• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV INDUSTRI JEPANG TAHUN Jepang merupakan salah satu negara industri maju di dunia. Sebelum

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB IV INDUSTRI JEPANG TAHUN Jepang merupakan salah satu negara industri maju di dunia. Sebelum"

Copied!
58
0
0

Teks penuh

(1)

38 BAB IV

INDUSTRI JEPANG TAHUN 1973-1980

Jepang merupakan salah satu negara industri maju di dunia. Sebelum Perang Dunia II, Jepang belum termasuk negara maju atau negara industri. Walaupun pada saat itu Jepang belum termasuk negara industri, namun sudah terdapat beberapa perusahaan atau industri yang berdiri. Industri-industri yang dibangun pada masa sebelum perang sebagian besar hancur oleh serangan Sekutu. Sebagian yang masih bisa bertahan kemudian mulai bangkit kembali dengan kondisi yang seadanya.

Perekonomian dan industri Jepang mulai bangkit kembali semenjak Amerika Serikat menjadi pengawas Jepang dari tahun 1945-1952. Jepang membangun ekonominya dari awal kembali. Semua usaha dilakukan, termasuk meningkatkan kualitas hasil produksi. Awalnya Jepang masih menggunakan teknologi yang masih rendah dalam proses produksinya. Kebanyakan barang yang dibuat oleh Jepang merupakan hasil peniruan dari produk Barat.

Jepang adalah negara peniru yang ulung. Banyak produk dari Barat yang ditiru oleh bangsa Jepang. Peniruan ini dilakukan sejak sebelum Jepang terlibat dalam Perang Dunia II, dan setelahnya pun hal tersebut masih terus dilakukan oleh Jepang. Pada tahun-tahun setelah perang berakhir, aksi peniruan barang yang dilakukan oleh Jepang masih tetap dilakukan, namun hasilnya bisa lebih baik dari barang yang asli. Selain meniru produk tertentu, juga memakai

(2)

penemuan-penemuan teknologi dari Barat. Dari pemakaian teknologi tersebut, teknologi Jepang pun mengalami peningkatan. Dari aksi peniruan dan pemakaian teknologi Barat tersebut ditambah dengan kerja kerasnya, bangsa Jepang akhirnya dapat membuat barang dan teknologi yang baru dan lebih inovatif. Barang yang dihasilkan tersebut bisa diterima di pasaran dunia dan bersaing dengan barang dari negara maju. Bahkan beberapa produk kualitasnya bisa menyaingi produk Barat.

Meningkatnya kualitas dan kuantitas produk yang dihasilkan maupun teknologi yang digunakan, berpengaruh terhadap peningkatan industri dan perkembangan ekonomi Jepang. Ekonomi Jepang meningkat dalam waktu yang singkat. Tingkat kenaikan ekonomi dari tahun 1945-1956 masih di bawah 10%, namun dari tahun ke tahun terus mengalami kenaikan. Sempat juga mengalami penurunan sekitar tahun 1960-an selama tiga tahun, seperti yang disampaikan oleh Sayidiman (1987:84) bahwa pada tahun 1962-1965 terjadi sedikit penurunan menjadi 9,7% per tahun. Namun pada tahun 1965-1970, kenaikan kembali terjadi hingga mencapai lebih dari 10% per tahunnya, sebelum kembali menurun karena beberapa kali mengalami inflasi akibat pengaruh dari luar. Tahun 1973 merupakan puncak inflasi Jepang pada tahun 1970-1980.

Pada tahun 1973, Jepang terpukul dengan adanya krisis minyak dunia yang pertama. Krisis minyak pertama merupakan dampak dari perang yang terjadi antara Arab dan Israel, sedang pada krisis minyak kedua dampak dari revolusi yang terjadi di Iran.

(3)

4.1. Latar Belakang Krisis Minyak Dunia Tahun 1973

Krisis minyak tahun 1973 merupakan suatu peristiwa yang besar pengaruhnya bagi dunia. Hal ini berkaitan erat dengan masalah konsumsi terhadap minyak bumi, yang hampir setiap negara di dunia menggunakannya sebagai sumber energi utama. Bahkan di beberapa negara industri pengaruhnya sangat besar, karena hampir semua negara industri menggunakan minyak bumi sebagai sumber energi dalam proses produksinya.

Krisis minyak 1973 terjadi sebagai akibat dari perang di daerah Timur Tengah, yakni antara Arab dan Israel. Perang ini kemudian lebih dikenal sebagai perang Yom Kippur atau disebut juga dengan perang Oktober atau perang Ramadhan. Disebut sebagai perang Yom Kippur karena pada waktu terjadinya penyerangan oleh Mesir ke Israel bertepatan dengan hari Yom Kippur, yaitu suatu hari suci dalam agama Yahudi yang merayakan Hari Pendamaian antara manusia dengan Allah (http://id.wikipedia.org/wiki/Yom_Kippur). Dalam sumber yang sama dikatakan bahwa hari Yom Kippur diperingati dengan cara berpuasa dan berdoa yang dilakukan selama 25 jam. Pada hari itu, warga Israel berada dalam keadaan lengah karena sedang melakukan puasa. Bila pun mereka sadar terhadap penyerangan yang dilakukan, namun reaksi untuk bertahan atau menyerang balik dari pihak Israel akan menjadi terlambat. Maka dari itu Mesir dan Syria memilih untuk melakukan penyerangan pada hari tersebut. Sehingga tidak mengherankan bila perang yang dilakukan pada saat itu disebut sebagai perang Yom Kippur.

Perang Yom Kippur terjadi pada tanggal 6 Oktober 1973, yang melibatkan Israel dengan Mesir, Syria, Jordania, Iraq. Namun pihak utama yang bertikai

(4)

sesungguhnya adalah Mesir dan Syria disatu sisi dan Israel di sisi lain. Perang ini merupakan bagian dari rangkaian perang yang terjadi antara Arab dan Israel yang dimulai semenjak tahun 1948. Seperti yang diungkapkan oleh Sydney Bailey bahwa penyerangan Mesir pada bulan Oktober 1973 merupakan perang keempat antara Arab dan Israel. Arab disini yakni negara-negara yang tergabung dalam Liga Arab, seperti Arab Saudi, Mesir, Syria, Irak, Iran, dan lain-lain.

Latar belakang dari terjadinya perang Yom Kippur adalah karena Mesir dan Syria ingin mengambil kembali wilayah yang sudah diambil oleh Israel pada Perang Enam Hari tahun 1967. Dari perang Enam Hari tersebut Israel menduduki Dataran Tinggi Golan di utara serta Semenanjung Sinai di selatan hingga ke Terusan Suez. Demi mencapai keinginan itu, Mesir dan Syria mengadakan suatu pertemuan untuk membahas masalah tersebut. Seperti yang diungkapkan oleh Hassanein Heikal (1979) bahwa hasil dari pertemuan yang dilakukan oleh dua negara tersebut adalah tersusunnya Komando Gabungan antara Mesir dan Suriah pada tanggal 31 Januari 1973. Mesir dan Syria menyebut penyerangannya terhadap Israel sebagai “Operasi Badr” atau operasi bulan penuh.

Perang Yom Kippur yang berlangsung hampir 20 hari tersebut melibatkan juga beberapa negara lain yang ikut membantu kedua belah pihak. Mesir dan Syria dibantu oleh beberapa negara Arab lainnya, sedangkan Israel oleh Amerika Serikat. Kekuatan militer dari beberapa negara Arab seperti Iraq dan Jordania sangat membantu militer Mesir dan Syria dalam menekan Israel. Ikatan antar negara Arab tersebut tetaplah kuat, salah satu hal yang terlihat yakni dengan dikeluarkannya ‘senjata minyak’ oleh negara Arab. Tentunya dalam hal ini bukan

(5)

hanya dari pihak yang sedang bertikai saja, melainkan juga dari Arab Saudi yang walaupun tidak ikut langsung dalam peperangan, namun tetap mempunyai andil yang besar.

Peranan Arab Saudi dalam terjadinya krisis minyak tahun 1973 sangat besar. Arab Saudi, pada waktu terjadinya perang Yom Kippur tidak ikut serta dalam penyerangan ke Israel. Namun sebagai bagian dari negara-nagara Arab, Arab Saudi mempunyai keterkaitan moril yang membuatnya harus mendukung Syria dan Mesir. Dukungan yang diberikan berupa penggunaan ‘senjata minyak’ dengan cara melakukan embargo kepada pihak Amerika Serikat dan beberapa negara Barat lainnya yang mendukung Israel. Penggunaan ‘senjata minyak’ ini bukanlah suatu wacana yang baru bagi negara-negara Arab, karena sudah ada pembicaraan mengenai hal tersebut sebelumnya, terutama semenjak berakhirnya Perang Enam Hari tahun 1967.

Peranan Arab Saudi pada saat terjadinya embargo minyak kepada Amerika Serikat dan beberapa negara Barat lainnya yang secara langsung mendukung Israel, sangat menentukan. Hal ini dikarenakan dalam perkumpulan negara-negara penghasil minyak, Arab Saudi merupakan penghasil minyak terbesar yakni 22,6% dari jumlah produksi sehari secara keseluruhan pada tahun 1971 dan meningkat menjadi 34,3% pada tahun 1974. Arab juga mempunyai cadangan minyak yang paling besar diantara negara penghasil minyak lainnya, yakni sekitar 37% dari jumlah keseluruhan cadangan minyak dunia, bisa dilihat dalam tabel 1. Besarnya produksi dan cadangan minyak yang dimiliki Arab Saudi membuat negara tersebut bisa mengendalikan harga minyak dunia, termasuk peranannya ketika

(6)

penetapan embargo minyak terhadap Amerika Serikat dan beberapa negara Eropa lainnya. Hal ini berkaitan dengan peran Arab Saudi yang merupakan pemegang kunci politik dalam dunia minyak Arab.

