KEBIJAKAN
PENGELOLAAN
PULAU
KECIL
PERBATASAN
BERBASIS GEOPOLITIK, DAYA DUKUNG EKONOMI DAN LINGKUNGAN(Kasus: Pulau Pulau Kecil Perbatasan Kabupaten Kepulauan Sangihe)
ACHMAD
NASIR
BIASANE
SEKOLAH
PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
SURAT
PERNYATAAN
MENGENAI
DISERTASI
DAN
SUMBER
INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa segala pernyataan dalam disertasi saya: “Kebijakan pengelolaan pulau pulau kecil perbatasan berbasis geopolitik, daya dukung ekonomi dan lingkungan (Kasus: pulau pulau kecil perbatasan Kepulauan Sangihe)” adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang telah diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulisan lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Bogor, Nopember 2011
ABSTRACT
Achmad Nasir Biasane. Policy on management of neighboring state small islands base on geopolitik, economic and envrironment carrying capacity (Case of small islands of Sangihe
archipelago). Under supervision of Akhmad Fauzi, Daniel R. Monintja, dan Dedi Soedharma.
Execution of Sipadan and Ligitan islands by International Court of Justice the part of sovereignty of Malaysia based on effective occupation, have encouraged Indonesia to be more aware and care for developing the neighboring state small islands. There are many national and regional institutions have developed programs and activities for the neighboring state small island, but the programs still sector and partial oriented, whereas no national policy yet concerning the neighboring state small islands management.
This research was to formulate comprehensive policy for the management of neighboring state small islands of Sangihe archipelago based on geo-politic, economic and environment carrying capacity. Specific objective were: (1) to evaluate and formulate of economic performance; (2) to evaluate and formulate of commodities; (3) to evaluate economic and environment carrying capacity; and (4) to evaluate and formulate the neighboring small islands conditions and the community appreciation of neighboring small islands management policy in Sangihe Archipelagic; and (5) to evaluate of the variables concering of illegal trade.
The research was conducted in Archipelagic Regency of Sangihe, North Sulawesi Province. Primary data collected at Tahuna, Marore Island, Matutuang Island, Tinakareng Island, and Kawio Island. Secondary data collected since proposal developing until data analysis. The method of analysis consist of (1) location quotient; (2) shift share; (3) the analysis of fisheries performance development, were: biological parameter, using the CYP (1992) estimator model, Gompertz growth function, and MAPLE analytical; (4) the management of fishery capture; and (5) the analysis of illegal trade on border region.
Results of study show that the potential sectors to be developed for Sangihe are capture fisheries and estate commodities. This research to develop of capture fisheries on analysis, basically the small pelagic fishing and big pelagic fishing. The average sustainable production of the small pelagic for 20 years (1988-2007) observation is 3214.39 tons/year, and big pelagic is 991.93 tons/year on the same period. The productivity of the fisheries were 0.431 tons/trip for small pelagic and 0.483 tons/trip for big pelagic. These depreciation value for small pelagic were 156.38 billion rupiah on 15% discount rate, and the rent accept 118.59 billion rupiah, and for 4.94% discount rate rent accept must 360.09 billion rupiah from 834.94 billion must be accept, because depreciation about 474.86 billion rupiah. Depreciation value for big pelagic were 98.29 billion rupiah on 15% discount rate, and the rent accept 97.13 billion and for 4.94% discount rate rent accept must 294.93 billion rupiah from 579.01 billion must be accept, because depreciation about 284.08 billion rupiah. For the optimal and sustainable fisheries management the effort level for small pelagic should be 5342 trips/year and big pelagic 1193 trips/year at discount rate 15%. The level must be lowered down around 46% for small pelagic management and 91% for big pelagic from the present level. Education, age, disparity of tuna price and disparity of crude coconut oil will be support the illegal trade on border area.
The priorities of neighboring small island policies are: (1) development of capture fisheries and estate commodities; (2) demarcation and delimitation of boundary state; (3) develop system of defence and security in the neighboring state small islands; (4) the change of agreement of border trade base on economic value; and (5) optimal and sustainable utilization of natural resource.
RINGKASAN
Achmad Nasir Biasane. Kebijakan Pengelolaan Pulau Pulau Kecil Perbatasan Berbasis Geopolitik, Daya Dukung Ekonomi, dan Lingkungan (Kasus Pulau Pulau Kecil Perbatasan Kepulauan Sangihe Provinsi Sulawesi Utara), dibawah bimbingan Akhmad Fauzi, Daniel R. Monintja, dan Dedi Soedharma.
Keputusan Mahkamah Internasional yang menetapkan P. Sipadan dan Ligitan adalah bagian kedaulatan Negara Malaysia, dengan salah satu pertimbangannya adalah penguasaan terus menerus, telah memberikan kesadaran pentingnya memberi perhatian secara khusus terhadap pulau-pulau kecil perbatasan. Kebijakan dan program pengelolaan sampai saat ini masih bersifat parsial dan sektoral akibatnya belum ada kebijakan nasional untuk dijadikan payung bersama dalam pengelolaannya.
Penelitian ini bertujuan merumuskan alternatif kebijakan dan program pengelolaan pulau- pulau kecil perbatasan Kepulauan Sangihe berbasis geopolitik, daya dukung ekonomi, dan lingkungan. Secara khusus penelitian ini bertujuan: (1) mengevaluasi dan menganalisis kinerja ekonomi Kabupaten Kepulauan Sangihe; (2) mengevaluasi dan menganalisis komoditas unggulan; (3) mengevaluasi dan menganalisis daya dukung ekonomi dan lingkungan; (4) mengevaluasi dan menganalisis kondisi dan perkembangan serta aspirasi masyarakat pP2K perbatasan Kepulauan Sangihe; dan (5) menganalisis peubah yang berpengaruh terhadap perdagangan illegal.
Penelitian ini dilaksanakan di Kabupaten Kepulauan Sangihe dengan pengumpulan data primer dilakukan di Tahuna, P. Marore, P. Matutuang, P. Tinakareng, P. Kawaluso, dan P. Kawio. Pengumpulan data sekunder dilakukan sejak penyusunan proposal sampai pengolahan data. Analisis dilakukan secara kuantitatif dan kualitatif dengan metode: (1) location quotient; (2) shift share; (3) analisis keragaan perikanan tangkap dengan menggunakan parameter biologi, CYP (1992) model estimasi, fungsi pertumbuhan Gompertz, dan MAPLE (4) rezim pengelolaan sumber daya perikanan; dan (5) analisis perdagangan illegal dengan menggunakan regresi logit, serta (6) analisis wacana dan analisis isi.
