• Tidak ada hasil yang ditemukan

HUBUNGAN FAKTOR DEMOGRAFI DENGAN KUALITAS HIDUP PASIEN SKIZOFRENIA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "HUBUNGAN FAKTOR DEMOGRAFI DENGAN KUALITAS HIDUP PASIEN SKIZOFRENIA"

Copied!
103
0
0

Teks penuh

(1)

HIDUP PASIEN SKIZOFRENIA

Disusun untuk Memenuhi Sebagian Syarat Memperoleh Derajat Sarjana Kedokteran pada Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan

Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

Disusun oleh

DIMAS RACHMAT BUDI PRASETYO 20120310228

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA YOGYAKARTA

(2)

i

HIDUP PASIEN SKIZOFRENIA

Disusun untuk Memenuhi Sebagian Syarat Memperoleh Derajat Sarjana Kedokteran pada Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan

Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

Disusun oleh

DIMAS RACHMAT BUDI PRASETYO 20120310228

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA YOGYAKARTA

(3)

ii

HALAMAN PENGESAHAN

HUBUNGAN FAKTOR DEMOGRAFI

DENGAN KUALITAS HIDUP PASIEN SKIZOFRENIA

Disusun oleh:

DIMAS RACHMAT BUDI PRASETYO 20120310228

Telah disetujui dan diseminarkan pada tanggal 27 Juni 2016 Dosen pembimbing Dosen Penguji

dr. Warih Andan Puspitosari, M.Sc, Sp.Kj dr. Ida Rochmawati, M.Sc, Sp.KJ NIK : 1970041720001073042 NIK : 196912122006042011

Mengetahui,

Kaprodi Pendidikan Dokter FKIK Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

(4)

iii

PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN

Saya yang bertanda tangan dibawah ini

Nama : Dimas Rachmat Budi Prasetyo NIM : 20120310228

Program Studi : S1 Pendidikan Dokter

Fakultas : Kedokteran dan Ilmu Kesehatan

Menyatakan dengan sebenarnya bahwa Karya Tulis Ilmiah yang saya tulis ini benar-benar merupakan hasil karya tulis saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka dibagian akhir Karya Tulis Ilmiah ini.

Apabila dikemudian hari terbukti atau dapat dibuktikan Karya Tulis Ilmiah ini hasil jiplakan, maka saya bersedia menerima sanksi atas perbuatan tersebut.

Yogyakarta, 27 Juni 2016 Yang membuat pernyataan,

(5)

iv

KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Wr. Wb.

Puji syukur dan terimakasih yang tidak terhingga penulis ucapkan kepada Allah Subahanahuwata’ala atas rahmat dan karunia-Nya, sehingga kita masih diberi kesempatan untuk merasakan kenikmatan yang tak terhingga sampai saat ini. Shalawat dan salam tak lupa pula penulis lantunkan kepada nabi besar umat islam, Nabi Muhammad Shallallaahu’alaihi wa sallam atas perjuangan beliau membawa umat islam dari zaman kebodohan ke zaman yang penuh dengan ilmu pengetahuan seperti sekarang ini.

Terimakasih kepada segenap keluarga yang telah memberikan motivasi, doa, dan dorongan kepada penulis agar menyelesaikan Karya Tulis Ilmiah ini dengan baik.

Kepada teman-teman tercinta, terimakasih atas dukungan dan bantuan yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu sehingga penulis bisa menyelesaikan amanah dan kewajiban ini. Sangat bersyukur penulis bisa dipertemukan dengan teman. Dukungan dan kata semangat yang dengan tidak bosannya teman-teman latunkan menjadi sebuah penyemangat bagi penulis.

Penulis menyadari masih banyak pihak yang belum penulis sebutkan, yang membentu penulis dalam menyelesaikan Karya Tulis Ilmiah ini. Semoga Allah Subahanahuwata’ala membalas dengan pahala yang berlipat ganda. Aamiin Yaa Rabbal ‘Aalamin.

Akhirul kalam,

Wassalamualaikum Wr.Wb.

Yogyakarta, 13 April 2015

(6)

v

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PENGESAHAN ... ii

PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN ... iii

KATA PENGANTAR ... iv

DAFTAR ISI ... vi

INTISARI ... vii

ABSTRACT ... viii

BAB I ... 1

PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 6

C. Tujuan Penelitian ... 6

D. Manfaat Penelitan ... 6

E. Keaslian Penelitian ... 7

BAB II ... 12

A. Tinjauan Pustaka ... 12

I. Skizofrenia ... 12

II. Kualitas Hidup ... 36

III. Faktor Demografi ... 41

B. Kerangka Konsep ... 47

C. Hipotesis ... 48

BAB III ... 49

A. Desain Penelitian ... 49

B. Populasi dan Sampel Penelitian ... 49

1. Populasi Penelitian ... 49

2. Sampel Penelitian ... 50

C. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 52

(7)

vi

1. Variabel Tergantung... 53

2. Variabel Bebas ... 53

E. Definisi Operasional ... 53

1. Faktor Demografi ... 53

2. Kualitas Hidup ... 54

F. Instrumen Penelitian ... 55

1. Kuesioner data pribadi ... 55

2. Kuesioner kualitas hidup Lehman ... 55

G. Jalannya Penelitian ... 56

H. Uji Validitas dan Reliabilitas ... 57

I. Analisis Data ... 58

BAB IV ... 60

A. Deskripsi Wilayah Penelitian ... 60

B. Hasil Penelitian ... 60

1. Gambaran Umum Karakteristik Responden ... 70

2. Kualitas Hidup Pasien Skizofrenia... 62

C. Pembahasan ... 62

BAB V ... 68

A. Kesimpulan ... 68

B. Saran ... 68

Daftar Pustaka ... 69

LAMPIRAN ... 75

(8)

vii INTISARI

Latar belakang: Skizofrenia adalah gangguan mental berat (psikotik) yang mengganggu fungsi hidup seseorang dan menurunkan kualitas hidupnya. Kualitas hidup adalah istilah yang merujuk pada emosional, sosial, dan kesejahteraan fisik seseorang, juga kemampuan mereka untuk berfungsi dalam kehidupan sehari hari. Penelitian menunjukkan bahwa tingkat kualitas hidup dipengaruhi oleh banyak faktor-faktor, salah satunya adalah faktor demografi. Faktor demografi yang mempengaruhi kualitas hidup pasien antara lain: usia, jenis kelamin, pekerjaan, status pernikahan dan tingkat pendidikan. Studi ini perlu dilakukan untuk mengevaluasi adanya hubungan antara faktor demografi dengan kualitas hidup pasien skizofrenia.

Metode: Penelitian ini merupakan penelitian observasional analitik dengan rancangan cross-sectional. Sejumlah 101 pasien skizofrenia yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi diwawancarai dengan kuesioner data pribadi dan diukur kualitas hidupnya menggunakan Kuesioner Kualitas Hidup Lehman. Data kemudian dianalisis dengan menggunakan uji Korelasi Non-Parametrik Spearman Hasil : Berdasarkan analisa penelitian ini, terdapat korelasi yang signifikan antara tingkat pendidikan dengan kualitas hidup (p=0,045), terdapat korelasi yang signifikan antara Status Pekerjaan dengan kualitas hidup (p=0,000) danterdapat korelasi yang signifikan antara status pernikahan dengan kualitas hidup (p=0,024). Namun, tidak terdapat korelasi antara jenis kelamin dengan kualitas hidup pasien skizofrenia(p=0,754) juga tidak terdapat korelasi antara umur dengan kualitas hidup pasien skizofrenia(p=0,727)

Kesimpulan: Terdapat korelasi yang bermakna antara faktor demografi berupa tingkat pendidikan subjek, Status Pekerjaan subjek dan status perkawinan subjek dengan kualitas hidup pasien skizofrenia, namun tidak terdapat korelasi yang bermakna antara faktor demografi berupa jenis kelamin subjek dan umur subjek dengan kualitas hidup pasien skizofrenia

(9)

viii ABSTRACT

Background: Schizophrenia is a severe mental disorders (psychotic) which interfere with the function of a person's life and reduce quality of life. Quality of life is a term that refers to the emotional, social and physical well-being of a person, as well as their ability to function in daily life. Research shows that the level of quality of life is affected by many factors, one of which is the sociodemographic factors. Sociodemographic factors that affect the quality of life of patients, among others: age, gender, occupation, marital status and education level. These studies are necessary to evaluate the relationship between demographic factors and quality of life of patients with schizophrenia.

