MODEL RASIONAL KOMPREHENSIF
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Saraja Ilmu Komunikasi (S.Kom.I)
Disusun Oleh:
DWI ILHAMI
NIM. 107051002563
JURUSAN KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM
FAKULTAS ILMU DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
MODEL RASIONAL KOMPREHENSIF
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Saraja Ilmu Komunikasi (S.Kom.I)
Disusun Oleh:
DWI ILHAMI NIM. 107051002563
Dibawah Bimbingan
DR. Fatmawati, M.Ag NIP. 19760917 200112 2 002
JURUSAN KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM
FAKULTAS ILMU DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
Skripsi berjudul ANALISIS KEBIJAKAN PUBLIK PADA UNDANG-UNDANG PORNOGRAFI KOMISI VIII DPR RI DALAM PERSPEKTIF MODEL RASIONAL KOMPREHENSIF telah diujikan dalam sidang munaqasyah Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Pada tanggal 14 Juni 2011. skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Komunikasi Islam (S.Kom.I) pada Program Studi Komunikasi dan Penyiaran Islam.
Jakarta, 14 Juni 2011
Sidang Munaqasyah
Ketua Merangkap Anggota Sekretaris Merangkap Anggota
Drs. Jumroni, M.Si Umi Musyaroffah, MA
NIP. 1963 0515 1992031006 NIP. 19710816 199703 2002
Penguji I Penguji II
Gun Gun Heryanto, M.Si DR. Suhaimi, M.Si NIP. 19760812 200501 1 005 NIP. 19670906 199403 1002
Pembimbing
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi
salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penelitian ini telah saya cantumkan
sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta.
3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya saya ini bukan hasil karya saya
atau merupakan jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima
sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 30 Mei 2011
i Dwi Ilhami
Analisis Kebijakan Publik pada Undang-Undang Pornografi Komisi VIII DPR RI dalam Perspektif Model Rasional Komprehensif
DPR RI (Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia) sebagai lembaga pembuat kebijakan sering sekali melalaikan aspek substansi dari pada aspek kepentingan. Maka, tidak jarang kebijakan yang dibuat dalam hal ini undang-undang banyak menuai kontroversi. Komunikasi kebijakan sebagai bagian dari kegiatan politik yang dilakukan justru tidak efektif, hal ini terbukti dengan kontroversi RUU APP (Rancangan Undang-Undang Anti Pornografi dan Pornoaksi) yang berubah menjadi Rancangan Undang-Undang Pornografi pada tahun 2008. Konflik pro dan kontra tidak dapat terelakan, massa dari kedua kubu sama-sama menyuarakan aksinya secara eksplosif, tetapi kemudian DPR (Dewan Perwakilan Rakyat) tetap melanjutkan pembahasan undang-undang tersebut meskipun kontroversi terjadi. Undang-Undang Pornografi tetap disahkan dan kontroversi tidak berhenti pula hingga kini.
Kemudian timbul pertanyaan bahwa bagaimana sebenarnya komunikasi politik memandang Undang-Undang Pornografi ini sebagai studi kebijakan publik? dan bagaimana pula langkah-langkah yang dilakukan dalam komunikasi kebijakan melalui Model Rasional Komprehensif?
Untuk menjawab pertanyaan diatas, dapat dijelaskan bahwa komunikasi kebijakan yang dilakukan mencakup opini kebijakan sebagai proses penggambaran penyajian cara-cara alternatif dari opini rakyat, massa, dan kelompok yang diperhitungkan oleh pemegang jabatan dalam membentuk kebijakan pemerintah. Langkah-langkah alternatif yang ditempuh secara “rasional” dalam memilih alat yang paling efektif untuk mencapai tujuan yang dinyatakan dan “komprehensif” dalam mempertimbangkan setiap faktor yang relevan dengan setiap pilihan.
Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah konseptualisasi dari Komunikasi Politik, Kebijakan Publik, Teori Komunikasi Kebijakan (Model Rasional Komprehensif), dan Hubungan Opini Publik dan Kebijakan Publik dalam menganalisis Undang-Undang Pornografi sebagai studi komunikasi kebijakan publik.
Metodologi penelitian ini adalah metodologi kualitatif deskriptif dimana dalam menjawab permasalahan penelitian dikaji secara mendalam dan menyeluruh mengenai obyek yang diteliti, guna menghasilkan kesimpulan-kesimpulan penelitian dalam konteks waktu dan situasi yang bersangkutan. Dalam penelitian mengenai proses kebijakan publik ini diperlukan pengungkapan informasi secara mendalam.
ii
مــــــــيِحَّلا ِنــــــــَمْحَّلا ِهــــــــَّلا ِمــــــــْسِب
Alhamdulillahirabbil ‘alamin, puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah
SWT atas segala nikmat dan karunia yang diberikan, sehingga skripsi ini dapat
terselesaikan. Shalawat serta salam penulis haturkan kepada suri tauladan umat
Rasulullah SAW, beserta keluarga, sahabat, dan umatnya yang tetap istiqomah di
jalan Allah dan Rasul-Nya hingga yaumil akhir nanti. Skripsi yang berjudul “Analisis
Kebijakan Publik pada Undang-Undang Pornografi Komisi VIII DPR RI dalam
Perspektif Model Rasional Komprehensif” ini dibuat untuk memenuhi gelar Sarjana
Ilmu Komunikasi Islam di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam penulisan skripsi ini, oleh
karena itu kritik dan saran yang membangun dari para pembaca sangat diharapkan,
sehingga dapat terwujud karya ilmiah yang lebih baik lagi di masa mendatang.
Dalam kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada
pihak-pihak yang membantu dalam penyelesaian skripsi ini. Untuk itu penulis mengucapkan
terima kasih kepada:
1. Kedua orang tua saya (Keluarga Besar Ustadz Drs. Sudarsono dan Budi
Suswanti), tempat limpahan kasih sayang yang rela mengerahkan segala
kekuatan demi meraih cita-cita anak-anaknya. Sekaligus atas doa, motivasi,
dan bantuannya baik secara moril maupun materil.
2. Bapak Rektor Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Bapak
Prof. Komarudin Hidayat.
3. Bapak Dekan Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi, Bapak Dr. H.
iii
5. Ibu Fatmawati Amir, Dosen Pembimbing atas bimbingan, nasehat serta
semangatnya kepada saya dalam menyelesaikan skripsi ini. Maaf ya bu atas
waktu yang sedikit tersita...
6. Bapak Ahmad Zainuddin Lc (Wakil Ketua Komisi VIII DPR RI), atas waktu
dan informasinya dalam merampungkan skripsi ini. Terima kasih pak telah
menyita waktunya.
7. Pak Adi (Staf Ahli Bapak Ahmad Zainuddin) atas doa, semangat dan
bantuannya dalam mendapatkan informasi yang saya butuhkan.
8. Alm. Ibu Yoyoh Yusroh (Komisi I DPR RI) atas waktu dan informasinya
bu...semangat dan perjuangan ibu tidak akan pernah padam untuk wanita dan
anak-anak.
9. Dosen-dosen pada mata kuliah yang ada di jurusan Komunikasi Penyiaran
Islam, atas bimbingan dan pengetahuannya.
10. Kakak Siti Rubi Adni beserta Kak Asnawi yang selalu memberikan dukungan
dan semangat pantang menyerah.
11. Adik-adik saya Muhammad Arba Syuhada dan Mutiah Marsitoh Sudaryanti
yang mau mengalah untuk kakak tercinta.
12. Muhammad Hasbi Istaufa, keponakan ku imut dan lucu yang memberikan
energi baru dalam kehidupan keluarga besar kami.
13. Sahabat sekaligus kakak terbaik Kak Handri dan Kak Stefanus Pratama M
(Nenes), atas motivasi, semangat doa nya selalu untuk adik mu ini.
14. Teman-teman KPI 7 B, atas kebersamaan, dukungan serta perjuangannya
iv
16. Semua pihak yang membantu dalam penyusunan skripsi ini dengan tidak
mengurangi rasa hormat, tidak dapat disebutkan satu persatu.
Semoga Allah membalas kebaikannya dan semoga karya ini bermanfaat bagi
pembaca untuk mengembangkan ilmu pengetahuan dan menjadikan kajian ini
menambah khasanah ilmu kita. Amin.
