• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kedudukan Lembaga Pemasyarakatan Dalam Pelaksanaan Rehabilitasi Terhadap Pelaku Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkotika Dan Psikotropika

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Kedudukan Lembaga Pemasyarakatan Dalam Pelaksanaan Rehabilitasi Terhadap Pelaku Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkotika Dan Psikotropika"

Copied!
162
0
0

Teks penuh

(1)

KEDUDUKAN LEMBAGA PEMASYARAKATAN DALAM

PELAKSANAAN REHABILITASI TERHADAP

PELAKU TINDAK PIDANA PENYALAHGUNAAN

NARKOTIKA DAN PSIKOTROPIKA

TESIS

Oleh

ARDIANSYAH 057005027/HK

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(2)

KEDUDUKAN LEMBAGA PEMASYARAKATAN DALAM

PELAKSANAAN REHABILITASI TERHADAP

PELAKU TINDAK PIDANA PENYALAHGUNAAN

NARKOTIKA DAN PSIKOTROPIKA

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Magister Hukum

dalam Program Magister Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

Oleh

ARDIANSYAH 057005027/HK

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(3)

Judul Tesis : KEDUDUKAN LEMBAGA PEMASYARAKATAN

DALAM PELAKSANAAN REHABILITASI

TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA

PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA DAN

PSIKOTROPIKA Nama Mahasiswa : Ardiansyah Nomor Pokok : 057005027 Program Studi : Ilmu Hukum

Menyetujui Komisi Pembimbing

(Prof. Chainur Arrasjid, SH) Ketua

(Prof. Dr. Alvi Syahrin, SH, MS) (Syafruddin S. Hasibuan, SH, MH, DFM) Anggota Anggota

Ketua Program Studi D e k a n

(Prof. Dr. Suhaidi, SH, MH) (Prof. Dr. Runtung, SH, M.Hum)

(4)

Telah diuji pada Tanggal 17 Juni 2011

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. Chainur Arrasjid, SH

Anggota : 1. Prof. Dr. Alvi Syahrin, SH, MS 2. Syafruddin S. Hasibuan, SH, MH, DFM 3. Prof. Dr. Budiman Ginting, SH, M.Hum

(5)

ABSTRAK

Hal paling penting dalam upaya penanggulangan penyalahgunaan Narkotika ini yang justru seringkali diabaikan terutama oleh aparat penegak hukum yang menangani masalah narkotika dan obat-obatan terlarang ini adalah adanya upaya rehabilitasi terhadap para pemakai agar dikemudian hari tidak lagi mengulangi tindak pidana yang sama. Hal yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini yaitu Bagaimana kedudukan Lembaga Pemasyarakatan dalam penanganan tindak pidana penyalahgunaan narkotika dan psikotropika serta Bagaimana kebijakan Lembaga Pemasyarakatan dalam pelaksanaan rehabilitasi terhadap pelaku tindak pidana penyalahgunaan narkotika dan psikotropika.

Metode yang digunakan dalam Penelitian ini bersifat deskriptif analitis, artinya metode pendekatan ini dipergunakan bertitik tolak dan menganalisis terhadap pelaksanaan rehabilitasi terhadap pelaku tindak pidana Narkotika dan Psikotropika yang dilakukan oleh Lembaga Pemasyarakatan.

Ketentuan hukum yang mengatur mengenai vonis rehabilitasi terhadap pecandu narkotika diatur dalam:

a. Pasal 54, 55, 103 dan terkait dengan Pasal 127 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika;

b. Pasal 41 Undang-undang Nomor 5 tahun 1997 tentang Psikotropika.

c. Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 04 Tahun 2010 tentang Penempatan Penyalahgunaan, Korban Penyalahgunaan dan Pecandu Narkotika ke dalam Lembaga Rehabilitasi Medis dan Rehabilitasi Sosial.

d. Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor. 07 Tahun 2009 tentang Menempatkan Pemakai Narkoba ke dalam Panti Terapi dan Rehabilitasi;

Melalui pelaksanaan hukuman rehabilitasi tersebut diharapkan dapat menjadi suatu bentuk langkah yang lebih efektif dalam rangka memutus mata rantai peredaran gelap narkotika dan psikotropika. Untuk itu masalah pelaksanaan hukuman rehabilitasi bagi pelaku kejahatan penyalahgunaan narkotika dan psikotropika yang berada pada level pemakai/pecandu ini perlu mendapat perhatian yang serius agar dapat benar-benar diterapkan secara tepat, dan dalam hal ini Lembaga Pemasyarakatan sebagai bagian dari criminal justice

system yang bertugas untuk melaksanakan upaya rehabilitasi tersebut harus

mampu menjawab tantangan tersebut dengan menyediakan sarana dan prasarana yang mampu menunjang pelaksanaannya demi menciptakan generasi mendatang yang berkualitas dan bebas dari pengaruh buruk penyalahgunaan Narkotika dan Psikotropika.

(6)

ABSTRACT

The most important thing in the response to this the fact Narcotics abuse is often overlooked, especially by law enforcement officers who deal with the problem of narcotics and illicit drugs is the rehabilitation of the users so that in future no longer repeat the same crime. This is a problem in this research that the position of Prison How in the handling of criminal misuse of narcotic and psychotropic substances as well as policy How Penitentiary in the rehabilitation of the criminal misuse of narcotic and psychotropic substances.

The method used in this study is descriptive analytical, meaning that the method used dotted reject this approach and analyze the implementation of the rehabilitation of perpetrators of criminal acts committed Narcotic Drugs and Psychotropic Substances by the Penitentiary.

Legal provisions governing the sentencing rehabilitation of drug addicts is set in:

a. Article 54, 55, 103 and related to Article 127 of Law

Number 35 Year 2009 on Narcotics;

b. Article 41 of Law No. 5 of 1997 on Psychotropic Substances.

c. Supreme Court Circular No. 04 of 2010 on Placement Abuse, Abusers and

Addicts Narcotics into the Rehabilitation Institute of Medical and Rehabilitation Social.

d. Supreme Court Circular No.. 07 Year 2009 on

The user puts into the Therapeutic Drug Therapy and

Rehabilitation;

Through the execution of rehabilitation is expected to be a more effective bentu step in order to break the chain of illicit narcotic and psychotropic substances. For that matter the execution of rehabilitation for perpetrators of abuse of narcotics and psychotropic substances which are at the level of user / addict needs to get serious attention in order to truly be applied appropriately, and in this case the Penitentiary as part of the criminal justice system whose job is to implement the rehabilitation efforts should be able to answer this challenge by providing infrastructure capable of supporting its implementation in order to create the next generation of quality and free from adverse effects of abuse Narcotics and Psychotropic Substances.

(7)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan atas kehadirat Allah SWT, karena berkat bimbingan serta rahmat-Nya Thesis ini yang berjudul “Kedudukan Lembaga Pemasyarakatan Dalam Pelaksanaan Rehabilitasi Terhadap Pelaku Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkotika dan Psikotropika” ini dapat diselesaikan dalam rangka memenuhi syarat untuk menyelesaikan pendidikan pada Sekolah Pascasarjana meraih gelar Magister Hukum di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Penulisan Tesis ini tak lepas dari peran dan dukungan semua pihak. Penulis mengucapkan terima kasih yang tak terhingga kepada semua pihdak yang telah mendoakan, membantu, dan mendukung sampai selesainya skripsi ini kepada:

1. Rektor Universitas Sumatera Utara, Bapak Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, MSc (CTM), SpA(K) diberikan kepada penulis untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan.

2. Dekan Fakultas Hukum Prof. Dr. Runtung, SH, M.Hum, atas kesempatan menjadi mahasiswa Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

(8)

4. Prof. Chainur Arrasyid, SH, selaku Ketua Komisi Pembimbing yang telah memberikan arahan dan bimbingan kepada Penulis.

5. Prof. Dr. Alvi Syahrin, SH, MS, sebagai Anggota Komisi Pembimbing yang telah memberikan arahan dan bimbingan bagi Penulis.

6. Syafruddin Sulung Hasibuan, SH, MH, DFM, sebagai Anggota Komisi Pembimbing penulis yang dengan penuh perhatian memberikan pengarahan dan bimbingan kepada Penulis dalam menyelesaikan tesis ini. 7. Prof. Dr. Budiman Ginting, SH, M.Hum, sebagai Dosen Penguji penulis yang

telah banyak memberi masukan berharga dalam Tesis ini.

8. Prof. Dr. Sunarmi, SH, M.Hum, sebagai Dosen Penguji penulis yang telah banyak memberi masukan berharga dalam Tesis ini

9. Bapak dan Ibu dosen pengajar serta seluruh staf pegawai di Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

10. Kedua orang tua penulis, ayahanda H. Marlan, SH., dan ibunda Hj. Edwina Lubis yang telah bersusah payah memberikan segala bentuk dorongan, mencurahkan segenap kasih sayang dan yang selalu mendoakan Penulis agar dapat segera menyelesaikan Tesis ini.

