DENGAN GEJALA KLINIS PASIEN SKIZOFRENIA
Diajukan untuk Memenuhi Sebagian Syarat Memperoleh Derajat Sarjana Kedokteran pada Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan
Universitas Muhammadiyah Yogyakarta
Disusun Oleh : ELSA OKTAVIA
20120310097
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
DENGAN GEJALA KLINIS PASIEN SKIZOFRENIA
Diajukan untuk Memenuhi Sebagian Syarat Memperoleh Derajat Sarjana Kedokteran pada Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan
Universitas Muhammadiyah Yogyakarta
Disusun Oleh : ELSA OKTAVIA
20120310097
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
iii
NIM : 20120310097
Program Studi : S1 Pendidikan Dokter
Fakultas : Kedokteran dan Ilmu Kesehatan
Menyatakan dengan sebenarnya bahwa Karya Tulis Ilmiah yang saya tulis ini benar-benar merupakan hasil karya tulis saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka dibagian akhir Karya Tulis Ilmiah ini.
Apabila dikemudian hari terbukti atau dapat dibuktikan Karya Tulis Ilmiah ini hasil jiplakan, maka saya bersedia menerima sanksi atas perbuatan tersebut.
Yogyakarta,24 Juni 2016 Yang membuat pernyataan
iv
Ilmiah yang dengan judul : “hubungan kepatuhan minum obat dengan gejala
klinis skizofrenia”. Karya Tulis Ilmiah ini dibuat dalam rangka menyelesaikan tugas akhir untuk mendapat gelar Sarjana Kedokteran di Fakultas Kedokteran Universuitas Muhammadiyah Yogyakarta.
Dalam penyusunan Proposal Karya Tulis Ilmiah ini penulis menyadari banyak mendapat bantuan, bimbingan dan dukungan dari berbagai pihak. Untuk itu, penulis menyampaikan terimakasih yang sedalam-dalamnya kepada yang terhormat :
1. dr. H. Ardi Pramono,Sp.An,M.Kes., selaku Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.
2. dr. Warih Andan Puspitosari,M.Sc. Sp.Kj., selaku pembimbing karya tulis
ilmiah, yang telah meluangkan waktu untuk memberikan
bimbingan,pengarahan dengan penuh kesabaran dan memberikan masukan untuk perbaikan serta selalu memberikan motivasi dalam menyelesaikan karya tulis ilmiah ini.
3. dr. Ida Rochmawati, Sp.Kj., selaku penguji yang telah memberikan masukan yang membangun selama proses penyelesaian karya tulis ilmiah ini.
4. Seluruh staf dan karyawan 8 Puskesmas Yogyakarta yang telah membantu proses penelitian.
5. Para kader kesehatan yang telah membantu proses penelitian
6. Sahabat-sahabat masa kuliah yang selalu memberi support Aziz, Firda, Arnis, Hilmi, Rosi, Satrio, Nadya, Saufi, Akbar, Aswin, group pengajian serta rekan-rekan angkatan 2012 Pendidikan Dokter UMY.
7. Sahabat-sahabat terdekat Intan,Rizka,Irwan,Lani,Risa yang selalu memberi support dalam mengerjakan karya tulis ilmiah ini.
v
10.Kakak-kakakku tercinta Panji Pratama,Githa Julivia,Heli Hernaningsih dan Dian Permana yang senantiasa memberi semangat dan doa-doa.
11.Semua pihak yang tidak bisa peneliti jelaskan satu persatu yang telah membantu dalam penyelesaian karya tulis ilmiah ini
Yogyakarta, 24 Juni 2016
vi
HALAMAN PENGESAHAN KTI ... ii
PERNYATAAN KEASLIAN ... iii
C. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 34
D. Variabel penelitian ... 34
E. Definisi Operasional... 34
vii
A. Hasil Penelitian ... 42
1. Gambaran Umum dan Karakteristik Responden Penelitian... 42
2. Kepatuhan Minum Obat Pasien Skizofrenia ... 44
3. Gejala Klinis pasien Skizofrenia berdasarkan PANSS ... 44
4. Analisis Uji Statistik Korelasi ... 45
B. Pembahasan ... 45
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 52
A. Kesimpulan ... 52
B. Saran ... 52
viii
Tabel 3. Karakteristik Pasien Skizofrenia di 8 Puskesmas Provinsi DIY ... 43
Tabel 4. Gambaran Tingkat Kepatuhan Minum Obat Pasien Skizofrenia ... 44
Tabel 5. Distribusi Gejala Klinis Pasien Skizofrenia berdasarkan PANSS ... 44
x
Lampiran 3. Surat Persetujuan Untuk Menjadi Responden Lampiran 4. Panss Versi Bahasa Indonesia
xi
Berbagai faktor dapat mempengaruhi kepatuhan minum obat pasien skizofrenia. Kepatuhan minum obat menyebabkan terjadinya penurunan gejala klinis pada pasien skziofrenia. Tingkat kepatuhan minum obat yang baik dapat mengurangi kekambuhan pasien skizofrenia dan penurunan gejala klinis pasien skizofrenia.Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara kepatuhan minum obat dengan gejala klinis pasien skizofrenia di Komunitas
Metode : Penelitian ini menggunakan metode observational analitik dengan
menggunakan rancangan cross sectional. Penelitian ini dilakukan dari bulan
Mei-Juni 2016 di 8 Puskesmas Provinsi DIY yaitu Puskesmas Wates, Puskesmas Bambanglipura, Puskesmas Godean Sleman , Puskesmas Gondomanan, Puskesmas Gendangsari, Puskesmas Kraton , Puskesmas Srandakan, Puskesmas Temon, Puskesmas Tempel, Puskesmas Playen. Subjek penelitian adalah pasien skizofrenia rawat jalan yang berada di wilayah 8 puskesmas tersebut. Jumlah subjek penelitian ini sebesar 69 pasien skizofrenia di Provinsi DIY. Instrumen penelitian menggunakan kuesioner PANSS (Positive and Negative Syndrome Scale) dan kuesioner MMAS ( Morisky Modification Adherence Scale).
Hasil : Hasil uji korelasi analitik dengan menggunakan Spearman, didapatkan hasil tidak ada hubungan antara kepatuhan minum obat dengan gejala klinis skizofrenia dengan menggunakan uji Spearman mendapat nilai p 0,141
Kesimpulan : dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat hubungan antara
kepatuhan minum obat dengan gejala klinis pasien skzofrenia dimana nilai p= 0,141
xii
Schizophrenia is a setlling serious neurobiological brain disease, characterized by abnormal cognitive, perceptual, and affective. This disease is chronic and require long-term treatment. Various factors can affect medication adherence of schizophrenic patients. The adherence leads to a decrease in clinical symptoms in skizophrenic patients. The good level of medication adherence can reduce the recurrence of schizophrenic patients and decrease the patient's clinical symptoms.This study aims to determine the relationship between medication adherence with clinical symptoms of patients with schizophrenia in the community.
Methods
This study used observational analytic with cross sectional design. This study was conducted from May-June 2016 in eight health centers, namely Puskesmas Wates Yogyakarta, Puskesmas Bambanglipura, Puskesmas Sleman Godean, Puskesmas Gondomanan, Puskesmas Gendangsari, Puskesmas Kraton, Puskesmas Srandakan, Puskesmas Temon, Puskesmas Tempel, Puskesmas Playen. Subjects were patients with schizophrenia outpatients who were in the region of 8 health centers. The number of subjects of this study is 69 patients with schizophrenia in the D.I.Yogyakarta Province. This study used questionnaires PANSS (Positive and Negative Syndrome Scale) and MMAS questionnaires (Morisky Modification adherence Scale).
Results
The results of the analytical test by using Spearman correlation, showed no association between medication adherence with clinical symptoms of schizophrenia using Spearman's test got p value 0.141.
Conclusion
There is no relationship between medication adherence with clinical symptoms of skzofrenia patients where the value of p = 0.141.
1
Skizofrenia adalah kelainan psikiatri yang meliputi 4 hal, yaitu persepsi,
pikiran, afek, dan prilaku. Penyakit ini biasanya dimulai sebelum usia 25
tahun dan akan bertahan seumur hidup dan tidak pandang strata dalam
menyerang, baik pasien maupun keluarga akan menderita karena penyakit ini
(Sadock & Sadock, 2007).