Jakarta, Mei 2011
v
ABSTRAK ...i
KATA PENGANTAR ...ii
DAFTAR ISI ...v
DAFTAR TABEL ...vii
DAFTAR GAMBAR ...viii
BAB I PENDAHULUAN... 1
A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Batasan dan Rumusan Masalah ... 5
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 6
D. Metodologi Penelitian ... 7
E. Metode Penelitian ... 7
1. Subjek dan Objek Penelitian ... 8
2. Tempat dan Waktu Penelitian ... 8
3. Teknik Pengumpulan Data ... 8
4. Teknik Analisis Data ... 9
F. Tinjauan Pustaka ... 9
G. Kerangka Teori ...13
H. Pedoman Penulisan ... 14
I. Sistematika Penulisan ...14
BAB II TINJAUAN TEORITIS ... 16
A. Komunikasi Politik ...16
vi
BAB III GAMBARAN UMUM DPR RI ………....…...39
A. Sejarah DPR RI ...39
B. Visi dan Misi DPR RI ...41
C. Keanggotaan DPR RI Periode 2009-2014 ...43
D. Tugas dan Wewenang DPR RI ...48
E. Hak dan Kewajiban DPR RI ...50
F. Masa Sidang dan Masa Reses DPR RI ...52
G. Mekanisme Kerja DPR RI ...57
H. Pengambilan Keputusan DPR RI ...58
I. Pembuatan Undang-Undang (UU) ...59
J. Komisi VIII DPR RI ...67
K. Harapan terhadap Fungsi Legislasi DPR RI ...69
BAB IV ANALISIS DAN TEMUAN ……….….. 71
A. Latar Belakang Lahirnya Undang-Undang Pornografi ...71
B. Undang-undang Pornografi sebagai Kebijakan Publik Komisi VIII DPR RI ...74
C. Implementasi Model Rasional Komprehensif ...81
D. Perkembangan dan Penerapan Undang-undang Pornografi ...94
BAB V PENUTUP ……….……99
A. Kesimpulan ...99
vii
Tabel 2.1 Klasifikasi Aktor Politik beserta Wewenangnya ...26
Tabel 3.1 Struktur Kepemimpinan ...43
Tabel 3.2 Jumlah Kursi DPR Berdasarkan Fraksi ...44
Tabel 3.3 Alat Kelengkapan DPR ...45
Tabel 3.4 Pengusul RUU Pada Periode 2004-2009 ...60
Tabel 3.5 Tingkat Pembahasan RUU dari Pemerintah ...62
Tabel 3.6 Tingkat Pembahasan RUU dari Inisiatif DPR ...65
Tabel 3.7 Keanggotaan Komisi VIII ...68
Tabel 3.8 Sekretariat Komisi VIII ...68
Tabel 3.9 Laporan Kerja Komisi VIII ...69
viii
Gambar 2.1 Proses Opini Publik Menjadi Sebuah Kebijakan ...36
Gambar 2.2 Proses Kebijakan sebagai Input dan Output ...37
Gambar 3.1 Skema Persidangan DPR ...53
Gambar 3.2 Prosedur Pendelegasian Aspirasi Masyarkat ...57
1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Menjalani kehidupan sebagai warga negara tidak terlepas dari segala aturan
yang merupakan kewenangan dari pihak yang memiliki otoritas. Output dari
kewenangan tersebut adalah sebuah kebijakan yang harus dijalankan oleh
masyarakat. Pemerintah sebagai lembaga yang memiliki otoritas membuat suatu
kebijakan sangatlah penting jika kebijakan tersebut melihat kepentingan
masyarakat umum dengan baik.
Aturan perundang-undangan dibuat guna untuk menjaga ketertiban dan
keamanan masyarakatnya dalam kehidupan bernegara. Merumuskan sebuah
undang-undang harus memperhatikan proses yang berlangsung, banyaknya
kepentingan dalam sebuah proses politik juga menjadi hal yang harus
dipertimbangkan agar undang-undang tersebut mencakup berbagai aspek
kepentingan secara proposional.
Undang-undang sebagai produk dari suatu kebijakan publik dirasa perlu
untuk diteliti karena melihat selama ini setiap kebijakan publik yang dibuat oleh
pemerintah terkadang kurang memperhatikan aspirasi masyarakat yang
seharusnya menjadi pertimbangan dalam merumuskan kebijakan publik. Hasil
dari kebijakan publik itu sendiri nantinya akan dirasakan pula oleh masyarakat
dikarenakan studi mengenai kebijakan publik ini adalah kebijakan publik
memiliki sasarannya yaitu masyarakat.
Hal mengenai kebijakan publik merasa perlu untuk diteliti karena melihat
selama ini setiap kebijakan publik yang dibuat oleh pemerintah terkadang kurang
memperhatikan aspirasi masyarakat yang seharusnya menjadi pertimbangan
dalam merumuskan kebijakan publik. Hasil dari kebijakan publik itu sendiri
nantinya akan dirasakan pula oleh masyarakat sebagai sasaran suatu kebijakan.
Alasan lain mengapa tema mengenai kebijakan publik ini diambil dikarenakan
studi mengenai kebijakan publik ini adalah kebijakan publik memiliki sasarannya
yaitu masyarakat.
Bagi negara-negara yang menganut pemerintahan demokrasi seperti
Indonesia, kebijakan yang diambil oleh pemerintah berupa undang-undang untuk
kepentingan umum selalu memperhatikan suara dan kehendak rakyat. Umumnya
kebijakan publik berkaitan erat dengan pendapat-pendapat yang disampaikan oleh
orang-orang yang memiliki perhatian yang tinggi dan juga aktif secara langsung
dalam aktivitas politik dibanding dengan orang-orang yang tidak punya perhatian
atau bersikap pasif.
Kebijakan publik merupakan keputusan politik yang dikembangkan oleh
badan dan pejabat pemerintah. Dalam hal ini DPR RI sebagai lembaga otoritas
membuat suatu kebijakan. Fungsi DPR RI sebagai lembaga suprastuktur dari
sebuah kegiatan politik merupakan tanggung jawab yang diberikan melalui
perwakilan rakyat yang mereka emban.
Lembaga negara seperti DPR RI melaksanakan fungsi legislatifnya, selalu
mengalami posisi yang menjadi pusat perhatian dari seluruh masyarakat.
Kebijakan publik yang sering sekali mereka buat selalu mengundang kontroversi
baik yang menolak atau pun menerima kebijakan tersebut, hal ini dapat terlihat
dari opini publik yang berkembang dimasyarakat. Baik diketahui melalui media
massa yang meliput suara publik maupun lembaga-lembaga non pemerintah
seperti lembaga swadaya masyarakat yang menyampaikan aspirasinya kepada
DPR RI.
Fungsi DPR selaku badan legislatif lebih mengarah sebagai evaluator
daripada pihak yang melakukan monitoring. Padahal sebagaimana disebutkan tadi,
kegiatan monitoring merupakan langkah awal untuk mencapai proses evaluasi
yang sesuai dan mengarah pada tujuan kebijakan. Tampaknya di beberapa
lembaga tinggi negara di Indonesia, kegiatan monitoring belum dilakukan secara
khusus, namun disamakan dengan proses pengumpulan data yang dilakukan
sebagai bagian dari proses evaluasi kebijakan.
DPR RI sebagai lembaga negara yang memiliki wewenang membuat suatu
kebijakan, sering sekali langkah yang diambil cenderung tidak memihak kepada
rakyat, sebagai salah satu contohnya ketika DPR RI Komisi VIII yang menangani
bidang sosial, agama dan pemberdayaan perempuan membuat Undang-Undang
Pornografi yang sempat menjadi polemik dan kontroversi dari berbagai pihak
maupun kepentingan, maka hal tersebut merupakan faktor yang harus
diperhatikan untuk mampu merumuskan suatu kebijakan yang mana harus
mendengarkan pendapat dari publik yang berpolemik tersebut dan hal ini
Komisi VIII dalam hal ini merupakan bagian dari DPR RI yang juga aktif
membuat kebijakan terutama kebijakan dalam bidang sosial, agama, maupun yang
paling sensitif yaitu bidang pemberdayaan perempuan. Komisi VIII inilah yang
bidangnya secara khusus dekat dengan kehidupan masyarakat, terutama kalangan
masyarakat bawah yang sarat dengan berbagai konflik kehidupan yang menjadi
sasaran tepat dalam sebuah kebijakan publik yang diatur oleh lembaga otoritas.
Dalam Komisi VIII bidang sosial merupakan aspek yang sering menjadi polemik,
dikarenakan peraturan perundang-undangan bidang sosial memiliki dampak yang
paling besar dalam merumuskan kebijakan.
Salah satu produk dari kebijakan publik Komisi VIII DPR RI adalah
Undang-undang Pornografi yang pada awalnya Rancangan Undang-undang Anti
Pornografi dan Pornoaksi. Undang-undang ini disahkan menjadi undang-undang
dalam Sidang Paripurna DPR pada tanggal 30 Oktober 2008, setelah melalui
proses yang cukup panjang dan alot. Pada mulanya undang-undang ini sudah
diajukan semenjak tahun 1997 di DPR, namun dalam perjalanannya draf RUU
APP terus mengalami tarik ulur karena banyaknya kepentingan. Kita menyadari
pada saat bergulirnya undang-undang ini mendapat banyak sekali kontroversi
yang terjadi. Banyak yang menyetujui, dan tidak sedikit pula yang menolak dari
awal pembentukannya hingga disahkan menjadi undang-undang.
