• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kerjasama militer Vietnam dengan Amerika Serikat dalam mengelola ancaman keamanan Laut Cina Selatan Tahun 2011

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Kerjasama militer Vietnam dengan Amerika Serikat dalam mengelola ancaman keamanan Laut Cina Selatan Tahun 2011"

Copied!
80
0
0

Teks penuh

(1)

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Soial (S.Sos)

oleh: Akbar Fitriyasa

108083100015

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

JURUSAN HUBUNGAN INTERNASIONAL

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

(2)
(3)
(4)
(5)

v

menggunakan metode kualitatif yang bersifat deskriptif analitis. Dalam penulisan, penulis menggunakan data sekunder, yakni data yang diperoleh dari kajian pustaka, seperti, buku, artikel, jurnal, koran, majalah, hasil penelitian dan situs internet (website) yang dianggap relevan. Kerangka pemikiran yang digunakan dalam skripsi ini adalah teori neo-realisme, serta konsep keamanan nasional, aliansi dan perimbangan kekuatan (balance of power).

Penulis menemukan bahwa kerja sama militer Vietnam dengan AS melalui MoU 2011 dilatar belakangi oleh tiga faktor. Pertama, hal tersebut ditujukan untuk meningkatkan kapabilitas Angkatan Laut Vietnam, serta dapat menghadirkan Angkatan Laut AS di LCS, sehingga dapat mengimbangi Angkatan Laut Republik Rakyat Tiongkok (RRT) di LCS. Kedua, MoU tersebut ditujukan untuk menjaga aset-aset serta kegiatan ekonomi Vietnam dari agresifitas patroli RRT di LCS. Ketiga, Vietnam berani melakukan MoU dengan AS, meskipun dikritik RRT, karena adanya dukungan negara-negara Asia Tenggara, yaitu berupa persamaan kepentingan antara AS, Vietnam dan negara-negara Asia Tenggara lainnya. Dengan demikian, orientasi dari MoU 2011 bukan hanya semata-mata untuk pengelolaan masalah keamanan maritim biasa saja, namun juga untuk tujuan perimbangan kekuatan terhadap RRT di LCS.

Kata kunci: Vietnam, kerjasama militer, keamanan nasional, Laut Cina Selatan,

(6)

vi

segenap daya dan upaya mampu menyelesaikan tulisan ini. Shalawat dan salam

semoga selalu tercurahkan kepada Rasulullah SAW, keluarga serta para

sahabatnya yang telah menjadi jalan bagi umatnya dalam menempuh keselamatan

dan kebahagiaan di alam semesta ini dengan bergelimang ilmu pengetahuan.

Skripsi ini disusun sebagai salah satu tugas akademis di Universitas Islam

Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta dalam rangka mencapai gelar sarjana pada

jurusan Hubungan Internasional. Dalam menyusun skripsi ini, penyusun

menyadari sepenuhnya bahwa skripsi ini dapat terselesaikan atas bantuan dari

berbagai pihak yang telah mendorong dan memotivasi serta membimbing penulis,

baik tenaga, ide maupun pemikiran. Oleh karena itu, penulis ingin mengucapkan

terimakasih kepada:

Kedua Orang tua, yang senantiasa mendampingi disaat suka maupun duka.

Terima kasih tak terhingga kepada Ayahanda Muchtar Effendi dan Ibunda tercinta

Badriyah, atas segala daya upaya, kucuran keringat, sujud panjang serta do’a yang

terus mengalir kepada Allah SWT, letihmu yang terus harapakan keselamatan

juga keberhasilan hidup penulis.

Ibu Mutiara Pertiwi, M.A, selaku dosen pembing, Ibu Debbie Affianty,

M.A, selaku Ketua Jurusan dan para staff dosen yang terlibat dalam membantu

dan membimbing dengan ikhlas atas kesediaan waktu, arahan, motivasi dan

(7)

vii

Seluruh keluarga besar HI Internasional 2008, kawan terbaikku dalam

berjuang “Alm. Bung Noviar Nurdiansyah, Bung Faruq Muhandis, Bung Fajar Fiqh, Bung Mazhar Sandy Priagung dan Bung Haryo Dewanto”, serta teman

-teman terbaikku, senior HI internasional beserta keluarga Najong.

Keluarga besar Sedap Malam, khususnya M. Alfrad Rusyd, dan

kawan-kawan HMI komisariat FISIP. Serta tidak lupa teman satu atap penulis “Ahmad Mukhlis Jaylani (Oghut, Embe, Jay, Ro’uf, Mukhlis), Ferry Bastian (Peri), Haris

Maknawi (Haris).

Segenap civitas akademik Universitas Islam Negeri Syarrif Hidayatullah

Jakarta, mudah-mudahan atas segala bantuan serta budi baik yang telah penulis

terima selama menjalani pendidikan, mendapatkan ridha Allah SWT. Semoga

skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi pembaca, amin. Atas segala

perhatiannya penulis haturkan terimakasih.

Wassalamu’alaikum. Wr. Wb.

Jakarta, 16 Mei 2014

(8)

viii

1.5.3 Perimbangan Kekuatan (balance of power)……… 12

1.6 Hipotesis……….. 13

1.7 Metode Penelitian……… 14

1.8 Sistematika Penulisan……….. 15

BAB II Ancaman Keamanan Terhadap Vietnam di Laut Cina Selatan 2.1Posisi Vietnam di Laut Cina Selatan……….. 16

2.2Klaim Vietnam di Laut Cina Selatan………..… 19

2.3 Sengketa terhadap Vietnam di Laut Cina Selatan………. 23

2.3.1 Sengketa Kepulauan Paracel……… 23

2.3.2 Sengketa Kepulauan Spratly ……… 25

2.3.3 Sengketa batas ZEE dengan RRT ……… 26

BAB III Kerjasama Militer Vietnam dengan Amerika Serikat dalam mengelola Ancaman Keamanan Laut Cina Selatan pada tahun 2011 1.1 Rintisan awal kerjasama militer Vietnam dengan Amerika Serikat 32 1.2 Tensi keamanan LCS menjelang penandatanganan MoU 2011... 38

1.3 MoU dalam pengelolaan LCS tahun 2011……….. 41

(9)

ix

(10)

x

dasar “base line”………...………… 18

Gambar2.2 : Klaim wilayah Vietnam setelah memasukan kepulauan Paracel dan Spratly ...………... 22

Gambar 2.3: Peta klaim RRT di wilayah Laut Cina Selatan…...………… 27

Gambar 2.4: Wilayah larangan memancing (fishing ban)…...…………... 29

Gambar 3.1: Pendidikan dan Pelatihan militer Vietnam dalam IMET…... 36

Gambar 4.1: Perbandingan Angkatan Laut Amerika Serikat dengan RRT.. 49

Gambar 4.2: Lokasi penyerangan atas kapal Vietnam oleh kapal RRT... 53

(11)

xi

LCS Laut Cina Selatan

AS Amerika Serikat

PBB Perserikatan Bangsa-bangsa

MoU Memorandum of Understanding

UNCLOS United Nations Convention Law of Sea

POW Prisoner of war

MIA Missing in action

ZEE Zona Ekonomi Eksklusif

Tcf Trillion cubic feet

ASEAN Association of Southeast Asian Nation

IMET International Millitary Education and Training

PASSEX Passing Exercise

ACSA Acquisition and Cross-Servicing Agreement

ITAR International Traffic in Arms Regulations

NDU National Defense University’s FMF Foreign Military Financing

FMS Foreign Military Sales

PLA People Liberation Army

MSO Maritime Security Operations

SAR Search and Rescue

UNPKO United Nations Peacekeeping Operations

HADR High availability disaster recovery

USCG United States Coast Guard

USPACOM United States Pacific Command

DOC Declaration on the Conduct

(12)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang

Laut Cina Selatan (LCS) merupakan wilayah di kawasan Asia Pasifik yang

mengalami berbagai kasus perbatasan maritim. Kasus-kasus tersebut terjadi

setidaknya sejak awal abad 20, ketika klaim teritorial mulai diperebutkan oleh

Republik Rakyat Tiongkok (RRT) dan dua kekuatan kolonial, yaitu: Jepang dan

Perancis di perairan ini (Vietnam White Paper oleh Ministry of Foreign Affairs,

1975: 17-18). Setelah Perang Dunia II, muncul juga persaingan klaim-klaim baru

di antara negara-negara yang baru memerdekakan diri di perairan LCS. Salah satu

negara yang terlibat dalam sengketa klaim teritorial di perairan tersebut adalah

Vietnam. Skripsi ini akan menganalisis upaya Vietnam dalam mengelola

keamanan di LCS melalui kerjasama militer dengan Amerika Serikat (AS).

Berdasarkan letak geografisnya, Vietnam merupakan salah satu negara

Indocina yang mempunyai garis pantai sepanjang 3,444 kilometer, yang

berbatasan langsung dengan LCS (Womack, 2006:57). Pada lepas pantai Vietnam,

terdapat kawasan perairan LCS dan dua kepulauan yang masih menjadi sengketa,

yaitu kepulauan Spratly dan Kepulauan Paracel. Di Kepulauan Spratly, Vietnam

memiliki sengketa dengan RRT, Taiwan, Filipina, Malaysia dan Brunei.

Sedangkan, di Kepulauan Paracel, Vietnam memiliki sengketa dengan RRT dan

Taiwan (Ahira, 2011). Sengketa perairan di LCS serta sengketa di Kepulauan

(13)

dengan negara yang mengklaim kedaulatannya atas perairan dan kepulauan

tersebut.

