• Tidak ada hasil yang ditemukan

Referat Taeniasis Selvy Anriani (Fix)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Referat Taeniasis Selvy Anriani (Fix)"

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

I. Pendahuluan I. Pendahuluan

Taenia yang disebut sebagai cacing pita, adalah suatu cacing parasit berbentuk Taenia yang disebut sebagai cacing pita, adalah suatu cacing parasit berbentuk  panjang dan bers

 panjang dan bersegmen. Dari egmen. Dari total 32 total 32 spesies Taspesies Taenia yang enia yang diketahui, ada diketahui, ada 2 jenis 2 jenis cacingcacing  pita

 pita yang penting yang penting secara secara medis, medis, yaituyaituTaenia soliumTaenia solium (cacing pita babi, (cacing pita babi, pork  pork tapewormtapeworm)) dan

dan Taenia saginataTaenia saginata(cacing pita sapi,(cacing pita sapi, cattlecattle atauatau beef tapewormbeef tapeworm).Pada manusia, bentuk).Pada manusia, bentuk larva (

larva (cysticercuscysticercus)) Taenia soliumTaenia solium  dapat menimbulkan infeksi yang dikenal sebagai  dapat menimbulkan infeksi yang dikenal sebagai sistiserkosis (

sistiserkosis (cysticercosiscysticercosis). Apabila sistiserkosis mengenai jaringan otak maka disebut). Apabila sistiserkosis mengenai jaringan otak maka disebut sebagai neurosistiserkosis (

sebagai neurosistiserkosis ( NCC  NCC ).).11

Taeniasis merupakan penyakit yang endemik pada beberapa daerah tertentu, Taeniasis merupakan penyakit yang endemik pada beberapa daerah tertentu, terutama negara-negara yang sedang berkembang. Taeniasis karena

terutama negara-negara yang sedang berkembang. Taeniasis karena T.soliumT.solium dapatdapat menyebabkan neurosistiserkosis dengan berbagai komplikasi bahkan sampai kematian. menyebabkan neurosistiserkosis dengan berbagai komplikasi bahkan sampai kematian. Taeniasis dinyatakan sebagai masalah kesehatan masyarakat yang penting di seluruh Taeniasis dinyatakan sebagai masalah kesehatan masyarakat yang penting di seluruh dunia dan dianggap sebagai penyakit parasit yang harus dieradikasi. Wallin dan Kutzke dunia dan dianggap sebagai penyakit parasit yang harus dieradikasi. Wallin dan Kutzke menganggap neurosistiserkosis sebagai infeksi

menganggap neurosistiserkosis sebagai infeksi yang semakin meningkat jumlahnya.yang semakin meningkat jumlahnya.1,21,2 II. Epidemiologi

II. Epidemiologi

Taeniasis tersebar di seluruh dunia. Daerah endemik berat dilaporkan di Afrika Taeniasis tersebar di seluruh dunia. Daerah endemik berat dilaporkan di Afrika sebelah selatan, Gurun Sahara, bagian Timur Mediterania, dan sebagian Uni Sovyet. sebelah selatan, Gurun Sahara, bagian Timur Mediterania, dan sebagian Uni Sovyet. Sedangkan India, Asia Selatan, Jepang, Filipina dan Amerika Latin tergolong daerah Sedangkan India, Asia Selatan, Jepang, Filipina dan Amerika Latin tergolong daerah endemik sedang. Prevalensi infeksi

endemik sedang. Prevalensi infeksi T.saginataT.saginata lebih tinggi dibandingkan denganlebih tinggi dibandingkan dengan T.solium.

T.solium. Prevalensi terutama tinggi di daerah pedesaan.Prevalensi terutama tinggi di daerah pedesaan. 11

Sekitar 50 juta pasien taeniasis dijumpai di seluruh dunia. Sekitar 50.000 Sekitar 50 juta pasien taeniasis dijumpai di seluruh dunia. Sekitar 50.000  pasien

 pasien meninggal meninggal akibat akibat neurosistiserkosis. neurosistiserkosis. Taeniasis Taeniasis akibatakibat T.saginataT.saginata dijumpaidijumpai dengan prevalensi tinggi (> 10%) di Asia Tengah, Timur Tengah, Afrika Tengah dan dengan prevalensi tinggi (> 10%) di Asia Tengah, Timur Tengah, Afrika Tengah dan Timur. Sedangkan daerah dengan prevalensi rendah (< 1%) adalah Asia Tenggara, Timur. Sedangkan daerah dengan prevalensi rendah (< 1%) adalah Asia Tenggara, Eropa dan Amerika Tengah serta Selatan.

Eropa dan Amerika Tengah serta Selatan. T.soliumT.solium endemik di Amerika Tengah danendemik di Amerika Tengah dan Selatan, Asia Tenggara, India, Filipina, Afrika, Eropa Timur dan Cina.

