• Tidak ada hasil yang ditemukan

Karung Goni Sebagai Alternatif Pengganti Terumbu Karang Dalam Pengoperasian Bubu Tambun di Perairan Pulau Karang Beras, Kepulauan Seribu

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Karung Goni Sebagai Alternatif Pengganti Terumbu Karang Dalam Pengoperasian Bubu Tambun di Perairan Pulau Karang Beras, Kepulauan Seribu"

Copied!
131
0
0

Teks penuh

(1)

BUBU TAMBUN DI PERAIRAN PULAU KARANG BERAS,

KEPULAUAN SERIBU

R. NUGROHO BAYU SANTOSO

MAYOR TEKNOLOGI DAN MANAJEMEN PERIKANAN TANGKAP DEPARTEMEN PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN

FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

KARUNG GONI SEBAGAI ALTERNATIF PENGGANTI

TERUMBU KARANG DALAM PENGOPERASIAN

BUBU TAMBUN DI PERAIRAN PULAU KARANG BERAS

KEPULAUAN SERIBU

R. NUGROHO BAYU SANTOSO

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada

Departemen Pemanfatan Sumberdaya Perikanan

MAYOR TEKNOLOGI DAN MANAJEMEN PERIKANAN TANGKAP DEPARTEMEN PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN

FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(3)

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul “Karung Goni sebagai Alternatif Pengganti Terumbu Karang dalam Pengoperasian Bubu Tambun di Perairan Pulau Karang Beras, Kepulauan Seribu” adalah karya saya sendiri dengan arahan dosen pembimbing dan belum pernah diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya ilmiah yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, 01 Desember 2009

(4)

© Hak cipta IPB, Tahun 2009 Hak cipta dilindungi Undang-Undang

1) Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber :

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah.

b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.

(5)

Pulau Karang Beras, Kepulauan Seribu

Nama : R. Nugroho Bayu Santoso

NIM : C44051999

Menyetujui:

Pembimbing I, Pembimbing II,

Ir. Diniah, M.Si. Dr.Ir. Gondo Puspito, M.Sc. NIP 19610924 198602 2 001 NIP 19630524 198803 1 010

Mengetahui :

Ketua Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan

Dr.Ir. Budi Wiryawan, M.Sc. NIP 19621223 198703 1 001

(6)

KATA PENGANTAR

Kepulauan Seribu merupakan salah satu daerah yang memiliki potensi sumberdaya ikan karang yang cukup baik di Perairan Pulau Jawa. Salah satu alat tangkap yang banyak digunakan oleh nelayan Kepulauan Seribu untuk menangkap ikan karang adalah bubu tambun. Dalam pengoperasiannya, nelayan bubu tambun menggunakan berbagai macam terumbu karang untuk menimbun bubu, sehingga dikhawatirkan semakin merusak habitat terumbu karang di Kepulauan Seribu. Skripsi ini bertemakan modifikasi cara pengoperasian bubu tambun dengan tujuan membantu upaya alternatif melestarikan terumbu karang di Kepulauan Seribu.

Ucapan terimakasih disampaikan kepada semua pihak yang telah membantu

dalam penyelesaian skripsi ini sehingga menjadi lebih sempurna. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi para pembaca.

(7)

Ucapan terimakasih penulis sampaikan kepada :

1) Ir. Diniah, M.Si. dan Dr.Ir. Gondo Puspito, M.Sc. atas segala bimbingan dan perhatian yang diberikan sehingga penelitian ini mulai dari pelaksaanaan hingga penyusunan skripsi dapat diselesaikan dengan baik;

2) Dr.Ir. Muhammad Imron, M.Si. selaku komisi pendidikan Departemem Pemanfaaatan Sumberdaya Perikanan atas segala masukan dan saran yang diberikan sehingga skripsi ini dapat tersusun dengan baik;

3) Ir. Moch. Prihatna Sobari, MS. dan Ir. Wazir Mawardi, M.Si. selaku dosen penguji tamu atas segala masukan dan saran yang diberikan sehingga skripsi ini dapat tersusun lebih baik;

4) Kepala dan staf Suku Dinas Peternakan Perikanan dan Kelautan Provinsi Jakarta;

5) Kepala Balai, Kepala Seksi III dan staf Taman Nasional Kepulauan Seribu; 6) Pak Asep dan keluarga atas segala bantuan yang telah diberikan;

7) Pak Sarkawi dan keluarga atas segala bantuan yang telah diberikan;

8) Papa, Mama, Mbak Novi dan Oki atas doa dan segala dukungan yang diberikan hingga studi dapat diselesaikan dengan baik;

9) Reni Eva Ariyani dan keluarga atas perhatian dan semangat yang diberikan; 10)Rekan-rekan penelitian di Pulau Pramuka: Dika, Olva, Dito, Heri, Astri,

Taufik, Hasbi, Fajar, Setiawan, Hasbi, Dayu, Rio, Hesti, Reni, Jasmine, Nia, Desi, Ebith, dan Avie atas bantuan selama masa penelitian;

11)Rekan seperjuangan PSP’ 42 atas segala semangat dan kebersamaan selama masa studi; dan

(8)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Surabaya pada tanggal 23 Juni 1987 dari Bapak Iman Teguh Santoso dan Ibu Siti Indarwiyati. Penulis merupakan anak kedua dari tiga bersaudara.

Penulis lulus dari SMA Negeri 1 Bogor pada tahun 2005 dan pada tahun yang sama lulus seleksi masuk IPB melalui Undangan Seleksi Masuk IPB. Pada tahun 2006 penulis memilih Mayor Teknologi dan Manajemen Perikanan Tangkap, Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.

Selama mengikuti perkuliahan, penulis menjadi asisten luar biasa mata kuliah Iktiologi pada tahun ajaran 2007/2008 dan asisten mata kuliah Alat Penangkapan Ikan pada tahun 2009/2010. Penulis juga aktif dalam Himpunan Mahasiswa Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan (HIMAFARIN) sebagai staf Departemen Kesekretariatan pada masa jabatan 2006/2007 dan sebagai Ketua Umum pada masa jabatan 2007/2008.

(9)

Pengganti Terumbu Karang dalam Pengoperasian Bubu Tambun di Perairan Pulau Karang Beras, Kepulauan Seribu. Dibimbing oleh DINIAH dan GONDO PUSPITO.

Pengoperasian bubu tambun di Perairan Kepulauan menggunakan terumbu karang sebagai penutup yang sekaligus berfungsi sebagai pemberat dan kamuflase lingkungan terumbu karang agar ikan tertarik masuk ke dalam bubu. Hal ini dapat menyebabkan kerusakan terumbu karang sebagai habitat ikan, sehingga perlu diupayakan alternatif solusinya. Salah satu solusinya adalah dengan mengganti terumbu karang menggunakan media tutupan alami lain, seperti menggunakan karung goni. Uji coba dilakukan selama 12 trip di Perairan Pulau Karang Beras, Kepulauan Seribu. Hasil tangkapan keseluruhan diperoleh sebanyak 655 ekor dengan bobot 57.090 gram, terdiri atas 453 ekor hasil tangkapan bubu nelayan dengan bobot 41.580 gram dan 202 ekor hasil tangkapan bubu perlakuan dengan bobot 15.510 gram. Ikan famili Scaride mendominasi hasil tangkapan utama bubu nelayan sebesar 32,67 % dengan frekuensi tertinggi pada selang panjang 14-15 cm. Hasil tangkapan utama bubu perlakuan didominasi oleh ikan famili Pomacentridae sebesar 30,20 % dengan frekuensi tertinggi pada selang panjang 13-14 cm. Bubu tambun dengan tutupan karung goni dapat digunakan sebagai alat penangkap ikan karang alternatif di perairan yang memiliki sumberdaya ikan famili Pomacentridae yang melimpah.

Kata kunci: bubu tambun, terumbu karang, karung goni, Perairan Kepulauan Seribu

(10)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... i

DAFTAR GAMBAR ... ii

DAFTAR LAMPIRAN ... iii

1 PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Tujuan ... 2

1.3 Manfaat Penelitian ... 2

2 TINJAUAN PUSTAKA ... 3

2.1 Sumberdaya Ikan Karang ... 3

2.2 Habitat Ikan Karang ... 4

2.3 Tingkah Laku Ikan Karang ... 5

2.3.1 Kebiasaan makan ikan karang ... 5

2.3.2 Respon ikan karang terhadap alat tangkap ... 6

2.4 Alat Tangkap Bubu ... 7

2.4.1 Hasil tangkapan bubu ... 8

2.4.2 Metode pengoperasian ... 8

2.4.3 Daerah pengoperasian bubu ... 9

2.5 Faktor yang Mempengaruhi Efektifitas Penangkapan Bubu ... 9

2.5.1 Konstruksi bubu ... 9

2.5.2 Umpan ... 10

2.6 Kapal ... 10

2.7 Nelayan ... 11

2.8 Karung goni ... 12

3 METODOLOGI PENELTIAN... 13

3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ... 13

3.2 Alat dan Bahan ... 13

3.2.1 Alat tangkap bubu tambun ... 13

3.2.2 Perahu ... 13

3.3 Metode Penelitian ... 15

3.4 Batasan Penelitian ... 18

3.5 Asumsi yang Digunakan ... 18

(11)

4.2.1 Alat tangkap ... 24

4.2.2 Kapal perikanan ... 25

4.2.3 Nelayan ... 26

4.2.4 Musim penangkapan ikan ... 27

4.2.5 Daerah penangkapan ikan ... 28

4.2.6 Produksi ... 29

5 HASIL DAN PEMBAHASAN ... 30

5.1 Komposisi Hasil Tangkapan ... 30

5.2.1 Komposisi hasil tangkapan bubu nelayan ... 31

5.2.2 Komposisi hasil tangkapan bubu perlakuan ... 33

5.2 Sebaran Panjang Hasil Tangkapan ... 36

5.3 Hasil Analisis Statistik ... 38

5.4 Pengaruh Penggunaan Karung Goni Dalam Operasional Bubu Tambun... 40

6 KESIMPULAN DAN SARAN ... 44

6.1 Kesimpulan ... 44

6.2 Saran ... 44

DAFTAR PUSTAKA ... 45

(12)