Tabel 1

Negara-negara Penghasil Minyak di Timur Tengah Nama

Negara

Cadangan (Barel)

Produksi Sehari Penerimaan Ekspor 1971 1974 Aljazair 7.600.000.000 603.000 1.100.000 4.900 Arab Saudi 132.000.000.000 4.456.000 8.500.000 28.900 Bahrain 400.000.000 - 70.000 500 Irak 31.500.000.000 1.692.000 2.000.000 7.600 Iran 60.000.000.000 4.514.000 6.100.000 20.900 Kuwait 64.000.000.000 2.895.000 2.200.000 8.500 Libya 25.500.000.000 4.205.000 2.200.000 8.900 Oman 5.300.000.000 - 300.000 1.100 Qatar 6.500.000.000 425.000 500.000 1.900 UEA 24.000.000.000 900.000 1.800.000 6.500 Jumlah 356.800.000.000 19.690.000 24.770.000 89.700 Catatan : Penerimaan ekspor minyak tahun 1974 adalah dalam jutaan US$ (Dipoyudo, 1977:38)

‘Senjata minyak’ merupakan sebuah usulan yang sudah diutarakan oleh negara-negara Arab setelah Perang Enam Hari yang terjadi pada tahun 1967. Bahkan negara-negara Arab yang lain sudah mendesak Arab Saudi untuk menggunakan senjata tersebut. Menurut Heikal (1979) ‘senjata minyak’ ini digunakan untuk menekan Amerika Serikat supaya bisa membujuk Israel untuk meninggalkan wilayah yang telah diduduki Israel semenjak tahun 1967. Faisal sebagai pemimpin di Arab Saudi menolak usul tersebut, karena menurutnya besarnya pengaruh Soviet di Timur Tengah terutama di Mesir dan Syria yang

(7)

membuat Amerika Serikat enggan untuk meminta Israel menarik diri dari wilayah pendudukannya.

Keputusan mengenai pemakaian ‘senjata minyak’ ditetapkan di Kuwait pada tanggal 17 Oktober 1973 oleh para menteri minyak negara-negara anggota OAPEC (Organization of Arab Petroleum Eksporting Countries). Hanya saja pengumuman pemboikotan minyak terhadap Amerika Serikat dilakukan beberapa hari kemudian tepatnya pada tanggal 20 Oktober 1973. Hal ini dipengaruhi oleh tindakan Amerika Serikat sendiri yang penerapan politiknya di Timur Tengah cenderung berat sebelah dengan lebih memihak pada Israel. Pemboikotan dilakukan serentak oleh negara-negara OAPEC yang secara keseluruhan merupakan suatu bentuk tekanan terhadap Amerika Serikat untuk mengurangi dukungan terhadap Israel. Pemboikotan tersebut dilakukan dengan cara tidak menurunkan muatan dari kapal-kapal minyak yang berasal dari Timur Tengah ke negara-negara yang di boikot.

Jepang sebagai salah satu negara industri maju ikut merasakan akibat dari kebijakan OAPEC tersebut. Ketergantungan Jepang terhadap minyak bumi dalam kehidupan sehari-harinya mencapai hampir mencapai tiga per empat, dan setengahnya berasal dari Timur Tengah. Menurut Gibney (1979) Jepang membutuhkan minyak bumi sebesar 99% dari luar negeri dan pada tahun 1973 suplainya lebih dari 80% dari energi yang diperlukan oleh Jepang. Hal serupa disampaikan pula oleh Kunio (1986) bahwa kebutuhan Jepang akan minyak sangat tinggi, sehingga walaupun terkena embargo namun tidak membuat Jepang yang pada waktu itu memerlukan 90% minyak bumi untuk mengurangi suplai

(8)

minyaknya. Bahkan Sehingga apa yang dilakukan oleh negara-negara di Timur Tengah sebagai anggota OAPEC akan sangat berpengaruh pada industri Jepang yang sumber energi utamanya minyak bumi.

Konflik Arab-Israel membuat ekonomi dunia menjadi tidak stabil. Ekonomi di beberapa negara sangat dipengaruhi oleh kondisi yang terjadi di Timur Tengah, khususnya yang berkaitan dengan minyak bumi. Negara-negara yang sangat bergantung pada minyak bumi, khususnya negara industri, sangat merasakan dampak pada harga minyak bila terjadi perubahan, baik akibat konflik maupun akibat hal yang lainnya pada negara-negara penghasil minyak. Kenaikan harga minyak pada waktu krisis minyak pertama lebih disebabkan oleh konsumsi terhadap minyak meningkat, namun produksi minyak tetap, sehingga membuat harga minyak menjadi naik. Keberadaan minyak bumi bagi negara-negara industri akan mempengaruhi jalannya roda perekonomian dan kehidupan negara tersebut. Kebutuhan minyak bumi sebagian besar diperoleh dari negara-negara di Timur Tengah. Ketergantungan beberapa negara di dunia termasuk Jepang terhadap minyak bumi akan berpengaruh pada penerapan politik luar negeri mereka, dimana mereka tidak akan membuat masalah yang begitu berpengaruh dengan negara produsen sehingga mereka tidak kehilangan pasokan.

Krisis energi tidak hanya terjadi di Jepang saja, di beberapa negara industri maju lainnya pun terjadi hal yang serupa. Krisis energi ini juga membawa dampak bagi negara-negara berkembang. Seperti yang diungkapkan oleh Purnomo Yusgiantoro bahwa:

“Perkembangan ekonomi di negara berkembang khususnya negara-negara pengekspor dan pengimpor energi, selama 10-15 tahun terakhir sejak krisis

(9)

energi dunia sangat jelas menunjukkan adanya keterkaitan energi dengan pertumbuhan ekonomi di suatu negara (2000:7).”

Krisis energi ini bagi beberapa negara memang sangat berdampak bagi pembangunan dan pertumbuhan ekonominya. Apalagi bagi negara industri yang baru seperti Jepang yang memang tidak memiliki sumber energi yang banyak.

Sampai awal tahun 1973, Amerika belum bisa mengatasi krisis energi-nya. Selain karena pemerintah yang sulit merumuskan dan tidak memberikan ijin untuk menaikan harga minyak, juga dipengaruhi oleh para pengusaha minyak yang tidak bisa mengembangkan ladang minyak lepas pantai Kalifornia ataupun membangun tempat penyulingan yang baru. Beberapa kondisi lainnya juga mempengaruhi, diantaranya pembangunan baru pabrik nuklir ditunda, dan pertambangan batu bara pantai timur, yang letaknya letaknya paling dekat dengan pusat-pusat industri, produksinya diturunkan (Heikal, 1979:338). Namun hal ini bisa diselesaikan pada perang yang terjadi di Timur Tengah antara Arab dan Israel tahun 1973.

Embargo yang dilakukan Arab kepada Amerika Serikat dan beberapa negara Eropa pada dasarnya tidak terlalu berhasil. Khususnya bagi Amerika, ‘senjata minyak’ tidak terlalu efektif, hanya berpengaruh secara psikologis. Dilain pihak embargo datang pada waktu yang tepat bagi kepentingan Amerika Serikat, karena saat itu neraca pembayaran dan kedudukan dolar sedang lemah. Walau di embargo, Amerika tetap memperoleh untung dari penjualan minyak Arab ke Jepang dan Eropa Barat yang semakin besar karena harga minyak yang ikut melambung hingga dua kali lipat. Sehingga dengan adanya pemasukan yang cukup besar dari kenaikan harga minyak ini membuat neraca pembayaran

(10)

membaik dan kedudukan dolar pun semakin kuat. Walaupun begitu, banyak negara di dunia yang mengalami masalah karena krisis minyak tahun 1973.

Masalah yang muncul berkaitan dengan naiknya harga minyak dunia yang membuat Jepang mau tidak mau membeli minyak dengan harga yang lebih mahal. Hal ini tidak sepenuhnya merupakan keuntungan bagi negara-negara Arab, Amerika dan beberapa negara Eropa, seperti Inggris dan Perancis, yang mempunyai hubungan modal dengan perusahaan minyak di Timur Tengah. Ditambah pula dengan uang yang dipakai sebagai patokan per barelnya adalah dolar Amerika Serikat.

Ekonomi dunia tahun 1973, sebagai akibat dari adanya krisis minyak, berubah menjadi labil. Apalagi keadaan pada waktu mendekati tahun 1973, terjadi dua krisis yang muncul bersamaan, yakni krisis energi dan krisis Timur Tengah. Krisis energi lebih berkaitan dengan masalah ekonomi dan krisis Timur Tengah menyangkut masalah politik dan militer. Kedua krisis ini saling berpengaruh satu sama lainnya, namun bisa dikatakan jika krisis energi lebih banyak bergantung pada krisis Timur Tengah dibanding krisis Timur Tengah bergantung pada krisis energi.

Ekonomi yang labil disebabkan juga oleh kenaikan harga minyak yang dipatok oleh Organization of Petroleum Eksporting Countries (OPEC). Kenaikan ini dipicu oleh embargo yang dilakukan oleh negara-negara Arab terhadap Amerika Serikat. Meskipun dari tahun 1960-1970 harga minyak dunia mengalami peningkatan yang cukup signifikan yang dikarenakan oleh beberapa sebab, namun tidak terlalu mengejutkan dibanding dengan peningkatan yang dialami setelah

(11)

krisis minyak terjadi. Menurut Rohadi, harga minyak mentah dunia pada tahun 1973 meningkat empat kali lipat dari harga minyak mentah tahun-tahun sebelumnya, dimana harganya mencapai sekitar 12 dolar per barel (http://www.republika.co.id/koran_detail.asp?id=225238&kat_id=16&kat_id1=& kat_id2).

