ANALISIS POLA SEBARAN SPASIAL
Panthera pardus melas
Cuvier, 1809
DI TAMAN NASIONAL ALAS PURWO
GHUFRON AHMAD E 34102054
DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR
Ghufron Ahmad. E34102054. Analisis Pola Sebaran Spasial Panthera pardus melas Cuvier, 1809 di Taman Nasional Alas Purwo. Dibimbing oleh Dr. Ir. Yanto Santosa, DEA.
RINGKASAN
Macan tutul jawa merupakan predator yang cepat beradaptasi pada perubahan, mampu mempelajari hal baru dengan cepat, lihai menyembunyikan diri, mempunyai kemampuan memanjat yang baik, memiliki kemampuan berenang, dan sangat lincah di permukaan tanah. Struktur tulang macan tutul jawa menunjukkan bahwa jenis ini merupakan individu yang yakin pada kekuatan, kecepatan, serta ketangkasannya. Karakteristik ini seringkali menimbulkan kesulitan dalam hal penelitian maupun inventarisasi yang diperlukan untuk kepentingan pengelolaan dan pelestarian.
Jumlah macan tutul jawa pada area konservasi di seluruh pulau Jawa diperkirakan 350-700 ekor (Santiapillai dan Ramono, 1992). Meskipun keadaan macan tutul jawa masih lebih baik bila dibandingkan dengan harimau jawa, tetap saja kegiatan pengelolaannya harus dilaksanakan dengan hati-hati dan bertanggung jawab. Pihak pengelola, atau dalam hal ini Taman Nasional Alas Purwo, dituntut untuk dapat bekerja sama dengan pihak lain seperti para peneliti, mahasiswa, ataupun masyarakat umum karena upaya pelestarian tidak akan berhasil jika hanya dilakukan secara sepihak.
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret-Mei 2006 di Taman Nasional Alas Purwo, Jawa Timur. Adapun tujuan yang hendak dicapai adalah untuk menentukan pola sebaran spasial macan tutul jawa, dan membuktikan adanya hubungan antara tipe aktivitas macan tutul jawa dengan karakteristik habitat alaminya di Taman Nasional Alas Purwo.
Pada penelitian ”Analisis Pola Sebaran Panthera pardus melas Cuvier, 1809 di Taman Nasional Alas Purwo” ini, pengambilan data dilakukan secara pengamatan langsung maupun tidak langsung. Data pengamatan langsung didapatkan dari perjumpaan secara langsung dengan macan tutul jawa, sedangkan data pengamatan tidak langsung bersumber pada jejak berupa suara, jejak kaki, sisa makanan, cakaran di tanah (scrape), cakaran di pohon (scratch), dan feces.
Pengamatan dilaksanakan di lima tipe ekosistem, yaitu mangrove, hutan pantai, hutan tanaman, hutan dataran rendah, dan padang penggembalaan Sadengan. Terdapat 41 data kontak dengan macan tutul jawa yang berhasil dikoleksi. Data tersebut menunjukkan beberapa aktivitas yang dilakukan oleh macan tutul jawa, yaitu: berjalan, berburu, makan, bersuara, mencakar di tanah, mencakar di pohon, mengasuh anak, dan bersuara. Hasil perhitungan dengan chi kuadrat (x2tabel = 23, 685, dan x2hitung = 40) membuktikan bahwa
tipe aktivitas macan tutul jawa memiliki hubungan dengan karakteristik habitat yang ada di Taman Nasional Alas Purwo.
Dari analisis data juga dapat diketahui bahwa macan tutul jawa di Taman Nasional Alas Purwo memiliki pola sebaran spasial mengelompok. Hal ini terkait dengan faktor internal maupun faktor eksternal.
Faktor internal yang dimaksud adalah sifat biologis macan tutul jawa (postur, komposisi fisik dan kimia tubuh, proses metabolisme, ekspresi, kepekaan, reproduksi, adaptasi) dan perilaku macan tutul jawa yang dipengaruhi oleh rangsang dari dalam (endogenus factor) maupun rangsang dari luar (exogenus factor).
ANALISIS POLA SEBARAN SPASIAL
Panthera pardus melas
Cuvier, 1809
DI TAMAN NASIONAL ALAS PURWO
GHUFRON AHMAD E 34102054
Skripsi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan
Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata
DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR
ANALISIS POLA SEBARAN SPASIAL
Panthera pardus melas
Cuvier, 1809
DI TAMAN NASIONAL ALAS PURWO
GHUFRON AHMAD E 34102054
Skripsi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan
Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata
DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR
Judul Skripsi : Analisis Pola Sebaran Spasial Panthera pardus melas Cuvier, 1809
di Taman Nasional Alas Purwo
Nama Mahasiswa : Ghufron Ahmad
Nomor Pokok : E 34102054
Departemen : Konservasi Sumberdaya Hutan Dan Ekowisata
Fakultas : Kehutanan
Menyetujui, Pembimbing I
Dr. Ir. Yanto Santosa, DEA NIP: 131.430.800
Mengetahui, Dekan Fakultas Kehutanan
Institut Pertanian Bogor
Prof. Dr. Ir. Cecep Kusmana, MS NIP: 131.430.799
RIWAYAT HIDUP
Ghufron Ahmad. Dilahirkan sebagai sulung dari dua bersaudara di Purworejo, 5 Juli 1984. Bersekolah di SDN Jono 1 (1990-1996) dan Madrasah (1993-1995), SLTPN 1 Grabag (1996-1999), dan SMUN 2 Purworejo (1999-2002). Masuk ke Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowosata Institut Pertanian Bogor pada tahun 2002 melalui jalur USMI.
Selama menjadi mahasiswa, penulis terlibat aktif dalam sejumlah kegiatan lapang: Bina Corps Rimbawan di Hutan Pendidikan Gunung Walat, Magang Mandiri di Program Konservasi Harimau Sumatera (PKHS) TN Way Kambas, kunjungan ke Sumatran Rhino Sanctuary (SRS), 1st Ekspedisi Global bersama Rhino Protection Unit (RPU) di TN Bukit Barisan Selatan, Observasi Kolaboratif bersama Pecinta Alam IGREX di CA Gunung Masigit Kareumbi Bandung, Eksplorasi di Bodogol, Eksplorasi di CA/TWA Pangandaran Ciamis, Pendidikan dan Pelatihan Metamorfosa di TN Gunung Halimun Salak dan Megamendung, Praktek Ekologi Hutan di TN Gunung Gede Pangrango, Praktek Pengelolaan dan Perencanaan Hutan di KPH Banyumas Barat dan Baturraden, Praktek Pencemaran Lingkungan di CA Blanakan, Praktek Pengelolaan Satwaliar di CA Muara Angke, Praktek Manajemen Kebijakan Konservasi di Cagar Alam Yanlapa Jasinga, Praktek Ekologi Satwaliar di Pulau Rambut, Praktek Pengelolaan Satwaliar di Taman Margasatwa Ragunan, Praktek Inventarisasi Sumberdaya Hutan di Hutan Pendidikan Gunung Walat, field trip ke Pusat Penyelamatan Satwa (PPS) Gadog, Praktek Pendidikan Konservasi di Desa Cibanteng, Praktek Rekreasi Alam di Situ Cijantungeun, Praktek Kerja Lapangan dan Profesi di TN Alas Purwo, dan penelitian bersama PPLH IPB di CA/TWA Telaga Warna Puncak.
KATA PENGANTAR
ﻢﺴﺑ ا ﺮﻠاﷲ ﺣ ﻢﻴﺣرﻠاﻦﻤ
Bermula dari keprihatinan akan keadaan macan tutul jawa yang eksistensinya
terkesan dianak tirikan apabila dibandingkan dengan intensitas perhatian yang diberikan kepada harimau sumatera, maka tumbuhlah suatu cita-cita untuk dapat memberikan
sesuatu yang berarti bagi dunia konservasi macan tutul jawa. Penelitian ”Analisis Pola
Sebaran Spasial Populasi Panthera pardus melas Cuvier, 1809 di Taman Nasional Alas
Purwo” ini dimaksudkan sebagai salah satu bentuk pengabdian dalam perjuangan menjaga kelestarian plasma nutfah yang ada di Indonesia.
Sudah semestinya setiap spesies penyusun keanekaragaman hayati termasuk
macan tutul jawa, mendapatkan perhatian dan kedudukan yang layak juga terlindungi,
setara dengan pesona dan nilai keilmuan tak tergantikan yang menyertainya. Tidak perlu
menunggu hingga dunia barat menyatakan mengenai kritisnya kondisi suatu spesies tertentu, baru kita berbondong-bondong menunjukkan kepedulian kita. Sudah saatnya
masyarakat Indonesia membuka mata untuk lebih peduli terhadap nilai dan potensi yang
dimiliki, yang bersamanya selalu terdapat tanggung jawab untuk bersama-sama menjaga
kelestariannya.
Dengan prinsip dasar bahwa kontribusi sekecil apapun akan memiliki arti dalam
sebuah proses, maka sedikit kajian mengenai macan tutul jawa ini disusun. Besar harapan
penulis bahwasanya sedikit karya ini dapat bermanfaat bagi usaha pelestarian Panthera
pardus melas Cuvier, 1809 di Indonesia. Semoga Allah memberikan kekuatan serta
cintaNya.
PERSEMBAHAN
Rasa terimakasih serta penghargaan sebesar-besarnya penulis sampaikan kepada Allah SWT beserta segenap orang-orang yang telah digerakkanNya untuk membantu setiap proses menemukan dan menulis karya ini:
1. Dr. Ir. Yanto Santosa, DEA selaku dosen pembimbing. 2. Syahrial Anhar Harahap sebagai ‘konsultan macan’.
3. Yang secinta dan sedarah: Bapak Sayidi, Ibu Endang Pertiwi, dan R. Farisa Ahmad. 4. Pemerintah Daerah Kabupaten Purworejo sebagai penyandang dana penelitian.