Methods: This study is observational analytic with cross-sectional design. Some 101 patients with schizophrenia who meet the inclusion and exclusion criteria were interviewed with a questionnaire of personal data and the quality of life was measured using the Lehman Quality of Life Questionnaire. Data were analyzed using correlation test Non-parametric Spearman

Results: Based on the analysis of this study, there is a significant correlation between level of education and quality of life (p = 0.045), there is a significant correlation between Job status and quality of life (p = 0.000) danterdapat significant correlation between marital status and quality of life (p = 0.024). However, there is no correlation between gender and the quality of life of patients with schizophrenia (p = 0.754) nor is there a correlation between age and the quality of life of patients with schizophrenia (p = 0.727)

Conclusion: There is a significant correlation between demographic factors such as education level of the subject, the subject Job status and marital status subject to the quality of life of patients with schizophrenia, but there is no significant correlation between demographic factors such as gender and age of the subject with the subject of quality of life of patients with schizophrenia

(10)
(11)

INTISARI

Latar belakang: Skizofrenia adalah gangguan mental berat (psikotik) yang mengganggu fungsi hidup seseorang dan menurunkan kualitas hidupnya. Kualitas hidup adalah istilah yang merujuk pada emosional, sosial, dan kesejahteraan fisik seseorang, juga kemampuan mereka untuk berfungsi dalam kehidupan sehari hari. Penelitian menunjukkan bahwa tingkat kualitas hidup dipengaruhi oleh banyak faktor-faktor, salah satunya adalah faktor demografi. Faktor demografi yang mempengaruhi kualitas hidup pasien antara lain: usia, jenis kelamin, pekerjaan, status pernikahan dan tingkat pendidikan. Studi ini perlu dilakukan untuk mengevaluasi adanya hubungan antara faktor demografi dengan kualitas hidup pasien skizofrenia.

Metode: Penelitian ini merupakan penelitian observasional analitik dengan rancangan cross-sectional. Sejumlah 101 pasien skizofrenia yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi diwawancarai dengan kuesioner data pribadi dan diukur kualitas hidupnya menggunakan Kuesioner Kualitas Hidup Lehman. Data kemudian dianalisis dengan menggunakan uji Korelasi Non-Parametrik Spearman Hasil : Berdasarkan analisa penelitian ini, terdapat korelasi yang signifikan antara tingkat pendidikan dengan kualitas hidup (p=0,045), terdapat korelasi yang signifikan antara Status Pekerjaan dengan kualitas hidup (p=0,000) danterdapat korelasi yang signifikan antara status pernikahan dengan kualitas hidup (p=0,024). Namun, tidak terdapat korelasi antara jenis kelamin dengan kualitas hidup pasien skizofrenia(p=0,754) juga tidak terdapat korelasi antara umur dengan kualitas hidup pasien skizofrenia(p=0,727)

Kesimpulan: Terdapat korelasi yang bermakna antara faktor demografi berupa tingkat pendidikan subjek, Status Pekerjaan subjek dan status perkawinan subjek dengan kualitas hidup pasien skizofrenia, namun tidak terdapat korelasi yang bermakna antara faktor demografi berupa jenis kelamin subjek dan umur subjek dengan kualitas hidup pasien skizofrenia

(12)

ABSTRACT

Background: Schizophrenia is a severe mental disorders (psychotic) which interfere with the function of a person's life and reduce quality of life. Quality of life is a term that refers to the emotional, social and physical well-being of a person, as well as their ability to function in daily life. Research shows that the level of quality of life is affected by many factors, one of which is the sociodemographic factors. Sociodemographic factors that affect the quality of life of patients, among others: age, gender, occupation, marital status and education level. These studies are necessary to evaluate the relationship between demographic factors and quality of life of patients with schizophrenia.

Methods: This study is observational analytic with cross-sectional design. Some 101 patients with schizophrenia who meet the inclusion and exclusion criteria were interviewed with a questionnaire of personal data and the quality of life was measured using the Lehman Quality of Life Questionnaire. Data were analyzed using correlation test Non-parametric Spearman

Results: Based on the analysis of this study, there is a significant correlation between level of education and quality of life (p = 0.045), there is a significant correlation between Job status and quality of life (p = 0.000) danterdapat significant correlation between marital status and quality of life (p = 0.024). However, there is no correlation between gender and the quality of life of patients with schizophrenia (p = 0.754) nor is there a correlation between age and the quality of life of patients with schizophrenia (p = 0.727)

Conclusion: There is a significant correlation between demographic factors such as education level of the subject, the subject Job status and marital status subject to the quality of life of patients with schizophrenia, but there is no significant correlation between demographic factors such as gender and age of the subject with the subject of quality of life of patients with schizophrenia

(13)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sehat adalah suatu kondisi dimana segala sesuatu berjalan normal dan bekerja sesuai fungsinya. World Health Organization (WHO) mengartikan sehat sebagai suatu kondisi dimana keaadan fisik, mental, dan sosial yang baik tanpa adanya suatu penyakit atau kelemahan (Organization, 2003). WHO juga mengemukakan bahwa ada empat komponen utama yang merupakan kesatuan dalam pengertian sehat, yaitu : sehat secara jasmani, sehat secara mental, sehat secara sosial, dan sehat secara spiritual. Kesehatan mental adalah salah satu dasar dari pengertian sehat yang harus dipenuhi. Orang dengan kondisi mental yang terganggu akan mengalami gangguan jiwa. Salah satu manifestasi dari kondisi kesehatan mental yang terganggu adalah skizofrenia. Skizofrenia adalah gangguan mental berat berbentuk psikotik yang mengganggu fungsi hidup seseorang dengan sangat berat, dan menimbulkan disorganisasi personalitas yang tinggi (Ingram, 1995). Psikotik sendiri diartikan sebagai gangguan jiwa berat dan kronik (menahun) dicirikan dengan individu kehilangan daya nilai realitas, mempunyai gejala waham dan halusinasi, tidak bisa mengotrol diri karena nalarnya runtuh dan tidak bisa mengarahkan

kemaunnya secara sadar (Neil A Rector, 2005).

(14)

Skizofrenia disebabkan oleh gangguan biologis, sosial, psikologis, genetik, fisik atau kimiawi. Gejalanya meliputi gejala primer gangguan proses berfikir, gangguan emosi, gangguan minat, autisme, dan gejala sekunder berupa waham dan halusinasi (Maramis, 2009). Skizofrenia tidak hanya disebabkan oleh faktor genetika/satu gen tunggal saja, melainkan oleh interaksi kompleks dari banyak faktor, dengan manifestasi perilaku yang bervariasi. Fenotip yang dihasilkan dari individu merupakan cerminan dari interaksi gen, pembangunan kepribadian, dan lingkungan. Oleh karena itu skizofrenia adalah hasil dari suatu proses yang dinamis dan kompleks yang sulit untuk diprediksi pola etiologinya (Moogeh Bahornoori., 2010)

(15)

gangguan jiwa berat terbanyak adalah di D.I.Yogyakarta. Hasil Riskesdas tahun 2013 menunjukkan, sekitar 3 dari setiap 1.000 orang penduduk DIY mengalami gangguan jiwa berat, atau dipravelensikan sebanyak 2,7 individu per-mil. (Kementrian Kesehatan, 2013)

Pada beberapa tahun yang lalu, bila diagnosis skizofrenia telah dibuat, maka ini berarti bahwa sudah tidak ada harapan lagi bagi orang yang bersangkutan, bahwa kepribadiannya selalu akan menuju kemunduran mental, dan bila seseorang dengan skizofrenia kemudian sembuh, maka diagnosisnya harus diragukan (Maramis, 2009). Maramis juga menyatakan, dengan pengobatan modern seperti sekarang bila penderita datang berobat dalam tahun pertama setelah serangan pertama, maka kira-kira 1/3 dari mereka akan sembuh total (full remission atau recovery), 1/3 yang lain dapat dikembalikan ke masyarakat walaupun masih didapati cacat sedikit dan mereka harus diperiksa serta diobati selanjutnya (social recovery), dan 1/3 yang sisanya memiliki prognosis jelek karena tidak dapat berfungsi di dalam masyarakat dan menuju kemunduran mental permanen. Biasanya 1/3 bagian ini mengisi rumah sakit jiwa sebagai penghuni tetap.

(16)

dan perilaku kesehatan masyarakat dan bagaimana, pada gilirannya, status kesehatan akan mempengaruhi atribut-atribut demografi (Thomas., 2013).

WHO mendefinisikan kualitas hidup sebagai tingkat kesejahteraan individu dan masyarakat yang memiliki berbagai konteks, dan berperan penting dalam pembangunan nasional, tingkat kesehatan, bidang politik dan pembangunan internasional. Kualitas hidup mempengaruhi semua aspek dalam kehidupan, baik secara fisik, psikis, maupun sosial. Faktor-faktor seperti keuangan, kesehatan, keamanan, keadaan lingkungan, dan lain-lain saling terkait satu sama lain dalam menentukan tingkat kualitas hidup seseorang (Marta Makara-Studznlnska., 2011). Penyakit psikologis juga secara signifikan mempengaruhi semua aspek kehidupan dari seseorang. Meskipun pada beberapa pasien, kondisinya stabil dan ditandai dengan dapat dikendalikannya gejala-gejala psikotik, hal ini tidak menjamin kestabilan tingkat kualitas hidup pasien. Mengukur kualitas hidup pasien memberikan banyak informasi tentang pasien sebelum terserang penyakit. Hal ini sangat penting untuk merencanakan strategi terapi, serta mengurangi kemungkinan kekambuhan pasien di kemudian hari (Sima Farid Kian., 2014).

Kualitas hidup telah diakui oleh dunia psikologi bersama dengan pendekatan tradisional dalam mengobati penyakit jiwa. Penelitian terakhir telah menunjukkan bahwa tingkat kualitas hidup telah menjadi faktor independen dalam hasil akhir dari penyakit-penyakit kronis (Boyer, 2013).