Usaha Amerika Serikat dan PBB untuk menyelesaikan konflik Arab-Israel adalah dengan melakukan diplomasi yang dilakukan oleh Kissinger sebagai sekretaris negara Amerika Serikat dengan negara-negara yang bertikai. Dewan Keamanan PBB pun mengeluarkan Resolusi Dewan Keamanan nomor 338 pada tanggal 22 Oktober tahun 1973, guna penyelesaian perang. Namun ternyata tidak berhasil dan kemudian dikeluarkan lagi beberapa Resolusi yang lain yakni Resolusi 339, 340, 341, 344. Walaupun dalam prosesnya mengalami berbagai hambatan, namun akhirnya tercapai perjanjian damai antara Mesir dan Israel pada tanggal 11 November 1973, dan 19 minggu kemudian menyusul perjanjian antara Israel dengan Syria. Hingga pada akhirnya setelah lima bulan, embargo dicabut tanggal 19 Maret 1974 dengan diadakannya Washington Oil Summit. Walau boikot telah dicabut, namun perdamaian di Timur Tengah antara Israel dan Arab belum selesai. Seperti yang diungkapkan oleh Heikal (1979) bahwa belum selesainya konflik Arab-Israel karena embargo dicabut dengan tidak satupun tuntutan dari pihak Arab terpenuhi.

Dampak dari dilakukannya embargo oleh Arab, membuat beberapa negara di dunia mengalami masalah ekonomi. Masalah yang timbul pada dasarnya merupakan akibat dari naiknya harga minyak mentah dunia. Negara-negara yang

(12)

tidak memiliki sumber energi lain selain minyak, lebih khususnya adalah negara industri termasuk Jepang, sangat merasakan akibatnya tersebut. Jepang tidak memiliki sumber bahan mentah dan energi, kecuali air dan sedikit batubara. Karena hal inilah yang membuat Jepang memerlukan negara produsen bahan mentah dan energi. Sebelum Perang Dunia II, Jepang memperoleh banyak bahan mentah dan sumber energi dari wilayah-wilayah jajahannya (Suryohadiprojo, 1987:2). Setelah perang berakhir, Jepang sedikit kesulitan untuk mendapatkan kedua macam barang kebutuhan tersebut. Apalagi setelah pada tahun 1955, penggunaan batubara sebagai sumber energi digantikan oleh minyak bumi. Mau tidak mau Jepang melakukan impor untuk mendapatkan kedua bahan tersebut dari negara lain.

Beralihnya Jepang menggunakan minyak bumi dalam proses produksi membuat negara tersebut menjadi semakin tergantung terhadap negara penghasil minyak. Hal ini merupakan suatu hal yang baku terjadi pada negara yang tidak memiliki minyak bumi. Konsumsi masyarakat Jepang akan minyak dari tahun 1960-an semakin meningkat khususnya untuk industri. Kebanyakan dari minyak yang diperoleh Jepang berasal dari Timur Tengah. Sehingga ketika embargo terjadi, dan harga minyak mentah kemudian naik, membuat Jepang sedikit kewalahan. Disatu sisi sumber energi minyak yang biasa mereka gunakan dalam proses produksi menjadi mahal, disisi lain kebutuhan akan minyak tetap besar. Teknologi untuk menggunakan energi alternatif yang lain masih kurang berkembang, sehingga pada akhirnya banyak negara yang masih ketergantungan pada minyak masih lebih unggul walau harganya melambung tinggi.

(13)

Adanya hubungan perdagangan antara Jepang dan Amerika Serikat, membuat Jepang juga mengalami kepanikan akibat dari di embargonya minyak ke Amerika Serikat yang pada waktu perang Oktober lebih memihak pada Israel. Pada saat terjadinya embargo, politik luar negeri Jepang lebih condong ke Amerika sehingga tidak aneh bila Jepang mengalami kepanikan. Kepanikan akibat krisis minyak ini tidak hanya berdampak pada harga minyak yang meningkat, namun juga menyebabkan harga barang-barang lain yang bergantung pada minyak juga mengalami kenaikan. Hal ini membuat ekonomi Jepang kembali terpuruk setelah sebelumnya sering mengalami inflasi, bahkan menimbulkan resesi yang meluas tidak hanya terjadi di Jepang tapi juga di negara-negara lain di dunia. Sehingga banyak yang menyebutnya sebagai resesi ekonomi dunia.

4.2. Pengaruh Resesi Ekonomi Dunia Terhadap Industri Jepang

Pada akhir 1951 rekontruksi ekonomi Jepang bisa dikatakan berhasil. Hal ini bisa terlihat dari beberapa sebab selain karena sifat orang Jepang yang suka bekerja keras dan pantang menyerah, diantaranya pertama, Jepang sudah mempunyai fasilitas industri dan teknologi yang cukup. Walau beberapa industri mengalami kerusakan pada saat perang, namun dengan cepat bangsa Jepang mampu bangkit dan meningkatkan kembali fasilitas maupun teknologi yang digunakan. Kedua, pengeluaran militer Jepang yang setelah perang tidak diperhatikan, dapat ditujukan untuk perbaikan ekonomi. Ketiga, pemerintah memberikan bantuan kepada perkembangan dunia swasta.

(14)

Hubungan yang baik antara pemerintah dan pengusaha merupakan suatu komponen yang penting dalam model industrialisasi Jepang. Hubungan tersebut dapat terlihat dari pemerintah yang perhatian kepada para pengusaha ketika mereka menghadapi masalah. Bagaimanapun para pengusaha memberikan andil dalam pertumbuhan ekonomi di Jepang. Salah satu bentuk hubungannya seperti yang diungkapkan oleh Ryokichi Hirono dalam sebuah kumpulan artikel bahwa:

“Pemerintah melalui Departemen Perindustrian dan Perdagangan (MITI) terus memberikan insentif kepada para pengusaha di sektor industri lewat kerangka perencanaan indikatif yang diperkuat oleh pemberian subsidi prodiksi, proteksi perbatasan, sarana infrastruktur dan instrumen kredit (1992:341).”

Hasil dari rekontruksi yang dilakukan oleh Jepang sampai tahun 1951, dapat terlihat pada meningkatnya pertambangan dan manufaktur pada tahun 1951 sampai sekitar 2,1 kali lipat dari tahun-tahun sebelumya. Produktivitas tenaga kerja dalam proses produksi manufaktur juga meningkat 2,7 kali lipat. Selain itu, dengan meningkatnya produksi dan produktivitas pekerja membuat volume ekspor meningkat 4,8 kali lipat, dan impor meningkat 3,1 kali lipat. Berhasil mencapai keseimbangan dalam neraca pembayaran internasional tanpa bantuan Amerika Serikat. Cadangan valuta asing meningkat 4 kali lipat (Suryohadiprodjo, 1987).

Ekonomi Jepang berkembang dengan cepat semenjak hancur akibat serangan bom pada saat Perang Dunia II. Dalam perang itu Jepang kehilangan asset dengan harga kurang lebih ¥ 1,38 triliyun pada indeks harga tahun 1947 (Suryohadiprojo, 1987:83). Asset yang hilang itu kurang lebih sama dengan 20% asset domestik Jepang sebelum Perang. Walaupun kemajuannya tersebut

(15)

dilakukan dengan memanfaatkan Amerika Serikat pada saat menjadi pengawas Jepang sesuai kesepakatan seusai perang. Namun hal ini sesuai dengan yang diungkapan oleh Sayidiman bahwa sifat orang Jepang yang suka bekerja keras, tidak mau dikalahkan oleh keadaan dan pandai sekali memanfaatkan kesempatan yang ada membuat bangsa Jepang ketika berada di bawah pengawasan Amerika Serikat memberlakukan hal tersebut. Sekecil apapun kesempatan yang diberikan Amerika Serikat kepada Jepang, oleh masyarakat Jepang dimanfaatkan dengan semaksimal mungkin.

Dari tahun 1955-1973 ekonomi Jepang mengalami naik-turun. Sampai tahun 1970, ekonomi Jepang khususnya sektor industri terus mengalami peningkatan. Hal ini terlihat dari produksi pada tahun 1960 yang menyamai pencapaian produksi industri Jepang sebelum perang yang paling tinggi. Beberapa produk industri Jepang, seperti beberapa hasil industri elektronika dan manufaktur bisa menyaingi negara-negara industri maju yang menghasilkan barang yang serupa. Pada tahun 1970-an bahkan Jepang bisa disejajarkan dengan negara-negara industri maju di dunia seperti Amerika Serikat, dan Jerman. Bahkan di Asia, Jepang merupakan satu-satunya negara industri paling maju.

Meningkatnya industri Jepang yang bersifat penambahan nilai yang tinggi, khususnya industri elektronik dan manufaktur, tidak lepas dari konsumsi masyarakat Jepang terhadap barang-barang tersebut. Beberapa diantaranya yakni televisi berwarna yang sejak tahun 1967 terus mengalami peningkatan dibanding dengan televisi hitam-putih yang dari tahun ke tahun semakin menurun. Pada 1973-pun ketika Jepang mengalami resesi, permintaan akan TV tidak menurun

(16)

bahkan meningkat sampai 80% dari tahun sebelumnya yang kurang dari 70%. Selain TV berwarna masih terdapat beberapa barang elektronik lainnya, alat-alat mesin, komputer, telepon dan kendaraan seperti mobil meningkat dengan cepat (Nakamura, 1985:98).

Produksi kendaraan terutama mobil di Jepang sejak tahun 1960 terus mengalami peningkatan yang cukup signifikan. Peningkatan itu terjadi baik dalam kualitas maupun kuantitas. Peningkatan kualitas kendaraan Jepang juga di pengaruhi oleh beberapa kebijakan pemerintah seperti dikeluarkannya UU Pengawasan Pencemaran Lingkungan yang diberlakukan pada tahun 1967 dan diikuti oleh beberapa UU lainnya yang masih berkaitan dengan upaya penanggulangan berbagai bentuk pencemaran. Kebijakan-kebijakan tersebut dikeluarkan seiring dengan cukup seriusnya pencemaran lingkungan yang melanda Jepang. Pada tahun 1968 dikeluarkan UU Pengawasan Pencemaran Udara yang diberlakukan bagi pabrik-pabrik dan kendaraan. Kemudian untuk memperkokoh UU yang telah diberlakukan, dibentuklah Badan Lingkungan pada tahun 1971. Adanya UU Pengawasan Pencemaran Udara membuat pihak industri maupun pihak industri automobile bekerja keras untuk membuat pabrik maupun kendaraan yang dihasilkan dapat mengurangi gas-gas buangan yang banyak mengandung racun (Tn, 1985:128). Hasil produksi kendaraan yang dihasilkan oleh Jepang telah mengikuti standar yang ditetapkan oleh pemerintah tersebut disambut baik oleh pasar.

