SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Soial (S.Sos)
oleh: Akbar Fitriyasa
108083100015
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
JURUSAN HUBUNGAN INTERNASIONAL
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
v
menggunakan metode kualitatif yang bersifat deskriptif analitis. Dalam penulisan, penulis menggunakan data sekunder, yakni data yang diperoleh dari kajian pustaka, seperti, buku, artikel, jurnal, koran, majalah, hasil penelitian dan situs internet (website) yang dianggap relevan. Kerangka pemikiran yang digunakan dalam skripsi ini adalah teori neo-realisme, serta konsep keamanan nasional, aliansi dan perimbangan kekuatan (balance of power).
Penulis menemukan bahwa kerja sama militer Vietnam dengan AS melalui MoU 2011 dilatar belakangi oleh tiga faktor. Pertama, hal tersebut ditujukan untuk meningkatkan kapabilitas Angkatan Laut Vietnam, serta dapat menghadirkan Angkatan Laut AS di LCS, sehingga dapat mengimbangi Angkatan Laut Republik Rakyat Tiongkok (RRT) di LCS. Kedua, MoU tersebut ditujukan untuk menjaga aset-aset serta kegiatan ekonomi Vietnam dari agresifitas patroli RRT di LCS. Ketiga, Vietnam berani melakukan MoU dengan AS, meskipun dikritik RRT, karena adanya dukungan negara-negara Asia Tenggara, yaitu berupa persamaan kepentingan antara AS, Vietnam dan negara-negara Asia Tenggara lainnya. Dengan demikian, orientasi dari MoU 2011 bukan hanya semata-mata untuk pengelolaan masalah keamanan maritim biasa saja, namun juga untuk tujuan perimbangan kekuatan terhadap RRT di LCS.
Kata kunci: Vietnam, kerjasama militer, keamanan nasional, Laut Cina Selatan,
vi
segenap daya dan upaya mampu menyelesaikan tulisan ini. Shalawat dan salam
semoga selalu tercurahkan kepada Rasulullah SAW, keluarga serta para
sahabatnya yang telah menjadi jalan bagi umatnya dalam menempuh keselamatan
dan kebahagiaan di alam semesta ini dengan bergelimang ilmu pengetahuan.
Skripsi ini disusun sebagai salah satu tugas akademis di Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta dalam rangka mencapai gelar sarjana pada
jurusan Hubungan Internasional. Dalam menyusun skripsi ini, penyusun
menyadari sepenuhnya bahwa skripsi ini dapat terselesaikan atas bantuan dari
berbagai pihak yang telah mendorong dan memotivasi serta membimbing penulis,
baik tenaga, ide maupun pemikiran. Oleh karena itu, penulis ingin mengucapkan
terimakasih kepada:
Kedua Orang tua, yang senantiasa mendampingi disaat suka maupun duka.
Terima kasih tak terhingga kepada Ayahanda Muchtar Effendi dan Ibunda tercinta
Badriyah, atas segala daya upaya, kucuran keringat, sujud panjang serta do’a yang
terus mengalir kepada Allah SWT, letihmu yang terus harapakan keselamatan
juga keberhasilan hidup penulis.
Ibu Mutiara Pertiwi, M.A, selaku dosen pembing, Ibu Debbie Affianty,
M.A, selaku Ketua Jurusan dan para staff dosen yang terlibat dalam membantu
dan membimbing dengan ikhlas atas kesediaan waktu, arahan, motivasi dan
vii
Seluruh keluarga besar HI Internasional 2008, kawan terbaikku dalam
berjuang “Alm. Bung Noviar Nurdiansyah, Bung Faruq Muhandis, Bung Fajar Fiqh, Bung Mazhar Sandy Priagung dan Bung Haryo Dewanto”, serta teman
-teman terbaikku, senior HI internasional beserta keluarga Najong.
Keluarga besar Sedap Malam, khususnya M. Alfrad Rusyd, dan
kawan-kawan HMI komisariat FISIP. Serta tidak lupa teman satu atap penulis “Ahmad Mukhlis Jaylani (Oghut, Embe, Jay, Ro’uf, Mukhlis), Ferry Bastian (Peri), Haris
Maknawi (Haris).
Segenap civitas akademik Universitas Islam Negeri Syarrif Hidayatullah
Jakarta, mudah-mudahan atas segala bantuan serta budi baik yang telah penulis
terima selama menjalani pendidikan, mendapatkan ridha Allah SWT. Semoga
skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi pembaca, amin. Atas segala
perhatiannya penulis haturkan terimakasih.
Wassalamu’alaikum. Wr. Wb.
Jakarta, 16 Mei 2014
viii
1.5.3 Perimbangan Kekuatan (balance of power)……… 12
1.6 Hipotesis……….. 13
1.7 Metode Penelitian……… 14
1.8 Sistematika Penulisan……….. 15
BAB II Ancaman Keamanan Terhadap Vietnam di Laut Cina Selatan 2.1Posisi Vietnam di Laut Cina Selatan……….. 16
2.2Klaim Vietnam di Laut Cina Selatan………..… 19
2.3 Sengketa terhadap Vietnam di Laut Cina Selatan………. 23
2.3.1 Sengketa Kepulauan Paracel……… 23
2.3.2 Sengketa Kepulauan Spratly ……… 25
2.3.3 Sengketa batas ZEE dengan RRT ……… 26
BAB III Kerjasama Militer Vietnam dengan Amerika Serikat dalam mengelola Ancaman Keamanan Laut Cina Selatan pada tahun 2011 1.1 Rintisan awal kerjasama militer Vietnam dengan Amerika Serikat 32 1.2 Tensi keamanan LCS menjelang penandatanganan MoU 2011... 38
1.3 MoU dalam pengelolaan LCS tahun 2011……….. 41
ix
x
dasar “base line”………...………… 18
Gambar2.2 : Klaim wilayah Vietnam setelah memasukan kepulauan Paracel dan Spratly ...………... 22
Gambar 2.3: Peta klaim RRT di wilayah Laut Cina Selatan…...………… 27
Gambar 2.4: Wilayah larangan memancing (fishing ban)…...…………... 29
Gambar 3.1: Pendidikan dan Pelatihan militer Vietnam dalam IMET…... 36
Gambar 4.1: Perbandingan Angkatan Laut Amerika Serikat dengan RRT.. 49
Gambar 4.2: Lokasi penyerangan atas kapal Vietnam oleh kapal RRT... 53
xi
LCS Laut Cina Selatan
AS Amerika Serikat
PBB Perserikatan Bangsa-bangsa
MoU Memorandum of Understanding
UNCLOS United Nations Convention Law of Sea
POW Prisoner of war
MIA Missing in action
ZEE Zona Ekonomi Eksklusif
Tcf Trillion cubic feet
ASEAN Association of Southeast Asian Nation
IMET International Millitary Education and Training
PASSEX Passing Exercise
ACSA Acquisition and Cross-Servicing Agreement
ITAR International Traffic in Arms Regulations
NDU National Defense University’s FMF Foreign Military Financing
FMS Foreign Military Sales
PLA People Liberation Army
MSO Maritime Security Operations
SAR Search and Rescue
UNPKO United Nations Peacekeeping Operations
HADR High availability disaster recovery
USCG United States Coast Guard
USPACOM United States Pacific Command
DOC Declaration on the Conduct
BAB I
PENDAHULUAN
1.1Latar Belakang
Laut Cina Selatan (LCS) merupakan wilayah di kawasan Asia Pasifik yang
mengalami berbagai kasus perbatasan maritim. Kasus-kasus tersebut terjadi
setidaknya sejak awal abad 20, ketika klaim teritorial mulai diperebutkan oleh
Republik Rakyat Tiongkok (RRT) dan dua kekuatan kolonial, yaitu: Jepang dan
Perancis di perairan ini (Vietnam White Paper oleh Ministry of Foreign Affairs,
1975: 17-18). Setelah Perang Dunia II, muncul juga persaingan klaim-klaim baru
di antara negara-negara yang baru memerdekakan diri di perairan LCS. Salah satu
negara yang terlibat dalam sengketa klaim teritorial di perairan tersebut adalah
Vietnam. Skripsi ini akan menganalisis upaya Vietnam dalam mengelola
keamanan di LCS melalui kerjasama militer dengan Amerika Serikat (AS).
Berdasarkan letak geografisnya, Vietnam merupakan salah satu negara
Indocina yang mempunyai garis pantai sepanjang 3,444 kilometer, yang
berbatasan langsung dengan LCS (Womack, 2006:57). Pada lepas pantai Vietnam,
terdapat kawasan perairan LCS dan dua kepulauan yang masih menjadi sengketa,
yaitu kepulauan Spratly dan Kepulauan Paracel. Di Kepulauan Spratly, Vietnam
memiliki sengketa dengan RRT, Taiwan, Filipina, Malaysia dan Brunei.
Sedangkan, di Kepulauan Paracel, Vietnam memiliki sengketa dengan RRT dan
Taiwan (Ahira, 2011). Sengketa perairan di LCS serta sengketa di Kepulauan
dengan negara yang mengklaim kedaulatannya atas perairan dan kepulauan
tersebut.
