• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sang Pemimpi Novel Karya Andrea Hirata : Analisis Sosiosastra

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Sang Pemimpi Novel Karya Andrea Hirata : Analisis Sosiosastra"

Copied!
73
0
0

Teks penuh

(1)

ABSTRAK

Penulisan karya ini dilakukan untuk memperoleh gambaran tentang nilai-nilai sosiosastra yang diperoleh dengan menguraikan unsur-unsur intrinsik yang terdapat dalam novel Sang Pemimpi karya Andrea Hirata. Untuk mencapai tujuan tersebut, telah ditelaah novel Sang Pemimpi karya Andrea Hirata dan telah diterapkan teori struktural dan sosiosastra.

Cerita dalam novel Sang Pemimpi terdapat alur maju mundur (flashback) dengan hubungan-hubungannya yang begitu logis, yaitu hubungan sebab akibat. Penggarapan watak para tokoh dalam novel tersebut dapat dilihat dari tiga aspek, yaitu: fisiologis, sosiologis, dan psikologis. Jumlah tokoh yang dianalisis adalah sepuluh orang tokoh, yang terdiri dari tokoh utama dan tokoh pembantu. Latar dibedakan atas latar waktu, latar tempat, dan latar situasi. Sedangkan tema cerita ini adalah tentang pendidikan yang diperoleh dengan perjuangan para tokohnya. Sedangkan nilai-nilai sosiologi yang tercermin dari novel ini antara lain: nilai pendidikan, nilai cinta, nilai cita-cita, mata pencarian, sistem kemasyarakatan, teknologi, dan religi.

(2)

SANG PEMIMPI

NOVEL KARYA ANDREA HIRATA :

ANALISIS SOSIOSASTRA

SKRIPSI

OLEH

LISTI MORA RANGKUTI 050701035

DEPARTEMEN SASTRA INDONESIA

FAKULTAS SASTRA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(3)

INGINKU…

Aku ingin mengintip selaksa angin Yang mengalir permai…

Menitipkan aroma kesejukan, Olehmu…

Aku ingin…

Menata rimbunnya dedaunan cinta

Yang kusemai di antara sunyi-sepi harapmu Aku selalu punya keinginan

Mengasah impian pada malam Yang menyisakan waktu

Di sudut fajar yang merekah

Walau mimpiku…

Hanya desiran asa yang tak akan luruh karena-Nya Mengalun indah hanya,

Untukmu…

Meski diriku…

Terpaku pada riak-riak kecil telaga hati Kan kubasuh peluh itu

Dengan segaris senyum rembulan

Yang kutitipkan pada jemari waktu yang merona

Terima kasih

Atas segala warna ketulusanmu,

Ayah-Bundaku tercinta…

- - -000- - -

Dari sudut rinduku,

(4)

SANG PEMIMPI

NOVEL KARYA ANDREA HIRATA :

ANALISIS SOSIOSASTRA

SKRIPSI

OLEH

LISTI MORA RANGKUTI

050701035

Skripsi ini diajukan untuk melengkapi persyaratan mengikuti ujian skripsi dan telah disetujui oleh

Pembimbing I, Pembimbing II,

Drs. D. Syahrial Isa, S.U. Dra. Nurhayati Harahap, M.Hum. NIP130517487 NIP 131676481

Departemen Sastra Indonesia,

Ketua

(5)

Disetujui :

Fakultas Sastra

Universitas Sumatera Utara Medan

Departemen Sastra Indonesia Ketua,

Dra. Nurhayati Harahap, M.Hum. NIP 131676481

(6)

PENGESAHAN Diterima oleh:

Panitia Ujian Fakultas Sastra USU untuk melengkapi salah satu syarat

ujian Sarjana Sastra dalam bidang Sastra Indonesia pada Fakultas Sastra USU.

Pada : Hari : Tanggal : Juli 2009

Dekan,

Drs. Syaifuddin, M.A.,Ph.D. NIP

Panitia Ujian Tanda Tangan

(7)

PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam skripsi ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi. Dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka. Apabila pernyataan yang saya buat ini tidak benar, saya bersedia menerima sanksi berupa pembatalan gelar kesarjanaan yang saya peroleh.

Medan, 22 Juni 2009

Listi Mora Rangkuti

(8)

ABSTRAK

Penulisan karya ini dilakukan untuk memperoleh gambaran tentang nilai-nilai sosiosastra yang diperoleh dengan menguraikan unsur-unsur intrinsik yang terdapat dalam novel Sang Pemimpi karya Andrea Hirata. Untuk mencapai tujuan tersebut, telah ditelaah novel Sang Pemimpi karya Andrea Hirata dan telah diterapkan teori struktural dan sosiosastra.

Cerita dalam novel Sang Pemimpi terdapat alur maju mundur (flashback) dengan hubungan-hubungannya yang begitu logis, yaitu hubungan sebab akibat. Penggarapan watak para tokoh dalam novel tersebut dapat dilihat dari tiga aspek, yaitu: fisiologis, sosiologis, dan psikologis. Jumlah tokoh yang dianalisis adalah sepuluh orang tokoh, yang terdiri dari tokoh utama dan tokoh pembantu. Latar dibedakan atas latar waktu, latar tempat, dan latar situasi. Sedangkan tema cerita ini adalah tentang pendidikan yang diperoleh dengan perjuangan para tokohnya. Sedangkan nilai-nilai sosiologi yang tercermin dari novel ini antara lain: nilai pendidikan, nilai cinta, nilai cita-cita, mata pencarian, sistem kemasyarakatan, teknologi, dan religi.

(9)

KATA PENGANTAR

Segala puji hanya milik Allah Swt. yang senantiasa mencurahkan segala nikmat dan karunia-Nya kepada kita sehingga dengan kenikmatan dan kemudahan yang Allah berikan, penulis akhirnya mampu merangkum penelitian ini menjadi sebuah proposal dengan judul Sang Pemimpi Novel Karya Andrea Hirata: Analisis Sosiosastra.

Analisis sosiosastra dilakukan untuk memperoleh gambaran tentang hubungan antara struktural dengan sosiosastra yang terkandung di dalam novel ini. Oleh karena itu, penulis melakukan pendekatan struktural dan sosiosastra untuk menelaah nilai pendidikan, cinta, cita-cita, mata pencarian, sistem kemasyarakatan, teknologi, dan religi yang tertuang secara kronologis di dalam novel Sang Pemimpi.

Dalam kesempatan ini penulis tidak lupa mengucapkan terima kasih kepada : 1. Bapak Drs. Syaifuddin, M.A., Ph.D. selaku dekan Fakultas Sastra USU

beserta Pembantu Dekan I, II, dan III.

2. Bapak Drs. Asrul Siregar, M.Hum. sebagai dosen wali yang senantiasa memberikan dorongan kepada penulis selama masa perkuliahan.

3. Bapak Drs. D. Syahrial Isa, S.U. sebagai dosen pembimbing I penulisan skripsi ini.

4. Ibu Dra. Nurhayati Harahap, M.Hum. sebagai ketua departemen Sastra Indonesia sekaligus dosen pembimbing II skripsi proposal ini.

(10)

6. Orang tua tercinta, H.Fahrul Rangkuti dan Sahrani Harahap, yang senantiasa membimbing penulis dengan semangat dan cinta. Bagiku, kalian adalah denting waktu yang tak pernah pudar oleh masa yang berganti…

Adalah setitis embun yang menitik di selaksa jiwaku…

7. Kakakku tercinta (Dini Fasya Rangkuti), adik-adikku tercinta (Dein Herry Rangkuti, Ahmad Fauzi Rangkuti, dan Nurul Arifah Rangkuti). Terima kasih untuk setiap warna yang telah kalian luruhkan di pelangi hatiku…

8. Ballada orang-orang tersayang: Mbak Eva Sastra, Vivi Sastra, Kak Lili, Lia sastra, Kak Salhayani, Rossy Nurhasanah, rekan-rekan seperjuangan di KAMMI USU, Kamil USU-Polmed, UKMI Ad-Dakwah USU, BTM Al-Iqbal Fakultas Sastra USU, dan PRIMAGAMA Griya.

9. Tiga dara jelita di Kos 22 USU (Kak Ipeh imoet, Aisyah sweety, dan Oi chaem). Semoga episode cinta yang kita gapai karena Allah swt. Tetap

bersinarlah ia seterang bebintang di langit hati kita…

Karena keterbatasan yang dimiliki oleh penulis, maka penulis berharap kritik dan saran yang membangun dari pembaca sebagai upaya perbaikan tulisan ini ke arah yang lebih baik. Semoga analisis sederhana ini bermanfaat bagi penulis dan pembaca.

Medan, 22 Juni 2009

(11)

DAFTAR ISI

Abstrak……… i

KATA PENGANTAR……… ii

DAFTAR ISI……….. iii

Lembar Persetujuan……… iv

BAB I : PENDAHULUAN……….. 1

1.1Latar Belakang Masalah……… 1

1.2 Rumusan Masalah……… 4

1.3Tujuan dan Manfaat Penelitian………. 5

1.3.1 Tujuan Penelitian……… 5

1.3.2 Manfaat Penelitian……….. 6

BAB II: KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA………… 7

2.1 Konsep……… 7

2.2 Landasan Teori……… 8

2.2 Tinjauan Pustaka………. 12

BAB III : METODE PENELITIAN……… 14

3.1Metode Penelitian………... 14

3.1.1 Bahan Analisis……… 17

3.2Teknik Pengumpulan Data……….. 18

BAB IV : ANALISIS STRUKTURAL DAN SOSIOSASTRA TERHADAP NOVEL SANG PEMIMPI KARYA ANDREA HIRATA 4.1 Analisis Struktural……….. 19

4.1.1 Alur……….. 19

4.1.2 Latar………. ……… 26

4.1.3 Perwatakan……… 30

(12)

4.2 Analisis Sosiosastra……….. 43

4.2.1 Nilai Pendidikan……… 43

4.2.2 Nilai Cinta………. 46

4.2.3 Nilai Cita-Cita……… 49

4.2.4 Mata Pencarian……… 50

4.2.5 Sistem Kemasyarakatan ………. 51

4.2.6 Teknologi……… 52

4.2.7 Nilai Religi………. 53

BAB V : SIMPULAN………. 56

(13)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Sebuah karya sastra merupakan proses kreatif seorang pengarang terhadap realitas kehidupan sosial pengarangnya. Suatu karya sastra dapat dikatakan baik apabila karya sastra tersebut dapat mencerminkan zaman serta situasi dan kondisi yang berlaku dalam masyarakatnya. Sumardjo (1999:19) menyatakan bahwa karya sastra yang baik juga biasanya memiliki sifat-sifat yang abadi dengan memuat kebenaran-kebenaran hakiki yang selalu ada selama manusia masih ada. Demikian juga pendapat Damono (1984:1) :

Karya sastra diciptakan sastrawan untuk dinikmati, dipahami, dan dimanfaatkan oleh masyarakat. Sastrawan merupakan masyarakat yang terikat dengan status sosial tertentu. Sastra adalah lembaga sosial yang menggunakan bahasa sebagai medium, bahasa merupakan ciptaan sosial. Sastra menampilkan gambaran kehidupan dan kehidupan adalah suatu kenyataan sosial. Seluruh peristiwa yang terjadi dalam batin seseorang, yang sering menjadi bahan sastra adalah pantulan hubungan seseorang dengan orang lain atau masyarakat.