Selatan, Asia Tenggara, India, Filipina, Afrika, Eropa Timur dan Cina. 1,21,2 Di Indonesia infeksi

Di Indonesia infeksi T.saginataT.saginata pertama  pertama kali kali dilaporkan dilaporkan di di Malang Malang oleholeh Luchtman pada tahun 1867 dan infeksi

Luchtman pada tahun 1867 dan infeksi T.soliumT.solium ditemukan pertama kali di Kalimantanditemukan pertama kali di Kalimantan Barat oleh Bonne pada tahun 1940. Di Indonesia, Taeniasis dilaporkan dari daerah Bali, Barat oleh Bonne pada tahun 1940. Di Indonesia, Taeniasis dilaporkan dari daerah Bali,

(2)

transmigrasi asal Bali seperti Sulawesi Tengah dan Lampung. Bali merupakan suatu daerah endemik dengan prevalensi 0.5% - 9.4%. Fakta melaporkan suatu daerah hiperendemik di Bali dengan prevalensi 23%. Di Pulau Samosir prevalensi berkisar sekitar 9.5% juga dijumpai pada daerah hiperendemik dengan prevalensi 21%. Prevalensi taeniasis di Irian Jaya dilaporkan sekitar 8% dan di Timor sekitar 7%.1,7

Di daerah Bali spesies T.saginata dijumpai lebih sering dibandingkan dengan T.solium. Hal yang sama juga dijumpai di Pulau Samosir. Mengingat bahwa sebagian  besar penduduk tidak mengonsumsi daging sapi, diduga sebagian besar cacing pita tersebut digolongkan sebagai Taenia asiatica. Di Irian Jaya spesies T.solium lebih dominan dibandingkan dengan T.saginata.1,7

Menurut laporan Abdussalam dari WHO, terdapat peningkatan insidens taeniasis setiap tahun di seluruh dunia. Faktor-faktor epidemiologi yang memudahkan  penyebaran penyakit ini yaitu : adanya sumber infeksi yaitu pasien taeniasis, cara  pembuangan tinja sembarangan sehingga terjadi kontaminasi tanah atau tumbuh-tumbuhan oleh telur taenia, adanya binatang perantara yang dipelihara di tempat yang terkontaminasi, pengawasan pemotongan daging yang tidak baik, kebiasaan makan daging yang tidak masak sempurna.4,13

III. Etiopatogenesis1,3

Cacing pita dewasa (Taenia) termasuk dalam family Taeniidae, subkelas Cestoda. Cacing ini terdiri dari bagian kepala yang disebut skoleks ( scolex), diikuti oleh  bagian leher yang tanpa ruas dan bagian-bagian ruas atau proglotid. Pada ujung  proglotid terdapat proglotid gravid yang penuh dengan telur. Keseluruhan cacing dari

skoleks sampai proglotid gravid disebut sebagai strobila.

Taenia saginata mempunyai panjang 4-10 meter dengan 1000-2000 proglotid. Skoleks berukuran 1-2 mm dengan 4 batil isap ( sucker ) tanpa rostellum atau alat  pengait. Proglotid gravid mempunyai uterus dengan percabangan lateral 15-30 buah.

Taenia solium mempunyai panjang 4-10 meter dengan 1000-2000 proglotid. Skoleks mempunyai 4 batil isap dengan 25-30 alat pengait. Uterus gravid memiliki  percabangan lateral 7-13 buah.

Taenia asiatica mempunyai gambaran morfologi yang sangat mirip dengan T.saginata, tetapi memiliki alat isap yang rudimeter dengan rostelum telanjang.

(3)

Gambar 1. Taenia solium dan Taenia saginata

Proglotid gravid T.saginata dapat keluar secara pasif bersama tinja pada waktu defekasi, tetapi dapat juga keluar secara aktif, bergerak pada permukaan kulit dan kadang-kadang dapat mencapai aksilla. Sedangkan proglotid T.solium hanya keluar secara pasif. Telur T.saginata dan T.solium tidak dapat dibedakan secara morfologi. Telur ini berbentuk bulat dengan ukuran 30-40 mikron, berwarna kuning tengguli dengan dinding telur berstruktur radier dan terdapat embryo hexacanth dengan 6 alat  pengait di dalamnya.2

Hospes definitive taenia hanya manusia, sedangkan hospes (binatang)  perantara alami Taenia solium dan Taenia saginata ialah babi dan sapi. Adapun hospes  perantara alami T.asiatica adalah babi. Cacing dewasa hidup pada bagian proksimal  jejunum. Proglotid gravid terlepas dari strobila, keluar bersama tinja, kemudian pecah

dan mengeluarkan telur. Telur dapat tahan beberapa minggu di luar tubuh, jika termakan oleh sapi atau babi ; akibat pengaruh asam lambung, getah pancreas dan empedu, telur

(4)

Embrio ini melalui peredaran darah menuju jaringan otot dan subkutan. Dalam waktu 12-15 minggu menjadi kista, yang pada sapi disebut cycticercus bovis dan pada babi disebut cycticercus cellulosae. Jika daging yang mengandung sistiserkus termakan manusia, larva akan keluar dari kista dan tumbuh menjadi cacing dewasa dalam jejunum dalam waktu 5-12 minggu. Cacing pita dewasa dapat tahan hidup sampai 20 tahun dalam usus.1,5,15

Karakteristik

T. solium

T. asiatica

T. sagi nata

Sistiserkus

Hospes perantara Babi, manusia, anjing

Babi, sapi, kambing, kera

Sapi

Lokalisasi Otot, otak, kulit, mata, lidah

Visera terutama hati (alat dalam)

Otot, visera Ukuran (mm) Skoleks 5-8 x 3-6 Rostelum dengan pengait 2x2 rostelum dengan pengait rudimenter 7-10 x 4-6 tak ada rostelum dan  pengait Cacing dewasa Skoleks Rostelum dengan pengait Rostelum tanpa  pengait

Tanpa rostelum dan  pengait

Cabang uterus pada  proglotid gravid Keluarnya proglotid 7-12 terutama dalam grup dan pasif 16-21 tunggal dan aktif 18-32 tunggal dan aktif

