• Tidak ada hasil yang ditemukan

HUBUNGAN ANTARA KEPATUHAN MINUM OBAT DENGAN GEJALA KLINIS PASIEN SKIZOFRENIA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "HUBUNGAN ANTARA KEPATUHAN MINUM OBAT DENGAN GEJALA KLINIS PASIEN SKIZOFRENIA"

Copied!
94
0
0

Teks penuh

(1)

DENGAN GEJALA KLINIS PASIEN SKIZOFRENIA

Diajukan untuk Memenuhi Sebagian Syarat Memperoleh Derajat Sarjana Kedokteran pada Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan

Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

Disusun Oleh : ELSA OKTAVIA

20120310097

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA

(2)

DENGAN GEJALA KLINIS PASIEN SKIZOFRENIA

Diajukan untuk Memenuhi Sebagian Syarat Memperoleh Derajat Sarjana Kedokteran pada Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan

Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

Disusun Oleh : ELSA OKTAVIA

20120310097

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA

(3)

iii

NIM : 20120310097

Program Studi : S1 Pendidikan Dokter

Fakultas : Kedokteran dan Ilmu Kesehatan

Menyatakan dengan sebenarnya bahwa Karya Tulis Ilmiah yang saya tulis ini benar-benar merupakan hasil karya tulis saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka dibagian akhir Karya Tulis Ilmiah ini.

Apabila dikemudian hari terbukti atau dapat dibuktikan Karya Tulis Ilmiah ini hasil jiplakan, maka saya bersedia menerima sanksi atas perbuatan tersebut.

Yogyakarta,24 Juni 2016 Yang membuat pernyataan

(4)

iv

Ilmiah yang dengan judul : “hubungan kepatuhan minum obat dengan gejala

klinis skizofrenia”. Karya Tulis Ilmiah ini dibuat dalam rangka menyelesaikan tugas akhir untuk mendapat gelar Sarjana Kedokteran di Fakultas Kedokteran Universuitas Muhammadiyah Yogyakarta.

Dalam penyusunan Proposal Karya Tulis Ilmiah ini penulis menyadari banyak mendapat bantuan, bimbingan dan dukungan dari berbagai pihak. Untuk itu, penulis menyampaikan terimakasih yang sedalam-dalamnya kepada yang terhormat :

1. dr. H. Ardi Pramono,Sp.An,M.Kes., selaku Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.

2. dr. Warih Andan Puspitosari,M.Sc. Sp.Kj., selaku pembimbing karya tulis

ilmiah, yang telah meluangkan waktu untuk memberikan

bimbingan,pengarahan dengan penuh kesabaran dan memberikan masukan untuk perbaikan serta selalu memberikan motivasi dalam menyelesaikan karya tulis ilmiah ini.

3. dr. Ida Rochmawati, Sp.Kj., selaku penguji yang telah memberikan masukan yang membangun selama proses penyelesaian karya tulis ilmiah ini.

4. Seluruh staf dan karyawan 8 Puskesmas Yogyakarta yang telah membantu proses penelitian.

5. Para kader kesehatan yang telah membantu proses penelitian

6. Sahabat-sahabat masa kuliah yang selalu memberi support Aziz, Firda, Arnis, Hilmi, Rosi, Satrio, Nadya, Saufi, Akbar, Aswin, group pengajian serta rekan-rekan angkatan 2012 Pendidikan Dokter UMY.

7. Sahabat-sahabat terdekat Intan,Rizka,Irwan,Lani,Risa yang selalu memberi support dalam mengerjakan karya tulis ilmiah ini.

(5)

v

10.Kakak-kakakku tercinta Panji Pratama,Githa Julivia,Heli Hernaningsih dan Dian Permana yang senantiasa memberi semangat dan doa-doa.

11.Semua pihak yang tidak bisa peneliti jelaskan satu persatu yang telah membantu dalam penyelesaian karya tulis ilmiah ini

Yogyakarta, 24 Juni 2016

(6)

vi

HALAMAN PENGESAHAN KTI ... ii

PERNYATAAN KEASLIAN ... iii

C. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 34

D. Variabel penelitian ... 34

E. Definisi Operasional... 34

(7)

vii

A. Hasil Penelitian ... 42

1. Gambaran Umum dan Karakteristik Responden Penelitian... 42

2. Kepatuhan Minum Obat Pasien Skizofrenia ... 44

3. Gejala Klinis pasien Skizofrenia berdasarkan PANSS ... 44

4. Analisis Uji Statistik Korelasi ... 45

B. Pembahasan ... 45

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 52

A. Kesimpulan ... 52

B. Saran ... 52

(8)

viii

Tabel 3. Karakteristik Pasien Skizofrenia di 8 Puskesmas Provinsi DIY ... 43

Tabel 4. Gambaran Tingkat Kepatuhan Minum Obat Pasien Skizofrenia ... 44

Tabel 5. Distribusi Gejala Klinis Pasien Skizofrenia berdasarkan PANSS ... 44

(9)
(10)

x

Lampiran 3. Surat Persetujuan Untuk Menjadi Responden Lampiran 4. Panss Versi Bahasa Indonesia

(11)
(12)

xi

Berbagai faktor dapat mempengaruhi kepatuhan minum obat pasien skizofrenia. Kepatuhan minum obat menyebabkan terjadinya penurunan gejala klinis pada pasien skziofrenia. Tingkat kepatuhan minum obat yang baik dapat mengurangi kekambuhan pasien skizofrenia dan penurunan gejala klinis pasien skizofrenia.Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara kepatuhan minum obat dengan gejala klinis pasien skizofrenia di Komunitas

Metode : Penelitian ini menggunakan metode observational analitik dengan

menggunakan rancangan cross sectional. Penelitian ini dilakukan dari bulan

Mei-Juni 2016 di 8 Puskesmas Provinsi DIY yaitu Puskesmas Wates, Puskesmas Bambanglipura, Puskesmas Godean Sleman , Puskesmas Gondomanan, Puskesmas Gendangsari, Puskesmas Kraton , Puskesmas Srandakan, Puskesmas Temon, Puskesmas Tempel, Puskesmas Playen. Subjek penelitian adalah pasien skizofrenia rawat jalan yang berada di wilayah 8 puskesmas tersebut. Jumlah subjek penelitian ini sebesar 69 pasien skizofrenia di Provinsi DIY. Instrumen penelitian menggunakan kuesioner PANSS (Positive and Negative Syndrome Scale) dan kuesioner MMAS ( Morisky Modification Adherence Scale).

Hasil : Hasil uji korelasi analitik dengan menggunakan Spearman, didapatkan hasil tidak ada hubungan antara kepatuhan minum obat dengan gejala klinis skizofrenia dengan menggunakan uji Spearman mendapat nilai p 0,141

Kesimpulan : dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat hubungan antara

kepatuhan minum obat dengan gejala klinis pasien skzofrenia dimana nilai p= 0,141

(13)

xii

Schizophrenia is a setlling serious neurobiological brain disease, characterized by abnormal cognitive, perceptual, and affective. This disease is chronic and require long-term treatment. Various factors can affect medication adherence of schizophrenic patients. The adherence leads to a decrease in clinical symptoms in skizophrenic patients. The good level of medication adherence can reduce the recurrence of schizophrenic patients and decrease the patient's clinical symptoms.This study aims to determine the relationship between medication adherence with clinical symptoms of patients with schizophrenia in the community.

Methods

This study used observational analytic with cross sectional design. This study was conducted from May-June 2016 in eight health centers, namely Puskesmas Wates Yogyakarta, Puskesmas Bambanglipura, Puskesmas Sleman Godean, Puskesmas Gondomanan, Puskesmas Gendangsari, Puskesmas Kraton, Puskesmas Srandakan, Puskesmas Temon, Puskesmas Tempel, Puskesmas Playen. Subjects were patients with schizophrenia outpatients who were in the region of 8 health centers. The number of subjects of this study is 69 patients with schizophrenia in the D.I.Yogyakarta Province. This study used questionnaires PANSS (Positive and Negative Syndrome Scale) and MMAS questionnaires (Morisky Modification adherence Scale).

Results

The results of the analytical test by using Spearman correlation, showed no association between medication adherence with clinical symptoms of schizophrenia using Spearman's test got p value 0.141.

Conclusion

There is no relationship between medication adherence with clinical symptoms of skzofrenia patients where the value of p = 0.141.

(14)

1

Skizofrenia adalah kelainan psikiatri yang meliputi 4 hal, yaitu persepsi,

pikiran, afek, dan prilaku. Penyakit ini biasanya dimulai sebelum usia 25

tahun dan akan bertahan seumur hidup dan tidak pandang strata dalam

menyerang, baik pasien maupun keluarga akan menderita karena penyakit ini

(Sadock & Sadock, 2007).

