• Tidak ada hasil yang ditemukan

HUBUNGAN ANTARA FUNGSI KOGNITIF DENGAN KUALITAS HIDUP PASIEN SKIZOFRENIA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "HUBUNGAN ANTARA FUNGSI KOGNITIF DENGAN KUALITAS HIDUP PASIEN SKIZOFRENIA"

Copied!
105
0
0

Teks penuh

(1)

i

KARYA TULIS ILMIAH

HUBUNGAN ANTARA FUNGSI KOGNITIF

DENGAN KUALITAS HIDUP PASIEN SKIZOFRENIA

Disusun Untuk Memenuhi Sebagian Syarat Memperoleh Derajat Sarjana Kedokteran pada Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan

Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

Disusun oleh MUTIA DIAN VITASARI

20120310182

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA

(2)

i

KARYA TULIS ILMIAH

HUBUNGAN ANTARA FUNGSI KOGNITIF

DENGAN KUALITAS HIDUP PASIEN SKIZOFRENIA

Disusun Untuk Memenuhi Sebagian Syarat Memperoleh Derajat Sarjana Kedokteran pada Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan

Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

Disusun oleh MUTIA DIAN VITASARI

20120310182

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA

(3)

ii

HALAMAN PENGESAHAN

HUBUNGAN ANTARA FUNGSI KOGNITIF DENGAN KUALITAS HIDUP PASIEN SKIZOFRENIA

Disusun oleh: MUTIA DIAN VITASARI

20120310182

Telah disetujui dan diseminarkan pada tanggal 27 Juni 2016

Dosen Pembimbing

dr. Warih Andan Puspitosari, M.Sc, Sp.KJ NIK :19700417200010173042

Dosen Penguji

dr. Ida Rochmawati, M.Sc, Sp.KJ NIP : 196912122006042011

Mengetahui,

Kepala Program Studi Pendidikan Dokter FKIK Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

(4)

iii

PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN

Saya yang bertanda tangan dibawah ini

Nama : Mutia Dian Vitasari

NIM : 20120310182

Program Studi : Pendidikan Dokter

Fakultas : Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan

Menyatakan dengan sebenarnya bahwa Karya Tulis Ilmiah yang saya tulis ini benar-benar merupakan hasil karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan oleh penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir Karya Tulis Ilmiah ini.

Apabila di kemudian hari terbukti atau dapat dibuktikan bahwa Karya Tulis Ilmiah ini merupakan hasil jiplakan, maka saya bersedia menerima sanksi atas perbuatan tersebut.

Yogyakarta, 27 Juni 2016

Yang membuat pernyataan,

Tanda tangan

(5)

iv

HALAMAN PERSEMBAHAN

Saya persembahkan Karya Tulis Ilmiah ini kepada :

Kedua Orang Tua saya tercinta, Bapak Teguh Iskadir dan Ibu Tri Iriantiwi yang telah memberikan kasih sayang yang tak terhingga

kepada saya dan yang selalu mendoakan serta menanti keberhasilan saya

Adik saya tersayang, Raihan Dipta Aryandhi

Sahabat-sahabat saya Tsanny, Sari, Cyntha, Mentari, Selvy, Wulan, Nia, Nadia dan Qurata

(6)

v

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan anugerah-Nya kepada kita semua sehingga dengan segala keterbatasan yang penulis miliki akhirnya penulis dapat menyelesaikan

Karya Tulis Ilmiah dengan judul “Hubungan antara Fungsi Kognitif dengan

Kualitas Hidup Pasien Skizofrenia” guna memenuhi tugas dan syarat untuk memperoleh gelar sarjana di Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.

Dalam penyusunan Karya Tulis Ilmiah ini, penulis banyak mendapatkan bimbingan dan bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada :

1. dr. H. Ardi Pramono, Sp.An, M.Kes, selaku Dekan Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta yang telah memberikan dukungan pada penyusunan Karya Tulis Ilmiah ini.

2. dr. Alfaina Wahyuni, Sp.OG, M.Kes, selaku Ketua Prodi Pendidikan Dokter Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.

(7)

4. Orang tua penulis yang senantiasa membantu dan memberikan motivasi serta mendoakan penulis hingga Karya Tulis Ilmiah ini dapat diselesaikan.

5. Teman-teman seperjuangan, Yoga Yudhistira dan Dimas Rachmat Budi Prasetyo yang telah memberikan dukungan dan semangat dalam penulisan Karya Tulis Ilmiah ini.

6. Dan semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan Karya Tulis Ilmiah ini.

Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan Karya Tulis Ilmiah ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun agar dikemudian hari penulis dapat mempersembahkan hasil yang lebih baik lagi.

Akhir kata penulis berharap Karya Tulis Ilmiah ini dapat memberikan manfaat bagi pembaca dan menambah ilmu pengetahuan terutama ilmu kedokteran.

Yogyakarta, 27 Juni 2016

Penulis

(8)

vii

DAFTAR ISI

HALAMAN PENGESAHAN ... ii

PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN ... iii

HALAMAN PERSEMBAHAN ... iv

5. Jenis-jenis Skizofrenia ... 17

6. Kriteria Diagnosis ... 19

7. Penatalaksanaan ... 22

8. Prognosis ... 24

B. Kualitas Hidup ... 26

(9)

2. Faktor yang mempengaruhi ... 27

C. Fungsi Kognitif ... 29

1. Pengertian ... 29

2. Faktor yang mempengaruhi ... 29

3. Gangguan fungsi kognitif ... 29

D. Fungsi kognitif dan kualitas hidup ... 32

Kerangka Konsep ... 33

Hipotesis ... 33

METODE PENELITIAN ... 34

A. Desain Penelitian ... 34

B. Populasi dan Sampel Penelitian ... 34

C. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 36

D. Variabel Penelitian ... 37

E. Definisi Operasional... 37

F. Instrumen Penelitian... 38

G. Jalannya Penelitian ... 39

H. Uji Validita dan Reliabilitas ... 41

I. Analisis Data ... 42

HASIL DAN PEMBAHASAN ... 43

A. Deskripsi Wilayah Penelitian ... 43

B. Hasil Penelitian ... 43

1. Gambaran Umum Karakteristik Responden ... 43

2. Fungsi Kognitif Pasien Skizofrenia ... 45

3. Kualitas Hidup Pasien Skizofrenia ... 46

4. Analisis Uji Statistik Korelasi ... 46

C. Pembahasan ... 47

KESIMPULAN DAN SARAN ... 53

A. KESIMPULAN ... 53

B. SARAN ... 53

DAFTAR PUSTAKA ... 55

(10)

SURAT PERSETUJUAN UNTUK MENJADI RESPONDENHUBUNGAN ANTARA FUNGSI SOSIAL DENGAN KUALITAS HIDUP PASIEN

SKIZOFRENIA ... 61

Kuesioner Identitas Pribadi ... 62

KUESIONER KUALITAS HIDUP ... 63

SKALA PENILAIAN KOGNITIF SKIZOFRENIA ... 68

(11)

x

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Karakteristik Responden Pasien Skizofrenia ... 57

Tabel 2. Fungsi Kognitif Responden ... 58

Tabel 3. Kualitas Hidup Responden... 59

(12)

xi

DAFTAR GAMBAR

(13)

xii

INTISARI

Latar belakang : Kualitas hidup didefinisikan sebagai persepsi subyektif maupun obyektif dari individu terhadap kondisi fisik, psikologis, sosial dan lingkungan dalam kehidupan sehari-hari yang dialaminya. Peningkatan kualitas hidup pasien Skizofrenia dikenal sebagai salah satu tanda keberhasilan terapi yang dilakukan. Hal tersebut sering dikaitkan dengan beberapa faktor, salah satunya adalah fungsi kognitif. Gangguan fungsi kognitif yang dialami pasien skizofrenia dapat berakibat pada ketidakmampuannya untuk berkerja maupun menjalani aktivitas sehari-hari, sehingga hal tersebut dapat menyebabkan penurunan kualitas hidupnya.

Metode: Dalam penelitian yang menggunakan metode pendekatan cross sectional ini, 106 pasien Skizofrenia yang terkontrol diukur kualitas hidup dan fungsi kognitifnya menggunakan Kuisioner Kualitas Hidup Lehman dan ScoRSvI. Pengambilan sampel menggunakan teknik consecutive sampling hingga didapat jumlah sampel sebanyak 95 orang. Data kemudian dianalisis menggunakan uji Korelasi Parametrik Pearson.

Hasil : Dari 95 sampel didapatkan hasil skor fungsi kognitif pasien Skizofrenia yang beragam dengan nilai skor paling banyak terdapat pada 3 (28,42%) dan 4 (26,31%), sementara nilai kualitas hidup pasien paling banyak terdapat pada kategori Sedang (80%). Dari hasil uji Korelasi Parametrik Pearson didapatkan nilai p = 0,000 dimana p < 0,05 dan r : -0,476 yang menunjukkan kekuatan korelasi sedang dengan arah korelasi negatif.

Kesimpulan : Pada penelitian ini terdapat hubungan antara fungsi kognitif dengan kualitas hidup pasien Skizofrenia.