(5)

Gambar 2. Siklus Hidup Taenia4

Sistiserkus dapat ditemukan hampir di jaringan mana saja, namun setiap spesies memiliki predileksi jaringan tertentu. Di babi, sistiserkus T.solium ditemukan paling  banyak di otot skeletal, jantung, hati dan otak. Pada manusia, sspesies ini paling banyak ditemukan di jaringan subkutan, otot skeletal, mata dan otak. Penyakit serius hampir selalu disebabkan oleh sistiserkus yang ada dalam sistem saraf pusat (neurosistiserkus0 atau di jantung. Sistiserkus T.asiatica biasanya bisa didapatkan di jaringan hati. 5

(6)

IV. Gejala Klinik Taeniasis sp

a. Gejala Klinik Taeniasis solium

Kait-kait pada skoleks Taenia solium umunya tidak banyak menimbulkan gangguan pada dinding usus tempatnya melekat.6

Penderita taeniasis umumnya asimptomatik atau mempunyai keluhan yang umumnya ringan, berupa rasa tidak enak di perut, gangguan pencernaan, diare, konstipasi, sakit kepala, anemia , nyeri abdomen, kehilangan berat badan, malaise, anoreksia, peningkatan nafsu makan, rasa sakit ketika lapar (hunger  pain), indigesti kronik, dan hiperestesia. Sangat jarang terjadi komplikasi  peritonitis akibat kait yang menembus dinding usus. Sering dijumpai kalsifikasi  pada sistiserkus namun tidak menimbulkan gejala, akan tetapi sewaktu-waktu terdapat pseudohipertrofi otot, disertai gejala miositis, demam tinggi, dan eosinofilia6,7,8,9,11

Gejala klinik yang berhubungan dengan abdomen lebih umum terjadi  pada anak-anak dan umumnya akan berkurang dengan mengkonsumsi sedikit makanan. Pada anak-anak, juga dapat terjadi muntah, diare, demam, kehilangan  berat badan, dan mudah marah. Gejala lainnya yang pernah dilaporkan adalah

insomnia, malaise, dan kegugupan.9

Adapun gejala yang muncul disebabkan oleh karena adanya iritasi pada tempat perlekatan skoleks serta sisa metabolisme cacing yang terabsorpsi yang menyebabkan gejala sistemik dan intoksikasi ringan sampai berat.11

b. Gejala Klinik

Taeniasis saginata

Gambaran klinik dan diagnosa Taeniasis saginata  pada usus hampir serupa dengan infeksi Taeniasis solium.12  Pada taeniasis saginata terjadi inflamasi sub-akut pada mukosa usus.11

Proglotid dari Taenia saginata dapat bermigrasi ke berbagai organ seperti apendiks, uterus, duktus biliaris, dan nasofaring sehingga menyebabkan appendisitis, kholangitis, kolesistitis dan sindrom lainnya. Pada kasus yang langka, dapat ditemukan obstruksi usus atau perforasi.14,11

Kelainan patologis yang tampak pada penderita umumnya tidak jelas.  Namun dapat timbul gejala seperti rasa tidak enak pada perut, mual, muntah, dan

(7)

diare. Gejala lainnya berupa ileus yang dapat ditimbulkan oleh adanya obstruksi usus karena banyaknya jumlah cacing.15

c. Gejala Klinik Sistiserkosis

Sistiserkus pada kebanyakan organ biasanya tidak atau sedikit menimbulkan reaksi jaringan.10  Suatu penelitian post mortem menyebutkan  bahwa 80% dari seluruh kasus sistiserkosis asimptomatik.9  Akan tetapi, kista yang telah mati pada sistem saraf pusat dapat menimbulkan respon jaringan yang berat. Infeksi pada otak (sistiserkosis serebri) dapat menimbulkan gejala yang berat, akibat dari efek massa dan inflamasi yang disebabkan oleh degenerasi sistiserkus dan pelepasan antigen.10  Sistiserkus dapat juga menginfeksi sumsum tulang belakang, otot, jaringan subkutan, dan mata .10

Perubahan yang terjadi berhubungan dengan stadium peradangan. Dalam stadium koloidal, kista terlihat sama dengan kista koloid dengan materi gelatin dalam cairan kista dan degenerasi hialin dari larva. Dalam stadium granular-nodular, kista mulai berkontraksi dan dindingnya digantikan dengan nodul fokal limfoid serta nekrosis. Akhirnya, pada stadium kalsifikasi nodular jaringan granulasi digantikan oleh struktur kolagen dan kalsifikasi.17

Gejala timbul tergantung dari jumlah dan lokasi larva.9  Neurosistiserkosis merupakan bentuk sistiserkosis yang menyerang sistem saraf  pusat dan paling membahayakan. Pada kasus tertentu, gejala yang timbul mungkin timbul sangat lambat, tetapi progresif. Namun, dapat juga gejala timbul secara tiba-tiba akibat obstruksi cairan serebrospinal akibat adanya sistiserkus yang melayang-layang di dalam cairan. Gejala yang paling sering adalah sakit kepala kronik dan kejang atau epilepsi (70-90%). Gejala lainnya yang mungkin timbul adalah peningkatan tekanan intrakranial, hidrosefalus, tanda neurologis fokal, perubahan status mental,mual, muntah, vertigo, ataxia, bingung, gangguan  perilaku, dan demensia progresif, dan sakit kepala kronik.9,10,21Sedangkan apabila neurosistiserkosis menyerang sumsum tulang belakang dapat menyebabkan kompresi, transverse myelitis, dan meningitis. Namun kasus ini  jarang. 9

(8)

Adapun bentuk manifestasi klinis dari sistiserkosis terbagi atas 4:17

a. Infeksi inaktif, ditandai dengan penemuan residu infeksi aktif sebelumnya (kalsifikasi intraparenkimal). Gejala yang timbul: sakit kepala, kejang,  psikosis.

 b. Infeksi aktif, terdiri atas neurosistiserkosis parenkim aktif dan ensefalitis sistiserkal.

c.  Neurosistiserkosis ekstraparenkimal yang memiliki bentuk neurosistiserkosis ventrikular.

d. Bentuk lain: sistiserkosis spinal, sistiserkosis oftalmika, penyakit serebrovaskular, dan lain-lain.