Skizofrenia adalah penyakit otak yang menyebabkan seseorang menjadi

disfungsional secara fisiologis untuk dirinya sendiri maupun interaksi secara

sosial. Berusaha untuk sembuh dan mengobati penyakit ini merupakan

tindakan yang dianjurkan dalam Islam.Bila dikaji secara mendalam, maka

sesungguhnya dalam agama Islam banyak ayat maupun hadist yang

memberikan petunjuk agar kita tetap berserah diri kepada Allah Swt dalam

menanggapi cobaan salah satunya penyakit gangguan jiwa. Contohnya sebagai

berikut :

تْنك دْنع يبّنلا ّ ص ل هْي ع، ّ س ت ء ج ، ا رْع أْا ل ق ف: ي لْ س ر،ل؟ ا د ت ن أ ل ق ف: ْ ع ن

ي د بع،ل،اْ ا د ت ّنإ ف ل ّز ع ّل ج ْ ل ْع ض ي ءا د ّلإ ع ض ه ل ء فش رْي غ ءا د دحا . ا ل ق: ؟ ه ل ق:

ر ْلا

(15)

Jadi jelaslah bahwa Allah SWT menurunkan penyakit beserta dengan

obatnya.Oleh karena itu manusia hendaklah berikhtiar dan bersabar dalam

menyembuhkan penyakitnya.

Kira-kira 1% dari jumlah seluruh penduduk dunia mengidap penyakit

skizofrenia, bahkan lebih dari 2 juta orang Amerika mengidap penyakit

ini.Prevalensi untuk orang dengan skizofrenia adalah sekitar 1,1% dari

populasi di atas usia 18 di U.S (National Institute of Mental Health, 2002).

Berdasarkan publikasi Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah penduduk

Indonesia pada tahun 2010 sebanyak 237.556.363 jiwa, maka diperkirakan

sekitar 2.375.564 orang menderita skizofrenia (Attayaya, 2011).

Riset Kesehatan Dasar tahun 2013 menyatakan bahwa secara Nasional

terdapat 0,17 % penduduk Indonesia yang mengalami Gangguan Mental Berat

(Skizofrenia) atau secara absolute terdapat 400 ribu jiwa lebih penduduk

Indonesia.Selain itu menunjukkan bahwa ada 12 Provinsi yang mempunyai

prevalensi gangguan jiwa berat melebihi angka Nasional. Dilihat menurut

provinsi, prevalensi gangguan jiwa berat paling tinggi terjadi di Provinsi

Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) yaitu sekitar 3 dari setiap 1.000 orang

penduduk DIY mengalami gangguan jiwa berat.

Salah satu teori yang menyebabkan gejala skizofrenia adalah kelainan dari

regulasi dopamin, sehingga pengobatan yang bersifat antagonis dopamin akan

menurunkan gejala pasien (Sadock & Sadock ,2010). Gejala pada pasien

skizofrenia dibagi menjadi 3 yaitu gejala positif,negatif dan kognitig. Gejala

(16)

penarikan diri dari pergaulan sosial, gangguan atensi. ( Maramis, 2005 ).

Gejala kognitif seperti menurunnya kemampuan dalam berpikir (Sinaga,2007).

Teori ini digunkan untuk memudahkan keluarga mengenal gejala-gejala yang

dialami pasien skizofrenia, sehingga dapat melakukan penanganan

(Benhard,2007).

Skizofrenia merupakan gangguan jiwa yang bersifat menahun

yangmemerlukan waktu yang cukup lama untuk proses penyembuhan. Terapi

pada pasien skizofrenia meliputi terapi psikofarmaka(antipsikotik),

psikoterapi, terapi psikososial dan terapi psikoreligius (Kusuma,2007).

Kepatuhan minum obat merupakan faktor penting yang mempengaruhi

keberhasilan terapi bagi penderita gangguan jiwa dan menjadi masalah penting

dalam dunia kesehatan khususnya kesehatan jiwa. Kepatuhan adalah besarnya

kemauan penderita untuk mengikuti instruksi (Katzung,1998).

Hiroyo et.al, (2015) menyebutkan bahwa dari data pasien skizofrenia

didapatkan hubungan antara kepatuhan minum obat dengan penurunan gejala

klinis serta frekuensi rawat inap ulang. Fakhruddin (2012) menjelaskan

sekitar 25% pasien skizofrenia, psikosis maupun gangguan mental berat

gagal dalam mematuhi program pengobatan. Kepatuhan minum obat

pada pasien skizofrenia dapat dipengaruhi oleh efikasi minum obat,

dukungan terhadap pasien efek samping obat dan sikap pasien.

Beberapa faktor berkontribusi terhadap peningkatan risiko kekambuhan

skizofrenia. Dalam beberapa penelitian ditemukan bahwa ketidakpatuhan

(17)

pertama psikosis. Dalam prospektif 5 tahun tindak lanjut dari pasien psikosis

episode pertama ditemukan bahwa yang paling umum faktor risiko adalah

antipsikotik putus obat. Komponen kunci dari pengelolaan skizofrenia adalah

meningkatkan kepatuhan pengobatan dan pencegahan terjadinya kekambuhan

pada skizofrenia. Studi terbaru mengenai kekambuhan pada skizofrenia

dihasilkan pengamatan yaitu angka kambuh sangat tinggi setelah penghentian

pengobatan, bahkan setelah satu episode psikosis. (Emsley, R., Chiliza, B.,

Asmal, L., & Harvey, B. H.,2013).

Penelitian yang dilakukan ole Kandar pada bulan Oktober 2011

mengenai penyebab kekambuhan gejala pasien skizofrenia yang dirawat ulang

di RSJD Dr. AGH Semarang, menunjukan ada peningkatan angka

kekambuhan pasien skizofrenia karena ketidakpatuhan minum obat. Pada

tahun 2011 ada 63 pasien skizofrenia yang dirawat ulang kurang dari 1 bulan

setelah perawatan dari Rumah Sakit. Alasan yang mendasari 184 pasien yang

dirawat ulang sebagai berikut : 24 persen responden beranggapan setelah

minum obat tidak bisa melakukan aktivitas, 7 persen responden merasa tidak

tahu tentang obat, 57 persen responden merasa sudah sembuh, 8 persen

responden takut ketergantungan dengan obat dan 4 persen responden mengaku

kurang memiliki dukungan dari keluarga.

Dari pengamatan tersebut bisa disimpulkan bahwa apabila pasien tidak

patuh terhadap pengobatan bisa mempengaruhi gejala klinis pada pasien

skizofrenia padahal kepatuhan minum obat pada pasien skizofrenia merupakan

(18)

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian dalam latar belakang diatas, maka perumusan

masalah dalam penelitian adalah :

Apakah ada hubungan antara kepatuhan minum obat dengan gejala klinis

pada pasien skizofrenia ?

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Untuk menganalisa hubungan antara kepatuhan minum obat dengan

gejala klinis pada pasien skizofrenia.

2. Tujuan Khusus

a. Untuk mengetahui kepatuhan minum obat pada penderita skizofrenia.

b. Untuk mengetahui gejala-gejala klinis pada penderita skizofrenia.

D. MANFAAT PENELITIAN

1. Manfaat teoritis

a. Untuk mengembangkan ilmu pengetahuan yang berkaitan dengan

kepatuhan minum obat dan gejala klinis penderita skizofrenia.

b. Untuk memberikan masukan atau pertimbangan bagi penelitian

skizofrenia selanjutnya.

2. Manfaat Praktis

a. Bagi peneliti

1) Untuk menambah ilmu pengetahuan peneliti tentang kepatuhan

(19)

2) Untuk meningkatkan kemampuan berpikir kritis dan menemukan

solusi untuk permasalahan-permasalahan kesehatan, terutama di

bidang psikiatri.

b. Bagi keluarga

Untuk memberikan pengetahuan bahwa peran keluarga sangat

diperlukan sehingga keluarga akan memberikan perhatian yang

lebihlagi kepada penderita terutama kepatuhan dalam minum obat.

c. Bagi wilayah kerja/ puskesmas

Untuk masukan perencanaan, pengembangan dan peningkatan

(20)

E. Keaslian Penelitian

Tabel 1. Keaslian Penelitian

Peneliti Judul Subjek Instrumen Hasil

Natalia

(21)

8 1. Skizofrenia

a. Definisi

Skizofrenia berasal dari kata Yunani yang bermakna schizo

artinya terbagi, terpecah dan phrenia artinya pikiran. Jadi pikirannya

terbagi atau terpecah (Rudyanto, 2007).

Skizofrenia adalah penyakit otak neurobiological yang serius dan

menetap, ditandai dengan kognitif dan persepsi serta afek yang tidak

wajar (Laraia, 2009). Penyakit ini bersifat kronik dan melalui 3 fase,

yaitu fase prodromal, fase aktif, dan fase residual. Fase prodromal

dimulai dengan perubahan perasaan dan mood, fase aktif biasanya

disebut dengan psikosis yaitu munculnya gejala halusinasi, delusi, dan

ilusi (Sadock & Sadock, 2010)

Skizofrenia bisa menyerang siapa saja tanpa memandang jenis

kelamin, ras, maupun tingkat sosial ekonomi (Maramis,2005).

Skizofrenia dikarakteristikan dengan psikosis, halusinasi,delusi,

disorganisasi pembicaraan dan perilaku, afek datar, penurunan

kognitif, ketidakmampuan bekerja atau kegiatan dan hubungan sosial

yang memburuk (Bustillo,2008)

Menurut PPDGJ III ada 6 macam skizofrenia yaitu skizofrenia

(22)

terinci(undifferentiated), skizofrenia simpleks, skizofrenia residual.

