• Tidak ada hasil yang ditemukan

Patofisiologi Sekitar Partus pada Kambing Peranakan Etawah Kajian Peran Suplementasi Zincum terhadap Respons Imunitas dan Produktivitas

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Patofisiologi Sekitar Partus pada Kambing Peranakan Etawah Kajian Peran Suplementasi Zincum terhadap Respons Imunitas dan Produktivitas"

Copied!
118
0
0

Teks penuh

(1)

PATOFISIOLOGI SEKITAR PARTUS

PADA KAMBING PERANAKAN ETAWAH :

KAJIAN PERAN SUPLEMENTASI

Zincum

TERHADAP

RESPONS IMUNITAS DAN PRODUKTIVITAS

SUS DERTHI WIDHYARI

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

ABSTRAK

SUS DERTHI WIDHYARI. Patofisiologi Sekitar Partus pada Kambing Peranakan Etawah: Kajian Peran Suplementasi Zincum Terhadap Respons Imunitas dan Produktivitas. Dibawah bimbingan SETYO WIDODO, I WAYAN TEGUH WIBAWAN, MOZES R. TOELIHERE dan I KETUT SUTAMA.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efek suplementasi Zincum

dengan konsentrasi yang berbeda pada periode sekitar partus terhadap respons imunitas dan produktivitas ternak kambing Peranakan Etawah. Penelitian ini menggunakan 30 ekor kambing (umur berkisar antara tiga sampai enam tahun, dengan bobot badan sekitar 30 sampai 50 kg), dibagi kedalam tiga kelompok masing-masing terdiri atas 10 ekor. Kelompok Zn0 (kontrol) diberi pakan mengandung Zn 40 mg/kg bahan kering, kelompok Zn1 mengandung 60 mg/kg bahan kering, dan kelompok Zn2 mengandung 80 mg/kg bahan kering. Kambing diberi pakan rumput dan konsentrat sesuai standar National Research Council

(NRC) dan untuk penelitian ini dilakukan suplementasi berupa ZnSO47H2O. Air

diberikan secara ad libitum. Sinkronisasi berahi menggunakan preparat CIDR-G

(Controlled Internal Drug Release-Goat) dilakukan dengan cara memasukkan dan

mengimplantasikan ke dalam vagina selama 14 hari. Setelah CIDR dicabut hewan yang memperlihatkan gejala berahi kemudian dilakukan inseminasi buatan (IB). Pengambilan sampel darah dilakukan setiap dua minggu mulai umur kebuntingan tiga bulan sampai dua bulan setelah partus, untuk dilakukan analisis terhadap profil darah perifer, total protein, albumin, globulin, kadar elektrolit (natrium, kalium dan chlor), Zn serum, hormon kortisol, aktifitas dan kapasitas fagositosis, serta produktivitas ternak: produksi susu, bobot badan induk, morbiditas dan mortalitas, bobot lahir).

Hasil penelitian memperlihatkan bahwa kelompok suplementasi Zn1 mengalami peningkatan secara nyata terhadap total protein, globulin, Zn, dan kapasitas fagositosis, sedangkan cortisol dan netrofil mengalami penurunan secara nyata dibanding kelompok Zn0. Kelompok Zn2 hanya memperlihatkan peningkatan secara nyata terhadap kapasitas fagositosis, sedangkan parameter lainnya tidak berbeda nyata. Ketiga kelompok perlakuan memperlihatkan nilai yang tidak berbeda terhadap jumlah sel darah perifer, albumin, elektrolit (natrium, kalium dan chlor), aktivitas fagositosis dan produktivitas ternak Pada saat partus kelompok Zn1 memperlihatkan kadar kortisol paling rendah (19,00 ng/ml), dibanding kelompok Zn2 (52,65 ng/ml) maupun kelompok Zn0 (75,92 ng/ml). Ketiga perlakuan memperlihatkan penurunan kadar total protein dan Zn serum pada saat partus.

Suplementasi Zincum 60 mg/kg bahan kering memberikan respons immunitas lebih baik dibanding pemberian Zincum 80 mg/kg bahan kering, sedangkan suplementasi Zn pada kedua perlakuan ini belum memperlihatkan pengaruh nyata terhadap produktivitas ternak.

(3)

ABSTRACT

SUS DERTHI WIDHYARI. Pathophysiology of Periparturient Period of

Etawah-Grade Goats: A Study on the Role of Zincum Supplementation on the

Immunity Responses and Productivity. Advisory committee: SETYO WIDODO,

I WAYAN TEGUH WIBAWAN, MOZES R. TOELIHERE and I KETUT SUTAMA

The research was aimed to study the role of the supplementation of different concentrations of Zincum (Zn) during periparturient period on the immunity responses and productivity of Etawah Grade goats. Thirty does (3-6 years old, and 30-50 kg body weight) were used in this experiment and divided into three groups 10 heads each). Does in the first group (Zn0) received Zn 40 mg/kg dry matter as control, in the second group (Zn1) received Zn 60 mg/kg dry matter, and in the third group Zn2 received Zn 80 mg/kg dry matter. The does were fed grass and concentrate under NRC standard and supplemented for research purpose with Zn SO47H2O. Water was available ad libitum. CIDR-G

(Controlled Internal Drug Release-Goat) containing 0,33 grams of progesterone was implanted intravaginally for 14 days for oestrus synchronization and then followed by artificial insemination. Blood samples were collected every two weeks, started at 3rd month of pregnancy up to two months post partum for analysis of blood cell counts, total protein, albumin,globulin, electrolytes (sodium, potassium, and chlor), Zn, cortisol, activity and capacity of phagocytosis, goat productivity: milk production, bodyweight of doe, birth weight, morbidity and mortality of does.

Results of these experiments revealed that the group Zn1 showed significant responses to Zn supplementation with increase of the total protein, globulin, Zn and capacity of phagocytosis and decrease of cortisol and netrophil compared to Zn0, whereas group Zn2 expressed significant changes in the capacity of phagocytosis without other significant changes of parameters tested compared to Zn0. The dynamic fluctuation of blood cell counts, albumin, electrolytes, activity of phagocytosis, and goat productivity were also observed without any significant effect. A lowest cortisol level (19,00 ng/ml) was shown in group Zn1 at the partal time compared to Zn2 (52,65 ng/ml) and Zn0 (75,92 ng/ml). A decrease in protein total and Zincum level was also found in all groups.

Supplementation of Zincum 60 mg/kg dry matter produces better immunity responses then Zincum 80 mg/kg dry matter, but both showed no significant effect on productivity of the animals.

(4)

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Patofisiologi Sekitar Partus pada Kambing Peranakan Etawah: Kajian Peran Suplementasi Zincum

terhadap Respons Imunitas dan Produktivitas adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Bogor, Mei 2005

(5)

PATOFISIOLOGI SEKITAR PARTUS

PADA KAMBING PERANAKAN ETAWAH :

KAJIAN PERAN SUPLEMENTASI

Zincum

TERHADAP

RESPONS IMUNITAS DAN PRODUKTIVITAS

SUS DERTHI WIDHYARI

Disertasi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada

Program Studi Sains Veteriner

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(6)

Judul Disertasi : Patofisiologi Sekitar Partus pada Kambing Peranakan Etawah: Kajian Peran Suplementasi Zincum terhadap Respons Imunitas dan Produktivitas

Nama : Sus Derthi Widhyari NIM : 995178

Program Studi : Sains Veteriner

Disetujui

Komisi Pembimbing

Dr. drh. Setyo Widodo Dr. drh. I Wayan T. Wibawan, MS Ketua Anggota

Prof. Dr. drh. Mozes R .Toelihere, MSc Dr.Ir. I Ketut Sutama, MSc, APU

Anggota Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Sains Veteriner Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr.drh. Bambang P. Priosoeryanto, MS Prof.Dr.Ir.Syafrida Manuwoto, M.Sc.

(7)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Tabanan pada tanggal 1 Juni 1964 sebagai anak ke dua dari enam bersaudara dari ayah I Made Tjakrug dan Ibu Wayan Mager. Penulis menikah dengan I Made Soewecha pada tahun 1987 dan dikaruniai tiga putra yaitu Tiara Chandra Dewi (almarhum), Arie Suyasha dan Dewi Intan Sari. Pendidikan Sekolah dasar diselesaikan pada tahun 1975 dari Sekolah Dasar No 3 Kukuh, Sekolah Menengah Pertama Negeri Kerambitan tahun 1979. Sekolah Menengah Atas Negeri I Tabanan diselesaikan pada tahun 1982. Penulis diterima menjadi mahasiswa Institut Pertanian Bogor pada tahun 1982 melalui Proyek Perintis II. Pada tahun 1983 penulis melanjutkan pemdidikan di Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor dan lulus sebagai Sarjana Kedokteran Hewan pada tahun 1986. Kemudian penulis mengikuti Program Pendidikan Profesi Dokter Hewan dan lulus sebagai Dokter Hewan pada tahun 1987. Pada tahun 1992, penulis melanjutkan pendidikan program Magister pada bidang studi Sains Veteriner Program Pascasarjana IPB dan lulus pada tahun 1996. Pada tahun 1999 penulis melanjutkan pendidikan program Doktor pada bidang studi Sains Veteriner pada Sekolah Pascasarjana IPB. Selama pendidikan penulis memperoleh beasiswa dari BPPS Ditjen DIKTI.

Sejak tahun 1990 hingga sekarang penulis adalah staf pengajar pada Departemen Klinik Veteriner, Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor.