Skizofrenia adalah penyakit otak yang menyebabkan seseorang menjadi
disfungsional secara fisiologis untuk dirinya sendiri maupun interaksi secara
sosial. Berusaha untuk sembuh dan mengobati penyakit ini merupakan
tindakan yang dianjurkan dalam Islam.Bila dikaji secara mendalam, maka
sesungguhnya dalam agama Islam banyak ayat maupun hadist yang
memberikan petunjuk agar kita tetap berserah diri kepada Allah Swt dalam
menanggapi cobaan salah satunya penyakit gangguan jiwa. Contohnya sebagai
berikut :
تْنك دْنع يبّنلا ّ ص ل هْي ع، ّ س ت ء ج ، ا رْع أْا ل ق ف: ي لْ س ر،ل؟ ا د ت ن أ ل ق ف: ْ ع ن
ي د بع،ل،اْ ا د ت ّنإ ف ل ّز ع ّل ج ْ ل ْع ض ي ءا د ّلإ ع ض ه ل ء فش رْي غ ءا د دحا . ا ل ق: ؟ ه ل ق:
ر ْلا
Jadi jelaslah bahwa Allah SWT menurunkan penyakit beserta dengan
obatnya.Oleh karena itu manusia hendaklah berikhtiar dan bersabar dalam
menyembuhkan penyakitnya.
Kira-kira 1% dari jumlah seluruh penduduk dunia mengidap penyakit
skizofrenia, bahkan lebih dari 2 juta orang Amerika mengidap penyakit
ini.Prevalensi untuk orang dengan skizofrenia adalah sekitar 1,1% dari
populasi di atas usia 18 di U.S (National Institute of Mental Health, 2002).
Berdasarkan publikasi Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah penduduk
Indonesia pada tahun 2010 sebanyak 237.556.363 jiwa, maka diperkirakan
sekitar 2.375.564 orang menderita skizofrenia (Attayaya, 2011).
Riset Kesehatan Dasar tahun 2013 menyatakan bahwa secara Nasional
terdapat 0,17 % penduduk Indonesia yang mengalami Gangguan Mental Berat
(Skizofrenia) atau secara absolute terdapat 400 ribu jiwa lebih penduduk
Indonesia.Selain itu menunjukkan bahwa ada 12 Provinsi yang mempunyai
prevalensi gangguan jiwa berat melebihi angka Nasional. Dilihat menurut
provinsi, prevalensi gangguan jiwa berat paling tinggi terjadi di Provinsi
Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) yaitu sekitar 3 dari setiap 1.000 orang
penduduk DIY mengalami gangguan jiwa berat.
Salah satu teori yang menyebabkan gejala skizofrenia adalah kelainan dari
regulasi dopamin, sehingga pengobatan yang bersifat antagonis dopamin akan
menurunkan gejala pasien (Sadock & Sadock ,2010). Gejala pada pasien
skizofrenia dibagi menjadi 3 yaitu gejala positif,negatif dan kognitig. Gejala
penarikan diri dari pergaulan sosial, gangguan atensi. ( Maramis, 2005 ).
Gejala kognitif seperti menurunnya kemampuan dalam berpikir (Sinaga,2007).
Teori ini digunkan untuk memudahkan keluarga mengenal gejala-gejala yang
dialami pasien skizofrenia, sehingga dapat melakukan penanganan
(Benhard,2007).
Skizofrenia merupakan gangguan jiwa yang bersifat menahun
yangmemerlukan waktu yang cukup lama untuk proses penyembuhan. Terapi
pada pasien skizofrenia meliputi terapi psikofarmaka(antipsikotik),
psikoterapi, terapi psikososial dan terapi psikoreligius (Kusuma,2007).
Kepatuhan minum obat merupakan faktor penting yang mempengaruhi
keberhasilan terapi bagi penderita gangguan jiwa dan menjadi masalah penting
dalam dunia kesehatan khususnya kesehatan jiwa. Kepatuhan adalah besarnya
kemauan penderita untuk mengikuti instruksi (Katzung,1998).
Hiroyo et.al, (2015) menyebutkan bahwa dari data pasien skizofrenia
didapatkan hubungan antara kepatuhan minum obat dengan penurunan gejala
klinis serta frekuensi rawat inap ulang. Fakhruddin (2012) menjelaskan
sekitar 25% pasien skizofrenia, psikosis maupun gangguan mental berat
gagal dalam mematuhi program pengobatan. Kepatuhan minum obat
pada pasien skizofrenia dapat dipengaruhi oleh efikasi minum obat,
dukungan terhadap pasien efek samping obat dan sikap pasien.
Beberapa faktor berkontribusi terhadap peningkatan risiko kekambuhan
skizofrenia. Dalam beberapa penelitian ditemukan bahwa ketidakpatuhan
pertama psikosis. Dalam prospektif 5 tahun tindak lanjut dari pasien psikosis
episode pertama ditemukan bahwa yang paling umum faktor risiko adalah
antipsikotik putus obat. Komponen kunci dari pengelolaan skizofrenia adalah
meningkatkan kepatuhan pengobatan dan pencegahan terjadinya kekambuhan
pada skizofrenia. Studi terbaru mengenai kekambuhan pada skizofrenia
dihasilkan pengamatan yaitu angka kambuh sangat tinggi setelah penghentian
pengobatan, bahkan setelah satu episode psikosis. (Emsley, R., Chiliza, B.,
Asmal, L., & Harvey, B. H.,2013).
Penelitian yang dilakukan ole Kandar pada bulan Oktober 2011
mengenai penyebab kekambuhan gejala pasien skizofrenia yang dirawat ulang
di RSJD Dr. AGH Semarang, menunjukan ada peningkatan angka
kekambuhan pasien skizofrenia karena ketidakpatuhan minum obat. Pada
tahun 2011 ada 63 pasien skizofrenia yang dirawat ulang kurang dari 1 bulan
setelah perawatan dari Rumah Sakit. Alasan yang mendasari 184 pasien yang
dirawat ulang sebagai berikut : 24 persen responden beranggapan setelah
minum obat tidak bisa melakukan aktivitas, 7 persen responden merasa tidak
tahu tentang obat, 57 persen responden merasa sudah sembuh, 8 persen
responden takut ketergantungan dengan obat dan 4 persen responden mengaku
kurang memiliki dukungan dari keluarga.
Dari pengamatan tersebut bisa disimpulkan bahwa apabila pasien tidak
patuh terhadap pengobatan bisa mempengaruhi gejala klinis pada pasien
skizofrenia padahal kepatuhan minum obat pada pasien skizofrenia merupakan
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian dalam latar belakang diatas, maka perumusan
masalah dalam penelitian adalah :
Apakah ada hubungan antara kepatuhan minum obat dengan gejala klinis
pada pasien skizofrenia ?
C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Untuk menganalisa hubungan antara kepatuhan minum obat dengan
gejala klinis pada pasien skizofrenia.
2. Tujuan Khusus
a. Untuk mengetahui kepatuhan minum obat pada penderita skizofrenia.
b. Untuk mengetahui gejala-gejala klinis pada penderita skizofrenia.
D. MANFAAT PENELITIAN
1. Manfaat teoritis
a. Untuk mengembangkan ilmu pengetahuan yang berkaitan dengan
kepatuhan minum obat dan gejala klinis penderita skizofrenia.
b. Untuk memberikan masukan atau pertimbangan bagi penelitian
skizofrenia selanjutnya.
2. Manfaat Praktis
a. Bagi peneliti
1) Untuk menambah ilmu pengetahuan peneliti tentang kepatuhan
2) Untuk meningkatkan kemampuan berpikir kritis dan menemukan
solusi untuk permasalahan-permasalahan kesehatan, terutama di
bidang psikiatri.
b. Bagi keluarga
Untuk memberikan pengetahuan bahwa peran keluarga sangat
diperlukan sehingga keluarga akan memberikan perhatian yang
lebihlagi kepada penderita terutama kepatuhan dalam minum obat.
c. Bagi wilayah kerja/ puskesmas
Untuk masukan perencanaan, pengembangan dan peningkatan
E. Keaslian Penelitian
Tabel 1. Keaslian Penelitian
Peneliti Judul Subjek Instrumen Hasil
Natalia
8 1. Skizofrenia
a. Definisi
Skizofrenia berasal dari kata Yunani yang bermakna schizo
artinya terbagi, terpecah dan phrenia artinya pikiran. Jadi pikirannya
terbagi atau terpecah (Rudyanto, 2007).
Skizofrenia adalah penyakit otak neurobiological yang serius dan
menetap, ditandai dengan kognitif dan persepsi serta afek yang tidak
wajar (Laraia, 2009). Penyakit ini bersifat kronik dan melalui 3 fase,
yaitu fase prodromal, fase aktif, dan fase residual. Fase prodromal
dimulai dengan perubahan perasaan dan mood, fase aktif biasanya
disebut dengan psikosis yaitu munculnya gejala halusinasi, delusi, dan
ilusi (Sadock & Sadock, 2010)
Skizofrenia bisa menyerang siapa saja tanpa memandang jenis
kelamin, ras, maupun tingkat sosial ekonomi (Maramis,2005).
Skizofrenia dikarakteristikan dengan psikosis, halusinasi,delusi,
disorganisasi pembicaraan dan perilaku, afek datar, penurunan
kognitif, ketidakmampuan bekerja atau kegiatan dan hubungan sosial
yang memburuk (Bustillo,2008)
Menurut PPDGJ III ada 6 macam skizofrenia yaitu skizofrenia
terinci(undifferentiated), skizofrenia simpleks, skizofrenia residual.