Keberadaan negara-negara yang mengklaim wilayah kedaulatan Vietnam di

LCS merupakan sebuah ancaman eksternal bagi Vietnam. Sebagaimana dikatakan

pada National Defense White Paper oleh Departemen Pertahanan Vietnam yang

dirilis pada bulan Desember 2009.

Concerning the disputes over sovereignty, sovereign rights and jurisdiction over the territories in the East Sea, the complicated developments so far have seriously affected many activities and the maritime economic development of Vietnam. [Mengenai Perselisihan kedaulatan, hak berdaulat dan yurisdiksi atas wilayah di Laut Timur, perkembangan rumit sejauh ini, berdampak serius pada banyak kegiatan dan pembangunan ekonomi maritim Vietnam] (National Defense White Paper dikutip The National Institute for Defense Studies, 2010:114).

Pernyataan tersebut menunjukan skala sengketa territorial di LCS sudah

menjadi ancaman serius bagi ekonomi Vietnam. Dalam menghadapi ancaman

tersebut, Vietnam melakukan diplomasi dan berbagai kerjasama pertahanan.

National Defense White Paper mengatakan bahwa kerjasama pertahanan

merupakan salah satu faktor yang paling penting untuk mencapai tujuan

pertahanan Vietnam. Oleh karena itu, Vietnam secara aktif berpartisipasi dalam

kerjasama pertahanan dan keamanan di regional dan internasional. Pada tingkat

bilateral, Vietnam mempromosikan kerjasama militer dengan beberapa negara

(The National Institute for Defense Studies, 2010: 121). Salah satu kerjasama

militer yang dilakukan oleh Vietnam adalah dengan AS, yang merupakan fokus

analisis skripsi ini.

Sebenarnya, Vietnam dengan AS memiliki sejarah konflik pada masa

Perang Dingin, khususnya pada periode (1954-1975) (Cuong, Nguyet, Thanh,

(14)

Utara, yang kemudian menyatukan Vietnam Utara dengan Selatan di bawah

pemerintahan sosialis. Sejak saat itu, hubungan diplomatik Vietnam dengan AS

tidak terjalin selama lebih dari 15 tahun, karena AS memberlakukan sanksi

ekonomi dan memutuskan hubungan diplomatik dengan Vietnam (Babson, 2002:

1).

Membaiknya hubungan bilateral kedua negara diawali pada tahun 1987. Ini

dilakukan dengan melalui sebuah kerjasama yang terkait dengan isu POW/MIA

(prisoner of war / missing in action). Pada tahun 1991, kedua negara

memutuskan untuk memperbaiki hubungan diplomatik secara resmi (Manyin,

2012:4). Sejak normalisasi hubungan, berbagai kerjasama telah dilakukan dalam

berbagai aspek, salah satunya dalam aspek militer.

Kerjasama militer Vietnam dengan AS dilakukan dalam beberapa tahapan.

Tahapan awal yaitu pada periode 1996-1999 yang berfokus pada tiga jenis

kerjasama militer, yaitu: konferensi multilateral dan seminar yang

diselenggarakan oleh Komando Pasifik AS; kunjungan militer dan kerjasama

dalam bidang pencarian dan penyelamatan korban bencana; dan yang terakhir

mengenai keamanan lingkungan. Tahapan berikutnya dilakukan pada periode

tahun 2000-2004, dimana AS mendorong hubungan kerjasama militer ke arah

yang lebih strategis, seperti upaya AS untuk memodernisasi militer Vietnam dan

upaya untuk melakukan latihan pertahanan bersama (Jordan, Stern, and Lohman,

2012: 3-4).

Meskipun kemitraan pertahanan ini menguntungkan Vietnam, namun

(15)

dampak negatif terhadap hubungan luar negerinya dengan negara lain. Khususnya,

ini dikhawatirkan akan mengundang kecurigaan dan menciptakan insecurity bagi

RRT dan negara-negara Asia Tenggara lainnya. Kehadiran AS dalam skema

pertahanan Vietnam akan mempengaruhi kalkulasi perimbangan kekuatan di LCS,

yang ditakutkan dapat meningkatkan tensi keamanan yang ada.

Kekhawatiran di atas menjadi kenyataan ketika RRT merespon negatif

peningkatan hubungan kerjasama militer Vietnam dengan AS yang dilakukan

pada tahun 2010. Setelah kunjungan Hillary Clinton ke Hanoi pada tahun 2010,

RRT menyatakan akan menggunakan kekuatan militer atau sound of cannon

untuk menyelesaikan sengketa territorial di perairan LCS. Selain pernyataan

tersebut, RRT meningkatkan intensitas patroli di kawasan tersebut yang

mengakibatkan 20 kali penangkapan nelayan Vietnam oleh Angkatan laut RRT di

LCS pada tahun 2010 (Veronika, 2012: 6-108). Hal ini merupakan suatu resiko

dan dampak dari hubungan kerjasama militer Vietnam dengan AS. Apabila tidak

dikelola dengan tepat, kemitraan Vietnam dengan AS justru dapat memprovokasi

perang terbuka di LCS.

Namun, terlepas dari kekhawatiran terhadap resiko strategis tersebut,

Vietnam tetap melanjutkan kemitraan dalam kerjasama militer dengan AS pada

tahun 2011. Salah satu wujudnya berupa pelaksanaan latihan militer gabungan

Vietnam dan AS di kawasan LCS pada bulan Juli 2011. Pelaksanaan latihan

militer gabungan ini dengan segera mendapat respon dari RRT. Ini tertulis dalam

(16)

latihan militer Vietnam dengan AS dianggap sebagai unjuk kekuatan militer untuk

menantang Beijing (BBC, 2011).

Dihadapkan pada pernyataan yang provokatif tersebut, Vietnam tetap

mempertahankan hubungan pertahanannya dengan AS dengan suatu langkah

penegasan dalam kemitraan. Ini dilakukan dalam sebuah Memorandum of

Understanding (MoU) yang ditandatangani antara Vietnam dan AS, pada bulan

September 2011. Dengan pelaksanaan MoU 2011, kedua negara menegaskan

kembali komitmen untuk implementasi penuh dalam melanjutkan kesepakatan

Politik, Keamanan, dan Dialog Kebijakan Pertahanan (Thayer, 2013).

Langkah penegasan kemitraan Vietnam dengan AS dalam MoU 2011

tersebut merupakan fokus analisis skripsi ini. Apabila Vietnam mempertaruhkan

stabilitas keamanan LCS demi kemitraan pertahanannya dengan AS, ini diduga

dikarenakan adanya peluang pencapaian kepentingan yang lebih besar bagi

Vietnam. Hal ini yang berusaha diungkap dalam pemaparan dan analisis di

bab-bab berikutnya.

1.2 Pertanyaan Penelitian

Komitmen Vietnam dalam melakukan kerjasama militer dengan AS ini akan

menjadi fokus analisis penulis. Skripsi ini akan membahas; “Mengapa Vietnam

melanjutkan kerjasama militer dengan AS melalui MoU 2011, meskipun beresiko

meningkatkan tensi keamanan di LCS?”

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian

Adapun tujuan yang akan dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai

(17)

1) Untuk mengetahui bentuk-bentuk ancaman di LCS terhadap

kedaulatan dan keamanan wilayah Vietnam.

2) Untuk mengetahui kesepakatan kesepakatan strategis serta

bentuk-bentuk kerjasama militer antara Vietnam dengan AS pada tahun 2011,

dalam mengelola ancaman keamanan Vietnam di LCS.

3) Untuk mengungkap faktor pendorong Vietnam dalam meningkatkan

kerjasama militer dengan AS melalui MoU 2011.

Adapun manfaat penelitian dalam penelitian ini sebagai berikut

1) Menambah literatur dalam bidang studi Hubungan Internasional,

khususnya mengenai permasalahan sengketa perairan.

2) Meningkatkan pemahaman tentang upaya negara dalam mengelola

sengketa perairan yang dilakukan melalui kerjasama pertahanan,

khususnya kerjasama militer Vietnam dengan AS di LCS.

1.4 Tinjauan Pustaka

Bagian tinjauan pustaka ini mengkaji tiga penelitian terdahulu tentang

kerjasama Vietnam dengan AS. Penelitian pertama berjudul “U.S.-Vietnam

Military Relations: Game Theory Perspective” ditulis oleh Ngan M. Kim.

Penelitian tersebut diajukan untuk memperoleh gelar Master Of Science dalam

bidang Defense Analysis, di Naval Postgraduate School AS, pada bulan Juni 2012.

Kim berargumen bahwa Vietnam telah belajar pada pengalaman aliansi dengan

Uni Soviet, yaitu bahwa sebuah aliansi militer dengan pihak asing hanyalah

bersifat sementara. Karenanya, bagi Vietnam, AS tidak dapat mempengaruhi

(18)

dari RRT. Meskipun sama-sama membahas kerjasama militer Vietnam dengan

AS, fokus skripsi Kim ialah memberikan analisis prediktif. Sedangkan dalam

skripsi ini, penulis lebih memfokuskan kepada analisis faktor kerjasama militer

Vietnam dengan AS. Kim berusaha mengidentifikasi pilihan kebijakan Vietnam di

masa depan, sedangkan skripsi ini berusaha memahami kebijakan yang sudah

terjadi.