(8)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan disertasi yang berjudul Patofisiologi Sekitar Partus pada Kambing Peranakan Etawah: Kajian Peran Suplementasi Zincum Terhadap Respons Imunitas

dan Produktivitas sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Sains Veteriner, Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

Pada kesempatan ini penulis menyampaikan penghargaan yang tinggi serta ucapan terimakasih yang setulus tulusnya dari hati yang paling dalam kepada Bapak Dr. drh. Setyo Widodo, selaku ketua pembimbing, Dr. drh.I Wayan Teguh Wibawan MS, Prof. Dr. drh. Mozes R. Toelihere MSc, dan Dr. Ir. I Ketut Sutama MSc, APU sebagai anggota komisi pembimbing, atas bimbingan, pengarahan, dan perhatian, serta rela meluangkan waktu dan tenaga kepada penulis mulai perencanaan penelitian, selama pelaksanakan penelitian sampai selesainya penulisan disertasi ini. Ucapan terimakasih dan penghargaan juga penulis sampaikan kepada Dr. drh. Sri Estuningsih, MS selaku penguji pada sidang tertutup, kepada Dr. drh Sabdi Hasan Aliambar, MS dan Dr. I Putu Kompiang selaku penguji luar komisi pada ujian sidang terbuka, atas berkenan mempelajari, menelaah dan memberi masukan yang sangat berharga untuk penyempurnaan disertasi ini.

Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Rektor IPB, Dekan Sekolah Pascasarjana IPB, Dekan Fakultas Kedokteran Hewan IPB, Ketua Program Studi Sains Veteriner, Ketua Departemen Klinik dan Kepala Bagian Patologi Klinik Fakultas Kedokteran Hewan IPB, atas ijin dan kesempatan yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti pendidikan Program Doktor pada Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

(9)

Ucapan terimakasih juga penulis sampaikan kepada teman-teman serta mahasiswa bimbingan yang ikut membantu selama pelaksanaan penelitian. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada tenaga teknisi Balitnak Ciawi dan pegawai Laboratorium Patologi Klinik dan Laboratorium Bakteriologi Fakultas Kedokteran Hewan IPB atas bantuannya selama penelitian berlangsung.

Pada kesempatan yang berbahagia ini ijinkanlah penulis menyampaikan rasa syukur serta ucapan terima kasih yang tidak terhingga kepada kedua orang tua Bapak I Made Tjakrug dan Ibu Wayan Mager yang dengan tulus dan tidak putus-putusnya mendoakan penulis dan tanpa pamrih telah membesarkan, mendidik, membimbing penulis dengan segala kasih sayangnya sejak kecil sampai penulis dapat menyelesaikan pendidikan seperti sekarang ini. Terimakasih yang tulus juga penulis sampaikan kedua kedua mertua yaitu Bapak I Wayan Sadreg dan Ibu Made Beker (almarhum), walaupun beliau telah tiada namun rasa kasih sayangnya senantiasa penulis rasakan. Kepada keluarga Bapak Wayan Sundra penulis mengucapkan banyak terimakasih atas bantuan dan dukungan serta doa yang diberikan. Kepada kakak dan adik, serta kakak dan adik ipar, terimakasih atas dukungan, bantuan dan perhatian yang diberikan selama ini.

Dalam kesempatan yang berbahagia ini penulis juga menyampaikan rasa terimakasih yang tidak terhingga kepada suami tercinta I Made Soewecha, ananda tersayang Arie Suyasha dan Dewi Intan Sari, atas pengertian, kesabaran, dukungan serta dorongan yang diberikan selama menempuh studi.

Kepada semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu diucapkan banyak terima kasih atas bantuan yang diberikan. Semoga budi baik dan jasa yang diberikan mendapat imbalan dari Tuhan Yang Maha Esa.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat bagi pihak yang memerlukan dan dapat memberikan sumbangan untuk kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Bogor, Mei 2005 Penulis

(10)
(11)

Halaman

HASIL DAN PEMBAHASAN ... 43

Profil Darah Perifer ... 44

Biokimiawi Darah ... 55

Sistem Pertahanan Non Spesifik ... 74

Produktivitas Ternak ... 78

SIMPULAN DAN SARAN ... 85

Simpulan ... 85

Saran ... 85

DAFTAR PUSTAKA ... 86

(12)

DAFTAR TABEL

Halaman

1 Komposisi Konsentrat Pakan ... 36

(13)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1 Metabolismne Zn ... 8

2 Fungsi Zn pada permukaan membran sel ... 11

3 Pengaturan Zn intraseluler ... 12

4 Zinc finger ... 12

5 Pengaturan hormonal pada proses metabolisme oleh sel hati dan hubungannya dengan kontrol metabolisme Zn dan Cu ... 13

6 Pengaturan sekresi kortisol oleh hipotalamus ... 19

7 Jalur produksi hormon steroid ... 21

8 Perubahan kadar hormon estrogen, progesteron, prolaktin dan hormon pertumbuhan selama siklus estrus dan kebuntingan ... 22

9 Produksi kortisol oleh fetus pada saat terjadinya partus ... 23

10 Jumlah eritrosit pada kambing PE periode sekitar partus setelah diberi perlakuan pakan yang mengandung Zincum ... 45

11 Kadar hemoglobin pada kambing PE periode sekitar partus setelah diberi perlakuan pakan yang mengandung Zincum ... 47

12 Kadar hematokrit pada kambing PE periode sekitar partus setelah diberi perlakuan pakan yang mengandung Zincum ... 48

13 Jumlah total leukosit pada kambing periode sekitar partus setelah diberi perlakuan pakan yang mengandung Zincum ... 49

14 Jumlah netrofil absolut pada kambing periode sekitar partus setelah diberi perlakuan pakan yang mengandung Zincum ... 51

15 Jumlah limfosit pada kambing PE periode sekitar partus setelah diberi perlakuan pakan yang mengandung Zincum ... 53

16 Kadar total protein pada kambing PE periode sekitar partus setelah diberi perlakuan pakan yang mengandung Zincum ... 56

(14)

Halaman

18 Kadar globulin pada kambing PE periode sekitar partus setelah diberi

perlakuan pakan yang mengandung Zincum ... 60

19 Rasio A/G pada kambing PE periode sekitar partus setelah diberi

perlakuan pakan yang mengandung Zincum ... 61

20 Kadar natrium pada kambing PE periode sekitar partus

setelah diberi perlakuan pakan yang mengandung Zincum ... 63

21 Kadar kalium pada kambing periode sekitar partus

setelah diberi perlakuan pakan yang mengandung Zincum ... 64

22 Kadar chlor pada kambing PE periode sekitar partus

setelah diberi perlakuan pakan yang mengandung Zincum ... 66

23 Kadar Zn serum pada kambing PE periode sekitar partus setelah

diberi perlakuan pakan pakan yang mengandung Zincum ... 67

24 Kadar kortisol kambing PE pada periode sekitar partus setelah diberi

perlakuan pakan yang mengandung Zincum ... 71

25 Aktivitas fagositosis pada kambing periode sekitar partus

setelah diberi perlakuan pakan yang mengandung Zincum ... 74

26 Kapasitas fagositosis pada kambing periode sekitar partus

setelah diberi perlakuan pakan yang mengandung Zincum ... 77

27 Jumlah produksi susu pada kambing PE pada awal laktasi setelah

diberi perlakuan pakan yang mengandung Zincum ... 79

28 Perubahan bobot badan induk pada periode akhir kebuntingan dan laktasi pada kambing setelah diberi perlakuan pakan yang

(15)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1

Nilai rerata beberapa parameter yang dianalisis berdasarkan periode

r waktu pengamatan pada kelompok Zn0 ... 98

2 Nilai rerata beberapa parameter yang dianalisis berdasarkan periode

waktu pengamatan pada kelompok Zn1... 98

3 Nilai rerata beberapa parameter yang dianalisis berdasarkan periode

waktu pengamatan pada kelompok Zn2 ... 99

4 Nilai rerata beberapa parameter yang dianalisis

berdasarkan kelompok perlakuan ... 100

(16)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Kejadian penyakit akibat gangguan metabolisme maupun infeksi sering dilaporkan terjadi pada periode sekitar partus. Masa peralihan dari keadaan bunting ke awal periode laktasi merupakan masa sulit dan tubuh perlu melakukan adaptasi terhadap perubahan fisiologis yang terjadi. Ketidakmampuan tubuh dalam menjaga keseimbangan atau mempertahankan homeostasis berakibat pada munculnya gangguan penyakit (Goff & Horst 1997). Pada sapi perah kejadian penyakit seperti mastitis, distokia, milk fever, displacement abomasum sering dilaporkan terjadi pada periode ini. Hal ini diduga berhubungan dengan terjadinya penurunan daya tahan pada periode tersebut. Beberapa faktor yang turut mempengaruhi terjadinya penurunan daya tahan tubuh yaitu faktor hormonal dan faktor pakan (Kehrli et al. 1989; Preisler et al. 2000).

Kambing Peranakan Etawah (PE) merupakan salah satu ternak yang memiliki fungsi ganda sebagai penghasil daging maupun penghasil susu. Peningkatan produktivitas ternak perlu dilakukan mengingat permintaan akan daging dan susu yang terus meningkat, akan tetapi tingkat produktivitas kambing ini relatif masih rendah. Rendahnya tingkat produktivitas antara lain berupa rendahnya jumlah produksi susu, tingginya kematian anak pra sapih (Sutama et al.

1996), dan rendahnya laju pertambahan bobot hidup (Yulistiani et al. 1999). Untuk dapat mencapai tingkat produktivitas yang diharapkan, maka diperlukan zat gizi agar dapat mengekspresikan aspek genetik yang dimiliki. Oleh karena itu upaya peningkatan produktivitasnya perlu dilakukan terutama melalui pemberian pakan (Yulistiani et al. 1999). Peningkatan produktivitas pada fase laktasi terkait erat dengan keadaan induk selama kebuntingan. Tersedianya zat-zat pakan yang optimal dan bermutu selama masa kebuntingan merupakan faktor penting bagi keberhasilan induk dalam memelihara kebuntingan, melahirkan dan menyusui anaknya (Isdoni et al. 1996).

Zincum merupakan unsur anorganik tidak dapat dikonversi dari zat gizi lain,

(17)

dikonsumsi (Bender 1993). Mineral ini diperlukan relatif sedikit di dalam pakan, namun memiliki fungsi sangat penting bagi tubuh. Fungsi Zincum terutama dalam proses metabolisme karbohidrat, protein, lemak, sintesis asam nukleat, DNA, RNA polimerase, sintesis protein (Lieberman & Bruning 1990).