Dalam penelitian ini peneliti akan mengambil sample secara

keseluruhan tanpa membeda-bedakan tipe skizofrenia.

b. Epidemiologi

Menurut Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder

IV Text Revised (DSM-IV-TR) insidens tahunan skizofrenia

berkisar antara 0,5-5,0 per 10.000 dengan beberapa variasi geografis.

Di Amerika Serikat prevalensi skizofrenia seumur hidup dilaporkan

secara bervariasi terentang dari 1 sampai 1,5 persen; konsisten dengan

rentang tersebut, penelitian Epidemiological Cachtment Area (ECA)

yang disponsori oleh National Institute of Mental Health (NIMH)

melaporkan prevalensi seumur hidup sebesar 0,025 sampai 0,5 persen

populasi total diobati untuk pasien skizofrenia dalam 1 tahun.

Walaupun duapertiga dari pasien yang diobati tersebut membutuhkan

perawatan di rumah sakit, hanya kira-kira setengah dari pasien

skizofrenia mendapat pengobatan, tidak tergantung pada keparahan

penyakit.(Sadock & Sadock, 2010)

c. Etiologi

Menurut Maramis (2009)teori mengenai skizofrenia yang saat ini

banyak dianut adalah sebagai berikut :

1) Genetik

Faktor genetik turut menentukan timbulnya skizofrenia. Hal

(23)

penderita skizofrenia dan terutama anak-anak kembar satu telur.

Angka kesakitan bagi saudara tiri adalah 0,9-1,8 %; bagi saudara

kandung 7-15%;bagi anak dengan salah satu orangtua yang

menderita skizofrenia 7-16%;bila kedua orangtua menderita

skizofrenia 40-68%;bagi kembar dua telur (heterozigot)

2-15%;bagi kembar satu telur(monozigot) 61-86%.

2) Neurokimia

a) Hipotesis dopamin

Skizofrenia disebabkan oleh neuroaktifitas pada jaras

dopamin mesolimbik. Hal ini didukung oleh temuan bahwa

amfetamin yang kerjanya meningkatkan pelepasan dopamin

dapat menginduksi psikosis yang mirip skizofrenia; dan obat

psikotik(terutama obat tipe tipikal/klasik) bekerja dengan cara

memblok reseptor dopamin terutama reseptor D2. Keterlibatan

neurotransmitter lainnya seperti serotonin, noradrenalin,

GABA, glutamat dan neuropeptid lain masih terus diteliti oleh

para ahli.

b) Hipotesis perkembangan saraf

Studi autopsi dan pencitraan otak memperlihatkan

abnormalitas struktur dan morfologi otak penderita skizofrenia

antara lain berupa berat otak yang rata-rata lebih kecil 6%

daripada otak normal dan ukuran anterior-posterior yang 4%

(24)

metabolisme di daerah frontal dan temporal; dan kelainan

susunan seluler pada struktur saraf di beberapa daerah kortex

dan subkortex tanpa adanya gliosis yang menandakan kelainan

tersebut terjadi pada saat perkembangan. Studi neuropsikologis

mengungkapkan defisit di bidang atensi, pemilihan konseptual,

fungsi eksekutif dan memori pada penderita skizofrenia.

Semua bukti tersebut melahirkan hipotesis perkembangan

saraf yang menyatakan bahwa perubahan patologis gangguan

ini terjadi pada tahap awal kehidupan, mungkin sekali akibat

pengaruh genetik dan dimodifikasi oleh faktor maturasi dan

lingkungan.

d. Manifestasi Klinis

Secara general gejala serangan skizofrenia dibagi menjadi 3 yaitu

gejala positif, gejala negatif dan gejala kognitif ( Maramis, 2005 &

Sinaga,2007) yaitu :

1) Gejala positif

Halusinasi selalu terjadi saat rangsangan terlalu kuat dan otak

tidak mampu menginterpretasikan dan merespons pesan atau

rangsangan yang datang. Klien skizofrenia mungkin mendengar

suara-suara atau melihat sesuatu yang sebenarnya tidak ada atau

mengalami suatu sensasi yang tidak biasa pada tubuhnya. Auditory

(25)

menyejukan hati, memberi kedamaian, tapi kadang suara itu

menyuruhnya melakukan sesuatu yang sangat berbahaya, seperti

bunuh diri.

Penyesatan pikiran (delusi) adalah kepercayaan yang kuat

dalam menginterpretasikan sesuatu yang kadang berlawanan

dengan kenyataan. Misalnya penderita skizofrenia, lampu traffic di

jalan raya yang berwarna merah, kuning, hijau, dianggap sebagai

suatu isyaratdari luar angkasa. Beberapa penderita skizofrenia

berubah menjadi paranoid, mereka selalu merasa sedang di

amat-amati, diikuti atau hendak diserang.

Kegagalan berpikir mengarah kepada masalah dimana klien

skizofrenia tidak mampu mengatur pikirannya. Kebanyakan klien

tidak mampu memahami hubungan antara kenyataan dan logika.

Ketidakmampuan dalam berpikir mengakibatkan ketidakmampuan

mengendalikan emosi dan perasaan. Hasilnya, kadang penderita

skizofrenia tertawa atau berbicara sendiri dengan keras tanpa

mempedulikan sekelilingnya.

Semua itu membuat penderita skizofrenia tidak bisa

memahami siapa dirinya, tidak berpakaian, dan tidak bisa mengerti

apa itu manusia, juga tidak bisa mengerti kapan dia lahir, dimana

(26)

2) Gejala negatif

Klien skizofrenia kehilangan motivasi dan apatis yaitu

kehilangan minat dalam hidup yang membuat klien menjadi orang

pemalas. Karena klien hanya memiliki minat sedikit, mereka tidak

bisa melakukan hal-hal lain selain tidur dan makan. Perasaan yang

tumpul membuat emosinya menjadi datar. Klien skizofrenia tidak

memiliki ekspresi yang baik dari raut muka maupun gerakan

tangannya, seakan-akan dia tidak memiliki emosi apapun. Mereka

mungkin bisa menerima perhatian dari orang lain tapi tidak bisa

mengekspresikan perasaan mereka.

Depresi yang tidak mengenal perasaan ingin ditolong dan

berharap, selalu menjadi bagian dari hidup klien skizofrenia.

Mereka tidak merasa memiliki perilaku yang menyimpang, tidak

bisa membina hubungan relasi dengan orang lain. Depresi yang

berkelanjutan akan membuat klien menarik diri dari lingkungannya

dan merasa aman bila sendirian. Dalam beberapa kasus skizofrenia

sering menyerang pada usia antara 15-30 tahun dan kebanyakan

menyerang saat usia 40 tahun ke atas.

3) Gejala kognitif ; yaitu permasalahan yang berhubungan dengan

perhatian, tipe-tipe ingatan tertentu dan fungsi yang

memungkinkan kita untuk merencanakan mengorganisasikan

(27)

e. Kriteria Diagnosis Skizofrenia

Sebelum menetapkan diagnosis kepada pasien skizofrenia,

seorang dokter harus mengetahui dan memahami gejala-gejala khas

yang dialami oleh pasien skizofrenia..

Kriteria diagnostik di Indonesia menurut PPDGJ-III yang

menuliskan bahwa walaupun tidak ada gejala-gejala patognomonik

khusus, dalam praktek dan manfaatnya membagi gejala-gejala

tersebut ke dalam kelompok-kelompok yang penting untuk

diagnosis dan yang sering terdapat secara bersama-sama yaitu:

1) Thought echo yaitu isi pikiran dirinya sendiri yang berulang atau

bergema dalam kepalanya dan isi pikiran ulangan, walaupun isinya

sama, namun kualitas berbeda atau thought insertion or

withdrawal yaitu isi pikiran yang asing dari luar masuk kedalam

pikirannya (insertion) atau isi pikirannya diambil keluar oleh

sesuatu diluar dirinya (withdrawal) dan tought broadcasting yaitu

isi pikiran tersiar keluar sehingga orang lain mengetahuinya.

2) Waham atau Delusinasi

a) Delusion of control yaitu waham tentang dirinya sendiri

dikendalilkan oleh suatu kekuatan tertentu.

b) Delusion of influen yaitu waham tentang dirinya sendiri

(28)

c) Delusion of passivity yaitu waham tentang gerakan tubuh,

pikiran maupun tindakan tak berdaya terhadap suatu kekuatan

dari luar.

d) Delusion of perception yaitu pengalaman indrawi yang tidak

wajar yang bermakna sangat khas dan biasanya bersifat mistik

atau mukjizat.