Keberadaan negara-negara yang mengklaim wilayah kedaulatan Vietnam di
LCS merupakan sebuah ancaman eksternal bagi Vietnam. Sebagaimana dikatakan
pada National Defense White Paper oleh Departemen Pertahanan Vietnam yang
dirilis pada bulan Desember 2009.
Concerning the disputes over sovereignty, sovereign rights and jurisdiction over the territories in the East Sea, the complicated developments so far have seriously affected many activities and the maritime economic development of Vietnam. [Mengenai Perselisihan kedaulatan, hak berdaulat dan yurisdiksi atas wilayah di Laut Timur, perkembangan rumit sejauh ini, berdampak serius pada banyak kegiatan dan pembangunan ekonomi maritim Vietnam] (National Defense White Paper dikutip The National Institute for Defense Studies, 2010:114).
Pernyataan tersebut menunjukan skala sengketa territorial di LCS sudah
menjadi ancaman serius bagi ekonomi Vietnam. Dalam menghadapi ancaman
tersebut, Vietnam melakukan diplomasi dan berbagai kerjasama pertahanan.
National Defense White Paper mengatakan bahwa kerjasama pertahanan
merupakan salah satu faktor yang paling penting untuk mencapai tujuan
pertahanan Vietnam. Oleh karena itu, Vietnam secara aktif berpartisipasi dalam
kerjasama pertahanan dan keamanan di regional dan internasional. Pada tingkat
bilateral, Vietnam mempromosikan kerjasama militer dengan beberapa negara
(The National Institute for Defense Studies, 2010: 121). Salah satu kerjasama
militer yang dilakukan oleh Vietnam adalah dengan AS, yang merupakan fokus
analisis skripsi ini.
Sebenarnya, Vietnam dengan AS memiliki sejarah konflik pada masa
Perang Dingin, khususnya pada periode (1954-1975) (Cuong, Nguyet, Thanh,
Utara, yang kemudian menyatukan Vietnam Utara dengan Selatan di bawah
pemerintahan sosialis. Sejak saat itu, hubungan diplomatik Vietnam dengan AS
tidak terjalin selama lebih dari 15 tahun, karena AS memberlakukan sanksi
ekonomi dan memutuskan hubungan diplomatik dengan Vietnam (Babson, 2002:
1).
Membaiknya hubungan bilateral kedua negara diawali pada tahun 1987. Ini
dilakukan dengan melalui sebuah kerjasama yang terkait dengan isu POW/MIA
(prisoner of war / missing in action). Pada tahun 1991, kedua negara
memutuskan untuk memperbaiki hubungan diplomatik secara resmi (Manyin,
2012:4). Sejak normalisasi hubungan, berbagai kerjasama telah dilakukan dalam
berbagai aspek, salah satunya dalam aspek militer.
Kerjasama militer Vietnam dengan AS dilakukan dalam beberapa tahapan.
Tahapan awal yaitu pada periode 1996-1999 yang berfokus pada tiga jenis
kerjasama militer, yaitu: konferensi multilateral dan seminar yang
diselenggarakan oleh Komando Pasifik AS; kunjungan militer dan kerjasama
dalam bidang pencarian dan penyelamatan korban bencana; dan yang terakhir
mengenai keamanan lingkungan. Tahapan berikutnya dilakukan pada periode
tahun 2000-2004, dimana AS mendorong hubungan kerjasama militer ke arah
yang lebih strategis, seperti upaya AS untuk memodernisasi militer Vietnam dan
upaya untuk melakukan latihan pertahanan bersama (Jordan, Stern, and Lohman,
2012: 3-4).
Meskipun kemitraan pertahanan ini menguntungkan Vietnam, namun
dampak negatif terhadap hubungan luar negerinya dengan negara lain. Khususnya,
ini dikhawatirkan akan mengundang kecurigaan dan menciptakan insecurity bagi
RRT dan negara-negara Asia Tenggara lainnya. Kehadiran AS dalam skema
pertahanan Vietnam akan mempengaruhi kalkulasi perimbangan kekuatan di LCS,
yang ditakutkan dapat meningkatkan tensi keamanan yang ada.
Kekhawatiran di atas menjadi kenyataan ketika RRT merespon negatif
peningkatan hubungan kerjasama militer Vietnam dengan AS yang dilakukan
pada tahun 2010. Setelah kunjungan Hillary Clinton ke Hanoi pada tahun 2010,
RRT menyatakan akan menggunakan kekuatan militer atau sound of cannon
untuk menyelesaikan sengketa territorial di perairan LCS. Selain pernyataan
tersebut, RRT meningkatkan intensitas patroli di kawasan tersebut yang
mengakibatkan 20 kali penangkapan nelayan Vietnam oleh Angkatan laut RRT di
LCS pada tahun 2010 (Veronika, 2012: 6-108). Hal ini merupakan suatu resiko
dan dampak dari hubungan kerjasama militer Vietnam dengan AS. Apabila tidak
dikelola dengan tepat, kemitraan Vietnam dengan AS justru dapat memprovokasi
perang terbuka di LCS.
Namun, terlepas dari kekhawatiran terhadap resiko strategis tersebut,
Vietnam tetap melanjutkan kemitraan dalam kerjasama militer dengan AS pada
tahun 2011. Salah satu wujudnya berupa pelaksanaan latihan militer gabungan
Vietnam dan AS di kawasan LCS pada bulan Juli 2011. Pelaksanaan latihan
militer gabungan ini dengan segera mendapat respon dari RRT. Ini tertulis dalam
latihan militer Vietnam dengan AS dianggap sebagai unjuk kekuatan militer untuk
menantang Beijing (BBC, 2011).
Dihadapkan pada pernyataan yang provokatif tersebut, Vietnam tetap
mempertahankan hubungan pertahanannya dengan AS dengan suatu langkah
penegasan dalam kemitraan. Ini dilakukan dalam sebuah Memorandum of
Understanding (MoU) yang ditandatangani antara Vietnam dan AS, pada bulan
September 2011. Dengan pelaksanaan MoU 2011, kedua negara menegaskan
kembali komitmen untuk implementasi penuh dalam melanjutkan kesepakatan
Politik, Keamanan, dan Dialog Kebijakan Pertahanan (Thayer, 2013).
Langkah penegasan kemitraan Vietnam dengan AS dalam MoU 2011
tersebut merupakan fokus analisis skripsi ini. Apabila Vietnam mempertaruhkan
stabilitas keamanan LCS demi kemitraan pertahanannya dengan AS, ini diduga
dikarenakan adanya peluang pencapaian kepentingan yang lebih besar bagi
Vietnam. Hal ini yang berusaha diungkap dalam pemaparan dan analisis di
bab-bab berikutnya.
1.2 Pertanyaan Penelitian
Komitmen Vietnam dalam melakukan kerjasama militer dengan AS ini akan
menjadi fokus analisis penulis. Skripsi ini akan membahas; “Mengapa Vietnam
melanjutkan kerjasama militer dengan AS melalui MoU 2011, meskipun beresiko
meningkatkan tensi keamanan di LCS?”
1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian
Adapun tujuan yang akan dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai
1) Untuk mengetahui bentuk-bentuk ancaman di LCS terhadap
kedaulatan dan keamanan wilayah Vietnam.
2) Untuk mengetahui kesepakatan kesepakatan strategis serta
bentuk-bentuk kerjasama militer antara Vietnam dengan AS pada tahun 2011,
dalam mengelola ancaman keamanan Vietnam di LCS.
3) Untuk mengungkap faktor pendorong Vietnam dalam meningkatkan
kerjasama militer dengan AS melalui MoU 2011.
Adapun manfaat penelitian dalam penelitian ini sebagai berikut
1) Menambah literatur dalam bidang studi Hubungan Internasional,
khususnya mengenai permasalahan sengketa perairan.
2) Meningkatkan pemahaman tentang upaya negara dalam mengelola
sengketa perairan yang dilakukan melalui kerjasama pertahanan,
khususnya kerjasama militer Vietnam dengan AS di LCS.
1.4 Tinjauan Pustaka
Bagian tinjauan pustaka ini mengkaji tiga penelitian terdahulu tentang
kerjasama Vietnam dengan AS. Penelitian pertama berjudul “U.S.-Vietnam
Military Relations: Game Theory Perspective” ditulis oleh Ngan M. Kim.
Penelitian tersebut diajukan untuk memperoleh gelar Master Of Science dalam
bidang Defense Analysis, di Naval Postgraduate School AS, pada bulan Juni 2012.
Kim berargumen bahwa Vietnam telah belajar pada pengalaman aliansi dengan
Uni Soviet, yaitu bahwa sebuah aliansi militer dengan pihak asing hanyalah
bersifat sementara. Karenanya, bagi Vietnam, AS tidak dapat mempengaruhi
dari RRT. Meskipun sama-sama membahas kerjasama militer Vietnam dengan
AS, fokus skripsi Kim ialah memberikan analisis prediktif. Sedangkan dalam
skripsi ini, penulis lebih memfokuskan kepada analisis faktor kerjasama militer
Vietnam dengan AS. Kim berusaha mengidentifikasi pilihan kebijakan Vietnam di
masa depan, sedangkan skripsi ini berusaha memahami kebijakan yang sudah
terjadi.