(14)

sastra tidak mutlak mencerminkan seluruh aspek kehidupan atau kenyataan sosial sehari-hari. Uraian ini menekankan kerangka hubungan karya sastra, pengarang, dan masyarakat. Hal ini juga berarti meletakkan sastra dalam konteks sosiobudayanya. Kerangka hubungan karya sastra, pengarang, dan masyarakat merupakan pengkajian sosiosastra.

Objek kajian penelitian ini adalah novel Sang Pemimpi karya Andrea Hirata yang pertama kali terbit tahun 2005. Novel ini terbit sesudah Laskar Pelangi dan dilanjutkan dengan Edensor serta Maryamah Karpov. Novel Sang Pemimpi mengandung nilai-nilai sosial masyarakat, khususnya cerminan sosial masyarakat Belitung. Penggambaran keadaan masyarakat Belitung terurai secara lengkap, jelas, dan mendalam oleh pengarang yang merupakan masyarakat asli Belitung. Menurut editor Republika, Adi W.Gunawan :

hal yang menarik dari novel Sang Pemimpi adalah permasalahan yang diungkapkannya. Novel ini memaparkan nilai-nilai sosial yang tumbuh dan berkembang di tengah-tengah masyarakat. Kisah hidup atau memoar dari sang pengarang, Andrea Hirata, disajikan dalam karya fiktif yang menggambarkan kehidupan para pelajar yang berjuang untuk memperoleh pendidikan. Bersama Laskar Pelangi dan Edensor, Sang Pemimpi hadir seolah-olah memberi setitik kesegaran di tengah-tengah dahaga pembaca terhadap karya-karya bermutu. Banyak orang yang memuji novel-novel memoar tersebut karena jalinan ceritanya yang penuh dengan muatan moral (http://pembelajar.com).

(15)

yang indah”, tulis Tempo. “Novel tentang dunia anak-anak yang mencuri perhatian”, puji Gatra (www.renjana’s.com).

Pujian dari sejumlah kalangan di atas sudah menjadi bukti bahwa novel-novel karya Andrea Hirata benar-benar membekas di benak pembaca. Sebagai hadiahnya, novel-novel tersebut ramai diperbincangkan, diresensi, serta diulas di berbagai media, dan akhirnya laris di pasaran. Menurut data yang dikumpulkan oleh Republika pada Minggu, 30 Desember 2007, karya tetralogi Andrea Hirata membludak dan begitu menguasai pasar. Laskar Pelangi telah terjual sebanyak 200.000 eksemplar, Sang Pemimpi 120.000 eksemplar, dan Edensor sebanyak 25.000 eksemplar.

(www.Republika.com)

Penulis lebih tertarik untuk menelaah dan menjadikan Sang Pemimpi sebagai objek kajian dalam penelitian sastra karena banyaknya kelebihan dan keunikan yang dimiliki oleh novel Sang Pemimpi sehingga menggugah penulis untuk meneliti novel ini lebih jauh dari aspek struktural dan aspek sosiosastranya. Banyak unsur yang membangun struktur Sang Pemimpi, seperti halnya alur, penokohan, karakter, gaya bahasa, amanat, dan tema. Uraian kisah di dalam novel ini akan mengajak pembaca untuk “berani bermimpi” untuk mewujudkan harapan dan cita-cita.

Menurut seorang pemerhati sastra, Aulia Muhammad Syahidin:

Sang Pemimpi merupakan karya sukses yang menawarkan ironisnya dunia pendidikan dan fakta kehidupan orang-orang marjinal di sebuah pulau kecil, Belitung. Novel yang bertemakan tentang pendidikan ini mampu menguasai pasar dan menyingkirkan karya-karya yang hanya bertemakan seks, remaja, dan sebangsanya (www.suaramerdeka.com).

(16)

Sang Pemimpi merupakan karya “Eksotisme Lokalitas” yang menggambarkan

budaya masyarakat setempat.

Selain kelebihan yang dimiliki oleh novel tersebut, penulis juga tertarik pada prestasi yang dimiliki oleh Andrea Hirata karena telah berhasil menuai kesuksesan dari novel tetraloginya tersebut. Keseriusannya dalam menulis perlu diperhatikan. Bagi pegawai PT Telkom Bandung yang juga merupakan alumnus strata dua (S-2) Sheffield Hallam University Inggris dan Universite de Paris, Sorbone, dalam menulis memiliki tujuan yang mulia. “Penulis yang sukses menurut saya adalah penulis yang mampu menggerakkan pembacanya untuk melakukan hal-hal yang luhur setelah membaca bukunya”, papar Andrea dalam wawancara tertulisnya dengan Edy Zeques dari Pembelajar.com sehingga dari seluruh kepiawaiannya tersebut, pengarang terpilih menjadi “Tokoh Perubahan 2007” versi Republika.

Analisis terhadap novel Sang Pemimpi akan sangat menarik mengingat perjuangan hidup masyarakat miskin Belitung dalam mengejar cita-cita untuk melanjutkan pendidikan di tengah-tengah kerasnya kehidupan. Selain itu, Andrea Hirata juga dikenal sebagai penulis yang fenomenal. Hal inilah yang membuat peneliti yakin bahwa penelitian ini layak diangkat.

1.2 Rumusan Masalah

(17)

sifat khas, seperti: adanya aspek “fiksionalitas”, ”ciptaan”, dan “imajinatif” (Wellek dan Warren, 1989:18-20). Ketiga unsur inilah yang menyebabkan masalah yang luas dan kompleks dalam dunia sastra. Hal ini juga telah memungkinkan beragamnya teori dan pendekatan terhadap karya sastra.

Berdasarkan pendapat di atas, penulis akan menganalisis unsur-unsur yang membangun sebuah karya sastra yang meliputi:

1. analisis latar, alur, penokohan, dan tema yang memegang perananan penting dalam tubuh novel Sang Pemimpi.

2. analisis unsur-unsur ekstrinsik yang terkandung dalam novel Sang Pemimpi, seperti : nilai pendidikan, nilai cinta, cita-cita, mata pencarian, sistem kemasyarakatan, teknologi, dan religi.

Analisis struktural dan sosiosastra dilakukan karena karya memor Andrea Hirata ini merupakan cermin masyarakat yang dapat dijadikan sebagai dokumen sosial budaya.

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian 1.3.1 Tujuan

(18)

Tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah :

a. Menguraikan struktur novel Sang Pemimpi yang mencakup analisis alur, latar, penokohan, dan tema.

b. Menguraikan unsur-unsur ekstrinsik, seperti: nilai pendidikan, cinta, cita-cita, mata pencarian, sistem kemasyarakatan, teknologi, dan religi yang terdapat dalam novel Sang Pemimpi.

1.3.2 Manfaat Penelitian

Karena penelitian ini merupakan awal dari penelitian, maka hasil penelitian diharapkan bermanfaat untuk:

a. Mengenalkan novel Sang Pemimpi karya Andrea Hirata kepada pembaca sebagai karya sastra yang fenomenal dan banyak diminati masyarakat.

b. Membuktikan teori-teori sosiosastra dapat diaplikasikan ke dalam novel Sang Pemimpi sebagai dokumen sosiobudaya.

(19)

BAB II

KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep

Untuk membahas sebuah karya sastra ada dua macam pendekatan, yaitu pendekatan intrinsik dan pendekatan ekstrinsik. Pendekatan intrinsik bertolak dari karya itu sendiri. Pendekatan seperti ini disebut sebagai pendekatan struktural. Menurut Luxemburg (1984:36) struktural adalah kaitan-kaitan tetap antar kelompok-kelompok gejala. Kaitan tersebut dilakukan oleh peneliti berdasarkan observasinya.

Pendekatan kedua adalah pendekatan ekstrinsik. Wellek dan Warren (1989:109) menyatakan bahwa pendekatan ekstrinsik biasanya mempermasalahkan sesuatu di seputar sastra dan situasi sosial tertentu, sistem ekonomi, sistem sosial, adat istiadat, dan politik. Selanjutnya, Nurgiyantoro (1998:23) menyatakan bahwa unsur ekstrinsik adalah unsur yang berada di luar karya sastra, tetapi secara tidak langsung mempengaruhi bangunan karya sastra. Bagaimanapun juga, karya sastra tidak muncul dari situasi kekosongan budaya.

(20)

yang objeknya adalah manusia dan kehidupannya dengan menggunakan bahasa sebagai mediumnya.

Dengan demikian, kesamaan permasalahan antara sosiologi dengan sastra adalah sama-sama berurusan dengan manusia dan masyarakat. Namun, seorang sosiolog hanya dapat melihat fakta berdasarkan kenyataan yang terjadi di dalam masyarakat. Sedangkan sastrawan mampu mengungkapkan kenyataan melalui imajinasinya.

Sosiosastra merupakan pendekatan yang mempertimbangkan nilai-nilai sosiologi pada karya sastra. Grebstein (dalam Damono, 1984:4-5) menjelaskan bahwa karya sastra tidak dapat dipahami secara menyeluruh dan tuntas jika dipisahkan dari budaya masyarakat yang menghasilkannya.

2.2 Landasan Teori

Penelitian ini menerapkan pendekatan intrinsik dengan menggunakan teori struktural dan pendekatan ekstrinsik dengan menggunakan teori sosiosastra. Pendekatan struktural digunakan karena dalam memenuhi sebuah cerita diperlukan analisis struktural sebab pendekatan struktural merupakan tugas prioritas dalam penelitian karya sastra (Teeuw,1983:61).