DAFTAR TABEL

Halaman

1 Komposisi ikan terumbu karang berdasarkan tingkatan trofik ... 5

2 Luas pulau beserta peruntukannya di Kelurahan Pulau Panggang ... 24

3 Jenis dan jumlah alat tangkap di Kelurahan Pulau Panggang... 24

4 Jumlah kapal perikanan menurut gross tonage (GT)... 25

5 Jumlah kapal perikanan menurut jenis alat tangkap di Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu tahun 2008 ... 26

6 Jumlah nelayan di Kelurahan Pulau Panggang, Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu Tahun 2006... 26

7 Volume dan nilai produksi perikanan menurut jenis alat tangkap di Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu Tahun 2006... 29

8 Hasil tangkapan total ... 31

9 Hasil tangkapan bubu nelayan ... 32

(13)
(14)

1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Potensi sumberdaya ikan karang di Indonesia terhitung cukup besar, nilainya diduga mencapai 75. 875 ton per tahun (Djamali dan Mubarak 1998). Ikan karang mempunyai nilai ekonomis tinggi, baik sebagai ikan hias maupun ikan konsumsi. Jenis-jenis ikan karang yang memiliki nilai ekonomis penting antara lain adalah ikan kerapu (Epinephelus sp.), kakap (Lutjanus sp.), baronang (Siganus sp.), ekor kuning (Caesio sp.). Salah satu daerah yang memiliki potensi sumberdaya ikan karang yang cukup baik di Pulau Jawa adalah Perairan Kepulauan Seribu.

Pemanfaatan sumberdaya ikan karang dapat dilakukan dengan berbagai jenis alat penangkapan ikan seperti pancing, bubu dan muroami. Salah satu alat

penangkapan ikan karang yang umum digunakan oleh nelayan di Kepulauan Seribu adalah bubu. Bubu yang terdapat di Kepulauan Seribu adalah bubu tambun dan bubu kawat.

Bubu tambun terbuat dari anyaman bambu dengan rangka utama bubu berbentuk semi balok dengan ujung meruncing atau lebih dikenal dengan tipe buton atau chevron. Dalam pengoperasiannya bubu tambun menggunakan terumbu karang sebagai pemberat agar bubu tidak terhanyut oleh arus. Penggunaan terumbu karang juga dimaksudkan sebagai kamuflase lingkungan karang yang dapat menjadi penarik perhatian ikan untuk masuk ke dalam bubu.

(15)

Karung goni dipilih sebagai media tutupan bubu dengan alasan karung goni tergolong media organik yang diduga dapat menjadi substrat bagi alga untuk menempel. Alasan lain bahwa karung goni mudah didapatkan di lingkungan Kepulauan Seribu. Penggunaan karung goni sebagai tutupan juga dapat menciptakan suasana kamuflase visual habitat terumbu karang. Dari uraian tersebut, penulis tertarik untuk melakukan penelitian terhadap penggunaan karung goni sebagai pengganti terumbu karang untuk tutupan bubu sebagai salah satu upaya alternatif melestarikan lingkungan terumbu karang.

1.2 Tujuan

Tujuan penelitian ini adalah

1) Membandingkan komposisi hasil tangkapan antara dua bubu dengan media tutupan yang berbeda; dan

2) Menentukan bubu mana yang memberikan hasil tangkapan terbaik.

1.3 Manfaat

(16)

2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Sumberdaya Ikan Karang

Sumberdaya ikan karang meliputi ikan hias dan ikan konsumsi. Sebagian besar ikan karang bertulang keras (telesteoi) dan merupakan ordo Perciformes. Menurut Hutomo (1995) diacu dalam Nasution (2001), kelompok ikan karang yang erat kaitannya dengan lingkungan terumbu karang adalah

1) Tiga famili dalam sub ordo Labridae, yaitu famili Labridae (napoleon), Scaridae (kakatua) dan Pomacentridae (betok laut). Famili Labridae merupakan famili diurnal yang aktif mencari makan di siang hari. Mangsanya berupa moluska, cacing krustacea dan ikan kecil (Katrunada 2001);

2) Tiga famili dari sub ordo Acanthuridae, yaitu famili Acanthuridae (butana), Siganidae (baronang) dan Zanclidae (bendera atau moorish idol). Famili Siganidae mudah dikenali dengan bentuk tubuh yang pipih, mulut yang tebal, dan duri-duri dorsal serta duri-duri anal yang keras. Umumnya berwarna cerah dengan corak tubuh yang khas (Katrunada 2001);

3) Dua famili dari sub ordo Chatodontidae yaitu Chaetodontidae (kepe-kepe) dan

Pomacentridae (kambing-kambing). Famili Bleniidae dan Gobiidae yang bersifat demersal dan menetap;

4) Famili Apogonidae (beseng);

5) Famili Ostraciidae, Tetraodonidae dan Balestidae (pakol); dan

6) Pemangsa dan pemakan ikan (piscivorus) yang besar jumlahnya dan bernilai ekonomis tinggi, meliputi famili Serranidae (kerapu), Lutjanidae (kakap), Lethrinidae (lencam) dan Holocentridae (swanggi). Famili Serranidae memiliki ciri bentuk tubuh agak rendah, moncong mulut panjang memipih dan memanjang serta mudah dikenali dari corak bintik pada kepala badan dan sirip (Tarwiyah 2001).

(17)

pasaran adalah kerapu (Serranidae), kakap (Lutjanidae), kakatua (Scaridae), napoleon (Labridae),dan ekor kuning serta pisang-pisang (Cesiodidae).

2.2 Habitat Ikan Karang

Nybakken (1986) menyatakan bahwa terumbu karang adalah endapan- endapan masif dari kalsium karbonat, terutama dihasilkan oleh karang dari ordo Scleractinia dengan sedikit tambahan dari alga berkapur dan organisme lain yang mengeluarkan kalsium karbonat. Wilayah terumbu karang terdiri atas karang, daerah berpasir dan daerah algae.

Daerah perairan katulistiwa merupakan tempat spesifik tumbuhnya terumbu karang. Terumbu karang hanya dapat tumbuh di perairan dengan kedalaman kurang dari 50 m, memiliki suhu di atas 18°C, salinitas berkisar antara 30-50 ppt,

laju pencemaran rendah, cukup peredaran airbebas pencemaran dan tersedianya substrat keras (Romimohtarto dan Juwana 2000).

Menurut Romimoharto dan Juwana (2000), terumbu karang umumnya dikelompokkan menjadi tiga bentuk, yaitu atol, terumbu penghalang (barrier) dan terumbu tepi (fringing). Dari ketiga bentuk terumbu karang tersebut, terumbu tepi merupakan terumbu karang yang paling sering dijumpai di kawasan Asia Tenggara, di mana sebagian besar pulau-pulau dikelilingi oleh terumbu karang.

Djamali dan Mubarak (1998) menyatakan bahwa sebaran karang di Indonesia banyak terdapat di sekitar Pulau Sulawesi, Laut Flores dan Laut Banda.

Selain itu terdapat pula di Kepulauan Seribu, bagian barat Sumatera hingga ke Pulau Weh, Kepulauan Riau, Pulau Bangka-Belitung, Kepulauan Karimunjawa, Teluk Lampung, Bali, Lombok, Nusa Tenggara Timur, Teluk Cenderawasih dan Maluku.

(18)

5

2.3 Tingkah Laku Ikan Karang

Tingkah laku ikan merupakan salah satu faktor yang penting untuk diketahui dalam kegiatan penangkapan ikan menggunakan bubu. Pengetahuan mengenai berbagai tingkah laku ikan karang seperti kebiasaan makan ikan, pola migrasi dan pola interaksi dengan terumbu karang dapat digunakan sebagai pendekatan dalam menentukan metode penangkapan ikan yang tepat (Gunarso 1985).

2.3.1 Kebiasaan makan ikan karang

Kebiasaan makan ikan dan waktu pencarian makan ikan erat hubungannya dengan waktu pengoperasian alat tangkap bubu dan jenis umpan yang digunakan. Bubu akan dioperasikan sesuai dengan waktu ketika ikan mulai mencari makan. Lebih lanjut Gunarso (1985) menjelaskan bahwa pengetahuan tentang berbagai jenis makanan yang biasa dimakan ikan sangat berguna untuk usaha penangkapan ikan. Hal ini terkait dengan penggunaan jenis makanan yang dapat digunakan sebagai umpan bagi ikan yang menjadi target penangkapan.

Menurut struktur trofik, ikan terumbu karang dapat dibedakan menjadi enam grup trofik, yaitu herbivora, omnivora, plankton feeders, pemakan crustacea, ikan piscivora dan pemakan lain-lain. Komposisi ikan pada terumbu karang berdasarkan tingkatan trofiknya dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1 Komposisi ikan terumbu karang berdasarkan tingkatan trofik

Grup trofik Jumlah famili Nama famili

Herbivora 5 Scaridae, Acanthuridae, Pomacentridae, Blennidae, dan Kyphosidae

Omnivora 13 Labridae, Acanthuridae, Pomacentridae, Mullidae, Ostraciontidae, Chaetodontidae, Monacanthidae, Gobiidae, Diodontidae, Sparidae, Carangidae, Gerridae, dan Pempheridae

Plankton feeders 7 Apogonidae,Pomacentridae,Holocantridae,

Grammidae,Pricanthidae, Sciaenidae, dan Pempheridae Pemakan krustacea dan ikan 9 Serranidae, Holocenrridae, Lutjanidae, Scorpaenidae,

Sciaenidae, Acanthuridae, Muraenidae, Ophichthidae, dan Gramministidae

Piscivora 9 Serranidae, Lutjanidae, Carangidae, Sphyrenidae, Muraenidae, Synodontidae, Fistulariidae, Aulostomidae, dan Bothidae

Pemakan lain – lain 4 Pomacentridae, Balistidae, Acanthuridae, dan Gobiidae

(19)

Ikan karang memiliki bentuk interaksi tertentu dengan lingkungan terumbu karang. Arami (2006) menyatakan bahwa ada tiga bentuk umum interaksi antara ikan karang dengan terumbu karang, yaitu 1) interaksi langsung, sebagai tempat berlindung dari predator atau pemangsa terutama bagi ikan muda; 2) interaksi dalam mencari makan, meliputi hubungan antara ikan karang dengan biota yang hidup pada karang termasuk alga; 3) interaksi tak langsung akibat struktur karang dan kondisi hidrologi sedimen.

