• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hubungan antara kekuatan karakter dengan resiliensi residen narkoba di unit pelaksana teknis (UPT) terapi dan rehabilitas badan narkotika nasioanl lido

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Hubungan antara kekuatan karakter dengan resiliensi residen narkoba di unit pelaksana teknis (UPT) terapi dan rehabilitas badan narkotika nasioanl lido"

Copied!
139
0
0

Teks penuh

(1)

BADAN NARKOTIKA NASIONAL

LIDO

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi (S.Psi)

Disusun oleh :

FIRANTI HANDAYANI NIM: 106070002240

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

(2)

REHABILITASI BADAN NARKOTIKA NASIONAL

LIDO

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Psikologi untuk memenuhi syarat-syarat memperoleh gelar Sarjana Psikologi

Oleh :

FIRANTI HANDAYANI

NIM : 106070002240

Di Bawah Bimbingan :

Pembimbing I Pembimbing II

Neneng Tati Sumiati, M.Si, Psi S. Evangeline I. Suaidy, M.Si, Psi

NIP. 19730328 200003 203 NIP. 150411217

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

1431H/2010M

(3)

DENGAN RESILIENSI RESIDEN NARKOBA DI UNIT PELAKSANA TEKNIS (UPT) TERAPI DAN REHABILITASI BADAN NARKOTIKA

NASIONAL LIDO” telah diujikan dalam sidang munaqasyah Fakultas Psikologi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 9 Desember 2010. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana psikologi.

Jakarta, 9 Desember 2010

Sidang Munaqasyah

Dekan/ Pembantu Dekan/

Ketua merangkap Anggota Sekretaris merangkap Anggota

Jahja Umar, Ph.D Dra. Fadhilah Suralaga, M.Si

NIP.130 885 522 NIP.19561223 198303 2001

Anggota

Ikhwan Lutfi, M. Psi Neneng Tati Sumiati, M.Si, Psi

NIP. 19730710 200501 1 006 NIP. 19730328200003203

S. Evangeline I. Suaidy, M.Si, Psi

NIP.150411217

(4)

Yang bertanda tangan di bawah ini

Nama : Firanti Handayani

NIM : 106070002240

Dengan ini menyatakan bahwa skripsi yang berjudul “HUBUNGAN ANTARA KEKUATAN KARAKTER DENGAN RESILIENSI RESIDEN NARKOBA DI UNIT PELAKSANA TEKNIS (UPT) TERAPI DAN REHABILITASI BADAN NARKOTIKA NASIONAL LIDO” adalah benar merupakan karya saya dan tidak melakukan tindakan plagiat dalam penyusunan karya ini telah dicantumkan sumber pengutipannya dalam skripsi.

Saya bersedia untuk melakukan proses yang semestinya sesuai dengan undang-undang jika ternyata skripsi ini secara prinsip merupakan plagiat atau ciplakan dari karya orang lain

Demikian pernyataan ini diperbuat untuk dipergunakan seperlunya

Jakarta, 9 Desember 2010

Yang Menyatakan

Firanti Handayani

NIM: 106070002240

(5)

MOTTO :

Every person has their own strength to live, struggle

and compete in this world, but only the resilient one

who can be tough and survive until the end.

PERSEMBAHAN :

Skripsi ini saya persembahkan untuk kedua orang tua saya,

Ayah Firman & Ibu Tami yang menyayangi saya dengan sepenuh

hati serta selalu mendoakan saya dalam kebaikan.

(6)

C) Firanti Handayani

D) Hubungan Antara Kekuatan Karakter Dengan Resiliensi Residen Narkoba Di Unit Pelaksana Teknis (Upt) Terapi Dan Rehabilitasi Badan Narkotika Nasional Lido

E) xiv + 94 halaman + lampiran

F) Maraknya penyalahgunaan narkoba terjadi di berbagai belahan dunia termasuk di Indonesia. Penelitian yang dilakukan oleh BNN bekerja sama dengan Puslitkes UI pada tahun 2008 memperoleh hasil bahwa jumlah penyalahguna narkoba di Indonesia diperkirakan sebanyak 3,1 juta sampai 3,6 juta orang. Adapun institusi yang diberikan tanggung jawab untuk mengkoordinasikan strategi dan implementasi penanggulangan permasalahan narkotika di Indonesia adalah Badan Narkotika Nasional. Fenomena yang terjadi di Badan Narkotika Nasional sendiri adalah residen yang kabur dari rehabilitasi dan dari 100 residen yang kabur 97 orang diantaranya pasti relapse. Banyak hal yang memicu residen ingin kabur dari rehabilitasi salah satunya aspek internal dari dalam diri mereka sendiri, diantaranya kekuatan karakter dan resiliensi. Oleh karena itu penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah ada hubungan positif yang signifikan antara kekuatan karakter dengan resiliensi pada residen narkoba di unit pelaksana teknis (upt) terapi dan rehabilitasi Badan Narkotika Nasional Lido. Sampel yang merupakan residen sejumlah 134 orang diambil dengan teknik purposive sampling dan diberikan angket untuk mengukur kekuatan karakter serta resiliensi mereka. Jawaban terhadap skala kekuatan karakter diukur kemudian digunakan untuk membagi responden menjadi tiga kategori, yakni responden yang memiliki kekuatan karakter tinggi, sedang, dan rendah, begitu pula yang dilakukan terhadap skala resiliensi. Analisis data pada penelitian ini menggunakan uji korelasi pada taraf signifikansi 0,05.

Hasil penelitian menyatakan bahwa ada hubungan positif yang signifikan antara kekuatan karakter dengan resiliensi. Dimana jika kekuatan karakter residen tinggi maka resiliensinya akan tinggi pula dan sebaliknya jika kekuatan karakter residen rendah maka resiliensinya akan rendah pula. Hasil penelitian tambahan menunjukkan bahwa kekuatan karakter memberikan kontribusi sebesar 62,7 % terhadap resiliensi dimana

gratitude merupakan kekuatan karakter yang memberikan kontribusi

paling besar terhadap resiliensi sebesar 29,3% sekaligus merupakan kekuatan karakter yang memiliki korelasi terbesar dengan resiliensi dengan pearson product moment r sebesar 0,542.

(7)
(8)

Fakultas Psikologi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Peneliti amat berharap siapapun yang membaca penelitian ini dapat memberikan masukan guna perbaikan dan penyempurnaan di masa yang akan datang.

Melalui penelitian ini peneliti mendapatkan pelajaran berharga bahwa setiap orang memiliki potensi karakter-karakter positif di dalam dirinya walaupun dalam taraf yang berbeda-beda dan merupakan seseorang yang dipandang sebelah mata oleh masyarakat. Implikasinya, setelah selesai melakukan penelitian, peneliti menemukan cara pandang yang berbeda dalam melihat orang lain. Karena berangkat dari hasil penelitian yang peneliti peroleh, peneliti mengambil kesimpulan bahwa seburuk-buruk perangai atau karakter yang dimiliki seseorang, pasti terdapat potensi karakter positif yang perlu dan bisa dilatih. Demikianlah, peneliti sampaikan hikmah yang peneliti dapatkan melalui penelitian ini. Kiranya dapat menjadi pelajaran yang berharga bagi siapapun yang membacanya.

Penelitian ini melibatkan banyak pihak, terutama dari responden yang telah bersedia membantu peneliti melakukan penelitian serta memberikan pelajaran tidak langsung kepada peneliti melalui penelitian ini. Terima kasih yang sebesar-besarnya peneliti ucapkan kepada:

1. Kedua orang tua saya, ayah dan ibu, yang selalu bersabar, percaya, mendukung dan membantu dalam menyelesaikan penelitian ini baik dari segi moril, emosional, spiritual maupun finansial. Ketiga saudaraku, Ajeng, Mas Fakhri, dan Ade Afif yang telah membantu dan mendukung baik secara emosional maupun tenaga dalam pengolahan data.

2. Jahja Umar, Ph.D, Dekan Fakultas Psikologi, Dra. Fadhilah Suralaga, M.Si, Pembantu Dekan I, beserta seluruh jajaran dekanat lainnya, yang Insya Allah tiada henti berusaha menciptakan lulusan-lulusan Fakultas Psikologi yang semakin baik dan berkualitas.

3. Neneng Tati Sumiati, M.Si, Psi. Dosen pembimbing satu, yang dengan kesabarannya selalu dapat memberikan solusi-solusi cerdas mengenai hal-hal yang saya bingungkan berkaitan dengan penelitian. Terima kasih telah meluangkan waktu di sela-sela kesibukan ibu untuk berdiskusi dan memberikan masukan yang sangat berarti.