Hasil penelitian menunjukkan komoditas yang potensial untuk dikembangkan untuk Kepulauan Sangihe adalah perikanan tangkap dan tanaman perkebunan. Penelitian ini selanjutnya memprioritaskan pambahasannya pada sektor perikanan pelagis kecil dan ikan pelagis besar. Rata-rata produksi lestari ikan pelagis kecil selama 20 tahun (1988-2007) pengamatan adalah 3214.45 ton/tahun, dan ikan pelagis besar sebesar 991.93 ton/tahun. Produktivitas ikan pelagis kecil 0.431 ton/trip dan pelagis besar 0.483 ton/trip. Depresiasi pada discount rate 15% untuk pelagis kecil sebesar Rp. 156.38 miliar sehingga rente yang diterima hanya Rp.118.59 miliar, dan pada discount rate 4.94% rente yang diterima hanya Rp. 360.09 miliar dari Rp. 834.94 miliar yang seharusnya diterima, karena terdepresiasi Rp. 474.86 miliar. Depresiasi pada discount rate 15% untuk pelagis besar sebesar Rp. 98.29 miliar sehingga rente yang diterima hanya Rp.97.13 miliar, dan pada discount rate 4.94% rente yang diterima hanya Rp.294.93 miliar dari Rp. 579.01 miliar yang seharusnya diterima, karena terdepresiasi Rp. 284.08 miliar. Untuk tetap optimal dan lestari pengelolaan ikan pelagis kecil harus dikelola pada effort 5342 trip/tahun dan ikan pelagis besar sekitar 1193 trip/tahun pada discount rate 15%. Selain itu input level dalam pengelolaan ikan pelagis kecil harus diturunkan sebesar 45% dan untuk pelagis besar sekitar 91% dari level input yang ada saat ini.
ekonomi oleh karena itu tekanan terhadap penangkapan ikan secara illegal akan berkurang karena memiliki kesempatan kerja dan kesempatan berusaha yang lain. Sejalan dengan itu perwujudan pengawasan terhadap sumber daya ikan oleh nelayan Kepulauan Sangihe akan terwujud karena memiliki pasar yang tetap yaitu General Santos untuk wilayah Kecamatan Marore, Kecamatan Nusa Tabukan, dan Kecamatan Tabukan Utara. Berkaitan dengan itu, pemenuhan kebutuhan komoditas lainnya akan mengalir dengan daya tarik pasar tersebut akibat adanya disparitas harga yang cukup tinggi antara wilayah Bitung/Manado dengan Kepulauan Mindanao, Filipina. Oleh karena itu penelitian memberikan masukan tentang kebijakan pengelolaan pulau-pulau kecil perbatasan dengan lima pokok kebijakan yaitu: (1) pengembangan perikanan tangkap dan tanaman perkebunan, (2) demarkasi dan delimitasi batas negara; (3) pengembangan sistem pertahanan dan keamanan; (4) perubahan perjanjian perdagangan lintas batas pada nilai ekonomi; dan (5) pengelolaan sumber daya alam secara lestari dan optimal.
@
Hak
Cipta
milik
Institut
Pertanian
Bogor,
tahun
2011
Hak
Cipta
dilindungi
Dilarang
mengutip
dan
memperbanyak
tanpa
izin
tertulis
dari
KEBIJAKAN PENGELOLAAN PULAU KECIL PERBATASAN BERBASIS GEOPOLITIK, DAYA DUKUNG EKONOMI DAN LINGKUNGAN (Kasus: Pulau Pulau Kecil Perbatasan Kabupaten Kepulauan Sangihe)
Oleh:
ACHMAD NASIR BIASANE P. 062034291
Disertasi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor Program Studi Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan
SEKOLAH PROGRAM PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Peguji luar ujian tertutup :
1. Dr. Ir. Etty Riani
2. Dr. Suzy Anna, MSi.
Peguji luar ujian terbuka :
1. Prof. Dr. Ir. Laode M. Kamaludin, MEng.
PRAKATA
Jauh sebelum Belanda berlayar ke Nusantara, bangsa Spanyol sudah menjajah Filipina Selatan. Perang di Eropa dan persaingan kekuasaan Belanda dan Spanyol akhirnya mereda setelah kedua bangsa ini sepakat menandatangani Perjanjian Damai Munster tahun 1648. Lewat perjanjian ini, Spanyol mengakui Negara Persatuan Belanda menjadi negara yang merdeka dan berdaulat, sekaligus menentukan batas wilayah jajahan di bagian utara Laut Sulawesi menjadi wilayah Spanyol berpusat di Manila, sedangkan di bagian selatan milik Belanda yang berpusat di Ternate.
Pada tanggal 16 Agustus sampai 25 Desember 1677, Gubernur Maluku Robertus Padtbrugge melakukan perjalanan ke Sulawesi bagian utara dan mengembangkan istilah noorden ienlanden (pulau-pulau lebih utara) atau Nusa Utara (Kepulauan Sangihe, Talaud dan Sitaro). Perjalanan ini juga memiliki kepentingan geopolitik Belanda karena di bagian utara (Filipina) adalah wilayah jajahan Spanyol, serta kepentingan ekonomi monopoli dagang rempah-rempah kompeni dengan komoditas utama adalah kopra, pala dan cengkeh, serta merubah kiblat ekonomi, pendidikan dan kekerabatan masyarakat Nusa Utara dari Ternate dan Filipina Selatan, dipandu ke daratan Sulawesi khususnya Manado dan ditasbihkan Nusa Utara sebagai landstreek van Manado (perpanjangan daratan Manado), dengan demikian perdagangan yang dilakukan ke Filipina Selatan dikategorikan sebagai kegiatan illegal.
Pola ini diakomodasi oleh pemerintah Indonesia dan Filipina setelah kedua negara memiliki kedaulatan negara karena kemerdekaan dan pernyataan “batas” kedua negara. Penelitian ini mencoba masuk ke urat nadi permasalahan Nusa Utara agar pengabaian Nusa Utara sebagai wilayah ekonomi dapat dihentikan.
Akhirnya tiada kenyataan tanpa harapan, tiada keberhasilan tanpa kerja, dan tiada perencanaan tanpa rumusan dan informasi. Berbaur dengan masyarakat pulau kecil itulah informasi, dan keinginan hakiki yang harus disampaikan kepada pengambil kebijakan untuk menoleh ke utara Indonesia dalam hamparan pulau kecil terletak daerah harapan bernama Nusa Utara. Penelitian ini ingin melakukan keseimbangan paradigma border crossing agreement (BCA) sebagai poros paradigma keamanan kepada border trade agreement (BTA) sebagai pendekatan keamanan dan ekonomi melebur menjadi satu kesatuan. Semoga.
Bogor, Nopember 2011
RIWAYAT
HIDUP
Penulis dilahirkan di Kampung Tidore, Kecamatan Tahuna, Kepulauan Sangihe pada
tanggal 23 Maret 1955 dari pasangan Muhammad Biasane (Almarhum) dan Siti Aisyah Basiri
(Almarhumah). Penulis menimbah pendidikan dasar di Sekolah Dasar (SD) Yayasan Pendidikan
Kristen Tahuna (ibukota Kabupaten Kepulauan Sangihe), setelah tampat SD, penulis
melanjutkan ke Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) juga di Tahuna, selanjutnya ke
Sekolah Menengah Atas (SMA) di Telukbetung Bandarlampung, namun tidak selesai, dan
melanjutkan kembali ke SMA Negeri Tahuna di Sangihe.
Setelah lulus dari SMA Negeri I Tahuna Kabupaten Kepulauan Sangihe, penulis
melanjutkan ke pendidikan tinggi pada tahun 1975 di Fakultas Pertanian Universitas Lampung
(Unila), dan lulus pada tahun 1982. Penulis melanjutkan program magister di Program Studi
Komunikasi Pembangunan Pertanian Sekolah Pascasarjana IPB, dan selanjutnya tahun 2004
penulis mendapat kesempatan untuk melanjutkan program doktor (S3) pada Program Studi
Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan di Sekolah Pascasarjana IPB. Artikel yang
berjudul Kebijakan Pengelolaan Pulau Kecil Perbatasan Berbasis Geopolitik, Daya Dukung
Ekonomi dasn Lingkungan dimuat dalam Jurnal Sosio Ekonomika edisi Desember 2011 Vol 16
No 2. Artikel tersebut merupakan bagian dari Disertasi penulis.
