• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perbandingan Protein Creatinine Ratio (PCR) terhadap Protein Urin 24 Jam pada Nefropati Diabetik

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Perbandingan Protein Creatinine Ratio (PCR) terhadap Protein Urin 24 Jam pada Nefropati Diabetik"

Copied!
77
0
0

Teks penuh

(1)

PERBANDINGAN

PROTEIN CREATININE RATIO (PCR)

TERHADAP PROTEIN URIN 24 JAM PADA

NEFROPATI DIABETIK

TESIS

OLEH :

PANTAS TANDI H NAIBAHO

DEPARTEMEN PATOLOGI KLINIK

FAKULTAS KEDOKTERAN USU / RSUP H. ADAM MALIK

MEDAN

(2)

PERBANDINGAN

PROTEIN CREATININE RATIO (PCR)

TERHADAP PROTEIN URIN 24 JAM PADA

NEFROPATI DIABETIK

TESIS

Diajukan Untuk Melengkapi Persyaratan Untuk Mencapai Dokter Spesialis Dalam Bidang Patologi Klinik Pada Fakultas Kedokteran

Universitas Sumatera Utara

OLEH :

PANTAS TANDI H NAIBAHO

DEPARTEMEN PATOLOGI KLINIK

FAKULTAS KEDOKTERAN USU / RSUP H. ADAM MALIK

MEDAN

(3)
(4)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur atas segala Kasih dan Anugerah Allah Yang Maha Kuasa, sehingga saya dapat mengikuti dan menyelesaikan Program Pendidikan Dokter Spesialis Patologi Klinik Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara dan dapat menyelesaikan karya tulis (tesis) ini yang berjudul Perbandingan Protein Creatinine Ratio (PCR) terhadap Protein Urin 24 Jam pada Nefropati Diabetik.

Selama saya mengikuti pendidikan dan selama proses penyelesaian penelitian untuk karya tulis ini, saya telah mendapat bimbingan, petunjuk, bantuan dan pengarahan serta dorongan baik materil dan moril dari berbagai pihak sehingga saya dapat menyelesaikan pendidikan dan karya tulis ini. Untuk semua itu perkenankanlah saya menyampaikan rasa hormat dan terimakasih saya yang tidak terhingga kepada :

Yth, Prof. Dr. Adi Koesoema Aman SpPK-KH, Ketua Departemen Patologi Klinik Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara/RSUP H. Adam Malik Medan, yang telah menerima dan memberikan kesempatan kepada saya sebagai peserta Program Pendidikan Dokter Spesialis Patologi Klinik dan telah memberikan bimbingan dan pengarahan selama saya mengikuti pendidikan.

(5)

Universitas Sumatera Utara, yang telah banyak membimbing, mengarahkan dan memotivasi baik selama saya mengikuti pendidikan hingga selesainya tesis ini.

Yth, Dr. Zulfikar Lubis SpPK-K, sebagai pembimbing saya yang telah banyak memberikan bimbingan, petunjuk, pengarahan, bantuan dan dorongan selama dalam pendidikan dan proses penyusunan sampai selesainya tesis ini. Saya mengucapkan terimakasih, kiranya Allah Yang Maha Kuasa membalas semua kebaikannya.

Yth, Dr. Salli Roseffi Nasution SpPD-KGH, sebagai pembimbing II saya dari Departemen Penyakit Dalam subdivisi Nefrologi yang sudah memberikan , petunjuk, pengarahan dan bantuan, mulai dari penyusunan proposal, selama dilaksanakannya penelitian sampai selesainya tesis ini.

Yth, Dr. Ricke Loesnihari SpPK-K, sebagai Sekretaris Program Studi di Departemen Patologi Klinik Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara, yang telah banyak memberikan bimbingan dan petunjuk selama saya mengikuti pendidikan.

Yth, Dr. Farida Siregar SpPK, yang sudah memberikan bimbingan dan dorongan selama saya menjalani pendidikan. Hormat dan terimakasih yang tak terhingga saya ucapkan.

Yth, seluruh guru-guru saya, Prof. Dr. Burhanuddin Nasution SpPK-KN, Prof. Dr. Herman Hariman PhD, SpPK-KH, Dr. Muzahar

DMM, SpPK, Dr. Ozar Sanuddin SpPK-K, Dr Tapisari Tambunan

(6)

Samosir SpPK, yang telah banyak memberikan bimbingan, nasehat, arahan dan dukungan selama saya mengikuti pendidikan dan hingga selesainya tesis ini. Hormat dan terimakasih saya ucapkan . Begitu juga kepada guru-guru yang telah mendahului kita yaitu Alm.Prof. Dr. Iman Sukiman SpPK-KH, Alm. Dr. R. Ardjuna M. Burhan DMM, SpPK-K,

Alm. Irfan Abdullah SpPK-KH, Alm. Dr. Paulus Sembiring SpPK-K,

Alm. Dr. Hendra Lumanauw SpPK-K, saya tidak melupakan semua jasanya dalam pendidikan ini.

Yth, Dr. Budi Dermawan SpPK, yang telah memberikan bantuan pengolahan data statistik selama penelitian hingga selesainya tesis ini.

Yth. Siti Rodyah S.si kepala ruangan Kimia Klinik RSUP H. Adam Malik yang telah bekerjasama dengan baik selama saya mengadakan penelitian.

Yth. Seluruh teman sejawat peserta PPDS Patologi Klinik FK-USU/RSUP H. Adam Malik Medan, para analis, karyawan / karyawati

di Departemen Patologi Klinik RSUP H. Adam Malik Medan, serta semua pihak yang tidak dapat saya sebutkan satu-persatu yang telah memberikan bantuan dan kerjasama yang baik selama saya mengikuti pendidikan.

(7)

Kiranya Allah Yang Maha Kuasa membalas semua budi baik dan kasih sayangnya. Begitu juga kepada Bapak dan Ibu mertua saya yang juga telah banyak memberikan bantuan moril maupun materil kepada saya dan keluarga. Juga kepada Abang-Abang,dan Kakak saya yang tidak henti-hentinya memberikan semangat selama saya mengikuti pendidikan.

Akhirnya terimakasih yang tak terhingga saya sampaikan kepada istri tercinta Drg. Sandra Putri M. Simbolon yang telah mendampingi saya dengan penuh pengertian, perhatian, memberikan dorongan dan pengorbanan selama saya mengikuti pendidikan sampai saya dapat menyelesaikan pendidikan ini. Juga kepada anak-anakku terkasih Manuella Naibaho dan Michelle Naibaho yang telah banyak kehilangan perhatian dan kasih sayang selama saya mengikuti pendidikan, semoga ini semua dapat menjadi motivasi dalam mencapai cita-cita kalian.

Akhir kata, semoga kiranya tesis ini dapat bermanfaat bagi kita semua, Amin.

Medan, Juni 2012 Penulis,

(8)

Medan, Juni 2012

Tesis ini diterima sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan gelar Magister Kedokteran Dalam Bidang Patologi Klinik di Departemen Patologi Klinik Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara / RSUP H. Adam Malik Medan.

Disetujui:

Pembimbing Pertama Pembimbing Kedua

( Dr. Zulfikar Lubis, SpPK-K ) NIP. 19561101 198302 1 002

( Dr. Salli Roseffi Nst, SpPD-KGH) NIP. 19540514 198110 1 002

Disyahkan oleh:

Ketua Departemen Patologi Klinik FK-USU/RSUP H.Adam Malik Medan

Ketua Program Studi Departemen Patologi Klinik FK-USU/RSUP H.Adam Malik Medan

(Prof.Dr. Adi K.Aman, SpPK-KH) NIP. 19491011 1979 01 1 001

(9)

DAFTAR ISI

Halaman

Kata Pengantar ... i

Daftar isi ... v

Daftar Gambar, Tabel dan Lampiran ... viii

Daftar Singkatan………. x

Ringkasan ... xi

BAB I. PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Perumusan Masalah……… 5

1.3 Hipotesa Penelitian ... 5

1.4 Tujuan Penelitian ... 5

1.5 Manfaat Penelitian ... 5

1.6 Kerangka Konsep ... 6

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA ... 7

2.1 Protein Urin Normal ... 7

2.2 Proteinuria……… ... 8

(10)

2.2.2 Patofisiologi Proteinuria………. ... 10

2.3 Protein Urin 24 jam ... 11

2.4 Kreatinin……… ... 13

2.5 Protein Creatinine Ratio (PCR) Urin ... 15

2.6 Nefropati Diabetik ... 17

2.6.1 Definisi Nefropati Diabetik ... 17

2.6.2 Proteinuria pada Nefropati Diabetik ... 18

2.6.3 Patogenesis Nefropati Diabetik ... 19

2.6.4 Tahapan Nefropati Diabetik………... ... 20

BAB III. METODE PENELITIAN ... 22

3.1 Desain Penelitian ... 22

3.2 Tempat dan waktu penelitian ... 22

3.3 Populasi dan Subjek Penelitian ... 22

3.3.1 Populasi Penelitian ... 22

3.3.2 Subjek Penelitian ... 23

3.3.3 Kriteria Inklusi ... 23

3.3.4 Kriteria Eksklusi ... 23

3.3.5 Batasan Operasional……….. ... 23

(11)