(14)

xiii

ABSTRACT

Background : Quality of life (QoL) is defined as a person’s subjective or objective perception towards their physical condition, psychological, social and environmental circumstances in their daily lives. QoL enhancement has been recognized as one factor that contributes to an excellent outcome in patients with schizophrenia and cognitive function was noted as one of the determinants of QoL. Impaired cognitive function may cause the inability to work and to perform their daily activities. Hence it will eventually lead to the decreasing of their quality of life.

Method : In this cross sectional study, 106 stable outpatient with schizophrenia were evaluated for quality of live and cognitive function using Lehman’s Quality of Life Interview (QOLI) and ScoRSvI. Consecutive sampling method was used and 95 people were obtained as the sample. The data was then analyzed using Pearson’s correlation anaysis.

Result : The result of questionnaires performed on 95 patients shows variation in cognitive scoring, mostly on 3 (28,42%) and 4 (26,31%), meanwhile on the quality of life, most people are on the Average (80%). Pearson’s correlation analysis shows p = 0,000 where p > 0,05 and r : -0,476 indicating a negative correlation and that the strength of relationship between two variables is Average. Conclusion : It is confirmed that the cognitive function appear to have significant correlation with QoL of patients with schizophrenia

(15)
(16)

xii

INTISARI

Latar belakang : Kualitas hidup didefinisikan sebagai persepsi subyektif maupun obyektif dari individu terhadap kondisi fisik, psikologis, sosial dan lingkungan dalam kehidupan sehari-hari yang dialaminya. Peningkatan kualitas hidup pasien Skizofrenia dikenal sebagai salah satu tanda keberhasilan terapi yang dilakukan. Hal tersebut sering dikaitkan dengan beberapa faktor, salah satunya adalah fungsi kognitif. Gangguan fungsi kognitif yang dialami pasien skizofrenia dapat berakibat pada ketidakmampuannya untuk berkerja maupun menjalani aktivitas sehari-hari, sehingga hal tersebut dapat menyebabkan penurunan kualitas hidupnya.

Metode: Dalam penelitian yang menggunakan metode pendekatan cross sectional ini, 106 pasien Skizofrenia yang terkontrol diukur kualitas hidup dan fungsi kognitifnya menggunakan Kuisioner Kualitas Hidup Lehman dan ScoRSvI. Pengambilan sampel menggunakan teknik consecutive sampling hingga didapat jumlah sampel sebanyak 95 orang. Data kemudian dianalisis menggunakan uji Korelasi Parametrik Pearson.

Hasil : Dari 95 sampel didapatkan hasil skor fungsi kognitif pasien Skizofrenia yang beragam dengan nilai skor paling banyak terdapat pada 3 (28,42%) dan 4 (26,31%), sementara nilai kualitas hidup pasien paling banyak terdapat pada kategori Sedang (80%). Dari hasil uji Korelasi Parametrik Pearson didapatkan nilai p = 0,000 dimana p < 0,05 dan r : -0,476 yang menunjukkan kekuatan korelasi sedang dengan arah korelasi negatif.

Kesimpulan : Pada penelitian ini terdapat hubungan antara fungsi kognitif dengan kualitas hidup pasien Skizofrenia.

(17)

xiii

ABSTRACT

Background : Quality of life (QoL) is defined as a person’s subjective or objective perception towards their physical condition, psychological, social and environmental circumstances in their daily lives. QoL enhancement has been recognized as one factor that contributes to an excellent outcome in patients with schizophrenia and cognitive function was noted as one of the determinants of QoL. Impaired cognitive function may cause the inability to work and to perform their daily activities. Hence it will eventually lead to the decreasing of their quality of life.

Method : In this cross sectional study, 106 stable outpatient with schizophrenia were evaluated for quality of live and cognitive function using Lehman’s Quality of Life Interview (QOLI) and ScoRSvI. Consecutive sampling method was used and 95 people were obtained as the sample. The data was then analyzed using Pearson’s correlation anaysis.

Result : The result of questionnaires performed on 95 patients shows variation in cognitive scoring, mostly on 3 (28,42%) and 4 (26,31%), meanwhile on the quality of life, most people are on the Average (80%). Pearson’s correlation analysis shows p = 0,000 where p > 0,05 and r : -0,476 indicating a negative correlation and that the strength of relationship between two variables is Average. Conclusion : It is confirmed that the cognitive function appear to have significant correlation with QoL of patients with schizophrenia

(18)

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Skizofrenia (Schizophrenia) adalah gangguan dengan serangkaian simtom yang meliputi gangguan konteks berpikir, bentuk pemikiran, persepsi, afek, rasa terhadap diri (sense of self), motivasi, perilaku dan fungsi interpersonal (Halgin & Whitbourne, 2011). WHO melaporkan sekitar 26,3 juta penduduk di seluruh dunia menderita skizofrenia dengan 6,2 juta diantaranya merupakan penduduk di South East Asia. Jumlah tersebut menduduki peringkat kedua terbanyak setelah Western Pacific. Hal ini dapat dikaitkan dengan kondisi tingginya kepadatan penduduk pada daerah-daerah urban yang cenderung memiliki stressor sosial lebih tinggi sehingga meningkatkan prevalensi skizofrenia pada wilayah tersebut (WHO, 2004; Sadock et al., 2015). Laporan Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2013 menyebutkan bahwa prevalensi penduduk dengan gangguan jiwa berat (psikosis/skizofrenia) di Indonesia mencapai 1,7% permil dengan wilayah Provinsi DI Yogyakarta sebagai yang tertinggi, yaitu sebanyak 2,7% permil dalam satu wilayah provinsi tersebut (Riskesdas, 2013).

(19)

menunjukkan bahwa pasien Skizofrenia sebagian besar berada dalam rentang usia produktif dan dengan onset yang lebih dini pada pria. Skizofrenia juga dikenal sebagai penyakit kronis dengan manifestasi klinis beragam yang membutuhkan waktu dan biaya pengobatan dalam jumlah besar, sehingga hal ini membuat banyak pasien Skizofrenia tidak mendapatkan perawatan yang optimal. Defisit fungsi seperti fungsi kognitif maupun sosial yang muncul bersamaan dengan Skizofrenia akan menghambat dan menurunkan tingkat produktivitas pasien. Penurunan ini cenderung lebih signifikan pada pasien pria, oleh karena pada umumnya luaran pasien pria tidak sebaik luaran pada pasien wanita (Sadock et al., 2015). Sampai saat ini, belum pernah ada daerah atau wilayah manapun di seluruh dunia yang ditemukan terbebas dari kasus skizofrenia, sehingga hal ini menggambarkan bahwa skizofrenia telah menjadi masalah kesehatan masyarakat yang cukup serius di semua negara (WHO, 1998).

(20)

kenyataan bahwa beberapa obat antipsikotik yang berefek minimal terhadap perbaikan fungsi kognitif tidak memberikan pengaruh signifikan terhadap pemulihan kemampuan fungsional pasien Skizofrenia (Green & Harvey, 2014). Gangguan pada fungsi kognitif memiliki dampak langsung pada penurunan kinerja dan fungsi sosial seseorang secara signifikan. Gangguan fungsi kognitif yang dialami pasien skizofrenia dapat berakibat pada ketidakmampuannya untuk berkerja maupun menjalani aktivitas sehari-hari, sehingga hal tersebut dapat menyebabkan penurunan kualitas hidupnya. Hal inilah yang mungkin menjadi alasan bagi buruknya luaran maupun kualitas hidup pasien Skizofrenia selama ini, melihat bahwa terapi untuk gangguan fungsi kognitif yang dapat meningkatkan kemampuan fungsional belum diupayakan secara optimal dan sering diabaikan di berbagai Institusi Pelayanan Kesehatan di Indonesia.

(21)

Pemelihara kami, janganlah engkau pikulkan kepada kami apa yang tidak sanggup kami (memikul)-nya. Maafkanlah kami; ampunilah kami; dan rahmatilah kami. Engkau-lah Penolong kami, maka menangkanlah kami atas kaum kafir. (Al Baqarah : 286)”

Potongan pertama dari ayat tersebut dengan jelas menyatakan bahwa Allah SWT tidak akan memberikan sebuah cobaan melainkan diluar kemampuan hambaNya. Hal tersebut menandakan bahwa setiap tantangan yang sedang dihadapi saat ini, seperti yang telah diuraikan diatas, tidak akan diberikan melainkan Allah SWT telah menyiapkan berbagai pemecahan masalahnya yang saat ini masih harus terus dicari dan diteliti lebih lanjut. Penelitian ini diharapkan agar dapat menjadi salah satu dasar dalam menemukan solusi untuk upaya peningkatan kualitas hidup bagi pasien Skizofrenia di Indonesia, khususnya di wilayah provinsi DI Yogyakarta.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut, maka perumusan masalah dalam penelitian ini adalah :

1. Apakah ada hubungan antara fungsi kognitif dengan kualitas hidup pasien Skizofrenia?

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum : untuk menganalisis hubungan antara fungsi kognitif dengan kualitas hidup pasien Skizofrenia.