5. Saudara seperjuangan: KSH 39 (2002), KSH 38 (2001), KSH 41 (2004), U.K. Fauna IPB dan HERBIVegetarian (selamatkan fauna indonesia!), Paguyuban SEROJA, Komunitas SERASAH (..dan berpuisilah sampai mati..), & Keluarga GAMAPURI.
6. Team PKLP TeEnAPe La’Kere: Idel Subo, Gugum Vietkong, Indri BI, Dani Indun, Abah Hitler, Dira Semar.
7. Masyarakat Mushola, sahabat & partner berpetualang yang hebat: Gus Muslim, Amin, Sodiq, Muhaimin, Cak Saeful, Bang Heri, Bowo, Dodi Amarillo. (Matur sembah nuwun) 8. Resto Rowobendo: Pak Pon & Bu Jar, Resto Pancur: Pak Hadi & Bu Wiwik.
9. Pasukan kuncen Alas Purwo: Mas Gendut, Kang Banda, Mas Cipto, Mas Margo, P’Bambang, P’Hudiyono, Mas Ajir, Mas Handoko, Mas Nano, Mas Paidi, P’Misijo, P’Misenu, P’Heru, P’Joko, Mas Joko, Mbak Imas, Mbak Dian, Mbah Sampun, P’Komar, Mbah Man, P’Heri, P’Tekun, P’Harto, P’Untung, Mbah Barodji, de’es be.
10. Putri ‘Macan Nanggroe’ Komalasari, Keluarga Ismail & Cut Ina.
11. Big NOLers: Penjinak Jelangkung Statistik-Maryanti, Pongo Ireng-Julius, Merak Ijo -Nisa, Badak Estrus-Andrian, Meong Tua-Pa’de, Prince Tong2-Dodo, RajaKatak-Ucok. 12. SiX: Sinta UNSOED, Ditya UNDIP, Acoy IPB, Naning UNWAMA, Wuri UGM.
13. Teman seatap sepernaungan di C3-248, Baitussalaam, late Padepokan Rimba, Jamparing, & GongLi.
14. Wita Amazon, Vina & Diah Alcatraz, dan seluruh jajaran staf KSHE.
15. Sakabehan pihak-nampak tak nampak, yang sulit ditembangkan satu per satu.
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL ... ix
DAFTAR GAMBAR ... x
DAFTAR LAMPIRAN ... xii
PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian ... 1
Tujuan Penelitian ... 2
Manfaat Penelitian ... 2
TINJAUAN PUSTAKA Bio-ekologi Macan Tutul Jawa ... 3
Pola Sebaran Spasial Satwaliar ... 8
KONDISIS UMUM TAMAN NASIONAL ALAS PURWO Sejarah Kawasan ... 9
Kondisi Fisik ... 9
Kondisi Biotik ... 10
Kondisi Sosial Ekonomi dan Budaya Masyarakat ... 10
METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu ... 11
Bahan dan Alat ... 11
Pengambilan Data ... 12
Analisis Data ... 13
HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Habitat ... 18
Pola Sebaran Spasial Macan Tutul Jawa ... 25
Hubungan Antara Tipe Aktivitas Macan Tutul Jawa Dengan Karakteristik Habitat.... ... 43
Interaksi Macan Tutul Jawa Dengan Manusia ... 45
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan ... 46
Saran ... 46
DAFTAR PUSTAKA ... 47
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1 Penampilan visual macan tutul ... 5
2 Peta lokasi penelitian macan tutul jawa ... 12
3 Zona kontak dengan macan tutul jawa ... 28
4 Track macan tutul jawa ... 28
5 Identifikasi jejak kaki macan tutul jawa ... 29
6 Kondisi substrat sebagai media perekam jejak kaki ... 29
7 Jejak aktivitas makan ... 32
8 Feces macan tutul jawa ... 33
9 Scrape macan tutul jawa ... 33
10 Scratch macan tutul jawa ... 34
11 Tempat terdengar suara macan tutul jawa ... 35
12 Penyu di pantai marengan ... 36
13 Beberapa sumber air di Taman Nasional Alas Purwo ... 37
14 Penampilan vegetasi pada beberapa ekosistem ... 38
15 Gua kecil dan formasi batuan di Taman Nasional Alas Purwo ... 39
16 Pengambilan sumberdaya alam di Taman Nasional Alas Purwo ... 40
DAFTAR TABEL
Halaman
1 Ukuran tubuh macan tutul ... 4
2 Penampilan fisik, medula, dan sisik rambut macan tutul jawa ... 6
3 Tabel isian aktivitas macan tutul jawa ... 15
4 Jenis vegetasi di hutan pantai ... 17
5 Jenis vegetasi di hutan dataran rendah ... 18
6 Jenis tumbuhan bawah di padang penggembalaan Sadengan ... 20
7 Jenis vegetasi di hutan tanaman ... 20
8 Jenis vegetasi di mangrove ... 21
9 Fluktuasi lama penyinaran matahari ... 22
10 Fluktuasi curah hujan dan jumlah hari hujan ... 22
11 Fluktuasi kelembaban udara ... 23
12 Fluktuasi penguapan air ... 23
13 Fluktuasi suhu udara ... 24
14 Fluktuasi tekanan udara ... 24
15 Fluktuasi kecepatan, kecepatan maksimum, dan dominasi arah angin ... 25
16 Frekuensi kontak dengan macan tutul jawa ... 26
17 Jenis aktivitas macan tutul jawa di lima tipe ekosistem ... 27
18 Pengaruh kondisi substrat terhadap bentukan jejak kaki dan cetakan gips ... 29
19 Penggunaan waktu oleh macan tutul jawa ... 32
20 Keanekaragaman mangsa satwa macan tutul jawa ... 36
21 Data perburuan di Taman Nasional Alas Purwo ... 39
22 Data pengambilan sumberdaya alam di Taman Nasional Alas Purwo ... 41
23 Data kebakaran hutan di Taman Nasional Alas Purwo ... 42
24 Rekapitulasi temuan aktivitas macan tutul jawa pada tiga tipe ekosistem ... 44
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
PENDAHULUAN
Latar Belakang Penelitian
Macan tutul jawa (Panthera pardus melas Cuvier, 1809) merupakan satwa endemik pulau Jawa. Namun demikian, data dan pengetahuan yang telah diarsipkan selama ini masih belum setara dengan nilai positif eksistensi macan tutul jawa. Jumlah macan tutul jawa pada area konservasi di seluruh pulau Jawa belum diketahui secara pasti, namun diperkirakan 350-700 ekor (Santiapillai dan Ramono, 1992). Secara alamiah, macan tutul jawa merupakan predator yang pandai beradaptasi pada perubahan, mampu mempelajari hal baru dengan cepat, lihai menyembunyikan diri, mempunyai kemampuan memanjat yang baik, dapat berenang, dan sangat lincah di permukaan tanah. Naluri yang kuat serta kemampuan yang hebat ini seringkali menimbulkan kesukaran dalam kegiatan penelitian serta inventarisasi untuk pengelolaannya.
Macan tutul jawa termasuk dalam kategori endangered species dalam daftar IUCN, dan appendix I dalam daftar CITES. Satwa mengagumkan ini dilindungi oleh Undang-undang No. 5 tahun 1990 tentang konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya, dan Peraturan Pemerintah RI No. 7 tahun 1999 tentang pengawetan jenis tumbuhan dan satwa. Hal ini menegaskan nilai penting kelestarian macan tutul jawa.
Kondisi kelestarian macan tutul jawa pada saat ini cukup mengkhawatirkan. Macan tutul jawa menghadapi berbagai masalah yang berpotensial mengakibatkan gangguan dan kepunahan. Aktivitas manusia seperti perubahan peruntukan lahan, pembakaran, serta perburuan liar terhadap macan tutul jawa ataupun satwa mangsanya merupakan ancaman serius yang harus segera dicari akar masalah serta solusinya.
Salah satu habitat dari macan tutul jawa adalah Taman Nasional Alas Purwo (TNAP), Jawa Timur. Meskipun keadaan macan tutul jawa masih lebih baik bila dibandingkan dengan harimau jawa, tetap saja kegiatan pengelolaannya harus dilaksanakan dengan hati-hati dan bertanggung jawab. Pihak pengelola dituntut untuk dapat bekerja sama dengan pihak lain seperti para peneliti, mahasiswa, ataupun masyarakat umum, karena upaya pelestarian tidak akan berhasil jika hanya dilakukan secara sepihak maupun oleh satu atau beberapa golongan tertentu saja.
2
Tujuan Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan dengan tujuan untuk menentukan pola sebaran spasial macan tutul jawa dan membuktikan adanya hubungan antara tipe aktivitas yang dilakukan oleh macan tutul jawa dengan karakteristik habitat di TNAP, Jawa Timur.
Manfaat Penelitian
TINJAUAN PUSTAKA
Bio-Ekologi Macan Tutul Jawa
Taksonomi
Macan tutul jawa termasuk binatang bertulang belakang dengan klasifikasi sebagai berikut (Gunawan, 1988; Anonim,1978; Lekagul dan McNeely,1977):
Kingdom : Animalia
Phyllum : Chordata
Sub-phylum : Vertebrata
Class : Mammalia
Ordo : Carnivora
Sub Ordo : Fissipedia Family : Felidae
Sub-family : Pantherinae
Genus : Panthera
Spesies : Panthera pardus Linnaeus, 1758
Sub Spesies : Panthera pardus melas Cuvier, 1809 untuk macan tutul jawa. Sinonim : Felis pardus Linnaeus, 1758
Felis orientalis Schlegel, 1857 Felis fusca Meyer, 1794
Panthera antiquorium Fitzinger, 1868
Nama Daerah : Jawa : macan, macan tutul, sima, seruni, kombang, gogor, pogoh, bungbak.