3) Halusinasi Auditorik

a) Suara halusinasi yang berkomentar terus menerus terhadap

perilaku pasien.

b) Mendiskusikan perihal pasien diantara mereka sendiri (dia

antara berbagai suara yang berbicara).

c) Jenis suara halusinasi lain yang berasal dari salah bagian tubuh.

d) Waham-waham menetap jenis lain yang menurut budaya

dianggap tidak wajar dan mustahil seperti waham bisa

mengendalikan cuaca. Atau paling sedikit dua gejala dibawah

ini yang harus selalu ada secara jelas.

e) Halusinasi yang menetap dari setiap panca indera baik

disertai waham yang mengambang maupun yang setengah

berbentuk tanpa kandungan afektif yang jelas atau ide-ide

berlebihan yang menetap atau terjadi setiap hari selama

(29)

f) Arus fikiran yang terputus (break) atau mengalami sisipan

(interpolasi) yang berakibat inkoherensi atau pembicaraan

tidak relevan atau neologisme.

g) Perilaku katatonik seperti keadaan gaduh, gelisah (excitement)

sikap tubuh tertentu (posturing) atau fleksibilitas serea,

negattivisme, mutisme dan stupor.

h) Gejala-gejala negative seperti apatis, bicara jarang serta respon

emosional yang menumpul atau tidak wajar biasanya

mengakibatkan penarikan diri dari pergaulan social dan

menurunnya kinerja social, tetapi bahwa semua hal tersebut

tidak disebabkan oleh depresi atau neuroleptika.

Adanya gejala-gejala khas diatas telah berlangsung selama

kurun waktu satu bulan atau lebih (tidak berlaku untuk setiap fase non

psikotik prodormal). Harus ada suatu perubahan yang konsisten dan

bermakna dalam mutu keseluruhan (overall quality) dari beberapa

aspek perilaku pribadi, bermanifestasi sebagai hilangnya minat, hidup

tak bertujuan, tidak berbuat sesuatu, sikap larut dalam diri sendiri dan

penarikan diri secara social.

f. Tipe-Tipe Skizofrenia

Menurut DSM IV (Diagnostic and Statistical Manual of Mental

(30)

1) Tipe paranoid

Suatu tipe skizofrenia yang memiliki kriteria yaitu preokupasi

dengan satu atau lebih waham atau halusinasi dengar yang

menonjol dan tidak ada dari berikut ini yang menonjol: bicara

terdisorganisasi, perilaku terdisorganisasi atau katatonik, atau afek

datar atau tidak sesuai.

2) Tipe Terdisorganisasi

Suatu tipe skizofrenia yanng memiliki kriteria semua yang berikut

ini menonjol: bicara terdisorganisasi, perilaku terdisorganisasi dan

afek datar atau tidak sesuai serta tidak memenuhi kriteria untuk

tipe katatonik.

3) Tipe Katatonik

Suatu tipe skizofrenia dimana gambaran klinis didominasi oleh

sekurangnya dua dan hal-hal berikut :

a) Imobilisasi motorik seperti yang ditunjukan oleh katalepsi

(termasuk fleksibilitas lilin) atau stupor.

b) Aktivitas motorik yang berlebihan (yang tampaknya tidak

bertujuan dan tidak dipengaruhi oleh stimuli eksternal).

c) Negativisme yang ekstrem atau mutisme.

(31)

4) Tipe Tidak Tergolongkan

Suatu tipe skizofrenia dimana ditemukan gejala yang memenuhi

kriteria A tetapi tidak memenuhi kriteria untuk tipe katatonik,

terdisorganisasi, atau paranoid.

5) Tipe Residual

Suatu tipe skizofrenia dimana kriteria berikut ini terpenuhi: tidak

adanya waham, halusinasi, bicara terdisorganisasi, dan perilaku

katatonik terdisorganisasi atau katatonik yang menonjol serta

terdapat terus bukti-bukti gangguan seperti yang ditunjukan oleh

gejala negatif dua atau lebih gejala tertulis dalam kriteria A untuk

skizofrenia yang lebih lemah (misalnya keyakinan yang aneh,

pengalaman persepsi yang tidak lazim)

g. Terapi Pasien Skizofrenia

Skizofrenia merupakan gangguan yang bersifat kronis sehingga

untuk pengobatannya memerlukan waktu yang panjang. Ada berbagai

macam terapi yang bisa kita berikan pada pasien skizofrenia. Hal ini

diberikan dengan kombinasi satu sama lain dengan jangka waktu yang

lama. Terapi skizofrenia terdiri dari pemberian obat-obatan,

psikoterapi dan rehabilitasi. Terapi psikososial pada skizofrenia

meliputi; terapi keluarga, terapi kelompok, terapi individu, rehabilitasi

psikiatri, latihan keterampilan sosial dan manajemen kasus (Hawari,

(32)

1) Farmakoterapi

Pengobatan untuk penderita skizofrenia menggunakan obat

anti psikotik. Obat antipsikotik dibagi menjadi 2 kelompok yaitu

kelompok atipikal dan kelompok tipikal (Maslim, 2001).

Faktor-faktor yang mempengaruhi efek terapeutik obat ini meliputi : usia,

perilaku penyalahgunaan zat, kondisi medis, obat penginduksi

enzim, obat yang mengubah clearence dan perubahan ikatan dalam

protein (Benhard,2007)

a) Obat golongan FGA atau tipikal

Obat ini bekerja menghambat jalur dopamin. Neuroleptik

yang termasuk golongan ini adalah chlorpomazin, haloperidol,

loxapine, dan prolixin. Efek samping golongan ini adalah mulut

kering, konstipasi, hipotensi ortostatik, impotensi, kegagalan

ejakulasi, Parkinson sindrom, dystonia, amenorrhea, infertilitas

dan kegemukan. Clorpomazin memiliki efek antipsikotik yang

lemah dan efek sedatif yang kuat. Haloperidol digunakan untuk

skizofrenia yang kronis dan memiliki efek antipsikotik yang

kuat dan efek sedatif yang lemah. Golongan obat ini lebih

efektif mengatasi gejala positif dari skizofrenia namun kurang

(33)

b) Obat golongan SGA atau atipikal

Obat ini adalah antipsikotik generasi kedua yang

digunakan untuk mengobati kondisi jiwa. Pada gejala positif

seperti halusinasi, delusi, dan inkoherensi, dan negatif seperti

hilangnya kemauan dan afek serta bicara yang sangat sedikit

dapat diatasi dengan lebih baik pada pemberian SGA. Untuk

gejala lain seperti penurunan interaksi sosial, ide bunuh diri

dan defisit kognitif dapat diatasi lebih baik pula dengan

golongan SGA (Pantelis & Lambert, 2003). Hanya saja harga

obat-obat yang termasuk dalam SGA jauh lebih mahal

dibanding FGA sehingga terkesan keuntungannya hanya sedikit

jika dibandingkan dengan harga yang harus dibayar (Leucht S,

2009). Obat ini cenderung untuk memblokir reseptor dalam

jalur dopamin otak dan menghambat reseptor serotonin.

Antipsikotik atipikal berbeda dari antipsikotik tipikal yang

efeknya lebih minimal kecenderungan untuk menyebabkan

gangguan ekstrapiramidal pada pasien yang meliputi penyakit

gerakan parkinsonisme, kekakuan tubuh dan tremor tak

terkontrol. Gerakan-gerakan tubuh yang abnormal bisa menjadi

permanen obat bahkan setelah antipsikotik dihentikan.

Beberapa contoh obat golongan ini adalah Clozapine,

Risperidon, Amisulpride. Clozapine umumnya

(34)

antipsikotik dari setidaknya dua kelas antipsikotik yang

berbeda (Timothy J R Lambert and David J Castle, 2003).

Selain itu ada juga Risperidon yaitu obat yang paling banyak

diresepkan di banyak negara, dan dosis yang dianjurkan adalah

<6 mg / hari. Obat ini memiliki efek samping ekstrapiramidal

syndrom yang rendah. (Timothy J R Lambert and David J

Castle, 2003). Obat ini merupakan selektif dopamin antagonis

yang mengakibatkan peningkatan dopamin transmisi dan

memperbaiki gejala negatif skizofrenia. (eMC, 2011).

Terapi skizofrenia secara farmakologi berdasarkan onset

dibagi menjadi 2 fase, yaitu (Sadock & Sadock, 2010):

a) Fase Psikosis Akut

Pada fase ini pengobatan dengan menggunakan anti

psikotik dan benzodiazepine akan cepat menenangkan pasien

yang kebanyakan mengalami agitasi akibat halusinasi dan

delusi. Anti psikotik akan bekerja lebih cepat melalui injeksi

intramuskuler (Sadock & Sadock, 2007). Obat antipsikotik

yang dapat menyebabkan akinesia dan gangguan traktus

ekstrapiramidalis antara lain haloperidol dan flupenazine.

Sedangkan golongan antipsikotik atipikal seperti olanzapine

dan risperidone tidak menyebabkan gangguan ekstrapiramidal

(35)

b) Fase Maintenance dan Stabilisasi

Pada fase ini tujuan pengobatan adalah mencegah relaps

dengan terus menggunakan obat-obatan karena jika obat

dihentikan maka risiko terjadi relaps meningkat hingga 72 %

pada satu tahun pertama, sehingga disarankan agar pengobatan

dilakukan minimal selama 5 tahun (Sadock & Sadock, 2007).