3.5 Analisa Data ... 24

3.6 Bahan dan Cara Kerja ... 25

3.6.1 Pengambilan dan Penampungan Sampel ………. 25

3.6.2 Pengolahan Sampel………... ... 26

3.7 Pemeriksaan Laboratorium ... 26

3.7.1 Pemeriksaan Total Protein Urin ... 27

3.7.2 Pemeriksaan Kreatinin Urin ... 28

3.8 Pemantapan Kualitas………. ... 30

3.8.1 Kalibrasi Pemeriksaan Laboratorium…….. ... 30

3.8.2 Kontrol Kualitas Pemeriksaan Laboratorium.. ... 32

3.9 Kerangka Kerja ... 34

BAB IV. HASIL PENELITIAN ... 35

BAB V. PEMBAHASAN………. 40

BAB VI. KESIMPULAN DAN SARAN………. 43

(12)

DAFTAR GAMBAR, TABEL dan LAMPIRAN

Halaman

GAMBAR

Gambar 1. Patogenesis Nefropati Diabetik ... 20

Gambar 2. Kurva Kalibrasi Protein Urin ... 31

Gambar 3. Kurva Kalibrasi Creatinine ... 32

Gambar 4. Scatter diagram PCR dan Protein urin 24 jam ... 36

Gambar 5. Limit of agreement dari PCR dan Protein urin 24 jam 37 Gambar 6. ROC curve cut off 0.2 ... 38

Gambar 7. ROC curve cut off 0.7……… ... 39

TABEL

Tabel 1. Hasil Kalibrasi Kalibrator Creatinine ... 32

Tabel 2. Hasil Kontrol Kualitas Total Protein Urin ... 32

Tabel 3. Hasil Kontrol Kualitas Creatinine ... 33

LAMPIRAN

Lampiran 1 Lembaran Penjelasan Kepada Calon Subjek Penelitian ... 52

(13)

Lampiran 3 Status Pasien ... 55 Lampiran 4 Surat Persetujuan Komite Etik Penelitian Bidang

Kesehatan ... 56 Lampiran 5 Surat Izin Penelitian dan Penunjukan Dr. Salli Roseffi

(14)

DAFTAR SINGKATAN

PGK : Penyakit Ginjal Kronik DM : Diabetes Melitus

USRDS : United State Renal Data System ND : Nefropati Diabetik

PCR : Protein Creatinine Ratio PU : Protein Urin

NKF-K/DOQI : National Kidney Foundation-Kidney/Disease Outcome Quality Initiative

PPV : Positive Predictive Value NPV : Negative Predictive Value LFG : Laju Filtrasi Glomerulus

MDRD : Modified Diet in Renal Disease UAER : Urine Albumin Excretion Rate ESRD : End Stage Renal Disease ISK : Infeksi Saluran Kemih LOA : Limit Of Agreement

EDTA : Ethylene Diamine Tetra Acetate C f a s : Calibrator for automated system PUC : Protein Urine / CSF

(15)

RINGKASAN

Tes urin dapat membantu menegakkan diagnosa penyakit-penyakit pada manusia. Ini membuktikan bahwa urin merupakan suatu medium tes yang ideal bagi para dokter, karena tes ini non invasive, dan hasil dari pemeriksaan dapat diperoleh beberapa menit. Proteinuria dan albuminuria merupakan faktor utama penentu terjadinya perburukan fungsi ginjal yang telah dibuktikan dengan beberapa penelitian. Proteinuria akibat kerusakan glomerulus, ditandai oleh adanya protein dengan berat molekul tinggi dalam urin.

Pada banyak kasus proteinuria seperti Nefropati Diabetik maupun Nefropati Non Diabetik para klinisi tidak cukup puas dengan pemeriksaan proteinuria kwalitatif. Sampai saat ini pemeriksaan Protein Urin 24 jam masih merupakan gold standard untuk mengetahui jumlah total protein yang diekskresikan.

Belakangan ini muncul laporan pemeriksaan Protein to Creatinine Ratio (PCR) yaitu membandingkan kadar protein urin dengan kreatinin urin.pada sampel urin spot sehingga lebih mudah tingkat kepatuhan pasien dan kesalahan (error) sampel hampir tidak ada.

(16)

Rancangan penelitian ini adalah cross sectional, dengan jumlah penderita ND 35 orang yang berasal dari poliklinik Nefrologi Departemen Penyakit Dalam RSUP Haji Adam Malik Medan. Sebagai kelompok pembanding adalah individu normal tanpa bukti adanya Nefropati Diabetik. Seluruh penelitian ini dilaksanakan mulai bulan Juni 2011 sampai September 2011. Pemeriksaan protein urin kuantitatif pada spot random dan protein urin 24 jam menggunakan metode Turbidimetric dan kreatinin urin metode

enzymatic colorimetric (Roche).

Pada uji korelasi dengan Korelasi Spearman’s gambar 4 didapati nilai korelasi yang bermakna antara PCR dan protein urin 24 jam dengan

p = 0,0001. Koefisien korelasi ( r ) sebesar 0.679.

Dari gambar 5 limits agreement merupakan nilai rata-rata (mean)

perbedaan kedua tes dengan ± 1.96 standart deviasi. Pada penelitian ini nilai mean = 0,5 serta Lower limit agreement -3.3375 dan Upper limit agreement 4.2644

(17)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Penyakit ginjal kronik (PGK) tahap akhir merupakan masalah yang

besar oleh karena insidensinya yang semakin meningkat di seluruh dunia

juga di Indonesia.(1) Penderita Diabetes Mellitus (DM) memiliki resiko yang cukup besar untuk mendapatkan penyakit ginjal.(2,3) Diperkirakan 7 kali lebih besar dari orang yang bukan DM.(4,5) Menurut data dari United State Renal Data System (USRDS) 2006 Diabetes Mellitus merupakan penyebab utama gagal ginjal tahap akhir di dunia Barat maupun di Asia.(1) Sebanyak 25-40% DM tipe 1 dan 5-10% DM tipe 2 akan menjadi penyakit

ginjal tahap akhir melalui Nefropati Diabetik (ND).(6,7)

Prevalensi ND di negara Barat sekitar 16%. Di Thailand ND

dilaporkan sekitar 29,4%, di Filipina sebesar 20,8%, sedangkan di

Hongkong sekitar 13,1%. Di Indonesia prevalensi ND tahun 1983 hanya

8,3% dan tahun 1990 meningkat 2 kali lipat, bahkan tahun 2000 sudah

menduduki urutan kedua sebagai penyebab terjadinya PGK setelah

glomerulonefritis. (8)

Seiring dengan meningkatnya angka harapan hidup USRDS

memperkirakan pada tahun 2030 lebih dari 2,2 juta individu akan

mengalami PGK tahap akhir sehingga dibutuhkan identifikasi awal untuk

memperlambat progresivitas penyakit ginjal terhadap pasien yang memiliki

(18)

Tes urin dapat membantu menegakkan diagnosa penyakit-penyakit

pada manusia. Ini membuktikan bahwa urin merupakan suatu media tes

yang ideal bagi para dokter, karena tes ini non invasive, dan hasil dari

pemeriksaan dapat diperoleh beberapa menit. Proteinuria dan albuminuria

merupakan faktor utama penentu terjadinya perburukan fungsi ginjal yang

telah dibuktikan dengan beberapa penelitian. Remuzzi G menyatakan

reabsorbsi protein oleh sel tubulus proksimal yang amat meningkat

menimbulkan inflamasi interstisial dan reaksi fibrogenik yang menimbulkan

jaringan ikat, sehingga kemampuan reabsorbsi menjadi

berkurang.(10,11,12,13,14).

Pemeriksaan tes protein urin dengan semi kuantitatif memberikan

hasil positif bila ekskresi protein urin sudah sangat besar. Proteinuria

akibat kerusakan glomerulus, ditandai oleh adanya protein dengan berat

molekul tinggi dalam urin. Menurut Carrie dan Myers hal ini dapat terjadi

karena adanya kerusakan luas membrana basalis glomerulus yang

mengakibatkan glomerulus tidak mampu melakukan filtrasi selektif

berdasarkan ukuran, muatan listrik dan konfigurasi bentuk molekul protein.

Dalam keadaan normal, sejumlah kecil albumin difiltrasi oleh glomerulus

dan hampir seluruh albumin direabsorbsi oleh tubulus proksimal. Oleh

karena itu kadar albumin urin sangat rendah dan tidak terdeteksi dengan

test protein urin secara konvensional maupun secara dipstik (carik

(19)

Proteinuria memiliki peranan penting pada PGK karena berbagai

alasan diantaranya dapat digunakan sebagai petanda kerusakan ginjal,

clue terhadap tipe atau diagnosis dari PGK, faktor resiko untuk terjadinya

hasil akhir sampingan sehingga proteinuria dapat digunakan untuk

memprediksi kecepatan progresivitas PGK, peningkatan resiko penyakit

jantung koroner, menilai efek modifikasi terhadap intervensi yang

dilakukan, marker surrogate dan target terhadap terapi.(19,20)

Pada banyak kasus proteinuria seperti Nefropati Diabetik maupun

Nefropati Non Diabetik para klinisi tidak cukup puas dengan pemeriksaan

proteinuria kwalitatif. Karena protein yang dikemihkan setiap saat

sepanjang 24 jam tidak selalu sama bahkan bisa bervariasi sangat jauh.