Beberapa produk industri Jepang yang kualitasnya bisa menyaingi Barat menjadi permasalahan baru bagi negara-negara industri lainnya. Seperti yang

(17)

diungkapkan oleh Ajip Rosidi (1981:68) bahwa terdapat banyak reaksi yang menolak barang dari Jepang, bahkan sampai mengenakan aturan yang menghambat pemasaran barang dari Jepang. Hal ini terjadi karena barang yang dipasarkan serupa namun mempunyai kualitas yang lebih bagus dan harga yang lebih murah, sehingga pasar atau konsumen dalam hal ini pasti akan lebih memilih untuk membeli barang dari Jepang. Harga barang dari Jepang yang murah pada dasarnya merupakan adanya perbedaan dalam hal produksinya. Ini lebih berkaitan pada gaji tenaga kerja yang digunakan oleh Jepang. Gaji atau pendapatan pekerja di Jepang sangat tinggi. Akan tetapi, jika dibandingkan gaji pekerja Barat, nilai dasar gaji mereka termasuk lebih rendah (Seng, 2007:131).

Jepang lebih unggul dibanding negara industri yang lain di dunia, dalam beberapa macam industri. Industri yang lebih maju dibandingkan dengan negara lain yakni seperti industri perkapalan, industri elektronika, manufaktur, dan lain-lain. Selain dari kualitas, keunggulan produk Jepang juga dikarenakan oleh kuantitas produksinya yang besar dan harga yang murah. Bisa dikatakan merupakan gabungan produksi Amerika Serikat dan Inggris, atau dengan kata lain merupakan 50% dari produksi seluruh dunia (Reischauer, 1982).

Keberhasilan industri Jepang salah satu sebabnya adalah perubahan masyarakatnya yang lebih mengutamakan keuntungan materi semenjak Perang Dunia II berakhir. Hal ini sesuai dengan pengertian industri secara luas dimana industri itu dilakukan untuk mendapatkan keuntungan. Perubahan sistem ekonomi Jepang setelah perang sangat mengutamakan kebangkitan sektor ekonomi, dalam hal ini erat kaitannya dengan industri Jepang. Hal ini bisa dilakukan karena

(18)

keuangan Jepang untuk militer dialihkan ke sektor ekonomi, sehingga tidak aneh bila industrinya bisa bangkit dalam 15 tahun dan bisa disejajarkan dengan beberapa negara industri maju di dunia.

Setelah tahun 1970, ekonomi Jepang mengalami penurunan yang diakibatkan oleh pengaruh ekonomi dunia. Faktor-faktor yang dimaksud yakni pertama terjadi krisis mata uang internasional yang diakibatkan oleh kebijakan ekonomi baru yang dikeluarkan oleh Amerika tahun 1971. Hal ini membuat Jepang melakukan revaluasi Yen. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia revaluasi adalah penilaian kembali tentang harga atau nilai mata uang, atau pemberian nilai baru, berkenaan dengan krisis moneter. Jepang melakukan hal tersebut adalah untuk mengatasi krisis mata uang internasional. Menurut Nakamura (1985:102) tindakan stimulatif yang ekspansif diambil oleh pemerintah Jepang untuk meredam inflasi di Amerika. Namun ternyata hal ini tidak terlalu berpengaruh bagi Amerika dan malah membuat Jepang mengalami inflasi. Semenjak itu inflasi terus berlanjut di Jepang, dimana mencapai puncaknya ketika terjadi krisis minyak dunia yang pertama tahun 1973.

Inflasi yang terus melanda Jepang dari tahun 1971 membuat ekonomi Jepang mengalami penurunan. Kemudian diperparah dengan terjadinya krisis minyak dunia yang pertama tahun 1973. Akibatnya pada tahun 1974 Jepang (pertama kali sejak Perang Dunia II) mengalami suatu pertumbuhan ekonomi yang minus, yaitu 1,2 %. Suryohadiprodjo (1987) dalam hal ini mengatakan bahwa penurunan ini disebabkan oleh beberapa industri berat dan kimia yang

(19)

menurun produksinya, juga tekstil, baja dan pembuatan kapal ikut merosot produksinya.

Krisis minyak dunia pertama membuat Jepang dan sebagian besar negara di dunia mengalami resesi ekonomi. Resesi bisa terjadi dipengaruhi oleh beberapa hal pada sektor finansial, seperti perubahan harga saham, nilai tukar yang tinggi, inflasi yang cukup tinggi namun tetap dibawah 80%, dan juga krisis minyak. Resesi yang melanda Jepang tahun 1973 terjadi karena dipengaruhi oleh inflasi Jepang yang cukup tinggi yakni mencapai 15,7% (Ito, 1994). Ketika ekonomi Jepang sedang dalam keadaan labil, dimana sering terjadi inflasi, krisis minyak tahun 1973 makin memperparah inflasi Jepang, bahkan mencapai 30% pada tahun 1974 (Ito, 1994). Neraca pembayaran tahun 1974 menurun sampai minus $ 6,8 milyar. Namun beberapa kondisi yang diungkapkan di atas dapat teratasi dengan baik oleh Jepang dalam waktu yang cukup singkat, dibandingkan dengan negara industri lain.

4.3. Upaya Perbaikan Sektor Industri Jepang Pasca Krisis Minyak Tahun 1973 dan 1978

Keberhasilan Jepang dalam membangun ekonominya sampai tahun 1970-an merupak1970-an suatu hasil dari usaha keras b1970-angs1970-anya untuk pulih dari keada1970-an setelah perang. Pertumbuhan ekonomi Jepang dari setelah perang sampai sebelum tahun 1973 merupakan periode pertumbuhan ekonomi yang cepat. Krisis minyak merupakan suatu peristiwa yang membawa Jepang masuk ke dalam keadaan inflasi dan resesi. Untuk mengatasi masalah inflasi yang diakibatkan oleh krisis

(20)

minyak tersebut, bangsa Jepang terus melakukan berbagai macam upaya. Salah satunya seperti yang diungkapkan oleh Nakamura (1994) yakni dengan mengurangi pemakaian sumber energi minyak bumi dalam kehidupan sehari-hari yang diberlakukan baik untuk masyarakat umum maupun untuk industri.

Tindakan pengurangan atau pembatasan yang dilakukan oleh pemerintah terhadap konsumsi minyak bumi berakibat pada penurunan pertumbuhan ekonomi Jepang dua tahun kedepan yakni dari tahun 1973 sampai tahun 1975. Walau pada tahun 1974 pun mengalami penurunan, namun kondisi ekonomi Jepang masih lebih baik dibandingkan dengan negara industri lainnya. Menurut Nakamura (1994) angka pertumbuhan baru meningkat kembali pada tahun 1975 mencapai 3%. Kondisi pemulihan ekonomi Jepang yang cepat dibanding dengan negara industri lain setelah mengalami resesi bisa dikatakan berhasil ditengah kondisi ekonomi dunia sedang labil. Tindakan pengurangan dilakukan dengan keras dalam pelaksanaannya. Hal ini memang berhasil dalam mengatasi inflasi yang melanda Jepang pada waktu itu, akan tetapi hal tersebut mengakhiri periode pertumbuhan yang cepat Jepang.

Selain dari upaya pemerintah, terdapat pula upaya dari perusahaan-perusahaan. Menurut Nakamura (1985) mereka melakukan pembenahan operasi-operasi untuk menurunkan biaya produksi seminimal mungkin. Hasilnya dapat telihat dari berkurangnya biaya personil melalui penyusutan pemakaian tenaga kerja, meringankan beban-beban keuangan dengan cara membayar pinjaman, dan merapikan inventaris yang dilakukan melalui pengawasan yang optimal.

(21)

Penyusutan pemakaian tenaga kerja disini dilakukan bukan melalui pemecatan, melainkan ada peralihan.

Industri manufaktur Jepang sejak 1970 terus mengalami peningkatan. Namun pada periode tahun 1973-1975, produksi manufaktur Jepang mengalami penurunan karena terkena dampak resesi ekonomi dunia yang pertama. Seperti yang diungkapkan oleh Nakamura bahwa:

“In fact, when we examine the numbers closely, we find that mining and manufacturing production fell nearly 19 percent in the 15-month period from the end of 1973 to the beginning of 1975 (1994:255).”

(Pada faktanya, ketika kita melihat nilai itu lebih dekat, kita menemukan bahwa hasil tambang dan hasil produksi manufaktur menurun hampir 19% dalam periode 15 bulan dari akhir 1973 sampai awal 1975).

Penurunan produksi manufaktur ini bukan hanya untuk konsumsi domestik, tapi juga berlaku untuk produksi ekspor. Selain manufaktur, pada dasarnya semua produksi barang menurun. Pada tahun-tahun berikutnya terus mengalami peningkatan. Hal-hal tersebut bisa dilihat dari grafik 1 dan grafik 2.

Grafik 1

Indeks Produksi Industri di Jepang (1975 = 100)

(22)

(Suryohadiprodjo, 1987:116)

Grafik 2

Penurunan Ekspor Barang

Source: Ministry of Finance, Cleaance Statistics (Nakamura, 1994:230)

Grafik 1 yang sebelah kiri menunjukan produksi manufaktur semenjak tahun 1973 terus mengalami penurunan indeks produksi dari kurang lebih 115 menjadi sekitar 112 pada tahun 1974, dan mengalami penurunan yang tajam pada tahun 1975 hingga mencapai 100. Tetapi, berkat penanggulangan yang baik dari pemerintah Jepang, membuat indeks produksi pada tahun berikutnya meningkat kembali kurang lebih ke posisi pada tahun 1974, dan tahun-tahun selanjutnya terus mengalami peningkatan. Bahkan ketika tahun 1978 ketika krisis minyak kedua terjadi, tidak mengalami penurunan terhadap produksi. Hal tersebut berlaku juga bagi industri umum. Industri gas dan listrik juga sama, pada tahun 1973-1974 terjadi penurunan namun tidak terlalu besar, dan kemudian tahun berikutnya kembali meningkat. Berbeda dengan industri pertambangan yang dari tahun 1972 terus mengalami penurunan.