2) Non Farmakoterapi

Beberapa jenis pengobatan yang tidak menggunakan

obat-obatan yaitu:

a) ECT (Electro Convulsive Therapy) Dikatakan penggunaan

ECT dengan pengobatan entipsikotik akan lebih efektif

(Sadock & Sadock, 2007).

b) Terapi Berorientasi Keluarga

c) Karena pasien dikembalikan dalam keadaan remiten, maka

penting untuk mengedukasi keluarga bagaimana cara mengatasi

masalah-masalah yang dapat timbul dari pasien. (Sadock &

Sadock, 2007)

2. Kepatuhan Minum Obat

a. Definisi

Menurut WHO (2003), kepatuhan dibagi menjadi adherence dan

compliance. Adherence adalah sejauh mana perilaku pasien minum

obat, mengikuti diet, dan/atau melakukan perubahan pola hidup, sesuai

(36)

satu arah, yaitu dari dokter ke pasien padahal komunikasi penting

untuk mengefektifkan pengobatan. Definisi compliance saat ini telah

jarang untuk digunakan lagi.

Kepatuhan pengobatan berhubungan dengan perilaku pengobatan

pasien dan secara khusus mengacu pada sejauh mana pasien mengikuti

rencana pengobatan yang telah disepakati bersama. Ketidakpatuhan

terhadap pengobatan yang diketahui terkait dengan hasil pengobatan

yang lebih buruk khususnya dalam pengelolaan penyakit kronis

(Menna Alene et al., 2012).

Keluarga sebagai orang yang dekat dengan pasien harus

mengetahui prinsip 5 benar dalam minum obat yaitu pasien yang

benar, obat yang benar, dosis yang benar, cara/rute pemberian yang

benar, dan waktu pemberian obat yang benar dimana kepatuhan terjadi

bila aturan pakai dalam obat yang diresepkan serta pemberiannya di

rumah sakit diikuti dengan benar. Ini sangat penting terutama pada

penyakit- penyakit menahun termasuk salah satunya adalah penyakit

gangguan jiwa. Faktor pendukung pada klien, adanya keterlibatan

keluarga sebagai pengawas minum obat pada keluarga dengan klien

dalam kepatuhan pengobatan (Butar Butar, 2011).

Efektivitas pengobatan salah satunya tergantung pada kepatuhan

pasien terhadap regimen terapi. Pasien, penyedia layanan kesehatan,

dan sistem perawatan kesehatan memiliki peran untuk meningkatkan

(37)

dilembagakan dalam meningkatkan kepatuhan pengobatan adalah

sebagai berikut:

1) Tingkat resep:

Memperkenalkan pendekatan kolaboratif dengan pasien pada

tingkat resep. Bila mungkin, melibatkan pasien dalam pengambilan

keputusan tentang obat mereka sehingga mereka memiliki rasa

kepemilikan dan mereka adalah mitra dalam rencana pengobatan.

Selain itu dengan menyederhanakan penggunaan obat yaitu

menggunakan rejimen sederhana yang paling mungkin berdasarkan

karakteristik pasien.

2) Berkomunikasi dengan pasien:

Jelaskan informasi kunci ketika meresepkan / pengeluaran

obat mengenai informasi penting tentang obat (apa, mengapa,

kapan, bagaimana, dan berapa lama). Selain itu menginformasikan

efek samping yang umum dan yang pasien harus selalu tahu sebab

pasien akan lebih khawatir dan menyebabkan ketidakpatuhan

minum obat karena efek samping yang tidak memperingatkan

kepada mereka terlebih dahulu oleh para profesional perawatan

kesehatan. Dokter maupun para profesional kesehatan lainnya bisa

menyarankan pasien untuk menyediakan kalender obat atau jadwal

yang menentukan waktu untuk mengambil obat, kartu obat, grafik

(38)

3) Follow up :

Menetapkan jadwal yang tepat untuk menindaklanjuti

pengobatan. Dokter dan apoteker bisa memeriksa efektivitas

kepatuhan minum obat sebab sangat penting bagi penyedia layanan

kesehatan untuk mengidentifikasi penyebab ketidakkepatuhan

pasien untuk menentukan strategi intervensi yang tepat.. Selain itu

bisa mengidentifikasi kesulitan dan kendala yang berkaitan dengan

kepatuhan. Keterlibatan pasien dalam pengambilan keputusan

sangat penting dalam meningkatkan kepatuhan terhadap

pengobatan.

Pendorong utama ketidakpatuhan termasuk kurangnya

wawasan, keyakinan dalam pengobatan dan penyalahgunaan zat.

Konsekuensi utama dari ketidakpatuhan termasuk risiko yang lebih

besar kambuh, rawat inap dan bunuh diri. Faktor positif terkait

dengan kepatuhan adalah hubungan terapeutik yang baik dengan

dokter dan persepsi manfaat obat. (Jose, 2011).

b. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kepatuhan Minum Obat

Berdasarkan sebuah penelitian oleh Wayne S. Fenton, Crystal R.

Blyler dan Robert K Heinssen (1997), ada beberapa faktor yang

menjadi faktor penentu kepatuhan minum obat pasien :

1) Faktor pasien

Pada pasien dengan gejala waham kebesaran atau yang

(39)

atau keduanya. Insight yang menurun, atau semakin pasien tidak

sadar bahwa dirinya sakit, admisi involuntary akan semakin

mempermudah kejadian ketidakpatuhan pada pengobatan.

Komorbiditas dengan penyalahgunaan obat dan alkohol akan

meningkatkan kejadian kambuh hingga 13% dan hal ini sering

terjadi pada pasien skizofrenia yang baru keluar dari rumah sakit

karena tingkat stress yang tinggi.

2) Faktor obat

Pengobatan skizofrenia bersifat antagonis terhadap dopamin

sehingga akan menurunkan kepekaan reseptor terhadap dopamin

ataupun langsung menurunkan jumlah dopamin. Efek pemakaian

jangka panjangnya adalah timbulnya mood disforia. Selain itu

pengobatan lain yang lebih sering menimbulkan efek samping

adalah haloperidol dengan efek sedasi dan antikolinergiknya yang

dapat menyebabkan tremor patologis dan tardive dyskinesia.

3) Faktor lingkungan

Pasien skizofrenia yang dirawat di rumah oleh keluarga yang

tidak begitu peduli terhadap pengobatan, atau keluarga jauh akan

lebih sering mengalami kekambuhan. Oleh karena itu, perilaku

positif akan cenderung meningkatkan compliance. Faktor

hambatan praktikal, seperti tidak adanya uang ataupun kondisi

rumah yang jauh dengan tempat kontrol juga dapat menjadi faktor

(40)

4) Faktor terkait klinisi

Hal-hal yang terkait dengan klinisi yang dapat menjadi faktor

ketidakpatuhan pasien pada pengobatan adalah faktor rumah sakit

yang memerlukan birokrasi panjang dan pelayanan yang tidak baik.

Selain itu faktor edukasi keluarga yang kurang oleh dokter

termasuk seperti tidak menunjukkan emosi yang berlebihan pada

pasien. Hal ini mencakup apa-apa saja yang perlu dihindari pada

pasien skizofrenia dan pengobatan pasien,bahkan sebuah studi

yang membahas terkait pelatihan pengobatan mencakup jenis, efek

samping,kegunaan dan menegosiasikan personal treatment dengan

dokter akan meningkatkan compliance (Fenton et al., 1997).

Ketidakpatuhan dalam meminum obat akan meningkatkan

risiko relaps hingga 92%. Harus dikatakan bahwa pasien yang

teratur minum obat selama 1tahun pun tetap dapat jatuh dalam

kondisi relaps, walaupun relaps baru bisa terjadi setelah putus obat

selama beberapa minggu hingga bulan, hanya saja jika pasien

patuh terhadap pengobatan maka waktu remisi atau bebas gejala

dapat bertahan lebih lama dan gejala relaps tidak akan seburuk

episode pertama skizofrenia (Fenton et al., 1997).

Pengobatan memang tidak dikatakan menyembuhkan

skizofrenia tetapi menjaga kualitas hidup pasien tetap baik melalui

pengurangan intensitas dan frekuensi relaps (National Institute of

(41)

bahkan pada pasien dengan ketidakteraturan pengobatan plasebo

pun angka relaps sama dengan pasien yang meminum obat

antipsikotik. Hal ini semakin mempertegas bahwa keteraturan

pengobatan memiliki suatu efek sugestif sehingga menurunkan

angka relaps. Selain itu dapat dikatakan kondisi penyakit dan

kehidupan pasien yang memiliki diversitas yang tinggi turut pula

berkontribusi terhadap ketidakpatuhan dalam meminum obat

(Fenton et al., 1997). Beberapa hal lain yang dikatakan dapat

mempengaruhi keteraturan minum obat adalah adanya terapi

modalitas yang mensupport farmakoterapi, terapi intervensi untuk

menjaga kepatuhan seperti konseling keluarga dan pasien, dan

hubungan terapetik yang baik (Fenton et al., 1997)

Ketidakpatuhan minum obat terjadi pada semua gangguan

medis yang kronis. Salah satu penyakit kronis yang sering dijumpai

yaitu skizofrenia. Ini merupakan tantangan khusus dalam

skizofrenia karena asosiasi penyakit dengan isolasi sosial, stigma,

dan penyalahgunaan zat komorbiditas, ditambah efek domain

gejala pada kepatuhan, termasuk gejala positif dan negatif,

kurangnya wawasan, depresi, dan gangguan kognitif.