Bagian yang menjadi kontroversi pada Undang-undang Pornografi ini
adalah mengenai isi pasal RUU APP yang disatu sisi dianggap
mendiskriminasikan dan disisi lain dianggap sebagai sesuatu yang harus
diperjuangkan. Kelompok-kelompok yang mendukung antara lain, MUI, ICMI,
dari aktivis perempuan (feminisme), seniman, artis, budayawan, dan akademisi. Jika aspirasi kedua kelompok tersebut tidak dijembatani oleh DPR RI selaku
pembuat kebijakan, maka bisa saja pertikaian terjadi diantara kelompok-kelompok
yang berseberangan. Pada akhirnya, kebijakan publik yang dibuat oleh DPR RI
Komisi VIII ini harus melakukan proses secara baik, agar kebijakan tersebut tidak
menjadi berat sebelah. Berdasarkan latar belakang di atas, saya tertarik untuk
meneliti masalah kebijakan publik melalui Undang-undang Pornografi, dan
penelitian ini diberi judul ” Analisis Kebijakan Publik pada Undang-undang Pornografi Komisi VIII DPR RI Bidang Sosial dalam Perpektif Model Rasional Komprehensif.”
B. Batasan dan Rumusan Masalah
Meskipun banyak perumusan kebijakan publik yang ditangani oleh Komisi
VIII DPR RI yang mencakup bidang sosial, agama dan pemberdayaan perempuan,
namun skripsi ini hanya membahas bidang sosial saja. Dalam bidang sosial pun
juga banyak sekali permasalahan yang dibahas, seperti kebijakan publik mengenai
penanganan fakir miskin, Program Keluarga Harapan (PKH), pornografi dan
pornoaksi, serta kelompok usaha bersama, namun yang menjadi batasan hanyalah
pada satu permasalahan saja, yaitu mengenai pornografi dan pornoaksi yang
diimplementasikan melalui kebijakan publik dalam Undang-undang Pornografi.
Mengetahui bagaimana proses pembuatan kebijakan itu dibuat, serta membatasi
permasalahan pada penetapan masalah, tujuan dan cara, pencapaian hasil, dan
penilaian terhadap hasil dari suatu kebijakan dalam perspektif Komunikasi Politik.
Untuk memperjelas permasalahan yang akan diteliti, maka masalah tersebut
1. Bagaimana perspektif Komunikasi Politik dalam memandang
Undang-Undang Pornografi yang dibuat oleh Komisi VIII DPR RI sebagai
kebijakan publik?
2. Apa saja yang menjadi langkah-langkah dari proses yang dilakukan
dalam komunikasi kebijakan melalui model Rasional Komprehensif
pada Undang-Undang Pornografi Komisi VIII DPR RI?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah:
a. Untuk mengetahui perspektif Komunikasi Politik dalam
memandang Undang-Undang Pornografi yang dibuat oleh
Komisi VIII DPR RI sebagai kebijakan publik.
b. Untuk mengetahui langkah-langkah dari proses yang dilakukan
dalam komunikasi kebijakan melalui model Rasional
Komprehensif pada Undang-Undang Pornografi Komisi VIII
DPR RI.
2. Manfaat Penelitian
Manfaat pada penelitian ini adalah:
a. Manfaat Teoritis
Penelitian ini erat kaitannya dengan mata kuliah komunikasi
terutama komunikasi politik, maka diharapkan dapat membantu
usaha pengembangan keilmuan tentang proses kebijakan publik
dalam sebuah lembaga negara, pada jurusan Komunikasi dan
b. Manfaat Praktis
Diharapkan dalam penelitian ini bermanfaat bagi para
pembuat kebijakan publik yang dalam hal ini adalah lembaga otoritas
baik pada tingkat eksekutif, dan legislatif, serta pihak lain dalam hal
ini masyarakat sebagai tujuan dari kebijakan publik itu sendiri.
D. Metodologi Penelitian
1. Metode Penelitian
Pendekatan yang digunakan pada penelitian ini adalah pendekatan
kualitatif, dimana dalam menjawab permasalahan penelitian dikaji
secara mendalam dan menyeluruh mengenai obyek yang diteliti, guna
menghasilkan kesimpulan-kesimpulan penelitian dalam konteks waktu
dan situasi yang bersangkutan. Dalam penelitian mengenai proses
kebijakan publik ini diperlukan pengungkapan informasi secara
mendalam, terutama dalam prosesnya tersebut menyangkut
kepentingan masyarakat secara luas pula.
Desain yang digunakan adalah desain kualitatif deskriptif
berdasarkan tujuannya dimana penelitian ini ingin mengungkap fakta
gejala dari sebuah proses kebijakan publik, serta mampu memberikan
gambaran tentang suatu masyarakat atau suatu kelompok. Dan melalui
format penelitian studi kasus yang merupakan penelitian untuk
meneliti suatu proses dalam sebuah lembaga, yang dalam hal ini adalah
lembaga pemerintah DPR RI Komisi VIII dalam membuat suatu
2. Subjek dan Objek Penelitian
Subjek dalam penelitian ini adalah DPR RI Komisi VIII Bidang
Sosial, yakni Wakil Ketua Komisi VIII Ahmad Zainuddin, Lc, dan Ibu
Yoyoh Yusroh selaku Wakil Ketua Pansus Undang-Undang Pornografi
tahun 2008, dan yang menjadi objek dalam penelitian ini adalah
mengenai proses kebijakan publik berupa Undang-Undang Pornografi
yang dibuat oleh lembaga pemerintah dilihat dari segi prosesnya.
3. Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Gedung Nusantara 1 dan 2
MPR/DPR-RI, Jl. Jend. Gatot Soebroto, Jakarta Pusat, dan waktu penelitian
dilaksanakan pada bulan Februari – April 2011.
4. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini
adalah dengan wawancara, dan dokumentasi.
a. Wawancara adalah proses memperoleh keterangan untuk tujuan
penelitian dengan cara tanya jawab sambil bertatap muka
antara si penanya dengan yang ditanya (responden) dengan
menggunakan alat yang dinamakan interview guide (panduan wawancara). Wawancara dilakukan dengan narasumber Wakil
Ketua Komisi VIII Ahmad Zainuddin, Lc dan Ibu Yoyoh
Yusroh selaku Wakil Ketua Pansus Undang-undang Pornografi
tahun 2008.
b. Dokumentasi adalah pengumpulan data yang diperoleh dari
milik sendiri maupun data-data milik responden. Data agenda
rapat dalam proses pembahasan sebuah undang-undang
dibentuk, dalam hal ini Undang-undang Pornografi maupun
situs resmi dari DPR RI pada website www.dprri.go.id dan
www.jurnalparlemen.com
5. Teknik Analisis Data
Data temuan ditafsirkan dan disimpulkan melalui Model Rasional Komprehensif dalam Ilmu Komunikasi Politik yang memiliki ruang lingkup Langkah-langkah “rasional” dalam memilih alat yang paling efektif
untuk mencapai tujuan yang dinyatakan. Ia “komprehensif” dalam
mempertimbangkan setiap faktor yang relevan dengan setiap pilihan..1
Model Rasional Komprehensif membuat kebijakan memilih suatu pilihan,
mereka mengumpulkan dukungan dari lembaga-lembaga utama dan publik
melalui propaganda, pemimpin kelompok, prosedur pemaksaan dan
sebagainya.
E. Tinjauan Pustaka
Penelitian mengenai kebijakan publik dalam perspektif komunikasi politik
memang belum begitu banyak seperti penelitian komunikasi pada umumnya,
karena kebijakan publik merupakan tinjauan teori ilmu politik. Namun pada
proses pengambilan keputusan atau kebijakan mengacu kepada ilmu komunikasi,
seperti menyangkut opini publik melalui media massa.
1
Penelitian sebelumnya yang sudah mulai mengenai kebijakan publik, yakni
terdapat pada peneltian:
1. Januar Azhari, Pola Komunikasi Organisasi Nur Mahmudi sebagai
Walikota Depok dalam Implementasi Kebijakan Publik, KPI, 2007,
UIN Jakarta, mengungkapkan bahwa kebijakan publik yang telah dibuat
mampu diimplementasikan dan disosialisasikan kepada masyarakat
serta Nur Mahmudi Ismail selaku walikota Depok mengupayakan
bagaimana kebijakan publik tersebut bisa terlaksana dengan baik.
2. Nurrohimah, Kebijakan Moneter BI terhadap Pengelolaan Bank-Bank
Syariah di Indonesia, MD, 2009, UIN Jakarta, mengungkapkan bahwa
kebijakan moneter sebagai kebijakan publik merupakan sebuah
instrumen dalam menjalankan sebuah lembaga dengan melihat beberapa
indikator yang dibuat sendiri oleh lembaga tersebut, bukan sebagai
proses dalam mengambil sebuah kebijakan publik. Kebijakan moneter
dipandang sebagai sebuah kebijakan pola keteraturan dalam manajemen
sebuah lembaga pengelolaan sebuah bank.