Penulis menikah dengan Dra Clara Tiwow, SH. MSi di Tahuna dan dikarunia dua orang
putri yaitu Dewi Indira Biasane, SH. MSi dan Pratiwi Dwiastuti Biasane, S.Kom. Saat ini
mengelola Pusat Pendidikan dan Pelatihan Graha Insan Cita, yang dibangun oleh Yayasan Bina
UCAPAN
TERIMA
KASIH
Puji syukur dipanjatkan kehadirat Allah SWT, karena perkenaan-Nya penelitian
“Kebijakan Pengelolaan Pulau Pulau Kecil Perbatasan Berbasis Geopolitik, Daya Dukung
Ekonomi dan Lingkungan (Kasus: Pulau Pulau Kecil Perbatasan Kepulauan Sangihe)” telah
tersusun. Judul ini diminati, karena semasa kecil penulis sering “bermain” dengan nelayan
Filipina (khususnya nelayan berasal dari P. Balut, dan P. Saranggani) karena penulis sendiri
berasal dari Sangihe dan kedua orang tua berasal dari Kecamatan Tabukan Utara. Konon di P.
Bukide dan P. Tinakareng tempat asal usul penulis kegiatan dagang pada 340 tahun silam marak
dilakukan oleh penduduk setempat, tetapi saat ini marak dengan penyelundupan.
Terumbu
karang yang indah, gunung api bawah laut, pasir putih, pala, cengkeh, dan ikan, serta udang dan
lobster, semuanya belum dapat dimanfaatkan sebagai potensi perbaikan hidup dan kehidupan
masyarakat. Terbungkus dorongan tersebut, penelitian ini dilakukan dan menghasilkan buah
pikiran yang hadir dalam bentuk disertasi, dengan harapan sumbangan yang “kecil” ini akan
mampu menggugah para pengambil keputusan untuk memikirkan nasib masyarakat yang berada
di ujung utara Sulawesi yang taat menjadi warga Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Berbagai upaya dilakukan untuk menghadirkan disertasi ini, dimulai dari memetakan
masalah, menganalisis sampai menarik kesimpulan, tidak mungkin selesai tanpa bantuan
pemikiran, sumbangan, dan dorongan orang lain, oleh karena itu, pada tempatnya penulis
menyampaikan penghargaan dan terimakasih tak terhingga kepada:
1. Prof. Dr. Ir. Akhmad Fauzi, MSc., Prof. Dr. Ir. Daniel R. Monintja., Prof. Dr. Ir. Dedi
Soedharma, DEA., sebagai komisi pembimbing atas segala arahan dan bimbingan yang
diberikan hingga selesainya disertasi ini.
2. Dekan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor (IPB) beserta staf, dan Ketua
Program Studi Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan (PSL) beserta staf atas
segala perhatian dan fasilitas yang penulis terima selama mengikuti pendidikan
pascasarjana.
3. Kanda Prof. Abdulkadir Muhammad, SH., beserta ayunda Siti Syamsiah, Soleman
Biasane Taneko, SH.MA.(Almarhum), Rizani Puspawidjaja, SH., Meita Djohan
Oelangan, SH.MH, serta adinda Sugiarto SH., beserta Qomariah Biasane dan seluruh
keluarga atas pengertian dan kesabaran serta dorongan yang diberikan dalam
penyelesaian studi pascasarjana dan penyusunan disertasi.
4. Pengurus Yayasan Bina Insan Cita, terutama: Dr. Ir. Akbar Tandjung., Harun Kamil, SH.,
Prof. Dr. Ir. Hidayat Syarief, MS., dan lain-lain yang telah memberikan dorongan dalam
penyelesaian disertasi ini.
5. Bupati Kabupaten Kepulauan Sangihe (Bapak Drs Winsulangi Salindeho), beserta jajaran
Pemerintah Daerah mulai dari tingkat kabupaten sampai desa. Khususnya Kepala
Kampung (Wawu Lao) Desa Marore (P. Marore), dan pimpinan desa yang berada di P.
Matutuang, P. Kawio., P. Lipang., dan P. Kawaluso, penulis sampaikan ucapan terima
kasih atas semua informasi sehingga mempermudah penyusunan disertasi ini.
6. Khusus kepada istri yang tercinta Dra. Clara Tiwow, SH. M.Si., dan ananda Dewi Indira
Biasane, SH.MSi, dan Pratiwi Dwiastuti Biasane, S. Kom., penulis sampaikan
terimakasih atas iringan do’a dan dukungan moril yang diberikan selama penulis
menjalani studi ini.
Mudah-mudahan bantuan dan dorongan yang diberikan dari semua pihak beserta keluarga
akan dapat memberikan makna bagi sumbangan pemikiran dalam pengelolaan pulau-pulau kecil
DAFTAR
ISI
Halaman
Prakata x
Daftar Isi xiv
Daftar Tabel xvi
Daftar Gambar xx
Daftar Lampiran xxi
1 PENDAHULUAN 1
1.1 Latar Belakang 1
1.2 Identifikasi dan Perumusan Masalah 8
1.3 1.4 1.5
Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian Kerangka Pendekatan Masalah
Kebaruan Penelitian
10 11 13
2 TINJAUAN PUSTAKA 15
2.1 Pulau Pulau Kecil (P2K) Perbatasan 15
2.2 Geopolitik dan Geostrategi 16
2.3 Pengelolaan Kawasan Perbatasan 19
2.4 Daya Dukung dalam Pengelolaan P2K Perbatasan 22
2.5 2.6 2.7 2.8 2.9
Penilaian Depresiasi Sumber Daya Ikan Pengelolaan Sumber Daya Ikan Secara Optimal Model Bio-Ekonomi Sumber Daya Perikanan Perkembangan Wilayah dan Model Ekonomi Basis Model Analisis Regresi dengan Peubah Katagorik
24 25 28 30 34
3 METODOLOGI PENELITIAN 36
3.1 3.2 3.3
Pemetaan Proses Penelitian Wilayah Penelitian Ruang Lingkup Penelitian
36 39 41
3.4 Data dan Metode Pengumpulan Data 41
3.5 Metode Analisis Data 43
3.5.1 Analisis ekonomi basis
3.5.2 Evaluasi perkembangan perikanan tangkap 3.5.3 Analisis data kualitatif
3.5.4 Analisis logit
43 45 58 59
4 KONDISI UMUM WILAYAH PENELITIAN 61
4.1 Keadaan Geografis dan Iklim 61
4.2 Penduduk dan Ketenagakerjaan 62
4.3 Perkembangan Usaha Pertanian 65
4.4 Perdagangan 68
4.5 Transportasi dan Pariwisata 70
4.6 4.7
Profil Kawasan Perbatasan Kepulauan Sangihe Mengenal Profil Pulau-Pulau Perbatasan
5 HASIL DAN PEMBAHASAN 84
5.1 Kondisi Ekonomi Kabupaten Kepulauan Sangihe 84
5.1.1 Struktur ekonomi (PDRB-ADHB) 84
5.1.2 Pertumbuhan ekonomi (PDRB-ADHK) 87
5.2 Analisis Sektor Unggulan Kepulauan Sangihe 91
5.2.1 5.2.2
Analisis location quotient (LQ) Perhitungan factor pengganda
91 94
5.2.3 Analisis shift share 96
5.2.4 Subsektor/komoditas unggulan 105
5.3 Analisis Daya Dukung Perikanan Tangkap 106
5.3.1 Data keragaan perikanan tangkap 106
5.3.2 5.3.3 5.3.4 5.3.5 5.3.6
Standardisasi effort
Produktivitas hasil tangkapan Estimasi parameter biologi Pendugaan produksi lestari Degradasi sumber daya perikanan