Madura : macan totol
Sunda : macan tutul, meong hideung, rimau lalat, meong kerud. Melayu : harimau tutul
Nama Asing : Inggris : leopard, panther Belanda : lui’paard, panter
Cina : bào
Jerman : leopard
Greek : leópardos
Latin : leopardus
Prancis : léopard
Afrika : luiperd
4
Morfologi
Seperti anggota keluarga kucing lainnya, macan tutul jawa juga mengalami dimorfisme seksual, yaitu perbedaan ukuran tubuh antara jenis kelamin yang berbeda. Pada kondisi yang normal dan usia yang sama, macan tutul jawa jantan akan memiliki tubuh yang relatif lebih besar daripada macan tutul jawa betina. Perbandingan karakteristik tubuh untuk masing-masing jenis kelamin dapat dilihat pada tabel 1.
Tabel 1. Ukuran tubuh macan tutul
No. Sumber Jenis Kelamin Ukuran tubuh
Jantan Betina Berat Panjang Tinggi
1. Garman, 1997 √ √
4. The Encyclopedia
Americana, 1996 √ √
7. Hoogerwerf, 1970
√ 52 kg
Diolah dari berbagai sumber
5
ukuran pupil yang tinggi pada berbagai intensitas cahaya. Pada siang hari pupil akan menyempit dan hanya terlihat seperti satu garis vertikal. Pada malam hari pupil akan membesar sesuai intensitas cahaya yang diterimanya. Macan tutul jawa memiliki ekor panjang yang ujungnya membengkok ke atas dan pada ujung sisi bawahnya berwarna putih. Cakar macan tutul jawa dapat dikeluarkan dan disimpan sesuai kebutuhan sehingga efektif dalam kegiatan berjalan biasa ataupun berburu. Hal ini juga membuat macan tutul jawa memiliki kemampuan memanjat vertikal. Bantalan metakarpal yang lembut dan kuat akan meredam suara ketika mengendap dan mengintai mangsa. Kaki belakang yang dapat berfungsi layaknya pegas sangat membantu dalam pencapaian jarak lompat yang diperlukan ketika akan memanjat, menerkam mangsa maupun berlari biasa.
Gambar 1. Penampilan visual macan tutul
Gam Macan tutul jawa juga mengalami dimorfisme rambut. Terdapat macan tutul jawa yang memiliki warna dasar rambut coklat kekuningan (macan tutul jawa biasa) dan hitam (macan kumbang). Kondisi ini seringkali menimbulkan kesalah pahaman. Banyak orang mengira macan kumbang adalah jenis yang berbeda dari macan tutul jawa biasa. Padahal, macan kumbang hanya merupakan bentuk kelainan dari macan tutul jawa biasa. Hal tersebut terbukti dengan dihasilkannya keturunan yang fertil dari perkawinan induk macan tutul biasa dengan macan kumbang. Warna yang umum adalah coklat kekuningan dengan tutul-tutul hitam berbentuk kembang (rosette), sedangkan warna dasar hitam disebabkan oleh proses melanisme yaitu pendominasian oleh pigmen hitam pada struktur rambut. Namun demikian, corak kembangan tetap dimiliki oleh macan kumbang. Corak ini akan terlihat apabila macan berada pada tempat dengan intensitas cahaya yang cukup tinggi.
6
Tabel 2. Penampilan fisik, medula dan sisik macan tutul jawa
Tip
e
Penampilan Fisik Medula Rambut Sisik Rambut
Maca
n tut
u
l
bias
a
M
ac
a
n
kum
ba
n
g
Sumber: http://www.lioncrusher.com/animal dan Javantiger Populasi
Penurunan populasi macan tutul jawa diakibatkan oleh penurunan mutu habitat dan populasi satwa mangsa karena pembukaan wilayah hutan dan perburuan liar. Jumlah populasi macan tutul jawa di habitat aslinya belum diketahui secara tepat. Pada saat ini diperkirakan ada 350-700 ekor macan tutul jawa di pulau Jawa (Santiapillai dan Ramono, 1992).
Makanan
7
Jenis mangsa yang dimakan adalah sigung, kelelawar, lutung dan satwa mangsa lain (Anonim,1978). Ada juga jenis surili, kijang, ayam hutan, merak, pelanduk dan kancil. Ditemukan juga tanah liat, remukan tulang, dan rerumputan di dalam kotorannya. Berdasarkan ukuran tubuh mangsa, macan tutul jawa lebih sering memangsa satwa dengan ukuran berat badan antara 25-50 kg, yaitu satwa yang memiliki ukuran badan setengah hingga sama dengan ukuran badan macan tutul jawa (Seidensticker,1976 dalam Gunawan,1988).
Reproduksi
Macan tutul jawa betina menganut pola polyestrus, yaitu mengalami beberapa kali birahi dalam satu tahun. Di penangkaran, periode pematangan telur terjadi setiap tiga minggu sekali dengan masa subur selama 4 - 12 hari. Rata-rata masa buntingnya adalah 90-95 hari. Jumlah anak per kelahiran adalah 1-3 ekor. Anak-anak macan tutul jawa sejak lahir sudah memiliki rambut, namun matanya belum berfungsi secara sempurna. Penyapihan akan dimulai ketika peroses penyusuan sudah berlangsung antara tiga sampai empat bulan. Anakan akan mencapai kedewasaan pada umur 2,5 - 4 tahun (Laveiren, 1983 dalam Gunawan, 1988). Di bawah pengawasan dan pemeliharaan macan tutul dapat hidup hingga usia duapuluh tiga tahun (Grzimek,1975). Adapun usia di alam diperkirakan antara tujuh sampai sembilan tahun (Guggisberg, 1975).
Habitat dan Penyebaran
Habitat adalah suatu satu kesatuan kawasan yang terdiri dari beberapa kawasan, baik fisik maupun biotik, yang digunakan oleh satwaliar sebagai tempat hidup dan berkembangbiak. Habitat memiliki fungsi dalam hal penyediaan makanan, air, dan pelindung (Alikodra, 2002). Macan tutul jawa tersebar dari pantai hingga pegunungan. Mereka juga sering terpergok di hutan-hutan jati dan perkebunan dekat perkampungan (Veevers dan Carter,1978 dalam Wahyudi,1989). Luas daerah jelajah macan tutul adalah 10 km2 (Ewer,1974 dalam Wahyudi,1989).
8
Di seluruh dunia, macan tutul jawa hanya terdapat di pulau Jawa dan Kangean (Madura). Di Jawa Barat macan tutul jawa terdapat di Cirebon, Cianjur selatan, TN Gunung Gede Pangrango dan TN UjungKulon (Hoogerwerf, 1970). Daerah penyebaran macan tutul jawa di Yogyakarta dan Jawa Tengah adalah sebagai berikut: Nusa Kambangan, Batang, Banjarnegara, Kendal, Cepu, Sragen, Notog, Jati Lawang, gunung Slamet, Kebasan, Gunung Muria, Gunung Merapi dan Kulon Progo (Anonim, 1978). Di Jawa Timur macan tutul jawa dapat dijumpai di TN Meru Betiri, TN Baluran, Tuban, Ponorogo, Padangan, Saradan, Jember, Blitar, Jatirogo, Madiun, dan Gundih (Hoogerwerf, 1970).
Perilaku dan Kebiasaan
Macan tutul jawa biasanya hidup menyendiri (soliter), kecuali pada musim kawin dan mengasuh anak. Macan tutul jawa kurang suka menetap, namun ia tidak akan keluar dari daerah teritorinya jika makanan masih mencukupi. Eisenberg dan Lockhart (1972) mengatakan bahwa macan tutul jawa jantan dan betina dapat mendiami daerah perburuan yang sama, tetapi hal ini tidak berlaku bagi individu-individu yang berjenis kelamin sama. Cara mempertahankan daerah teritori dilakukan dengan pengiriman tanda-tanda berupa suara, cakaran, maupun urin dan kotoran. Macan tutul jawa membuang kotoran tanpa disembunyikan, melainkan diletakkan di tempat-tempat yang terbuka. (Medwey,1975 dalam Gunawan,1988).
Pola Sebaran Spasial Satwaliar
Sebaran spasial merupakan salah satu parameter demografi satwaliar. Tarumingkeng (1994) menyatakan bahwa pola sebaran spasial suatu komunitas ekologi dapat ditentukan dengan berbagai macam indeks penyebaran (dispersion index), yaitu: indeks dispersi (ID), indeks Agregatif (IC), dan Indeks Greens (GI).
KONDISI UMUM
TAMAN NASIONAL ALAS PURWO
Sejarah Kawasan
Taman Nasional Alas Purwo (TNAP) yang lebih dulu dikenal sebagai Semenanjung Blambangan, merupakan salah satu kawasan pelestarian alam di Indonesia. Status sebagai Taman Nasional ditetapkan berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan No : 283/Kpts-II/1992 tanggal 26 Februari 1992. Berdasarkan surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 6186/ Kpts-II/2002 tanggal 10 Juni 2002, Balai Taman Nasional Alas Purwo mengelola kawasan Taman Nasional (TN) Alas Purwo dan Cagar Alam/Taman Wisata Alam (CA/WTA) Kawah Ijen yang terdiri dari 3 Seksi Konservasi Wilayah (SKW), yaitu SKW I Rowobendo, SKW II Muncar, dan SKW III Kawah Ijen.
Kondisi Fisik
Ditinjau dari segi administratif pemerintahan, TNAP terletak di Kecamatan Tegaldlimo dan Kecamatan Purwoharjo, Kabupaten Banyuwangi. Sedangkan secara geografis terletak di ujung timur pulau Jawa, wilayah pantai selatan antara 8°26’45”– 8°47’00” LS dan 114°20’16” – 114°36’00” BT. TNAP yang memiliki luas 43.420 ha terbagi dalam beberapa zona, yaitu:
1. Zona Inti (Sanctuary zone) seluas 17.200 ha. 2. Zona Rimba (Wilderness zone) seluas 24.767 ha. 3. Zona Pemanfaatan (Intensive use zone) seluas 250 ha. 4. Zona Penyangga (Buffer zone) seluas 1.203 ha.
Rata-rata curah hujan 1000-1500 mm per tahun dengan temperatur 22°C-31°C dan kelembaban udara 40-85 %. Wilayah TNAP sebelah barat menerima curah hujan lebih tinggi bila dibandingkan dengan wilayah sebelah timur. Dalam keadaan normal, pada bulan April sampai Oktober TNAP mengalami musim kemarau, sedangkan pada bulan Oktober sampai April mengalami musim hujan.