(17)

masalah hidup sehari-hari termasuk : fungsi sosial, pengangguran, dan kurangnya kemampuan untuk menghadapi tekanan sehari-hari. Sangat kontras dengan sekarang, tujuan utama dari terapi skizofrenia adalah meningkatkan kualias hidup pasien. Penelitian menunjukkan bahwa orang dengan kondisi kesehatan mental yang menurun, cenderung memiliki kualitas hidup yang rendah dibandingkan dengan populasi yang sehat secara umum. (Marta Makara-Studznlnska., 2011)

Dalam kehidupan sehari-hari, manusia senantiasa menghadapi berbagai macam masalah dan gangguan penyakit. Telah ditemukan banyak firman-firman Allah yang berhubungan dengan dunia kesehatan. Adanya masalah dan penyakit hendaknya dianggap sebagai ujian yang diberikan Allah, bukan hanya sebagai masalah yang mengganggu dan memberatkan. Orang beriman hendaknya senantiasa bersabar, bertawakal, dan berusaha untuk mengobati

penyakitnya, serta senantiasa berdo‟a agar diberi kesembuhan seperti yang

tertulis pada beberapa firman Allah berikut :

“Dan apabila aku sakit, dialah yang menyembuhkanku”(Q.S. Asy-Syu’ara,

26:80)

(18)

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang di atas, rumusan masalah pada penelitian ini adalah : Faktor sosiodemgorafi apa sajakah yang berhubungan dengan Kualitas Hidup Pasien Skizofrenia ?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan umum penelitian ini adalah ingin mengetahui faktor demografi apa sajakah yang berhubungan dengan kualitas hidup pasien skizofrenia.

Tujuan khusus penelitian ini adalah :

1. Mengetahui tingkat kualitas hidup penderita skizofrenia di populasi

2. Mengetahui faktor-faktor demografi tertentu apa saja yang berhubungan dengan kualitas hidup pasien skizofrenia.

D. Manfaat Penelitan

Ada dua manfaat yang penulis harapkan dari karya tulis ini, yaitu : 1. Teoritis

a. Untuk mengembangkan teori yang berkaitan dengan faktor demografi yang berhubungan dengan kualitas hidup pasien skizofrenia

b. Untuk memberikan masukan atau pertimbangan dalam penelitian mengenai skizofrenia selanjutnya.

2. Praktis

a. Manfaat bagi institusi dan peneliti

(19)

b. Manfaat bagi pasien

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran persebaran tingkat kualitas hidup pada pasien skizofrenia yang dipengaruhi oleh faktor demografi .

c. Bagi keluarga

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran pada keluarga mengenai faktor-faktor demografi yang mempengaruhi kualitas hidup pasien skizofrenia sehingga keluarga dapat berperan aktif dalam manajemen pasien.

E. Keaslian Penelitian

Penelitian yang pernah dilakukan berkaitan dengan penelitian ini adalah :

No. Peneliti

Judul Subjek Perbedaan Instrumen Hasil

(20)

Safitri

1. Penelitian dengan judul “Hubungan Onset Usia dengan Kualitas Hidup Penderita Skizofrenia di Wilayah Kerja Puskesmas Kasihan II Bantul,

Yogyakarta” (Ajeng Wijayanti., 2011). Penelitian ini merupakan

(21)

responden di wilayah kerja Puskesmas Kasihan II Bantul Yogyakarta. Uji statistik menggunakan Spearman Test dan menunjukkan sig = 0,943(P>0,05) yang berarti tidak terdapat hubungan yang bermakna antara onset usia dengan kualitas hidup pasien skizofrenia di wilayah kerja Puskesmas Kasihan II Bantul, Yogyakarta.

2. Penelitian dengan judul “Perbedaan Kualitas Hidup antara Pasien

Skizofrenia Gejala Positif dan Gejala Negatif Menonjol” (Safitri.,

(22)

didapatkan pada kelompok pasien skizofrenia yang mempunyai gelar positif menonjol daripada gejalan negatif menonjol

3. Penelitian dengan judul “Social and Personal functioning in Schizophrenia : Relationship to Sociodemographic and Clinical

Factors” (Dian Budianti Amalina, 2014). Penelitian ini merupakan

(23)
(24)

BAB II

TINJAUN PUSTAKA

A. Tinjauan Pustaka 1. Skizofrenia

a. Definisi

Menurut Pedoman Penggolongan Diagnosis Gangguan Jiwa III (PPDGJ-III) skizofrenia merupakan sindrom dengan variasi penyebab dan perjalanan penyakit yang luas, tak selalu bersifat kronis, dan tergantung pada perimbangan pengaruh genetik, fisik, dan sosial budaya. Eugen Bleuler (1857-1939) adalah orang yang pertama kali mencetuskan istilah scizofrenia, yang menggantikan menggantikan demensia prekoks dalam literatur. Skisme sendiri diartikan sebagai perpecahan antara pikiran, emosi, dan perilaku pada pasien dengan gangguan ini. Bleuler menyatakan beberapa gejala fundamental yang terkait dengan skizofrenia. Gejala tersebut meliputi gangguan asosiasi, gagguan afektif, autisme, dan ambivalensi yang dirangkum menjadi empat A: asosiasi, afek, autisme dan ambivalensi (Sadock, et al., 2015).

Menurut Ming. T, Tsuang pada bukunya (Tsuang, et al., 2011)

kata “scizofrenia” dan “scizofrenic” biasanya disalah artikan dalam

percakapan sehari-hari dan di media berita. Sebagian besar dari mereka

(25)

mengartikan skziforenia sebagai orang-orang yang berbeda dari orang normal karena memilki gangguan tingkah laku, karakter, dan sakit secara mental. Sebagai contoh, orang yang tidak bisa mengambil keputusan atau tidak bisa membedakan antara perasaan benci dan cinta

untuk alasan tertentu bisa saja di „lebel‟ sebagai scizofrenic. Di

beberapa negara, terutama di masa lalu, scizofrenia di artikan sebagai

„pengaruh‟ roh jahat atau, ironisnya, sebagai indikator dari tingkat

superioritas suatu agama. Orang dengan skizofrenia biasanya dihukum atau dipuja tergantung dari kepercayaan dan kultur suatu tempat.

Miskonsepsi yang paling sering mengenai skizofrenia sekarang adalah orang-orang yang kepribadiannya lebih dari satu/multipel. Tentu saja ini tidak benar, namun ironisnya sampai beberapa dekade yang lalu miskonsepsi ini masih sering digunakan di dunia kedokteran, psikologi, dan sosiologi. Penggunaan kata yang sebetulnya tepat untuk skizofrenia adalah untuk mendiagnosis suatu kndisi mental yang kompleks dan specifik, serta mencakup kriteria-kriteria tertentu. Miskonsepsi ini juga sangat mempengaruhi tindakan-tindakan medis yang akan dijalankan untuk mengobati pasien. Penggunaan kata

“scizofrenia” yang tepat memiliki fungsi yang sangat penting dan

(26)

b. Epidemiologi 1) Secara Umum

Skizofrenia adalah masalah kesehatan masyarakat yang mempengaruhi populasi dunia secara global. Data epidemiologis sejak dua dekade yang lalu menyebutkan perkiraan kejadian skizofrenia adalah 1-2 permil populasi, namun penelitian WHO sekarang menampilkan bahwa angka ini sudah meningkat menjadi 1-3% populasi umum (Tsuang, et al., 2011). Efek kepadatan penduduk sejalan dengan pengamatan pravelensi skizofrenia. Kota dengan lebih dari 1 juta orang penduduk memiliki tingkat kejadian skizofrenia yang lebih tinggi daripada kota dengan penduduk 100.000-500.000. Pengamatan ni meyatakan bahwa stressor sosial di suasana perkotaan mempengaruhi timbulnya skizofrenia pada orang yang berisiko (Sadock, et al., 2015).

2) Berdasarkan umur, jenis kelamin, dan genetik.

(27)

tentang keluarga-keluarga penderita skizofrenia telah banyak dilakukan. Pravelensi angka kesakitan bagi saudara tiri adalah 0,9-1,8%; bagi saudara kandung adalah 7-15%; bagi anak dengan salah satu orang tua yang menderita skizofrenia adalah 7-16%; bagi kedua orang tua menderita skizofrenia 40-60%; bagi kembar dua telur (heterozigot) adalah 2-15%; bagi kembar satu telur (monozigot) adalah 61-86% (Maramis, 2009)

3) Infeksi dan musim saat lahir

Penelitian menemukan hipotesis kuat bahwa orang-orang yang mengalami skizofrenia kemungkinan besar dilahirkan pada akhir musim semi dan musim panas. Pada belahan bumi utara, termasuk di Amerika Serikan, orang dengan skizofrenia lebih sering dilahirkan pada bulan Januari sampaiApril. Pada belahan bumi selatan, orang dengan skizofrenia lebih serig dilahirkan pada bulan Juli sampai September. Faktor resiko musim, seperti virus atau menu makanan tiap musim, mungkin berlau dalam hal ini (Sadock, et al., 2015).

