• Tidak ada hasil yang ditemukan

Distribusi Hutan Alam dan Laju Perubahannya Menurut Kabupaten Di Indonesia

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Distribusi Hutan Alam dan Laju Perubahannya Menurut Kabupaten Di Indonesia"

Copied!
70
0
0

Teks penuh

(1)

DISTRIBUSI HUTAN ALAM DAN LAJU PERUBAHANNYA

MENURUT KABUPATEN DI INDONESIA

LUKMANUL HAKIM

E14101043

DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN

FAKULTAS KEHUTANAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

RINGKASAN

LUKMANUL HAKIM. Distribusi Hutan Alam dan Laju Perubahannya Menurut Kabupaten di Indonesia. Di bawah bimbingan Dr. Ir. M. Buce Saleh, MS.

Indonesia merupakan negara yang memiliki hutan dengan keanekaragaman hayati yang sangat tinggi. Ketergantungan yang sangat besar terhadap hutan membawa dampak negatif terhadap kelestariannya. Untuk dapat mengelola hutan dengan prinsip kelestarian, maka diperlukan data yang akurat serta tepat waktu mengenai kondisi hutan alam Indonesia. Kegiatan pengumpulan data dan informasi tersebut dapat dilakukan dengan memanfaatkan teknologi penginderaan jauh satelit. Keberadaan satelit sumberdaya alam dengan resolusi spasial yang relatif rendah serta mudah diperoleh seperti SPOT 4 Vegetasi akan mempermudah pengumpulan informasi untuk areal yang luas, seperti wilayah Indonesia. Citra SPOT 4 Vegetasi dapat digunakan untuk monitoring hutan alam karena mempunyai resolusi yang rendah (1Km x 1Km) dan periode perekaman yang pendek (10 harian).

Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui distribusi hutan alam dan laju perubahannya menurut kabupaten di Indonesia tahun 2001 dan 2004 serta menganalisis faktor yang mempengaruhi laju perubahan hutan alam yaitu luas hutan alam tahun 2001, jumlah penduduk dan pendapatan per kapita.

Bahan yang digunakan adalah citra satelit SPOT 4 Vegetasi bulan Juni-Juli 2001 dan Juli-Agustus 2004. Selain itu digunakan data pendukung berupa Peta rupabumi Indonesia skala 1:1.000.000 dan peta administrasi Indonesia skala 1:50.000 tahun 1999. Metode penelitian meliputi 4 tahap utama. Tahap pertama adalah pengolahan awal citra yang terdiri atas kegiatan import data, layer stack, koreksi geometrik, cropping, penghilangan awan, dan interpretasi visual citra satelit. Tahap kedua adalah pengolahan citra yang meliputi kegiatan pengenalan pola spektral dan klasifikasi knowledge based dengan teknik Fuzzy. Tahap ketiga adalah analisis perubahan hutan alam dengan membandingkan luas hutan alam tahun 2001 dan 2004. Tahap terakhir adalah analisis faktor yang mempengaruhi perubahan hutan alam yaitu luas hutan alam tahun 2001, jumlah penduduk dan pendapatan per kapita.

Citra SPOT 4 Vegetasi pada kombinasi band 4-3-2 dapat membedakan dengan baik 5 kelas penutupan lahan yaitu hutan alam, vegetasi non hutan alam, areal terbuka, badan air dan awan. Tiap kelas penutupan lahan mempunyai pola spektral yang berbeda-beda. Perbedaan pola spektral ini disebabkan perbedaan panjang gelombang yang dipantulkan oleh tiap kelas penutupan. Untuk mengamatinya dapat dilihat dari nilai digital (digital number) masing-masing kelas.

(3)

Untuk menyusun fungsi keanggotaan fuzzy, digunakan nilai digital piksel dari gabungan training area yang telah dibuat pada penelitian sebelumnya. Aturan yang telah disusun telah diuji secara temporal sehingga dapat digunakan untuk klasifikasi pada citra dengan periode perekaman yang berbeda. Nilai digital dari band penentu akan digunakan dalam penyusunan aturan dengan logika Fuzzy. Fungsi keanggotaan masing-masing kelas penutupan lahan bernilai benar, apabila termasuk ke dalam rentang spektral yang telah diidentifikasi. Fungsi keanggotaan untuk nilai spektral dibawah atau diatas rentang tersebut dihitung dengan menggunakan rumus sehingga didapatkan fungsi keanggotaan antara 0 sampai 1 yang merupakan piksel fuzzy.

Setelah aturannya tersusun, klasifikasi dilakukan terhadap citra SPOT 4 Vegetasi hasil perekaman tahun 2001 dan tahun 2004. Klasifikasi ini dilakukan untuk mengetahui kemampuan dari aturan yang telah dibuat dalam mengklasifikasikan setiap kelas penutupan lahan pada tahun yang berbeda. Aturan dibuat pada citra tahun 2001 karena nilai digital yang digunakan dalam penyusunan aturan menggunakan nilai digital citra SPOT 4 Vegetasi tahun 2001. Klasifikasi citra SPOT 4 vegetasi tahun 2004 dilakukan setelah klasifikasi pada citra tahun 2001 dapat digunakan dalam membedakan kelas penutupan lahan.

Citra yang diklasifikasi adalah citra yang sudah diperbaiki tingkat keawanannya dengan metode komposit time series. Pada citra tahun 2001 digunakan citra hasil perekaman bulan Juni dan bulan Juli tahun 2001 karena pada bulan tersebut tingkat keawanannya lebih rendah dibandingkan dengan bulan lainnya. Pada citra tahun 2004 digunakan citra hasil perekaman bulan Juli dan Agustus 2004 karena tingkat keawanannya juga lebih rendah dibandingkan dengan bulan lainnya.

Hasil klasifikasi menunjukkan perbedaan yang sangat jelas antara citra tahun 2001 dengan citra tahun 2004. Perbedaaan ini dapat dilihat dari beberapa kelas penutupan yang tidak dapat terklasifikasi dengan baik. Kelas penutupan hutan alam tidak terklasifikasi dengan baik pada tahun 2001 dimana luas hutan alam tahun 2001 lebih kcil dibandingkan dengan luas hutan alam 2004. Hal ini disebabkan banyak daerah yang tertutup haze pada tahun 2001 yang seharusnya kelas penutupannya hutan alam terklasifikasi sebagai kelas penutupan selain hutan alam. Sementara pada tahun 2004 daerah tersebut kelas penutupannya hutan alam. Berdasarkan hasil klasifikasi citra SPOT 4 Vegetasi didapatkan bahwa hutan alam yang terdapat di Indonesia pada tahun 2001 seluas 85.126.400 Ha, sedangkan hutan alam tahun 2004 seluas 67.910.500 Ha. Selama kurun waktu tiga tahun, hutan alam Indonesia berkurang seluas 17.215.900 Ha atau sekitar 5.738.633 Ha per tahunnya. Hutan alam yang paling luas pada tahun 2004 terdapat di provinsi Papua yaitu 20.304.700 Ha atau 29,90 % dari total luas hutan alam Indonesia dengan laju perubahan hutan per tahun nya sekitar 1.332.200 Ha/tahun. Untuk tingkat kabupaten yang memiliki luas hutan alam terbesar adalah kabupaten Kapuas Hulu di Kalimantan Barat yaitu sekitar 2.178.900 Ha dengan laju perubahan hutan alam per tahunnya seluas 8.200 Ha/tahun. Kabupaten yang memiliki tingkat laju perubahan hutan alam yang paling tinggi adalah Kabupaten Waropen di Provinsi Papua yaitu sekitar 356.267 Ha/tahun.

(4)
(5)

DISTRIBUSI HUTAN ALAM DAN LAJU PERUBAHANNYA

MENURUT KABUPATEN DI INDONESIA

LUKMANUL HAKIM

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan pada Fakultas Kehutanan

Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN

FAKULTAS KEHUTANAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(6)

Judul Penelitian : DISTRIBUSI HUTAN ALAM DAN LAJU PERUBAHANNYA MENURUT KABUPATEN DI INDONESIA

Nama : LUKMANUL HAKIM

NRP : E14101043

Departemen : Manajemen Hutan Program Studi : Manajemen Hutan

Menyetujui: Dosen Pembimbing

(Dr. Ir. M. Buce Saleh, MS) NIP. 131 284 620

Mengetahui: Dekan Fakultas Kehutanan

(Prof. Dr. Ir. Cecep Kusmana, MS) NIP. 131 430 799

(7)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 8 November 1982 sebagai putra pertama dari pasangan Bapak Musyarofah dan Ibu Sutiyah (alm).

Penulis menempuh pendidikan formal di SDI Alfalah I Petang Jakarta pada tahun 1989 sampai dengan tahun 1995. Selanjutnya penulis mengikuti pendidikan di MTs Alfalah sampai dengan tahun 1998. Setelah itu, penulis melanjutkan studi ke SMUN 47 Jakarta sampai dengan lulus pada tahun 2001. Pada tahun yang sama, penulis diterima di Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri (UMPTN). Penulis memilih Program Studi Manajemen Hutan, Departemen Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor.

Selama melaksanakan studi di IPB, penulis pernah melakukan Praktek Umum Pengenalan Hutan di Cagar Alam Kamojang dan Cagar Alam Leuweung Sancang serta Praktek Pengelolaan Hutan di KPH Garut Unit III Jawa Barat. Selain itu penulis juga pernah melakukan Praktek Kerja Lapangan di IUPHHTI PT. Finnantara Intiga, Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat.

(8)

KATA PENGANTAR

Puji syukur hanyalah untuk Allah SWT, atas segala rahmat dan karuniaNya sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini. Sholawat dan salam semoga tetap tercurahkan kepada Rasulullah Muhammad SAW dan para Sahabatnya yang selalu jihad di jalan-Nya.

Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada :

1. Bapak Dr. Ir. M. Buce Saleh, MS selaku dosen pembimbing atas segala bimbingan berupa petunjuk, saran, kritik maupun fasilitas yang diberikan kepada penulis selama penelitian dan penulisan karya ilmiah ini.

2. Ibu Ir. Rita Kartikasari, MS selaku wakil dari Departemen Hasil Hutan serta Ibu Dr. Ir. Yeni A. Mulyani, MSc selaku wakil dari Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata atas kesediaannya untuk menjadi dosen penguji komprehensif.

3. Bapak, Ibu dan adik-adikku serta keluarga di Jakarta yang telah membina dan mendidik dengan kasih sayang dan doa yang selalu menyertai setiap langkah penulis.

