ANALISIS KINERJA KEUANGAN DAERAH SEBELUM
DAN SESUDAH OTONOMI DAEARAH PADA
PEMERINTAH KABUPATEN KARO
SKRIPSI DIAJUKAN OLEH :
NAMA : DANY MARISON PINEM
NIM : 030503098
DEPARTEMEN : AKUNTANSI
Guna memenuhi salah satu syarat Untuk memperoleh Gelar Sarjana Ekonomi
Analisis Kinerja Keuangan Daerah Sebelum dan Sesudah Otonomi Daerah pada Pemerintah Kabupaten Karo
Adalah benar hasil karya saya sendiri dan judul dimaksud belum pernah dimuat,
dipublikasikan atau diteliti oleh mahasiswa lain dalam konteks penulisan skripsi
level program S-1 Departemen Akuntansi Fakultas Ekonomi Universitas
Sumatera Utara.
Semua sumber data dan informasi yang diperoleh telah dinyatakan dengan jelas,
benar apa adanya dan apabila di kemudian hari pernyataan ini tidak benar saya
bersedia menerima sanksi yang ditetapkan oleh universitas.
Medan, Oktober 2008
Yang membuat pernyataan
Dany Marison Pinem
akhir pada Fakultas Ekonomi Universitas Sumatera Utara ini dapat terselesaikan.
Penulis yakin bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna, tetapi penulis yakin
bahwa setiap waktu, tenaga, pikiran, dan biaya yang penulis berikan selama
penulisan skripsi ini adalah harga yang pantas untuk menuju kesuksesan. Selama
penulisan skripsi ini penulis telah banyak diberi bimbingan, masukan, dukungan,
doa, dan semangat dari berbagai pihak. Oleh karena itu penulis ingin
mengucapkan terima kasih banyak kepada:
1. Bapak Drs. Jhon Tafbu Ritonga, M.Ec. Dekan Fakultas Ekonomi
Universitas Sumatera Utara.
2. Bapak Drs. Arifin Akhmad, M.Si, Ak, selaku Ketua Departemen
Akuntansi Fakultas Ekonomi Universitas Sumatera Utara dan Bapak
Fahmi Natigor Nasution, SE, M.Acc, Ak selaku Sekretaris Departemen
Akuntansi Fakultas Ekonomi Universitas Sumatera Utara.
3. Bapak Drs. Idhar Yahya, MBA, Ak, sebagai Dosen Pembimbing penulis
yang telah bersedia meluangkan waktu untuk memberikan bimbingan dan
pengarahan dalam penulisan skripsi ini. Ibu DR. Erlina sebagai Dosen
Penguji I dan Ibu Dra. Nurzaimah, sebagai Dosen Penguji II yang telah
memberikan saran dan masukan dalam penyempurnaan skripsi ini.
4. Kebanggaan memiliki kedua orang tua Ayahanda S. Pinem dan Ibunda S.
Br. Ginting Terimakasih untuk kasih sayang, semangat, perhatian dan
doa-doa kepada penulis yang selalu diberikan.
Medan, 24 September 2008
Penulis,
Dany marison Pinem
Karo.(Pembimbing : Drs. Idhar Yahya, MBA, Ak)
Penelitian ini bertujuan untuk memberikan gambaran mengenai kinerja keuangan Pemerintah Daerah Kabupaten Karo sebelum otonomi diberlakukan dan sesudah diberlakukannya otonomi. Penelitian ini dilakukan pada Pemerintah Kabupaten Karo dengan menggunakan data sekunder yang diperoleh dari Badan Pusat Statistik Sumatera Utara. Pengumpulan data dilakukan dengan cara dokumentasi. Metode analisis yang digunakan adalah metode deskriptif komparatif, dimana dalam penelitian ini menggunakan analisis rasio pengukuran kinerja keuangan daerah yang terdiri dari rasio derajat desentralisasi fisikal, rasio tingkat kemandirian pembiayaan, dan rasio tingkat kemandirian keuangan daerah.
Hasil penelitian menunjukkan sebagai berikut : pertama, diberlakukannya otonomi daerah ternyata tidak memperbaiki atau menaikkan secara keseluruhan rata-rata kinerja keuangan Pemerintah Daerah Kabupaten Karo. Kedua, analisis rasio derajat desentralisasi fiscal menunjukkan rasio PAD/TPD pada Pemerintah Kabupaten Karo terjadi penurunan kinerja setelah otonomi daerah. Demikian pula untuk rasio BHPBP/TPD juga mengalami penurunan kinerja setelah otonomi daerah diterapkan. Rasio PAD/TPD dan BHPBD/TPD yang mengalami penurunan kinerja disebabkan karena realisasi PAD, jenis objek penerimaan setelah otonomi daerah mengalami penurunan. Selain itu krisis ekonomi telah menyebabkan terjadinya penurunan kapasitas fiskal daerah, karena beberapa sumber penerimaan daerah (Pendapatan Asli Daerah) misalnya Pajak Daerah dan Retribusi Daerah cenderung menurun, baik jenisnya maupun nominal yang dipungut. Ketiga, analisis rasio kemandirian pembiayaan PAD/BRNP yang mengalami penurunan rata-rata sebesar 47.61% ini berarti penurunan kinerja di Pemerintah Kabupaten Karo. Dalam ini berarti Pendapatan Asli Daerah tidak maksimal dalam memenuhi atau membiayai belanja daerah. Sedangkan untuk rasio TPjD/PAD yang mengalami kenaikan sebesar 16.67% mengindikasikan bahwa pajak daerah merupakan komponen utama dari Pendapatan Asli Daerah setelah adanya otonomi daerah. Keempat, Rasio Tingkat Kemandirian Pembiayaan terjadi penurunan rata-rata rasio PAD/BP(P)P sebelum dan sesudah diberlakukannya otonomi daerah sebesar 6.81% berarti penurunan kinerja keuangan pada Pemerintah Kabupaten Karo, dalam hal ini berarti dari tahun ke tahun semakin bergantung kepada Pemerintah Pusat/Provinsi serta pinjaman.
Kata kunci : Kinerja Keuangan Daerah, Otonomi Daerah, Pendapatan
(The Guide: Drs. Idhar Yahya, MBA, Ak)
This Research aimed at giving the picture concerning the financial performance of Karo regency before and after local autonomy. This research was carried out in Karo regency by using the secondary data that was received from the Central Committee of Statistik (BPS) North Sumatra. The data collection was carried out by documentation.Analysis method that used was the descriptive comparative method, where in this research used the analysis of the grating of local financial performance ratio that consisted the ratio of fiscal decentralization degree , the ratio of funding independency degree, and the ratio of local financial independency degree.
Results of the research showed as follows: first, local autonomy implementation evidently did not improve or raised on whole in average the financial performance of Karo regency. Secondly, the analysis of the ratio of fiscal decentralisation degree showed the ratio of PAD/TPD in Karo Regency decreased financial performance after local autonomy. Likewise for the ratio of BHPBD/TPD also declined in finance performance after local autonomy was applied. The ratio of PAD/TPD and BHPBP/TPD that decline in financial performance was caused PAD realisation, the kind of acceptance after local autonomy decreased.
Moreover the economic crisis caused decline in local fiscal capacity, because of several sources of local acceptance like local taxes and local Fees tended to descend, both his kind and nominal that was quoted. Thirdly, the ratio analysis of funding autonomy PAD/BRNP that decline in average of 47,61% meant the decline in financial performance of Karo Regency.In these case meant the real local revenue was not maximal in financing local expenses. Whereas for the ratio of TPjD/PAD that increas as 16,67% indicated that local tax was the main component from the real local revenue after local autonomy. Fourthly, the Ratio of local financial independency degree decrease average ratio of PAD/BP (P) P before and after the implementation local autonomy as 6,81% that meant decreased of financial performance of Karo Regency, in this case from year to year increasingly depending to the central Government /Province and loan.