Berdasarkan distribusi harian, ikan karang dapat dibagi menjadi dua kelompok, yaitu ikan diurnal dan nokturnal. Kelompok ikan diurnal adalah kelompok ikan yang aktif berinteraksi dan mencari makan pada siang hari, seperti famili Pomacentridae, Labridae, Acanthuridae, Chaetodontidae, Serranidae, Lutjanidae, Balistidae, Cirrhitidae, Tetraodontidae, Bleenidae dan Gobiide. Ikan nokturnal adalah kelompok ikan yang aktif berinteraksi dan mencari makan pada malam hari. Pada siang hari, kelompok yang kedua menetap di gua dan celah-celah karang, antara lain famili Holocentridae, Apogonidae, Haemulidae, Scorpaenidae, Serranidae dan Labridae (Muzahar 2003).

2.3.2 Respon ikan karang terhadap alat tangkap

Menurut Furevik (1994), tingkah laku ikan dalam menghadapi bubu dapat digolongkan ke dalam beberapa fase berurutan, yaitu :

1) Fase arousal dan location

Fase ini merupakan fase awal. Ikan akan tertarik untuk mendekati bubu. Penyebab utama ikan mendekati bubu yang diberi umpan adalah adanya penyebaran aroma umpan. Hampir seluruh jenis ikan menggunakan indra penciuman untuk mendeteksi keberadaan mangsa atau umpan. Penyebaran aroma umpan juga dipengaruhi oleh arus air. Penyebaran aroma umpan akan mengundang ikan untuk mendekati bubu. Ada pula penyebab lain ikan tertarik mendekati bubu, seperti sifat thigmothasis ikan atau sifat ketertarikan ikan

pada benda asing, perilaku interspesies ikan, adaptasi bubu sebagai tempat tinggal dan stimulus feromon dari mangsa.

2) Fase nearfield dan ingress;

(20)

7

dan Breadsley (1970) diacu dalam Furevik (1994) menyatakan beberapa jenis ikan karang memiliki cara yang berbeda dalam mendekati bubu. Famili Holocentridae dan Mullidae bergerombol memasuki bubu, sedangkan famili Scaridae dan Pricanthidae memasuki bubu secara individu. High dan Ellis (1973) diacu dalam Furevik (1994) menyatakan famili Chaetodontidae akan berenang menjauhi bubu apabila melihat ada ikan lain dari famili Chaetodontidae berada di dalam bubu.

3) Fase inside the pot atau aktivitas di dalam bubu;

Berbagai penelitian mengenai aktivitas ikan di dalam bubu telah banyak dilakukan untuk mengetahui hubungannya dengan efektivitas penangkapan ikan menggunakan bubu. Ikan yang memasuki bubu karena tertarik aroma umpan akan langsung mendatangi posisi umpan di dalam bubu, namun setelah beberapa lama ikan akan kehilangan ketertarikannya terhadap umpan (Furevik 1994). Spesies ikan yang berbeda akan memiliki perilaku yang berbeda pula di dalam bubu. High dan Breadsley (1970) diacu dalam Furevik (1994) menyatakan bahwa famili Chaetodontidae, Mullidae, Holocentridae dan Scaridae aktif berenang mengelilingi bubu, sedangkan famili Serranidae diam menunggu mangsa di dalam bubu. Aktivitas ikan di dalam bubu akan mengundang ikan lain untuk memasuki bubu. Famili Serranidae cenderung tertarik memasuki bubu dikarenakan aktivitas mangsa di dalam bubu.

4) Fase escape atau lolos menuju lingkungan.

Setiap ikan yang tertangkap memiliki kemungkinan untuk lolos menuju lingkungan beberapa waktu setelah tertangkap di dalam bubu. Ikan akan menyusuri dinding bubu hingga menemukan celah untuk meloloskan diri, bahkan seringkali ikan dapat keluar melalui mulut bubu yang terlalu besar.

2.4. Alat Tangkap Bubu

(21)

sebagai alat tangkap jebakan (traps) yang mampu menangkap ikan, tetapi tidak memungkinkan ikan untuk kembali ke habitatnya lagi (non-return device).

Bentuk bubu sangat beraneka ragam seperti berbentuk bujur sangkar, silinder, trapesium, setengah silinder, segi banyak, dan bulat setengah lingkaran (Subani dan Barus 1989). Menurut Martasuganda (2003), secara umum bubu terdiri atas bagian-bagian rangka, badan dan mulut. Ada juga bubu yang dilengkapi dengan pintu untuk mengambil hasil tangkapan dan kantung umpan sebagai tempat untuk menyimpan umpan.

Penggunaan bubu memiliki beberapa kelebihan dibandingkan dengan alat tangkap lain. Menurut Monintja dan Martasuganda (1991), beberapa kelebihan penggunaan bubu antara lain adalah

1) Mudah dalam pembuatan; 2) Mudah untuk dioperasikan;

3) Memiliki tingkat kesegaran hasil tangkapan yang tinggi; 4) Daya tangkapnya bisa diandalkan; dan

5) Dapat dioperasikan di tempat dimana alat tangkap lain tidak dapat dioperasikan.

2.4.1 Hasil tangkapan bubu

Bubu dapat digunakan untuk menangkap berbagai hewan demersal, seperti lobster, kepiting, rajungan, keong macan dan ikan karang. Collins (1990) mengungkapkan bahwa bubu digunakan di perairan karang Teluk Atlantik Selatan, mulai perairan Tanjung Canaveral, Florida hingga perairan Teluk Carolina Selatan untuk menangkap ikan karang bernilai ekonomis tinggi. Bubu juga dapat digunakan untuk menangkap cumi-cumi, gurita, belut dan lele (catfish) (Slack dan Smith 2001).

2.4.2 Metode pengoperasian

(22)

9

apung digunakan untuk menangkap ikan pelagis seperti kembung, selar, dan tembang. Bubu hanyut dioperasikan dengan cara dihanyutkan. Bubu hanyut biasanya digunakan untuk menangkap ikan terbang.

Wudianto et al (1988) menyatakan bahwa bubu dasar dapat dioperasikan dengan dua cara yaitu :

1) Dipasang secara terpisah menggunakan pelampung tanda untuk setiap bubu; dan

2) Dipasang secara bergandengan menggunakan tali utama. Cara ini biasa disebut longline trap. Jumlah bubu yang dioperasikan dapat mencapai ratusan, bergantung pada kemampuan nelayan.

Bubu ikan karang dioperasikan di dasar perairan berkarang, lebih tepatnya di antara bebatuan karang dengan menggunakan sistem pemasangan tunggal (single). Pengoperasian bubu ikan karang dibagi menjadi beberapa tahap, yaitu persiapan, penurunan bubu ke dalam air dan pengangkatan. Masing–masing tahap dilakukan secara berkelanjutan (Wudianto et al 1988).

2.4.3 Daerah pengoperasian bubu

Penentuan daerah penangkapan ikan didasarkan pada tempat yang diperkirakan banyak terdapat ikan karang, biasanya ditandai dengan banyaknya komunitas terumbu karang atau dari pengalaman nelayan (Sudirman dan Mallawa 1998). Pengetahuan mengenai perilaku, pergerakan, wilayah ruaya dan habitat ikan juga akan sangat membantu dalam menentukan daerah pengoperasian bubu.

2.5 Faktor yang Mempengaruhi Efektivitas Pengoperasian Bubu

Miller (1990) mengungkapkan ada berbagai macam faktor yang mempengaruhi hasil tangkapan bubu, antara lain waktu perendaman, kecerahan perairan, habitat, konstruksi bubu, umpan dan tahapan siklus aktivitas dari target spesies. Dua yang terpenting di antaranya adalah konsruksi bubu dan umpan.

2.5.1 Konstruksi bubu

(23)

namun berperan penting dalam menahan pergerakan terhadap arus. Bentuk yang tidak sesuai dengan kondisi perairan dapat mengakibatkan bubu terbalik dan menggelinding di dasar perairan. Rangka bubu dapat terbuat dari besi masif, bambu atau kayu. Adapun dinding bubu dapat terbuat dari anyaman bambu, jaring maupun kawat. Kantong umpan umumnya terbuat dari kasa, jaring atau kawat.

Muldiani (2007) menyatakan bahwa mulut bubu yang ideal adalah jika hewan target mudah masuk ke dalam perangkap dan sulit untuk meloloskan diri. Bentuk mulut pada bubu disesuaikan dengan target utama penangkapan. Mulut bubu berbentuk bulat sesuai untuk menangkap ikan dan lobster, sedangkan mulut bubu berbentuk celah lintasan sesuai untuk menangkap rajungan dan kepiting.

2.5.2 Umpan

Umpan merupakan salah satu faktor penting yang menunjang keberhasilan alat tangkap pasif seperti bubu. Umpan dapat berperan sebagai pemikat agar ikan mau masuk ke dalam bubu. Jenis umpan yang digunakan sangat beraneka ragam. Ada yang memakai umpan hidup, ikan rucah, atau jenis umpan lainnya sesuai dengan kebiasaan nelayan. Kriteria umpan yang sesuai digunakan dalam penangkapan dengan menggunakan bubu antara lain mudah diperoleh, harganya murah dan mudah disimpan serta tahan lama (Martasuganda 2003). Pada umumnya nelayan di Pulau Panggang menggunakan umpan berupa bintang laut bantal (Culcita novaguineae) dan bulu babi (Diadema sp.) yang sebelumnya telah dihancurkan terlebih dahulu (Pramono 2006).