4. Teman-teman MNH ’38, ’39 dan ’40 serta keluarga besar Fakultas Kehutanan, atas kebersamaan dan persahabatan selama penulis menempuh pendidikan. 5. Wira Fitria dan Ayurani Prasetyo, teman seperjuangan penelitian atas

kerjasama dan bantuannya.

6. Sylvalestari yang telah memberi makna dan pelajaran hidup bagi penulis. 7. Nisa Syachera Febriyanti, atas perhatian, kesabaran dan dukungan yang selalu

dicurahkan kepada penulis.

8. kepada semua pihak yang telah membantu atas terselesaikannya skripsi ini. Kesempurnaan hanyalah milik Allah SWT sedangkan penulis hanyalah hamba-Nya yang penuh kekurangan. Akhir kata, semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis maupun semua pihak yang membutuhkannya.

Bogor, Agustus 2006

(9)

DAFTAR ISI

Klasifikasi terbimbing dengan metode kemungkinan maksimum ... 10

Penutupan Lahan dan Perubahannya ... 11

METODOLOGI ... 13

Analisis perubahan penutupan lahan ... 14

Analisis faktor penentu laju perubahan hutan alam ... 14

KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN ... 16

Pola Spektral Citra SPOT 4 Vegetasi... 19

Hasil Klasifikasi Citra ... 22

Distribusi Hutan Alam Tiap kabupaten dan Laju Perubahannya ... 24

A. Sumatra ... 25

B. Jawa dan Bali ... 26

C. Nusa Tenggara ... 27

D. Kalimantan ... 28

(10)

F. Maluku ... 30

G. Irian ... 31

Analisis faktor yang mempengaruhi laju perubahan hutan alam ... 32

KESIMPULAN DAN SARAN ... 34

Kesimpulan ... 34

Saran ... 35

DAFTAR PUSTAKA ... 36

LAMPIRAN ... 37

(11)

DAFTAR TABEL

Halaman 1 Karakteristik saluran spektral citra satelit SPOT 4 Vegetasi ... ... 6

2 Nilai digital hasil gabungan training area Sumatra dan Kalimantan ... .. 21 3 Hasil uji hubungan laju perubahan hutan alam dan faktor yang

(12)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1 Rentang Spektral Gabungan Kelas Penutupan Lahan pada tiap Band ... 19

2 Hasil klasifikasi citra SPOT 4 Vegetasi tahun 2001 ... 22

3 Hasil klasifikasi citra SPOT 4 Vegetasi tahun 2004 ... 22

4 Peta perubahan hutan alam Indonesia tahun 2001 sampai tahun 2004 ... 24

5 Grafik Luas hutan alam di Sumatra tahun 2004 dan laju perubahan hutan alam per tahun ... 25

6 Grafik Luas hutan alam di Jawa dan Bali tahun 2004 dan laju perubahan hutan alam per tahun ... 26

7 Grafik Luas hutan alam di Nusa Tenggara tahun 2004 dan laju perubahan hutan alam per tahun ... 27

8 Grafik Luas hutan alam di Kalimantan tahun 2004 dan laju perubahan hutan alam per tahun ... 28

9 Grafik Luas hutan alam di Sulawesi tahun 2004 dan laju perubahan hutan alam per tahun ... 29

10 Grafik Luas hutan alam di Maluku tahun 2004 dan laju perubahan hutan alam per tahun ... 30

(13)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1. Aturan (Rule) penutupan hutan alam ... 39

Lampiran 2. Aturan (Rule) penutupan vegetasi non hutan alam ... 39

Lampiran 3. Aturan (Rule) penutupan areal terbuka ... 40

Lampiran 4. Aturan (Rule) penutupan badan air ... 41

Lampiran 5. Aturan (Rule) penggabungan tiap kelas penutupan ... 42

Lampiran 6. Distribusi luas hutan alam dan laju pengurangannya menurut Kabupaten di Indonesia ... 43

(14)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Indonesia merupakan negara yang dikaruniai kekayaan alam yang melimpah, baik kekayaan mineral maupun kekayaan alam yang berupa hutan dengan keanekaragaman flora dan faunanya. Hutan alam Indonesia merupakan hutan alam tropis yang memiliki kekayaan/keanekaragaman tertinggi di dunia setelah hutan alam tropis di negara Brazil (Suhendang, 2002). Hal ini menyebabkan hutan menjadi salah satu sumber yang berpengaruh dalam pertumbuhan ekonomi nasional dan dalam peningkatan kesejahteraan masyarakat.

Pertambahan penduduk Indonesia yang meningkat pesat telah memunculkan berbagai permasalahan, diantaranya meningkatnya kebutuhan hidup dan kebutuhan lahan. Peningkatan kebutuhan hidup akan pangan, kayu, air, lapangan kerja dan kebutuhan lahan akan perumahan, perindustrian dan pertanian menuntut adanya upaya-upaya yang lebih besar. Upaya pemenuhan kebutuhan hidup yang meningkat ini secara langsung atau tidak langsung menyebabkan tekanan terhadap sumberdaya alam karena perekonomian Indonesia sebagai negara berkembang masih bergantung pada sumberdaya alamnya seperti sumberdaya hutan yang tersebar luas di Indonesia.

Menurut Departemen Kehutanan (2005), luas hutan alam Indonesia diperkirakan mencapai 85 juta hektar (Ha) yang tersebar di seluruh kepulauan Nusantara dengan berbagai peruntukannya. Seiring dengan bertambahnya waktu, luasan hutan alam ini semakin lama semakin berkurang. Laju pengurangan hutan alam di Indonesia pada tahun 1997-2000 adalah sekitar 2,84 juta Ha per tahun. Laju pengurangan hutan alam yang terjadi sekarang ini diperkirakan lebih cepat dibandingkan dengan laju pengurangan pada tahun-tahun sebelumnya.

(15)

informasi tersebut biasanya diperoleh dengan melakukan inventarisasi secara terestrial yang membutuhkan waktu, tenaga dan biaya yang cukup besar walaupun informasi yang diperoleh cukup akurat.

Untuk areal yang sangat luas dan tersebar seperti di Indonesia, inventarisasi terestrial dalam waktu singkat sangat sulit untuk dilakukan dan membutuhkan waktu, tenaga dan biaya yang cukup besar. Salah satu alternatif yang dapat digunakan adalah dengan menggunakan teknologi penginderaan jauh satelit. Menurut Howard (1996), terapan penginderaan jauh satelit untuk bidang kehutanan berkembang sangat cepat selaras dengan perkembangan pemrosesan citra digital satelit sumberdaya bumi. Teknologi penginderaan jauh satelit dapat digunakan untuk memonitor dan mengklasifikasikan penutupan dan penggunaan lahan yang luas tanpa terjun langsung di lapangan dengan berbagai tahapan dalam analisisnya.

Teknologi penginderaan jauh satelit telah dimanfaatkan untuk penelitian dalam berbagai bidang seperti kehutanan, pertanian, geologi, hidrologi, kelautan, cuaca dan lingkungan sehingga teknologi ini berkembang sangat pesat. Saat ini, berbagai macam satelit dengan karakteristik spasial maupun spektralnya yang sangat beragam telah beroperasi. Untuk kegiatan monitoring hutan alam dengan wilayah yang sangat luas, diperlukan citra satelit dengan resolusi spasial yang rendah seperti Citra SPOT 4 Vegetasi dan NOAA. Penggunaan citra satelit ini memungkinkan untuk memperoleh data seperti tipe penutupan lahan.

Menurut Kartikasari (2004), citra SPOT 4 Vegetasi dapat membedakan dengan baik empat kelas penutupan lahan yaitu hutan alam, vegetasi non hutan alam, areal terbuka dan badan air dengan indeks separabilitas rata-rata 1952 yang berarti kelas-kelas tersebut dapat diklasifikasikan dengan baik. Menurut Prasetyo, A (2005), Metode terbaik yang dapat digunakan dalam klasifikasi citra SPOT 4 Vegetasi yaitu metode klasifikasi knowledge based dengan teknik fuzzy yang menghasilkan nilai akurasi sebesar 92,36 %. Tingkat akurasi tersebut lebih tinggi dibandingkan dengan teknik klasifikasi fuzzy classification sebesar 76,22 % dan teknik klasifikasi maximum likelihood sebesar 71,89 %.

(16)

citra SPOT 4 Vegetasi ini mempunyai resolusi spasial yang rendah (1Km x 1Km) yang sesuai untuk daerah yang luas. Monitoring juga dapat dilakukan dalam periode yang pendek (2-3 tahun) karena periode perekaman citra SPOT 4 Vegetasi dilakukan dalam waktu 10 harian.

Tujuan

Tujuan dari penelitian ini adalah :

1. Mengetahui distribusi penutupan hutan alam dan percepatan kehilangannya menurut kabupaten di Indonesia dengan menggunakan citra SPOT 4 Vegetasi tahun 2001 dan tahun 2004

(17)

TINJAUAN PUSTAKA

Penginderaan Jauh

Manual of Remote Sensing (American Society of photogrammetry, 1983) dalam Howard (1996) mendefinisikan penginderaan jauh dalam pengertian luas, pengukuran atau pemerolehan informasi dari beberapa sifat obyek atau fenomena, dengan menggunakan alat perekam yang secara fisik tidak terjadi kontak langsung atau bersinggungan dengan obyek yang dikaji. Secara umum, penginderaan jauh saat ini tidak hanya terbatas sebagai alat pengumpul data mentah, tetapi pemrosesan data mentah secara manual dan terotomatisasi, dan analisis citra serta penyajian hasil informasi yang diperoleh.

Menurut Lo (1995), penginderaan jauh merupakan suatu teknik untuk mengumpulkan informasi mengenai obyek dan lingkungannya dari jarak jauh tanpa sentuhan fisik. Biasanya teknik ini menghasilkan beberapa bentuk citra yang selanjutnya diproses dan diinterpretasi guna membuahkan data yang bermanfaaat untuk aplikasi di bidang pertanian, arkeologi, kehutanan, geografi, geologi, perencanaan, dan bidang-bidang lainnya. Tujuan utama dari penginderaan jauh ialah mengumpulkan data sumberdaya alam dan lingkungan. Informasi tentang obyek yang disampaikan ke pengamat melalui energi elektromagnetik yang merupakan pembawa dan sebagai penghubung komunikasi.