Literatur kedua yang dikaji adalah “Pengaruh Komponen Geopolitik

Terhadap Konflik Di Laut China Selatan Antara China-Vietnam Pada Periode

2009-2011” ditulis oleh Nuri Widiastuti Veronika. Penelitian tersebut diajukan

untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Hubungan

Internasional di Universitas Indonesia, pada bulan juli 2012. Veronika dalam

penelitiannya mempertanyakan: “Bagaimana pengaruh komponen geopolitik

terhadap konflik teritorial Cina-Vietnam di Laut Cina Selatan periode

2009-2011?” Ini dijawab dengan argumen bahwa terdapat tiga komponen geopolitik

yang mempengaruhi konflik teritorial Cina-Vietnam di LCS, yaitu wilayah,

komponen energi, dan komponen power. Meskipun sama-sama membahas konflik

dan sengketa wilayah maritim Vietnam di LCS, fokus skripsi Veronika tersebut

berbeda dengan penelitian skripsi ini. Dalam skripsi ini, penulis lebih

memfokuskan kepada kerjasama militer Vietnam dengan AS dalam menanggapi

sengketa wilayah tersebut pada tahun 2011.

Literatur yang ketiga yang dikaji adalah “Balancing And Bandwagoning In

The South China Sea” ditulis oleh Jonathan R. Martin, yang diajukan untuk

(19)

pada tahun 2013. Martin dalam penelitiannya mempertanyakan: “Apakah negara

-negara di Asia Tenggara melakukan balancing atau bandwagoning terhadap Cina?

Ini dijawab dengan argumen bahwa negara-negara Asia Tenggara cenderung

melakukan balancing terhadap Cina. Ini terjadi sejak krisis ekonomi global pada

akhir tahun 2007 dan 2008 melalui penguatan hubungan Filipina dan Vietnam

dengan AS. Meskipun sama-sama membahas kerjasama militer Vietnam dengan

AS, fokus skripsi Martin tersebut berbeda dengan penelitian skripsi ini. Dalam

skripsi ini, penulis lebih memfokuskan kepada kerjasama militer Vietnam dengan

AS dalam menanggapi beberapa sengketa wilayah Vietnam di LCS.

1.5 Kerangka Teori

Logika argumen dalam penelitian ini mengacu pada pemahaman teori

Neo-realisme yang mengungkapkan bahwa: struktur dalam sistem internasional yang

membentuk perilaku negara (Waltz, 1979: 108). Dalam anarki, setiap negara

memiliki kedaulatan yang setara, sehingga tidak ada otoritas yang lebih tinggi

tingkatannya di atas negara. Dalam sistem yang anarki, tidak ada kepastian bahwa

negara yang satu tidak akan menyerang negara yang lain. Oleh karena itu, timbul

ketakutan dan ketidak percayaan antar satu negara dengan lainnya. Negara akan

memastikan dirinya mendapatkan kekuatan untuk dapat melindungi diri dari

ancaman yang mungkin timbul dari negara lain untuk keberlangsungan negara itu

sendiri (Dunne dan Smith, 2010:77-94).

Menurut pandangan ini, rasa tidak aman sebagian besar merupakan hasil

dari struktur sistem internasional. Hal ini menjadikan Neo-Realisme sering

(20)

politik internasional akan selalu penuh konflik (Baylis dan Smith, 2005:303).

Untuk pemikir Neo-realis, seperti Mearsheimer, politik internasional tidak selalu

ditandai oleh perang yang nyata, namun pasti terdapat unsur kompetisi keamanan.

Dalam situasi kompetitif, kerjasama antar negara dapat dilakukan. Namun,

kerjasama tersebut akan sangat terbatas dari segi ruang maupun waktu

(Mearsheimer dikutip Baylis dan Smith, 2005:303). Kerjasama akan sulit bertahan

karena faktor relative gain, yaitu satu pihak mendapatkan keuntungan yang lebih

besar dan pihak yang lain mendapatkan keuntungan yang lebih kecil (Jackson dan

Sorensen, 2005: 130-131). Hal ini menjadikan tindakan kerjasama antara negara

hanya akan terjadi dalam hal perimbangan kekuasaan “balance of power” dan

tanpa memperhatikan faktor-faktor lain, seperti ekonomi, dan lain-lain (Waltz,

1979: 195). Atas dasar kerangka teori ini, penulis akan memakai tiga konsep

dalam menjawab pertanyaan penelitian, yaitu: keamanan nasional, aliansi, dan

balance of power. Ketiganya akan dijelaskan di bawah ini.

1.5.1 Keamanan Nasional

Secara etimologis, keamanan “security” berasal dari bahasa latin “securus

ataupun “se + cura” yang bermakna terbebas dari bahaya dan terbebas dari

ketakutan “free from danger, free from fear”. Kata ini juga bisa bermakna dari

gabungan kata “se” yang berarti tanpa dan “curus” yang berarti uniasiness atau

kegelisahan. Sehingga, bila digabungkan, kata ini bermakna terbebas dari

kegelisahan, atau situasi damai tanpa resiko atau ancaman (Liota dikutip

(21)

Pengertian di atas menyatakan bahwa konsep keamanan nasional merupakan

suatu kondisi tidak terdapatnya ancaman militer atau kemampuan suatu negara

untuk melindungi diri dari serangan militer yang berasal dari lingkungan

eksternalnya (Haftendorn dikutip Hermawan, 2007:28). Sejalan dengan

pemahaman di atas, Walter Lippmann, juga menyatakan bahwa sebuah bangsa

dapat dikatakan aman ketika negara tersebut tidak dalam bahaya, dan harus

menghindari perang, ataupun mampu untuk memberikan kemenangan jika

terdesak ke dalam sebuah perang. Sedangkan, Arnold Wolfers memaknakan

konsep keamanan adalah suatu hal yang obyektif, ukuran adanya ancaman

terhadap nilai-nilai merupakan hal yang subyektif, yaitu merupakan perasaan

tidak adanya ketakutan bahwa nilai-nilai tersebut akan diserang (Baylis and Smith

dikutip Hermawan, 2007:29).

Dalam pengupayaan keamanan nasional, ancaman keamanan dapat dihadapi

dengan kapabilitas dan penggunaan kekuatan militer. Sekurang-kurangnya

terdapat empat fungsi kekuatan militer dalam politik internasional. Pertama,

kekuatan militer yang digunakan sebagai prestige power, dimana suatu negara

menunjukkan keunggulan militernya untuk dapat menggetarkan lawan. Kedua,

kekuatan militer digunakan sebagai detterence power atau kekuatan penangkal,

yaitu negara meyakinkan lawannya tentang konsekuensi yang akan dihadapi bila

memulai peperangan. Ketiga, kekuatan militer dibangun sebagai kekuatan

pertahanan (defensive power), yang bertujuan untuk melindungi diri dari musuh

dengan cara bertahan. Keempat, kekuatan militer digunakan sebagai alat pemaksa

(22)

menekan negara lainnya, sehingga dapat mengikuti keinginannya (Jemadu, 2008:

146-147).

Upaya dalam meningkatkan kapabilitas kekuatan militer suatu negara dapat

dilakukan dengan melalui peningkatan kualitas dan kuantitas persenjataan, serta

pelatihan dan pendidikan militer. Ini dapat dicapai dengan meningkatkan

anggaran belanja militer. Selain itu, juga dapat dicapai dengan melalui kerjasama

pertahanan.

1.5.2 Aliansi

Kerjasama pertahanan dilakukan untuk meningkatkan kapabilitas kekuatan

militer dan menanggapi ancaman keamanan yang ada. Ini salah satunya dengan

menerapkan konsep aliansi. Menurut George Liska (1968), aliansi merupakan

asosiasi resmi antara dua negara atau lebih terhadap ancaman dari negara ketiga

yang lebih kuat. Sedangkan menurut Holsti, Hopmann, dan Sullivan, aliansi

merupakan perjanjian formal antara negara-negara yang bersangkutan terhadap

masalah keamanan nasional (Bergsmann, 2001: 25-26). Pengertian-pengertian di

atas menjelaskan bahwa aliansi dilakukan dengan suatu ikatan perjanjian formal.

Dengan kata lain, terdapat legitimasi bahwa kedua negara atau lebih telah

melakukan hubungan aliansi.

Namun, Stephen M. Walt menekankan bahwa pengaturan aliansi juga dapat

bersifat informal. Ia berargumen bahwa aliansi merupakan suatu pengaturan

formal atau informal dalam kerjasama keamanan antara dua negara atau lebih

(Bergsmann, 2001: 27). Aliansi yang berbentuk formal merupakan aliansi yang

(23)

terang-terangan (publicly recognized). Ini berarti kedua belah pihak atau lebih telah

menyatakan kepada publik bahwa telah terdapat perjanjian “treaty” yang

membentuk hubungan aliansi. Sedangkan, aliansi informal tidak ditandai oleh

kedua hal tersebut (treaty dan publiclyrecognized), bahkan dapat juga dicapai

dengan hanya perjanjian secara rahasia oleh kepala negaranya (Griffiths, Martin

dan O’Callaghan, 2002: 1).

Dalam pelaksanaannya, aliansi merupakan sebuah upaya negara dalam

merespon ancaman. Namun terdapat dua perbedaan perilaku negara dalam

melakukan aliansi. Yaitu, negara melakukan balance (bersekutu bersama pihak

yang bertentangan dengan negara yang mengancam) atau bandwagoning

(bersekutu dengan negara yang menimbulkan ancaman tersebut). Negara yang

melakukan aliansi untuk menghindari dominasi kekuatan yang lebih kuat

merupakan pemahaman dari konsep balance of power (Walt, 1985: 4). Seperti

perilaku Vietnam untuk menghindari dominasi RRT di LCS.