Dalam penelitian ini peneliti akan mengambil sample secara
keseluruhan tanpa membeda-bedakan tipe skizofrenia.
b. Epidemiologi
Menurut Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder
IV Text Revised (DSM-IV-TR) insidens tahunan skizofrenia
berkisar antara 0,5-5,0 per 10.000 dengan beberapa variasi geografis.
Di Amerika Serikat prevalensi skizofrenia seumur hidup dilaporkan
secara bervariasi terentang dari 1 sampai 1,5 persen; konsisten dengan
rentang tersebut, penelitian Epidemiological Cachtment Area (ECA)
yang disponsori oleh National Institute of Mental Health (NIMH)
melaporkan prevalensi seumur hidup sebesar 0,025 sampai 0,5 persen
populasi total diobati untuk pasien skizofrenia dalam 1 tahun.
Walaupun duapertiga dari pasien yang diobati tersebut membutuhkan
perawatan di rumah sakit, hanya kira-kira setengah dari pasien
skizofrenia mendapat pengobatan, tidak tergantung pada keparahan
penyakit.(Sadock & Sadock, 2010)
c. Etiologi
Menurut Maramis (2009)teori mengenai skizofrenia yang saat ini
banyak dianut adalah sebagai berikut :
1) Genetik
Faktor genetik turut menentukan timbulnya skizofrenia. Hal
penderita skizofrenia dan terutama anak-anak kembar satu telur.
Angka kesakitan bagi saudara tiri adalah 0,9-1,8 %; bagi saudara
kandung 7-15%;bagi anak dengan salah satu orangtua yang
menderita skizofrenia 7-16%;bila kedua orangtua menderita
skizofrenia 40-68%;bagi kembar dua telur (heterozigot)
2-15%;bagi kembar satu telur(monozigot) 61-86%.
2) Neurokimia
a) Hipotesis dopamin
Skizofrenia disebabkan oleh neuroaktifitas pada jaras
dopamin mesolimbik. Hal ini didukung oleh temuan bahwa
amfetamin yang kerjanya meningkatkan pelepasan dopamin
dapat menginduksi psikosis yang mirip skizofrenia; dan obat
psikotik(terutama obat tipe tipikal/klasik) bekerja dengan cara
memblok reseptor dopamin terutama reseptor D2. Keterlibatan
neurotransmitter lainnya seperti serotonin, noradrenalin,
GABA, glutamat dan neuropeptid lain masih terus diteliti oleh
para ahli.
b) Hipotesis perkembangan saraf
Studi autopsi dan pencitraan otak memperlihatkan
abnormalitas struktur dan morfologi otak penderita skizofrenia
antara lain berupa berat otak yang rata-rata lebih kecil 6%
daripada otak normal dan ukuran anterior-posterior yang 4%
metabolisme di daerah frontal dan temporal; dan kelainan
susunan seluler pada struktur saraf di beberapa daerah kortex
dan subkortex tanpa adanya gliosis yang menandakan kelainan
tersebut terjadi pada saat perkembangan. Studi neuropsikologis
mengungkapkan defisit di bidang atensi, pemilihan konseptual,
fungsi eksekutif dan memori pada penderita skizofrenia.
Semua bukti tersebut melahirkan hipotesis perkembangan
saraf yang menyatakan bahwa perubahan patologis gangguan
ini terjadi pada tahap awal kehidupan, mungkin sekali akibat
pengaruh genetik dan dimodifikasi oleh faktor maturasi dan
lingkungan.
d. Manifestasi Klinis
Secara general gejala serangan skizofrenia dibagi menjadi 3 yaitu
gejala positif, gejala negatif dan gejala kognitif ( Maramis, 2005 &
Sinaga,2007) yaitu :
1) Gejala positif
Halusinasi selalu terjadi saat rangsangan terlalu kuat dan otak
tidak mampu menginterpretasikan dan merespons pesan atau
rangsangan yang datang. Klien skizofrenia mungkin mendengar
suara-suara atau melihat sesuatu yang sebenarnya tidak ada atau
mengalami suatu sensasi yang tidak biasa pada tubuhnya. Auditory
menyejukan hati, memberi kedamaian, tapi kadang suara itu
menyuruhnya melakukan sesuatu yang sangat berbahaya, seperti
bunuh diri.
Penyesatan pikiran (delusi) adalah kepercayaan yang kuat
dalam menginterpretasikan sesuatu yang kadang berlawanan
dengan kenyataan. Misalnya penderita skizofrenia, lampu traffic di
jalan raya yang berwarna merah, kuning, hijau, dianggap sebagai
suatu isyaratdari luar angkasa. Beberapa penderita skizofrenia
berubah menjadi paranoid, mereka selalu merasa sedang di
amat-amati, diikuti atau hendak diserang.
Kegagalan berpikir mengarah kepada masalah dimana klien
skizofrenia tidak mampu mengatur pikirannya. Kebanyakan klien
tidak mampu memahami hubungan antara kenyataan dan logika.
Ketidakmampuan dalam berpikir mengakibatkan ketidakmampuan
mengendalikan emosi dan perasaan. Hasilnya, kadang penderita
skizofrenia tertawa atau berbicara sendiri dengan keras tanpa
mempedulikan sekelilingnya.
Semua itu membuat penderita skizofrenia tidak bisa
memahami siapa dirinya, tidak berpakaian, dan tidak bisa mengerti
apa itu manusia, juga tidak bisa mengerti kapan dia lahir, dimana
2) Gejala negatif
Klien skizofrenia kehilangan motivasi dan apatis yaitu
kehilangan minat dalam hidup yang membuat klien menjadi orang
pemalas. Karena klien hanya memiliki minat sedikit, mereka tidak
bisa melakukan hal-hal lain selain tidur dan makan. Perasaan yang
tumpul membuat emosinya menjadi datar. Klien skizofrenia tidak
memiliki ekspresi yang baik dari raut muka maupun gerakan
tangannya, seakan-akan dia tidak memiliki emosi apapun. Mereka
mungkin bisa menerima perhatian dari orang lain tapi tidak bisa
mengekspresikan perasaan mereka.
Depresi yang tidak mengenal perasaan ingin ditolong dan
berharap, selalu menjadi bagian dari hidup klien skizofrenia.
Mereka tidak merasa memiliki perilaku yang menyimpang, tidak
bisa membina hubungan relasi dengan orang lain. Depresi yang
berkelanjutan akan membuat klien menarik diri dari lingkungannya
dan merasa aman bila sendirian. Dalam beberapa kasus skizofrenia
sering menyerang pada usia antara 15-30 tahun dan kebanyakan
menyerang saat usia 40 tahun ke atas.
3) Gejala kognitif ; yaitu permasalahan yang berhubungan dengan
perhatian, tipe-tipe ingatan tertentu dan fungsi yang
memungkinkan kita untuk merencanakan mengorganisasikan
e. Kriteria Diagnosis Skizofrenia
Sebelum menetapkan diagnosis kepada pasien skizofrenia,
seorang dokter harus mengetahui dan memahami gejala-gejala khas
yang dialami oleh pasien skizofrenia..
Kriteria diagnostik di Indonesia menurut PPDGJ-III yang
menuliskan bahwa walaupun tidak ada gejala-gejala patognomonik
khusus, dalam praktek dan manfaatnya membagi gejala-gejala
tersebut ke dalam kelompok-kelompok yang penting untuk
diagnosis dan yang sering terdapat secara bersama-sama yaitu:
1) Thought echo yaitu isi pikiran dirinya sendiri yang berulang atau
bergema dalam kepalanya dan isi pikiran ulangan, walaupun isinya
sama, namun kualitas berbeda atau thought insertion or
withdrawal yaitu isi pikiran yang asing dari luar masuk kedalam
pikirannya (insertion) atau isi pikirannya diambil keluar oleh
sesuatu diluar dirinya (withdrawal) dan tought broadcasting yaitu
isi pikiran tersiar keluar sehingga orang lain mengetahuinya.
2) Waham atau Delusinasi
a) Delusion of control yaitu waham tentang dirinya sendiri
dikendalilkan oleh suatu kekuatan tertentu.
b) Delusion of influen yaitu waham tentang dirinya sendiri
c) Delusion of passivity yaitu waham tentang gerakan tubuh,
pikiran maupun tindakan tak berdaya terhadap suatu kekuatan
dari luar.
d) Delusion of perception yaitu pengalaman indrawi yang tidak
wajar yang bermakna sangat khas dan biasanya bersifat mistik
atau mukjizat.