KATA PENGANTAR ... ii
ABSTRAK ... iii
ABSTRACT ... iv
DAFTAR ISI ... v
DAFTAR GAMBAR ... viii
DAFTAR TABEL ... iv
DAFTAR LAMPIRAN ... xi
DAFTAR SINGKATAN ... xii
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Batasan dan Perumusan Masalah ... 12
1. Batasan Masalah ... 12
2. Perumusan Masalah ... 12
C. Tujuan Penelitian ... 12
D. Manfaat Penelitian ... 13
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Teori Otonomi Daerah ... 14
B. Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah ... 17
C. Pengelolaan Keuangan Daerah ………. 26
BAB III METODE PENELITIAN
A. Desain Penelitian ... 44
B. Data Penelitian ... 44
C. Teknik Pengumpulan dan Pengolahan Data ... 45
1. Dokumentasi ... 45
2. Kepustakaan ... 45
D. Analisis Data ... 45
E. Jadwal dan Lokasi Penelitian ... 48
BAB IV ANALISIS HASIL PENELITIAN A. Gambaran Umum Kabupaten Karo ... 49
B. Data Penelitian ... 57
1. Realisasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Pemerintah Kabupaten Karo Sebelum Otonomi Daerah ………. 57
2. Realisasi Pendapatan dan Belanja Daerah Setelah Otonomi Daerah ……….. 60
3. Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah ………. 62
C. Analisis Hasil Penelitian ... 63
1. Rasio Derajat Desentralisasi Fiskal ………. 63
A. Kesimpulan ... 75
B. Keterbatasan Penelitian ... 76
C. Saran ... 77
Tabel 1.2
Kabupaten Karo Periode Tahun 2001 – 2006
Perkembangan Pendapatan Asli Daerah Di Kabupaten Karo Periode Tahun 2001 – 2006
Perkembangan Sumber – Sumber PAD Kabupaten Karo Periode Tahun 1997 – 2000
Perkembangan Pendapatan Asli Daerah Di Kabupaten Karo Periode Tahun 1997 – 2000
Skala Interval Derajat Desentralisasi Fiskal
Daftar Hasil Penelitian Terdahulu
Luas Kecamatan dan Jumlah Desa/Kelurahan per Kecematan di Kabupaten Karo
Realisasi Anggaran Pendapatan dan BelanjaDaerah Pemerintah Kabupaten Karo Sebelum Otonomi Daerah
Realisasi Anggaran Pendapatan dan BelanjaDaerah Pemerintah Kabupaten Karo Setelah Otonomi Daerah
Derajat Desentralisasi Fiskal Sebelum Otonomi Daerah Pada Kabupaten Karo
Derajat Desentralisasi Fiskal Setelah Otonomi Daerah Pada Kabupaten Karo
Tingkat Kemandirian Pembiayaan Sebelum Otonomi Daerah Pada Kabupaten Karo
Tingkat Kemandirian Pembiayaan Setelah Otonomi Daerah Pada Kabupaten Karo
Kemandirian Keuangan Daerah Sebelum Otonomi Pada Kabupaten Karo
2
3
4
5
6
7
8
9
APBD Realisasi T.A. 1998/1999
APBD Realisasi T.A. 1999/2000
APBD Realisasi T.A. 2000
Laporan Realisasi APBD T.A. 2001
Laporan Realisasi APBD T.A. 2002
Laporan Realisasi APBD T.A. 2003
Laporan Realisasi APBD T.A. 2004
BHPBP : Bagi Hasil Pajak dan Bukan Pajak
BP(P)P : Bantuan Pemerintah Pusat/Propinsi dan Pinjaman
BRNBP : Belanja Rutin Non Belanja Pegawai
BUMD : Badan Usaha Milik Daerah
DAK : Dana Alokasi Khusus
DAU : Dana Alokasi Umum
DOF : Derajat Otonomi fiskal
PAD : Pendapatan Asli Daerah
PDRB : Produk Domestik Regional Bruto
PEMDA : Pemerintah Daerah
SB : Sumbangan Daerah
TPD : Total Penerimaan Daerah
TPE : Tingkat Perkembangan Ekonomi
TPjD : Total Pajak Daerah
TPL : Total Pengeluaran Lain-lain
Karo.(Pembimbing : Drs. Idhar Yahya, MBA, Ak)
Penelitian ini bertujuan untuk memberikan gambaran mengenai kinerja keuangan Pemerintah Daerah Kabupaten Karo sebelum otonomi diberlakukan dan sesudah diberlakukannya otonomi. Penelitian ini dilakukan pada Pemerintah Kabupaten Karo dengan menggunakan data sekunder yang diperoleh dari Badan Pusat Statistik Sumatera Utara. Pengumpulan data dilakukan dengan cara dokumentasi. Metode analisis yang digunakan adalah metode deskriptif komparatif, dimana dalam penelitian ini menggunakan analisis rasio pengukuran kinerja keuangan daerah yang terdiri dari rasio derajat desentralisasi fisikal, rasio tingkat kemandirian pembiayaan, dan rasio tingkat kemandirian keuangan daerah.
Hasil penelitian menunjukkan sebagai berikut : pertama, diberlakukannya otonomi daerah ternyata tidak memperbaiki atau menaikkan secara keseluruhan rata-rata kinerja keuangan Pemerintah Daerah Kabupaten Karo. Kedua, analisis rasio derajat desentralisasi fiscal menunjukkan rasio PAD/TPD pada Pemerintah Kabupaten Karo terjadi penurunan kinerja setelah otonomi daerah. Demikian pula untuk rasio BHPBP/TPD juga mengalami penurunan kinerja setelah otonomi daerah diterapkan. Rasio PAD/TPD dan BHPBD/TPD yang mengalami penurunan kinerja disebabkan karena realisasi PAD, jenis objek penerimaan setelah otonomi daerah mengalami penurunan. Selain itu krisis ekonomi telah menyebabkan terjadinya penurunan kapasitas fiskal daerah, karena beberapa sumber penerimaan daerah (Pendapatan Asli Daerah) misalnya Pajak Daerah dan Retribusi Daerah cenderung menurun, baik jenisnya maupun nominal yang dipungut. Ketiga, analisis rasio kemandirian pembiayaan PAD/BRNP yang mengalami penurunan rata-rata sebesar 47.61% ini berarti penurunan kinerja di Pemerintah Kabupaten Karo. Dalam ini berarti Pendapatan Asli Daerah tidak maksimal dalam memenuhi atau membiayai belanja daerah. Sedangkan untuk rasio TPjD/PAD yang mengalami kenaikan sebesar 16.67% mengindikasikan bahwa pajak daerah merupakan komponen utama dari Pendapatan Asli Daerah setelah adanya otonomi daerah. Keempat, Rasio Tingkat Kemandirian Pembiayaan terjadi penurunan rata-rata rasio PAD/BP(P)P sebelum dan sesudah diberlakukannya otonomi daerah sebesar 6.81% berarti penurunan kinerja keuangan pada Pemerintah Kabupaten Karo, dalam hal ini berarti dari tahun ke tahun semakin bergantung kepada Pemerintah Pusat/Provinsi serta pinjaman.
Kata kunci : Kinerja Keuangan Daerah, Otonomi Daerah, Pendapatan
(The Guide: Drs. Idhar Yahya, MBA, Ak)
This Research aimed at giving the picture concerning the financial performance of Karo regency before and after local autonomy. This research was carried out in Karo regency by using the secondary data that was received from the Central Committee of Statistik (BPS) North Sumatra. The data collection was carried out by documentation.Analysis method that used was the descriptive comparative method, where in this research used the analysis of the grating of local financial performance ratio that consisted the ratio of fiscal decentralization degree , the ratio of funding independency degree, and the ratio of local financial independency degree.
Results of the research showed as follows: first, local autonomy implementation evidently did not improve or raised on whole in average the financial performance of Karo regency. Secondly, the analysis of the ratio of fiscal decentralisation degree showed the ratio of PAD/TPD in Karo Regency decreased financial performance after local autonomy. Likewise for the ratio of BHPBD/TPD also declined in finance performance after local autonomy was applied. The ratio of PAD/TPD and BHPBP/TPD that decline in financial performance was caused PAD realisation, the kind of acceptance after local autonomy decreased.
Moreover the economic crisis caused decline in local fiscal capacity, because of several sources of local acceptance like local taxes and local Fees tended to descend, both his kind and nominal that was quoted. Thirdly, the ratio analysis of funding autonomy PAD/BRNP that decline in average of 47,61% meant the decline in financial performance of Karo Regency.In these case meant the real local revenue was not maximal in financing local expenses. Whereas for the ratio of TPjD/PAD that increas as 16,67% indicated that local tax was the main component from the real local revenue after local autonomy. Fourthly, the Ratio of local financial independency degree decrease average ratio of PAD/BP (P) P before and after the implementation local autonomy as 6,81% that meant decreased of financial performance of Karo Regency, in this case from year to year increasingly depending to the central Government /Province and loan.
A. Latar Belakang Masalah
Otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah untuk
mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Dari pengertian tersebut di atas maka akan
tampak bahwa daerah diberi hak otonom oleh pemerintah pusat untuk mengatur
dan mengurus kepentingan sendiri.
Implementasi otonomi daerah telah memasuki era baru setelah pemerintah
dan DPR sepakat untuk mengesahkan UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah dan UU Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan
Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Kedua UU otonomi daerah ini
merupakan revisi terhadap UU Nomor 22 dan Nomor 25 Tahun 1999 sehingga
kedua UU tersebut kini tidak berlaku lagi.
Sejalan dengan diberlakukannya undang-undang otonomi tersebut
memberikan kewenangan penyelenggaraan pemerintah daerah yang lebih luas,
nyata dan bertanggung jawab. Adanya perimbangan tugas fungsi dan peran antara
pemerintah pusat dan pemerintah daerah tersebut menyebabkan masing-masing
daerah harus memiliki penghasilan yang cukup, daerah harus memiliki sumber
pembiayaan yang memadai untuk memikul tanggung jawab penyelenggaraan
dapat lebih maju, mandiri, sejahtera dan kompetitif di dalam pelaksanaan
pemerintahan maupun pembangunan daerahnya masing-masing.
Dalam rangka mengimbangi kemajuan sektor swasta dan masyarakat
dalam konsep good governance (kepemerintahan yang baik) serta meningkatkan
daya saing Pemda, maka dibutuhkan sumber daya manusia yang profesional
(memiliki kualitas dan kompetensi yang tinggi) terutama bagi yang duduk dalam
jabatan, sebagaimana yang ditekankan dalam pasal 17 ayat (2) UU No.43/1999,
yaitu pengangkatan Pegawai Negeri Sipil dalam suatu jabatan dilaksanakan
berdasarkan prinsip profesionalisme sesuai dengan kompetensi, prestasi kerja, dan
jenjang pangkat yang ditetapkan untuk jabatan tersebut.
Demikian juga halnya dalam keuangan daerah yang dikelola melalui
manajemen keuangan daerah. Manajemen keuangan daerah adalah
pengorganisasian dan pengelolaan sumber-sumber daya atau kekayaan yang ada
pada suatu daerah untuk mencapai tujuan yang dikehendaki daerah tersebut.