Pakan pada umumnya mengandung Zincum dengan kadar rendah sekitar 20 sampai 35 mg/kg bahan kering, sedangkan kebutuhan Zincum sekitar 40 sampai 60 mg/kg bahan kering (Scaletti et al. 2004). Berdasarkan kondisi tersebut, maka diperlukan usaha untuk mencukupi Zincum melalui suplementasi di dalam pakan.

Zincum juga sangat dibutuhkan oleh ternak terutama pada masa bunting dan

laktasi. Rendahnya kadar Zincum dalam darah pada hewan bunting dapat mengakibatkan terjadinya gangguan pembentukan fetus, kematian embrio secara dini dan dapat menyebabkan abortus. Selama masa kebuntingan, induk dituntut mampu menyediakan nutrien yang cukup agar dapat mempertahankan kehidupan fetus dan memenuhi kebutuhan untuk produksi susu setelah kelahiran. Kegagalan mempertahankan produksi sering terjadi akibat menurunnya nafsu makan induk yang dipicu oleh rendahnya kualitas pakan yang tersedia (Underwood 1981).

Cekaman sering muncul dan disertai meningkatnya hormon glukokortikoid, yang memicu pembentukan metallotionin di hati disertai menurunnya kadar

Zincum plasma (Cousin 1985) dan berakibat pada peningkatan kepekaan terhadap

infeksi (Salgueiro et al. 2000; Tanaka et al. 2001). Mekanisme terjadinya penurunan daya tahan pada periode sekitar partus belum diketahui secara pasti. Preisler et al. (2000) berpendapat peningkatan hormon glukokortikoid menyebabkan perubahan ekspresi dan fungsi sel leukosit, dan diduga menurunkan daya tahan dan meningkatnya kejadian penyakit.

Penelitian tentang suplementasi Zincum dalam pakan pernah dilaporkan pada sapi Bali dan mampu meningkatkan produksi susu pada sapi laktasi (Sukarini 2000), dan mampu meningkatkan bobot lahir pada anak (Putra 1999).

Kerangka Pemikiran

(18)

yang berakibat pada terjadinya perubahan ekspresi dan fungsi sel leukosit (Preisler 2000). Hormon ini juga dilaporkan meningkat pada kondisi stress fisik, emosi, stress metabolisme maupun saat partus. Selain itu meningkatnya hormon ini memicu pembentukan metallotionin di hati sehingga dijumpai penurunan kadar

Zincum plasma (Cousin 1985).

Rendahnya Zincum di dalam pakan, serta meningkatnya kebutuhan mineral ini selama kebuntingan dan laktasi menyebabkan terjadinya penurunan kadar

Zincum di dalam darah. Rendahnya Zincum di dalam darah serta tingginya

hormon glukokortikoid diduga turut berpengaruh terhadap terjadinya penurunan respons imun sehingga kepekaan terhadap penyakit meningkat. Belum diketahui secara pasti mekanisme peran Zincum dalam meningkatkan respons imun, serta kemampuannya dalam menekan faktor stress yang sering dijumpai pada periode sekitar partus. Selain itu belum ada informasi tentang data fisiologis terutama terhadap gambaran darah di sekitar partus, serta bagaimana peran Zincum

mempengaruhi keadaan patofisiologis yang terjadi pada periode ini terutama pada kambing PE. Oleh karena itu kajian tentang peran suplementasi Zincum terhadap respons imunitas dan produktivitas perlu diteliti lebih lanjut.

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk :

1. Mengetahui efek suplementasi Zincum terhadap kadar hormon kortisol pada periode sekitar partus

2. Mempelajari efek Zincum terhadap respons imunitas non spesifik

3. Mengamati efek suplementasi Zincum terhadap status kesehatan dan produktivitas ternak.

4. Mengetahui efek suplementasi Zincum terhadap gambaran biokimiawi darah pada periode sekitar partus

Manfaat Penelitian

(19)

pada periode tersebut. Zincum diharapkan dapat meningkatkan daya tahan tubuh sehingga ternak mampu berproduksi secara optimal. Selanjutnya dari hasil penelitian ini dapat diperoleh data tentang gambaran biokimiawi darah, mengetahui respons imunitas non spesifik yaitu kemampuan aktivitas dan kapasitas fagositosis selama periode partus. Data dan informasi yang diperoleh dapat digunakan sebagai acuan untuk mengetahui keadaan patofisiologis yang terjadi pada periode sekitar partus.

Hipotesis

Suplementasi Zincum mampu menekan kadar hormon kortisol pada periode sekitar partus

Suplementasi Zincum mampu meningkatkan aktifitas dan kapasitas fagositosis. Suplementasi Zincum mampu memperbaiki status kesehatan dan meningkatkan

produktivitas ternak.

(20)

TINJAUAN PUSTAKA

Mineral Zincum

Sifat Fisika dan Kimia Zincum

Zincum (Zn) memiliki warna putih kebiru-biruan, bersifat lustrous dan

relatif lunak. Zincum sulfat memiliki bentuk padat, kristal rhombic, memiliki bobot molekul sekitar 161,44. Berat jenis 3,54 (g/cm3) pada suhu 25 0C. Bau tidak teridentifikasi. Sifat kelarutan adalah dapat larut pada air dingin dan panas, atau sedikit larut dalam alkohol (Weast 1979; Ammerman & Goodrich 1983).

Zincum sulfat memiliki rumus kimia ZnSO4 7H2O, mengandung Zn 22,74%,

hidrogen 4,91%, sulfur 11,15% dan oksigen 61,20%. Goslarite atau Zincosite merupakan suatu produk yang mengandung ZnSO47H2O (Anonim 2004)

Fungsi Zincum

Zincum (Zn) berfungsi di dalam sintesis dan penyimpanan beberapa hormon

seperti insulin dan glukagon, serta berperan dalam metabolisme karbohidrat, keseimbangan asam basa dan metabolisme vitamin A (Linder 1992; Church & Pond 1982), sintesis asam nukleat (RNA, DNA) polimerase dan sintesis protein (Lieberman & Bruning 1990). Zincum juga memegang peranan dalam sistem kekebalan (Paik 2001).

Zincum dibutuhkan oleh kerja enzim dan Zn dikenal sebagai katalisator

beberapa enzim. Lebih dari 200 enzim memerlukan Zn, satu dari enam enzim group (oxidoreduktase, transferase, lyase, isomerase dan ligose) sedikitnya diatur oleh metalloenzim Zn. Zincum memiliki peran biologis sebagai alkohol dehidrogenase, superoksida dismutase, alkalin fosfatase, aminopeptidase, karboksipeptidase dan collagenase (Howell 1981; Yasayuki & Kazutomo 1992).

Zincum dalam Pakan

(21)

Pemecahan karbohidrat melalui tiga tahap yaitu pemecahan karbohidrat kompleks menjadi gula sederhana, kemudian tahap ke dua masuk ke siklus glikolisis. Hasil akhir proses glikolisis adalah asam piruvat merupakan hasil akhir proses fermentasi (Ruckbusch 1991; Kaneko 1980).

Ternak ruminansia untuk mencerna pakan berserat, menggunakan jasa fermentasi dari mikroba rumen, dan untuk menjalankan fungsinya mikroba rumen membutuhkan nutrisi mineral yang cukup. Mikroba rumen juga menghasilkan senyawa penting seperti vitamin yang dibutuhkan oleh ternak. Perbaikan pakan penting untuk membantu terpenuhinya kebutuhan ternak untuk pertumbuhan, produksi dan reproduksi. Zincum pakan dapat membantu metabolisme rumen serta dibutuhkan oleh mikroorganisme rumen agar dapat bekerja lebih optimal. Keberadaan Sulfur (S) dalam ZnSO47H2O juga sangat penting untuk

meningkatkan pertumbuhan mikroba rumen yaitu bakteri selulolitik sehingga degradasi serat kasar dalam rumen lebih efisien. Mikroba rumen tidak dapat memecah selulosa dan hemiselulosa jika ketersediaan nitrogen dalam pakan tidak dibarengi dengan suplementasi sulfur. Sulfur juga dapat digunakan dalam sintesis asam amino bersulfur dan pembentukan vitamin seperti tiamin, biotin dan ko enzim (Underwood 1981).

Pemberian suplementasi mineral dalam konsentrat diharapkan dapat memenuhi kebutuhan energi dan protein bagi ternak, yang pada gilirannya setelah pasca rumen mampu menyediakan nutrien bagi kelenjar ambing untuk memproduksi susu (Sukarini 2000). Mepham (1987) melaporkan bahwa pemberian pakan pada ternak laktasi diprioritaskan untuk produksi susu di mana aktivitas metabolisme kelenjar ambing yang tinggi memerlukan pasokan nutrien yang cukup untuk mensintesis susu. Suplementasi mineral mikro Zn, Cu dan Mo dapat meningkatkan kecernaan bahan kering dan kecernaan bahan organik, meningkatkan nilai pH serta menurunkan kadar ammonia (Supriyati 1999).

Zincum merupakan salah satu unsur mikro dan berperan penting dalam

(22)

Zincum yang terkandung dalam pakan baik dalam rumput maupun konsentrat akan mengalami proses dalam saluran pencernaan. Linder (1992) melaporkan penggunaan suplemen Zn perlu dipertimbangkan karena penyerapan Zn sedikit banyak berkompetisi dengan ion-ion metal transisi seperti Fe ++ / Fe +++ Cu ++, P dan Ca.