4. Sitti Evangeline I. Suaidy, M.Si, Psi. Dosen pembimbing dua, yang mengajarkan banyak nilai-nilai baru dan hal-hal bermanfaat yang bermakna berkaitan dengan penelitian sehingga membuka cakrawala baru dalam ranah berpikir saya. Terima kasih telah meluangkan waktu di sela-sela jadwal ibu yang sangat padat untuk berdiskusi dan memberikan masukan yang sangat berarti.

(9)

BNN Lido . Anda semua telah menunjukkan bagaimana kerasnya usaha untuk memperoleh hal-hal yang pada umumnya dipandang remeh oleh orang lain.

7. M. Fierza Mucharom Nasution, M.Si, Psi, CHt. beserta staff psikologi di BNN Lido, Mba dewi, Mas Rizal, Mas Donal yang telah bersedia mengizinkan dan membantu saya melakukan penelitian di BNN Lido, serta Mas Ito yang telah membantu saya dalam hal administrasi surat penelitian. Tanpa izin dan bantuan dari Anda semua saya tidak mungkin bisa melakukan penelitian di BNN Lido

8. Tidak lupa kepada re-entry program manager Bro Chico dan mayor re-entry stage Bro Erwin yang telah memberikan saya izin dan waktu untuk melakukan penelitian di re-entry stage. Kemudian kepada primary program manager Bro Aldi dan mayor primary stage Bro Nata yang telah memberikan saya izin dan waktu untuk melakukan penelitian di primary stage. Tanpa izin dan bantuan dari Anda semua saya tidak mungkin bisa melakukan penelitian secara efektif pada tiap stage.

9. Sahabat-sahabat saya di Fakultas Psikologi (angkatan 2006) pada umumnya dan kelas B khususnya yang telah menjadi teman dalam berjuang, belajar, bersenda gurau, berkonsultasi baik dalam senang atau pun susah. Reza Rihan Kamarz atas bantuan serta dukungan moril, pikiran dan tenaga dalam penyusunan penelitian, penyebaran angket try out dan pelaksanaan field test. Hanny Safitri Sari dan Rika Fadilah atas bantuan serta dukungan moril, pikiran dan tenaga dalam penyusunan penelitian serta pelaksanaan penelitian lapangan. Ain Rahmiati yang telah mendukung serta menjadi guru dan tempat naungan untuk bertanya selama penyusunan penelitian. Choiriah febriana dan Andriana Kiswanti yang selalu menjadi sahabat serta mendukung dan membantu saya selama penyusunan penelitian. Adiyo R. dan Isni Noviansjah yang telah bersedia mengajarkan dan menjelaskan kepada saya mengenai teknik-teknik analisa data yang saya tidak pahami sebelumnya.

Penelitian ini tidak akan berarti tanpa kehadiran dan kontribusi dari semua pihak yang telah disebutkan sebelumnya. Semoga penelitian ini dapat memberikan manfaat dan inspirasi bagi banyak orang. Amin.

Jakarta, 16 November 2010

Peneliti

(10)

HALAMAN PERSETUJUAN ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

HALAMAN PERYATAAN ... iv

MOTTO DAN PERSEMBAHAN ... v

ABSTRAK ... vi

KATA PENGANTAR ... viii

DAFTAR ISI ... x

DAFTAR TABEL ... xiii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiv

BAB 1 PENDAHULUAN ... 1-14 1.1 Latar Belakang Masalah ... 1

1.2 Perumusan dan Pembatasan Masalah ... 12

1.2.1 Perumusan Masalah ... 12

1.2.2 Pembatasan Masalah ... 12

2.1 Tujuan Penelitian ... 14

3.1 Manfaat Penelitian ... 14

BAB 2 KAJIAN PUSTAKA ... 15-58 2.1 Resiliensi ... 15

2.1.1 Pengertian Resiliensi ... 15

2.1.2 Faktor – Faktor Resiliensi ... 18

2.1.3 Karakteristik Resiliensi ... 21

2.1.4 Resiliensi dan Pemulihan (Recovery) ... 26

(11)

2.2.3 Faktor – Faktor Yang Mempengaruhi Strength ... 32

2.3 Karakteristik Residen ... 45

2.3.1 Karakteristik Kognitif dan Tingkah laku ... 45

2.3.2 Karakteristik Perseptual ... 47

2.3.3 Karakteristik Emosional ... 48

2.3.4 Karakteristik Sosial ... 52

2.4 Kerangka Berpikir ... 54

BAB 3 METODE PENELITIAN ... 59-68 3.1 Pendekatan dan Metode Penelitian ... 59

3.2 Variabel Penelitian ... 59

3.2.1 Definisi Konseptual ... 60

3.2.2 Definisi Operasional ... 60

3.3 Pengambilan Sampel ... 61

3.3.1 Populasi dan Sampel ... 61

3.3.2 Karakteristik Subjek Penelitian ... 61

3.3.3 Teknik Pengambilan Sampel ... 62

3.4 Pengumpulan Data ... 62

3.4.1 Metode Pengumpulan Data ... 62

3.4.2 Instrumen Penelitian ... 63

3.4.3 Uji Instrumen Penelitian ... 66

3.4.3.1 Uji Validitas ... 66

3.4.3.2 Uji Reliabilitas ... 66

3.5 Analisa Data ... 67

(12)

4.1 Gambaran Umum Responden ... 69

4.2 Analisis Deskriptif ... 72

4.2.1 Kategorisasi Skor Kekuatan Karakter ... 73

4.2.2 Kategorisasi Skor Resiliensi ... 75

4.3 Uji Hipotesis Penelitian ... 76

4.3.1 Uji Korelasional ... 76

4.4 Hasil Penelitian Tambahan ... 77

4.4.1 Uji Regresi ... 78

BAB 5 KESIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN ... 81-92 5.1 Kesimpulan ... 81

5.2 Diskusi ... 81

5.3 Saran ... 89

5.3.1 Saran Teoritis ... 89

5.3.2 Saran Praktis ... 91

DAFTAR PUSTAKA ... 92

LAMPIRAN

(13)

Tabel 3.2 Blue Print Skala Resiliensi Tabel 4.1 Responden Berdasarkan Usia

Tabel 4.2 Responden Berdasarkan Pendidikan Terakhir Tabel 4.3 Responden Berdasarkan Status Pernikahan Tabel 4.4 Responden Berdasarkan Tahapan Rehabilitasi Tabel 4.5 Descriptive Statistics

Tabel 4.6 Distribusi Skor Kekuatan Karakter

Tabel 4.7 Distribusi Skor Klasifikasi Kekuatan Karakter Tabel 4.8 Distribusi Skor Resiliensi

Tabel 4.9 Correlations

Tabel 4.10 Correlations

Tabel 4.11 Model Summary

Tabel 4.12 Tabel Kontribusi Klasifikasi Kekuatan Karakter Terhadap Resiliensi

(14)

xiv

Lampiran 2 Gambaran Penyalahgunaan Narkoba Di Indonesia Lampiran 3 Angket Penelitian

Lampiran 4 Daftar Pertanyaan Wawancara

Lampiran 5 Output Uji Validitas Kekuatan Karakter Lampiran 6 Output Uji Validitas Resiliensi

Lampiran 7 Output Regresi Kekuatan Karakter Dengan Resiliensi Lampiran 8 Output Regresi Tiap Klasifikasi Kekuatan Karakter

Lampiran 9 Output Descriptive Statistics Tiap Klasifikasi Kekuatan Karakter Lampiran 10 Data Kontrol

(15)

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Di zaman modern ini maraknya penyalahgunaan narkoba terjadi di

berbagai belahan dunia termasuk di Indonesia. Penelitian yang dilakukan oleh

BNN bekerja sama dengan Puslitkes UI pada tahun 2008 memperoleh hasil bahwa

jumlah penyalahguna Narkoba di Indonesia diperkirakan sebanyak 3,1 juta sampai

3,6 juta orang atau sekitar 1,99% dari total seluruh penduduk Indonesia yang

beresiko terkena Narkoba di tahun 2008 (usia 10-59 tahun) atau dengan nilai

tengah sebanyak 3.362.527 orang. Dari sejumlah penyalahguna tersebut,

terdistribusi atas 26% coba pakai, 27% teratur pakai, 40% pecandu bukan suntik

dan 7% pecandu suntik (BNN & Puslitkes UI, 2008)