Kemampuan daerah untuk mencapai tujuan tersebut disebut sebagai kinerja
pemerintah daerah. Sehubungan dengan efektifnya otonomi daerah maka kinerja
pemerintah daerah dalam keuangan daerah sangat dituntut untuk membiayai
aktivitas daerah melalui penggalian kekayaan asli daerah.
Salah satu kriteria penting untuk mengetahui secara nyata kemampuan
daerah dalam mengatur rumah tangganya adalah kemampuan dalam bidang
keuangan. Dengan perkataan lain, faktor keuangan merupakan faktor esensial
dalam mengukur tingkat kemampuan daerah untuk melaksanakan otonomi. Ini
dana yang berasal dari pendapatan asli daerah. Tanpa sumber-sumber keuangan
yang cukup, maka bukan saja tidak mungkin bagi daerah untuk dapat
menyelenggarakan tugas, kewajiban, dan kewenangannya yang ada padanya
dalam mengatur dan mengurus rumah tangganya, tetapi juga ciri pokok dan
mendasar dari suatu daerah otonomi menjadi hilang.
Adapun sumber keuangan pemerintah Kabupaten Karo sesuai dengan
Perda no. 07 tahun 2001 tentang sumber pendapatan dan kekayaan daerah,
memiliki beberapa sumber keuangan daerah yang dipergunakan untuk
menjalankan aktivitas daerah yaitu yang terdiri dari :
1). Pendapatan Asli Daerah (PAD)
2). Dana Perimbangan
3). Pinjaman Daerah
4). Lain-lain Penerimaan yang sah
Menurut Undang-Undang Nomor 33 tahun 2004 pasal 6 tentang
perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah, yang menjadi sumber
pendapatan asli daerah (PAD) adalah:
1) Pajak Daerah; yaitu pajak negara yang diserahkan kepada daerah untuk
dipungut berdasarkan peraturan perundang-undangan yang dipergunakan guna
membiayai pengeluaran daerah sebagai badan hukum publik.
Ciri-ciri yang menyertai pajak daerah dapat diikhtisarkan seperti berikut:
a) Pajak daerah berasal dari pajak negara yang diserahkan kepada daerah
sebagai pajak daerah
c) Pajak daerah dipungut oleh daerah berdasarkan kekuatan undang-undang
dan/atau peraturan hukum lainnya
d) Hasil pungutan pajak daerah dipergunakan untuk membiayai penyeleng-
garaan urusan-urusan rumah tangga daerah atau untuk membiayai
pengeluaran daerah sebagai badan hukum publik.
2) Retribusi Daerah; yaitu pungutan daerah sebagai pembayaran atas pemakaian
jasa atau karena mendapatkan jasa pekerjaan, usaha atau milik daerah bagi
yang berkepentingan atau karena jasa yang diberikan oleh daerah.
Ciri-ciri pokok retribusi daerah adalah sebagai berikut:
a. Retribusi dipungut oleh daerah
b. Dalam pungutan retribusi terdapat prestasi yang diberikan daerah yang
langsung dapat ditunjuk
c. Retribusi dikenakan kepada siapa saja yang memanfaatkan, atau
mengenyam jasa yang disediakan daerah.
3) Perusahaan Daerah; Dalam hal ini, laba perusahaan daerahlah yang diharapkan
sebagai sumber pemasukan bagi daerah. Oleh sebab itu, dalam batas-batas
tertentu pengelolaan perusahaan haruslah bersifat profesional dan harus tetap
berpegang pada prinsip ekonomi secara umum, yakni efisiensi. Dalam
penjelasan umum UU No. 5/1974, pengertian perusahaan daerah dirumuskan
sebagai “suatu badan usaha yang dibentuk oleh daerah untuk
memperkembangkan perekonomian daerah dan untuk menambah penghasilan
daerah”. Dari kutipan diatas tergambar dua fungsi pokok, yakni sebagai
rangsangan/stimulus bagi berkembangnya perekonomian daerah dan sebagai
penghasil pendapatan daerah. Ini berarti perusahaan daerah harus mampu
memberikan manfaat ekonomis sehingga terjadi keuntungan yang dapat
disetorkan ke kas daerah. Perusahaan daerah merupakan salah satu komponen
yang diharapkan dapat memberikan kontribusinya bagi pendapatan daerah,
tapi sifat utama dari perusahaan daerah bukanlah berorientasi pada profit
(keuntungan), akan tetapi justru dalam memberikan jasa dan
menyelenggarakan kemanfaatan umum. Atau dengan perkataan lain,
perusahaan daerah menjalankan fungsi ganda yang harus tetap terjamin
keseimbangannya, yakni fungsi sosial dan fungsi ekonomi. Walaupun
demikian hal ini tidak berarti bahwa perusahaan daerah tidak dapat
memberikan kontribusi maksimal bagi ketangguhan keuangan daerah.
Pemenuhan fungsi sosial oleh perusahaan daerah dan keharusan untuk
mendapat keuntungan yang memungkinkan perusahaan daerah dapat
memberikan sumbangan bagi pendapatan daerah, bukanlah dua pilihan yang
saling bertolak belakang. Artinya bahwa pemenuhan fungsi sosial perusahaan
daerah dapat berjalan seiring dengan pemenuhan fungsi ekonominya sebagai
badan ekonomi yang bertujuan untuk mendapatkan laba/keuntungan. Hal ini
dapat berjalan apabila profesionalisme dalam pengelolaannya dapat
diwujudkan.
4) Lain-Lain PAD yang Sah. Menurut Undang-undang No. 32 Tahun 2004 pasal
daerah di luar pajak dan retribusi daerah seperti jasa giro, hasil penjualan aset
daerah.
Lain-lain PAD yang sah sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang No.33
Tahun 2004 pasal 6, meliputi:
a. hasil penjualan kekayaan daerah yang tidak dipisahkan
b. jasa giro
c. pendapatan bunga
d. keuntungan selisih nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing
e. komisi, potongan ataupun bentuk lain sebagai akibat dari penjualan
dan/atau pengadaan barang dan/atau jasa oleh daerah.
Sehubungan dengan tujuan otonomi daerah, yaitu menuntun kemandirian
daerah maka upaya yang dapat dilakukan pemerintah daerah untuk
mengoptimalkan PAD sebagai sumber pendanaan bagi anggaran pendapatan dan
belanja daerah (APBD) adalah dengan meningkatkan jumlah PAD yang berasal
dari pajak dan retribusi daerah. UU Nomor 32 tahun 2004 dan UU Nomor 33
tahun 2004 merupakan tantangan bagi pemerintah daerah untuk melakukan kerja
keras guna mengembangkan kesejahteraan masyarakat lokal, khususnya dalam
bidang kesehatan, pendidikan, dan perumahan. Kerja keras tersebut salah satunya
diwujudkan dalam pengembangan model keuangan daerah baik itu intensifikasi
maupun ekstensifikasi.
Pola intensifikasi, peningkatan pendapatan dilakukan dengan lebih
menekankan pada penerapan nilai atau prinsip-prinsip perpajakan yang baik. Baik
usaha milik daerah, dan usaha-usaha lainnya yang sah. Davey (1988: 40)
mengidentifikasikan prinsip utama perpajakan yang baik mencakup: kecukupan,
elastisitas, pemerataan, kemampuan administratif, dan penerimaan politik.
Devas, dkk (1989: 61-62) menyatakan prinsip perpajakan yang baik itu
mencakup: tingkat hasil, keadilan, dayaguna ekonomi, kemampuan
melaksanakan, dan kecocokan sebagai sumber penerimaan daerah. Menurut
Halim(2002:146) Kemudian pemungutan pajak hendaknya memenuhi
syarat-syarat: keadilan, yuridis, ekonomis, efisien dan sederhana.
Sedangkan pola ekstensifikasi, peningkatan pendapatan pemda dilakukan
dengan lebih menekankan pada perluasaan sumber-sumber pendapatan baru. Baik
yang berupa pajak daerah dan retribusi daerah, maupun usaha-usaha lainnya yang
sah. Kalaupun dilakukan, upaya ekstensifikasi ini hendaknya lebih menekankan
pada retribusi daripada yang bersifat pajak. Bahkan idealnya, upaya ekstensifikasi
ini dilakukan pemda dengan jalan mengembangkan sumberdaya ekonomi daerah
yang masih bersifat potensial menjadi lebih fungsional dan produktif. Sehingga
tidak saja mampu berfungsi sebagai sumber pendapatan baru bagi pemda, tetapi
juga mampu mengerakkan ekonomi daerah dan peningkatan kesejahteraan
masyarakat daerah sendiri. Atau kalau perlu, sudah saatnya mencari sumber
pembiayaan alternatif dari pasar modal, seperti yang dilakukan Pemprov Sulawesi
Utara melalui program reksadana Sulut Fund. Tujuan otonomi untuk
menumbuhkan kreativitas pemda, dengan demikian akan benar-benar terwujud
Kebutuhan masyarakat yang meningkat mendorong pemerintah daerah
untuk mengupayakan peningkatan penerimaan daerah dengan memberi perhatian
kepada perkembangan PAD. Sumber-sumber PAD adalah hasil pajak lainnya
yang sah. Komponen PAD tersebut secara penuh dapat digunakan oleh daerah
sesuai dengan kebutuhan dan prioritas daerah, disamping itu memperlihatkan
adanya upaya yang dilakukan oleh pemerintah daerah dalam menggali
sumber-sumber pendapatan daerah. Hal ini semakin leluasa dilakukan pemerintah daerah
kabupaten setelah diberlakukan otonomi daerah. Sumber penerimaan lainnya
yang dapat digunakan untuk membiayai belanja daerah adalah Penerimaan Bagi
Hasil Pajak dan Bukan Pajak (BHPBP), Dana Alokasi Umum (DAU), Dana
Alokasi Khusus (DAK), serta Penerimaan Lainnya, dan Penerimaan Pinjaman
Daerah.