Pada mata (sistiserkosis oftalmika), sistiserkus paling sering ditemukan  pada vitreous humor, rongga subretina dan konjungtiva. Gejala yang umum adalah kaburnya penglihatan atau berkurangnya visus, rasa sakit yang berat, sampai buta. Sistiserkus di otot biasanya asimptomatik. Namun, dalam jumlah  banyak dapat menimbulkan pseudohipertrofi, miositis, nyeri otot, kram, dan kelelahan. Larva di jantung menimbulkan gangguan konduksi dan miokarditis.9

Pada kulit, sistiserkus mungkin dapat terlihat sebagai nodul subkutan. Larva juga dapat menyebabkan vaskulitis atau obstruksi arteri kecil yang menimbulkan stroke. Akan tetapi, hal ini jarang terjadi.9

V. Penegakkan Diagnosis a. Diagnosis

Taeniasis sp

Diagnosa taeniasis dapat ditegakkan dengan 2 (dua) cara yaitu :11 a) Menanyakan riwayat penyakit (anamnesis).

Didalam anamnesis perlu ditanyakan antara lain apakah penderita pernah mengeluarkan proglotid(segmen) dari cacing pita baik pada waktu buang air besar maupun secara spontan. bila memungkinkansambil memperhatikan contoh potongan cacing yang diawetkan dalam botol transparan.11

 b) Pemeriksaan tinja

Tinja yang diperiksa adalah tinja sewaktu berasal dari defekasi spontan. Sebaiknya diperiksa dalamkeadaan segar. Bila tidak memungkinkan untuk diperiksa segera , tinja tersebut diberi formalin 5 –   10 %atau spiritus sebagai pengawet. Wadah pengiriman

(9)

tinja terbuat dari kaca atau bahan lain yang tidakdapat ditembus seperti plastik Kalau konsistensi padat dos karton berlapiskan parafin juga boleh dipakai.Pemeriksaan tinja secara mikroskopis dilakukan antara lain dengan metode langsung (secara natif),  bahanpengencer yang dipakai NaCL 0,9 % atau lugol. Dari satu spesimen tinja dapat digunakan menjadi 4sediaan.Bilamana ditemukan telur cacing Taenia SP, maka  pemeriksaan menunjukkan hasil positif taeniasisPada pemeriksaan tinja secara

makroskopis dapat juga ditemukan proglotid jika keluar.Pemeriksaan dengan metode langsung ini kurang sensitif dan speifik , terutama telur yang tidak selalu adadalam tinja dan secara morfologi sulit diidentifikasi metode pemeriksaan lain yang lebih sensitif dan spesitikmisalnya teknis sedimentasi eter, anal swab, dan coproantigen (paling sensitif dan spesifik)23

Dinyatakan penderitataeniasis, apabila ditemukan telur cacing Taenia sp pada  pemeriksaan tinjasecara mikroskapis dan/atau adanya riwayat mengeluarkan proglotid

atau ditemukan proglotid padapemeriksaan tinja secara makroskopis dengan atau tanpa disertai gejala klinis (tabel 2)23

Tabel 2 : Penegakkan diagnosis taeniasis berdasarkan anamnesis dan pemeriksan tinja

- DiagnosisTaeniasis solium

Diagnosis pasti Taeniasis solium ditegakkan jika ditemukan cacing dewasa (segmen atau skoleks yang khas bentuknya) pada tinja penderita atau  pada pemeriksaan daerah perianal. Namun, telur dan proglotid tidak akan

ditemukan pada feses selama 2-3 bulan setelah cacing dewasa mencapai bagian atas jejunum. Pemeriksaan dilakukan dengan memeriksa 3 sampel yang disarankan untuk dikumpulkan pada hari yang berbeda.Telur cacing yang

(10)

dapat dilakukan apabila ditemukan proglotid yang matang atau gravid dengan menghitung percabangan uterus.7,9,11,23

Cara lain untuk mendiagnosa taeniasis adalah dengan menemukan  proglotid atau telur dalam feses. Telur juga dapat ditemukan dengan

menggunakan pita adhesif yang ditempelkan pada daerah sekitar anus.9 Tabel 3. Perbedaan Morfologik T. saginata dan T. solium1

Adapun pemeriksaan coproantigen dan molekuler yang mempunyai sensitivitas yang lebih tinggi daripada pemeriksaan feses. Namun, pemeriksaan ini belum tersedia pada luar laboratorium penelitian. Metode serologis juga hanya tersedia pada lingkungan penelitian. Dengan metode serologis seperti ELISA dan PCR, dapat dibedakan spesies dari Taenia.9