Menurut Abrams (1979:3) dan Teeuw (1988:50) ada empat pendekatan terhadap karya sastra, yaitu:

(21)

sastra sebagai suatu yang otonom terlepas dari alam sekitarnya, pembaca, dan pengarang. Maka, yang penting adalah dalam kritik ini adalah karya sastra itu sendiri, yang dianalisis khusus struktur intrinsiknya.

Sesuai dengan pendapat di atas, maka dalam penelitian ini diterapkan pendekatan objektif yang menganggap karya sastra sebagai suatu yang otonom. Pendekatan objektif disebut juga dengan pendekatan struktural.

Pendekatan struktural menurut Luxemburg (1984:38) adalah sebuah karya sastra atau peristiwa di dalam masyarakat menjadi keseluruhan karena adanya relasi timbal balik antara bagian-bagiannya dan antara bagian dan keseluruhannya. Menurut pendapat Goldmann (1971:593), analisis struktural dilakukan oleh peneliti berdasarkan ketentuan bagian mana yang menjadi unsur dominan dalam data empirik sebuah karya sastra. Dari data tersebut akan ditemukan sebuah penjelasan sebagai bagian dari keseluruhan.

Selanjutnya, dilakukan analisis sosiosastra. Analisis sosiosastra diaplikasikan pada penelitian ini karena karya sastra dilihat dari hubungannya dengan kenyataan. Kenyataan di sini mengandung arti yang cukup luas, yakni segala sesuatu yang berada di luar karya sastra dan yang diacu oleh karya sastra. Luxemburg (1984:24) menyatakan bahwa yang diteliti adalah hubungan antara (aspek-aspek) teks sastra dan suasana masyarakat. Sistem masyarakat serta perubahannya tercermin di dalam masyarakat. Sastra pun dipergunakan sebagai sumber menganalisis sistem masyarakat.

(22)

semata-mata menyodorkan fakta kehidupan secara mentah, namun sastra merupakan kenyataan yang telah ditafsirkan.

Ratna (2003:18) menyatakan bahwa,

teori-teori sosiologi yang mendukung analisis sosiologis adalah teori-teori yang dapat menjelaskan hakikat fakta-fakta sosial, karya sastra sebagai sistem komunikasi, khusus dalam kaitannya dengan aspek-aspek ekstrinsik, seperti kelompok sosial, kelas sosial, stratifikasi sosial, institusi sosial, sistem sosial, interaksi sosial, konflik sosial, dan kesadaran sosial, yang semua berhubungan dengan masyarakat.

Wilayah sosiosastra sastra cukup luas. Wellek dan Warren (1989:111) membagi telaah sosiosastra menjadi tiga klasifikasi, yaitu:

(1) sosiologi pengarang: yakni mempermasalahkan tentang status sosial, ideologi politik, dan lain-lain yang menyangkut diri pengarang ; (2) sosiologi karya sastra: yakni mempermasalahkan tentang suatu karya sastra; yang menjadi pokok telaah adalah tentang apa yang tersirat dalam karya sastra tersebut dan apa tujuan atau amanat yang hendak disampaikannya; (3) sosiologi sastra: yakni mempermasalahkan tentang pembaca dan pengaruh sosialnya terhadap masyarakat.

Meskipun wilayah sosiosastra sangat luas, namun penelitian ini ditekankan pada sosiologi karya sastra yang mempermasalahkan hal-hal tersirat yang terdapat dalam karya sastra tersebut.

(23)

pedalaman Belitung, mereka harus berjuang sekuat tenaga untuk memperoleh pendidikan. Oleh karena itu, masyarakat Belitung memiliki semboyan jangan dak kawa nyusa aok yang artinya, setiap keberhasilan memerlukan kerja keras

(www.profilbangkabelitung.com). Kerja keras anak-anak Belitung tampak pada penggalan cerita di bawah ini :

Kami berdiri dari pagi sampai malam di depan mesin fotokopi yang panas. Sinarnya yang menyilaukan menusuk mata, membiaskan pengetahuan botani, fisiologi tumbuhan, genetika, statistika, dan matematika di muka kami. Lipatan aksara ilmu pada kertas-kertas yang tajam mengiris jemari kami, menyayat hati kami yang bercita-cita besar ingin melanjutkan sekolah. Kami kelelahan ditumpuki buku-buku tebal dari mahasiswa baru sampai profesor yang akan pensiun dalam euforia akademika yang sedikit pun tak dapat kami sentuh. Pekerjaan fotokopi menimbulkan perasaan sakit nun jauh di dalam hati kami (hal.238).

Aku dan Arai untuk pertama kali pulang ke Belitong. Kami telah memenuhi tantangan guru SD-ku, Bu Muslimah dan Pak Mustar, yaitu baru pulang setelah jadi sarjana. Aku bangga mengenang kami mampu menyelesaikan kuliah di Jawa tanpa pernah mendapat kiriman selembar wesel pun (hal. 263).

Berdasarkan uraian dari teori-teori di atas, untuk menganalisis novel Sang Pemimpi, maka teori struktural dapat menganalisis unsur-unsur intrinsik yang

(24)

2.2 Tinjauan Pustaka

Novel Sang Pemimpi memiliki beberapa kelebihan sehingga novel ini banyak diresensi, diteliti, serta diulas dalam beberapa forum diskusi. Menurut pengamatan penulis, novel Sang Pemimpi belum pernah diteliti oleh mahasiswa di Departemen Sastra Indonesia Universitas Sumatera Utara karena karya ini masih tergolong baru. Sedangkan di lain tempat, novel ini sudah pernah diteliti oleh Sofa dengan judul Penelitian tentang Psikologi Tokoh Utama dalam Novel Sang Pemimpi

(www.ilmuonline.com). Sofa mengkaji Sang Pemimpi melalui pendekatan psikologi sastra. Sofa menelaah kejiwaan para tokoh utama novel ini. Kemudian, novel Sang Pemimpi pernah ditelaah oleh Atulasca dengan judul Kajian Bahasa dalam Novel

Sang Pemimpi (www.dalammihrabcinta.com). Atulasca mengkaji dari unsur kebahasaan karena karya Andrea Hirata ini penuh dengan kata-kata yang berjiwa.

Pada kesempatan ini, penulis mencoba mengkaji novel Sang Pemimpi dari segi sosiologi sastra. Karena karya ini tidak terlepas dari nilai-nilai sosial dan budaya masyarakat setempat. Nilai-nilai sosial di antaranya adalah nilai pendidikan. Hal ini terbukti pada petikan kalimat berikut:

“Biar kau tahu, Kal, orang seperti kita tak punya apa-apa kecuali semangat dan mimpi. Kita akan bertempur habis-habisan demi mimpi-mimpi itu!!”(hal.153)

(25)

Nilai budaya juga terdapat pada novel Sang Pemimpi. Hal ini tampak pada petikan kalimat di bawah ini:

(26)

BAB III

METODE PENELITIAN 3.1 Metode Penelitian

Metode penelitian yang akan dilakukan pada novel Sang Pemimpi adalah dengan membaca heuristik dan hermeneutik. Menurut Pradopo (2001:84) :

pembacaan heuristik adalah pembacaan berdasarkan struktur kebahasaannya atau secara semiotik adalah berdasarkan konvensi tingkat pertama. Pembacaan heuristik adalah pembacaan tata bahasa ceritanya yaitu pembacaan dari awal sampai akhir secara berurutan. Hasilnya adalah sinopsis cerita. Pembacaan hermeneutik adalah pembacaan ulang atau retroaktif sesudah pembacaan heuristik dengan memberikan konvensi sastranya. Konvensi sastra yang dimaksud adalah memberikan makna dari cerita.

Selain itu, Pradopo (2001:84) juga menjelaskan, “Metode membaca heuristik pada cerita rekaan atau novel merupakan metode pembacaan berdasarkan tata bahasa ceritanya yaitu pembacaan novel dari awal sampai akhir dengan cara berurutan”. Cerita yang memiliki alur sorot balik dapat dibaca secara alur lurus. Hal ini dipermudah dengan dibuatnya sinopsis cerita dari novel yang dibaca tersebut. Pembacaan heuristik itu adalah penerangan kepada bagian-bagian cerita secara berurutan.

Hasil pembacaan heuristik terhadap novel Sang Pemimpi menghasilkan sinopsis cerita sebagai berikut:

(27)

pada pribadi mereka bahwa kehidupan harus dilalui dengan penuh pengharapan, juga menolak semua keputusasaan dan ketakberdayaan.

Kronologis novel ini diawali dengan pertemuan antara Arai dan Ikal sejak mereka masih duduk di bangku SD. Arai dan Ikal masih memiliki pertalian darah, yaitu nenek Arai adalah adik kandung kakek Arai dari pihak ibu Ikal. Namun, Arai memiliki nasib yang malang. Sewaktu ia masih kelas satu SD, ibunya meninggal dunia saat melahirkan adiknya. Lalu, Arai tinggal berdua dengan ayahnya dalam kemelaratan. Menginjak kelas tiga SD, ayahnya juga meninggal dunia. Arai pun menjadi yatim piatu. Kemudian, ia dipungut oleh keluarga Ikal.

Kesedihan sering menguasai diri Arai. Meskipun ia masih berusia sembilan tahun, ia telah belajar menguatkan dirinya. Ia juga bertekad memerdekakan dirinya dari duka mengharu biru yang membelenggunya. Ia telah berdamai dengan kepedihan dan siap menantang nasibnya.

Semasa kecil mereka, Ikal dan Arai adalah anak yang nakal sehingga mereka sering dihukum Taikong Hamim, seorang guru mengaji di kampung mereka. Menurut budaya Melayu pedalaman Belitung, orang yang mengajarimu mengaji dan menyunat perkakasmu adalah pemilik kebijakan hidupmu. Hal inilah yang mensyaratkan pentingnya nilai-nilai relgi bagi masyarakat muslim Melayu Belitung.