(9)

12. Rekan-rekan seprofesi di Lingkungan Kejaksaan RI yang telah bersedia menjadi tempat bagi Penulis untuk bertukar fikiran selama penyelesaian pendidikan ini.;

13. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah memberikan bantuan dalam penyelesaian tesis ini dengan kontribusi apapun yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna. Saran dan kritik yang membangun dari pembaca sangat penulis harapkan demi penulisan karya berikutnya.

Akhir kata Penulis mohon maaf yang sebesar-besarnya jika dalam proses pembuatan Tesis ini penulis melakukan kesalahan-kesalahan baik yang disengaja maupun yang tidak disengaja. Semoga Allah SWT mengampuni kesalahan kita dan berkenan menunjukan jalan yang benar bagi kita semua.

Semoga skripsi ini bermanfaat untuk kita semua, Amin.

Medan, Juni 2011 Penulis,

(10)

RIWAYAT HIDUP

Nama : Ardiansyah

Tempat/Tanggal Lahir : P. Siantar, 06 April 1980 Jenis Kelamin : Pria

Agama : Islam

Pekerjaan/ Jabatan : PNS/ Kasubsi Tindak Pidana Umum Alamat : Jl. Selamet Gg Keluarga No.2 Medan Pendidikan : SD Negeri 1 Sigli Tamat Tahun 1992

SMP Negeri 1 Sigli Tamat Tahun 1995 SMA Negeri 1 Sigli Tamat Tahun 1998

Strata Satu (S1) Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Tamat Tahun 2004

(11)

DAFTAR ISI

F. Kerangka Teori dan Konsepsi ... 11

G. Metode Penelitian ... 17

BAB II : PENERAPAN ASAS HUKUM PIDANA DALAM PENANGANAN KASUS TINDAK PIDANA NARKOTIKA DAN PSIKOTROPIKA ………... 20

A. Inventarisasi Peraturan Perundang-undangan yang terkait dengan Tindak Pidana Narkotika dan Psikotropika ... 20

B. Azas Hukum Pidana Yang diterapkan Terhadap Terpidana Pengguna Narkotika dan Psikotropika ... 21

C. Penerapan azas hukum pidana ... 23

D. Sistem Pemidanaan Terhadap Pelaku Penyalahgunaan Narkotika dan Psikotropika ……….………. 28

BAB III : KEDUDUKAN LEMBAGA PEMASYARAKATAN DALAM PROSES HUKUM TERHADAP TINDAK PIDANA PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA ………...……. 37

A. Kebijakan Kriminal Dan Sistem Peradilan Pidana ... 37

(12)

Narkotika Dan Psikotropika …………...……….63

D. Kedudukan Lembaga Pemasyarakatan……… 67

BAB IV : KEBIJAKAN LEMBAGA PEMASYARAKATAN DALAM PELAKSANAAN REHABILITASI TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA DAN PSIKOTROPIKA ……… 90

A. Peran Lembaga Pemasyarakatan Dalam Pelaksanaan Rehabilitasi Terhadap Pelaku Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkotika Dan Psikotropika... 90

B. Kebijakan Lembaga Pemasyarakatan Dalam Pelaksanaan Rehabilitasi Terhadap Pelaku Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkotika Dan Psikotropika ...120

BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN ……….140

A. Kesimpulan ...140

B. Saran ...143

(13)

ABSTRAK

Hal paling penting dalam upaya penanggulangan penyalahgunaan Narkotika ini yang justru seringkali diabaikan terutama oleh aparat penegak hukum yang menangani masalah narkotika dan obat-obatan terlarang ini adalah adanya upaya rehabilitasi terhadap para pemakai agar dikemudian hari tidak lagi mengulangi tindak pidana yang sama. Hal yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini yaitu Bagaimana kedudukan Lembaga Pemasyarakatan dalam penanganan tindak pidana penyalahgunaan narkotika dan psikotropika serta Bagaimana kebijakan Lembaga Pemasyarakatan dalam pelaksanaan rehabilitasi terhadap pelaku tindak pidana penyalahgunaan narkotika dan psikotropika.

Metode yang digunakan dalam Penelitian ini bersifat deskriptif analitis, artinya metode pendekatan ini dipergunakan bertitik tolak dan menganalisis terhadap pelaksanaan rehabilitasi terhadap pelaku tindak pidana Narkotika dan Psikotropika yang dilakukan oleh Lembaga Pemasyarakatan.

Ketentuan hukum yang mengatur mengenai vonis rehabilitasi terhadap pecandu narkotika diatur dalam:

a. Pasal 54, 55, 103 dan terkait dengan Pasal 127 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika;

b. Pasal 41 Undang-undang Nomor 5 tahun 1997 tentang Psikotropika.

c. Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 04 Tahun 2010 tentang Penempatan Penyalahgunaan, Korban Penyalahgunaan dan Pecandu Narkotika ke dalam Lembaga Rehabilitasi Medis dan Rehabilitasi Sosial.

d. Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor. 07 Tahun 2009 tentang Menempatkan Pemakai Narkoba ke dalam Panti Terapi dan Rehabilitasi;

Melalui pelaksanaan hukuman rehabilitasi tersebut diharapkan dapat menjadi suatu bentuk langkah yang lebih efektif dalam rangka memutus mata rantai peredaran gelap narkotika dan psikotropika. Untuk itu masalah pelaksanaan hukuman rehabilitasi bagi pelaku kejahatan penyalahgunaan narkotika dan psikotropika yang berada pada level pemakai/pecandu ini perlu mendapat perhatian yang serius agar dapat benar-benar diterapkan secara tepat, dan dalam hal ini Lembaga Pemasyarakatan sebagai bagian dari criminal justice

system yang bertugas untuk melaksanakan upaya rehabilitasi tersebut harus

mampu menjawab tantangan tersebut dengan menyediakan sarana dan prasarana yang mampu menunjang pelaksanaannya demi menciptakan generasi mendatang yang berkualitas dan bebas dari pengaruh buruk penyalahgunaan Narkotika dan Psikotropika.

(14)

ABSTRACT

The most important thing in the response to this the fact Narcotics abuse is often overlooked, especially by law enforcement officers who deal with the problem of narcotics and illicit drugs is the rehabilitation of the users so that in future no longer repeat the same crime. This is a problem in this research that the position of Prison How in the handling of criminal misuse of narcotic and psychotropic substances as well as policy How Penitentiary in the rehabilitation of the criminal misuse of narcotic and psychotropic substances.

The method used in this study is descriptive analytical, meaning that the method used dotted reject this approach and analyze the implementation of the rehabilitation of perpetrators of criminal acts committed Narcotic Drugs and Psychotropic Substances by the Penitentiary.

Legal provisions governing the sentencing rehabilitation of drug addicts is set in:

a. Article 54, 55, 103 and related to Article 127 of Law

Number 35 Year 2009 on Narcotics;

b. Article 41 of Law No. 5 of 1997 on Psychotropic Substances.

c. Supreme Court Circular No. 04 of 2010 on Placement Abuse, Abusers and

Addicts Narcotics into the Rehabilitation Institute of Medical and Rehabilitation Social.

d. Supreme Court Circular No.. 07 Year 2009 on

The user puts into the Therapeutic Drug Therapy and

Rehabilitation;

Through the execution of rehabilitation is expected to be a more effective bentu step in order to break the chain of illicit narcotic and psychotropic substances. For that matter the execution of rehabilitation for perpetrators of abuse of narcotics and psychotropic substances which are at the level of user / addict needs to get serious attention in order to truly be applied appropriately, and in this case the Penitentiary as part of the criminal justice system whose job is to implement the rehabilitation efforts should be able to answer this challenge by providing infrastructure capable of supporting its implementation in order to create the next generation of quality and free from adverse effects of abuse Narcotics and Psychotropic Substances.

(15)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

(16)

Penyalahgunaan Narkotika dan Psikotropika tidak hanya sebagai bahaya laten, tetapi sudah bencana bangsa ini jika terus dibiarkan. Diperkirakan 80 persen pemakai barang haram itu siswa dan mahasiswa yang merupakan generasi bangsa.1 Jika terus dibiarkan, bangsa ini dalam waktu 10 tahun ke depan akan kehilangan putri-putri terbaiknya, ancaman Lost Generation akibat Penyalahgunaan Narkotika dan Psikotropika di depan mata.2

Saat ini terjadi kecenderungan penciptaan The Lost Generation dari generasi muda Indonesia melalui upaya pembusukan bangsa lewat jalur Narkotika dan Psikotropika serta obat-obatan berbahaya (Narkoba). Untuk itu perlu dilakukan berbagai cara penanganan pengobatan secara fisik, moral dan spiritual bagi generasi muda yang terkena Narkotika dan Psikotropika dan bahkan tindakan hukum.

Narkotika dan Psikotropika dan segala jenis obat-obatan berbahaya lainnya sudah merambah kemana-mana dengan sasaran bukan hanya tempat-tempat hiburan malam, sangat merisaukan. Berdasarkan data yang dimiliki oleh Badan Narkotika Nasional (BNN) hingga akhir tahun 2006 jumlah pemakai Narkotika dan Psikotropika di Indonesia diperkirakan telah mencapai 3,6 juta orang atau sekitar 1,5 persen dari total penduduk di Indonesia. Sebanyak 15 ribu orang harus meregang nyawa setiap tahun akibat memakai Narkotika dan Psikotropika, 78 persen di antaranya usia 19-21 tahun. Angka itu belum termasuk mereka yang terkena dampak lain akibat kasus Narkotika dan Psikotropika. Lebih dari 500 ribu orang positif

1

Heriadi Willy, Berantas Narkoba Tak Cukup Hanya Bicara (Tanggung Jawab & Opini), (Yogyakarta : Penerbit Kedaulatan Rakyat, 2005), hal. 188.