2. Tujuan Khusus :

(22)

c. Menganalisis hubungan antara fungsi kognitif dengan kualitas hidup pasien Skizofrenia

D. Manfaat Penelitian 1. Teoritis

a. Untuk mengetahui ada/tidaknya hubungan antara fungsi kognitif dengan kualitas hidup pasien Skizofrenia.

b. Untuk menjadi bahan pertimbangan terhadap pemilihan terapi fungsi kognitif dalam upaya peningkatan kualitas hidup pasien Skizofrenia. c. Untuk menjadi dasar bagi penelitian selanjutnya mengenai hubungan

fungsi kognitif terhadap kualitas hidup pasien Skizofrenia 2. Praktis

a. Bagi Keluarga Pasien

Untuk menjadi materi edukasi dalam upaya meningkatkan partisipasi keluarga pada pelaksanaan terapi perbaikan fungsi kognitif di lingkungan tempat tinggal, hingga akhirnya dapat meningkatkan kualitas hidup pasien secara keseluruhan.

b. Bagi Tenaga Kesehatan dan Instansi terkait

(23)

berpartisipasi dan menentukan fokus terapi pada pasien Skizofrenia dalam rangka menurunkan beban produktivitas bagi negara.

c. Bagi Peneliti

Untuk memperkaya pengetahuan peneliti tentang hubungan antara fungsi kognitif dan kualitas hidup pasien Skizofrenia, sehingga dapat dijadikan dasar dalam mengaplikasikan hasil penelitian dimasa yang akan datang.

E. Keaslian Penelitian

Beberapa penelitian yang berkaitan dengan hubungan antara fungsi kognitif dan kualitas hidup pasien Skizofrenia telah dilakukan sebelumnya, antara lain:

(24)

fungsi neurokognitif pada skizofrenia tidak berhubungan dengan penurunan kualitas hidup pasien kecuali pada kasus-kasus yang paling ekstrem, dimana terdapat defisit pada kemampuan pemrosesan informasi yang nyata sedangkan sebagian besar pasien tidak menunjukkan adanya penurunan kemampuan fungsi tersebut. Perbedaan mendasar antara penelitian ini dengan penelitian yang penulis lakukan adalah instrumen atau alat yang digunakan untuk mengukur skor fungsi kognitif dan kualitas hidup, juga melihat bahwa penelitian yang telah peneliti lakukan tidak mengikutsertakan severity of symptoms sebagai variabel tambahan.

(25)

8

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Skizofrenia

1. Pengertian

(26)

gejala primer pada skizofrenia yang dikenal dengan istilah 4A; gangguan pada proses berpikir (associations), gangguan afek (affect), gangguan kemauan (ambivalence) dan autisme (autism) (Saddock et al., 2015; Maramis, 2009).

2. Epidemiologi

Prevalensi skizofrenia secara umum berkisar antara empat sampai tujuh per 1000 orang, meskipun angka tersebut dapat dipengaruhi oleh beberapa variasi di berbagai wilayah seperti kematian dan adanya perpindahan penduduk. (WHO, 1998; Saha et al., 2005). Prevalensi skizofrenia antara pria dan wanita sama, namun puncak onset skizofrenia dimulai lebih dini pada pria (10-25 tahun) yang disertai dengan kecenderungan untuk menderita gejala yang lebih berat dan prognosis yang lebih buruk dibandingkan pada wanita. Sekitar 90% pasien yang menjalani terapi untuk skizofrenia berumur antara 15 sampai 55 tahun, sehingga dapat digambarkan bahwa hampir seluruh pasien skizofrenia berada dalam rentang usia kerja (WHO, 1998; Semple & Smyth, 2013; Sadock et al., 2015). Hal ini tentu dapat berakibat pada penurunan tingkat produktivitas pasien, terutama pada pasien pria yang memiliki puncak onset lebih dini, dan berdampak pada meningkatnya beban keluarga pasien skizofrenia.

(27)

ekonomi diketahui juga mempunyai pengaruh terhadap prevalensi maupun insidensi skizofrenia di sebuah negara. Hal tersebut didukung oleh adanya data yang menunjukkan bahwa negara maju memiliki angka prevalensi dan insidensi skizofrenia yang lebih tinggi dibandingkan dengan negara berkembang (McGrath et al., 2008). Stress sosial yang tinggi di daerah urbanlah yang kemudian diperkirakan menjadi faktor pemicu timbulnya skizofrenia, terutama pada orang-orang yang beresiko tinggi.

Penggunaan obat-obat antipsikotik dan peningkatan kualitas pelayanan kesehatan jiwa baik di rumah sakit maupun di komunitas dapat berdampak pada peningkatan angka perkawinan antar sesama pasien skizofrenia yang juga sekaligus meningkatkan angka kelahiran anak dari orangtua yang menderita skizofrenia. Hal ini kemudian mulai menjadi fokus utama upaya preventif oleh berbagai pihak, disebabkan karena keturunan pertama dari keluarga yang menderita skizofrenia memiliki resiko sepuluh kali lebih besar dibandingkan populasi pada umumnya (Saddock et al., 2015).

3. Etiologi

Skizofrenia dalam perkembangannya memiliki beberapa teori yang berkaitan dengan etiologi atau penyebab timbulnya pada seseorang, dua teori diantaranya yaitu:

a. Neurokimia

(28)

skizofrenia. Salah satu hipotesis yang yang dipaparkan adalah hipotesis gangguan neurokimia (neurochemical abnormality hypotheses), dimana hipotesis ini terdiri dari beberapa teori, yaitu:

(29)

dengan derajat keparahan gejala psikotik dan respon terapi terhadap obat antipsikotik.

2) Penurunan aktivitas glutaminergik (glutaminergic hypoactivity) Antagonis reseptor NMDA (merupakan reseptor glutamat di sel-sel saraf) seperti ketamin dan fensiklidin diketahui dapat menginduksi gejala positif maupun gejala negatif skizofrenia pada orang sehat dan mengeksaserbasi gejala pada pasien skizofrenia.

3) Peningkatan aktivitas serotonik (serotonic [5-HT] overactivity) Efektivitas clozapine dalam terapi skizofrenia diperkirakan akibat dari kombinasi antagonis dopaminergik dan antagonis serotonergik yang terkandung didalamnya.

4) Peningkatan aktivitas α –adrenergik (α –adrenergic overactivity) Peningkatan kadar noradrenalin (NE) yang ditemukan dalam cairan serebrospinal (CSF) pada pasien dengan gejala psikotik akut mendukung adanya teori ini. Beberapa obat antipsikotik juga memiliki kandungan antagonis adrenergik murni dalam upayanya mengurangi gejala psikotik pasien skizofrenia.

5) Penurunan aktivitas GABA ( –aminobutyric acid [GABA] hypoactivity)

(30)

efek terapi antipsikotik pada pasien skizofrenia dengan adanya penambahan benzodiazepineyang merupakan obat yang meningkatkan potensi dari neurotrasmitter GABAergik (Semple & Smyth, 2013).

b. Genetik

Teori etiologi skizofrenia yang lain adalah mengenai peran faktor genetik. Genetik dipastikan menjadi salah satu faktor penyebab munculnya skizofrenia maupun pada schizophrenia-related disorder seperti skizotipal, skizoid dan gangguan kepribadian paranoid. Hal ini ditunjukkan oleh adanya peningkatan angka prevalensi seiring dengan semakin dekatnya hubungan biologis seseorang dengan penderita skizofrenia. Teori ini juga didukung oleh sebuah penelitian yang menyatakan bahwa anak-anak dari pasien skizofrenia yang diadopsi keluarga lain tetap memiliki resiko sebanyak paling sedikit 10% untuk kemudian menderita skizofrenia, gangguan skizoafektif maupun gangguan spektrum skizofrenia lainnya, bahkan ketika mereka telah diadopsi dan dipindahkan ke tempat yang sangat jauh setelah kelahirannya (Sadock et al., 2015; Kirov & Owen, 2009).

(31)

penelitian menyatakan bahwa seseorang yang lahir dari ayah yang berusia lebih dari 60 tahun lebih rentan terhadap skizofrenia dibandingkan populasi pada umumnya. Hal ini diperkirakan memiliki hubungan dengan proses spermatogenesis pada pria usia lanjut yang lebih rentan terhadap epigenetic damage dibandingkan pada pria yang usianya lebih muda (Sadock et al., 2015).

4. Empat Jalur Dopamin

Gejala psikotik dan gangguan fungsional yang muncul pada Skizofrenia, sesuai dengan etiologi yang telah dipaparkan sebelumnya, dapat diinisiasi oleh berbagai faktor, salah satunya adalah keadaan hiperdopaminergik pada otak. Berikut adalah penjelasan mengenai peran dopamin dalam menimbulkan berbagai gangguan yang muncul pada Skizofrenia, juga efek samping pemeberian antipsikotik yang bertugas memblokade reseptor-reseptor dopamin di otak.

(32)

Dopamin merupakan neuromodulator yang bekerja di otak, terdiri dari D1, D2, D3, D4 dan D5, dimana blokade terhadap reseptor D2 pada otak merupakan karakteristik umum secara farmakodinamik untuk menekan gejala psikotik yang muncul pada pasien skizofrenia. Tanpa adanya kemampuan untuk memblokade reseptor D2, obat tidak akan memiliki kemampuan menekan gejala psikotik. Dopamin memiliki empat jalur pada otak yang dilaluinya untuk menjalankan beberapa fungsi penting tubuh. Keempat jalur tersebut adalah jalur mesolimbik, jalur mesokortikal, jalur nigostriatal dan jalur tuberoinfundibular.