3. Iril Pramadhana Waty, Wacana Kontroversi Undang-Undang Pornografi,
Jurnalistik (FIKOM), 2010, UNPAD, mengungkapkan bahwa adanya
upaya pembentukan opini publik terhadap wacana kontroversi
Undang-Undang Pornografi media massa, yang dalam hal ini adalah koran
Republika dan koran Media Indonesia. Penelitian tersebut dilakukan
berdasarkan isu kontroversi Undang-Undang Pornografi yang diangkat
menjadi tajuk koran tersebut, yang kemudian dianalisis melalui metode
wacana pada tingkat teks, kognisi sosial penulis, dan konteks sosial.
Hasil penelitian menunjukan mulai dari penggunaan kata, kesadaran
mental pembuat tajuk, hingga kekuasaan dan akses yang digunakan
kedua media merupakan hal yang disengaja dan merupakan upaya
pembentukan opini publik terhadap wacana kontroversi
Undang-Undang Pornografi.
4. Asharul Hakim, Konstestasi gagasan pluralisme dalam pembahasan
RUU Pornografi, Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP), 2010, UIN
Jakarta, yang mengemukakan bahwa pembahasan Undang-Undang
Pornografi sarat dengan polemik mengenai isu pluralisme, tidak hanya
itu saja tetapi dalam pembahasannya undang-undang tersebut bagi yang
kontra adalah suatu bentuk diskriminasi terhadap perempuan dan
anak-anak.
Dari keempat penelitian sebelumnya di atas dapat diketahui bahwa memiliki
kesamaan pada penelitian ini, yaitu pada penelitian Januar memiliki kesamaan
pada tinjauan teori yang diungkap yakni mengenai kebijakan publik, namun kajian
kebijakan publik dalam konteks skrispsi tersebut lebih kepada hasilnya saja dari
kebijakan yang telah dibuat oleh seorang pejabat, dalam hal ini adalah Walikota
Depok. Peneliti tersebut sebenarnya lebih mengedepankan mengenai hal pola
komunikasi yang menghasilkan kebijakan publik. Tetapi untuk metodologi
penelitian memiliki kesamaan, yaitu menggunakan pendekatan kualitatif untuk
Seperti contohnya, salah satu kebijakan yang dibuat yakni dengan
meluncurkan buku statistik dan perkembangan kota depok sebagai wadah
birokrasi dan program.
Jelas penelitian ini memiliki perbedaan dengan penelitan yang dilakukan
pada proposal ini, yang lebih menekankan pada bagaimana proses sebuah
kebijakan publik dibuat. Terlebih lagi kebijakan publik bukan sebagai kebijakan
sosialisasi program dari sebuah pola komunikasi yang dijalankan.
Kemudian pada penelitian kedua, Nurrohimmah memiliki persamaan dalam
konteks kebijakan publik, namun dalam hal ini kebijakan publik yang diambil
adalah kebijakan publik yang berupa kebijakan moneter dalam kajian ilmu
manajemen.
Sama halnya dengan penelitian yang dibahas sebelumnya, penelitian ini
menggunakan pendekatan yang sama yaitu sama-sama melakukan penelitian
dengan pendekatan kualitatif dan melihat kebijakan publik sebagai sebuah alat,
bukan bagaimana kebijakan itu sendiri dibuat.
Selanjutnya pada penelitian Iril dan Asharul Hakim, memiliki persamaan
pada penelitian ini yaitu kajian objek mengenai Undang-Undang Pornografi. Yang
membedakan penelitian ini dari keduanya adalah penelitian ini menitikberatkan
pada UUP sebagai hasil negosiasi dan tarik ulur kepentingan dari sebuah
kebijakan melalui proses yang dilalui, sedangkan pada penelitian Iril, kajian
Undang-Undang Pornografi diteliti sebagai sebuah wacana dalam media massa
dalam membentuk opini publik melalui analisis wacana kritis model Teun A. Van
F. Kerangka Teori
Dalam kajian ilmu komunikasi politik, kebijakan publik merupakan bagian
dari konsep yang terdapat didalamnya. Komunikasi politik sangat diperlukan
mengomunikasikan sebuah kebijakan yang telah dibuat untuk menghubungkan
antara pemerintah dengan rakyatnya. Dengan kata lain, pemerintah mampu
menjalankan proses sosialisasi politik melalui kebijakan publik.
Kebijakan publik yang dibuat pun sebelum sampai kepada masyarakat,
dalam prosesnya memerlukan proses komunikasi untuk dapat mencapai
kesepakatan. Komunikasi yang dilakukan pun dalam lingkup komunikasi politik
dengan proses dan tahapan-tahapan tertentu. Proses dan tahapan-tahapan dari
suatu kebijakan publik dianalisis melalui teori komunikasi kebijakan. Komunikasi
Politik
Komunikasi Kebijakan Publik
DPR
(Lembaga Pembuat Kebijakan)
UUP (Undang-Undang
Pornografi) Analisis Komunikasi
Kebijakan Publik
G. Pedoman Penulisan
Pedoman penulisan ini menggunakan buku Pedoman Penulisan Karya Ilmiah: Skripsi, Tesis, dan Disertasi. Nasuhi, Hamid dan kawan-kawan Jakarta: CeQDA, 2007.
H. Sistematika Penulisan
BAB I PENDAHULUAN, yang mencakup latar belakang masalah yang
diteliti, batasan dan rumusan masalah, tujuan dan manfaat dari penelitian ini,
metodologi penelitian yang digunakan, tinjauan pustaka, pedoman, dan
sistematika penulisan.
BAB II KAJIAN TEORITIS, yang terdiri dari Komunikasi Politik mencakup pengertian, konsep-konsep yang terkait dengan komunikasi politik,
supra struktur, infrastruktur politik, dan fungsi komunikasi politik. Kebijakan
publik yang mencakup pengertian, sifat-sifat kebijakan publik, faktor-faktor
yang mempengaruhi kebijakan, aktor kebijakan publik, dan proses kebijakan
publik. Teori Komunikasi Kebijakan (Model Rasional Komprehensif) yang
mencakup pengertian, langkah-langkah yang dibuat, dan faktor luar
komunikasi kebijakan. Kemudian Opini Publik dan Kebijakan Publik yang
mencakup pengertian, hubungan antara opini publik dan kebijakan publik, dan
skema opini publik serta kebijakan publik.
BAB III GAMBARAN UMUM, mencakup Sejarah DPR RI, Visi dan Misi
DPR RI, Keanggotaan DPR RI Periode 2009-2014, Tugas dan Wewenang
DPR RI, Hak dan Kewajiban DPR RI, Masa Sidang dan Masa Reses DPR RI,
Undang-Undang (UU), Komisi VIII DPR RI, dan Harapan terhadap Fungsi
Legislasi DPR RI.
BAB IV ANALISIS PERUMUSAN UNDANG-UNDANG PORNOGRAFI
SEBAGAI KEBIJAKAN PUBLIK KOMISI VIII DPR RI, mencakup Latar Belakang Undang-undang Pornografi, Undang-undang Pornografi
sebagai Kebijakan Publik Komisi VIII DPR RI. Implementasi Model Rasional
Komprehensif, Penetapan Masalah (Fokus Masalah) dalam merumuskan
Undang-undang Pornografi, Tujuan, Nilai dan Sasaran Undang-undang
Pornografi, Alternatif Kebijakan serta Konsekuensi Perumusan
Undang-undang Pornografi, Pengorbanan dan Keuntungan dari setiap Alternatif
Pemecahan Undang-undang Pornografi. Perkembangan serta Penerapan
Undang-undang Pornografi.
BAB V PENUTUP, mencakup simpulan tentang hasil penelitian dan saran.
16
Dalam menganalisis sebuah kebijakan publik diperlukan beberapa teori
yang menjadi rujukan dalam memahami konsep tersebut. Untuk itu hal yang
berkaitan dengan proses kebijakan publik diantaranya, yaitu:
A. Komunikasi Politik
Segala bentuk kegiatan manusia pastinya memerlukan komunikasi dalam
menjalankan kegiatannya tersebut. Komunikasi masuk di segala bidang, dan salah
satunya dalam kegiatan politik ini. Politik sendiri menurut Deliar Noer dapat
diartikan sebagai aktifitas atau sikap yang berhubungan dengan kekuasaan dan
yang bermaksud untuk mempengaruhi dengan jalan mengubah atau
mempertahankan suatu bentuk susunan masyarakat.1
Komunikasi dalam proses politik, dimaknai sebagai upaya-upaya
pembentukan kesepakatan. Kesepakatan dalam hal ini adalah berupa
kepentingan-kepentingan yang ada dalam segala proses politik, sehingga memerlukan
komunikasi untuk mampu mengartikulasikannya dalam mencapai kesepakatan
tersebut.