2

(17)

terkena AIDS (Acquired Immune Deficiency Syndrome) atau sindrom kehilangan kekebalan tubuh yang hingga kini belum ditemukan obatnya.3

Cara-cara pengedar dalam menjerat korban sudah semakin intensif dan canggih, mulai cara-cara klasik, dengan membujuk korban untuk mencoba secara gratis, menawarkannya sebagai gaya hidup modern kepada para remaja, mempromosikan sebagai terapi melangsingkan tubuh, hingga sebagai obat mengatasi rasa capek, dan yang cukup memprihatinkan, dengan cara keji anak-anak ditingkat sekolah dasar dibujuk dengan psikoterapi berwujud permen dan minuman yang dicampur dengan cara diberikan gratis dan dipikat dengan iming-iming uang agar mau mencobanya. Hal ini diperkuat dari temuan Badan Narkotika Nasional (BNN), tercatat sekitar 83 ribu pelajar mengonsumsi Narkotika dan Psikotropika. Data terakhir tahun 2006 tercatat 8.449 pengguna dari siswa SD, meningkat lebih dari 30 persen dari tahun 2005 sebanyak 2.542 orang. Pengguna di kalangan siswa sekolah menengah pada tahun 2004 terdapat 18 ribu orang dan naik menjadi 73.253 orang di tahun 2007.4 Berdasarkan hasil survey terbaru BNN tahun 2009 menyimpulkan bahwa prevalensi penyalahguna Narkotika dan Psikotropika di kalangan pelajar dan mahasiswa adalah 4,7% atau sekitar 921.695 orang.5

Peredaran obat terlarang Narkotika dan Psikotropika secara ilegal di Indonesia sejak beberapa tahun terakhir ini semakin meningkat. Indonesia yang

4

Siswantoro Sunarso, Op Cit. Hal. 75. 5

(18)

tadinya hanya sebagai negara transit belakangan telah dijadikan daerah tujuan operasi oleh jaringan pengedar narkotik internasional. Ini terbukti dengan banyaknya pengedar berkebangsaan asing yang tertangkap berikut dengan penyitaan barang bukti Narkotika dan Psikotropika dalam jumlah besar.

Hal ini sangat membahayakan terhadap kelangsungan hidup dan kehidupan manusia, melemahkan ketahanan bangsa dan berpengaruh terhadap proses pembangunan nasional. Perkembangan kejahatan Narkotika dan Psikotropika sangat pesat bila dibandingkan kejahatan lainnya, karena melibatkan jaringan sindikat internasional (international crime) dengan 1001 macam modus operandi dan juga terorganisir dengan baik, sehingga disebut juga sebagai kejahatan yang terorganisir (organized crime) dan merupakan kejahatan internasional tanpa memandang batas negara, maka upaya penanggulangannya juga harus bersifat global dan komprehensif yang artinya memerlukan kerjasama antar negara, kerjasama antar aparat pemerintah dalam suatu negara, yang didukung partipasi masyarakat secara konsisten dan berkesinambungan.

Salah satu usaha mengatasi hal tersebut pemerintah telah mengeluarkan berbagai aturan perundang-undangan yang mengatur masalah Narkotika dan Psikotropika. Yaitu Undang-undang Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika dan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika.

(19)

Narkotika dan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika tersebut. Demikian pula dengan aturan hukum yang sifatnya konvensional, yaitu Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Sebagaimana disebut dalam pasal 204 KUHP, bahwa siapa saja yang mengedarkan barang-barang atau makanan atau makanan yang membahayakan dapat dikenakan sanksi pidana.

Penegakan hukum terhadap tindak pidana Narkotika telah banyak dilakukan oleh aparat penegak hukum dan telah banyak mendapat putusan hakim di sidang pengadilan. Penegakan hukum ini diharapkan mampu sebagai faktor penangkal terhadap merebaknya peredaran perdagangan Narkotika, namun dalam kenyataannya justru semakin intensif dilakukan penegakan hukum, meningkat pula peredaran perdagangan Narkotika tersebut.6

Dalam upaya penegakan hukum ditengah tengah kehidupan masyarakat, peraturan hukum yang dibuat hanya merupakan suatu bagian dari upaya pemberantasan agar dapat menciptakan rasa aman dan berkeadilan. Dan perangkat hukum yang ada memang sudah cukup mewakili mengenai sanksi hukum bagi yang memiliki, menyimpan, menguasai atau menyediakan secara tanpa hak Narkotika golongan I akan dikenai ancaman hukuman minimal 4 tahun, maksimal 12 tahun dan denda minimal 800 juta, maksimal Rp. 8 Miliar. Jika dilakukan terorganisir akan diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau 20 tahun.

Akan tetapi, baik UU tentang Narkotika maupun KUHP tersebut ternyata belum dapat menjawab persoalan dalam hal pelaksanaan pemberantasan tindak

6

(20)

kejahatan itu secara efektif. Bahkan dianggap tindakan yang dilakukan selama ini terhadap para pelakunya hanya sekedar menangkap kemudian dilepaskan kembali dengan alasan tidak cukup bukti. Kalaupun dijatuhi hukuman penjara, sepertinya tidak membuat para pemakai merasa jera untuk mengulangi perbuatan itu lagi. Kecenderungan untuk mengulanginya bahkan menjadi semakin tinggi. Tidak salah bila kemudian peredaran Narkotika tersebut semakin merajalela.

Untuk itu basis masalah yang juga harus dikedepankan adalah bukan lagi soal pendekatan dari tindakan kejahatan itu sendiri dan dalam penerapan saksi hukuman yang berat. Upaya yang harus ditegaskan pula adalah dengan menekankan faktor stimulus, dalam arti yang berperan pertama-tama bukan hukum tetapi psikologis dan psikolosial. Tentunya dengan diarahkan kepada tindakan preventif dan menanamkan benteng yang kokoh di dalam keluarga sebagai suatu lingkungan masyarakat yang terkecil. Selama lingkungan dibentuk di atas landasan yang baik dan benar, maka diharapkan tindakan-tindakan yang bersifat menyimpang sedini mungkin dapat diketahui dan diantisipasi.

Selain itu hal paling penting dalam upaya penanggulangan penyalahgunaan Narkotika ini yang justru seringkali diabaikan terutama oleh aparat penegak hukum yang menangani masalah narkotika dan obat-obatan terlarang ini adalah adanya upaya rehabilitasi terhadap para pemakai agar dikemudian hari tidak lagi mengulangi tindak pidana yang sama.

(21)

diingatkan dengan kasus “Ratu Ekstasi” Zarima yang telah menjalani hukuman terkait dengan kasus Narkotika dan Psikotropika, namun kemudian malah kembali tertangkap basah turut hadir dalam pesta shabu-shabu dengan teman-temannya. Begitu juga dengan berita yang menimpa salah seorang artis Senior Nusantara, yaitu Roy Marten, yang belum terlalu lama keluar dari penjara setelah menjalani hukuman akibat terlibat pemakaian shabu-shabu, namun kembali tertangkap saat sedang berpesta Shabu-shabu dengan teman-temannya sesama mantan narapidana kasus yang sama. Kasus terbaru adalah tertangkapnya personel sebuah group band kenamaan yaitu Kangen Band. Hal ini menunjukkan sanksi hukum yang dijatuhkan tidak menimbulkan efek jera yang akan membuat seseorang tidak akan mengulang kembali perbuatannya seperti yang lalu.

Tidak mengherankan kemudian timbul persepsi dalam masyarakat bahwa justru hukuman penjara telah “sekolah” bagi para pemakai Narkotika dan Psikotropika. Bila pada mulanya mereka hanya sebagai pemakai Narkotika dan Psikotropika yang mungkin hanya untuk coba-coba, setelah menjalani hukuman di dalam penjara mereka akan “naik tingkat” menjadi seorang pecandu yang parah, atau bahkan menjadi bandar/pengedar Narkotika dan Psikotropika.

(22)

Dengan demikian, dalam rangka upaya menuntaskan persoalan tindakan kejahatan penyalahgunaan Narkotika dan Psikotropika perlu untuk dilakukan perbaikan kembali perangkat hukum yang ada demi tercapainya cita-cita hukum itu sendiri sebagaimana yang diharapkan oleh seluruh masyarakat, bangsa dan negara.

Pemaparan tersebut di atas adalah yang menjadi dasar bagi Penulis untuk mengkaji dan membahas penelitian yang berjudul “Kedudukan Lembaga Pemasyarakatan Dalam Pelaksanaan Rehabilitasi Terhadap Pelaku Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkotika dan Psikotropika.”