Literatur kedua yang dikaji adalah “Pengaruh Komponen Geopolitik
Terhadap Konflik Di Laut China Selatan Antara China-Vietnam Pada Periode
2009-2011” ditulis oleh Nuri Widiastuti Veronika. Penelitian tersebut diajukan
untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Hubungan
Internasional di Universitas Indonesia, pada bulan juli 2012. Veronika dalam
penelitiannya mempertanyakan: “Bagaimana pengaruh komponen geopolitik
terhadap konflik teritorial Cina-Vietnam di Laut Cina Selatan periode
2009-2011?” Ini dijawab dengan argumen bahwa terdapat tiga komponen geopolitik
yang mempengaruhi konflik teritorial Cina-Vietnam di LCS, yaitu wilayah,
komponen energi, dan komponen power. Meskipun sama-sama membahas konflik
dan sengketa wilayah maritim Vietnam di LCS, fokus skripsi Veronika tersebut
berbeda dengan penelitian skripsi ini. Dalam skripsi ini, penulis lebih
memfokuskan kepada kerjasama militer Vietnam dengan AS dalam menanggapi
sengketa wilayah tersebut pada tahun 2011.
Literatur yang ketiga yang dikaji adalah “Balancing And Bandwagoning In
The South China Sea” ditulis oleh Jonathan R. Martin, yang diajukan untuk
pada tahun 2013. Martin dalam penelitiannya mempertanyakan: “Apakah negara
-negara di Asia Tenggara melakukan balancing atau bandwagoning terhadap Cina?
Ini dijawab dengan argumen bahwa negara-negara Asia Tenggara cenderung
melakukan balancing terhadap Cina. Ini terjadi sejak krisis ekonomi global pada
akhir tahun 2007 dan 2008 melalui penguatan hubungan Filipina dan Vietnam
dengan AS. Meskipun sama-sama membahas kerjasama militer Vietnam dengan
AS, fokus skripsi Martin tersebut berbeda dengan penelitian skripsi ini. Dalam
skripsi ini, penulis lebih memfokuskan kepada kerjasama militer Vietnam dengan
AS dalam menanggapi beberapa sengketa wilayah Vietnam di LCS.
1.5 Kerangka Teori
Logika argumen dalam penelitian ini mengacu pada pemahaman teori
Neo-realisme yang mengungkapkan bahwa: struktur dalam sistem internasional yang
membentuk perilaku negara (Waltz, 1979: 108). Dalam anarki, setiap negara
memiliki kedaulatan yang setara, sehingga tidak ada otoritas yang lebih tinggi
tingkatannya di atas negara. Dalam sistem yang anarki, tidak ada kepastian bahwa
negara yang satu tidak akan menyerang negara yang lain. Oleh karena itu, timbul
ketakutan dan ketidak percayaan antar satu negara dengan lainnya. Negara akan
memastikan dirinya mendapatkan kekuatan untuk dapat melindungi diri dari
ancaman yang mungkin timbul dari negara lain untuk keberlangsungan negara itu
sendiri (Dunne dan Smith, 2010:77-94).
Menurut pandangan ini, rasa tidak aman sebagian besar merupakan hasil
dari struktur sistem internasional. Hal ini menjadikan Neo-Realisme sering
politik internasional akan selalu penuh konflik (Baylis dan Smith, 2005:303).
Untuk pemikir Neo-realis, seperti Mearsheimer, politik internasional tidak selalu
ditandai oleh perang yang nyata, namun pasti terdapat unsur kompetisi keamanan.
Dalam situasi kompetitif, kerjasama antar negara dapat dilakukan. Namun,
kerjasama tersebut akan sangat terbatas dari segi ruang maupun waktu
(Mearsheimer dikutip Baylis dan Smith, 2005:303). Kerjasama akan sulit bertahan
karena faktor relative gain, yaitu satu pihak mendapatkan keuntungan yang lebih
besar dan pihak yang lain mendapatkan keuntungan yang lebih kecil (Jackson dan
Sorensen, 2005: 130-131). Hal ini menjadikan tindakan kerjasama antara negara
hanya akan terjadi dalam hal perimbangan kekuasaan “balance of power” dan
tanpa memperhatikan faktor-faktor lain, seperti ekonomi, dan lain-lain (Waltz,
1979: 195). Atas dasar kerangka teori ini, penulis akan memakai tiga konsep
dalam menjawab pertanyaan penelitian, yaitu: keamanan nasional, aliansi, dan
balance of power. Ketiganya akan dijelaskan di bawah ini.
1.5.1 Keamanan Nasional
Secara etimologis, keamanan “security” berasal dari bahasa latin “securus”
ataupun “se + cura” yang bermakna terbebas dari bahaya dan terbebas dari
ketakutan “free from danger, free from fear”. Kata ini juga bisa bermakna dari
gabungan kata “se” yang berarti tanpa dan “curus” yang berarti uniasiness atau
kegelisahan. Sehingga, bila digabungkan, kata ini bermakna terbebas dari
kegelisahan, atau situasi damai tanpa resiko atau ancaman (Liota dikutip
Pengertian di atas menyatakan bahwa konsep keamanan nasional merupakan
suatu kondisi tidak terdapatnya ancaman militer atau kemampuan suatu negara
untuk melindungi diri dari serangan militer yang berasal dari lingkungan
eksternalnya (Haftendorn dikutip Hermawan, 2007:28). Sejalan dengan
pemahaman di atas, Walter Lippmann, juga menyatakan bahwa sebuah bangsa
dapat dikatakan aman ketika negara tersebut tidak dalam bahaya, dan harus
menghindari perang, ataupun mampu untuk memberikan kemenangan jika
terdesak ke dalam sebuah perang. Sedangkan, Arnold Wolfers memaknakan
konsep keamanan adalah suatu hal yang obyektif, ukuran adanya ancaman
terhadap nilai-nilai merupakan hal yang subyektif, yaitu merupakan perasaan
tidak adanya ketakutan bahwa nilai-nilai tersebut akan diserang (Baylis and Smith
dikutip Hermawan, 2007:29).
Dalam pengupayaan keamanan nasional, ancaman keamanan dapat dihadapi
dengan kapabilitas dan penggunaan kekuatan militer. Sekurang-kurangnya
terdapat empat fungsi kekuatan militer dalam politik internasional. Pertama,
kekuatan militer yang digunakan sebagai prestige power, dimana suatu negara
menunjukkan keunggulan militernya untuk dapat menggetarkan lawan. Kedua,
kekuatan militer digunakan sebagai detterence power atau kekuatan penangkal,
yaitu negara meyakinkan lawannya tentang konsekuensi yang akan dihadapi bila
memulai peperangan. Ketiga, kekuatan militer dibangun sebagai kekuatan
pertahanan (defensive power), yang bertujuan untuk melindungi diri dari musuh
dengan cara bertahan. Keempat, kekuatan militer digunakan sebagai alat pemaksa
menekan negara lainnya, sehingga dapat mengikuti keinginannya (Jemadu, 2008:
146-147).
Upaya dalam meningkatkan kapabilitas kekuatan militer suatu negara dapat
dilakukan dengan melalui peningkatan kualitas dan kuantitas persenjataan, serta
pelatihan dan pendidikan militer. Ini dapat dicapai dengan meningkatkan
anggaran belanja militer. Selain itu, juga dapat dicapai dengan melalui kerjasama
pertahanan.
1.5.2 Aliansi
Kerjasama pertahanan dilakukan untuk meningkatkan kapabilitas kekuatan
militer dan menanggapi ancaman keamanan yang ada. Ini salah satunya dengan
menerapkan konsep aliansi. Menurut George Liska (1968), aliansi merupakan
asosiasi resmi antara dua negara atau lebih terhadap ancaman dari negara ketiga
yang lebih kuat. Sedangkan menurut Holsti, Hopmann, dan Sullivan, aliansi
merupakan perjanjian formal antara negara-negara yang bersangkutan terhadap
masalah keamanan nasional (Bergsmann, 2001: 25-26). Pengertian-pengertian di
atas menjelaskan bahwa aliansi dilakukan dengan suatu ikatan perjanjian formal.
Dengan kata lain, terdapat legitimasi bahwa kedua negara atau lebih telah
melakukan hubungan aliansi.
Namun, Stephen M. Walt menekankan bahwa pengaturan aliansi juga dapat
bersifat informal. Ia berargumen bahwa aliansi merupakan suatu pengaturan
formal atau informal dalam kerjasama keamanan antara dua negara atau lebih
(Bergsmann, 2001: 27). Aliansi yang berbentuk formal merupakan aliansi yang
terang-terangan (publicly recognized). Ini berarti kedua belah pihak atau lebih telah
menyatakan kepada publik bahwa telah terdapat perjanjian “treaty” yang
membentuk hubungan aliansi. Sedangkan, aliansi informal tidak ditandai oleh
kedua hal tersebut (treaty dan publiclyrecognized), bahkan dapat juga dicapai
dengan hanya perjanjian secara rahasia oleh kepala negaranya (Griffiths, Martin
dan O’Callaghan, 2002: 1).