Pecandu yang ada di Indonesia pun memiliki berbagai latar belakang yang

berbeda-beda. Dari kumpulan penelitian yang dilakukan BNN dan lembaga terkait

dapat dilihat berbagai macam segi dari pecandu di Indonesia. Pertama dari segi

usia, kecenderungan usia pertama kali menggunakan narkoba penyalahguna di

Indonesia dimulai dari usia yang sangat dini, yakni kurang dari 12 tahun, bahkan

yang sangat memprihatinkan, yakni usia 7 tahun (BNN, 2003, 2006). Hal tersebut

sesuai dengan tulisan Elizabeth B. Hurlock dalam bukunya (1980) dimana usia 7

tahun merupakan masa kanak-kanak akhir dan pelanggaran yang paling sering

dilakukan kanak-kanak akhir salah satunya adalah mengkonsumsi obat-obatan

(16)

Untuk kelompok usia tertinggi pada penyalahguna narkoba rata-rata terjadi

pada kelompok usia 20 tahun keatas (BNN, 2003, 2005). Hal tersebut sangat

disayangkan dimana usia yang menurut Hurlock (1980) termasuk masa dewasa

awal tersebut juga merupakan fase pencapaian prsetasi. Menurut Schaie (dalam,

Santrock 2002), fase mencapai prestasi (achieving stage) adalah fase di masa

dewasa awal yang melibatkan penerapan intelektualitas pada situasi yang

memiliki konsekuensi besar dalam mencapai tujuan jangka panjang, seperti

pencapaian karir dan pengetahuan.

Schaie (dalam, Santrock 2002) percaya bahwa orang dewasa muda yang

menguasai kemampuan kognitif perlu memonitor perilaku mereka sendiri

sehingga memperoleh kebebasan yang cukup untuk berpindah ke fase selanjutnya

yang melibatkan tanggung jawab sosial, yakni fase tanggung jawab. Fase

tanggung jawab (the responsibility stage) adalah fase yang terjadi ketika keluarga

terbentuk dan perhatian diberikan pada keperluan-keperluan pasangan dan

keturunan. Namun, jika seorang individu pada usia 20 tahun sudah

menyalahgunakan narkoba, adalah hal mustahil jika individu tersebut dapat

mencapai fase tanggung jawab. Untuk dapat memenuhi fase mencapai prestasi

secara utuh saja sangat disangsikan. Oleh karena itu, sangat disayangkan jika

potensi-potensi individu yang dapat dikembangkan dan diterapkan pada masa

dewasa awal ini harus terhambat oleh narkoba.

Dari segi pendidikan, angka penyalahgunaan narkoba lebih tinggi pada

kelompok pendidikan tinggi dibanding pendidikan rendah; lebih tinggi pada

(17)

memprihatinkan karena kelompok responden dengan tingkat pendidikan

perguruan tinggi memiliki proporsi penyalahgunaan narkoba paling tinggi,

kemudian responden tingkat SMU memiliki proporsi penyalahgunaan narkoba

lebih tinggi dari pada tingkat SMP (BNN, 2003).

Dari segi latar belakang keluarga. penyalahgunaan narkoba cenderung

terjadi pada kelompok responden yang orang tuanya berpisah, tetapi belum cerai;

kelompok responden yang tidak pernah berbincang-bincang dengan orang tua

mereka; responden yang tidak tinggal bersama keluarga; kelompok responden

yang sebagian anggota keluarganya mempunyai kebiasaan merokok; kelompok

responden yang semua anggota keluarganya mempunyai kebiasaan

minum-minuman keras; kelompok responden yang anggota keluarganya mempunyai

kebiasaan pergi ke tempat hiburan; dan yang pasti responden yang semua anggota

keluarganya memiliki kebiasaan menyalahgunakan narkoba (BNN, 2003). Dapat

peneliti lihat bahwa peran keluarga inti terutama orang tua sangat berperan

penting sebagai faktor penentu individu untuk mudah tidaknya ia terjerumus pada

narkoba.

Untuk pintu masuknya peredaran narkoba kepada individu, teman sebaya

atau peer-group merupakan faktor yang paling potensial menjadi pintu masuknya

narkoba pada individu (BNN, 2006). Karena pada umumnya penyalahgunaan

(18)

Dalam kumpulan hasil penelitian sebelumnya dinyatakan terdapat

hubungan signifikan antara penyalahgunaan narkoba dengan teman sepergaulan

yang memiliki kebiasaan merokok dan meminum minuman keras (BNN, 2003,

2005). Perilaku tersebut merupakan perilaku awal yang biasanya menjadi pemicu

orang mencoba narkoba (BNN & Badan Pusat Statistik, 2003).

Untuk alasan pemakaian narkoba, alasan ingin coba-coba dan

bersenang-senang adalah alasan yang umumnya diutarakan para penyalah guna narkoba

(BNN, 2003 ; BNN 2005). Sangat disayangkan, tujuan mereka yang pada awalnya

hanya ingin mencoba dan bersenang-senang pada akhirnya dapat mengantarkan

mereka pada ketergantungan narkoba yang merusak diri sendiri dari segi fisik dan

psikologis.

Masuknya narkoba ke dalam tubuh akan mempengaruhi fungsi vital organ

tubuh, yaitu jantung, peredaran darah, pernafasan, dan terutama pada kerja otak

(susunan saraf pusat). Hal ini menyebabkan kerja otak berubah (bisa meningkat

atau menurun. Narkoba berpengaruh pada bagian otak yang bertanggung jawab

atas kehidupan perasaan, yang disebut dengan sistem limbus. Pusat kenikmatan

pada otak (Hipotalamus) adalah bagian dari sistem limbus. Narkoba menghasilkan

perasaan tinggi dengan mengubah susunan bio kimia molekul pada sel otak yang

disebut neurotransmitter (BNN, Buku Advokasi Pencegahan Penyalahgunaan

(19)

Dari jenis narkoba yang dipakai untuk pertama kali pada umumnya adalah

ganja dan codein (BNN & Badan Pusat Statistik, 2003; BNN, 2003). Dimana

ganja merupakan golongan halusinogen, yaitu jenis narkoba yang dapat

menimbulkan efek halusinasi yang bersifat merubah perasaan, pikiran dan

seringkali menciptakan daya pandang yang berbeda sehingga seluruh persaan

dapat terganggu. Disamping itu ganja juga merupakan narkotika yang hanya dapat

digunakan untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan dan tidak digunakan

dalam terapi, serta mempunyai potensi sangat tinggi mengakibatkan

ketergantungan. Sedangkan codein termasuk golongan depresan ( downer ), yakni

jenis narkoba yang berfungsi mengurangi aktifitas fungsional tubuh. Jenis ini

membuat pemakainya menjadi tenang dan membuat tertidur bahkan tak sadarkan

diri. Selain itu, codein ini juga merupakan narkotika yang berkhasiat pengobatan

dan banyak digunakan dalam terapi dan / atau tujuan pengembangan ilmu

pengetahuan serta mempunyai potensi ringan mengakibatkan ketergantungan

(BNN, 2009).

Untuk hasil penelitian pada kelompok rumah tangga di indonesia sangat

memprihatinkan. Sekitar 20% responden (penyalahguna narkoba) di rumah tangga

serta separuh responden di rumah kos, baik perempuan ataupun laki-laki

mempunyai lebih dari satu pasangan, termasuk berhubungan seks dengan pekerja

seks (BNN, 2005). Ditambah lagi pencurian, penipuan, perampasan, dan

penodongan merupakan tindak kriminalitas yang banyak dilakukan oleh

(20)

Adapun institusi yang diberikan tanggung jawab untuk mengkoordinasikan

strategi dan implementasi penanggulangan permasalahan Narkotika di Indonesia

adalah BNN (Badan Narkotika Nasional). Mengapa peneliti memutuskan untuk

mengambil responden di Badan Narkotika Nasional ? Karena Badan Narkotika

Nasional merupakan institusi yang diberikan tanggung jawab untuk

mengkoordinasikan strategi dan implementasi penanggulangan permasalahan

Narkotika di Indonesia. Dimana institusi ini merupakan Lembaga Non Struktural

yang berkedudukan dibawah dan bertanggungjawab langsung kepada Presiden.