Sifat percaya diri serta bijaksana telah tertanam dalam pribadi Arai dan Ikal

sejak mereka duduk di bangku kelas dua SMP. Sifat dermawan mereka tergambar ketika mereka merelakan tabungan mereka berdua untuk pengemis, Mak Cik

(28)

teladan dengan menukarkan uang tersebut dengan bahan-bahan pembuat kue yang kemudian diserahkannya kepada Mak Cik Maryamah agar Mak Cik Maryamah mengolah bahan-bahan tersebut menjadi kue yang akan dijajakan kepada para tetangga.

Arai mampu melihat keindahan di balik sesuatu, keindahan yang hanya biasa orang temui di dalam mimpi-mimpi. Maka, Arai adalah seorang pemimpi yang sesungguhnya, seorang pemimpi sejati.

Kesulitan ekonomi yang menghimpit masyarakat Belitung, ternyata tidak menyurutkan impian di antara dua orang pemimpi ini untuk tetap bersekolah sambil bekerja.

Motivasi yang sering disampaikan oleh seorang guru sastra SMA Bukan Main, Pak Balia, telah memberikan inspirasi dan semangat tinggi bagi Ikal dan Arai sehingga mereka akhirnya berani bermimpi untuk bisa bersekolah di negara menara Eiffel, Perancis. Demi sebuah mimpi, mereka antusias belajar, rajin menabung dari hasil kuli ngambat, serta lari sprint pun mereka tempuh menuju sekolah.

Kekuatan mimpi yang memberikan motivasi terbesar di dalam kehidupan Ikal dan Arai berasal dari kekuatan cinta yang lahir dari sebuah persahabatan yang terjalin antara Ikal, Arai, dan Jimbron. Jimbron telah membuktikan ketulusannya dengan merelakan seluruh tabungannya sebagai bekal perjalanan kedua sahabatnya menuju ibu kota, Jakarta, selepas mereka lulus dari SMA Bukan Main.

(29)

Lulus di Universitas Indonesia sebagai mahasiswa Fakultas Ekonomi tidak menyurutkan langkah Ikal untuk tetap bekerja sambil kuliah. Demikian juga dengan Arai yang menempuh perjalanan studinya hingga ke Universitas Mulawarman, Jurusan Biologi.

Kesungguhan yang mereka bangun melalui mimpi-mimpi mereka ternyata mampu mengantarkan Ikal dan Arai pada sebuah kenyataan indah. Kenyataan yang menjadikan mimipi-mimpi mereka menjadi nyata. Hasil wawancara dan pengujian beasiswa sekolah ke Uni Eropa menyatakan bahwa mereka diterima di Universite de Paris, Sorbone, Perancis.

Metode membaca heuristik harus diulang dengan bacaan retroaktif dan ditafsirkan secara hermeneutik sehingga pada sistem semiotik tingkat kedua isi cerita rekaan atau novel dapat memberikan pemahaman serta penafsiran makna cerita keseluruhan dari novel yang dibahas.

Selanjutnya, penafsiran data tersebut dicatat pada kartu data. Ukuran kartu data adalah 16 cm x 12 cm. Penafsiran tersebut dicatat berdasarkan masalah yang berhubungan dengan unsur-unsur intrinsik, seperti: alur, latar, penokohan, dan tema, serta unsur-unsur ekstrinsik, seperti: nilai pendidikan, budaya, cinta, cita-cita, dan nilai religi yang terdapat dalam novel Sang Pemimpi pada kartu data yang berbeda.

3.1.1 Bahan Analisis

Data dikumpulkan dari novel Sang Pemimpi, yaitu : Judul : Sang Pemimpi

(30)

Penerbit : Bentang Tebal buku : 292 halaman Ukuran buku : 20,5 cm

Cetakan : X

Tahun : 2007

Jenis : Novel

Warna sampul : Perpaduan warna biru dan putih

Gambar sampul :Gambar seorang lelaki berpakaian hitam sedang duduk berjongkok menatap langit. Lelaki itu duduk di ujung sebuah dermaga kayu yang dikelilingi oleh laut dan langit biru.

Desain sampul : Andreas Kusumahadi

3.2 Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data dilakukan dengan studi perpustakaan (library research) yaitu penelitian yang dilakukan di ruang perpustakaan. Pada penelitian ini

akan diperoleh data dan informasi tentang objek penelitian melalui buku-buku (Semi, 1988:8). Adapun objek penelitian ini adalah novel Sang Pemimpi karya Andrea Hirata.

(31)

BAB IV

ANALISIS STRUKTURAL DAN SOSIOSASTRA TERHADAP NOVEL SANG PEMIMPI 4.1 Analisis Struktural

4.1.1 Alur

Alur merupakan penuntun bagi pembaca untuk memahami sebuah cerita dengan baik. Alur yang baik harus memiliki kejelasan dan kesederhanaan. Nurgiyantoro (1998:110) menjelaskan bahwa kejelasan alur dapat berarti kejelasan cerita dan kesederhanaan alur berarti kemudahan cerita untuk dipahami.

Menurut Nurgiyantoro (1998:114):

alur diwujudkan melalui perbuatan, tingkah laku, dan sikap tokoh-tokoh (utama) cerita, bahkan umumnya peristiwa yang ditampilkan dalam cerita tidak lain dari perbuatan dan tingkah laku tokoh-tokoh cerita. Alur merupakan cermin dari perjalanan tingkah laku para tokoh dalam bertindak, berpikir, berperasaan, dan bersikap dalam menghadapi berbagai masalah kehidupan. Hamidy (1983:26) berpendapat bahwa alur suatu cerita atau plot dapat dipandang sebagai pola atau kerangka cerita dari bagian-bagian lain cerita itu disangkutkan sehingga cerita itu kelihatan menjadi suatu bangunan yang utuh.

Sedangkan menurut Keraf (1980:148),

(32)

Untuk membatasi titik tinjauan, maka perlu diberi batasan terhadap apa yang dimaksud cerita dalam sebuah novel, yaitu rangkaian tindakan yang terdiri dari tahap-tahap yang penting dalam sebuah struktur yang didikat oleh waktu.

Lubis (1981:17) membagi cerita ke dalam lima bagian, yaitu: 1. S ituation (pengarang mulai melukiskan suatu keadaan),

2. Generating Circumstance (peristiwa yang bersangkut paut dan mulai bergerak), 3. Racing Action (keadaan mulai memuncak),

4. Climax (peristiwa-peristiwa mencapai puncaknya),

5. Denoument (pengarang memberikan pemecahan soal dari semua peristiwa).

Berdasarkan beberapa pendapat di atas, maka alur pada novel Sang Pemimpi dimulai dari pemaparan (situation)

1. Situation

Pemaparan (situation) merupakan suatu kondisi permulaan yang menyampaikan informasi permulaan kepada pembaca. Kondisi ini mendorong keingintahuan pembaca terhadap lanjutan cerita.

Cerita dalam novel Sang Pemimpi dilukiskan dengan gambaran suasana di sebuah dermaga di Tanah Belitung.

Daratan ini mencuat dari perut bumi laksana tanah yang dilantakkan tenaga dahsyat kataklismik. Menggelegak sebab lahar meluap-luap di bawahnya. Lalu, membubung di atasnya, langit terbelah dua. Di satu bagian langit, matahari rendah memantulkan uap lengket yang terjebak ditudungi cendawan gelap gulita, menjerang pesisir sejak pagi. Sedangkan di belahan yang lain, semburan ultraviolet menari-nari di atas permukaan laut yang bisu bertapis minyak, jingga serupa kaca-kaca gereja, mengelilingi dermaga yang menjulur ke laut seperti reign of fire, lingkaran api. Dan di sini, di sudut dermaga ini, dalam sebuah ruangan yang asing aku terkurung, terperangkap, mati kutu (hal.1).

(33)

penyimpanan ikan. Pelarian yang mereka lakukan untuk menghindar dari kejaran Pak Mustar. Pak Mustar, wakil kepala SMA Bukan Main, mengejar mereka karena mereka mengejek Pak Mustar ketika berpidato di halaman sekolah.

Senin pagi ini kuanggap hari yang sial. Setengah jam sebelum jam masuk, Pak Mustar mengunci pagar sekolah. Beliau berdiri di podium menjadi inspektur apel rutin. Celakanya banyak siswa yang terlambat, termasuk aku, Jimbron, dan Arai. Lebih celaka lagi beberaoa siswa yang terlambat justru mengejek Pak Mustar. Dengan sengaja, mereka meniru-nirukan pidatonya. Pemimpin para siswa yang berkelakuan seperti monyet sirkus itu tak lain Arai!! Pak Mustar ngamuk. Ia meloncat dari podium dan mengajak dua orang penjaga sekolah mengejar kami (hal.10).

Aku berlari kencang menyusuri terali sekolah. Pengejarku juga sial karena aku adalah sprinter SMA Bukan Main. Seluruh siswa berhamburan menuju pagar, riuh menyemangatiku karena mereka membenci Pak Mustar. Seumur-umur aku tak pernah diperhatikan seorang pun putri semenanjung, namun kini gadis-gadis manis Melayu itu, yang tadi tak sedikit pun mengacuhkan aku, melolong-lolong mendukungku (hal.13).

Demikianlah kenakalan-kenakalan anak-anak SMA terpancar dari tokoh utama novel ini. Kenakalan-kenakalan yang dilakukan oleh Ikal, Arai, dan Jimbron sering mengundang perhatian dari orang-orang di sekeliling mereka. Namun, kelakuan mereka itulah yang mengundang penasaran pembaca untuk melanjutkan kisah para pemimpi tersebut.

2. Generating Circumstance

Peristiwa yang saling terkai pun mulai bergerak. Pada tahap ini, cerita mulai disajikan oleh pengarang pada peristiwa selanjutnya meskipun penceritaan masih samar-samar.

(34)

karung kecampang berisi beberapa potong pakaian, sajadah, gayung tempurung kelapa, mainan buatannya sendiri, dan bingkai plastik murahan berisi foto hitam putih ayah dan ibunya ketika pengantin baru (hal.24-25). Pertemuan pertama antara Ikal dan Arai adalah ketika Arai tidak memiliki satu orang pun sanak saudara sejak ia ditinggal pergi selamanya oleh kedua orang yang sangat dicintainya. Karena masih memiliki pertalian darah, meskipun jauh, akhirnya ayah Ikal memungut Arai dan menjadikan Arai sebagai anggota keluarga mereka.

Selanjutnya, petualangan yang telah dilakukan dua orang sahabat tersebut, Arai dan Ikal, untuk mewujudkan impian mereka untuk melanjutkan sekolah juga dipengaruhi oleh seorang sahabat mereka, Jimbron. Mereka dengan Jimbron ketika mereka berada pada tempat pengajian yang sama.