(28)

4) Faktor sosioekonomik dan kultural

Skizofrenia digambarkan terdapat pada semua kebudayaan dan status kelompok sosioekonomi. Di negara maju, jumlah pasien skizofrenik yang tidak semibang berada pada kelompok sosio ekonomik lemah.

a) Ekonomi

Skizofrenia muncul di fase awal kehiduan dan masa produktif seseorang, maka penyakit ini mengakibatkan gangguan yang signifikan dan berkepanjangan (Sadock, et al., 2015). Pasien skizofrenia membutuhkan biaya yang tinggi untuk proses pengobatan di rumah sakit, rehabilitasi, dan layanan dukungan. Estimasi total biaya pasien skizofrenia jika dikombinasikan bahkan mencapai angka setinggi pengobatan penyakit cancer. Beberapa penelitian di Amerika Serikat juga menunjukkan bahawa 15-45% penderita skizofrenia adalah gelandangan.

b) Kultur

(29)

alternatif. Mereka menganggap gejala-gejala seperti halusinasi, ilusi, waham, dan proses pikir yang terganggu bukanlah gangguan medis.. Banyak dari masyarakat, terutama di pedesaan masih belum mengerti bahwa penyebab dari gejala-gejala psikotik tersebut muncul akibat ketidakseimbangan neurotransmiter berupa dopamin di otak.

c) Rawat Inap

(30)

c. Etiologi

Skizofrenia didiskusikan seolah-olah sebagai suatu penyakit tunggal namun katagori diagnostiknya mencakup sekumpulan gangguan, mungkin dengan kausa yang heterogen, tapi dengan gejala perilaku yang sedikit banyak yang serupa (Sadock, et al., 2015)

Menurut Kaplan & Sadock (2015) faktor-faktor yang menyebabkan skizofrenia, antara lain :

1) Faktor Genetik

Dapat dipastikan bahwa terdapat kontribusi genetik pada beberapa, atau seluruh bentuk skizofrenia. Sebagai contoh, pada individu yang memiliki saudara dengan kelainan skizofrenia akan memiliki kemungkinan yang lebih tinggi untuk terpapar skizofrenia juga daripada individu yang tidak memiliki saudara dengan skizofrenia. Kemungkinan tersebut berhubungan dengan tingkat kedekatan individu dan saudaranya yang menderita skizofrenia. Pada kasus kembar monozigotik yang memiliki gen identik, terdapat kemungkinan 50% untuk menderita skizofrenia jika saudaranya menderita skizofrenia.. Tingkat ini 4 sampai 5 kali lebih tinggi dibandingkan dengan kemungkinan yang ditemukan di saudara tingkat pertama lainnya (saudara, orang tua, atau keturunan

“tiri”). Peran faktor genetik ini lebih jauh merefleksikan penurunan

(31)

kembar yang dibesarkan orangtua asuh tampak mengalami skizofrenia dalam jumlah yang sama dengan kembarnya yang dibesarkan oleh orangtua biologisnya. Temuan ini mengemukakan bahwa pengaruh genetik berpengaruh besar dalam kemungkinan terjadinya skizofrenia, namun faktor lingkungan juga harus terlibat dalam menentukan terjadinya skizofrenia.

Beberapa penemuan juga menunjukkan usia ayah memiliki hubungan dalam kemungkinan terjadinya skizofrenia. Pada penelitian pasien skizofrenia tanpa riwayat sakit baik dalam garis keturunan ayah ataupun ibu, ditemukan fakta bahwa mereka yang lahir dari ayah dengan usia lebih tua dari 60 tahun memiliki kemungkinan menderita skizofrenia juga. Mungkin, spermatogenesis yang buruk ditemukan pada pria yang lebih tua daripada pria yang lebih muda.

2) Faktor Biokimia a) Hipotesis Dopamin

Hipotesis ini menyatakan bahwa skizofrenia timbul akibat aktivitas dopaminergik yang berlebihan. Teori ini berkembang berdasarkan dua pengamatan. Pertama, kemanjuran serta potensi sebagian besar obat antipsikotik (yaitu, antagonis reseptor dopamin), berkorelasi dengan kemampuannya

bertindak sebagai antagonis reseptor dopamin tipe 2

(D

2

).

(32)

terkenal adalah afetamin, bersifat psikotomimetik. Teori dasar ini tidak menguraikan apakah hiperaktivitas dopaminergik disebabkan pelepasan dopamin yang berlebihan, reseptor dopamin yang terlalu banyak, hipersensitivitas reseptor dopamin terhadap dopamin, atau kombinasi mekanisme tersebut. Jalur dopamin di otak yang terlibat juga tidak dirinci dalam teori ini, meski jalur mesokortikal dan mesolimbik paling sering disebut. Peran signifikan dopamin dalam patofisiologi skizofrenia sejalan dengan studi yang mengukur konsentrasi plasma metabolit utama dopamin, asam homovalinat. Studi melaporkan adanya korelasi positif antara konsentrasi asam homovanilat dan tingkat keparahan gejala yang timbul pada pasien. Penurunan asam homovalinat berkorelasi dengan perbaikan gejala pada setidaknya beberapa pasien (Sadock, et al., 2015).

b) Norepinefrin.

(33)

menyatakan bahwa sistem noradrenergik memodulasi sitem dopaminergik dalam suatu cara sehingga abnormalitas sistem noradrenergik mempredisposisikan pasien untuk mengalami relaps yang sering (Sadock, et al., 2015).

c) Glutamat.

Gluamat telah terlibat karena konsumsi phencyclidine, antagonis glutamat, memproduksi sindrom akut yang serupa dengan skizofrenia. Hipotesis tentang glutamat termasuk hoperkatifitas, hipoaktifitas, dan glutamate0induced neurotoxicity (Sadock, et al., 2015).

d) Asetilkolin dan Nikotin.

Pada data postmortem (data yang diambil dari orang yang telah meninggal) pasien skizofrenia menunjukkan adanya penurunan kadar muskarinik dan reseptor nikotin di daerah putamen bagian kaudal, hipokampus, dan beberapa bagian prefrontal cortex. Reseptor-reseptor ini berperan penting dalam regulasi neurotransmiter yang berperan dalam kesadaran sebagai individu pada seorang, yang mengalami gangguan pada pasien skizofrenia (Sadock, et al., 2015).

d. Neuropathology

(34)

ke-20 , para peneliti membuat suatu langkah signifikan dalam mengungkap dasar neuropatologi potensial skizofrenia, terutama di sistem limbik dan ganglia basalis, termasuk abnormaitas neuropatologi atau neurokimiawi di korteks serebri, talamus, dan batang otak. Berkurangnya volume otak yang dilaporkan secara luas terda;at pada otak skizofrenik tampaknya, merupakan akibat berkurangnya kepadantan akson, dendrit, dan sinaps yang memfasilitasi fungsi asosiatif otak. Densitas sinaptik paling tinggi pada usia 1 tahun, kemudian menurun hingga mencapai nilai dewasa pada awal masa remaja. Suatu teori, yang sebagian didasarkan pada pengamatan bahwa pasien sering menunjukkan gejala skizofreniak selama masa remaja, menyatakan bahwa skizofrenia timbul akibat pemangkasan sinaps yang berlebihan selama fase perkembangan ini (Sadock, et al., 2015).

1) Ventrikel Cerebri

(35)

buruk. Namun, beberapa penelitian lain menunjukkan bahwa lesi tersebut berlanjut menjadi lebih buruk selama pasien menderita skizofrenia. Dengan demikian, apakah proses patologis yang aktif terus berkembang pada pasien skizofrenia masih belum pasti (Sadock, et al., 2015).

2) Sistem Limbik

Berkat perannya dalam pengendalian emosi, sistem limbik dihipotesiskan terlibat dalam dasar neuropatologi skizofrenia. Bahkan, area otak ini terbukti menjadi subyek studi neruropatologi paling subur untuk skizofrenia. Banyak studi sampel otak skizofrenik postmoterm yang terkontrol baik menunjukkan adanya pengurangan ukuran regio yang meliputi amigdala, hipokampus, dan giru parahipokampus. Temuan neuro patologi ini sejalan dengan pengamatan yang diambil dari studi pencitraan resonansi magnetic (MRI) pasie skizofrenia. Dilaporkan pula adanya disorganisasi neuron di dalam hipokampus pasien skizofrenia (Sadock, et al., 2015).

3) Cortex Prefrontal

(36)

bahwa beberapa gejala skizofrenia memang sama dengan pasien dengan lobotomies atau sindrom frontal lobe.

4) Ganglia basalis

(37)

mempelajari sistem serotonergik di ganglia basalis; suatu peran serotonin dalam gangguan psikotik diusulkan berdasarkan kegunaan klinis obat antipsikotik dengan aktivitas serotonergic (contohnya, klocapin dan risperidon).

e. Metabolisme Otak

Beberapa penelitian menggunakan magnetic resonance spectroscopy, teknik untuk mengukur konsentrasi dari molekul-molekuk spesifik pada otak, menemukan bahwa pasien dengan skizofrenia memiliki kadar phosphomonoester yang rendah dan inorganic phosphate, namun ditemukan pula tingginya kadar phosphodiester daripada orang normal. Selain itu, pada pasien skizofrenia juga ditemukan konsentrasi N-asetil aspartate (merupakan penanda neuron) yang juga lebih rendah pada hippocampus dan frontal lobus

f. Gejala-Gejala Skizofrenia

Bleuler membagi gejala-gejala skizofrenia menjadi 2 kelompok : 1) Gejala-gejala primer:

a) Gangguan proses pikir b) Gangguan emosi c) Gangguan kemauan d) Autisme

(38)

b) Halusinasi

c) Gejala Katatonik atau gangguan psikomotor yang lain.