111 115 118 120 127
5.4 Analisis Ekonomi Pengembangan Perikanan Tangkap 128
5.4.1 Estimasi parameter ekonomi 128
5.4.2. Depresiasi sumber daya perikanan 131
5.4.3 Pengelolaan sumber daya perikanan yang optimal 136 5.5
5.6 5.7 5.8
Rezim Pengelolaan Sumber Daya Perikanan Kondisi Perbatasan Kepulauan Sangihe Analisis Perdagangan Illegal
Aspirasi Masyarakat P2K Perbatasan Kepulauan Sangihe
144 148 169 173
5.9 Implikasi Kebijakan 182
6 KESIMPULAN DAN SARAN 186
6.1 Simpulan 186
6.2 Saran-saran 189
DAFTAR PUSTAKA 190
DAFTAR
TABEL
Halaman
1 Nisbah luas laut dan daratan Kepulauan Nusa Utara 3
2 Penduduk, persentase, dan tingkat kepadatan penduduk di Kabupaten 63 Kepulauan Sangihe Tahun 2009
3 Rekapitulasi kegiatan Pos Marore selama Tahun 2007 64
4 Luas panen, produksi dan produktivitas tanaman pangan, buah-buahan dan sayuran di Kabupaten Kepulauan Sangihe
5 Luas areal, produksi dan produktivitas tanaman perkebunan di Kabupaten
66
67 Kepulauan Sangihe Tahun 2007
6 Banyaknya pemasukan bahan penting di Kabupaten Kepulauan Sangihe 68
7 Pengeluaran antar pulau hasil bumi di Kabupaten Kepulauan Sangihe 69
8 Kunjungan kapal penumpang dan barang di Kabupaten Kepulauan Sangihe 70
9 Lokasi wisata di Kabupaten Kepulauan Sangihe 71
10 Kunjungan wisatawan nusantara dan manca negara di Kabupaten Kepulauan
72 Sangihe
11 Wilayah P2K Perbatasan Kepulauan Sangihe 73
12 Posisi geografis P2K Perbatasan Kabupaten Kepulauan Sangihe 75
13 Struktur perekonomian Kabupaten Kepulauan Sangihe 85
14 Pertumbuhan ekonomi Kabupaten Kepulauan Sangihe 88
15 Hasil analisis LQ kegiatan ekonomi di Kabupaten Kepulauan Sangihe 92
16
17
18
19
Hasil perhitungan ekspor ke luar wilayah (LQ-1)/LQ*Eil untuk Kabupaten Kepulauan Sangihe
Nilai PDRB ADHK tahun 2005 dan tahun 2009 untuk Kabupaten Kepulauan Sangihe dan Provinsi Sulawesi Utara yang digunakan dalam perhitungan shift share
Hasil shift share kegiatan ekonomi Kabupaten Kepulauan Sangihe
Analisis sensitivitas dan skenario pertumbuhan PDRB Kepulauan Sangihe 2013
95
97
98
20 Produksi aktual jenis ikan yang dianalisis 108 21 22 23 24 25 26
Produksi ikan pelagis kecil hasil disagregasi
Produksi ikan pelagis besar hasil disagregasi
Effort standar dan total effort alat tangkap dari jenis ikan pelagis kecil
Effort standar dan total effort alat tangkap dari jenis ikan pelagis besar
Produktivitas hasil tangkapan ikan pelagis kecil
Produktivitas hasil tangkapan ikan pelagis besar
110 111 113 114 115 117
27 Nilai penduga yang digunakan untuk menduga parameter biologi 119
28 Parameter biologi jenis ikan yang dianalisis dalam penelitian 119
29 Fungsi produksi menurut fungsi Logistik dan Gompertz 120
30
31
Effort, produksi aktual dan produksi lestari ikan pelagis kecil
Effort, produksi aktual dan produksi lestari ikan pelagis besar
121
123
32 Biaya total penangkapan ikan pelagis kecil menurut alat tangkap 129
33 Harga satuan ikan dan biaya (Rp/trip) dalam penangkapan ikan yang dianalisis
34 Perubahan rente ekonomi (depresiasi) sumber daya ikan pelagis kecil di perairan Kepulauan Sangihe
35 Perubahan rente ekonomi (depresiasi) sumber daya ikan pelagis besar di perairan Kepulauan Sangihe
130 132 135 36 37 38 39 40 41
Optimal rent dan present value pengelolaan optimal ikan pelagis kecil
Optimal rent dan present value pengelolaan optimal ikan pelagis besar
Persentase perbedaan effort dan rent dalam pengelolaan ikan pelagis kecil secara optimal dan lestari
Persentase perbedaan effort dan rent dalam pengelolaan ikan pelagis besar secara optimal dan lestari
Perbandingan rezim pengelolaan MSY, MEY dan open access dengan kondisi aktual ikan pelagis kecil
Perbandingan rezim pengelolaan MSY, MEY dan open access dengan kondisi aktual ikan pelagis kecil
42
43
44
45
46
47
Jumlah perjanjian dan/atau kesepakatan, jumlah yang diratifikasi dan tidak diratifikasi perjanjian dan/atau kesepakatan antara Indonesia dan Filipina
Daftar kasus pidana perijinan di wilayah Lantamal VI (januari – Juli 2004)
Output analisis logit
Persepsi responden terhadap geopolitik dan hankam dalam pengelolaan P2K perbatasan Kepulauan Sangihe
Persepsi responden terhadap daya dukung ekonomi dalam pengelolaan P2K perbatasan Kepulauan Sangihe
Persepsi responden terhadap daya dukung lingkungan dalam pengelolaan P2K perbatasan Kepulauan Sangihe
153
158
169
175
179
DAFTAR
GAMBAR
Halaman 1 2Pendekatan masalah penelitian kebijakan pengelolaan P2K perbatasan
Diagram konsep dari model perhitungan shift share
12 33
3 Pemetaan proses penelitian kebijakan pengelolaan P2K Perbatasan 37
4 Lokasi penelitian Kepulauan Sangihe 40
5 Batas maritim wilayah Indonesia dengan Filipina 74
6 Pulau Marore pada posisi geografis 80
7
8
Pulau Kawio pada posisi geografis
Grafik perkembangan produktivitas ikan pelagis
82
118
9 Grafik produksi aktual dan lestari ikan pelagis kecil 122
10 11 12
Grafik produksi aktual dan lestari ikan pelagis besar
Sustainable yields dan produksi aktual ikan pelagis kecil menurut fungsi Gompertz
Sustainable yields dan produksi aktual ikan pelagis besar menurut fungsi Gompertz
124 125 125
13 Grafik degradasi ikan pelagis kecil dan ikan pelagis besar 127
14 Present value, rente, dan depresiasi sumber daya ikan pelagis kecil 134
15 Present value, rente dan depresiasi sumber daya ikan pelagis besar 136
16 Perbandingan produksi aktual, lestari dan produksi optimal ikan pelagis kecil pada market discount rate 15% dan real discount rate 4.94%
17 Perbandingan produksi aktual, lestari dan produksi optimal ikan pelagis besar
139
139 pada market discount rate 15% dan real discount rate 4.94%
18 Rezim pengelolaan biomass perikanan pelagis kecil 144
19 Rezim pengelolaan hasil tangkapan, effort dan rente ekonomi ikan pelagis kecil 145
20 Rezim pengelolaan biomass perikanan pelagis besar 146