Metabolisme Zincum

Penyerapan Zincum terjadi di duodenum, ileum dan jejenum dan hanya sedikit terjadi di kolon ataupun lambung, absorbsi terbesar terjadi di ileum. Penyerapan Zincum sekitar 30 sampai 60%, dipengaruhi oleh jumlah dan imbangan mineral lain serta susunan ransum dan bentuk kimia Zincum. Penyerapan Zn di usus melalui beberapa tahap antara lain (a) pankreas mengeluarkan ligan pengikat Zn ke dalam lumen usus, (b) di lumen Zn berikatan dengan ligan, (c) komplek ikatan dengan ligan, Zn diangkut melalui mikrovili usus masuk ke dalam sel epitel usus, (d) di dalam epitel, Zn ditransfer dan berikatan pada basolateral membran plasma, (e) albumin bebas logam berinteraksi dengan membran plasma dan membawa Zn dari tempat ikatannya pada reseptor. Jumlah albumin yang bebas metal pada membran plasma akan menentukan jumlah Zn yang dipindahkan dari sel epitel usus dan mengatur jumlah Zn yang masuk tubuh (Underwood 1977).

Pada manusia penyerapan Zincum di usus halus diatur secara homeostatik, yang dipengaruhi oleh faktor-faktor intraluminal. Di dalam sitoplasma usus,

Zincum diseimbangkan melalui pool Zincum intraseluler endogen, dan dengan

(23)

penyerapan Zndalam usus antara lain yaitu faktor yang membantu penyerapan Zn diantaranya adalah metionin, histidin, sistein, sitrat, pikolinat, sedangkan yang menghambat penyerapan Zn diantaranya Cd, Cu, P, Fe, oksalat dan fitat (Prasad 1991).

Gambar 1. Metabolisme Zn ( Yasayuki dan Kazutomo 1992)

Transport Zincum diatur oleh albumin, antiprotease dan á2 makroglobulin,

kemudian dibawa ke berbagai jaringan (Linder 1992; Buckley 2000). Zincum

dalam plasma sekitar 30 sampai 40% berikatan dengan á2 makroglobulin, dan 60

(24)

mengandung sekitar 75 sampai 88 % Zn, 12 sampai 22 % di dalam plasma, 3 % di dalam leukosit. Zincum juga banyak dijumpai pada sel leukosit dan trombosit (Underwood 1981).

Zincum kemudian dibawa dan didistribusikan ke jaringan kulit dan rambut

sekitar 20% dari total Zincum, dalam tulang 50%, hati, ginjal, retina, urat daging dan pankreas, serta digunakan sebagai aktivitas beberapa enzim (Gambar 1). Kadar Zincum selalu dipertahankan dalam kisaran normal, dan kisaran sangat sempit baik pada manusia maupun hewan. Transfer Zincum ke hati dari plasma lima sampai enam kali lebih cepat dibanding transfer ke jaringan lunak lainnya, juga dengan cepat ditransfer dari plasma induk kedalam plasenta (D’Mello 2000).

Carlson (2000) melaporkan pemberian ZnO sebesar 3000 ppm dapat meningkatkan kadar Zn pada hati dan ginjal, sedangkan pada pemberian 5000 ppm ZnO tidak ditemukan peningkatan konsentrasi Zn dalam jaringan, oleh karena itu efek suplementasi Zn terhadap konsentrasinya dalam jaringan lunak sulit untuk dideteksi. Konsentrasi Zn dalam jaringan, darah dan susu tidak selalu merefleksikan jumlah Zn dalam pakan (Underwood 1981). Kebutuhan terhadap mikromineral ini ditentukan oleh status fisiologi dan performans hewan (Ahmed

et al. 2001). Kelebihan Zincum akan berakumulasi dengan jalan terikat pada MT

dan dijumpai dalam hampir semua sel, terutama di hati, ginjal dan intestin (Cousin 1985).

Zincum tidak disimpan secara khusus, kecuali dalam MT merupakan salah

(25)

0,3 sampai 0,6 mg/hari yang ditemukan kembali di urin, terbesar hilang melalui feses. Zincum feses berasal dari Zn yang tidak diserap atau berasal dari Zn endogenus seperti dari air liur, sekresi lambung, pankreas dan usus (Underwood 1981). Zincum yang diekskresikan melalui urin sangat berkorelasi dengan laju produksi urin, sebagian Zincum dapat diserap kembali di tubuli ginjal. Kehilangan

Zincum urin secara nyata meningkat pada keadaan luka parah, operasi, trauma,

kelaparan. Heugten et al. (2003) melaporkan tidak dijumpai adanya perbedaan ekskresi baik melalui urin, feses, jaringan maupun plasma akibat adanya pemberian Zincum dari sumber yang berbeda. Selama laktasi Zincum

diekskresikan sebanyak 2 sampai 3 µg/ml susu, melalui keringat 1 sampai 5 mg, ke dalam urin 0,3 sampai 0,6 mg, dari pankreas ke dalam feses 4 sampai 5 mg (Linder 1992). Suplementasi Zincum pada induk tidak mengakibatkan peningkatan Zincum di dalam air susu (Underwood 1981).

Dinamika Zincum Intraselular

Sel membutuhkan sejumlah Zincum agar tetap hidup sehat dan dapat berfungsi dengan baik, akan tetapi hanya sedikit yang mengetahui bagaimana mineral ini digunakan atau bagaimana sel mengontrol konsentrasi mineral ini sehingga tidak berlebih atau berakibat pada munculnya gangguan dan menimbulkan kerusakan.

Secara umum kecukupan Zincum plasma memungkinkan Zur-protein mengatur asupan Zincum intrasel, dan bereaksi atau berikatan dengan gugus sulfhidril (SH hidroksil ) dari suatu komponen lemak membran sel (lipoprotein) menjadi ZnS(Gambar 2).

Zincum menstabilkan membran sel melalui penghambatan peroksidasi lemak

(26)

Receptor

Gambar 2. Fungsi Zn pada permukaan membran sel (O’Dell 1981)

Di sisi lain kelebihan Zincum dapat disimpan dalam bentuk MT yang merupakan pemakan radikal bebas yang baik. Metallotionin merupakan protein intraseluler yang memiliki ikatan kuat dengan Zn dan Cu (King 2000).

(27)

pembentukan MT dapat meningkat akibat adanya pengaruh stress. Hormon glukokortikoid menurunkan kadar Zincum plasma dan meningkatkan sintesis MT, begitu pula glukagon akan menginduksi fosfoenolpiruvatkinase dan triptophan oksegenase untuk aktif dan meningkatkan sintesis MT. Mineral Zincum di dalam sel berikatan dengan protein, Zur protein yang mengatur jumlah masuknya

Zincum ke dalam sel (Gambar 3), jika terjadi kelebihan Zincum maka protein

Zntr dengan cepat memindahkan dan mengeluarkannya dari sel (Bradley 2003).

Gambar 3. Pengaturan Zn intraseluler (Bredley 2003)

Zinc finger” merupakan suatu bentuk ikatan yang berbentuk tetrahedral

antara Zn dengan asam amino terutama sistein dan histidin (Gambar 4), memiliki kemampuan berinteraksi dengan struktur DNA (Voet & Voet 1990).

Gambar 4 : Zinc finger ( Voet dan Voet 1990).

(28)

dalam sel terkait erat dengan kemampuan sel untuk mentransfer Zincum dari darah melalui membran sel.

Gambar 5. Pengaturan hormonal pada proses metabolisme oleh sel hati dan hubungannya dengan kontrol metabolisme Zn dan Cu

(Cousin 1985)

Beberapa hormon turut berpengaruh terhadap metabolisme Zincum dalam sel diantaranya adalah hormon glukokortikoid, glukagon, epineprin dan interleukin 1 (Gambar 5). Hormon tersebut mampu meningkatkan pengambilan

Zincum oleh hati, sedangkan hormon insulin menghambat pengambilan Zincum

oleh hati (Cousin 1985). Glukagon dan Epineprin meningkatkan induksi

(29)

Glukagon tanpa atau disertai pemberian dexamethason menyebabkan peningkatan sintesis MT. Pemberian actinomycin D mampu menghambat glukagon dalam sintesis MT. Glukagon menginduksi pembentukan MT secara tidak langsung, karena hormon ini mempengaruhi perubahan kadar cAMP dalam sel (Cousin 1985).

Munculnya stress fisiologis, trauma dan adanya infeksi dapat menyebabkan terjadinya hipozincumia akibat dari pengaruh metabolisme Zincum dalam hati. Keadaan ini akan berakibat juga pada terjadinya hipercuprimia yang ditandai dengan meningkatnya ceruloplasmin dalam plasma. Perubahan metabolisme Zn dan Cu dalam sel hati erat kaitannya dengan berbagai kejadian yang berhubungan dengan faktor stress dan mekanisme pengaturan sistem pertahanan secara umum (Cousin 1985).

Penelitan yang dilakukan pada tikus secara in vivo ditemukan bahwa akibat defisiensi cuprum (Cu) konsentrasi norepineprin menurun pada otak tikus. Kejadian ini diakibatkan oleh menurunnya aktivitas enzim dopamine B

hydroxylase yang mengandung 8 atom Cu, sehingga terjadi kegagalan pada

konversi dopamine menjadi norepineprin (Engle 2001).

Defisiensi dan Toksisitas Zincum

Faktor yang diduga turut berpengaruh terhadap kadar Zincum plasma adalah jumlah Zincum dalam pakan, status fisiologi, jumlah protein yang berfungsi dalam transpor Zincum, keberadaan zat gizi lain dalam pakan, faktor stress (Underwood 1981; McDowell et al. 1983; Cousin 1985). Rendahnya kadar Zincum di dalam darah disebabkan oleh berbagai faktor, diantaranya karena rendahnya dalam pakan, gangguan di dalam penyerapan, meningkatnya kebutuhan atau ekskresi yang meningkat.

(30)

satu penyakit akibat kegagalan fungsi MT terlihat kadar Cu dan Zn dalam darah yang abnormal. Kejadian ini muncul akibat adanya defek MT secara genetik atau gangguan biokimiawi yang abnormal sehingga tidak dapat membentuk protein MT (Walsh et al. 2001). Beberapa keadaan yang menyertai terjadinya penurunan kadar Zincum di dalam darah diantaranya adalah pemberian kortikosteroid, stress, peradangan, distokia, trauma (Underwood 1977; Cousin 1985). Kadar Zn plasma juga menurun dilaporkan terjadi pada beberapa kasus seperti tumor ganas, aterosklerosis, sirosis hati, tuberkulosis, infeksi akut atau kronis dan kasus anemia perniciosa, sedangkan pada tikus dilaporkan pada pemberian endotoksin (Underwood 1981). Pada keadaan mastitis subklinis kadar Zincum darah nyata lebih rendah dibanding kelompok kontrol. Penurunan terjadi akibat meningkatnya kebutuhan Zincum oleh enzim yang berperan dalam proses peradangan (Naresh

et al. 2001).