1.5.3 Perimbangan kekuatan (Balance of power)

Balance of power dapat ditafsirkan sebagai distribusi perimbangan

kekuatan, yang berarti suatu distribusi yang relatif seimbang di antara partisipan.

Selain itu penafsiran lainnya mengenai balance of power yaitu sebagai

ekuilibrium. Ekuilibrium dipandang sebagai suatu hubungan di antara

variabel-variabel utama sistem itu (seperti distribusi sumberdaya atau sikap dan kebijakan

negara-negara), yang begitu erat sehingga perubahan disuatu variabel pasti akan

menimbulkan perubahan di variabel lainnya. Pendekatan ini berasumsi bahwa

(24)

negara-negara di dalamnya akan tetap moderat, dan upaya oleh satu aktor untuk

memperoleh posisi hegemoni akan bisa digagalkan oleh kekuatan pengimbangnya

(Hopkins, 1973: 27).

Dalam perimbangan kekuatan (balance of power), negara berupaya untuk

melindungi keamanan dan kemerdekaannya. Sehingga, tidak ada entitas tunggal

dalam sistem untuk mendapatkan dominasi atas negara lain (Dwivedi, 2012: 228).

Menurut Kenneth Waltz dalam Theory of International Politcs, teori Balance of

Power memahami konsep balancing sebagai tindakan negara dalam

mempertahankan posisinya dalam sistem, bukan meningkatkan kekuatam (Waltz,

1979: 126).

Dalam pelaksanaannya tersebut, terdapat dua perbedaan dalam balance of

power, yaitu antara hard balancing dan soft balancing. Hard balancing mengacu

pada strategi oleh negara-negara kecil untuk membangun dan memperbarui

kemampuan militer mereka, serta menciptakan dan memelihara aliansi formal,

informal dan kontra-aliansi untuk menciptakan kemampuan yang lebih kuat.

Sementara itu, soft balancing merupakan tindakan balancing sementara dalam

aliansi, terutama dalam bentuk meningkatkan persenjataan secara terbatas,

kerjasama dalam pelatihan, atau kolaborasi pada lembaga-lembaga regional atau

internasional (Paul, 2004: 3). Hal ini selaras dengan upaya Vietnam dalam

meningkatkan kerjasama militer dengan AS melalui latihan militer bersama di

perairan LCS dan kolaborasi lembaga-lembaga kedua negara.

(25)

Dalam memulai penelitian, terdapat hipotesis yang diajukan sebagai pijakan

awal dalam memulai rangkaian proses penelitian. Dalam penelitian ini, terdapat

hipotesis bahwa Vietnam meningkatkan kerjasama militer dengan AS melalui

MoU pada tahun 2011 dikarenakan tensi ancaman LCS yang terus meningkat.

MoU 2011 dengan AS ditujukan untuk menghadirkan Angkatan Laut AS di LCS

untuk mengimbangi Angkatan Laut RRT. Dalam perimbangan tersebut, kerjasama

kedua negara diharapkan dapat mencegah pelanggaran-pelanggaran patroli RRT

di masa depan, sehingga Vietnam dapat menjaga kegiatan ekonomi serta

aset-asetnya di LCS.

1.7 Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan teknik analisa data yang bersifat kualitatif,

yaitu prosedur penelitian yang menghasilkan data berupa kata-kata tertulis atau

lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati. Adapun yang digunakan

dalam penelitian ini adalah kualitatif yang berkarakter deskriptif analitis. Dengan

demikian, penelitian akan menginterpretasi data dengan tujuan untuk memberi

gambaran yang akurat mengenai fakta-fakta dan hubungannya dengan sifat

fenomena yang diteliti (Moleong. 2009: 4-11).

Sedangkan, teknik pengumpulan data adalah studi kepustakaan (library

research), yaitu pengumpulan data dengan cara memanfaatkan sumber-sumber

data dan informasi-informasi dari berbagai literatur yang relevan. Jenis data yang

digunakan adalah data sekunder, yakni data yang diperoleh dari kajian pustaka,

(26)

(website) yang dianggap relevan. Penulis kemudian memilah dan menganalisanya,

sehingga dapat dirangkai dalam suatu kesimpulan (Moleong. 2009: 258).

1.8 Sistematika Penulisan

BAB II Ancaman Keamanan Terhadap Vietnam di Laut Cina Selatan

2.1 Posisi Vietnam di Laut Cina Selatan 2.2 Klaim Vietnam di Laut Cina Selatan

2.3 Sengketa terhadap Vietnam di Laut Cina Selatan 2.3.1 Sengketa Kepulauan Paracel

2.3.2 Sengketa Kepulauan Spratly 2.3.3 Sengketa batas ZEE dengan RRT

BAB III Kerjasama Militer Vietnam dengan Amerika Serikat dalam mengelola Ancaman Keamanan Laut Cina Selatan pada tahun 2011

3.1 Rintisan awal kerjasama militer Vietnam dengan Amerika Serikat 3.2 Tensi keamanan LCS menjelang penandatanganan MoU

3.3 MoU dalam pengelolaan LCS tahun 2011

BAB IV Faktor Pendorong bagi Vietnam dalam penguatan kemitraan dengan AS melalui MoU tahun 2011

4.1 Motif “balancing” Vietnam terhadap RRT 4.2 Pengamanan aset nasional Vietnam di LCS

4.3 Dukungan negara-negara ASEAN terhadap kehadiran AS di LCS

BAB V Penutup

(27)

BAB II

ANCAMAN KEAMANAN TERHADAP VIETNAM

DI LAUT CINA SELATAN

Bab ini membahas tentang letak geografis Vietnam di Laut Cina Selatan

(LCS) yang diikuti klaim Vietnam di wilayah tersebut. Ini kemudian disusul

dengan berkembangnya sengketa antara negara-negara di wilayah tersebut,

sehingga menghadirkan ancaman nyata bagi keamanan territorial Vietnam. Untuk

itu, struktur pembahasan dalam bab ini terbagi kedalam 3 bagian. Bagian pertama

akan menjelaskan letak geografis perairan Vietnam serta posisi Vietnam di LCS.

Bagian kedua akan menjelaskan klaim Vietnam di kawasan perairan tersebut,

termasuk klaim Vietnam di kepulauan Spratly dan Paracel. Sedangkan bagian

terakhir akan menjelaskan sengketa di LCS yang menyebabkan ancaman bagi

kedaulatan Vietnam, yaitu sengketa wilayah perairan, sengketa Kepulauan Spratly

dan Kepulauan Paracel, serta sengketa batas Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE)

dengan RRT.

2.1 Posisi Vietnam di LCS

Vietnam merupakan salah satu Negara Indocina yang secara geografis

mempunyai wilayah darat dan laut. Negara ini berbatasan darat dengan Kamboja

sepanjang 1,228 km; Laos (2,130 km); RRT (1,281 km). Vietnam juga

mempunyai garis pantai sepanjang 3,444 kilometer (Womack, 2006: 57), terhadap

perairan yang termasuk ke dalam wilayah LCS. Wilayah tersebut terletak di

(28)

Vietnam ditentukan berdasarkan deklarasi pernyataan wilayah Laut Vietnam pada

tanggal 12 mei 1977. Deklarasi tersebut dilakukan dalam Konferensi Ketiga

Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) tentang Hukum Laut. Ini dilegitimasi dalam

penandatanganan United Nations Convention Law of Sea (UNCLOS) pada tahun

1982. (United States Department of State Bureau of Intelligence and Research,

1983: 3).

Berdasarkan UNCLOS, Vietnam memiliki luas wilayah laut teritorial sejauh

12 mil dari pulau-pulau terluar Vietnam. Pulau-pulau terluar tersebut membentuk

garis dasar “baseline” yang menjadi tolak ukur pengukuran luas wilayah laut

teritorial Vietnam (United States Department of State Bureau of Intelligence and

Research, 1983: 3-4). Pulau-pulau terluar Vietnam di antaranya dapat dilihat

dalam tabel berikut ini:

Tabel 2.1: Pulau-pulau terluar Vietnam

No Nama Pulau Lintang dan Bujur

1 Pulau Hon Nhan, kepulauan Tho Chu, provinsi Kien Giang 9°15.0’ 103°27.0’

2 Pulau Hon Da, provinsi Minh Hai 8°22.8’ 104°52.4’

3 Tai Lon Islet, Con Dao Islet, di Con Dao-Vung Toa 8°37.8’ 106°37.5’

4 Bong Lai Islet, Con Dao Islet 8°38.9' 106°40.3’

5 Bay Canh Islet, Con Dao Islet 8°39.7’ 106°42.1’

6 Hon Hai Islet, provinsi Thuan Hai 9°58.0’ 109°5.0’

7 Hon Doi Islet, provinsi Thuan Hai 12°39.0’ 109°28.0’

8 Dai Lanh point, provinsi Phu Khanh 12°53.8’ 109°27.2’

9 Ong Can Islet, provinsi Phu Khanh 13°54.0’ 109°21.0’

10 Ly Son Islet, provinsi Nghia Binh 15°23.1' 109°9.0'

(29)

Sumber: United States Department of State, Bureau of Intelligence and Research, dalam Limits in the Seas No. 99 Straight Baselines hal: 7

Pulau-pulau terluar di atas membentuk garis dasar “baseline”. Garis tersebut

tidak hanya menentukan luas wilayah laut territorial, namun berpengaruh pada

pengukuran Zona tambahan “The contiguous zone” dan ZEE. Zona tambahan

Vietnam memiliki luas 12 mil dari laut teritorial. Sedangkan, ZEE terhitung 200

mil dari laut teritorialnya tersebut (United States Department of State Bureau of

Intelligence and Research, 1983: 3-4). Ini sesuai dengan Hukum Laut (UNCLOS)

pada tahun 1982 yang mulai berlaku sejak 16 November 1994, bahwa setiap

negara hanya berhak untuk memasukkan wilayah hingga 12 mil laut sebagai dari

kedaulatannya dan 200 mil laut untuk ZEE (Ali, 2012). Berdasarkan hukum

tersebut dapat dilihat luas wilyah ZEE Vietnam dalam peta berikut ini:

Gambar 2.1: Zona Ekonomi Eksklusif Vietnam terhitung 200 mil dari garis

dasar “base line”

(30)

Sumber:200 mile boundaries without consideration of the Spratlys or Paracels, oleh Cire Sare, pada http://www.southchinasea.org/category/mpas/territorial-claims/page/2/

Peta di atas menunjukan ZEE Vietnam dan lima negara lainnya di wilayah

LCS. Namun, setelah kesepakatan UNCLOS 1982, negara-negara di kawasan ini

saling mengklaim wilayah kedaulatannya di luar ZEE yang telah disepakati dalam

UNCLOS. Vietnam menjadi salah satu yang mengklaim wilayah dan terlibat

dalam sengketa dengan negara lainnya di kawasan tersebut.