21
22
Rezim pengelolaan hasil tangkapan, effort dan rente ekonomi ikan pelagis besar
Sulawesi Utara sebagai hubungan Kawasan Timur Indonesia
147
DAFTAR
LAMPIRAN
Halaman 1 2 3PDRB Kebupaten Kepulauan Sangihe atas dasar harga berlaku (ADHB) menurut lapangan usaha
PDRB Kebupaten Kepulauan Sangihe atas dasar harga konstan (ADHK) menurut lapangan usaha
PDRB Provinsi Sulawesi Utara atas dasar harga konstan (ADHK) menurut lapangan usaha
200 201 202
4 Perhitungan nilai sektor lokal dibagi dengan jumlah PDRB lokal Kabupaten Kepulauan Sangihe (Eil/El)
5 Perhitungan nilai sektor regional Sulawesi Utara dengan jumlah PDRB
203
204 regional Provinsi Sulawesi Utara (Eir/Er)
6 Hasil perhitungan nilai (LQ-1)/LQ untuk Kepulauan Sangihe 205
7
8
Perhitungan CPUE dan effort standar alat tangkap dari jenis ikan pelagis kecil
Perhitungan CPUE dan effort standar alat tangkap dari jenis ikan pelagis besar 206 207
9 Perhitungan untuk menentukan koefisien penduga dengan menggunakan microsoft excel kelompok ikan pelagis kecil
10 Perhitungan untuk menentukan koefisien penduga dengan menggunakan
208
209 microsoft excel kelompok ikan pelagis besar
11 Perhitungan nilai r, q, dan K ikan pelagis kecil 210
12 Perhitungan nilai r, q, dan K ikan pelagis besar 210
13 Maple analitik fungsi produksi ikan pelagis kecil 211
14 Maple analitik fungsi produksi ikan pelagis besar 212
15 Proses perhitungan produksi lestari ikan pelagis kecil 213
16 Proses perhitungan produksi lestari ikan pelagis besar 214
17 Perhitungan persentase degradasi dalam penangkapan ikan pelagis kecil 215
18 Perhitungan persentase degradasi dalam penangkapan ikan pelagis besar 216
20 Proses pehitungan biaya produksi dalam penangkapan ikan pelagis besar 219
21 Perhitungan discount rate dari Kulla 221
22 Proses pehitungan rente aktual dan lestari untuk menghitung depresiasi sumber daya ikan pelagis kecil
23 Proses pehitungan rente aktual dan lestari untuk menghitung depresiasi sumber daya ikan pelagis besar
24 Maple analitik pengelolaan optimal perikanan pelagis kecil pada market discount rate 15% dan real discount rate 4,94%
25 Maple analitik untuk penentuan pengelolaan optimal ikan pelagis besar pada
222
223
224
227 market discount rate 15% dan real discount rate 4.94%.
26 Maple analitik rezim pengelolaan 229
27 Kuesioner untuk pedagang/nelayan yang melakukan dan atau tidak
232 melakukan kegiatan penyeludupan ke Filipina
28 Data hasil kuesioner dari penyelundupan antara Sangihe dengan P. Mindanao 234
29
30
Output analisis logit dengan Eviews
Persepsi responden dalam pengelolaan P2K perbatasan Kabupaten Kepulauan Sangihe
235
1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Dalam peta teritorial Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), Kabupaten
Kepulauan Sangihe merupakan salah satu kabupaten yang menempati posisi paling utara dan
berbatasan dengan negara tetangga Filipina serta berada di Laut Sulawesi dan pinggir Samudera
Pasifik. Letak geografis tersebut menempatkan posisi Kabupaten ini sebagai daerah perbatasan
dan memiliki nilai strategis, mengingat besarnya peluang melakukan kerjasama interregional-
internasional yang berpengaruh terhadap akses pasar global, tetapi di sisi lain posisi ini
mengandung kerawanan-kerawanan tertentu, antara lain: infiltrasi idiologi asing, terorisme
internasional, penyelundupan, pencurian sumber daya alam (SDA), dan berbagai kegiatan illegal
lainnya.
Persoalan perbatasan negara bukan hanya mencakup persoalan teritorial, melainkan juga
persoalan pengelolaan SDA dan kebanggaan identitas yang dalam konteks tertentu menjadi faktor
penting terhadap kebanggaan lokal dan nasional. Persoalan perbatasan menjadi isu penting dalam
agenda keamanan nasional.
Perbatasan negara Indonesia di wilayah Kabupaten Kepulauan
Sangihe, sering dijadikan jalur penyaluran senjata dan manusia untuk melakukan kegiatan
terorisme di wilayah timur Indonesia, mulai perbatasan Filipina Selatan dari Zamboaga dan
Davao (Mindanao), menuju kepulauan Sulu ke Serawak dan Nunukan Kalimatan serta Kepulauan
Sangihe Talaud di Sulawesi Utara menuju Maluku dan Sulawesi Tengah.
Pencurian ikan oleh kapal-kapal asing di perairan zone ekonomi eksklusif (ZEE) maupun
laut teritorial dari tahun ke tahun menunjukkan kecenderungan yang masih tinggi dan meningkat,
sudah sampai pada tahap yang mengkuatirkan karena dampaknya luar biasa, yaitu rusaknya
kelestarian sumber daya ikan (SDI) dan kehilangan nilai ekonomi. Menurut Ditjen PSDKP
(2009) modus penangkapan ikan oleh kapal-kapal asing illegal tersebut adalah menggunakan alat
teritorial. Tiga kawasan yang menjadi daerah operasi kapal asing illegal, yaitu: (1) Laut Natuna,
didominasi oleh kapal-kapal Vietnam, Thailand, Cina dan Malaysia; (2) perairan utara Sulawesi
Utara yang berbatasan dengan Filipina yang didominasi oleh kapal-kapal Filipina (“pump boat”)
dengan menggunakan alat tangkap hand line dan purse seine; dan (3) laut Arafura yang
didominasi oleh kapal-kapal Thailand dan Cina dengan menggunakan alat tangkap pukat ikan dan
gillnet.
Kedudukan pulau-pulau kecil (P2K) perbatasan Kepulauan Sangihe memiliki aspek
penting sebagai pita pengamanan nasional (national security belt) ditinjau dari perspektif
keamanan nasional, dan secara geopolitik ikut menentukan Indonesia sebagai negara kepulauan
(archipelagic state). Menurut Setiyono (2000), keutuhan wilayah negara Kepulauan Indonesia
terjaga justru peranan P2K terluar yang lokasinya terpencil di perbatasan. Indonesia
menggunakan ujung terluar daratan atau pulau sebagai dasar pengukuran lebar laut wilayah, zona
ekonomi eksklusif (ZEE), maupun landas kontinen. Salah satu pulau yang digunakan sebagai
titik dasar (base point, TD) lenyap, maka konfigurasi wilayah Indonesia akan berubah.