(33)

untuk melakukan suatu pekerjaan bahkan kegiatan sehari-hari), juga kehilangan rasa senang dan bahagia sat melakukan interaksi sosial di lingkungannya. Hal-hal tersebut dikatakan mirip dengan adanya gejala negatif pada skizofrenia.

Jalur mesokortikal dikenal memiliki hubungan dengan pengaturan fungsi kognitif, fungsi eksekutif, juga emosi dan afek seseorang. Pada Skizofrenia, meskipun terdapat peningkatan kadar dopamin di jalur mesolimbik, namun diketahui bahwa pada jalur mesokortikal justru terjdi hal yang sebaliknya, yaitu penurunan kadar dopamin yang menyebabkan penurunan fungsi kognitif dan munculnya gejala negatif. Jika terdapat blokade reseptor D2 oleh obat antipsikotik terutama golongan tipikal (generasi pertama) yang memblokade seluruh reseptor D2 di semua jalur, maka kadar dopamin pada jalur ini akan semakin menurun dan berdampak pada penurunan fungsi kognitif yang lebih berat juga bertambah parahnya gejala negatif yang muncul.

(34)

secara terus menerus akibat penggunan antipsikotik tipikal dalam jangka panjang, maka hal tersebut dapat menyebabkan gangguan gerakan hiperkinetik yang biasa disebut sebagai tardive dyskinesia. Gangguan ini ditandai dengan munculnya gerakan-gerakan involunter wajah dan lidah seperti mengunyah, mengernyitkan wajah, hingga gerakan abnormal ekstremitas bawah yang cepat dan tampak seperti sedang menari. Jika blokade reseptor D2 setelah munculnya tardive dyskinesia segera dihentikan, maka besar kemungkinan keadaan ini dapat reversibel. Namun apabila antipsikotik tipikal terus digunakan, hal ini dapat berakibat pada keadaan yang ireversibel, bahkan ketika obat antipsikotik kemudian dihentikan.

Blokade reseptor D2 pada jalur tuberoinfundibular akibat penggunaan antipsikotik tipikal dapat menyebabkan kenaikan konsentrasi prolactin plasma hingga terjadi hiperprolaktinemia. Keadaan ini berkaitan dengan munculnya galaktorea dan amenorea. Selain itu, hiperprolaktinemia juga mempengaruhi fertilitas wanita (Stahl, 2013).

5. Jenis-jenis Skizofrenia

Maramis (2009) menyebutkan lima jenis skizofrenia yang dibagi oleh Kraepelin berdasarkan gejala utama yang terdapat pada pasien skizofrenia. Jenis-jenis skizofrenia tersebut, yaitu:

a. Skizofrenia Paranoid

(35)

menunjukkan gejala skizofrenia simplex maupun gejala-gejala hebefrenik dan katatonik bercampuran seiring dengan berjalannya waktu. Hal ini tidak berlaku pada skizofrenia paranoid cenderung lebih konstan. Gejala-gejala yang mencolok adalah waham primer yang disertai dengan waham-waham sekunder dan halusinasi. Adanya gangguan proses berpikir, gangguan afek, emosi dan kemauan biasanya baru ditemukan setelah melalui pemeriksaan secara teliti.

b. Skizofrenia Hebefrenik

Gejala yang mencolok dari jenis ini adalah adanya gangguan proses berpikir, gangguan kemauan dan adanya depersonalisasi (double personality). Gangguan psikomotor seperti mannerism, neologisme dan perilaku kekanak-kanakan sering pula dijumpai pada jenis ini, begitu juga dengan waham dan halusinasi.

c. Skizofrenia Katatonik

(36)

keadaan stupor tersebut dan mulai berbicara maupun bergerak seperti biasa.

d. Skizofrenia Simplex

Gejala utama pada jenis ini adalah kedangkalan emosi dan kemunduran kemauan, dimana perjalanan penyakitnya berlangsung secara perlahan-lahan. Gangguan pada proses berpikir, waham dan halusinasi jarang sekali ditemukan.

e. Skizofrenia Residual

Jenis ini merupakan keadaan kronis dari skizofrenia dengan riwayat sedikitnya satu episode psikotik yang jelas dan dengan gejala-gejala yang berkembang ke arah gejala negatif. Gejala negatif terdiri dari kelambatan psikomotor, penurunan aktivitas, penumpulan afek, cenderung pasif dan tanpa inisiatif, ekspresi nonverbal yang menurun, serta buruknya perawatan diri dan fungsi sosial.

6. Kriteria Diagnosis

(37)

a. Memenuhi kriteria umum diagnosis skizofrenia

1) Harus ada sedikitnya 1 gejala berikut ini yang amat jelas; a) Thought echo, thought insertion or withdrawal,

thought broadcasting.

b) Delusion of control, delusion of influence, delusion of passivity, delusional perception.

c) Halusinasi auditorik.

d) Waham-waham yang menetap.

2) Sedikitnya ada 2 gejala yang harus selalu ada dengan jelas a) Halusinasi yang menetap.

b) Arus pikiran yang terputus (break) atau yang mengalami sisipan (interpolation) yang berakibat inkoherensi atau pembicaraan yang tidak relevan, maupun neologisme.

(38)

harus jelas bahwa semua hal tersebut tidak disebabkan oleh depresi atau medikasi neuroleptika 3) Gejala-gejala khas tersebut telah berlangsung selama kurun

waktu satu bulan atau lebih (tidak berlaku untuk setiap fase nonpsikotik prodromal).

4) Harus ada suatu perubahan yang konsisten dan bermakna dalam kualitas keseluruhan dari beberapa aspek perilaku pribadi dengan manifestasi sebagai hilangnya minat, hidup tak bertujuan, tidak lagi berbuat sesuatu, self absorbed attitude dan penarikan diri dari lingkungan sosial.

b. Halusinasi dan/atau waham harus menonjol;

1) Suara-suara halusinasi yang mengancam pasien atau memberi perintah, maupun halusinasi auditorik tanpa bentuk verbal berupa bunyi peluit (whistling), mendengung (humming), atau bunyi tawa (laughing).

2) Halusinasi pembauan atau pengecapan rasa, dapat juga bersifat seksual ataupun perasaan tubuh yang lain. Halusinasi visual mungkin ada tetapi jarang menonjol. 3) Waham dapat berupa hampir semua jenis, tetapi waham

(39)

c. Gangguan afektif, dorongan kehendak dan pembicaraan, serta gejala katatonik secara relatif tidak nyata/tidak menonjol (Maslim, 2013).

7. Penatalaksanaan

Walaupun medikasi antipsikotik merupakan inti dari pengobatan skizofrenia, penelitian menyebutkan bahwa intervensi psikososial yang diintegrasikan ke dalam regimen terapi obat dapat memperkuat perbaikan klinis dan luaran dari pasien skizofrenia itu sendiri (Saddock, 2009). f. Penatalaksanaan dengan antipsikotik

(40)

Secara umum, antipsikotik tipikal bekerja menurunkan gejala psikotik dengan mekanisme blokade reseptor D2 nya, sementara antipsikotik atipikal memilki cara kerja yang lebih rumit dan melibatkan reseptor D1, partial D2, D3 dan D4 dalam mekanismenya yang bertujuan untuk mengurangi efek samping yang tidak diinginkan. Hal tersebutlah yang membedakan antara antipsikotik atipikal dengan antipsikotik tipikal, dimana antipsikotik atipikal memiliki keunggulan dalam hal keefektifan kerjanya, pengaruhnya terhadap fungsi otak yang lain dan berkurangnya resiko terjadinya efek samping yang tidak diinginkan. Hal ini didukung oleh beberapa penelitian sebelumnya yang menyebutkan bahwa antipsikotik atipikal lebih efektif digunakan, dapat mempertahankan fungsi-fungsi yang lain untuk terus bekerja secara maksimal, juga dapat meningkatkan kualitas hidup pasien skizofrenia (Horacek et al., 2006).

g. Intervensi psikososial

(41)

beberapa manfaat dan perbaikan kualitas hidup dapat dicapai. Hasil yang dapat dicapai setelah intervensi ini meliputi adanya penurunan baik frekuensi maupun intensitas munculnya gejala positif, lebih cost-effective, terdapat adanya perbaikan pada gejala-gejala lain yang muncul seperti depresi dan gejala negatif dan penurunan angka kejadian relaps. Selain itu, CBT juga efektif dalam menurunkan gejala psikotik bagi mereka yang resisten terhadap regimen antipsikotik (Murray, 2008). Selain CBT, Remediasi Kognitif juga bisa menjadi sarana dalam meningkatkan fungsi kognitif pasien skizofrenia. Penelitian Garrido et al. (2013) menunjukkan adanya peningkatan pada domain kecepatan pemrosesan informasi, kemampuan berpikir logis dan kemampuan menyelesaikan masalah setelah pasien skizofrenia menjalani Remediasi Kognitif. Hal tersebut didukung oleh adanya peningkatan tingkat kepercayaan diri dan skor kualitas hidup pasien skizofrenia yang menjalaninya

8. Prognosis

(42)

remission). Sepertiga yang lain dapat kembali ke masyarakat meski masih didapati sedikit kelainan dan harus rutin menjalani pemeriksaan dan pengobatan (social recovery). Sepertiga sisanya cenderung memiliki prognosis yang buruk, dimana mereka tidak mampu berfungsi di dalam lingkungan masyarakat dan biasanya menjadi pasien rawat inap yang tetap di rumah sakit jiwa. Dengan intervensi dini yang komprehensif, meliputi pemberian obat antipsikotik secara optimal, terapi kognitif perilaku, adanya partisipasi penuh keluarga, kualitas perawatan di masyarakat dan manajemen kasus yang baik, diharapkan angka kesembuhan skizofrenia dapat ditingkatkan (Maramis, 2009).