Gabriel A. Almond, menyatakan bahwa komunikasi politik adalah salah
satu fungsi yang selalu ada dalam setiap sistem politik. “All of the functions perfomed in the political system, political socialization and recruitment, interest
1
articulation, interest aggregation, rule making, rule application, and rule adjudication are performed by means of communication.”2 Komunikasi politik merupakan proses penyampaian pesan-pesan yang terjadi pada saat keenam fungsi
lainnya itu dijalankan.
Konsep-konsep yang terkait dalam komunikasi politik, yaitu:
a. Negara (State)
Negara adalah suatu organisasi dalam suatu wilayah yang mempunyai
kekuasaan tertinggi yang sah dan ditaati oleh rakyatnya.
b. Kekuasaan (Power)
Kekuasaan merupakan kemampuan seseorang atau kelompok untuk
mempengaruhi tingkah laku orang atau kelompok lain sesuai dengan
keinginan dari pelaku.
c. Pengambilan Keputusan (Decision Making)
Pengambilan keputusan adalah proses membuat pilihan di antara
beberapa alternatif sehingga keputusan itu tercapai sebagai konsep
pokok dalam politik dalam menyangkut keputusan-keputusan yang
diambil secara kolektif dan mengikat seluruh masyarakat.
d. Kebijakan (Policy)
Kebijakan adalah kumpulan keputusan yang diambil oleh seorang
pelaku atau kelompok politik dalam memilih tujuan-tujuan dan
cara-cara untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut.
e. Pembagian (Distribution) atau Alokasi (Allocation)
2
Pembagian dan pengalokasian dari nilai (values) dalam masyrakat, seperti pembagian dalam jabatan publik.3
Dalam kehidupan berpolitik, komunikasi politik biasa dilakukan oleh level
pemerintah maupun orang-orang dalam lingkup kegiatan politik, yang mencakup
supra struktur politik dan infra struktur politik, yaitu:
a. Supra Struktur Politik
Supra struktur politik merupakan struktur politik pemerintah atau
struktur politik kenegaraan. Struktur ini meliputi kehidupan politik
pemerintahan (the governmental political sphere). Seperti, MPR, DPR, BPK dan MA, komunikasi yang dijalankan mencakup:
1. Seluruh kebijakan yang menyangkut kepentingan warga.
2. Upaya meningkatkan loyalitas dan integrasi nasional.
3. Penerapan aturan dan perundang-undangan untuk menjaga
ketertiban dan kehormatan dalam hidup bernegara.
4. Mendorong terwujudnya partisipasi masyarakat dalam mencapai
tujuan nasional.
b. Infra Struktur Politik
Infra struktur politik merupakan struktur politik kemasyarakatan.
Berkenaan dengan suasana kehidupan politik rakyat (socio political sphere) yakni berkaitan dengan pengelompokan warga negara dan anggota masyarakat ke dalam berbagai macam golongan yang biasanya
disebut sebagai kekuatan sosial politik dalam masyarakat, yang
meliputi: partai politik (political party), kelompok kepentingan (interest
3
group), kelompok penekan (pressure group), media komunikasi politik (political communication media), dan tokoh politik (political figure). Komunikasi yang dilaksanakan oleh infrastruktur politik biasanya
adalah:
1. Sosialisasi yang merupakan transmisi nilai-nilai politik.
2. Edukasi yang merupakan proses pendidikan untuk penyadaran
hak-hak dan kewajiban politik masyarakat.4
Ada pun fungsi dari komunikasi politik yang dijalankan oleh para aktor
politik adalah:
1. Fungsi artikulasi, agregasi, sosialisasi, dan rekrutmen dalam kegiatan
politik para aktor politik.5
2. Fungsi sosialisasi politik kepada masyarakat,
3. sebagai penghubung antara pemerintah dengan rakyat, baik dalam
rangka mobilisasi sosial untuk implementasi hubungan, memperoleh
dukungan, kepatuhan, dan integrasi politik,
4. sebagai umpan balik (feed back) atas sejumlah output (kebijakan pemerintah),
5. menjadi cara atau teknik penyerahan tuntutan dan dukungan sebagai
input dalam sistem politik,
6. sebagai kekuatan kontrol sosial guna memelihara idealisasi sosial dan
keseimbangan politik,
4
Gun Gun Heryanto, Handout Perkuliahan Mata Kuliah Komunikasi Politik: Materi 2
(Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah, 2010), h. 2.
5
7. memberi ancaman (coertion) untuk memperoleh kepatuhan sebelum alat paksa digunakan, sekaligus hal ini juga memberikan batasan-batasan
mengenai hal-hal yang ditabukan.6
B. Kebijakan Publik
Kebijakan publik adalah apa yang dipilih oleh pemerintah untuk
dikerjakan.7 Melalui definisi ini mendapat pemahaman bahwa terdapat perbedaan
antara apa yang akan dikerjakan pemerintah dan apa yang sesungguhnya harus
dikerjakan oleh pemerintah.
Dalam Ilmu Komunikasi Politik, kebijakan publik (Public Policy), adalah kumpulan keputusan yang diambil oleh seseorang pelaku atau kelompok politik
dalam memilih tujuan-tujuan dan cara-cara untuk mencapai tujuan tersebut. Pada
prinsipnya pihak-pihak yang membuat kebijakan itu mempunyai kekuasaan untuk
melaksanakannya.
Kebijakan publik menitikberatkan pada apa yang Dewey katakan sebagai
“publik dan problem-problemnya,” dan kebijakan publik membahas soal
bagaimana isu-isu dan persoalan-persoalan tersebut disusun (constructed) dan didefinisikan serta bagaimana kesemuanya itu diletakkan dalam agenda kebijakan
dan agenda politik.8
6
Gun Gun Heryanto, Handout Perkuliahan Mata Kuliah Komunikasi Politik: Materi 2, h. 7-8.
7
Leo Agustino, Perihal Ilmu Politik: Sebuah Bahasan Mengenai Ilmu Politik
(Yogyakarta: Graha Ilmu, 2007), h. 165-166.
8
Kebijakan publik adalah tentang apa yang dilakukan pemerintah, mengapa
pemerintah mengambil tindakan tersebut, dan apa akibat dari tindakan tersebut.9
Sebuah analisis kebijakan merupakan kajian terhadap kebijakan publik yang
bertujuan untuk mengintegrasikan dan mengontekstualisasikan model dan riset
dari disiplin-disiplin tersebut yang mengandung orientasi problem dan kebijakan.
Harold D. Laswell menyebutkan bahwa orientasi kebijakan meliputi hal-hal
berikut, yaitu:
a. multi method, tidak cukup jika hanya menggunakan satu pendekatan tetapi melalui beberapa faktor untuk mengetahui proses suatu kebijakan
publik,
b. multi disciplinary, kebijakan publik terdiri dari berbagai disiplin ilmu sosial,
c. berfokus pada problem (problem focused),
d. berkaitan dengan pemetaan kontekstualitas proses kebijakan, opsi
kebijakan, dan hasil kebijakan, dan
e. bertujuan untuk mengintegrasikan pengetahuan ke dalam suatu disiplin
yang menyeluruh (overarching) untuk menganalisis pilihan publik dan pengambilan keputusan dan karenanya ia ikut berperan dalam
demokratisasi masyarakat.10
Dari definisi yang sudah berkembang, maka dapat disimpulkan beberapa
karakteristik utama dari suatu definisi kebijakan publik, yaitu:
9
Wayne Parson, Public Policy: Pengantar Teori dan Praktik Analisis Kebijakan.
10
a. Pada umumnya kebijakan publik perhatiannya ditujukan pada tindakan
yang mempunyai maksud atau tujuan tertentu dari pada perilaku yang
berubah atau acak.
b. Kebijakan publik pada dasarnya mengandung bagian atau pola kegiatan
yang dilakukan oleh pejabat pemerintah daripada keputusan yang
terpisah-pisah.
c. Kebijakan publik merupakan apa yang sesungguhnya dikerjakan oleh
pemerintah dalam mengatur sebuah negara.
d. Kebijakan publik dapat berbentuk negatif maupun positif.
e. Kebijakan publik didasarkan pada hukum dan merupakan tindakan yang
bersifat memerintah.
Adapun sifat-sifat dari kebijakan publik, dapat dimengerti secara baik
dengan melihat kategorinya. Leo Agustino dalam bukunya Perihal Ilmu Politik membaginya dalam beberapa kategori yaitu:
1. Policy Demand (Permintaan Kebijakan)
Merupakan klaim yang dibuat oleh warga masyarakat secara pribadi atau
kelompok dengan resmi dalam sistem politik oleh karena adanya masalah
yang mereka rasakan.