3) Halusinasi Auditorik
a) Suara halusinasi yang berkomentar terus menerus terhadap
perilaku pasien.
b) Mendiskusikan perihal pasien diantara mereka sendiri (dia
antara berbagai suara yang berbicara).
c) Jenis suara halusinasi lain yang berasal dari salah bagian tubuh.
d) Waham-waham menetap jenis lain yang menurut budaya
dianggap tidak wajar dan mustahil seperti waham bisa
mengendalikan cuaca. Atau paling sedikit dua gejala dibawah
ini yang harus selalu ada secara jelas.
e) Halusinasi yang menetap dari setiap panca indera baik
disertai waham yang mengambang maupun yang setengah
berbentuk tanpa kandungan afektif yang jelas atau ide-ide
berlebihan yang menetap atau terjadi setiap hari selama
f) Arus fikiran yang terputus (break) atau mengalami sisipan
(interpolasi) yang berakibat inkoherensi atau pembicaraan
tidak relevan atau neologisme.
g) Perilaku katatonik seperti keadaan gaduh, gelisah (excitement)
sikap tubuh tertentu (posturing) atau fleksibilitas serea,
negattivisme, mutisme dan stupor.
h) Gejala-gejala negative seperti apatis, bicara jarang serta respon
emosional yang menumpul atau tidak wajar biasanya
mengakibatkan penarikan diri dari pergaulan social dan
menurunnya kinerja social, tetapi bahwa semua hal tersebut
tidak disebabkan oleh depresi atau neuroleptika.
Adanya gejala-gejala khas diatas telah berlangsung selama
kurun waktu satu bulan atau lebih (tidak berlaku untuk setiap fase non
psikotik prodormal). Harus ada suatu perubahan yang konsisten dan
bermakna dalam mutu keseluruhan (overall quality) dari beberapa
aspek perilaku pribadi, bermanifestasi sebagai hilangnya minat, hidup
tak bertujuan, tidak berbuat sesuatu, sikap larut dalam diri sendiri dan
penarikan diri secara social.
f. Tipe-Tipe Skizofrenia
Menurut DSM IV (Diagnostic and Statistical Manual of Mental
1) Tipe paranoid
Suatu tipe skizofrenia yang memiliki kriteria yaitu preokupasi
dengan satu atau lebih waham atau halusinasi dengar yang
menonjol dan tidak ada dari berikut ini yang menonjol: bicara
terdisorganisasi, perilaku terdisorganisasi atau katatonik, atau afek
datar atau tidak sesuai.
2) Tipe Terdisorganisasi
Suatu tipe skizofrenia yanng memiliki kriteria semua yang berikut
ini menonjol: bicara terdisorganisasi, perilaku terdisorganisasi dan
afek datar atau tidak sesuai serta tidak memenuhi kriteria untuk
tipe katatonik.
3) Tipe Katatonik
Suatu tipe skizofrenia dimana gambaran klinis didominasi oleh
sekurangnya dua dan hal-hal berikut :
a) Imobilisasi motorik seperti yang ditunjukan oleh katalepsi
(termasuk fleksibilitas lilin) atau stupor.
b) Aktivitas motorik yang berlebihan (yang tampaknya tidak
bertujuan dan tidak dipengaruhi oleh stimuli eksternal).
c) Negativisme yang ekstrem atau mutisme.
4) Tipe Tidak Tergolongkan
Suatu tipe skizofrenia dimana ditemukan gejala yang memenuhi
kriteria A tetapi tidak memenuhi kriteria untuk tipe katatonik,
terdisorganisasi, atau paranoid.
5) Tipe Residual
Suatu tipe skizofrenia dimana kriteria berikut ini terpenuhi: tidak
adanya waham, halusinasi, bicara terdisorganisasi, dan perilaku
katatonik terdisorganisasi atau katatonik yang menonjol serta
terdapat terus bukti-bukti gangguan seperti yang ditunjukan oleh
gejala negatif dua atau lebih gejala tertulis dalam kriteria A untuk
skizofrenia yang lebih lemah (misalnya keyakinan yang aneh,
pengalaman persepsi yang tidak lazim)
g. Terapi Pasien Skizofrenia
Skizofrenia merupakan gangguan yang bersifat kronis sehingga
untuk pengobatannya memerlukan waktu yang panjang. Ada berbagai
macam terapi yang bisa kita berikan pada pasien skizofrenia. Hal ini
diberikan dengan kombinasi satu sama lain dengan jangka waktu yang
lama. Terapi skizofrenia terdiri dari pemberian obat-obatan,
psikoterapi dan rehabilitasi. Terapi psikososial pada skizofrenia
meliputi; terapi keluarga, terapi kelompok, terapi individu, rehabilitasi
psikiatri, latihan keterampilan sosial dan manajemen kasus (Hawari,
1) Farmakoterapi
Pengobatan untuk penderita skizofrenia menggunakan obat
anti psikotik. Obat antipsikotik dibagi menjadi 2 kelompok yaitu
kelompok atipikal dan kelompok tipikal (Maslim, 2001).
Faktor-faktor yang mempengaruhi efek terapeutik obat ini meliputi : usia,
perilaku penyalahgunaan zat, kondisi medis, obat penginduksi
enzim, obat yang mengubah clearence dan perubahan ikatan dalam
protein (Benhard,2007)
a) Obat golongan FGA atau tipikal
Obat ini bekerja menghambat jalur dopamin. Neuroleptik
yang termasuk golongan ini adalah chlorpomazin, haloperidol,
loxapine, dan prolixin. Efek samping golongan ini adalah mulut
kering, konstipasi, hipotensi ortostatik, impotensi, kegagalan
ejakulasi, Parkinson sindrom, dystonia, amenorrhea, infertilitas
dan kegemukan. Clorpomazin memiliki efek antipsikotik yang
lemah dan efek sedatif yang kuat. Haloperidol digunakan untuk
skizofrenia yang kronis dan memiliki efek antipsikotik yang
kuat dan efek sedatif yang lemah. Golongan obat ini lebih
efektif mengatasi gejala positif dari skizofrenia namun kurang
b) Obat golongan SGA atau atipikal
Obat ini adalah antipsikotik generasi kedua yang
digunakan untuk mengobati kondisi jiwa. Pada gejala positif
seperti halusinasi, delusi, dan inkoherensi, dan negatif seperti
hilangnya kemauan dan afek serta bicara yang sangat sedikit
dapat diatasi dengan lebih baik pada pemberian SGA. Untuk
gejala lain seperti penurunan interaksi sosial, ide bunuh diri
dan defisit kognitif dapat diatasi lebih baik pula dengan
golongan SGA (Pantelis & Lambert, 2003). Hanya saja harga
obat-obat yang termasuk dalam SGA jauh lebih mahal
dibanding FGA sehingga terkesan keuntungannya hanya sedikit
jika dibandingkan dengan harga yang harus dibayar (Leucht S,
2009). Obat ini cenderung untuk memblokir reseptor dalam
jalur dopamin otak dan menghambat reseptor serotonin.
Antipsikotik atipikal berbeda dari antipsikotik tipikal yang
efeknya lebih minimal kecenderungan untuk menyebabkan
gangguan ekstrapiramidal pada pasien yang meliputi penyakit
gerakan parkinsonisme, kekakuan tubuh dan tremor tak
terkontrol. Gerakan-gerakan tubuh yang abnormal bisa menjadi
permanen obat bahkan setelah antipsikotik dihentikan.
Beberapa contoh obat golongan ini adalah Clozapine,
Risperidon, Amisulpride. Clozapine umumnya
antipsikotik dari setidaknya dua kelas antipsikotik yang
berbeda (Timothy J R Lambert and David J Castle, 2003).
Selain itu ada juga Risperidon yaitu obat yang paling banyak
diresepkan di banyak negara, dan dosis yang dianjurkan adalah
<6 mg / hari. Obat ini memiliki efek samping ekstrapiramidal
syndrom yang rendah. (Timothy J R Lambert and David J
Castle, 2003). Obat ini merupakan selektif dopamin antagonis
yang mengakibatkan peningkatan dopamin transmisi dan
memperbaiki gejala negatif skizofrenia. (eMC, 2011).
Terapi skizofrenia secara farmakologi berdasarkan onset
dibagi menjadi 2 fase, yaitu (Sadock & Sadock, 2010):
a) Fase Psikosis Akut
Pada fase ini pengobatan dengan menggunakan anti
psikotik dan benzodiazepine akan cepat menenangkan pasien
yang kebanyakan mengalami agitasi akibat halusinasi dan
delusi. Anti psikotik akan bekerja lebih cepat melalui injeksi
intramuskuler (Sadock & Sadock, 2007). Obat antipsikotik
yang dapat menyebabkan akinesia dan gangguan traktus
ekstrapiramidalis antara lain haloperidol dan flupenazine.