10
Kondisi Biotik
Berdasarkan tipe ekosistemnya, hutan di TNAP dapat di kelompokkan menjadi hutan bambu, hutan pantai, mangrove, hutan tanaman, hutan dataran rendah, dan padang penggembalaan (feeding ground). Terdapat 158 jenis flora dari 59 famili yang teridentifikasi. Diantaranya terdapat tumbuhan khas daerah ini, yaitu sawo kecik (Manilkara kauki) dan bambu manggong (Gigantochloa manggong). Tumbuhan lainnya misalnya ketapang, kepuh, keben, dan 13 jenis bambu.
Keanekaragaman jenis fauna di kawasan TN Alas Purwo secara garis besar dapat dibedakan menjadi 4 kelas yaitu mamalia, aves, pisces dan reptilia. Mamalia yang tercatat sebanyak 31 jenis, diantaranya yaitu : Banteng (Bos javanicus), rusa (Cervus timorensis), ajag (Cuon alpinus), babi hutan (Sus scrofa), kijang (Muntiacus muntjak), macan tutul jawa (Panthera pardus melas), lutung (Trachypithecus auratus), dan monyet ekor panjang (Macaca fascicularis).
Burung yang telah berhasil diidentifikasi berjumlah 236 jenis terdiri dari burung darat dan burung air. Burung migran dari Australia yang telah berhasil diidentifikasi berjumlah 39 jenis, diantaranya adalah cekakak suci (Halcyon chloris / Todirhampus sanctus), burung kirik-kirik laut (Merops philippinus), trinil pantai (Actitis hypoleucos), dan trinil semak (Tringa glareola). Jenis burung yang mudah dilihat antara lain: Ayam hutan (Gallus gallus), kangkareng (Antracoceros coronatus), rangkong (Buceros undulatus), merak (Pavo muticus) dan cekakak jawa (Halcyon cyanoventris).
Reptil yang telah teridentifikasi ada 20 jenis. Empat jenis diantaranya adalah jenis penyu, yaitu penyu lekang (Lepidochelys olivacea), penyu belimbing (Dermochelys coriacea), penyu sisik (Eretmochelys imbricata), dan penyu hijau (Chelonia mydas). Satwa yang dilindungi ini biasanya mendarat untuk bertelur di pantai Marengan pada bulan Januari sampai September.
Kondisi Sosial, Ekonomi, dan Budaya Masyarakat
METODE PENELITIAN
Lokasi Dan Waktu
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret-Mei 2006 di Taman Nasional Alas
Purwo, Jawa Timur. Pembagian wilayah kerja penelitian dapat dilihat pada gambar 2.
Gambar 2. Peta lokasi penelitian macan tutul jawa
Bahan dan Alat
Bahan sebagai obyek penelitian adalah macan tutul jawa beserta habitat
alamiahnya di TNAP. Adapun alat yang telah digunakan dalam penelitian adalah sebagai
berikut:
1. Peta kawasan Taman Nasional
Alas Purwo
2. Kompas
3. Kamera
4. Senter
5. Meteran
6. Tambang
7. Jam tangan 8. Gips
9. Ember
10. Pengaduk
11. Tabel pengamatan 12. Alat tulis
Cungur Bedul
Ngagelan
Rowobendo, Sadengan, Triangulasi
Pancur
Plengkung
Brobos
Sumber: TNAP 2006 Peta Taman Nasional Alas
12
Pengambilan Data A. Data Primer
Data primer merupakan data yang digunakan untuk mendukung hipotesis
mengenai sebaran spasial dan tipe ekosistem yang digunakan oleh macan tutul jawa. Data primer terdiri dari:
1. Karakteristik habitat, meliputi kondisi fisik habitat (suhu, kelembaban, curah hujan,
kelerengan) dan komposisi vegetasi.
2. Data mengenai aktivitas macan tutul jawa. Data ini didapatkan dari kegiatan
pengamatan baik berupa perjumpaan langsung ataupun tidak langsung (jejak kaki,
suara, cakaran, kotoran, dan sisa mangsa). Pengamatan utama dilakukan pada pagi
dan sore hari, yaitu pada pukul 06.00-09.00 WIB dan 15.00-18.00 WIB. Sebagai
penunjang dilakukan pengamatan malam, dengan pertimbangan sifat nokturnal yang
dimiliki macan tutul jawa.
Metode pengamatan yang digunakan adalah dengan metode transek jalur. Luas
total dari TNAP adalah 43.420 yang terdiri dari 750 ha hutan pantai, 36.686 ha hutan
dataran rendah, 84 ha padang penggembalaan, 1200 ha mangrove, dan 3.350 ha hutan
tanaman. Dengan demikian akan area penelitian dibagi menjadi lima wilayah kerja. Pada setiap wilayah kerja dibuat jalur transek, disesuaikan dengan jalur yang telah ada di
TNAP. Dengan pertimbangan tipe habitat, luasan serta waktu yang dibutuhkan, maka
pengamatan dilaksanakan pada 17 jalur pengamatan, dengan perincian sebagai berikut:
1. Mangrove : 3 jalur
2. Hutan pantai : 4 jalur
3. Hutan dataran rendah : 5 jalur
4. Hutan tanaman : 4 jalur
5. Padang Penggembalaan : 1 jalur
Setiap jalur merupakan garis lurus sepanjang 2,5 km. Jadi panjang total jalur yang diamati adalah 42,5 km. Pada setiap jalur dilakukan ulangan sebanyak tiga kali.
Tahapan dalam kegiatan pengamatan adalah sebagai berikut:
1. Menentukan jumlah, letak, serta arah jalur pengamatan pada peta.
2. Melakukan pengamatan. Seluruh perjumpaan baik secara langsung atau tidak
langsung difoto dan dicatat dalam tabel pengamatan. Untuk keperluan identifikasi
serta pendokumentasian, data berupa jejak kaki dibuat cetakan dengan menggunakan
13
B. Data Sekunder
Data sekunder adalah data yang diperoleh dari studi pustaka ataupun wawancara dengan pihak pengelola, petugas di lapangan, dan masyarakat setempat. Data sekunder ini
dibutuhkan untuk mendukung data primer yang didapatkan.
Adapun data sekunder yang diperlukan adalah keberadaan satwa mangsa dan
satwa pesaing, kondisi macan tutul jawa dan habitatnya pada waktu sebelum penelitian, gangguan yang terjadi dan potensial terjadi, interaksi antara macan tutul jawa dengan
masyarakat, serta kondisi penduduk di sekitar TNAP.
Analisis Data A. Analisis Vegetasi
Data yang telah dikumpulkan dari lapangan diolah dengan menggunakan rumus
sebagai berikut: A.1. Kerapatan jenis
Kerapatan suatu jenis
KR = x 100%
Kerapatan semua jenis
A.2. Frekuensi Jenis
∑ plot ditemukannya suatu jenis F =
∑ seluruh plot
Frekuensi suatu jenis
FR = x 100%
Frekuensi semua jenis
A.3. Dominasi Jenis
Luas bidang dasar D =
Luas contoh
Dominasi suatu jenis
FR = x 100%
Dominasi semua jenis
A.4. Indeks Nilai Penting untuk tingkat pohon dan tiang INP = KR + FR + DR
Jumlah individu K =
14
A.5. Indeks Nilai Penting untuk tingkat pancang, semai, dan tumbuhan bawah
INP= KR + FR
Keterangan: INP = Indeks Nilai Penting
K = Kerapatan D = Dominasi
KR = Kerapatan relatif DR = Dominasi relative
F = Frekuensi FR = Frekuensi relative
B. Analisis Pola Sebaran Spasial Macan Tutul Jawa
Bentuk sebaran spasial dari macan tutul jawa ditentukan dengan menggunakan
pendekatan nilai indeks penyebaran sebagai berikut:
x
S
ID
2
=
Keterangan: ID : Indek penyebaran
S2 : Ragam populasi macan tutul jawa
x : Jumlah rata-rata macan tutul jawa
Untuk menemukan bentuk sebarannya, digunakan uji statistik chi square dengan
persamaan sebagai berikut:
N
Σ ( xi – x )2 i=1
X2 = x
Keterangan : x2 : Nilai hitung chi square
N : Ukuran contoh
Kaidah keputusan untuk menentukan bentuk sebaran spasial dari macan tutul
jawa adalah sebagai berikut:
1. Jika x2 hitung < x20,975 bentuk sebaran spasial acak
2. Jika x2 0,025 > x2hitung > x20,975 bentuk sebaran spasial sistematik
3. Jika x2 hitung > x20,025 bentuk sebaran spasial mengelompok
C. Analisis Hubungan Antara Tipe Aktivitas dan Karakteristik Habitat
Analisis hubungan dilakukan antara aktivitas macan tutul jawa dengan
karakteristik habitat yang ada di TNAP. Hal ini dimaksudkan untuk menyelidiki ada tidaknya hubungan antara tipe habitat dengan jenis-jenis aktivitas yang dilakukan oleh
macan tutul jawa. Hubungan tersebut akan dianalisis dengan menggunakan chi kuadrat.
15
C.1. Pengisian Tabel Penggunaan Habitat Oleh Macan Tutul Jawa
Untuk mempermudah pengelompokan data mengenai macan tutul jawa, maka setiap perjumpaan baik langsung atau tidak langsung yang mengindikasikan keberadaan
macan tutul jawa beserta aktivitasnya dimasukkan ke dalam tabel isian.