2.2 Klaim Vietnam di Laut Cina Selatan

Berdasarkan Konvensi PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS),

negara-negara yang mempunyai wilayah perairan dapat mengklaim ZEE yang meliputi

200 mil dari garis pantai pulau terluar (Kim, 2012: 28). Di LCS, tidak dapat

ditentukan pulau-pulau terluar yang dimiliki dan menjadi kedaulatan suatu negara.

Ini dikarenakan, kawasan ini memiliki banyak pulau yang kepemilikannya masih

diperebutkan oleh negara-negara di perairan ini,1 sehingga menimbulkan berbagai

sengketa. Dengan adanya berbagai sengketa, batas-batas ZEE di LCS sulit untuk

ditentukan.

Vietnam tercatat memiliki sengketa dengan lima negara di LCS.

Sengketa-sengketa tersebut antara lain: Teluk Tonkin dekat pulau Hainan dengan RRT;

kepulauan Paracel dengan RRT dan Taiwan; kepulauan Spratly dengan RRT,

Malaysia, Filipina, Brunei dan Taiwan. Pada kepulauan Spratly, Vietnam berebut

klaim atas wilayah perairan sebelah barat kepulauan ini dengan RRT dan Taiwan.

1

(31)

Sementara pada bagian lainnya, tumpang tindih klaim terjadi antara Vietnam

dengan Brunei, Malaysia, dan Filipina (Ahira, 2011).

Di antara kasus-kasus tersebut, dua klaim yang mengundang perhatian

utama Vietnam adalah kepulauan Spratly dan Paracel. Selain karena posisinya

yang strategis, juga karena adanya potensi sumberdaya minyak dan gas. RRT

memperkirakan potensi minyak di kepulauan Spratly dan Paracel Islands bisa

mencapai 105 miliar barel, sementara keseluruhan potensi minyak di LCS

mencapai 213 miliar barel. Sedangkan potensi gas yang terdapat di Kepulauan

Spratly hampir mencapai 900 Tcf. Ini diperkirakan akan dapat memproduksi

sumberdaya gas hampir mencapai 1,8 Tcf setiap tahunnya (global security.org,

2011).

Mengenai Spratly dan Paracel, Vietnam sendiri belum menetapkan dua

kepulauan tersebut sebagai pulau-pulau terluar yang membentuk garis dasar

baseline” Vietnam dalam penandatanganan UNCLOS pada tahun 1982. Namun,

setelah ratifikasi UNCLOS pada tahun 1994, Vietnam mengadakan Resolusi

Majelis Nasional Kesembilan yang mulai merumuskan kembali wilayah

kedaulatan laut pada kepulauan Paracel dan Spratly pada tahun 1994. Ini

menjelaskan bahwa Vietnam belum menentukan lingkup zona maritim di sekitar

pulau. Baseline dan zona maritim di seluruh pulau-pulau akan didefinisikan dalam

peraturan perundang-undangan di masa depan, seperti undang-undang yang

membahas Zona Maritim Vietnam, dengan melalui perjanjian batas negara dengan

(32)

Pada tahun 2003, Majelis Nasional Vietnam membuat Undang-Undang

tentang batas Nasional. Pada pasal 1, ditegaskan kembali klaim kedaulatan

Vietnam atas Kepulauan Paracel (Hoang Sa) dan Kepulauan Spratly (Truong Sa)

(Biendong.net, 2012). Dalam Undang-undang ini juga menjelaskan landas

kontinen negara diperpanjang hingga 350 mil laut sesuai dengan kondisi dan

prosedur Konvensi PBB tentang Hukum Laut pada tahun 1982. Ini merupakan

kelanjutan klaim sejak bersatunya Vietnam paska Perang Dingin pada tahun 1975.

Sebagaimana ditegaskan dalam Vietnam White Paper oleh Ministry of Foreign

Affairs, bahwaKepulauan Paracel (Hoang Sa) dan Kepulauan Spratly (Truong Sa)

merupakan bagian dari kedaulatan negara (Vietnam White Paper oleh Ministry of

Foreign Affairs, 1975: 1).

Pada tahun 2009, pemerintah Vietnam mengirim laporan bahwa batas

landas kontinen Vietnam diperpanjang dalam dua daerah untuk dipertimbangkan

oleh Komisi Batas Landas Kontinen (Hanh, 2012). Upaya perluasan klaim ini

mengakibatkan perubahan batas-batas kedaulatan wilayah Vietnam yang pada

awalnya ditentukan oleh garis dasar “baseline” dalam Deklarasi Pernyataan

Wilayah Laut Vietnam, pada tanggal 12 Mei 1977. Berikut ini merupakan peta

wilayah kedaulatan Vietnam setelah klaim kedaulatan diperluas yang mencakupi

(33)

Gambar 2.2 : Klaim wilayah Vietnam setelah memasukan kepulauan Paracel

dan Spratly

Sumber: Bellacqua. “The China Factor in U.S.-Vietnam RelationsNgan M. Kim dalamU.S. –Vietnam Military Relations: Game Theory Perspective

Peta di atas menunjukan perluasan klaim Vietnam yang mencakupi

kepulauan Paracel dan kepulauan Spratly. Vietnam memasukan klaim kedua

kepulauan tersebut berdasarkan data historis. Keduanya dianggap termasuk ke

dalam wilayah Vietnam, sejak masa pemerintahan Raja Le Thanh Tong

(1460-1497). Vietnam menyatakan bahwa pihaknya telah memiliki dokumen dan peta

dari abad ke-17, 18, dan 19 (Kim, 2012: 30). Klaim Vietnam tersebut berujung

pada sengketa dan konflik antara Vietnam dengan negara yang juga telah

mengklaim kedaulatannya atas perairan di LCS serta kepulauan Paracel dan

(34)

2.3 Sengketa terhadap Vietnam di Laut Cina Selatan

Terdapat setidaknya lima negara yang merupakan pesaing klaim territorial

Vietnam di LCS. Pertama, klaim Brunei yang merujuk pada prinsip kawasan ZEE

dengan memasukan satu karang paling selatan di Kepulauan Spratly dalam peta

teritorialnya. Kedua, RRT yang mengklaim hampir semua dari kawasan LCS

berdasarkan ZEE dan prinsip landas kontinental serta catatan sejarah dinasti Han

(110 \M) dan Ming (1403 – 1433M). Ketiga, klaim Malaysia di LCS atas 3 pulau

di Spratly berdasarkan ZEE dan batas landas kontinen. Keempat, Filipina

mengklaim 8 pulau di Kepulauan Spratly. Ini didasari oleh ZEE dan batas landas

kontinental serta sebuah ekspedisi penjelajah Filipina pada tahun 1956. Kelima,

Taiwan yang mengklaim hampir semua kawasan di LCS, dengan mengklaim

semua pulau di Kepulauan Spratly dan Paracel dengan dasar yang sama seperti

klaim yang dibuat oleh RRT (Veronika, 2012: 45). Bagian berikutnya akan

mengidentifikasi konflik dan tensi keamanan yang terjadi akibat sengketa

teritorial di kedua kepulauan tersebut.

2.3.1 Sengketa Kepulauan Paracel

Kepulauan Paracel menjadi wilayah sengketa yang di perebutkan beberapa

negara, salah satunya adalah Vietnam yang memiliki sengketa dengan RRT dan

Taiwan (Ahira, 2011). Sengketa ini menyebabkan konflik antara Vietnam dengan

RRT, yang terjadi sejak sebelum bersatunya Vietnam Utara dengan Vietnam

Selatan pada tahun 1975. RRT mengklaim kedaulatan Vietnam yang berujung

konflik pada tahun 1974 di Kepulauan Paracel. Dalam bentrokan yang dikenal

(35)

Paracel dari Vietnam Selatan. Pertempuran itu mengakibatkan 36 militer dari

kedua belah pihak tewas (Garver, 1992: 999-1028). Pertempuran ini juga berujung

pada pengusiran orang-orang Vietnam dari kepulauan Paracel dan pendudukan

kepulauan tersebut oleh RRT (Heijmans, 2004: 506).