(23)

Bila dilihat lebih dekat dalam grafik 1 sebelah kanan, merupakan data mengenai indeks produksi industri-industri manufaktur di Jepang. Seperti yang terlihat dalam grafik, diantaranya mesin, bahan kimia, besi dan baja, tekstil, makanan dan sejenisnya. Hampir semua industri tersebut mengalami penurunan produksi dari tahun 1972-1975. Hal ini terjadi karena beralihnya teknologi yang dilakukan oleh Jepang, sehingga berpengaruh pula pada produksi dan konsumsi masyarakatnya. Hasil-hasil industri manufaktur tersebut, selain untuk konsumsi dalam negeri sebagian diperuntukan juga bagi kegiatan ekspor.

Pada grafik 2, dijelaskan mengenai penurunan dan peningkatan beberapa produk industri di Jepang tahun 1960-1980, yang merupakan barang untuk ekspor. Dalam gambar ini, data diambil per-10 tahun. Peningkatan yang terus-menerus dan paling terlihat dalam grafik tersebut terjadi pada industri mesin, kendaraan, peralatan optik dan kantor. Peningkatan yang paling signifikan terjadi pada mesin, sebagaimana sudah dibahas diatas. Peningkatan produksi ini tentunya tidak terjadi begitu saja. Bila konsumen menyukai suatu produk di pasaran maka permintaan akan barang tersebut juga akan bertambah, begitupun sebaliknya. Sehingga Jepang bukan tanpa alasan produksinya meningkat. Apalagi semenjak tahun 1970-an pasar1970-an mesin di negara-negara tuju1970-an ekspor seperti Asia Tenggara, Amerika Serikat, dan Eropa, terus mengalami peningkatan.

Kecekatan, keahlian, dan kecepatan pekerja Jepang lebih unggul dibanding dengan negara industri lainnya, sehingga dalam mengatasi permasalahan akibat krisis energi pun dapat dengan cepat diatasi. Kondisi ekonomi di beberapa negara selain Jepang di perlihatkan dalam grafik 3 dan lebih jelasnya dalam tabel 2,

(24)

dimana Jepang menjadi negara yang mampu bersaing dan bahkan lebih unggul dari negara industri Barat.

Grafik 3

Angka-angka Indeks Produksi Industri, Negeri-negeri Tertentu (1975 = 100)

Sumber: Ministry of Foreign Affairs, Statistical Survey of Japan’s Economy 1980 (Suryohadiprodjo, 1987:116)

Tabel 2

Angka-angka Indeks Produksi Industri, Negeri-negeri Tertentu (1975 = 100)

Jepang Australia2 Perancis Jerman

(R.F) India Mexico Norwegia Pakistan

2 Rusia3 Inggris4 A.S. 1972 1973 1974 1975 1976 1977 1978 1979 100 116 112 100 111 116 122 133 79 106 99 100 102 101 104 109 98 105 108 100 109 110 112 117 101 108 106 100 109 111 113 119 92 93 94 100 110 116 123 125 81 89 96 100 103 106 117 128 86 91 95 100 106 105 116 125 96 102 99 100 97 107 110 115 80 86 93 100 105 111 116 120 102 110 105 100 102 106 110 113 102 110 110 100 111 117 124 129 Sumber : ministry of Foreign Affairs, Statistical Survey of Japan’s Economy 1980.

Catatan :

1. Tak termasuk Berlin Barat dan daerah Saar.

2. Angka-angka meliputi 12 bulan dimulai 1 Juli tahun tersebut.

3. Perikanan, perkayuan, bangunan-bangunan pengairan, termasuk panas dan tenaga uap. Tak termasuk penerbitan.

4. Termasuk usaha kontruksi. (Suryohadiprodjo, 1987:118)

(25)

Baik gambaran yang diberikan dalam grafik maupun tabel, tampak bahwa dibandingkan dengan negara-negara industri lainnya di dunia, Jepang lebih unggul dalam angka indeks produksi. Bahkan ketika terjadi krisis minyak pun, indeks produksi Jepang tetap lebih tinggi dari negara lain. Indeks produksi Jepang pada tahun 1976 sampai 1979 terus mengalami peningkatan dan bahkan berhasil mengungguli Amerika pada tahun 1979. Kenaikan tahun 1979 bisa juga mengindikasikan bahwa Jepang mampu mengatasi dengan cukup baik krisis minyak kedua. Krisis minyak tahun 1973 membuat tak hanya industri Jepang namun ada juga industri negara yang lain mengalami penurunan. Hanya beberapa negara seperti Rusia dan Meksiko yang mampu tetap meningkatkan industrinya dalam resesi yang melanda dunia kala itu. Walaupun peningkatan tersebut kecil.

Pada tahun 1976, Jepang mulai dapat menunjukkan perbaikan kembali. Pertumbuhan ekonomi kembali naik menjadi 6,3 %, neraca pembayaran mengalami surplus $ 2,9 milyar, dan inflasi dapat dibendung sampai 4,8%. Walaupun harga minyak dari semenjak tahun 1973 terus mengalami kenaikan, namun ekonomi Jepang cukup mampu untuk menyesuaikan diri, bahkan terus mengalami kenaikan yang cukup baik dibanding dengan negara industri yang lain yakni mencapai 6% per tahun. Dari tahun 1976-1979 kenaikan berkisar antara 5-7% per tahun (Suryohadiprodjo, 1987).

Jepang mengambil strategi yang tegas untuk mengatasi resesi akibat krisis minyak, diantaranya adalah dengan melipatgandakan ekspor. Selain itu pemerintah mengambil momentum tersebut untuk menata struktur konsumsi energi (energy mix) Jepang secara ketat. Hanya saja dalam melaksanakan strategi

(26)

tersebut terdapat beberapa hal utama yang menghambat, diantaranya yakni suplai minyak sebagai sumber energi utama industri tetap sangat dibutuhkan. Bangsa Jepang mencari jalan untuk mendapatkan sumber energi lain selain minyak bumi dan juga mengurangi ketergantungan mereka akan minyak. Sebagai perbandingan akan konsumsi minyak Jepang dari tahun 1973 terhadap minyak Timur Tengah dapat dilihat dalam tabel 3.

Tabel 3

Development of Oil Imports by the Major Industrial Countries from Arab and Other Oil Producers

000 b/d

1973 1974 1975 1976 1977 Imports from Arab Countries

A – EEC 861,9 745,5 605,0 647,9 638,7

B – U.S.A. 872 734 133,7 238,2 326,8

C – Japan 234,0 248,6 247,9 277,1 293,3

Total 118,31 106,75 986,6 116,32 125,88

Imports from Other Countries

A – EEC 122,00 114,45 953,1 102,29 964,0

B – U.S.A. 324,4 347,7 410,2 520,8 661,3

C – Japan 494,0 483,3 451,9 461,6 478,8

Total 203,84 197,55 181,52 200,53 210,41

Total Arab Exports OAPEC/WORLD 165,89 164,43 148,38 171,90 177,81 Percentage of Arab Exports to the

countries above of total exports 71.3% 64.9% 66.5% 66.3% 70.8% Imports by Industrial countries from

Arab states out of total imports 59% 54% 54.4% 58% 60%

SOURCES. PIW, March 20, 1978; Oil & Gas Journal, January 31, 1977. P. 121; Eurostat, Quarterly of Energy Statistics; OECD, Quaryerly Oil Statistics Third Quarter 1977.

(Al-Sowayegh, 1983:23)

dari tabel tersebut dapat diperoleh gambaran bahwa impor Jepang terhadap minyak Arab sangat kecil dibandingkan dengan Eropa dan Amerika Serikat pada tahun 1973 sampai tahun 1977, yakni dibawah 800.000 barel/hari. Tetapi meningkat pada tahun 1974, jika dibandingkan dengan negara-negara Eropa dan

(27)

Amerika Serikat yang justru menurun. Penurunan tersebut disebabkan oleh tingginya harga minyak mentah yang mana semenjak terjadinya krisis energi. Namun tetap harga minyak tahun 1973 akibat adanya krisis minyak-lah yang paling tinggi dibanding sebelumnya. Harga minyak dunia lebih banyak ditentukan oleh perubahan kondisi politik yang terjadi di Arab dibandingkan dengan perubahan kondisi ekonomi.

Meskipun harga minyak tinggi, namun Jepang tetap tidak mengurangi impor minyaknya dari Arab, walaupun sempat terjadi pengurangan pada tahun 1975 yakni hanya 699.800 barel/hari dari sebelumnya 731.900 barel/hari, namun kembali meningkat pada tahun berikutnya. Semenjak terjadi krisis minyak tahun 1973, Jepang mulai mengurangi impor dari negara penghasil minyak yang lain, dan mulai menambah impor dari negara-negara Arab. Hal ini berkaitan juga dengan cadangan minyak yang dimiliki oleh negara-negara Arab yang paling besar dibanding negara penghasil minyak yang lain. Konsumsi Jepang terhadap minyak juga terlihat dari tabel tersebut, dimana tidak terjadi kenaikan impor minyak berlebih. Hal ini juga berkaitan dengan penerapan kebijakan untuk menekan konsumsi minyak dan mulai menggunakan energi alternatif lain.