Badan Narkotika Nasional mempunyai tugas membantu Presiden dalam

mengkoordinasikan instansi pemerintah terkait dalam penyusunan kebijakan dan

pelaksanaan kebijakan operasional di bidang ketersediaan dan pencegahan,

pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika, psikotropika,

prekursor dan bahan adiktif lainnya atau dapat disingkat dengan P4GN, dan dalam

melaksanakan P4GN dengan membentuk satuan tugas yang terdiri atas unsur

instansi pemerintah terkait sesuai dengan tugas, fungsi dan kewenangannya

masing-masing.

Pada tahun 2007 BNN telah membangun Unit Pelaksana Teknis (UPT)

terapi dan rehabilitasi di Lido, Sukabumi yang melaksanakan pelayanan terapi dan

rehabilitasi secara komprehensif dan integratif. Dengan pelayanan tanpa dipungut

(21)

Adapun metode rehabilitasi yang digunakan di BNN bagi para klien yang

mengikuti rehabilitasi di BNN (residen), yakni therapeutic community.

Therapeutic Community adalah suatu metode rehabilitasi sosial yang ditujukan

kepada korban penyalahguna narkoba, yang merupakan sebuah ‘keluarga’ terdiri

atas orang-orang yang mempunyai masalah yang sama dan memiliki tujuan yang

sama, yaitu untuk menolong diri sendiri dan sesama yang dipimpin oleh seseorang

dari mereka, sehingga terjadi perubahan tingkah laku dari yang negatif ke arah

tingkah laku yang positif (BNN R.I. & Departemen Sosial R.I. 2004).

Adapun indikator keberhasilan therapeutic community di BNN meliputi

dua aspek, yaitu indikator keberhasilan program dan indikator keberhasilan

residen. Indikator yang dapat digunakan untuk menilai program rehabilitasi ini

berhasil atau gagal, yakni: angka drop-out pada setiap tahapan; angka residen

yang kabur; angka kekambuhan; adanya peningkatan status kehidupan residen

yang lebih baik selama dan setelah mengikuti program yang dinilai dari

pelasanaan pekerjaan, sekolah, dan perilaku sehari-hari baik di lingkungan

keluarga maupun di lingkungan sosial lainnya. Indikator keberhasilan yang dapat

digunakan untuk menilai keberhasilan residen di BNN, yakni Pertama, residen

dalam keadaan bebas zat (abstinensia). Kedua, residen dapat menjalankan

kehidupan sosialnya sesuai dengan norma-norma yang berlaku dalam masyarakat.

(BNN R.I. & Departemen Sosial R.I. 2004).

Dalam panduan metode therapeutic community yang disusun oleh BNN

R.I. & Departemen Sosial R.I. (2004) ada tahapan yang di sebut primary stage,

(22)

yang memiliki berbagai kegiatan. Adapun kegiatan di primary stage yang

berkaitan dengan kekuatan karakter dan resiliensi, diantaranya morning meeting,

yang merupakan komponen utama dilaksanakan setiap pagi hari yang mengawali

kegiatan residen dan diikuti oleh seluruh residen. Morning meeting memiliki

tujuan, salah satunya, yakni membangkitkan kepercayaan diri, dimana

kepercayaan diri sendiri merupakan salah satu karakteristik resiliensi menurut

Conner (dalam O’Neal, 1999). Tujuan lainnya yakni melatih kejujuran dan

kepercayaan terhadap residen yang lain, dimana hal ini sesuai dengan salah satu

klasifikasi kekuatan karakter menurut Peterson dan Seligman (2004), yakni

kejujuran (honesty). Dalam morning meeting juga dilakukan pembahasan

mengenai isu keseluruhan rumah yang harus diselesaikan oleh komunitas. Dimana

hal tersebut sesuai dengan salah satu klasifikasi dalam kekuatan karakter, yaitu

team work, yang salah satu definisinya menurut Seligman adalah berbagi dengan

kelompok.

Kegiatan selanjutnya, yakni encounter group. Group ini dirancang khusus

untuk mengekspresikan atau menyatakan perasaan kesal, kecewa, marah, sedih

dan lain-lain. Group ini adalah bagian untuk memodifikasi perilaku agar

menjadikan residen lebih disiplin. Sesuai dengan klasifikasi dalam kekuatan

karakter yaitu keberanian (bravery) (dalam Peterson dan Seligman, 2004), dalam

encounter group ini residen dilatih agar berani mengungkapkan perasaan di depan

banyak residen lain kepada orang yang telah membuatnya kecewa kesal, marah,

(23)

PAGE (Peer Accountability Group Evaluation) adalah suatu kelompok

yang mengajarkan residen untuk dapat memberikan satu penilaian positif dan

negatif dalam kehidupan sehari-hari terhadap sesama residen. Dalam kelompok

ini tiap residen dilatih meningkatkan kepekaan terhadap perilaku komunitas. Hal

tersebut selaras dengan klasifikasi dalam kekuatan karakter, yakni kecerdasan

sosial (social intelligence) dimana seseorang harus peka terhadap motif dan

perasaan orang lain juga diri sendiri serta harus dapat menyesuaikan diri pada

situasi sosial yang berbeda (dalam, Peterson dan Seligman 2004). Selain itu,

PAGE juga sejalan dengan faktor lain dalam kekuatan karakter, yakni perspektif

(perspective), dimana seseorang harus mampu memberikan saran serta memiliki

cara pandang yang luas dan dapat diterima oleh orang lain (dalam, Peterson dan

Seligman 2004).

Namun, berhasil atau tidaknya kekuatan karakter dan resiliensi itu tumbuh

dalam diri residen kembali lagi tergantung para residen tersebut. Apakah mereka

memandang dan menghayati program yang mereka jalani sebagai sesuatu yang

positif dan dapat membantu mereka untuk menjadi lebih baik serta

menjalankannya dengan sungguh-sungguh ataukah sebagai sesuatu yang negatif,

melelahkan, tidak bermanfaat atau bahkan menyulitkan diri mereka sendiri. Salah

satu contohnya adalah residen-residen yang kabur dari BNN, seperti pada tanggal

24 maret 2010 berita yang ditayangkan pukul 11.56 wib di metro tv menampilkan

residen yang kabur dengan alasan tidak kuat mengikuti program penyembuhan di

BNN. Ia menyatakan bahwa dirinya lelah mengikuti semua program yang ada di

(24)

menganggap kegiatan yang ia jalani selama ini di BNN sebagai sesuatu yang

melelahkan serta tidak bermanfaat baginya.

Setelah primary stage ada tahapan yang disebut re-entry stage atau tahap

lanjutan. Re-entry stage adalah suatu tahapan proses lanjutan setelah tahap primer

dengan tujuan mengembalikan residen ke dalam kehidupan masyarakat

(resosialisasi) pada umumnya. Tahap ini dilaksanakan selama 3 sampai 6 bulan

(BNN R.I. & Departemen Sosial R.I. 2004). Terjadi fenomena di BNN dimana

pada tahap re-entry ini sebagian residen banyak yang kabur. Karena pada tahap ini

ijin pulang dan ijin bepergian menjadi lebih longgar.

Home leave serta bussines pass merupakan bagian dari treatment yang ada

di re-entry stage, yakni ijin pulang/ meninggalkan fasilitas TC yang diberikan

kepada residen dengan tujuan agar residen bisa mendekatkan diri dengan

keluarga, menjaga komunikasi di lingkungan keluarga, menindaklanjuti isu yang

ada di dalam keluarga (BNN R.I. & Departemen Sosial R.I. 2004).

Residen yang kabur dari BNN merupakan residen yang menyalahgunakan

kesempatan home leave atau business pass mereka. Pada saat peneliti melakukan

PKL di BNN Lido selama 2 minggu, ada tiga orang residen re-entry yang kabur

ketika sedang bussiness pass dan satu residen yang di serang pada saat encounter

group berulangkali karena kabur ketika ia sedang mendapat ijin keluar panti

rehabilitasi (outing), selain itu tidak sedikit pula residen yang mengikuti

rehabilitasi di BNN untuk yang kesekian kalinya, sebagian residen di BNN sudah

keluar masuk BNN hingga beberapa kali, mereka yang sudah pernah keluar BNN

(25)

selama peneliti menginap di BNN, beberapa kali para second admission sering

mencoba kabur serta menghasut para residen baru untuk kabur bersama-sama.