Awalnya, RRT menduduki bagian barat kelompok pulau Crescent di

kepulauan Paracel. Ini kemudian meluas ke seluruh wilayah Paracel. RRT bahkan

membangun pelabuhan besar di Pulau Triton pada tahun 1982, yang terutama

diperuntukan untuk kepentingan militer (Lo, 1989: 118). Kemudian pada tahun

1994, RRT membangun landasan udara baru di kepulauan Paracel (Heijmans,

2004: 509).

Selain itu, RRT membangun pangkalan lainnya di pulau Hainan yang

terletak di sebelah utara kepulauan Paracel. Pulau ini merupakan pusat operasi

pesawat-pesawat tempur baru berdaya jelajah jauh Su-27 Flanker yang dikirim

dari pangkalan udara ketiga terbesar the People’s Liberation Army (PLA) di

Zhanjiang, yang juga sebagai markas besar armada Laut Cina Selatan. Kapal

terbang tanker yang baru dioperasikan di Pulau Hainan akan mempermudah

pesawat-pesawat tempur RRT beroperasi pada jarak yang lebih jauh, pada

jalur-jalur laut dan ladang-ladang minyak lepas pantai strategis di LCS. Di sana, RRT

memiliki armada militer untuk memperjuangkan klaim teritorialnya yang

merentang seribu mil ke arah selatan dari pantai RRT, hampir mendekati wilayah

pantai Malaysia dan Indonesia (Calder, 1996:191).

Pada awal tahun 1996, Beijing secara sepihak menyatakan baseline di

(36)

yang sama untuk wilayah lain di kemudian hari (Heijmans, 2004: 510). Pada

tahun 2006, RRT memasang penanda baru di kawasan Paracel sehingga

menyebabkan kemarahan Vietnam dan dianggap sebagai tindakan “invalid”.

(Veronika, 2012: 53).

2.3.2 Sengketa Kepulauan Spratly

Selain Kepulauan Paracel, Vietnam memiliki sengketa di Kepulauan

Spratly. Vietnam bersengketa dengan RRT, Malaysia, Filipina, Brunei dan

Taiwan. Vietnam berebut klaim atas wilayah perairan sebelah barat Kepulauan

Spratly dengan RRT dan Taiwan. Sementara pada bagian lainnya, terjadi tumpang

tindih klaim terjadi antara Vietnam dengan Brunei, Malaysia, dan Filipina (Ahira,

2011).

Sengketa ini juga menyebabkan konflik antara Vietnam dengan RRT. Ini

terjadi setelah bersatunya kembali Vietnam pada tahun 1975, yaitu pada tahun

1988. Pasukan Vietnam dan RRT terlibat pada bentrokan atas Kepulauan Spratly

yang menewaskan 74 pelaut Vietnam (Miks, 2010). Bentrokan ini menghasilkan

penguasaan enam pulau di kepulauan Spratly oleh pihak RRT. Sebelum bentrokan

itu, RRT telah berhasil dalam pembangunan secara fisik di Kepulauan Spratly.

Setelah bentrokan itu, yaitu pada tahun 1989, tiga pulau karang di Kepulauan

Spratly yang diduki oleh Vietnam telah disewakan oleh RRT kepada Crestone

Energy Corporation. Pulau-pulau tersebut yaitu; Vanguard Bank (Bai Tu Chinh),

Prince Consort Bank (Bai Phuc Nguyen), dan Bank Grainger (Bai Que Duong)

(37)

Pada tahun 1992, Vietnam menegaskan kembali klaimnya, tidak hanya

terhadap RRT, tetapi juga terhadap klaim negara lainnya di kepulauan Spartly,

yaitu Malaysia, Filipina, dan Brunei. Laporan pada tahun 1992 menyatakan bahwa

tingkat personel Vietnam di kepulauan ini mencapai sekitar 1.000 orang, meliputi

tentara, pelaut dan beberapa pekerja konstruksi. Ini tersebar di 21 pulau di

kepulauan Spratly. Di Pulau Sin Cowe, Vietnam menempatkan artileri dan senjata

anti-pesawat, serta memiliki lapangan terbang kecil (Kang, 2000: 18).

Meskipun memiliki fasilitas militer, Vietnam tetap tidak dapat

menghindarkan ancaman di Kepulauan Spratly. Pada tahun 1995, artileri Taiwan

menembaki kapal barang Vietnam yang mendekati sebuah pulau yang dikuasai

Taiwan di Kepulauan Spratly (Deutsche Presse-Agentur, 1995). Ini mendorong

Vietnam untuk lebih agresif dalam menjaga klaim teritorialnya di wilayah

tersebut.

Pada tahun 1998, Vietnam telah mempertahankan wilayah sengketa pada

setidaknya lima kepulauan, yaitu kepulauan Spratly, Amboyna Cay, Sin Cowe,

Namyit, and Southwest Cay, dengan menghadirkan sekitar 350 tentara (Kang,

2000: 19). Atas dasar mempertahanankan wilayah tersebut, tentara Vietnam

menembaki sebuah kapal nelayan berbendera Filipina yang melukai seorang

nelayan Filipina pada tahun 1998 (Deutsche Presse-Agentur, 1998). Tindakan

tersebut juga terjadi pada tahun 1999, ketika tentara Vietnam menembaki pesawat

pengintai Filipina di dekat Kepulauan Spratly (Klare, 2002:124).

(38)

Sengketa batas wilayah Vietnam dengan RRT berawal pada tahun 1947,

ketika RRT menerbitkan sebuah peta yang merinci klaim wilayahnya di sebagian

besar kawasan LCS (Sihombing, 2012). Pada tahun 1992, badan legislatif

tertinggi RRT, Committee of the National People’s Congress, secara resmi

mengesahkan undang-undang tentang Perairan Teritorial. Undang-undang ini

secara resmi mengakui “the nine-dashed line” yang berbentuk U, dan juga dikenal

dengan "lidah sapi" sebagai perairan territorial RRT. Pemerintah RRT juga

memberdayakan militernya, the People’s Liberation Army (PLA) untuk

menggunakan kekuatan jika perlu dalam membela serta melawan pendudukan

atau serangan asing diwilayah tersebut (Kim, 2012: 30). “The nine-dashed line

disampaikan kepada komisi PBB dengan menunjukan peta klaim wilayah RRT,

pada bulan Mei 2009 (Cordero, 2012). Berikut ini merupakan peta wilayah di

dalam “the nine-dashed line” ataupun 9 garis putus-putus yang merupakan klaim

RRT di LCS:

Gambar 2.3: Peta klaim RRT di wilayah Laut Cina Selatan

(39)

Sumber: Eurasia Review, September 10, 2012 dikutip dari O'Rourke pada; http://www.fas.org/sgp/crs/row/R42784.pdf

Peta tersebut disambut dengan protes resmi dari Vietnam, karena sebagian

wilayah Vietnam termasuk ke dalam peta RRT yang disampaikan kepada Komisi

PBB (Cordero, 2012). Wilayah Kepulauan Spratly dan Paracel yang diklaim oleh

Vietnam masuk juga kedalam peta wilayah yang disampaikan oleh RRT.

Tepatnya sebagian wilayah yang diklaim oleh RRT merupakan wilayah ZEE

Vietnam.

Hal di atas menimbulkan suatu ancaman pada lalu lintas nelayan dan

perdagangan laut Vietnam, berupa penangkapan kapal-kapal nelayan dan kapal

barang Vietnam oleh patroli RRT. Ini setidaknya terjadi sejak tahun 1992, ketika

RRT merebut sekitar 20 kapal kargo Vietnam yang mengangkut barang dari Hong

Kong (Klare, 2002:124). Pada periode 2005-2012, Vietnam mengatakan telah

terjadi penangkapan dan penyitaan terhadap 63 kapal nelayan dengan 725 awak,

oleh RRT sejak tahun 2005 di LCS. Vietnam lalu diminta membayar denda untuk

pembebasan mereka. Hal serupa sempat disoroti publik internasional kembali

pada tahun 2010, ketika patroli RRT melakukan penangkapan dan penyitaan

sebuah kapal nelayan Vietnam dengan 12 awak, di sekitar Paracel (Buszynski,

2012:143).

Selain penangkapan dan penyitaan terhadap kapal nelayan dan kapal barang

Vietnam, RRT juga telah memberlakukan larangan memancing tahunan di LCS.

RRT pertama menyatakan larangan tersebut pada tahun 1999. Ini dilakukan pada

bulan Juni sampai Juli setiap tahunnya. Pada tahun 2009, periode larangan

(40)

yang diberlakukan peraturan larangan memancing tersebut tidak begitu jelas,

walaupun pada dasarnya meliputi area sekitar Paracel (Buszynski, 2012: 143).

Berikut merupakan peta wilayah larangan memancing tahunan yang diberlakukan

oleh RRT:

Gambar 2.4: Wilayah larangan memancing (fishing ban)

Sumber: A Bilateral Network of Marine Protected Areas between Vietnam and China: An Alternative to the Chinese Unilateral Fishing Ban in the South China Sea? oleh Hai-Dang Vu, pada http://nghiencuubiendong.vn/en/conferences-and-seminars-/the-third- international-workshop-on-south-china-sea/668-a-bilateral-network-of-marine-protected- areas-between-vietnam-and-china-an-alternative-to-the-chinese-unilateral-fishing-ban-in-the-south-china-sea-by-hai-dang-vu

Di wilayah pada peta di atas, RRT telah mengirimkan kapal patroli

perikanan, yang dilaksanakan oleh angkatan kapal laut RRT. Ini untuk

menegakkan larangan memancing bagi Vietnam dan melindungi kapal-kapal

nelayan RRT. RRT juga telah mengumumkan rencana untuk meningkatkan

kekuatan maritimnya yaitu penambahan 16 pesawat dan 350 kapal pada tahun

(41)

melindungi keamanan maritim, dan memeriksa kapal-kapal asing yang beroperasi

di perairan RRT (Buszynski, 2012: 143-144).