(43)

B. Kualitas Hidup

1. Pengertian

WHO mendefinisikan kualitas hidup sebagai persepsi individu tentang posisi mereka dalam hidup, ditinjau dari konteks budaya maupun sistem nilai yang mereka anut dan berhubungan dengan standar hidup yang mereka buat, harapan, kesenangan dan hal-hal yang menjadi perhatian utama mereka (WHO, 1997). Beberapa penelitian menyatakan bahwa kualitas hidup adalah sebuah konsep yang hanya bisa disampaikan secara subyektif oleh seseorang, sementara beberapa penelitian lainnya menyertakan indikator yang lebih obyektif seperti status tempat tinggal (housing), status kesehatan dan frekuensi interaksi sosial yang dilakukan. Gladis et al. (1999) mengemukakan dua model yang secara implisit maupun eksplisit menggambarkan tentang arti kualitas hidup. Model pertama terfokus pada tingkat kepuasan individu/seseorang terhadap kondisi kehidupan yang sedang dijalaninya, dimana model ini menggambarkan kualitas hidup secara subyektif. Model yang kedua menggambarkan kualitas hidup secara lebih objektif, dimana model ini terfokus pada status kesehatan dan status sosial maupun material (jumlah teman dekat dan kondisi keuangannya).

(44)

wellbeing); (2) status sosial maupun material seseorang yang dapat diobservasi sebagai indikator kualitas hidup yang objektif; (3) tingkat kepuasan seseorang terhadap status sosial maupun material sebagai indikator kepuasan hidup secara subyektif; (4) dan status kesehatan maupun tingkat kemampuan fungsional seseorang sebagai indikator kualitas hidup yang dipengaruhi oleh aspek kesehatan (health-related quality of life) (Eack & Newhill, 2007).

2. Faktor yang mempengaruhi

Kualitas hidup sering dijadikan sebagai salah satu indikator keberhasilan pada terapi skizofrenia. Hal tersebut dikarenakan oleh banyaknya informasi yang didapat dari penilaian tentang kualitas hidup pasien sehingga dapat menjadi panduan bagi perencanaan maupun evaluasi berbagai jenis terapi yang diberikan (Aloba et al., 2013). Hal-hal yang mempengaruhi kualitas hidup pun kini semakin banyak diteliti, mengingat bahwa dengan melakukan kontrol terhadap faktor-faktor tersebut, diharapkan adanya peningkatan kualitas hidup pada pasien skizofrenia. Faktor-faktor yang mempengaruhi kualitas hidup, beberapa diantaranya yaitu:

a. Gejala klinis

(45)

b. Komorbiditas

Adanya penyakit penyerta, baik yang berhubungan dengan fisik maupun psikis, dapat memperburuk kualitas hidup pasien gangguan jiwa, terutama skizofrenia (Aloba et al., 2013).

c. Faktor sosiodemografi

Faktor ini meliputi jenis kelamin, umur, occupational status dan dukungan sosial yang diterima oleh pasien, meskipun dalam perkembangannya beberapa penelitian menyatakan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara dukungan sosial terhadap kualitas hidup seseorang (Aloba et al., 2013).

d. Fungsi sosial

Fungsi sosial memiliki peran yang cukup besar dalam menentukan kualitas hidup seseorang. Hal ini ditunjukkan dengan pasien skizofrenia yang tidak mampu untuk menyesuaikan diri dengan kehidupan sehari-hari maupun menjalankan fungsi sosial yang lain akibat adanya gangguan pada fungsi tersebut, hingga kemudian berdampak pada penurunan kualitas hidupnya (Rosita, 2011).

e. Fungsi kognitif

(46)

C. Fungsi Kognitif

1. Pengertian

Kognitif merupakan kemampuan otak yang berhubungan dengan pengetahuan, termasuk memori, bahasa, orientasi, kemampuan membuat keputusan, kemampuan menjalin hubungan interpersonal dan kemampuan penyelesaian masalah (problem solving). Defisit fungsi kognitif yang muncul pada pasien skizofrenia menunjukkan adanya gangguan pada salah satu atau beberapa domain yang telah disebutkan sebelumnya (Sadock et al., 2015).

2. Faktor yang mempengaruhi

Fungsi kognitif seseorang dipengaruhi oleh banyak faktor, beberapa diantaranya yaitu latar belakang pendidikan, tingkat intelegensi, adanya penyakit atau kelainan mental yang mengganggu fungsi normalnya, bahkan jenis antipsikotik yang digunakan selama perawatan. Hal-hal tersebut dapat mempengaruhi hasil tes fungsi kognitif yang dilakukan oleh pasien skizofrenia, dimana pada tes mengenai kemampuan abstrak pasien lah yang paling dipengaruhi oleh faktor-faktor tersebut (Sadock et al., 2015).

3. Gangguan fungsi kognitif

(47)

mengalami defisit fungsi kognitif, dimana hal ini dapat secara langsung berdampak terhadap penurunan kualitas hidup penderitanya (Goldberg & Green, 2002). Gangguan tersebut pada pasien skizofrenia selalu melibatkan banyak aspek penting dari fungsi kognitif seseorang seperti atensi, daya ingat, kemampuan berpikir logis dan kecepatan pemrosesan informasi yang diterima (Keefe & Harvey, 2012).

(48)

periode skizofrenia kini menjadi target terapi baik farmakologis maupun intervensi psikososial (Sadock et al., 2015).

Defisit fungsi kognitif yang muncul pada skizofrenia dapat berdampak langsung pada kemampuan pasien untuk hidup secara mandiri dan dalam menjalankan aktivitas sehari-harinya. Neurokognitif diketahui memiliki peran yang lebih besar dibandingkan peran gejala klinis skizofrenia dalam mempengaruhi kemampuan pasien untuk kembali produktif dan bekerja. Angka komorbiditas pasien skizofrenia juga berhubungan dengan adanya gangguan pada fungsi kognitif, dimana defisit fungsi eksekutif membuat pasien skizofrenia tidak mencari pertolongan tenaga medis untuk mengutarakan masalah kesehatan yang dialaminya. Gangguan tersebut juga diketahui memiliki kaitan yang erat dengan adanya penurunan kualitas hidup. Hal-hal inilah yang pada akhirnya akan meningkatkan kebutuhan biaya hidup pasien skizofrenia, termasuk didalamnya akibat dari hilangnya kemampuan untuk merawat diri sendiri, biaya rawat jalan maupun rawat inap, hingga diperburuk oleh adanya penurunan tingkat produktivitas pasien maupun keluarga yang merawatnya

(49)

merupakan antipsikotik generasi pertama menunjukkan peningkatan neurokognitive yang lebih baik dibandingkan dengan dua antipsikotik atipikal lainnya. Secara keseluruhan, data dan hasil penelitan tersebut tetap menunjukkan bahwa sampai saat ini, penggunaan antipsikotik dalam perbaikan neurokognitif belum memberikan hasil yang cukup signifikan sehingga terapi nonfarmakologi masih menjadi pilihan (Keefe & Harvey, 2012).

D. Fungsi kognitif dan kualitas hidup

Heslegrave et al. (1997) menyimpulkan bahwa gangguan neurokognitif memiliki korelasi yang sangat lemah atau tidak signifikan terhadap kualitas hidup pasien skizofrenia. Hal ini berlawanan dengan derajat keparahan gejala psikotik (severity of symptoms)seperti gejala positif, negatif dan general psychopathology yang dinyatakan memilki hubungan erat dan signifikan terhadap kualitas hidup pasien skizofrenia.

(50)

kemampuan fungsional maupun community integration. Hal itu menunjukkan bahwa penelitian ini memiliki argumen yang berbeda dengan penelitian Heslegrave sebelumnya.

KERANGKA KONSEP

HIPOTESIS

Ada hubungan antara fungsi kognitif dengan kualitas hidup pasien Skizofrenia. Kualitas Hidup

Antipsikotik Antipsikotik

Intervensi psikososial Skizofrenia

Gejala Klinis

Fungsi Sosial

Gangguan Fungsi Kognitif

(51)

34

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Desain Penelitian

Penelitian yang akan dilakukan menggunakan desain observasional analitik dengan rancangan cross-sectional, untuk mengetahui hubungan antara fungsi kognitif dengan kualitas hidup pasien skizofrenia. Penelitian cross-sectional mencakup semua jenis penelitian yang pengukuran variable-variabelnya dilakukan hanya satu kali dan dalam satu waktu. B. Populasi dan Sampel Penelitian

1. Populasi Penelitian

Populasi adalah semua bagian atau anggota dari objek yang akan diamati (Eriyanto, 2007). Populasi dalam penelitian adalah 106 pasien skizofrenia di wilayah kerja Puskesmas Gondomanan, Puskesmas Bambang Lipuro, Puskesmas Wates, Puskesmas Godean I, Puskesmas Gedang Sari, Puskesmas Kraton, Puskesmas Srandakan, Puskesmas Temon I, Puskesmas Tempel I dan Puskesmas Pleyen II Yogyakarta. 2. Sampel Penelitian

(52)

memenuhi kriteria pemilihan dimasukkan dalam penelitian sampai jumlah subyek yang diperlukan terpenuhi. (Sastroasmoro & Ismael, 2008).

