• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pembuatan Sensor Serat Optik dengan Cladding Dye Methyl Violet untuk Mendeteksi Gas Hidrogen Sulfida

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pembuatan Sensor Serat Optik dengan Cladding Dye Methyl Violet untuk Mendeteksi Gas Hidrogen Sulfida"

Copied!
76
0
0

Teks penuh

(1)

ABSTRAK

LILIANA ADIA K. Pembuatan Sensor Serat Optik dengan Cladding Dye Methyl Violet untuk Mendeteksi Gas Hidrogen Sulfida. Dibimbing oleh AKHIRUDDIN MADDU dan IRMANSYAH.

Serat optik adalah salah satu media transmisi yang dapat menyalurkan informasi dengan kapasitas besar dengan keandalan yang tinggi. Karena itu, serat optik banyak dimanfaatkan sebagai sensor. Penelitian ini dibuat untuk mendeteksi gas hidrogen sulfida (H2S). Gas H2S

merupakan gas yang berbahaya bagi lingkungan. Gas ini pada konsentrasi 500 ppm, dapat menyebabkan kematian pada manusia. Tidak hanya pada manusia, gas ini juga berbahaya bagi tanaman dan bangunan yang bahan-bahannya seperti batu kapur, batu pualam, dan dolomit. Pada penelitian ini, probe sensor dibuat dengan mengganti cladding serat optik dengan gel yang didoping dye methyl violet. Probe sensor yang dikenai gas H2S diberi sinar masukan dari sumber

sinar dan diterima oleh sensor cahaya. Data yang dihasilkan berupa kurva respon time sensor serat optik terhadap gas H2S. Semakin tinggi konsentrasi gas H2S yang dihasilkan maka semakin cepat

sensor merespon gas tersebut.

(2)

 

 

PENDAHULUAN Latar Belakang

Hidrogen Sulfida (H2S), adalah gas

beracun yang sangat berbahaya. Dalam waktu singkat gas ini dapat melumpuhkan sistem pernafasan dan dapat mematikan seseorang yang menghirupnya. Pada konsentrasi rendah, H2S memiliki bau seperti telur busuk, namun

pada konsentrasi tinggi, bau telur busuk tidak tercium lagi, karena secara cepat gas H2S

melumpuhkan sistem syaraf dan mematikan indera penciuman [1].

Pada dasarnya semua sulfur yang memasuki atmosfer diubah dalam bentuk SO2,

dimana SO2 sangat berbahaya karena

langsung dapat meracuni makhluk di sekitarnya, dapat mengakibatkan iritasi saluran pernafasan dan kenaikan rekresi mucus. Orang yang mempunyai pernafasan lemah sangat peka terhadap kandungan SO2

yang tinggi di atmosfer. Dengan konsentrasi 500 ppm, dapat menyebabkan kematian pada manusia [2].

Karena adanya kesadaran akan bahaya gas tersebut, maka banyak penelitian yang dilakukan untuk mendeteksi keberadaan gas H2S, salah satunya dengan menggunakan serat

optik. Beberapa tahun terakhir ini, serat optik berkembang dan dimanfaatkan sebagai sensor, diantaranya adalah sensor gas.

Pada penelitian kali ini akan digunakan dye methyl violet sebagai cladding sensitif untuk mendeteksi keberadaan gas H2S.

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk membuat sensor serat optik yang digunakan untuk mendeteksi keberadaan gas H2S.

TINJAUAN PUSTAKA Hidrogen Sulfida

Hidrogen sulfida (H2S), dihasilkan dari

proses pembusukan bahan-bahan organik yang mengandung belerang oleh bakteri anaerob, juga sebagai hasil reduksi dengan kondisi anaerob terhadap sulfat oleh mikroorganisme dan sebagai salah satu bahan pencemar gas yang dikeluarkan dari air panas bumi [2].

Belerang terdapat secara luas di alam sebagai unsur, sebagai H2S dan SO2, dalam

bijih sulfida logam dan sebagai sulfat seperti

gips dan anhidrit (CaSO4), magnesium sulfat,

dan sebagainya [3].

Belerang dapat ditemukan dengan cukup mudah, salah satunya di dalam air. Secara umum sebagian besar belerang yang terdapat dalam air adalah S (IV) dalam ion sulfat, SO42-. Dalam kondisi anaerobik SO42- dapat

direduksi oleh aktifitas bakteri menjadi H2S,

HS-, atau garam sulfid yang tidak larut. Gas H2S yang dihasilkan dari reduksi sulfat

tersebut menyebabkan bau “telur busuk” yang dikeluarkan oleh air yang tergenang dan air-air tanah [2].

Gas H2S juga terdapat di atmosfer.

Sejumlah bahan pencemar anorganik berbentuk gas masuk ke atmosfer sebagai hasil dari aktifitas manusia, salah satunya adalah H2S, yang jumlahnya relatif kecil jika

dibandingkan gas CO2 dalam atmosfer. Secara

global senyawa-senyawa belerang dalam jumlah cukup besar masuk ke atmosfer melalui aktivitas manusia sekitar 100 juta metrik ton belerang setiap tahunnya, terutama sebagai SO2 dari pembakaran batu bara dan

gas buang pembakaran bensin. Jumlah yang cukup besar dari senyawa belerang juga dihasilkan oleh kegiatan gunung berapi dalam bentuk H2S, proses perombakan bahan

organik, dan reduksi sulfat secara biologis. Jumlah yang dihasilkan dari proses biologis ini dapat mencapai kurang lebih 1 juta metrik ton H2S per tahun.

Pada dasarnya semua sulfur yang memasuki atmosfer diubah dalam bentuk SO2,

dan hanya 1% atau 2% saja sebagai SO3. SO2

sangat berbahaya karena langsung dapat meracuni makhluk di sekitarnya, dapat mengakibatkan iritasi saluran pernafasan dan kenaikan rekresi mucus. Orang yang mempunyai pernafasan lemah sangat peka terhadap kandungan SO2 yang tinggi di

atmosfer. Dengan konsentrasi 500 ppm, dapat menyebabkan kematian pada manusia. Tidak hanya pada manusia, belerang dioksida juga berbahaya bagi tanaman, karena adanya gas ini dengan konsentrasi yang tinggi dapat membunuh jaringan pada daun (necrosis daun). Kerusakan lebih lanjut dialami oleh bangunan yang bahan-bahannya seperti batu kapur, batu pualam, dan dolomit akan rusak oleh SO2 dari udara. Efek dari kerusakan ini

akan nampak dari penampilannya, integritas struktur, dan umur dari gedung tersebut [2]. Peralatan metal juga dapat retak karena H2S,

hal ini disebabkan metal menderita tingkat tarikan yang tinggi di daerah korosif H2S.

hampir semua metal berekasi dengan H2S dan

(3)

 

 

PENDAHULUAN Latar Belakang

Hidrogen Sulfida (H2S), adalah gas

beracun yang sangat berbahaya. Dalam waktu singkat gas ini dapat melumpuhkan sistem pernafasan dan dapat mematikan seseorang yang menghirupnya. Pada konsentrasi rendah, H2S memiliki bau seperti telur busuk, namun

pada konsentrasi tinggi, bau telur busuk tidak tercium lagi, karena secara cepat gas H2S

melumpuhkan sistem syaraf dan mematikan indera penciuman [1].

Pada dasarnya semua sulfur yang memasuki atmosfer diubah dalam bentuk SO2,

dimana SO2 sangat berbahaya karena

langsung dapat meracuni makhluk di sekitarnya, dapat mengakibatkan iritasi saluran pernafasan dan kenaikan rekresi mucus. Orang yang mempunyai pernafasan lemah sangat peka terhadap kandungan SO2

yang tinggi di atmosfer. Dengan konsentrasi 500 ppm, dapat menyebabkan kematian pada manusia [2].

Karena adanya kesadaran akan bahaya gas tersebut, maka banyak penelitian yang dilakukan untuk mendeteksi keberadaan gas H2S, salah satunya dengan menggunakan serat

optik. Beberapa tahun terakhir ini, serat optik berkembang dan dimanfaatkan sebagai sensor, diantaranya adalah sensor gas.

Pada penelitian kali ini akan digunakan dye methyl violet sebagai cladding sensitif untuk mendeteksi keberadaan gas H2S.

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk membuat sensor serat optik yang digunakan untuk mendeteksi keberadaan gas H2S.

TINJAUAN PUSTAKA Hidrogen Sulfida

Hidrogen sulfida (H2S), dihasilkan dari

proses pembusukan bahan-bahan organik yang mengandung belerang oleh bakteri anaerob, juga sebagai hasil reduksi dengan kondisi anaerob terhadap sulfat oleh mikroorganisme dan sebagai salah satu bahan pencemar gas yang dikeluarkan dari air panas bumi [2].

Belerang terdapat secara luas di alam sebagai unsur, sebagai H2S dan SO2, dalam

bijih sulfida logam dan sebagai sulfat seperti

gips dan anhidrit (CaSO4), magnesium sulfat,

dan sebagainya [3].

Belerang dapat ditemukan dengan cukup mudah, salah satunya di dalam air. Secara umum sebagian besar belerang yang terdapat dalam air adalah S (IV) dalam ion sulfat, SO42-. Dalam kondisi anaerobik SO42- dapat

direduksi oleh aktifitas bakteri menjadi H2S,

HS-, atau garam sulfid yang tidak larut. Gas H2S yang dihasilkan dari reduksi sulfat

tersebut menyebabkan bau “telur busuk” yang dikeluarkan oleh air yang tergenang dan air-air tanah [2].

Gas H2S juga terdapat di atmosfer.

Sejumlah bahan pencemar anorganik berbentuk gas masuk ke atmosfer sebagai hasil dari aktifitas manusia, salah satunya adalah H2S, yang jumlahnya relatif kecil jika

dibandingkan gas CO2 dalam atmosfer. Secara

global senyawa-senyawa belerang dalam jumlah cukup besar masuk ke atmosfer melalui aktivitas manusia sekitar 100 juta metrik ton belerang setiap tahunnya, terutama sebagai SO2 dari pembakaran batu bara dan

gas buang pembakaran bensin. Jumlah yang cukup besar dari senyawa belerang juga dihasilkan oleh kegiatan gunung berapi dalam bentuk H2S, proses perombakan bahan

organik, dan reduksi sulfat secara biologis. Jumlah yang dihasilkan dari proses biologis ini dapat mencapai kurang lebih 1 juta metrik ton H2S per tahun.