2. Policy Decision (Putusan Kebijakan)
Putusan yang dibuat oleh pejabat publik yang memerintahkan untuk
memberi arahan pada kegiatan-kegiatan kebijakan, biasanya
mengumumkan perintah eksekutif.
Pernyataan secara formal atau artikulasi dari keputusan politik yang telah
ditetapkan. Dalam hal ini merupakan ketetapan legislatif.
4. Policy Output (Hasil Kebijakan)
Output kebijakan adalah apa yang dikerjakan pemerintah, yang
merupakan kebijakan yang dititikberatkan pada masalah-masalah seperti
pembangunan jalan, pedagang kaki lima, dan lain lain.
5. Policy Outcomes (Akibat dari Kebijakan)
Akibat dari kebijakan adalah konsekuensi kebijakan yang diterima
masyarakat, baik yang diinginkan atau yang tidak diinginkan, yang
berasal dari apa yang dikerjakan atau yang tidak dikerjakan oleh
pemerintah.11
Faktor-faktor yang mempengaruhi pengambilan keputusan
a. Political Values, nilai-nilai atau standar-standar politik. Pembuat keputusan dapat mengevaluasi alternatif kebijakan untuk kepentingan
partai politiknya atau kelompoknya, maka hal ini menggambarkan
bagaimana nilai-nilai politis dapat merangsek masuk dalam setiap
pengambilan keputusan yang dilakukan oleh pengambil keputusan.
b. Organization Values, nilai-nilai atau standar-standar organisasional. hal yang paling menonjol adalah bagaimana, misalnya organisasi yang
berorientasi konservatif berhadapan dengan organisasi yang
berpandangan revolusioner akan menghasilkan
argumentasi-argumentasinya yang berbeda dalam penetapan keputusan.
11
c. Personal Values, atau nilai-nilai personal. Hal ini berkenaan dengan teori tentang ketidaksamaan manusia. Ketidaksamaan manusia ini bisa
dilihat dari dua sisi, yang pertama adalah ketidaksamaan yang
disebabkan oleh ketidakberpenuhan mental. Yang kedua, ketidaksamaan
kemampuan yang berbeda dari masing-masing individu.
d. Policy Values, adalah nilai-nilai atau standar-standar kebijakan yang berwarna kepentingan publik. Menyimpulkan bahwa keputusan politik
yang dibuat hanya dipengaruhi oleh pertimbangan politik, organisasi,
atau kepentingan pribadi. Pembuat keputusan dapat bertindak dengan
baik berdasarkan persepsi mereka mengenai kepentingan publik atau
kepercayaan pada kebijakan publik yang secara moral benar atau pantas.
e. Ideological Values, nilai-nilai atau standar-standar ideologis. Ideologis adalah sekumpulan kepercayaan dan nilai yang berhubungan secara
logis yang memberikan gambaran sederhana mengenai dunia dan cara
bertindak sebagai petunjuk bagi seseorang untuk berperilaku.12
Di Indonesia, pada era reformasi para aktor kebijakan (lembaga-lembaga
negara dan pemerintah yang berwenang membuat perundang-undangan atau
kebijakan publik) itu adalah:
1. Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR)
2. Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)
DPR memiliki kedudukan yang strategis dalam membentuk sebuah
Undang-Undang. Hal ini sebagaimana yang diungkapkan pada pasal 21
12
ayat (1), bahwa DPR memiliki hak legislasi, hak mengajukan dan
membuat Undang-Undang Dasar.
3. Presiden
Dalam menjalankan pemerintahan negara, kekuasaan dan tanggung
jawab ada di tangan Presiden (Concentration of power and responsibility upon the president). Presiden diberi wewenang mengatur sebagaimana dinyatakan dalam pasal 5 ayat (1) UUD 1945, pasal ini
memberikan wewenang kepada presiden untuk membentuk
undang-undang dengan persetujuan DPR. Dalam pasal lain, yaitu Pasal 22
bahkan presiden diberikan kewenangan untuk menetapkan peraturan
pemerintah pengganti undang-undang (Perpu) dalam hal negara, jika
dalam suatu keadaan genting yang memaksa.
4. Pemerintah;
a. Presiden sebagai kepala pemerintahan (pemerintah pusat),
b. Menteri,
c. Lembaga Pemerintah Non-Departemen,
d. Direktorat Jenderal (Dirjen),
e. Badan-badan Negara Lainnya, (Bank Sentral, BUMN, dll),
f. Pemerintah Daerah Propinsi,
g. Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota,
h. Kepala Desa,
5. Dewan Perwakilan Daerah Propinsi,
7. Badan Perwakilan Desa (BPD). 13
Dibawah ini terdapat tabel mengenai aktor kebijakan publik beserta
wewenang yang dilakukan, meskipun diketahui bahwa pasca reformasi
kemungkinan akan terjadinya perubahan dan pergeseran dari aktor maupun
perannya,
Tabel 2.1 Klasifikasi Aktor Politik beserta Wewenangnya
Nama Lembaga (Aktor)
Peran (Wewenang) Aktor
MPR a. Menetapkan UUD.
b.Menetapkan TAP MPR.
c. Menetapkan Garis-garis Besar Haluan Negara. Presiden a. Mengesahkan Undang-Undang Dasar
b.Menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang.
DPR Membentuk Undang-Undang Dasar
Pemerintah a. Menetapkan Peraturan Pemerintah (PP) untuk melaksanakan Undang-Undang.
b.Menetapkan Keputusan Presiden (Keppres).
c. Menetapkan Instruksi Presiden (Inpres) yang berisi petunjuk-petunjuk kepada instansi dibawahnya dalam rangka melaksanakan ketentuan-ketentuan dalam UUD, TAP MPR, UU, dan PP.
Menteri Menetapkan Peraturan Menteri (Permen) atau Keputusan Menteri (Kepmen) sebagai peraturan pelaksanaan.
Lembaga Pemerintah Non Depertemen
Menetapkan peraturan-peraturan yang bersifat teknis, yaitu peraturan pelaksanaan dari perundang-undangan yang lebih tinggi derajatnya.
Direktorat Jenderal (Dirjen) Menetapkan/mengeluarkan peraturan-peraturan pelaksanaan yang bersifat teknis di bidangnya masing-masing.
Badan-badan Negara Lainnya Mengeluarkan/menetapkan peraturan-peraturan pelaksanaan yang berisi perincian dari kententuan-ketentuan perundang-undangan yang mengatur dibidang tugas dan fungsinya masing-masing.
Pemerintah Propinsi Menetapkan Peraturan Daerah Propinsi (Perda Propinsi) atas persetujuan DPRD Propinsi.
Pemerintah Kabupaten/Kota Menetapkan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota (Perda Kabupaten/Kota) atas persetujuan DPRD
13
Kabupaten/Kota.
Kepala Desa Menetapkan Peraturan dan Keputusan Desa dengan Persetujuan Badan Perwakilan Desa (BPD).
DPRD Propinsi Menetapkan Peraturan Daerah Propinsi (Perda Propinsi) bersama dengan Pemerintah Daerah Propinsi.
DPRD Kabupaten/Kota Menetapkan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota bersama-sama dengan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota.
BPD Menetapkan Peraturan Desa atau Keputusan Desa bersama-sama dengan Kepala Desa.
Sumber: http://www.unitomo.ac.id/
Dalam menganalisis sebuah kebijakan publik, sebenarnya cukup sulit
dikarenakan dalam mencapai kesepakatan sebuah keputusan diperlukan masukan
dari berbagai pihak yang mempunyai kepentingan dalam suatu permasalahan yang
akan dirumuskan. Komunikasi yang dilakukan tidak cukup berhasil jika tidak
adanya negosiasi, tarik ulur dari berbagai kepentingan di dalamnya, belum lagi
para pemilik kekuasaan yang mempunyai otoritas terbesar dalam suatu kebijakan.
Maka, diperlukan beberapa tahap untuk mengetahui proses suatu kebijakan bisa
dirumuskan hingga mampu diimplementasikan di masyarakat.
James Anderson sebagai pakar kebijakan publik, menetapkan proses
kebijakan publiksebagai berikut:
a. Formulasi masalah (problem formulation)
Untuk dapat mengkaji sesuatu masalah publik diperlukan teori,
informasi dan metodologi yang relevan dengan permasalahan yang
dihadapi. Sehingga identifikasi masalah akan tepat dan akurat,
selanjutnya dikembangkan menjadi policy question yang diangkat dari policy issues tertentu.