Sedangkan menurut Lillesand dan Kiefer (1990), penginderaan jauh adalah ilmu dan seni untuk memperoleh informasi tentang suatu obyek, daerah, atau fenomena melalui analisis data yang diperoleh dengan suatu alat tanpa kontak langsung dengan obyek, daerah, atau fenomena yang dikaji. Informasi tersebut diperoleh karena masing-masing obyek memiliki kekhasan dalam memantulkan, menyerap, meneruskan atau memancarkan energi gelombang elektromagnetik yang datang padanya sehingga energi pantulan atau pancaran yang diterima oleh sensor dapat dipergunakan sebagai ciri pengenalan obyek, daerah atau fenomena yang dikaji.

(18)

ulang alik atau wahana lainnya. Untuk mendapatkan informasi tersebut harus dilakukan melalui interpretasi foto udara atau citra satelit. Karena sensor dipasang terlalu jauh dengan obyek yang diindera, maka diperlukan tenaga yang dipancarkan atau dipantulkan oleh obyek tersebut. Antara tenaga dan obyek terjadi interaksi dan tiap obyek memiliki sifat atau karakteristik tersendiri sehingga menimbulkan reaksi yang berbeda untuk dapat diinterpretasikan. Hasil interpretasi tersebut direkam oleh sensor dan diterjemahkan menjadi data. Data inilah yang diinterpretasikan menjadi informasi tentang obyek, daerah atau fenomena melalui kegiatan analisis data (Lillesand dan Kiefer, 1990).

Karakteristik Reflektansi Spektral

Jaya (2002) menyatakan bahwa radiasi yang dideteksi oleh sistem penginderaan jauh umumnya :

1. Reflektansi cahaya (energi) matahari

2. Panas yang dipancarkan oleh setiap obyek yang mempunyai suhu lebih besar dari 0°K

3. Refleksi gelombang mikro

Pantulan spektral untuk vegetasi sehat berdaun hijau dipengaruhi oleh pigmen yang terkandung di dalam daun tumbuhan. Klorofil misalnya banyak menyerap energi pada panjang gelombang yang terpusat pada sekitar 0,45 µm dan 0,6 µm. Berdasarkan hal itu mata kita menangkap vegetasi sehat berwarna hijau disebabkan oleh besarnya penyerapan energi pada spektrum hijau.

(19)

Citra Satelit SPOT 4 Vegetasi

SPOT atau Systeme Probatoire d’Observation de la Terre merupakan sistem satelit milik Perancis. Satelit SPOT 1 diluncurkan pada tanggal 21 Februari 1986 dan satelit SPOT 2 diluncurkan pada tahun 1990. Saat ini, satelit yang beroperasi adalah SPOT 5 yang diluncurkan pada tahun 2002.

Pada satelit SPOT 4 ditambahkan sensor VMI (Vegetation Monitoring Instrument) yang berguna di dalam pemantauan untuk wilayah yang luas. Sensor tersebut diluncurkan pada 24 Maret 1998. Vegetation merupakan program satelit yang dimiliki secara bersama oleh Perancis, Italia, Belgia, Komisi Eropa, dan Swedia.

Sensor VMI didesain untuk melakukan perekaman dengan periode harian dan mempunyai resolusi spasial 1 km². Sensor tersebut menggunakan 4 saluran yang meliputi 2 band sinar tampak biru (blue) dan merah (red), 1 band inframerah dekat (near infrared), dan 1 band inframerah gelombang pendek (short wave infrared).

Tabel 1. Karakteristik Saluran Spektral Citra Satelit SPOT 4 Vegetasi Band Panjang gelombang

(µm)

Kegunaan/aplikasi

1 BLUE

0,43 – 0,47 Penetrasi tubuh air dengan baik sehingga baik untuk pemetaan perairan pantai,

pembedaan tanah dan vegetasi, analisa tanah dan air, dan pembedaan tumbuhan berdaun lebar dan konifer.

2 RED

0,61 – 0,68 Diskriminasi vegetasi yang berguna untuk pembedaan jenis tumbuhan. Puncak penyerapan klorofil pada panjang

gelombang 0,665µm sehingga baik untuk inventarisasi vegetasi dan penilaian kesuburan.

3 NIR

(20)

Tabel 1. Lanjutan.

Band Panjang gelombang (µm)

Kegunaan/aplikasi

struktur kanopi dan presentase penutupan vegetasi di permukaan bumi. Saluran ini penting untuk pemisahan kelas vegetasi dan memperkuat kontras antara penampakan vegetasi dan non vegetasi.

4 SWIR

1,58 – 1,75 Saluran yang peka terhadap akumulasi biomassa vegetasi. Identifikasi jenis tanaman dan memudahkan pembedaan tanah dan tanaman serta lahan dan air.

(Sumber : Vegetation Overview, 2005)

Interpretasi Citra

Interpretasi citra (analisis visual) merupakan suatu kegiatan untuk mendeteksi dan mengidentifikasi obyek-obyek permukaan bumi yang tampak pada citra, baik potret udara maupun citra satelit, dengan cara mengenalinya atas dasar karakteristik spasial (bentuk, ukuran, orientasi, dan tekstur), spektral (nilai reflektansi), dan temporal (Jaya, 2002).

Tingkat awal interpretasi dikenal sebagai deteksi. Tahap identifikasi tentu saja menuntun ke arah tingkat identifikasi dan pengenalan di mana penafsir harus menggunakan tingkat rujukan lokal, khusus, dan untuk mengelaskan obyek ke dalam kategori tertentu. Di dalam identifikasi dan pengenalan, karakteristik non geometrik citra atas rona atau warna, tekstur, pola, bentuk, bayangan, ukuran, dan situasi umumnya merupakan kunci pengenalan (Lo, 1995).

(21)

Purwadhi (2001) menyatakan bahwa dasar interpretasi citra digital berupa klasifikasi piksel berdasarkan nilai spektralnya dan dapat dilakukan dengan cara statistik. Setiap kelas kelompok piksel dicari kaitannya terhadap objek atau gejala di permukaan bumi.

Pengelolaan awal citra digital meliputi proses pemulihan citra (image restoration) meliputi koreksi berbagai distorsi radiometrik dan geometrik yang ada pada citra asli dan proses penajaman citra (image enhancement) untuk menguatkan tampak kontras citra ke dalam bentuk yang lebih memadai untuk kegiatan interpretasi dan analisa selanjutnya (Lillesand dan Kiefer, 1990).

Pada koreksi radiometrik, operasi terpenting adalah menentukan korelasi antara output detektor dan input radian (cahaya) pada data (scene), dan mengoreksi data karena kerusakan detektor. Secara garis besar, kesalahan radiometrik disebabkan oleh 2 faktor berikut, yaitu kesalahan respon detektor (detector response error) dan pengaruh atmosfer (Atmospheric effect). Kesalahan tersebut terjadi karena adanya proses pemencaran (atmospheric scattering) dan penyerapan (atmospheric absorption) oleh uap air atau gas-gas lainnya. Atmosfer bumi ini merupakan sumber kesalahan yang berarti karena dapat mengurangi kemampuan analis untuk menggali informasi penting dari permukaan bumi yang direkam oleh sensor penginderaan jauh. Masalah pengaruh atmosfer ini akan tampak apabila kita ingin membandingkan respon spektral pada suatu lokasi yang direkam pada waktu berbeda. Untuk kegiatan monitoring (change detection), efek ini akan mempengaruhi akurasi klasifikasi (Jaya, 2002).

Klasifikasi Knowledge Based (Knowledge Classification)

Metode standar pada analisis kuantitatif citra tidak dapat menggambarkan klasifikasi tipe penutupan lahan suatu daerah dari dua sumber data numerik dengan karakteristik yang berbeda maupun data non numerik.

(22)

rendah. Jika ada maka sumber data dengan resolusi spasial tinggi tidak diperlukan, dan waktu untuk proses data dapat dihemat.

Sistem klasifikasi expert merupakan sebuah hirarki aturan, atau sebuah pohon keputusan, yang menjelaskan keadaan di bawah seperangkat informasi tingkat rendah yang diabstraksikan menjadi kelas-kelas informasi tingkat tinggi. Informasi tersebut tersusun atas variabel yang ditentukan oleh pengguna dan meliputi citra raster, vektor, model spasial, eksternal program, dan skalar sederhana. Sebuah aturan merupakan pernyataan persyaratan, atau daftar dari pernyataan-pernyataan persyaratan, mengenai nilai-nilai variabel data dan/atau atribut yang menentukan komponen informasi atau hipotesis (Expert Classifier Overview, 2001).

Pada penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Prasetyo dan Fitria (2005) dapat diketahui bahwa metode klasifikasi knowledge based dengan teknik fuzzy menghasilkan nilai akurasi 92.36%. Tingkat akurasi tersebut lebih tinggi dibandingkan dengan metode klasifikasi maximum likelihood dan fuzzy classification. Klasifikasi knowledge based dengan teknik fuzzy dapat digunakan untuk monitoring pada citra dengan periode tahunan.

Klasifikasi Fuzzy

Pada klasifikasi knowledge based diperlukan suatu teknik untuk kuantifikasi dalam pengambilan keputusan mengenai kepastian keanggotaan suatu piksel. Teknik yang digunakan adalah teknik fuzzy. Brown (1998) menyatakan bahwa identifikasi dengan menggunakan klasifikasi fuzzy sangat cocok untuk data yang :1) atributnya ambigu dan 2) spasial yang samar. Atribut yang ambigu terjadi ketika anggota kelas terbagi atau tidak jelas. Ambiguitas merupakan masalah yang biasa terjadi di dalam beberapa data penginderaan jauh seperti fotografi udara yang diinterpretasikan secara tidak konsisten. Kesamaran spasial terjadi ketika resolusi sampling tidak cukup baik untuk menyertakan batas lokasi, pada saat transisi terjadi di antara kelas-kelas atau pada saat terdapat beberapa data dengan lokasi yang tidak jelas

(23)

events) dengan sebuah mutu keanggotaan kontinu (grade of membership) dan ditandai oleh sebuah fungsi keanggotaan µA (x) yang dihubungkan dengan setiap titik dalam X oleh sebuah bilangan riel dalam interval [0,1] dengan nilai µA (x) pada x menyatakan mutu keanggotaan x dalam A. Pendekatan fuzzy didasarkan kepada alasan (premise) yang elemen-elemen kunci dalam pemikiran manusia tidaklah sekedar bilangan tetapi dapat diaproksimasikan menjadi tabel kumpulan fuzzy, atau, dengan perkataan lain, transisi kelas-kelas obyek dari keanggotaan terhadap bukan keanggotaan adalah perlahan (gradual) bukan mendadak atau sekonyong-konyong (abrupt).