Selain menghadirkan ketegangan-ketegangan antara Vietnam dengan RRT,

sengketa batas wilayah ini juga telah menghadirkan upaya diplomasi dari kedua

belah pihak. Pada tahun 1991 hingga September 2008, Menteri Pertahanan

Vietnam telah melakukan enam kali kunjungan ke Beijing, sementara Menteri

Pertahanan RRT mengunjungi Hanoi sebanyak tiga kali. Pada tahun 2006, Hanoi

menerima Menteri Pertahanan RRT, Cao Gangchuan, dalam rangka kerjasama

patroli bersama di LCS (Thayer, 2008: 5). Sejak itu, telah dilakukan operasi

penghapusan ranjau dan patroli angkatan laut bersama pertama di Teluk Tonkin

pada tanggal 27 April 2006 (Kim, 2012: 21-22). Selain itu, pada tahun 2006,

Vietnam dan RRT sepakat untuk melakukan eksploitasi minyak dan gas di

wilayah laut Teluk Tokin dalam garis demarkasi kedua negara. Setelah minyak

dan gas yang terdeteksi, kedua belah pihak akan bekerjasama dalam eksploitasi

bersama (Vietnamnet, 2013).

Kerjasama dalam eksploitasi bersama di kawasan LCS antara Vietnam

dengan RRT tidak mengurangi tensi keamanan bagi Vietnam. Pada 9 Juni 2011,

terjadi penyerangan atas kapal Vietnam oleh kapal RRT. RRT melakukan

pemotongan kabel eksplorasi yang dipasang oleh kapal survey yang digunakan

oleh perusahaan minyak Vietnam (PetroVietnam) dan RRT menuntut Vietnam

menghentikan kegiatan eksplorasi dikawasan tersebut (Hoang, 2011).

Berdasarkan uraian di atas, maka dapat digambarkan terjadinya tensi

(42)

wilayah kedaulatan Vietnam, terutama di kepulauan Paracel dan Spratly. Selain

itu, sengketa batas ZEE dengan RRT juga mengakibatkan ancaman bagi lalu lintas

nelayan dan perdagangan Vietnam, serta menghalangi eksplorasi sumber daya

alam di kawasan tersebut. Dengan berbagai tantangan keamanan yang ada,

Vietnam memutuskan untuk bekerjasama dengan AS pada tahun 2011. Ini akan

(43)

BAB III

KERJASAMA MILITER VIETNAM DENGAN AMERIKA

SERIKAT DALAM MENGELOLA ANCAMAN KEAMANAN

LAUT CINA SELATAN PADA TAHUN 2011

Setelah melihat posisi dan klaim Vietnam di Laut Cina Selatan serta

ancaman keamanan di kawasan ini, maka bab ini akan membahas tentang upaya

Vietnam dalam mengelola ancaman keamanan tersebut melalui kerjasama militer

dengan AS. Ini diawali penjelasan rintisan awal kerjasama militer Vietnam

dengan AS, hingga hubungan srategis dalam mengelola ancaman keamanan LCS,

yang salah satunya melalui penandatanganan MoU tahun 2011. Dalam bab ini,

MoU akan dipaparkan melalui penjelasan tensi keamanan di LCS menjelang

penandatanganannya, serta peranan MoU itu sendiri dalam pengelolaan ancaman

keamanan di LCS.

3.1 Rintisan awal kerjasama militer Vietnam dengan AS

Kerjasama antara Vietnam dengan AS diawali dengan membaiknya

hubungan bilateral kedua negara pada tahun 1987, dengan adanya sebuah

kerjasama yang terkait dengan isu POW/MIA. Kerjasama ini berupa pencarian

pasukan AS yang hilang pada Perang Vietnam. Untuk kerjasama ini, Jenderal

Vessey dan Presiden Reagan melakukan suatu kunjungan khusus ke Vietnam

(Manyin, 2012:4).

Pada tahun 1995, normalisasi hubungan diplomatik secara resmi terjalin di

antara Vietnam dengan AS (Manyin, 2012:4). Kedua negara mulai menggagas

(44)

diplomatik. Namun, pemerintah Vietnam menunjukan keengganan untuk

melakukan hubungan kerjasama dengan AS di dalam sektor pertahanan (Jordan,

Stern, and Lohman, 2012: 3).

Pada tahun 1996 dan 1997, AS menawarkan Kementrian Pertahanan

Vietnam berbagai titik awal untuk kerjasama militer, dan mengemukakan

serangkaian kegiatan dalam kerjasama pertahanan. Ini dilakukan dengan tetap

memprioritaskan masalah POW/MIA (Jordan, Stern, and Lohman, 2012: 3).

Prosesnya dimulai pada bulan Juli 1996, ketika The U.S. National Security

Advisor, Anthony Lake, mengunjungi Vietnam untuk mulai membentuk hubungan

militer antara Vietnam dan AS. Pada bulan Oktober di tahun yang sama, asisten

Menteri Pertahanan, Kurt Campbell, memimpin delegasi yang terdiri dari

Departemen Pertahanan, Departemen Luar Negeri, Dewan Keamanan Nasional,

dan Komando Pasifik (USPACOM), pada kunjungannya ke Vietnam. Campbell

memulai diskusi dengan Menteri Pertahanan Vietnam, Letjen Nguyen Thoi Bung

mengenai hal-hal di luar POW/MIA. Campbell mengusulkan beberapa program,

yaitu: kunjungan beberapa kolonel senior Vietnam ke AS, kunjungan Komandan

Angkatan Laut AS ke Vietnam, kunjungan Universitas Pertahanan National AS

dan The Air Force War College. Campbell juga mengusulkan pertukaran pelajar,

latihan kemanusiaan secara multilateral, latihan bantuan bencana, dan pertukaran

pejabat peradilan militer. (Dalpino, 2005: 27).

Tawaran dan kunjungan-kunjungan yang dilakukan oleh AS ke Vietnam

direspon oleh Vietnam pada awal 1997 dengan suatu Keputusan Komite Sentral

(45)

bahwa lingkup kerjasama pertahanan dengan AS akan dilakukan dalam hal:

konferensi multilateral dan seminar yang diselenggarakan oleh Komando Pasifik

AS (PACOM), kunjungan militer, dan kerjasama bilateral praktis di berbagai

bidang seperti pencarian dan penyelamatan (SAR), militer medis, dan keamanan

lingkungan (Jordan, Stern, and Lohman, 2012: 3).

Namun, dengan kegiatan-kegiatan tersebut, pejabat senior di Kementerian

Pertahanan Vietnam masih merasa sulit untuk memahami niat pemerintah AS.

Vietnam masih berusaha untuk membatasi ruang lingkup kerjasama pertahanan.

Ketika AS menyebut hubungan kerjasama ini sebagai hubungan pertahanan,

Vietnam dalam hal ini hanya menekankan pada hubungan militer ke militer. Ini

menyiratkan bahwa Vietnam membatasi ruang lingkup kerjasama ke dalam aspek

yang lebih sempit, sehingga menimbulkan perbedaan ekspektasi dari kedua negara

(Jordan, Stern, and Lohman, 2012: 3-4).

Terdapatnya perbedaan ekspektasi antara Vietnam dan AS tidak

menurunkan minat kedua negara untuk memajukan kerjasama pertahanan. Pada

periode 2000-2004, hubungan kedua negara semakin erat. Ini diawali dengan

kunjungan Menteri Pertahanan AS, William Cohen, ke Hanoi dan Ho Chi Minh

City pada bulan Maret 2000. Cohen berfokus kepada perkembangan hubungan

pertahanan kedua negara dalam kerangka kerja yang lebih rutin. Dalam hal ini,

Cohen menyarankan hubungan kerjasama berkembang ke arah penelitian bersama

dalam bidang Agen Orange2 dan berbagai bidang lainnya, seperti penghapusan

2

(46)

ranjau darat, pencarian dan penyelamatan, bantuan bencana alam, penelitian

medis, dan dialog tentang isu-isu keamanan regional. (Dalpino, 2005: 28).

Kunjungan Cohen ke Hanoi juga menghasilkan kesepakatan dengan Menteri

Pertahanan Vietnam, Pham Van Tra. Vietnam menyetujui kunjungan kapal-kapal

militer AS ke Vietnam. Pham Van Tra menyatakan bahwa kunjungan kapal AS

akan menjadi aspek positif dari rencana bertahap dalam memperluas keterlibatan

militer (Jordan, Stern, and Lohman, 2012: 5). Pada tahun yang sama, Presiden

William Clinton mengunjungi Vietnam yang merupakan perjalanan pertama

Presiden AS ke Vietnam sejak Richard Nixon pergi ke Saigon (sekarang Ho Chi

Minh City) pada tahun 1969 (Manyin, 2012:4).

Dari tahun 2000 hingga 2004, Kementerian Pertahanan Vietnam bekerja

keras untuk memastikan bahwa komitmennya dalam peningkatan keterlibatan

militer AS bukan sebagai tujuan kebijakan luar negeri secara keseluruhan.