Hasil wawancara dengan salah seorang staff ahli BNN yang merupakan Primary

Program Manager di BNN menunjukkan bahwa dari 100 residen yang kabur 97

diantaranya pasti relapse. Dimana Primary Program Manager merupakan unsur

pimpinan yang bertanggung jawab penuh pada keseluruhan program primer serta

seluruh fasilitas yang digunakan oleh residen tahap primer (BNN R.I. &

Departemen Sosial R.I. 2004). Berikut cuplikan wawancaranya:

“Selama ini yang kabur lebih banyak yang relapse, dibanding yang selesai program ya...”

“Presentasenya kalo kita ambil dari seratus, sembilan puluh tujuhnya

relapse. Jadi, sedikit sekali yang berhasil, kalo dia mulainya buruk ya... paling berapa bulan kemudian ada lagi di detoks.”

Jadi, dapat dilihat bahwa dibandingkan dengan residen yang

menyelesaikan programnya di BNN secara utuh, residen yang kabur lebih banyak

yang relapse. Dengan perbandingan 3 : 97 dari 100 orang residen yang kabur, 97

diantaranya sudah pasti relapse, dan akan kembali masuk BNN beberapa bulan

kemudian dimulai dari detoxification stage atau tahap detoksifikasi.

Yang jadi pertanyaan disini adalah mengapa para residen tersebut banyak

yang kabur, dan beberapa residen yang kabur kemudian relapse menggunakan

narkoba kembali serta kembali masuk rehabilitasi mengikuti program rehabilitasi

di BNN untuk ke sekian kalinya. Apakah penyebabnya? Ada apa didalam diri

mereka? seberapa tinggikah kekuatan karakter dan resiliensi yang mereka miliki?

kekuatan karakter apakah yang memiliki skor paling tinggi serta paling rendah

(26)

kemampuan resiliensi yang ada dalam diri mereka ? Bagaimana kemampuan

resiliensi yang ada di dalam diri mereka ? hal-hal yang seperti itulah yang akan

peneliti angkat di dalam penelitian ini.

Jadi, berdasarkan hal-hal tersebut peneliti merasa tertarik untuk meneliti

serta mengkaji lebih dalam mengenai fenomena kekuatan karakter serta resiliensi

yang ada di dalam diri residen narkoba dengan mengangkat judul dalam penelitian

ini, yakni HUBUNGAN ANTARA KEKUATAN KARAKTER DENGAN

RESILIENSI RESIDEN NARKOBA DI UNIT PELAKSANA TEKNIS (UPT)

TERAPI DAN REHABILITASI BNN LIDO.

1.2 Perumusan dan Pembatasan Masalah

1.2.1 Perumusan Masalah

Terkait dengan masalah yang telah dijabarkan sebelumnya, peneliti

membuat pertanyaan penelitian yang akan dijadikan dasar pengumpulan data

dengan rumusan sebagai berikut:

Apakah ada hubungan positif yang signifikan antara kekuatan karakter dengan

resiliensi residen narkoba di unit pelaksana teknis (upt) terapi dan rehabilitasi

BNN Lido?

1.2.2 Pembatasan Masalah

Residen adalah sebutan untuk klien yang sedang mengikuti program

(27)

Departemen Sosial R.I. 2004). Residen yang akan diteliti dalam penelitian ini

adalah residen yang sedang ataupun telah mengikuti metode therapeutic

community, yakni residen pada primarystage fase younger, middle dan older serta

re-entrystage fase orientasi, fase A, fase B, dan fase C baik residen biasa maupun

second admission.

Agar penelitian ini lebih terarah dengan jelas pembahasannya, maka

peneliti hanya akan membahas masalah mengenai kekuatan karakter dan

resiliensi. Pembatasan kekuatan karakter disini mencakup:

Definisi kekuatan karakter itu sendiri, yakni karakter positif yang

membawa individu kepada perasaan yang positif (Seligman, 2005). Dimana

kekuatan karakter tersebut merupakan unsur psikologis (proses atau mekanisme)

yang memberikan definisi pada virtues (wisdom, courage, humanity, justice,

temperance, and transcendence). Kekuatan karakter dapat dibedakan dalam

menampilkan satu atau virtue lainnya. Misalnya, virtue wisdom dapat dicapai

melalui kekuatan seperti rasa ingin tahu dan kecintaan untuk belajar, berpikiran

terbuka, kreativitas, dan persperktif, yakni memiliki suatu gambaran besar

mengenai hidup (dalam Martin Seligman, 2004).

Sedangkan resiliensi adalah suatu kemampuan yang dimiliki individu

untuk menghadapi dan mengatasi kesulitan dalam hidup dengan cara yang adaptif,

serta mampu belajar dari hal tersebut sekaligus beradaptasi di dalam kondisi yang

sulit tersebut. Resiliensi sendiri menurut Grotberg memiliki karakteristik, yakni “

I HAVE”, “ I AM”, dan “ I CAN” (Grotberg, 1996, 2003 ; Grotberg dalam

(28)

2.1 Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini secara umum untuk mengetahui apakah ada hubungan positif

yang signifikan antara kekuatan karakter dengan resiliensi pada residen narkoba di

unit pelaksana teknis (upt) terapi dan rehabilitasi Lido.

3.1 Manfaat Penelitian

Manfaat yang ingin dicapai dalam penelitian ini meliputi manfaat teoritis dan

praktis:

1. Secara teoritis

Dapat menambah kajian teori mengenai kekuatan karakter dan resiliensi pada

residen narkoba dalam kajian psikologi positif.

2. Secara praktis

− Bagi subjek: dapat membuka dan menambah wawasan mengenai

kekuatan karakter dan resiliensi yang ada pada dirinya guna

membantunya dalam proses pemulihan untuk tetap bisa bertahan dari

narkoba.

− Bagi lembaga terkait: dapat memberikan kontribusi positif berkaitan

dengan penanganan pemulihan residen narkoba.

− Bagi praktisi pendidikan: dapat memberikan sumbangsih dan wawasan

baru bagi praktisi pendidikan mengenai kekuatan karakter dan resiliensi

(29)

BAB 2

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Resiliensi

2.1.1 Pengertian Resiliensi 

Berikut beberapa definisi resilensi, menurut beberapa tokoh:

Menurut Conner (1992), orang-orang yang memiliki resiliensi bagus,

memiliki pandangan positif terhadap kehidupan dan diri mereka sendiri, kemudian

memiliki pikiran dan hubungan sosial yang fleksibel, merupakan orang yang

fokus, tertatur (organized), dan proaktif (dalam Jing Wang, 2004 ).

Norman (2000), definition of resilience is successfully adapt to adverse condition”.

Menurut Norman (2000) definisi resiliensi yakni, beradaptasi dengan baik

pada kondisi yang sulit (dalam Mc Cubbin,2001).

Luthar, Cicchetti, and Becker (2000), resilience refers to a dynamic process encompasing positive adaptation within the context of significant adversity”.

Menurut Luthar, Cicchetti, dan Becker (2000) resiliensi lebih kepada

sebuah proses dinamika meliputi adaptasi positif di dalam konteks kesulitan yang

signifikan (dalam Mc Cubbin,2001).

(30)

Menurut Garmezy dan rekan (1993) resiliensi adalah kapasitas untuk

adaptasi yang berhasil didalam mengahadapi penderitaan (dalam Mc Cubbin,

2001).

Gortberg (2000), resilience is a universal capacity which allow a person, group or community to prevent, minimize or overcome the damaging effects of adversity”.

Menurut Gortberg (2000), resiliensi merupakan kapasitas yang bersifat

universal dan dengan kapasitas tersebut, individu, kelompok ataupun komunitas

mampu mencegah, meminimalisir ataupun melawan pengaruh yang bisa merusak

saat mereka mengalami musibah atau kemalangan (dalam Parinyaphol &

Chongruksa, 2008).

Resilience is the human capacity to deal with, overcome, learn from, or even be transformed by the inevitable adversities of life”.

Resiliensi adalah kapasitas manusia untuk menghadapi, mengatasi,

mempelajari kesulitan dalam hidup dan bahkan ditransformasi oleh kesulitan

dalam hidup tersebut (Grotberg, 2003).

“Grotberg (1996) Resilience is the human capacity to face, overcome, and even be strengthened by the adversities of life”.

Reseliensi adalah kemampuan manusia untuk, menghadapi, mengatasi dan

bahkan diperkuat oleh kemalangan dalam hidup (Grotberg, 1996)

Joseph (1994), resilience refers to individual’s ability to adjust and adapt to the changes, demands, and disappointments that come up in the course of life”.