Kepulauan Sangihe memiliki 105 pulau, dan sebanyak 26 pulau (24.76%) yang
berpenduduk sisanya 79 pulau (75.24%) tidak berpenduduk, serta memiliki 5 (lima) pulau
sebagai penentu garis batas terluar dari Indonesia, yaitu: Pulaua Marore, Pulau Kawio, Pulau
Matutuang, Pulau Kawaluso, dan Pulau Lipang. Kepulauan Sangihe pada awalnya merupakan
bagian dari Kabupaten Kepulauan Sangihe Talaud atau juga disebut dengan Kepulauan Nusa
Utara dengan luas 35 400.23 km², dan luas laut 33 147.00 km² (diukur 4 mil laut) (Tabel 1).
Tabel 1 memperlihatkan akan potensi laut yang cukup luas dihitung dari kewenangan 4
mil laut, dengan demikian potensi perikanan akan sangat menentukan arah pembangunan
Kepulauan Nusa Utara termasuk Kepulauan Sangihe. Nisbah luas laut dengan daratan di
Kepulauan Nusa Utara 15 : 1 dan yang terluas adalah Kepulauan Talaud sebesar 13 902 km²
menyusul Kepulauan Sangihe seluas 11 126 km². Kerjasama perikanan antar Kabupaten di
yang cukup berarti bagi pengembangan ekonomi Nusa Utara. Anggoro (2001) menyatakan
sasaran pembangunan perikanan di masa mendatang tidak hanya ditujukan untuk peningkatan
pendapatan masyarakat, perolehan devisa, kesempatan kerja, tetapi juga dituntut untuk tetap
mempertahankan daya dukung (carrying capacity) dan kualitas lingkungan agar tetap lestari bagi
generasi sekarang dan yang akan datang.
Tabel 1. Nisbah luas laut dan daratan Kepulauan Nusa Utara
Sumber: Diolah dari Salindeho dan Sombowadile (2008).
Pada tahun 2002, Indonesia memiliki pengalaman pahit, dengan lepasnya Pulau Sipadan
dan Pulau Ligitan dari kedaulatan NKRI. Keputusan Mahkamah Internasional (International
Court of Justice, ICJ) di Den Haag Belanda pada tanggal 17 Desember 2002 yang menetapkan
kepemilikan P. Sipadan dan Ligitan bagian kedaulatan negara Malaysia merupakan “tragedi
nasional” yang memiliki pengaruh terhadap luas laut. Keputusan ICJ diambil dengan
memertimbangkan tiga aspek utama, yaitu: (1) penguasaan secara efektif (effective occupation)
termasuk administrasi; (2) keberadaan terus menerus (continuous presence); serta (3)
perlindungan dan pelestarian ekologis (maintenance and ecology preservation) (Adiwijoyo 2005;
Rawis 2004; Retraubun dan Amini 2004; Sondakh 2003).
Keputusan ICJ tersebut di atas memberikan pesan bagi Indonesia, antara lain: (1)
kepemilikan P2K Perbatasan tidak hanya berdasarkan bukti hukum dan sejarah, tetapi harus
diikuti dengan kebijakan dan implementasi program dan kegiatan serta peningkatan kesejahteraan
masyarakat; (2) hilangnya tiga titik dasar (TD) yaitu satu TD di Pulau Sipadan dan dua TD di
Pulau Ligitan; (3) pembangunan TD baru yang terletak di sekitar wilayah Pulau Sebatik di
Kabupaten Pulau
(buah)
Luas Daratan (km²)
Luas Laut (km²)
Total luas (km²)
Nisbah
Kepulauan Sangihe 105 736.97 11 126.00 11 862.97 15 : 1
Kepulauan Talaud 16 1 240.40 13 902.00 15 142.40 11 : 1
Kepulauan Sitaro 47 275.86 8 119.00 8 394.92 29 : 1
sebelah timur Kabupaten Nunukan (Kalimantan Timur); dan (4) hilangnya kontribusi ekonomi
Pulau Sipadan dan Ligitan karena Malaysia mampu melakukan kreasi potensi ekonomi yang luar
biasa dari kegiatan pariwisata bahari (Fokus 2003).
Menurut Hersutanto (2009), beberapa masalah krusial yang dihadapi Indonesia sebagai
negara kepulauan, yaitu: (1) saat ini belum memiliki kebijakan nasional tentang pembangunan
negara kepulauan (archipelagic state) yang terpadu. Kebijakan yang ada saat ini hanya bersifat
sektoral, padahal pembangunan di negara kepulauan memiliki keterkaitan antar sektor yang
tinggi; (2) lemahnya pemahaman dan kesadaran tentang arti dan makna Indonesia sebagai negara
kepulauan dari segi geografi, politik, ekonomi, sosial, dan budaya: (3) sampai saat ini belum
seluruhnya ditetapkan batas-batas wilayah perairan; (4) permasalahan dalam pertahanan dan
keamanan dari matra laut yang mencakup: (a) belum optimalnya peran pertahanan dan keamanan
laut dalam menjaga keutuhan bangsa dan negara; (b) ancaman kekuatan asing yang ingin
memanfaatkan perairan ZEE; (c) belum lengkapnya perangkat hukum dan implementasi
pertahanan dan keamanan laut; (d) masih terbatasnya fasilitas untuk melakukan pengamanan laut;
(e) makin meningkatnya kegiatan terorisme, perompakan, dan pencurian ikan di wilayah laut
Indonesia; dan (f) masih lemahnya penegakan hukum kepada pelanggar hukum.
Pengamanan kedaulatan wilayah, kewenangan dan kepentingan nasional, di wilayah
perbatasan dari perebutan penguasaan SDA dapat dilakukan melalui kombinasi pendekatan
ekonomi dan pendekatan pertahanan keamanan. Dalam konteks ini, terdapat tiga agenda utama
yang perlu diperhatikan, yaitu: (1) penyelesaian batas wilayah laut Indonesia dengan negara
tetangga Filipina; (2) penguatan dan pengembangan kemampuan pertahanan keamanan nasional
di laut khususnya di wilayah perbatasan; dan (3) memakmurkan masyarakat wilayah Kepulauan
Sangihe dengan berbagai kegiatan pembangunan ekonomi secara efisien, berkelanjutan
(sustainable) dan berkeadilan atas dasar potensi SDA dan budaya lokal serta aspek pemasaran.
Rapat kerja Menteri Negara Percepatan Pembangunan Kawasan Timur Indonesia (PPKT)
2004, merumuskan daftar inventarisasi masalah di perbatasan Indonesia – Filipina, yaitu: (1)
belum adanya kepastian garis batas Zone Ekonomi Eksklusif (ZEE) dan Landas Kontinen
Indonesia – Filipina; (2) berlangsungnya kegiatan-kegiatan illegal di daerah perbatasan, seperti
penyelundupan barang, trafficking, dolar palsu, kapal tidak dilengkapi dengan dokumen yang sah,
illegal loging, illegal fishing, dan transit point bagi kelompok teroris internasional.
Sebagai satu kesatuan negara kepulauan, secara konseptual, geopolitik Indonesia
dituangkan dalam salah satu doktrin nasional yang disebut Wawasan Nusantara dan politik luar
negeri yang bebas aktif, sedangkan geostrategis Indonesia diwujudkan melalui konsep Ketahanan
Nasional yang bertumbuh pada perwujudan kesatuan idiologi, politik, ekonomi, sosial budaya
dan pertahanan keamanan. Dengan demikian mengacu pada kondisi geografi yang bercirikan
maritim, maka diperlukan strategi besar (grand strategy) maritim sejalan dengan doktrin
pertahanan defensif aktif dan fakta bahwa bagian terluar wilayah yang harus dipertahankan
adalah laut. Implementasi strategi dari strategi maritim adalah mewujudkan kekuatan maritim
(maritime power) yang dapat menjamin kedaulatan dan integritas wilayah dari berbagai ancaman,
tantangan, dan gangguan.