Pendapatan Asli Daerah bertujuan memberikan kewenangan kepada
pemerintah daerah untuk mendanai pelaksanaan otonomi daerah sesuai dengan
potensi daerah sebagai perwujudan desentralisasi. Dan pendapatan asli daerah
juga dapat mempengaruhi kinerja keuangan pemerintah daerah. Pemerintah
Kabupaten Karo yang juga merupakan daerah otonom seharusnya dapat
menjadikan PAD sebagai sumber pembiayaan penyelenggaraan pemrintahannya.
Tetapi dalam kenyataannya meskipun kabupaten Karo merupakan daerah otonom
tetapi dalam membiayai belanja untuk menyelenggarakan pemerintahannya masih
tergantung pada transfer dana dari pemerintah pusat berupa DAU. Hal ini dapat
dilihat dari masih rendahnya sumber pendapatan asli daerah yang belum dapat
Tabel 1.1
Perkembangan Sumber – Sumber PAD Kabupaten Karo Periode Tahun 2001 – 2006
2005 5.326,00 5.757,00 107,00 1.560,00 12.750,00
2006 5.491,60 7.067,96 337,00 2.298,00 15.194,56
Sumber : Data BPS Sumatera Utara, 2007
Tabel 1.2
Perkembangan Pendapatan Asli Daerah Di Kabupaten Karo Periode Tahun 2001 – 2006
( dalam jutaan rupiah )
2005 12.750,00 28,22
2006 15.194,56 16,88
Tabel 1.3
Perkembangan Sumber – Sumber PAD Kabupaten Karo Periode Tahun 1997 – 2000
Perkembangan Pendapatan Asli Daerah Di Kabupaten Karo Periode Tahun 1997 – 2000
( dalam jutaan rupiah )
Sumber : Data Olahan, 2007
Dari tabel 1.1 dapat dilihat bahwa penerimaan PAD mengalami fluktuasi
setiap tahunnya. Akan tetapi pada tahun 2004 dapat dilihat bahwa terjadi
penurunan penerimaan PAD sebesar 1.7 % dari tahun sebelumnya. Dan
penerimaan PAD dari sektor Laba Usaha Daerah mulai tampak menunjukkan
kenaikan dari tahun 2004 dimana tahun sebelumnya sektor ini tidak memberikan
sumbangan apapun terhadap Pendapatan Asli Daerah Kabupaten Karo. Tetapi
tidak teratur dimana dari tahun 2001-2004 pertumbuhan PAD mengalami
penurunan yang Sangat signifikan. Hal ini dapat juga mengidentifikasikan adanya
penurunan kinerja dalam pencapaian target PAD di pemerintahan Kabupaten
Karo, dan pada tahun 2005 pertumbuhan PAD meningkat menjadi 28,22 %
dimana pada tahun sebelumnya pertumbuhan PAD mengalami penurunan yang
Sangat signifikan mencapai minus 1,7 % dan pada Tahun 2006 pertumbuhan
PAD di Kabupaten Karo mengalami penurunan kembali menjadi 16,88. Dari
uraian tersebut diatas dapat dilihat bahwa tidak stabilnya pertumbuhan PAD di
Kabupaten Karo pada era otonomi daerah menunjukkan pelaksanaan otonomi
didaerah ini belum dilaksanakan secara optimal dimana seharusnya dengan
diberlakukannya otonomi daerah maka pemerintah Kabupaten Karo dituntut untuk
lebih mandiri dalam membiayai pemerintahannya sendiri dan hal ini juga dapat
dikatakan bahwa kinerja pemerintah daerah selama otonomi daerah semakin
mengalami penurunan dan memiliki kondisi yang tidak jauh berbeda sebelum
otonomi daerah tersebut diberlakukan. Hal ini dapat dilihat dari tabel 1.4 dapat
dilihat bahwa pertumbuhan PAD di Kabupaten Karo sebelum otonomi
(1997-2000) juga mengalami fluktuasi dimana pada tahun 1999 mengalami penurunan
yang signifikan hingga mencapai -37,84% sedangkan ditahun 2000 mengalami
peningkatan pertumbuhan yang signifikan hingga 43,49%
Berdasarkan uraian di atas, maka penulis tertarik untuk meneliti
bagaimana sebenarnya Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah sebelum dan
sesudah otonomi daerah apakah ada peningkatan sebelum dan sesudah otonomi
judul : “ Analisis Kinerja Keuangan Daerah Sebelum dan Sesudah Otonomi
Daerah pada Pemerintah Kabupaten Karo”.
B. Batasan dan Perumusan Masalah 1. Batasan Masalah
a) Batasan Waktu Penelitian
Permasalahan dalam penelitian ini akan diberi batasan periode yang
diteliti yaitu sebelum otonomi daerah 1997-2000 dan sesudah otonomi
daerah 2001-2004.
b) Batasan Lokasi Penelitian
Permasalahan dalam penelitian ini akan dibatasi pada Kinerja
Keuangan Pemerintah Kabupaten Karo sebelum dan sesudah otonomi
daerah di Pemerintah Kabupaten Karo.
2. Perumusan Masalah
Dari latar belakang dalam uraian di atas maka perumusan masalah dalam
penelitian ini adalah :
“Bagaimanakah kinerja keuangan Pemerintah Kabupaten Karo sebelum dan sesudah diberlakukannya otonomi daerah ?”
C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan kinerja keuangan
pada Pemerintah Kabupaten Karo apakah meningkat atau menurun jika
D. Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian ini adalah :
1. Bagi penulis, penelitian ini bermanfaat dalam menambah wawasan dan
pengetahuan tentang kinerja keuangan Pemerintah Daerah, khususnya
Pemerintah Kabupaten Karo.
2. Memberikan informasi kepada publik dan manajemen Pemerintah
Kabupaten Karo mengenai kinerja keuangan.
3. Sebagai pedoman bagi peneliti lain untuk penelitian selanjutnya tentang
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Teori Otonomi Daerah
1. Pengertian Otonomi Daerah
Otonomi daerah adalah perwujudan dari pelaksanaan urusan
pemerintah berdasarkan asas desentralisasi yakni penyerahan urusan
pemerintah kepada daerah untuk mengurus rumah tangganya. Menurut
Ahmad Yani (2002) salah satu urusan yang diserahkan kepada daerah adalah
mengenai urusan yang memberikan penghasilan kepada Pemerintah Daerah
dan potensial untuk dikembangkan dalam penggalian sumber-sumber
pendapatan baru bagi daerah bersangkutan karena PAD ini sangat diharapkan
dapat membiayai pengeluaran rutin daerah.
Menurut UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
Pasal 1 ayat 5 “Otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah
otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan
kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.”
Menurut Saragih (2003: 39 dan 40) kata autonomy berasal dari bahasa
Yunani (Greek), yakni dari kata autonomia, yang artinya :
Sedangkan menurut Encyclopedia of Social Science dalam Ahmad Yani
(2002 : 5) pengertiannya yang orisinil, otonomi adalah The legal self suffiency
of social body and its actual independence.
Sejalan dengan bergulirnya pelaksanaan otonomi daerah di tanah air,
setiap Pemerintah Kabupaten dan Kota melakukan berbagai pembenahan
menuju kearah terselenggaranya otonomi di masing-masing daerah Kabupaten
dan Kota. Hal yang sangat penting dalam menjawab berbagai isu dalam
implementasi otonomi daerah tersebut adalah tersedianya sistem dan
mekanisme kerja organisasi perangkat daerah.
Sesuai dengan Undang-Undang No.33 pasal 4, 5, dan 6 sumber
pendanaan Pemerintah Daerah Kebupaten dan Kota untuk memenuhi
kebutuhan belanja pemerintah daerahnya dalam pelaksanaan kegiatannya
adalah sebagai berikut :
1. Pemerintah Daerah Kabupaten/ Kota dapat memperoleh dana dari
sumber-sumber yang dikategorikan Pendapatan Asli Daerah (PAD).
2. Memperoleh transfer dana dari APBN yang dialokasikan dalam bentuk
dana perimbangan yang terdiri dari bagi hasil pajak, bagi hasil bukan
pajak, DAU dan DAK. Pengalokasian dana perimbangan ini selain
ditujukan untuk memberikan kepastian sumber pendanaan APBD, juga
bertujuan untuk mengurangi/ memperkecil perbedaan kapasitas fiskal
antar daerah.
3. Daerah memperoleh penerimaan dari sumber lainnya seperti bantuan dana
4. Menerima pinjaman dari dalam dan luar negeri.
2. Pelaksanaan Otonomi daerah
Tahun 2001 merupakan awal pelaksanaan otonomi daerah
sebagaimana diatur dalam Undang No. 22 Tahun 1999 dan
Undang-Undang No. 25 tahun 1999 yang secara serentak diberlakukan di seluruh
provinsi di Indonesia. Menurut Widjaja (2004: 65) “dengan diberlakukannya
Undang-Undang No. 22 tahun 1999 dan undang-Undang No. 25 tahun 1999,
mulai tanggal 1 Januari 2001 Menteri Dalam Negeri dan otonomi daerah
member petunjuk yang dapat dipedomani dalam penyusunan dan pelaksanaan
APBD”.