Dalam pelaksanaannya, aliansi merupakan sebuah upaya negara dalam
merespon ancaman. Namun terdapat dua perbedaan perilaku negara dalam
melakukan aliansi. Yaitu, negara melakukan balance (bersekutu bersama pihak
yang bertentangan dengan negara yang mengancam) atau bandwagoning
(bersekutu dengan negara yang menimbulkan ancaman tersebut). Negara yang
melakukan aliansi untuk menghindari dominasi kekuatan yang lebih kuat
merupakan pemahaman dari konsep balance of power (Walt, 1985: 4). Seperti
perilaku Vietnam untuk menghindari dominasi RRT di LCS.
1.5.3 Perimbangan kekuatan (Balance of power)
Balance of power dapat ditafsirkan sebagai distribusi perimbangan
kekuatan, yang berarti suatu distribusi yang relatif seimbang di antara partisipan.
Selain itu penafsiran lainnya mengenai balance of power yaitu sebagai
ekuilibrium. Ekuilibrium dipandang sebagai suatu hubungan di antara
variabel-variabel utama sistem itu (seperti distribusi sumberdaya atau sikap dan kebijakan
negara-negara), yang begitu erat sehingga perubahan disuatu variabel pasti akan
menimbulkan perubahan di variabel lainnya. Pendekatan ini berasumsi bahwa
negara-negara di dalamnya akan tetap moderat, dan upaya oleh satu aktor untuk
memperoleh posisi hegemoni akan bisa digagalkan oleh kekuatan pengimbangnya
(Hopkins, 1973: 27).
Dalam perimbangan kekuatan (balance of power), negara berupaya untuk
melindungi keamanan dan kemerdekaannya. Sehingga, tidak ada entitas tunggal
dalam sistem untuk mendapatkan dominasi atas negara lain (Dwivedi, 2012: 228).
Menurut Kenneth Waltz dalam Theory of International Politcs, teori Balance of
Power memahami konsep balancing sebagai tindakan negara dalam
mempertahankan posisinya dalam sistem, bukan meningkatkan kekuatam (Waltz,
1979: 126).
Dalam pelaksanaannya tersebut, terdapat dua perbedaan dalam balance of
power, yaitu antara hard balancing dan soft balancing. Hard balancing mengacu
pada strategi oleh negara-negara kecil untuk membangun dan memperbarui
kemampuan militer mereka, serta menciptakan dan memelihara aliansi formal,
informal dan kontra-aliansi untuk menciptakan kemampuan yang lebih kuat.
Sementara itu, soft balancing merupakan tindakan balancing sementara dalam
aliansi, terutama dalam bentuk meningkatkan persenjataan secara terbatas,
kerjasama dalam pelatihan, atau kolaborasi pada lembaga-lembaga regional atau
internasional (Paul, 2004: 3). Hal ini selaras dengan upaya Vietnam dalam
meningkatkan kerjasama militer dengan AS melalui latihan militer bersama di
perairan LCS dan kolaborasi lembaga-lembaga kedua negara.
Dalam memulai penelitian, terdapat hipotesis yang diajukan sebagai pijakan
awal dalam memulai rangkaian proses penelitian. Dalam penelitian ini, terdapat
hipotesis bahwa Vietnam meningkatkan kerjasama militer dengan AS melalui
MoU pada tahun 2011 dikarenakan tensi ancaman LCS yang terus meningkat.
MoU 2011 dengan AS ditujukan untuk menghadirkan Angkatan Laut AS di LCS
untuk mengimbangi Angkatan Laut RRT. Dalam perimbangan tersebut, kerjasama
kedua negara diharapkan dapat mencegah pelanggaran-pelanggaran patroli RRT
di masa depan, sehingga Vietnam dapat menjaga kegiatan ekonomi serta
aset-asetnya di LCS.
1.7 Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan teknik analisa data yang bersifat kualitatif,
yaitu prosedur penelitian yang menghasilkan data berupa kata-kata tertulis atau
lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati. Adapun yang digunakan
dalam penelitian ini adalah kualitatif yang berkarakter deskriptif analitis. Dengan
demikian, penelitian akan menginterpretasi data dengan tujuan untuk memberi
gambaran yang akurat mengenai fakta-fakta dan hubungannya dengan sifat
fenomena yang diteliti (Moleong. 2009: 4-11).
Sedangkan, teknik pengumpulan data adalah studi kepustakaan (library
research), yaitu pengumpulan data dengan cara memanfaatkan sumber-sumber
data dan informasi-informasi dari berbagai literatur yang relevan. Jenis data yang
digunakan adalah data sekunder, yakni data yang diperoleh dari kajian pustaka,
(website) yang dianggap relevan. Penulis kemudian memilah dan menganalisanya,
sehingga dapat dirangkai dalam suatu kesimpulan (Moleong. 2009: 258).
1.8 Sistematika Penulisan
BAB II Ancaman Keamanan Terhadap Vietnam di Laut Cina Selatan
2.1 Posisi Vietnam di Laut Cina Selatan 2.2 Klaim Vietnam di Laut Cina Selatan
2.3 Sengketa terhadap Vietnam di Laut Cina Selatan 2.3.1 Sengketa Kepulauan Paracel
2.3.2 Sengketa Kepulauan Spratly 2.3.3 Sengketa batas ZEE dengan RRT
BAB III Kerjasama Militer Vietnam dengan Amerika Serikat dalam mengelola Ancaman Keamanan Laut Cina Selatan pada tahun 2011
3.1 Rintisan awal kerjasama militer Vietnam dengan Amerika Serikat 3.2 Tensi keamanan LCS menjelang penandatanganan MoU
3.3 MoU dalam pengelolaan LCS tahun 2011
BAB IV Faktor Pendorong bagi Vietnam dalam penguatan kemitraan dengan AS melalui MoU tahun 2011
4.1 Motif “balancing” Vietnam terhadap RRT 4.2 Pengamanan aset nasional Vietnam di LCS
4.3 Dukungan negara-negara ASEAN terhadap kehadiran AS di LCS
BAB V Penutup
BAB II
ANCAMAN KEAMANAN TERHADAP VIETNAM
DI LAUT CINA SELATAN
Bab ini membahas tentang letak geografis Vietnam di Laut Cina Selatan
(LCS) yang diikuti klaim Vietnam di wilayah tersebut. Ini kemudian disusul
dengan berkembangnya sengketa antara negara-negara di wilayah tersebut,
sehingga menghadirkan ancaman nyata bagi keamanan territorial Vietnam. Untuk
itu, struktur pembahasan dalam bab ini terbagi kedalam 3 bagian. Bagian pertama
akan menjelaskan letak geografis perairan Vietnam serta posisi Vietnam di LCS.
Bagian kedua akan menjelaskan klaim Vietnam di kawasan perairan tersebut,
termasuk klaim Vietnam di kepulauan Spratly dan Paracel. Sedangkan bagian
terakhir akan menjelaskan sengketa di LCS yang menyebabkan ancaman bagi
kedaulatan Vietnam, yaitu sengketa wilayah perairan, sengketa Kepulauan Spratly
dan Kepulauan Paracel, serta sengketa batas Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE)
dengan RRT.
2.1 Posisi Vietnam di LCS
Vietnam merupakan salah satu Negara Indocina yang secara geografis
mempunyai wilayah darat dan laut. Negara ini berbatasan darat dengan Kamboja
sepanjang 1,228 km; Laos (2,130 km); RRT (1,281 km). Vietnam juga
mempunyai garis pantai sepanjang 3,444 kilometer (Womack, 2006: 57), terhadap
perairan yang termasuk ke dalam wilayah LCS. Wilayah tersebut terletak di
Vietnam ditentukan berdasarkan deklarasi pernyataan wilayah Laut Vietnam pada
tanggal 12 mei 1977. Deklarasi tersebut dilakukan dalam Konferensi Ketiga
Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) tentang Hukum Laut. Ini dilegitimasi dalam
penandatanganan United Nations Convention Law of Sea (UNCLOS) pada tahun
1982. (United States Department of State Bureau of Intelligence and Research,
1983: 3).