Tsuang membagi dua gejala skizofrenia secara garis besar : gejala positif dan gelaja negative (Tsuang, et al., 2011).

Gejala negatif muncul dan mendominasi pada fase

„prodromal‟ dan „residual‟ dari skizofrenia. (Tsuang, et al.,

2011). Gejala positif diartikan secara umum sebagai tingkah laku yang tidak ditemui di orang normal, sedangkan gejala negatif adalah gejala-gejala yang berhubungan dengan tingkah laku pasif pasien namun cenderung tidak terlihat dan diabaikan oleh orang-orang sekitar. Gejala positif muncul dan mendominasi tingkah laku paseien pada fase “aktif” skizofrenia. Fase aktif dari pasien biasanya berujung kepada rawat inap di rumah sakit atau dirujuk ke ahli karena mengganggu orang-orang di sekitar mereka. Sebagai contoh, pada pasien yang mengalami gejala delusi, dia berkata pada orang-orang di sekitarnya bahwa ia sedang dikejar-kejar oleh makhluk aneh dan meminta mereka menghentikan makhuk aneh tersebut dan menolongnya.

d) Gejala Negatif

(39)

penarikan diri secara sosial (Neil A Rector, 2005). Gejala negatif dari pasien skizofrenia cenderung berkaitan dengan gangguan ekspresi emosi dan kurangnya kapasitas pasien untuk merespon lingkungan di sekitar pasien yang sebagian besar bersifat dinamis. (Moogeh Bahoroori., 2010)

e) Gejala Positif

Gejala-gejala ini meliputi delusi/waham, halusinasi, dan ilusi. Berdasarkan dari letak gangguan, gejala-gejala positf ini bisa diklasifikasikan sebagai :

(1) Gangguan persepsi : Mengganggu persepsi, atau kemampuan untuk menyadari stimulus yang datang melalui indera.

(2) Gangguan kognitif : Mempengaruhi pemrosesan informasi (3) Gangguan emosi atau motorik : Karena gejala-gejala ini

sangat mudah untuk dikenali, bahkan oleh orang awam, gejala-gejala positif ini memiliki peran penting dalam membangun gambaran umum pasien skizofrenia.

(40)

percakapan sehingga membuat pasien skizofrenia berkomunikasi secara konstan dengan halusinasi tersebut. Beberapa bentuk halusinasi lain diantaranya : Halusinasi visual, halusinasi penciuman (misanya mencium wewangian), ataupun halusinasi somatik yang merupakan persepsi pasien terhada organ tubuhnya.

Membedakan antara halusinasi dan ilusi adalah hal yang sangat mendasar dalam memeriksa gejala-gejala skizofrenia. Halusinasi merupakan persepsi atau pengalaman yang timbul tanpa adanya suatu stimulus nyata, sedangkan ilusi diartikan sebagai persepsi yang muncul sebagai respon dari stimulus-stimulus tertentu(sebagai contoh, pasien skizofrenia menganggap takut dengan tali karena menganggap talisebagai ular).

Delusi/waham merupakan kepercayaan yang salah atau keyakinan palsu yang dianut pasien secara sadar tanpa adanya stimulus dari luar. (Maramis, 2009) Mayer-gross membagi waham dalam 2 kelompok, yaitu

(4) Waham Primer : merupakan waham yang timbul secara tidak logis sama sekali, tanpa penyebab apa-apa dari luar. Sebagai contoh : seorang istri sedang berbuat serong akibat melihat cicak berjalann dan berhenti dua kali, atau

(41)

kiamat” akibat melihat sekore anjing mengangkat kaki

terhadap sebatang pohon untuk kencing

(5) Waham Sekunder : biasanya logis, dapat diikuti dan merupakan cara bagi penderita untuk menerangkan gejala-gejala skizofrenia lain.

Waham dinamakan menurut isinya : waham kebesaran atau expansif, waham nihilistik, waham kejaran, waham dosa, dan sebagainya

g. Pedoman Diagnostik Skizofrenia

Kriteria Diagnostik DSM-IV-TR Skizofrenia

1) Gejala karakteristik: Dua (atau lebih) poin berikut, masing-masing terjadi dalam porsi waktu yang signifikan selama periode 1 bulan (atau kurang bila telah berhasil diobati).

2) Disfungsi sosial/okupasional: Selama suatu porsi waktu yang signifikan sejak awitan gangguan, terdapat satu atau lebih area fungsi utama, seperti pekerjaan, hubungan interpersonal, atau perawtan diri, yang berada jauh di bawah tingkatan yang telah dicapai sebelum awitan (atau apabila awitan terjadi pada masa kanak-kanak atau remaja, kegagalan mencapai tingkat pencapaian interpersonal, akademik, atau okupasional yang diaharapkan). 3) Durasi: Tanda kontinu gangguan berlangsung selama setidaknya 6

(42)

Kriteria A (yaitu gejala fase aktif) dan dapat mencakup periode gejala prodromal atau residual. Selama periode gejala prodromal atau residual ini, tanda gangguan dapat bermanifestasi sebagai gejala negatif saja atau dua atau lebih gejala yang tedaftar dalam Kriteria A yang muncul dalam bentuk yang lebih lemah (contoh,: keyakinan aneh, pengalaman perseptual yang tidak lazim).

4) Eksklusi gangguan mood dan skizoafektif : gangguan skizoafektif dan gangguan mood dengan ciri psikotik telah disingkirkan baik kareina (1) tidak adanya episode depresif, manik atau campuran mayor yang terjadi bersamaan dengan gejala fase aktif; maupun (2) jika episode mooed terjadi selama gejala fase aktif, durasi totalnya relatif singkat dibanding periode aktif dan residual.

5) Eksklusi kondisi medis/zat umum : gangguan tersebut tidak disebabkan efek fisiologis langsung suatu zat (cth., obat yang disalahgunakan, obat medis) atau kondesi medis umum

(43)

h. Jenis-jenis Skizofrenia

Maramis membagi skizofrenia menjadi beberapa jenis. Penderita digolongkan ke dalam salah satu jenis menurut gejala utama yang terdapat padanya (Maramis, 2009)

1) Skizofrenia Simplex

Sering timbul pertama kali pada masa pubertas. Gejala utama pada jenis simplex adalah kedangkalan emosi dan kemunduran kemauan. Gangguan proses berfikir biasanya sukar ditemukan. Waham dan halusinasi jarang sekali terdapat. Jenis skizofrenia ini timbulnya perlahan-lahan sekali. Pada permulaan mungkin penderita mulai kurang memperhatikan keluarganya atau mulai menarik diri dari pergaulan. Makin lama ia makin mundur dalam pekerjaan atau pelajaran dan akhirnya menjadi pengangguran. Bila tidak ada orang yang menolongnya ia mungkin akan menjadi

pengemis, pelacur, atau “penjahat” (Maramis, 2009)

2) Skizofrenia Paranoid

(44)

mungkin juga akut. Kepribadian penderita sebelum sakit sering dapat digolongkan skizoid.

3) Skizofrenia Hebefrenik

Permulaannya perlahan-lahan atau subakut dan sering timbul pada masa remaja atau antara 15-25 tahun. Gejala yang mencolok adalah : gangguan proses berfikir, gangguan kemauan dan adanya depersonalisasi atau double personality. Gangguan psikomotor seperti mannerism, neologisme atau perilaku kekanak-kanakan sering terdapat pada skizofrenia hebefrenik.

4) Skizofrenia Katatonik

Timbulnya pertama kali antara umur 15-30 tahun, dan biasanya akut serta sering didahului oleh stres emosional. Mungkin terjadi gaduh-gelisah katatonik atau stupor katatonik. Gejala yang penting dari skizofrenia tipe ini berupa gejala-gejala psikomotor seperti mutisme, muka tanpa mimik seperti topeng, Stupor(suatu kondisi dimana penderita tidak bergerak sama sekali untuk waktu yang lama, beberapa hari, bahkan kadang-kadang beberapa bulan), makanan ditolak, air ludah tidak ditelan sehingga terkumpul di dalam mulut dan meleleh keluar, ari seni dan feses ditahan

5) Skizofrenia Residual

(45)

Gejala negatif terdiri dari kelambatan psikomotor, penurunan aktivitas, penumpulan afek, pasif dan tidak ada inisiatif, kemiskinan dalam pembicaraan, ekspresi nonverbal yang menurun, serta buruknya rawat diri.

i. Manajemen Skizofrenia

Maramis (2009) menyatakan bahwa pengobatan pada pasien skizofrenia haris dilakukan secepat mungkin, karena keadaan psikotik yang lama menimbulkan kemungkinan lebih besar penderita menuju ke kemunduran mental.