Menurut Sekretaris Ditjen Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah
Departemen Keungan Negara Djoko Hidayanto (2004) “pelaksanaan Otonomi
daerah di Indonesia efektif dimulai pada tanggal 1 Januari 2001”. Menurut
Direktur dana Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah Departemen
Keuangan Republik Indonesia Kadjatmiko (2004) “1 Januari 2001 merupakan
momentum awal yang mempunyai arti penting bagi bangsa Indonesia
khususnya bagi penyelenggara pemerintah di daerah, karena pada tahun
tersebut kebijakan tentang otonomi daerah mulai dilaksanakan secara efektif”.
Menurut Widjaja (2004 : 100) “Inti dari konsep pelaksanaan otonomi daerah
Misi utama pelaksanaan otonomi daerah adalah :
1. Meningkatkan kualitas dan kuantitas pelayanan publik dan kesejahteraan
masyarakat.
2. Menciptakan efisiensi dan efektivitas pengelolaan sumber daya daerah.
3. Memberdayakan dan menciptakan ruang bagi masyarakat untuk
berpartisipaasi dalam pembangunan.
Untuk menyelenggarakan otonomi daerah yang luas, nyata dan
bertanggungjawab diperlukan kewenangan dan kemampuan dalam
menggali sumber keuangan sendiri yang didukung oleh perimbangan
keuangan antara pusat dan daerah. Dalam hal ini kewenangan keuangan
yang melekat pada setiap pemerintahan menjadi kewenangan pemerintah
daerah. Dalam menjamin terselenggranya otonomi daerah yang semakin
mantap, maka diperlukan kemampuan untuk meningkatkan kemampuan
keuangan sendiri yakni dengan upaya peningkatan PAD, baik dengan
meningkatkan penerimaan sumber PAD yang sudah ada maupun dengan
penggalian sumber PAD yang baru sesuai dengan ketentuan yang ada serta
memperhatikan kondisi dan potensi ekonomi masyarakat. Dalam
melaksanakan upaya peningkatan PAD, perlu diadakan analisis potensi
PAD.
B. Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah
Kinerja (Performance) diartikan sebagai aktivitas terukur dari suatu entitas
selama periode tertentu sebagai bagian dari ukuran keberhasilan pekerjaan
atau pengukuran kinerja diartikan sebagai suatu indikator keuangan dan non
keuangan dari suatu pekerjaan yang dilaksanakan atau hasil yang dicapai dari
suatu aktivitas, suatu proses atau suatu unit organisasi. Pengukuran kinerja
merupakan wujud akuntabilitas, dimana penilaian yang lebih tinggi menjadi
tuntunan yang harus dipenuhi, data pengukuran kinerja dapat menjadi peningkatan
program selanjutnya.
Menurut Sedarmayanti (2003 : 64) ”Kinerja (performance) diartikan
sebagai hasil seorang pekerja, sebuah proses manajemen atau suatu organisasi
secara keseluruhan, dimana hasil kerja tersebut harus dapat diukur dengan
dibandingkan dengan standar yang telah ditentukan”. Faktor kemampuan sumber
daya aparatur pemerintah terdiri dari kemampuan potensi (IQ) dan kemampuan
ability (knowledge + skill), sedangkan faktor motivasi terbentuk dari sikap
(attitude) sumber daya aparatur pemerintah dalam menghadapi situasi kerja.
Motivasi merupakan kondisi yang menggerakkan sumber daya aparatur
pemerintah dengan terarah untuk mencapai tujuan pemerintah, yaitu good
governance. Menurut Mardiasmo (2002 : 121) ” Sistem pengukuraan kinerja
sektor publik adalah suatu sistem yang bertujuan untuk membantu manajer publik
menilai pencapaian suatu strategi melalui alat ukur finansial dan nonfinansial”.
Dalam penelitian ini, yang dimaksudkan sebagai Kinerja Keuangan
Pemerintah Daerah adalah tingkat pencapaian dari suatu hasil Kinerja Keuangan
Pemerintah Daerah, yang meliputi anggaran dan realisasi PAD dengan
menggunakan indikator keuangan yang ditetapkan melalui suatu kebijakan atau
pengukuran kinerja tersebut berupa rasio keuangan dan perbandingan antara
anggaran PAD dengan pencapaian (realisasi) PAD pada tahun tersebut.
Salah satu alat untuk menganalisis kinerja keuangan daerah dalam
mengelola keuangan daerahnya adalah dengan melakukan analisa rasio keuangan
terhadap APBD yang telah ditetapkan dan dilaksanakannya (Halim, 2004). Hasil
analisis rasio keuangan ini selanjutnya digunakan untuk tolak ukur dalam :
1. Menilai kemandirian keuangan daerah dalam membiayai penyelenggaraan
otonomi keuangan daerah.
2. Mengukur efektivitas dan efisiensi dalam merealisasikan pendapatan daerah.
3. Mengukur sejauh mana aktivitas pemerintah daerah dalam membelanjakan
pendapatan daerahnya.
4. Mengukur kontribusi masing-masing sumber pendapatan dalam pembentukan
pendapatan daerah.
5. Melihat pertumbuhan/ perkembangan perolehan pendapatan dan pengeluaran
yang dilakukan selama periode waktu tertentu.
Pengukuran kinerja diartikan sebagai suatu sistem keuangan atau non
keuangan dari suatu pekerjaan yang dilaksanakan atau hasil yang dicapai dari
suatu aktivitas, suatu proses atau suatu unit organisasi. Kinerja keuangan
pemerintah daerah adalah tingkat pencapaian dari suatu hasil kerja di bidang
keuangan daerah yang meliputi penerimaan dan belanja daerah dengan
menggunakan sistem keuangan yang ditentukan melalui suatu kebijakan atau
pengukuran kinerja tersebut berupa rasio keuangan yang terbentuk dari sistem
laporan pertanggungjawaban daerah berupa perhitungan APBD.
Menurut Munir (2004 : 101) rasio yang dipakai dalam mengukur kinerja
keuangan pemerintah daerah Kabupaten Karo adalah :
1. Tingkat Kemandirian
Diukur dengan dua buah kriteria yaitu kemampuan daerah dalam pembiayaan
dan kemampuan mobilisasi daerah.
Kemampuan Pembiayaan = ____ Pendapatan Asli Daerah____
Jumlah Belanja Rutin Non Belanja Pegawai
Kemampuan Mobilisasi Daerah = ____ Pajak Daerah _____ Pendapatan Asli Daerah
2. Tingkat Kemandirian Keuangan Daerah
Rasio kemandirian keuangan daerah menggambarkan ketergantungan daerah
terhadap sumber dana ekstern. Kemandirian kauangan daerah ditunjukkan
oleh besar kecilnya pandapatan asli daerah dibandingkan dengan pendapatan
daerah yang berasal dari sumber lain, misalnya bantuan dari pemerintah
pusat/propinsi ataupun dari pinjaman.
Tingkat Kemandirian = Pendapatan Asli Daerah_____ _
3. Desentralisasi Fiskal
Diukur dengan menggunakan rasio antara Pendapatan Asli Daerah terhadap
Total Penerimaan Daerah.
Tingkat Desentralisasi Fiskal = ____ Pendapatan Asli Daerah____ Total Penerimaan Daerah
Menurut Undang-Undang No 33 tahun 2004, yang dimaksud dengan PAD
adalah: “Pendapatan daerah yang bersumber dari hasil pajak daerah, hasil
retribusi daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan, dan lain-lain
PAD yang sah, yang bertujuan untuk memberikan keleluasaan kepada daerah
dalam menggali pendanaan dalam pelaksanaan otonomi daerah sebagai
perwujudan asas desentralisasi”. Pendapatan Asli Daerah dapat diartikan sebagai
pendapatan yang bersumber dari pungutan-pungutan yang dilaksanakan oleh
daerah berdasarkan peraturan-peraturan yang berlaku yang dapat dikenakan
kepada setiap orang atau badan usaha milik pemerintah daerah tersebut sehingga
daerah dapat melaksanakan pungutan dalam bentuk penerimaan pajak, retribusi
dan penerimaan lainnya yang sah yang diatur dalam undang-undang.
1. Tujuan dan Manfaat Pengkuran Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah
Prestasi pelaksanaan program yang dapat diukur akan mendorong
pencapaian prestasi tersebut. Pengukuran prestasi yang dilakukan secara
berkelanjutan memberikan umpan balik untuk upaya perbaikan secara
Salah satu alat menganalisis kinerja pemerintah daerah dalam
mengelola keuangan daerahnya adalah dengan melakukan análisis rasio
keuangan terhadap APBD yang telah ditetapkan dan dilaksanakanya.
Menurut Widodo (Halim, 2002 : 126) hasil análisis rasio keuangan ini
bertujuan untuk :
a. Menilai kemandirian keuangan daerah dalam membiayai penyelenggaraan otonomi daerah.
b. Mengukur efektivitas dan efisiensi dalam merealisasikan pendapatan daerah.
c. Mengukur sejauh mana aktivitas pemerintah daerah dalam membelanjakan pendapatan daerahnya.
d. Mengukur kontribusi masing-masing sumber pendapatan dalam pembentukan pendapatan daerah.
e. Melihat pertumbuhan/perkembangan perolehan pendapatan dan pengeluaran yang dilakukan selama periode tertentu.
2. Parameter Rasio Keuangan Pemerintah Daerah
Penggunaan analisis rasio pada sektor publik khususnya terhadap
APBD belum banyak dilakukan, sehingga secara teori belum ada
kesepakatan secara bulat mengenai nama dan kaidah pengukurannya.