Jensen (1996) dalam Erdas Field Guide menyatakan bahwa klasifikasi fuzzy dirancang untuk membantu pekerjaan dengan data yang tidak mungkin tergolong ke dalam satu kategori dengan tepat. Klasifikasi fuzzy menggunakan fungsi keanggotaan, di mana nilai satu piksel ditentukan oleh kedekatannya pada satu kelas lainnya. Klasifikasi fuzzy tidak mempunyai batasan yang jelas dan masing-masing piksel bisa berada pada beberapa kelas yang berbeda.

Penutupan Lahan dan Perubahannya

Lahan merupakan material dasar dari suatu lingkungan (situs), yang diartikan berkaitan dengan sejumlah karakteristik alami yaitu iklim, geologi, tanah, topografi, hidrologi, dan biologi (Aldrich, 1981 dalam Lo, 1995). Penutupan lahan merupakan istilah yang berkaitan dengan jenis kenampakan di muka bumi (Lillesand dan Kiefer, 1990). Selanjutnya Burley (1961) dalam Lo (1995) menjelaskan bahwa penutup lahan menggambarkan “konstruksi vegetasi dan batuan yang menutup permukaan lahan”.

Menurut Lo (1995), konstruksi tersebut seluruhnya tampak secara langsung dari citra penginderaan jauh. Tiga kelas data yang tercakup dalam penutupan lahan secara umum adalah : (1) Struktur fisik yang dibangun oleh manusia, (2) Fenomena biotik seperti vegetasi alami, tanaman pertanian, dan kehidupan binatang, dan (3) Tipe-tipe pembangunan.

(24)

menjadi penggunaan lahan jenis lain, sedangkan perubahan sementara artinya yang berubah hanya penutupan lahannya, jenis penggunaan lahannya tetap.

Penggunaan lahan berkaitan dengan kegiatan manusia pada bidang lahan tertentu. Informasi penutupan lahan dapat dikenali scara langsung dengan menggunakan penginderaan jauh yang tepat. Sedangkan kegiatan manusia pada suatu lahan (penggunaan lahan) tidak selalu dapat ditaksir secara langsung dari penutupan lahannya (Lillesand dan Kiefer, 1990).

Perubahan penutupan lahan merupakan keadaan suatu lahan yang karena kegiatan manusia mengalami kondisi yang berubah pada waktu yang berbeda. Lo (1995) menyatakan bahwa deteksi perubahan mencakup penggunaan fotografi udara berurutan di atas wilayah tertentu dan dari data tersebut penggunaan lahan untuk setiap waktu dapat dipetakan dan dibandingkan. Menurut Campbell (1993) dalam Lo (1995) bahwa peta perubahan pengunaan lahan antara dua periode biasanya dapat dibandingkan.

(25)

METODOLOGI

Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilakukan mulai dari bulan Januari 2006 sampai dengan bulan Mei 2006. Kegiatan pengolahan data dilakukan di Laboratorium Perencanaan Hutan, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor.

Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini berupa :

1. Citra Satelit SPOT 4 Vegetasi bulan Juni dan Juli tahun 2001. 2. Citra Satelit SPOT 4 Vegetasi bulan Juli dan Agustus tahun 2004. dengan periode komposit 10 harian yang meliputi seluruh wilayah Kepulauan Asia (Asian Island). Data pendukung lain berupa peta digital rupa bumi Indonesia skala 1 : 1.000.000 tahun 1999 (Bakosurtanal), peta administrasi kabupaten di Indonesia skala 1 : 50.000 tahun 1999 (Bakosurtanal), data jumlah penduduk kabupaten di Indonesia dan data pendapatan per kapita tiap kabupaten tahun 2004 (Badan Pusat Statistik).

Sedangkan peralatan yang digunakan yaitu seperangkat PC (Personal Computer) dengan perangkat lunak pengolah citra ERDAS Imagine 8.5, Arc View 3.2, ER Viewer 7.0 dan Microsoft Office.

Metode Penelitian

Penelitian ini terdiri dari 4 tahap, yang terdiri dari kegiatan pengolahan awal citra (pre-image processing), pengolahan citra (image processing), analisis perubahan penutupan hutan alam dan analisis faktor penentu perubahan hutan alam.

Pengolahan awal citra (pre-image processing)

(26)

saluran-saluran spektral (band) pada data citra (blue, red, near infrared, dan shortwave infrared) dalam satu lapisan saluran spektral data citra satelit.

Penyekatan areal penelitian (cropping) dilakukan dengan memotong citra pada wilayah yang menjadi fokus penelitian yaitu wilayah Indonesia. Kegiatan ini dilakukan karena dalam satu scene citra SPOT 4 Vegetasi masih meliputi wilayah Kepulauan Asia Tenggara (Asian Island).

Koreksi geometrik dilakukan untuk membetulkan koordinat peta karena adanya pergeseran obyek bumi akibat efek panoramik, lengkung dan perputaran bumi. Kesalahan geometrik dapat dikoreksi dengan menggunakan sejumlah titik-titik kontrol lapangan (Ground Control Point/GCP) yang cukup. GCP adalah suatu titik pada permukaan bumi yang diketahui koordinatnya baik pada citra (kolom/piksel dan baris) maupun pada peta (yang diukur dalam derajat lintang, bujur, feet atau meter).

Teknik koreksi geometrik dilakukan dengan rektifikasi. Atas dasar acuan yang digunakan, rektifikasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah rektifikasi citra-ke-peta (image-to-map rectification)

Setelah citra terkoreksi dan mempunyai koordinat, dilakukan pengurangan awan dengan metode komposit time series. Menurut Kartikasari (2004) bahwa tingkat penutupan awan pada citra SPOT 4 Vegetasi dapat dikurangi dengan menggunakan metode komposit time series karena nilai digital penutupan awan lebih tinggi daripada nilai digital penutupan non awan pada semua band. Hal tersebut menjadi dasar pemilihan metode pembuatan komposit time series. Metode yang digunakan adalah Komposit Nilai Minimum. Penggunaan periode komposit yang semakin panjang akan lebih baik di dalam proses pengurangan awan.

(27)

Pengolahan citra (image processing)

Menurut Kartikasari (2004), kelas penutupan terbaik yang mampu dibuat oleh citra satelit SPOT 4 Vegetasi adalah 5 kelas, yaitu kelas penutupan lahan vegetasi hutan alam (hutan dataran rendah, hutan rawa dan hutan mangrove), vegetasi non hutan alam (areal penanaman dan semak belukar), areal terbuka (penggabungan dari penutupan areal bekas tebangan, pemukiman, dan areal terbuka alami), badan air (hasil penggabungan penutupan berupa danau, sungai dan laut), serta awan. Dalam penelitian ini hanya 4 kelas penutupan lahan selain awan yang akan diklasifikasi.

Menurut Prasetyo dan Fitria (2005), Metode terbaik yang dapat digunakan dalam klasifikasi citra SPOT 4 Vegetasi yaitu metode klasifikasi knowledge based dengan teknik fuzzy yang menghasilkan nilai akurasi sebesar 92,36 %. Tingkat akurasi tersebut lebih tinggi dibandingkan dengan teknik klasifikasi fuzzy classification sebesar 76,22 % dan teknik klasifikasi terbimbing dengan metode maximum likelihood sebesar 71,89 %.

Analisis perubahan penutupan hutan alam

Citra yang telah diolah, dipotong (cropping) menurut kabupaten dan ditampilkan berdasarkan waktu perekaman untuk menghasilkan tampilan areal perubahan penutupan hutan alam per kabupaten di seluruh wilayah Indonesia tahun 2001 dan tahun 2004. Analisis perubahan penutupan hutan alam dilakukan dengan membandingkan luas hutan alam pada peta penutupan hutan alam per kabupaten tahun 2001 dengan peta penutupan hutan alam per kabupaten 2004 sehingga dapat dilihat perubahan penutupan hutan alamnya.

Penghitungan luas hutan alam menggunakan fasilitas X-tools pada software Arc View 3.2 setelah dilakukan perubahan data raster menjadi data vektor (vektorisasi) pada citra tahun 2001 dan tahun 2004.

Analisis faktor penentu perubahan hutan alam

(28)

Hubungan antara laju perubahan hutan alam per tahun dengan faktor-faktor penentu tersebut dapat diketahui dengan mengetahui koefisien korelasinya (r). Hal ini dapat dilakukan dengan membuat regresi linear sederhana tiap faktor tersebut.

Setelah mendapatkan nilai korelasi (r), kemudian dilakukan pengujian hipotesis terhadap ρ. Keberartian korelasi ini diuji melalui hipotesis uji:

Ho : ρ = 0 , berarti tidak ada hubungan antara variabel x dan y Ho : ρ≠ 0 , berarti ada hubungan antara variabel x dan y

Nilai t-tabel pada taraf nyata (α) 5% dan (α) 1% didapatkan dari tabel nilai kritik sebaran t-student. Sedangkan untuk statistik hitungnya (t-hitung) didapatkan dengan rumus:

t = r / √(1-r2/n-2)

atau dapat dilihat pada statistik regresi pada model regresi linear sederhana. Keputusan yang akan diambil adalah :

• Tolak Ho, jika t-hitung > t-tabel yang berarti bahwa variabel x dan y mempunyai hubungan yang dapat menjelaskan satu sama lain

• Terima Ho, jika t-hitung < t tabel yang berarti bahwa variabel x dan y tidak mempunyai hubungan yang dapat menjelaskan satu sama lain. Dalam regresi berganda terdapat dua atau lebih peubah bebas dan satu peubah tak bebas. Dalam hal ini laju perubahan hutan alam akan dihubungkan dengan ketiga faktor tersebut dengan hipotesis :

Ho : β1 = β2 = β3 = 0 , berarti bahwa antara variabel y dengan x1, x2 dan x3 tidak ada hubungan

Ha : β1 ≠ 0 dan atau β2 ≠ 0 dan atau β3 ≠ 0, berarti bahwa variabel y tergantung pada x1, x2 dan x3 atau ketiga-tiganya Nilai f-tabel pada taraf nyata (α) 5% dan (α) 1% didapatkan dari tabel nilai sebaran kritik F. sedangkan untuk f-hitung didapatkan dari nilai f dari model regresi linear berganda yang telah dibuat. Keputusan yang akan diambil adalah:

• Tolak Ho, jika f-hitung > dari f-tabel

• Terima Ho, jika f-hitung < dari f-tabel

(29)

KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

Letak Geografis dan Luas

Indonesia terletak antara 6o LU - 11o LS dan antara 97o BT - 141o BT yang diapit oleh dua benua yaitu Asia dan Australia. Negara Kesatuan yang berbentuk republik ini sejak tahun 2004 dibagi menjadi 33 provinsi dengan 3 tambahan provinsi baru yaitu Kepulauan Riau, Sulawesi Barat dan Irian Jaya Barat. Pada tahun 2004 provinsi-provinsi di Indonesia terdiri dari 349 Kabupaten, 91 Kotamadya, 5.277 Kecamatan dan 69.858 desa.