Pada dasarnya semua sulfur yang memasuki atmosfer diubah dalam bentuk SO2,

dan hanya 1% atau 2% saja sebagai SO3. SO2

sangat berbahaya karena langsung dapat meracuni makhluk di sekitarnya, dapat mengakibatkan iritasi saluran pernafasan dan kenaikan rekresi mucus. Orang yang mempunyai pernafasan lemah sangat peka terhadap kandungan SO2 yang tinggi di

atmosfer. Dengan konsentrasi 500 ppm, dapat menyebabkan kematian pada manusia. Tidak hanya pada manusia, belerang dioksida juga berbahaya bagi tanaman, karena adanya gas ini dengan konsentrasi yang tinggi dapat membunuh jaringan pada daun (necrosis daun). Kerusakan lebih lanjut dialami oleh bangunan yang bahan-bahannya seperti batu kapur, batu pualam, dan dolomit akan rusak oleh SO2 dari udara. Efek dari kerusakan ini

akan nampak dari penampilannya, integritas struktur, dan umur dari gedung tersebut [2]. Peralatan metal juga dapat retak karena H2S,

hal ini disebabkan metal menderita tingkat tarikan yang tinggi di daerah korosif H2S.

hampir semua metal berekasi dengan H2S dan

(4)

 

 

menimbulkan terjadinya kerusakan pada peralatan yang terbuat dari metal, kerusakan pada pipa dapat menyebabkan pipa patah secara mendadak [1].

Hidrogen Sulfida (H2S), adalah gas

beracun yang sangat berbahaya. Dalam waktu singkat gas ini dapat melumpuhkan sistem pernafasan dan dapat mematikan seseorang yang menghirupnya. Pada konsentrasi rendah, H2S memiliki bau seperti telur busuk, namun

pada konsentrasi tinggi, bau telur busuk tidak tercium lagi, karena secara cepat gas H2S

melumpuhkan sistem syaraf dan mematikan indera penciuman.

Gas H2S bersifat ekstrim racun yang

menempati kedudukan kedua setelah hidrogen sianida (HCN), dan sekitar lima kali lebih beracun dari karbon monoksida (CO). Gas H2S sangat berbahaya jika terhirup masuk ke

saluran pernafasan. Jika jumlah gas H2S yang

terserap ke dalam sistem peredaran darah melampaui kemampuan oksidasi dalam darah, akan menimbulkan keracunan terhadap sistem syaraf. Setelah itu dengan segera diikuti terjadinya sesak nafas dan kelumpuhan pernafasan, pada konsentrasi tinggi. Jika penderita tidak segera dipindahkan ke ruangan berudara segar dan diberikan bantuan pernafasan maka akan segera terjadi kematian akibat kelemasan. Pengaruh gas H2S pada

konsentrasi rendah mengakibatkan terjadinya gejala pusing, mual, rasa melayang, batuk-batuk, gelisah, mengantuk, rasa kering, serta nyeri di hidung, tenggorokan, dan dada. Gas H2S pada konsentrasi rendah

(0,025-25 ppm) akan tercium seperti bau telur busuk yang memberikan peringatan kepada seseorang yang berada di lingkungan tersebut untuk segera lari meninggalkan tempat tersebut dan segera menggunakan alat bantu pernafasan. Karena jika konsentrasi gas H2S

terus meningkat di atas 25 ppm akan dapat mematikan indera penciuman dan korban mulai tidak sadarkan diri [1].

Serat optik

Serat optik adalah salah satu media transmisi yang dapat menyalurkan informasi dengan kapasitas besar dengan keandalan yang tinggi. Berlainan dengan media transmisi lainnya, pada serat optik sinyal pembawanya bukan sinyal listrik, akan tetapi berupa gelombang optik [4].

Struktur serat optik terdiri dari inti (core) silinder dari bahan kaca atau plastik, mantel (cladding), dan bahan pelindung berupa jaket (coating).

Gambar 1. Struktur serat optik

Serat optik menggunakan cahaya untuk mengirimkan informasi (data) dan merupakan teknologi baru yang menawarkan kecepatan pengiriman data dan kapasitas yang lebih besar sepanjang jarak yang lebih jauh dengan harga yang lebih rendah daripada sistem kawat tembaga. Cahaya yang membawa informasi dipandu melalui serat optik berdasarkan fenomena total internal reflection (Pantulan Internal Total).

Pantulan internal total terjadi pada bidang batas antara dua media dengan indeks bias yang berbeda yaitu n1 dan n2. Hubungan

antara sudut datang i1 dan sudut bias i2

terhadap indeks bias dielektrik dinyatakan oleh hukum Snell: [5]

(1)

Pada salah satu sudut datang tertentu, cahaya akan dibiaskan sepanjang permukaan kedua medium, sudut inilah yang dinamakan dengan sudut kritis.

Nilai sudut kritis diberikan oleh:

sin (2)

Dan ketika sudut datang lebih besar dari sudut kritis, sinar yang dibiaskan akan dipantulkan sepenuhnya kembali ke medium pertama (pantulan internal total) [6].

(5)

 

 

mempunyai indeks bias lebih besar dari indeks bias cladding, sehingga ketika gelombang optik memasuki inti pada sudut lebih besar dari sudut kritis. Gelombang optik akan mengalami pemantulan total secara berulang-ulang di dalam inti serat [7].

Salah satu parameter penting dalam serat optik adalah Numerical Aperture (NA) yang didefinisikan sebagai sinus sudut terbesar sebuah sinar datang yang dapat mengalami pemantulan internal total di dalam inti serat optik. NA adalah ukuran kemampuan memandu cahaya dari sebuah serat optik. Nilai NA dapat ditentukan dengan mengukur sudut divergen kerucut cahaya ruang yang dapat memasuki inti dan menjalar sepanjang serat optik, dirumuskan sebagai

(3) dimana n1 adalah indeks inti dan n2 adalah

indeks refraksi cladding. Sudut penerimaan penuh adalah 2α [8].

Serat optik dapat diklasifikasikan menjadi dua jenis berdasarkan sebaran (distribusi) indeks bias inti, yaitu:

1. Serat Optik Gradded Index (GRIN), mempunyai indeks bias inti yang bervariasi secara parabolik dengan indeks maksimum pada sumbu inti dan mengecil ke arah bidang batas inti-cladding. Penjalaran sinarnya tidak lurus tapi melengkung akibat pembiasan yang terjadi di dalam inti membentuk lintasan parabolik.

2. Serat optik step index, mempunyai indeks bias yang konstan di semua bagian inti yang lebih besar daripada indeks cladding sehingga membentuk tangga (step) pada batas inti-cladding. Penjalaran sinar dalam inti lurus karena tidak ada variasi indeks bias inti [8].

Sedangkan berdasarkan sifat karakteristiknya jenis serat optik secara garis besar dapat dibagi menjadi 2 yaitu :

1. Multimoda

Pada jenis serat optik ini penjalaran cahaya dari satu ujung ke ujung lainnya terjadi melalui beberapa lintasan cahaya, karena itu disebut multimoda.

Sedangkan berdasarkan sebaran indeks biasnya serat optik multimoda memiliki dua profil yaitu graded index (Gambar 3B) dan step index (Gambar 3A). Pada graded index, serat optik mempunyai indeks bias cahaya yang merupakan fungsi dari jarak terhadap sumbu/poros serat optik. Dengan demikian cahaya yang menjalar melalui beberapa lintasan pada akhirnya akan sampai pada

ujung lainnya pada waktu yang bersamaan. Berlainan dengan graded index, maka pada serat optik step index sinar yang menjalar pada sumbu akan sampai pada ujung lainnya dahulu. Hal ini dapat terjadi karena lintasan yang melalui poros lebih pendek dibandingkan sinar yang mengalami pemantulan pada dinding serat optik. Sebagai hasilnya terjadi pelebaran pulsa atau dengan kata lain mengurangi lebar bidang frekuensi.

Oleh karena itu secara praktis hanya serat optik graded index sajalah yang dipergunakan sebagai saluran transmisi serat optik multimoda [4].

2. Singlemoda

Serat optik singlemoda atau monomoda mempunyai diameter inti (core) yang sangat kecil 3 – 10 mm, sehingga hanya satu berkas cahaya saja yang dapat melaluinya. Oleh karena hanya satu berkas cahaya maka tidak ada pengaruh indeks bias terhadap perjalanan cahaya atau pengaruh perbedaan waktu sampainya cahaya dari ujung satu ke ujung yang lainnya, dengan demikian serat optik singlemoda sering dipergunakan pada sistem transmisi serat optik jarak jauh atau luar kota [4].

Serat optik singlemoda hanya memiliki satu profil yaitu step index (Gambar 3C).

(6)

 

 

disebutkan di atas, serat optik juga mempunyai beberapa kelemahan di antaranya yaitu, sulit membuat terminal pada kabel serat, penyambungan serat harus menggunakan teknik dan ketelitian yang tinggi [9].

Gelombang evanescent

Saat berkas cahaya berpropagasi sepanjang serat optik, medan elektromagnetik tidak mendadak jatuh ke nol pada bidang batas core-cladding, namun sebagian kecil menembus cladding dan meluruh cepat dalam arah tegak lurus bidang batas. Medan ini dikenal dengan medan evanescent.

Gambar 4. Gelombang evanescent

Intensitas medan ini meluruh secara eksponensial terhadap jarak tegak lurus (z) bidang batas menurut persamaan

(4)

Dengan I0 adalah intensitas radiasi datang, dan

dp adalah kedalaman penetrasi.

Kedalaman yang bisa dicapai oleh gelombang evanescent (kedalaman penetrasi) adalah

(5)

Dengan n adalah n2 dibagi dengan n1 [10].

Peningkatan indeks bias cladding akan meningkatkan kedalaman penetrasi, sehingga intensitas medan evanescent akan meningkat. Berdasarkan hal ini dikembangkan sistem sensor serat optik berbasis absorpsi medan evanescent dengan mengganti cladding asli serat optik dengan bahan yang mengalami sifat optik terhadap gangguan yang diberikan [11].

Sensor serat optik

Sensor adalah sesuatu yang digunakan untuk mendeteksi adanya perubahan lingkungan fisik atau kimia. Pada saat ini, sensor telah dibuat dengan ukuran sangat kecil dengan orde nanometer. Ukuran yang sangat

kecil ini sangat memudahkan pemakaian dan menghemat energi.