Penempatan umpan di dalam bubu pada umumnya diletakkan di tengah- tengah bubu, baik di bagian bawah, tengah, ataupun di bagian atas bubu, dengan cara diikat atau digantung dengan atau tanpa pembungkus umpan (Martasuganda 2003). Umpan juga dapat disimpan dalam kantong jaring, kantong kawat ataupun kotak yang dilubangi (Furevik 1994). Nelayan di Pulau Panggang meletakkan umpan bulu babi yang sudah dihancurkan di depan bubu dan umpan bintang laut

(24)

11

2.6 Kapal

Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 45 tahun 2009, kapal perikanan adalah kapal, perahu, atau alat apung lain yang digunakan untuk melakukan penangkapan ikan, mendukung operasi penangkapan ikan, pembudidayaan ikan, pengangkutan ikan, pengolahan ikan, pelatihan perikanan, dan penelitian/eksplorasi perikanan. Perahu mempunyai arti penting dalam operasi penangkapan ikan. Perahu digunakan nelayan untuk mencapai daerah pengoperasian alat tangkap.

Ukuran perahu yang digunakan untuk membantu pengoperasian bubu bervariasi sesuai dengan tipe dan jumlah bubu yang digunakan, kondisi lautan, jarak yang ditempuh menuju fishing ground dan jumlah nelayan yang ikut serta dalam operasi penangkapan ikan. Perahu yang digunakan oleh nelayan bubu di Kepulauan Seribu, khususnya di Pulau Panggang, memiliki ukuran yang beragam mulai 4 sampai 6 meter. Mesin yang digunakan adalah mesin diesel inboard

dengan kekuatan 5-8 PK. Perahu yang digunakan umumnya terbuat dari kayu (Pramono 2006).

2.7 Nelayan

Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 45 tahun 2009, nelayan adalah orang yang mata pencahariannya menangkap ikan. Nelayan Kepulauan Seribu tergolong nelayan kecil. Menurut Undang-Undang Republik

Indonesia Nomor 45 tahun 2009, nelayan kecil adalah orang yang mata pencahariannya melakukan penangkapan ikan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari yang menggunakan kapal perikanan berukuran paling besar 5 (lima) grosston (GT).

(25)

2.8 Karung Goni

(26)

3 METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian di lapang dilaksanakan pada Bulan Mei sampai Juni 2009. Penelitian dilaksanakan di Perairan Pulau Karang Beras, Kepulauan Seribu (Lampiran 2).

3.2 Alat dan Bahan

Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah :

1) Enam unit bubu tambun untuk dua perlakuan, yaitu tiga unit bubu tambun yang ditutupi terumbu karang dan tiga unit lainnya untuk ditutupi karung goni sebanyak 70 %;

2) Alat dasar selam berupa masker, snorkel dan fin;

3) Alat pengukur panjang berupa papan pengukur dengan skala terkecil 1 mm; 4) Alat pengukur berat berupa timbangan dengan skala terkecil 1 g; dan 5) Alat dokumentasi.

Adapun bahan yang digunakan adalah umpan berupa bintang laut bantal raja (Culcita novaguineae) yang dipotong–potong dan umpan bulu babi (Diadema sp.) yang sudah dihancurkan.

3.2.1 Alat tangkap bubu tambun

Bubu tambun merupakan bubu untuk menangkap ikan karang yang secara keseluruhan rangkanya terbuat dari bambu tali atau bambu apus (Gigantholochola apus). D2 si bubu tambun yang digunakan dalam penelitian ini adalah p × l ×

t; 70 × 60 × 20 (cm). Bubu ini memiliki satu buah mulut berbentuk horse neck

dengan diameter mulut luar 20 cm dan diameter mulut bagian dalam sebesar 13

cm. Diameter jalinan bambu adalah 3 cm. Konstruksi bubu tambun ditunjukkan pada Gambar 1.

3.2.2 Perahu

(27)

Penutup

A B

A

B

dimensi panjang 4 m, lebar 1 m dan dalam 0,75 m. Perahu ini dilengkapi dengan mesin inboard bekekuatan 5 PK (Gambar 2).

Gambar 1 Konstruksi bubu tambun penelitian

(28)

15

Gambar 2 Perahu yang digunakan dalam penelitian

3.3 Metode Penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan metode experimental fishing yaitu dengan melakukan operasi penangkapan ikan menggunakan bubu di laut selama 12 hari. Bubu yang digunakan dalam penelitian ini berjumlah enam buah, terdiri atas tiga buah bubu nelayan dan tiga bubu perlakuan. Bubu nelayan adalah bubu tambun yang dalam operasionalnya menggunakan tutupan terumbu karang (Gambar 3). Bubu perlakuan adalah bubu tambun yang dalam operasionalnya menggunakan tutupan berupa karung goni (Gambar 4). Perbedaan kedua bubu hanya pada jenis tutupan saat pengoperasiannya. Kedua macam bubu diberi perlakuan penutup bubu sebanyak 70%. Hal ini disesuaikan dengan tingkah laku ikan karang yang tidak menyukai tempat berlindung yang terlalu gelap.

(29)

Gambar 4 Bubu perlakuan

Bubu nelayan dan bubu perlakuan diberi perlakuan awal terlebih dahulu dengan cara merendam bubu di dalam laut selama 3 hari. Hal ini bertujuan untuk menghilangkan aroma bambu dan karung goni. Selain itu, hal ini juga bertujuan untuk menumbuhkan alga dan perifiton tahap awal.

Kedua macam bubu dipasang secara berselang-seling (Gambar 5), sehingga ikan memiliki peluang yang sama untuk tertangkap. Kedua macam bubu diberi

perlakuan yang sama. Seluruh bubu menggunakan umpan bulu babi (Diadema

sp.) yang sudah dihancurkan di depan mulut bubu dan umpan bintang laut bantal (Culcita novaguineae) yang sudah dipotong-potong di dalam bubu. Dalam pengoperasiannya, kedua bubu diletakkan di daerah terumbu karang tepi (fringing reef) tanpa melakukan pemindahan ataupun penghancuran terumbu karang hidup di sekitar lingkungan tempat penelitian. Jarak pemasangan antar bubu berkisar 2-3 m dengan peletakan bubu tidak teratur. Masing- masing bubu dioperasikan sebanyak 12 kali dengan sistem tunggal tanpa menggunakan pelampung dan dibiarkan selama kurang lebih 24 jam.

Pemasangan bubu tambun dilakukan pada pagi hari. Kegiatan operasional bubu dilakukan dalam waktu satu hari penuh. Dalam setiap operasi penangkapan ikan, dibawa sejumlah peralatan penting, seperti pengait, golok, bak penampung hasil tangkapan dan perbekalan secukupnya. Pengait berguna untuk mengangkat bubu dari dasar perairan dan golok untuk memotong umpan. Daerah penangkapan

Keterangan :

A = Tutupan karung goni B = Bubu tambun

A

(30)

17

[image:30.612.107.527.143.349.2]

ikan atau fishing ground yang dituju merupakan daerah yang dikenal memiliki banyak sumberdaya ikan.

Gambar 5 Pengoperasian bubu dalam penelitian

Tahap-tahap operasi penangkapan ikan dalam penelitian adalah : 1) Persiapan

Pada tahap ini, dipersiapkan umpan yang akan diletakkan di dalam bubu dan di depan mulut bubu. Umpan yang digunakan berupa bintang laut bantal (Culcita novaguineae) dan bulu babi (Diadema sp.). Umpan tersebut dihancurkan atau dipotong – potong terlebih dahulu.

2) Pemasangan bubu di dasar perairan

(31)

3) Pengangkatan

Pengangkatan bubu dilakukan keesokan harinya. Pengangkatan bubu

meng-gunakan alat bantu pengait. Ikan yang terperangkap dalam bubu langsung dipindahkan ke dalam bak penampung sementara. Ada dua jenis bak

penampung yang digunakan. Bak pertama untuk ikan yang akan dibiarkan hidup dan bak kedua untuk ikan mati. Bubu yang sudah diangkat dan dikeluarkan hasil tangkapannya disusun sedemikian rupa di atas kapal untuk memudahkan pemasangan berikutnya. Selanjutnya mencari daerah pengoperasian bubu yang lain untuk pemasangan berikutnya. Setelah menemukan daerah penangkapan ikan yang dituju, kembali dilakukan proses persiapan untuk pemasangan bubu.

Data yang dikumpulkan terdiri atas komposisi hasil tangkapan, data hasil pengukuran berat dan panjang total hasil tangkapan seluruh bubu. Data tersebut dikelompokkan berdasarkan jenis bubu yang digunakan. Selain itu dikumpulkan pula data sekunder dari Dinas Perikanan dan Pemerintah Daerah setempat berupa kondisi perikanan daerah penelitian, jumlah kapal penangkap ikan, jumlah dan jenis alat tangkap yang ada di daerah penelitian, jumlah nelayan dan informasi lainnya yang menunjang penelitian ini.

3.4 Batasan Penelitian

Batasan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain :

1) Penelitian ini hanya membandingkan komposisi hasil tangkapan bubu dengan jenis tutupan berbeda; dan

2) Uraian tingkah laku ikan karang hanya berdasarkan pada literatur yang diacu.

3.5 Asumsi yang Digunakan

Asumsi yang digunakan dalam penelitian ini adalah:

1) Setiap ikan yang berada di daerah pengoperasian bubu memiliki peluang tertangkap yang sama;

2) Faktor-faktor lain yang mempengaruhi hasil tangkapan seperti arus, suhu perairan, pasang surut, gelombang dan musim diabaikan;

(32)

19

3.6 Metode Analisis Data

Data hasil tangkapan yang diperoleh diuji taraf kenormalannya

menggunakan uji Anderson Darling dan grafik plot kenormalan terlebih dahulu menggunakan software Minitab 15. Selanjutnya apabila data hasil tangkapan yang

didapat menyebar normal, maka dilakukan uji homogenitas untuk menguji kehomogenan data tersebut. Apabila data yang didapat tidak menyebar normal, maka dilakukan uji non parametrik Kruskal Wallis untuk mengambil keputusan.