B. Permasalahan

Berdasarkan uraian dari latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut :

1. Bagaimana Penerapan azas hukum pidana dalam Undang-undang tentang Narkotika

2. Bagaimana kedudukan Lembaga Pemasyarakatan dalam penanganan tindak pidana penyalahgunaan narkotika dan psikotropika

(23)

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan permasalahan yang telah dikemukakan di atas, maka tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah :

1. Untuk mengkaji Penerapan azas hukum pidana dalam Undang-undang tentang Narkotika dan Undang-undang tentang Psikotropika.

2. Untuk mengkaji kedudukan Lembaga Pemasyarakatan dalam penanganan tindak pidana penyalahgunaan narkotika dan psikotropika.

3. Untuk Memberikan masukan bagi pelaksanaan rehabilitasi terhadap pelaku tindak pidana narkotika dan psikotropika oleh Lembaga pemasyarakatan.

D. Manfaat Penelitian

Kegiatan penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat yaitu baik secara teoritis maupun secara praktis, yakni tentang :

1. Secara teoritis

Hasil penelitian ini dapat dijadikan bahan kajian lebih lanjut dan mempunyai arti penting bagi penemuan konsep-konsep mengenai kebijakan dalam penerapan hukum dan penanggulangan bahaya Narkotika dan Psikotropika. Dan diharapkan dapat memberi manfaat bagi bidang ilmu hukum.

2. Secara praktis

(24)

b. Sebagai informasi bagi masyarakat dan pelaku usaha untuk mengetahui tentang bahaya narkotika dan psikotropika serta penerapan hukum dalam penanggulangan bahaya Narkotika dan Psikotropika.

c. Sebagai bahan kajian bagi akademisi untuk menambah wawasan ilmu hukum, khususnya mengenai pengaturan yuridis dalam penerapan undang-undang narkotika dan psikotropika.

E. Keaslian Penelitian

(25)

F. Kerangka Teori dan Konsepsi 1. Kerangka Teori

Arus globalisasi dan seiring dengan semakin terbukanya pintu-pintu masuk ke Indonesia, diyakini bahwa pada saat ini Indonesia bukan lagi sebagai negara transit dari peredaran Narkotika dan Psikotropika, bahkan sudah menjadi negara tujuan. Pendapat tersebut tentunya tidak terlepas dari semakin meningkatnya mobilitas para penyelundup dan pengedar Narkotika dan Psikotropika akhir-akhir ini yang diantaranya cukup banyak digagalkan baik oleh aparat kepolisian, petugas bandar udara dan pelabuhan serta peran aktif dari masyarakat yang juga turut dalam upaya memberantas tindak kejahatan tersebut.7

Di sisi lain para pemakai Narkotika dan Psikotropika pun telah menunjukkan grafik peningkatan jumlah dan semakin melaju ke arah “bawah”. Dalam arti, pemakai Narkotika dan Psikotropika yang selama ini hanya dalam ruang lingkup kehidupan remaja dan diatasnya, kini telah disinyalir bahkan telah melanda pergaulan anak-anak umur sekolah dasar (SD) yang notabene masih polos serta belum tentu mengerti dengan apa yang mereka lakukan.8

Sedangkan korban terus berjatuhan baik yang menjadi ketergantungan maupun meninggal dunia yang ditengarai akibat pengaruh langsung dari penggunaan benda maut tersebut. Persoalan yang sangat memprihatinkan bila melihat kenyataan para generasi muda yang akan tumbuh dan membangun bangsa ini menjadi hilang

7

http://www.gatra.com/artikel.php?id=99423, Geger Jalur Narkoba Teluk Naga, 7 September 2006.

(26)

semangat, kepribadian, hati nurani, moral bahkan jiwa, bila para orang tua, pendidik dan pemerintah masih bersikap masa bodoh dengan apa yang telah terjadi saat ini.

Efektifitas hukum dalam penanggulangan narkotika dan psikotropika itu tergantung pada peranan penegak hukum dan peran serta masyarakat yang memegang peranan utama dalam penegakan hukum.9 Oleh karena itu penanganan kejahatan ini harus diutamakan oleh aparat penegak hukum (perkara prioritas : Pasal 74 ayat (1). UU No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika) dibandingkan perkara lainnya. Fungsi hukum yang dapat dijalankan didalam masyarakat, yaitu pertama sebagai sarana kontrol sosial dan kedua sebagai sarana untuk melakukan perubahan, sebagai sarana kontrol sosial maka hukum bertugas untuk menjaga agar masyarakat tetap dapat berada di dalam pola-pola tingkah laku yang diterima olehnya. Di dalam peranannya yang demikian ini hukum hanya mempertahankan saja apa yang telah menjadi sesuatu yang tetap dan diterima di dalam masyarakat atau hukum sebagai penjaga status quo.Tetapi diluar itu hukum masih dapat menjalankan fungsinya yang lain, yaitu dengan tujuan untuk mengadakan perubahan-perubahan di dalam masyarakat.10

Perundang-undangan dapat dilihat sebagai suatu aktivitas yang bersifat formal yuridis. Dalam pandangan ini maka ia dilihat sebagai suatu aktivitas untuk merumuskan secara tertib, menurut prosedur yang telah ditentukan, apa yang menjadi kehendak masyarakat. Dengan demikian maka ukuran-ukuran yang dipakai untuk

9

Siswantoro Sunarso, Penegakan Hukum Psikotropika, Dalam Kajian Sosiologi Hukum, Jakarta : Penerbit PT. RajaGrafindo Persada, 2004. hal. 93

10

(27)

menilai pekerjaan lembaga perundang-undangan ini adalah bersifat normatif, yaitu apakah ia sesuai dengan norma-norma hukum yang mengatur tentang peranan dan kegiatannya. Tetapi ia dapat pula didekati dari sudut sosiologi, yang terutama melihat kedudukan dan peranan yang diberikan oleh masyarakat kepada lembaga tersebut. Dengan demikian, maka akan diamati hubungan timbal balik antara lembaga dan aktivitas perundang-undangan dengan masyarakat dimana ia berada.11

Dalam perspektif hukum sebagai sarana kontrol terhadap penyalahgunaan Narkotika dan Psikotropika yang akhir ini meresahkan masyarakat apakah ini merupakan suatu lemahnya kontrol hukum terhadap adanya reaksi masyarakat menghadapi ekses Narkotika dan Psikotropika. Perilaku kebrutalan warga masyarakat sudah sampai pada taraf yang keras dan tegas, malah menjurus ke arah “pengadilan rakyat”. Dari sumber media massa, tindakan kegemaran warga sudah ditunjukkan dengan langsung menyerang sumber Narkotika dan Psikotropika, membakar rumah sarang pengedar Narkotika dan Psikotropika, sampai tindakan yang lebih keras lagi, yakni menangkap dan “membakar” orang yang dituduh pengedar Narkotika dan Psikotropika.

Apa lagi dalam penegakkan hukum selama ini tindakan yang telah diberikan kepada para pelaku yang tertangkap, tidak juga membuat peredaran Narkotika dan Psikotropika menjadi surut dan para pelakunya tidak menjadi jera untuk mengulangi tindak pidana yang sama. Terutama hukuman yang dijatuhkan pada pelaku yang hanya berposisi sebagai pengguna Narkotika dan Psikotropika. Dalam putusan yang

11

(28)

dijatuhkan oleh Pengadilan jarang sekali memuat hal terapi dan rehabilitasi bagi terpidana Narkotika dan Psikotropika (pengguna).

Padahal menurut Pasal 103 UU Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika dikatakan Hakim yang memeriksa perkara pecandu narkotika dapat :

a. Memutuskan untuk memerintahkan yang bersangkutan menjalani pengobatan dan/atau perawatan apabila pecandu narkotika tersebut terbukti bersalah melakukan tindak pidana narkotika, atau,

b. Menetapkan untuk memerintahkan yang bersangkutan menjalani pengobatan dan atau perawatan, apabila pecandu narkotika tersebut tidak terbukti bersalah melakukan tindak pidana narkotika.

Sedangkan untuk kasus psikotropika pada pasal 41 UU No. 5 tahun 1997 berbunyi :

Pengguna psikotropika yang menderita sindroma ketergantungan yang berkaitan dengan tindak pidana di bidang psikotropika dapat diperintahkan oleh hakim yang memutuskan perkara tersebut untuk menjalani pengobatan dan/atau perawatan.