Dalam kancah kawah candradimuka masjid, di bawah pemerintahan trias politika itulah kami mengenal Jimbron. Jimbron tak lancar berbicara. Ia gagap, tapi tak selalu gagap. Jika ia panik atau sedang bersemangat maka ia gagap (hal.60).

Persahabatan yang mereka bangun di atas pondasi kebersamaan dan kasih sayang, menjadikan mereka tumbuh sebagai anak-anak pedalaman Melayu yang selalu haus akan ilmu dan pengetahuan. Oleh karena itu, mereka berjuang untuk tetap bertahan sekolah.

3. Ricing Action

Tahap berikutnya adalah peristiwa-peristiwa yang mulai mengarah ke puncak cerita. Dalam tahap ricing action telah terjadi beberapa konflik kecil.

(35)

di-PHK. Oleh karena itu, anak-anak pun mulai putus sekolah dan memilih untuk bekerja seadanya dalam mempertahankan hidup.

Karena di kampung orangtuaku tak ada SMA, setelah tamat SMP aku, Arai, dan Jimbron merantau ke Magai untuk sekolah di SMA Bukan Main. Pada saat itulah PN Timah Belitong terancam kolaps. Gelombang besar karyawan di-PHK. Ledakan PHK itu memunculkan gelombang besar anak-anak yang terpaksa berhenti sekolah dan tak punya pilihan selain bekerja untuk membantu orangtua (hal.67).

Tekad yang kuat tidak mampu menyurutkan langkah ketiga oang sahabat tersebut untyuk tetap sekolah meskipun setiap pukul dua pagi mereka sudah bangun untuk memikul ikan di dermaga. Setelah itu, mereka pun berangkat ke sekolah dengan lari sprinter.

Namun, sampai di sekolah, semua kelelahan kami serta-merta lenyap, sirna tak tak ada bekasnya, menguap diisap oleh daya tarik laki-laki tampan ini, kepala sekolah sekaligus guru kesusastraan kami: Bapak Drs. Julian Ichsan Balia. Sebagai anak-anak yang sejak sekolah dasar diajarkan untuk menghargai ilmu pengetahuan dan seni, aku, Arai, dan Jimbron sungguh terpesona pada Pak Bali (hal.70-71).

Jiwa kekanak-kanakan tiga orang tersebut masih menguasai diri mereka. Namun, menginjak dewasa mereka telah menunjukkan perubahan pada libido seksual mereka. Oleh karena itu, hati mereka menolak untuk menuruti hawa nafsu mereka sedangkan nafsu mereka telah menuntut jiwa mereka untuk berani melampiaskan nafsu tersebut dengan upaya keras mereka untuk memasuki gedung bioskop dan menonton bersama orang-orang dewasa.

(36)

Setelah berhasil menonton film murahan di bioskop, akhirnya kenakalan ketiga anak remaja tersebut diketahui oleh Pak Mustar. Mereka tertangkap basah di dalam bioskop.

Aku tergagap karena terkejut yang amat sangat. Pandanganku berkunang-kunang. Kepalaku pening. Perutku mual karena ketakutan. Arai pias, pucat pasi seperti mayat. Kening, mata, hidung, pipi, dan dagunya seakan meleleh, giginya gemelutuk. Dan Jimbron menggigil hebat. Matanya terkunci menatap Pak Mustar seperti orang tukang tenung. Ia tergagap-gagap tak terkendali, ”Pppp… pppp… pppphhh… pppphhhhaaa….” (hal.112). Pak Mustar menyentak sarungnya lalu berteriak. Suaranya menggema di seantero bioskop, “Berarrrandaall!!!” (hal.112).

Kenakalan-kenakalan yang telah dilakukan oleh ketiga orang sahabat tersebut memberi dampak pada prestasi akademik mereka sehingga rangking mereka pun turun drastis, khususnya Ikal. Namun, Pak Mustar mengingatkan Ikal agar kembali seperti dulu, menjadi siswa yang optimis dan penuh dengan impian.

“Tujuh puluh lima!! Sekali lagi 75!! Itulah nomor kursi ayahmu sekarang…”

Aku dipanggil Pak Mustar. Dengan gaya orang Melayu tulen aku disemprotnya habis-habisan, “Hanya tinggal satu semester lagi tamat SMA. Memalukan!! Memalukan, bukan buatan!!”

“Keterlaluan!! Orang sepertimu patut dibuat sekandang dengan Malin Kundang. Itulah orang sepertimu, kalau kau ingin tahu!! Sangkamu kau siapa?? Phytagoras apa? Di SMA yang ketat bersaing ini kau pikir bisa menjaga kursimu dengan belajar sekehendak hatimu!!??” (hal.147-148).

4. Climax

Apabila tahap ketiga di atas menguraikan konflik-konflik kecil yang menjurus menjadi konflik besar, maka pada tahap climax terdapat puncak dari masalah yang terdapat dalam novel Sang Pemimpi.

Hatiku sakit, perih sekali.

(37)

“Ah, ayahmu, Ikal, diundang pelantikan bupati pun baju safarinya tak beliau keluarkan . Hanya untukmu, Ikal, yang terbaik dari beliau selalu hanya untukmu…”

Air itu tumpah ruah berlinangan melalui mataku (hal.149).

Akhirnya penyesalan pun memenuhi pikiran Ikal. Ia berjanji pada dirinya sendiri untuk memberikan yang terbaik buat orang-orang yang dicintainya, terlebih untuk ayahnya. Mimpi-mimpi yang pernah mereka bangun untuk tetap melanjutkan sekolah ke Prancis, mereka awali dengan merantau ke Jawa untuk mengadu nasib.

Ramai sekali pengantar kami, tapi mereka hanya diam. Mereka bergandengan tangan melepas dua anak pulau yang akan mengadu nasib ke Jawa. Hatiku menjadi dingin, pipi kami basah, betapa kami akan merindukan mereka (hal.220).

Tahun berikutnya aku diterima di UI. Aku mengatur jadwal shift menyortir surat sesuai dengan kesibukan kuliah. Aku merindukan Arai setiap hari dan ingin kukirimkan kabar padanya bahwa jika ia kembali ke Bogor ia dapat kuliah karena aku telah berpenghasilan tetap. Walaupun sangat pas-pasan jika ia juga bekerja part time, aku yakin kami dapat sama-sama membiayai kuliah kami (hal.146).

Dengan perjuangan yang gigih dan bekerja di pabrik tali, toko fotokopi, dan menjadi tukang sortir, akhirnya Ikal diterima di UI untuk melanjutkan pendidikannya di bidang Ekonomi. Demikian juga dengan Arai yang merantau ke Kalimantan juga bekerja sebagai tukang batu akik sehingga Arai juga bisa melanjutkan pendidikannya di Universitas Mulawarman Jurusan Ilmu Biologi.

5. Denoument

(38)

Cerita dalam novel Sang Pemimpi berakhir dengan kegembiraan karena impian tokoh-tokohnya untuk mencapai pendidikan hingga ke Prancis akhirnya terwujud.

Setelah wawancara untuk memperoleh beasiswa ke Eropa, akhirnya Ikal dan Arai memutuskan pulang ke Belitung sambil menunggu keputusan dari pihak beasiswa.

Berbulan-bulan aku dan Arai berdebar-debar menunggu keputusan penguji beasiswa. Lima belas orang dari ribuan pelamar adalah peluang yang amat sempit. Kalaupun kami lulus, peluang aku dan Arai mendapatkan satu universitas di Uni Eropa yang tersebar mulai dari tepi paling barat Skotlandia sampai ke pinggir paling timur, yaitu universitas di negara-negara bagian di Rusia, juga kecil. Di sisi lain kami merasa pengumuman beasiswa ini sangat penting untuk menentukan arah kami selanjutnya. Setiap hari kami was-was menunggu surat dari Tuan Pos (hal.269).

Setelah beberapa bulan, surat keputusan itu pun mereka terima. Impian-impian yang mereka bangun melalui perjuangan dan semangat, akhirnya mereka diterima di universitas yang sama di Perancis.

Aku mengambil surat kelulusan Arai dan membaca kalimat demi kalimat dalam surat keputusan yang dipegangnya dan jiwaku seakan terbang. Hari ini seluruh ilmu umat manusia menjadi setitik air di atas samudera pengetahuan Allah. Hari ini Nabi Musa membelah Laut Merah dengan tongkatnya, dan miliaran bintang-gemintang yang berputar dengan eksentrik yang bersilangan, membentuk lingkaran episiklus yang mengelilingi miliaran siklus yang lebih besar, berlapis-lapis tak terhingga di luar jangkauan akal manusia. Semuanya tertata rapi dalam protokol jagat raya yang diatur tangan Allah. Sedikit saja satu dari miliaran episiklus itu keluar dari orbitnya, maka dalam hitungan detik semesta alam akan meledak menjadi remah-remah. Hanya itu kalimat yang dapat menggambarkan bagaimana sempurnanya. Tuhan telah mengatur potongan-potongan mozaik hidupku dan Arai, demikian indahnya Tuhan bertahun-tahun telah memeluk mimpi-mimpi kami, telah menyimak harapan-harapan sepi dalam hati kami karena di kertas itu tertulis nama universitas yang menerimanya, sama dengan universitas yang menerimaku, di sana jelas tertulis: Universite de Paris, Sorbone, Prancis (hal.272).

(39)

4.1.2 Latar

Latar merupakan salah satu unsur novel ataupun cerita pendek yang dapat memberikan informasi kepada pembaca. Latar merupakan landasan tempat yang biasanya menerangkan berlangsungnya sebuah kejadian di dalam sebuah cerita. Pengarang yang memberikan secara fiktif tempat terjadinya cerita akan dirasakan oleh pembaca sebagai suatu suasana yang ikut bergerak ke dalam suatu tempat kejadian.

Latar ialah segala keterangan mengenai waktu, ruang, dan suasana terjadinya lakuan dalam karya sastra (Sudjiman, 1984:46). Selanjutnya, Sumardjo (1981:41) menyatakan setting menerangkan di mana sebuah kejadian berlangsung dalam sebuah cerita.