Menurunnya kadar Zincum intraseluler dapat meningkatkan kejadian apoptosis. Apaptosis merupakan kematian sel secara terencana yang diatur oleh suatu gen. Kejadian apoptosis akibat defisiensi Zn sering terjadi pada tulang, esofagus, sel limfosit timus, kulit, sel epitel, testis, sel acinar pankreas, usus, sel epitel retina, perkembangan jaringan pada fetus (Truong et al. 2000). Pemberian

Zn in vitro dapat meningkatkan ratio antiapoptotic (Bcl-2)/proapoptotic (Bax)

sehingga meningkatkan ketahanan sel terhadap apoptosis (Fukamachi et al. 1998).

Rendahnya kadar Zincum plasma akan mempengaruhi metabolisme glukosa akibat terjadinya gangguan dalam produksi dan menurunnya respons dari insulin. Kekurangan Zincum juga dapat menyebabkan terhambatnya pertumbuhan, menurunnya konsumsi dan efisiensi pakan, lambatnya perkembangan testis, bulu rontok, lambatnya persembuhan luka dan kegagalan toleransi glukosa. Pada ternak betina berpengaruh terhadap keseluruhan fase dari proses reproduksi yaitu dari estrus, kebuntingan dan laktasi (Mc Dowell et al. 1983), sedangkan pada anak domba menyebabkan pertumbuhan terlambat dan meningkatnya kematian (Kendall et al. 2001).

(31)

metabolisme protein sehingga pertumbuhan dan perkembangan fetus abnormal. Penurunan Zincum menyebabkan penurunan aktivitas timidin kinase. Enzim ini berfungsi dalam pembentukan timidin trifosfat merupakan prasyarat untuk sintesis DNA dan pembelahan sel, sehingga terjadi kegagalan sintesis asam amino dan sintesis protein (Underwood 1981). Menurut Howell (1981) defisiensi Zn dapat menurunkan aktivitas enzim seperti DNA, RNA polimerase, kolagenase, •

aminolevulinate dehidratase.

Defisiensi Zincum menyebabkan kegagalan produksi prostaglandin sehingga pada hewan bunting dapat berakibat pada terjadinya periode kebuntingan lebih lama, kesulitan dalam melahirkan akibat dari hambatan produksi PGF2 α,

menurunnya tekanan darah, temperatur tubuh menurun dan hilangnya darah pada saat partus (Howell 1981). Defisiensi Zincum juga dapat menyebabkan kegagalan fungsi monosit dan menurunnya aktifitas fagositosis oleh sel neutrofil (Helge & Rink 2003), menurunnya produksi sitokin dari sel-T helper 1 (TH1) dan interferon oleh leukosit pada orang dewasa sehat (Rink & Kirchner 2000), meningkatnya kepekaan terhadap infeksi (Salgueiro et al. 2000; Tanaka et al. 2001; Pinna et al.

2002).

Gejala yang terlihat akibat defisiensi Zincum berupa penurunan nafsu makan, diare, pertumbuhan terlambat, penurunan daya tahan, dan meningkatnya kepekaan terhadap infeksi (Barbara et al. 1985; Salgueiro et al. 2000). Pada mencit dan tikus gejala terlihat berupa alopesia atau kebotakan, juga sering terjadi ulcus pada kulit secara kronis. Pada domba defisiensi Zincum menyebabkan gangguan pertumbuhan wol dan tanduk.

Pemberian Zincum relatif tidak toksik pada mamalia dan memiliki toleransi yang cukup tinggi. Tingginya asupan Zincum akan mempengaruhi metabolisme dalam rumen yaitu menurunnya konsentrasi VFA (Volatile fatty acid) dan ratio asam asetat : asam propionat, atau Zincum menyebabkan terjadinya perubahan dalam mikroorganisme rumen (Underwood 1981).

(32)

persendian tulang, resopsi tulang, menurunnya nafsu makan dan dapat berakibat kematian (Ensminger 1980). Pemberian Zincum yang berlebih dalam pakan dan lama pemberian, akan mempengaruhi kadar Zincum dalam organ dan terlihat peningkatan Zincum dalam hati, ginjal dan limpa, tidak dijumpai adanya perubahan pada organ tulang, jantung dan otot (Allen et al. 1983).

Pada manusia keracunan akibat konsumsi Zincum yang berasal dari makanan belum pernah dilaporkan, hal ini barangkali akibat kisaran intake

Zincum yang menyebabkan defisiensi dan toksik cukup lebar (Cousin & Hempe

1990). Pemberian 2 gram atau lebih Zn bentuk sulfat dapat menyebabkan keracunan akut akibat terjadinya iritasi gastrointestinal dan muntah-muntah (NRC 1989), sedangkan pemberian Zn sebesar 150 mg per hari dalam jangka waktu yang cukup lama dapat menyebabkan terjadinya anemia akibat defisiensi tembaga (Cousin & Hempe 1990). Pemberian Zn dalam jumlah 10 sampai 30 kali kecukupan yang dianjurkan selama beberapa bulan dapat menyebabkan hipocupremia, anemia mikrositik dan netropenia (NRC 1989). Pada orang yang sehat suplementasi Zincum dengan jumlah 20 kali kecukupan selama enam minggu menyebabkan penurunan fungsi kekebalan (Cousin & Hempe 1990).

Kebuntingan pada Kambing

Status Fisiologi Sekitar Partus

(33)

menekan sistem imunitas ternak, sehingga hewan mudah stress dan akan rentan terhadap penyakit

Munculnya stress dipicu oleh beberapa faktor seperti trauma, rasa sakit, emosi, depresi, perubahan lingkungan, pakan, perubahan fisiologis. Stress fisiologis sering dilaporkan terjadi pada periode sekitar partus. Stress akibat fisik dan stress metabolik selama bunting, partus dan laktasi dapat berakibat pada terjadinya penurunan daya tahan serta meningkatnya kejadian penyakit (Mallard

et al. 1998).

Keadaan stress menyebabkan tubuh bereaksi dengan mengeluarkan berbagai hormon seperti adrenalin, norepineprin dan kortisol. Hormon ini meningkatkan denyut jantung dan pernafasan, mengirim lebih banyak darah ke otot rangka, meredakan nyeri, menstimulasi sistem kekebalan tubuh, serta mengubah gula dan lemak menjadi energi. Stress berkepanjangan akan berakibat fatal dapat menyebabkan gangguan pencernaan, ketegangan otot, melemahkan sistem kekebalan tubuh, meningkatkan kerentanan terhadap infeksi serta memperparah kondisi penyakit kronis. Stress berlebihan merusak pelbagai aspek fisiologi, termasuk respons imun, sistem kardiovaskular, maupun kemampuan reproduksi, dan juga membahayakan sistem syaraf. Respons stress ditandai dengan peningkatan produksi hormon glukokortikoid (Cunningham 2002).

Produksi hormon Adrenocorticotrophic hormone (ACTH) juga dibawah pengaruh kontrol neuroendokrin termasuk sitokin dan signal nervus yang datang ke hipotalamus seperti stress, laktasi, perubahan pakan, suhu lingkungan (Ruckebusch 1991). Stress menyebabkan peningkatan kadar kortisol di dalam plasma. Produksi kortisol diawali dari adanya gangguan di dalam sel akibat rangsangan atau produk endotoksin sehingga dilepaskannya substansi kimia berupa hormon, atau neurotransmitter sampai di otak (Gambar 6). Neurotransmiter ini akan menstimulasi sel hipotalamus memproduksi CRF

(Corticotropin Releasing Factor). Zat ini selanjutnya menuju hipofisis anterior,

(34)

tingginya kadar kortisol melalui efek umpan balik, akan tetapi jalur umpan balik ini tidak berlaku pada saat partus.

Gambar 6. Pengaturan sekresi kortisol oleh hipotalamus (Cunningham 2002)

Adrenocorticotrophic hormone (ACTH) ini berinteraksi dengan reseptornya

pada membran sel, lalu secara tidak langsung mengaktifkan enzim adenilat siklase, setelah enzim ini aktif akan memproduksi cAMP (gambar 6). cAMP menginduksi beberapa stereidogenic protein (enzyme) yang terlibat dalam pembentukan hormone (Ruckebusch 1991). cAMP bekerja melalui (1) peningkatan pengambilan LDL (low density lipoprotein) yang akan diproses menjadi kolesterol bebas, (2) stimulasi hidrolisis penyimpanan kolesterol ester menjadi kolesterol bebas (3) stimulasi transpor kolesterol kedalam mitokondria (4) promosi terjadinya pengikatan kolesterol terhadap enzim sehingga terbentuk kortisol (Cuningham 2002).

Dinamika Hormon Sekitar Kebuntingan dan Partus

(35)

bekerja melalui reseptor yang terdapat dalam sitoplasma sel sasaran. Ikatan antara hormon steroid dengan reseptornya akan disertai translokasi ke dalam inti sel kemudian berinteraksi dalam kromatin dan dihasilkannya mRNA. mRNA akan berpindah ke dalam ribosum dan mentriger gen untuk sintesis protein. Protein yang terbentuk akan memberikan efek biologi (Cunningham 2002).