- Diagnosis

Taeniasis saginata

Diagnosa Taenia saginata dapat menggunakan pita perekat (tes Graham). Untuk Taenia saginata test ini sangat sensitif, namun tidak pada Taenia solium. Pemeriksaan diagnostik terbaik untuk taeniasis intestinal adalah deteksi koproantigen ELISA yang dapat mendeteksi molekul spesifik dari taenia pada sampel feses yang menunjukkan adanya infeksi cacing pita. Sensitivitas dari ELISA sekitar 95% dan efektivitasnya sekitar 99%.13,25

- Diagnosis Sistiserkosis

Dinyatakan tersangka sistiserkosisapabila pada :11 a) Anamnesis :

1. Berasal dari /berdomisili didaerah endemis taeniasis / Sistiserkosis 2. Gejala taeniasis ( ± )

(11)

4. Benjolan (“ nodul subkutan” ) pada salah satu atau lebih bagian tubuh ( + )

5. Gejala pada mata dan gejala sistiserkosis lainnya ( ± ) 6. Riwayat / gejala epilepsi ( - )

7. Gejala peninggian tekanan intra kranial ( - ) 8. Gejala neurologis lainnya (- )

 b) Pemeriksaan Fisik :

1. Teraba benjolan /nodul sub kutan atau intra muskular satu lebih

2. Kelainan mata ( oscular cysticercosis ) dan kelainan lainnya yang disebabkan oleh sistiserkosis ( ± )

3. Kelainan neurologis ( - ) c) Pemeriksaan Penunjang

1. Pemeriksaan tinja secara makroskopis : Proglotid ( ± )

2. Pemeriksaan tinja secara mikroskopis : telur cacing taenia sp ( ± ) 3. Pemeriksaan serologis : sistiserkosis ( + )

4. Pemeriksaan biopsi pada nodul subkutan gambaran menunjukkan patologi anatomi yang khas untuksistiserkosis (+).

Paling sedikit gejala klinis yang harus ditemukan pada tersangka sistiserkosis ialah teraba benjolan/nodulsubktan atau intra muskular baik satu atau lebih pada orang yang  berasal dari/berdomisili di daerah endemistaeniasis/sistiserkosis.Dinyatakan penderita

sistiserkosis apabila pada tersangka sistiserkosis sudah dipastikan diagnosisnya denganpemeriksaan serologis danatau pemeriksaan biopsi.11

Pemeriksaan serologis dilakukan dengan metode ELISA (Enzyme Linked Immuno Sorbent Assay) dan atauImmunoblot Spesimen yang diperiksa berupa serum (darah vena yang diambil kurang lebih 5ml). Tempatpemeriksaan di Laboratorium yang telah ditentukan. Pengiriman spesimen serum menggunakan tabung / botolsteril dan es batu (suhu ±1º C).Pada tersangka sistiserkosis yang menunjukkan respon positif terhadap obat sistiserkosis, membantu menegakkandiagnosis (dapat dianggap sebagai penderita sistiserkosis).18,19

- DiagnosisNeurosistiserkosis

(12)

1) Berasal dari / berdomisili didaerah endemis 2) Gejala taeniasis (±)

3) Riwayat mengeluarkan proglotid (±)

4) Gejala pada mata dan gejala sistiserkosis lainnya (±)

5) Riwayat /gejala epilepsi (+), dengan atau tanpa disertai sakit kepala yang  berlangsung lebih dari dua minggu,serta mual dan / atau muntah pada orang yang  berasal dari / berdomisili di daerah endemis.

6) Gejala peninggian tekanan intra kranial (±) 7) Gejala neurologis lainnya (±)

 b) Pemeriksaan fisik

1) Teraba benjolan / nodul sub kutan atau intra muskular satu atau lebih

2) Kelainan mata (ocular cysticercosis) dan kelainan lainnya yang disebabkan cysticercosis (±)

3) Kelainan neurologis (±) c) Pemeriksaan Penunjang

1) Pemeriksaan secara tinja makroskopis : proglotid (+)

2) Pemeriksaan tinja secara mikroskopis : telur cacing Taenia sp (+)

3) Pemeriksaan darah tepi : Hb , leukosit (leukositosis), Eritrosit, hitung jenis (Eosinofilia), laju endapdarah / LED (meningkat) dan gula darah

4) Punksi lumbal : sel (eosinofil meningkat 70 %), Protein (meningkat 100 %) glukosa (menurun 70 %dibandingkan dengan glukosa darah) NaCI

5) Pemeriksaan serologi (ELISa dan atau Immunoblot) : sistiserkosis (+) Spesimen yang diperiksa berupacairan otak (LCS) kurang lebih sebanyak 2-3 cc. Tempat  pemeriksaan di laboratorium yang telahditentukan. Pengiriman spesimen cairan

otak dengan tabung/botol steril dan es batu (suhu 1 º C).9

Tes serologi kebanyakan menggunakan antigen yang tidak terfraksi yang menyebabkan positif dan negatif palsu. Hal ini diperkirakan karena aviditas kista dengan immunoglobulin yang menyebabkan positif palsu.16  Pada manusia ada  beberapa jenis pemeriksaan serologis termasuk enzyme-linked

immunoelectrotransfer blot (EITB), ELISA, fiksasi komplemen, dan

(13)

serebrospinal.9  Namun, immunoblot assay CDC, yang menggunakan serum spesimen, sangat spesifik dan lebih sensitif dibandingkan pemeriksaan enzim immunoassay lainnya (umumnya ketika terdapat lebih dari 2 lesi sistem saraf  pusat, sensitivitas lebih rendah daripada hanya ada satu kista).10 Dekade terakhir  pemeriksaan standar dengan metode serologis untuk diagnosa sistiserkosis adalah