Mereka ingin lebih tahu jumlah total protein yang dikeluarkan selama 24

jam agar dapat mengetahui sejauh mana tingkat kerusakan ginjal yang

terjadi. Sampai saat ini pemeriksaan Protein Urin 24 jam masih

merupakan gold standard untuk mengetahui jumlah total protein yang

diekskresikan. Sayangnya pemeriksaan Protein Urin 24 jam ini tidak

menyenangkan buat pasien terutama pada pasien rawat jalan, karena

harus menampung urinnya setiap kali berkemih dan tentunya menyulitkan

bagi pasien-pasien yang bekerja seharian. Selain itu penampungan urin

24 jam sering terjadi kesalahan (error) karena inadequate ataupun

kelebihan dalam pengumpulan urin.(11,21,22)

Belakangan ini muncul laporan pemeriksaan Protein to Creatinine

(20)

urin. Pemeriksaan PCR dilakukan pada sampel urin spot sehingga lebih

mudah tingkat kepatuhan pasien dan kesalahan (error) sampel hampir

tidak ada. Pemeriksaan PCR mulai banyak diuji para ahli pada berbagai

penyakit yang menimbulkan proteinuria dengan harapan dapat menjadi

pengganti pemeriksaan Protein Urin 24 jam. Oleh karena itu penelitian ini

ingin mengetahui apakah ada korelasi antara PCR dengan Protein Urin 24

jam pada pasien Nefropati Diabetik. National Kidney Foundation Kidney

Disease Outcome Quality Initiative (NKF-K/DOQI) menyarankan

pemeriksaan penunjang ratio protein terhadap kreatinin dengan urin

pertama pada pagi hari atau urin sewaktu pada semua pasien PGK.(19,23) Roger A. Rodby,MD dkk dari George Washington University, Washington, DC tahun 1995 melakukan penelitian, bahwa pengukuran

PCR dapat digunakan untuk memprediksi proteinuria pada pasien ND.(24) Ayman M. Wahbeh dkk dari University of Jordan tahun 2009 telah membuktikan adanya korelasi yang baik antara PCR dan ekskresi protein

urin 24 jam pada pasien ND.(25)

Derhaschnig dkk tahun 2002 melakukan penelitian terhadap pasien hipertensi, ditemukan PCR dengan sensitivitas 87.8%, spesifisitas

89.3%, positif prediktif value (PPV) 29.3% dan negatif prediktif value

(21)

1.2 Perumusan Masalah

Sejauh mana korelasi antara Protein Creatinine Ratio (PCR)

terhadap protein urin 24 jam pada pasien Nefropati Diabetik.

1.3 Hipotesa Penelitian

Ada korelasi kuat antara nilai PCR terhadap protein urin 24 jam

pada pasien Nefropati Diabetik.

1.4 Tujuan Penelitian

Untuk mengetahui seberapa kuat korelasi antara nilai PCR

terhadap protein urin 24 jam pada pasien Nefropati Diabetik.

1.5 Manfaat Penelitian

Dengan mengetahui korelasi antara PCR terhadap protein urin 24

jam pada pasien Nefropati Diabetik, pemeriksaan PCR dapat digunakan

(22)

1.6 Kerangka Konsep

Nefropati Diabetik

PCR Urine Spot Protein Urine

24 Jam

Hasil

Korelasi

(23)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Protein Urin Normal

Dinding kapiler glomerulus mempunyai struktur yang khas untuk

mendukung proses ultrafiltrasi dan menahan hampir semua protein dalam

plasma. Dinding kapiler terdiri dari lapisan dalam yaitu lapisan endotel

dengan lubang-lubang (fenestra), pada permukaan dilapisi hydrated gel

yang mengandung glikoprotein polianionik, diameter 60-79 nm, lapisan

tengah adalah membrana basalis terdiri dari jaring-jaring fibril sub-endotel

(lamina rara interna), lamina densa dan jaring-jaring fibril sub-epitel

(lamina rara eksterna), dan lapisan luar adalah lapisan epitel yang

menghadap kapsula Bowman yang menempel pada membrana basalis

dan mempunyai tonjolan-tonjolan plasmatik membentuk celah.(16,17,27) Hampir seluruh hasil akhir metabolisme difiltrasi melalui glomerulus

sedangkan kreatinin akan diekskresi melalui tubulus. Protein, asam-asam

amino dan sebagian besar air beserta ion-ion direabsorpsi di tubulus

proksimal. Sisa air dan ion-ion direabsorpsi di tubulus distal. Gangguan

fungsi ginjal sangat tergantung luasnya kerusakan fungsi glomerulus.

Hosteter dan kawan-kawan menyatakan bahwa filtrasi berdasarkan

ukuran molekul bukan merupakan penentu karena makromolekul

bermuatan negatif lebih sulit melewati membrana basalis dibanding

(24)

Membrana basalis merupakan glikoprotein bermuatan listrik yang

menghalangi molekul bermuatan negatif seperti albumin melalui dinding

kapiler glomerulus.(16,17)

Oleh karena dinding kapiler glomerulus bersifat selektif terhadap

muatan dan ukuran maka hanya sebagian kecil albumin, globulin dan

protein plasma lainnya yang dapat melintas. Protein yang ada dalam urin

pada penyakit ginjal merupakan campuran albumin dengan globulin. Bila

ada kerusakan pada glomerulus akan dijumpai albumin sebagai protein

utama.(11,16,17,27,28,29)

2.2 Proteinuria

Proteinuria merupakan suatu petanda adanya kerusakan ginjal,

pada banyak penelitian terbukti bahwa proteinuria mempunyai peran

sebagai petanda resiko mortalitas kardiovaskular dan prediktor

progresivitas penyakit ginjal dan jumlah protein yang dikeluarkan melalui

urine berkorelasi dengan besarnya penurunan laju filtrasi glomerulus.(20,30) Protein yang difiltrasi glomerulus bersifat nefrotoksik, dapat menstimulasi

proses inflamasi, fibrosis jaringan tubulus-interstisialis. Proses ini semakin

berat dengan semakin banyaknya jumlah protein yang difiltrasi.

Penurunan fungsi ginjal semakin besar sesuai dengan semakin

banyaknya proteinuria. Proteinuria tidak hanya sekedar merupakan

petanda adanya proses kerusakan di ginjal, akan tetapi juga faktor resiko

(25)

Proteinuria dapat dipakai untuk mengukur hasil pengobatan dan dapat

dipakai sebagai target penatalaksanaannya.(20)

Sejumlah protein ditemukan pada pemeriksaan urin rutin,

baik tanpa gejala, ataupun dapat menjadi gejala awal dan mungkin suatu

bukti adanya penyakit ginjal yang serius. Adanya protein di dalam urin

sangatlah penting, dan memerlukan pemikiran lebih lanjut untuk

menentukan penyebab/penyakit dasarnya. Adapun prevalensi proteinuria

yang ditemukan saat pemeriksaan penyaring rutin pada orang sehat

sekitar 3,5%. Jadi proteinuria tidak selalu merupakan manifestasi kelainan

ginjal.(31)

Biasanya proteinuria baru dikatakan patologis bila kadarnya di atas

150 mg/hari pada beberapa kali pemeriksaan dalam waktu yang berbeda.

Ada yang mengatakan proteinuria persisten jika protein urin telah menetap

selama 3 bulan atau lebih dan jumlahnya biasanya hanya sedikit di atas

nilai normal. Dikatakan proteinuria masif bila terdapat protein di urin

melebihi 3500 mg/hari dan biasanya mayoritas terdiri atas albumin.(31) Dalam keadaan normal, walaupun terdapat sejumlah protein yang

cukup besar atau beberapa gram protein plasma yang melalui nefron

setiap hari, hanya sedikit yang muncul di dalam urin. Ini disebabkan 2

faktor utama yang berperan yaitu :

1. Filtrasi glomerulus

(26)

2.2.1 Definisi Proteinuria

Proteinuria adalah adanya protein di dalam urin orang dewasa yang

melebihi nilai normalnya yaitu lebih dari 150 mg/24 jam atau pada

anak-anak lebih dari 140 mg/m2.

Dalam keadaan normal, protein di dalam urin sampai sejumlah

tertentu masih dianggap fungsional. Urin normal mengandung hanya

sedikit protein, kurang dari 10 mg / dl atau 150 mg/24 jam. Ada juga

kepustakaan yang menuliskan bahwa protein urin masih dianggap

fisiologis jika jumlahnya kurang dari 200 mg/hari pada dewasa (pada

anak-anak 140 mg/m2).(21,31,32,33,34,35)

2.2.2 Patofisiologi Proteinuria

Pada keadaan normal selektifitas muatan listrik dan ukuran

dari dinding kapiler glomerulus akan mencegah protein ( albumin, globulin

dan molekul protein plasma yang besar ) melewatinya. Membran

glomerulus mengandung komponen muatan negatif, yang dapat

menyebabkan penurunan filtrasi dari substansi anionik seperti albumin.

Protein adalah bermuatan negatif dan hampir seluruhnya dihambat oleh

dinding sel glomeruli. Protein mengalami filtrasi di membran glomerulus

melalui seleksi perbedaan berat molekul dan muatan listrik.(18,36)

Proteinuria terjadi karena molekul protein dapat melewati membran

glomerulus. Hal ini dapat terjadi karena peningkatan permeabilitas dinding

(27)

Hiperglikemia merupakan faktor resiko utama terjadinya proteinuria karena

dapat meningkatkan tekanan intraglomerular.(37) Hiperglikemia dapat merubah selektifitas perbedaan muatan listrik pada dinding kapiler

glomeruli dan menyebabkan peningkatan permeabilitas. Pada ginjal yang

sehat 99% albumin yang difiltrasi akan direabsorbsi kembali di tubulus.