(29)

oleh warga masyarakat sehingga pandangan ini melihat pemindanaan hanya sebagai pembalasan terhadap kesalahan yang dilakukan atas dasar tanggung jawab moralnya masing-masing. Pandangan ini dikatakan bersifat melihat ke belakang (

backward-looking). Pandangan untilitarian melihat pemidanaan dari segi manfaat atau

kegunaannya dimana yang dilihat adalah situasi atau keadaan yang ingin dihasilkan dengan dijatuhkannya pidana itu. Di satu pihak, pemidanaan dimaksudkan untuk memperbaiki sikap atau tingkah laku terpidana dan di pihak lain pemidanaan itu juga dimaksudkan untuk mencegah orang lain dari kemungkinan melakukan perbuatan yang serupa. Pandangan ini dikatakan berorientasi ke depan (forward-looking) dan sekaligus mempunyai sifat pencegahan (detterence).12

Sementara Muladi membagi teori-teori tentang tujuan pemidanaan menjadi 3 kelompok yakni : a) Teori absolut (retributif); b) Teori teleologis; dan c) Teori retributif teleologis. Teori absolut memandang bahwa pemidanaan merupakan pembalasan atas kesalahan yang telah dilakukan sehingga berorientasi pada perbuatan dan terletak pada terjadinya kejahatan itu sendiri. Teori ini mengedepankan bahwa sanksi dalam hukum pidana dijatuhkan semata-mata karena orang telah melakukan sesuatu kejahatan yang merupakan akibat mutlak yang harus ada sebagai suatu pembalasan kepada orang yang melakukan kejahatan sehingga sanksi bertujuan untuk memuaskan tuntutan keadilan. Teori teleologis (tujuan) memandang bahwa pemidanaan bukan sebagai pembalasan atas kesalahan pelaku tetapi sarana mencapai tujuan yang bermanfaat untuk melindungi masyarakat menuju kesejahteraan

12

(30)

masyarakat. Sanksi ditekankan pada tujuannya, yakni untuk mencegah agar orang tidak melakukan kejahatan, maka bukan bertujuan untuk pemuasan absolut atas keadilan.

2. Kerangka Konsep

Konseptual adalah merupakan definisi dari operasional berbagai istilah yang dipergunakan dalam tulisan ini. Sebagaimana dikemukakan M. Solly Lubis, bahwa kerangka konsep adalah merupakan konstruksi konsep secara internal pada pembaca yang mendapat stimulasi dan dorongan konseptual dari bacaan dan tinjauan bacaan.13

Adapun definisi operasional dari berbagai istilah tersebut adalah sebagai berikut di bawah ini :

Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman baik sintetis maupun semi sintetis yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan, yang dibedakan ke dalam golongan-golongan sebagaimana terlampir dalam Undang-undang ini atau yang kemudian ditetapkan dengan Keputusan Menteri Kesehatan.14

13

M. Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, (Bandung : Mandar Maju, 1994), hal. 80. 14

(31)

Psiktropika Psikotropika adalah zat atau obat, baik alamiah maupun sintetis bukan narkotika, yang berkhasiat psikoaktif melalui pengaruh selektif pada susunan saraf pusat yang menyebabkan perubahan khas pada aktivitas mental dan perilaku.15

G. Metode Penelitian 1. Spesifikasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan melalui pendekatan yuridis normatif, yakni bagaimana hukum didayagunakan sebagai instrumen mewujudkan penerapan rehabilitasi terhadap pelaku tindak pidana narkotika dan psikotropika.

Penelitian ini bersifat deskriptif analitis, artinya metode pendekatan ini dipergunakan bertitik tolak dan menganalisis terhadap penerapan peraturan perundang-undangan tentang Narkotika dan Psikotropika dalam hal pelaksanaan rehabilitasi terhadap pelaku tindak pidana Narkotika dan Psikotropika yang dilakukan oleh Lembaga Pemasyarakatan.

2. Sumber Data

Adapun sumber data yang dipergunakan untuk mendukung penelitian ini adalah data sekunder, yang meliputi bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tertier, yaitu :

a. Bahan Hukum Primer

Bahan hukum yang diperoleh melalui kepustakaan (library research) yaitu sebagai teknik untuk mendapatkan informasi melalui penelusuran peraturan

15

(32)

perundang-undangan, bacaan lain yang ada relevansinya dengan bahan hukum utama dan mengikat yang mencakup Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika dan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika.

b. Bahan Hukum Sekunder

Bahan-bahan yang ada kaitannya dengan bahan hukum primer, berupa literatur bahan bacaan berupa buku, artikel dan kamus-kamus hukum, jurnal-jurnal hukum dan komentar-komentar atas putusan pengadilan.

c. Bahan Hukum Tertier

Bahan-bahan hukum tertier, berupa tulisan tulisan ilmiah lainnya yang relevan sebagai bahan pelengkap penulisan meliputi : kliping Koran, makalah seminar Narkotika dan Psikotropika, serta situs Internet.

3. Alat Pengumpulan dan Jenis Data

Alat pengumpulan data yang dipergunakan adalah :

1. Untuk memperoleh data sekunder dipergunakan studi kepustakaan, untuk mempelajari peraturan perundang-undangan yang berlaku dan teori-teori serta asas-asas hukum, literatur, hasil penelitian yang berhubungan dengan materi penelitian.

(33)

4. Analisis Data

(34)

BAB II

PENERAPAN ASAS HUKUM PIDANA DALAM PENANGANAN TERHADAP TERPIDANA PENGGUNA NARKOTIKA DAN

PSIKOTROPIKA

A. Inventarisasi Peraturan Perundang-undangan yang terkait dengan Tindak Pidana Narkotika dan Psikotropika

(35)

B. Azas Hukum Pidana Yang diterapkan Terhadap Terpidana Pengguna Narkotika dan Psikotropika

(36)

wordt het onrecht toegerekend”. Seberapa jauh hukum pidana dan sanksi pidana masih diperlukan untuk menanggulangi kejahatan? Kiranya terdapat beberapa pendapat mengenai hal ini. Beberapa pakar hukum pidana menolak penggunaan hukum pidana dan sanksi pidana untuk menanggulangi kejahatan, sementara beberapa pakar yang lain justru berpendapat sebaliknya. Herbert L. Packer termasuk pakar yang menolak penggunaan hukum pidana dan sanksi pidana dengan alasan bahwa sanksi pidana merupakan peninggalan kebidaban masa lampau. Bahkan munculnya aliran positivisme dalam kriminologi yang menganggap pelaku adalah golongan manusia yang abnormal, menjadikan semakin kuatlah kehendak untuk menghapuskan pidana (punishment) dan menggantinya dengan treatment.

Salah satu azas dalam hukum pidana yang sejalan dengan pandangan ini di dalam hukum pidana di kenal dengan istilah Restorative Justice yaitu merupakan salah satu upaya pendekatan hukum yang di gunakan dalam menanggulangi penyelesaian masalah perkara pidana dimana lebih di tekankan kepada pemberian pemulihan kembali semaksimal mungkin keadaan si korban ke keadaan semula. Sebab untuk beberapa perkara, sanksi pidana penjara yang di tujukan untuk membuat siksaan fisik guna mendapatkan rasa efek jera kepada pelaku tidak terlalu memberi manfaat positif untuk merubah si pelaku agar jera tidak mengulangi perbuatannya lagi dan juga tidak menjamin akan adanya pembaikan terhadap pemulihan keadaan si korban itu sendiri.

(37)

hukuman pidana penjara. Penjatuhan sanksi pidana penjara merupakan suatu alternative terakhir apabila pendekatan secara Restorative Justice tidak berhasil di gunakan.

Merehabilitasi pengguna narkoba lebih banyak memberi dampak positif di antaranya si pengguna narkoba keluar dari masalah ketergantungannya terhadap obat terlarang, dan di harapkan ketika pulih dapat kembali ke masyarakat dan bersosialisasi kembali dengan masyarakat seperti sediakala.

C. Penerapan Azas hukum pidana

Penegakan hukum adalah proses dilakukannya upaya untuk tegaknya atau berfungsinya norma-norma hukum secara nyata sebagai pedoman perilaku dalam lalu-lintas atau hubungan-hubungan hukum dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.16

Sedangkan menurut Jimly Asshiddiqie penegakan hukum (law

enforcement) dalam arti luas mencakup kegiatan untuk melaksanakan dan

menerapkan hukum serta melakukan tindakan hukum terhadap setiap pelanggaran atau penyimpangan hukum yang dilakukan oleh subjek hukum, baik melalui prosedur peradilan ataupun melalui prosedur arbitrase dan mekanisme penyelesaian sengketa lainnya (alternative desputes or conflicts resolution). Bahkan, dalam pengertian yang lebih luas lagi, kegiatan penegakan hukum mencakup pula segala aktivitas yang

16"Penegakan Hukum", http://www.solusihukum.com/artikel/artikel49.php,

(38)

dimaksudkan agar hukum sebagai perangkat kaedah normatif yang mengatur dan mengikat para subjek hukum dalam segala aspek kehidupan bermasyarakat dan bernegara benar-benar ditaati dan sungguh-sungguh dijalankan sebagaimana mestinya. Dalam arti sempit, penegakan hukum itu menyangkut kegiatan penindakan terhadap setiap pelanggaran atau penyimpangan terhadap peraturan perundang-undangan, khususnya yang lebih sempit lagi melalui proses peradilan pidana yang melibatkan peran aparat kepolisian, kejaksaan, advokat atau pengacara, dan badan-badan peradilan17

Aparatur penegak hukum mencakup pengertian mengenai institusi penegak hukum dan aparat (orangnya) penegak hukum. Dalam arti sempit, aparatur penegak hukum yang terlibat tegaknya hukum itu, dimulai dari saksi, polisi, penasehat hukum, jaksa, hakim dan petugas pemasyarakatan. Setiap aparat dan aparatur terkait mencakup pula pihak-pihak yang bersangkutan dengan tugas atau perannya yaitu terkait dengan kegiatan pelaporan atau pengaduan, penyelidikan, penyidikan, penuntutan, pembuktian, penjatuhan vonis dan pemberian sanksi, serta upaya pemasyarakatan kembali (resosialisasi) terpidana.