Matindas dan Sutisna (2006), mengingatkan bahwa penyelesaian masalah perbatasan
tidak dapat dilepaskan dari perkembangan lingkungan strategis secara internasional, regional dan
nasional, yang terus berkembang dalam beberapa dekade belakangan ini dan telah menimbulkan
berbagai pergeseran-pergeseran di beberapa sisi hubungan internasional. Pergeseran geopolitik
ke penguasaan secara ekonomi saat ini jauh lebih besar pengaruhnya karena bergerak melewati
batas-batas kedaulatan sebuah negara.
Pengelolaan wilayah perbatasan Kepulauan Sangihe masih merupakan masalah utama
dan mendesak serta memerlukan perhatian bersama, serta harus dikelola secara terpadu,
berkelanjutan dan terintegrasi antar berbagai sektor demi keutuhan kedaulatan (soveregnity) dan
kesejahteraan (prosperity) masyarakat.
Secara garis besar terdapat dua hal penting yang harus
approach) untuk mengangkat taraf hidup masyarakat setempat dan pendekatan keamanan
(security approach) yang diperlukan guna terciptanya stabilitas politik, ekonomi, sosial budaya
dan hankam (Dahuri 2005; Poetranto 2005).
Dalam konteks pertahanan secara ekstrinsik, nelayan dan masyarakat pesisir memiliki
peran “pengawas” laut yang selalu dapat berkoordinasi dengan aparat. Dengan demikian penting
mendidik mereka untuk memperkuat nasionalisme, memahami isu-isu pertahanan serta secara
teknis mampu menggunakan alat-alat komunikasi di laut. Untuk itulah dibutuhkan proses
pelatihan nelayan untuk memperlancar proses ini. Namun reposisi nelayan dan masyarakat
pesisir ke arah peran geopolitik tetap sangat tergantung pada posisi sosial ekonominya. Dalam
perspektif geopolitik, wilayah perbatasan tidak hanya harus diisi dengan pertahanan militer yang
tangguh, tetapi juga harus didukung oleh aktivitas ekonomi yang tangguh pula. Pulau Sipadan
dan Pulau Ligitan lepas dari NKRI karena salah satu alasannya adalah lemahnya kita
memanfaatkan pulau itu untuk aktivitas ekonomi.
Terdapat beberapa komponen yang seyogyanya ditempuh untuk mewujudkan Indonesia
sebagai negara kepulauan, yaitu: (1) meningkatkan pemahaman pentingnya laut dari aspek
geopolitik dan geostrategis. Indonesia selayaknya memiliki armada pengamanan laut yang andal
dan kuat guna menjaga keutuhan NKRI dan SDA; (2) mengubah orientasi pembangunan dari
land based oriented menjadi archipelagic based oriented. Konsep archipelagic based oriented,
mencakup darat, laut dan udara; dan (3)
menentukan batas-batas wilayah perairan dengan
mempercepat penetapan garis batas antara Indonesia dengan negara-negara tetangganya di
kawasan laut.
Turmudzi (2005) menyatakan bahwa Indonesia telah melupakan visi dan orientasi
kepulauan dan lebih berorientasi tanah daratan (land based oriented) yang bersifat inward
looking. Tanpa orientasi kepulauan, Indonesia tidak akan memiliki national security belt yakni
titik-titik kawasan strategis bagi pengamanan kewilayahan dan kedaulatan Negara. Setiap titik
prasarana pendidikan sehingga kawasan-kawasan tersebut akan terbangun sistem peringatan dini
(early warning system). Orientasi kepulauan akan membangun dengan pandangan integratif
antara darat, laut dan udara yang akan membuat lebih bersifat outward looking.
Untuk mampu menjaga integritas wilayah, terutama wilayah-wilayah perbatasan di
Kepulauan Sangihe, ke depan harus lebih mempertinggi dorongan untuk segera menetapkan
kepastian batas-batas laut dengan Filipina. Pada saat bersamaan, memberikan perhatian
membangun daerah perbatasan sesuai dengan kebutuhan masyarakat perbatasan. Keterbatasan
wilayah sesuai dengan karakteristik wilayah Kepulauan Sangihe meniscayakan perlunya
dirumuskan strategi pembangunan yang khas kepulauan perbatasan tersebut. Pelibatan
masyarakat dalam berbagai program pemerintah serta memperhitungkan dampak secara seksama
bagi perbaikan mutu kehidupan masyarakat adalah program yang penting untuk dikembangkan.
Pemerintah harus mendorong tumbuhnya prakarsa masyarakat perbatasan untuk berkembang
sesuai dengan tantangan dan peluang yang ada.
Masyarakat Kepulauan Sangihe memperoleh kesempatan untuk memanfaatkan SDI
sebagai potensi utama kawasan ini, seharusnya juga diberikan peranan yang luas dalam
perdagangan wilayah perbatasan. Harapan ini terbentur dengan kebijakan di daerah perbatasan
justru bercirikan pembatasan. Peraturan tentang produk ikan yang harus dipasarkan ke Bitung,
yang letaknya jauh dari kawasan perbatasan serta harga yang relatif rendah sangat tidak
ekonomis. Sebaliknya peluang pemasaran hasil tangkapan ikan ke pusat perikanan di negara
tetangga Filipina yaitu di General Santos (Minandao) justru sangat dibatasi mesti faktanya di
wilayah tersebut memiliki pabrik pengolahan ikan yang terbesar di Asia Tenggara dan lokasinya
tidak terlalu jauh dari kawasan perbatasan dengan patokan harga yang relatif baik. Oleh karena
itu, berbagai pembatasan yang dikenakan kepada masyarakat perbatasan harus ditinjau kembali
terkait dengan upaya memajukan ekonomi masyarakat perbatasan di Kepulauan Sangihe.
Berdasarkan uraian pemikiran tersebut di atas, diharapkan pengelolaan P2K perbatasan
berkembangnya
keanekaragaman
hayati
(biodiversity)
ekosistem;
(2)
terpelihara
dan
berkembangnya kekhasan dan keaslian nilai budaya; (3) meningkatnya kesejahteraan masyarakat
lokal; (4) meningkatnya kesempatan kerja, pertumbuhan ekonomi dan pengembangan wilayah;
dan (5) dapat berfungsi sebagai pita pengaman ekonomi (economic safety belt) dan pita
pengamanan nasional (national security belt).
1.2 Identifikasi dan Perumusan Masalah
Kabupaten Kepulauan Sangihe dan Talaud, di masa kolonial Belanda disebut sebagai
noorden einlanden yang berarti pulau-pulau lebih utara atau diterjemahkan sebagai “Nusa Utara”.
Munculnya istilah noorden einlanden berawal dari perjalanan Gubernur Maluku Robertus
Padtbrugge (16 Agustus - 25 Desember 1677), yang dilandasi oleh kepentingan geopolitik dan
ekonomi pemerintah Hindia Belanda. Perspektif geopolitik adalah peneguhan batas wilayah
jajahan Belanda sebab di bagian utara yaitu Filipina bagian selatan adalah wilayah jajahan
Spanyol, sedangkan dalam perspektif ekonomi, Nusa Utara dijadikan kawasan penunjang
kepentingan rempah-rempah dan produk perkebunan bagi perusahaan Belanda, yaitu kopra, pala
dan cengkeh.