Analisa data secara deskriptif dilakukan dengan cara mengelompokkan jenis ikan hasil tangkapan dominan ke dalam kelas panjang tertentu. Ukuran panjang yang digunakan adalah ukuran panjang total (TL/total length). Hal ini bertujuan untuk mengetahui distribusi frekuensi panjang ikan hasil tangkapan dominan yang tertangkap. Penentuan jumlah selang kelas dan interval kelas untuk ukuran panjang total dihitung menggunakan rumus distribusi frekuensi (Walpole 1995), yaitu:

n

K =1+3,3log ...(1)

K N N

i= max− min ...(2)

Keterangan :

K : Jumlah kelas;

n : Banyaknya data;

i : Lebar kelas;

N max : Nilai terbesar; dan N min : Nilai terkecil.

Uji homogenitas dilakukan menggunakan uji F dengan rumus (Sugiyono 2007),

yaitu:

...(3)

Hipotesis yang digunakan dalam uji F adalah

1) H0 : 1 = 2, artinya varians data bersifat homogen; dan

2) H1 : 1 2, artinya varians data tidak bersifat homogen.

(33)

Dasar pengambilan keputusan dalam uji F adalah :

1) Jika Fhitung > Ftabel maka tolak H0, berarti varians data tidak bersifat homogen;

dan

2) Jika Fhitung Ftabel maka gagal tolak H0, berarti varians data bersifat homogen.

Uji homogenitas yang dilakukan akan menentukan sifat kehomogenan data.

Sifat kehomogenan akan menentukan pemilihan rumus yang tepat untuk uji-t dua

sampel tidak berpasangan. Uji-t dua sampel tidak berpasangan dilakukan untuk

mengetahui perbedaan hasil tangkapan dari kedua macam bubu. Adapun rumus

uji-t dua sampel tidak berpasangan (Sugiyono 2007) adalah

2 2 2 1 2 1 2 1 n S n S X X t + − = ...(4)

(

)

(

)

+ − + − + − − = 2 1 2 1 2 2 2 2 1 1 2 1 1 1 2 1 1 n n n n S n S n X X t ...(5)

Keterangan :

1

X : Rata – rata data penelitian perlakuan ke -1;

2

X : Rata – rata data penelitian perlakuan ke -2; S1 : Varians data perlakuan ke- 1;

S2 : Varians data perlakuan ke- 2;

n1 : Banyaknya data perlakuan ke -1; dan

n2 : Banyaknya data perlakuan ke -2.

Sugiyono (2007) menyatakan bahwa kritera yang digunakan untuk memilih rumus

uji-t dua sampel tidak berpasangan adalah :

1) Bila jumlah anggota sampel sama (n1 = n2) dan varians homogen ( 1 = 2),

maka dapat digunakan rumus uji-t dua sampel tidak berpasangan (4) maupun

(5) dan untuk mengetahui nilai t tabel digunakan derajat kebebasan (dk)

bernilai dk = n1 + n2 – 2;

2) Bila jumlah anggota sampel tidak sama (n1 n2) dan varians homogen sama

(34)

21

dan untuk mengetahui t tabel digunakan derajat kebebasan (dk) bernilai dk =

n1-n2-2;

3) Bila jumlah anggota sampel sama (n1= n2) dan varians homogen tidak sama

( 1 2), maka dapat digunakan rumus uji-t dua sampel tidak berpasangan (4)

maupun (5) dan untuk mengetahui t tabel digunakan derajat kebebasan (dk)

bernilai dk = n1–1 atau n2-2; dan

4) Bila jumlah anggota sampel tidak sama (n1 n2) dan varians homogen tidak

sama ( 1 2), maka dapat digunakan rumus uji-t dua sampel tidak

berpasangan (4). Untuk mengetahui t tabel dihitung dari selisih nilai tabel

dengan derajat kebebasan (dk) dk = (n1–1) dan dk = (n2-1) yang dibagi dua,

kemudian ditambahkan dengan nilai t yang terkecil.

Selanjutnya dilakukan pengambilan keputusan berdasarkan hipotesa uji-t dua

sampel tidak berpasangan. Hipotesis uji-t dua sampel tidak berpasangan dalam

penelitian ini adalah:

1) H0 : 1 = 2, berarti tidak ada perbedaan hasil tangkapan bubu nelayan dan

hasil tangkapan bubu perlakuan; dan

2) H1 : 1 2, berarti ada perbedaan hasil tangkapan bubu nelayan dan hasil

tangkapan bubu perlakuan.

Dasar pengambilan keputusan dalam uji-t dua sampel tidak berpasangan adalah :

1) Jika nilai

thitung

>

t

tabel maka tolak H0, berarti ada perbedaan hasil tangkapan

dari kedua jenis bubu; dan

2) Jika nilai

thitung

<

ttabel

maka gagal tolak H0, berarti tidak ada perbedaan hasil

tangkapan dari kedua jenis bubu.

Apabila uji taraf kenormalannya menghasilkan keputusan data tidak

menyebar normal, maka untuk selanjutnya dilakukan uji non parametrik Kruskal

Wallis untuk menguji hipotesis (Sugiyono 2007). Uji ini digunakan untuk

mengetahui apakah terdapat perbedaan komposisi hasil tangkapan dari kedua jenis

(35)

(

1

)

3

(

1

)

12

1 2

+ − +

=

=

n n r n

n hi

k

i i

i

...(6)

Keterangan :

hi : Nilai h hitung;

ri : Jumlah dari peringkat perlakuan ke-i;

ni : Banyaknya data dari perlakuan ke- i;

n : Banyaknya data dari seluruh perlakuan.

Hipotesis Uji Kruskall Wallis yang digunakan dalam penelitian ini adalah :

1) H0 : 1 = 2, berartitidak ada perbedaan hasil tangkapan antara bubu nelayan

dan bubu perlakuan; dan

2) H1 : 1 2 berartiterdapat perbedaan hasil tangkapan antara bubu nelayan

dan bubu perlakuan.

Dasar pengambilan keputusan melalui Uji Kruskall Wallis adalah :

1) Jika nilai

h

i

>

h

2

maka tolak H0, berarti ada perbedaan komposisi hasil

tangkapan dari kedua jenis bubu; dan

2) Jika nilai

h

i

<

h

2

maka gagal tolak H0, berarti tidak ada perbedaan

(36)

4 KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN

4.1 Kondisi Geografis dan Perairan

Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu terdiri atas dua kecamatan, yaitu Kecamatan Kepulauan Seribu Utara dan Kecamatan Kepulauan Seribu Selatan. Kecamatan Kepulauan Seribu Utara memiliki luas wilayah daratan 565,90 ha dan luas wilayah perairan 3.554,25 km2. Wilayah pemerintahan dan pemukiman Kecamatan Kepulauan Seribu Utara memiliki tiga wilayah kelurahan, yaitu Kelurahan Pulau Panggang, Kelurahan Pulau Harapan dan Kelurahan Pulau Kelapa. Kelurahan Pulau Panggang memiliki batas geografis sebagai berikut : 1) Sebelah Utara : 05º 41’ 41” - 05º 45’ 45” LS;

2) Sebelah Selatan : 106º 44’ 50” BT; 3) Sebelah Barat : 106º 19’ 30” BT; dan

4) Sebelah Timur : 05º 47’ 00” - 05º 45’ 14” LS.

Kelurahan Pulau Panggang memiliki daratan seluas 62,10 ha yang mencakup 13 buah pulau. Dua pulau diantaranya merupakan tempat pemukiman penduduk, yaitu Pulau Panggang dan Pulau Pramuka. Sebelas pulau lainnya

dimanfaatkan untuk berbagai kepentingan masyarakat, seperti tempat peristirahatan, perlindungan hutan dan pelestarian alam, perkantoran dan mercusuar. Secara rinci masing–masing pulau beserta peruntukannya dan luas wilayahnya dapat dilihat pada Tabel 2.

Pulau Pramuka dan Pulau Panggang memiliki ketinggian 1 m di atas permukaan laut dan suhu udara berkisar antara 27-32ºC. Arus permukaan laut pada Musim Barat dan Musim Timur memiliki kecepatan relatif sama dengan kecepatan maksimum 0,5 m per detik. Gelombang laut pada Musim Barat berkisar antara 0,5-1,75 m dan Musim Timur 0,5–1,0 m (Pemerintah Administrasi Kepulauan Seribu 2007).

Pada umumnya kedalaman laut di Kepulauan Seribu bervariasi antara 0 – 40 m. Ada wilayah perairan yang memiliki kedalaman lebih dari 40 m, yaitu wilayah Perairan Pulau Tidung dan Pulau Pari. Wilayah perairan tersebut merupakan wilayah perairan untuk pelayaran internasional.

(37)
[image:37.612.109.529.102.343.2]

Tabel 2 Luas pulau beserta peruntukannya di Kelurahan Pulau Panggang

No. Nama pulau Peruntukan Luas (ha) Persentase (%)

1. Pulau Opak Kecil Peristirahatan 1,10 1,77

2. Pulau Karang Bongkok

Peristirahatan 0,50 0,81

3. Pulau Kotok Kecil Perlindungan Hutan Umum 1,30 2,09

4. Pulau Kotok Besar Pariwisata 20,75 33,41

5. Pulau Karang Congkak

Peristirahatan 0,60 0,97

6. Pulau Gosong Pandan Peristirahatan 0,00 0

7. Pulau Semak Daun Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam

0,75 1,21

8. Pulau Panggang Pemukiman 9,00 14,49

9. Pulau Karya Perkantoran 6,00 9,66

10. Pulau Pramuka Pemukiman 16,00 25,77

11. Pulau Gosong Sekati Peristirahatan 0,20 0,32

12. Pulau Air Peristirahatan 2,90 4,67

13. Pulau Peniki Mercusuar 3,00 4,83

Total 62,10 100,00

Sumber : Data Laporan Tahunan Pemerintahan Kelurahan Pulau Panggang 2008.