Indonesia sebagai negara yang berdasarkan atas hukum menekankan pada bekerjanya sistem peradilan pidana (criminaljustice system) menjadi perioritas utama dalam bidang penegakan hukum. Oleh sebab itu diperlukan keterpaduan antara sub sistem-sub sistem di dalam criminal justice system guna menanggulangi

(39)

meningkatnya kualitas maupun kuantitas kejahatan yang terjadi di tengah-tengah masyarakat. Tujuan dari sistem peradilan pidana adalah:18

a. Mencegah masyarakat menjadi korban kejahatan.

b. Menyelesaikan kasus kejahatan yang terjadi sehingga masyarakat puas bahwa keadilan telah ditegakkan dan yang bersalah dipidana.

c. Mengusahakan agar mereka yang pernah melakukan kejahatan tidak mengulangi lagi kejahatannya.

Menurut Gerald D. Robin sebagaimana yang dikemukakan Mahmud Mulyadi bahwa mekanisme kerja peradilan pidana telah dikritik juga sebagai suatau mekanisme yang tidak sistemik. Kritik ini disandarkan pada beberapa alasan, yaitu pertama,

masalah yuridiksi dan operasional. Masing-masing komponen sistem peradilan pidana (kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan lembaga pemasyarakatan) mempunyai yurisdiksi yang independen. Masing-masing komponen mempunyai tugas, otoritas, garis komunikasi dan pertanggungjawaban yang terpisah, sehingga hal ini terkadang menjadi penghalang untuk menjalin kerjasama antar kompnen. Selain itu juga terjadi konflik kepentingan, kurangnya saling pengertian, dan tekanan dari komunitas politik yang berbeda pada masing-masing komponen menjadikan peradilan pidana tidak bekerja sebagai sebuah sistem19

Kedua, adanya perbedaan aturan main dan tujuan yang hendak dicapai oleh

masing-masing komponen sistem peradilan pidana. Dalam kinerja sehari-hari Departemen

18

Mardjono Reksodiputro, 1999, Op.Cit, hlm. 84-85. 19

(40)

atau tingkatan operasional dari komponen-komponen sistem peradilan pidana, sumpah setia untuk "mencegah dan menangani kejahatan" telah diganti menjadi suatu keperluan untuk "mengerjakan tugas saya" (doing my job)". Sebagai contoh, lembaga pemasyarakatan dihadapkan pada tekanan dan pertimbangan yang pantas untuk membebaskan narapidana secepat mungkin. Namun, adanya peningkatan residivis, menyebabkan penegakan hukum dan perlindungan masyarakat dibuat semakin sulit bagi narapidana untuk bebas secepatnya. Sedangkan hakim sering menjatuhkan hukuman yang beratnya tidak sebanding dengan perbuatan terdakwa.20

Ketiga, permasalahan individu dari anggota masing-masing komponen sistem

peradilan pidana. Setiap individu yang bertugas dalam sistem peradilan pidana mempunyai tipe dan karakter, latar belakang sosial, pendidikan dan pelatihan, sikap dan nilai-nilai anutan yang berbeda. Faktor yang paling utama memberikan kontribusi terhadap tidak berjalannya peradilan pidana sebagai suatu sistem adalah sudut pandang atau ideologi yang dimiliki masing-masing individu dalam memandang hukum, kejahatan dan pelaku. Perbedaan pandangna individu ini, misalnya pilosofi pemidanaan yang dianut, mempengaruhi prilaku dan orientasi tujuan yang hendak dicapai oleh masing-masing individu dalam komponen sistem peradilan pidana21

Keempat, adalah isu-isu yang subtantif yang meliputi masih kurang baiknya pelatihan

kepolisian, rendahnya kuantitas penyelesaian kasus-kasus kejahatan, hakim yang tidak berkompeten, terbatasnya pemidanaan alternatif, manajemen pengadilan yang kurang

20

Ibid, hlm. 95. 21

(41)

baik, penyalahgunaan jaminan, diskresi yang terlalu banyak. Secara mendasar, banyak kasus yang diproses, namun tidak cukunya kualifikasi personil, teknologi, dan tidak cukupnya konsensus diantara komponen sistem peradilan pidana yang peduli terhadap persoalan ini. Harkristuti Harkrisnowo sebagaimana yang dikemukakan Mahmud Mulyadi melihat bahwa masalah utama komponen-komponen sistem peradilan pidana adalah belum adanya kesepakatan yang mengandung rumusan yang berorientasi pada sistem demi menunjang kinerja semua lembaga dalam mekanisme peradilan pidana. Satu persoalan yang mencolok adalah belum dirumuskannya kesepakatan mengenai kebijakan penanggulangan kejahatan (criminalpolicy).22

Sebagai suatu sistem, maka semua komponen dalam sistem peradilan pidana harus mempunyai kesamaan tujuan secara holistik, sehingga akan saling mendukung dalam pelaksanaan tugasnya, bukan untuk saling bertantangan. Dalam kenyataannya masing-masing subsistem sering bekerja sendiri-sensiri dengan motivasi kerja yang beragam. Hal ini menyebabkan tidak diindahkannya adanya suatu keperluan untuk memperoleh satu kebijakan penanggulangan kejahatan (criminal policy). Kondisi semacam ini memiliki dampak yang sangat menentukan bagi berfungsinya proses penegakan hukum dan keadilan.23

Oleh karena itulah menurut Mardjono Reksodiputro bahwa komponen-komponen sistem peradilan pidana ini harus bekerja secara terpadu (integrated) untuk

22

Ibid, hlm 96 23

(42)

menanggulangi kejahatan. tidak tercapainya keterpaduan dalam kinerja komponen sistem peradilan pidana ini, maka akan mendatang kerugian, yaitu:24

1. Kesukaran dalam menilai sendiri keberhasilan atau kegagalan masing-masing instansi, sehubungan dengan tugas mereka;

2. Kesulitan dalam memecahakan sendiri masalah-masalah pokok masing- masing instansi (sebagai subsistem); dan

3. Karena tanggung jawab masing-masing instansi sering kurang jelas terbagi, maka setiap instansi tidak terlalu memperhatikan efektivitas menyeluruh dari sistem peradilan pidana.

D. Sistem Pemidanaan Terhadap Pelaku Penyalahgunaan Narkotika Dan Psikotropika

Pemidanaan terhadap pelaku penyalahgunaan Narkotika dan Psikotropika tidak dapat dipisahkan dari sistem pemidanaan yang dianut oleh sistem hukum di Indonesia. Tujuan sistem pemidanaan pada hakekatnya merupakan operasionalisasi penegakan hukum yang dijalankan oleh sistem peradilan berdasarkan perangkat-perangkat hukum yang mengatur berupa kriminalisasi penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Psikotropika yakni Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika dan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika.25

24

Mardjono Reksosiputro, Op.Cit, 2007, hlm. 142 25

(43)
(44)

Pandangan ini dikatakan berorientasi ke depan (forward-looking) dan sekaligus mempunyai sifat pencegahan (detterence).26

Sementara Muladi membagi teori-teori tentang tujuan pemidanaan menjadi 3 kelompok yakni : a) Teori absolut (retributif); b) Teori teleologis; dan c) Teori retributif teleologis. Teori absolut memandang bahwa pemidanaan merupakan pembalasan atas kesalahan yang telah dilakukan sehingga berorientasi pada perbuatan dan terletak pada terjadinya kejahatan itu sendiri. Teori ini mengedepankan bahwa sanksi dalam hukum pidana dijatuhkan semata-mata karena orang telah melakukan sesuatu kejahatan yang merupakan akibat mutlak yang harus ada sebagai suatu pembalasan kepada orang yang melakukan kejahatan sehingga sanksi bertujuan untuk memuaskan tuntutan keadilan. Teori teleologis (tujuan) memandang bahwa pemidanaan bukan sebagai pembalasan atas kesalahan pelaku tetapi sarana mencapai tujuan yang bermanfaat untuk melindungi masyarakat menuju kesejahteraan masyarakat. Sanksi ditekankan pada tujuannya, yakni untuk mencegah agar orang tidak melakukan kejahatan, maka bukan bertujuan untuk pemuasan absolut atas keadilan.

Teori retributif-teleologis memandang bahwa tujuan pemidanaan bersifat plural, karena menggabungkan antara prinsip-prinsip teleologis (tujuan) dan retributif sebagai satu kesatuan. Teori ini bercorak ganda, dimana pemidanaan mengandung karakter retributif sejauh pemidanaan dilihat sebagai suatu kritik moral dalam menjawab tindakan yang salah. Sedangkan karakter teleologisnya terletak pada ide

26

(45)

bahwa tujuan kritik moral tersebut ialah suatu reformasi atau perubahan perilaku terpidana di kemudian hari. Pandangan teori ini menganjurkan adanya kemungkinan untuk mengadakan artikulasi terhadap teori pemidanaan yang mengintegrasikan beberapa fungsi sekaligus retribution yang bersifat utilitarian dimana pencegahan dan sekaligus rehabilitasi yang kesemuanya dilihat sebagai sasaran yang harus dicapai oleh suatu rencana pemidanaan. Karena tujuannya bersifat integratif, maka perangkat tujuan pemidanaan adalah :27

a) Pencegahan umum dan khusus; b) Perlindungan masyarakat;

c) Memelihara solidaritas masyarakat dan d) Pengimbalan/pengimbangan.