Sebelum kedatangan Padtbrugge, orientasi pendidikan, perdagangan, dan hubungan
kekerabatan masyarakat Nusa Utara adalah Ternate (Maluku) dan Filipina bagian selatan
(jajahan Spanyol), yang dirintis oleh Winsulangi (Raja Siau), Tolo (Raja Manganitu), dan Tahete
(Raja Tahuna). Padtbrugge mengubah kiblat tersebut dan mengalihkan dari Ternate dan Filipina
Selatan ke wilayah daratan Sulawesi terutama ke Manado, serta jalur perdagangan ke wilayah
Filipina dan Ternate resmi dihentikan. Kegiatan perdagangan yang dilakukan dalam arus utama
(trade mainstream), diubah menjadi wilayah perbatasan (border area) yang bercirikan pinggiran
(periphery).
Pola pengembangan Hindia Belanda ditiru oleh Indonesia dan Filipina, saat kedua negara
dikategorikan sebagai penyelundupan.
Perdagangan wilayah perbatasan (border trade area,
BTA), meskipun secara retoris diberikan kesempatan, namun dibebani berbagai pembatasan, baik
volume dan nilai barang yang didagangkan serta batas arealnya. Kecenderungan orientasi Nusa
Utara ke daratan Sulawesi yang dirintis oleh Padtbrugge, kemudian dikukuhkan dengan isu Nusa
Utara sebagai perpanjangan daratan Manado (landstreek van Manado) (Henley 1996).
Pengukuhan isu ini berinteraksi dengan kondisi alam Nusa Utara sehingga membawa
implikasi terhadap keberadaan Nusa Utara sampai saat ini, yaitu: (1) ciri kepulauan yang terbuka
selama berabad-abad dilakoni, akhirnya ditinggalkan dan dipatok sebagai daerah perbatasan
(border region); (2) laut sebagai lalu lintas perniagaan atau lintas ekonomi dieliminasi dengan
menerapkan kebijakan pembangunan bercirikan daratan (continental oriented); (3) gerak
ekonomi berbentuk “kipas” diarahkan kendalinya ke satu sentrum sehingga menempatkan Nusa
Utara sebagai kawasan periphery; (4) keunggulan sebagai kawasan yang dapat memanfaatkan
kekuatan luar (outsourcing power) dan lintasan ekonomi dari berbagai penjuru disurutkan ke titik
nadir; dan (5) kekuatan ekonomi bahari (maritime economic atau archipelagic economic)
sebelum kedatangan “Barat” disirnakan dengan continental oriented; serta (6) SDI yang menjadi
daya dorong (prime mover) ekonomi Nusa Utara faktanya dicuri (resources squeezing) oleh
nelayan asing.
P2K perbatasan Kepulauan Sangihe, selama ini kurang memperoleh sentuhan
pembangunan, disebabkan beberapa alasan, yaitu: (1) kebanyakan P2K perbatasan tidak
berpenghuni karena ukuran relatif kecil; kalaupun berpenghuni, jumlah penduduknya sangat
sedikit sehingga tidak menjadi prioritas utama; (2) kawasan ini cenderung terisolasi sehingga
diperlukan investasi yang besar (high cost investment) untuk membangun prasarana dan
perhubungan laut; (3) kurangnya kepastian perlindungan hak dan kepastian berusaha; (4)
pembangunan nasional selama ini lebih berorientasi ke darat; (5) rendahnya tingkat pendidikan
masyarakat setempat; (6) kurang minatnya dunia usaha berinvestasi; (7) pilihan pengelolaan
terbelakang; dan (8) kecilnya skala ekonomi dalam hal aktivitas produksi, transportasi, konsumsi
dan administrasi.
Atas dasar kepentingan mendesak untuk melihat sejauh mana posisi geografis dan potensi
SDA di P2K perbatasan Kepulauan Sangihe dapat memberikan kontribusi terhadap pembangunan
nasional dan kesejahteraan masyarakat, maka dirumuskan pertanyaan penelitian, sebagai berikut:
(1) Bagaimana kinerja ekonomi Kabupaten Kepulauan Sangihe?
(2) Komoditas apa yang dapat menjadi unggulan untuk dapat dikembangkan di Kepulauan
Sangihe?
(3) Bagaimana kondisi daya dukung ekonomi dan lingkungan yang dijadikan bahan
pertimbangan dalam pengelolaan P2K perbatasan Kepulauan Sangihe?
(4) Bagaimana kondisi wilayah perbatasan saat ini serta bagaimana aspirasi Kabupaten
Kepulauan Sangihe ? ; dan
(5) Variaberl apa saja yang mendorong terjadinya perdagangan illegal di perbatasan
Kabupaten Kepulauan Sangihe?.
1.3 Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian
Penelitian ini secara umum bertujuan merumuskan alternatif kebijakan dan program
pengelolaan P2K perbatasan Kepulauan Sangihe berbasis geopolitik, daya dukung ekonomi dan
lingkungan. Secara khusus, penelitian ini bertujuan:
(1) Mengevaluasi dan menganalisis kinerja ekonomi Kabupaten Kepulauan Sangihe;
(2) Mengevaluasi dan menganalisis komoditas unggulan Kepulauan Sangihe;
(3) Mengevaluasi dan menganalisis daya dukung ekonomi dan lingkungan SDA di
Kabupaten Kepulauan Sangihe;
(4) Mengevaluasi dan menganalisis kondisi dan perkembangan wilayah perbatasan saat ini
(5) Menganalisis variabel-variabel yang berpengaruh terhadap kegiatan perdagangan illegal
di perbatasan Kepulauan Sangihe.
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat kepada berbagai pihak,
terutama: pemerintah, masyarakat dan dunia pendidikan. Bagi pemerintah, hasil penelitian ini
dapat dijadikan bahan masukan dalam pengambilan keputusan, agar pembangunan kawasan
perbatasan Kabupaten Kepulauan Sangihe memperoleh porsi yang setara dan seimbang antara
pendekatan geopolitik terutama pendekatan keamanan (security), ekonomi dan lingkungan. Bagi
masyarakat, dapat dijadikan bahan informasi untuk pengembangan dunia usaha dalam rangka
peningkatan kesejahteraan. Sedangkan untuk dunia akademik, penelitian ini diharapkan dapat
dijadikan sumber informasi pengembangan ilmu pengetahuan terutama dalam pengelolaan P2K
perbatasan Kepulauan Sangihe yang berbasis geopolitik, daya dukung ekonomi dan daya dukung
lingkungan.
1.4 Kerangka Pendekatan Masalah
Kepulauan Sangihe mempunyai peran strategis mengingat secara geografis letaknya
berbatasan dengan negara Filipina, yang berpeluang terjadinya ancaman serta gangguan terhadap
SDA dan kedaulatan negara. Kondisi ini diperparah dengan sentuhan pembangunan yang relatif
rendah sebagai akibat paradigma pengelolaan lebih berorientasi kepada pendekatan keamanan
(security approach). Kerangka pendekatan masalah penelitian tentang kebijakan pengelolaan
P2K perbatasan Kepulauan Sangihe yang berbasis geopolitik, daya dukung ekonomi dan
lingkungan disajikan pada Gambar 1. Selain penekanan pengelolaan yang lebih kepada security
juga paradigma yang berhaluan daratan mampu menggeser posisi Negara Kepulauan
(archipelagic state) sebagai bagian dari p