Tabel 3. Tabel isian aktivitas macan tutul jawa
No. Jenis Aktivitas
Frekuensi
3 Menyimpan makanan
4 Minum
Setiap temuan yang ada dimasukkan ke dalam tabel sehingga dapat diketahui
frekuensi keseluruhan dari aktivitas macan tutul jawa pada suatu tipe habitat tertentu. Hal
ini juga digunakan untuk mengetahui karakteristik habitat yang disukai oleh macan tutul jawa, dengan indikasi bahwa tempat yang lebih disukai akan lebih banyak digunakan oleh
16
C.2. Analisis Hubungan Parameter Penduga
Parameter yang akan dianalisis menggunakan metode uji chi-kuadrat adalah tipe aktivitas macan tutul jawa dengan karakteristik habitat yang digunakannya. Langkah
pengujian yang dilakukan adalah sebagai berikut:
1. Hipotesis
Ho : Tidak ada hubungan antara tipe aktivitas dengan karakteristik habitat H1 : Ada hubungan antara tipe aktivitas dengan karakteristik habitat
2. Kriteria Pengujian
Jika x2hitung kurang dari x2tabel maka terima H0 pada taraf nyata, dengan derajat
bebas (v) = (b-) (k-1) dimana b dan k masing-masing menyatakan baris dan kolom.
Persamaan yang digunakan: k (Oi - Ei)2
X2 = ∑ i=1 Ei
Keterangan:
Oi = Frekuensi hasil pengamatan ke-i
Ei = Frekuensi harapan ke-i
Total kolom x total baris
Frekuensi harapan =
HASIL DAN PEMBAHASAN
Karakteristik Habitat A. Kondisi Vegetasi
TNAP memiliki luas 43.420 ha, terdiri dari hutan pantai, hutan dataran rendah, padang penggembalaan Sadengan, mangrove, dan hutan tanaman. Berdasar penataan
zonasi yang berlaku, TNAP tersusun dari mintakat inti, mintakat rimba, mintakat
pemanfaatan, dan mintakat penyangga.
Hutan yang luas dan disertai dengan keanekaragaman plasma nutfah yang tinggi merupakan habitat yang potensial bagi satwaliar. Setiap jenis satwaliar bergantung pada
kelompok tumbuhan untuk mendapatkan sumber pakan dan cover (Alikodra, 2002).
Dengan demikian bukan hanya herbivora saja yang memiliki interaksi dengan tumbuhan.
Macan tutul jawa sebagai salah satu karnivora juga akan membutuhkan keberadaan
tumbuhan. Untuk menyelidiki potensi struktur vegetasi di TNAP bagi macan tutul jawa, dilaksanakan kegiatan analisis vegetasi dengan metode garis berpetak.
A.1. Hutan Pantai
Hutan pantai memiliki luas 750 ha atau 1,73% dari total luas TNAP. Meskipun
dekat dengan garis pantai, hutan ini tidak dipengaruhi oleh pasang surut air laut. Dengan substrat berpasir yang menyusunnya, hutan pantai memiliki kekhasan pada tanaman yang
hidup dan tumbuh di ekosistem ini. Jenis vegetasi di hutan pantai tertera pada tabel 4.
Tabel 4.a. Jenis vegetasi tingkat semai di hutan pantai
No Jenis Jumlah K KR F FR INP
Tabel 4.b. Jenis vegetasi tingkat pancang di hutan pantai
18
Tabel 4.c. Jenis vegetasi tingkat tiang di hutan pantai
No Jenis ∑ Lbds K KR F FR D DR INP
Tabel 4.d. Jenis vegetasi tingkat pohon di hutan pantai
No Jenis ∑ Lbds K KR F FR D DR INP
Dari tabel dapat dilihat bahwa INP tertinggi tingkat semai dimiliki oleh jenis
dadap laut, INP tertinggi tingkat pancang dimiliki oleh jenis loh-lohan, INP tertinggi tingkat tiang dimiliki oleh jenis dadap laut, dan INP tertinggi tingkat pohon dimiliki oleh
jenis bogem.
A.2. Hutan Dataran Rendah
Dari seluruh ekosistem terestrial yang ada, ekosistem hutan dataran rendah
merupakan ekosistem yang paling kaya akan keanekaragaman hayatinya. Di TNAP
terdapat hutan dataran rendah seluas 36.686 ha. Apabila dibandingkan dengan yang lain
nilai ini mengambil prosentase yang paling besar, yaitu 84,49%. Secara fisik, hutan
dataran rendah di TNAP tidak digenangi air, tapak beragam, dan topografi dari datar sampai tinggi atau curam. Sedangkan dari segi biotiknya, hutan dataran rendah memiliki
strata tajuk yang lengkap, keanekaragaman vegetasi tinggi, dan satwaliar yang ditemui
juga beraneka ragam.
Tabel 5.a. Jenis vegetasi tingkat pancang di hutan dataran rendah
19
Tabel 5.b. Vegetasi tingkat semai dan tumbuhan bawah di hutan dataran rendah
No Jenis Jumlah K KR F FR INP
Tabel 5.c. Jenis vegetasi tingkat tiang di hutan dataran rendah
No Jenis ∑ Lbds K KR F FR D DR INP 1 Malaman 6 0,29 600 85,71 0,8 80 28,70 95,52 258,24
2 Walangan 1 0,02 100 14,29 0,2 20 2,32 7,48 41,76
Tabel 5.d. Jenis vegetasi tingkat pohon di hutan dataran rendah
No Jenis ∑ Lbds K KR F FR D DR INP
Dari tabel 5 dapat dilihat bahwa INP tertinggi tingkat semai, tumbuhan bawah,
pancang, tiang dan pohon masing-masing diisi oleh jenis bayur, rumput kawatan,
budengan, malaman, dan jenis bayur.
A.3. Padang Penggembalaan Sadengan
Padang penggembalaan Sadengan memiliki luas 84 ha atau 0,2% dari luas total
20
beberapa pohon yang tumbuh bergerombol secara sporadik. Pohon ini digunakan oleh
merak, rusa dan banteng untuk berteduh ketika panas maupun hujan. Suhu terasa lebih hangat karena luasnya permukaan penerima sinar matahari dan topografi yang datar.
Keanekaragaman vegetasi di tempat ini termasuk rendah.
Tabel 6. Jenis tumbuhan bawah di padang penggembalaan Sadengan
No Jenis Jumlah K KR F FR INP
1 Eceng-eceng 15 150.000 3,79 0,4 8,33 12,12 2 Putihan 1 110.000 2,78 0,4 8,33 11,11 3 Meniran 17 170.000 4,29 0,6 12,50 16,72 4 Wedusan 1 10.000 0,26 0,2 4,17 4,42 5 Pahitan 63 630.000 15,91 0,8 16,67 32,58 6 Teki 244 2440.000 61,62 1 20,83 82,45 7 Legetan 23 230.000 5,81 0,8 16,67 22,48 8 Lamuran 18 180.000 4,55 0,2 4,17 8,71 9 Brambangan 4 40.000 1,01 0,4 8,33 9,34
Jenis rumput yang mendominasi adalah jenis rumput teki, pahitan, dan legetan.
Selain tersebut terdapat eceng-eceng yang menginvasi padang penggembalaan. Apabila tidak dikontrol, eceng-eceng berpotensi menjadi ancaman bagi kualitas penyediaan pakan
hijauan di wilayah ini. Eceng-eceng akan menjadi pesaing dalam perebutan nutrisi dan
ruang, padahal satwa herbivora seperti rusa, kijang, dan banteng tidak menyukai jenis ini
sebagai makanan mereka.
A.4. Hutan Tanaman
Hutan tanaman di Taman Nasional Alas Purwo ditumbuhi oleh jenis jati dan
mahoni. Luas hutan tanaman adalah 3.350 ha atau 7,72% luas seluruh TNAP. Tabel 7. Jenis vegetasi tingkat pohon di hutan tanaman
No Jenis K KR FR DR INP
1 Jati 100 100 100 100 300
2 Mahoni 100 100 100 100 300
Jenis pohon jati dan mahoni memiliki jumlah INP yang sama. Keduanya
memiliki dominansi yang sama dalam struktur vegetasi hutan tanaman. Pada kenyataan di lapangan, antara hutan tanaman jati dan hutan tanaman terpisah dengan sangat jelas.
Perbedaan letak ini tidak terlalu mempengaruhi kondisi masing-masing huatn tanaman.
Perbedaan yang jelas adalah kondisi penutupan tanah. Pada waktu penelitian
dilaksanakan, permukaan tanah hutan tanaman mahoni tertutup rapat oleh serasah, sedangkan permukaan tanah pada hutan jati cukup bersih dari penumpukan serasah. Hal
ini dimungkinkan karena pada saat itu, tanaman jati belum memasuki masa meranggas
21
A.5. Mangrove
Terdapat hutan mangrove seluas 1.200 ha atau kurang lebih 0,03% dari luas total
TNAP. Wilayah mangrove ini dipengaruhi oleh aktivitas pasang surut air laut. Substrat
tanah lumpur yang selalu tergenang air membuat hanya beberapa jenis tumbuhan tertentu yang bisa hidup di daerah ini. Jenis satwa yang hidup di daerah ini juga tidak begitu
banyak.
Tabel 8.a. Jenis vegetasi tingkat semai di mangrove
No Jenis Jumlah K KR F FR INP
1 Ceriops tagal 6 3.000 50 0,4 50 100
2 R. mucronata 6 3.000 50 0,4 50 100
Tabel 8.b. Jenis vegetasi tingkat pancang di mangrove
No Jenis Jumlah K KR F FR INP
1 Xylocarpus 8 640 29,63 0,6 27,27 56,90
2 Cerips tagal 6 1.040 22,22 0,6 27,27 49,50
3 R. mucronata 13 2.160 48,15 1 45,45 93,61
Tabel 8.c. Jenis vegetasi tingkat pohon di mangrove
No Jenis ∑ K KR F FR D DR INP
1 Xylocarpus 25 0,69 500 0,4 22,22 13,71 27,77 69,52
2 S. Marina 3 0,24 60 0,2 11,11 4,76 9,63 23,08
3 Bruguiera 2 0,04 40 0,2 11,11 0,80 1,63 14,30
4 Rhizopora 98 1,51 1.960 1 55,56 30,12 60,98 193,10
Dari tabel 8 dapat dilihat bahwa jenis Ceriops tagal dan Rhizopora mucronata
sangat mendominasi jenis vegetasi tingkat semai di daerah mangrove. Sedangkan pada
tingkat pancang dan pohon, Rhizopora mucronata menjadi satu-satunya jenis yang
mendominasi struktur vegetasi.