Ada dua jenis sensor yang kita kenal, yaitu sensor fisika dan sensor kimia. Sensor fisika mendeteksi suatu besaran berdasarkan hukum-hukum fisika. Contoh sensor fisika adalah sensor cahaya, sensor suara, sensor gaya, sensor kecepatan, sensor percepatan, dan sensor suhu. Sedangkan Sensor kimia mendeteksi jumlah suatu zat kimia dengan cara mengubah besaran kimia menjadi besaran listrik. Biasanya melibatkan beberapa reaksi kimia. Contoh sensor kimia adalah Sensor pH, sensor oksigen, sensor ledakan, dan sensor gas.

Perkembangan sensor optik dalam analisis kimiawi sangat menarik karena kemungkinan aplikasinya di biologi, bioteknologi dan ekologi dan karena keuntungan-keuntungan yang didapatkan dari serat optik [12]. Perkembangan sensor optik kimia, terutama sensor gas telah menarik perhatian secara global seiring dengan peningkatan kesadaran akan kebutuhan dalam memonitor polusi udara terutama yang mengandung racun, misalnya karbon monoksida, karbon dioksida, nitrogen oksida, hidrogen sulfida, dll [13]. Teknologi sensor serat optik mulai berkembang tahun 1960 ketika laser dan serat optik dikenal. Setelah itu, dilakukan banyak penelitian secara khusus mengenai hal tersebut karena adanya beberapa kelebihan sensor serat optik dibandingkan dengan sensor biasa, diantaranya adalah ketelitian dan sensitifitasnya, lebih mudah dalam menghantarkan sinyal, dapat digunakan dengan resiko bahaya yang kecil, dan masih banyak keuntungan yang lainnya. Sensor serat optik di kategorikan dalam tiga bagian: sensor intensitas, sensor polarimetrik, dan sensor interferometrik [14].

Sensor serat optik merupakan piranti yang dapat mengukur perubahan modulasi cahaya yang terpandukan akibat adanya gangguan-gangguan, baik intrinsik maupun ekstrinsik [15]. Sensor serat optik intrinsik adalah sensor yang mengukur perubahan penjalaran gelombang yang disebabkan gangguan dari dalam serat optik, seperti perubahan indeks bias pada cladding, adanya kisi core, dan lain-lain. Sedangkan sensor serat optik ekstrinsik adalah sensor yang mengukur perubahan penjalaran gelombang yang disebabkan gangguan dari lingkungan, seperti cahaya yang masuk ke dalam serat selain sumber cahaya [14].

(7)

  e methyl viole elapisan dilak didoping dye m

(8)

  e methyl viole elapisan dilak didoping dye m

(9)

 

 

Gambar 6. Set up pengujian sensor serat optik untuk melihat nilai absorbansi

Gas H2S diperoleh dari reaksi kimia antara

Asam Klorida (HCl) dengan Besi Sulfida (FeS), dan akan diperoleh dua kelompok konsentrasi gas H2S, pertama dengan

memvariasikan volume HCl dan yang kedua dengan memvariasikan konsentrasi HCl. Sebelum dilakukan karakterisasi, pertama kali disiapkan botol kaca sebanyak 3 buah. Pada botol pertama direaksikan FeS dengan jumlah tertentu dan HCL 0.05 M sebanyak 10 ml, kemudian botol ditutup dengan rapat, dilakukan juga hal yang sama pada botol yang kedua dan ketiga, botol yang kedua dengan HCl 15 ml dan yang ketiga 20 ml. Botol pertama sampai botol ketiga menghasilkan konsentrasi gas H2S 0.1798 ppm, 0.2697 ppm,

dan 0.3596 ppm. Setelah FeS dan HCl pada tiga botol selesai bereaksi, dilakukan karakterisasi untuk mendapatkan nilai absorbansi.

Karakterisasi selanjutnya masih untuk melihat nilai absorbansi, tapi dengan variasi konsentrasi gas H2S yang didapatkan dari

perbedaan penambahan konsentrasi HCl. Awalnya disiapkan dahulu 3 buah botol. Botol yang pertama direaksikan FeS dengan konsentrasi tertentu dan HCl 0.05 M sebanyak 10 ml, botol yang kedua dengan HCl 0.5 M sebanyak 10 ml, dan yang ketiga dengan HCL 4 M sebanyak 10 ml, kemudian botol ditutup dengan rapat. Botol pertama sampai botol ketiga menghasilkan konsentrasi gas H2S 0.1798 ppm, 1.7978 ppm dan 14.3824

ppm. Setelah FeS dan HCl pada ketiga botol selesai bereaksi, dilakukan karakterisasi untuk melihat nilai absorbansi sensor terhadap gas H2S.

Pengambilan data diawali dengan mengambil data absorbansi sebelum terkontaminasi gas H2S. Kemudian untuk

mengambil data yang terkontaminasi gas H2S,

probe sensor dimasukkan ke botol pertama, dan akan terlihat pada komputer data

mengalami perubahan, data akan diambil setelah data tidak lagi berubah (stabil). Hal tersebut juga dilakukan pada botol yang kedua dan ketiga.

Pengujian Sensor Serat Optik untuk Melihat Respon Sensor terhadap Gas H2S

Karakterisasi untuk melihat respon sensor dilakukan dengan set up alat yang terlihat pada Gambar 7.

Gambar 7. Set up pengujian sensor serat optik untuk melihat respon sensor.

Ujung probe serat optik yang telah dilengkapi konektor dihubungkan ke ujung bundel serat optik bifurkasi (berbentuk Y), sedangkan ujung lainnya dimana terdapat elemen sensor akan dimasukan ke botol yang terdapat gas H2S. Kedua ujung serat optik

yang lain dihubungkan dengan sumber cahaya berupa lampu halogen dan ujung yang lainnya akan dihubungkan ke sensor cahaya yang terhubung dengan interface. Saat pengujian, serat optik akan dijalarkan sinar, yang selanjutnya akan diterima oleh sensor cahaya dan interface dan datanya terlihat pada komputer.

Pengujian ini dilakukan dengan dua metode berbeda. Metode pertama adalah pengujian sensor untuk melihat respon sensor terhadap empat konsentrasi gas H2S. Pertama

kali empat buah botol disiapkan dengan masing-masing botol direaksikan FeS dengan konsentrasi tertentu dan HCl sebanyak 10 ml yang bervariasi konsentrasinya, yaitu 0.01 M, 0.1 M, 1 M dan 4 M, dan ditunggu sampai selesai bereaksi. Botol pertama sampai botol keempat menghasilkan konsentrasi gas H2S

0.0359 ppm, 0.3596 ppm, 3.5956 ppm, dan 14.3824 ppm. Setelah itu, dilakukan karakterisasi untuk melihat respon sensor terhadap kehadiran gas H2S, untuk

(10)

 

 

yang besar, karena probe sensor sangat sensitif dan jika mengalami guncangan yang besar, dapat mengakibatkan data yang diambil kurang baik. Setelah semua disiapkan, program pengambilan data dijalankan dengan kondisi probe sensor di luar botol atau belum terkontaminasi gas, lalu setelah kurang lebih 5 detik, probe sensor dimasukkan ke botol pertama yaitu gas dengan konsentrasi terendah dan ditunggu sampai data mencapai kondisi stasioner atau stabil, kemudian probe sensor dikeluarkan lagi dari botol dan ditunggu kembali, selanjutnya probe sensor dimasukkan lagi ke botol kedua, demikian seterusnya sampai botol keempat.

Metode kedua adalah pengujian sensor untuk melihat respon sensor terhadap dua konsentrasi gas H2S yang berbeda, dimana

variasi konsentrasi gas diperoleh dengan mereaksikan FeS dan HCl 0.05 M yang bervariasi volumenya, yaitu 5 ml dan 10 ml, dan ditunggu sampai selesai bereaksi. Botol pertama menghasilkan konsentrasi gas H2S

0.0899 ppm dan botol kedua 0.1798 ppm. Setelah itu, dilakukan karakterisasi untuk melihat respon sensor terhadap kehadiran gas H2S, untuk pengambilan data, program

dijalankan dengan kondisi probe sensor di luar botol atau belum terkontaminasi gas, lalu setelah kurang lebih 5 detik, probe sensor dimasukan ke botol dengan konsentrasi rendah dan terbentuk data respon, kemudian probe sensor dikeluarkan lagi dari botol dan terbentuk data recovery, lalu dimasukkan kembali, hal ini dilakukan sampai didapatkan dua siklus data respon dan recovery. Untuk botol yang kedua (dengan konsentrasi lebih tinggi) dilakukan hal yang sama dan rentang waktu yang sama seperti pada botol pertama. Alur Penelitian

HASIL DAN PEMBAHASAN Absorbansi Probe Sensor terhadap Variasi Konsentrasi Gas H2S

Data nilai absorbansi dengan perbedaan konsentrasi gas H2S yang diperoleh dengan

cara memvariasikan volume HCl terlihat pada Gambar 8, sedangkan pada Gambar 11 adalah data nilai absorbansi dengan perbedaan konsentrasi gas H2S yang diperoleh dengan

cara memvariasikan konsentrasi HCl. Kedua cara ini dapat mengakibatkan perbedaan konsentrasi gas H2S, tetapi pada cara pertama

atau dengan variasi penambahan volume HCl, perbedaan konsentrasi gas H2S yang

dihasilkan sangat kecil sedangkan pada cara kedua perbedaan konsentrasi gas H2S yang

dihasilkan cukup besar.

Dye methyl violet memiliki daya absorbsi atau daya serap cahaya yang besar pada panjang gelombang antara 500 sampai 650 nm, hal ini dapat dilihat pada Gambar 8.

Gambar 8. Absorbansi probe sensor terhadap variasi konsentrasi gas H2S.

Pada Gambar 8, kurva absorbansi meningkat dari rendah ke tinggi seiring dengan penambahan konsentrasi gas H2S yang

dideteksi oleh sensor. Kurva dari terendah ke tertinggi berurutan adalah saat konsentrasi gas H2S yang dikenai pada probe sensor

sebesar 0 ppm, 0.1798 ppm, 0.2697 ppm, dan 0.3596 ppm.

Kurva pada Gambar 8 terlihat berimpit untuk rentang konsentrasi gas 0.1798 ppm sampai 0.3596 ppm, ini disebabkan perbedaan konsentrasi gas H2S yang sangat kecil. Tetapi

kurva pada Gambar 9 yang merupakan perbesaran dari Gambar 8, terlihat adanya perbedaan nilai absorbansi yang meningkat seiring dengan penambahan konsentrasi gas H2S.