Mengenai tujuan, maka yang merupakan titik berat sifatnya kasusistis. Perkembangan teori tentang pemidanaan selalu mengalami pasang surut dalam perkembangannya. Teori pemidanaan yang bertujuan rehabilitasi telah dikritik karena didasarkan pada keyakinan bahwa tujuan rehabilitasi tidak dapat berjalan. Pada tahun 1970-an telah terdengar tekanan-tekanan bahwa treatment terhadap rehabilitasi tidak berhasil serta indeterminate sentence tidak diberikan dengan tepat tanpa garis-garis pedoman. Terhadap tekanan atas tujuan rehabilitasi lahir “Model Keadilan” sebagai justifikasi modern untuk pemidanaan yang dikemukakan oleh Sue Titus Reid. Model keadilan yang dikenal juga dengan pendekatan keadilan atau model ganjaran setimpal

27

(46)

(just desert model) yang didasarkan pada dua teori tentang tujuan pemidanaan, yaitu pencegahan (prevention) dan retribusi (retribution). Dasar retribusi dalam just desert

model menganggap bahwa pelanggar akan dinilai dengan sanksi yang patut diterima

oleh mereka mengingat kejahatan-kejahatan yang telah dilakukannya, sanksi yang tepat akan mencegah para kriminal melakukan tindakan-tindakan kejahatan lagi dan mencegah orang-orang lain melakukan kejahatan. Dengan skema just desert ini, pelaku dengan kejahatan yang sama akan menerima penghukuman yang sama, dan pelaku kejahatan yang lebih serius akan mendapatkan hukuman yang lebih keras daripada pelaku kejahatan yang lebih ringan. Terdapat dua hal yang menjadi kritik dari teori just desert ini, yaitu: Pertama, karena desert theories menempatkan secara utama menekankan pada keterkaitan antara hukuman yang layak dengan tingkat kejahatan, dengan kepentingan memperlakukan kasus seperti itu, teori ini mengabaikan perbedaan-perbedaan yang relevan lainnya antara para pelaku seperti latar belakang pribadi pelaku dan dampak penghukuman kepada pelaku dan keluarganya dan dengan demikian seringkali memperlakukan kasus yang tidak sama dengan cara yang sama. Kedua, secara keseluruhan, tapi eksklusif, menekankan pada pedomanpedoman pembeda dari kejahatan dan catatan kejahatan mempengaruhi psikologi dari penghukuman dan pihak yang menghukum.

(47)

a. Crime is primarily conflict between individuals resulting in injuries to victims,

communities and the offenders themself; only secondary is it lawbreaking.

b. The overarching aim of the criminal justice process should be to reconcile

parties while repairing the injuries caused by crimes.

c. The criminal justice process should facilitate active participation by victims, offenders and their communities. It should not be dominated by goverment to

the exclusion of others.

Secara lebih rinci Muladi menyatakan bahwa restorative justice model

mempunyai beberapa karakteristik yaitu :28

a. Kejahatan dirumuskan sebagai pelanggaran seorang terhadap orang lain dan diakui sebagai konflik;

b. Titik perhatian pada pemecahan masalah pertanggungjawaban dan kewajiban pada masa depan;

c. Sifat normatif dibangun atas dasar dialog dan negosiasi;

d. Restitusi sebagai sarana perbaikan para pihak, rekonsiliasi dan restorasi sebagai tujuan utama;

e. Keadilan dirumuskan sebagai hubungan-hubungan hak, dinilai atas dasar hasil;

f. Sasaran perhatian pada perbaikan kerugian sosial;

g. Masyarakat merupakan fasilitator di dalam proses restoratif;

28

(48)

h. Peran korban dan pelaku tindak pidana diakui, baik dalam masalah maupun penyelesaian hak-hak dan kebutuhan korban. Pelaku tindak pidana didorong untuk bertanggung jawab;

i. Pertanggungjawaban si pelaku dirumuskan sebagai dampak pemahaman terhadap perbuatan dan untuk membantu memutuskan yang terbaik;

j. Tindak pidana dipahami dalam konteks menyeluruh, moral, sosial dan ekonomis; dan

k. Stigma dapat dihapus melalui tindakan restoratif.

Restorative justice model diajukan oleh kaum abolisionis yang melakukan penolakan terhadap sarana koersif yang berupa sarana penal dan diganti dengan sarana reparatif. Paham abolisionis menganggap sistem peradilan pidana mengandung masalah atau cacat struktural sehingga secara relatistis harus dirubah dasar-dasar sruktur dari sistem tersebut. Dalam konteks sistem sanksi pidana, nilai-nilai yang melandasi paham abolisionis masih masuk akal untuk mencari alternatif sanksi yang lebih layak dan efektif daripada lembaga seperti penjara. Restorative justice

(49)

proses peradilan sekarang ini. Restorative justice membutuhkan usaha-usaha yang kooperatif dari komunitas dan pemerintah untuk menciptakan sebuah kondisi dimana korban dan pelaku dapat merekonsiliasikan konflik mereka dan memperbaiki luka-luka mereka.

Restorative justice mengembalikan konflik kepada pihak-pihak yang paling terkenal pengaruh korban, pelaku dan “kepentingan komunitas” mereka dan memberikan keutamaan pada kepentingan-kepentingan mereka. Restorative justice

juga menekankan pada hak asasi manusia dan kebutuhan untuk mengenali dampak dari ketidakadilan sosial dan dalam cara-cara yang sederhana untuk mengembalikan mereka daripada secara sederhana memberikan pelaku keadilan formal atau hukum dan korban tidak mendapatkan keadilan apapun. Kemudian restorative justice juga mengupayakan untuk merestore keamanan korban, penghormatan pribadi, martabat, dan yang lebih penting adalah sense of control.29

Dengan diadopsinya pendekatan Restorative Justice dalam sistem pemidanaan perkara pidana pengguna narkoba di Indonesia, hendaknya harus di dukung dengan terpenuhinya segala aspek pendukung untuk terwujudnya pendekatan Restorative Justice tadi. Tidak mungkin mencapai suatu keberhasilan tanpa di barengi adanya persiapan perlengkapan yang matang. Bangunan atau wadah sebagai sarana rehabilitasi pun harus terpenuhi dan layak untuk di gunakan sebagai tempat rehabilitasi untuk memberi kenyamanan serta pemastian bahwa pengguna narkoba tersebut betul betul di rawat dengan baik hingga pulih dan terbebas dari narkoba.

(50)
(51)

BAB III

KEDUDUKAN LEMBAGA PEMASYARAKATAN DALAM PROSES HUKUM TERHADAP TINDAK PIDANA PENYALAHGUNAAN

NARKOTIKA

A. Kebijakan Kriminal Dan Sistem Peradilan Pidana

(52)

dikenakan sanksi sebagai akibat dari tindakan yang berlawanan dengan hukum tersebut.30

Hubungan antar akibat dari tindakan yang berlawanan dengan hukum dengan tindakannya itu sendiri adalah tidak sama dengan hubungan antara pemanasan sebatang besi dan akibatnya bahwa besi tersebut menjadi lebih panjang, sehingga hal tersebut bukan merupakan hukum casualitas, menurut Kelsen “het onrechsgevolg wordt het onrecht toegerekend”. Seberapa jauh hukum pidana dan sanksi pidana masih diperlukan untuk menanggulangi kejahatan? Kiranya terdapat beberapa pendapat mengenai hal ini. Beberapa pakar hukum pidana menolak penggunaan hukum pidana dan sanksi pidana untuk menanggulangi kejahatan, sementara beberapa pakar yang lain justru berpendapat sebaliknya. Herbert L. Packer termasuk pakar yang menolak penggunaan hukum pidana dan sanksi pidana dengan alasan bahwa sanksi pidana merupakan peninggalan kebidaban masa lampau . Bahkan munculnya aliran positivisme dalam kriminologi yang menganggap pelaku adalah golongan manusia yang abnormal, menjadikan semakin kuatlah kehendak untuk menghapuskan pidana (punishment) dan menggantinya dengan treatment.

Pakar hukum pidana yang mempunyai pandangan sebaliknya adalah pakar hukum pidana Indonesia, Roeslan Saleh dengan mengemukakan tiga alasan. Alasan pertama, diperlukan tidaknya hukum pidana dengan sanksi hukum pidana tidak terletak pada tujuan yang hendak dicapai, melainkan pada persoalan seberapa jauh untuk mencapai tujuan itu hukum pidana dapat mempergunakan paksaan-paksaan?

30

(53)

Alasan kedua, bahwa masih banyak pelaku kejahatan yang tidak memerlukan perawatan atau perbaikan, meski demikian masih tetap diperlukan suatu reaksi atas pelanggaran-pelanggaran norma yang telah dilakukannya itu dan tidaklah dapat dibiarkan begitu saja. Alasan ketiga, ialah bahwa pengaruh pidana bukan saja akan dirasakan oleh si penjahat, tetapi juga oleh orang lain yang tidak melakukan kejahatan.

