blogspot.com

http://www.mhlw.go.jp/stf/houdou/2r985200000191qr-att/2r985200000191uk.pdf

(69)

LAMPIRAN

Toyohasi Fujieda

Shizuoka Fukuoka

(70)

(71)
(72)
(73)
(74)

Gambar

Grafik 1 Alasan Menjadi Homeless Tahun 2007
Tabel 1 Jumlah Homeless di Jepang
Tabel 2 全国�ホーム�ス数 ( Jumlah Homeless di Seluruh Negeri)
Tabel 3 Jumlah Homeless di Jepang
+7

Referensi

Dokumen terkait

Sudah menjadi hal yang sangat biasa terlihat jika anak-anak dalam kelompok yanki bergaul dengan anggota dari mafia Jepang tersebut.. Tempat bergaul anak-anak Yanki lainnya yaitu

Krisis yang kini telah melanda Zona Eropa dan AS harus dicermati dengan baik dalam hal mengembangkan industri keuangan syariah di Indonesia agar ekonomi syariah tidak sekadar menjadi

Indonesia sebagai negara berkembang juga tidak salah belajar lebih banyak dengan negara Jepang bagaimana untuk menjadi lebih baik lagi dari sistem pendidikan yang

Namun, yang menjadi ciri khas masyarakat Jepang berendam di onsen adalah1. mereka berendam tanpa

Sama dengan Jepang, Indonesia juga memiliki banyak pemandian air

Pemulihan ekonomi juga menjadi alasan mengapa akhirnya Islandia menarik proposal keangotaan dari Uni Eropa, memburuknya perekonomian akibat krisis pada tahun 2008

Berbagai kebijakan ekonomi yang diterapkan oleh pemerintah pendudukan Jepang dalam bidang pertanian dan perkebunan, perdagangan, dan koperasi telah mempengaruhi kehidupan sosial

Artikel ini menunjukkan bahwa tujuan utama Jepang mengeluarkan kebijakan sosial dan ekonomi bagi masyarakat di Yogyakarta adalah supaya pemerintah pendudukan Jepang memiliki seluruh