Sedangkan golongan antipsikotik atipikal seperti olanzapine
dan risperidone tidak menyebabkan gangguan ekstrapiramidal
b) Fase Maintenance dan Stabilisasi
Pada fase ini tujuan pengobatan adalah mencegah relaps
dengan terus menggunakan obat-obatan karena jika obat
dihentikan maka risiko terjadi relaps meningkat hingga 72 %
pada satu tahun pertama, sehingga disarankan agar pengobatan
dilakukan minimal selama 5 tahun (Sadock & Sadock, 2007).
2) Non Farmakoterapi
Beberapa jenis pengobatan yang tidak menggunakan
obat-obatan yaitu:
a) ECT (Electro Convulsive Therapy) Dikatakan penggunaan
ECT dengan pengobatan entipsikotik akan lebih efektif
(Sadock & Sadock, 2007).
b) Terapi Berorientasi Keluarga
c) Karena pasien dikembalikan dalam keadaan remiten, maka
penting untuk mengedukasi keluarga bagaimana cara mengatasi
masalah-masalah yang dapat timbul dari pasien. (Sadock &
Sadock, 2007)
2. Kepatuhan Minum Obat
a. Definisi
Menurut WHO (2003), kepatuhan dibagi menjadi adherence dan
compliance. Adherence adalah sejauh mana perilaku pasien minum
obat, mengikuti diet, dan/atau melakukan perubahan pola hidup, sesuai
satu arah, yaitu dari dokter ke pasien padahal komunikasi penting
untuk mengefektifkan pengobatan. Definisi compliance saat ini telah
jarang untuk digunakan lagi.
Kepatuhan pengobatan berhubungan dengan perilaku pengobatan
pasien dan secara khusus mengacu pada sejauh mana pasien mengikuti
rencana pengobatan yang telah disepakati bersama. Ketidakpatuhan
terhadap pengobatan yang diketahui terkait dengan hasil pengobatan
yang lebih buruk khususnya dalam pengelolaan penyakit kronis
(Menna Alene et al., 2012).
Keluarga sebagai orang yang dekat dengan pasien harus
mengetahui prinsip 5 benar dalam minum obat yaitu pasien yang
benar, obat yang benar, dosis yang benar, cara/rute pemberian yang
benar, dan waktu pemberian obat yang benar dimana kepatuhan terjadi
bila aturan pakai dalam obat yang diresepkan serta pemberiannya di
rumah sakit diikuti dengan benar. Ini sangat penting terutama pada
penyakit- penyakit menahun termasuk salah satunya adalah penyakit
gangguan jiwa. Faktor pendukung pada klien, adanya keterlibatan
keluarga sebagai pengawas minum obat pada keluarga dengan klien
dalam kepatuhan pengobatan (Butar Butar, 2011).
Efektivitas pengobatan salah satunya tergantung pada kepatuhan
pasien terhadap regimen terapi. Pasien, penyedia layanan kesehatan,
dan sistem perawatan kesehatan memiliki peran untuk meningkatkan
dilembagakan dalam meningkatkan kepatuhan pengobatan adalah
sebagai berikut:
1) Tingkat resep:
Memperkenalkan pendekatan kolaboratif dengan pasien pada
tingkat resep. Bila mungkin, melibatkan pasien dalam pengambilan
keputusan tentang obat mereka sehingga mereka memiliki rasa
kepemilikan dan mereka adalah mitra dalam rencana pengobatan.
Selain itu dengan menyederhanakan penggunaan obat yaitu
menggunakan rejimen sederhana yang paling mungkin berdasarkan
karakteristik pasien.
2) Berkomunikasi dengan pasien:
Jelaskan informasi kunci ketika meresepkan / pengeluaran
obat mengenai informasi penting tentang obat (apa, mengapa,
kapan, bagaimana, dan berapa lama). Selain itu menginformasikan
efek samping yang umum dan yang pasien harus selalu tahu sebab
pasien akan lebih khawatir dan menyebabkan ketidakpatuhan
minum obat karena efek samping yang tidak memperingatkan
kepada mereka terlebih dahulu oleh para profesional perawatan
kesehatan. Dokter maupun para profesional kesehatan lainnya bisa
menyarankan pasien untuk menyediakan kalender obat atau jadwal
yang menentukan waktu untuk mengambil obat, kartu obat, grafik
3) Follow up :
Menetapkan jadwal yang tepat untuk menindaklanjuti
pengobatan. Dokter dan apoteker bisa memeriksa efektivitas
kepatuhan minum obat sebab sangat penting bagi penyedia layanan
kesehatan untuk mengidentifikasi penyebab ketidakkepatuhan
pasien untuk menentukan strategi intervensi yang tepat.. Selain itu
bisa mengidentifikasi kesulitan dan kendala yang berkaitan dengan
kepatuhan. Keterlibatan pasien dalam pengambilan keputusan
sangat penting dalam meningkatkan kepatuhan terhadap
pengobatan.
Pendorong utama ketidakpatuhan termasuk kurangnya
wawasan, keyakinan dalam pengobatan dan penyalahgunaan zat.
Konsekuensi utama dari ketidakpatuhan termasuk risiko yang lebih
besar kambuh, rawat inap dan bunuh diri. Faktor positif terkait
dengan kepatuhan adalah hubungan terapeutik yang baik dengan
dokter dan persepsi manfaat obat. (Jose, 2011).
b. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kepatuhan Minum Obat
Berdasarkan sebuah penelitian oleh Wayne S. Fenton, Crystal R.
Blyler dan Robert K Heinssen (1997), ada beberapa faktor yang
menjadi faktor penentu kepatuhan minum obat pasien :
1) Faktor pasien
Pada pasien dengan gejala waham kebesaran atau yang
atau keduanya. Insight yang menurun, atau semakin pasien tidak
sadar bahwa dirinya sakit, admisi involuntary akan semakin
mempermudah kejadian ketidakpatuhan pada pengobatan.
Komorbiditas dengan penyalahgunaan obat dan alkohol akan
meningkatkan kejadian kambuh hingga 13% dan hal ini sering
terjadi pada pasien skizofrenia yang baru keluar dari rumah sakit
karena tingkat stress yang tinggi.
2) Faktor obat
Pengobatan skizofrenia bersifat antagonis terhadap dopamin
sehingga akan menurunkan kepekaan reseptor terhadap dopamin
ataupun langsung menurunkan jumlah dopamin. Efek pemakaian
jangka panjangnya adalah timbulnya mood disforia. Selain itu
pengobatan lain yang lebih sering menimbulkan efek samping
adalah haloperidol dengan efek sedasi dan antikolinergiknya yang
dapat menyebabkan tremor patologis dan tardive dyskinesia.
3) Faktor lingkungan
Pasien skizofrenia yang dirawat di rumah oleh keluarga yang
tidak begitu peduli terhadap pengobatan, atau keluarga jauh akan
lebih sering mengalami kekambuhan. Oleh karena itu, perilaku
positif akan cenderung meningkatkan compliance. Faktor
hambatan praktikal, seperti tidak adanya uang ataupun kondisi
rumah yang jauh dengan tempat kontrol juga dapat menjadi faktor
4) Faktor terkait klinisi
Hal-hal yang terkait dengan klinisi yang dapat menjadi faktor
ketidakpatuhan pasien pada pengobatan adalah faktor rumah sakit
yang memerlukan birokrasi panjang dan pelayanan yang tidak baik.
Selain itu faktor edukasi keluarga yang kurang oleh dokter
termasuk seperti tidak menunjukkan emosi yang berlebihan pada
pasien. Hal ini mencakup apa-apa saja yang perlu dihindari pada
pasien skizofrenia dan pengobatan pasien,bahkan sebuah studi
yang membahas terkait pelatihan pengobatan mencakup jenis, efek
samping,kegunaan dan menegosiasikan personal treatment dengan
dokter akan meningkatkan compliance (Fenton et al., 1997).
Ketidakpatuhan dalam meminum obat akan meningkatkan
risiko relaps hingga 92%. Harus dikatakan bahwa pasien yang
teratur minum obat selama 1tahun pun tetap dapat jatuh dalam
kondisi relaps, walaupun relaps baru bisa terjadi setelah putus obat
selama beberapa minggu hingga bulan, hanya saja jika pasien
patuh terhadap pengobatan maka waktu remisi atau bebas gejala
dapat bertahan lebih lama dan gejala relaps tidak akan seburuk
episode pertama skizofrenia (Fenton et al., 1997).