Menurut Joseph (1994), resiliensi lebih kepada kemampuan individu untuk

(31)

puasan yang muncul di dalam kehidupan (dalam Parinyaphol & Chongruksa,

2008).

Hawley & DeHaan (1996), stated resilience arise through hardship”.

Hawley & DeHaan (1996), menyatakan bahwa resiliensi timbul melalui

penderitaan (dalam Parinyaphol & Chongruksa, 2008).

Lasarus (2004) defined resilience as the ability to overcome obstacle and stressors by using adaptive coping strategies in order to maintain an effective level of adjustment and functioning”.

Lasarus (2004), mendefinisikan resiliensi sebagai kemampuan untuk

mengatasi rintangan dan tekanan dengan menggunakan strategi coping yang

adaptif dalam rangka menjaga suatu tingkat efektif atas penyesuaian diri dan

kegunaan (dalam Parinyaphol & Chongruksa, 2008).

Resilience defined as the process of, capacity for, outcome of succesful adaptation despite challenging or threatening circumstance”.

Menurut Masten, Best dan Garmzey (1990), resiliensi didefinisikan

sebagai suatu proses dari, kemampuan untuk, dan hasil dari adaptasi yang berhasil

meskipun dalam keadaan yang menantang atau mengancam (dalam Kaneko,

Nagamine, Nakaya, dan Oshio, 2003).

Jadi berdasarkan berbagai pengertian resiliensi yang telah dijabarkan dari

beberapa tokoh, peneliti dapat menyimpulkan bahwa resiliensi adalah suatu

kemampuan yang dimiliki individu untuk menghadapi dan mengatasi kesulitan

dalam hidup dengan cara yang adaptif, serta mampu belajar dari hal tersebut

(32)

2.1.2 Faktor – Faktor Resiliensi

Menurut Benard (1991) ada yang dinamakan protective factor pada

resiliensi. Istilah protective factor sendiri sampai saat ini belum memiliki definisi

secara terang (Norman, dalam McCubbin, 2001). Faktor protektif dibagi dalam

dua kategori, yakni faktor protektif internal, seperti self-esteem dan self-efficacy.

Serta faktor protektif eksternal, seperti dukungan keluarga juga keterlibatan

komunitas (Scalaes & Leffert, dalam McCubbin, 2001). Sedangkan Benard

sendiri membagi faktor protektif ke dalam tiga domain, yakni atribut kepribadian

individu, karakteristik keluarga dan pengaruh lingkungan seperti, teman sebaya,

sekolah, dan masyarakat (dalam Benard, 1991).

Benard menjelaskan faktor-faktor resiliensi dan inter hubungan diantara

kesemua faktor yang ada dalam suatu model konseptual, yang tercakup

didalamnya ada aset lingkungan dan aset internal resiliensi serta kebutuhan

(33)

Berikut model konseptual Benard:

Aset lingkungan menujukan ikatan prososial dan ikatan yang bermakna

terhadap masyarakat, sekolah (dalam hal ini panti rehabilitasi), keluarga dan

teman sebaya. Aset internal adalah trait resiliens individu, seperti self –efficacy,

(34)

Model konseptual ini dirancang untuk mengukur 11 aset lingkungan,

menanyakan tentang persepsi individu, mengenai harapan orang lain terhadap

dirinya, persepsi individu terhadap hubungan yang penuh kepedulian dengan

orang lain, dan kesempatan individu untuk berpartisipasi secara bermakna di

sekolah, rumah, dan lingkungan masyarakat. Model ini juga menilai hubungan

yang penuh kepedulian dan harapan yang tinggi dengan teman sebaya. Dukung

eksternal ini mempromosikan hasil positif, mengecilkan perilaku berisiko dan

merangsang keberhasilan akademik. (Benard, 2004; Constantine et al., 1999;

Hawkins, Catalano, & Miller, 1992; Masten & Coatsworth, 1998; Resnick et al.,

2000; Rutter, 1987; Werner & Smith, 1982, 1992, dalam Hanson dan Kim, 2007).

Aset internal resiliensi mencakup kompetensi sosial, pemecahan masalah,

otonomi, dan tujuan, yang masing-masing dapat dipecah lebih lanjut (Benard,

1991, 2004, dalam Hanson dan Kim, 2007). Kompetensi Sosial, misalnya,

memerlukan ketrampilan komunikasi sosial, empati dan kepedulian, serta

kemampuan untuk memperoleh tanggapan positif dari orang lain (responsiveness)

(Benard, 2004; Masten, 2001, dalam Hanson dan Kim, 2007). Pemecahan masalah

meliputi perencanaan, fleksibilitas, dan kepanjangan akal daya (resourcefulness).

Otonomi mencakup self-efficacy, self-awareness, kesadaran (mindfulness). Tujuan

meliputi arah tujuan, motivasi berprestasi, optimisme, dan harapan (Benard, 2004,

dalam Hanson dan Kim, 2007). Aset internal resiliensi mengembangkan baik

secara alami dan sebagai respons terhadap aset resiliensi yang berhubungan

dengan lingkungan. Aset internal resiliensi mengembangkan respon terhadap aset

(35)

(youth) dirancang untuk mengukur enam aset internal seperti, empati, pemecahan

masalah, self-efficacy, kesadaran diri (self-awareness), kerjasama dan komunikasi,

serta tujuan dan aspirasi (dalam Hanson dan Kim, 2007).

2.1.3 Karakteristik Resiliensi

Dalam jurnal yang berjudul Using Resilience Characteristics and

Traditional Background Factors to Study Adjusment of Interbarional Graduate

Students in U.S., Conner (dalam Jim Wang 2004) mengemukakan tujuh

karakteristik resiliensi, yaitu:

1. “Positive: The World”, yaitu memandang dunia dari segi positif. Positive:

The World merupakan kecenderungan seseorang untuk fokus kepada

elemen positif dunia ini. Mereka dapat melihat peluang di dalam situasi

sulit, dapat menemukan solusi dari suatu masalah, dan baik dalam

menciptakan situasi yang positif.

2. “Positive: Your self”, dimana seseorang memiliki kepercayaan diri dan

keyakinan untuk dapat mempengaruhi lingkungan. Memiliki pandangan

positif untuk dapat membangun dasar yang kuat untuk menahan tekanan

dan ambiguitas, serta memiliki kepercayaan diri untuk mengahadapi

kegagalan.

3. “Focused”, yakni memiliki pendirian yang kuat di dalam prioritas dan

tujuan, dapat mengalokasikan energi lebih dengan mudah untuk mencapai

(36)

4. “Flexible: Thoughts” merupakan kesediaan dan kemampuan individu

untuk melihat situasi dari berbagai sudut pandang, kemampuan individu

untuk menunda pendapat/penilaian dan mempertimbangkan perspektif

alternatif, serta merupakan kesediaan dan kemampuan individu untuk

menjalani hidup dan menerima paradoks serta kontradiksi sebaga bagian

dari kehidupan. Berpikiran terbuka, orang-orang yang memiliki pikiran

fleksibel cenderung mencari solusi yang kreatif terhadap suatu masalah.

Flexible: Thoughts sangat berkaitan dengan toleransi, karena berpikir

fleksibel mengadopsi perilaku toleransi.

5. “Flexible: Social” merupakan kemampuan untuk mendekati orang lain.

Orang-orang dengan karakteristik ini menyadari kesalingtergantungan

mereka dengan orang lain dan mampu membuat ikatan sosial yang kuat

dengan orang lain dimana mendukung orang lain ketika sedang mengalami

kesulitan.

6. “Organized”, yakni kemampuan untuk mengembangkan pendekatan yang

terstruktur untuk mengolah ambiguitas. Orang yang memiliki karakteristik

ini menyortir informasi secara cepat, membangun struktur di dalam

kekacauan, merencanakan tindakan untuk penggunaan efisien sumber daya

secara maksimum, dan menghindari tindakan mendadak (acting on

impuls).