B. Penyinaran Matahari
Meskipun hanya sebagian kecil dari radiasi yang dipancarkan matahari diterima
oleh permukaan bumi, namun radiasi surya merupakan sumber energi utama untuk proses
kehidupan. Lama penerimaan sinar matahari sangat bervariasi menurut ruang dan waktu. Menurut ruang, perbedaan radiasi akan bergantung pada letak lintang. Perbedaan radiasi
menurut waktu terjadi secara harian maupun musiman. (Handoko, 1995). Pergantian
musim dari musim penghujan ke musim kemarau ketika penelitian dilakukan juga
22
Tabel 9. Fluktuasi lama penyinaran matahari
No. Bulan Rata-rata Lama penyinaran matahari (%) Keterangan
1. Maret 49
Rata-rata total 66,3
Diolah dari sumber: Stasiun Meteorologi Banyuwangi, 2006
Naluri yang dimiliki macan tutul jawa membimbingnya untuk memiliki gaya
hidup nokturnal. Meskipun demikian, macan tutul jawa juga menggunakan waktu siang
hari untuk melakukan aktivitasnya. Ada tidaknya sinar matahari (malam atau siang), panjang hari serta intensitas radiasi akan menjadi pertimbangan pemilihan waktu aktif.
Pada keadaan hari tidak hujan, sinar matahari di TNAP terasa cukup panas. Hal ini akan
menyebabkan satwa yang ada mencari cover sebagai tempat berlindung dan
meminimalisir penyinaran yang berlebihan dalam rangka penghematan energi.
C. Hujan
Awan yang tersusun dari uap air merupakan sumber presipitasi seperti hujan dan
salju. TNAP yang termasuk daerah tropis dan pada keadaan normal akan memiliki curah hujan yang cukup tinggi. Curah hujan dibatasi sebagai tinggi air hujan dalam satuan mm
yang diterima di permukaan bumi sebelum mengalami aliran permukaan, evaporasi, dan
peresapan. Sedangkan hari hujan adalah jumlah hari dengan curah hujan 0,5 mm atau
lebih (Handoko, 1995).
Tabel 10. Curah hujan dan jumlah hari hujan
No. Bulan Hujan
Curah Hujan (mm) Jumlah hari hujan (hari)
1. Maret 284,5 19
2. April 71,0 20
3. Mei 146,6 14
Rata-rata total 167,4 17,7
Diolah dari sumber: Stasiun Meteorologi Banyuwangi, 2006
Curah hujan akan berpengaruh bagi ketersediaan air di TNAP. Hal ini tidak hanya akan menentukan kondisi vegetasi, namun juga perilaku satwaliar. Curah hujan
yang terlalu rendah atau terlalu tinggi akan menyebabkan timbulnya kerusakan.
Kekurangan atau kelebihan jumlah air akan berdampak pula terhadap metode pengelolaan
yang harus diterapkan. Pada musim kering beberapa bagian hutan di TNAP rawan
23
D. Kelembaban Udara
Kelembaban udara menggambarkan kandungan uap air di udara yang dapat dinyatakan sebagai kelembaban mutlak, kelembaban nisbi, maupun defisit tekanan uap
air. Karena kapasitas udara untuk menampung uap air semakin tinggi dengan naiknya
suhu udara, maka kelembaban udara pada siang hari akan lebih rendah daripada
kelembaban udara pada malam hari (Handoko, 1995). Tabel 11. Fluktuasi kelembaban udara
No. Bulan Rata-rata kelembaban udara (%)
1. Maret 83
2. April 80
3. Mei 81
Rata-rata total 81,3
Diolah dari sumber: Stasiun Meteorologi Banyuwangi, 2006
Secara horizontal, terdapat perbedaan tingkat kelembaban udara di setiap tempat di TNAP. Hal ini terjadi karena kelembaban sangat bergantung pada tingkat penguapan
yang berlangsung. Pada daerah-daerah pusat air, kelembaban akan lebih tinggi dibanding
tempat lainnya.
E. Penguapan Air
Di atmosfer, peningkatan panas laten akibat penguapan tidak menyebabkan
kenaikan suhu udara. Uap air merupakan penyerap radiasi gelombang panjang yang
efektif. Penguapan justru menurunkan suhu udara karena proses ini akan mengurangi
proporsi panas terasa yang menyebabkan kenaikan suhu udara. Sumber uap air utama adalah lautan. Jumlah uap air selalu berubah karena terjadinya penguapan dan kondensasi
secara terus-menerus (Handoko, 1995).
Tabel 12. Fluktuasi jumlah penguapan air
No. Bulan Jumlah penguapan air (mm)
1. Maret 128,5
2. April 117,1
3. Mei 103,4
Rata-rata total 116,3
Diolah dari sumber: Stasiun Meteorologi Banyuwangi, 2006
Tempat yang dekat dengan sungai ataupun sumber air yang akan terasa lebih
sejuk. Kondisi ini disebabkan karena penguapan di tempat tersebut akan lebih besar
sehingga berdampak pada jumlah uap air yang tertampung di udara.
24
F. Suhu Udara
Pada lapisan troposfer, suhu akan berbanding terbalik dengan tingkat ketinggian. Sebagai penyimpan panas yang buruk, udara akan sangat dipengaruhi oleh persentuhan
dengan permukaan bumi terdekatnya (Handoko, 1995). Suhu udara di Taman Nasional
Alas Purwo tergantung pada kondisi cuaca yang sedang berlangsung. Selain itu, suhu
juga akan dipengaruhi oleh kondisi tempat serta vegetasi yang ada. Tabel 13. Fluktuasi suhu udara
No. Bulan Suhu (celcius)
Suhu Maksimum Suhu Minimum Suhu rata-rata
1. Maret 33.6 21,0 27
Diolah dari sumber: Stasiun Meteorologi Banyuwangi, 2006
Macan tutul jawa merupakan salah satu satwa yang memiliki adaptasi yang baik
terhadap suhu dan perubahannya (Santiapillai dan Ramono, 1992). Meskipun begitu, naluri untuk mendapatkan sumberdaya serta kondisi yang lebih memadai akan membuat
macan tutul jawa lebih memilih tempat yang memiliki suhu lingkungan yang sesuai dan
cukup konstan. Daerah yang tidak terlalu panas ataupun tidak terlalu dingin memiliki
potensi yang lebih besar untuk menjadi habitat macan tutul jawa.
G. Tekanan Udara
Tekanan udara yang merupakan gaya berat kolom udara dari permukaan tanah
sampai puncak atmosfer per satuan luas, secara vertikal akan berbanding terbalik dengan ketinggian tempat. Sedangkan variasi horizontal tekanan udara secara lebih dipengaruhi
gaya-gaya yang mengendalikan angin di atmosfer (Handoko, 1995).
Tabel 14. Fluktuasi tekanan udara
No. Bulan Rata-rata tekanan udara (mb)
1. Maret 1008,1
2. April 1008,9
3. Mei 1010,6
Rata-rata total 1009,2
Diolah dari sumber: Stasiun Meteorologi Banyuwangi, 2006
Macan tutul jawa dapat dijumpai dari pantai hingga gunung yang tinggi
(Hoogerwerf, 1970). Hal ini menunjukkan bahwa macan tutul jawa memiliki ketahanan
tubuh yang tinggi terhadap perbedaan tekanan udara. Ketahanan ini akan sangat
25
H. Angin
Angin merupakan gerakan horizontal udara relatif terhadap permukaan bumi. Di atmosfer, keadaan tidak setimbang terjadi berkaitan dengan gaya-gaya yang saling
berinteraksi. Untuk mengkompensasi gaya-gaya ini, udara akan bergerak untuk mencapai
kesetimbangan kembali (Handoko, 1995).
Tabel 15. Fluktuasi kecepatan, kecepatan maksimum, dan dominasi arah angin
No. Bulan
Angin
Arah terbanyak Kecepatan rata-rata Kecepatan maksimum Knots Km/jam Knots Km/jam 1. Maret Timur Laut 2,8 5,2 17 31,5
2. April Tenggara 2,1 3,9 18 33,3
3. Mei Tenggara 1,7 3,2 11 20,4
Rata-rata total - 2,2 4,1 - -
Maksimum - - - 18 33,4
Dominansi arah Tenggara - - - -
Diolah dari sumber: Stasiun Meteorologi Banyuwangi, 2006
Selain dipengaruhi oleh sirkulasi angin global, TNAP yang sebagian wilayahnya
berbatasan dengan garis pantai juga dipengaruhi oleh angin darat dan angin laut. Macan tutul jawa menggunakan angin sebagai media pembawa pesan yang akan ditangkap dan
diterjemahkan oleh indera penciumannya, maupun kumis yang berperan sebagai alat
sensor. Kepekaan akan informasi yang dibawa oleh udara akan berguna dalam metode
penguasaan lingkungan, berburu, maupun pertahanan diri. Hal ini menjadi penting karena
di hutan, jarak pandang akan terhalang oleh pohon-pohon yang cukup rapat serta bentuk topografi yang tidak selalu datar. Keterbatasan penglihatan karena faktor lingkungan ini
akan ditutupi oleh kemampuan Penciuman dan pendengaran.
Pola Sebaran Spasial Macan Tutul Jawa
Pola penyebaran satwaliar di alam bebas dapat berbentuk acak (independent),
mengelompok (dependent), maupun merata (homogen). Alikodra (2002) menyatakan bahwa organisme atau kumpulan organisme tersebar di permukaan bumi sesuai dengan
kemampuan pergerakannya atau kondisi lingkungan seperti adanya pengaruh luas
kawasan, ketinggian tempat, dan letak geografis. Penyebaran satwaliar dipengaruhi oleh
tingkat ketersediaan sumberdaya cover, pakan dan air, fasilitas penunjang reproduksi, predasi, kondisi cuaca, maupun degradasi lingkungan.