Meskipun demikian, dalam rangka pengelolaan keuangan daearah
yang transparan, jujur, demokratis, efektif, efesien, dan akuntabel,
análisis rasio terhadap APBD perlu dilaksanakan meskipun kaidah
pengakuntansian dalam APBD berbeda dengan laporan keuangan
yang dimiliki perusahaan swasta. Analisis rasio keuangan pada APBD
dilakukan dengan membandingkan hasil yang dicapai dari satu periode
dibandingkan dengan periode sebelumnya sehingga dapat diketahui
dengan cara membandingkan dengan rasio keuangan yang dimiliki
suatu pemerintah daerah tertentu dengan daerah lain yang terdekat
maupun yang potensi daerahnya relatif sama untuk dilihat bagaimana
rasio keuangan pemerintah daerah tersebut terhadap pemerintah
daerah lainnya.
Adapun rasio keuangan yang sering dipakai dalam mengukur kinerja
Pemerintah Daerah adalah sebagai berikut :
a. Derajat Desentralisasi Fiskal
Ukuran ini menunjukkan kewenangan dan tanggung jawab yang
diberikan pemerintah pusat kepada pemerintah daerah untuk menggali
dan mengelola pendapatan. Rasio ini dimaksudkan untuk mengukur
tingkat kontribusi Pendapatan Asli Daerah sebagai sumber pendapatan
yang dikelola sendiri oleh daearah terhadap total penerimaan daerah.
Pendapatan Asli Daerah merupakan penerimaan yang berasal dari
hasil pajak daerah, retribusi daerah, perusahaan milik daerah dan
pengelolaan kekayaan milik daerah serta lain-lain pendapatan yang
sah. Total Pendapatan Daerah merupakan jumlah dari seluruh
penerimaan dalam satu tahun anggaran.
Bagi Hasil Pajak merupakan pajak yang dialokasikan oleh
Pemerintah Pusat untuk kemudian didistribusikan antara pusat dan
daerah otonom. Rasio ini dimaksudkan untuk mengukur tingkat
keadilan pembagian sumber daya daerah dalam bentuk bagi hasil
(TPD). Semakin tinggi hasilnya maka suatu daerah tersebut semakin
mampu membiayai pengeluarannya sendiri tanpa bantuan dari
pemerintah pusat.
Drajat desentralisasi fiskal, khususnya komponen PAD
dibandingkan dengan TPD, menurut hasil penemuan Tim Fisipol
UGM menggunakan sekala interval sebagaimana yang terlihat dalam
tabel berikut:
Tabel 2.1
Skala Interval Derajat Desentralisasi Fiskal
PAD/TPD (%) Kemampuan Keungan Daerah
<10.00 Sangat Kurang
10.01-20.00 Kurang 20.01-30.00 Cukup 30.01-40.00 Sedang 40.01-50.00 Baik
>50.00 Sangat Sumber: Munir,2004:106
b. Tingkat Kemandirian Pembiayaan
Ukuran ini menguji tingkat kekuatan kemandirin pemerintah
kabupaten dalam membiayai APBD setiap periode anggaran. Belanja
Rutin Non Belanja Pegawai (BRNBP) merupakan pengeluaran daerah
dalam rangka pelaksanaan tugas pokok pelayanan msyarakat yang
terdiri dari belanja barang, pemeliharaan, perjalanan dinas,
pengeluaran tidak termasuk bagian lain dan tidak tersangka serta
belanja lain-lain.Rasio ini dimaksudkan untuk mengukur tingkat
pegawai. Dalam ketentuan yang digariskan bahwa belanja rutin
daerah dibiayai dari kemampuan PAD setiap PEMDA dan karenanya
tolak ukur ini sesuai pengukuran dimaksud.
Pajak Daerah merupakan iuran wajib yang dilakukan orang
pribadi, atau badan kepala daerah tanpa imbalan langsung yang
seimbang yang dapat dilaksanakan berdasarkan peraturan
perundangan yang berlaku dan digunakan pembiayaan
penyelenggaraan pemerintah dan pembangunan pemerintah. Rasio ini
dimaksudkan untuk mengukur tingkat kontribusi pajak daerah sebagai
sumber pendapatan uang dikelola sendiri oleh daerah terhadap total
PAD. Semakin besar rasio akan menunjukkan peran pajak sebagai
sumber pendapatan daerah akan semakin baik.
c. Rasio Tingkat Kemandirian Keuangan Daerah
Kemandirian keuangan daerah (otonomi fiskal) menunjukkan
kemampuan pemerintah daerah dalam membiayai sendiri kegiatan
pemerintahan, pembangunan dan pelayanan kepada masyarakat yang
telah membayar pajak dan retribusi sebagai sumber pendapatan yang
diperlukan daerah. Kemandirian keuangan daerah ditunjukkan oleh
besar kecilnya pandapatan asli daerah dibandingkan dengan
pendapatan daerah yang berasal dari sumber lain, misalnya bantuan
dari pemerintah pusat/propinsi ataupun dari pinjaman.
Rasio kemandirian menggambarkan ketergantungan daerah
mengandung arti bahwa tingkat ketergantungan daerah terhadap
bantuan pihak ekstern (terutama pemerintah pusat dan propinsi)
semakin rendah, dan demikian pula sebaliknya. Rasio kemandirian
juga menggambarkan tingkat partisipasi masyarakat dalam
pembangunan daerah. Semakin tinggi rasio kemendirian, semakin
tinggi partisipasi masyarakat dalam membayar pajak dan retribusi
daerah yang merupakan komponen utama pendapatan asli
daerah.Semakin tinggi masyarakat membayar pajak dan retribusi
daerah akan menggambarkan tingkat kesejahteraan masyarakat yang
semakin tinggi.
C. Pengelolaan Keuangan Daerah
Menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 58 tahun 2005,
keuangan daerah adalah semua hak dan kewajiban dalam rangka penyelenggaraan
pemerintah daerah yang dapat dinilai dengan uang termasuk di dalamnya segala
bentuk kekayaan yang berhubungan dengan hak dan kewajiban daerah tersebut.
Menurut peraturan tersebut, pengelolaan keuangan daerah adalah
keseluruhan kegiatan yang meliputi perencanaan, pelaksanaan, penatausahaan,
pelaporan, pertanggugjawaban, dan pengawasan keuangan daerah. Terwujudnya
pelaksanaan desentralisasi fiskal secara efektif dan efisien, salah satunya
tergantung pada pengelolaan keuangan daerah.
Sebelum adanya Undang -Undang Otonomi Daerah, sistem penatausahaan
pusat dan daerah tetapi belum didasarkan pada kontribusi setiap daerah dalam hal
pendapatan yang diperoleh dari sumber daya alam yang dieksploitasi.
D. Pendapatan Asli Daerah (PAD)
Pendapatan Asli Daerah merupakan semua penerimaan daerah yang
berasal dari sumber ekonomi asli daerah. Kelompok Pendapatan Asli Daerah
dipisahkan menjadi empat jenis, yaitu :
1. Pajak Daerah
2. Retribusi Daerah
3. Bagian Laba Usaha Daerah
4. Lain-Lain PAD
1) Pajak Daerah
Pajak daerah merupakan penerimaan daerah yang berasal dari pajak. Jenis
pajak propinsi terdiri dari :
a. Pajak Kendaraan Bermotor
b. Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor
c. Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor
d. Pajak Kendaraan Dinas di Atas Air
e. Pajak Air di Bawah Tanah
Sedangkan jenis pajak kabupaten / kota menurut Undang – Undang Nomor 34
tahun 2000 tentang Perubahan UU Nomor 18 Tahun 1997 tentang pajak
Daerah dan Retribusi Daerah terdiri dari :
a. Pajak Hotel
b. Pajak Restoran
c. Pajak Hiburan
d. Reklame
e. Penerangan Jalan
f. Pengambilan Bahan Galian Golongan C
g. Pajak Parkir
Menurut Ahmad Yani (2002:45): “ Pajak Daerah adalah iuran wajib yang
dilakukan oleh orang pribadi atau badan kepada daerah tanpa imbalan
langsung yang seimbang, yang dapat dipaksakan berdasarkan peraturan
perundang- undangan yang berlaku, yang digunakan untuk membiayai
penyelenggaraan pemerintah daerah dan pembangunan daerah.”
Pajak daerah, sebagai salah satu Pendapatan Asli Daerah diharapkan
menjadi salah satu sumber pembiayaan penyelenggaraan pemerintahan dan
pembangunan daerah, untuk meningkatkan dan memeratakan kesejahteraan
masyarakat. Dengan demikian, daerah mampu melaksanakan otonom, yaitu
mampu mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri. Meskipun
beberapa jenis pajak daerah sudah ditetapkan dalam Undang-Undang Nomor
34 Tahun 2000, daerah kabupaten/kota diberi peluang dalam mengali potensi
telah ditetapkan, sepanjang memenuhi kriteria yang telah ditetapkan dan
sesuai dengan aspirasi masyarakat.
2) Retribusi Daerah
Menurut Pahala (2005:5): “Retribusi adalah pembayaran wajib dari
penduduk kepada negara karena adanya jasa tertentu yang diberikan oleh
negara bagi penduduknya secara perorangan”jasa tersebut dapat dikatakan
bersifat langsung, yaitu hanya yang membayar retribusi yang menikmati balas
jasa dari negara.