7. “Proactive”, merupakan kesediaan untuk bertindak secara meyakinkan di

tengah-tengah keadaan yang tidak menentu. Orang-orang yang memiliki

(37)

dan lebih memilih melakukan perubahan dari pada bertahan untuk

menghadapinya. Ketika ada gangguan/ kekacauan orang yang memiliki

karakteristik ini lebih memilih menggunakan strategi aktif ketimbang

menggunakan strategi berupa penghindaran atau penarikan diri. (dalam

Jing Wang, 2004)

Karakteristik-karakteristik resiliensi tersebut tidak bisa berdiri

sendiri-sendiri. Karakteristik resiliensi ini dapat diterapkan kepada semua perubahan

situasi tetapi perubahan situasi yang berbeda mungkin menekankan hanya satu

atau beberapa karakteristik. Orang yang resiliensinya baik, memiliki kekuatan di

dalam ketujuh area tersebut dan memiliki keseimbangan di dalam karakteristik

resiliensinya. Orang-orang ini, menggunakan karakteristik berbeda di dalam

situasi yang berbeda pula. Kemudian, orang-orang yang bagus dalam beberapa

area dan lemah di dalam area lainnya, tidak memiliki keseimbangan di dalam

karakteristik resiliensi mereka. Mereka secara berlebihan cederung mengandalkan

karakteristik yang mereka miliki dengan baik dan cenderung tidak menggunakan

karakteristik yang tidak miliki dengan baik (dalam Jing Wang, 2004).

Dalam literatur lain Conner (dalam O’Neal, 1999) kembali menguraikan

lima karakteristik resiliensi. Menurutnya, orang yang memiliki resiliensi yang

baik, yaitu:

1. Memperlihatkan suatu perasaan aman dan kepercayaan diri berdasarkan

pandangan mereka tentang kehidupan sebagai sesuatu yang kompleks

namun penuh dengan kesempatan (Positive).

(38)

3. Mempertunjukkan suatu keluwesan luar biasa ketika merespon

ketidaktentuan (Flexible).

4. Mengembangkan pendekatan yang terstruktur untuk mengelola ambiguitas

(Organized).

5. Lebih memilih melakukan perubahan ketimbang bertahan untuk melawan

(Proactive).

Menurut Grotberg, ada tiga karakteristik resiliensi, yakni “I HAVE”, “I

AM”, dan “I CAN” (dalam Grotberg, 1996)

I HAVE

(External Support)

Orang-orang disekitarku yang aku

percaya dan yang sayang padaku, apa

pun yang terjadi.

Orang-orang yang menetapkan batas

untukku jadi aku tahu kapan harus

berhenti sebelum terjadi bahaya atau

masalah.

Orang-orang yang menunjukkan

bagaimana melakukan hal yang benar

sebagaimana cara yang mereka

lakukan.

Orang-orang yang menginginkan aku

untuk mempelajari sendiri mengenai

sesuatu.

Orang-orang yang menolongku ketika

aku sakit, di dalam bahaya atau ketika

(39)

I AM

(Inner Strength)

Seseorang yang dapat menyukai dan

menyayangi.

Senang melakukan hal-hal yang baik

untuk orang lain dan senang

menunjukkan perhatianku.

Menghargai diriku dan orang lain.

Bersedia bertanggung jawab atas apa

yang aku lakukan.

Yakin keadaan akan baik-baik saja.

I CAN

(Interpersonal and

Problem-Solving-Skills)

Berbicara kepada orang lain mengenai

hal-hal yang menggangguku dan

menakutkan bagiku.

Mencari jalan keluar atas persoalan

yang aku hadapi.

Mengendalikan diriku ketika aku

merasa melakukan sesuatu yang salah

atau berbahaya.

Mengetahui kapan waktu yang tepat

untuk berbicara atau mengambil

tindakan kepada orang lain.

Mencari seseorang untuk menolongku

ketika aku membutuhkan.

Menurut Grotberg, seseorang yang memiliki resiliensi baik tidak perlu

memiliki kesemua ciri ini, namun hanya memiliki satu ciri pun juga tidak cukup.

Sesorang mungkin dicintai (I HAVE), tetapi jika ia tidak memiliki kekuatan dari

dalam dirinya (I AM)) atau tidak memiliki kecakapan sosial (I CAN), maka ia

tidak memiliki resiliensi. Seseorang mungkin memiliki harga diri yang bagus (I

(40)

bagaimana menyelesaikan masalahnya (I CAN) dan tidak memiliki seseorang

untuk menolongnya (I HAVE), maka orang ini tidak memiliki resiliensi.

Seseorang mungkin bisa berbicara dengan sangat bagus dan lancar (I CAN),

namun ia tidak memiliki rasa empati (I AM) atau tidak memliki orang yang

dicontoh/ role model (I HAVE), maka orang itu tidak memiliki resiliensi.

Resiliensi terwujud dari kombinasi ketiga ciri ini (dalam Parinyaphol &

Chongruksa, 2008).

2.1.4 Resiliensi dan Pemulihan (Recovery)

Dalam penjelasan mengenai resiliensi dan recovery oleh Allegheny County

Coalition for Recovery Child and Family Committee (2006) dapat dilihat

karakteristik resiliensi dan pemulihan:

1. Resiliensi menggambarkan suatu karakteristik yang memungkinkan

adaptasi positif di dalam konteks kesulitan yang signifikan. Sedangkan

Pemulihan menggambarkan suatu proses yang memungkinkan restorasi

atau pembaharuan sesudah rintangan yang bersifat pribadi.

2. Resiliensi sebagian ditentukan oleh genetik seseorang, dan sebagian lagi

dikembangkan melalui pengalaman dan asuhan lingkungan. Sedangkan

pemulihan dicapai dengan mengatasi hambatan yang ditimbulkan oleh

kesakitan (illness) atau lingkungan.

3. Mengembangkan resiliensi merupakan aspek penting untuk proses

pemulihan yang sukses. Resiliensi dapat mungkin terjadi tanpa adanya

(41)

Menutut Grotberg (2006), pemulihan mengacu pada proses dimana orang

dapat hidup, bekerja, belajar, dan berpartisipasi penuh dalam masyarakat mereka.

Sains telah menunjukkan bahwa pemilikan harapan memainkan peran penting

dalam pemulihan individu. Sedangkan, resiliensi berarti kualitas pribadi dan

kualitas komunitas yang memungkinkan kita untuk pulih dari kesulitan, trauma,

tragedi, ancaman, atau tekanan lainnya dan untuk melanjutkan hidup dengan rasa

penguasaan, kompetensi, dan harapan.

Resiliensi sangat penting bagi orang yang sedang menjalani pemulihan

(dari kecanduan narkoba atau pun alkohol). Pemulihan sendiri bagi masalah

kecanduan alkohol dan obat-obatan memiliki definisi sebagai suatu perubahan

yang dilalui dimana individu mencapai tahab abstinensia (tahap dimana seorang

pecandu berusaha untuk mempertahankan keadaan bebas zatnya (BNN, 2004)),

perbaikan kesehatan, serta kehidupan yang berkualitas dan sejahtera. (National

Summit on Recovery Conference Report, 2005)

2.2 Kekuatan Karakter

2.2.1 Pengertian Kekuatan Karakter

Kekuatan karakter berkaitan erat dengan virtue (kebajikan). Peterson dan

Seligman (2004), mendefinisikan virtue sebagai:

the core characteristics valued by moral philosophers and religious thinkers: wisdom, courage, humanity, justice, temperance, and transcendence.” (Peterson dan Seligman, 2004)

Jadi. virtue adalah karakteristik inti yang dihargai oleh para filosof dan

(42)

yaitu wisdom, courage, humanity, justice, temperance, and transcendence

(Peterson dan Seligman, 2004). Kesemua virtue ini bersifat universal dan terpilih

melalui proses evolusi karena penting untuk keberlangsungan hidup (Peterson dan

Seligman, 2004). Menurut Peterson dan Seligman (2004) seseorang dikatakan

memiliki karakter baik apabila ia memiliki seluruh virtue tersebut dengan nilai

yang tinggi.

Masing-masing virtue terdiri atas beberapa strength atau kekuatan tertentu

(Peterson dan Seligman, 2004). Menurut Seligman (2005), individu memiliki

karakter positif dan negatif. Namun, yang dimaksud dengan kekuatan karakter

adalah karakter positif yang membawa individu kepada perasaan yang positif.

Kekuatan karakter sendiri adalah unsur psikologis (proses atau

mekanisme) yang memberikan definisi pada virtue (wisdom, courage, humanity,

justice, temperance, and transcendence). Kekuatan karakter dapat dibedakan

dalam menampilkan satu atau virtue lainnya. Misalnya, virtue wisdom dapat

dicapai melalui kekuatan seperti rasa ingin tahu dan kecintaan untuk belajar,

berpikiran terbuka, kreativitas, dan persperktif, yakni memiliki suatu gambaran

besar mengenai hidup (dalam Martin Seligman, 2004).