Pengobatan memang tidak dikatakan menyembuhkan
skizofrenia tetapi menjaga kualitas hidup pasien tetap baik melalui
pengurangan intensitas dan frekuensi relaps (National Institute of
bahkan pada pasien dengan ketidakteraturan pengobatan plasebo
pun angka relaps sama dengan pasien yang meminum obat
antipsikotik. Hal ini semakin mempertegas bahwa keteraturan
pengobatan memiliki suatu efek sugestif sehingga menurunkan
angka relaps. Selain itu dapat dikatakan kondisi penyakit dan
kehidupan pasien yang memiliki diversitas yang tinggi turut pula
berkontribusi terhadap ketidakpatuhan dalam meminum obat
(Fenton et al., 1997). Beberapa hal lain yang dikatakan dapat
mempengaruhi keteraturan minum obat adalah adanya terapi
modalitas yang mensupport farmakoterapi, terapi intervensi untuk
menjaga kepatuhan seperti konseling keluarga dan pasien, dan
hubungan terapetik yang baik (Fenton et al., 1997)
Ketidakpatuhan minum obat terjadi pada semua gangguan
medis yang kronis. Salah satu penyakit kronis yang sering dijumpai
yaitu skizofrenia. Ini merupakan tantangan khusus dalam
skizofrenia karena asosiasi penyakit dengan isolasi sosial, stigma,
dan penyalahgunaan zat komorbiditas, ditambah efek domain
gejala pada kepatuhan, termasuk gejala positif dan negatif,
kurangnya wawasan, depresi, dan gangguan kognitif.
Ketidakpatuhan terletak pada spektrum, seringkali terselubung, dan
diremehkan oleh dokter, tetapi mempengaruhi lebih dari sepertiga
kekambuhan, rehospitalization, meningkatkan biaya rawat inap,
dan menurunkan kualitas hidup (Peter et al.,2014).
c. Karakteristik skizofrenia yang mengalami ketidakpatuhan
Hasil penelitian Wardani (2009) menunjukan perilaku tidak
patuh minum obat pada klien skizofrenia sangat beragam, seperti :
menurunkan dosis, meningkatkan dosis, minum obat dengan dosis
diluar pengawasan medis, menolak obat dan minum obat tidak tepat
waktu. Perilaku ketidakpatuhan juga bisa dilihat dari perilaku pasien
ketika membeli obat sendiri tanpa pengawasan.
d. Metode-metode untuk mengetahui kepatuhan minum obat pasien
Kepatuhan minum obat bisa dideteksi dengan metode kualitatif
melalui pengisian beberapa jenis kuisioner kepatuhan minum obat
seperti Drug Inventory Attitude -10 (DAI-10) atau Medication
Adherence Rating Scale (MARS), dan beberapa jenis yang lain (Kane, Kissling, Lambert, & Parellada, 2010). Cara untuk mendeteksi yang
lain adalah dengan mengetahui dari pengakuan pasien sendiri,
skrining urin dan saliva, pembaruan resep (kerutinan kontrol) dan
jumlah pil yang diambil, atau skrining serum. Hanya saja hal ini
memang sulit untuk dilakukan karena mungkin akan dipengaruhi pada
kesalahan dalam dosis dan waktu pemberian, meminum obat yang
seharusnya tidak boleh, dan kesalahan dalam pemberian resep (Fenton
Morisky Medication Adherence Scale (MMAS) adalah salah satu
alat untuk mendeteksi ketidakpatuhan pasien dalam minum obat.
Kuisioner dijawab dengan jawaban iya atau tidak pada nomor 1 hingga
7, pada nomor 8 jawaban berupa spektrum sering hingga tidak pernah.
Kuisioner ini terdiri atas 8 pertanyaan terkait perilaku pasien terhadap
pengobatannya. MMAS memiliki sensitifitas sebesar 93% dan
spesifisitas sebesar 53% pada sebuah studi kepatuhan minum obat anti
hipertensi (Donald E. Morisky, 2008). Sebuah penelitian yang pernah
dilakukan di negara palestina membuktikan bahwa kuisioner ini dapat
digunakan untuk pasien skizofrenia. Hasil penelitian tersebut adalah
lebih dari 70% pasien skizofrenia mengalami ketidakpatuhan minum
obat (Sweileh WM, 2012). Pada sebuah penelitian validitas dan
reliabilitas dari MMAS pada pasien hipertensi didapatkan validitas p =
B. Kerangka Konsep
Gambar 1. Kerangka Konsep
C. Hipotesis
Ada hubungan yang signifikan antara kepatuhan minum obat dengan
gejala-gejala klinis pasien skizofrenia.
SKIZOFRENIA
VARIABEL BEBAS: KEPATUHAN MINUM OBAT
Usia
Jenis Kelamin Status pernikahan Pekejaan
Pendidikan
Sub diagnosis medis Tingkat Kepatuhan Minum obat
VARIABEL TERIKAT: GEJALA-GEJALA KLINIS PASIEN
32
Penelitian ini merupakan penelitian observasional analitik dengan
rancangan cross sectional, untuk mengetahui hubungan antara kepatuhan
minum obat dan gejala klinis skizofrenia. Penelitian cross sectional mencakup
semua jenis penelitian yang pengukuran variabel-variabelnya dilakukan
bersamaan dalam satu waktu.
B. Populasi dan Sampel
Populasi penelitian ini adalah semua penderita skizofrenia di wilayah
Bantul Yogyakarta. Sampel penelitian adalah bagian dari populasi yang dipilih
dengan cara tertentu sehingga mewakili populasinya (Sastroasmoro & Ismael,
2011). Sampel diambil dengan teknik consecutive sampling. Setiap pasien
yang memenuhi kriteria inklusi dimasukan ke dalam penelitian.
Kriteria inklusi dan ekslusi dalam penelitian ini adalah :
1. Kriteria inklusi
Subjek dapat diikutsertakan dalam penelitian ini apabila memenuhi
kriteria sebagai berikut :
a. Pasien yang terdiagnosis sebagai penderita skizofrenia.
b. Pasien skizofrenia pada fase maintenance.
c. Pasien skizofrenia bersedia menjadi responden penelitian.
d. Pasien skizofrenia yang kooperatif dan bersedia menjadi responden
e. Pasien skizofrenia usia 18-60 tahun.
2. Kriteria ekslusi
Subjek tidak diikutsertakan dalam penelitian apabila :
a. Penderita skizofrenia dengan kecacatan fisik bawaan.
b. Penderita skizofrenia yang mengisi kuesioner tidak lengkap.
c. Penderita skizofrenia dengan penyakit fisik berat.
Perkiraan besar sample dalam penelitian ini menggunakan rumus besar
sampel untuk koefisien korelasi. Rumus yang digunakan adalah :
n = Zα + Zβ
0,51n (1 + r ) (1 – r )
Keterangan :
n = besar sampel
α = tingkat kemaknaan
r = perkiraan koefisien korelasi
z β = power
Pada penelitian perkiraan koefisien korelasi (r) adalah 0,5 karena
peneliti belum menemukan sumber pustaka yang menyatakan besarnya
koefisien korelasi antara kepatuhan minum obat dengan gejala klinis
penderita skizofrenia. Tingkat kemaknaan α = 0.005 dan power= 0,90.
Besar sampel berdasarkan rumus diatas adalah 38 (Sastroasmoro dan
C. Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan di 8 Puskesmas Provinsi DIY yaitu Puskesmas
Wates, Puskesmas Bambanglipura, Puskesmas Godean Sleman , Puskesmas
Gondomanan, Puskesmas Gendangsari, Puskesmas Kraton , Puskesmas
Srandakan, Puskesmas Temon, Puskesmas Tempel, Puskesmas Playen.
Pengambilan data penelitian dilakukan pada bulan Mei – Juni 2016
D. Variabel penelitian
1. Variabel Tergantung
Variabel tergantung pada penelitian ini adalah gejala klinis penderita
skizofrenia.
2. Variabel Bebas
Variabel bebas pada penelitian ini adalah kepatuhan minum obat
skizofrenia.
E. Definisi Operasional
Definisi Operasional dalam penelitian ini adalah :
1. Kepatuhan minum obat
a. Definisi
Kepatuhan minum obat adalah ketaatan akan derajat dimana penderita
mengikuti anjuran klinis dari dokter yang mengobati, dikatakan patuh
apabila memenuhi 4 kriteria yaitu : dosis diminum sesuai yang
dianjurkan, durasi waktu minum obat diantara dosis sesuai dengan
yang dianjurkan, jumlah obat yang diambil pada suatu waktu sesuai
b. Alat ukur : kuisioner MMAS
c. Skala : ordinal
d. Kategori : ya atau tidak dengan ditotalkan semua hasilnya
2. Gejala klinis pasien skizofrenia
a. Definisi
Gejala-gejala positif secara umum merupakan manifestasi yang lebih
aktif dari perilaku abnormal atau eksis atau distorsi dari perilaku
normal sedangkan gejala negatif merupakan defisit dalam perilaku
abnormal, misalnya dalam hal pembicaraan dan motivasi
b. Alat ukur : kuisioner PANSS
c. Skala : ordinal
d. Kategori : Sakit ringan = kurang lebih 61 , sakit sedang = kurang
lebih 78, terlihat nyata sakit = kurang lebih 96, sakit berat
= kurang lebih 118, sakit sangat berat = kurang lebih 147.