Kortisol merupakan glukokortikoid utama di dalam plasma, sebanyak 5 % secara bebas dalam sirkulasi, sebagian besar terikat dengan β globulin sebagai transkortin, dan sedikit terikat dengan albumin (Baron 1987; Kaneko 1990). Hormon yang bebas tanpa terikat protein yang mempunyai aktivitas biologis bila terjadi interaksi hormon reseptor di dalam sel tujuan. Kompleks protein dan hormon di dalam darah mempunyai fungsi untuk memasok kebutuhan hormon yang sewaktu waktu diperlukan oleh tubuh atau sel tujuan. Kortisol yang dihasilkan oleh kortex adrenal pada saat partus akan bekerja pada plasenta, meningkatnya aktivitas enzim untuk produksi estrogen (Ruckebusch 1991). Tingginya estrogen menstimulir produksi PGF2α, sehingga terjadi lisisnya corpus

luteum disertai menurunnya hormon progesteron. Hormon ini juga menstimulir terjadinya kontraksi uterus sehingga membantu proses kelahiran atau partus. PGF2α juga bekerja pada kelenjar ambing sehingga proses terjadinya susu turun

(Larson 1985).

Hormon progesteron dihasilkan oleh corpus luteum dan plasenta. Hormon progesteron penting dalam mempersiapkan uterus untuk melakukan implantasi, memelihara kebuntingan dan mengatur organ reproduksi, dengan demikian progesteron sangat esential selama kebuntingan. Progesteron menstimulir penebalan mukosa uterus, percabangan saluran kelenjar ambing dan pembentukan lobus alveolar (Arthur et al. 1996). Menjelang partus meningkatnya glukokortikoid menyebabkan penekanan produksi progesteron dan meningkatkan produksi estrogen yang berakibat pada terjadinya kelahiran.

(36)

Gambar 7. Jalur produksi hormon steroid (Cunningham 2002)

Tingginya hormon ini selama kebuntingan terutama dalam uterus dapat meningkatkan kepekaan terhadap infeksi, dan rendahnya kemampuan untuk melakukan kontraksi sehingga berperan di dalam memelihara dan menjaga kebuntingan (Roth et al. 1983). Kadar progesteron juga memiliki kemampuan berikatan dengan limfosit pada manusia. Meningkatnya konsentrasi hormon ini selama kebuntingan adalah cukup untuk mengurangi aktifitas sitotoksik dari limfosit (Jain 1993).

(37)

Gambar 8 Perubahan kadar hormon estrogen, progesteron, prolaktin dan hormon pertumbuhan selama siklus estrus dan kebuntingan (Larson 1985).

(38)

ke dalam uterus, serta membantu terjadinya kontraksi sehingga kelahiran dapat terjadi.

Gambar 9. Produksi kortisol oleh fetus pada saat terjadinya partus. (Ruckebusch 1991)

Prostaglandin penting saat partus, terjadi peningkatan empat jam sebelum partus pada kambing dan domba. Hormon ini dihasilkan oleh plasenta atau endometrium (Gambar 9). Meningkatnya ACTH pada kelenjar adrenal fetus penting dalam membantu terjadinya proses kelahiran. Prostaglandin mampu bersifat luteolitik dan menyebabkan kontraksi miometrium, juga terlibat dalam proses dilatasi cervix, menghambat produksi progesteron oleh plasenta (Ruckebush 1991). Prostaglandin menyebabkan dilepaskannya hormon relaksin dan oksitoksin. Relaksin dihasilkan oleh ovarium dan plasenta, menyebabkan terjadinya relaksasi pelvis dan dilatasi cervix uteri, menghambat kontraksi miometrium (Ruckebush 1990). Oxytocin sejumlah kecil disekresikan pada awal partus saat terjadinya dilatasi cervix, kemudian nyata meningkat pada tahap

(39)

partus. Oxytocin dihasilkan oleh neurohipofisis dan pada saat partus berperan dalam membantu kontraksi uterus (Toelihere 1981).

Penyakit - Penyakit Sekitar Partus

Munculnya berbagai penyakit baik yang bersifat infeksius maupun akibat gangguan metabolisme sering dilaporkan terjadi pada periode sekitar partus. Gangguan metabolisme sering dihubungkan dengan adanya ketidak seimbangan pakan atau kekurangan energi bagi tubuh. Penyakit infeksius diduga berhubungan dengan terjadinya penurunan pada respon imun atau penurunan daya tahan yang sering dilaporkan terjadi pada periode ini. Penurunan daya tahan dapat terjadi akibat pengaruh faktor hormonal dan faktor pakan. Tingginya hormon glukokortikoid serta rendahnya kadar Zn dilaporkan dapat mempengaruhi respon imun. Beberapa penyakit yang sering dijumpai muncul pada periode sekitar partus seperti kasus displasia abomasum, distokia, ketosis, hipokalsemia, hiperglikemia, pregnancy toxemia dan mastitis.

Mastitis merupakan salah satu penyakit yang sering muncul pada periode setelah partus yang sangat merugikan secara ekonomi. Penyakit ini disebabkan akibat dari meningkatnya infeksi bakteri ke kelenjar ambing. Banyak faktor yang mengakibatkan munculnya penyakit ini. Defisiensi Zincum pada ruminansia menyebabkan lemahnya kulit dan lapisan epitel (keratin) sehingga meningkatnya kecepatan metabolisme basal diikuti meningkatnya infeksi. Mastitis sering disertai dengan menurunnya kadar Zn atau hipozincemia sedang atau parah. Suplementasi Zn dapat menurunkan somatic cell count (SCC) pada kasus mastitis. Zincum mampu menjaga integritas keratin untuk mencegah kolonisasi infeksi pathogen pada saluran kelenjar ambing. Kerugian yang ditimbulkan pada kasus mastitis sekitar 1.8 miliyar setiap tahun, dimana kira-kira 66 persen produksi susu menurun akibat infeksi tersebut (Harmon 1997).

Hubungan Zincum dengan Sistem Pertahanan Tubuh

(40)

jamur, asap, iritan, debu, bahan organik maupun anorganik yang dijumpai pada lingkungan sekitar dapat mempengaruhi sistem imun. Ada dua tipe sistem imun yaitu sistem imun nonspesifik dan spesifik. Sistem imun nonspesifik merupakan pertahanan tubuh terdepan dalam menghadapi serangan berbagai mikroorganisme, oleh karena itu dapat memberikan respons langsung terhadap antigen. Sedangkan sistem imun spesifik membutuhkan waktu untuk mengenal antigen terlebih dahulu sebelum dapat memberikan responsnya (Bratawidjaya 2000).

Respon imun non spesifik diawali dari aktifitas sel-sel fagositik terutama neutrofil dan makrofag, merupakan sel pertama yang datang dan bereaksi dengan mikroorganisme. Pergerakan neutrofil ke arah stimulans adalah peristiwa utama dalam reaksi radang. Jika sel fagositik diaktifkan maka sel tersebut membebaskan mediator untuk memulai suatu reaksi perlawanan tubuh. Mediator yang dilepaskan oleh makrofag diantaranya pirogen endogen (EP), Leucocitic

endogenous mediator (LEM) dan Lymphocyte activating factor (LAF).

Mediator EP dapat merangsang pusat hipotalamus untuk memulai demam atau mungkin anoreksia. Mediator LEM menyebabkan hati mengambil asam amino, Zn dan Fe dan mengawali sintesis berbagai enzim, protein-protein reaktan dalam fase akut, dan kompleks lipoprotein-trigliserida untuk dibebaskan ke dalam plasma, juga merangsang sumsum tulang untuk membuat dan membebaskan sel-sel fagositik tambahan, mengawali atau memodulasi respons berbagai kelenjar endokrin terhadap infeksi (Linder 1992).

Periode bunting dan partus dilaporkan sebagai kondisi stress fisiologis yang disertai terjadinya peningkatan hormon glukokortikoid. Hormon ini dapat mempengaruhi fungsi sel leukosit. Pada akhir kebuntingan atau dua sampai tiga minggu sebelum partus terlihat perubahan aktifitas neutrofil sehubungan dengan terjadinya perubahan kadar hormon seperti hormon glukokortikoid, hormon estrogen, prolaktin, growth hormon di dalam darah (Kehrli et al. 1989).

Glukokortikoid menghambat produksi asam arahidonat yang berperan dalam proses peradangan sehingga akan mempengaruhi fungsi neutrofil dalam melakukan kemotaksis, agregasi, degranulasi dan produksi superoksida (Cai et al.

(41)

menghambat aktivasi komplek dan menstabilkan lisosom (Bratawidjaya 2000; Cunningham 2002).

Penurunan fungsi imun terjadi pada hewan bunting, terutama pada fungsi

sel polimorphonuclear (PMN) maupun sel limfosit. Perubahan hormonal yang

terjadi pada periode sekitar partus mengakibatkan fungsi PMN dan limfosit tidak mampu bekerja secara optimal. Pemberian glukokortikoid secara in vivo dapat menekan blastogenesis limfosit dan fungsi PMN, dan mekanisme terjadinya belum diketahui secara pasti. Ketidakmampuan sel limfosit berdiferensiasi, dan membentuk antibodi di sekitar partus menyebabkan terjadinya penurunan respon imun (Kehrli et al. 1989). Roth et al. (1982) melaporkan bahwa perubahan fungsi imun berkorelasi dengan meningkatnya jumlah kortisol plasma. Jika terjadi stress yang disertai dengan meningkatnya hormon glukokortikoid akan mempengaruhi reseptornya pada sel leukosit berupa degradasi reseptor yang berakibat pada perubahan ekspresi maupun fenotip sel leukosit baik limfosit maupun PMN yang memegang peranan penting dalam sistem pertahanan imun (Kehrli et al. 1989; Preisler et al. 2000).