Ketidakpatuhan terletak pada spektrum, seringkali terselubung, dan

diremehkan oleh dokter, tetapi mempengaruhi lebih dari sepertiga

(42)

kekambuhan, rehospitalization, meningkatkan biaya rawat inap,

dan menurunkan kualitas hidup (Peter et al.,2014).

c. Karakteristik skizofrenia yang mengalami ketidakpatuhan

Hasil penelitian Wardani (2009) menunjukan perilaku tidak

patuh minum obat pada klien skizofrenia sangat beragam, seperti :

menurunkan dosis, meningkatkan dosis, minum obat dengan dosis

diluar pengawasan medis, menolak obat dan minum obat tidak tepat

waktu. Perilaku ketidakpatuhan juga bisa dilihat dari perilaku pasien

ketika membeli obat sendiri tanpa pengawasan.

d. Metode-metode untuk mengetahui kepatuhan minum obat pasien

Kepatuhan minum obat bisa dideteksi dengan metode kualitatif

melalui pengisian beberapa jenis kuisioner kepatuhan minum obat

seperti Drug Inventory Attitude -10 (DAI-10) atau Medication

Adherence Rating Scale (MARS), dan beberapa jenis yang lain (Kane, Kissling, Lambert, & Parellada, 2010). Cara untuk mendeteksi yang

lain adalah dengan mengetahui dari pengakuan pasien sendiri,

skrining urin dan saliva, pembaruan resep (kerutinan kontrol) dan

jumlah pil yang diambil, atau skrining serum. Hanya saja hal ini

memang sulit untuk dilakukan karena mungkin akan dipengaruhi pada

kesalahan dalam dosis dan waktu pemberian, meminum obat yang

seharusnya tidak boleh, dan kesalahan dalam pemberian resep (Fenton

(43)

Morisky Medication Adherence Scale (MMAS) adalah salah satu

alat untuk mendeteksi ketidakpatuhan pasien dalam minum obat.

Kuisioner dijawab dengan jawaban iya atau tidak pada nomor 1 hingga

7, pada nomor 8 jawaban berupa spektrum sering hingga tidak pernah.

Kuisioner ini terdiri atas 8 pertanyaan terkait perilaku pasien terhadap

pengobatannya. MMAS memiliki sensitifitas sebesar 93% dan

spesifisitas sebesar 53% pada sebuah studi kepatuhan minum obat anti

hipertensi (Donald E. Morisky, 2008). Sebuah penelitian yang pernah

dilakukan di negara palestina membuktikan bahwa kuisioner ini dapat

digunakan untuk pasien skizofrenia. Hasil penelitian tersebut adalah

lebih dari 70% pasien skizofrenia mengalami ketidakpatuhan minum

obat (Sweileh WM, 2012). Pada sebuah penelitian validitas dan

reliabilitas dari MMAS pada pasien hipertensi didapatkan validitas p =

(44)

B. Kerangka Konsep

Gambar 1. Kerangka Konsep

C. Hipotesis

Ada hubungan yang signifikan antara kepatuhan minum obat dengan

gejala-gejala klinis pasien skizofrenia.

SKIZOFRENIA

VARIABEL BEBAS: KEPATUHAN MINUM OBAT

Usia

Jenis Kelamin Status pernikahan Pekejaan

Pendidikan

Sub diagnosis medis Tingkat Kepatuhan Minum obat

VARIABEL TERIKAT: GEJALA-GEJALA KLINIS PASIEN

(45)

32

Penelitian ini merupakan penelitian observasional analitik dengan

rancangan cross sectional, untuk mengetahui hubungan antara kepatuhan

minum obat dan gejala klinis skizofrenia. Penelitian cross sectional mencakup

semua jenis penelitian yang pengukuran variabel-variabelnya dilakukan

bersamaan dalam satu waktu.

B. Populasi dan Sampel

Populasi penelitian ini adalah semua penderita skizofrenia di wilayah

Bantul Yogyakarta. Sampel penelitian adalah bagian dari populasi yang dipilih

dengan cara tertentu sehingga mewakili populasinya (Sastroasmoro & Ismael,

2011). Sampel diambil dengan teknik consecutive sampling. Setiap pasien

yang memenuhi kriteria inklusi dimasukan ke dalam penelitian.

Kriteria inklusi dan ekslusi dalam penelitian ini adalah :

1. Kriteria inklusi

Subjek dapat diikutsertakan dalam penelitian ini apabila memenuhi

kriteria sebagai berikut :

a. Pasien yang terdiagnosis sebagai penderita skizofrenia.

b. Pasien skizofrenia pada fase maintenance.

c. Pasien skizofrenia bersedia menjadi responden penelitian.

d. Pasien skizofrenia yang kooperatif dan bersedia menjadi responden

(46)

e. Pasien skizofrenia usia 18-60 tahun.

2. Kriteria ekslusi

Subjek tidak diikutsertakan dalam penelitian apabila :

a. Penderita skizofrenia dengan kecacatan fisik bawaan.

b. Penderita skizofrenia yang mengisi kuesioner tidak lengkap.

c. Penderita skizofrenia dengan penyakit fisik berat.

Perkiraan besar sample dalam penelitian ini menggunakan rumus besar

sampel untuk koefisien korelasi. Rumus yang digunakan adalah :

n = Zα + Zβ

0,51n (1 + r ) (1 – r )

Keterangan :

n = besar sampel

α = tingkat kemaknaan

r = perkiraan koefisien korelasi

z β = power

Pada penelitian perkiraan koefisien korelasi (r) adalah 0,5 karena

peneliti belum menemukan sumber pustaka yang menyatakan besarnya

koefisien korelasi antara kepatuhan minum obat dengan gejala klinis

penderita skizofrenia. Tingkat kemaknaan α = 0.005 dan power= 0,90.

Besar sampel berdasarkan rumus diatas adalah 38 (Sastroasmoro dan

(47)

C. Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di 8 Puskesmas Provinsi DIY yaitu Puskesmas

Wates, Puskesmas Bambanglipura, Puskesmas Godean Sleman , Puskesmas

Gondomanan, Puskesmas Gendangsari, Puskesmas Kraton , Puskesmas

Srandakan, Puskesmas Temon, Puskesmas Tempel, Puskesmas Playen.

Pengambilan data penelitian dilakukan pada bulan Mei – Juni 2016

D. Variabel penelitian

1. Variabel Tergantung

Variabel tergantung pada penelitian ini adalah gejala klinis penderita

skizofrenia.

2. Variabel Bebas

Variabel bebas pada penelitian ini adalah kepatuhan minum obat

skizofrenia.

E. Definisi Operasional

Definisi Operasional dalam penelitian ini adalah :

1. Kepatuhan minum obat

a. Definisi

Kepatuhan minum obat adalah ketaatan akan derajat dimana penderita

mengikuti anjuran klinis dari dokter yang mengobati, dikatakan patuh

apabila memenuhi 4 kriteria yaitu : dosis diminum sesuai yang

dianjurkan, durasi waktu minum obat diantara dosis sesuai dengan

yang dianjurkan, jumlah obat yang diambil pada suatu waktu sesuai

(48)

b. Alat ukur : kuisioner MMAS

c. Skala : ordinal

d. Kategori : ya atau tidak dengan ditotalkan semua hasilnya

2. Gejala klinis pasien skizofrenia

a. Definisi

Gejala-gejala positif secara umum merupakan manifestasi yang lebih

aktif dari perilaku abnormal atau eksis atau distorsi dari perilaku

normal sedangkan gejala negatif merupakan defisit dalam perilaku

abnormal, misalnya dalam hal pembicaraan dan motivasi

b. Alat ukur : kuisioner PANSS

c. Skala : ordinal

d. Kategori : Sakit ringan = kurang lebih 61 , sakit sedang = kurang

lebih 78, terlihat nyata sakit = kurang lebih 96, sakit berat

= kurang lebih 118, sakit sangat berat = kurang lebih 147.

F. Alat dan Bahan Penelitian

Alat dan bahan dalam penelitian ini adalah kuisioner. Kuisioner yang

digunakan pada penelitian ini antara lain :

1. Kuesioner Data Pribadi

Kuesioner ini berisi : nama, umur, jenis kelamin, alamat, pekerjaan,

status perkawinan, riwayar keluarga, faktor pencetus, onset usia penyakit,

(49)

2. Kuesioner Morisky Medication Adherence Scale (MMAS)

Morisky Medication Adherence Scale (MMAS) adalah salah satu alat untuk mendeteksi ketidakpatuhan pasien dalam minum obat. Kuesioner

dijawab dengan jawaban iya atau tidak pada nomor 1 hingga 7, pada

nomor 8 jawaban berupa spektrum sering hingga tidak pernah. Kuisioner

ini terdiri atas 8 pertanyaan terkait perilaku pasien terhadap

pengobatannya. MMAS memiliki sensitifitas sebesar 93% dan spesifisitas

sebesar 53% pada sebuah studi kepatuhan minum obat anti hipertensi

(Donald E. Morisky, 2008). Sebuah penelitian yang pernah dilakukan di

negara palestina membuktikan bahwa kuisioner ini dapat digunakan untuk

pasien skizofrenia. Hasil penelitian tersebut adalah lebih dari 70% pasien

skizofrenia mengalami ketidakpatuhan minum obat (Sweileh WM, 2012).