Beberapa sumber energi alternatif yang dipilih oleh Jepang dalam rangka diversifikasi energi diantaranya gas alam dan nuklir (http://www.bappenas.go.id/index.php?module=Filemanager&func=download&p athext=ContentExpress/&view=452/04a%20Hanan%20Nugroho.pdf.). Gas alam dalam bentuk LNG didatangkan di antaranya dari Indonesia dan pembangkit listrik tenaga nuklir dibangun untuk menekan ketergantungan terhadap minyak

(28)

bumi. Selain itu pula dengan melakukan penghematan energi. Ini dilakukan selain untuk mengurangi ketergantungan akan minyak juga untuk mengurangi impor akan minyak bumi yang dari tahun 1960 terus meningkat sampai tahun 1973. Pada tahun 1969 impor minyak Jepang masih 175 juta kiloliter, dan terus meningkat sampai mencapai 288 juta kiloliter pada tahun 1973. Adapun grafik yang menunjukkan penggunaan beberapa sumber energi yang digunakan oleh Jepang dan seberapa besar penggunaanya didasarkan dari harga minyak terlihat pada grafik 4 dan grafik 5. Konservasi energi diterapkan di sisi konsumsi (demand) energi, khususnya pada kegiatan-kegiatan di sektor industri. Konservasi energi sangat bermanfaat bukan hanya untuk menekan konsumsi energi, tapi juga untuk memberikan dampak yang lebih baik bagi lingkungan.

Grafik 4

Harga dan Volume Impor Minyak Mentah Jepang

(Nakamura, 1994:251)

Meningkatnya impor pada tahun 1960-1972 yang ditunjukkan grafik 4 disebabkan oleh faktor rendahnya harga minyak pada saat itu. Ketika krisis minyak tahun 1973 melanda dunia, dimana harga minyak makin tinggi, membuat Jepang sedikit demi sedikit mengurangi impor minyaknya. Penurunan yang tajam

(29)

terjadi pada tahun 1979, ketika Jepang telah mampu mengatasi ketergantungannya terhadap minyak bumi sebagai sumber energi.

Sumber energi merupakan hal yang sangat penting di Jepang, terutama bagi industri. Konservasi energi yang dilakukan oleh Jepang merupakan bentuk penangulanganya terhadap penggunaan minyak bumi yang harga belinya makin mahal. Grafik 5 mengungkapkan mengenai persentase sumber-sumber energi yang dipergunakan di Jepang. Minyak tetap mengambil posisi yang paling utama. Hampir 3/4 sumber energi Jepang menggunakan minyak, LPG (Liquefied Petroleum Gas) dan LNG (Liquefied Natural Gas). Namun besarnya penggunaan ketiga sumber energi tersebut semakin berkurang semenjak krisis minyak dunia yang pertama hingga awal tahun 1980-an. Sumber energi lain semenjak terjadi krisis minyak menjadi bertambah.

Grafik 5

Persediaan Energi Utama Jepang(Total dalam Persen)

Source: Agency of natural Resources and Energy. Sogo Enerugii Tokei (Comprehensive Energy Statistics)

a

Liquefied petroleum gas

b

Liquefied natural gas (Nakamura, 1994:252)

(30)

Upaya konservasi energi yang terus berkembang, khususnya di sektor industri, telah mengantarkan Jepang menjadi negara terunggul di dunia dari segi produktivitas pemanfaatan energi/ GDP. Dukungan dan keikutsertaan masyarakat Jepang dalam program konservasi energi nasional, termasuk dalam mengembangkan gaya hidup yang hemat energi, merupakan faktor yang sangat penting pula di balik keberhasilan Jepang melakukan program konservasi energi. Konsumsi energi Jepang yang semula 80 % ketika krisis minyak pertama telah dapat diturunkan menjadi sekitar 47 %.

Selain mengimpor minyak, Jepang juga mengimpor bahan baku industri. Dilihat dari kondisi wilayahnya, Jepang merupakan salah satu negara yang memiliki sedikit sumber daya alam sebagai bahan baku industri. Untuk mencukupi kebutuhan akan hal tersebut, maka Jepang melakukan impor bahan baku dari negara-negara produsen seperti Indonesia salah satunya. Tahun 1974 biaya impor utama Jepang meningkat dan juga menandai titik balik dari segi perdagangan Jepang. Impor pokok Jepang adalah bahan-bahan mentah yang tidak dapat diperbaharui.

Faktor geografis Jepang merupakan salah satu aspek yang juga mempengaruhi perkembangan perekonomian Jepang, khususnya dalam peningkatan ekspor-impor. Jepang merupakan negara kepulauan yang memanjang lebih dari 3.500 km ke arah timur laut. Terdapat empat pulau besar dalam susunan kepulauan Jepang yakni, Kyushu, Shikoku, Honshu dan Hokkaido. Bagian dari pulau yang menghadap ke Samudera Pasifik memiliki pantai yang panjang dengan kedalaman yang cukup dalam untuk dimungkinkan dibangunnya banyak

(31)

pelabuhan dan industri di sepanjang pantai timur. Hal ini dapat lebih memaksimalkan proses ekspor barang jadi maupun impor bahan metah dan sumber energi untuk industri. Apalagi salah satu upaya untuk mengatasi resesi ekonomi adalah dengan melipatgandakan ekspor.

Ekspor dan impor merupakan bagian yang tidak terpisahkan dalam perekonomian dan perdagangan luar negeri. Antara kedua hal tersebut terdapat keseimbangan yang harus dicapai. Bila ekspor lebih tinggi daripada impor, maka yang terjadi adalah surplus. Sebaliknya bila ekspor lebih rendah dibandingkan dengan impor, yang terjadi adalah defisit. Semenjak harga minyak dunia naik, harga barang yang lainnya pun ikut naik. Hal ini terjadi karena untuk dapat tetap melakukan produksi, pihak industri memerlukan sumber energi (minyak). Sedangkan pada saat itu harga minyak meningkat. Hal itulah yang membuat biaya produksi menjadi mahal. Bila biaya produksi mahal maka harga barang yang dihasilkan pun ikut menjadi mahal. Kegiatan impor yang tidak bisa diimbangi dengan ekspor yang tinggi dapat menyebabkan Jepang mengalami defisit (lihat grafik 6). Walaupun pada akhirnya produksi ekspor Jepang bisa kembali naik.

(32)

Grafik 6

Keseimbangan Barang dan Jasa

Source: Ministry of Finance, Balance of Payments Statistic (Nakamura, 1994:230)

Pada grafik 6, dapat terlihat bahwa ekspor dan impor juga berpengaruh terhadap pendapatan Jepang. Hanya beberapa kali Jepang mengalami defisit dalam periode waktu 1963-1975 seperti yang diungkapkan dalam grafik, yakni pada tahun 1963, 1964, 1967, 1974, dan 1975. Pada tahun 1973, meski tidak sampai defisit, namun surplus yang diperoleh mengalami penurunan akhirnya dua tahun berikutnya mengalami defisit. Krisis minyak memang sangat mengguncang Jepang selama periode Oktober 1973 sampai 1975, dimana banyak barang yang harganya mahal, termasuk bahan baku dan minyak sebagai bahan utama dalam industri. Hal ini membuat ekspor barang menjadi berkurang, namun impor tidak mengalami pengurangan, sehingga hal tersebut yang membuat Jepang mengalami defisit dalam perdagangannya.

(33)

Gibney (1979:320) mengungkapkan bahwa ekspor yang dilakukan oleh pengusaha-pengusaha Jepang pada waktu itu merupakan 12% dari total GNP Jepang. Menurut Henry Rosovsky dalam sebuah kumpulan essay (1975:87) bahwa pada tahun 1975, ekspor Jepang merupakan 10% dari total ekspor dunia. Sedkikit meningkat pada tahun 1980 menjadi 10,8% (Okita, 1975:212). Jika dibandingkan dengan persentase negara industri Barat seperti Jerman, memang masih berada di bawah. Namun Jepang dari tahun ke tahun terus mengalami kenaikan yang signifikan. Hal ini dapat terjadi karena Jepang mengkonsentrasikan ekspornya hanya pada beberapa barang manufaktur seperti mobil, produk-produk elektronik, mesin, dan baja. Negara tujuan dari ekspor Jepang yakni negara-negara di kawasan Asia Tenggara, Eropa dan yang paling penting Amerika Serikat.

Pada tahun 1977, ekspor mobil Jepang meningkat dari tahun 1975 dari 6,9 juta menjadi 8,5 juta pada tahun 1977. Bahkan secara keseluruhan, ekspor mobil, truk, dan bis pada tahun 1977 mencapai 4,35 juta. Bila dibandingkan antara ekspor ke Eropa dan Amerika Serikat, nilai ekspor dan pemasaran lebih menjanjikan di Amerika Serikat. Hal ini terlihat dari lebih tingginya total keuntungan ekspor ke Eropa tahun 1975 yang hanya $ 4,4 juta dan tahun 1977 hanya $ 5,5 juta, berbeda dengan keuntungan di pasar Amerika yang pada tahun 1975 keuntungannya mencapai $ 11,3 miliar, dan tahun 1977 meningkat kembali menjadi $ 18 miliar. Dilain pihak, impor dari Amerika Serikat ke Jepang mengalami posisi yang stagnan selama tiga tahun tersebut (Gibney, 1979:321).

Ketika ekonomi Jepang mulai naik kembali, krisis minyak kedua terjadi pada Desember 1978. Krisis ini merupakan akibat dari konflik yang terjadi di

(34)

Timur Tengah, namun bukan antara Arab-Israel seperti yang terjadi pada krisis minyak pertama, melainkan disebabkan oleh revolusi Iran dan perang Irak-Iran, yang berakhir dengan penghentian produksi minyak oleh Iran ke negara-negara Barat. Ketika krisis melanda, produksi minyak Iran menurun drastis dari 6 juta barel/hari menjadi 2,4 juta barel/hari, namun hal serupa berkebalikan dengan yang terjadi di negara-negara OPEC lainnya. Seperti Arab yang terus meningkatkan produksinya dari 8,4 juta barel/hari menjadi 10,4 juta barel/hari. Pada tahun 1979, Arab Saudi menurunkan produksinya dari 10,4 juta barel/hari menjadi 8 juta barel/harinya (Yusgiantoro, 2000).