4.2 Keadaan Umum Perikanan Tangkap 4.2.1 Alat tangkap

Pada Tabel 3 diperlihatkan jenis alat tangkap yang digunakan oleh nelayan di Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu pada tahun 2008, antara lain pancing, payang, muroami, bubu, jaring dasar dan jaring gebur. Alat tangkap yang dominan digunakan di Kelurahan Pulau Panggang adalah pancing ulur dengan jumlah unit pada tahun 2008 sebanyak 444 unit. Secara rinci jenis dan jumlah alat tangkap yang ada di Kelurahan Pulau Panggang dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3 Jenis dan jumlah alat tangkap di Kelurahan Pulau Panggang

No. Jenis alat Jumlah pemilik (orang) Jumlah alat (unit)

1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. Jaring payang Jaring dasar Jaring gebur Bubu besar Bubu kecil Pancing ulur Muroami 20 21 10 17 12 444 10 22 21 100 200 20 532 10

Jumlah 534 905

(38)

25

4.2.2 Kapal perikanan

Pada tahun 2008, kapal perikanan di Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu berjumlah 1.069 kapal yang tersebar di dua kecamatan yaitu Kecamatan Seribu Utara dan Kecamatan Seribu Selatan. Kapal perikanan di Kecamatan Seribu Utara berjumlah 628 kapal dan Kecamatan Seribu Selatan berjumlah 441 kapal. Secara rinci jumlah kapal perikanan menurut gross tonage (GT) dan alat tangkap dapat dilihat pada Tabel 4 dan 5.

Tabel 4 Jumlah kapal perikanan menurut gross tonage (GT)

Kelompok gross tonage (GT) Kecamatan/ Kelurahan

Pulau 1 s/d 2 3 s/d 4 5 s/d 6 7 s/d 8 9 s/d 10 > 10 Jumlah

Kec. Kep Seribu Utara

Kel. P. Harapan

Pulau Harapan 77 38 5 1 2 0 123

Pulau Sabira 0 0 57 0 0 0 57

Kel . Pulau Kelapa

Pulau Kelapa 75 71 49 1 0 0 196

Pulau Kelapa 2 3 20 17 0 0 0 40

Kel . Pulau Panggang

Pulau Panggang 93 37 4 12 1 0 147

Pulau Pramuka 41 37 2 4 1 0 85

Kec. Kep Seribu Selatan

Kel. P. Tidung

Pulau Tidung 57 4 1 2 11 6 81

Pulau Payung 26 2 0 1 5 3 37

Kel. P. Pari

Pulau Pari 68 20 8 2 0 0 98

Pulau Lancang 73 17 9 2 0 0 101

Kel. P. Untung Jawa 74 16 31 3 0 0 124

Jumlah 587 262 183 28 20 9 1.089

(39)

Tabel 5 Jumlah kapal perikanan menurut jenis alat tangkap di Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu tahun 2008

Kelompok gross tonage (GT) Kecamatan/Kelurahan

Pulau Pancing Payang Muroami Bubu Jaring Lainnya Jumlah

Kec. Kep Seribu Utara

Kel. P. Harapan 0 61 9 96 3 11 180

Kel . Pulau Kelapa 122 93 0 9 4 8 236

Kel . Pulau Panggang 67 16 21 61 28 19 212

Kec. Kep Seribu Selatan

Kel. P. Tidung 74 0 0 17 15 12 118

Kel. P. Pari 83 0 0 52 37 27 199

Kel. P. Untung Jawa 50 0 0 71 0 3 124

Jumlah 396 170 30 306 87 80 1.069

Sumber : Suku Dinas Peternakan, Perikanan dan Kelautan Provinsi DKI Jakarta 2008

4.2.3 Nelayan

Mayoritas masyarakat di Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu bermata pencaharian sebagai nelayan. Menurut data tahun 2006, setidaknya terdapat 2.402 nelayan yang beroperasi di Kelurahan Pulau Panggang Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu.

Nelayan di Kelurahan Pulau Panggang dibedakan menjadi nelayan tetap dan nelayan musiman. Nelayan tetap adalah nelayan yang aktif melakukan aktivitas penangkapan ikan sepanjang tahun. Nelayan musiman merupakan nelayan yang melakukan aktivitas penangkapan ikan hanya pada musim ikan saja. Jumlah nelayan di Kelurahan Pulau Panggang, Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu dapat dilihat pada Tabel 6.

Tabel 6 Jumlah nelayan di Kelurahan Pulau Panggang, Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu tahun 2006

Jenis nelayan Lokasi

Tetap Musiman Total

Pulau Panggang

Pulau Pramuka

1.400

800

145

97

1.545

897

Total 2.200 242 2.442

[image:39.612.106.530.122.333.2]
(40)

27

4.2.4 Musim penangkapan ikan

Musim penangkapan ikan di Kepulauan Seribu dipengaruhi oleh musim yang terjadi di Indonesia. Umumnya nelayan melaut pada musim peralihan dan musim timur. Pada musim peralihan kondisi perairan tenang, sehingga nelayan berbagai macam alat tangkap melakukan operasi penangkapan ikan. Musim ini dianggap nelayan sebagai musim yang ideal, karena resiko kegagalan yang disebabkan oleh kondisi alam sangat minim. Musim peralihan terjadi pada bulan Maret hingga Mei dan musim timur terjadi pada bulan Juni-Agustus (Furqon 2008).

Masyarakat Kepulauan Seribu mengenal beberapa musim penangkapan ikan untuk beberapa jenis ikan berbeda. Penetapan berbagai musim penangkapan beberapa jenis ikan dilakukan berdasarkan pengalaman dan pengamatan nelayan. Musim penangkapan tersebut antara lain (Furqon 2008) :

1) Musim ikan tongkol (Auxis sp.)

Ikan tongkol merupakan jenis ikan pelagis yang melakukan migrasi melintasi Perairan Laut Jawa. Musim migrasi terjadi pada bulan Oktober hingga April. 2) Musim ikan tenggiri(Scomberomorus sp).

Ikan ini merupakan jenis ikan pelagis yang menjadi target utama nelayan karena memiliki harga jual yang tinggi. Ikan ini banyak dijumpai di Perairan Kepulauan Seribu antara bulan November hingga Desember.

3) Musim ikan baronang(Siganus sp.)

Ikan baronang merupakan salah satu jenis ikan karang yang berharga mahal. Ikan ini banyak dijumpai pada bulan Februari-Maret dan November-Desember. 4) Musim ikan kerapu (Epinephelus sp.), ekor kuning (Caesio sp.) dan cumi-

cumi dan (Loligo sp.).

Ketiga jenis ikan ini dapat dijumpai di perairan Kepulauan Seribu hampir sepanjang tahun.

5) Musim ikan cucut (Charcharinus sp.)

(41)

6) Musim teripang (Holothuria sp.) dan udang pengko (Lysiosquilla sp.)

Dalam setahun ada dua kali musim teripang, yaitu pada bulan Maret-April dan Oktober-November. Teripang merupakan komoditi yang bernilai ekonomis tinggi, harga jual ekspor dalam keadaan kering mencapai Rp 2.000.000,00/ kg (Ika 2009). Pada saat bersamaan, nelayan juga memanfaatkan musim ini untuk mencari udang pengko. Udang pengko (Lysiosquilla sp.) merupakan sejenis udang mantis yang hidup di dasar perairan dangkal sekitar pulau. Jenis udang ini cukup digemari oleh masyarakat. Harga jualnya mencapai Rp 30.000,00/ekor, sehingga tergolong komoditas bernilai ekonomis tinggi.

4.2.5 Daerah penangkapan ikan

Nelayan dapat melakukan kegiatan penangkapan ikan hampir di seluruh wilayah perairan Kepulauan Seribu kecuali area perairan konservasi alam. Ada dua wilayah di Perairan Kepulauan Seribu yang ditetapkan sebagai wilayah khusus yang tidak diperbolehkan untuk dijadikan sebagai daerah penangkapan ikan (Lampiran 1). Wilayah pertama adalah Zona Inti Taman Nasional yang merupakan bagian kawasan Taman Nasional Kepulauan Seribu yang dilindungi dan tidak diperbolehkan adanya perubahan keadaan alam oleh aktivitas manusia termasuk kegiatan penangkapan ikan. Zona Inti memiliki luas sekitar 4.449 ha. Zona Inti dibagi menjadi tiga bagian, yaitu Zona Inti I seluas 1.389 ha yang meliputi perairan sekitar Pulau Karang Rengat dan Gosong Rengat. Zona Inti II seluas 2.490 ha yang meliputi wilayah daratan dan perairan sekitar Pulau Penjaliran Timur dan Penjaliran Barat, dan perairan sekitar Pulau Peteloran Timur, Peteloran Barat, Buton, dan Gosong Penjaliran. Zona Inti III memiliki luas 570 ha meliputi perairan sekitar Pulau Belanda, Pulau Kayu Angin Bira dan Pulau Bira Besar bagian Utara. Wilayah kedua adalah Zona Perlindungan Taman Nasional yaitu bagian kawasan Taman Nasional Kepulauan Seribu yang berfungsi sebagai wilayah penyangga zona inti taman nasional. Zona Perlindungan memiliki luas

(42)

29

4.2.6 Produksi

Produksi perikanan laut pada tahun 2008 mencapai 2.375.125 kg dengan nilai Rp. 21.230.632,00. Produksi alat tangkap bubu menempati urutan ke empat setelah payang, pancing dan muroami yang mencapai 287.400 kg atau 12,57% dari volume produksi total pada tahun 2006. Selengkapnya jumlah volume dan nilai produksi perikanan menurut jenis alat tangkap di Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu pada tahun 2006 (Tabel 7).