Heparan sulfat merupakan molekul utama di membran glomerulus yang

bermuatan negatif dan disintesis didalam endotel sel mesangial dan sel

myomedial. Setelah mengalami sulfasi di dalam alat Golgi, Heparan Sulfat

Proteoglikan ini akan masuk ke dalam matriks ekstraselular dari

glomerulus dan arteri besar. Pada glukosa darah tidak terkontrol terjadi

inhibisi enzim N-deacetylase yang berperan pada sintesa heparan sulfat

akibat penurunan sintesa heparan sulfat, maka muatan negatif

glomerulus berkurang sehingga protein yang bermuatan negatif lolos ke

urin.(37,38)

2.3 Protein Urin 24 jam

Melakukan pemeriksaan terhadap kadar yang tepat dari

kandungan urin, itu lebih penting dari pada hanya sekedar mengetahui

unsur yang terdapat di dalamnya. Perlu kewaspadaan terhadap masalah

waktu guna untuk mendapatkan hasil kwantitatif yang akurat. Banyak

substansi yang dihasilkan pada variasi diurnal seperti katekolamin,

17-hydroxysteroid dan elektrolit yang mana konsentrasinya menurun pada

(28)

perubahan konsentrasi yang terjadi oleh karena variasi diurnal, ada juga

perubahan akibat aktifitas sehari-hari seperti exercise, makanan (proteins

intake) dan metabolisme tubuh, oleh karena itulah pemeriksaan urin 24

jam merupakan gold standard.(18,21)

Untuk mendapatkan hasil spesimen yang akurat, pasien harus

memulai dan mengakhiri periode pengumpulan urin dengan kandung

kemih yang kosong. Sebelumnya pasien harus diberitahu untuk memulai

mengumpulkan urin pada waktu atau jam yang telah ditetapkan dengan

membuang urin pertamanya lebih dulu ke toilet dan kemudian

menampung semua urin yang dikemihkan untuk dikumpulkan sampai 24

jam kemudian, sampai tepat pada jam yang sama sejak dikumpulkan.(21) Perlu mempersiapkan pasien dengan instruksi tertulis dan

menjelaskan prosedur pengumpulan urin, dengan menyiapkan wadah

yang tepat.(21)

Semua spesimen harus didinginkan pada suhu 2-8°C selama

periode pengumpulan.(39) Dan juga memerlukan penambahan bahan pengawet kimia. Pengawet dipilih harus tidak beracun kepada pasien dan

tidak boleh mengganggu pengujian yang akan dilakukan. Setibanya di

laboratorium, spesimen 24 jam dicampur secara menyeluruh dan volume

(29)

2.4 Kreatinin

Kreatinin adalah produk katabolisme dari keratin fosfat yang ada di

dalam otot. Hasil katabolisme tersebut memiliki nilai yang konstan dalam

tiap individu setiap harinya. Kreatinin sangat bergantung dari massa otot.

Secara kimiawi, kreatinin merupakan derivat dari kreatin. Biosintesis

kreatin sendiri juga berasal dari glisin, arginin, dan metionin. Pemindahan

gugus guanidino dari arginin kepada glisin, yang membentuk senyawa

guanidoasetat (glikosiamina), berlangsung di dalam ginjal dan tidak terjadi

di hati atau otot jantung. Sintesis kreatin diselesaikan lewat reaksi metilasi

guanidoasetat oleh senyawa S-adenosilmetionin di hati. Kreatinin

dikeluarkan peredarannya dari darah oleh ginjal. Hampir tidak ada sama

sekali reabsorpsi kreatinin yang dilakukan ginjal. Jika filtrasi yang

dilakukan glomerulus berkurang maka kadarnya di darah akan tinggi.

Sehingga kadar kreatinin di darah dan urin dapat dipakai untuk

menghitung creatinine clearance, sekaligus GFR (Glomerulus Filtration

Rate).(40)

Kreatinin dalam urin berasal dari filtrasi glomerulus dan sekresi

oleh tubulus proksimal ginjal. Berat molekulnya kecil sehingga dapat

secara bebas masuk dalam filtrat glomerulus. Kreatinin yang diekskresi

dalam urin terutama berasal dari metabolisme kreatinin dalam otot

sehingga jumlah kreatinin dalam urin mencerminkan massa otot tubuh dan

relatif stabil pada individu sehat (Levey,2003; Remer et al . 2002; Henry, 2001).

Kreatin terutama ditemukan di jaringan otot (sampai dengan 94%). Kreatin

(30)

kreatin. Kreatin darah berasal dari makanan dan biosintesis yang

melibatkan berbagai organ terutama hati. Proses awal biosintesis kreatin

berlangsung di ginjal yang melibatkan asam amino arginin dan glisin.

Menurut salah satu penelitian in vitro kreatin secara hampir konstan akan

diubah menjadi kreatinin dalam jumlah 1,1% per hari. Kreatinin yang

terbentuk ini kemudian akan berdifusi keluar sel otot untuk kemudian

diekskresi dalam urin. Pembentukan kreatinin dari kreatin berlangsung

secara konstan dan tidak ada mekanisme reuptake oleh tubuh, sehingga

sebagian besar kreatinin yang terbentuk dari otot diekskresi lewat ginjal

sehingga ekskresi kreatinin dapat digunakan untuk menggambarkan

filtrasi glomerulus walaupun tidak 100% sama dengan ekskresi inulin yang

merupakan baku emas pemeriksaan laju filtrasi glomerulus. Meskipun

demikian, sebagian(16%) dari kreatinin yang terbentuk dalam otot akan

mengalami degradasi dan diubah kembali menjadi kreatin. Sebagian

kreatinin juga dibuang lewat jalur intestinal dan mengalami degradasi lebih

lanjut oleh kreatininase bakteri usus. Kreatininase bakteri akan mengubah

kreatinin menjadi kreatin yang kemudian akan masuk kembali ke darah

(enteric cycling ). Produk degradasi kreatinin lainnya ialah

1-metilhidantoin, sarkosin, urea, metilamin, glioksilat, glikolat, dan

metilguanidin. .(41,42,43)

Metabolisme kreatinin dalam tubuh ini menyebabkan ekskresi

kreatinin tidak benar-benar konstan dan mencerminkan filtrasi glomerulus,

walaupun pada orang sehat tanpa gangguan fungsi ginjal, besarnya

degradasi dan ekskresi ekstrarenal kreatinin ini minimal dan dapat

(31)

Metode pemeriksaan kreatinin urin adalah Enzimatic colorimetric.

Referens interval : ekskresi kreatinin urin normal adalah 14-26 mg / kg /

hari atau ( 124-230 umol / kg / hari ) pada laki-laki, dan 11-20 mg / kg /

hari atau ( 97-177 umol / kg / hari ) pada wanita. (27)

2.5 Protein Creatinine Ratio (PCR) Urin

Belakangan ini beberapa laporan penelitian telah menulis tentang

pemeriksaan ekskresi protein urin dengan memakai sampel urin sewaktu

dengan melakukan pengukuran antara protein dengan konsentrasi

kreatinin dan membandingkan sampel urin 24 jam sebagai gold standard.

Adapun alasan digunakan format PCR untuk memperbaiki masalah

variabilitas volume dan konsentrasi urin. National Kidney Foundation Kidney Disease Outcome Quality Initiative (NKF-K/DOQI) merekomendasikan pemeriksaan penunjang ratio protein terhadap

kreatinin dengan urin pertama pada pagi hari atau urin sewaktu pada

semua pasien PGK.(19,23,45)

Format PCR merupakan hasil bagi antara protein urin dengan

kreatinin urin dengan satuan mg/gr kreatinin. Protein dirasiokan dengan

kreatinin adalah selain untuk mengurangi masalah variabilitas volume dan

konsentrasi urin, protein dan kreatinin mencerminkan fungsi ekskresi ginjal

dan kadar kreatinin relatif stabil diekskresikan walaupun jumlah urin sedikit

(32)

Roger A. Rodby,MD dkk dari George Washington University, Washington, DC tahun 1995 melakukan penelitian, bahwa pengukuran

PCR dapat digunakan untuk memprediksi proteinuria pada pasien ND.(24) Ayman M. Wahbeh dkk dari University of Jordan tahun 2009 telah membuktikan adanya korelasi yang baik antara PCR dan ekskresi protein

urin 24 jam pada pasien ND.(25)

Derhaschnig dkk tahun 2002 melakukan penelitian terhadap pasien hipertensi, ditemukan PCR dengan sensitivitas 87.8%, spesifisitas

89.3%, positif prediktif value (PPV) 29.3% dan negatif prediktif value

(NPV) 96.2%.(26)

Nahid Shahbazian dkk dari Imam Khomeini Hospital, University of Medical Sciences, Ahwaz, Iran tahun 2008 melaporkan bahwa adanya

korelasi yang significant antara spot urin PCR dan protein urin 24 jam

pada wanita dengan preeclampsia (P< 0.001).(47)

Leanos-Miranda dkk tahun 2007 menyatakan bahwa terdapat korelasi yang tinggi antara spot urin PCR dan protein urin 24 jam pada

pasien wanita hamil dengan hipertensi. (P < 0.001).(48)

BK Yadav dkk dari Purbanchal University, Kathmandu, Nepal tahun 2010 melaporkan bahwa terdapat korelasi yang sangat baik antara

spot PCR dengan protein urin 24 jam pada pasien Nefropati Diabetik

(33)