Bagi Hudson (1955:158):

latar berarti tempat dan waktu. Pada kedua unsur itu ditambahkannya “situasi” yaitu seluruh milieu sebagai cerita seperti tata cara kebiasaaan, cara hidup, latar belakang alam, dan lingkungan sekitar. Hudson membedakan latar atas latar sosial dan latar material. Kedua jenis latar itu dikenal sebagai ruang dan tempat. Di mana tokoh-tokoh cerita meendasarkan lakunya. Latar juga adalah pembangkit alasan psikologis pertumbuhan tokoh.

(40)

Pengarang secara jelas menerangkan latar waktu kejadian dalam novel Sang Pemimpi. Cerita dimulai pada 15 Agustus 1988 ketika Ikal, Arai, dan Jimbron berada

di pelabuhan kecil Magai.

…Aku mengintip keluar, 15 Agustus 1988 hari ini, musim hujan baru mulai. Mendung menutup separuh langit. Pukul empat sore nanti hujan akan tumpah, tak berhenti sampai jauh malam, demikian di kota pelabuhan kecil Magai di Pulau Belitong, sampai Maret tahun depan (hal.4).

Pertengahan cerita ini terjadi pada masa-masa sekolah kelas tiga SMA di SMA Bukan Main. Di masa itulah mereka mulai menyusun mimpi-mimpi mereka untuk sekolah ke Prancis.

Waktu hari Minggu. Kebiasaan kami adalah kembali ke peraduan seusai salat subuh, nanti bangun lagi jika beduk lohor memanggil (hal.177).

Sekarang, setiap kali Pak Balia membuai kami dengan puisi-puisi indah Prancis aku hanya menunduk, menghitung hari yang tersisa untuk memikul ikan dan menabung (hal.144).

Setelah mereka berhasil dan melanjutkan kuliah, cerita novel ini diakhiri dengan masa ketika mereka pulang ke Belitung sambil menunggu surat keputusan beasiswa ke Uni Eropa.

Selama pengalamanku bekerja, sejak kelas dua SMP, menjadi pegawai pos adalah puncak karierku (hal.243)

Berbulan-bulan aku dan Arai berdebar-debar menunggu keputusan penguji beasiswa (hal.269).

Akhirnya, petang ini… “Tuan Pos!” Kata ibuku.

(41)

Latar waktu yang telah dipaparkan dalam novel ini seolah-olah meyakinkan pembaca bahwa kisah dalam novel ini benar-benar terjadi pada waktu tersebut. Waktu dalam karya fiksi tersebut akan diperkuat lagi dengan latar sosial yang menunjuk pada kenyataan sosial budaya Belitung dan Jakarta pada saat itu.

Orang pedalaman Melayu memiliki disiplin yang tegas dalam hal agama. Beberapa agama tetap rukun di sana. Bagi masyarakat Muslim terdapat kebijakan dalam hal peraturan di bawah kekuasaan para penggawa masjid.

Dalam budaya orang Melayu pedalaman, siapa yang mengajarimu mengaji dan menyunat perkakasmu adalah pemilik kebijakan hidupmu (hal.59).

Sebagian orang Melayu juga memilki latar sosial suka menyombongkan diri. Namun, mereka juga terkenal ramah.

“Itulah penyakit kalian, Orang Melayu. Manja bukan main, banyak teori kiri kanan, ada sedikit harta, ada sedikit ilmu, sudah sibuk bersombong-sombong…” (hal.164).

Ramah? Orang Melayu rata-rata ramah… (hal.195).

Selain latar sosial yang masyarakat Melayu Belitung, pengarang juga memaparkan tentang latar sosial masyarakat yang tinggal di kota-kota besar, khususnya di Pulau Jawa.

(42)

Selanjutnya, pengarang juga melukiskan latar tempat terjadinya cerita dalam novel Sang Pemimpi sehingga meyakinkan pembaca untuk memahami karya ini sebagai dokumen sosial budaya masyarakat setempat. Latar tempat cerita ini adalah Belitung dan di Jawa.

“Tidakkah kalian lihat Belitong? Terserak seribu danau bekas galian tambang, terhampar padang sabana seluas mata memandang, semuanya beribu-ribu hektare, tak bertuan (hal.165).

…Pulau Belitong tumpah darahku, terapung-apung tegar, tak pernah lindap diganyang ombak dua samudera dahsyat yang bergelora mengurungmu, Belitong yang kukuh tak terkalahkan, kapankah aku akan melihatmu lagi? (hal.221).

Lewat tengah malam aku berjalan sendiri menelusuri jalan-jalan sempit di Pasar Magai (hal.267).

Ketika mereka bekerja di Jawa dan Ikal melanjutkan kuliah di UI, maka latar tempat yang dipaparkan adalah daerah Jawa.

Aku melompat dan berteriak sejadi-jadinya. “Araiiiiiiii…. Jakartaaaaa…..” (hal.224)

Tahun berikutnya aku diterima di UI. Aku mengatur jadwal shift menyortir surat sesuai dengan kesibukan kuliah (hal.246).

4.1.3 Perwatakan

Perwatakan atau karakteristik adalah upaya pengarang untuk memberikan gambaran yang utuh mengenai tokoh di dalam ceritanya. Penggambaran watak untuk penciptaan tokoh yang hidup dalam suatu karya sastra sangat tergantung pada penggambaran watak dari tokoh tersebut.

(43)

selalu diinterpretasikan oleh pembaca sebagai pembawaan disertai moral kualitas disposisional (pembawaan,sifat) yang diekspresikan melalui dialog dan lakon action. (Abrambs,1981:20)

Watak dapat diaplikasikan dengan berbagai cara, seperti: diterangkan satu-persatu, baik keadaan jasmani dan rohani tokoh (block characterization). Ciri-ciri watak ini dapat diterangkan dengan tindakan (action), kata-kata (mimicry or pantomime), serta dapat pula dengan menggunakan lambang literer (symbolization)

(Wellek & Warren, 1956:219). Sudjiman (1988:23-24) juga memberikan metode penyajian watak tokoh yakni metode langsung atau metode analitis. Dalam metode ini pengarang melalui pencerita mengisahkan sifat-sifat tokoh, hasrat, pikiran, dan perasaannya. Metode kedua menurut Sudjiman (1988:26) adalah metode tidak langsung atau metode dramatik. Watak tokoh dalam metode ini dapat disimpulkan pembaca dari pikiran, percakapan, dan lakuan tokoh yang disajikan pengarang, juga dapat disimpulkan dari gambaran lingkungan sekeliling maupun penampilan fisik tokoh.

Berdasarkan pendapat-pendapat di atas, penulis akan menguraikan penggambaran perwatakan dari tokoh-tokoh di dalam novel Sang Pemimpi dengan menggunakan metode analitis atau metode dramatik.

1) Ikal

(44)

merupakan masyarakat Melayu asli Belitung. Ikal yang membawa pola kehidupan di pedalaman Belitung melalui mimpi-mimpinya.

Sejak kecil, Ikal telah menunjukkan keberanian dan semangatnya untuk memperoleh sebuah pendidikan di tengah-tengah sulitnya menggapai pendidikan tersebut, khususnya bagi masyarakat miskin di Belitung.

Karena di kampung orangtuaku tak ada SMA, setelah tamat SMP aku, Arai, dan Jimbron merantau ke Magai untuk sekolah di SMA Bukan Main. Pada saat itulah PN Timah Belitong, perusahaan di mana sebagian besar orang Melayu menggantungkan periuk belanganya, termasuk ayahku, terancam kolaps. Gelombang besar karyawan di-PHK. Ledakan PHK itu memunculkan gelombang besar anak-anak yang berhenti sekolah dan tak punya pilihan selain bekerja untuk membantu orang tua (hal. 67).

Selain semangat yang luar biasa, tekun ,dan ulet juga merupakan karakter dari Ikal. Keuletan itu pun akhirnya berbuah kesuksesan. Ikal mendapat penghargaan dan beasiswa untuk melanjutkan pendidikannya ke luar negeri. Hal ini tampak pada penggalan cerita di bawah ini:

Tahun berikutnya aku diterima di UI. Aku mengatur jadwal shift menyortir surat sesuai dengan kesibukan kuliah. Aku merindukan Arai setiap hari dan ingin kukirimkan kabar padanya bahwa jika ia kembali ke Bogor, ia dapat kuliah karena aku telah berpenghasilan tetap. Walaupiun sangat pas-pasan tapi jika ia juga bekerja part time, aku yakin kami dapat sama-sama membiayai kuliah kami (hal. 146).

“Bagus sekali!! Tak ada lagi orang yang dapat membuat teori baru dalam ilmu ekonomi mikro setelah Fisher, Edgeworth, dan Antonelli, dan tahukah engkau, Anak Muda?? Itu sudah terjadi hampir dua ratus tahun yang lalu. Tak berlebihan kukatakan, jika semua hipotesismu ini dapat dibuktikan jika semua premis dan asumsimu valid, maka risetmu ini bisa memenangkan penghargaan ilmiah!!”

Aku merinding mendengarnya. Tapi tak mungkin profesor ini membual.

(45)

Ikal juga dikenal sebagai sosok yang lembut dan penyayang.

Aku gembira sekali karena tiba-tiba di sudut bibir Jimbron tersungging senyum kecil. Kesedihannya menguap. Matanya berbinar. Ia mengangguk-angguk mafhum seakan ia setuju pada saran positifku itu (hal.137)

“Ya, Jimbron saudaraku yang baik hati…,” jawabku lembut penuh kasih sayang. Rasanya ingin sekali aku memeluknya (hal.139).

Ah, Jimbron mengangguk-angguk, tersenyum lebar sambil tersengal menahan kata yang terperangkap dalam kerongkongannya, terkunci dalam gagapnya. Ia menatapku sarat arti: aku sayang padamu, Sahabatku. Sungguh penuh pengertian! (hal.63).

2) Arai

Arai adalah sepupu jauh Ikal. Arai dipungut oleh keluarga Ikal setelah ayah dan ibunya meninggal dunia dan ia pun hidup sebatang kara.

Wajah Arai laksana patung muka yang dibuat mahasiswa baru seni kriya yang baru pertama kali menjamah tanah liat, pencet sana, melendung sini. Lebih tepatnya, perabotan di wajahnya seperti hasil suntikan silikon dan mulai meleleh. Suaranya kering, serak dan nyaring, persis vokalis mengambil nada falseto, mungkin karena kebanyakan menangis waktu kecil.