immunoblot yang dibantu dengan pemeriksaan spesifik ELISA.18,19

Pemeriksaan EITB telah terbukti spesifik untuk infeksi T.solium. EITB sensitif  pada kista parenkim aktif multipel atau neurosistiserkosis ekstraparenkim. Meskipun demikian sensitivitasnya rendah pada pasien dengan kista parenkimal atau kalsifikasi sehingga pada infeksi inaktif pemeriksaan serologi seringkali negatif. Pemeriksaan serologi berperan penting di daerah yang belum memiliki fasilitas CT dan MRI.16  Pemeriksaan EITB menunjukkan spesifisitas dan sensitivitas yang masing-masing bernilai mendekati 100% dan 98% apabila  pemeriksaan dilakukan pada neurosistiserkosis dengan 2 kista atau lebih yang

masih hidup.13  Pemeriksaan ELISA dengan menggunakan antigen rekombinan memiliki sensitivitas 90% dan spesifisitas 100%. Namun, kelemahan ELISA adalah tidak dapat mendeteksi kista yang telah berdegenerasi.13

6) Bila memungkinkan dilakukan pemeriksaan foto kepala (untuk kista yang sudah mengalami kalsifikasi)dan lebih baik lagi pemeriksaan CT Scan (Computerized tomography scanning) atau MRI (magnetic resonance imaging). Pencitraan merupakan metode utama untuk neurosistiserkosis.17  Untuk mendiagnosa neurosistiserkosis dan mengevaluasi gejala neurologis dapat dipakai CT scan dan MRI.9  CT scan adalah metode terbaik untuk mendeteksi kalsifikasi yang merupakan infeksi inaktif. CT lebih unggul daripada MRI, sebaliknya MRI lebih sensitif untuk menemukan kista di parenkim dan ekstraparenkim otak, termasuk dalam mendeteksi reaksi peradangan.17 Pada hasil dari pemeriksaan CT scan atau MRI, mungkin dijumpai nodul padat, kista, kista yang telah terkalsifikasi, lesi cincin, atau hidrosefalus.10

Pada pemeriksaan radiologis, apabila dijumpai kista yang hidup, dinding kista tidak terlihat dan cairan sistiserkus memiliki kepadatan yang sama dengan cairan

(14)

respon imun, pada awalnya, akan terlihat peningkatan kontras sekitar kista. Pada akhirnya, akan terlihat gambaran peningkatan kontras seperti cincin atau nodul.20

Kista yang tidak aktif (terkalsifikasi) pada berbagai bagian tubuh, termasuk otak dan otot, mungkin dapat terlihat pada foto X-ray. Biopsi dapat dilakukan untuk nodul subkutan dan larva di mata dapat ditemukan pada pemeriksaan mata. Spesies dari larva dapat diidentifikasi setelah operasi.9

Untuk menyatakan seseorang menderita sistiserkosis diperlukan  beberapa kriteria, antara lain : 17

Kriteria Mayor:

 Penemuan berdasarkan pemeriksaan pencitraan, di mana ditemukan

sistiserkus berukuran 0,5 – 2 cm.

 Ditemukannya antibodi spesifik antisistiserkal menggunakan EITB.

Kriteria Minor:

 Kejang

 Peningkatan tekanan intrakranial  Kalsifikasi intraserebral pungtata

  Nodul subkutan atau hilangnya lesi setelah pengobatan dengan anti parasit

Diagnosis dapat ditegakkan apabila dijumpai dua kriteria mayor, atau satu kriteria mayor dan dua kriteria minor, ditambah riwayat pajanan.16

VI. Penatalaksanaan

Berbagai macam obat dapat dipakai sebagai terapi taeniasis. Obat pilihan untuk infeksi cacing pita saat ini ialah prazikuantel dan niklosamid. 1

a. Prazikuantel (Biltricide, Cesol)

Prazikuantel diberikan sebagai dosis tunggal 10mg/kgBB dosis tunggal, dua jam kemudian dapat diberikan laksans (magnesium sulfat).1

b. Niclosamide (Nicloside, Yamesan)

Dosis niclosamid adalah 2 gram (4 tablet @ 500mg) sekali makan atau diberikan 1 gram dengan jarak 1 jam, pagi –  pagi pada waktu perut kosong. Pada infeksi T. solium

dianjurkan pemberian laksans untuk mencegah autoinfeksi yang secara teoritis dapat menimbulkan sistiserkosis.1

(15)

Setelah 3 bulan tinja diperiksakembali untuk mencari adanya telur cacing atau adanya pengeluaran proglotid. Jika tidak ditemukan telur atau proglotid berarti terjadi kesembuhan sempurna.1

Pengobatan untuk sisteserkosisterdiri dari obat antiparasit :1

1. Praziquantel dengan dosis 50 mg/kg BB/hari, dosis tunggal /dibagi 3 dosis per oral selama 15 hari, atau

2. Albendazole 15 mg/kg BB/hari, dosis tunggal dibagi 3 dosis per oral selama 7 hari. Untuk pengobatan dengan praziquantel maupun albendazole,reaksi dari tubuh dapat dikurangi dengan memberikan kortikosteroid (prednison 1mg/kg BB/hari dosis tunggal/dibagi 3 dosis atau dexamethasone dengan dosis yang setara dengan prednison). Pemberian praziquantel maupun albendasole harus dibawah pengawasan petugas kesehatan atau dilakukan dirumah sakit.