F. Alat dan Bahan Penelitian
Alat dan bahan dalam penelitian ini adalah kuisioner. Kuisioner yang
digunakan pada penelitian ini antara lain :
1. Kuesioner Data Pribadi
Kuesioner ini berisi : nama, umur, jenis kelamin, alamat, pekerjaan,
status perkawinan, riwayar keluarga, faktor pencetus, onset usia penyakit,
2. Kuesioner Morisky Medication Adherence Scale (MMAS)
Morisky Medication Adherence Scale (MMAS) adalah salah satu alat untuk mendeteksi ketidakpatuhan pasien dalam minum obat. Kuesioner
dijawab dengan jawaban iya atau tidak pada nomor 1 hingga 7, pada
nomor 8 jawaban berupa spektrum sering hingga tidak pernah. Kuisioner
ini terdiri atas 8 pertanyaan terkait perilaku pasien terhadap
pengobatannya. MMAS memiliki sensitifitas sebesar 93% dan spesifisitas
sebesar 53% pada sebuah studi kepatuhan minum obat anti hipertensi
(Donald E. Morisky, 2008). Sebuah penelitian yang pernah dilakukan di
negara palestina membuktikan bahwa kuisioner ini dapat digunakan untuk
pasien skizofrenia. Hasil penelitian tersebut adalah lebih dari 70% pasien
skizofrenia mengalami ketidakpatuhan minum obat (Sweileh WM, 2012).
Pada sebuah penelitian validitas dan reliabilitas dari MMAS pada pasien
hipertensi didapatkan validitas p = 0.5 dan reliabilitas sebesar 0,83
(Donald E. Morisky, 2008).
Pengukuran Morisky scale 8-items, untuk pertanyaan 1 sampai 7,
kecuali nomor 8 jika menjawab tidak pernah/ jarang ( tidak sekalipun
dalam satu minggu) bernilai 0, terkadang (tiga atau empat kali dalam satu
minggu, biasanya ( lima atau enam kali dalam satu minggu) dan setiap saat
bernilai 1. Pasien dengan skor total lebih dari dua dikatakan kepatuhan
rendah, jika skor 1 atau 2 dikatakan sedang dan jika skor 0 dikatakan
3. Kuesioner Positive and Negative Syndrome Scale ( PANSS )
Positive and Negative Syndrom Scale (PANSS) adalah instrumen yang telah diakui memiliki tingkat kepercayaan yang tinggi untuk menilai
gejala positif dan negatif skizofrenia. PANSS terdiri dari 33 butir
pertanyaan yang masing-masing dinilai dalam skala 7 poin. Tujuh butir
dikelompokkan dalam skala positif, tujuh butir dikelompokkan dalam
skala negatif, enam belas butir menilai psikopatologi umum dan terdapat
tiga butir tambahan yang menilai adanya resiko agresi. Skor PANSS
masing-masing item sebagai berikut : 1 = tidak ada, 2 = minimal, 3 =
ringan, 4 = sedang, 5 = agak berat, 6 = berat , 7 = sangat berat. Total
semua skor masing-masing item dijumlah dengan hasil sebagai berikut :
Sakit ringan = kurang lebih 61, sakit sedang = kurang lebih 78, terlihat
nyata sakit = kurang lebih 96, sakit berat = kurang lebih 118, sakit sangat
berat = kurang lebih 147.
G. Jadwal Penelitian
Pelaksanaan penelitia dibagi menjadi 3 tahap, yaitu :
1. Tahap Persiapan Penelitian
Pada tahap ini peneliti mengajukan judul penelitian, melakukan
bimbingan dan konsultasi dalam penyusunan proposal sampai dengan
ujian proposal penelitian, kemudian peneliti mempersiapkan instrumen
penelitian berupa kuesioner data pribadi sampel, kuesioner kepatuhan
minum obat Morisky Medication Adherence Scale (MMAS) dan kuisioner
2. Tahap Pelaksanaan
Pelaksanaan pengambilan data dilakukan di beberapa Puskesmas
Yogyakarta. Responden diberikan penjelasan secara langsung mengenai
penelitian ini dan diminta kesediaannya untuk ikut berpartisipasi dalam
penelitian ini dengan menandatangani informed consent. Responden
diminta untuk mengisi data kuesioner identitas pribadi, kuesioner
kepatuhan minum obat Morisky Medication Adherence Scale (MMAS) dan
kuisioner Positive and Negative Syndrom Scale (PANSS) peneliti
mendampingi responden selama mengisi kuesioner sampai semua
kuesioner selesai diisi oleh responden dan telah diberikan kembali ke
peneliti. Pengisian kuesioner juga dapat dilakukan dengan cara
mewawancarai responden.
3. Tahap Penyelesaian
Pengolahan data diawali dengan menghitung hasil skor dari
kuesioner-kuesioner yang telah diisi oleh responden, selanjutnya data yang
diperoleh dari hasil penelitian akan dianalisis menggunakan program dari
komputer yaitu SPSS (Statistical Product and Service Solution) dengan
menggunakan Deskriptif Statistik dan uji korelasi Pearson.
Pembahasan hasil dari penelitian dilakukan setelah melakukan
analisis data, kemudian dilakukan revisi dan presentasi dengan
H. Uji Validitas dan Reabilitas
Penelitian ini tidak dilakukan uji Reabilitas karena kuesioner yang
digunakan pada penelitia sebelumnya sudah pernah dilakukan oleh penelitian
sebelumnya yang pernah dilakukan di negara palestina membuktikan bahwa
kuisioner ini dapat digunakan untuk pasien skizofrenia. Hasil penelitian
tersebut adalah lebih dari 70% pasien skizofrenia mengalami ketidakpatuhan
minum obat (Sweileh WM, 2012). Pada sebuah penelitian validitas dan
reliabilitas dari MMAS pada pasien hipertensi didapatkan validitas p = 0.5
dan reliabilitas sebesar 0,83 (Donald E. Morisky, 2008). Sedangkan PANSS
untuk dapat dipakai pada pasien skizofrenia Indonesia telah diuji reliabilitas,
validitas, sensitivitas oleh A.Kusumawardhani tim dari FK-UI pada tahun
1994. Reliabilitas internal diuji dengan rumus koefisien alfa dari Cronbach
terhadap 140 pasien skizofrenia. Untuk gejala positif didapatkan alfa 0,725,
untuk gejala negatif 0,838, untuk gejala psikoptologi 0,684. Hasil terjemahan
PANSS ke dalam bahasa Indonesia sesuai dengan PANSS yang ada dalam
bahasa Inggris ( Kusumawardhani,1994).
I. Analisis data
Analisis data dilakukan melalui tahap-tahap berikut :
1. Editing
Editing dilakukan dengan cara memeriksa kelengkapan data yang sudah
diperoleh dari responden dan kesesuaian data. Tahap ini dilakukan segera
setelah peneliti menerima data kuesioner yang telah diisi oleh responden,
2. Coding
Kegiatan tahap ini adalah memberikan kode berupa angka pada
masing-masing item pertanyaan supaya lebih munudah lalu dimasukkan dalam
bentuk tabel kerja untuk diolah lebih lanjut.
3. Analiting
Data yang telah terkumpul diolah dan dianalisis oleh analisis Univariate
Analisa univariate adalah analisa yang digunakan untuk mendapatkan
gambaran distribusi frekuensi responden serta untuk menganalisa
karakteristik responden meliputi usia, jenis kelamin, tempat tinggal dan
pendidikan.
4. Analisis Bivariate
Analisa Bivariateadalah analisa dengan cara melihat hubungan antara
variabel secara deskriptif dan diduga memiliki pengaruh. Analisis ini
dilakukan dengan menggunakan uji Paired T Test dengan tingkat
signifikasi (α) 0,005 atau P < 0,05
5. Etik penelitian
Penelitian ini dilaksanakan dengan tetap mempertimbangkan etika
penelitian sebagai bentuk perlindungan terhadap responden yang menjadi
subjek dalam penelitian ini. Etika penelitian pada penelitian ini
a. Right to self determination (hak untuk tidak menjadi responden)
Subjek penelitian harus dilakukan secara manusiawi dan memiliki hak
untuk memutuskan apakah bersedia menjadi subjek penelitian atau
tidak, tanpa adanya hukuman apapun.
b. Informed Consent
Subjek harus mendapatkan informasi secara lengkap mengenai tujuan
penelitian yang akan dilaksanakan dan memiliki hak untuk bebas
berpartisipasi atau menolak menjadi responden.
c. Right in fair treatment ( hak untuk mendapatkan perlakuan yang adil)
Subjek harus diperlakukan secara adil baik sebelum, selama, maupun
sesudah keikusertaannya dalam penelitia tanpa adanya diskriminasi
apabila ternyata mereka tidak bersedia atau dropped out sebagai
responden.
d. Right to privacy ( hak dijaga kerahasiaannya)
Subjek memiliki hak untuk meminta bahwa data yang diperoleh dari
subjek harus dirahasiakan. Subjek penelitian ini dilindungi hak-haknya
dengan diberikan informed consent dan diberi penjelasan selengkap
mungkin mengenai penelitian yang akan dilakukan. Persetujuan dari
komite etik bidang penelitian FKIK Universitas Muhammadiyah
Yogyakarta juga diupayakan untuk memastikan bahwa penelitian ini
42
1. Gambaran Umum dan Karakteristik Responden Penelitian
Penelitian tentang Hubungan Kepatuhan Minum Obat dengan Gejala
Klinis Pasien Skizofrenia telah dilaksanakan di beberapa puskesmas
Yogyakarta pada tanggal 16-30 Mei 2016. Jumlah responden penelitian
yang didapatkan sebesar 106 orang. Akan tetapi hanya 69 orang yang
memenuhi kriteria inklusi penelitian ini.