Gerak-geriknya canggung serupa belalang sembah. Tapi, matanya istimewa. Di situlah pusat gravitasi pesona Arai. Kedua bola matanya itu, sang jendela hati, adalah layar yang mempertontonkan jiwanya yang tak pernah kosong (hal.24).

Arai juga suka membuat onar dan tidak jarang menjadikan Ikal dan Taikong Hamim marah atas ulahnya.

Kami mengendap. Tersengal Arai memberi saran. Seperti biasa, pasti saran yang menjengkelkan. “Ikal .... Aku tak kuat lagihhh …. Habis sudah napasku…” (hal.1)

(46)

Selain itu, Arai ternyata memilki semangat, optimis, serta pantang menyerah. Hal ini tergambar pada kutipan di bawah ini:

…Agaknya ia juga bertekad memerdekakan dirinya dari duka mengharu biru yang membelenggunya seumur hidup. Ia telah berdamai dengan kepedihan dan siap menantang nasibnya.

“Dunia …!! Sambutlah aku…!! Ini aku, Arai, datang untukmu…!!” Pasti itu maksudnya (hal.29)

Karena berkepribadian terbuka, memiliki mentalitas selalu ingin tahu dan terus bertanya, Arai berkembang menjadi anak yang pintar. Ia selalu ingin mencoba sesuatu yang baru (hal.34).

Arai semakin jangkung, semakin kurus. Simpai keramat yang yatim piatu ini badannya kumal dan bau. Kuku-kukunya hitam, potongan rambutnya tak keruan, digunting sendiri di depan cermin dengan gaya asal tidak gondrong. Di lehernya melingkar daki, tapi masya Allah, hatinya itu selalu hangat. Ia orang yang selalu merasa bahagia karena dapat membahagiakan orang lain. Lalu apa yang tersisa untuknya? Tak ada. Seperti ucapannya padaku: Tanpa mimpi dan semangat orang seperti kita akan mati. Ya, tergeletak selembar tikar purun, dengan seragam putih abu-abu yang dipakai untuk sekolah dan bekerja, bangun pukul dua pagi untuk memikul ikan, yang tersisa untuknya memang hanya semangat dan mimpi-mimpi (hal.185).

Di samping sifat nakal dan optimisnya, ternyata Arai memiliki jiwa yang sangat penyayang serta dermawan. Kedua sifat inilah yang menjadikan Ikal sangat mencintai dan mengagumi sepupu jauhnya tersebut.

Aku sering melihat sepatuku yang menganga seperti buaya berjemur tahu-tahu sudah rekat kembali, Arai diam-diam memakunya. Aku juga selalu heran melihat kancing bajuku yang lepas tiba-tiba lengkap lagi, tanpa banyak cincong Arai menjahitnya.jika terbangun malam-malam, aku sering mendapatiku telah berselimut, Arai menyelimutiku. Belum terhitung kebaikannya waktu ia membelaku. Rai, akan kubalas kebaikanmu yang tak terucapkan itu, jasamu yang tak kenal pamrih itu, ketulusanmu yang tak kasat mata itu (hal.185).

Dan meskipun kami seusia, ia lebih abang dari abang mana pun. Ia selalu melindungiku (hal.31).

(47)

habis-habis. Sejak itu, aku mengenal bagian paling menearik dari Arai, yaitu ia mampu melihat keindahan di balik, keindahan yang hanya bisa orang temui di dalam mimpi-mimpi. Maka Arai adalah pemimpi yang sesungguhnya, sang pemimpi sejati. (halaman 51-52)

3) Jimbron

Jimbron adalah anak angkat dari Pendeta Geovani. Jimbron sangat terobsesi dengan kuda. Ia selalu bercerita tentang kuda meskipun di Belitung tidak pernah terdapat kuda.

Sering lama-lama Jimbron hanya memandangi gambar kepala kuda di dinding los kontrakan kami. Ia mulai malas makan dan lupa bahwa kedudukan sebenarnya adalah sebagai seorang penuntut ilmu di SMA Bukan Main. Pekerjaan rumahnya pun sudah tak mau disentuhnya. Aku dan Arai tak dapat menemukan cara untuk menghiburnya. Jimbron telah berubah menjadi orang lain yang rusak vitalitasnya gara-gara merindukan kuda. Melihat kemerosotan mental Jimbron setiap hari, aku mulai percaya jangan-jangan teori ibuku bahwa penyakit gila ada empat puluh empat macam memang benar adanya (hal.175-176).

Jimbron merupakan sahabat Ikal dan Arai yang memiliki ketulusan jiwa. Ia rela menabung dari hasil kuli ngambat. Setelah tabungan itu penuh, maka Jimbron pun menyerahkan tabungan itu masing-masing satu celengan kuda kepada dua orang sahabatnya yang akan melanjutkan sekolah ke Jawa.

Aku terkejut. Jimbron menyerahkan tabungan kuda sumbawanya untukku.

“Dan kuda sandel untukmu, Arai…”

Kami terpana dan tak sanggup menerimanya.

“Dari dulu tabungan itu aku memang kusiapkan untuk kalian…” Air muka Jimbron yang polos jadi sembap. Ia tampak sangat terharu karena dapat berbuat sesuatu untuk membantu sahabatnya.

(48)

4) Ayah

Ayah Ikal merupakan seorang pegawai rendahan PN Timah. Ia seorang yang dingin dan tenang. Ia tidak pernah marah kepada Ikal dan Arai. Ia hanya memberikan respon senyuman dan salam kepada kedua orang anak tersebut saat ia bertemu dengannya pada acara pembagian rapor.

Dan ayahku adalah pria yang sangat pendiam. Jika berada di rumah dengan ibuku, rumah kami menjadi pentas monolog ibuku, berpenonton satu orang. Namun, belasan tahun sudah jadi anaknya. Aku belajar bahwa pria pendiam sesungguhnya memiliki rasa kasih sayang yang jauh berlebih dibanding pria sok ngatur yang merepet saja mulutnya (hal.87).

Beliau turun dari sepeda, seperti biasa, hanya satu ucapan pelan “Assalamu alaikum”, tak ada kata lain. Beliau menepuk-nepuk pundak kami sambil memberikan senyumnya yang indah. Beliau mengelap keringat, merapikan rambutnya dengan tangan, dan berjalan tenang dengan gaya jalannya yang pengkor.”(hal.93).

…Lalu ayahku tersenyum bangga. Senyumnya itu seperti ucapan terima kasih yang diucapkan melalui senyum. Beliau menepuk-nepuk pundak kami, mengucapkan ”assalamu’alaikum” dengan pelan sekali., lalu beranjak pulang. Betapa aku mencintai laki-laki pendiam itu. Setiap dua minggu sekali aku bertemu dengannya, tapi setiap hari aku merindukannya (hal.94).

5) Pak Balia

Pak Balia memiliki karakter yang soleh serta sangat bersemangat untuk membangkitkan gairah para siswanya agar berani bermimpi dan mewujudkan mimpi-mimpi para siswa SMA Bukan Main.

(49)

Warna cokelat adalah sandang kesenangannya sebab seirama dengan warna bola matanya. Ilmu yang terasah oleh usia yang senantiasa bertambah, menjadikan dua bola kecil cokelat yang teduh itu bak perigi yang memeram ketinggian ilmu dalam kebijaksanaan umur (hal.71).

Pak Balia memang masih belia, tapi ia pengibar panji akhlakul karimah. Integritasnya tak tercela. Ia seorang bumiputera, amtenar pintar lulusan IKIP Bandung. Guru muda ini juga ganteng (hal.9).

Pak Balia mengakhiri session sore dengan menyentak semangat kami. “Bangkitlah, wahai Para Pelopor!! Pekikkan padaku kata-kata yang menerangi gelap gulita rongga dadamu! Kata-kata yang memberimu inspirasi!!” (hal.74)

Para pelopor!! Panggilan Pak Balia kepada kami sebagai siswa angkatan pertama SMA Negeri Bukan Main. Panggilan itu senantiasa membuncahkan tenaga dalam pembuluh darah kami (hal.74).

Kata-kata motivasi dari Pak Balia selalu menjadikan anak-anak pedalaman Belitung yang bersekolah di SMA Negeri Bukan Main berani bermimpi dan mewujudkan cita-citanya.

“Jelajahi kemegahan Eropa sampai ke Afrika yang eksotis. Temukan berliannya budaya sampai ke Perancis. Langkahkan kakimu di atas altar suci almamater terhebat tiada tara: Sorbone.ikuti jejak-jejak Sartre, Louis Pasteur, Montesquieu, Voltaire. Di sanalah orang belajar science, sastra, dan seni hingga mengubah peradaban…” (hal.73).

Seorang guru sastra SMA Bukan Main ini merupakan sosok yang kreatif. Kreatif! Merupakan daya tarik utama kelasnya. Ketika membicarakan syair-syair tentang laut, beliau memboyong kami ke kampung nelayan. Mengajari kami menggubah deburan ombak menjadi prosa, membimbing kami merangkai bait puisi dari setiap elemen kehidupan para penangkap ikan. Indah menggetarkan (hal.71).

6) Pak Mustar

(50)

tidak diterima di sekolah yang dirintisnya sendiri. Ia pun akhirnya berubah menjadi sosok yang menakutkan bagi anak-anak didiknya. Hal ini tampak pada kutipan cerita di bawah ini:

Dialah tokoh antagonis itu. Wakil kepala SMA kami yang frustasi berat. Ia westerling berwajah tirus manis. Bibirnya tipis, kulitnya putih. Namun, alisnya lebat menakutkan. Sorot matanya dan gerak-geriknya sedingin es. Berada dekat dengannya, aku seperti terembus suatu pengaruh yang jahat, seperti pengaruh yang timbul dari sepucuk senjata (hal.5)

Pak Mustar menyandang semua julukan seram yang berhubungan dengan tata cara lama yang keras dalam penegakan disiplin. Ia guru biologi, Darwinian tulen, karena itu ia sama sekali tidak toleran. Lebih dari gelar B.A. itu adalah suhu tertinggi perguruan silat tradisional Melayu Macan Akar yang ditakuti (hal.5).