Menurut Ahmad Yani (2002:55) : “Retribusi Daerah adalah pungutan
daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian izin tertentu yang khusus
disediakan dan/atau diberikan oleh pemerintah daerah untuk kepentingan
pribadi atau badan”.
Sedangkan menurut Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000 tentang
Perubahan Undang-Undang Nomor 18 tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan
Retribusi Daerah Padal 1 angka 26 retribusi daerah adalah pungutan daerah
sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian izin tertentu yang khusus
disediakan dan atau diberikan oleh pemerintah daerah untuk kepentingan
oarang pribadi atau badan.
Sesuai dengan ketentuan perundang-undangan di Indonesia saat ini
penarikan retribusi hanya dapat dipungut oleh pemerintah daerah. Jadi,
a) Objek Retribusi Daerah
Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000 Pasal 18 ayat 1 menentukan
bahwa objek retribusi daerah adalah berbagai jenis jasa yang disediakan
oleh pemerintah daerah. Tidak semua jasa yang diberikan oleh
pemerintah daerah dapat dipungut retribusinya, tetapi hanya jenis-jenis
jasa tertentu yang menurut pertimbangan sosial ekonomi layak dijadikan
sebagai objek retribusi. Jasa tertentu tersebut dikelompokkan kedalam tiga
golongan, yaitu jasa umum, jasa usaha, perizinan tertentu. Hal ini
membuat objek retribusi terdiri dari tiga kelompok jasa sebagaimana
berikut ini :
1) Jasa umum, yaitu jasa yang disediakan atau diberikan oleh pemerintah
daerah untuk kepentingan dan pemanfaatan umum serta dapat
dinikmati oleh orang pribadi atau badan. Jasa umum antara lain
meliputi pelayanan kesehatan dan pelayanan persampahan. Jasa yang
tidak termasuk jasa umum adalah jasa urusan umum pemerintahan,
2) Jasa usaha, yaitu jasa yang disediakan oleh pemerintah daerah, dengan
memenganut prinsip-prinsip komersial karena pada dasarnya dapat
pula disediakan oleh sektor swasta. Jasa usaha anatara lain meliputi
penyewaan asset yang dimiliki/dikuasai oleh pemerintah daerah,
penyediaan tempat penginapan, usah bengkel kendaraan, tempat
pencucian mobil, dan penjualan bibit.
3) Perizinan tertentu, yaitu kegiatan tertentu pemerintah daerah dalam
dimaksudkan untuk pembinaan, pengaturan, pengendalian dan
pengawasan atas kegiatan, pemanfaatan ruang, penggunaan sumber
daya alam, barang, prasarana, sarana, atau fasilitas tertentu guna
melindungi kepentingan umum dan menjaga kelestarian lingkungan.
Mengingat bahwa fungsi perizinan dimaksudkan untuk mengadakan
pembinaan, pengaturan, pengendalian, dan pengawasan, pada
dasarnya pemberian izin oleh pemerintah daerah tidak harus dipungut
retribusi.
b) Retribusi Daerah Untuk Kabupaten
Menurut Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000 Tentang Pajak Daerah
dan Retribusi Daerah Jenis Pendapatan Retribusi untuk Kabupaten/Kota
meliputi Objek Pendapatan berikut:
1) Retribusi Pelayanan Kesehatan,
2) Retribusi Pelayanan Persampahan/Kebersihan,
3) Retribusi Penggantian Biaya Cetak KTP,
4) Retribusi Penggantian Biaya Cetak Akta Catatan Sipil,
5) Retribusi Pelayanan Pemakaman,
6) Retribusi Pelayanan Pengabuan Mayat,
7) Retribusi Pelayanan Parkir di Tepi Jalan Umum,
8) Retribusi Pelayanan Pasar,
9) Retribusi Pengujian Kendaraan Bermotor,
11) Retribusi Penggantian Biaya Cetak Peta,
12) Retribusi Pengujian Kapal Perikanan,
13)Retribusi Pemakaian Kekayaan Daerah,
14) Retribusi Jasa Usaha Pasar Grosir atau Pertokoan,
15)Retribusi Jasa Usaha Tempat Pelelangan,
16)Retribusi Jasa Usaha Terminal,
17) Retribusi Jasa Usaha Tempat Khusus Parkir,
18)Retribusi Jasa Usaha Tempat Penginapan/Pesanggrahan/Villa,
19) Retribusi Jasa Usaha Penyedotan Kakus,
20) Retribusi Jasa Usaha Rumah Potong Hewan,
21) Retribusi Jasa Usaha Pelayanan Pelabuhan Kapal,
22)Retribusi Jasa Usaha Tempat Rekreasi dan Olahraga,
23) Retribusi Jasa Usaha Penyeberangan di atas Air,
24) Retribusi Jasa Usaha Pengolahan Limabah Cair,
25) Retribusi Jasa Usaha Penjualan Produksi Usaha Daerah,
26) Retribusi Izin Mendirikan Bangunan,
27)Retribusi Izin Tempat Penjualan Minuman Beralkohol,
28)Retribusi Izin Gangguan,
29)Retribusi Izin Trayek.
c) Bagian Laba BUMD
Sumber penerimaan PAD yang lainnya yang menduduki peran penting
Daerah atas laba BUMD. Menurut Undang-Undang Nomor 34 Tahun
2000 Hasil Perusahaan Milik Daerah dan Hasil Pengelolaan Kekayaan
Milik Daerah yang Dipisahkan atau Bagian Laba BUMD merupakan
penerimaan daerah yang berasal dari hasil perusahaan milik daerah dan
pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan.
BUMD merupakan badan usaha yang didirikan seluruhnya atau sebagian,
dengan modal daerah. Tujuan didirikannya BUMD adalah dalam rangka
menciptakan lapangan kerja atau mendorong pembangunan
ekonomidaerah. Selain itu, BUMD juga merupakan cara yang lebih efisien
dalam melayani masyarakat, dan merupakan salah satu sumber
penerimaan daerah. Bagian laba BUMD tersebut digunakan untuk
membiayai pembangunan daerah dan anggaran belanja daerah, setelah
dikurangi dengan penyusutan, dan pengurangan lain yang wajar dalam
BUMD.
BUMD sebenarnya juga merupakan salah satu potensi sumber
keuangan bagi daerah yang perlu terus ditingkatkan guna mendukung
pelaksanaan otonomi daerah . Besarnya kontribusi laba BUMD dalam
Pendapatan Asli Daerah dapat menjadi indikator kuat dan lemahnya
BUMD dalam suatu daerah.
Jenis Pendapatan ini meliputi Objek Pendapatan berikut:
1. Bagian Laba Perusahaan Milik Daerah,
2. Bagian Laba Lembaga Keuangan Bank,
4. Bagian Laba atas Penyertaan Modal/Investasi.
d) Lain-lain Pendapatan Asli Daerah yang Sah
Menurut Peraturan Pemerintah No. 32 Tahun 2005 Tentang Perimbangan
Keuangan Pemerintah Pusat dan Daerah, Lain-lain PAD yang sah
meliputi:
1. hasil penjualan kekayaan Daerah yang tidak dipisahkan,
2. jasa giro
3. pendapatan bunga,
4. keuntungan selisih niali tukar rupiah terhadap mata uang asing, dan
5. komisi, potongan, ataupun bentuk lain sebagai akibat dari penjualan
dan/atau pengadaan barang dan/atau jasa oleh daerah.
E. Review Penelitian Terdahulu
1. Penelitian Sudono Susanto
Penelitian ini berjudul “Analisis Perkembangan Pembiayaan
Fiskal Pemerintah Pusat dan Daerah (studi kasus Daerah Tingkat II
Banjarnegara)“. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui derajat
otonomi fiskal (DOF) di Daerah Tingkat II Banjarnegara yang diukur
dengan variabel tingkat perkembangan ekonomi (TPE) dan bantuan
pemerintah pusat (G). Kesimpulan dari penelitian ini adalah tingkat
perkembangan ekonomi (TPE) dan bantuan pemerintah pusat (G)
2. Penelitian Yuliati
Penelitian yang dilakukan oleh Yuliati (Halim, 2004: 21) yang
berjudul “Analisis Kemampuan Keuangan Daerah dalam Menghadapi
Otonomi Daerah (Kasus Kabupaten Malang)”. Penelitian ini bertujuan
untuk mengukur dan menganalisis derajat otonomi Kabupaten Malang
yang ditekankan kepada derajat desentralisasi, bantuan serta kapasitas
fiskal. Kesimpulan dari penelitian ini adalah ketergantungan pemerintah
Kabupaten Malang terhadap pemerintah pusat pada tahun anggaran
1995/1996-1999/2000 masih sangat tinggi, yang dibuktikan dengan masih
rendahnya rata-rata proporsi PAD terhadap Total Penerimaan Daerah
(TPD) selama kurun waktu 5 tahun, yaitu hanya sebesar 15%, walaupun
dari tahun ke tahun mengalami peningkatan. Rata-rata proporsi PAD dan
Bagi Hasil Pajak dan Bukan Pajak (BHPBP) terhadap TPD selama kurun
waktu 5 tahun hanya sebesar 29% saja. Kondisi ini menunjukkan bahwa
peran pemerintah pusat terhadap keuangan daerah Kabupaten Malang
selama kurun waktu 5 tahun tersebut masih sangat besar yang juga
ditunjukkan dengan tingginya rata-rata proporsi pemerintah pusat terhadap
TPD, yaitu sebesar 71%. Kabupaten Malang memiliki kapasitas fiskal
yang relatif baik dibandingkan dengan standar fiskal rata-rata
kabupaten/kota se-Jawa Timur. Namun apabila dibandingkan dengan
kebutuhan fiskalnya maka terdapat kekurangan (gap) sebesar 12%. Jadi,
untuk menutupi kekurangan tersebut memang masih diperlukan dana dari
3. Penelitian Jasagung Hariyadi
Penelitian yang dilakukan oleh Jasagung Hariyadi (Halim, 2004:
339) yang berjudul “Estimasi Penerimaan dan Belanja Daerah serta
Derajat Desentralisasi Fiskal Kabupaten Belitung: Studi Kasus Tahun
Anggaran 2001.“ Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui estimasi
penerimaan daerah dan tingkat kemandirian keuangan daerah melalui
pengukuran derajat desentralisasi fiskal untuk tahun 2001, sehingga
terlihat kemampuan Kabupaten Belitung dalam rangka melaksanakan
otonomi daerah yang mulai berlaku efektif pada tahun 2001. Kesimpulan
dari penelitian ini, berdasarkan estimasi APBD Kabupaten Belitung tahun
anggaran 2001 perbandingan antara PAD terhadap TPD adalah sebesar
11,61%. Sedangkan perbandingan antara Bagi Hasil Pajak dan Bukan
Pajak dengan TPD adalah sebesar 7,18% dan Sumbangan Daerah dan
Total Penerimaan Daerah adalah sebesar 81,21%.