Indonesia merupakan negara bahari yang mempunyai luas laut sekitar 7,9 juta kilometer persegi (termasuk Zona Ekonomi Ekslusif) atau 81% dari luas keseluruhan wilayah Indonesia dan merupakan negara dengan garis pantai terpanjang kedua di dunia setelah Kanada. Luas daratan Indonesia sekitar 1,86 juta kilometer persegi atau 19% dari luas keseluruhan total yang mempunyai ratusan gunung api dan sungai.

Secara geografis, Indonesia berbatasan dengan :

• Sebelah utara : Malaysia, Singapura, Filipina, Laut Cina Selatan

• Sebelah selatan : Australia, Samudra Hindia

• Sebelah barat : Samudra Hindia

• Sebelah timur : Papua Nugini

Musim dan Iklim

Indonesia mempunyai dua musim yaitu musim kemarau dan musim hujan. Pada bulan Juni sampai dengan September arus angin berasal dari Australia dan tidak banyak mengandung uap air, sehingga mengakibatkan musim kemarau. Sebaliknya pada bulan Desember sampai dengan Maret arus angin banyak mengandung uap air yang berasal dari Asia dan Samudra Pasifik terjadi musim hujan. Keadaan seperti itu terjadi setiap setengah tahun setelah melewati masa peralihan pada bulan April-Mei dan Oktober-November.

(30)

merupakan bulan dengan curah hujan paling banyak. Suhu udara rata-rata di Indonesia berkisar antara 23ºC sampai dengan 28ºC sepanjang tahun, namun juga sangat bervariasi tergantung letak daerahnya. Sedangkan kelembabannya bervariasi antara 61 sampai dengan 81 R.h.

Hidrologi

Hampir di seluruh pulau di Indonesia dilewati oleh sungai-sungai besar yang berperan sangat besar bagi kehidupan manusia mulai dari memenuhi kebutuhan air sampai sebagai jalur transportasi utama seperti di Kalimantan. Sungai-sungai ini juga berperan sebagai urat nadi perekonomian bagi penduduk di sekitar sungai.

Sungai-sungai terbesar yang ada di Indonesia antara lain Sungai Kapuas yang merupakan terpanjang di Indonesia, Sungai Barito, Sungai Musi, Sungai Bengawan Solo, Kali Brantas, Sungai Mamberamo, Sungai Mahakam dan lain-lain

Flora dan fauna

Kehidupan fauna di Indonesia terbagi kedalam tiga daerah yaitu daratan Indonesia sebelah barat dengan fauna Asia, daratan Indonesia sebelah tengah dengan fauna peralihan dan daratan Indonesia sebelah timur dengan fauna Australia. Ketiga daerah ini dipisahkan oleh garis maya wallace dan garis webber.

Daerah sebelah barat yang mempunyai kesamaan fauna dengan Asia meliputi Pulau Sumatra, Kalimantan dan Jawa. Daerah peralihan yang memiliki kekhasan tersendiri meliputu Pulau Sulawesi. Sementara daerah timur yang mempunyai kesamaan dengan Australia meliputi Pulau Maluku dan Papua.

Fauna di Indonesia antara lain : Orang utan (Pongo pygmaeus), Macan Tutul (Panthera pardus), Elang Jawa (Spizaetus bartelsi), Badak Jawa (Rhinoceros sondaica), memiliki keanekaragaman jenis yang sangat tinggi.

(31)

tumbuhan langka juga memperkaya flora Indonesia dari mulai Anggrek, Raflesia dan lain-lain (www.wikipedia.org/wiki/Indonesia).

Demografi

Indonesia dengan wilayah yang cukup luas mempunyai jumlah penduduk yang besar pula. Pada tahun 2003 jumlah penduduk Indonesia diperkirakan mencapai 213,7 juta jiwa atau merupakan negara dengan penduduk ketiga terbesar di Asia setelah RRC dan India. Laju pertumbuhan penduduk Indonesia mengalami penurunan cukup signifikan pada tahun 1990 yaitu dari 1,97% selama periode 1980-1990 menjadi 1,49% pada periode 1990-2000 kemudian menurun lagi menjadi 1,43% selama periode 2000-2004.

Jumlah penduduk Indonesia yang begitu besar tidak diimbangi dengan pemerataan penyebaran penduduk. Sebagian penduduk masih terpusat di pulau Jawa atau di kota-kota besar. Data tahun 2000 menunjukkan bahwa sekitar 59% penduduk Indonesia tinggal di pulau Jawa. Dari jumlah tersebut 18% tinggal di Jawa Barat, 15% tinggal di Jawa Tengah dan 17% tinggal di Jawa Timur. Besarnya jumlah penduduk dipulau Jawa menyebabkan kepadatan penduduk di pulau Jawa menjadi sangat tinggi yaitu 951 penduduk/km2 di tahun 2000 dan terus meningkat menjadi 1009 penduduk/km2 pada tahun 2004.

(32)

PEMBAHASAN

Pola Spektral Citra SPOT 4 Vegetasi

Citra SPOT 4 Vegetasi pada kombinasi band 4-3-2 dapat membedakan dengan baik 5 kelas penutupan lahan yaitu hutan alam, vegetasi non hutan alam, areal terbuka, badan air dan awan. Hutan alam terdiri dari hutan dataran rendah, hutan rawa dan hutan mangrove, sedangkan vegetasi non hutan alam adalah areal penanaman dan semak belukar. Areal terbuka merupakan penggabungan dari penutupan areal bekas tebangan, pemukiman, dan areal terbuka alami. Badan air adalah hasil penggabungan penutupan berupa danau, sungai dan laut (Kartikasari, 2004).

Tiap kelas penutupan lahan mempunyai pola spektral yang berbeda-beda. Perbedaan pola spektral ini disebabkan perbedaan panjang gelombang yang dipantulkan oleh tiap kelas penutupan. Untuk mengamatinya dapat dilihat dari nilai digital (digital number) masing-masing kelas.

Berdasarkan penelitian sebelumnya oleh Prasetyo dan Fitria (2005), telah diambil beberapa training area untuk tiap kelas penutupan pada citra SPOT 4 Vegetasi di Pulau Sumatra dan Kalimantan. Nilai digital dari tiap kelas penutupan ini akan digabung sehingga mendapatkan nilai digital yang baru yang akan digunakan untuk melihat pola spektral seluruh Indonesia. Rekapitulasi nilai spektral gabungan ini dapat dilihat pada Lampiran 1.

Gambar 1 Rentang Spektral Gabungan Kelas Penutupan Lahan pada tiap Band

(33)

Dari gambar diatas dapat dilihat perbedaan rentang spektral tiap kelas penutupan lahan pada berbagai saluran (band). Pada panjang gelombang sinar tampak (band biru (1) dan band merah (2)) terdapat perbedaan rentang spektral untuk kelas penutupan bervegetasi (hutan alam dan non hutan alam) dan tanpa vegetasi (tanah terbuka dan tubuh air). Kelas penutupan bervegetasi memiliki reflektansi rendah pada panjang gelombang sinar tampak karena klorofil banyak menyerap energi pada panjang gelombang yang terpusat pada sekitar 0.45 µm dan 0.65 µm (panjang gelombang sinar tampak). Penyerapan ini menyebabkan rendahnya reflektansi pada vegetasi.

Reflektansi spektral setiap kelas penutupan lahan menjadi tinggi pada band inframerah dekat dan band inframerah sedang. Hal ini dijelaskan oleh Lillesand dan Kiefer (1990) bahwa mulai dari spektrum tampak ke arah inframerah pantulan kira-kira pada 0.7 µm, pantulan vegetasi sehat meningkat dengan cepat. Pada panjang gelombang antara 0.7 µm-1.3 µm, daun memantulkan 50 % tenaga yang datang dan selebihnya ditransmisikan, karena serapan pada daerah spektral ini minimal. Klorofil akan menyerap panjang gelombang biru dan merah pada band 1 dan 2 sehingga vegetasi akan nampak berwarna hijau.

Berdasarkan rentang spektral terlihat bahwa band inframerah sedang dapat membedakan kelas penutupan areal terbuka, vegetasi non hutan alam, hutan alam, dan badan air. Setelah panjang gelombang 1.3 µm, tenaga yang datang pada vegetasi pada dasarnya akan diserap atau dipantulkan, dan tidak ada atau sedikit ditransmisikan. Penurunan pantulan terjadi pada panjang gelombang 1.4 µm, 1.9 µm, dan 2.7 µm karena air yang terdapat di daun menyerap sangat kuat pada panjang gelombang ini.

(34)

Tabel 2. Nilai digital hasil gabungan training area Sumatra dan Kalimantan

Kelas penutupan Band Nilai Min Nilai Max Rata-rata (Mean)

Hutan Alam 1 0 4 0,53

2 1 4 3,08

3 24 56 39,8

4 22 43 31,42

Vegetasi Non Hutan Alam 1 0 5 2,14

2 2 12 6,46

3 53 85 58.08

4 30 99 59,26

Areal terbuka 1 3 10 5.75

2 5 33 14,83

3 27 52 45.72

4 75 98 80.90

Badan Air 1 11 20 13.72

2 2 39 19,4

3 2 26 20.10

4 0 22 24.78

Berdasarkan Tabel 2 di atas, nilai digital dari band penentu (dicetak tebal) akan digunakan dalam penyusunan aturan dengan logika fuzzy. Fungsi keanggotaan masing-masing kelas penutupan lahan bernilai benar, apabila termasuk ke dalam rentang spektral yang telah diidentifikasi. Fungsi keanggotaan untuk nilai spektral dibawah atau diatas rentang tersebut dihitung dengan menggunakan rumus sehingga didapatkan fungsi keanggotaan antara 0 sampai 1 yang merupakan piksel fuzzy. Deskripsi aturan untuk seluruh kelas penutupan dapat dilihat pada Lampiran 2.

(35)

Hasil Klasifikasi Citra

Gambar 2. Hasil Klasifikasi Citra SPOT 4 Vegetasi tahun 2001

(36)

Citra yang diklasifikasi adalah citra yang sudah diperbaiki tingkat keawanannya dengan metode komposit time series. Pada citra tahun 2001 digunakan citra hasil perekaman bulan Juni dan bulan Juli tahun 2001 karena pada bulan tersebut tingkat keawanannya lebih rendah dibandingkan dengan bulan lainnya. Pada citra tahun 2004 digunakan citra hasil perekaman bulan Juli dan Agustus 2004 karena tingkat keawanannya juga lebih rendah dibandingkan dengan bulan lainnya.