2.6 Nefropati Diabetik

Penyakit ginjal diabetik atau yang lebih dikenal sebagai Nefropati

Diabetik adalah merupakan sindroma klinis yang ditandai dengan adanya

mikroalbuminuria persisten, proteinuria, peningkatan tekanan darah dan

penurunan laju filtrasi glomerulus. Keadaan ini dialami hampir sepertiga

pasien diabetes dan terjadinya secara kronik tapi progresif. Hal ini akan

berhubungan dengan meningkatnya resiko kardiovaskular, retinopati dan

neuropati. Kejadian ini berlangsung bertahun sesudah seseorang

menderita diabetes dan gagal ginjal akan terjadi sesudah 20-30 tahun.(6) Kecenderungan menjadi Nefropati Diabetik dipengaruhi oleh faktor

genetik, etnik, gender dan usia pada onset diabetes.(6,50)

2.6.1 Definisi Nefropati Diabetik

Pada umumnya Nefropati Diabetik didefinisikan sebagai sindrom

klinis pada pasien Diabetes Mellitus yang ditandai dengan albuminuria

menetap ( >300 mg/24 jam ) pada minimal dua kali pemeriksaan dalam

kurun waktu 3 sampai 6 bulan.(50)

Nefropati Diabetik adalah salah satu komplikasi mikroangiopati

(retinopati dan neuropati) pada Diabetes Melitus tipe1 dan tipe 2.(51,52) Dengan demikian perjalanan alamiah (natural history) ND didahului

oleh satu fase yang disebut mikroalbuminuria yang merupakan gambaran

(34)

2.6.2 Proteinuria pada Nefropati Diabetik

Walaupun proteinuria mempunyai peranan sebagai petanda

adanya kerusakan akibat penyakit ginjal, akan tetapi sebenarnya lebih dari

itu, akibat peran proteinuria yang nefrotoksik. Pada banyak penelitian

terbukti bahwa proteinuria mempunyai peran sebagai petanda dan

prediktor progresivitas gagal ginjal pada DM. Banyaknya proteinuria

berkorelasi dengan besarnya penurunan Laju Filtrasi Glomerulus (LFG).

Pada penelitian Modified Diet in Renal Disease (MDRD) didapatkan

bahwa ekskresi protein yang semakin meningkat sesuai dengan

meningkatnya penurunan LFG.(20)

Proteinuria asimtomatis merupakan tanda permulaan dari Nefropati

Diabetik, timbulnya intermiten selama beberapa tahun dan akhirnya

menetap disertai proteinuria massif. Pada stadium permulaan, proteinuria

ringan dari Nefropati Diabetik ini sulit dibedakan dengan proteinuria

karena glomerulonefritis membranous karena sebab lain. Bila terjadi

proteinuria massif dan berlangsung lama selalu diikuti oleh gambaran

klinik lainnya seperti sembab dan hipertensi. Proteinuria pada Nefropati

Diabetik mempunyai karakteristik tersendiri, bersifat non selektif (bukan

albumin). Proteinuria ini masih merupakan tanda yang dapat dipercaya

sebagai indikator untuk Nefropati Diabetik asal dapat dikesampingkan

penyebab lainnya seperti gagal jantung kongestif, ketoasidosis,

pielonefritis termasuk keadaan fisiologis dan ortostatik. Pada Nefropati

(35)

organ lain misalnya mikroaneurismata dari pembuluh darah retina,

neuropati dan lain-lain.(51)

Kapan kelainan ginjal (nefropati) ini muncul pada seorang pasien

diabetes mellitus? Penelitian epidemiologi klinik menunjukkan, nefropati

baru terjadi setelah 20 tahun menderita intoleransi glukosa pada diabetes

mellitus tipe dewasa dan 14 tahun pada tipe yuvenil.(51)

2.6.3 Patogenesis Nefropati Diabetik

Sampai saat ini, hiperfiltrasi masih dianggap sebagai awal dari

mekanisme patogenik dalam laju kerusakan ginjal. Penelitian Brenner

dkk pada hewan menunjukkan bahwa saat jumlah nefron mengalami

pengurangan yang berkelanjutan, filtrasi glomerulus dari nefron yang

masih sehat akan meningkat sebagai bentuk kompensasi. Hiperfiltrasi

yang terjadi pada sisa nefron yang sehat lambat laun akan menyebabkan

sklerosis dari nefron tersebut.(50)

Patogenesis terjadinya Nefropati Diabetik ditentukan oleh faktor

genetik, metabolik dan hemodinamik yang berkaitan satu sama lainnya.

Patogenesis Nefropati Diabetik lebih mudah dipahami dengan meninjau

perubahan struktural dan hemodinamik yang terjadi. Walaupun

patogenesis DM tipe 1 dan 2 berbeda, namun patofisiologi komplikasi

mikrovaskular yang bertanggungjawab terhadap tingginya angka

(36)

Patogenesis terjadinya Nefropati Diabetik sebenarnya sangat

kompleks, akan tetapi dapat dikelompokkan dalam 3 faktor utama yang

memegang peranan penting dan saling interaksi satu sama lainnya, yaitu

faktor genetik, metabolik dan hemodinamik.(6)

Gambar 1. Patogenesis Nefropati Diabetik. (Disadur dari Cooper ME, Gilbert RE : Pathogenesis, Prevention and Treatment of Diabetic Nephropathy, 2003)

2.6.4 Tahapan Nefropati Diabetik

Sequen perjalanan klinik alamiah ND oleh Mogensen meliputi 5 tahapan gangguan fungsi ginjal dimulai dengan hiperfiltrasi dan hipertropi,

mikroalbuminuria (nefropati insipien). proteinuria (overt nefropati) dan

gagal ginjal. Perjalanan klinik dan keterlibatan ginjal pada DM, lebih jelas

diterangkan pada tipe 1 dari pada tipe 2.

Metabolik Genetik Hemodinamik

Glukosa

Factor β Growth Factor

Extracellular matrix (ECM) cross-linking

ECM ↑ Permeabilitas pembuluh darah ↑

(37)

Tahap 1 : Fase awal terjadi hiperfiltrasi dan hipertrofi ginjal. LFG dan laju ekskresi albumin dalam urin meningkat.

Tahap 2 : Secara klinis belum tampak kelainan yang berarti, berlangsung 5-15 tahun. LFG tetap meningkat, ekskresi albumin dalam urin dan

tekanan darah normal. Mulai terjadi perubahan histologi awal berupa

penebalan membrana basalis yang tidak spesifik dan peningkatan matriks

mesangial.

Tahap 3 : Pada tahap ini ditemukan mikroalbuminuria atau nefropati insipien. LFG meningkat atau dapat menurun sampai derajat normal. Laju

ekskresi albumin dalam urin (Urine Albumin Excretion Rate = UAER)

30-300 mg/24 jam. Tekanan darah mulai meningkat. Secara histologis,

didapatkan peningkatan ketebalan membrana basalis dan volume

mesangium fraksional dalam glomerulus.

Tahap 4 : Merupakan tahap nefropati yang sudah lanjut (overt nephropathy). Perubahan histologis makin jelas, juga timbul hipertensi

pada sebagian besar pasien. Proteinuria meningkat. Sindroma nefrotik

sering ditemukan pada tahap ini LFG menurun sekitar 10 ml/menit/tahun

dan kecepatan penurunan ini berkorelasi dengan tingginya tekanan darah.

Tahap 5 : Tahap ini disebut juga End Stage Renal Disease (ESRD) atau

tahap terjadinya gagal ginjal terminal, rata-rata 7 tahun sesudah

(38)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Desain Penelitian

Jenis penelitian adalah observasional dengan metode pengukuran

data secara Cross Sectional, artinya terhadap subjek yang diteliti tidak

diberi perlakuan, dan pengukuran hanya dilakukan satu kali.

3.2 Tempat dan waktu penelitian

Penelitian dilakukan di Departemen / Instalasi Patologi Klinik

Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara/RSUP H. Adam Malik

Medan bekerjasama dengan Divisi Nefrologi Departemen Ilmu Penyakit

Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara/RSUP H. Adam

Malik Medan.

Penelitian dilakukan pada bulan Mei 2011 sampai dengan

September 2011. Penelitian dihentikan bila jumlah sampel minimal telah

mencukupi atau bila waktu pengambilan sampel telah mencapai 5 bulan.

3.3 Populasi dan Subjek Penelitian

3.3.1 Populasi Penelitian

Populasi subjek yang dimasukkan dalam penelitian ini adalah

pasien Nefropati Diabetik yang telah didiagnosa oleh Divisi Nefrologi

(39)

Diagnosa Nefropati Diabetik ditegakkan bila terdapat Proteinuria

persisten ( > 150 mg / 24jam atau > 300 mg albumin/24 jam) sebanyak 2

dari 3 kali pemeriksaan dalam 3-6 bulan.

3.3.2 Subjek Penelitian

Subjek yang diikutkan dalam penelitian adalah pasien Nefropati

Diabetik yang berobat jalan di Divisi Nefrologi Departemen/SMF Ilmu

Penyakit Dalam dan memenuhi kriteria subjek penelitian.

3.3.3 Kriteria Inklusi

1. Penderita Nefropati Diabetik

2. Umur antara 30 - 70 tahun

3. Bersedia mengikuti penelitian (Informed Consent)

3.3.4 Kriteria Eksklusi

1. Aktifitas fisik yang berat

2. Demam

3.3.5 Batasan Operasional

Nefropati Diabetik, diagnosa ditegakkan berdasarkan

ditemukannya proteinuria dengan pemeriksaan protein urin 24 jam (gold

standard), yaitu adanya protein di dalam urin orang dewasa yang melebihi

nilai normalnya yaitu lebih dari 150 mg / 24jam. atau > 300 mg albumin /

(40)

3.4 Perkiraan Besar Sampel

Sampel dipilih secara consecutive sampling dengan perkiraan

besar sampel minimum dari subjek yang diteliti dipakai rumus uji hipotesis

rerata untuk dua kelompok sampel berpasangan: (55)

n ≥

Dengan mengaplikasikan rumus di atas, sampel minimal yang diperlukan

untuk kelompok Nefropati Diabetik pada penelitian ini adalah sebesar

n=29.