Sebenarnya Pak Mustar adalah orang penting. Tanpa dia, kampung kami tak akan pernah punya SMA. Ia salah satu perintisnya. Akhirnya kampung kami memiliki sebuah SMA,sebuah SMA Negeri! Bukan main! Dulu kami harus sekolah ke SMA Tanjung Pandan, 120 kilometer jauhnya. Sungguh hebat SMA kami itu, sebuah SMA Negeri! Benar-benar bukan main! Namun, Pak Mustar berubah menjadi monster karena justru anak lelaki satu-satunya tak diterima di SMA Negeri itu. Bayagkan, anaknya ditolak di SMA yantg susah payah diusahakannya, sebab NEM anak manja itu kurang 0,25 dari batas minimal. Bayangkan lagi, 0,25! Syaratnya 42, NEM anaknya hanya 41,75 (hal.4).

7) Taikong Hamim

Taikong Hamim adalah salah seorang di antara penggawa masjid yang sangat disegani. Taikong memiliki kekuasaan terhadap peraturan Islam di pedalaman Belitung sehingga Taikong berhak menghukum siapapun yang melanggar peraturan. Nemun, ketegasan Taikong sering dianggap sebagai tokoh antagonis.

(51)

Mereka lebih kejam dari orangtua kami sebab mereka-merekalah yang mengajari orangtua kami mengaji. Bahkan Pak Ketua Kacang Kedelai tak berkutik pada trias politika karena yang menyunat bapaknya, dengan kulit bambu, adalah Taikong Hamim (hal.59).

8) Ibu

Ibu Ikal merupakan sosok yang tegas dan memegang teguh budaya masyarakat Melayu Belitung. Ibu sering mengingatkan Ikal apabila Ikal berkomentar tentang peregasan yang berada di rumah keluarga Ikal. Peregasan bagi ibu-ibu masyarakat Melayu di Belitung adalah sebuah budaya.

Namun, jangan membicarakan soal peregasan. Ini perkara yang sensitif. Jika sedikit saja kami menyinggung soal peregasan, misalnya kenapa padi lapuk itu tak dibakar saja, maka ibuku, sambil bersungut-sungut, akan melantunkan sabda rutinnya yang membuat kami bungkam.

Preambul: “Kalian tak tahu apa-apa soal kesulitan hidup kecuali kalian hidup di zaman Jepang.”

Kesimpulan: “Padi itu tetap akan di situ. Melihat keadaan negara sekarang, bisa-bisa Jepang datang lagi”

Rekomendasi: “Maka Bujang-bujangku, daripada kaupusingkan soal padi itu, lebih berguna hidupmu jika kaupetikkan aku daun sirih!!!” (hal.36).

Sebagai seorang ibu, wanita yang dipanggil dengan sebutan ibu oleh Ikal, akan turut mempersiapkan kebutuhan suaminya terlebih pada saat mengambil rapor Ikal ke SMA Bukan Main.

(52)

9) Zakiah Nurmala

Zakiah Nurmala adalah gadis cantik dan pintar yang telah menjadikan Arai cinta mati padanya. Dengan segala cara telah Aarai coba untuk meluluhkan hati Nurmala, namun usaha itu selalu gagal. Nurmala begitu teguh terhadap pendiriannya.

“Nurmala adalah tembok yang kokoh, Kal…,” kilahnya diplomatis. “Dan usahaku ibarat melemparkan lumpur ke tembok itu,” sambungnya optimis.

“Kau sangka tembok itu akan roboh dengan lemparan lumpur?” tanyanya retoris.

“Tidak akan! Tapi lumpur itu akan membekas di sana, apapun yang kulakukan, walaupun ditolaknya mentah-mentah, akan membekas di hatinya,” kesimpulannya filosofis (hal.188)

Di samping cantik dan cerdas, Nurmala juga seorang gadis yang ramah. “Apa kabarmu, Ikal? Apa kabar ayahmu?” Nurmala tetap ramah. “Aku kuliah di Fisip,” katanya.

Dan rupanya ia juga telah masuk barisan wanita-wanita cerdas yang semlohai di FISIP UI. Sesuatu yang bagiku seperti pengejawantahan makhluk yang asing dan jauh. Kami berbincang-bincang (hal.247).

10) Bang Zaitun

Masyarakat Melayu dikenal sebagai masyarakat pecinta sastra. Nilai-nilai budaya dan seni sangat melekat dalam kehidupan mereka. Bang Zaitun adalah salah seorang warga Melayu Belitung yang sangat mencintai seni musik. Keahliannya memainkan musik menjadikannya mampu menaklukkan hati para wanita Melayu. Karena kehebatan yang dimiliki Bang Zaitun itulah yang mengundang keinginan Arai dan Ikal untuk berguru kepadanya.

“Kau kenal Bang Zaitun kan, Rai??” tanyaku.

Arai menjawab heran, ”Pimpinan Orkes Melayu Pasar Ikan Belok Kiri itu?”

(53)

Arai tersenyum. Siapa tak kenal Bang Zaitun, pria flamboyan yang kondang dalam dunia persilatan cinta. Di Belitong ada empat kampung besar, di setiap kampung itu ia punya istri. Laki-laki positif yang mencerna setiap usulan, memikirkannya dengan lapang dada. Arai menatapku cerah (hal.189).

Bang Zaitun orangnya humoris dan senang sekali bicara, persis radio. Dandanannya nyentrik tipikal orang musik. Kepala ikat pinggangnya dari besi berbentuk gitar. Motif bajunya tuts-tuts piano. Celananya cutbrai. Jari-jarinya bertaburan cincin batu akik besar-besar. Beliau dengan sengaja mencabut kedua gigi taringnya yang sehat dan menggantinya dengan gigi emas putih. Sungguh benar ucapan komedian Jerry Lewis: ada kesintingan pada setiap seniman yang karatnya lebih tinggi dari kebanyakan orang (hal.191).

4.1.4 Tema

Tema adalah pokok persoalan yang ingin disampaikan pengarang melalui karyanya. Seperti yang dikemukakan oleh Keraf (1980:107), tema adalah suatu amanat utama yang disampaikan oleh penulis melalui karangannya. Kemudian Semi mengatakan bahwa tema itu tercakup persoalan dan tujuan atau amanat pengarang kepada pembaca.

Menurut Sulastin (1983:92) tema ialah semacam kesimpulan bahan cerita, karena itu dinyatakan sesingkat-singkatnya, misalnya tema suatu cerita adalah “kawin paksa”. Dalam cerita dengna tema tersebut persoalan kawin paksa akan terbayang sepanjang cerita karena tema itulah yang menjadi pangkal penulisan cerita. Selanjutnya, Tarigan (1984:125) menyatakan:

kalaupun misalnya pengarang tidak menjelaskan apa tema ceritanya secara eksplisit itu harus dapat dirasakan dan disimpulkan oleh pembaca setelah selesai membacanya. Dengan perkataan lain bahwa pembacalah yang menarik kesimpulan untuk memahami sebuah tema dalam karya sastra.

Menurut pendapat Sudjiman (1988:50):

(54)

didukung oleh oleh pelukisan latar, dapat pula tersirat dalam kelakuan tokoh atau penokohan atau bahkan tema dapat pula menjadi faktor pengikat peristiwa-peristiwa dalam suatu alur. Namun, adakalanya juga kekuatan tema mapu mempersatukan berbagai unsur yang bersama-sama membangun karya sastra.

Berdasarkan teori-teori di atas, secara keseluruhan tema yang membangun novel Sang Pemimpi adalah tentang perjuangan tiga orang anak Melayu dari pedalaman Belitung dalam meraih mimpi dan cita-cita untuk mendapatkan pendidikan. Hal ini ditegaskan dengan penggalan cerita di bawah ini :

. . . Anak sekecil itu telah belajar menguatkan dirinya. . .

Agaknya ia juga bertekad memerdekakan dirinya dari duka mengharu biru yang membelenggunya seumur hidup. Ia telah berdamai dengan kepedihan dan bersiap menantang nasibnya (hal.29).

Pada saat itulah aku, Arai, dan Jimbron mengkristalisasikan harapan agung kami dalam satu statement yang sangat ambisius: cita-cita kami adalah kami ingin sekolah ke Perancis! Ingin menginjakkan kaki di altar suci almamater Sorbonne, ingin menjelajah Eropa sampai ke Afrika. Harapan ini selanjutnya menghantui kami setiap hari. Begitu tinggi cita-cita kami. Mengingat keadaan kami yang amat terbatas, sebenarnya lebih tepat cita-cita itu disebut impian saja (hal.13-14).

Arai, Ikal, dan Jimbron adalah tokoh utama dalam novel Sang Pemimpi. Mereka termotivasi untuk tetap melanjutkan sekolah di tengah-tengah sulitnya kehidupan. Bagi mereka, pendidikan adalah sebuah harga mahal yang harus dibayar dengan pengorbanan dan impian. Untuk mewujudkan mimpi-mimpi tersebut, mereka harus bekerja keras sebagai kuli ngambat, caddy di lapangan golf, tukang sortir kantor pos, bahkan menjadi tukang fotokopi pun telah mereka lalui demi mendapatkan sebuah pendidikan.

Referensi

Dokumen terkait

(3) Bentuk intertekstual novel Sang Pemimpi dan Ranah 3 Warna , meliputi: (a) Aspek instrinsik, Kesamaan tema kedua novel yaitu impian dan cita-cita harus tetap dibela

BAB IV Merupakan bab inti dari penelitian yang akan membahas aspek karakter tokoh utama Ikal dalam novel Sang Pemimpi karya Andrea Hirata. BAB V Berisi tentang penutup

[r]

Dalam menelaah suatu karya psikologis hal penting yang perlu dipahami adalah sejauh mana keterlibatan psikologi pengarang dan kemampuan pengarang menampilkan para tokoh rekaan

Berdasarkan analisis penokohan tokoh dalam novel Ayah karya Andrea Hirata, dapat disimpulkan bahwa teknik penokohan yang dominan digunakan adalah penokohan

Selain itu, disarankan juga diadakan penelitian lebih lanjut terhadap novel Sang Pemimpi karya Andrea Hirata dengan sudut permasalahan yang berbeda, misalnya dari

melayang.Kami tahu Kentucky adalah nama sebuah tempat di Amerika tapi kami tak familiar dengan kata fried chicken.Mungkin karena masih dipengaruhi mabuk laut,maka

Tilaar (2002:435) mengatakan bahwa hakikat pendidikan adalah memanusiakan manusia. Selanjutnya, dikatakan pula bahwa memanusiakan manusia atau proses humanisasi melihat