Vietnam tidak ingin tergantung secara militer pada kerjasama dengan satu negara

saja. Oleh karena itu, Kementrian Pertahanan Vietnam akan memastikan terlebih

dahulu kerjasama pertahanan ini tidak akan memiliki dampak strategis pada

hubungan bilateral Vietnam dengan negara lainnya. Yaitu terhadap hubungan

bilateral dengan RRT dan hubungan multilateral dengan negara tetangga di Asia

Tenggara yang tergabung dalam the Association of Southeast Asian Nation

(ASEAN) (Jordan, Stern, and Lohman, 2012: 5).

Pada tahun 2005 sampai 2010, hubungan pertahanan Vietnam dengan AS

mulai berkembang secara strategis. Ini diawali dengan pertemuan antara Menteri

(47)

di Washington DC pada pertengahan 2005 (Jordan, Stern, and Lohman, 2012: 6).

Pada tahun yang sama, Vietnam menandatangani perjanjian akhir yang menjadi

syarat untuk memulai Pendidikan Militer dan Pelatihan dalam International

Millitary Education and Training (IMET). Ini ditujukan untuk menerima

pelatihan bahasa Inggris bagi militer Vietnam di AS (Manyin, 2013: 22). Tahun

2005 menjadi awal dilaksanannya program pendidikan dan pelatihan militer

dalam kerjasama militer Vietnam dengan AS. Berikut ini merupakan grafik

pendidikan dan pelatihan militer Vietnam dalam IMET sejak tahun 2005-2008.

Gambar 3.1: Pendidikan dan Pelatihan militer Vietnam dalam IMET

Sumber: US Department of Defense Security Cooperation Agency Historical Facts Book, 2008 dalam jurnal Contemporary Southeast Asia, Volume 32, Nomer 3. Institute of Southeast Asian Studies, 2010.

Dalam pengembangan strategis selanjutnya, Vietnam dan AS merancang

rencana untuk mendatangkan kapal-kapal Angkatan Laut AS di perairan Vietnam.

Pada tahun 2007 dan 2008, kapal angkatan Laut AS dan kapal kemanusiaan

(48)

Vietnam juga mengikuti pelatihan penjaga perdamaian, latihan angkatan laut

gabungan seperti Passing Exercise (PASSEX), mendiskusikan tentang Acquisition

and Cross-Servicing Agreement (ACSA), melakukan kerjasama hidrografi, dan

studi bersama mengenai dampak strategis dari pergeseran meteorologi dan

perubahan permukaan laut (Jordan, Stern, and Lohman, 2012: 6). Ini dilanjutkan

dengan penandatanganan International Traffic in Arms Regulations (ITAR) pada

tahun 2007, yang merupakan upaya pembatasan dalam perdagangan

senjata-senjata militer yang tidak mematikan atau non-lethal weapon” (Manyin, 2012:21).

Pada tahun 2008, pemerintahan Bush melalui Kementerian Pertahanan AS

berupaya membawa kerjasama dengan Vietnam ke tingkat yang lebih tinggi.

Upaya AS tersebut mendapatkan respon positif dari Vietnam. Vietnam mulai

membuka diri dalam diskusi yang mengarah pada isu-isu pertahanan regional,

serta modernisasi pertahanan Vietnam (Jordan, Stern, and Lohman, 2012: 6-7).

Pada akhirnya, di tahun 2009, AS memberikan pendanaan militer asing

(FMF) untuk mendorong modernisasi pertahanan Vietnam sebesar $ 500.000

(Manyin, 2011:20). Mengenai penjualan militer asing (FMS), menurut

Departemen Luar Negeri AS, Vietnam mengajukan surat permintaan untuk suku

cadang helikopter dan laboratorium Bahasa Inggris (Manyin, 2012:21).

Pendanaan militer asing (FMF) dilanjutkan pada tahun 2010 sebesar $ 1.350.000

(Manyin, 2011:20).

Mulai tahun 2010, kedua negara mempercepat proses kerjasama dengan

(49)

salah satu mitra baru sebagai bagian dari upaya rebalancing3 AS di kawasan

Asia-Pasifik (Manyin, 2012:1). Pada tanggal 17 Agustus 2010, Asisten Menteri

Pertahanan AS untuk Asia Selatan dan Asia Tenggara, Robert Scher, bertemu

Wakil Menteri Pertahanan Vietnam, Nguyen Chi Vinh, untuk melakukan dialog

pertahanan formal yang pertama (Brown, 2010: 333). Pada tahun ini, kedua

negara berupaya untuk merespon RRT yang meningkatkan klaimnya ke perairan

dan pulau-pulau di LCS, serta terus bekerja sama pada isu-isu kebebasan dan

keamanan maritim (Manyin, 2012:1). Kerjasama Vietnam dengan AS dalam

mengelola ancaman keamanan LCS terus ditingkatkan pada tahun 2011, yang

akan dipaparkan pada bagian selanjutnya.

3.2 Tensi keamanan LCS menjelang penandatanganan MoU 2011

Kerjasama militer Vietnam dengan AS selama tahun 2011 bertujuan untuk

meningkatkan hubungan kedua negara ke dalam tingkat yang lebih strategis. Yaitu

dengan memfokuskan pengembangan kemampuan militer kedua negara dan

memperluas batas-batas keterlibatan militer yang ditujukan untuk memenuhi

tantangan keamanan (Jordan, Stern, and Lohman, 2012: 7-8).

Pada pertengahan 2011, Vietnam mengirimkan perwira angkatan darat

pertama ke U.S. National War College. Senior Kolonel Hà thanh Chung, seorang

kepala departemen di The Vietnamese Military Science Academy, yang bergabung

3

kebijakan rebalancing merupakan kebijakan menyeimbangkan kembali kekuatan strategis AS pada pemerintahan Presiden Obama di kawasan Asia Pasifik, khususnya untuk bidang

(50)

pada periode 2011-2012 untuk satu tahun studi (Jordan, Stern, and Lohman, 2012:

6).

Selain itu, Vietnam dan AS melakukan kerjasama dalam hal perbaikan

kapal noncombatant AS. Yaitu perbaikan kapal kargo dan amunisi, Military

Sealift Command (MSC) yang dinahkodai oleh Richard E. Byrd, yang

mengunjungi pelabuhan Cam Ranh pada bulan Agustus 2011. Ini merupakan

kunjungan yang pertama oleh sebuah kapal Angkatan Laut AS ke pelabuhan Cam

Ranh selama lebih dari tiga dekade. Byrd menghabiskan tujuh hari di Cam Ranh

untuk perbaikan dan pemeliharaan rutin, yaitu pembersihan lambung kapal,

pembersihan baling-baling kapal, perbaikan pipa kapal, perbaikan sistem

pendingin salt water cooling yang mendinginkan mesin kapal dan mengaktifkan

AC (air conditioning) (Baxter, 2011: 1).

Pada bulan Juni 2011, Asisten Menteri Luar Negeri untuk Urusan Politik

dan militer AS, Andrew J. Shapiro, bertemu Wakil Menteri Luar Negeri Vietnam,

Pham Binh Minh, untuk berbagi pandangan mengenai hubungan bilateral dan

masalah keamanan regional. Yaitu membahas langkah-langkah untuk lebih

memperkuat kerjasama nonproliferasi, kontraterorisme, kontra narkotika,

POW-MIA, penanganan dioxin, isu-isu agen orange, bantuan kemanusiaan dan bantuan

bencana, serta aspek-aspek lain dalam kerjasama pertahanan dan keamanan.

Kedua belah pihak juga berkomitmen untuk bekerja menuju "kemitraan strategis"

antara Vietnam dengan AS. Hubungan kemitraan strategis ini khususnya

ditujukan untuk menanggapi tensi keamanan di LCS (Jordan, Stern, and Lohman,

Gambar

Tabel 4.1: Perbandingan Kapabilitas Persenjataan RRT dengan Vietnam…47
Gambar2.2 : Klaim wilayah Vietnam setelah memasukan kepulauan Paracel
Tabel 2.1: Pulau-pulau terluar Vietnam
Gambar 2.1: Zona Ekonomi Eksklusif Vietnam terhitung 200 mil dari garis
+7

Referensi

Dokumen terkait

If the bond is up gr aded , the bond should in cr ease in v alue... in

Sangat terampill, jika menunjukkan adanya usaha untuk menerapkan konsep/prinsip dan strategi pemecahan masalah yang relevan yang berkaitan dengan gambar teknik

Sembilan Jaya Farm Sukabumi sudah memenuhi standar yaitu dilakukan upaya untuk mengurangi penyebaran penyakit diantaranya dengan : (1) Penyemprotan terhadap staff,

Didapati dua item yang mendapat skor yang tinggi iaitu PA prihatin terhadap kelakuan pelajar (4.30 tinggi) dan sering memberi nasihat bagi penerapan nilai-nilai murni (4.30

 Menyedari pelbagai peranan wanita dalam keluarga, masyarakat, ekonomi dan politik negara, kerajaan mengakui bahawa strategi- strategi yang khusus perlu dibentuk bagi

Menurut Kuntowijoyo (Abdurrahman 2007, hlm 73), “ Interpretasi sejarah atau yang biasa disebut juga dengan analisis sejarah merupakan tahap dimana peneliti melakukan

PERBEDAAN MOTIVASI BELAJAR SISWA ANTARA YANG MENGGUNAKAN METODE ACTIVE LEARNING DENGAN YANG MENGGUNAKAN METODE CERAMAH BERVARIASI PADA MATA PELAJARAN AKUNTANSI KELAS X DI SMK PGRI

Bagi menilai keberkesanan keseluruhan program dakwah yang telah dijalankan oleh SPI JPS terhadap guru Pendidikan Islam, dapatan kajian menunjukkan daripada seramai 242