3.5 Analisa Statistik

Spearman’s Correlation untuk melihat korelasi antara PCR

terhadap protein urin 24 jam. Limit of agreement dari kedua tes dengan

metode Bland–Altman. Sensitifitas dan Spesifisitas dari cut off PCR

terhadap ekskresi protein urin ringan (0,5 g), protein urin sedang (1 g) dan

(41)

(ROC) Curve. Seluruh data dianalisa menggunakan Med Calc Statistics

Software version 10.2.0.0

3.6 Bahan dan Cara Kerja

3.6.1 Pengambilan dan Penampungan Sampel Urin sewaktu :

Pemeriksaan kwantitatif protein dan kreatinin urin digunakan

spesimen urin sewaktu. Penampungan urin sewaktu tanpa persiapan

khusus dan urin ditampung dalam wadah pot plastik yang bersih, kering,

tertutup dan tanpa bahan pengawet. Pada penderita wanita penampungan

urin dilakukan ketika tidak menstruasi.

Urin 24 jam :

Perlu mempersiapkan pasien dengan instruksi tertulis dan

menjelaskan prosedur pengumpulan urin, dengan menyiapkan wadah

yang tepat.

Hari 1 : Jam 07.00 pasien berkemih membuang urinnya setelah itu

semua urin dikumpul dalam wadah selama 24 jam ke depan.

Hari 2 : Jam 07.00 pasien berkemih dan menambahkannya ke urin yang

sudah dikumpulkan sebelumnya.

Spesimen urin 24 jam harus didinginkan pada suhu 2-8°C selama

periode pengumpulan dan sebelumnya telah dibubuhi bahan pengawet

(42)

Pengawet dipilih harus tidak boleh mengganggu pengujian yang akan

dilakukan. Setibanya di laboratorium, urin 24 jam diukur volume dan

dicatat. (21)

3.6.2 Pengolahan Sampel

Urin 24 jam ditampung dalam wadah yang bersih dan kering yang

sudah ada pengawet kimia di dalamnya yaitu Thymol. Urin ditampung

sejak jam 07.00 pagi sampai jam 07.00 pagi besoknya. Setibanya di

laboratorium, spesimen dicampur secara menyeluruh dan volume diukur

dan dicatat. Sedangkan urin randomnya ditampung paginya sewaktu

penderita membawa urin 24 jamnya.

Masing-masing dari kedua spesimen urin tersebut digoncang

dengan membolak-balikkan wadah 5-10 kali agar homogen dan setelah itu

masing-masing diambil 50 ml dan ditaruh kedalam wadah yang berbeda

dan disimpan dalam freezer -20°C sampai waktu pemeriksaan

dilakukan.( maksimum 1 tahun untuk urin 24 jam (58) dan 6 bulan untuk urin random) (59)

3.7 Pemeriksaan Laboratorium

Pemeriksaan protein urin kuantitatif pada spot random dan protein

urin 24 jam menggunakan metode Turbidimetric(60) dan kreatinin urin metode enzymatic colorimetric dengan memakai chemistry analyzer

(43)

3.7.1 Pemeriksaan Total Protein Urin

Prinsip : Metode Turbidimetric.

Sampel di pre-inkubasi dengan alkaline solution yang mengandung

EDTA, yang akan mendenaturasi protein dan mengeliminasi pengaruh

dari magnesium. Benzethonium chloride kemudian ditambahkan dan

setelah bereaksi dengan protein akan menimbulkan kekeruhan dan dibaca

pada panjang gelombang 512 nm. (60)

Sampel : Urin spot random dan urin 24 jam

Reagents- working solutions

R1 : Blank

Sodium hydroxide, EDTA-Na in vial A (liquid)

R2 = SR U / CSF Reagent

Benzethonium chloride in vial C (liquid)

Kalibrator :

- C.f.a.s PUC dengan Cat. No.03121305 122

- 0.9 % NaCl digunakan sebagai zero kalibrator

Penyimpanan dan stabilitas

Reagensia sebelum dibuka disimpan pada suhu 15-25 °C

Setelah digunakan bisa dipakai dalam waktu 12 minggu bila disimpan

pada suhu 10-15°C.(60) Sampel urin :

- Menggunakan urin random dan urin 24 jam.

(44)

Expected value.(60)

Urin 24 jam : < 150 mg/24 jam

Urin random : < 15 mg/dl

Cara Kerja :

Chemistry analyzer dikalibrasi dengan kalibrator yang ada dalam kit.

Masukkan assay control Precinorm PUC dan Precipath PUC.

Pemeriksaan untuk penelitian dilanjutkan jika nilai kontrol masuk dalam

target value (range: 4-200 mg/dL). Sampel urin disentrifuge lebih dulu

dengan 200 g selama 15 menit untuk mendapatkan presipitat. Kadar

protein diukur secara automatisasi dengan chemistry analyzer Cobas

Integra 400 pada panjang gelombang 512 nm.(60)

3.7.2 Pemeriksaan Kreatinin Urin

Prinsip : Metode Enzymatic colorimetric

Metode enzimatik didasarkan atas konversi kreatinin dengan

bantuan creatininase, creatinase dan sarcosine oxidase. Hydrogen

peroxide bereaksi dengan 4-aminophenazone dan HTIB (Hydroxy Triiodo

Benzoic) membentuk Quinone imine chromogen.(61)

(45)

Reagents working solution

R1 : Buffer, enzymes and HTIB

R2 = SR Buffer, enzymes and 4-aminophenazone

Penyimpanan dan stabilitas

Reagensia sebelum dibuka disimpan pada suhu 2-8 °C. Setelah

digunakan bisa dipakai dalam waktu 8 minggu bila disimpan pada suhu

10-15°C.

Sampel urin :

- Menggunakan urin random tanpa pengawet .

- Sampel urin secara otomatis di-prediluted 1:20 (1+19).(61)

Kalibrator :

- C.f.a.s (Calibrator for automated system) dengan Cat

No.10759350190.

- Menggunakan air deionisasi sebagai zero kalibrator.

Quality Control : Dengan menggunakan Precinorm U dan Precipath U.

Expected values : (61)

Urin pertama pagi hari (dewasa) Pria : 40-278 mg/dL

(46)

Cara kerja :

Chemistry analyzer dikalibrasi dengan kalibrator yang ada dalam

kit. Masukkan assay control Precinorm U dan Precipath U. Pemeriksaan

untuk penelitian dilanjutkan jika nilai kontrol masuk dalam target value

(range: 0-452 mg/dL). Sampel urin disentrifuge lebih dulu dengan 200 g

selama 15 menit untuk mendapatkan presipitat. Kadar kreatinin diukur

secara automatisasi dengan chemistry analyzer pada panjang gelombang

552 nm.

3.8 Pemantapan Kualitas

Pemantapan kualitas dilakukan untuk menjamin ketepatan hasil

pemeriksaan dalam batas yang dapat dipercaya (valid).

3.8.1 Kalibrasi Pemeriksaan Laboratorium

Kalibrasi pemeriksaan Total Protein Urin pada urin 24 jam dan urin

random dengan alat Cobas Integra 400 menggunakan larutan Calibrator

for Automated System (C.f.a.s.) PUC, lot 160953. Untuk titik nol digunakan

NaCl 0,9% sebagai zero calibrator. Kalibratornya dalam bentuk cair (ready

for use). Nilai kadar kalibrator c.f.a.s. PUC adalah 215 mg/dl.(62) Nilai kalibrator dimasukkan ke dalam program kalibrasi analyzer kemudian

dilakukan kalibrasi. Selama penelitian kalibrasi dilakukan 1 kali pada

waktu membuka reagen.

(47)

Gambar 2 : Kurva kalibrasi Protein Urin

Kalibrasi pemeriksaan Creatinine pada urin random dengan

chemistry analyzer Cobas Integra 400 menggunakan larutan C.f.a.s. lot

159112. Untuk titik nol digunakan aquadest sebagai zero calibrator.

Kalibrasi dilakukan di 2 titik untuk mendapatkan kurva kalibrasi. Aquadest

dan larutan CFAS diukur masing-masing sebanyak 2 kali sehingga

didapatkan absorbansi rata-rata. Kalibratornya dicairkan dengan 3ml

aquadest, larutan dihomogenkan dengan membolak-balikkan botol 5-10

kali secara hati-hati agar tidak terbentuk gelembung, kemudian diamkan

30 menit. Nilai kadar kalibrator c.f.a.s. yang didapat dari leaflet adalah

3.56 mg/dl.(63) Nilai kalibrator dimasukkan ke dalam program kalibrasi

analyzer kemudian dilakukan kalibrasi. Selama penelitian kalibrasi

dilakukan 1 kali pada waktu membuka reagen.

(48)

Tabel 1 : Hasil Kalibrasi Kalibrator Creatinine Gambar 3 : Kurva Kalibrasi Creatinine

3.8.2 Kontrol Kualitas Pemeriksaan Laboratorium

Untuk pemeriksaan Total Protein Urin pada urin 24 jam dan urin

random kontrol kualitas menggunakan Precinorm PUC lot 161723

dengan kisaran pemeriksaaan 13.7 – 22.7 mg/dl. Nilai rerata larutan

kontrol 18.2 mg/dl.(64) Selama penelitian kontrol kualitas pemeriksaan Total Protein Urin dilakukan sebanyak 3 kali bersamaan dengan

pemeriksaan sampel.