Penelusuran Literatur dan Penyusunan Proposal

Pembuatan Gel dengan Doping Dye Methyl Violet

Pembuatan Probe Sensor Serat Optik

Pengujian Sensor Serat Optik

Pengolahan dan Analisis Data

Penyusunan Laporan

400 500 600 700 800 900

(11)

 

 

yang besar, karena probe sensor sangat sensitif dan jika mengalami guncangan yang besar, dapat mengakibatkan data yang diambil kurang baik. Setelah semua disiapkan, program pengambilan data dijalankan dengan kondisi probe sensor di luar botol atau belum terkontaminasi gas, lalu setelah kurang lebih 5 detik, probe sensor dimasukkan ke botol pertama yaitu gas dengan konsentrasi terendah dan ditunggu sampai data mencapai kondisi stasioner atau stabil, kemudian probe sensor dikeluarkan lagi dari botol dan ditunggu kembali, selanjutnya probe sensor dimasukkan lagi ke botol kedua, demikian seterusnya sampai botol keempat.

Metode kedua adalah pengujian sensor untuk melihat respon sensor terhadap dua konsentrasi gas H2S yang berbeda, dimana

variasi konsentrasi gas diperoleh dengan mereaksikan FeS dan HCl 0.05 M yang bervariasi volumenya, yaitu 5 ml dan 10 ml, dan ditunggu sampai selesai bereaksi. Botol pertama menghasilkan konsentrasi gas H2S

0.0899 ppm dan botol kedua 0.1798 ppm. Setelah itu, dilakukan karakterisasi untuk melihat respon sensor terhadap kehadiran gas H2S, untuk pengambilan data, program

dijalankan dengan kondisi probe sensor di luar botol atau belum terkontaminasi gas, lalu setelah kurang lebih 5 detik, probe sensor dimasukan ke botol dengan konsentrasi rendah dan terbentuk data respon, kemudian probe sensor dikeluarkan lagi dari botol dan terbentuk data recovery, lalu dimasukkan kembali, hal ini dilakukan sampai didapatkan dua siklus data respon dan recovery. Untuk botol yang kedua (dengan konsentrasi lebih tinggi) dilakukan hal yang sama dan rentang waktu yang sama seperti pada botol pertama. Alur Penelitian

HASIL DAN PEMBAHASAN Absorbansi Probe Sensor terhadap Variasi Konsentrasi Gas H2S

Data nilai absorbansi dengan perbedaan konsentrasi gas H2S yang diperoleh dengan

cara memvariasikan volume HCl terlihat pada Gambar 8, sedangkan pada Gambar 11 adalah data nilai absorbansi dengan perbedaan konsentrasi gas H2S yang diperoleh dengan

cara memvariasikan konsentrasi HCl. Kedua cara ini dapat mengakibatkan perbedaan konsentrasi gas H2S, tetapi pada cara pertama

atau dengan variasi penambahan volume HCl, perbedaan konsentrasi gas H2S yang

dihasilkan sangat kecil sedangkan pada cara kedua perbedaan konsentrasi gas H2S yang

dihasilkan cukup besar.

Dye methyl violet memiliki daya absorbsi atau daya serap cahaya yang besar pada panjang gelombang antara 500 sampai 650 nm, hal ini dapat dilihat pada Gambar 8.

Gambar 8. Absorbansi probe sensor terhadap variasi konsentrasi gas H2S.

Pada Gambar 8, kurva absorbansi meningkat dari rendah ke tinggi seiring dengan penambahan konsentrasi gas H2S yang

dideteksi oleh sensor. Kurva dari terendah ke tertinggi berurutan adalah saat konsentrasi gas H2S yang dikenai pada probe sensor

sebesar 0 ppm, 0.1798 ppm, 0.2697 ppm, dan 0.3596 ppm.

Kurva pada Gambar 8 terlihat berimpit untuk rentang konsentrasi gas 0.1798 ppm sampai 0.3596 ppm, ini disebabkan perbedaan konsentrasi gas H2S yang sangat kecil. Tetapi

kurva pada Gambar 9 yang merupakan perbesaran dari Gambar 8, terlihat adanya perbedaan nilai absorbansi yang meningkat seiring dengan penambahan konsentrasi gas H2S.

Penelusuran Literatur dan Penyusunan Proposal

Pembuatan Gel dengan Doping Dye Methyl Violet

Pembuatan Probe Sensor Serat Optik

Pengujian Sensor Serat Optik

Pengolahan dan Analisis Data

Penyusunan Laporan

400 500 600 700 800 900

(12)

 

 

Gambar 9. Perbesaran absorbansi probe sensor terhadap variasi konsentrasi gas H2S.

Data nilai absorbansi pada panjang gelombang 595.71 nm diplot terhadap variasi konsentrasi gas H2S, dan diperoleh kurva pada

Gambar 10, yaitu kurva sensitifitas probe sensor terhadap konsentrasi gas H2S.

Gambar 10. Kurva sensitifitas probe sensor terhadap konsentrasi gas H2S

Setelah didapatkan tiga buah data tersebut, data di plot dalam garis lurus dan didapatkan persamaan y =0.1279x+2.0845 dan R2=0.9944 yang menunjukkan nilai linieritas cukup tinggi yaitu 0.9944.

Untuk mendapatkan nilai sensitifitas digunakan persamaan

(6)

Dimana S adalah nilai sensitifitas, ∆A adalah selisih absorbansi dan ∆C adalah selisih konsentrasi. Dan didapatkan nilai sensitifitas

. (perhitungan di Lampiran

7). Selain dari perhitungan tersebut, nilai sensitifitas juga terlihat dari persamaan yang

terdapat di kurva, y= 0.1279x+2.0845, dimana nilai gradiennya merupakan nilai sensitifitas sensor.

Hasil ini menunjukkan dengan perubahan satu satuan ppm dapat mengakibatkan perubahan nilai absorbansi sebesar 0.1279. Hal ini memperlihatkan sensitifitas sensor cukup bagus, karena dengan penambahan konsentrasi gas H2S yang sedikit, dapat

menyebabkan perubahan nilai absorbansi yang cukup besar.

Data pada Gambar 8 dan 11 memperlihatkan bahwa gel kitosan dengan doping dye methyl violet mengalami perubahan sifat optik terhadap gas H2S, yaitu

adanya kenaikan nilai absorbansi terhadap meningkatnya konsentrasi gas H2S dan

pergeseran kurva ke kanan saat konsentrasi gas cukup besar.

Gambar 11. Absorbansi probe sensor terhadap variasi konsentrasi gas H2S dengan rentang

konsentrasi gas yang cukup besar.

Kurva pada Gambar 11 memperlihatkan nilai absorbansi meningkat dengan jelas seiring dengan bertambahnya konsentrasi gas H2S. Kurva dari terendah ke tertinggi

berurutan adalah saat konsentrasi gas H2S

yang dikenai pada serat optik sebesar 0 ppm, 0.1798 ppm, 1.7978 ppm, dan 14.3824 ppm.

Perubahan kurva pada Gambar 8 terlihat berimpit. tetapi perubahan kurva pada Gambar 11 rentangnya cukup jauh dan perbedaannya dapat terlihat jelas. Hal ini diakibatkan karena rentang konsentrasi gas H2S pada Gambar 8

sangat kecil dibandingkan dengan rentang konsentrasi gas H2S pada Gambar 11. Selain

itu, kurva pada gambar 11 juga memperlihatkan bahwa dye methyl violet saat dikenai gas H2S tidak hanya mengalami

perubahan nilai absorbansi yang semakin meningkat, tapi juga mengalami pergeseran ke kanan seiring dengan semakin besarnya 2.05

0.15 0.25 0.35 0.45

absorbansi

konsentrasi gas H2S (ppm)

1

400 500 600 700 800

(13)

 

 

konsentrasi gas H2S, dan sangat terlihat

pergeserannya pada konsentrasi 14.3824 ppm. Pada pengujian dengan konsentrasi 14.3824 ppm didapatkan perubahan warna yang sangat terlihat dari warna biru tua ke hijau muda, kurva yang dihasilkan tersebut bergeser dan tidak lagi mengalami kenaikan nilai absorbansi, hal ini menunjukkan pada konsentrasi gas H2S yang sangat tinggi

cladding tidak dapat lagi mendeteksi dengan baik, dan dari penelitian ini diperoleh informasi bahwa sensor serat optik dengan cladding dye methyl violet cukup baik mendeteksi gas H2S sampai batas konsentrasi

1.7978 ppm.

Respon Time Probe Sensor terhadap Gas H2S

Respon time atau waktu respon adalah waktu yang dibutuhkan probe sensor untuk mencapai kondisi stasioner. Kurva respon time adalah kurva hubungan antara intensitas transmitansi dengan waktu.

Gambar 12. Kurva dinamik respon probe sensor terhadap empat variasi konsentrasi gas H2S.

Kurva dinamik respon probe sensor terhadap empat variasi konsentrasi H2S pada

Gambar 12 memperlihatkan keadaan stasioner yang menurun terhadap kenaikan konsentrasi gas H2S. Empat variasi konsentrasi gas H2S

tersebut yaitu 0.0359 ppm, 0.3596 ppm, 3.5956 ppm, dan 14.3824 ppm.

Intensitas transmitansi (%) menurun setelah diekspos gas H2S. Hasil ini

memperlihatkan bahwa probe sensor yang dilapisi gel chitosan dengan doping dye methyl violet dapat mendeteksi gas H2S.

Kurva juga memperlihatkan adanya kurva recovery dan waktu recovery, kurva recovery adalah kondisi saat H2S lepas dari cladding,

dan Waktu recovery adalah waktu yang

dibutuhkan probe sensor untuk kembali ke kondisi awal.

Pada Gambar 12 dapat terlihat bahwa kurva recovery tidak mencapai kondisi awal dengan sempurna, hal ini dikarenakan perubahan konsentrasi yang terlalu besar sehingga untuk mencapai kondisi awal dengan sempurna dibutuhkan waktu recovery yang sangat lama, sedangkan saat pengambilan data, probe sensor kurang lama didiamkan di luar botol, dan langsung dimasukkan ke botol berikutnya, karena itulah terdapat sisa gas dengan besar konsentrasi sebelumnya pada probe sensor saat probe sensor tersebut direaksikan ke konsentrasi berikutnya. Walaupun demikian sensor sudah menunjukkan sifat yang reversible, yang berarti sensor dapat dipakai berkali-kali.