Esensi dari sebaran spasial macan tutul jawa adalah pola penggunaan ruang oleh
macan tutul dalam melakukan berbagai aktivitas di dalam hidupnya. Pengetahuan
26
pertimbangan keilmuan dan kebijakan, misalnya dalam hal inventarisasi, manajemen
habitat, serta pengembangan program ekotourisme yang ideal.
Pada penelitian analisis pola sebaran macan tutul jawa di TNAP ini, pengambilan
data dilakukan secara pengamatan langsung maupun tidak langsung dengan pertimbangan
kondisi wilayah penelitian serta perilaku yang dimiliki oleh macan tutul jawa. Data
pengamatan langsung didapatkan dari perjumpaan secara langsung dengan macan tutul jawa, sedangkan data pengamatan tidak langsung bersumber pada jejak macan tutul jawa
berupa suara, sisa makanan, cakaran di tanah (scrape), cakaran di pohon (scratch)
maupun feces.
Tabel 16. Frekuensi kontak dengan macan tutul jawa
No. Tipe Vegetasi dan Jalur JumlahK ontak
Individu/
jalur Identifikasi PPM* A. Mangrove
2 Batulawang-Tapakdoyong 3 1 ekor Apache 3 Parangireng 1 - Pancur 1 2 1 ekor Apache 4 Trianggulasi - Sungklonombo 5 2 ekor Squaw & Winnetou C. Savana 4 Sendangbiru-Parangireng 2-Pancur 2 9 2 ekor Squaw & Winnetou
5 Plengkung 0 - -
Jumlah 41 6 individu berbeda
* Nama individu Panthera pardus melas diberikan untuk mempermudah pengidentifikasian. Pengidentifikasian sederhana didasarkan pada perbedaan ukuran jejak kaki.
Data tersebut dianalisis dengan menggunakan pendekatan nilai Indeks Dispersi
(ID) dan uji statistik chi-square. Hasil perhitungan yang menunjukkan bahwa x2hitung
(74,268) memiliki nilai lebih besar daripada x20,025 (44,461) mengindikasikan bahwa
macan tutul jawa di TNAP memiliki pola sebaran spasial mengelompok (dependent).
Sebaran frekuensi binominal negatif ini dimungkinkan karena terkait dengan faktor
27
A. Faktor Internal
Salah satu faktor yang dominan dalam pola sebaran spasial macan tutul jawa adalah sifat biologis dan perilaku satwa (animal behaviour) dari individu macan tutul
jawa. Sifat biologis yang di dalamnya termasuk postur dan komposisi fisik dan kimia
tubuh, proses metabolisme, ekspresi, kepekaan, reproduksi, dan adaptasi akan
menentukan tingkat kemampuan macan tutul jawa dalam persaingan dan usaha mempertahan kelestarian jenisnya. Perilaku macan tutul jawa dipengaruhi oleh
rangsangan dari dalam dan rangsang dari luar Sedangkan respon yang akan diberikan
tergantung pada derajat rangsangan minimum yang dimiliki oleh individu macan tutul
jawa. Hal ini akan tercermin dari aktivitas yang dilakukannya.
Kegiatan penelitian macan tutul jawa dilakukan di lima tipe ekosistem berbeda, yaitu: mangrove, hutan pantai, padang penggembalaan, hutan tanaman, dan hutan dataran
rendah. Selama kegiatan pengamatan dijumpai delapan aktivitas macan tutul jawa, yaitu:
berjalan, berburu, makan, membuang kotoran, mencakar di tanah, mencakar di pohon,
mengasuh anak, dan bersuara.
Tabel 17. Jenis aktivitas macan tutul jawa di lima tipe ekosistem
No Tipe Vegetasi Jenis Aktivitas Yang Ditemui Jumlah A B C D E F G H 4 Sendangbiru-Parangireng2-Pancur2 2 0 1 6 0 0 0 0
5 Plengkung 0 0 0 0 0 0 0 0
E. Mencakar di tanah F. Mencakar di pohon
G. Mengasuh
28
Zona jejak dan kontak langsung dengan macan tutul jawa tertera pada gambar 3.
Gambar 3. Zona kontak dengan macan tutul jawa
A.1. Berjalan
Aktivitas berjalan dari macan tutul jawa diketahui dari pengamatan langsung maupun pengamatan tidak langsung. Pengamatan langsung adalah perjumpaan secara
langsung dengan individu macan tutul jawa, sedangkan pengamatan tidak langsung yang
menunjukkan aktivitas berjalan adalah jalur jejak kaki. Jejak kaki yang ditinggalkan dapat
menunjukkan kegiatan berjalan, berlari, maupun berdiri diam. Jejak kaki yang ditemukan pada beberapa tempat menunjukkan track normal. Track ini terdiri dari komposisi jejak
kaki yang tersusun berderet dengan jarak langkah biasa. Track dengan model seperti ini
menunjukkan bukti adanya salah satu aktivitas berpindah tempat yaitu berjalan.
Gambar 4. Track macan tutul jawa: a. Track di pasir, b. Sketsa track
133cm
1 berjalan, 1 berburu, 2 feces, 2 scrape
3 jejak kaki, 1 bangkai rusa, 5 feces, 3 scrape, 1 mengasuh, 1 bersuara
5 jejak kaki, 1 berjalan, 1 tulang mangsa, 7 feces, 2 bersuara
29
Knight (1968) menyatakan bahwa seluruh jejak memiliki cerita dan informasi.
Bentuk dan formasinya akan memberikan gambaran tentang aktivitas yang dilakukan oleh satwaliar serta proses yang terjadi bersamaan dengan hal itu. Analisis menggunakan
jejak kaki juga digunakan oleh Strien (1983). Menurutnya, footprint (satu cetakan kaki
satwa yang terekam oleh substrat) dan tracks (sejumlah tatanan jejak kaki satwa)
merupakan hal yang sangat penting. Menjadi demikian karena untuk beberapa spesies termasuk macan tutul jawa, jejaknya lebih mudah dijumpai dibandingkan dengan
individunya sendiri. Dalam penelitian ini, bentuk dan ukuran jejak kaki digunakan untuk
membedakan antara spesies macan tutul jawa dan spesies lain, serta individu macan tutul
jawa yang satu dengan individu macan tutul jawa yang lain.
Gambar 5. Identifikasi jejak kaki macan tutul jawa
Salah satu kendala untuk mendapatkan data mengenai jejak kaki adalah kondisi
tanah yang seringkali terutup rapat oleh serasah, ekstrimnya kandungan air, dan media pasir yang labil. Beberapa penampilan kondisi lingkungan dan penutupan lantai hutan di
TNAP dapat dilihat pada gambar 6.
Gambar 6. Kondisi substrat sebagai media perekam jejak kaki macan tutul jawa a. Substrat berbatu b. Substrat berserasah, c. Substrat pasir kering, d. Substrat lumpur, e. Substrat tanah keras, f. Substrat pasir basah.
jari
metakarpal
b a
d
c
30
Penumpukan serasah yang menutupi tanah, terutama di hutan tanaman, hutan
pantai, dan hutan dataran rendah seringkali menjadi kendala dalam proses pencarian jejak kaki macan tutul jawa. Keberadaan serasah baik yang basah maupun yang kering akan
menghalangi pencetakan telapak kaki macan tutul jawa di tanah sehingga tidak ada sama
sekali jejak kaki yang terekam di tanah. Kalaupun ada maka jejak kaki tersebut tidak akan
sempurna sehingga akan menyulitkan dalam hal pengambilan data.
Ekstrimnya kandungan air dapat berupa keadaan tanah yang telalu kering ataupun
terlalu basah. Penelitian dilaksanakan bertepatan dengan pergantian musim di TNAP.
Meskipun demikian sudah ditemui beberapa tempat dengan tanah yang keras, kering, dan
berdebu. Tanah seperti ini tidak akan bisa merekam jejak kaki macan tutul jawa.
Kalaupun ada, maka angin dan debu yang ada akan merubah kondisi jejak kaki macan tutul jawa. Demikian pula dengan lumpur atau tanah yang ekstrim basah di daerah
mangrove yang akan mengalami kesulitan dalam proses perekaman jejak kaki karena
kandungan air yang terlalu tinggi sehingga jejak kaki akan segera tertutup oleh tanah atau
lumpur yang cenderung untuk kembali ke posisi semula.
Media pasir di dekat garis pantai sangat bagus dalam merekam jejak kaki macan
tutul jawa. Kondisinya yang lembut serta minim dari kotoran akan membuat cetakan jejak
kaki terlihat jelas. Demikian pula dengan cetakan gips yang dibuat akan lebih mudah
diangkat, rapi, dan bersih. Kegiatan pengukuran jejak juga akan lebih tepat. Sedangkan
kendala yang ada pada substrat jenis ini bersumber dari gejala pasang surut air laut. Kondisi pasir seperti diatas hanya dapat dijumpai di bibir pantai. Dengan demikian
peluang penemuan jejak kaki macan tutul jawa di daerah seperti ini sangat erat
hubungannya dengan waktu dan ketinggian pasang surut air laut. Ketepatan waktu untuk
menemukan jejak kaki macan tutul jawa akan sangat penting karena apabila terlambat sedikit, maka jejak kaki macan tutul jawa akan terhapus oleh ombak.
Media pasir yang agak jauh dari garis pantai akan memiliki karakter kering dan
sangat labil. Meskipun jejak kaki dapat terekam, jejak kaki ini tidak akan bertahan lama
karena pasir kering akan mudah runtuh dan sensitif sekali terhadap tiupan angin di pantai yang biasanya cukup kencang. Perubahan bentuk dan susunan pasir yang merekam jejak
kaki macan tutul akan menyebabkan pengukuran menjadi tidak valid.
Secara umum, kesulitan yang timbul akibat kondisi substrat adalah sulitnya
pengambilan keterangan dalam pembedaan bentuk metakarpal, struktur posisi jari,
31
untuk membedakan jejak macan tutul jawa dengan satwa lain seperti kucing hutan, dan
ajag yang juga ada di TNAP.