No Tanggal

Kelompok

Pemeriksaan Hasil Kontrol

Nilai Target mg/dl

1 20 - 8 – 2011 N = 13 18.4 13.7 - 22.7

2 08 - 9 – 2011 N = 13 17.9 13.7 - 22.7

3 29 - 9 – 2011 N = 09 19.1 13.7 - 22.7

Tabel 2 : Hasil Kontrol Kualitas Total Protein Urin

Calibrator Mg/dl Absorbansi

Aquadest 0,00 56

(49)

Untuk pemeriksaan Creatinine kontrol kualitas menggunakan

Precinorm U lot 158562 dengan kisaran pemeriksaan 0.814 – 1.168 mg/dl

dengan nilai rerata 0.991 mg/dl.(65) Selama penelitian kontrol kualitas pemeriksaan Creatinine dilakukan sebanyak 3 kali bersamaan dengan

pemeriksaan sampel.

No Tanggal

Kelompok

Pemeriksaan Hasil Kontrol

Nilai Target mg/dl

1 20 - 8 - 2011 N = 13 0.995 0.814-1.168

2 08 - 9 - 2011 N = 13 1.012 0.814-1.168

3 29 - 9 - 2011 N = 09 0.998 0.814-1.168

(50)

3.9 Kerangka Kerja

SUBJEK PENELITIAN

Nefropati Diabetik

Informed Consent

Eksklusi :

• Aktifitas fisik yg berat

• Demam

Urin

Protein dan Creatinine

(PCR)

Protein

Korelasi Pasien Poliklinik Nefrologi RSUP HAM

Anamnesa dan Pemeriksaan Urinalisa

(Protein)

(51)

BAB IV

HASIL PENELITIAN

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui korelasi Protein

Creatinine Ratio (PCR) terhadap protein urin 24 jam pada Nefropati

Diabetik, dilaksanakan mulai Juni sampai September 2011 Subjek

penelitian adalah penderita Nefropati Diabetik yang berobat ke poliklinik

Sub Devisi Nefrologi Departemen Ilmu Penyakit Dalam RSUP H. Adam

Malik Medan. Sebagai kelompok pembanding adalah individu normal

tanpa bukti adanya Nefropati Diabetik. Pada subjek penelitian dan

kelompok pembanding dilakukan anamnesa dan pemeriksaan

laboratorium. Data tersebut dicatat di dalam status khusus penelitian.

Subjek penelitian penderita Nefropati Diabetik berjumlah 35 orang

terdiri dari 20 laki-laki dan 15 perempuan dengan rentang umur 30 – 68

tahun dan kelompok pembanding berjumlah 30 orang, 17 laki-laki dan 13

perempuan dengan rentang umur 31 - 44 tahun.

Korelasi antara PCR terhadap Protein Urin 24 jam

Nilai rata-rata protein urin 24 jam pada penelitian ini adalah 2.7

gram sedangkan nilai PCR 3.2 gr. Distribusi data protein urin 24 jam

bersifat non parametrik setelah diuji memakai Kolmogorov-Smirnov test

maka uji korelasi antara protein urin 24 jam dengan PCR menggunakan

(52)

Korelasi Spearman’s

Gambar 4 : Scatter diagram dari PCR urin random dan Protein Urin 24 jam

Pada uji korelasi di atas didapati nilai korelasi yang bermakna

antara PCR dan protein urin 24 jam dengan p = 0,0001. Koefisien korelasi

( r ) sebesar 0.679.

Untuk mengetahui limits agreement hasil kedua tes pemeriksaan

diuji menggunakan Bland-Altman Plot. Pada metode statistik ini selisih

pengukuran PCR terhadap protein urin diplot dengan nilai rata-rata hasil

protein urin dan PCR.

(53)

Bland-Altman plot

Gambar 5 : Limit of agreement dari spot urin PCR dan Protein urin 24

Dari gambar 5 tsb diatas sumbu Y adalah selisih nilai kedua tes,

sedangkan sumbu X adalah nilai rerata kadar protein kedua tes. Tes I

adalah PCR ( yang diuji ), tes II adalah Protein Urin 24 jam. Limits

agreement merupakan nilai rata-rata (mean) perbedaan kedua tes dengan

1.96 standart deviasi. Pada penelitian ini nilai mean = 0.5 serta Lower limit

(54)

Dari Diagram pencar (gambar 4) kelihatan bahwa nilai PU < 2 gram

memiliki korelasi kuat dengan PCR dan limits of agreement dari PCR dan

proteinuria 24 jam sebesar -1.1 dan 1.8 gram. Untuk kadar proteinuria

<1gram limits of agreement dari PCR dan proteinuria 24 jam sebesar -0.1

dan 0.8 gram. Dari hasil penelitian ini nilai Inter-rater agreement kappa

yaitu sebesar 0.40.

Pada gambar 6 nilai cut off PCR ditentukan dari kadar

proteinuria >150 mg/24 jam diperoleh nilai PCR > 0.2 gr memiliki

sensitifitas 100% dan spesifisitas 100% dengan area under curve (AUC)

yaitu1.

(55)

Pada nilai cut off 0.7 gr sensitifitas 97 % dan spesifisitas 100 %

(gambar 7) dengan AUC yaitu 0.986

(56)

BAB V

PEMBAHASAN

Dari uji statistik dengan Spearman Corelation pada gambar 4

diperoleh r = 0,679 dengan p = 0,0001. Artinya secara keseluruhan tes

PCR mempunyai korelasi baik dengan tes Protein Urin 24 jam. Ini

memperlihatkan bahwa pada nilai Protein Urin 24 jam sebesar < 2 gram

tampak bahwa korelasi relatif lebih baik bila dibanding dengan kadar

Protein Urin (PU) yang lebih besar.

Pada nilai Protein Urin > 3 gram tampak bahwa PCR memiliki

deviasi yang relatif lebar. Oleh karena itu perlu untuk mengetahui limits of

agreement (LOA) dari kedua tes tersebut Dengan uji Bland-Altman Plot

(gambar 5) diperoleh Mean dari selisih PCR – PU adalah 0,5 serta Upper

Limit of Agreement 4,3 dan Lower Limit of Agreement -3,3 dengan

standar deviasi ± 1,96. Melalui Bland – Altman Plot dapat diketahui

bahwa tes PCR pada penelitian ini memiliki simpangan yang lebar yang

diterima secara statistik.

Nilai Mean 0,5 berarti nilai PCR lebih tinggi 0,5 gram dibanding

dengan nilai PU. Nilai upper LOA 4.3 dan lower LOA -3,3 berarti area

diantara nilai tersebut tes PCR dan PU masih memilki agreement. Area

(57)

Pada PU < 3 gr (gambar 5) melalui Bland-Altman Plot diperoleh

upper LOA : 2,5 dan lower LOA : -1,1 Pada nilai PU yang semakin besar

tampak bahwa area agreement semakin sempit dan semakin besar kadar

proteinuria semakin besar pula perbedaan nilai PCR dengan PU. Hal ini

kemungkinan karena komposisi sampel pada penelitian ini tidak merata

antara jumlah sampel proteinuria ringan, sedang dan berat.

Dari hasil analisa Receiver Operating Characteristic (ROC)

gambar 6 nilai cut off PCR ditentukan dari kadar PU >150 mg/24 jam

diperoleh nilai PCR > 0.2 gram memiliki sensitifitas 100% (True Positive)

dan spesifisitas 100% (True Negative) dengan area under curve (AUC)

yaitu 1 yang berarti terdapat perbedaan diantara kelompok Nefropati

Diabetik dengan pembanding normal sebesar 100 % menggunakan tes

PCR, dengan kata lain memisahkan 100% orang sehat dan sakit.

Apabila dipakai cut off 0.7 dengan pertimbangan nilai PCR lebih

tinggi 0.5 gram. Sensitifitas 97 % dan spesifisitas 100 % (gambar 7). PCR

dengan cut off 0.7 mempunyai AUC 0.98 yang berarti terdapat perbedaan

diantara kelompok Nefropati Diabetik dengan pembanding normal sebesar

98% menggunakan tes PCR.

Dari hasil penelitian ini nilai Inter-rater agreement kappa yaitu

sebesar 0.40 yang bermakna sedang artinya hal ini menunjukkan bahwa

(58)

P = 0,0001 bermakna hypotesis nol (0) yang menyatakan tes PCR

tidak dapat membedakan penderita Nefropati Diabetik dengan

(59)

BAB Vl

KESIMPULAN DAN SARAN

VI. A. Kesimpulan

1. Pemeriksaan Protein Creatinine Ratio (PCR) dengan

menggunakan spesimen urin random adalah suatu metode / tes

yang akurat, nyaman dan dapat diandalkan dalam mengukur

ekskresi protein urin.

2. PCR hanya akan berada dalam batas klinis yang hanya dapat

diterima pada tingkat proteinuria yang cukup rendah.

3. Berdasarkan penelitian ini PCR dapat menggantikan PU terutama

pada keadaan proteinuria ≤ 3 gr.

VI. B. Saran

1 Diperlukan penelitian lebih luas dengan jumlah sampel yang lebih

besar terutama untuk mendapatkan nilai cut-off PCR untuk Protein

(60)

DAFTAR PUSTAKA

1. Collins AJ, Kasiske B, Herzoq C, Chavers Blanche, Folley R,

Gilbertson D, et.al. United States Renal Data System 2007 Annual

Data, Am J Kidney Dis 2008 : 49 : SI – 296.