Berdasarkan UNCLOS, Vietnam memiliki luas wilayah laut teritorial sejauh
12 mil dari pulau-pulau terluar Vietnam. Pulau-pulau terluar tersebut membentuk
garis dasar “baseline” yang menjadi tolak ukur pengukuran luas wilayah laut
teritorial Vietnam (United States Department of State Bureau of Intelligence and
Research, 1983: 3-4). Pulau-pulau terluar Vietnam di antaranya dapat dilihat
dalam tabel berikut ini:
Tabel 2.1: Pulau-pulau terluar Vietnam
No Nama Pulau Lintang dan Bujur
1 Pulau Hon Nhan, kepulauan Tho Chu, provinsi Kien Giang 9°15.0’ 103°27.0’
2 Pulau Hon Da, provinsi Minh Hai 8°22.8’ 104°52.4’
3 Tai Lon Islet, Con Dao Islet, di Con Dao-Vung Toa 8°37.8’ 106°37.5’
4 Bong Lai Islet, Con Dao Islet 8°38.9' 106°40.3’
5 Bay Canh Islet, Con Dao Islet 8°39.7’ 106°42.1’
6 Hon Hai Islet, provinsi Thuan Hai 9°58.0’ 109°5.0’
7 Hon Doi Islet, provinsi Thuan Hai 12°39.0’ 109°28.0’
8 Dai Lanh point, provinsi Phu Khanh 12°53.8’ 109°27.2’
9 Ong Can Islet, provinsi Phu Khanh 13°54.0’ 109°21.0’
10 Ly Son Islet, provinsi Nghia Binh 15°23.1' 109°9.0'
Sumber: United States Department of State, Bureau of Intelligence and Research, dalam Limits in the Seas No. 99 Straight Baselines hal: 7
Pulau-pulau terluar di atas membentuk garis dasar “baseline”. Garis tersebut
tidak hanya menentukan luas wilayah laut territorial, namun berpengaruh pada
pengukuran Zona tambahan “The contiguous zone” dan ZEE. Zona tambahan
Vietnam memiliki luas 12 mil dari laut teritorial. Sedangkan, ZEE terhitung 200
mil dari laut teritorialnya tersebut (United States Department of State Bureau of
Intelligence and Research, 1983: 3-4). Ini sesuai dengan Hukum Laut (UNCLOS)
pada tahun 1982 yang mulai berlaku sejak 16 November 1994, bahwa setiap
negara hanya berhak untuk memasukkan wilayah hingga 12 mil laut sebagai dari
kedaulatannya dan 200 mil laut untuk ZEE (Ali, 2012). Berdasarkan hukum
tersebut dapat dilihat luas wilyah ZEE Vietnam dalam peta berikut ini:
Gambar 2.1: Zona Ekonomi Eksklusif Vietnam terhitung 200 mil dari garis
dasar “base line”
Sumber:200 mile boundaries without consideration of the Spratlys or Paracels, oleh Cire Sare, pada http://www.southchinasea.org/category/mpas/territorial-claims/page/2/
Peta di atas menunjukan ZEE Vietnam dan lima negara lainnya di wilayah
LCS. Namun, setelah kesepakatan UNCLOS 1982, negara-negara di kawasan ini
saling mengklaim wilayah kedaulatannya di luar ZEE yang telah disepakati dalam
UNCLOS. Vietnam menjadi salah satu yang mengklaim wilayah dan terlibat
dalam sengketa dengan negara lainnya di kawasan tersebut.
2.2 Klaim Vietnam di Laut Cina Selatan
Berdasarkan Konvensi PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS),
negara-negara yang mempunyai wilayah perairan dapat mengklaim ZEE yang meliputi
200 mil dari garis pantai pulau terluar (Kim, 2012: 28). Di LCS, tidak dapat
ditentukan pulau-pulau terluar yang dimiliki dan menjadi kedaulatan suatu negara.
Ini dikarenakan, kawasan ini memiliki banyak pulau yang kepemilikannya masih
diperebutkan oleh negara-negara di perairan ini,1 sehingga menimbulkan berbagai
sengketa. Dengan adanya berbagai sengketa, batas-batas ZEE di LCS sulit untuk
ditentukan.
Vietnam tercatat memiliki sengketa dengan lima negara di LCS.
Sengketa-sengketa tersebut antara lain: Teluk Tonkin dekat pulau Hainan dengan RRT;
kepulauan Paracel dengan RRT dan Taiwan; kepulauan Spratly dengan RRT,
Malaysia, Filipina, Brunei dan Taiwan. Pada kepulauan Spratly, Vietnam berebut
klaim atas wilayah perairan sebelah barat kepulauan ini dengan RRT dan Taiwan.
1
Sementara pada bagian lainnya, tumpang tindih klaim terjadi antara Vietnam
dengan Brunei, Malaysia, dan Filipina (Ahira, 2011).
Di antara kasus-kasus tersebut, dua klaim yang mengundang perhatian
utama Vietnam adalah kepulauan Spratly dan Paracel. Selain karena posisinya
yang strategis, juga karena adanya potensi sumberdaya minyak dan gas. RRT
memperkirakan potensi minyak di kepulauan Spratly dan Paracel Islands bisa
mencapai 105 miliar barel, sementara keseluruhan potensi minyak di LCS
mencapai 213 miliar barel. Sedangkan potensi gas yang terdapat di Kepulauan
Spratly hampir mencapai 900 Tcf. Ini diperkirakan akan dapat memproduksi
sumberdaya gas hampir mencapai 1,8 Tcf setiap tahunnya (global security.org,
2011).
Mengenai Spratly dan Paracel, Vietnam sendiri belum menetapkan dua
kepulauan tersebut sebagai pulau-pulau terluar yang membentuk garis dasar
“baseline” Vietnam dalam penandatanganan UNCLOS pada tahun 1982. Namun,
setelah ratifikasi UNCLOS pada tahun 1994, Vietnam mengadakan Resolusi
Majelis Nasional Kesembilan yang mulai merumuskan kembali wilayah
kedaulatan laut pada kepulauan Paracel dan Spratly pada tahun 1994. Ini
menjelaskan bahwa Vietnam belum menentukan lingkup zona maritim di sekitar
pulau. Baseline dan zona maritim di seluruh pulau-pulau akan didefinisikan dalam
peraturan perundang-undangan di masa depan, seperti undang-undang yang
membahas Zona Maritim Vietnam, dengan melalui perjanjian batas negara dengan
Pada tahun 2003, Majelis Nasional Vietnam membuat Undang-Undang
tentang batas Nasional. Pada pasal 1, ditegaskan kembali klaim kedaulatan
Vietnam atas Kepulauan Paracel (Hoang Sa) dan Kepulauan Spratly (Truong Sa)
(Biendong.net, 2012). Dalam Undang-undang ini juga menjelaskan landas
kontinen negara diperpanjang hingga 350 mil laut sesuai dengan kondisi dan
prosedur Konvensi PBB tentang Hukum Laut pada tahun 1982. Ini merupakan
kelanjutan klaim sejak bersatunya Vietnam paska Perang Dingin pada tahun 1975.
Sebagaimana ditegaskan dalam Vietnam White Paper oleh Ministry of Foreign
Affairs, bahwaKepulauan Paracel (Hoang Sa) dan Kepulauan Spratly (Truong Sa)
merupakan bagian dari kedaulatan negara (Vietnam White Paper oleh Ministry of
Foreign Affairs, 1975: 1).
Pada tahun 2009, pemerintah Vietnam mengirim laporan bahwa batas
landas kontinen Vietnam diperpanjang dalam dua daerah untuk dipertimbangkan
oleh Komisi Batas Landas Kontinen (Hanh, 2012). Upaya perluasan klaim ini
mengakibatkan perubahan batas-batas kedaulatan wilayah Vietnam yang pada
awalnya ditentukan oleh garis dasar “baseline” dalam Deklarasi Pernyataan
Wilayah Laut Vietnam, pada tanggal 12 Mei 1977. Berikut ini merupakan peta
wilayah kedaulatan Vietnam setelah klaim kedaulatan diperluas yang mencakupi
Gambar 2.2 : Klaim wilayah Vietnam setelah memasukan kepulauan Paracel
dan Spratly
Sumber: Bellacqua. “The China Factor in U.S.-Vietnam RelationsNgan M. Kim dalamU.S. –Vietnam Military Relations: Game Theory Perspective
Peta di atas menunjukan perluasan klaim Vietnam yang mencakupi
kepulauan Paracel dan kepulauan Spratly. Vietnam memasukan klaim kedua
kepulauan tersebut berdasarkan data historis. Keduanya dianggap termasuk ke
dalam wilayah Vietnam, sejak masa pemerintahan Raja Le Thanh Tong
(1460-1497). Vietnam menyatakan bahwa pihaknya telah memiliki dokumen dan peta
dari abad ke-17, 18, dan 19 (Kim, 2012: 30). Klaim Vietnam tersebut berujung
pada sengketa dan konflik antara Vietnam dengan negara yang juga telah
mengklaim kedaulatannya atas perairan di LCS serta kepulauan Paracel dan
2.3 Sengketa terhadap Vietnam di Laut Cina Selatan
Terdapat setidaknya lima negara yang merupakan pesaing klaim territorial
Vietnam di LCS. Pertama, klaim Brunei yang merujuk pada prinsip kawasan ZEE
dengan memasukan satu karang paling selatan di Kepulauan Spratly dalam peta
teritorialnya. Kedua, RRT yang mengklaim hampir semua dari kawasan LCS
berdasarkan ZEE dan prinsip landas kontinental serta catatan sejarah dinasti Han
(110 \M) dan Ming (1403 – 1433M). Ketiga, klaim Malaysia di LCS atas 3 pulau
di Spratly berdasarkan ZEE dan batas landas kontinen. Keempat, Filipina
mengklaim 8 pulau di Kepulauan Spratly. Ini didasari oleh ZEE dan batas landas
kontinental serta sebuah ekspedisi penjelajah Filipina pada tahun 1956. Kelima,
Taiwan yang mengklaim hampir semua kawasan di LCS, dengan mengklaim
semua pulau di Kepulauan Spratly dan Paracel dengan dasar yang sama seperti
klaim yang dibuat oleh RRT (Veronika, 2012: 45). Bagian berikutnya akan
mengidentifikasi konflik dan tensi keamanan yang terjadi akibat sengketa
teritorial di kedua kepulauan tersebut.