1) Farmakoterapi

Pengobatan antipsikotik, yang diperkenalkan awal 1950-an, telah merevolusi penanganan skizofrenia. Kurang lebih dua sampai empat kali lipat pasien mengalami relaps bila diobati dengan plasebo dibandingkan mereka yang diobati dengan obat antipsikotik. Namun obat-obat ini hanya menyembuhkan gejala, bukan menyembuhkan skizofrenia (Sadock, et al., 2015). Obat-obat tersebut, antara lain :

a) Antagonis Reseptor Dopamin.

(46)

yang paling sering mengganggu adalah akatisia dan gejala lir-parkinsonian berupa rigiditas dan tremor.

b) Antagonis Serotonin-Dopamin (SDA).

Antagonis Serotonin-Dopamin (SDA) menimbulkan gejala ekstrapiramidal yang minimal atau tidak ada, berinteraksi dengan subtipe reseptor dopamin yang berbeda dibanding antipsikoti standar, dan mempengaruhi baik reseptor glutamat maupun serotonin. Obat ini juga disebut obat antipsikotik atipikal yang tampaknya efektif untuk pasien skizofrenia dalam kisaran yang lebih luas dibanding agen antipsikotik antagonis reseptor dopamin yang tipikal. Golongan ini setidaknya sama efektifnya dengan halpoperidol untuk gejala positif skizofrenia, secara unik efektif untuk gejala negatif skizofrenia.

(47)

antipsikotikatipik, demikian pula pada pasien yang menunjukkan gejala kongnitif atau gejala negatif yang menonjol. Untuk pasien yang baru pertama kali mengalami episode skizofrenia, pemberian obat harus diupayakan agar tidak terlalu memberikan efek samping.yang merugikan pada pasien.

2) Psikoterapi dan Rehabilitasi

Studi mengenai efek psikoterapi individual dalam penangan skizofrenia telah memberikan data bahwa terapi ini bermanfaat dan bersifat tambahan terhadap efek terapi farmakologis (Sadock, et al., 2015). Psikoterapi dalam bentuk psikoanalisis tidak membawa hasil yang diharapkan bahkan ada yang berpendapat tidak boleh dilakukan pada penderita skizofrenia karena justru menambah isolasi dan autisme. Yang dapat membantu penderita adalah psikoterapi suportif individual atau kelompok, serta bimbingan praktis dengan maksud mengembalikan penderita ke masyarakat (Maramis, 2009).

(48)

mengalami stres terlalu banyak. Lingkungan sekitar yang tidak stabil serta hostilitas dan ikut campur emosional yang dialami pasien dari orang-orang yang dekat dengannya akan membawa resiko tinggi untuk kambuh. Untuk itu terapi keluarga dapat bermanfaat

2. Kualitas Hidup a. Definisi

Kualitas hidup merupakan konsep yang kompleks dan multidimensional. Mendefinisikan kualitas hidup cukup sulit karena bersifat subjektif untuk setiap individu. Kualitas hidup mendeskripsikan istilah yang merujuk pada emosional, sosial, dan kesejahteraan fisik seseorang, juga kemampuan mereka untuk berfungsi dalam kehidupan sehari hari (Bagheri, 2005). Tidak ada konsep tunggal dan universal mengenai definisi dari kualitas hidup. Walaupun demikian, definisi kualitas hidup menurut WHO berfokus pada evaluasi subjektif seseorang yang berbeda antara tiap individu. Kualitas hidup merupakan konsep tingkatan, terangkum secara kompleks mencakup kesehatan fisik seseorang, status psikologis, tingkat kebebasan, hubungan sosial dan hubungan mereka kepada karakterstik lingkungan mereka. (Cardoso, et al., 2005)

(49)

keuangan, kesehatan, keamanan, keadaan lingkungan, dan lain-lain. Kecukupan secara finansial tidak selalu berbanding lurus dengan kualitas hidup seseorang. Banyak faktor-faktor lain yang mempengaruhi kualitas hidup sesorang, salah satunya adalah tingkat kesehatan mental seseorang. Penyakit psikologis secara signifikan mempengaruhi semua aspek kehidupan dari seseorang, dan juga berarti mempengaruhi kualitas hidup sesorang. (Sima Farid Kian., 2014)

b. Cara pengukuran kualitas hidup

Instrumen-instrumen penilaian telah diciptakan untuk menilai kualitas hidup dan masing-masing memiliki domain-domain yang dinilai dan diantaranya ada yang digunakan untuk menilai kualitas hidup orang pada umumnya, sampai khusus untuk pasien tertentu beberapa contohnya adalah the 36-item Short Form Health Survey(SF-36), The World Health Organization Quality of Life (WHO-QOL), Sickness Impact Profile, Quality of Well-Being Scale, Health Utilites

(50)

Tabel 1. Contoh Instrumen Penilaian Kualitas Hidup. lingkungan dan penekanan spiritual

100 atau kelelahan, nyeri, dan persepsi kesehatan secara umum

35

4 Euro Quality of Life(EQOL-5D-30)

Fungsi Fisik, Fungsi Peran, Fungsi Kognitif, Fungsi Emosional, Fungsi

(Ferrell & Coyle, 2010; Fayers & Hays, 2005; Cobb, et al., 2012; Sajatovic & Ramirez, 2012)

c. Faktor-faktor yang mempengaruhi

(51)

1) Variabel Sosio-Demografi, antara lain jenis kelamin, status perkawinan, tingkat pendidikan, pekerjaan dan tingkat penghasilan. 2) Variabel Klinis, antara lain penggunaan poli farmasi psikoaktif, efek samping obat yang dikonsumsi, terlambatnya mendapat pengobatan, dan agitasi selama wawancara.

Penelitian (Souza & Coutinho, 2006) juga menjelaskan faktor-faktor yang mempengaruhi kualitas hidup penderita skizofrenia, yaitu : 1) Faktor Demografi

Faktor demografi yang mempengaruhi kualitas hidup pasien skizofrenia yaitu: jenis kelamin, onset usia, pekerjaan, penghasilan, status perkawinan, dan tingkat pendidikan

2) Faktor Klinis

Faktor klinis yang mempengaruhi kualitas hidup adalah jenis dan dosis obat yang digunakan. Penderita Skizofrenia yang tinggal disuatu komunitas, dilihat dari gangguan fungsi sosial, biasanya memiliki kualitas hidup yang buruk, dibandingkan dengan orang yang sehat.

d. Kualitas hidup pasien skizofrenia

(52)

Penelitian terakhir telah menunjukkan bahwa tingkat kualitas hidup telah menjadi faktor independen dalam hasil akhir dari penyakit-penyakit kronis (Boyer, 2013). Pendekatan dengan mengukur kualitas hidup pasien dapat menjadi faktor penentu dalam menentukan strategi treatment pasien.

Jenis-jenis terapi baru, farmakologis maupun non-farmakologi terapi mulai berfokus pada lapangan baru yaitu untuk meningkatkan kualitas hidup orang dengan skizofrenia. Hal ini mulai diakui di seluruh dunia (Moogeh Bahoroori., 2010).

(53)

3. Faktor Demografi

Demografi berasal dari kata Yunani, yaitu demos yang berarti rakyat atau penduduk dan graphein yang berarti menggambar atau menulis. Oleh karena itu, demografi dapat diartikan sebagai tulisan atau gambaran tentang penduduk, terutama tentang kelahiran, perkawinan, kematian, dan migrasi.

George w. Brclay (1970) mendefinisikan demografi sebagai ilmu yang memberikan gambaran secara statistik tentang penduduk. Demografi mempelajari perilaku penduduk secara menyeluruh bukan perorangan. Faktor-faktor demografi yang mempengaruhi tinggi rendahnya statistik data penduduk , yaitu : fertilitas, mortalitas, dan migrasi; yang pada gilirannya menyebabkan perubahan pada jumlah, struktur, dan persebaran penduduk. (Barclay, 1958)

Beberapa faktor demografi yang berpengaruh pada pasien skizofrenia antara lain :

a. Jenis Kelamin

(54)

dalam pravelensi skizofrenia. Beberapa penelitian tentang keluarga-keluarga penderita skizofrenia telah banyak dilakukan. Pravelensi angka kesakitan bagi saudara tiri adalah 0,9-1,8%; bagi saudara kandung adalah 7-15%; bagi anak dengan salah satu orang tua yang menderita skizofrenia adalah 7-16%; bagi kedua orang tua menderita skizofrenia 40-60%; bagi kembar dua telur (heterozigot) adalah 2-15%; bagi kembar satu telur (monozigot) adalah 61-86% (Maramis, 2009)

b. Usia

(55)

penelitian skizofrenia difokuskan terutama pada pasien yang lebih muda. Akan tetapi, pergeseran demografi, yang menciptakan populasi yang jauh lebih besar pada usia senior, telah membantu untuk menumbuhkan minat penelitian pada orang yang lebih dewasa dengan skizofrenia. Diperkirakan bahwa sampai dengan 0,5% dari orang tua berusia lebih dari 65 tahun memiliki skizofrenia. (Wetherel & Jeste, 2011) Jumlah kelahiran yang konstan di beberapa negara-negara berkembang juga memastikan bahwa jumlah penduduk senior akan terus bertambah besar di masa mendatang, statistik ini diperkirakan akan meningkat secara substansial selama 30 tahun ke depan. Berdasarkan penelitian, kedua jenis onset usia dari skizofrenia memiliki faktor resiko yang sama untuk terkena skizofrenia.