4. Penelitian Kifliansyah
Penelitian yang dilakukan oleh Kifliansyah (Halim, 2004: 329)
yang berjudul “Analisa Realisasi Anggaran Pendapatan Belanja Daerah
(Kasus Kabupaten Hulu Sungai Tengah).“ Tujuan dari penelitian ini
adalah mengetahui tingkat kemandirian daerah pada tahun anggaran
1999/2000. Kesimpulan dari penelitian ini adalah proporsi PAD terhadap
TPD sebesar 3,21%, proporsi Bagi Hasil Pajak dan Bukan Pajak terhadap
terhadap Total Penerimaan Daerah sebesar 76,61%. Dengan kondisi ini
ketergantungan daerah terhadap pemerintah pusat masih sangat besar.
5. Penelitian Lilies Setiarti
Penelitian yang dilakukan oleh Lilies Setiarti (jurnal, 2002:
141-152) yang berjudul “Analisis Kemampuan Keuangan Daerah dalam
pelaksanaan Otonomi Daerah (Studi di Kabupaten Bantul Yogyakarta)”.
Tujuan dari penelitian ini adalah Mengukur serta menganalisis kinerja
keuangan daerah Kabupaten Bantul dalam menjalankan kebijakan
otonomi daerah dan Mengetahui peran PAD terhadap Struktur Penerimaan
APBD Kabupaten Bantul. Kesimpulan dari penelitian ini adalah, Pertama,
berdasarkan kesiapan pemerintah kabupaten bantul dari sisi keuangan
daerah dapat disimpulkan :
• Derajat Desentralisasi Fiskal yang dihitung atas dasar rasio antara
PAD terhadap TPD, rasio BHPBP terhadap TPD, rasio SB terhadap
TPD, menunjukkan ketergantungan yang cukup tinggi terhadap
pemerintah pusat.
• Bila dilihat dari kemampuan PAD dalam mendanai belanja
PEMDA masih mengindikasikan adanya ketergantungan dari
pemerintah pusat.
• Kabupaten Bantul memiliki kapasitas fiskal yang sama besar,
• Posisi fiskal yang dihitung dengan rata-rata perubahan PAD
terhadap rata-rata perubahan PDRB, menunjukkan hasil yang
berbeda berdasarkan atas PDRB harga konstan dengan PDRB atas
harga berlaku. Namun demikian sumbangan PDRB terhadap PAD
sangat strategis peranannya.
Kedua, berdasarkan kesiapan pemerintah dari segi kemampuan keuangan
daerah masih kurang (terutama aspek desentralisasi fiskal) sehingga perlu
diupayakan peningkatan PAD baik secara intensifikasi maupun secara
ekstensifikasi.
6. Penelitian Mouna Fachrizal
Penelitian yang dilakukan oleh Mouna Fachrizal pada Pemerintah
Kabupaten Aceh Timur untuk mengetahui gambaran mengenai kinerja
keuangan sebelum dan setelah diberlakukannya otonomi daerah. Analisis
rasio yang digunakan pada penelitian ini adalah analisis rasio keuangan
yaitu rasio derajat desentralisasi fiskal, rasio tingkat kemandirian
pembiayaan, rasio efisiensi penggunaan anggaran, rasio tingkat
kemandirian keuangan daerah, rasio aktifitas (rasio keserasian), dan rasio
pertumbuhan.
Adapun hasil penelitian yang pada Pemerintah Kabupaten Aceh
Timur menunjukkan pada rasio desentralisasi fiskal menunjukkan
penurunan kinerja keuangan setelah otonomi daerah dibandingkan dengan
daerah. Sedangkan pada bagian TPjD/PAD terjadi penurunan kinerja
keuangan sesudah otonomi daerah. Pada rasio efisiensi penggunaan
anggaran, pada bagian TSA/TBD terjadi peningkatan kinerja setelah
otonomi daerah. Sedangkan untuk TPL/TPD terjadi juga peningkatan
kinerja setelah otonomi daerah. Pada rasio tingkat kemandirian keuangan
daerah, terjadi penurunan kinerja setelah otonomi diterapkan. Pada rasio
aktifitas (rasio keserasian), pada bagian TBR/TAPBD mengalami
peningkatan nilai sesudah otonomi daerah. Pada rasio pertumbuhan,
pendapatan asli daerah dan total belanja pembanguanan mempunyai nilai
yang positif secara rata-rata setelah otonomi khusus.Sedangkan total
pendapatan daerah dan total belanja rutin mengalami penurunan nilai
setelah otonomi khusus.
Keseluruhan penelitian diatas dapat disajikan secara ringkas
sebagai berikut :
Tabel 2.2
Daftar Hasil- Hasil Penelitian Terdahulu
N
2002 Ketergantungan yang cukup tinggi terhadap pemerintah
2004 Tingkat perkembangan ekonomi (TPE) dan bantuan pemerintah pusat (G)
Yuliati Analisis Kemampuan Keuangan Daerah dalam
Menghadapi Otonomi Daerah (Kasus Kabupaten Malang)
pemerintah pusat pada tahun anggaran
1995/1996-2004 berdasarkan estimasi APBD Kabupaten Belitung tahun Hasil Pajak dan Bukan Pajak dengan TPD adalah sebesar 7,18% dan
Sumbangan Daerah dan TPD adalah sebesar 81,21%. 5
.
Kifliansyah Analisa Realisasi Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (Kasus Kabupaten Hulu Sungai Tengah)
2004 Proporsi PAD terhadap TPD sebesar 3,21%, proporsi Bagi Hasil Pajak dan Bukan Pajak terhadap TPD sebesar
18,80%, proporsi Sumbangan Daerah terhadap TPD sebesar 76,61%, berarti
2008 Pendapatan asli daerah dan total belanja pembangunan mengalami peningkatan, sedangkan total pendapatan daerah dan total belanja rutin mengalami penurunan nilai setelah otonomi khusus diterapkan.
Penelitian 2 menggunakan alat analisis regresi untuk mengukur
derajat Otonomi Fiskal (tingkat kemandirian daerah) dengan Derajat
Otonomi Fiskal (DOF) sebagi variabel dependen dan tingkat
variabel independen, akan tetapi dengan lokasi penelitian yang
berbeda-beda.
Penelitian 1, 3, 4, dan 5 sama-sama mengukur tingkat
desentralisasi fiskal (tingkat kemandirian daerah) dengan cara
membandingkan Pendapatan Asli Daerah (PAD), Bagi Hasil Pajak dan
Bukan Pajak (BHPBP), dan Sumbangan Daerah (SB) terhadap Total
Penerimaan Daerah (TPD). Khusus pada penelitian 2 dilengkapi dengan
analisis kapasitas fiskal dan kebutuhan fiskal. Setiap penelitian memiliki
lokasi penelitian yang berbeda-beda.
Perbedaan dengan penelitian ini adalah penulis membandingkan
kinerja keuangan daerah sebelum dan sesudah kebijakan otonomi daerah
di Daerah Kabupaten Karo dengan rasio yang dipergunakan untuk
mengukur kinerja keuangan adalah Rasio Ketergantungan.
F. Kerangka Konseptual
Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah adalah tingkat pencapaian dari suatu hasil Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah, yang meliputi anggaran dan
realisasi PAD dengan menggunakan indikator keuangan yang ditetapkan
melalui suatu kebijakan atau ketentuan perundang-undangan selama satu
Bentuk dari pengukuran kinerja tersebut berupa rasio keuangan dan
perbandingan antara anggaran PAD dengan pencapaian (realisasi) PAD pada
tahun tersebut.
Pada penelitian ini, data yang dipakai adalah Realisasi Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Kemudian dari APBD ini diambil
data-data yang diperlukan yang kemudian akan dianalisis dengan memakai
rasio kinerja keuangan daerah yaitu :
a. Rasio Kemampuan Pembiayaan,
b. Rasio Kemampuan Mobilisasi Daerah,
c. Rasio Tingkat Ketergantungan Pemerintah Kabupaten/Kota
d. Rasio Derajat Desentralisasi Fiskal.
Kemudian rasio-rasio diatas akan dibandingkan antara sebelum dan
sesudah pelaksanaan otonomi daerah. Hal ini dapat digambarkan sebagai