Tabel 7 Volume dan nilai produksi perikanan menurut jenis alat tangkap di Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu tahun 2006

Volume produksi Nilai produksi No. Alat tangkap

kg % Rp* %

1 2 3 4 5 6 Pancing Payang Muroami Bubu Jaring Lainnya 915.000 1.058.400 370.000 287.400 87.045 17.280 33,45 38,70 13,53 10,51 3,18 0,63 8.105.653 6.890.152 2.715.293 2.668.693 709.911 140.930 38,18 32,46 12,79 12,57 3,34 0,66

Jumlah 2.735.125 100,00 21.230.632 100,00

Keterangan : *) Pendekatan harga pasar wilayah DKI Jakarta

(43)

5.1 Komposisi Hasil Tangkapan

Hasil tangkapan yang diperoleh dikelompokkan menjadi hasil tangkapan utama dan hasil tangkapan sampingan. Hasil tangkapan utama dibedakan atas ikan

konsumsi dan ikan hias. Pengelompokan ini didasarkan pada nilai ekonomis hasil tangkapan dan jenis pemanfaatannya oleh nelayan setempat.

Total hasil tangkapan yang diperoleh selama 12 hari operasional kedua jenis bubu berjumlah 655 ekor dengan berat mencapai 57.090 g. Hasil tangkapan utama yang diperoleh mencakup 8 famili ikan konsumsi dan 1 famili ikan hias. Ikan konsumsi yang tertangkap adalah famili Scaridae, Pomacentridae, Serranidae, Labridae, Lutjanidae, Siganidae, Nemipteridae dan Mullidae. Ikan hias yang tertangkap adalah famili Chaetodontidae. Hasil tangkapan sampingan yang diperoleh mencakup 9 famili, yaitu Portunidae Diogenidae, Muraenidae, Balistidae, Monacanthidae, Charcharinidae, Diodontidae, Pinguipedidae dan Caesiodae.

[image:43.612.110.508.513.729.2]

Hasil tangkapan total ikan konsumsi berjumlah 589 ekor (87,02%) dengan berat 48.130 g (83,62%). Hasil tangkapan total didominasi oleh famili Scaridae sebanyak 167 ekor (25,50%) dengan berat 15.140 g (26,52%). Komposisi hasil tangkapan kedua jenis bubu selama penelitian dapat dilihat pada Gambar 6 dan Tabel 8. 148 96 68 13 16 23 11 13

1 2 3 1 2 1 2 1

16 19 61 13 31 10 4 18

3 6 3 0 1 7 0 2 0 0

24 36 0 20 40 60 80 100 120 140 160 Scar idae Pom acen trida e Serra nide Labr idae Lutja nida e Siga nida e Nem ipte ridae Mul lidae Cha etod ontid ae Dio geni dae Mur aeni dae Balis tidae Mon acan thid ae Cha rcha rinid ae Dio dont idae Ping uipe dida e Cae siod ae Portu nida e Famili J u m la h ( eko r)

Bubu Kontrol Bubu Perlakuan

(44)
[image:44.612.109.520.93.443.2]

31

Tabel 8. Hasil tangkapan total.

Jumlah Berat

Hasil tangkapan

ekor % g %

Ikan Konsumsi

1. Famili Scaridae 167 25,50 15.140 26,52

2. Famili Pomacentridae 157 23,97 8.960 15,69

3. Famili Serranide 49 7,48 7.525 13,18

4. Famili Labridae 99 15,11 8.335 14,60

5. Famili Lutjanidae 23 3,51 1.970 3,45

6. Famili Siganidae 20 3,05 1.120 1,96

7. Famili Nemipteridae 41 6,26 3.280 5,75

8. Famili Mullidae 14 2,14 1.410 2,47

Ikan Hias

U

ta

m

a

1. Famili Chaetodontidae 19 2,90 390 0,68

Subtotal 589 89,92 48.130 84,31

1. Famili Portunidae 40 6,11 3.100 5,43

2. Famili Diogenidae 4 0,61 610 1,07

3. Famili Muraenidae 2 0,31 2.100 3,68

4. Famili Balistidae 4 0,61 940 1,65

5. Famili Monacanthidae 8 1,22 270 0,47

6. Famili Charcharinidae 2 0,31 1.000 1,75

7. Famili Diodontidae 3 0,46 640 1,12

8. Famili Pinguipedidae 2 0,31 190 0,33

S am p in g an

9. Famili Caesiodae 1 0,15 110 0,19

Subtotal 66 10,08 8.960 15,69

Total 655 100,00 57.090 100,00

5.1.1 Komposisi hasil tangkapan bubu nelayan

Hasil tangkapan bubu nelayan berjumlah 453 ekor dengan berat 41.580 g. Hasil tangkapan utama diperoleh sebesar 93,60% dari total jumlah individu, mencakup 411 ekor ikan konsumsi (90,73%) dan 13 ekor ikan hias (2,87%). Hasil tangkapan sampingan yang diperoleh sebanyak 29 ekor atau 6,40 % dari total individu. Komposisi hasil tangkapan bubu nelayan dapat dilihat pada Gambar 7 dan Tabel 9.

93.60%

6.40%

Hasil tangkapan utama Hasil tangkapan sampingan

[image:44.612.202.441.612.726.2]
(45)
[image:45.612.110.522.94.448.2]

Tabel 9. Hasil tangkapan bubu nelayan

Jumlah Berat

Hasil tangkapan

ekor % g %

Ikan Konsumsi

1. Famili Scaridae 148 32,67 13.470 32,40

2. Famili Pomacentridae 96 21,19 5.270 12,67

3. Famili Serranide 36 7,95 5.715 13,74

4. Famili Labridae 68 15,01 5.435 13,07

5. Famili Lutjanidae 13 2,87 1.090 2,62

6. Famili Siganidae 16 3,53 1.020 2,45

7. Famili Nemipteridae 23 5,08 1.780 4,28

8. Famili Mullidae 11 2,43 1.220 2,93

Ikan Hias

U

ta

m

a

1. Famili Chaetodontidae 13 2,87 280 0,67

Subtotal 424 93,60 35.280 84,85

1. Famili Portunidae 16 3,53 1.740 4,18

2. Famili Diogenidae 1 0,22 170 0,41

3. Famili Muraenidae 2 0,44 2.100 5,05

4. Famili Balistidae 3 0,66 720 1,73

5. Famili Monacanthidae 1 0,22 70 0,17

6. Famili Charcharinidae 2 0,44 1.000 2,41

7. Famili Diodontidae 1 0,22 200 0,48

8. Famili Pinguipedidae 2 0,44 190 0,46

S am p in g an

9. Famili Caesiodae 1 0,22 110 0,26

Subtotal 29 6,40 6.300 15,15

Total 453 100,00 41.580 100,00

Famili ikan konsumsi yang diperoleh mencakup famili Scaridae, Pomacentridae, Serranidae, Labridae, Lutjanidae, Siganidae, Nemipteridae, dan Mullidae. Famili yang tergolong ikan hias yang diperoleh adalah famili Chaetodontidae. Hasil tangkapan bubu nelayan didominasi oleh famili Scaridae sebanyak 148 ekor (32,67%) dengan berat 13.470 g (32,40%).

Jenis ikan famili Scaridae yang banyak tertangkap adalah ikan kakatua (Scarus sp.). Ikan dari famili ini merupakan ikan diurnal, yaitu terbiasa aktif mencari makan di siang hari. Ikan ini tergolong jenis ikan herbivora yang memakan alga yang menempel di permukaan terumbu karang, polyp karang dan zooxanthellae. Ikan kakatua hidup bergerombol (schooling) untuk mencari makanan di sekitar terumbu karang. Jika menemukan alga yang menempel di permukaan terumbu karang, ikan ini akan menggerus terumbu karang dengan

(46)

33

terumbu karang membuat gerombolan ikan kakatua tertarik untuk mencari alga yang menempel.

Jenis hasil tangkapan sampingan yang paling banyak tertangkap adalah biota dari famili Portunidae, yaitu Portunus hestatoides. Famili ini tertangkap sebanyak 16 ekor (3.53%) dengan berat 1.740 g (4,18%) dari total hasil tangkapan bubu nelayan. Famili Portunidae merupakan hewan karnivora. Mangsanya berupa ikan kecil dan moluska (Burgress dan Axelrood 1973). Keberadaan ikan kecil dan penggunaan umpan bintang laut bantal (Culcita novaguineae) diduga menyebabkan hewan ini terperangkap dalam bubu untuk mencari makanan.

Jenis ikan hasil tangkapan sampingan lainnya yang ikut tertangkap dalam bubu adalah ikan dari famili Charcharinidae, yaitu cucut tokek (Atelomycterus marmoratus) dan ikan dari famili Muraenidae, yaitu belut moray hitam dan belut moray putih. Famili Charcharinidae tertangkap sebanyak 2 ekor (0,44%) dengan berat1000 g (2,41%). Famili Muraenidae tertangkap sebanyak 2 ekor (0,44%) dengan berat 2.100 g (5,05%).

Famili Charcharinidae dan Muraenidae merupakan ikan pemakan daging. Hal ini dapat dibuktikan dengan keberadaan ikan mangsa yang sudah hancur di dalam bubu yang sama. Kedua famili ini bersifat soliter dan tinggal di celah-celah terumbu karang dengan kedalaman mencapai 15 m. Kedua famili ini merupakan hewan nokturnal yang aktif mencari makan di malam hari (Allen et al. 2002).