2. American Diabetes Association Standard of Medical Care in

Diabetes. Diabetes Care 2004; 27:15-5

3. Lubis HR. Berbagai Faktor Resiko Pada Nefropati Diabetik. Naskah

Lengkap Simposium Diabetes, Padang 2001: 27-52

4. Remuzzi G, Schieppati A. Nephropathy in Patients with Type 2

Diabetes. N England J Med 2002: 346(15): 145-51

5. Ritz E, Orth SR. Nephropathy in Patients with Type 2 Diabetes

Mellitus. England J Med 2002: 341(15): 1127-30

6. Situmorang,TD. Perjalanan Klinik Penyakit Ginjal Diabetik. Dalam :

Naskah Lengkap The 5th Jakarta Nephrology & Hypertension Course and Symposium on Hypertension. PERNEFRI 2005: 42-44

7. Price SA, Wilson LM. Gagal Ginjal Kronik. Dalam : Patofisiologi,

Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit, Edisi 6, Volume 2. Penerbit

Buku Kedokteran EGC, Jakarta 2003 : 940-941

8. Shofa Ch. Pattern of Etiology of Chronic Renal Failure in Kariadi

Hospital 1995-2000. Asian Congress of Nephrology, Bali 2000.

9. Bakris GL. Protecting Renal Function in the Hypertensive Patient :

(61)

10. Hutchison AS, O Reilly DS, Mac Cuish AC. Albumin Excretion Rate,

Albumin Concentration, and Albumin Creatinine Ratio Compare for

Screening Diabetics for Slight Albuminuria. Clin. Chem 1988;

34:2019-21

11. Keane WF. Proteinuria, Albuminuria, Risk Assessment, Detection

Elimination (PARADE) : A Position Paper of National Kidney

Foundation. Am J Kidney Dis 1999; 33: 1004-10

12. Anderson, S. Proteinuria In : Primer onKidney Diseases. Academic

Press : National Kidney Foundation (NKF) 1994 ; 5 : 39-42

13. Bigazzi R, Bianchi S, Baldari D, Campese VM. Microalbuminuria

Predicts Cardiovascular Events and Renal Insufficiency in Patients

with Essential Hypertension J.Hypertension 1998 ; 16 : 1325-33.

14. Pedrinelli R. Microalbuminuria in Essential Hypertension A Marker of

Systemic Vasculer Damage ? Nephrol Dial Transplant 1997 ; 12 :

379-81.

15. Zeller A, Sigle JP, Battegay E, et al. Value of Standard Urinary

Dipstick test for Detecting Microalbuminuria in Patients with Newly

Diagnosed Hypertension. Medical out patients Departement

University Hospital, Base, Switzerland. Swiss Med Wkly 2005; 135:

57-61

16. Ganong WF. Review of Medical Physiology 6 th ed. Japan. Lange

(62)

17. Blick KE. Protein and Creatinine urine In : Clinical Chemistry. Chapter

10. Wilwy Medical Publication John Wiley and Sons New York 1985

18. Immanuel Suzanna. Mikroalbuminuria :Update : Petanda Disfungsi

Endotel. Dalam: Pendidikan Berkesinambungan Patologi Klinik 2006.

Bagian Patologi Klinik FKUI:120-132

19. Levey AS, Coresh J, Balk E, Kausz AT, Levin A, Steffes MW, et.al.

National Kidney Foundation Practise Guidelines for Chronic Kidney

Disease : Evaluation, Classification, and Stratification. An Intern Med

2003 : 139 : 137 – 47.

20. Suhardjono. Proteinuria pada Penyakit Ginjal Kronik: Mekanisme dan

Pengelolaannya. Dalam: Naskah Lengkap The 6th Jakarta Nephrology & Hypertension Course and Simposium on Hypertension.

PERNEFRI, 2006: 1-6

21. Strasinger SK, Lorenzo MSD. Chemical Examination of Urine in

Urinalysis and Body Fluid. Fifth Edition 2008: 36-57

22. Price CP, Newall RG, Boyd JC. Use of Protein: Creatinie Ratio

measurements on random urine samples for prediction of significant

proteinuria: A systemic review. Clin Chem 2005; 51(9): 1577-86

23. Watnick S MD, Morrison G MD. Kidney in Current Medical Diagnosis

and Treatment 2003. International Edition: 868

24. Roger A.Rodby, MD et al. The Urine Protein to Creatinine Ratio as a

(63)

Patients With Nephropathy in America Journal of Kidney Diseases,

Vol 26, No 6 (December), 1995: 904-909

25. Ayman M. Wahbeh et al. Comparison of 24-hour Urinary Protein and

Protein-to-Creatinine Ratio in the Assessment of Proteinuria in Saudi

Journal of Kidney Diseases and Transplantation 2009 ;20(3):443-447

26. Derhaschnig U, Kittler H, Woisetschlager C, Bur A, Herkner H,

Hirschl MM. Microalbumin measurement alone or calculation of the

albumin/creatinine ratio for screening of hypertensive patients?

Nephrol Dial Transplant 2002; 17:81–85.

27. Tietz N.W. Protein and Creatinine Urine in Fundamentals of Clinical

Chemistry. Third Edition, WB. Saunders Company Philadelphia

1987 : 335-39, 679-82.

28. Baron DN. Ginjal. Dalam : Patologi Klinik (A Short Textbook of

Chemical Pathology). Edisi 4. 1984: 240

29. Henry’s. Basic Examination of Urine in Clinical Diagnosis and

Management by Laboratory Methods. Twenty- first Edition 2007 : 397

30. Pantremoli R, Leoncini G, Raven M, Viazzi F, Venorotti S, Ratte H,

et.al. Microalbuminuria, Cardiovascular, and Renal in Risk in Primary

Hypertension. J AM Soc Nephral 2002 : 13 : 5169 – 72.

31. Bawazier LA. Proteinuria. Dalam : Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam

FKUI. Edisi keempat jilid I. Pusat Penerbitan Departemen Ilmu

(64)

32. Glassock RJ. Hematuria and Proteinuria in Primer on Kidney

Diseases. Third Edition. National Kidney Foundation 2001: 42

33. Marshall WJ, Bangert SK. The Kidney in Clinical Chemistry. Fifth

Edition 2004: 78

34. Strasinger SK. Protein in Urinalysis and Body Fluid. A

Self-Instructional Test. Edition 2: 61

35. Brunzel NA. Protein Clinical Significance in Fundamentals of Urine

and Body Fluid Analysis. Second Edition 2004: 139

36. Schumann BG, Schweitzer SC. Examination of urine. In : Henry JB

ed. Clinical diagnosis and management by laboratory methods, 19th ed. Philadelphia: WB Saunders company;1996, 387-404.

37. Lydakis C, Lip GYH. Microalbuminuria and cardiovascular risk. QJ

Med 1998; 381-91

38. Born JVD, Berden JHM: Is microalbuminuria in diabetes due to

changes in glomerular heparin sulphate? Nephrol Dial Transplant

(1995);10:1277-96.

39. Use of Anticoagulants in Diagnostic Laboratory Investigations. WHO

Publication WHO/DIL/Lab/99.1 Rev.2. Jan. 2002

40. Murray RK, Granner DK, Rodwell VW. Harper’s illustrated

biochemistry. 27th ed. USA: The McGraw-Hill Companies. 2006 41. Henry, J.B. 2001.Clinical Diagnosis and Management by Laboratory

(65)

42. Levey, A.S., Coresh, J., Balk, E., Kausz, A., Levin, A., Steffes,M.W.,et

al . 2003. National Kidney Foundation Practice Guidelines for Chronic

Kidney Disease:Evaluation,Classification, and Stratification . Ann Intern

Med.

43. Remer, T., Neubert, A., Maser-Gluth, C. 2002.Anthropometry-based

referencevalues for 24-h urinary creatinine excretion during growth

and their usein endocrine and nutritional research. American Journal of

Clinical Nutrition.

44. Wyss, M. and Kaddurah-daouk, R. 2000. Creatine and creatinine

metabolism,Physiological reviews.

45. Desai SP. MD, Clinician’s Guide to Laboratory Medicine. A Practical

Approach. 3rd Edition 2004: 571-574

46. Jensen JS, Clause P, Borch J, Feldt RB. Detecting Microalbuminuria

by Urinary Albumin/Creatinine Ratio. Nephrol. Dial Transplant 1997

;12 : suppl 2 : 6-9

47. Nahid Shahbazian et al. A comparison of Spot Urine

Protein-Creatinine Ratio With 24-hour Urine Protein Excretion in Women With

Preeclampsia in Kidney Disease. Department of Gynecology and

Obstetrics, Imam Khomeini Hospital, Ahwaz Jundishapur University

of Medical Sciences, Ahwaz, Iran 2008;2:127-31

48. Leanos-Miranda A at al. Protein:creatinine ratio in random urine

samples is a reliable marker of increased 24-hour protein excretion

in hospitalized women with hypertensive disorders of pregnancy. Clin

Gambar

Gambar 1.  Patogenesis Nefropati Diabetik. (Disadur dari Cooper ME, Gilbert RE :
Gambar 2 : Kurva kalibrasi Protein Urin
Tabel 2 : Hasil Kontrol Kualitas Total Protein Urin
Tabel 3 : Hasil Kontrol Kualitas Creatinine
+4

Referensi

Dokumen terkait