c. Tingkat pendidikan

(56)

ekonomi yang buruk. Berdasarkan penelitian, individu yang keluar dari sekolah sejak dini akan menghadapi resiko normatif dari masarakat disekitarnya seperti dikucilkan karena kemampuannya yang berkurang, juga menghadapi resiko kemiskinan yang lebih tinggi (Union, 2013). Individu dengan pendidikan yang rendah juga akan berkurang partisipasinya dalam kehidupan sipil dan politik di masyarakat. Sebagian besar pasien skizofrenia mengalami kegagalan dalam mencapai tingkat pendidikan yang lebih tinggi, pekerjaan atau pernikahan (Judy M. Versola-Russo, 2006). Pencapaian pendidikan yang lebih rendah sangat berhubungan dengan pasien skizofrenia. Hal ini diakibatkan berkurangnya kemampuan memperhatikan materi edukasi pada pasien, juga kesulitan dalam mempelajari hal-hal yang baru, kondisi kelainan neurologis yang mayor, atau onset penyakit yang kurang dari 18 tahun (Tsuang, 2001)

d. Status Pekerjaan

(57)

penuh tekanan dalam dunia kerja. Kondisi waham ditambah dengan ilusi serta halusinasi yang muncul ketika gejala psikis datang cenderung mengakibatkan impuls spontan yang mengganggu berbagai jenis area pekerjaan (Steven Marwaha, 2004). Penelitian menunjukkan bahwa 70%/mayoritas pasien skizofrenia tidak memiliki pekerjaan (Thornicroft G, 2004), padahal jika kita selidiki lebih lanjut berdasarkan uji epidemiologi WHO 2004 sesungguhnya Indonesia menduduki peringkat pertama dengan DALY rate sekitar 321.870 untuk pravelensi skizofrenia (Organization, 2011). Penelitian Mallett et al tahun 2002 menunjukkan adanya hubungan yang bermakna antara status pekerjaan dengan timbulnya skizofrenia (Mallet R, 2002). Menurutnya orang yang tidak bekerja mempunyai kemungkinan lebih besar untuk mengalami skizofrenia dibandingkan orang yang bekerja. Orang yang tidak bekerja akan lebih mudah menjadi stress, hal ini berhubungan dengan tingginya kadar hormon stress (kadar cathecholamine) dan mengakibatkan ketidakberdayaan. Orang yang bekerja memiliki rasa optimis terhadap masa depan dan lebih memiliki semangat hidup yang besar dibandingkan dengan orang yang tidak bekerja (Kessler RC, 2006)

e. Status Pernikahan

(58)

dengan memburuknya fungsi-fungsi sosial individu. Sudah banyak penelitian-penelitian yang mencoba untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan seperti : „Apakah pasien skizofrenia (terutama pria) yang terkontrol akan menikah secara normal sekali dalam hidupnya ?‟ atau

„Apakah status lajang meningkatkan resiko timbulnya skizofrenia ?‟

dan „Apakah status lajang memberikan faktor resiko memburuknya

outcomepada pasien skizofrenia?‟

(59)

B. Kerangka Konsep

Faktor demografi 1. Usia

2. Tempat tinggal 3. Jenis kelamin 4. Status pernikahan

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI

SKIZOFRENIA

KUALITAS HIDUP PASIEN SKIZOFRENIA

- FAKTOR GENETIKA

- FAKTOR BIOKIMIA

HORMON: 1. DOPAMIN 2. NOREPINEFRIN 3. GLUTAMAT

- FAKTOR

NEUROPATHOLOGY

PENATALAKSANAAN SKIZOFRENIA

(60)

C. Hipotesis

Berdasarkan uraian di atas, hipotesis dalam penelitian ini adalah terdapat

(61)

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Desain Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian observasional analitik dengan rancangan cross-sectional, untuk mengetahui hubungan antara faktor demografi dengan kualitas hidup pasien skizofrenia. Penelitian cross sectional merupakan suatu penelitian untuk mempelajari dinamika korelasi antara faktor-faktor resiko dengan efek, dengan cara pendekatan, observasi atau pengumpulan data sekaligus pada suatu saat (point time approach). Artinya, tiap subjek penelitian haya diobservasi sekali saja dan pengukuran dilakukan terhadap status karakter atau variabel subjek pada saat pemeriksaan (Notoatmodjo, 2012).

B. Populasi dan Sampel Penelitian 1. Populasi Penelitian

Populasi penelitian dalam penelitian ini adalah ODS(Orang Dengan Skizofrenia) di 10 Puskesmas berikut :

a. Puskesmas Gondomanan b. Puskesmas Bambang Lipuro c. Puskesmas Wates

d. Puskesmas Godean 1 e. Puskesmas Gedamg Sari f. Puskesmas Kraton

(62)

g. Puskesmas Srandakan h. Puskesmas Temon 1 i. Puskesmas Tempel 1 j. Puskesmas Pleyen 2 2. Sampel Penelitian

Sampel diambil dengan menggunakan teknik consecutive sampling. Consecutive sampling merupakan jenis non-probability sampling yang paling baik, dan seringkali merupakan cara termudah. Semua subjek yang datang dan memenuhi kriteria pemilihan dimasukkan dalam penelitian sampai jumlah subyek yang diperlukan terpenuhi. Agar consecutive sampling dapat menyerupai probability sampling, maka jangka waktu pemilihan pasien harus tidak terlalu pendek, terutama untuk penyakit yang dipengaruhi musim, kecuali untuk penyakit yang tidak dipengaruhi musim hal ini dapat diabaikan (Sastroasmoro, 2006)

Sampel yang menjadi subjek penelitian harus memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi penelitian.

Kriteria inklusi dan eksklusi dalam penelitian ini adalah : a. Kriteria Inklusi

Berikut merupakan kriteria subjek yang harus dipenuhi dalam penelitian ini, antara lain :

1) Pasien skizofrenia yang terdiagnosa berdasarkan kriteria diagnostik DSM-IV-TR untuk Skizofrenia.

(63)

3) Pasien skizofrenia yang tinggal bersama keluarganya.

4) Pasien skizofrenia yang kooperatif dan bersedia menjadi responden penelitian.

5) Pasien skizofrenia terkontrol yang mengonsumsi antipsikotik. 6) Memiliki care-giver yang tinggal serumah

b. Kriteria Eksklusi

Berikut merupakan kriteria subjek yang tidak diikutsertakan dalam penelitian ini, antara lain :

1) Pasien skizofrenia dengan kecacatan fisik bawaan. 2) Pasien skizofrenia dengan penyakit fisik berat. 3) Pasien skizofrenia dengan gangguan mental organik. 4) Mengisi kuesioner tidak lengkap

Perkiraan besar sampel dalam penelitian ini mengguanakan rumus besar sampel untuk koefisien korelasi. Rumus yang digunakan adalah :

{ [ ]}

{

(64)

Keterangan :

- N = Besar 0sampel

- : Nilai pada distriubusi normal standar yang sama dengan tingkat kemaknaan (untuk

- : Nilai pada distribusi normal standar yang sama dengan kausa (power) sebesar diinginkan (untuk = 0,05 adalah 1,645)

- : nilai koefisien korelasi (0,5 didapatkan dari (Ajeng Wijayanti., 2011)pada penelitian sebelumnya)

Berdasarkan perhitungan yang mengacu pada rumus di atas didapatkan jumlah sampel minimal sebesar 38 responden dan untuk mengatasi kuesioner yang tidak lengkap, maka pengambilan jumlah sampel ditambah menjadi minimal 50 sampel. Sampel dipilih berdasarkan kriteria inklusi dan eksklusi.

C. Lokasi dan Waktu Penelitian

Populasi penelitian dalam penelitian ini adalah ODS (Orang Dengan Skizofrenia) di 10 Puskesmas berikut :

1. Puskesmas Gondomanan 2. Puskesmas Bambang Lipuro 3. Puskesmas Wates

(65)

8. Puskesmas Temon 1 9. Puskesmas Tempel 1 10. Puskesmas Pleyen 2

Penelitian ini akan berlangsung secara efektif tertanda mulai dari Desember 2015 hingga Juni 2016.