Tabel 18. Pengaruh jenis media terhadap kondisi jejak kaki dan cetakan gips
No. Jenis Media Jejak Kaki Cetakan Gips Kondisi
1. Pasir basah Bagus
2. Pasir kering - Buruk
3. Tanah ekstrim
basah Buruk
4. Tanah ekstrim
kering Tidak tercetak Tidak tercetak -
5. Tanah sedang Sedang
A.2. Berburu
Aktivitas berburu diperoleh dari data perjumpaan tidak langsung, yaitu berupa bangkai utuh rusa betina yang masih ditemukan di Trianggulasi. Sedangkan data berupa
perjumpaan langsung ditemukan di jalur Ngagelan Pal 27. Satwa yang menjadi mangsa
macan tutul jawa diantaranya adalah kijang, rusa, lutung, dan monyet ekor panjang.
Menurut Grzimek (1975), macan tutul jawa berburu pada senja hari setelah matahari
terbenam dan keadaan sepi. Hal ini berbeda dengan keadaan yang ditemukan pada saat penelitian. Macan tutul jawa sempat terlihat sedang mengintai kijang pada pagi hari.
Pada saat itu gerimis baru saja reda namun sudah ada sinar matahari. Keadaan ini sesuai
32
jawa berburu pada siang hari. Pemilihan waktu aktif macan tutul ini diduga berhubungan
dengan penggunaan waktu oleh satwa mangsanya. Tabel 19. Penggunaan waktu oleh macan tutul jawa
No. Sumber Lokasi Waktu aktif tertinggi
1. Goudrian, 1948 dalam
Hoogerwerf, 1970 -
03.00 sampai 06.00 15.00 sampai 20.00
2. Sakaguchi dan Harahap,
2003 TN Gunung Halimun Salak
06.00 sampai 09.00 15.00 sampai 18.00
3. Ario, 2006 TN Gunung Gede Pangrango
05.00 sampai 08.00 15.00 sampai 18.00
Macan tutul jawa terlihat mengintai tiga kijang yang sedang makan rumput di
pinggir jalan antara Rowobendo-Ngagelan, dari balik pohon tumbang dari arah belakang.
Perilaku berburu ini sesuai dengan pernyataan Anonim (1978), macan tutul jawa berburu
dengan mengintai kemudian menyergap mangsanya dari belakang.
A.3. Makan
Aktivitas makan didapatkan dari pengamatan tidak langsung berupa tulang-tulang
yang diduga sebagai sisa dari mangsa macan tutul jawa. Tulang-tulang ini ditemukan berserakan di bawah pohon yang terletak di dekat sungai daerah antara Gua Gajah dan
Sendang Biru, Parangireng. Tulang-tulang yang ditemukan ini disinyalir sebagai tulang
dari mangsa yang disimpan di pohon sesuai dengan yang dinyatakan oleh Chavan (1980)
bahwa macan tutul akan menyimpan hasil buruannya di atas pohon untuk
menyelamatkannya dari pemangsa lain. Adapun lokasi pohon yang berada di dekat sungai sangat menguntungkan karena biasanya macan tutul jawa akan mencari air minum setelah
selesai makan. Untuk kasus di Indonesia, perilaku menyimpan makanan ini jarang
dijumpai karena sedikitnya pesaing bagi macan tutul jawa. Namun demikian tidak
menutup kemungkinan perilaku ini dilakukan karena naluri alamiah dari individu macan tutul jawa.
Gambar 7. Jejak aktivitas makan: a. tulang mangsa, b. pohon, c. sungai.
c
33
A.4. Membuang kotoran
Kotoran dapat dijadikan sebagai salah satu indikasi bahwa di suatu tempat terdapat macan tutul jawa. Di dalam kotoran macan tutul jawa yang ditemukan sering
dijumpai serpihan tulang, rambut, ataupun sayap dan potongan tungkai dari serangga. Hal
ini sesuai dengan penelitian Hoogerwerf (1970) yang menemukan adanya rambut dari
jenis kera, lutung, surili, kijang, dan kancil serta remukan tulang dalam feces macan tutul jawa. Selain itu Schaller (1976) juga menemukan bahwa macan tutul jawa mau memakan
jenis-jenis serangga.
Gambar 8. Feces macan tutul jawa
Dari sejumlah kotoran yang dijumpai, beberapa diantaranya ditemukan di jalan
beraspal antara Triangulasi dan Pancur. Penemuan kotoran macan tutul jawa di tempat
terbuka ini menguatkan pernyataan Medwey (1975). Ia mengatakan bahwa tidak seperti
kebiasaan anggota keluarga kucing pada umumnya yang menutupi kotorannya, macan
tutul memiliki kecenderungan untuk membuang kotoran di tempat-tempat yang terbuka.
A.5. Mencakar di tanah
Selain menunjukkan keberadaan satwa macan tutul jawa di suatu tempat, scrape
juga berfungsi sebagai penanda daerah teritori. Berkenaan dengan fungsi ini, kadang ditemukan dua scrape yang berdekatan Hal ini menandakan bahwa tempat tersebut
merupakan daerah perbatasan atau persinggungan daerah teritori masing-masing individu
macan tutul jawa. Scrape dilakukan dengan mencakar tanah menggunakan kaki belakang.
Macan tutul jawa menggaruk tanah sebanyak dua kali, dengan bentuk scrape yang khas.
Gambar 9. Scrape macan tutul: a. Cakaran di tanah, b. Sketsa pola scrape
a b c d
Cakaran kedua
Cakaran pertama
Cakaran sebanyak dua
kali, dengan menggunakan
kaki kanan belakang.
34
A.6. Mengasuh Anak
Aktivitas mengasuh anak dijumpai di hutan pantai Trianggulasi. Induk macan tutul jawa sempat terlihat sedang bersama seekor anakan yang rambutnya masih
didominasi warna kehitaman. Sesuai perilaku macan tutul jawa, anakan diasuh oleh induk
betina meskipun pada beberapa kasus pernah didapati adanya pejantan yang ikut merawat
anaknya. Guggisberg (1975) mengatakan bahwa anakan akan mengikuti induknya selama satu hingga dua tahun apabila sang induk tidak dikawini atau bunting lagi.
A.7. Mencakar di pohon
Tinggi cakaran yang ditemukan adalah 130 cm dari permukaan tanah. Macan
tutul jawa melakukan aktivitas mencakar di pohon untuk melakukan penandaan di daerah kekuasaannya. Aktivitas ini juga berguna untuk mengasah kuku-kukunya yang memiliki
kemampuan untuk dikeluar masukkan sesuai fungsi yang dibutuhkan dan kondisi yang
dihadapi. Kuku-kuku tua yang telah rusak akan terbuang dan terbaharui kembali.
Scratch yang ditemukan merupakan scratch yang sudah lama. Hal ini dapat diketahui dari kondisi luka pada kulit pohon yang sudah kering. Proses pencakaran juga
dilakukan tidak hanya sekali, melainkan terjadi perulangan pada waktu yang berbeda.
Informasi ini diperoleh dari adanya perbedaan tingkat pemulihan kondisi kulit pohon.
Terdapat bekas luka cakaran yang masih terbuka lebar, namun ada juga bekas cakaran
yang sudah hampir tertutup oleh aktivitas kambium.
Gambar 10. Scratch macan tutul jawa: a. Scratch macan tutul jawa di Brobos, b. Sketsa posisi tubuh ketika mencakar pohon, c. Sketsa penggunaan cakar depan ketika mencakar pohon.
A.8. Bersuara
Aktivitas bersuara yang dimaksud adalah perilaku menggeram dari macan tutul
jawa. Geraman terdengar serak, rendah, namun kuat. Hal ini sesuai dengan pendapat
Garman (1997) yang mengatakan bahwa macan tutul tidak termasuk dalam keluarga
kucing yang mengaum. Suara macan tutul jawa terdengar seperti batukan yang kasar.
c
35
Dari data tentang aktivitas bersuara yang di dapat, semuanya berada di hutan
dataran rendah-bambu. Sumber suara berada di balik rumpun bambu yang relatif tertutup dan terlindung. Macan tutul jawa bersuara apabila merasa terganggu ataupun gusar.
Macan tutul jawa juga bersuara ketika kawin dan bertarung.
Gambar 11. Tempat terdengar suara macan tutul: a. Vegetasi bambu di Jalur Pengamatan Burung, b. Vegetasi bambu di Motolele, c. Vegetasi bambu di atas Gua Istana.
B. Faktor Eksternal
Faktor eksternal atau pengaruh dari lingkungan dapat berupa hal-hal yang menarik perhatian macan tutul jawa, atapun hal-hal yang dianggap sebagai gangguan
baginya. Macan tutul jawa akan menanggapi pengaruh dari lingkungan ini sesuai dengan
kemampuan, kebutuhan, dan tingkat bahaya yang ditimbulkan.
B.2. Komponen Habitat Satwaliar
Sebagaimana satwa lainnya, macan tutul jawa juga memerlukan komponen
struktural habitat (biotik, abiotik, dan proses-proses kimiawi) maupun komponen
fungsional habitat (air, pakan dan cover) untuk mendukung kelangsungan hidupnya.
Dalam hubungannya dengan pola sebaran spasial macan tutul jawa, peran masing-masing komponen dan interaksi yang terjadi dengan macan tutul jawa dapat dijelaskan sebagai
berikut:
B.2.a. Pakan
TNAP merupakan salah satu taman nasional yang memiliki keanekarahgaman
hayati yang tinggi. Hal ini sangat menguntungkan bagi macan tutul jawa karena akan semakin banyak jenis dan jumlah satwa mangsa yang dapat ditemukan. Selain beberapa
satwa yang terdaftar pada tabel 20, macan tutul juga mau memangsa serangga, kelelawar,
dan telur penyu yang dapat ditemukan di sepanjang pantai Marengan. Pantai ini
merupakan salah satu tempat yang dijadikan sebagai area peneluran oleh penyu lekang (Lepidochelys olivacea), penyu belimbing (Dermochelys coriacea), penyu sisik
(Eretmochelys imbricata), dan penyu hijau (Chelonia mydas).