2.3.1 Sengketa Kepulauan Paracel
Kepulauan Paracel menjadi wilayah sengketa yang di perebutkan beberapa
negara, salah satunya adalah Vietnam yang memiliki sengketa dengan RRT dan
Taiwan (Ahira, 2011). Sengketa ini menyebabkan konflik antara Vietnam dengan
RRT, yang terjadi sejak sebelum bersatunya Vietnam Utara dengan Vietnam
Selatan pada tahun 1975. RRT mengklaim kedaulatan Vietnam yang berujung
konflik pada tahun 1974 di Kepulauan Paracel. Dalam bentrokan yang dikenal
Paracel dari Vietnam Selatan. Pertempuran itu mengakibatkan 36 militer dari
kedua belah pihak tewas (Garver, 1992: 999-1028). Pertempuran ini juga berujung
pada pengusiran orang-orang Vietnam dari kepulauan Paracel dan pendudukan
kepulauan tersebut oleh RRT (Heijmans, 2004: 506).
Awalnya, RRT menduduki bagian barat kelompok pulau Crescent di
kepulauan Paracel. Ini kemudian meluas ke seluruh wilayah Paracel. RRT bahkan
membangun pelabuhan besar di Pulau Triton pada tahun 1982, yang terutama
diperuntukan untuk kepentingan militer (Lo, 1989: 118). Kemudian pada tahun
1994, RRT membangun landasan udara baru di kepulauan Paracel (Heijmans,
2004: 509).
Selain itu, RRT membangun pangkalan lainnya di pulau Hainan yang
terletak di sebelah utara kepulauan Paracel. Pulau ini merupakan pusat operasi
pesawat-pesawat tempur baru berdaya jelajah jauh Su-27 Flanker yang dikirim
dari pangkalan udara ketiga terbesar the People’s Liberation Army (PLA) di
Zhanjiang, yang juga sebagai markas besar armada Laut Cina Selatan. Kapal
terbang tanker yang baru dioperasikan di Pulau Hainan akan mempermudah
pesawat-pesawat tempur RRT beroperasi pada jarak yang lebih jauh, pada
jalur-jalur laut dan ladang-ladang minyak lepas pantai strategis di LCS. Di sana, RRT
memiliki armada militer untuk memperjuangkan klaim teritorialnya yang
merentang seribu mil ke arah selatan dari pantai RRT, hampir mendekati wilayah
pantai Malaysia dan Indonesia (Calder, 1996:191).
Pada awal tahun 1996, Beijing secara sepihak menyatakan baseline di
yang sama untuk wilayah lain di kemudian hari (Heijmans, 2004: 510). Pada
tahun 2006, RRT memasang penanda baru di kawasan Paracel sehingga
menyebabkan kemarahan Vietnam dan dianggap sebagai tindakan “invalid”.
(Veronika, 2012: 53).
2.3.2 Sengketa Kepulauan Spratly
Selain Kepulauan Paracel, Vietnam memiliki sengketa di Kepulauan
Spratly. Vietnam bersengketa dengan RRT, Malaysia, Filipina, Brunei dan
Taiwan. Vietnam berebut klaim atas wilayah perairan sebelah barat Kepulauan
Spratly dengan RRT dan Taiwan. Sementara pada bagian lainnya, terjadi tumpang
tindih klaim terjadi antara Vietnam dengan Brunei, Malaysia, dan Filipina (Ahira,
2011).
Sengketa ini juga menyebabkan konflik antara Vietnam dengan RRT. Ini
terjadi setelah bersatunya kembali Vietnam pada tahun 1975, yaitu pada tahun
1988. Pasukan Vietnam dan RRT terlibat pada bentrokan atas Kepulauan Spratly
yang menewaskan 74 pelaut Vietnam (Miks, 2010). Bentrokan ini menghasilkan
penguasaan enam pulau di kepulauan Spratly oleh pihak RRT. Sebelum bentrokan
itu, RRT telah berhasil dalam pembangunan secara fisik di Kepulauan Spratly.
Setelah bentrokan itu, yaitu pada tahun 1989, tiga pulau karang di Kepulauan
Spratly yang diduki oleh Vietnam telah disewakan oleh RRT kepada Crestone
Energy Corporation. Pulau-pulau tersebut yaitu; Vanguard Bank (Bai Tu Chinh),
Prince Consort Bank (Bai Phuc Nguyen), dan Bank Grainger (Bai Que Duong)
Pada tahun 1992, Vietnam menegaskan kembali klaimnya, tidak hanya
terhadap RRT, tetapi juga terhadap klaim negara lainnya di kepulauan Spartly,
yaitu Malaysia, Filipina, dan Brunei. Laporan pada tahun 1992 menyatakan bahwa
tingkat personel Vietnam di kepulauan ini mencapai sekitar 1.000 orang, meliputi
tentara, pelaut dan beberapa pekerja konstruksi. Ini tersebar di 21 pulau di
kepulauan Spratly. Di Pulau Sin Cowe, Vietnam menempatkan artileri dan senjata
anti-pesawat, serta memiliki lapangan terbang kecil (Kang, 2000: 18).
Meskipun memiliki fasilitas militer, Vietnam tetap tidak dapat
menghindarkan ancaman di Kepulauan Spratly. Pada tahun 1995, artileri Taiwan
menembaki kapal barang Vietnam yang mendekati sebuah pulau yang dikuasai
Taiwan di Kepulauan Spratly (Deutsche Presse-Agentur, 1995). Ini mendorong
Vietnam untuk lebih agresif dalam menjaga klaim teritorialnya di wilayah
tersebut.
Pada tahun 1998, Vietnam telah mempertahankan wilayah sengketa pada
setidaknya lima kepulauan, yaitu kepulauan Spratly, Amboyna Cay, Sin Cowe,
Namyit, and Southwest Cay, dengan menghadirkan sekitar 350 tentara (Kang,
2000: 19). Atas dasar mempertahanankan wilayah tersebut, tentara Vietnam
menembaki sebuah kapal nelayan berbendera Filipina yang melukai seorang
nelayan Filipina pada tahun 1998 (Deutsche Presse-Agentur, 1998). Tindakan
tersebut juga terjadi pada tahun 1999, ketika tentara Vietnam menembaki pesawat
pengintai Filipina di dekat Kepulauan Spratly (Klare, 2002:124).
Sengketa batas wilayah Vietnam dengan RRT berawal pada tahun 1947,
ketika RRT menerbitkan sebuah peta yang merinci klaim wilayahnya di sebagian
besar kawasan LCS (Sihombing, 2012). Pada tahun 1992, badan legislatif
tertinggi RRT, Committee of the National People’s Congress, secara resmi
mengesahkan undang-undang tentang Perairan Teritorial. Undang-undang ini
secara resmi mengakui “the nine-dashed line” yang berbentuk U, dan juga dikenal
dengan "lidah sapi" sebagai perairan territorial RRT. Pemerintah RRT juga
memberdayakan militernya, the People’s Liberation Army (PLA) untuk
menggunakan kekuatan jika perlu dalam membela serta melawan pendudukan
atau serangan asing diwilayah tersebut (Kim, 2012: 30). “The nine-dashed line”
disampaikan kepada komisi PBB dengan menunjukan peta klaim wilayah RRT,
pada bulan Mei 2009 (Cordero, 2012). Berikut ini merupakan peta wilayah di
dalam “the nine-dashed line” ataupun 9 garis putus-putus yang merupakan klaim
RRT di LCS:
Gambar 2.3: Peta klaim RRT di wilayah Laut Cina Selatan
Sumber: Eurasia Review, September 10, 2012 dikutip dari O'Rourke pada; http://www.fas.org/sgp/crs/row/R42784.pdf
Peta tersebut disambut dengan protes resmi dari Vietnam, karena sebagian
wilayah Vietnam termasuk ke dalam peta RRT yang disampaikan kepada Komisi
PBB (Cordero, 2012). Wilayah Kepulauan Spratly dan Paracel yang diklaim oleh
Vietnam masuk juga kedalam peta wilayah yang disampaikan oleh RRT.
Tepatnya sebagian wilayah yang diklaim oleh RRT merupakan wilayah ZEE
Vietnam.
Hal di atas menimbulkan suatu ancaman pada lalu lintas nelayan dan
perdagangan laut Vietnam, berupa penangkapan kapal-kapal nelayan dan kapal
barang Vietnam oleh patroli RRT. Ini setidaknya terjadi sejak tahun 1992, ketika
RRT merebut sekitar 20 kapal kargo Vietnam yang mengangkut barang dari Hong
Kong (Klare, 2002:124). Pada periode 2005-2012, Vietnam mengatakan telah
terjadi penangkapan dan penyitaan terhadap 63 kapal nelayan dengan 725 awak,
oleh RRT sejak tahun 2005 di LCS. Vietnam lalu diminta membayar denda untuk
pembebasan mereka. Hal serupa sempat disoroti publik internasional kembali
pada tahun 2010, ketika patroli RRT melakukan penangkapan dan penyitaan
sebuah kapal nelayan Vietnam dengan 12 awak, di sekitar Paracel (Buszynski,
2012:143).