Hasil klasifikasi menunjukkan perbedaan yang sangat jelas antara citra tahun 2001 dengan citra tahun 2004. Perbedaaan ini dapat dilihat dari beberapa kelas penutupan yang tidak dapat terklasifikasi dengan baik. Kelas penutupan hutan alam tidak terklasifikasi dengan baik pada tahun 2001 dimana luas hutan alam tahun 2001 lebih kecil dibandingkan dengan luas hutan alam 2004. Hal ini disebabkan banyak daerah yang tertutup haze pada tahun 2001 yang seharusnya kelas penutupannya hutan alam terklasifikasi sebagai kelas penutupan selain hutan alam. Sementara pada tahun 2004 daerah tersebut kelas penutupannya hutan alam. Hal seperti ini banyak terjadi di daerah Papua dan Kalimantan yang kondisi penutupan lahannya banyak tertutup awan dan haze. Penutupan awan tebal dapat dikurangi dengan metode komposit time series tapi tidak semua awan dapat dihilangkan. Begitu juga dengan adanya kabut tipis (haze) yang sulit dihilangkan pada citra multi temporal.

Gangguan berupa haze ini diakibatkan oleh pengaruh interaksi antara radiasi matahari dengan atmosfir bumi. Interaksi ini akan menyebabkan distorsi radiometrik eksternal yang tidak sistematis. Pengaruh dari interaksi tersebut dapat berupa menigkatnya kecerahan (brightness) apabila radiasi matahari dipencarkan (scattering). Sementara apabila radiasi matahari diserap akan menyebabkan menurunnya tingkat kecerahan (Jaya, 2002).

(37)

Disribusi Hutan Alam Tiap Kabupaten dan Laju Perubahannya

Dalam citra SPOT 4 Vegetasi, kelas penutupan hutan alam merupakan penggabungan dari penutupan hutan lahan kering primer, hutan lahan kering sekunder, hutan mangrove primer, hutan rawa primer serta hutan rawa sekunder. Kelas penutupan vegetasi non hutan alam merupakan hasil penggabungan dari penutupan semak/belukar, perkebunan, belukar rawa, sawah, pertanian lahan kering dan pertanian lahan kering campur semusim. Kelas penutupan areal terbuka merupakan penggabungan dari tanah terbuka, pemukiman, transmigrasi, pertambangan dan rawa. Sedangkan penutupan badan air merupakan hasil penggabungan tubuh air, sungai, danau dan tambak.

Berdasarkan hasil klasifikasi citra SPOT 4 Vegetasi didapatkan bahwa hutan alam yang terdapat di Indonesia tahun 2001 seluas 85.126.400 Ha, sementara untuk tahun 2004 hutan alam Indonesia seluas 67.910.500 Ha. Selama kurun waktu 3 tahun dari tahun 2001 sampai 2004, hutan alam yang tersebar di seluruh kabupaten di Indonesia berkurang seluas 17.215.900 Ha atau berkurang 5.738.633 Ha per tahun.

Gambar 4. Peta perubahan hutan alam Indonesia tahun 2001 sampai tahun 2004

(38)

A. Sumatra

Luas hutan alam yang terdapat di Pulau Sumatra tahun 2001 sebesar 15.971.000 Ha, sementara luas hutan alam tahun 2004 seluas 10.475.400 Ha. Selama kurun waktu 3 tahun, hutan alam Sumatra berkurang seluas 5.495.600 Ha atau laju pengurangan hutan alam per tahunnya seluas 1.831.867 Ha. Distribusi hutan alam dan laju pengurangannya di Pulau Sumatra dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2. Grafik luas hutan alam tahun 2004 dan laju perubahan hutan per tahun di

Sumatra

Dari Gambar 2 di atas dapat dilihat bahwa provinsi yang laju pengurangan hutan alam per tahunnya paling tinggi adalah Provinsi Riau seluas 570.000 Ha atau 20,68% dari seluruh luas hutan alam yang terdapat di Provinsi Riau sejak tahun 2001. Sementara provinsi yang laju pengurangan hutan alamnya paling rendah adalah Provinsi Bengkulu seluas 26.200 Ha atau 2,64% dari seluruh hutan alam yang terdapat di Provinsi Bengkulu sejak tahun 2001.

Kabupaten yang laju pengurangan hutan alam per tahunnya paling tinggi adalah Kabupaten Pelalawan di Provinsi Riau seluas 134.600 Ha atau 28,38% dari luas hutan alam yang ada di kabupaten tersebut sejak tahun 2001. Sedangkan kabupaten yang laju pengurangan hutan alamnya paling kecil adalah Kabupaten Bengkulu Selatan di Provinsi Bengkulu seluas 500 Ha atau 0,19% dari luas hutan alam yang ada di kabupaten tersebut.

Luas hutan alam sumatera tahun 2004 dan laju perubahan per tahunnya

(39)

B. Jawa dan Bali

Luas hutan alam yang terdapat di Pulau Jawa dan Bali tahun 2001 sebesar 2.336.600 Ha, sementara luas hutan alam tahun 2004 seluas 1.884.000 Ha. Selama kurun waktu 3 tahun, hutan alam Jawa dan Bali berkurang seluas 452.600 Ha atau laju pengurangan hutan alam per tahunnya seluas 150.867 Ha. Distribusi hutan alam dan laju pengurangannya di Pulau Jawa dan Bali dapat dilihat pada Gambar 3.

Gambar 3. Grafik luas hutan alam tahun 2004 dan laju perubahan per tahun di Jawa

dan Bali

Dari Gambar 3 di atas dapat dilihat bahwa provinsi yang laju pengurangan hutan alam per tahunnya paling tinggi adalah Provinsi Jawa Timur seluas 41.433 Ha atau 27,46% dari seluruh luas hutan alam yang terdapat di Jawa Timur sejak tahun 2001. Sementara provinsi yang laju pengurangan hutan alamnya paling rendah adalah Provinsi D.I. Yogyakarta seluas 3.067 Ha atau 2,03% dari seluruh hutan alam yang terdapat di D.I.Yogyakarta sejak tahun 2001.

Kabupaten yang laju pengurangan hutan alam per tahunnya paling tinggi adalah Kabupaten Sampang di Provinsi Jawa Timur seluas 1200 Ha atau 32,41% dari luas hutan alam yang ada di kabupaten tersebut sejak tahun 2001. Sedangkan kabupaten yang laju pengurangan hutan alamnya paling kecil adalah Kabupaten Malang di Provinsi Jawa Timur seluas 190 Ha atau 0,22% dari luas hutan alam yang ada di kabupaten tersebut.

Luas hutan alam Jawa dan Bali tahun 2004 dan laju perubahan per tahun

Jawa Barat Jawa Tengah Jawa Timur D.I Yogyakarta

Banten Bali

provinsi luas (ribu Ha)

(40)

C. Nusa Tenggara

Luas hutan alam yang terdapat di Kepuluan Nusa Tenggara tahun 2001 sebesar 1.425.500 Ha, sementara luas hutan alam tahun 2004 seluas 1.205.300 Ha. Selama kurun waktu 3 tahun, hutan alam Nusa Tenggara berkurang seluas 220.200 Ha atau laju pengurangan hutan alam per tahunnya seluas 73.400 Ha. Distribusi hutan alam dan laju pengurangannya di Kepulauan Nusa Tenggara dapat dilihat pada Gambar 4.

Gambar 4. Grafik luas hutan alam tahun 2004 dan laju perubahan per tahun di Nusa

Tenggara

Dari Gambar 4 di atas dapat dilihat bahwa provinsi yang laju pengurangan hutan alam per tahunnya paling tinggi adalah Provinsi Nusa Tenggara Barat seluas 34.100 Ha atau 5,51% dari seluruh luas hutan alam yang terdapat di Nusa Tenggara Barat sejak tahun 2001. Sementara provinsi yang laju pengurangan hutan alamnya paling rendah adalah Provinsi Nusa Tenggara Timur seluas 39.200 Ha atau 4,87% dari seluruh hutan alam yang terdapat di Nusa Tenggara Barat.

Kabupaten yang laju pengurangan hutan alam per tahunnya paling tinggi adalah Kabupaten Lembata di Provinsi Nusa Tenggara Timur seluas 5.900 Ha atau 20,83% dari luas hutan alam yang ada di kabupaten tersebut sejak tahun 2001. Sedangkan kabupaten yang laju pengurangan hutan alamnya paling kecil adalah Kabupaten Timor Tengah Utara di Provinsi Nusa Tenggara Timur seluas 100 Ha atau 0,4% dari luas hutan alam yang ada di kabupaten tersebut.

Luas hutan alam Nusa Tenggara tahun 2004 dan laju perubahan hutan per tahun

Nusa Tenggara Barat Nusa Tenggara Timur

Provinsi Luas (ribu Ha)

(41)

D. Kalimantan

Luas hutan alam yang terdapat di Pulau Kalimantan tahun 2001 sebesar 23.751.000 Ha, sementara luas hutan alam tahun 2004 seluas 18.062.900 Ha. Selama kurun waktu 3 tahun, hutan alam Kalimantan berkurang seluas 5.688.100 Ha atau laju pengurangan hutan alam pertahunnya seluas 1.896.033 Ha. Distribusi hutan alam dan laju pengurangannya di Pulau Kalimantan dapat dilihat pada Gambar 5.

Gambar 5. Grafik luas hutan alam tahun 2004 dan laju perubahan per tahun di

Kalimantan

Dari Gambar 5 di atas dapat dilihat bahwa provinsi yang laju pengurangan hutan alam per tahunnya paling tinggi adalah Provinsi Kalimantan Barat seluas 612.300 Ha atau 9,98% dari seluruh luas hutan alam yang terdapat di Kalimantan Barat sejak tahun 2001. Sementara provinsi yang laju pengurangan hutan alamnya paling rendah adalah Provinsi Kalimantan Timur seluas 485.633 Ha atau 6,03% dari seluruh hutan alam yang terdapat di Kalimantan Timur sejak tahun 2001.

Kabupaten yang laju pengurangan hutan alam per tahunnya paling tinggi adalah Kabupaten Sambas di Provinsi Kalimantan Barat seluas 52.200 Ha/tahun atau 22,23% dari luas hutan alam yang ada di kabupaten tersebut sejak tahun 2001. Sedangkan kabupaten yang laju pengurangan hutan alamnya paling kecil adalah Kabupaten Kapuas Hulu di Provinsi Kalimantan Barat seluas 8.200 Ha atau 0,38% dari luas hutan alam yang ada di kabupaten tersebut sejak tahun 2001.