D. Variabel Penelitian 1. Variabel Tergantung

Variabel tergantung dalam penelitian ini adalah kualitas hidup skizofrenia 2. Variabel Bebas

Variabel bebas dalam penelitian ini adalah faktor demografi E. Definisi Operasional

Definisi operasional dalam penelitian ini adalah : 1. Faktor Demografi

Faktor demografi yang diteliti pada penelitian kali ini, mencakup : a. Jenis Kelamin

1) Pria 2) Wanita b. Usia

Peneliti akan membagi usia menjadi beberapa katagori 1) Anak-anak <14 tahun

(66)

c. Tingkat pendidikan

Peneliti akan membagi tingkat pendidikan menjadi beberapa katagori 1) Tidak sekolah

2) Tidak tamat SD 3) Tamat SD 4) Tamat SMP 5) Tamat SMA 6) Perguruan tinggi d. Status Pekerjaan

Peneliti akan membagi Status Pekerjaan menjadi beberapa katagori 1) Tidak bekerja

2) Bekerja e. Status Pernikahan

1) Belum Menikah 2) Menikah

3) Cerai 2. Kualitas Hidup

(67)

tingkat kualitas hidup telah menjadi faktor independen dalam hasil akhir dari penyakit-penyakit kronis. (Boyer, 2013). Pendekatan dengan mengukur kualitas hidup pasien dapat menjadi faktor penentu dalam menentukan strategi treatment pasien. Variabel kualitas hidup ini diukur dengan kuesioner kualias hidup Lehman modifikasi versi bahasa indonesia. Instrumen ini mempunyai nilai validitas dan reliabilitas yang signifikan, baik yang divalidasi di luar negeri maupun yang divalidasi di RSJ Magelang. Nilai validasi yang didapatkan adalah (r hitung = 0.372 – 0.789) dan reliabel (Eniarti, 2008)

F. Instrumen Penelitian

Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah : 1. Kuesioner data pribadi

Kuesioner ini berisi data pribadi, antara lain : nama, usia, jenis kelamin, alamat, pekerjaan, status perkawinan, riwayat keluarga, faktor pencetus, onset usia penyakit, jenis antipsikotik, keteraturan minum obat. 2. Kuesioner kualitas hidup Lehman

(68)

hidup objektif) dan rasakan (kualitas hidup subjektif). Skala QOLI terdiri dari banyak domain termasuk diantaranya Situasi hidup, hubungan keluarga, hubungan sosial, kegiatan di waktu luang, keuangan, keamanan dan hukum, pekerjaan dan sekolah, kesehatan, agama, dan lingkungan. Terdapat juga QOLI versi singkat yang hanya terdiri dari 74 item sehingga waktu pengerjaan yang lebih cepat tanpa kehilangan realibilitas atau validitasnya (Sajatovic & Ramirez, 2012). Instrumen ini memiliki nilai validitas dan reliabilitas yang signifikan, baik yang divalidasikan di luar negeri maupun yang telah divalidasi di RSJ Magelang. Nilai validasi yang didapatkan adalah (r hitung = 0.372 – 0.789) dan reliabel (Eniarti, 2008). Interpretasi penilaian :

a. Kualitas Hidup Tinggi : bila skor 30-34 b. Kualitas Hidup Sedang : bila skor 15-29 c. Kualitas Hidup Rendah : bila skor 0-14 G. Jalannya Penelitian

Pertama-tama proposal penelitian harus disetujui terlebih dahulu oleh pembimbing. Setelah proposal disetujui pembimbing maka dilakukan seminar proposal, setelah itu peneliti harus mengurus surat ijin penelitian. Pelaksanaan penelitian ini dapat dibagi menjadi 3 tahap, yaitu :

1. Tahap Persiapan Penelitian

(69)

juga mengurus surat izin penelitian serta mempersiapkan instrumen-instrumen penelitian.

2. Tahap Pelaksanaan

Tahap pelaksanan meliputi kegiatan lapangan yaitu pengambilan data di seluruh puskesmas. Responden diberi penjelasan secara lisan dan jelas, lalu diminta untuk menandatangani inform consent sebagai bentuk kesediaanya dalam berpartisipasi pada penelitan. Responden diminta untuk mengisi kuesioner identitas pribadi dan kuesioner kualitas hidup secara lengkap. Peneliti mendampingi responden selama responden mengisi kuesioner. Peneliti lalu mengambil kembali kuesioner yang telah diisi secara lengkap oleh respoden. Pengisian kuesioner juga dapat dilakukan dalam bentuk wawancara.

3. Tahap Penyelesaian

Peneliti melakukan pengolahan data dimulai dengan menghitung skor penelitian, selanjutnya data dianalisa menggunakan program SPSS (Statistical Product and Service Solution). Tujuannya menggunakan program tersebut adalah untuk menghindari bias. Pembahasan hasil penelitian dilakukan setelah melakukan analisis data, kemudian dilakukan revisi dan presentasi dengan pembimbing dan penguji.

H. Uji Validitas dan Reliabilitas

(70)

menunjukan sejauh mana suatu alat pengukur dapat dipercaya atau dapat diandalkan. Hal ini menunjukan sejauh mana hasil pengukuran itu tetap konsisten bila dilakukan pengukuran dua kali atau lebih terhadap pertanyaan yang sama, dengan menggunakan alat ukur yang sama (Notoatmodjo, 2012).

Penelitian ini tidak melakukan uji validitas dan reliabilitas karena kuesioner yang digunakan pada penelitian ini sebelumnya sudah pernah digunakan oleh Eniarti (2008) dengan judul penelitian Perbedaan Skor Kualitas Hidup Pasien Skizofrenia yang Mendapat Terapi Kerja Berorienasi Token Ekonomi dengan Terapi Aktivitas Kelompok di RSJ Dr. Soerojo Magelang. Validasi yang didapatkan adalah (r hitung = 0.372-0.789) dan reliabel.

I. Analisis Data

Analisis data dilakukan melalui tahap-tahap sebagai berikut : 1. Editing

Editing dilakukan dengan cara memeriksa kelengkapan data, kesinambungan dan kesesuaian data. Editing dilakukan segera setelah peneliti menerima kuesioner yang telah diisi oleh responden, sehingga apabila terjadi kesalahan dapat segera diklarifikasi.

2. Coding

(71)

3. Analiting

Data yang telah terkumpul diolah dan dianalisis, diantaranya yaitu : a. Analisis Univariate

Analiss Univariate merupakan analisa yang dilakukan terhadap tiap variabel dari hasil penelitian dan pada umumnya hanya menghasilkan distribusi dari tiap variabel (Notoatmodjo, 2012). Analisa ini digunakan untuk mendapatkan gambaran distribusi frekuensi responden serta untuk menganalisa karakteristik responden meliputi jenis kelamin, usia, tempat tinggal dan pendidikan.

b. Analisis Bivariate

(72)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Deskripsi Wilayah Penelitian

Pengambilan data dilakukan pada bulan Mei 2016 di 10 Puskesmas yang tersebar di ke 5 Kabupaten Provinsi D.I. Yogyakarta. Puskesmas Bambang Lipuro serta Puskesmas Godean 1 pada 20 Mei 2016, Puskesmas Wates pada 21 Mei 2016, Puskesmas Gedang Sari pada 23 Mei 2016, Puskesmas Gondomanan serta Puskesmas Kraton pada 24 Mei 2016, Puskesmas Srandakan pada 25 Mei 2016, Puskesmas Temon 1 pada 26 mei 2016, Puskesmas Pleyen 2 pada 27 Mei 2016 dan Puskesmas Tempel 1 pada 28 Mei 2016

Populasi awal penelitian adalah sebanyak 106 orang dan yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi dalam penelitian ini adalah sebanyak 101 orang. B. Hasil Penelitian

1. Gambaran Umum Karakteristik Responden

Pengumpulan data pada penelitian ini adalah dengan melakukan wawancara dan mengisi kuesioner data pribadi serta kuesioner kualitas hidup. Karakteristik subjek penelitian yang dipakai dalam kuesioner penelitian ini dijadikan sebagai dasar acuan faktor demografi yang seterusnya akan digunakan dalam analisa penelitian.

Gambar

Tabel 1. Contoh Instrumen Penilaian Kualitas Hidup.
Tabel 4.3 Tingkat pendidikan Subjek
Tabel 4.2 Skor Kualitas Hidup Subjek
Tabel 4.2 Skor Kualitas

Referensi

Dokumen terkait

Dalam penelitian ini, dirumuskan pertanyaan penelitian sebagai berikut : Bagaimana pengaruh faktor-faktor karakteristik demografi ibu yang meliputi umur, tingkat

Penelitian ini merupakan Survei explanatory untuk menganalisis faktor demografi (umur, jenis kelamin, status perkawinan), struktur sosial (pendidikan, pekerjaan), dan faktor

kriteria inklusi yang lebih spesifik, seperti jenis pengobatan menggunakan antipsikotik tipikal atau atipikal, oleh karena faktor.. tersebut dapat memberikan pengaruh

skizofrenia, gangguan bipolar, demensia, dan cacat intelektual juga memiliki kualitas hidup yang lebih rendah daripada orang yang tidak terkena (Patel, et al.,

1) Pada faktor demografi, jenis kelamin memiliki hubungan yang signifikan dengan pembelian impulsif di Supermarket Tiara Dewata. 2) Pada faktor demografi, usia

13 Kelompok pekerjaan p = 0.513, hal ini tidak sesuai dengan penelitian yang dilakukan Caron dan kawan-kawan (2005) bahwa terdapat perbedaan bermakna antara pekerjaan

Skripsi ini berisikan tentang hasil pengukuran status kualitas hidup pasien pasca stroke yang dikaitkan dengan variabel independen berupa karakteristik

1) Pada faktor demografi, jenis kelamin memiliki hubungan yang signifikan dengan pembelian impulsif di Supermarket Tiara Dewata. 2) Pada faktor demografi, usia tidak