Dimana formulasi untuk mengembangkan alternatif-alternatif untuk
memecahkan masalah. Alternatif adalah sejumlah alat atau cara-cara
yang dapat dipergunakan untuk mencapai, langsung ataupun tidak
langsung sejumlah tujuan yang telah ditentukan. Alternatif-alternatif
kebijakan dapat muncul dalam pikiran seseorang karena beberapa hal:
(1) Berdasarkan pengamatan terhadap kebijakan yang telah ada. (2)
Dengan melakukan semacam analogi dari suatu kebijakan dalam
sesuatu bidang dan dicoba menerapkannya dalam bidang yang tengah
dikaji, (3) merupakan hasil pengkajian dari persoalan tertentu.
c. Penentuan kebijakan (adoption)
Alternatif-alternatif yang ada perlu dinilai berdasarkan kriteria
sebagaimana yang dimaksud pada point sebelumnya diatas. Tujuan
penilaian adalah mendapatkan gambaran lebih jauh mengenai tingkat
efektivitas dan fisibilitas tiap alternatif dalam pencapaian tujuan,
sehingga diperoleh kesimpulan mengenai alternatif mana yang paling
layak , efektif dan efisien.
d. Implementasi (implementation)
Menghasilkan informasi tentang konsekuensi sekarang dan masa lalu
dari diterapkannya alternatif kebijakan.
e. Evaluasi (evaluation)
Evaluasi yang menyediakan informasi mengenai nilai atau kegunaan
dari konsekuensi pemecahan atau pengatasan masalah. Mengetahui
adakah tuntutan untuk melakukan perubahan atau pembatalan. 14
14
Pada dasarnya, memang tidak ada kebijakan yang akan mencapai
kesempurnaan dan kepuasan sesuai dengan apa yang menjadi tuntutan yang
masuk (input). Namun, baiknya sebuah kebijakan dibuat harus memperhatikan
segala faktor, mau mendengarkan dari manapun aspirasi yang datang.
C. Teori Komunikasi Kebijakan (Model Rasional Komprehensif)
Menskemakan garis-garis komunikasi dua arah menghubungkan warga
negara dan pejabat, yakni apa yang disebut dalam komunikasi politik. Pertama
bisa dilihat hubungan opini kebijakan sebagai proses penggambaran penyajian
cara-cara alternatif dari opini rakyat, massa, dan kelompok yang diperhitungkan
oleh pemegang jabatan dalam membentuk kebijakan pemerintah. Hal yang kedua,
dapat diteliti komplikasi-komplikasi yang berkaitan dengan tipe-tipe utama
komunikasi kebijakan. Langkah yang terakhir adalah dengan meninjau
masalah-masalah dalam mempertaruhkan proses kebijakan dalam demokrasi.
Model rasional komprehensif bermaksud melukiskan suatu cara
mengorganisasi komunikasi kebijakan untuk memperoleh keputusan.
Langkah-langkah yang ditempuh antara lain:
1. Pembuat kebijakan memperhitungkan masalah yang memerlukan
tindakan, masalah yang terpisah dari bidang masalah yang lain.
2. Pembuat kebijakan menjelaskan tujuan, nilai, dan sasaran yang harus
dicapai dalam menangani masalah tersebut.
3. Pembuat kebijakan mengidentifikasi pemecahan dan meneliti
masing-masing. Penelitian ini mempertimbangkan seluruh informasi mengenai
4. Pembuat kebijakan mempertimbangkan pengorbanan dan keuntungan
relatif dari setiap alternatif, membandingkan pilihan, dan memilih
alternatif yang memaksimalkan tujuan, nilai, dan sasaran yang telah
disepakati. 15
Langkah-langkah tersebut “rasional” dalam memilih alat yang paling efektif
untuk mencapai tujuan yang dinyatakan. Ia “komprehensif” dalam
mempertimbangkan setiap faktor yang relevan dengan setiap pilihan.
Setelah membuat kebijakan memilih suatu pilihan, mereka mengumpulkan
dukungan dari lembaga-lembaga utama dan publik melalui propaganda, pemimpin
kelompok, prosedur pemaksaan dan sebagainya. Jadi, prosedur rasional
komprehensif untuk merumuskan kebijakan mengandung hubungan yang erat
dengan pendekatan kontrol sosial untuk mencapai tatanan. Dalam buku Dan
Nimmo dikatakan, orang berkumpul untuk membahas arah tindakan bagi
kesejahteraan mereka bersama, untuk berbagi gagasan, dan untuk membuat
konsensus sehingga setelah cukup dipertimbangkan, mereka bisa bertindak secara
kolektif. Tujuannya adalah mencapai konsensus yang sebagian besar disepakati
oleh setiap orang.16
Akhirnya, dengan berasumsi bahwa kebijakan yang disepakati itu
merefleksikan pemecahan yang “terbaik,” cukup mengetahui persuasi untuk
menyadari bahwa meyakinkan penduduk terhadapnya (sehingga mereka akan
memberikan suara kepadanya dalam plebisit atau sekadar diam-diam
15
Dan Nimmo, Komunikasi Politik: Khalayak dan Efek (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2006), h. 224.
16
menyetujuinya melalui perilaku patuh) melibatkan lebih daripada instruksi
pemerintah atas kebaikan kebijakan dan keburukkan pilihan lainnya.17
Dalam membuat sebuah keputusan yang akhirnya disahkan menjadi sebuah
kebijakan tidaklah mudah, banyak faktor yang harus diperhatikan meskipun sudah
dianalisis melalui cara, metode, dan model komunikasi yang dilakukan. Faktor
luar (external)dari komunikasi kebijakan antara lain:
a. Dukungan massa kepada lembaga pembuat kebijakan
Para pembuat kebijakan tidak hanya mengkhawatirkan popularitas
mereka, tetapi juga mengkhawatirkan berapa banyaknya dukungan yang
diberikan oleh rakyat kepada lembaga pembuat kebijakan. Konsensus
massa yang dikomunikasikan kepada pembuat kebijakan itu
menunjukkan bahwa sekurang-kurangnya dalam arti abstrak dan
tergeneralisir, rakyat memberikan dukungan yang cukup kepada
lembaga-lembaga politik untuk pejabat pemerintah dalam menjalankan
pemerintahannya sehari-hari.
b. Peran media massa dalam komunikasi kebijakan
Sekurang-kurangnya disebutkan ada dua hal yang dilakukan media
massa sebagaisumber pesan bagi pembuat kebijakan dalam menaksir
opini publik, yaitu:
1. kecendrungan beberapa pejabat kebijakan untuk melakukan
kesalahan jurnalistik dengan menganggap bahwa isi berita dan isi
editorial pers sinonim dengan opini publik,
17
2. tindakan media massa sebagai sumber pesan politik ialah melalui
penetapan agenda dan pembuatan fungsi media, yakni memperbesar
kontroversi politik, mengajukannya agar mendapat perhatian
pembuat kebijakan, dan mengumpulkannya agar mendapat perhatian
pembuat kebijakan serta mengumpulkan dukungan melalui
kelompok kepentingan maupun kawan dan lawan.
c. Pesan dalam gerakan massa
Gerakan massa mengkomunikasikan tiga jenis tuntutan kepada
pembuat kebijakan:
1. Gerakan yang ditujukan untuk memperoleh keuntungan material
seketika bagi penganutnya. Contoh: gerakan mendukung rencana
peredistribusian kekayaan Amerika bagi golongan tua.
2. Tuntutan tentang status. Contoh: gerakan yang mendukung
untuk mempertahankan status penguasa dari kelas kulit putih.
3. Menyajikan jalan keluar bagi pengungkapan perasaan. Contoh:
gerakan kebebasan wanita
d. Pesan dari yang terorganisasi: mendengarkan partai politik
Pandangan politik dari partai politik merupakan riwayat pemberian
suara dari pemegang jabatan. Partai politik biasa digunakan untuk
mengirimkan pesan kepada pejabat pembuat kebijakan. Dengan
bertindak sebagai garis utama komunikasi antara warga negara dan
e. Pesan dari yang terorganisasi: mendengarkan kelompok kepentingan
Orang yang berpartisipasi dalam kelompok kepentingan politik
jarang merupakan wakil opini rakyat ataupun opini massa rata-rata.
Schttchneider menuduh sistem tekanan (istilah yang dipakainya untuk
kelompok kepentingan khusus yang terorganisasi) memobilisasi
orang-orang dalam kelompok kepentingan dan mengorkanisasi prasangka
(bias) untuk kelompok kepentingan yang berusaha memperoleh hak-hak
istimewa.