Pengobatan untuk neurosisteserkosis terdiri dari obat antiparasit, pembedahan dan obat-obat simtomatik. Obat antiparasit yang efektif adalah prazikuental dan albendazol. Pengobatan pilihan adalah dengan pemberian1;

1. Prazikuental 50 mg/kgBB/hari selama 14 hari. Untuk mengurangi akibat reaksi radang karena kematian larva biasanya diberikan prdnison 30 mg/hari, 1-2 hari sebelum pemberian prazikuantel sampai 3-4 hari setelah pemberian  prazikuantel.

2. Albendazol cukup efektif untuk pengobatan neurosisteserkosis dengan dosis 15 mg/kgBB/hari selama 8-15 hari.Albendazool memmiliki daya penetrasi ke otak lebih besar, kadarnya tidak dipengaruhi oleh steroid dan harganya lebih murah. Pada kasus-kasus tertentu dapat dipertimbangkan terapi pembedahan.1 VII. Pencegahan7,13,20

Untuk mencegah terjadinya penularan taeniasis, dilakukan tindakan-tindakan sebagai berikut5:

1. Mengobati penderita, untuk mengurangi sumber infeksi, dan mencegah terjadinya autoinfeksi dengan larva cacing

2. Peningkatan kinerja pengawasan daging yang dijual, agar bebas larva cacing (sistiserkus)

(16)

3. Memasak daging sampai di atas 50oC selama 30 menit, untuk membunuh kista cacing, membekukan daging7

4. Menjaga kebersihan lingkungan dan tidak memberikan tinja manusia sebagai makanan babi, tidak membuang tinja di sembarang tempat

5. Pada daerah endemik, sebaiknya tidak memakan buah dan sayur yang tidak dimasak dan yang tidak dapat dikupas

6 Hanya meminum air yang telah dikemas dalam botol, air yang disaring, atau air yang dididihkan selama 1 menit

7. Dapat dilakukan pemberian pendidikan mengenai kesehatan

8. Pada babi, dapat dilakukan pemberian oxfendazole oral (30 mg/kg BB). Bila  perlu, vaksinasi dengan TSOL18, setelah dilakukan eliminasi parasit dengan

kemoterapi VIII. Komplikasi

Taeniasis dapat menyebabkan komplikasi yang paling sering yaitu neurosistiserkosis. Menurut laporan WHO diperkirakan sebanyak 50 juta penduduk di dunia mengalami neurosistiserkosis, dan sebanyak 50.000 orang meninggal dunia.  Neurosistiserkosis dapat menyebabkan kejang (paling sering) terjadi sebanyak 50%,

nyeri kepala hebat, stroke (menyebabkan defisit neurologis), gangguan kejiwaan hingga kematian.Komplikasi lainnya yaitu ileus obstruksi, kerusakan pada mata, otot (mialgia) dan juga bisa terjadi sindrom loeffler.25

IX. Prognosis

Infeksi T. saginata mempunyai prognosis baik, jarang sekali menimbulkan komplikasi. Infeksi oleh T. solium dapat memberi komplikasi serius terutama sistiserkosis pada susunan saraf pusat yang dapat memberi prognosis kurang  baik.Neurosisteserkosis tanpa pengobatan memberikan angka kematian sekitar 50%. Pengobatan memberi hasil efektif pada 70-80% kasus dan menurunkan mortalitas menjadi 6-16%.1

X. Kesimpulan

Taeniasis merupakan masalah di masyarakat yang harus diatasi,terjadi pada manusiadengan higiene dan pola hidup yang tidak sehat. Gejala yang dapat timbul yaitu

(17)

anemia, mual, muntah, nyeri perut, konstipasi, diare hingga berak berdarah, batuk, lesu, dan juga pruritus. Gejala paling berat hingga menyebabkan morbiditas yang berat ketika  pasien telah mengalami neurosistiserkosis, atau anemia berat.Diagnosis ditegakkan  berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan ditemukannya telur, larva atau cacing dalam preparat tinja, baik preparat langsung ataupun kultur. Pengobatan dilakukan dengan antihelmintik yang tepat. Pencegahandengan memperbaiki dan meningkatkan higiene pribadi masyarakat sehingga siklus hidup cacing ini dapat terhambat atau terputus. Prognosis pada taeniasis, apabila infeksi yang terjadi ringan dan tanpa komplikasi maka prognosanya cenderung baik.

(18)

DAFTAR PUSTAKA

1. Setiati, Siti et.al. 2014. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi Keenam. Interna Publishing : Jakarta.

2.  Nanjappa, Sowmya. 2015. Taenia Infection.

http://emedicine.medscape.com/article/999727-overview#a4

3. Wandra, Toni et.al. 2003. Taenia soliumCysticercosis, Irian Jaya, Indonesia. Emerging Infectious Disease Jul ; vol. 9(No. 7) 884-8

4. Centres for Disease Control and Prevention. 2013. Taeniasis.

http://www.cdc.gov/dpdx/taeniasis/

5. The Centre For Food Security & Public Health. 2005. Taenia Infection. Iowa State University.

6. Handojo, I., dan Margono, S.S., 2008. Taenia saginata. Dalam: Sutanto I., Ismid, I.S., Sjarifuddin, P.K., dan Sungkar, S., ed. Buku Ajar Parasitologi Kedokteran ed 4. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 79-82.