Selain penangkapan dan penyitaan terhadap kapal nelayan dan kapal barang
Vietnam, RRT juga telah memberlakukan larangan memancing tahunan di LCS.
RRT pertama menyatakan larangan tersebut pada tahun 1999. Ini dilakukan pada
bulan Juni sampai Juli setiap tahunnya. Pada tahun 2009, periode larangan
yang diberlakukan peraturan larangan memancing tersebut tidak begitu jelas,
walaupun pada dasarnya meliputi area sekitar Paracel (Buszynski, 2012: 143).
Berikut merupakan peta wilayah larangan memancing tahunan yang diberlakukan
oleh RRT:
Gambar 2.4: Wilayah larangan memancing (fishing ban)
Sumber: A Bilateral Network of Marine Protected Areas between Vietnam and China: An Alternative to the Chinese Unilateral Fishing Ban in the South China Sea? oleh Hai-Dang Vu, pada http://nghiencuubiendong.vn/en/conferences-and-seminars-/the-third- international-workshop-on-south-china-sea/668-a-bilateral-network-of-marine-protected- areas-between-vietnam-and-china-an-alternative-to-the-chinese-unilateral-fishing-ban-in-the-south-china-sea-by-hai-dang-vu
Di wilayah pada peta di atas, RRT telah mengirimkan kapal patroli
perikanan, yang dilaksanakan oleh angkatan kapal laut RRT. Ini untuk
menegakkan larangan memancing bagi Vietnam dan melindungi kapal-kapal
nelayan RRT. RRT juga telah mengumumkan rencana untuk meningkatkan
kekuatan maritimnya yaitu penambahan 16 pesawat dan 350 kapal pada tahun
melindungi keamanan maritim, dan memeriksa kapal-kapal asing yang beroperasi
di perairan RRT (Buszynski, 2012: 143-144).
Selain menghadirkan ketegangan-ketegangan antara Vietnam dengan RRT,
sengketa batas wilayah ini juga telah menghadirkan upaya diplomasi dari kedua
belah pihak. Pada tahun 1991 hingga September 2008, Menteri Pertahanan
Vietnam telah melakukan enam kali kunjungan ke Beijing, sementara Menteri
Pertahanan RRT mengunjungi Hanoi sebanyak tiga kali. Pada tahun 2006, Hanoi
menerima Menteri Pertahanan RRT, Cao Gangchuan, dalam rangka kerjasama
patroli bersama di LCS (Thayer, 2008: 5). Sejak itu, telah dilakukan operasi
penghapusan ranjau dan patroli angkatan laut bersama pertama di Teluk Tonkin
pada tanggal 27 April 2006 (Kim, 2012: 21-22). Selain itu, pada tahun 2006,
Vietnam dan RRT sepakat untuk melakukan eksploitasi minyak dan gas di
wilayah laut Teluk Tokin dalam garis demarkasi kedua negara. Setelah minyak
dan gas yang terdeteksi, kedua belah pihak akan bekerjasama dalam eksploitasi
bersama (Vietnamnet, 2013).
Kerjasama dalam eksploitasi bersama di kawasan LCS antara Vietnam
dengan RRT tidak mengurangi tensi keamanan bagi Vietnam. Pada 9 Juni 2011,
terjadi penyerangan atas kapal Vietnam oleh kapal RRT. RRT melakukan
pemotongan kabel eksplorasi yang dipasang oleh kapal survey yang digunakan
oleh perusahaan minyak Vietnam (PetroVietnam) dan RRT menuntut Vietnam
menghentikan kegiatan eksplorasi dikawasan tersebut (Hoang, 2011).
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat digambarkan terjadinya tensi
wilayah kedaulatan Vietnam, terutama di kepulauan Paracel dan Spratly. Selain
itu, sengketa batas ZEE dengan RRT juga mengakibatkan ancaman bagi lalu lintas
nelayan dan perdagangan Vietnam, serta menghalangi eksplorasi sumber daya
alam di kawasan tersebut. Dengan berbagai tantangan keamanan yang ada,
Vietnam memutuskan untuk bekerjasama dengan AS pada tahun 2011. Ini akan
BAB III
KERJASAMA MILITER VIETNAM DENGAN AMERIKA
SERIKAT DALAM MENGELOLA ANCAMAN KEAMANAN
LAUT CINA SELATAN PADA TAHUN 2011
Setelah melihat posisi dan klaim Vietnam di Laut Cina Selatan serta
ancaman keamanan di kawasan ini, maka bab ini akan membahas tentang upaya
Vietnam dalam mengelola ancaman keamanan tersebut melalui kerjasama militer
dengan AS. Ini diawali penjelasan rintisan awal kerjasama militer Vietnam
dengan AS, hingga hubungan srategis dalam mengelola ancaman keamanan LCS,
yang salah satunya melalui penandatanganan MoU tahun 2011. Dalam bab ini,
MoU akan dipaparkan melalui penjelasan tensi keamanan di LCS menjelang
penandatanganannya, serta peranan MoU itu sendiri dalam pengelolaan ancaman
keamanan di LCS.
3.1 Rintisan awal kerjasama militer Vietnam dengan AS
Kerjasama antara Vietnam dengan AS diawali dengan membaiknya
hubungan bilateral kedua negara pada tahun 1987, dengan adanya sebuah
kerjasama yang terkait dengan isu POW/MIA. Kerjasama ini berupa pencarian
pasukan AS yang hilang pada Perang Vietnam. Untuk kerjasama ini, Jenderal
Vessey dan Presiden Reagan melakukan suatu kunjungan khusus ke Vietnam
(Manyin, 2012:4).
Pada tahun 1995, normalisasi hubungan diplomatik secara resmi terjalin di
antara Vietnam dengan AS (Manyin, 2012:4). Kedua negara mulai menggagas
diplomatik. Namun, pemerintah Vietnam menunjukan keengganan untuk
melakukan hubungan kerjasama dengan AS di dalam sektor pertahanan (Jordan,
Stern, and Lohman, 2012: 3).
Pada tahun 1996 dan 1997, AS menawarkan Kementrian Pertahanan
Vietnam berbagai titik awal untuk kerjasama militer, dan mengemukakan
serangkaian kegiatan dalam kerjasama pertahanan. Ini dilakukan dengan tetap
memprioritaskan masalah POW/MIA (Jordan, Stern, and Lohman, 2012: 3).
Prosesnya dimulai pada bulan Juli 1996, ketika The U.S. National Security
Advisor, Anthony Lake, mengunjungi Vietnam untuk mulai membentuk hubungan
militer antara Vietnam dan AS. Pada bulan Oktober di tahun yang sama, asisten
Menteri Pertahanan, Kurt Campbell, memimpin delegasi yang terdiri dari
Departemen Pertahanan, Departemen Luar Negeri, Dewan Keamanan Nasional,
dan Komando Pasifik (USPACOM), pada kunjungannya ke Vietnam. Campbell
memulai diskusi dengan Menteri Pertahanan Vietnam, Letjen Nguyen Thoi Bung
mengenai hal-hal di luar POW/MIA. Campbell mengusulkan beberapa program,
yaitu: kunjungan beberapa kolonel senior Vietnam ke AS, kunjungan Komandan
Angkatan Laut AS ke Vietnam, kunjungan Universitas Pertahanan National AS
dan The Air Force War College. Campbell juga mengusulkan pertukaran pelajar,
latihan kemanusiaan secara multilateral, latihan bantuan bencana, dan pertukaran
pejabat peradilan militer. (Dalpino, 2005: 27).
Tawaran dan kunjungan-kunjungan yang dilakukan oleh AS ke Vietnam
direspon oleh Vietnam pada awal 1997 dengan suatu Keputusan Komite Sentral
bahwa lingkup kerjasama pertahanan dengan AS akan dilakukan dalam hal:
konferensi multilateral dan seminar yang diselenggarakan oleh Komando Pasifik
AS (PACOM), kunjungan militer, dan kerjasama bilateral praktis di berbagai
bidang seperti pencarian dan penyelamatan (SAR), militer medis, dan keamanan
lingkungan (Jordan, Stern, and Lohman, 2012: 3).
Namun, dengan kegiatan-kegiatan tersebut, pejabat senior di Kementerian
Pertahanan Vietnam masih merasa sulit untuk memahami niat pemerintah AS.
Vietnam masih berusaha untuk membatasi ruang lingkup kerjasama pertahanan.
Ketika AS menyebut hubungan kerjasama ini sebagai hubungan pertahanan,
Vietnam dalam hal ini hanya menekankan pada hubungan militer ke militer. Ini
menyiratkan bahwa Vietnam membatasi ruang lingkup kerjasama ke dalam aspek
yang lebih sempit, sehingga menimbulkan perbedaan ekspektasi dari kedua negara
(Jordan, Stern, and Lohman, 2012: 3-4).