Luas hutan alam Kalimantan tahun 2004 dan laju perubahan hutan per tahun

0 1 2 3 4 5 6 7

Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan Kalimantan Timur

Provinsi Luas (juta Ha)

(42)

E. Sulawesi

Luas hutan alam yang terdapat di Pulau Sulawesi tahun 2001 sebesar 12.893.300 Ha, sementara luas hutan alam tahun 2004 seluas 11.911.600 Ha. Selama kurun waktu 3 tahun, hutan alam Sulawesi berkurang seluas 981.700 Ha atau laju pengurangan hutan alam pertahunnya seluas 327.233 Ha. Distribusi hutan alam dan laju pengurangannya di Pulau Sulawesi dapat dilihat pada Gambar 6.

Gambar 6. Grafik penutupan hutan alam tahun 2004 dan laju perubahan per tahun di

Sulawesi

Dari Gambar 6 di atas dapat dilihat bahwa provinsi yang laju pengurangan hutan alam per tahunnya paling tinggi adalah Provinsi Sulawesi Selatan seluas  131.733 Ha atau 4,37% dari seluruh luas hutan alam yang terdapat di Sulawesi Selatan sejak tahun 2001. Sementara provinsi yang laju pengurangan hutan alamnya paling rendah adalah Provinsi Sulawesi Utara seluas 9.633 Ha atau 2,94 % dari seluruh hutan alam yang terdapat di Sulawesi Utara sejak tahun 2001.

Kabupaten yang laju pengurangan hutan alam per tahunnya paling tinggi adalah Kabupaten Wajo di Provinsi Sulawesi Selatan seluas 19.900 Ha atau 28,55% dari luas hutan alam yang ada di kabupaten tersebut sejak tahun 2001. Sedangkan kabupaten yang laju pengurangan hutan alamnya paling kecil adalah Kabupaten Poso di Provinsi Sulawesi Tengah seluas 700 Ha atau 0,05% dari luas hutan alam yang ada di kabupaten tersebut sejak tahun 2001.

Luas hutan alam Sulawesi tahun 2004 dan laju perubahan hutan per tahun

(43)

F. Maluku

Luas hutan alam yang terdapat di Kepulauan Maluku tahun 2001 sebesar 4.450.000 Ha, sementara luas hutan alam tahun 2004 seluas 4.065.700 Ha. Selama kurun waktu 3 tahun, hutan alam Maluku berkurang seluas 384.300 Ha atau laju pengurangan hutan alam per tahunnya seluas 128.100 Ha. Distribusi hutan alam dan laju pengurangannya di Kepulauan Maluku dapat dilihat pada Gambar 7.

Gambar 7. Grafik luas hutan alam tahun 2004 dan laju perubahan per tahun di

Maluku

Dari Gambar 7 di atas dapat dilihat bahwa provinsi yang laju pengurangan hutan alam per tahunnya paling tinggi adalah Provinsi Maluku Utara seluas 86.300 Ha atau 4,16% dari seluruh luas hutan alam yang terdapat di Maluku. Sementara provinsi yang laju pengurangan hutan alamnya paling rendah adalah Provinsi Maluku seluas 41.500 Ha atau 1,76% dari seluruh hutan alam yang terdapat di Maluku.

Kabupaten yang laju pengurangan hutan alam per tahunnya paling tinggi adalah Kabupaten Halmahera Tengah di Provinsi Maluku Utara seluas 29.300 Ha atau 4,70% dari luas hutan alam yang ada di kabupaten tersebut sejak tahun 2001. Sedangkan kabupaten yang laju pengurangan hutan alamnya paling kecil adalah Kabupaten Maluku Tengah di Provinsi Maluku seluas 17.300 Ha atau 1,13% dari luas hutan alam yang ada di kabupaten tersebut sejak tahun 2001.

Luas hutan alam Maluku tahun 2004 dan laju perubahan hutan per tahun

0 500 1000 1500 2000 2500

Maluku Maluku Utara

provinsi luas (ribu Ha)

(44)

G. Irian

Luas hutan alam yang terdapat di Pulau Irian tahun 2001 sebesar 24.301.300 Ha, sementara luas hutan alam tahun 2004 seluas 20.304.700 Ha. Selama kurun waktu 3 tahun, hutan alam Irian berkurang seluas 3.996.600 Ha atau laju pengurangan hutan alam pertahunnya seluas 1.332.200 Ha. Distribusi hutan alam dan laju pengurangannya di Pulau Irian dapat dilihat pada Gambar 8.

Gambar 8. Grafik penutupan hutan alam tahun 2004 dan laju perubahan hutan per tahun

di Irian

Dari Gambar 8 di atas dapat dilihat bahwa provinsi yang laju pengurangan hutan alam per tahunnya paling tinggi adalah Provinsi Irian Jaya Barat seluas 419.300 Ha atau 7,63% dari seluruh luas hutan alam yang terdapat di Irian. Sementara provinsi yang laju pengurangan hutan alamnya paling rendah adalah Provinsi Papua seluas 912.600 Ha atau 4,86% dari seluruh hutan alam yang terdapat di Irian.

Kabupaten yang laju pengurangan hutan alam per tahunnya paling tinggi adalah Kabupaten Biak Numfor di Provinsi Papua seluas 43.000 Ha atau 19,05% dari luas hutan alam yang ada di kabupaten tersebut sejak tahun 2001. Sedangkan kabupaten yang laju pengurangan hutan alamnya paling kecil adalah Kabupaten Mappi di Provinsi Papua seluas 1.800 Ha atau 0,19% dari luas hutan alam yang ada di kabupaten tersebut sejak tahun 2001.

Luas hutan alam Irian tahun 2004 dan laju perubahan hutan per tahun

(45)

Analisis Faktor yang Mempengaruhi Laju Perubahan Hutan Alam

Setelah mengetahui laju perubahan hutan alam per tahun pada tiap kabupaten di Indonesia, kemudian dilakukan analisis faktor-faktor penentu yang mempengaruhi laju perubahan hutan alam di Indonesia. Faktor-faktor penentu tersebut adalah sisa hutan alam tahun 2001, jumlah penduduk dan pendapatan per kapita tiap kabupaten.

Hubungan antara laju perubahan hutan alam dengan sisa hutan alam tahun 2001 mempunyai nilai korelasi (r) = 0,554. Hal ini berarti hubungan kedua variabel ini bernilai positif. Hubungan antara laju perubahan hutan alam dengan jumlah penduduk mempunyai nilai korelasi = -0,243. Hal ini berarti hubungan kedua variabel ini bernilai negatif. Sedangkan hubungan antara laju perubahan hutan alam dengan pendapatan per kapita tiap kabupaten mempunyai nilai korelasi (r) = 0,437 yang berarti hubungan kedua variabel ini bernilai positif.

Hasil pengujian hubungan laju perubahan hutan alam dengan ketiga faktor tesebut dan model regresinya dapat dilihat pada tabel berikut ini:

Tabel 3. Hasil uji hubungan laju perubahan hutan alam dengan faktor yang mempengaruhinya

Faktor pengaruh

R T-hitung F-hitung T-tabel F-tabel Model

Sisa hutan

(*) = berpengaruh sangat nyata

(46)

Hubungan antara laju perubahan hutan alam dengan jumlah penduduk mempunyai nilai hitung sebesar 4,06. Nilai hitung ini lebih besar dari nilai t-tabelnya pada taraf nyata 5% yaitu 1,960 dan 1% yaitu 1,645. Hal ini berarti jumlah penduduk mempunyai pengaruh yang sangat nyata terhadap laju

perubahan hutan alam dan dapat dijelaskan dengan model regresi y = 24.342 – 0,0124x.

Hubungan laju perubahan hutan alam dengan pendapatan per kapita mempunyai nilai hitung sebesar 7,86. Nilai hitung ini lebih besar dari nilai t-tabelnya pada taraf nyata 5% dan 1%. Hal ini berarti pendapatan per kapita mempunyai pengaruh yang sangat nyata terhadap laju perubahan hutan alam dan dapat dijelaskan dengan model regresi y = 3.007 + 0,0216x.

(47)

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Berdasarkan hasil klasifikasi citra SPOT 4 Vegetasi didapatkan bahwa hutan alam yang terdapat di Indonesia tahun 2001 seluas 85.126.400 Ha, sementara untuk tahun 2004 hutan alam Indonesia seluas 67.910.500 Ha. Selama kurun waktu 3 tahun dari tahun 2001 sampai 2004, hutan alam yang tersebar di seluruh kabupaten di Indonesia berkurang seluas 17.215.900 Ha atau berkurang 5.738.633 Ha per tahun.

Kabupaten yang mengalami pengurangan hutan alam paling besar di Indonesia adalah Kabupaten Waropen di Provinsi Papua dengan luas pengurangan 350.267 Ha/tahun. Sementara kabupaten yang mempunyai sisa hutan alam paling luas pada tahun 2004 adalah Kabupaten Kapuas Hulu di Provinsi Kalimantan Barat sebesar 2.178.900 Ha atau sekitar 50,10% dari luas hutan alam yang terdapat di Kalimantan Barat.

Laju perubahan hutan alam mempunyai nilai korelasi yang positif terhadap sisa hutan alam tahun 2001 dan pendapatan per kapita serta mempunyai korelasi yang negatif terhadap jumlah penduduk.

Sisa hutan alam tahun 2001, jumlah penduduk dan pendapatan per kapita mempunyai pengaruh yang sangat nyata terhadap laju perubahan hutan alam. Model regresi yang diperoleh adalah:

1. y = 10.506 + 0,0313x untuk hubungan laju perubahan hutan alam dengan sisa hutan alam tahun 2001.

2. y = 24.342 – 0,0124x untuk hubungan laju perubahan hutan alam dengan jumlah penduduk.

3. y = 3.007 + 0,0216x untuk hubungan laju perubahan hutan alam dengan pendapatan perkapita.

(48)

Saran

Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dengan menggunakan citra SPOT 4 Vegetasi dengan periode perekaman terbaru (tahun 2006) sehingga diperoleh data luas hutan alam dan laju pengurangannya yang terbaru.

Sebagai bahan pertimbangan bagi pengelolaan hutan di daerah, data dan informasi luas penutupan hutan alam ini dapat digunakan untuk mengetahui laju deforestasi di tingkat kabupaten sehingga pengelolaan hutan di daerah dapat dikelola secara lestari.