Sebagaimana dikemukakan oleh Barda Nawawi Arief bahwa konsep kebijakan penanggulangan kejahatan yang integral mengandung konsekuensi segala usaha yang rasional untuk menanggulangi kejahatan harus merupakan satu kesatuan yang terpadu. Ini berarti kebijakan untuk menanggulangi kejahatan dengan menggunakan sanksi pidana, harus pula dipadukan dengan usaha-usaha lain yang bersifat “nonpenal”. Usaha-usaha nonpenal ini dapat meliputi kebijakan sosial atau pembangunan nasional. Tujuan utama dari usaha-usaha non penal ini adalah memperbaiki kondisi-kondisi sosial atau pembangunan nasional. Tujuan utama dari usaha-usaha non penal ini adalah memperbaiki kondisi-kondisi sosial tertentu yang secara tidak langsung mempunyai pengaruh preventif terhadap kejahatan. Dengan demikian dilihat dari sudut kriminal, keseluruhan kegiatan preventif yang nonpenal itu sebenarnya mempunyai kedudukan yang sangat strategis. Kegagalan dalam menggarap posisi strategis ini justru akan berakibat fatal bagi usaha penanggulangan kejahatan.

(54)

ditujukan untuk menjadikan masyarakat sebagai lingkungan sosial dan lingkungan hidup yang sehat (secara materiil dan immateriil) dari faktor-faktor kriminogen. Ini berarti masyarakat dengan seluruh potensinya harus dijadikan sebagai faktor penangkal kejahatan atau faktor anti kriminogen yang merupakan bagian integral dari keseluruhan politik kriminal.

Dilihat dari sisi upaya nonpenal ini berarti, perlu digali, dikembangkan dan dimanfaatkan seluruh potensi dukungan dan partisipasi masyarakat dalam upaya untuk mengefektifkan dan mengembangkan extra legal system atau informal and traditional system yang ada di masyarakat. Di samping upaya-upaya non penal dapat ditempuh dengan menyehatkan masyarakat lewat kebijakan sosial dengan menggali berbagai potensi yang ada dalam masyarakat itu sendiri, dapat pula upaya non penal itu digali dari berbagai sumber lainnya yang juga mempunyai potensi efek-preventif. Sumber lain itu misalnya media pers/media massa, pemanfaatan kemajuan teknologi (dikenal dengan istilah techno-preventif dan pemanfaatan potensi efek-preventif dari aparat penegak hukum).31

Di atas telah diuraikan bahwa penanggulangan dengan sarana hukum pidana (penal) berarti mengadakan pemilihan untuk mencapai hasil perundangan yang paling baik dalam arti memenuhi syarat keadilan dan daya guna. Sehingga dalam kebijakan kriminal dengan menggunakan sarana penal ini terdapat dua masalah sentral yaitu:

1. Masalah penentuan perbuatan apa yang seharusnya dijadikan tindak pidana.

31

(55)

2. Masalah penentuan tentang sanksi apa yang sebaiknya digunakan atau dikenakan kepada pelanggar.

Untuk menghadapi masalah sentral yang pertama, yang sering disebut masalah kriminalisasi, harus diperhatikan hal-hal yang pada intinya sebagai berikut:

1. Penggunaan hukum pidana harus memperhatikan tujuan pembangunan nasional, yaitu mewujudkan masyarakat adil makmur yang merata materiil dan spritual berdasarkan Pancasila, sehubungan dengan ini maka penggunaan hukum pidana bertujuan untuk menanggulangi kejahatan dan mengadakan pengugeran terhadap tindakan penanggulangan itu sendiri, demi kesejahteraan dan pengayoman masyarakat.

2. Perbuatan yang diusahakan untuk dicegah atau ditanggulangi dengan hukum pidana harus merupakan perbuatan yang tidak dikehendaki yaitu perbuatan yang mendatangkan kerugian (materiil dan atau spritual) atas warga masyarakat. 3. Penggunaan hukum pidana harus pula memperhitungkan prinsip biaya dan hasil

(cost and benefit principle)

4. Penggunaan hukum pidana harus pula memperhatikan kapasitas atau kemampuan daya kerja dari badan-badan penegak hukum, yaitu jangan sampai ada kelampauan beban tugas (overbelasting).

(56)

Indonesia, yaitu sejauh mana perbuatan tersebut bertentangan atau tidak bertentangan dengan nilai-nilai fundamental yang berlaku dalam masyarakat dan oleh masyarakat dianggap patut atau tidak patut dihukum dalam rangka menyelenggarakan kesejahteraan masyarakat.

Sebagai negara yang berdasarkan atas hukum maka bekerjanya sistem peradilan pidana (criminal justice system) menjadi prioritas utama dalam bidang penegakan hukum. Oleh sebab itu diperlukan keterpaduan antara sub sistem- sub sistem di dalam criminal justice system guna menanggulangi meningkatnya kualitas maupun kuantitas kejahatan yang terjadi di tengah-tengah masyarakat. Tujuan dari sistem peradilan pidana adalah:32

a. Mencegah masyarakat menjadi korban kejahatan.

b. Menyelesaikan kasus kejahatan yang terjadi sehingga masyarakat puas bahwa keadilan telah ditegakkan dan yang bersalah dipidana.

c. Mengusahakan agar mereka yang pernah melakukan kejahatan tidak mengulangi lagi kejahatannya.

Istilah “Criminal Justice System” menunjukkan mekanisme kerja dalam penanggulangan kejahatan dengan mempergunakan dasar pendekatan sistem. Remington dan Ohlin mengemukakan:

Criminal justice system dapat diartikan sebagai pemakaian pendekatan

sistem terhadap mekanisme pendekatan sistem mekanisme administrasi peradilan pidana. Sebagai suatu sistem peradilan pidana merupakan suatu interaksi antara

32

(57)

peraturan perundang-undangan, praktik administrasi dan sikap atau tingkah laku sosial. Pengertian sistem itu sendiri mengandung implikasi suatu proses interaksi yang dipersiapkan secara rasional dan dengan cara efisien untuk memberikan hasil tertentu dengan segala keterbatasan”.

Istilah sistem dari bahasa yunani “systema” yang mempunyai pengertian suatu keseluruhan yang tersusun dari sekian banyak bagian whole compounded of several parts. Secara sederhana sistem ini merupakan sekumpulan unsur-unsur yang saling berkaitan untuk mencapai tujuan bersama, yang tersusun secara teratur dan saling berhubungan dari yang rendah sampai yang tinggi. Stanford Optner menyebutkan bahwa sistem tersusun dari sekumpulan komponen yang bergerak bersama-sama untuk mencapai tujuan keseluruhan. Hagan membedakan pengertian antara “Criminal Justice Process” dan “Criminal Justice system” yang pertama adalah setiap tahap dari suatu putusan yang menghadapkan seorang tersangka ke dalam proses yang membawanya pada penentuan pidana. Sedangkan yang kedua adalah interkoneksi antar keputusan dari setiap instansi yang terlibat dalam proses peradilan.

Criminal justice system pada hakikatnya merupakan sistem yang berupaya menjaga keseimbangan perlindungan kepentingan, baik kepentingan negara, masyarakat maupun individu termasuk kepentingan pelaku tindak pidana dan korban kejahatan.

Herbert L. Packer dalam bukunya yang terkenal “The Limits of the Criminal

Sanction” mengemukakan bahwa ada dua model dalam Sistem Peradilan Pidana,

Gambar

TABEL 1 PERBEDAAN KOMPONEN SISTEM KEPENJARAAN,
Tabel 6
Tabel 7
Tabel 8 Data Jumlah Residivis Pecandu Narkotika di LP Tanjung Gusta
+2

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini bertujuan untuk 1) mengetahui bagaimana guru BK memotivasi berpenampilan rapi melalui layanan informasi pada siswa kelas VIII di MTs. Ak-Manar Medan

maka apa yang dinyatakan tersebut dianggap tidak berlaku, akan tetapi teori tersebut tidak dapat digunakan untuk menentukan kapan terjadi suatu kesepakatan dalam peijanjian

Pemeriksaan EITB telah terbukti spesifik untuk infeksi T.solium. EITB sensitif  pada kista parenkim aktif multipel atau neurosistiserkosis ekstraparenkim. Meskipun demikian

Maksud dari pembuatan Laporan Kelompok Kerja ini adalah sebagai laporan atau output atas pelaksanaan kegiatan dalam rangkaian Tahapan Pemilihan Umum Tahun 2019

Sehubungan dengan hasil yang diperoleh dalam penelitian ini, maka peneliti mengajukan beberapa implikasi, sebagai berikut : Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa

Upacara kematian bagi mereka merupakan bagian dari sosialisasi, dan erat berkaitan dengan keyakinan yang ditanamkan oleh agama mereka, bahwa kematian adalah sebenarnya awal

Seperti di ketahui bahwa bank konvesional menggunakan sistem bunga yang besarnya telah ditentukan di awal perjanjian, sedangkan Bank SulSelBar Syariah dalam produk