Pada sebuah penelitian validitas dan reliabilitas dari MMAS pada pasien

hipertensi didapatkan validitas p = 0.5 dan reliabilitas sebesar 0,83

(Donald E. Morisky, 2008).

Pengukuran Morisky scale 8-items, untuk pertanyaan 1 sampai 7,

kecuali nomor 8 jika menjawab tidak pernah/ jarang ( tidak sekalipun

dalam satu minggu) bernilai 0, terkadang (tiga atau empat kali dalam satu

minggu, biasanya ( lima atau enam kali dalam satu minggu) dan setiap saat

bernilai 1. Pasien dengan skor total lebih dari dua dikatakan kepatuhan

rendah, jika skor 1 atau 2 dikatakan sedang dan jika skor 0 dikatakan

(50)

3. Kuesioner Positive and Negative Syndrome Scale ( PANSS )

Positive and Negative Syndrom Scale (PANSS) adalah instrumen yang telah diakui memiliki tingkat kepercayaan yang tinggi untuk menilai

gejala positif dan negatif skizofrenia. PANSS terdiri dari 33 butir

pertanyaan yang masing-masing dinilai dalam skala 7 poin. Tujuh butir

dikelompokkan dalam skala positif, tujuh butir dikelompokkan dalam

skala negatif, enam belas butir menilai psikopatologi umum dan terdapat

tiga butir tambahan yang menilai adanya resiko agresi. Skor PANSS

masing-masing item sebagai berikut : 1 = tidak ada, 2 = minimal, 3 =

ringan, 4 = sedang, 5 = agak berat, 6 = berat , 7 = sangat berat. Total

semua skor masing-masing item dijumlah dengan hasil sebagai berikut :

Sakit ringan = kurang lebih 61, sakit sedang = kurang lebih 78, terlihat

nyata sakit = kurang lebih 96, sakit berat = kurang lebih 118, sakit sangat

berat = kurang lebih 147.

G. Jadwal Penelitian

Pelaksanaan penelitia dibagi menjadi 3 tahap, yaitu :

1. Tahap Persiapan Penelitian

Pada tahap ini peneliti mengajukan judul penelitian, melakukan

bimbingan dan konsultasi dalam penyusunan proposal sampai dengan

ujian proposal penelitian, kemudian peneliti mempersiapkan instrumen

penelitian berupa kuesioner data pribadi sampel, kuesioner kepatuhan

minum obat Morisky Medication Adherence Scale (MMAS) dan kuisioner

(51)

2. Tahap Pelaksanaan

Pelaksanaan pengambilan data dilakukan di beberapa Puskesmas

Yogyakarta. Responden diberikan penjelasan secara langsung mengenai

penelitian ini dan diminta kesediaannya untuk ikut berpartisipasi dalam

penelitian ini dengan menandatangani informed consent. Responden

diminta untuk mengisi data kuesioner identitas pribadi, kuesioner

kepatuhan minum obat Morisky Medication Adherence Scale (MMAS) dan

kuisioner Positive and Negative Syndrom Scale (PANSS) peneliti

mendampingi responden selama mengisi kuesioner sampai semua

kuesioner selesai diisi oleh responden dan telah diberikan kembali ke

peneliti. Pengisian kuesioner juga dapat dilakukan dengan cara

mewawancarai responden.

3. Tahap Penyelesaian

Pengolahan data diawali dengan menghitung hasil skor dari

kuesioner-kuesioner yang telah diisi oleh responden, selanjutnya data yang

diperoleh dari hasil penelitian akan dianalisis menggunakan program dari

komputer yaitu SPSS (Statistical Product and Service Solution) dengan

menggunakan Deskriptif Statistik dan uji korelasi Pearson.

Pembahasan hasil dari penelitian dilakukan setelah melakukan

analisis data, kemudian dilakukan revisi dan presentasi dengan

(52)

H. Uji Validitas dan Reabilitas

Penelitian ini tidak dilakukan uji Reabilitas karena kuesioner yang

digunakan pada penelitia sebelumnya sudah pernah dilakukan oleh penelitian

sebelumnya yang pernah dilakukan di negara palestina membuktikan bahwa

kuisioner ini dapat digunakan untuk pasien skizofrenia. Hasil penelitian

tersebut adalah lebih dari 70% pasien skizofrenia mengalami ketidakpatuhan

minum obat (Sweileh WM, 2012). Pada sebuah penelitian validitas dan

reliabilitas dari MMAS pada pasien hipertensi didapatkan validitas p = 0.5

dan reliabilitas sebesar 0,83 (Donald E. Morisky, 2008). Sedangkan PANSS

untuk dapat dipakai pada pasien skizofrenia Indonesia telah diuji reliabilitas,

validitas, sensitivitas oleh A.Kusumawardhani tim dari FK-UI pada tahun

1994. Reliabilitas internal diuji dengan rumus koefisien alfa dari Cronbach

terhadap 140 pasien skizofrenia. Untuk gejala positif didapatkan alfa 0,725,

untuk gejala negatif 0,838, untuk gejala psikoptologi 0,684. Hasil terjemahan

PANSS ke dalam bahasa Indonesia sesuai dengan PANSS yang ada dalam

bahasa Inggris ( Kusumawardhani,1994).

I. Analisis data

Analisis data dilakukan melalui tahap-tahap berikut :

1. Editing

Editing dilakukan dengan cara memeriksa kelengkapan data yang sudah

diperoleh dari responden dan kesesuaian data. Tahap ini dilakukan segera

setelah peneliti menerima data kuesioner yang telah diisi oleh responden,

(53)

2. Coding

Kegiatan tahap ini adalah memberikan kode berupa angka pada

masing-masing item pertanyaan supaya lebih munudah lalu dimasukkan dalam

bentuk tabel kerja untuk diolah lebih lanjut.

3. Analiting

Data yang telah terkumpul diolah dan dianalisis oleh analisis Univariate

Analisa univariate adalah analisa yang digunakan untuk mendapatkan

gambaran distribusi frekuensi responden serta untuk menganalisa

karakteristik responden meliputi usia, jenis kelamin, tempat tinggal dan

pendidikan.

4. Analisis Bivariate

Analisa Bivariateadalah analisa dengan cara melihat hubungan antara

variabel secara deskriptif dan diduga memiliki pengaruh. Analisis ini

dilakukan dengan menggunakan uji Paired T Test dengan tingkat

signifikasi (α) 0,005 atau P < 0,05

5. Etik penelitian

Penelitian ini dilaksanakan dengan tetap mempertimbangkan etika

penelitian sebagai bentuk perlindungan terhadap responden yang menjadi

subjek dalam penelitian ini. Etika penelitian pada penelitian ini

(54)

a. Right to self determination (hak untuk tidak menjadi responden)

Subjek penelitian harus dilakukan secara manusiawi dan memiliki hak

untuk memutuskan apakah bersedia menjadi subjek penelitian atau

tidak, tanpa adanya hukuman apapun.

b. Informed Consent

Subjek harus mendapatkan informasi secara lengkap mengenai tujuan

penelitian yang akan dilaksanakan dan memiliki hak untuk bebas

berpartisipasi atau menolak menjadi responden.

c. Right in fair treatment ( hak untuk mendapatkan perlakuan yang adil)

Subjek harus diperlakukan secara adil baik sebelum, selama, maupun

sesudah keikusertaannya dalam penelitia tanpa adanya diskriminasi

apabila ternyata mereka tidak bersedia atau dropped out sebagai

responden.

d. Right to privacy ( hak dijaga kerahasiaannya)

Subjek memiliki hak untuk meminta bahwa data yang diperoleh dari

subjek harus dirahasiakan. Subjek penelitian ini dilindungi hak-haknya

dengan diberikan informed consent dan diberi penjelasan selengkap

mungkin mengenai penelitian yang akan dilakukan. Persetujuan dari

komite etik bidang penelitian FKIK Universitas Muhammadiyah

Yogyakarta juga diupayakan untuk memastikan bahwa penelitian ini

(55)

42

1. Gambaran Umum dan Karakteristik Responden Penelitian

Penelitian tentang Hubungan Kepatuhan Minum Obat dengan Gejala

Klinis Pasien Skizofrenia telah dilaksanakan di beberapa puskesmas

Yogyakarta pada tanggal 16-30 Mei 2016. Jumlah responden penelitian

yang didapatkan sebesar 106 orang. Akan tetapi hanya 69 orang yang

memenuhi kriteria inklusi penelitian ini.

Tabel.2 Jumlah pasien skizofrenia di 10 Puskesmas Provinsi DIY

Nama Puskesmas Jumlah Pasien

Wates 8 orang

Bambanglipura 11 orang

Godean Sleman 10 orang

Gondomanan 9 orang

Gendangsari 9 orang

Kraton 11 orang

Srandakan 9 orang

Temon 13 orang

Tempel 12 orang

Playen 12 orang

Penelitian ini dilakukan dengan mengambil sebanyak 69 responden

untuk dilakukan penelitian. Responden yang dipilih sesuai dengan kriteria

inklusi dan ekslusi pada penelitian ini.

Penelitian ini dilakukan dengan cara pengumpulan data yang dibantu

oleh beberapa kader kesehatan di beberapa puskesmas provinsi

(56)

formulir inform consent atau surat persetujuan untuk mengikuti penelitian

ini. Selanjutnya pihak responden dan keluarga dilakukan wawancara

dengan tim penilai mengenai kepatuhan minum obat responden dan

gejala-gejala yang masih sering dialami oleh responden.