(49)

DAFTAR PUSTAKA

_____ . 2000. Vegetation Overview. http://www.free.vgt.vito.be/overview.html [ 26 Januari 2005].

Erdas, Inc. 2001. Expert Classifier Overview. Atlanta, Georgia: Erdas, Inc.

Erdas, Inc. 2001. Erdas Field Guide. Atlanta, Georgia: Erdas, Inc.

Fitria, W. 2005. Aplikasi Klasifikasi Knowledge Based dengan Teknik Fuzzy pada SPOT 4 Vegetation (Studi Kasus Di Pulau Sumatra)[skripsi]. Bogor: Departemen Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor.

Geist and Lambin. 2002. Proximate Causes and Underlying Driving Forces of Tropical Deforestation. http://www.giscenter.isu.edu [10 April 2004].

Haris, H. 2005. Analisis Perubahan Penutupan Lahan di Kawasan Lindung (Studi Kasus Di Wilayah Perum Perhutani Unit I KPH Kedu Utara Kabupaten Wonosobo, Jawa Tengah)[skripsi]. Bogor: Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor.

Harjadi, B. 2000. Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografis. Surakarta: BP2TPDAS.

Jaya, I.N.S. 2002. Penginderaan Jauh Satelit Untuk Kehutanan. Bogor: Laboratorium Inventarisasi Hutan, Jurusan Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor.

Kartikasari, R. 2004. Klasifikasi Penutupan Lahan dengan Teknik Maksimum Likelihood dan Fuzzy pada SPOT 4 Vegetation (Studi Kasus di Pulau Kalimantan) [skripsi]. Bogor: Jurusan Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor.

Kutner M, Neter J dan Wasserman W. 1990. Model Linear Terapan, Edisi Ketiga, Buku I : Analisis Regresi Linear Sederhana. Terjemahan. Jurusan Statistika FMIPA. Institut Pertanian Bogor.

Lillesand dan Kiefer. 1990. Penginderaan Jauh dan Interpretasi Citra. Terjemahan dari: Remote Sensing and Image Interpretation.Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Lo C.P. 1995. Penginderaan Jauh Terapan. Jakarta: Universitas Indonesia Press.

(50)

Pal, S dan Majumder, D.K. 1989. Fuzzy Pendekatan Matematik Untuk Pengenalan Pola. Sardy S, penerjemah. Jakarta; Universitas Indonesia Press. Terjemahan dari: Fuzzy Mathematical Approach to Pattern Recognition.

Purwadhi. 2001. Interpretasi Citra Dijital. Jakarta: Grasindo.

Prabowo, A.E. 2000. Penggunaan Model Kurva Fuzzy Nonlinear dan Metode Defuzifikasi Maximum Output pada Prototipe Spela Tabutro [skripsi]. Bogor: Jurusan Ilmu Komputer, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor.

Prasetyo, A. 2005. Aplikasi Klasifikasi Knowledge Based dengan Teknik Fuzzy pada SPOT 4 Vegetation (Studi Kasus Di Pulau Kalimantan)[skripsi]. Bogor: Departemen Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor.

Richards, J.A. 1993. Remote Sensing Digital Image Analysis: An Introduction. Berlin: Springer-verlag.

Rusli, S. 1983. Kepadatan Penduduk dan Peledakannya. Jakarta: Balai Pustaka.

Suartana, N.N. 2002. Pengembangan Basis Data Relasional Fuzzy untuk Pengukuran Tingkat Kemiskinan Penduduk [skripsi]. Bogor: Jurusan Ilmu Komputer, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor.

Sudjana. 1992. Teknik Analisis Regresi dan Korelasi bagi Para Peneliti. Bandung: Tarsito.

Suhendang, E. 2002. Pengantar Ilmu Kehutanan. Bogor: Yayasan penerbit Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor.

(51)

(52)

Lampiran 1. Rule based penutupan hutan alam

maka fungsi keanggotaan piksel = 1(piksel bernilai benar)

Jika nilai band 1 lebih besar dari 4 maka dihitung menggunakan rumus fuzzy

DN band 4 lebih kecil sama dengan 43

maka fungsi keanggotaan piksel = 1(piksel bernilai benar)

Jika DN band 4 lebih kecil dari 22 maka

dihitung dengan menggunakan rumus fuzzy

Jika nilai band 4 lebih besar dari 43 maka

dihitung dengan menggunakan rumus fuzzy

CONDITIONAL {

Jika penjumlahan fungsi keanggotaan pada band penentu sama dengan 2 maka fungsi keanggotaan piksel =1

Jika penjumlahan fungsi keanggotaan pada

band penentu lebih kecil dari 2 maka

fungsi keanggotaan pada citra adalah nilai penjumlahan semua band itu sendiri dibagi dengan 2

Lampiran 2. Rule based penutupan vegetasi non hutan alam

No Variabel Rule based Aplikasi rule based pada ERDAS

1 Band 3

Jika DN band 3 lebih besar sama

dengan 53 maka fungsi

keanggotaan piksel = 1 (piksel bernilai benar)

Jika nilai band 3 lebih besar sama dengan 40 dan lebih kecil dari 53

maka dihitung dengan

menggunakan rumus fuzzy

(Conditional 2)

(53)

Lampiran 3. Rule based penutupan areal terbuka

keanggotaan piksel = 1 (piksel bernilai benar)

Jika DN band 1 lebih kecil dari 3 maka dihitung dengan mengggunakan rumus fuzzy

Jika nilai band 1 lebih besar dari 10

maka dihitung dengan

menggunakan rumus fuzzy

CONDITIONAL {($n1_komposit07(1) >= 3 AND $n1_komposit07(1) <= 10 == 1)1, ($n1_komposit07(1) < 3 == (3

keanggotaan piksel = 1 (piksel bernilai benar)

Jika DN band 3 lebih kecil dari 27 maka dihitung dengan mengggunakan rumus fuzzy

Jika nilai band 3 lebih besar dari 52

maka dihitung dengan

menggunakan rumus fuzzy

CONDITIONAL {

($n1_komposit07(3) >= 27 AND $n1_komposit07(3) <= 52 == 1)1, ($n1_komposit07(3) < 27 == (27 -

keanggotaan piksel = 1 (piksel bernilai benar)

Jika DN band 4 lebih kecil dari 75

dan lebih besar dari 44 maka

dihitung dengan menggunakan rumus fuzzy

Jika nilai band 4 lebih kecil dari 37

maka dihitung dengan

menggunakan rumus fuzzy

CONDITIONAL { ($n1_komposit07(4) >= 75 == 1)1,

($n1_komposit07(4) < 75 AND $n1_komposit07(4) >= 44 == (44 - $n1_komposit07(4)) / (75 - 44))(44 - $n1_komposit07(4)) / (75 - 44), ($n1_komposit07(4) > 0 AND

Jika penjumlahan band penentu

sama dengan 3 maka fungsi

keanggotaan pada citra adalah 1 (fungsi keanggotaan benar untuk areal terbuka)

Jika penjumlahan band penentu

lebih kecil dari 3, maka fungsi keanggotaan piksel tersebut adalah nilai penjumlahan itu sendiri dibagi dengan 3 (jumlah band penentu)

(54)

Lampiran 4. Rule based penutupan badan air

No Variabel Rule based Aplikasi rule based pada ERDAS

1 Band 1

Jika DN band 1 lebih besar sama

dengan 11 maka fungsi

keanggotaan piksel = 1 (piksel bernilai benar)

Jika DN band 1 lebih kecil dari 11 dan jika DN band 1 lebih besar dari 0, maka dihitung dengan menggunakan rumus fuzzy

CONDITIONAL { ($n1_komposit07(1) >= 11 == 1)1,

($n1_komposit07(1) < 11 AND

menggunakan rumus fuzzy

CONDITIONAL { ($n1_komposit07(3) > 2 AND

$n1_komposit07(3) <= 26 == 1)1, ($n1_komposit07(3) < 2 ==

keanggotaan piksel = 1 (piksel bernilai benar)

Jika DN band 4 lebih besar dari 22

maka dihitung dengan

menggunakan rumus fuzzy

CONDITIONAL { ($n1_komposit07(4) > 0 AND

$n1_komposit07(4) <= 22 == 1)1, ($n1_komposit07(4) > 22 == ($n1_komposit07(4) - 22)

/($n1_komposit07(4) - 24.78))($n1_komposit07(4) - 22) /

($n1_komposit07(4) - 24.78) }

5 Badan

air

Jika penjumlahan band penentu

sama dengan 3 maka fungsi

keanggotaan pada citra adalah 1 (fungsi keanggotaan benar untuk areal terbuka)

Jika penjumlahan band penentu

lebih kecil dari 3, maka fungsi keanggotaan piksel tersebut adalah nilai penjumlahan itu sendiri dibagi dengan 3 (jumlah band penentu)

Gambar

Tabel 1. Karakteristik Saluran Spektral Citra Satelit SPOT 4 Vegetasi
Tabel 1. Lanjutan.
Gambar 1  Rentang Spektral Gabungan Kelas Penutupan Lahan pada tiap Band
Tabel 2. Nilai digital hasil gabungan training area Sumatra dan Kalimantan
+7

Referensi

Dokumen terkait

Aplikasi ini menyediakan fitur yang membantu pegawai dalam mengelola kegiatan yang ada di CV.KUPJ TRAVEL mulai dari pemesanan, pengelolaan pegawai, pengelolaan

Didalam tiap siklusnya peneliti selalu melaksanakan tahapan-tahapan berikut ini: (1) perencanaan, di dalam perencanaan ini peneliti dan guru melakukan kegiatan

Det er derfor mere sandsynligt at permakulturen bliver udbredt ved at integrere sig i det sociotekniske regime på samme måde som økologien gjorde, eller ved at integrere sig

Kedua, setelah menyaksiskan video yang ditampilkan maka siswa mempraktikan teknik yang telah disaksikan selanjutnya setelah proses pembelajaran yang diberikan

transfusi darah, melaksanakan pola dan tata cara kerja pelayanan darah, melaksanakan pengawasan, pengendalian dan evaluasi kegiatan pelayanan darah; dan melakukan koordinasi

Berdasarkan dari analisa hasil statistik penelitian tentang pengaruh latihan pliometrik Jump over barrier dan Double leg bound terhadap kekuatan otot tungkai pada

Perbandingan hasil perhitungan dan pengukuran jarak menggunakan sensor inframerah Dalam uji sensor ultrasonik, pengujian dilakukan menggunakan mikrokontroler untuk membaca sinyal