Terdapatnya perbedaan ekspektasi antara Vietnam dan AS tidak
menurunkan minat kedua negara untuk memajukan kerjasama pertahanan. Pada
periode 2000-2004, hubungan kedua negara semakin erat. Ini diawali dengan
kunjungan Menteri Pertahanan AS, William Cohen, ke Hanoi dan Ho Chi Minh
City pada bulan Maret 2000. Cohen berfokus kepada perkembangan hubungan
pertahanan kedua negara dalam kerangka kerja yang lebih rutin. Dalam hal ini,
Cohen menyarankan hubungan kerjasama berkembang ke arah penelitian bersama
dalam bidang Agen Orange2 dan berbagai bidang lainnya, seperti penghapusan
2
ranjau darat, pencarian dan penyelamatan, bantuan bencana alam, penelitian
medis, dan dialog tentang isu-isu keamanan regional. (Dalpino, 2005: 28).
Kunjungan Cohen ke Hanoi juga menghasilkan kesepakatan dengan Menteri
Pertahanan Vietnam, Pham Van Tra. Vietnam menyetujui kunjungan kapal-kapal
militer AS ke Vietnam. Pham Van Tra menyatakan bahwa kunjungan kapal AS
akan menjadi aspek positif dari rencana bertahap dalam memperluas keterlibatan
militer (Jordan, Stern, and Lohman, 2012: 5). Pada tahun yang sama, Presiden
William Clinton mengunjungi Vietnam yang merupakan perjalanan pertama
Presiden AS ke Vietnam sejak Richard Nixon pergi ke Saigon (sekarang Ho Chi
Minh City) pada tahun 1969 (Manyin, 2012:4).
Dari tahun 2000 hingga 2004, Kementerian Pertahanan Vietnam bekerja
keras untuk memastikan bahwa komitmennya dalam peningkatan keterlibatan
militer AS bukan sebagai tujuan kebijakan luar negeri secara keseluruhan.
Vietnam tidak ingin tergantung secara militer pada kerjasama dengan satu negara
saja. Oleh karena itu, Kementrian Pertahanan Vietnam akan memastikan terlebih
dahulu kerjasama pertahanan ini tidak akan memiliki dampak strategis pada
hubungan bilateral Vietnam dengan negara lainnya. Yaitu terhadap hubungan
bilateral dengan RRT dan hubungan multilateral dengan negara tetangga di Asia
Tenggara yang tergabung dalam the Association of Southeast Asian Nation
(ASEAN) (Jordan, Stern, and Lohman, 2012: 5).
Pada tahun 2005 sampai 2010, hubungan pertahanan Vietnam dengan AS
mulai berkembang secara strategis. Ini diawali dengan pertemuan antara Menteri
di Washington DC pada pertengahan 2005 (Jordan, Stern, and Lohman, 2012: 6).
Pada tahun yang sama, Vietnam menandatangani perjanjian akhir yang menjadi
syarat untuk memulai Pendidikan Militer dan Pelatihan dalam International
Millitary Education and Training (IMET). Ini ditujukan untuk menerima
pelatihan bahasa Inggris bagi militer Vietnam di AS (Manyin, 2013: 22). Tahun
2005 menjadi awal dilaksanannya program pendidikan dan pelatihan militer
dalam kerjasama militer Vietnam dengan AS. Berikut ini merupakan grafik
pendidikan dan pelatihan militer Vietnam dalam IMET sejak tahun 2005-2008.
Gambar 3.1: Pendidikan dan Pelatihan militer Vietnam dalam IMET
Sumber: US Department of Defense Security Cooperation Agency Historical Facts Book, 2008 dalam jurnal Contemporary Southeast Asia, Volume 32, Nomer 3. Institute of Southeast Asian Studies, 2010.
Dalam pengembangan strategis selanjutnya, Vietnam dan AS merancang
rencana untuk mendatangkan kapal-kapal Angkatan Laut AS di perairan Vietnam.
Pada tahun 2007 dan 2008, kapal angkatan Laut AS dan kapal kemanusiaan
Vietnam juga mengikuti pelatihan penjaga perdamaian, latihan angkatan laut
gabungan seperti Passing Exercise (PASSEX), mendiskusikan tentang Acquisition
and Cross-Servicing Agreement (ACSA), melakukan kerjasama hidrografi, dan
studi bersama mengenai dampak strategis dari pergeseran meteorologi dan
perubahan permukaan laut (Jordan, Stern, and Lohman, 2012: 6). Ini dilanjutkan
dengan penandatanganan International Traffic in Arms Regulations (ITAR) pada
tahun 2007, yang merupakan upaya pembatasan dalam perdagangan
senjata-senjata militer yang tidak mematikan atau non-lethal weapon” (Manyin, 2012:21).
Pada tahun 2008, pemerintahan Bush melalui Kementerian Pertahanan AS
berupaya membawa kerjasama dengan Vietnam ke tingkat yang lebih tinggi.
Upaya AS tersebut mendapatkan respon positif dari Vietnam. Vietnam mulai
membuka diri dalam diskusi yang mengarah pada isu-isu pertahanan regional,
serta modernisasi pertahanan Vietnam (Jordan, Stern, and Lohman, 2012: 6-7).
Pada akhirnya, di tahun 2009, AS memberikan pendanaan militer asing
(FMF) untuk mendorong modernisasi pertahanan Vietnam sebesar $ 500.000
(Manyin, 2011:20). Mengenai penjualan militer asing (FMS), menurut
Departemen Luar Negeri AS, Vietnam mengajukan surat permintaan untuk suku
cadang helikopter dan laboratorium Bahasa Inggris (Manyin, 2012:21).
Pendanaan militer asing (FMF) dilanjutkan pada tahun 2010 sebesar $ 1.350.000
(Manyin, 2011:20).
Mulai tahun 2010, kedua negara mempercepat proses kerjasama dengan
salah satu mitra baru sebagai bagian dari upaya rebalancing3 AS di kawasan
Asia-Pasifik (Manyin, 2012:1). Pada tanggal 17 Agustus 2010, Asisten Menteri
Pertahanan AS untuk Asia Selatan dan Asia Tenggara, Robert Scher, bertemu
Wakil Menteri Pertahanan Vietnam, Nguyen Chi Vinh, untuk melakukan dialog
pertahanan formal yang pertama (Brown, 2010: 333). Pada tahun ini, kedua
negara berupaya untuk merespon RRT yang meningkatkan klaimnya ke perairan
dan pulau-pulau di LCS, serta terus bekerja sama pada isu-isu kebebasan dan
keamanan maritim (Manyin, 2012:1). Kerjasama Vietnam dengan AS dalam
mengelola ancaman keamanan LCS terus ditingkatkan pada tahun 2011, yang
akan dipaparkan pada bagian selanjutnya.
3.2 Tensi keamanan LCS menjelang penandatanganan MoU 2011
Kerjasama militer Vietnam dengan AS selama tahun 2011 bertujuan untuk
meningkatkan hubungan kedua negara ke dalam tingkat yang lebih strategis. Yaitu
dengan memfokuskan pengembangan kemampuan militer kedua negara dan
memperluas batas-batas keterlibatan militer yang ditujukan untuk memenuhi
tantangan keamanan (Jordan, Stern, and Lohman, 2012: 7-8).
Pada pertengahan 2011, Vietnam mengirimkan perwira angkatan darat
pertama ke U.S. National War College. Senior Kolonel Hà thanh Chung, seorang
kepala departemen di The Vietnamese Military Science Academy, yang bergabung
3
kebijakan rebalancing merupakan kebijakan menyeimbangkan kembali kekuatan strategis AS pada pemerintahan Presiden Obama di kawasan Asia Pasifik, khususnya untuk bidang
pada periode 2011-2012 untuk satu tahun studi (Jordan, Stern, and Lohman, 2012:
6).
Selain itu, Vietnam dan AS melakukan kerjasama dalam hal perbaikan
kapal noncombatant AS. Yaitu perbaikan kapal kargo dan amunisi, Military
Sealift Command (MSC) yang dinahkodai oleh Richard E. Byrd, yang
mengunjungi pelabuhan Cam Ranh pada bulan Agustus 2011. Ini merupakan
kunjungan yang pertama oleh sebuah kapal Angkatan Laut AS ke pelabuhan Cam
Ranh selama lebih dari tiga dekade. Byrd menghabiskan tujuh hari di Cam Ranh
untuk perbaikan dan pemeliharaan rutin, yaitu pembersihan lambung kapal,
pembersihan baling-baling kapal, perbaikan pipa kapal, perbaikan sistem
pendingin salt water cooling yang mendinginkan mesin kapal dan mengaktifkan
AC (air conditioning) (Baxter, 2011: 1).
Pada bulan Juni 2011, Asisten Menteri Luar Negeri untuk Urusan Politik
dan militer AS, Andrew J. Shapiro, bertemu Wakil Menteri Luar Negeri Vietnam,
Pham Binh Minh, untuk berbagi pandangan mengenai hubungan bilateral dan
masalah keamanan regional. Yaitu membahas langkah-langkah untuk lebih
memperkuat kerjasama nonproliferasi, kontraterorisme, kontra narkotika,
POW-MIA, penanganan dioxin, isu-isu agen orange, bantuan kemanusiaan dan bantuan
bencana, serta aspek-aspek lain dalam kerjasama pertahanan dan keamanan.
Kedua belah pihak juga berkomitmen untuk bekerja menuju "kemitraan strategis"
antara Vietnam dengan AS. Hubungan kemitraan strategis ini khususnya
ditujukan untuk menanggapi tensi keamanan di LCS (Jordan, Stern, and Lohman,