Dexamethason merupakan salah satu preparat glukokortikoid. Pemberian dexamethason menyebabkan perubahan pada reseptor glukokortikoid pada sel leukosit. Hormon ini memiliki afinitas ikatan yang kuat dengan reseptornya pada sel leukosit, tingginya hormon ini menyebabkan perubahan fungsi leukosit dan fenotip yang berimplikasi bahwa reseptor glukokortikoid terlibat dalam gangguan fungsi dan sistem imun di sekitar partus. Pemberian dexamethason dapat menghambat produksi interferon gamma (IFN-γ) dan sekresi immunoglobulin M (Ig-M) dan menurunkan ekspresi molekul Major histocompatibility Complex

(42)

Menurunnya mitosis pada jaringan limfoid dan menurunnya produksi globulin diakibatkan oleh tingginya hormon glukokortikoid, hal ini merupakan langkah awal terjadinya gangguan respons selular dalam reaksi antigen-antibodi. Pada ayam yang diberi glukokortikoid memperlihatkan penurunan berat badan, atropi limpa, timus, bursa fabricius dan menurunnya respons antibodi serta meningkatnya kepekaan terhadap infeksi. Pemberian glukokortikoid juga memperlihatkan terjadinya penurunan jumlah limfosit, menurunnya produksi interleukin (IL)-2 dan menghambat produksi interferon γ dan sintesis limfokin (Isobe & Lillehoj 1992). Pemberian hormon ACTH menyebabkan meningkatnya konsentrasi kortisol plasma dan dijumpai menurunnya produksi IL-2 dan proliferasi limfosit in vivo maupun in vitro. Penelitian yang dilakukan oleh Takashi et al. (1992) pemberian kortikosteroid dapat menghambat produksi interferon γ dari sel mononuklear, dan mengurangi produksi interleukin-2. Kortisol juga menghambat mitosis dan menyebabkan hancurnya limfosit di dalam timus.

(43)

pertumbuhan dan terjadinya lesio kulit baru kemudian terjadi peningkatnya kepekaan terhadap infeksi, sedangkan Engle et al. (2001) mengatakan bahwa penurunan respons imun terjadi sebelum hilangnya nafsu makan atau menurunnya Zn plasma. Defisiensi Zincum menyebabkan menurunnya imunitas dan kehilangan fungsi sel-T pada hewan. Kemampuan sel-T untuk melakukan pembelahan mengalami kegagalan pada sel makrofag yang mengalami defisiensi Zincum.

Beberapa peneliti berasumsi bahwa penurunan respons imun akibat efek skunder menurunnya asupan nutrisi.

Zincum berfungsi sebagai imunostimulator yaitu mampu meningkatkan

sistem kekebalan. Upaya untuk meningkatkan kekebalan tubuh pada sapi dianjurkan penggunaan Zincum lebih tinggi dibanding kebutuhan untuk pertumbuhan dan reproduksi (Liberman & Bruning 1990). Penelitian yang dilakukan oleh Bires et al. (1992) melaporkan bahwa aktifitas fagositosis meningkat pada pemberian Zincum, terjadi peningkatan jumlah monosit sebesar 14% dan granulosit sebesar 86%. Kelebihan atau ketidakseimbangan mineral seperti Zincum dapat menyebabkan rusaknya komponen sistem kekebalan (Linder 1992). Pemberian ZnSO4 (2 gram/mg, larutan 2%) pada domba dua bulan akhir kebuntingan dijumpai kadar Zincum darah nyata meningkat pada induk maupun anak, disertai meningkatnya kadar γ globulin, sedangkan kadar total protein tidak berbeda (Cimtay et al. 2001). Zincum memegang peranan dalam perkembangan sel-T, reaksi antigen antibodi dan mempengaruhi fungsi limfosit dan fagositosis. Suplementasi chelat Zn-chitosan dan Cu-Chitosan cendrung meningkatkan produksi susu dan konsentrasi IgG dan protein dalam plasma darah (Paik 2001). Peran Zincum pada aktivitas enzim superoksida dismutase (SOD) dan mampu menstimulir semua jenis sel-T, dengan demikian memungkinkan sel-T berproliferasi dan berdiferensiasi yang pada akhirnya memacu aktivitas enzim selular. Meningkatnya aktifitas enzim katalase pada suplementasi Zincum diduga akibat enzim ini mampu mengkonversi H2O2 menjadi H2O dan O2

sehingga kerusakan sel dapat dicegah. Zincum juga mampu meningkatkan kadar IgG, hal ini mungkin berhubungan dengan fungsi Zincum dalam sistem imun.

Zincum dapat menginduksi produksi sitokin oleh sel leukosit, seperti monosit

(44)

faktor (Rink & Kircher 2000). Menurut Pinna et al. (2002) suplementasi Zn tidak mempengaruhi jumlah netrofil, monosit dan limfosit dalam sirkulasi, akan tetapi berpengaruh terhadap produksi superoksida oleh sel netrofil dan sekresi interferon oleh sel monosit.

Hubungan Zincum dengan Produktivitas Ternak

Ternak kambing yang banyak dikenal masyarakat adalah Kambing Peranakan Etawah (PE). Kambing ini merupakan hasil persilangan antara kambing Kacang (lokal Indonesia) dengan kambing Etawah (India). Proses persilangan (grading-up) antara kambing Kacang dan kambing Etawah di Indonesia sudah berlangsung cukup lama, namun demikian belum diketahui secara jelas sampai seberapa jauh terjadi peningkatan mutu ternak. Kambing PE merupakan tipe dwiguna sebagai penghasil daging dan produksi susu yang mempunyai potensi untuk dikembangkan di Indonesia. Ciri kambing PE adalah bentuk muka cembung, hidung agak melengkung, telinga besar dan agak terkulai, bulu agak panjang terutama pada paha bagian belakang. Kambing PE memiliki siklus berahi sekitar 18 sampai 22 hari, dan lama berahi 25 sampai 40 jam, dan tingkat konsepsi sekitar 45 sampai 60%. Lama kebuntingan selama 144 sampai 156 hari, rata-rata sekitar 149 hari, dan jumlah anak sekelahiran satu sampai tiga ekor. Berat lahir anak berkisar 2.5 kg sampai 5 kg (Sutama et al. 1999).

(45)

Kualitas dan Kuantitas Susu

Tingginya impor susu untuk kebutuhan dalam negeri menjadikan alasan peningkatan produksi susu kambing menjadi penting terutama dalam menanggulangi rendahnya gizi dan kesehatan masyarakat di pedesaan. Proses sekresi air susu dimulai dari pengambilan bahan yang berasal dari darah. Sel alveoli dikelilingi oleh pembuluh kapiler yang kemudian mampu memilih dan menyaring zat-zat yang diperlukan sehingga terbentuknya air susu (Ensminger 1980). Sel alveoli bekerja mengumpulkan sekresi masuk lumen dengan jalan osmotis atau ruptur sel. Dari lumen gelembung ke corong halus kemudian ke corong lebih besar akhirnya sampai kisterna ambing. Peristiwa susu masuk kisterna disebut susu turun. Produksi susu dipengaruhi oleh faktor hormonal dan syaraf. Hormon yang berperan terhadap produksi susu adalah hormon laktogenik, oksitoxin, prolaktin, sedangkan syaraf yang berperan adalah syaraf simpatikus (Ensminger 1980; Larson 1985).

Komponen susu terdiri atas air, laktosa (gula susu), protein, lemak, vitamin dan mineral. Komponen ini sebagian diambil dari darah dan beberapa disintesis oleh sel epitel kelenjar ambing. Zat-zat makanan dari sistem sirkulasi masuk ke dalam sel-sel sekretoris kelenjar susu melalui sistem transpor (Larson 1985). Biosintesis komponen susu dapat diambil langsung dari darah atau disintesis oleh epitel kelenjar ambing.

Laktosa dibentuk dari glukosa dan galaktose pada sel epitel ambing. Laktosa merupakan komponen susu yang terbentuk atas bantuan enzym lactose

synthethase. Enzim ini tersusun dari dua sub unit yaitu 1) galaktosil transferase,

(46)

glukosa susu, sintesis laktosa meningkat yang pada akhirnya terjadi peningkatan produksi susu karena laktosa berperan mengatur aliran air atau tekanan osmose dalam kelenjar ambing.

Protein susu yang disentesis pada sel epitel kelenjar ambing adalah kasein, beta-laktoglobulin, dan alfa laktalbumin (Ensminger 1980). Sintesis protein susu dikontrol oleh regulasi hormon dan transkripsi gen, stabilitas mRNA, dan laju translasi mRNA. Protein susu disentesis dari asam-asam amino bebas sesuai dengan kode genetik yang telah ditentukan. Penelitian yang dilakukan oleh Mackle et al. (2000) melaporkan bahwa pembentukan protein susu memerlukan energi dan oksidasi glukosa dapat digunakan sebagai sumber energi untuk meningkatkan produksi protein susu. Protein susu tidak dipengaruhi oleh konsentrasi arteri atau perbedaan arteriovena untuk beberapa asam amino esensial.

Lemak susu terbentuk dari campuran trigliserida dengan asam lemak rantai pendek. Asam lemak, gliserol dan intermediate lain disintesis pada sitoplasma dan biosintesis trigliserol berlangsung dalam sel epitel kelenjar ambing. Lemak susu terutama berasal dari asam asetat yang dihasilkan pada rumen dalam proses metabolisme pakan yang mengandung hemiselulose (Ensminger 1980; Larson 1985).

Vitamin dan mineral dalam susu diduga berasal dari darah tanpa mengalami perubahan. Perubahan hanya pada konsentrasinya, akan tetapi mekanisme pengaturannya belum diketahui secara pasti (Ensminger 1980). Pada saat partus juga terjadi peningkatan aliran darah ke kelenjar ambing dan disertai meningkatnya penggunaan glukosa dan O2 oleh kelenjar ambing (Larson 1985).

(47)

Kelenjar ambing tumbuh dan berkembang semakin pesat dengan bertambahnya umur kebuntingan yang berkaitan dengan peningkatan perangsangan hormonal. Hormon laktogen plasenta, progesteron, prolaktin dan hormon-hormon hipofisis akan merangsang differensiasi pembentukan lobule alveolar pada ujung-ujung ranting duktus yang terbentuk (Manalu et al. 2002).