Gambar 13. Kurva hubungan konsentrasi gas H2S dan intensitas transmitansi.

Data pada Gambar 12 di plot dalam sebuah garis lurus, yaitu nilai intensitas transmitansi saat mencapai kondisi stasioner untuk setiap kurva respon, dan diperoleh kurva pada Gambar 13. Semakin tinggi konsentrasi gas H2S, nilai intensitas

transmitansi semakin menurun. Kurva tersebut juga memperlihatkan nilai linieritas yang cukup tinggi yaitu 0.9863. Dari kurva ini, dengan menggunakan sensor yang telah dibuat dapat diperkirakan besarnya konsentrasi gas H2S dari suatu bahan.

Empat konsentrasi gas yang berbeda, menghasilkan waktu respon yang berbeda juga, dimana definisi waktu respon ditentukan dari waktu interval antara 10 % dan 90 % nilai stasioner [13]. Perbedaan waktu respon empat konsentrasi tersebut dapat dilihat pada Gambar 14(a) - 14(d).

(14)

10 

 

 

Gambar 14(a). Waktu respon pada konsentrasi 0.0359 ppm.

Gambar 14(b). Waktu respon pada konsentrasi 0.3596 ppm.

Gambar 14(c). Waktu respon pada konsentrasi 3.5956 ppm.

Gambar 14(d). Waktu respon pada konsentrasi 14.3824 ppm.

Waktu respon diperoleh dari selisih waktu tepat pada saat grafik akan menurun sampai grafik mulai mencapai kondisi stasioner. Dari perhitungan ini, saat konsentrasi gas H2S

0.0359 ppm, diperoleh waktu respon sebesar 7.9 detik (Gambar 14a), dan berikutnya saat konsentrasi gas 0.3596 ppm, waktu respon 6.7 detik (Gambar 14b), untuk konsentrasi gas 3.5956 ppm, didapatkan waktu respon 5 detik (Gambar 14c), dan terakhir saat konsentrasi gas 14.3824 ppm, didapatkan waktu respon 4.5 detik (Gambar 14d) (perhitungan pada Lampiran 7).

Waktu respon empat konsentrasi gas H2S

memperlihatkan nilai yang semakin menurun seiring dengan semakin besarnya konsentrasi gas, selain itu keempat kurva dari Gambar 14(a) sampai 14(d) memperlihatkan tingkat kecuraman yang meningkat, Kurva 14(a) bentuknya paling landai, dan kurva 14(d) bentuknya paling curam dari kurva yang lainnya. Waktu respon yang semakin menurun dan tingkat kecuraman kurva yang semakin tinggi, menunjukkan semakin besar konsentrasi gas H2S, semakin cepat sensor

mendeteksi gas tersebut.

Waktu respon untuk setiap konsentrasi di plot dan diperoleh kurva pada Gambar 15, yaitu kurva hubungan antara konsentrasi gas H2S dan waktu respon. Kurva mamperlihatkan

bentuk eksponensial negatif, dimana semakin besar konsentrasi gas H2S, waktu respon

semakin menurun, yang berarti semakin besar konsentrasi gas H2S, sensor semakin cepat

mendeteksi gas tersebut. 15

126 136 146 156

in

210 215 220 225 230 235 240

(15)

11 

 

 

Gambar 15. Kurva hubungan konsentrasi gas H2S dan waktu respon.

Gambar 16. Kurva respon probe sensor terhadap dua variasi konsentrasi gas H2S

Data waktu respon juga diukur dengan menguji probe sensor pada konsentrasi H2S

yang tetap. Pengujian dilakukan untuk dua konsentrasi berbeda, yaitu 0.0899 ppm dan 0.1798 ppm. Gambar 16 memperlihatkan perbedaan dua buah data, kurva dengan konsentrasi 0.1798 ppm lebih curam dari kurva dengan konsentrasi 0.0899 ppm. Hasil ini menunjukkan semakin besar konsentrasi gas H2S yang dikenai ke probe sensor,

semakin cepat sensor mendeteksi gas tersebut. Perubahan intensitas transmitansi terhadap waktu, disebabkan karena adanya gas H2S

yang dideteksi oleh probe sensor. Hal ini terjadi karena saat probe sensor yang dilapisi cladding dye methyl violet berinteraksi dengan gas H2S, terjadi perubahan indeks bias. Saat

terkena gas H2S, Indeks bias cladding

meningkat. Peningkatan indeks bias cladding, mengakibatkan peningkatan kedalaman penetrasi (dp) yang meningkatkan intensitas medan evanescent. Peningkatan intensitas

medan evanescent mengakibatkan banyaknya cahaya yang lepas dari serat optik dan semakin sedikit cahaya yang diteruskan, maka didapatkan data berupa kurva respon, yaitu nilai intensitas transmitansi yang menurun. Dan sebaliknya pada saat probe sensor dikeluarkan dari wadah gas, terbentuk kurva recovery, yang menandakan bahwa indeks bias cladding berubah kembali setelah terlepas dari gas H2S dan nilai intensitas transmitansi

kembali ke keadaan awal.

Probe sensor yang dilapisi gel kitosan dengan doping dye methyl violet dapat mendeteksi gas H2S. Semakin tinggi

konsentrasi gas H2S, maka semakin sensitif

sensor mendeteksi gas tersebut. Selain itu, sensor yang dihasilkan menunjukan sifat yang reversible, yang berarti sensor dapat digunakan berkali-kali.

Ketebalan cladding dye methyl violet sebesar 0.005 mm. Nilai ini didapatkan dari pengukuran dengan menggunakan mikrometer sekrup (perhitungan pada Lampiran 7).

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan

Pembuatan sensor serat optik untuk mendeteksi gas Hidrogen Sulfida telah berhasil dibuat dan dikarakterisasi.

Nilai sensitifitas yang diperoleh sebesar

. , dimana perubahan satu

satuan ppm dapat mengakibatkan perubahan nilai absorbansi sebesar 0.1279, ini memperlihatkan sensitivitas sensor cukup bagus, karena dengan penambahan konsentrasi gas H2S yang sedikit, dapat

menyebabkan perubahan nilai absorbansi yang cukup besar.

Rentang konsentrasi gas H2S yang dapat

dideteksi oleh sensor adalah sampai 1.7978 ppm. Selain itu, juga diketahui bahwa sensor serat optik dengan cladding pengganti lapisan gel kitosan dengan doping dye methyl violet memiliki sifat yang reversible, sehingga sensor dapat dipakai berkali-kali.

Saran

(16)

11 

 

 

Gambar 15. Kurva hubungan konsentrasi gas H2S dan waktu respon.

Gambar 16. Kurva respon probe sensor terhadap dua variasi konsentrasi gas H2S

Data waktu respon juga diukur dengan menguji probe sensor pada konsentrasi H2S

yang tetap. Pengujian dilakukan untuk dua konsentrasi berbeda, yaitu 0.0899 ppm dan 0.1798 ppm. Gambar 16 memperlihatkan perbedaan dua buah data, kurva dengan konsentrasi 0.1798 ppm lebih curam dari kurva dengan konsentrasi 0.0899 ppm. Hasil ini menunjukkan semakin besar konsentrasi gas H2S yang dikenai ke probe sensor,

semakin cepat sensor mendeteksi gas tersebut. Perubahan intensitas transmitansi terhadap waktu, disebabkan karena adanya gas H2S

yang dideteksi oleh probe sensor. Hal ini terjadi karena saat probe sensor yang dilapisi cladding dye methyl violet berinteraksi dengan gas H2S, terjadi perubahan indeks bias. Saat

terkena gas H2S, Indeks bias cladding

meningkat. Peningkatan indeks bias cladding, mengakibatkan peningkatan kedalaman penetrasi (dp) yang meningkatkan intensitas medan evanescent. Peningkatan intensitas

medan evanescent mengakibatkan banyaknya cahaya yang lepas dari serat optik dan semakin sedikit cahaya yang diteruskan, maka didapatkan data berupa kurva respon, yaitu nilai intensitas transmitansi yang menurun. Dan sebaliknya pada saat probe sensor dikeluarkan dari wadah gas, terbentuk kurva recovery, yang menandakan bahwa indeks bias cladding berubah kembali setelah terlepas dari gas H2S dan nilai intensitas transmitansi

kembali ke keadaan awal.

Probe sensor yang dilapisi gel kitosan dengan doping dye methyl violet dapat mendeteksi gas H2S. Semakin tinggi

konsentrasi gas H2S, maka semakin sensitif

sensor mendeteksi gas tersebut. Selain itu, sensor yang dihasilkan menunjukan sifat yang reversible, yang berarti sensor dapat digunakan berkali-kali.

Ketebalan cladding dye methyl violet sebesar 0.005 mm. Nilai ini didapatkan dari pengukuran dengan menggunakan mikrometer sekrup (perhitungan pada Lampiran 7).

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan

Pembuatan sensor serat optik untuk mendeteksi gas Hidrogen Sulfida telah berhasil dibuat dan dikarakterisasi.

Nilai sensitifitas yang diperoleh sebesar

. , dimana perubahan satu

satuan ppm dapat mengakibatkan perubahan nilai absorbansi sebesar 0.1279, ini memperlihatkan sensitivitas sensor cukup bagus, karena dengan penambahan konsentrasi gas H2S yang sedikit, dapat

menyebabkan perubahan nilai absorbansi yang cukup besar.

Rentang konsentrasi gas H2S yang dapat

dideteksi oleh sensor adalah sampai 1.7978 ppm. Selain itu, juga diketahui bahwa sensor serat optik dengan cladding pengganti lapisan gel kitosan dengan doping dye methyl violet memiliki sifat yang reversible, sehingga sensor dapat dipakai berkali-kali.

Saran

(17)

PEMBUATAN SENSOR SERAT OPTIK DENGAN

CLADDING DYE

METHYL VIOLET

UNTUK MENDETEKSI GAS HIDROGEN SULFIDA

LILIANA ADIA K

DEPATEMEN FISIKA

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(18)

12 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

[1] Jauhari, A. 2008. Mewaspadai Racun

H2S yang Mematikan. 

http://enviroreview.blogspot.com/2008/0 9/kpw-menaruh-harapan-dan

kepercayaan.html (20 Oktober 2009). [2] Achmad, R. 2004. Kimia Lingkungan.

Jakarta: Andi Yogyakarta.

[3] Cotton, FA. Wilkinson. 1989. Kimia Anorganik Dasar. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia.