Fluktuasi produksi minyak di Timur Tengah membawa dampak pada meningkatnya harga minyak yang cukup drastis, yakni dari $AS 18,5/barel menjadi $AS 27,38/barel (Yusgiantoro, 2000). Padahal biasanya bila pada saat harga minyak naik, permintaan akan menurun, namun yang terjadi pada pada krisis minyak kedua malah sebaliknya, permintaan terhadap minyak tetap tinggi. Pemerintah Arab dalam mengatasi masalah ini dengan cara mendorong kenaikan harga dengan meningkatkan harga resmi minyak mereka, dibandingkan dengan meningkatkan produksi mereka untuk meredam harga. Kenaikan harga yang terus berlanjut ini, mendorong spekulasi harga untuk terus menerus meningkat. Spekulasi inilah yang membuat permintaan terhadap minyak tetap tinggi.

Krisis minyak yang kedua ini tidak terlalu mempengaruhi ekonomi dan industri Jepang. Dampak yang ditimbulkan juga tidak sebesar waktu krisis minyak pertama terjadi, penurunan hanya terjadi pada awal-awal ketika krisis itu terjadi. Di tahun berikutnya meningkat kembali, bahkan untuk pertumbuhan GNP Jepang

(35)

mengalami peningkatan. Tidak terpuruknya kembali Jepang pada krisis minyak yang kedua di sebabkan juga oleh kesiapan dan pengalaman bangsa Jepang dalam mengatasi krisis minyak pertama.

Setelah terjadinya krisis minyak pertama dan kedua, ekonomi Jepang pada periode tahun 1973-1980 terus mengalami fluktuasi. Beberapa indikator dapat dilihat dari nilai ekspor dan impor Jepang yang kembali meningkat setelah sebelumnya pada saat terjadi krisis tahun 1978 sempat mengalami penurunan indeks harga barang-barang impor yang cukup besar yakni mencapai minus 17,5%. Begitupun dengan ekspor yang menurun 6,5% lebih tinggi dibanding tahun sebelumnya yakni 4,7%. Pada tahun 1978, sekitar 25% ekspor Jepang dialokasikan ke Amerika Serikat. Penurunan ekspor-impor ini bisa dilihat pada tabel 4. Selain itu pula, peningkatan yang terjadi pada barang-barang impor, khususnya minyak, lebih disebabkan karena walaupun harga minyak tinggi, namun kuantitasnya menurun. Penurunan kuantitas ini juga merupakan hal positif yang dilakukan oleh Jepang, dimana konsumsi akan minyak mulai berkurang dengan berhasilnya Jepang dalam melakukan konversi energi. Teknologi untuk menggunakan energi secara efisien pun telah ditemukan.

(36)

Tabel 4

Perubahan Harga dari Tahun ke Tahun (%)

Domestic Wholesale Price Index Consumer Price Index Imported Goods Price Index Exported Goods Price Index 1969 1.9 5.2 2.0 2.8 1970 3.5 7.7 3.3 4.3 1971 -1.0 6.1 0.0 -1.4 1972 1.6 4.5 -4.2 -3.2 1973 15.7 11.7 21.2 10.2 1974 27.7 24.5 67.8 33.9 1975 2.7 11.8 7.3 -4.1 1976 5.6 9.3 5.2 -0.6 1977 3.3 8.1 -4.5 -4.7 1978 -0.5 3.8 -17.5 -6.6 1979 4.9 3.6 28.7 10.8 1980 14.9 8.0 44.7 8.6 1981 1.4 4.9 1.6 1.2 1982 0.5 2.7 7.9 3.9 1983 -0.7 1.9 -7.8 -6.0 1984 0.1 2.2 -3.4 0.6

Sources: Consumer Price Index: Prime Minister’s Office, Statistics Bureau. Others: Bank of Japan.

(Nakamura, 1994:253)

Adapun komoditi impor pada tahun 1979 bisa dilihat dari grafik 7, bahwa impor bahan bakar mineral tetap memegang porsi yang paling besar, yakni 40,9% kemudian disusul oleh bahan mentah sebesar 19,7%. Bahan bakar mineral dan bahan mentah merupakan komoditi utama dalam kelangsungan industri Jepang. Selain itu semua sisanya 39,4% merupakan campuran dari berbagai komoditi lainnya, seperti mesin-mesin, barang-barang buatan pabrik, makanan, dan barang lainnya. Diantara komoditi-komoditi tersebut makanan masih lebih besar dibanding dengan mesin dan barang buatan pabrik. Ini menunjukan pula bahwa Jepang masih lebih banyak memakai barang-barang buatan dalam negeri dibandingkan dengan barang dari luar.

(37)

Grafik 7

Komposisi Impor Menurut Komoditinya, 1979

Sumber: Ministry of Foreign Affairs, Statistical Survey of Japan’s Economy 1980.

(Suryohadiprodjo, 1987:136)

Selain grafik tersebut ada pula grafik lain yang menunjukan hal yang serupa, yakni mengenai fluktuasi ekspor dan impor Jepang. Fluktuasi pada gambar 3 lebih pada persentase naik turunnya barang-barang yang dipakai dalam kegiatan ekspor dan impor. Produktivitas ekspor naik dari tahun 1970-1975, dan kemudian menurun dari tahun 1976-1980. Barang-barang ekspor yang mengalami kenaikan yakni mesin elektronik dan mesin-mesin pada umumnya (general machinery), sedangkan barang-barang yang mengalami penurunan yakni bahan makanan, tekstil, baja dan metal yang lain (other metal). Hal yang seperti ini sangat mungkin terjadi pada negara industri yang pada dasarnya sangat bergantung dan dipengaruhi oleh kondisi negara lain. Apalagi pada tahun 1973 dan 1978 terjadi dua kali krisis minyak dalam kurun waktu yang cukup dekat.

(38)

Grafik 8

Struktur Ekspor dan Impor Jepang

Source:Ministry of Finance, Foreign Trade Statistics (Nakamura, 1994:278)

Pada grafik 8 diungkapkan masih mengenai ekspor dan impor Jepang. Perbedaannya dengan grafik 8 adalah pada grafik 8 lebih memperlihatkan fluktuasi barang yang digunakan dalam ekspor dan impor, sedangkan dalam grafik 9 lebih pada fluktuasi nilai ekspor dan impor dalam satuan Yen dan Dollar. Seperti yang diungkapkan sebelumnya, bahwa ekspor dan impor Jepang mengalami kenaikan pada umumnya dari tahun 1970-1980. Terjadi sedikit penurunan pada tahun 1975, kemudian meningkat kembali dua tahun, sebelum

(39)

terjadinya krisis minyak kedua tahun 1978. Penurunan yang paling terlihat adalah pada sektor impor. Dari tahun 1975 hanya mengalami kenaikan selama satu tahun berikutnya, karena pada tahun 1977-1978 terus mengalami penurunan. Sedangkan untuk ekspor hanya terjadi penurunan pada tahun 1978, ketika krisis berlangsung.

Grafik 9

(40)

Source:Ministry of Finance, Foreign Trade Statistics (Nakamura, 1994:292)

4.3.1. Sumber Daya Manusia Jepang dalam Mengatasi Resesi Tahun 1973 dan 1978

Selain peningkatan ekspor, terdapat beberapa faktor lain berhasilnya industri Jepang, diantaranya strategi yang tepat dalam menghubungkan produksi dengan perdagangan dan adanya kerjasama yang erat antara pemerintah dan pengusaha, jam kerja buruh atau karyawan yang lebih banyak dibandingkan dengan negara-negara industri lainnya. Terakhir, manajemen perusahaan Jepang. Faktor-faktor tersebut merupakan keunggulan Jepang dibanding dengan negara lain. Pada saat terjadi imbas dari krisis minyak, bangsa Jepang dengan tetap berpegang pada faktor-faktor tersebut diatas akhirnya mampu keluar dari krisis yang melanda hampir di seluruh dunia.

Menurut Sayidiman (1979), keberhasilan dari perkembangan ekonomi dan industri Jepang setelah perang sangat dipengaruhi oleh karakteristik bangsa Jepang. Hal serupa juga diungkapkan oleh Ann Wan Seng (2007:13), bahwa kesungguhan, disiplin, kerja keras, dan semangat bushido yang diwarisi secara turun temurun menjadi kunci keberhasilan Jepang menjadi penguasa ekonomi nomor satu di dunia. Sifat masyarakat Jepang yang suka bekerja keras dan tidak mudah menyerah adalah salah satu bagian dari sikap bushido, yakni suatu kode etik kaum samurai yang tumbuh sejak terbentuknya samurai (Suryohadiprodjo, 1987:48). Semangat dan disiplin samurai yang lebih dikenal sebagai bushido digunakan oleh masyarakat Jepang untuk membangun kembali industri yang

(41)

runtuh. Menurut R.N. Belah sifat-sifat yang dimiliki oleh bangsa Jepang itu dipengaruhi oleh nilai-nilai bushi atau samurai yang pada perkembangannya nanti lebih dikenal dengan bushido. Nilai-nilai tersebut sudah menjadi nilai nasional bangsa Jepang semenjak zaman Tokugawa. Karena telah menjadi suatu etika nasional, maka tidak mengherankan jika etika bushido ini dimiliki oleh setiap orang Jepang. Sifat-sifat bushido mempengaruhi pula sikap individu di lingkungan pedagang dan industrialis Jepang, sehingga mendukung keberhasilan perkembangan industri Jepang.