Tabel.2 Jumlah pasien skizofrenia di 10 Puskesmas Provinsi DIY
Nama Puskesmas Jumlah Pasien
Wates 8 orang
Bambanglipura 11 orang
Godean Sleman 10 orang
Gondomanan 9 orang
Gendangsari 9 orang
Kraton 11 orang
Srandakan 9 orang
Temon 13 orang
Tempel 12 orang
Playen 12 orang
Penelitian ini dilakukan dengan mengambil sebanyak 69 responden
untuk dilakukan penelitian. Responden yang dipilih sesuai dengan kriteria
inklusi dan ekslusi pada penelitian ini.
Penelitian ini dilakukan dengan cara pengumpulan data yang dibantu
oleh beberapa kader kesehatan di beberapa puskesmas provinsi
formulir inform consent atau surat persetujuan untuk mengikuti penelitian
ini. Selanjutnya pihak responden dan keluarga dilakukan wawancara
dengan tim penilai mengenai kepatuhan minum obat responden dan
gejala-gejala yang masih sering dialami oleh responden.
Tabel 3. Karakteristik Pasien Skizofrenia di 8 Puskesmas Provinsi DIY Karakteristik Responden Jumlah Persentase
Jenis Kelamin
Berdasarkan tabel 3. bahwa jumlah pasien skizofrenia sebanyak 69
(100%) orang dan lebih banyak pada laki-laki yaitu sejumlah 44 (63,76%)
orang dibandingkan jumlah pasien skizofrenia pada perempuan sejumlah
1. Kepatuhan Minum Obat Pasien Skizofrenia
Kategori kepatuhan minum obat pasien skizofrenia didapat dari hasil
hitung jumlah skor yang diperoleh dari masing-masing responden. Hasil
tersebut dapat dilihat pada tabel berikut ini:
Tabel 4. Gambaran Tingkat Kepatuhan Minum Obat Pasien Skizofrenia Tingkat Kepatuhan
2. Gejala Klinis Pasien Skizofrenia berdasarkan PANSS
Tabel 5. Distribusi Gejala Klinis Pasien Skizofrenia berdasarkan PANSS Tingkat keparahan gejala Jumlah Persentase
Sakit ringan 24 orang 34,78%
Sakit sedang 22 orang 31,88%
Terlihat nyata sakit 10 orang 14,49%
Sakit berat 9 orang 13,04%
Sakit sangat berat 4 orang 5,79%
Berdasarkan tabel 5. Distribusi gejala klinis pasien skizofrenia
berdasarkan skor PANSS didapatkan jumlah pasien dengan gejala ringan
paling besar yaitu sebanyak 24 (34,78%) orang dibandingkan derajat
3. Analisis Uji Statistik Korelasi
Tabel 6. Analisis Uji Statistik Korelasi
Gejala Klinis Nilai p Korelasi
Analisis uji statistik korelasi antara kedua variabel penelitian ini
menggunakan skala pengukuran ordinal dan ordinal dianalisis dengan
menggunakan uji analisis korelasi Spearman. Berdasarkan hasil uji
analisis korelasi yang terdapat pada Tabel 6. menunjukan bahwa nilai
korelasi 0,141 ( P>0,05) yang berarti tidak terdapat hubungan yang
bermakna antara kepatuhan minum obat dengan gejala klinis pasien
skizofrenia.
B. Pembahasan
Pada penelitian ini peneliti ingin mengetahui karakteristik responden
secara keseluruhan dan ada tidaknya hubungan antara kepatuhan minum obat
1. Karakteristik Responden
Berdasarkan pada tabel .3 dapat dilihat bahwa terdapat perbedaan
bermakna antara jumlah responden laki-laki dan perempuan. Didapatkan
jumlah responden laki-laki sebesar 44 (63,76%) orang dibandingkan
perempuan sebesar 25 (36,24%) orang. Penelitian ini sesuai dengan
penelitian Cordosa et.al, (2005) mengemukakan kenapa perempuan lebih
sedikit beresiko mengalami gangguan jiwa dibandingkan laki-laki karena
perempuan lebih bisa menerima situasi kehidupan dibandingkan laki-laki.
Berdasarkan karakteristik responden juga didapatkan bahwa lebih
banyak responden yang tidak bekerja yaitu sejumlah 47 (68,12%) orang
dibandingkan responden yang bekerja yaitu sejumlah 22 (31,88%) orang.
Hal ini juga sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Erlina et.al,
(2010) yang menyebutkan bahwa orang yang tidak bekerja kemungkinan
mempunyai risiko 6,2 kali lebih besar menderita skizofrenia dibandingkan
orang yang bekerja. Fakhrul et.al, (2014) menambahkan bahwa selain
motivasi diri yang kurang karena adanya gejala negatif, stima dan
diskriminasi terhadap pasien skizofrenia menghalangi mereka untuk
berintegritas ke dalam masyarakat karena sering mendapat ejekan, isolasi
sosial dan ekonomi.
Tingkat pendidikan responden penelitian ini bervariasi yaitu dari
tidak bersekolah hingga tingkat sarjana. Pasien skizofrenia pada penelitian
ini sebagian besar memiliki riwayat pendidikan terakhir SMA yaitu
tingkat pendidikan dapat disebabkan karena faktor ekonomi dari orangtua
pasien, dan timbulnya gejala saat remaja. Pasien yang mengalami
gangguan akibatnya tidak dapat menyelesaikan pendidikannya dengan
baik.
2. Kepatuhan Minum Obat Pasien Skizofrenia
Berdasarkan tabel.4 Hasil penelitian ini menunjukan bahwa 69
responden yang diteliti jumlah pasien dengan kepatuhan rendah sejumlah
36 orang, kepatuhan sedang sejumlah 32 orang dan kepatuhan tinggi hanya
1 orang. Hal ini sesuai dengan penelitian Baiq (2014) yang mengatakan
bahwa sebagian besar pasien skizofrenia tidak patuh terhadap pengobatan.
Selain itu Niven (2002) menambahkan bahwa alasan sebagian besar
pasien yang tidak patuh terhadap pengobatan karena jumlah obat yang
diminum, adanya efek samping obat serta tidak adanya pengawasan oleh
keluarga pasien.
3. Gambaran Gejala Klinis Pasien Skizofrenia berdasarkan Skor PANSS
Berdasarkan tabel .5 diketahui bahwa proporsi jumlah responden
paling banyak adalah responden yang memiliki gejala ringan sebesar 24
4. Analisis Uji Korelasi Kepatuhan Minum Obat dengan Gejala Klinis Pasien Skizofrenia
Berdasarkan tabel .6 penelitian ini didapatkan nilai p > 0,05 yaitu
sebesar 0,141 yang menunjukan tidak didapatkan hubungan yang
bermakna antara kepatuhan minum obat pasien dan gejala klinis dari skor
PANSS. Hal ini didukung oleh penelitian Linden et.al, (2011) yang
melaporkan tidak ada hubungan antara keparahan gejala dan kepatuhan
minum obat pada pasien skizofrenia karena terdapat faktor lain seperti
kurangnya dukungan keluarga yang dapat mempengaruhi gejala pasien.
(Rettern et.al, 2005 dalam Journal Kyoko.et.al, 2013) menambahkan
bahwa secara statistik tidak didapatkan hubungan kepatuhan minum obat
dengan gejala positif pasien skizofrenia.
Penelitian Irene et.al, (2015) mengatakan bahwa sebagian besar
pasien dari gejala ringan hingga gejala sangat berat yang tidak patuh
terhadap pengobatan dikarenakan efek samping obat, biaya pengobatan,
dosis obat dan cara pemberian obat dan dari hasil penelitiannya pasien
yang minum obat teratur serta mendapat dukungan baik dari keluarga, hal
ini membawa dampak bagi pasien sehingga prevalensi kekambuhan dari
pasien berkurang selama 1 tahun pasien tidak menunjukan gejala
kekambuhan saat dirawat keluarga di rumah. Yudi et.al, (2015)
menambahkan bahwa faktor dukungan keluarga yang sangat buruk dapat
menyebabkan mayoritas pasien skizofrenia mengalami kekambuhan.