Kriteria inklusi dan eksklusi dalam penelitian yang akan dilakukan ini adalah:

a. Kriteria inklusi

Subyek dapat diikutsertakan dalam penelitian yang akan dilakukan apabila memenuhi kriteria sebagai berikut:

1) Orang yang terdiagnosa skizofrenia berdasarkan kriteria diagnostik.

2) Pasien skizofrenia dalam fase maintenance.

3) Pasien skizofrenia yang telah terkontrol dengan antipsikotik. 4) Pasien skizofrenia yang memiliki care-giver yang tinggal

dalam satu rumah dengan pasien. b. Kriteria eksklusi

Subyek yang tidak dapat diikutsertakan dalam penelitian yang akan dilakukan adalah pada:

1) Pasien skizofrenia dengan penyakit fisik berat. 2) Pasien skizofrenia dengan cacat fisik bawaan.

3) Pasien skizofrenia yang tidak lengkap menjawab pertanyaan dalam kuesioner.

(53)

Perkiraan besar sampel minimal yang diperlukan dalam penelitian yang akan dilakukan menggunakan rumus besar sampel untuk koefisien korelasi.

� = { , ln[ + r / − � ]}Ζ + Ζ 2+

� = { , + ,

, ��[ + , / − , ]} 2

+

Keterangan :

- n = Besar sampel

- Ζα : nilai pada distribusi normal standar yang sama dengan

tingkat kemaknaan α (untuk α=0,05 adalah 1,960).

- Ζ : nilai pada distribusi normal standar yang sama dengan kuasa (power) sebesar diinginkan (untuk = 0,10 adalah 1,282). - R (korelasi dari penelitian sebelumnya) = 0,5

Berdasarkan perhitungan yang mengacu pada rumus di atas didapatkan jumlah sampel sebesar 38 responden (minimal), sementara dalam upaya mengatasi kuesioner yang tidak lengkap atau adanya drop out maka pengambilan jumlah sampel ditambah menjadi 106 responden.

C. Lokasi dan Waktu Penelitian

(54)

Puskesmas Temon I, Puskesmas Tempel I dan Puskesmas Pleyen II Yogyakarta.. Waktu pengambilan data penelitian dilakukan pada bulan Mei 2016.

D. Variabel Penelitian 1. Variabel Tergantung

Variabel tergantung dalam penelitian yang dilakukan adalah kualitas hidup pasien skizofrenia.

2. Variabel Bebas

Variabel bebas dalam penelitian yang dilakukan adalah fungsi kognitif pasien skizofrenia.

E. Definisi Operasional 1. Fungsi Kognitif

Fungsi kognitif adalah kemampuan otak seseorang dalam menerima, mengolah maupun menggunakan kembali informasi yang diterima dari luar. Variabel fungsi kognitif pada pasien skizofrenia dapat diukur menggunakan Schizophrenia Cognition Rating Scale yang telah dimodifikasi menjadi versi Bahasa Indonesia (ScoRSvI), dinyatakan dalam skala ordinal (ringan, sedang dan parah) dan dengan hasil akhir berupa skala numerik.

2. Kualitas Hidup

(55)

dengan dinyatakan dalam skala nominal (puas atau tidak puas dan setuju atau tidak setuju) yang kemudian dapat diubah menjadi skala numerik. Variabel ini diukur dengan Kuesioner Kualitas Hidup Lehman modifikasi versi bahasa Indonesia.

F. Instrumen Penelitian 1. Kuesioner Data Pribadi

Kuesioner data pribadi berisi : nama, umur, jenis kelamin, alamat, pekerjaan, status perkawinan, riwayat keluarga, faktor pencetus, onset usia penyakit, jenis antipsikotik dan keteraturan minum obat.

2. Wawancara Kualitas Hidup Lehman

(56)

Lehman yang terdiri dari 43 butir pertanyaan dan mempunyai nilai validitas serta reliabilitas yang signifikan (r hitung = 0,372 – 0,789) (Eniarti, 2008).

b) Kualitas Hidup Tinggi : bila skor 30 – 43 c) Kualitas Hidup Sedang : bila skor 15 – 29 d) Kualitas Hidup Rendah : bila skor 0 – 14 3. Schizophrenia Cognition Rating Scale (SCoRS)

SCoRS adalah suatu instrumen pengukuran terhadap fungsi kognitif pasien skizofrenia yang berbasis wawancara. Instrumen pengukuran ini memiliki 20 butir pertanyaan yang harus ditanyakan oleh pewawancara kepada pasien, dan informan yang berinteraksi sehari-hari dengan pasien, masing-masing dilakukan secara terpisah. Setiap butir pertanyaan dinilai dengan 4 poin skala pengukuran, yaitu: 1 : tidak ada; 2 : ringan; 3 : sedang; 4 : parah dan N/A (non-applicable) apabila pertanyaan tidak dapat diajukan setelah disesuaikan dengan kondisi pasien. Penilaian skala fungsi global (1-10) yang terdapat di akhir lembar pengukuran harus dilengkapi oleh pewawancara saat wawancara telah selesai. Penilaian tersebut digunakan untuk menilai ada tidaknya disfungsi kognitif pada pasien skizofrenia berdasarkan pengamatan yang dilakukan saat melakukan wawancara (Keefe et al., 2006).

G. Jalannya Penelitian

(57)

1. Tahap Persiapan Penelitian

Pada tahap ini peneliti mengajukan judul penelitian, melakukan bimbingan dan konsultasi dalam penyusunan proposal sampai dengan ujian proposal penelitian, kemudian peneliti mengurus ethical clearance penelitian, menetapkan pelaksanaan, membuat lembar informed consent dan menyiapkan instrumen penelitian seperti kuesioner data pribadi, Schizophrenia Cognition Rating Scale (SCoRS) dan skala Lehman’s Quality of Life Interview (QOLI). 2. Tahap Pelaksanaan

(58)

3. Tahap Penyelesaian

Tahap penyelesaian meliputi pengolahan data, analisis data, presentasi hasil karya tulis ilmiah (KTI) dan pembuatan laporan serta naskah publikasi.

H. Uji Validita dan Reliabilitas

Penelitian ini tidak melakukan uji validitas dan reliabilitas karena instrumen yang akan digunakan telah divalidasi dan digunakan dalam penelitian sebelumnya, yaitu :

1. Wawancara Kualitas Hidup Lehman

Skala QOLI mempunyai nilai validitas serta reabilitas yang signifikan baik yang divalidasi di luar negeri maupun yang divalidasi di RSJ Magelang, nilai validasi yang didapatkan adalah (r hitung = 0,372 - 0,789) dan reliabel (Eniarti, 2008).

2. Schizophrenia Cognition Rating Scale versi Indonesia (SCoRSvI) Uji validitas terhadap tiap butir pertanyaan SCoRSvI yang ditujukan kepada pasien menunjukkan nilai validitas yang tinggi dan dengan nilai reliabilitas (Cronbach’s Alpha) sebesar 0,976, sementara pada pertanyaan yang ditujukan kepada informan menunjukkan nilai validitas yang juga tinggi dan nilai reliabilitas (Cronbach’s Alpha) sebesar 0,977. Hal tersebut menunjukkan bahwa instrumen SCoRSvI sangat reliable.

(59)

menandakan bahwa SCoRSvI dapat mengukur fungsi kognitif pasien skizofrenia dengan benar (Herdaetha & Raharjo, 2008 cit. Herdaetha, 2009).

I. Analisis Data

(60)

43

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Deskripsi Wilayah Penelitian

Penelitian ini dilakukan di 10 puskesmas yang terdapat di DI Yogyakarta yaitu Puskesmas Gondomanan, Puskesmas Bambang Lipuro, Puskesmas Wates, Puskesmas Godean I, Puskesmas Gedang Sari, Puskesmas Kraton, Puskesmas Srandakan, Puskesmas Temon I, Puskesmas Tempel I dan Puskesmas Pleyen II pada bulan Mei 2016. Penelitian ini juga dilakukan bersamaan dengan program rehabilitasi untuk pasien Skizofrenia dan keluarganya yang dirancang oleh pihak Dinas Kesehatan Provinsi DI Yogyakarta, sehingga hal ini dapat memudahkan tim penulis untuk mengumpulkan responden yang diperlukan selama penelitian.