[4] Sistem Komunikasi Serat Optik. Elektron nomor 5 tahun I, April 2000. Elektro Online.

www.elektroindonesia.com/elektro/el04 00b.html. (23 Maret 2009)

[5] Rambe, AM. 2003. Penggunaan Serat Optik Plastik Sebagai Media Transmisi untuk Alat Ukur Temperatur Jarak Jauh. Teknik Kimia Fakultas Teknik Universitas Sumatera Utara: USU digital library.

[6] Freudenrich, C. 2008. How Fiber Optics Work. HowStuffWorks, Inc. http://electronics.howstuffworks.com/fib er-optic6.htm. (3 November 2009) [7] Modjahidin, K. 2005. Sensor Serat Optik

untuk Mengukur Kelembaban (RH) dengan Metode Absorpsi Gelombang Evanescent pada Cladding Gelatin. [Skripsi]. Bogor: Institut Pertanian Bogor.

[8] Maddu, A. 2008. Pedoman Praktikum Eksperimen Fisika II. Bogor, Laboratorium Fisika Lanjut, Departemen Fisika, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor.

[9] Teknologi Serat Optik. Nomor 30, Tahun VI, April 2000. Elektro Indonesia. www.elektroindonesia.com/elektro/ut30. html. (23 Maret 2009)

[10] Muhsin, A. 2005. Sensor Fiber Optik untuk Mengukur pH dengan Metode Absorpsi Gelombang Evanescent Menggunakan Methylene Blue. [Skripsi]. Bogor: Institut Pertanian Bogor.

[11] Maddu, A. 2008. Nanoserat Polianilin sebagai Cladding Termodifikasi pada Sensor Serat Optik untuk Deteksi Uap Aseton. Jurnal Sains Materi Indonesia. 3:220-225.

[12] Afkhami, A ; Sarlak, N. 2006. Design and Characteristics of Sulfide and Sulfite Optode Based on Immobilization Methyl Violet on a Triacetylcellulose

Membrane. Sensors and Actuator B. 124:285-289.

[13] Noor, UM ; Uttamchandani, D. 1997. Sol-Gel Derived Thin Films for Hydrogen Sulphide Gas Sensing. Journal of Sol-Gel Science and Technology. 11:177-183.

[14] Gaikwad, P. 2003. Chemically Deposited Optical Fiber Humidity Sensor. Faculty of Mississippi State University in Departement of Electrical and Computer Engineering Mississippi state, Mississippi.

[15] Donlagic, Denis. 2000. Fiber Optic Sensors: An Introduction and Overview. University of Maribor.

(19)

PEMBUATAN SENSOR SERAT OPTIK DENGAN

CLADDING DYE

METHYL VIOLET

UNTUK MENDETEKSI GAS HIDROGEN SULFIDA

LILIANA ADIA K

DEPATEMEN FISIKA

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(20)

ABSTRAK

LILIANA ADIA K. Pembuatan Sensor Serat Optik dengan Cladding Dye Methyl Violet untuk Mendeteksi Gas Hidrogen Sulfida. Dibimbing oleh AKHIRUDDIN MADDU dan IRMANSYAH.

Serat optik adalah salah satu media transmisi yang dapat menyalurkan informasi dengan kapasitas besar dengan keandalan yang tinggi. Karena itu, serat optik banyak dimanfaatkan sebagai sensor. Penelitian ini dibuat untuk mendeteksi gas hidrogen sulfida (H2S). Gas H2S

merupakan gas yang berbahaya bagi lingkungan. Gas ini pada konsentrasi 500 ppm, dapat menyebabkan kematian pada manusia. Tidak hanya pada manusia, gas ini juga berbahaya bagi tanaman dan bangunan yang bahan-bahannya seperti batu kapur, batu pualam, dan dolomit. Pada penelitian ini, probe sensor dibuat dengan mengganti cladding serat optik dengan gel yang didoping dye methyl violet. Probe sensor yang dikenai gas H2S diberi sinar masukan dari sumber

sinar dan diterima oleh sensor cahaya. Data yang dihasilkan berupa kurva respon time sensor serat optik terhadap gas H2S. Semakin tinggi konsentrasi gas H2S yang dihasilkan maka semakin cepat

sensor merespon gas tersebut.

(21)

PEMBUATAN SENSOR SERAT OPTIK DENGAN

CLADDING DYE

METHYL VIOLET

UNTUK MENDETEKSI GAS HIDROGEN SULFIDA

LILIANA ADIA K

G74050978

Skripsi

Sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Sains

pada

Departemen Fisika

DEPARTEMEN FISIKA

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(22)

Judul : Pembuatan Sensor Serat Optik dengan

Cladding Dye Methyl Violet

untuk

Mendeteksi Gas Hidrogen Sulfida

Nama : Liliana Adia K

NIM : G74050978

Menyetujui:

Pembimbing I,

Pembimbing II,

(Dr. Akhirudin Maddu)

(Dr. Ir. Irmansyah, M.Si)

NIP 19660907 199802 1 006

NIP 19680916 199403 1 001

Mengetahui:

Ketua Departemen Fisika,

(Dr. Ir. Irzaman, M.Si)

NIP 19630708 199512 1 001

(23)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Depok pada tanggal 28 Maret 1987 sebagai anak kedua dari tiga bersaudara, anak dari pasangan Paulus Tanto Saputro dan Lidia Dewi Anggraini.

Penulis memulai pendidikan di taman kanak-kanak PSKD KWT VIII Depok, kemudian melanjutkan di pendidikan dasar di SD PSKD KWT VIII Depok dan pendidikan menengah pertama di SMP Negeri 2 Depok. Pada tahun 2005, penulis menyelesaikan pendidikan sekolah menengah umum di SMA Mardi Yuana Depok, dan pada tahun yang sama melanjutkan pendidikan ke Institut Pertanian Bogor melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB). Di IPB penulis diterima di Departemen Fisika, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam.

Selama mengikuti perkuliahan, Penulis pernah menjadi panitia Pesta Sains IPB pada tahun 2006, mengikuti Seminar Nasional Sains pada tahun 2009, aktif dalam organisasi Persekutuan Mahasiswa Kristen (PMK) IPB dan dalam Komisi Pelayanan Anak PMK IPB. Pada tahun 2007/2008 menjadi Wakil Ketua I Komisi Pelayanan Anak PMK IPB.

(24)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena dengan Rahmat dan kebaikanNya, penulis dapat menyelesaikan tugas akhir dengan judul Pembuatan Sensor Serat Optik dengan Cladding Dye Methyl Violet untuk Mendeteksi Gas Hidrogen Sulfida.

Skripsi ini bisa terwujud tidak lepas dari bimbingan dan bantuan beberapa pihak, pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Bapak Dr. Akhiruddin Maddu, selaku dosen pembimbing pertama dan Bapak Dr. Ir. Irmansyah, M.Si, selaku dosen pembimbing kedua atas bimbingan dan masukannya bagi penulis dalam menyelesaikan skripsi, serta untuk kesabaran dan kesediaannya untuk selalu membantu penulis.

2. Bapak Faozan Ahmad, M.Si dan Bapak Ardian Arif, M.Si, selaku dosen penguji atas dukungan, masukan dan saran-sarannya yang sangat membantu penulis dalam perbaikan skripsi.

3. Keluarga yang selalu memberi dukungan moral dan materi, untuk mama, papa, kakak (Yudit) dan adik (Ramon) yang setia memberi kekuatan, perhatian, dan bantuan untuk semua hal yang penulis butuhkan.

4. Drs. M.N. Indro, M.Sc, selaku Komisi Pendidikan Departemen Fisika FMIPA IPB yang telah memberi perhatian dan semangat dalam menyelesaikan skripsi.

5. Pak Firman selaku TU Fisika atas kebaikan, perhatian dan bantuannya kepada penulis. 6. Pak Yani atas bantuannya dalam pembuatan alat.

7. Tumpal Hamonangan atas kesabaran dan kesetiaannya untuk selalu memberi bantuan, semangat serta perhatian pada penulis.

8. Teman-teman Fisika angkatan 42 (Jessi, Mena, Nani, Neneng, Ais, Ario, Rizal, Amel, Faiz, Deni, Nita and all) yang memberi dukungan dan semangat selama kuliah dan terutama saat penulis menjalani penelitian.

9. Teman-teman kostan Perwira 44 (Icha, Putri, Desi, Chacha, Winda, Agnes) yang menyemangati penulis untuk cepat menyelesaikan skripsi.

10.Kakak-kakak dan adik-adik kelas dari jurusan Fisika ataupun dari jurusan lain yang senantiasa memberi dukungan moral dan doa.

11.Teman-teman dari Komisi Pelayanan Anak dan PMK IPB yang selalu mendoakan penulis dan senantiasa menyemangati penulis untuk menyelesaikan skripsi.

Penulis menyadari banyak sekali kekurangan dalam skripsi ini, dan penulis berterima kasih akan saran dan kritik yang membangun dari para pembaca. Semoga penelitian ini dapat bermanfaat.

Bogor, Desember 2009

(Liliana Adia K)

   

(25)

 

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI ... i DAFTAR GAMBAR ... ii DAFTAR LAMPIRAN ... ii PENDAHULUAN ... 1 Latar Belakang ... 1 Tujuan Penelitian ... 1 TINJAUAN PUSTAKA ... 1 Hidrogen Sulfida ... 1 Serat Optik ... 2 Gelombang Evanescent... 4 Sensor Serat Optik ... 4 Dye Methyl Violet ... 5 BAHAN DAN METODE ... 5 Tempat dan Waktu Penelitian ... 5 Bahan dan Alat ... 5 Metode Penelitian ... 5

Pembuatan gel ... 5 Pembuatan probe sensor serat optik ... 5 Pengujian sensor serat optik terhadap gas H2S

untuk melihat nilai absorbansi ... 5 Pengujian sensor serat optik untuk melihat

respon sensor terhadap gas H2S ... 6

Alur Penelitian ... 7 HASIL DAN PEMBAHASAN ... 7 Absorbansi Probe Sensor terhadap Variasi Konsentrasi Gas H2S ... 7

Respon Time Probe Sensor terhadap Gas H2S ... 9

KESIMPULAN DAN SARAN ... 11 Kesimpulan ... 11 Saran ... 11 DAFTAR PUSTAKA ... 12 LAMPIRAN ... 13

(26)

 