Laktogen plasenta terbukti meningkatkan sintesis DNA sel-sel epitel kelenjar. Sel-sel epitel akan berfungsi untuk mensintesis komponen susu. Hormon relaxin, kortisol, prolaktin dan somatotropin telah terbukti meningkatkan kerja estradiol dan progesteron dalam perangsangan pertumbuhan dan perkembangan kelenjar susu. Glukagon berperan dalam proses glikogenolisis yaitu perombakan glikogen (dalam hati) menjadi glukosa, mempercepat pengeluaran asam amino alanin dan glutamin dari jaringan dalam proses glukoneogenesis untuk membentuk glukosa. Glukosa banyak dibutuhkan oleh kelenjar ambing saat laktasi sebagai prekursor laktosa maupun sintesis komponen susu lainnya (Larson 1985; Mepham 1998)

Jika pertumbuhan dan perkembangan kelenjar susu telah tercapai secara maksimum, tingkat produksi susu selama laktasi ditentukan oleh penyediaan substrat sebagai pembentuk komponen air susu dan aktifitas sel epitel ambing. Upaya peningkatan produksi susu yang dilakukan pada periode laktasi lebih ditekankan pada proses modulasi aliran substrat ke kelenjar susu, dan pemeliharaan jumlah sel melalui perlambatan involusi sel-sel epitel ambing. Peranan hormon dalam modulasi aliran substrat ke kelenjar susu dan pengaruhnya pada produksi susu telah banyak dilakukan. Hormon yang terlibat dalam proses modulasi substrat antara lain kortisol, insulin, glukagon, tiroksin, prolaktin dan somatotropin susu (Manalu et al. 2002). Kelenjar susu setelah puncak laktasi secara perlahan akan mengalami kematian, menyebabkan produksi susu menurun. Secara umum telah diketahui bahwa perbaikan pakan nyata meningkatkan produksi susu.

(48)

laju pergerakan zat-zat makanan tersebut dari ekstraseluler ke dalam sitosol. Zat-zat makanan prekursor bahan organik komponen susu (glukosa dan asam amino) masuk ke dalam sel epitel kelenjar susu melalui sistem transpor yang tidak tergantung insulin, sementara pada sel otot dan jaringan adiposa pengambilan glukosa tergantung pada insulin. Glukosa merupakan metabolit utama sebagai prekursor dari laktosa susu dan pada sapi perah diperlukan 85% dari karbon laktosa berasal dari glukosa. Kendala dalam peningkatan produksi susu antara lain akibat rendahnya fluks glukosa masuk ke kelenjar ambing. Penelitian yang dilakukan oleh Astuti et al. (2000) melaporkan bahwa produksi susu yang rendah pada kambing Peranakan Etawah disebabkan oleh rendahnya fluks glukosa ke dalam kelenjar susu.

Pemberian pakan pada ternak laktasi dipriorotaskan untuk produksi susu di mana aktivitas metabolisme kelenjar ambing yang tinggi memerlukan pasokan nutrien yang cukup untuk mensintesis susu (Collier 1985; Mepham 1987). Paik (2001) melaporkan bahwa Zn sulfat mempunyai tendensi menurunkan jumlah sel somatik tetapi tidak meningkatkan jumlah produksi susu. Jumlah sel somatik (SCC) adalah indikator untuk melihat status kesehatan kelenjar ambing selama laktasi dan merupakan evaluasi dari kejadian infeksi ambing selama laktasi.

Kualitas Karkas dan Pertumbuhan Wol

(49)

menekan adipogenesis melalui 3T3-L1 preadiposit. Pemberian Zincum mampu menekan produksi NO dan meningkatnya aktifitas enzim gliserol fosfat dehidrogenase (GPDH), sehingga skor marbling meningkat pada penggemukan (Hino et al. 2001).

Peningkatan Bobot Badan Induk dan Bobot Lahir pada Anak

(50)

BAHAN DAN METODE

Penelitian ini meliputi beberapa tahapan yaitu: (1). Penyusunan ransum dengan tingkat kandungan Zn yang berbeda, (2). Seleksi dan penyediaan hewan bunting meliputi sinkronisasi estrus, inseminasi buatan (IB), (3). Pengamatan klinis dan pengambilan sampel darah induk selama bunting, partus dan laktasi, (4). Pengukuran jumlah produksi susu, bobot lahir anak, dan melakukan analisis sampel.

Lokasi dan Lama Penelitian

Percobaan dilakukan di Balai Penelitian Ternak (Balitnak) Ciawi Bogor. Penelitian menggunakan kambing PE diamati pada fase bunting tua sampai awal laktasi. Penelitian dilakukan mulai bulan Juli 2002 sampai bulan Maret 2004. Pemeriksaan darah dilakukan di laboratorium Patologi Klinik, Balai Penelitian Veteriner, laboratorium Bakteriologi dan Imunologi dan laboratorium Patologi Fakultas Kedokteran Hewan IPB.

Materi Penelitian

Peralatan

Peralatan yang digunakan adalah Radioimmunoassay (RIA), Spektrofotometer, Refraktometer, AAS (Atomic Absorbent Spektrofotometer), elektrolit analizer, hemavet, seperangkat hemositometer, mikroskop, gelas objek, tabung reaksi, tempat flakon serum, freezer, dll.

Hewan Percobaan

Penelitian menggunakan kambing Peranakan Etawah (PE) sebanyak 30 ekor, betina, umur tiga sampai enam tahun, laktasi ke tiga sampai ke empat, bobot badan sekitar 30 sampai 50 kg.

(51)

pakan mengandung Zn 40 mg/kgBK, kelompok Zn1 diberi pakan mengandung Zn 60 mg/kgBK dan kelompok Zn2 diberi pakan mengandung Zn 80 mg/kgBK.

Pakan

Pakan yang diberikan pada kambing percobaan disesuaikan dengan kebutuhan kambing bunting dan laktasi. Semua kambing mendapat jenis pakan berupa rumput gajah dan konsentrat. Komposisi bahan penyusun konsentrat yang diberikan berupa campuran terutama ampas bir, onggok dan dedak (Tabel 1). Air minum diberikan secara ad libitum.

Pakan yang diberikan pada kambing percobaan mengandung komposisi yang disesuaikan dengan kebutuhan metabolisme energi (ME) standar NRC pada kambing bunting dan laktasi. Komposisi kandungan analisis zat pakan dalam penelitian (Tabel 2). Air minum diberikan secara ad libitum.

Tabel 2. Komposisi kandungan zat pakan dalam penelitian

(52)

Metode Penelitian

Pemeriksaan Kesehatan Ternak

Sebelum perlakuan dimulai semua hewan dilakukan pemeriksaan kesehatan secara umum dan dilakukan pengambilan darah untuk mengetahui status kesehatan awal sebelum penelitian dimulai.

Sinkronisasi Estrus dan Inseminasi Buatan

Kambing yang dinyatakan sehat secara klinis lalu diserentakkan berahinya menggunakan CIDR–G (Controlled Internal Drug Release, Goat) preparat hormonal yang mengandung 0,33 gram progesterone (InterAg, Selandia Baru). CIDR–G dimasukkan dan diimplantasikan ke dalam vagina selama 14 hari. Setelah pencabutan implan CIDR–G yang dilakukan dua minggu kemudian, semua hewan betina akan memperlihatkan gejala berahi secara serentak. Dalam waktu 12 jam setelah berahi terdeteksi atau 48 sampai 60 jam setelah pencabutan implan CIDR–G dilakukan inseminasi buatan (IB), menggunakan semen cair dengan dosis inseminasi 200 juta sel sperma. Diagnosis kebuntingan pada hewan yang telah diinseminasi dilakukan melalui pemeriksaan ultrasonografi (USG).

Pengambilan Sampel Darah

Pemeriksaan klinis selalu dilakukan sebelum pengambilan darah. Sampel darah diambil menggunakan venojek melalui vena jugularis sebanyak 10 ml. Pengambilan sampel darah berupa darah utuh dan serum.

Pengambilan sampel darah dilakukan pada kebuntingan tiga bulan, tiga setengah bulan, empat bulan, empat setengah bulan, partus, dua minggu, empat minggu, enam minggu dan delapan minggu post partum. Waktu pengambilan sampel darah juga dilakukan menjelang partus, setelah partus, satu, dua dan tiga hari setelah partus untuk pemeriksaan kadar kortisol.

Gambar

Gambar 2.  Fungsi Zn pada permukaan membran sel (O’Dell  1981)
Gambar 7.  Jalur produksi hormon steroid     (Cunningham  2002)
Gambar 9.  Produksi kortisol oleh fetus pada saat terjadinya partus.                                      (Ruckebusch   1991)
Tabel 2.  Komposisi kandungan zat pakan dalam penelitian
+7

Referensi

Dokumen terkait

Dari gambar hasil mikrografi menyimpulkan bahwa proses pembuatan ulir Clamp U dilakukan dengan proses Thread Rolling dan menyimpulkan bahwa proses terjadinya kegagalan terjadi

Kegagalan material SA-210C ini dianalisa akibat tekanan internal maksimum fluida yang melewati pipa pada lokasi 1 melebihi perhitungan yang diizinkan, dengan penyebab

menunjukan hasil regresi secara keseluruhan yang menjelaskan hubungan stres kerja terhadap kinerja karyawan, dimana didapatkan nilai R sebesar 0,776 yang menunjukkan

Diharapkan dengan memanfaatkan sampah sayur dan buah didapatkan hasil etanol yang lebih optimum melalui proses pretreatment , hidrolisis enzim menggunakan kapang

Namun kemudian, sebagai- mana dikemukakan oleh Muhammad Hami- dullah, secara bertahap, berdasarkan wahyu (al-Qur’an) dan sunnah Nabi Muhammad, sistem sosial yang

Sedangkan limit switch dibuat dengan sistem kerja yang berbeda, limit switch dibuat dengan sistem kerja yang dikontrol oleh dorongan atau tekanan (kontak fisik) dari

24.Surat Setoran Retribusi Daerah yang selanjutnya disingkat SSRD adalah surat yang digunakan oleh wajib retribusi untuk melakukan pembayaran atau penyetoran

Koreksi penuh pada peta laut dilakukan secara periodik dan akan menghasilkan peta edisi baru/ diperbarui yang dimutakhirkan oleh kumpulan informasi dalam Berita Pelaut (Notices