5.1.2 Komposisi hasil tangkapan bubu perlakuan

(47)

Tabel 10. Hasil tangkapan total bubu perlakuan

Jumlah Berat

Hasil Tangkapan

ekor % g %

Ikan Konsumsi

1. Famili Scaridae 19 9,41 1.670 10,77

2. Famili Pomacentridae 61 30,20 3.690 23,79

3. Famili Serranide 13 6,44 1.810 11,67

4. Famili Labridae 31 15,35 2.900 18,70

5. Famili Lutjanidae 10 4,95 880 5,67

6. Famili Siganidae 4 1,98 100 0,64

7. Famili Nemipteridae 18 8,91 1.500 9,67

8. Famili Mullidae 3 1,49 190 1,23

Ikan Hias

U

ta

m

a

1. Famili Chaetodontidae 6 2,97 110 0,71

Subtotal 165 81,68 12.850 82,85

1. Famili Portunidae 24 11,88 1.360 8,77

2. Famili Diogenidae 3 1,49 440 2,84

3. Famili Muraenidae 0 0,00 0 0,00

4. Famili Balistidae 1 0,50 220 1,42

5. Famili Monacanthidae 7 3,47 200 1,29

6. Famili Charcharinidae 0 0,00 0 0,00

7. Famili Diodontidae 2 0,99 440 2,84

8. Famili Pinguipedidae 0 0,00 0 0,00

S am p in g an

9. Famili Caesiodae 0 0,00 0 0,00

Subtotal 37 18,32 2.660 17,15

Total 202 100,00 15.510 100,00

18.32%

81.68%

[image:47.612.92.518.86.656.2]

Hasil tangkapan utama Hasil tangkapan sampingan

Gambar 8 Komposisi jenis hasil tangkapan bubu perlakuan

Hasil tangkapan bubu perlakuan didominasi oleh famili Pomacentridae

sebanyak 61 ekor (30,20 %) dengan berat 3.690 g (23,79%). Jenis ikan dari famili Pomacentridae yang tertangkap pada bubu perlakuan adalah ikan betok hitam

(48)

35

invertebrata dan plankton (Burgress dan Axelrood 1973). Umumnya ikan dari famili Pomacentridae mencari makan di celah–celah karang. Murdianto (2003)

menyatakan bahwa famili ini merupakan ikan yang terbanyak hidup di terumbu karang. Diduga bahwa ikan ini tertarik mendekati tutupan karung goni untuk

mencari alga yang menempel di karung goni. Selain itu juga diduga penggunaan umpan merupakan penyebab famili ikan ini tertarik masuk ke dalam bubu perlakuan dan bubu nelayan.

Famili Labridae ikut mendominasi hasil tangkapan bubu perlakuan. Famili Labridae yang didapat sebesar 31 ekor (15,35%) dengan berat 2.900 g (18,70%).

Jenis ikan yang tertangkap dalam bubu perlakuan terdiri atas ikan nori (Cheilinus fasciatus), ikan jarang gigi (Choerodon anchorago), ikan tikusan (Hemigymus malapterus), ikan salome (Halichoeres margaritaceus), ikan kenari kuning (Epibulus insidiator) dan ikan kenari coklat (Epibulus insidiator). Ikan famili Labridae aktif mencari makan pada siang hari dan hidup di sekitar terumbu karang (Arami 2006). Ikan famili Labridae memangsa berbagai jenis biota laut termasuk bulu babi (Diadema sp.) (Anonim 2009). Ikan famili ini diduga tertarik untuk masuk ke dalam bubu karena adanya umpan bulu babi (Diadema sp.) yang diletakkan di depan mulut bubu.

Famili Serranidade merupakan salah satu target penangkapan nelayan bubu di Kepulauan Seribu. Hal ini dikarenakan ikan kerapu tergolong ikan ekonomis penting. Harga jualnya bervariasi yang ditentukan oleh jenis dan ukuran ikan yang tertangkap. Jenis ikan dari famili Serranidae yang tertangkap dalam penelitian ini,

antara lain ikan kerapu koko (Epinephelus quoyanus), kerapu karet (Cephalopholis argus), kerapu hitam (Epinephelus ongus), kerapu merah (Epinephelus fasciatus) dan kerapu sunu (Plectpomus leopardus). Jumlah ikan kerapu yang tertangkap pada bubu perlakuan lebih sedikit dibandingkan dengan bubu nelayan, yaitu masing–masing sebanyak 13 ekor (6,44%) dan 36 ekor (7,95%). Ikan kerapu merupakan ikan karnivora yang aktif mencari makan di siang hari. Ikan kerapu umumnya hidup di gua-gua karang (Harmelin-Vivien 1979

(49)

adalah ikan dari famili Scaridae (High dan Breadsley 1970 diacu dalam Furevik 1994).

Famili Chetodontidae juga tertangkap dalam penelitian ini. Ikan famili ini hanya hadir jika masih terdapat karang hidup, sehingga kehadiran ikan famili

Chaetodontidae seringkali digunakan sebagai indikator kesehatan lingkungan karang. Ikan famili Chaetodontidae hanya memangsa polip karang (Romimohtarto dan Juwana 2000). Dalam penelitian yang dilakukan, jenis ikan dari famili Chaetodontidae yang tertangkap antara lain ikan marmut (Chaetodontoplus mesoleucus) dan ikan kepe strip delapan (Chaetodon octofasciatus). Komposisi jumlah ikan yang tertangkap di bubu nelayan lebih banyak dibandingkan dengan komposisi jumlah ikan yang tertangkap di bubu perlakuan, yaitu masing – masing sebanyak 13 ekor (2,87%) dan 6 ekor (2,97%). Diduga bahwa polip yang terdapat pada terumbu karang yang menjadi media penutup bubu menyebabkan ikan famili Chaetodontidae lebih tertarik untuk masuk ke dalam bubu nelayan.

5.2 Sebaran Panjang Hasil Tangkapan

Ada dua famili utama yang merupakan hasil tangkapan dominan dalam penelitian ini, yaitu Famili Scaridae dan famili Pomacentridae, sehingga hanya kedua famili tersebut yang dianalisis panjangnya. Kedua famili tersebut dikelompokkan berdasarkan jenis bubu. Bubu nelayan menangkap ikan famili Scaridae dalam berbagai ukuran panjang yang berkisar antara 10,5-26,5 cm, sedangkan famili Pomacentridae tertangkap pada ukuran 9-17,3 cm. Frekuensi panjang tertinggi untuk famili Scaridae terjadi pada selang 14-15 cm sebesar 42 ekor atau 28,38 % (Gambar 9). Frekuensi panjang tertinggi untuk famili Pomacentridae terjadi pada selang 13-14 cm sebanyak 41 ekor atau 42,71 % (Gambar 10).

(50)

37

10-11 12-13 14-15 16-17 18-19 20-21 22-23 24-25 26-28

0 5 10 15 20 25 30 35 40 45

Selang Panjang (cm)

J u m la h ( e k o r) Gambar 9 Sebaran frekuensi panjang famili Scaridae pada bubu nelayan

9-10 11-12 13-14 15-16 17-18 19-20 21-22 23-24

-5 10 15 20 25 30 35 40 45

Selang panjang (cm)

[image:50.612.159.486.85.267.2]

J u m a h ( e k o r)

Gambar 10 Sebaran frekuensi panjang famili Pomacentridae pada bubu nelayan

Gambar 11 Sebaran frekuensi panjang famili Scaridae pada bubu perlakuan

13-14 15-16 17-18 19-20 21-22 23-24

0 2 4 6 8 10 12

Selang panjang (cm)

[image:50.612.170.480.538.725.2]
(51)

9-10 11-12 13-14 15-16 17-18 19-20 21-22 0

5 10 15 20 25 30 35

Selang panjang (cm)

Ju

m

la

h

(

e

ko

r)

Gambar 12 Sebaran frekuensi panjang famili Pomacentridae pada bubu perlakuan

Ukuran panjang matang gonad atau length of first maturity merupakan acuan dalam menentukan ukuran ikan layak tangkap. Ukuran panjang saat matang gonad ikan kakatua (Scaridae) dimulai dari 15 cm (Adrim 2008). Hasil tangkapan

ikan kakatua pada bubu nelayan dan bubu perlakuan didominasi oleh individu yang berukuran di atas ukuran matang gonad. Jumlah ikan kakatua yang layak tangkap pada bubu nelayan sebanyak 118 ekor atau 71,52 % dengan kisaran ukuran 15-26,5 cm, sedangkan ikan kakatua yang layak tangkap pada bubu perlakuan sebanyak 17 ekor atau 89,47 % dengan kisaran ukuran panjang 15,3-23,3 cm.

Ukuran panjang saat matang gonad ikan betok laut (Pomacentridae) dimulai dari ukuran panjang 10,0-11,5 cm (Bessa 2007). Ikan betok laut layak tangkap yang tertangkap saat penelitian juga didominasi oleh ikan yang berukuran di atas matang gonad. Jumlah ikan betok laut yang layak tangkap pada bubu nelayan sebanyak 91 ekor atau 94,79 % dengan kisaran ukuran 10-17,3 c

Gambar

Gambar 5 Pengoperasian bubu dalam penelitian
Tabel 2  Luas pulau beserta peruntukannya di Kelurahan Pulau Panggang
Tabel 6 Jumlah nelayan di Kelurahan Pulau Panggang, Kabupaten Administrasi
Tabel 8. 160
+7

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan hasil penelitian tindakan kelas dapat disimpulkan bahwa melalui kegiatan bermain disentra balok dapat meningkatkan kemampuan visual spasial anak

Askeri İdadideki Tarih öğretmeni Mehmet Tevfik Bey’de Mustafa Kemal’e Tarih alan ı nda “Yeni Ufuklar” açm ı ş (Cebesoy;1971), O’nda tarih sevgisi oluşturarak, vatan ı n

dialokasikan sebagai beban langsung pada laporan laba rugi komprehensif konsolidasian. Depreciation expense from investment property is allocated as direct costs in the

adanya kontrak tersebut tidak mematuhi materi atau isi dari Undang-Undang pertambangan tebaru terkait Pasal 169 tentang pegantian sistem kontrak karya ke sistem izin

kewajiban dalam hal ini mengembalikan kendaraan sesuai dengan tepat waktu dan tidak membayar uang sewa sesuai dengan apa yang telah diperjanjikan , sesuai dengan

Melatih soft skills memang tidak bisa secara instan, oleh karena itu dalam proses belajar mengajar khususnya pada Sekolah Mengengah Kejuruan harus selalu

project-based learning, problem-based learning, dan discovery learning telah direkomendasikan oleh kurikulum 2013 sebagai strategi efektif dalam pembelajaran

Berdasarkan tabel 4.7 diperoleh nilai koefisien determinasi (R 2 ) sebesar 0.675, hal tersebut menunjukkan bahwa terdapat pengaruh kuat antara variabel harga (X1), pelayanan