Disiplin kerja bangsa Jepang yang tinggi adalah salah satu aspek yang membuat bangsa Jepang bisa berhasil menjadi negara yang maju. Disiplin yang dilakukan oleh bangsa inilah yang akan membentuk sikap dan semangat kerja keras dalam segala hal, namun dalam hal ini lebih ditekankan pada disiplin kerja. Dengan disiplin menjadikan mereka patuh terhadap perusahaan. Mereka rela melakukan apa saja demi kemajuan perusahaan mereka. Karena kemajuan dan kemunduran perusahaan sangat berhubungan dengan harga diri para pekerjanya. Sehingga untuk membuat perusahaan mereka maju, mereka kerja dengan lebih keras. Kerja keras yang dilakukan oleh bangsa Jepang membuat mereka mendapat julukan bangsa yang ‘gila kerja’. Sebenarnya, orang Jepang bukan gila kerja, namun mereka menganggap kerja sebagai tanggung jawab dan sumbangan bagi negara (Seng, 2007:83).

Keberhasilan bangsa Jepang dalam bidang ekonomi berhubungan erat dengan pengelolaan yang ahli, dalam hal ini memiliki manajemen yang baik. Jepang merupakan negara yang berhasil menerapkan Total Quality Management

(42)

(TQM). Dalam penerapannya, para pelaku ekonomi lebih mementingkan kerja tim dibanding individu. Keberhasilan TQM di Jepang ditentukan oleh beberapa faktor, diantaranya kerja keras, disiplin yang tinggi, kesetiaan kepada organisasi, hemat waktu, adanya kerjasama yang baik antara pihak swasta dengan pemerintah, adanya dukungan dari masyarakat dan keluarga, dorongan dari pihak yang berkuasa, diberlakukannya sistem keiretsu, dan bijaksana dalam mengelola segala sumber daya alam yang dimiliki. Secara tradisional, yang dimaksud dengan keiretsu adalah gabungan perusahaan yang dimiliki oleh keluarganya yang sama (Seng, 2007:99). Selain itu juga dalam rangka penghematan biaya produksi, maka Jepang tidak pernah mengimpor pekerja asing, karena Jepang memiliki pekerja yang ahli dan berpendidikan.

Jepang memang memiliki manajemen perusahaan yang berbeda dibandingkan dengan negara Barat. Hubungan antara atasan dan bawahan tidak seperti di Barat, dimana terdapat perbedaan yang sangat mencolok. Berbeda dengan di Jepang, hubungan antar individu itu tidak dilihat jabatan dan kedudukan sehingga hubungan mereka erat dan saling melengkapi. Seorang pengelola atau atasan itu berawal dari bawah dan dengan perlahan naik ke atas, sehingga mereka lebih mengerti bawahannya dan lebih akrab. Sebagai contoh bila dalam rapat, seorang bawahan di Jepang boleh ikut dan mempunyai porsi yang sama dalam hal mengemukakan pendapatnya sendiri, dengan tidak memandang posisi. Bisa juga seorang atasan sering mengundang bawahan untuk diminta bantuannya. Bila memang pendapat dan idenya baik untuk perusahaan dan disetujui semua pihak, tidak ada salahnya usul atau pendapat dari bawahan itu dipakai dalam memajukan

(43)

perusahaan. Sikap seperti inilah yang membuat para pekerja merasa selalu dihargai dan menganggap diri mereka penting bagi perusahaan. Orang yang aktif, berprestasi, berkemampuan, dan memiliki sikap terhadap pekerjaannyalah yang nantinya akan cepat mendapat promosi untuk naik jabatan.

Perbedaan-perbedaan seperti yang diungkapkan diatas itulah yang membuat industri Jepang bisa lebih maju dibanding dengan beberapa negara indutri Barat. Kuatnya manajemen perusahaan Jepang membuat para karyawannya sangat setia pada pimpinan dan perusahaan. Mereka tidak ragu-ragu untuk memberikan yang terbaik bagi perusahaan. Walaupun pada perkembangan selanjutnya industri-industri Jepang banyak yang menggunakan robot dalam melakukan pekerjaan. Robot yang dipekerjakan di sebuah industri atau perusahaan biasanya melakukan pekerjaan yang berbahaya, seperti memotong logam, mengangkut suku cadang, dan lainnya. Adapun industri yang menggunakan robot sebagai pekerja adalah industri mobil dan industri elektrik. Diantara industri yang paling banyak menggunakan robot adalah industri mobil, yakni sekitar 30% dari total robot yang dipakai dalam industri (Tn, 1982:28). Robot juga sangat membantu para pengusaha dalam menghemat biaya produksi, namun mendapatkan hasil produksi yang optimal.

Industri yang banyak menggunakan robot dalam proses produksinya tidak akan melakukan pemecatan terhadap pegawainya hanya berdasarkan pengambilalihan pekerjaan oleh robot. Mereka percaya pihak perusahaan tidak akan menelantarkan mereka. namun mereka tidak menjadi patah semangat. Hal ini dikarenakan di Jepang diterapkan suatu kebijakan pekerjaan seumur hidup,

(44)

dimana tidak ada pemecatan, yang ada mereka akan dilatih kembali dan ditempatkan di bagian lain dalam perusahaan atau anak perusahaan tersebut.

Untuk mengurangi biaya produksi tanpa melakukan pemecatan disiasati dengan penekanan kenaikan upah karyawan yang pada tahun 1974 sebesar 33% diturunkan menjadi 13% pada tahun 1975, 8,8% pada tahun 1976-1977, menurun lagi tahun 1978 menjadi 5,9%, dan meningkat sedikit yakni 6,1% pada tahun 1979. Selain itu, selama lima tahun Jepang terus mengurangi kelebihan karyawan tanpa harus memberhentikan mereka. Hal ini dilakukan dengan cara pemberian pensiun yang lebih awal dengan mendapatkan pesangon yang khusus atau mutasi ke dalam dan luar kota.

Kenaikan atau penurunan produksi barang tertentu dipengaruhi oleh pekerja. Pekerja dalam sebuah perusahaan di Jepang mempunyai pengaruh yang cukup besar dalam peningkatan produksi maupun pekerjaan mereka. Mereka tidak mau perusahaan yang mereka tempati mengalami kerugian, karena hal itu juga menyangkut harga diri perusahaan, pemimpin perusahaan dan semua yang bekerja di sana. Sehingga setiap waktu orang Jepang berusaha dengan keras dalam melakukan pekerjaannya.

Para pekerja di Jepang mempunyai jumlah jam kerja paling tinggi di dunia, yakni hampir dua kali lipat dari jumlah jam kerja di negara industri lainnya. Bila di negara Barat jumlah jam kerjanya berkisar antara 1700-1900 jam/tahun, maka di Jepang jumlah rata-ratanya sekitar 2146 jam/tahun. Bahkan jam kerja mereka bisa lebih dari itu, jika mereka melakukan pekerjaan lembur. Kadangkala mereka melakukan lembur dengan tanpa adanya biaya tambahan atau bonus.

(45)

Mereka benar-benar siap mengorbankan waktu untuk perusahaan. Selain itu, tingkat absensi Jepang lebih rendah dibanding dengan negara lain. Kurang menghargai waktu di Jepang bisa berarti satu atau bahkan lebih kesempatan telah hilang. Bagi orang Jepang kesempatan atau peluang itu tidak datang sendiri melainkan dicari dan kadangkala mereka menciptakan peluang itu sendiri.

Hal diatas dapat terlihat pada saat para pekerja di negara industri Eropa Barat dan Amerika Serikat masih mengalami penurunan produktivitas akibat krisis minyak, para pekerja Jepang dapat menunjukkan prestasi yang mengagumkan. Pada tahun 1975, setiap sembilan hari, seorang pekerja di Jepang dapat menghasilkan sebuah mobil senilai seribu poundsterling (Seng, 2007:18). Sehingga bisa dikatakan bahwa pekerja di Jepang mempunyai semangat dan loyalitas terhadap perusahaan untuk selalu memberikan yang terbaik.

Orang-orang Jepang sangat suka hiburan. Setiap selesai bekerja, banyak karyawan yang menghabiskan waktunya baik untuk menyalurkan hobi mereka maupun untuk pergi ke tempat hiburan. Tempat hiburan di beberapa kota besar di Jepang buka 24 jam, seperti di Shibuya. Kebanyakan tempat-tepat hiburan lebih ramai pada malam hari dan pada akhir minggu. Kadangkala tempat hiburan dijadikan oleh seorang pengusaha sebagai tempat untuk melakukan transaksi. Hal ini dilakukan untuk mengurangi ketegangan akan pekerjaan. Namun bukan berarti bisa disogok dengan hiburan, karena mereka bisa membedakan antara pekerjaan dan urusan pribadi. Perbandingan antara bekerja dan hiburan orang Jepang dapat dilihat dari grafik 10.

Referensi

Dokumen terkait

Kegiatan ini berupa penyuluhan serta peragaan mengenai bagaimana membuat rangkaian bunga dari bahan dasar limbah kantong plastic yang dibuat sedemikian rupa sehingga menjadi

Keselamatan dalam penggunaan sinar­x, radiasi gamma, berkas elektron ataupun 

Inventory meliputi semua barang yang dimiliki perusahaan pada saat tertentu, dengan tujuan untuk dijual kembali atau dikonsumsikan dalam siklus operasi normal perusahaan

Pengakuan Aktiva Tetap Biaya harga perolehan aktiva tetap adalah jumlah kas atau setara kas yang dibayarkan atau nilai wajar imbalan lain yang diberikan untuk memperoleh suatu

Izin Lingkungan Nomor 02.21.06 Tahun 2014 Tanggal 2 Juni 2014 tentang Izin Lingkungan Kegiatan Survei Seismik 2D dan 3D di Blok Sakti, Perairan Laut Jawa, Kabupaten Rembang

Berdasarkan hasil akhir tersebut maka abstraksi baru akan dibandingkan dengan semua abstraksi yang ada di dalam database, abstraksi yang berada didalam database sudah

SKKNI dapat digunakan oleh perusahaan atau organisasi untuk acuan evaluasi dan asesmen kompetensi tenaga kerja, baik dalam kaitannya dengan rekrutmen, pengembangan karier

Di periode akhir (tahun kelima) Renstra, realisasi kinerja penempatan pencari kerja maupun pengembangan jejaring informasi lowongan kerja telah melebihi target Renstra : Untuk