B. Hasil Penelitian

1. Gambaran Umum Karakteristik Responden

(61)

Penelitian ini dilakukan dengan jumlah responden sebanyak 95 orang pasien. Responden dalam penelitian ini adalah pasien Skizofrenia yang tinggal di wilayah cakupan 10 puskesmas di DI Yogyakarta dengan karakteristik responden yang dapat dilihat pada tabel berikut :

Tabel 1. Karakteristik Responden Pasien Skizofrenia

No Karakteristik Responden Frekuensi Persentase 1. Jenis Kelamin

- Laki-laki 60 63,15%

- Perempuan 35 36,85%

2. Usia

- < 20 tahun 4 4,21%

- 21 – 30 tahun 15 15,78%

- 31 – 40 tahun 34 35,78%

- 41 – 50 tahun 32 33,68%

- 51 – 60 tahun 10 10,52%

3. Lama Sakit

- < 1 tahun 6 6,31%

- < 2 tahun 2 2,10%

- Antara 2 – 5 tahun 9 9,47% - Antara 5 – 10 tahun 30 31,57%

- > 10 tahun 48 50,52%

(62)

Selain itu, lama sakit dari responden yang paling dominan adalah lebih dari 10 tahun dengan usia responden paling banyak berkisar antara 31 – 50 tahun. Hal ini menunjukkan bahwa Skizofrenia merupakan penyakit kronis dengan sebagian besar onset penyakitnya berada pada rentang usia produktif.

2. Fungsi Kognitif Pasien Skizofrenia

Tabel 2. Fungsi Kognitif Responden No Skor Gangguan Fungsi

Kognitif

Frekuensi Persentase

1. 1 (nihil) - 0%

2. 2 10 10,52%

3. 3 27 28,42%

4. 4 25 26,31%

5. 5 18 18,94%

6. 6 5 5,26%

7. 7 8 8,42%

8. 8 2 2,10%

9. 9 - 0%

10. 10 (ekstrim) - 0%

(63)

3. Kualitas Hidup Pasien Skizofrenia

Kategori kualitas hidup responden didapat dari hasil hitung jumlah skor yang diperoleh dari masing-masing responden. Hasil perhitungan tersebut dapat dilihat pada tabel berikut :

Tabel 3. Kualitas Hidup Responden

No Kualitas Hidup Frekuensi Persentase

1. Tinggi 14 14,73%

2. Sedang 76 80%

3. Rendah 5 5,26%

4. Analisis Uji Statistik Korelasi

Korelasi antara kedua variabel dianalisis dengan menggunakan uji korelasi Pearson dikarenakan uji distribusi data dengan menggunakan Kolmogorov-Smirnov (karena besar sampel >50) menunjukkan bahwa data berdistribusi normal.

(64)

Hasil analisis korelasi antara fungsi kognitif dengan kualitas hidup pasien Skizofrenia yang menggunakan uji korelasi parametrik Pearson menunjukkan nilai p sebesar 0,000 (p < 0,05) yang berarti terdapat adanya hubungan antara fungsi kognitif dengan kualitas hidup pasien Skizofrenia. Berdasarkan tabel 4, dapat dilihat bahwa kekuatan korelasi sedang dengan arah korelasi negatif (r = -0,476) yang berarti bahwa korelasi berlawanan arah (semakin besar nilai satu variabel maka semakin kecil nilai variabel lainnya). Sehingga dapat disimpulkan bahwa secara statistik terdapat adanya hubungan yang bermakna dan berkekuatan sedang antara fungsi kognitif dengan kualitas hidup pasien Skizofrenia.

C. Pembahasan

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui skor fungsi kognitif dan kualitas hidup responden serta untuk mengetahui adanya hubungan antara kedua variabel tersebut pada pasien Skizofrenia. Penelitian ini bersifat observasi analitik dengan pendekatan metode cross sectional dengan pengamatan yang dilakukan dalam satu waktu.

(65)

lampau, juga fungsi untuk mengolah seluruh informasi tersebut hingga kemudian seseorang dapat menentukan respon yang tepat sesuai dengan keadaan maupun stimulus yang ada. Fungsi-fungsi tersebut dapat dikatakan penting karena apabila terdapat gangguan, maka akan berdampak pada kemampuan pasien skizofrenia dalam melakukan pekerjaan secara efisien, membuat keputusan, maupun dalam komunikasi interpersonal (Goldberg & Green, 2002; Tolman & Kurtz, 2010). Berdasarkan tabel 2 dalam hasil penelitian ini, semua pasien Skizofrenia yang menjadi responden mengalami gangguan fungsi kognitif dengan nilai yang beragam. Hal ini sesuai dengan

penelitian O’Carrol (β000) yang menyebutkan bahwa sekitar 75% atau

mayoritas dari pasien Skizofrenia akan mengalami defisit fungsi kognitif yang dimulai sejak onset penyakitnya.

Hasil analisis menggunakan uji korelasi parametrik Pearson tentang hubungan fungsi kognitif dengan kualitas hidup pasien Skizofrenia dapat dilihat pada tabel 4. Berdasarkan penelitian ini, terdapat hubungan yang signifikan antara fungsi kognitif dengan kualitas hidup (p=0,000) dengan kekuatan korelasi sedang (r= –0,476) dan arah korelasi negatif. Arah korelasi negatif pada nilai r menunjukkan bahwa semakin besar skor fungsi kognitif (semakin parah gangguannya), makan semakin rendah skor kualitas hidupnya, begitu pula sebaliknya.

(66)

faktor yang dapat mempengaruhi penurunan kualitas hidup pasien Skizofrenia. Hal ini sesuai dengan beberapa penelitian sebelumnya yang menyatakan bahwa fungsi kognitif memegang peran penting tidak hanya dalam memprediksi kemampuan seseorang untuk bekerja, namun juga menjadi penentu kualitas hidup, fungsi sosial, kemampuan bersosialisasi di lingkungan masyarakat, hingga resiko untuk adanya perawatan kembali di rumah sakit (Green et al., 2000; Ueoka et al., 2010).

Fungsi kognitif terdiri dari beberapa domain, yaitu atensi, daya ingat atau memori, kemampuan berpikir logis dan kecepatan pemrosesan informasi yang diterima (Keefe & Harvey, 2012). Adanya gangguan pada domain-domain tersebut terkait dengan gangguan koordinasi aktivitas syaraf akibat perubahan neurokimia otak yang muncul pada Skizofrenia. Hal ini dapat berakibat pada terganggunya kemampuan cognitive control dimana gangguan tersebut dapat menyebabkan ketidaktepatan pemilihan respon terhadap stimuli yang ada sehingga dapat mempengaruhi fungsi sosial dan kualitas hidup pasien (Chambon et al., 2008; Sigaudo et al., 2014).

(67)

2007). Matsui et al (2007), dalam penelitiannya menyatakan bahwa defisit dalam mengingat Skrip (untuk menguji fungsi memori) pada pasien skizofrenia dapat mempengaruhi pengetahuan dan pemahaman kontekstual yang berhubungan dengan penurunan fungsi sosial pada pasien skizofrenia. Script Test sendiri merupakan sebuah tes dimana pasien skizofrenia diminta untuk mengingat kembali beberapa kejadian yang ada didalam sebuah skenario seperti saat berbelanja di pasar, sementara jawaban mereka kemudian dinilai (rentang nilai 0 – 8). Adanya defisit dalam kemampuan mengingat kejadian yang terjadi secara berurutan ini kemudian dinyatakan sebagai penyebab ketidakmampuan pasien skizofrenia untuk berempati, dimana kemampuan berempati merupakan salah satu poin yang dinilai untuk menentukan kualitas hidup seseorang. Hal tersebut menunjukkan bahwa gangguan pada fungsi kognitif berkaitan erat dengan adanya penurunan kualitas hidup pasien skizofrenia.

(68)

pada domain atensi dan kecepatan pemrosesan informasilah yang menjadi prediktor terkuat pada menurunnya kualitas hidup pasien Skizofrenia.

Defisit atensi atau kewaspadaan dalam jangka waktu yang lama diketahui juga berhubungan dengan penurunan kemampuan pemecahan masalah sosial maupun penguasaan berbagai keterampilan, dimana hal ini dapat menghambat pasien skizofrenia dalam upaya untuk beradaptasi dengan lingkungan secara optimal yang berujung pada penurunan kualitas

hidupnya (O’Carrol, β000).

(69)
(70)

53

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. KESIMPULAN

Berdasarkan hasil analisis data pada penelitian yang dilakukan pada pasien Skizofrenia di Puskesmas Gondomanan, Puskesmas Bambang Lipuro, Puskesmas Wates, Puskesmas Godean I, Puskesmas Gedang Sari, Puskesmas Kraton, Puskesmas Srandakan, Puskesmas Temon I, Puskesmas Tempel I dan Puskesmas Pleyen II, dapat disimpulkan bahwa :

1. Skor fungsi Kognitif pasien Skizofrenia yang menjadi responden dalam penelitian ini sebagian besar memiliki skor 3 (28,42%) dan 4 (26,31%). 2. Kualitas hidup pasien Skizofrenia yang menjadi responden dalam

penelitian ini sebagian besar berada dalam kategori sedang (80%). 3. Terdapat adanya hubungan yang signifikan antara fungsi kognitif

dengan kualitas hidup pasien Skizofrenia (p = 0,000 yang artinya p < 0,05).

B. SARAN

Berdasarkan hasil penelitian tentang hubungan antara fungsi kognitif dengan kualitas hidup pasien Skizofrenia, maka peneliti menyarankan : 1. Untuk penelitian selanjutnya, diharapkan untuk dapat menggunakan

(71)

tersebut dapat memberikan pengaruh yang berbeda-beda terhadap fungsi kognitif.