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Struktur serat optik ... 2 Gambar 2. Pemantulan Internal Total ... 2 Gambar 3. Jenis-Jenis Serat Optik ... 3 Gambar 4. Gelombang evanescent ... 4 Gambar 5. Struktur kimia methyl violet ... 5 Gambar 6. Set up pengujian sensor serat optik untuk melihat nilai absorbansi... 6 Gambar 7. Set up pengujian sensor serat optik untuk melihat respon time ... 6 Gambar 8. Absorbansi probe sensor terhadap variasi konsentrasi gas H2S ... 7

Gambar 9. Perbesaran absorbansi probe sensor terhadap variasi konsentrasi gas H2S ... 8

Gambar 10. Kurva sensitifitas probe sensor terhadap konsentrasi gas H2S ... 8

Gambar 11. Absorbansi probe sensor terhadap variasi konsentrasi gas H2S

dengan rentang konsentrasi gas yang cukup besar ... 8 Gambar 12. Kurva dinamik respon probe sensor terhadap empat variasi konsentrasi gas H2S . 9

Gambar 13. Kurva hubungan konsentrasi gas H2S dan intensitas transmitansi ... 9

Gambar 14(a). Waktu respon pada konsentrasi 0.0359 ppm ... 10 Gambar 14(b). Waktu respon pada konsentrasi 0.3596 ppm ... 10 Gambar 14(c). Waktu respon pada konsentrasi 3.5956 ppm ... 10 Gambar 14(d). Waktu respon pada konsentrasi 14.3824 ppm ... 10 Gambar 15. Kurva hubungan konsentrasi gas H2S dan waktu respon ... 11

Gambar 16. Kurva respon probe sensor terhadap dua variasi konsentrasi gas H2S ... 11

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Alat-alat yang digunakan ... 13 Lampiran 2. Data absorbansi probe sensor terhadap variasi konsentrasi gas H2S ... 14

Lampiran 3. Data absorbansi probe sensor terhadap variasi konsentrasi gas H2S

dengan rentang konsentrasi gas yang cukup besar. ... 20 Lampiran 4. Data respon probe sensor terhadap konsentrasi gas H2S

yang didapatkan dengan penambahan HCl 0.05M sebanyak 5 ml ... 26 Lampiran 5. Data respon probe sensor terhadap konsentrasi gas H2S

yang didapatkan dengan penambahan HCl 0.05M sebanyak 10 ml ... 28 Lampiran 6. Perhitungan konsentrasi gas H2S ... 30

Lampiran 7. Data kurva sensitifitas, perhitungan nilai sensitifitas, perhitungan waktu respon probe sensor terhadap konsentrasi gas H2S, dan perhitungan

ketebalan cladding dye methyl violet ... 31

           

(27)

 

 

PENDAHULUAN Latar Belakang

Hidrogen Sulfida (H2S), adalah gas

beracun yang sangat berbahaya. Dalam waktu singkat gas ini dapat melumpuhkan sistem pernafasan dan dapat mematikan seseorang yang menghirupnya. Pada konsentrasi rendah, H2S memiliki bau seperti telur busuk, namun

pada konsentrasi tinggi, bau telur busuk tidak tercium lagi, karena secara cepat gas H2S

melumpuhkan sistem syaraf dan mematikan indera penciuman [1].

Pada dasarnya semua sulfur yang memasuki atmosfer diubah dalam bentuk SO2,

dimana SO2 sangat berbahaya karena

langsung dapat meracuni makhluk di sekitarnya, dapat mengakibatkan iritasi saluran pernafasan dan kenaikan rekresi mucus. Orang yang mempunyai pernafasan lemah sangat peka terhadap kandungan SO2

yang tinggi di atmosfer. Dengan konsentrasi 500 ppm, dapat menyebabkan kematian pada manusia [2].

Karena adanya kesadaran akan bahaya gas tersebut, maka banyak penelitian yang dilakukan untuk mendeteksi keberadaan gas H2S, salah satunya dengan menggunakan serat

optik. Beberapa tahun terakhir ini, serat optik berkembang dan dimanfaatkan sebagai sensor, diantaranya adalah sensor gas.

Pada penelitian kali ini akan digunakan dye methyl violet sebagai cladding sensitif untuk mendeteksi keberadaan gas H2S.

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk membuat sensor serat optik yang digunakan untuk mendeteksi keberadaan gas H2S.

TINJAUAN PUSTAKA Hidrogen Sulfida

Hidrogen sulfida (H2S), dihasilkan dari

proses pembusukan bahan-bahan organik yang mengandung belerang oleh bakteri anaerob, juga sebagai hasil reduksi dengan kondisi anaerob terhadap sulfat oleh mikroorganisme dan sebagai salah satu bahan pencemar gas yang dikeluarkan dari air panas bumi [2].

Belerang terdapat secara luas di alam sebagai unsur, sebagai H2S dan SO2, dalam

bijih sulfida logam dan sebagai sulfat seperti

gips dan anhidrit (CaSO4), magnesium sulfat,

dan sebagainya [3].

Belerang dapat ditemukan dengan cukup mudah, salah satunya di dalam air. Secara umum sebagian besar belerang yang terdapat dalam air adalah S (IV) dalam ion sulfat, SO42-. Dalam kondisi anaerobik SO42- dapat

direduksi oleh aktifitas bakteri menjadi H2S,

HS-, atau garam sulfid yang tidak larut. Gas H2S yang dihasilkan dari reduksi sulfat

tersebut menyebabkan bau “telur busuk” yang dikeluarkan oleh air yang tergenang dan air-air tanah [2].

Gas H2S juga terdapat di atmosfer.

Sejumlah bahan pencemar anorganik berbentuk gas masuk ke atmosfer sebagai hasil dari aktifitas manusia, salah satunya adalah H2S, yang jumlahnya relatif kecil jika

dibandingkan gas CO2 dalam atmosfer. Secara

global senyawa-senyawa belerang dalam jumlah cukup besar masuk ke atmosfer melalui aktivitas manusia sekitar 100 juta metrik ton belerang setiap tahunnya, terutama sebagai SO2 dari pembakaran batu bara dan

gas buang pembakaran bensin. Jumlah yang cukup besar dari senyawa belerang juga dihasilkan oleh kegiatan gunung berapi dalam bentuk H2S, proses perombakan bahan

organik, dan reduksi sulfat secara biologis. Jumlah yang dihasilkan dari proses biologis ini dapat mencapai kurang lebih 1 juta metrik ton H2S per tahun.

Pada dasarnya semua sulfur yang memasuki atmosfer diubah dalam bentuk SO2,

dan hanya 1% atau 2% saja sebagai SO3. SO2

sangat berbahaya karena langsung dapat meracuni makhluk di sekitarnya, dapat mengakibatkan iritasi saluran pernafasan dan kenaikan rekresi mucus. Orang yang mempunyai pernafasan lemah sangat peka terhadap kandungan SO2 yang tinggi di

atmosfer. Dengan konsentrasi 500 ppm, dapat menyebabkan kematian pada manusia. Tidak hanya pada manusia, belerang dioksida juga berbahaya bagi tanaman, karena adanya gas ini dengan konsentrasi yang tinggi dapat membunuh jaringan pada daun (necrosis daun). Kerusakan lebih lanjut dialami oleh bangunan yang bahan-bahannya seperti batu kapur, batu pualam, dan dolomit akan rusak oleh SO2 dari udara. Efek dari kerusakan ini

akan nampak dari penampilannya, integritas struktur, dan umur dari gedung tersebut [2]. Peralatan metal juga dapat retak karena H2S,

hal ini disebabkan metal menderita tingkat tarikan yang tinggi di daerah korosif H2S.

hampir semua metal berekasi dengan H2S dan

(28)

 

 

menimbulkan terjadinya kerusakan pada peralatan yang terbuat dari metal, kerusakan pada pipa dapat menyebabkan pipa patah secara mendadak [1].

Hidrogen Sulfida (H2S), adalah gas

beracun yang sangat berbahaya. Dalam waktu singkat gas ini dapat melumpuhkan sistem pernafasan dan dapat mematikan seseorang yang menghirupnya. Pada konsentrasi rendah, H2S memiliki bau seperti telur busuk, namun

pada konsentrasi tinggi, bau telur busuk tidak tercium lagi, karena secara cepat gas H2S

melumpuhkan sistem syaraf dan mematikan indera penciuman.

Gas H2S bersifat ekstrim racun yang

menempati kedudukan kedua setelah hidrogen sianida (HCN), dan sekitar lima kali lebih beracun dari karbon monoksida (CO). Gas H2S sangat berbahaya jika terhirup masuk ke

saluran pernafasan. Jika jumlah gas H2S yang

terserap ke dalam sistem peredaran darah melampaui kemampuan oksidasi dalam darah, akan menimbulkan keracunan terhadap sistem syaraf. Setelah itu dengan segera diikuti terjadinya sesak nafas dan kelumpuhan pernafasan, pada konsentrasi tinggi. Jika penderita tidak segera dipindahkan ke ruangan berudara segar dan diberikan bantuan pernafasan maka akan segera terjadi kematian akibat kelemasan. Pengaruh gas H2S pada

konsentrasi rendah mengakibatkan terjadinya gejala pusing, mual, rasa melayang, batuk-batuk, gelisah, mengantuk, rasa kering, serta nyeri di hidung, tenggorokan, dan dada. Gas H2S pada konsentrasi rendah

(0,025-25 ppm) akan tercium seperti bau telur busuk yang memberikan peringatan kepada seseorang yang berada di lingkungan tersebut untuk segera lari meninggalkan tempat tersebut dan segera menggunakan alat bantu pernafasan. Karena jika konsentrasi gas H2S

terus meningkat di atas 25 ppm akan dapat mematikan indera penciuman dan korban mulai tidak sadarkan diri [1].

Serat optik

Serat optik adalah salah satu media transmisi yang dapat menyalurkan informasi dengan kapasitas besar dengan keandalan yang tinggi. Berlainan dengan media transmisi lainnya, pada serat optik sinyal pembawanya bukan sinyal listrik, akan tetapi berupa gelombang optik [4].

Struktur serat optik terdiri dari inti (core) silinder dari bahan kaca atau plastik, mantel (cladding), dan bahan pelindung berupa jaket (coating).

Gambar 1. Struktur serat optik

Serat optik menggunakan cahaya untuk mengirimkan informasi (data) dan merupakan teknologi baru yang menawarkan kecepatan pengiriman data dan kapasitas yang lebih besar sepanjang jarak yang lebih jauh dengan harga yang lebih rendah daripada sistem kawat tembaga. Cahaya yang membawa informasi dipandu melalui serat optik berdasarkan fenomena total internal reflection (Pantulan Internal Total).