7. Soedarto, 2008. Parasitologi Klinik . Surabaya: Airlangga University Press, 19-26.

8. Tolan, R.W., 2011. Taenia Infection. Available from:

http://emedicine.medscape.com/article/999727-overview#a0104.

9. Center for Food Security and Public Health (CFSPH), 2005. Taenia Infections. Available from: http://www.ivis.org/advances/Disease_Factsheets/taenia.pdf 

10. Pearson, R.D., 2009a. Taeniasis solium and Cysticercosis (Pork Tapeworm Infection). Available from: http://www.merckmanuals.com/professional/sec14/ch184/ch184j.html 11. Ideham, B., dan Pusarawati, S., 2007. Helmintologi Kedokteran. Surabaya: Airlangga

University Press, 77-81, 89-99.

12. Pearson, R.D., 2009b. Taeniasis saginata (Beef Tapeworm Infection). Available from: http://www.merckmanuals.com/professional/sec14/ch184/ch184i.html

13. World Health Organization (WHO), 2009. Report of the WHO Expert Consultation on  Foodborne Trematode Infections & Taeniasis/Cysticercosis. Availablefrom: http://www.who.int/neglected_diseases/preventive_chemotherapy/WHO_HTM_NTD_P CT_2011.3.pdf 

14. Center for Food Security and Public Health (CFSPH), 2005. Taenia Infections. Available from: http://www.ivis.org/advances/Disease_Factsheets/taenia.pdf 

(19)

15. Handojo, I., dan Margono, S.S., 2008a. Taenia saginata. Dalam: Sutanto I., Ismid, I.S., Sjarifuddin, P.K., dan Sungkar, S., ed. Buku Ajar Parasitologi Kedokteran ed 4. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 79-82

16. White, C.A., 1997. Neurocysticercosis: A Major Cause of Neurological Disease Worldwide.Clin Infect Dis24: 101-115

17. Wiria, A.E., 2008. Sistiserkosis. Dalam: Sutanto I., Ismid, I.S., Sjarifuddin, P.K., dan Sungkar, S., ed. Buku Ajar Parasitologi Kedokteran ed 4. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 86-89

18. Margono, S.S., Ito, A., Sato, M.O., Okamoto, M., Subahar, R., Yamasaki, H., et al., 2003. Taenia solium Taeniasis/Cysticercosis in Papua, Indonesia in 2001: Detection of Human Worm Carriers. Journal of Helminthology77: 39-42 [Abstract].

19. Garcia, M.D.L., Torres, M., Correa, D., Flisser, A., Sosalechuga, A., Velasco, O., et al., 1999. Prevalence and Risk of Cysticercosis and Taeniasis in An Urban Population of Soldiers and Their Relatives. Am J Trop Med Hyg61 (3): 386 – 389.

20. Garcia, H.H., Evans, C.A.W., Nash, T.E., Takayanagui, O.M., White, A.C., Botero, D., et al., 2002. Current Consensus Guidelines for Treatment of Neurocysticercosis.  American Society for Microbiology15 (4): 747-756.

21. Tenzer, R., 2009. Cysticercosis. Available from:

http://emedicine.medscape.com/article/781845-overview

22. Del Brutto O.H., 2005. Neurocysticercosis.Semin Neurol25(3): 243-251

23. Centers for Disease Control and Prevention (CDC), 2010. Taeniasis: Resources for

 Health Professionals. Available from:

http://www.cdc.gov/parasites/taeniasis/health_professionals/index.html

24. García, H.H., Gonzalez, A.E., Evans, C.E.A., and Gilman R.H., 2003. Taenia solium Cysticercosis. Lancet362: 547-556.

25. Zafar, M., 2017.  Neurocysticercosis.  Available from:

Gambar

Gambar 1. Taenia solium dan Taenia saginata
Tabel 1. Gambaran Karakteristik T.solium, T.saginata, dan T.asiatica 1
Gambar 2. Siklus Hidup Taenia 4
Tabel 2 : Penegakkan diagnosis taeniasis berdasarkan anamnesis dan pemeriksan tinja

Referensi

Dokumen terkait

Akan tetapi ruh yang ingin penulis berbagi disini adalah ruh sebagai “al-lathifah al-'alimah al-mudrikah min al-insan ( sesuatu yang halus, yang ditiupkan Allah ).Ruh adalah

Jadi pada triwulan I 2011 dari perhitungan Z-Scorenya menghasilkan nilai Z yang sebesar -1.39 yang berarti bahwa nilai Z&lt;1,88 dan perusahaan mengalami kebangkrutan

Gambar 4. Hasil pemotretan permukaan lapisan tipis enampang lintang lapisan tipis CdSe perbesaran 5000 kali. Spectroscopy) Komposisi kimia dari preparasi lapisan tipis CdSe

pelaksanaan kewajiban mewujudkan media lingkungan yang memenuhi Standar Baku Mutu Kesehatan Lingkungan dan Persyaratan Kesehatan yang dilakukan oleh setiap pengelola,

Dari skor rata-rata postes ini, simpulan yang dapat ditarik adalah model pembelajaran seminar Socrates lebih baik daripada model pembelajaran langsung da-

Dari hasil pengasapan ikan dengan menggunakan alat pengasapan ikan yang telah dikembangkan diharapkan dapat menghasilkan ikan yang kering, tidak berbau amis, ikan matang merata,

Hasil penelitian menunjukan: (1) panduan model tux paint yang dikembangkan meliputi ; (a) pengenalan tools aplikasi tux paint, (c) langkah – langkah penerapan menggambar