Tabel 3. Karakteristik Pasien Skizofrenia di 8 Puskesmas Provinsi DIY Karakteristik Responden Jumlah Persentase

Jenis Kelamin

Berdasarkan tabel 3. bahwa jumlah pasien skizofrenia sebanyak 69

(100%) orang dan lebih banyak pada laki-laki yaitu sejumlah 44 (63,76%)

orang dibandingkan jumlah pasien skizofrenia pada perempuan sejumlah

(57)

1. Kepatuhan Minum Obat Pasien Skizofrenia

Kategori kepatuhan minum obat pasien skizofrenia didapat dari hasil

hitung jumlah skor yang diperoleh dari masing-masing responden. Hasil

tersebut dapat dilihat pada tabel berikut ini:

Tabel 4. Gambaran Tingkat Kepatuhan Minum Obat Pasien Skizofrenia Tingkat Kepatuhan

2. Gejala Klinis Pasien Skizofrenia berdasarkan PANSS

Tabel 5. Distribusi Gejala Klinis Pasien Skizofrenia berdasarkan PANSS Tingkat keparahan gejala Jumlah Persentase

Sakit ringan 24 orang 34,78%

Sakit sedang 22 orang 31,88%

Terlihat nyata sakit 10 orang 14,49%

Sakit berat 9 orang 13,04%

Sakit sangat berat 4 orang 5,79%

Berdasarkan tabel 5. Distribusi gejala klinis pasien skizofrenia

berdasarkan skor PANSS didapatkan jumlah pasien dengan gejala ringan

paling besar yaitu sebanyak 24 (34,78%) orang dibandingkan derajat

(58)

3. Analisis Uji Statistik Korelasi

Tabel 6. Analisis Uji Statistik Korelasi

Gejala Klinis Nilai p Korelasi

Analisis uji statistik korelasi antara kedua variabel penelitian ini

menggunakan skala pengukuran ordinal dan ordinal dianalisis dengan

menggunakan uji analisis korelasi Spearman. Berdasarkan hasil uji

analisis korelasi yang terdapat pada Tabel 6. menunjukan bahwa nilai

korelasi 0,141 ( P>0,05) yang berarti tidak terdapat hubungan yang

bermakna antara kepatuhan minum obat dengan gejala klinis pasien

skizofrenia.

B. Pembahasan

Pada penelitian ini peneliti ingin mengetahui karakteristik responden

secara keseluruhan dan ada tidaknya hubungan antara kepatuhan minum obat

(59)

1. Karakteristik Responden

Berdasarkan pada tabel .3 dapat dilihat bahwa terdapat perbedaan

bermakna antara jumlah responden laki-laki dan perempuan. Didapatkan

jumlah responden laki-laki sebesar 44 (63,76%) orang dibandingkan

perempuan sebesar 25 (36,24%) orang. Penelitian ini sesuai dengan

penelitian Cordosa et.al, (2005) mengemukakan kenapa perempuan lebih

sedikit beresiko mengalami gangguan jiwa dibandingkan laki-laki karena

perempuan lebih bisa menerima situasi kehidupan dibandingkan laki-laki.

Berdasarkan karakteristik responden juga didapatkan bahwa lebih

banyak responden yang tidak bekerja yaitu sejumlah 47 (68,12%) orang

dibandingkan responden yang bekerja yaitu sejumlah 22 (31,88%) orang.

Hal ini juga sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Erlina et.al,

(2010) yang menyebutkan bahwa orang yang tidak bekerja kemungkinan

mempunyai risiko 6,2 kali lebih besar menderita skizofrenia dibandingkan

orang yang bekerja. Fakhrul et.al, (2014) menambahkan bahwa selain

motivasi diri yang kurang karena adanya gejala negatif, stima dan

diskriminasi terhadap pasien skizofrenia menghalangi mereka untuk

berintegritas ke dalam masyarakat karena sering mendapat ejekan, isolasi

sosial dan ekonomi.

Tingkat pendidikan responden penelitian ini bervariasi yaitu dari

tidak bersekolah hingga tingkat sarjana. Pasien skizofrenia pada penelitian

ini sebagian besar memiliki riwayat pendidikan terakhir SMA yaitu

(60)

tingkat pendidikan dapat disebabkan karena faktor ekonomi dari orangtua

pasien, dan timbulnya gejala saat remaja. Pasien yang mengalami

gangguan akibatnya tidak dapat menyelesaikan pendidikannya dengan

baik.

2. Kepatuhan Minum Obat Pasien Skizofrenia

Berdasarkan tabel.4 Hasil penelitian ini menunjukan bahwa 69

responden yang diteliti jumlah pasien dengan kepatuhan rendah sejumlah

36 orang, kepatuhan sedang sejumlah 32 orang dan kepatuhan tinggi hanya

1 orang. Hal ini sesuai dengan penelitian Baiq (2014) yang mengatakan

bahwa sebagian besar pasien skizofrenia tidak patuh terhadap pengobatan.

Selain itu Niven (2002) menambahkan bahwa alasan sebagian besar

pasien yang tidak patuh terhadap pengobatan karena jumlah obat yang

diminum, adanya efek samping obat serta tidak adanya pengawasan oleh

keluarga pasien.

3. Gambaran Gejala Klinis Pasien Skizofrenia berdasarkan Skor PANSS

Berdasarkan tabel .5 diketahui bahwa proporsi jumlah responden

paling banyak adalah responden yang memiliki gejala ringan sebesar 24

(61)

4. Analisis Uji Korelasi Kepatuhan Minum Obat dengan Gejala Klinis Pasien Skizofrenia

Berdasarkan tabel .6 penelitian ini didapatkan nilai p > 0,05 yaitu

sebesar 0,141 yang menunjukan tidak didapatkan hubungan yang

bermakna antara kepatuhan minum obat pasien dan gejala klinis dari skor

PANSS. Hal ini didukung oleh penelitian Linden et.al, (2011) yang

melaporkan tidak ada hubungan antara keparahan gejala dan kepatuhan

minum obat pada pasien skizofrenia karena terdapat faktor lain seperti

kurangnya dukungan keluarga yang dapat mempengaruhi gejala pasien.

(Rettern et.al, 2005 dalam Journal Kyoko.et.al, 2013) menambahkan

bahwa secara statistik tidak didapatkan hubungan kepatuhan minum obat

dengan gejala positif pasien skizofrenia.

Penelitian Irene et.al, (2015) mengatakan bahwa sebagian besar

pasien dari gejala ringan hingga gejala sangat berat yang tidak patuh

terhadap pengobatan dikarenakan efek samping obat, biaya pengobatan,

dosis obat dan cara pemberian obat dan dari hasil penelitiannya pasien

yang minum obat teratur serta mendapat dukungan baik dari keluarga, hal

ini membawa dampak bagi pasien sehingga prevalensi kekambuhan dari

pasien berkurang selama 1 tahun pasien tidak menunjukan gejala

kekambuhan saat dirawat keluarga di rumah. Yudi et.al, (2015)

menambahkan bahwa faktor dukungan keluarga yang sangat buruk dapat

menyebabkan mayoritas pasien skizofrenia mengalami kekambuhan.

Gambar

Tabel 1. Keaslian Penelitian
Gambar 1. Kerangka Konsep
Tabel.2 Jumlah pasien skizofrenia di 10 Puskesmas Provinsi DIY
Tabel 3. Karakteristik Pasien Skizofrenia di  8 Puskesmas Provinsi DIY
+6

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian terdapat hubungan yang signifikan antara peran perawat pendidik dan tingkat kepatuhan minum obat dengan nilai signifikansi p = 0,028 (p&lt;0,05),

Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui hubungan peran perawat pendidik dengan kepatuhan minum obat klien skizofrenia di Poli Psikiatri RSD dr.. Soebandi Kabupaten

V.L Ratumbuysang, dapat di simpulkan bahwa pengetahuan keluarga tentang kepatuhan minum obat paling tinggi berada pada kategori kurang dan kepatuhan minum obat

Kesimpulan terdapat hubungan antara keparahan penyakit, faktor pengobatan dan lingkungan keluarga dengan kepatuhan minum obat penderita skizofrenia, sedangkan

HUBUNGAN ANTARA KEPATUHAN DIET RENDAH GARAM, KEPATUHAN MINUM OBAT, RIWAYAT HIPERTENSI DENGAN REHOSPITALISASI PADA PASIEN GAGAL JANTUNG KONGESTIF I. Kuesioner

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara dukungan keluarga dengan kepatuhan minum obat pasien skizofrenia.Rancangan penelitian cross sectional, sampel

2-tailed menunjukkan nilai p= 0,016 < 0,05 berarti ada hubungan yang signifikan antara dukungan keluarga dan kepatuhan minum obat pasien hipertensi di Puskesmas Airmadidi Kabupaten

v ABSTRAK Nama : Rizki Amanah Program Studi : Kedokteran Judul : Hubungan Antara Efek Samping Obat Anti Tuberkulosis OAT Dengan kepatuhan Minum Obat Pada Pasien Tuberkulosis Paru