Pantulan internal total terjadi pada bidang batas antara dua media dengan indeks bias yang berbeda yaitu n1 dan n2. Hubungan

antara sudut datang i1 dan sudut bias i2

terhadap indeks bias dielektrik dinyatakan oleh hukum Snell: [5]

(1)

Pada salah satu sudut datang tertentu, cahaya akan dibiaskan sepanjang permukaan kedua medium, sudut inilah yang dinamakan dengan sudut kritis.

Nilai sudut kritis diberikan oleh:

sin (2)

Dan ketika sudut datang lebih besar dari sudut kritis, sinar yang dibiaskan akan dipantulkan sepenuhnya kembali ke medium pertama (pantulan internal total) [6].

(29)

 

 

mempunyai indeks bias lebih besar dari indeks bias cladding, sehingga ketika gelombang optik memasuki inti pada sudut lebih besar dari sudut kritis. Gelombang optik akan mengalami pemantulan total secara berulang-ulang di dalam inti serat [7].

Salah satu parameter penting dalam serat optik adalah Numerical Aperture (NA) yang didefinisikan sebagai sinus sudut terbesar sebuah sinar datang yang dapat mengalami pemantulan internal total di dalam inti serat optik. NA adalah ukuran kemampuan memandu cahaya dari sebuah serat optik. Nilai NA dapat ditentukan dengan mengukur sudut divergen kerucut cahaya ruang yang dapat memasuki inti dan menjalar sepanjang serat optik, dirumuskan sebagai

(3) dimana n1 adalah indeks inti dan n2 adalah

indeks refraksi cladding. Sudut penerimaan penuh adalah 2α [8].

Serat optik dapat diklasifikasikan menjadi dua jenis berdasarkan sebaran (distribusi) indeks bias inti, yaitu:

1. Serat Optik Gradded Index (GRIN), mempunyai indeks bias inti yang bervariasi secara parabolik dengan indeks maksimum pada sumbu inti dan mengecil ke arah bidang batas inti-cladding. Penjalaran sinarnya tidak lurus tapi melengkung akibat pembiasan yang terjadi di dalam inti membentuk lintasan parabolik.

2. Serat optik step index, mempunyai indeks bias yang konstan di semua bagian inti yang lebih besar daripada indeks cladding sehingga membentuk tangga (step) pada batas inti-cladding. Penjalaran sinar dalam inti lurus karena tidak ada variasi indeks bias inti [8].

Sedangkan berdasarkan sifat karakteristiknya jenis serat optik secara garis besar dapat dibagi menjadi 2 yaitu :

1. Multimoda

Pada jenis serat optik ini penjalaran cahaya dari satu ujung ke ujung lainnya terjadi melalui beberapa lintasan cahaya, karena itu disebut multimoda.

Sedangkan berdasarkan sebaran indeks biasnya serat optik multimoda memiliki dua profil yaitu graded index (Gambar 3B) dan step index (Gambar 3A). Pada graded index, serat optik mempunyai indeks bias cahaya yang merupakan fungsi dari jarak terhadap sumbu/poros serat optik. Dengan demikian cahaya yang menjalar melalui beberapa lintasan pada akhirnya akan sampai pada

ujung lainnya pada waktu yang bersamaan. Berlainan dengan graded index, maka pada serat optik step index sinar yang menjalar pada sumbu akan sampai pada ujung lainnya dahulu. Hal ini dapat terjadi karena lintasan yang melalui poros lebih pendek dibandingkan sinar yang mengalami pemantulan pada dinding serat optik. Sebagai hasilnya terjadi pelebaran pulsa atau dengan kata lain mengurangi lebar bidang frekuensi.

Oleh karena itu secara praktis hanya serat optik graded index sajalah yang dipergunakan sebagai saluran transmisi serat optik multimoda [4].

2. Singlemoda

Serat optik singlemoda atau monomoda mempunyai diameter inti (core) yang sangat kecil 3 – 10 mm, sehingga hanya satu berkas cahaya saja yang dapat melaluinya. Oleh karena hanya satu berkas cahaya maka tidak ada pengaruh indeks bias terhadap perjalanan cahaya atau pengaruh perbedaan waktu sampainya cahaya dari ujung satu ke ujung yang lainnya, dengan demikian serat optik singlemoda sering dipergunakan pada sistem transmisi serat optik jarak jauh atau luar kota [4].

Serat optik singlemoda hanya memiliki satu profil yaitu step index (Gambar 3C).

(30)

 

 

disebutkan di atas, serat optik juga mempunyai beberapa kelemahan di antaranya yaitu, sulit membuat terminal pada kabel serat, penyambungan serat harus menggunakan teknik dan ketelitian yang tinggi [9].

Gelombang evanescent

Saat berkas cahaya berpropagasi sepanjang serat optik, medan elektromagnetik tidak mendadak jatuh ke nol pada bidang batas core-cladding, namun sebagian kecil menembus cladding dan meluruh cepat dalam arah tegak lurus bidang batas. Medan ini dikenal dengan medan evanescent.

Gambar 4. Gelombang evanescent

Intensitas medan ini meluruh secara eksponensial terhadap jarak tegak lurus (z) bidang batas menurut persamaan

(4)

Dengan I0 adalah intensitas radiasi datang, dan

dp adalah kedalaman penetrasi.

Kedalaman yang bisa dicapai oleh gelombang evanescent (kedalaman penetrasi) adalah

(5)

Dengan n adalah n2 dibagi dengan n1 [10].

Peningkatan indeks bias cladding akan meningkatkan kedalaman penetrasi, sehingga intensitas medan evanescent akan meningkat. Berdasarkan hal ini dikembangkan sistem sensor serat optik berbasis absorpsi medan evanescent dengan mengganti cladding asli serat optik dengan bahan yang mengalami sifat optik terhadap gangguan yang diberikan [11].

Sensor serat optik

Sensor adalah sesuatu yang digunakan untuk mendeteksi adanya perubahan lingkungan fisik atau kimia. Pada saat ini, sensor telah dibuat dengan ukuran sangat kecil dengan orde nanometer. Ukuran yang sangat

kecil ini sangat memudahkan pemakaian dan menghemat energi.

Ada dua jenis sensor yang kita kenal, yaitu sensor fisika dan sensor kimia. Sensor fisika mendeteksi suatu besaran berdasarkan hukum-hukum fisika. Contoh sensor fisika adalah sensor cahaya, sensor suara, sensor gaya, sensor kecepatan, sensor percepatan, dan sensor suhu. Sedangkan Sensor kimia mendeteksi jumlah suatu zat kimia dengan cara mengubah besaran kimia menjadi besaran listrik. Biasanya melibatkan beberapa reaksi kimia. Contoh sensor kimia adalah Sensor pH, sensor oksigen, sensor ledakan, dan sensor gas.

Perkembangan sensor optik dalam analisis kimiawi sangat menarik karena kemungkinan aplikasinya di biologi, bioteknologi dan ekologi dan karena keuntungan-keuntungan yang didapatkan dari serat optik [12]. Perkembangan sensor optik kimia, terutama sensor gas telah menarik perhatian secara global seiring dengan peningkatan kesadaran akan kebutuhan dalam memonitor polusi udara terutama yang mengandung racun, misalnya karbon monoksida, karbon dioksida, nitrogen oksida, hidrogen sulfida, dll [13]. Teknologi sensor serat optik mulai berkembang tahun 1960 ketika laser dan serat optik dikenal. Setelah itu, dilakukan banyak penelitian secara khusus mengenai hal tersebut karena adanya beberapa kelebihan sensor serat optik dibandingkan dengan sensor biasa, diantaranya adalah ketelitian dan sensitifitasnya, lebih mudah dalam menghantarkan sinyal, dapat digunakan dengan resiko bahaya yang kecil, dan masih banyak keuntungan yang lainnya. Sensor serat optik di kategorikan dalam tiga bagian: sensor intensitas, sensor polarimetrik, dan sensor interferometrik [14].

Sensor serat optik merupakan piranti yang dapat mengukur perubahan modulasi cahaya yang terpandukan akibat adanya gangguan-gangguan, baik intrinsik maupun ekstrinsik [15]. Sensor serat optik intrinsik adalah sensor yang mengukur perubahan penjalaran gelombang yang disebabkan gangguan dari dalam serat optik, seperti perubahan indeks bias pada cladding, adanya kisi core, dan lain-lain. Sedangkan sensor serat optik ekstrinsik adalah sensor yang mengukur perubahan penjalaran gelombang yang disebabkan gangguan dari lingkungan, seperti cahaya yang masuk ke dalam serat selain sumber cahaya [14].

(31)

  e methyl viole elapisan dilak didoping dye m

Gambar

Gambar 2. Pemantulan Internal Total
Gambar 3. Jenis-jenis Serat Optik
Gambar 7. Set up pengujian sensor serat optik untuk melihat respon sensor.
Gambar 8. Absorbansi probe sensor terhadap variasi konsentrasi gas H2S.
+7

Referensi

Dokumen terkait

Di sekolah dikembangkan dengan upaya pengkondisian atau perencanaan sejak awal tahun pelajaran, dan dimasukkan ke Kalender Akademik dan yang dilakukan sehari-hari sebagai bagian

Road Map Reformasi Birokrasi Tahun 2015 - 2019 10 Sebagai bagian Penerapan Manajemen Kinerja yang lebih baik, telah dilakukan sosialisasi dan internalisasi serta

Kegiatan Pemeliharaan Rutin/Berkala Peralatan Kantor dan Rumah Tangga Sekretariat Dinas Bina Marga dan BPT : Rp.. Kegiatan Pengadaan Pakaian Dinas beserta

Hal ini sesuai dengan pendapat Langga (2016) yang menjelaskan bahwa model latihan merupakan suatu program yang dibuat oleh pelatih secara terperinci sesuai

Hasil penelitian dan pembahasan tentang faktor-faktor yang berperan terhadap motivasi belajar mahasiswa di Akademi Keperawatan Manggala Husada Jakarta, dapat disimpulkan

Maka, berdasarkan pengujian hipotesis yang telah dilakukan di atas, menyatakan t hitung berada dalam daerah penolakan Ho atau dengan kata lain bahwa Motivasi

Saya merasa kurang senang jika melihat teman yang menangis dia. dalam kelas

Namun, berdasarkan ukuran partisipasi jenis kuantitatif Ife (2008), yang mempengaruhi sikap dan perilaku petani dalam pelaksanaan program pertanian organik adalah bahwa