Kemungkinan komunikasi lobbyists dalam kelompok kepentingan, lobbying yaitu komunikasi dengan pembuat kebijakan oleh orang yang mengklaim berbicara atas nama kepentingan dengan tujuan
mempengaruhi keputusan pemerintah.
f. Pesan dari yang terorganisasi: mendengarkan sesama pejabat
Penting untuk diingat bahwa pembuat kebijakan biasanya memiliki
jauh lebih banyak kesamaan satu sama lain sebagai sesama politikus dan
pejabat ketimbang dengan para pemilih mereka, loyalitas partai, atau
anggota golonga yang berpengaruh. Tidak mengherankan jika mereka
berbalik satu sama lain untuk meminta tolong dalam menyusun citra
tentang opini publik dan bagaimana bertindak sesuai dengan hal itu.18
Jika berbicara sesuai prosedural maupun idealis, sebenarnya banyak sekali
faktor yang harus diperhatikan oleh pejabat pembuat kebijakan untuk mencapai
sebuah kebijakan yang tepat sasaran. Memang tidak mudah, sehingga tidak jarang
18
kebijakan yang telah dibuat justru menjadi boomerang sendiri baik bagi si
pembuat kebijakan maupun rakyat yang menjadi target dari kebijakan.
Kebijakan baiknya diciptakan untuk dipatuhi karena dalam prosesnya sudah
harus melalui pertimbangkan dari berbagai pihak. Dan tidak sedikit pula aspirasi
yang ditampung. Pada akhirnya, kebijakan yang dibuat bisa menjadi baik atau
tidak tergantung bagaimana para pejabat pembuat kebijakan mampu
mengakomodir berbagai kepentingan dalam sebuah kebijakan.
D. Opini Publik dan Kebijakan Publik
Opini publik merupakan pendapat sebagian besar rakyat dalam mengkritisi
masalah publik. Dalam pengertiannya opini adalah suatu respon aktif terhadap
stimulus, suatu respon yang dikonstruksi melalui interpretasi pribadi yang
berkembang dari dan menyumbang imej. Sedangkan, publik merupakan kumpulan
orang-orang yang sama minat dan kepentingannya terhadap suatu isu. Jadi,opini
publik adalah suatu opini yang menyangkut isu, atau kejadian yang mengandung
keprihatinan (concern) publik.19
Bagi sebuah negara demokrasi, seperti Indonesia, opini publik merupakan
hal yang sangat mendasar. Karena, sebuah negara demokrasi merupakan
pemerintahan yang berdasarkan oleh kehendak rakyat, dimana suara rakyat
merupakan dasar dari sebuah pemerintah demokrasi yang dijalankan. Kekuasan
terbesar berada ditangan rakyat, maka jika suara rakyat diabaikan tidak mungkin
pula kekuasan akan dijatuhkan pula oleh rakyat.
19
Gun Gun Heryanto, Handout Perkuliahan Mata Kuliah Komunikasi Politik:Materi-6,
Hubungan antara opini publik dan kebijakan publik sangatlah erat, hal ini
bisa dilihat dari siapa yang mengeluarkan pendapat dan struktur dari pendapat
tersebut. Umumnya kebijakan publik berkaitan erat dengan pendapat-pendapat
yang disampaikan oleh orang-orang yang memiliki perhatian yang tinggi dan juga
yang aktif secara langsung dalam aktifitas politik dibanding dengan orang-orang
yang tidak punya perhatian atau bersikap pasif.20
Pada umumnya, opini publik yang menjadi perhatian dari pembuat
kebijakan terdapat dalam wawancara atau talk show di acara televisi, maupun di
media-media yang memuat suara pembaca, suara pemirsa, artikel surat kabar,
tulisan kolom, SMS, media online, dan sebagainya. Selain dari media, pendapat
umum (opini publik) lain yang menjadi perhatian adalah pendapat umum yang
diwadahi oleh organisasi kemasyarakatan seperti LSM yang biasa datang atau
melakukan orasi dengan berdemo untuk menyuarakan pendapatnya, atau datang
langsung ke lembaga pembuat kebijakan seperti DPR yang menyediakan Rapat
Dengar Pendapat (RDP) dengan mengundang atau datang sendiri untuk
menyatakan pendapat.
Kebijakan publik menunjuk pada keinginan penguasa atau pemerintah yang
idealnya dalam masyarakat demokratis merupakan cerminan pendapat umum
(opini publik). Untuk mewujudkan keinginan tersebut dan menjadikan kebijakan
tersebut efektif maka diperlukan beberapa hal, yaitu:
1. Adanya seperangkat hukum berupa peraturan dan perundang-undangan
sehingga dapat diketahui publik apa yang telah diputuskan.
2. Kebijakan juga harus jelas struktur pelaksanaan dan pembiayaannya.
20
3. Diperlukan adanya kontrol publik yakni mekanisme yang memungkinkan
publik mengetahui apakah kebijakan ini dalam pelaksanaannya
mengalami penyimpangan atau tidak. 21
Opini publik dalam sebuah kebijakan publik bisa berupa tuntutan atau
dukungan, berikut ini proses bagaimana sebuah opini baik berupa tuntuan maupun
dukungan menjadi sebuah kebijakan (output), yang bisa dilihat dari pendekatan
analisis sistem yang diungkapan oleh David Easton 22, yaitu:
Gambar 2.1 Proses Opini Publik Menjadi Sebuah Kebijakan
I O N Tuntutan Keputusan U P T
U P
T Dukungan Kebijakan U
T
Umpan Balik
Lingkungan Lingkungan
Sumber: Materi Pokok Opini Publik: 1-9 Universitas Terbuka
Penjelasan:
1. Bagi sebuah negara maju, apa yang menjadi kepentingan maupun
kebutuhan diri dan kelompok dikemukakan lewat berbagai saluran atau
kelompok baik kelompok kepentingan ataupun kelompok penekan.
Kelompok yang mengartikulasikan kepentingan anggota masyarakat ini
selanjutnya oleh Almond disebut dengan kelompok kepentingan.
21
Trubus Rahardiansah, Pengantar Ilmu Politik: Paradigma, Konsep Dasar, dan Relevansinya untuk Ilmu Hukum, h. 293.
22
Betty RFS. Soemirat dan Eddy Yehuda, Materi Pokok Opini Publik: 1-9: SKOM4321/3 SKS (Jakarta: Universitas Terbuka, 2007), h. 25-26.
Konversi input
2. Tahapan berikutnya adalah tahapan agregasi kepentingan, dimana proses
pengubahan tuntutan yang disampaikan menjadi alternatif-alternatif
kebijakan.
3. Tahapan ketiga adalah tahapan pembuatan kebijakan merupakan proses
untuk mengubah tuntutan menjadi output. Output tersebut, berupa
peraturan-peraturan maupun perundang-undangan yang mampu
menanggapi kepentingan dan tuntutan yang masuk ke dalam agenda
pemerintah.
4. Tahapan yang terakhir adalah tahapan dimana tahapan artikulasi
kepentingan, agregasi kepentingan dan tahapan pembuatan keputusan
dimungkinkan terjadi tumpang tindih, hal ini terjadi selain karena batasan
antara ketiga aktifitas tersebut sangatlah tipis dan terjadi karena para
partisipan dalam pembuatan kebijakan sama.
Selanjutnya, Gabriel A. Almond menambahkan dengan memberikan
pengantar komprehensif mengenai input (artikulasi kepentingan), fungsi proses
(agregasi kepentingan,pembuatan kebijakan, implementasi, dan keputusan
kebijakan) dan fungsi kebijakan (extraction, regulasi, distribusi). Output kebijakan dikembalikan ke dalam sistem politik, yang berada dilingkungan domestik dan
internasional.23
23
Gambar 2.2 Proses Kebijakan sebagai Input dan Output
INPUT KEBIJAKAN OUTPUT
Persepsi Regulasi Aplikasi
Organisasi Distribusi Penguatan (Enforcement)
Permintaan Redistribusi Interpretasi
Dukungan Kapitalisasi Evaluasi
Apathy Kekuasaan Etis Legitimasi
Modifikasi (Penyesuaian) Penarikandiri /
pengingkaran
Sumber: Parson (2006)
Versi ini berusaha lebih banyak menjelaskan peran institusi ketimbang di
masa lalu, masa ketika ilmuwan politik cenderung mengabaikan fakta bahwa
institusi, aturan dan konstitusi adalah sesuatu yang benar-benar penting.
Konseptualisasi pada keempat teori tersebut merupakan konsep-konsep
yang berkenaan dengan analisis mengenai kebijakan publik pada Undang-Undang
Pornografi. Kebijakan publik yang dimaksud dalam hal ini Undang-Undang
Pornografi merupakan bagian dari kegiatan komunikasi politik, yang dalam ilmu
politik sendiri sebenarnya kebijakan publik sudah menjadi salah satu wacana yang
sering diperbincangkan. Dalam komunikasi kebijakan, hal-hal yang mengenai
produk kebijakan dikaitkan dengan opini publik yang berkembang, karena opini
publik merupakan opini masyarakat yang wajib diperhatikan oleh negara
demokrasi seperti Indonesia. Sebagai proses analisis pada bab IV (empat) konsep
yang menjadi landasan berpikir adalah teori mengenai Model Rasional
Komprehensif dan relevansi antara opini publik dan kebijakan publik yang akan