2. Bagi peneliti lain yang tertarik dengan penelitian yang berhubungan dengan fungsi kognitif dan kualitas hidup pasien skizofrenia, diharapkan untuk dapat pula menyertakan keparahan gejala psikotik sebagai variabel bebasnya sehingga dapat diketahui faktor manakah yang lebih berpengaruh terhadap kualitas hidup pasien skizofrenia. 3. Bagi petugas kesehatan untuk dapat memprioritaskan intervensi

psikososial menggunakan CBT dalam upaya meningkatkan fungsi kognitif dan kualitas hidup pasien Skizofrenia

(72)

55

DAFTAR PUSTAKA

Aloba, O., Fatoye, O., Mapayi, B., & Akinsulore, S. (2013). A Review of Quality of Life Studies in Nigerian Patients with Psychiatric Disorders. African Journal of Psychiatry, 16. 333-337.

Chambon, V., Franck, N., Koechlin, E., Fakra, E., Ciuperca, G., Azorin, J.M., Farrer, C. (2008). The Architecture of Cognitive Control in Schizophrenia. Brain, 131. 962 - 970

Eack, S.M., & Newhill, C.E. (2007). Psychiatric Symptoms and Quality of Life in Schizophrenia: A Meta-Analysis. Schizophrenia Bulletin: Oxford Journals, 33. 1225-1237.

Eniarti. (2008). Perbedaan Skor Kualitas Hidup Pasien Skizoprenia yang Mendapat Terapi Kerja Berorientasi Token Economy dengan Terapi Aktifitas Kelompok. Tesis, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Eriyanto. (2007). Teknik Sampling Analisis Opini Publik. Yogyakarta: LKiS Yogyakarta.

Galuppi, A., Turola, M.C., Nanni, M.G., Mazzoni, P., & Grassi, L. (2010). Schizophrenia and Quality of Life: How Important are Symptoms and Funtioning?. International Journal of Mental Health Systems. 1-8.

Garrido, G., Barrios, M., Penades, R., Enriquez, M., Garolera, M., Aragay, N.,et al. (2013). Computer-Assisted Cognitive Remediation Therapy : Cognition, Self-Esteem and Quality of Life in Schizophrenia. Schizophrenia Research. Gladis, M.M., Gosch, E.A., Dishuk, N.M., & Crits-Christoph, P. (1999). Quality

of Life: Expanding the Scope of Clinical Significance. Journal of Consulting and Clinical Psychology, 67. 1-19.

Goldberg, T.E., & Green, M.F. (2002). Neurocognitive Functioning in Patients with Schizophrenia: An Overview. In K.L. Davis, D. Charney, J.T. Coyle, & C. Nemeroff (Eds.). Neuropsychopharmacology: The Fifth Generation of Progress. Los Angeles : American College of Neuropsychopharmacology. Green, M.F., & Harvey, P.D. (2014). Cognition in Schizophrenia: Past, Present

(73)

Green, M.F., Kern, R.S., Braff, D.L., Mintz, J. (2000). Neurocognitive Deficits

And Functional Outcome in Schizophrenia : Are We Measuring The “Right Stuff”?. Schizophrenia Buletin, 26 (1), 119 – 136

Halgin, R.P., & Whitbourne, S.K. (2011). Abnormal Psychology : Clinical Perspectives on Psychological Disorders (6th ed.)(A. Tusya’ni, L.S. Sembiring, P.G. Gayatri, & P.N. Sofyan, Trans.). Jakarta: Salemba Humanika. (Original work published 2009).

Herdaetha, A. (2009). Keefektifan Terapi Remediasi Kognitif dengan Bantuan Komputer terhadap Disfungsi Kognitif Pasien Skizofrenia Kronis di Panti rehabilitasi Budi Makarti Boyolali. Tesis, Universitas Sebelas Maret, Surakarta.

Heslegrave, R.J., Awad, A.G., & Voruganti, L.N. (1997). The Influence of Neurocognitive Deficits and Symptoms on Quality of Life in Schizophrenia. Journal of Psychiatry & Neuroscience, 22. 235-243.

Horacek, J., Bubenikova-Valesova, V., Kopecek, M., Palenicek, T., Dockery, C., Mohr, P., et al. (2006). Mechanism of Action of Atypical Antipsychotic Drugs and the Neurobiology of Schizophrenia. CNS Drugs, 20 (5). 389 - 409 Keefe, R.S.E, & Harvey, P.D. (2012). Cognitive Impairment in Schizophrenia. In

M.A. Geyer & G. Gross (Eds.). Novel Antischizophrenia Treatments. Berlin: Springer-Verlag Berlin Heidelberg.

Keefe, R.S.E., Poe, M., Walker, T.M., Kang, J.W., & Harvey, P.D. (2006). The Schizophrenia Cognition Rating Scale: An Interview-Based Assessment and Its Relationship to Cognition, Real-World Functioning and Functional Capacity. Am J Psychiatry, 163. 426-432.

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. (2013). Riset Kesehatan Dasar 2013. Jakarta.

Kuperberg, G. & Heckers, S. (2000). Schizophrenia and Cognitive Function. Current Opinion in Neurobiology, 10. 205 – 210

Lehman, A.F. (1996). Measures of Quality of Life Among Persons with Severe and Persistent Mental Disorder. Social Psychiatry and Psychiatric Epidemiology, 31. 78-88.

(74)

Maramis, W.F. (2009). Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa (2nd ed.). Surabaya: Airlangga University Press.

Maslim, R. (2013). Diagnosis Gangguan Jiwa, Rujukan Ringkas PPDGJ-III dan DSM-5. Jakarta: Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa FK-Unika Atmajaya.

Matsui, M., Sumiyoshi, T., Arai, H., Higuchi, Y., Kurachi, M. (2007). Cognitive Functioning Related to Quality of Life in Schizophrenia. Neuro-Psychopharmacology & Biological Psychiatry, 32. 280 – 287

McGrath, J., Saha, S., Chant, D., & Welham, J. (2008). Schizophrenia: A Concise of Incidence, Prevalence and Mortality. Epidemiologic Reviews, 30. 67-76 Murray, R.M., & Dean, K. (2008). Schizophrenia and Related Disorder. In R.M.

Murray, K.S. Kendler, P. McGuffin, S. Wessely, & D.J. Castle (Eds.), Essential Psychiatry. Cambridge: Cambridge University Press.

O’carrol, R. (β000). Cognitive Impairment in Schizophrenia. Advances in Psychiatric Treatment, 6. 161 - 168

Rosita, H. (2011). Keefektifan Konseling Eklektik untuk Meningkatkan Kapasitas Fungsi Sosial dan Kualitas Hidup pada Pasien Skizofrenia. Jurnal Kedokteran Indonesia, 2. 58-65.

Rubbyana, U. (2012). Hubungan antara Strategi Koping dengan Kualitas Hidup pada Penderita Skizofrenia Remisi Simptom. Jurnal Psikologi Klinis dan Kesehatan Mental, 1. 59-66.

Sadock, B.J., Sadock, V.A., & Ruiz, P. (2009). Kaplan & Sadock’s Comprehensive Textbook of Psychiatry (9th ed.). Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins

Sadock, B.J., Sadock, V.A., & Ruiz, P. (2015). Kaplan & Sadock’s Synopsis of Psychiatry (11th ed.). Philadelphia: Wolters Kluwer.

Saha, S., Chant, D., Welham, J., & McGrath, J. (2005). A Systematic Review of The Prevalence of Schizophrenia. PloS Medicine, 2 (5). 413-433

Sajatovic, M., & Ramirez, L.F. (2012). Rating Scales in Mental Health (3rd ed.). Maryland: The John Hopkins University Press.

Gambar

Gambar  1. Four Dopamine Pathways
Tabel 1. Karakteristik Responden Pasien Skizofrenia
Tabel 2.  Fungsi Kognitif Responden
Tabel 3. Kualitas Hidup Responden
+3

Referensi

Dokumen terkait

Latar belakang: Skizofrenia adalah suatu sindrom dengan variasi penyebab dan perjalanan penyakit yang luas, serta sejumlah akibat yang tergantung pada perimbangan pengaruh

( JNC-VII ). Kriteria inklusi dalam penelitian ini antara lain sebagai berikut. Digunakan rentang usia ini untuk menghindari faktor usia sebagai variabel perancu,

Kesimpulan: Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kualitas hidup pasien skizofrenia paranoid masing-masing skala komponen kesehatan berdasarkan karakteristik sosiodemografik

Telah dijelaskan tentang tahap dari penelitian yang berjudul “Hubungan Anatara Fungsi Kognitif Dengan Fungsi Sosial Pasien Skizofrenia di Wilayah Kerja

Sebaliknya, Emosi-emosi positif seperti happiness dapat menjadi indikator penunjang yang dapat meningkatkan kesehatan pasien serta meningkatkan kualitas hidupnya

(JNC-VII). Kriteria inklusi dalam penelitian ini antara lain sebagai berikut. Digunakan rentang usia ini untuk menghindari faktor usia sebagai variabel perancu,

Kriteria inklusi pada penelitian ini adalah pasien yang telah terdiagnosis lepra BL/LL dengan ENL dan kriteria eksklusia dalah pasien lepra BL/LL dengan pengobatan MDT yang

J., sebagai guru penulis yang telah memberikan kepada penulis kesempatan untuk mengikuti Program Magister Kedokteran Klinik Spesialis Ilmu kedokteran Jiwa di Fakultas