2.2.2 Klasifikasi Kekuatan Karakter

Menurut Peterson dan Seligman (2004) klasifikasi kekuatan karakter

adalah sebagai berikut:

1. Wisdom and Knowledge: kekuatan kognitif yang memerlukan kemahiran dan

(43)

a. Creativity [originality, ingenuity]: Cara berpikir yang produktif dan

baru; termasuk pencapaian artistik namun tidak hanya terbatas pada hal

ini.

b. Curiosity [interest, novelty-seeking, openness to experience]:

Menyukai seluruh pengalaman; mencari semua topik dan pokok

persoalan yang sangat menarik; menggali dan menemukan banyak hal.

c. Open-mindedness [judgment, critical thinking]: Berpikir dari segala

sudut pandang, tidak langsung/ berhati-hati dalam mengambil

kesimpulan; menimbang semua bukti/ kemungkinan dengan adil;

mampu mengubah pikiran pada bukti yang nyata

d. Love of learning: Menguasai berbagai keterampilan baru; Menguasai

topik-topik ilmu pengetahuan baik formal maupun informal

e. Perspective [wisdom]: Mampu memberi saran; Memiliki cara

pandang yang luas dan dapat diterima oleh orang lain.

2. Courage: kekuatan emosional yang mengandung keinginan yang kuat untuk

menyelesaikan tujuan walaupun terdapat halangan yang bersifat eksternal

maupun internal.

a. Bravery [valour]: Tidak takut terhadap ancaman, tantangan, kesulitan,

atau rasa sakit; berani mengungkapkan keinginan walaupun ada lawan;

berani tampil berbeda walaupun tidak popular.

b. Persistence [perseverance, industriousness]: Menyelesaikan

(44)

walaupun terdapat hambatan; fokus pada tujuan yang ingin dicapai;

Senang dalam menyelesaikan tugas.

c. Integrity [authenticity, honesty]:Menyampaikan kebenaran tetapi lebih

bersifat luas yang menampilkan diri sendiri apa adanya; bertanggung

jawab terhadap perasaan dan tingkah laku.

d. Vitality [zest, enthusiasm, vigour, energy]: penuh suka cita dan

bernergi; melakukan sesuatu hingga selesai; menjalani hidup seolah

sedang berpetualang; penuh semangat/ aktif.

3. Humanity: kekuatan interpersonal yang meliputi keinginan untuk dekat dan

bersahabat denga orang lain.

a. Love: menghargai hubungan dengan orang lain; saling berbagi dan

memperhatikan; dekat dengan orang lain.

b. Kindness [generosity, nurturance, care, compassion, altruistic love,

"niceness"]: melakukan kebaikan terhadap orang lain; menolong

orang lain; menjaga orang lain.

c. Social intelligence [emotional intelligence, personal intelligence]:

peka terhadap motif dan perasaan orang lain dan diri sendiri; dapat

menyesuaikan diri pada situasi sosial yang berbeda; mengetahui cara

menggerakkan orang lain.

4. Justice: kekuatan publik yang mendasari kehidupan masyarakat yang sehat.

a. Citizenship [social responsibility, loyalty, teamwork]: Bekerja sama

dengan baik dalam satu kelompok; setia pada kelompok; berbagi

(45)

b. Fairness: memperlakukan setiap orang secara adil; tidak membiarkan

perasaan subjektif mempengaruhi keputusan yang menyangkut orang

lain; memberikan kesempatan yang sama pada setiap orang.

c. Leadership: Mendorong orang dalam kelompok untuk bekerja

sekaligus menjaga hubungan baik dengan anggota kelompok;

menyiapkan aktivitas kelompok dan mengevaluasinya.

5. Temperance: kekuatan yang melindungi dari suatu tindakan yang berlebihan.

a. Forgiveness and mercy: Memaafkan orang lain yang berbuat salah;

memberikan kesempatan bagi orang lain; tidak mendendam.

b. Humility and Modesty: Membiarkan prestasi anda berbicara atas

namanya; tidak mencari perhatian; tidak menganggap diri lebih spesial

dari orang lain.

c. Prudence: Berhati-hati dengan keputusan yang dibuat; tidak

mengambil resiko yang tidak semestinya; tidak mengatakan atau

melakukan sesuatu yang tidak bertanggung jawab.

d. Self-regulation [self-control]: Mengatur perasaan dan tingkah

laku;disipllin; mengontrol emosi dan selera.

6. Transcendence: kekuatan yang dapat menciptakan hubungan dengan

lingkungan semesta yang lebih luas dan memberi makna.

a. Appreciation of beauty and excellence [awe, wonder, elevation]:

Menyadari dan menghargai keindahan, kesempurnaan, dan kinerja

keterampilan di dalam seluruh aspek kehidupan, mulai dari alam,

(46)

b. Gratitude: menyadari dan berterimakasih atas hal-hal baik yang

terjadi; menyediakan waktu untuk mengekspresikan rasa bersyukur.

c. Hope [optimism, future-mindedness, future orientation]:

Mengharapkan yang terbaik untuk masa depan dan berusaha

mewujudkannya; meyakini bahwa nasib bisa berubah dan masa depan

yang baik bisa dicapai.

d. Humor [playfulness]: Senang tertawa dan menggoda; membuat orang

lain tersenyum; melihat sisi terang; membuat gurauan

e. Spirituality [religiousness, faith, purpose]: Memiliki keyakinan yang

koheren tentang kehendak yang lebih tinggi dan makna dari alam

semesta; memiliki keyakinan mengenai makna kehidupan yang

membentuk tingkah laku dan memberikan kenyamanan.

2.2.3 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Strength

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, strength atau kekuatan menurut

Peterson dan Seligman (2004) ada dua puluh empat, yakni : Creativity,Curiosity,

Open-mindedness, Love of learning, Perspective,Bravery, Persistence, Integrity,

Vitality, Love, Kindness, Social-intelligence, Citizenship, Fairness, Leadership,

Forgiveness and Mercy, Humility and Modesty, Prudence, Self-regulation,

Appreciation of beauty and excellence, Gratitude, Hope, Humor, Spirituality.

Berikut akan dijelaskan mengenai beberapa faktor yang mempengaruhi strength

atau kekuatan tersebut. Namun pengecualian untuk strength leadership. Peterson

(47)

yang mempengaruhi leadership. Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi kedua

puluh tiga kekuatan sebagai berikut:

1. Creativity [originality, ingenuity] : Di sisi positif, kreativitas difasilitasi

oleh lingkungan yang mendukung, yang memperkuat (reinforcing),

terbuka, dan informal. Kemudian, individu-individu yang sangat kreatif

cenderung untuk bekerja pada beberapa persoalan atau proyek secara

bersamaan, serta kerap kali memikirkan gagasan-gagasan mengenai satu

hal disaat bekerja pada hal yang lain. Di sisi negatif, ekspresi kreativitas

dapat dihalangi ketika seseorang berada di bawah tekanan berat.

2. Curiosity [interest, novelty-seeking, openness to experience]: penelitian

eksperimental telah menemukan bahwa perolehan pengetahuan yang

spesifik membangkitkan rasa ingin tahu dan keinginan untuk memperoleh

informasi lebih jauh. Pengalaman kompetensi dan penguasaan berbasis

reward juga mendorong rasa ingin tahu di masa depan. Keyakinan bahwa

seseorang dapat bertindak sesuai kehendaknya sendiri (otonomi) dalam

suatu situasi dapat memfasilitasi secara kuat rasa ingin tahu di berbagai

tugas, pengaturan, dan berbagai domain.

Faktor penghambat yang ada meliputi percaya diri yang berlebihan,

dogmatisme, sumber daya kognitif yang rendah untuk memproses

stimulus, dan kondisi patologis seperti narsisisme, psikopat, dan

skizofrenia.

Lebih lanjut mengenai faktor-faktor lain yang mempengaruhi rasa

(48)

kegelisahan menghambat rasa ingin tahu dan menghambat eksplorasi

dalam interaksi interpersonal. Kecemasan interaksi sosial (misalnya, takut

bertemu orang baru, takut memulai percakapan) menunjukkan hubungan

yang unik dan negatif dengan rasa ingin tahu. Lebih lanjut lagi, perhatian

terhadap diri (self-focused) yang berlebihan juga menghambat rasa ingin

tahu dan menghambat eksplorasi terhadap lingkungan.

Sebuah penelitian besar menunjukkan bahwa tekanan internal,

seperti rasa bersalah dan ketakutan, serta tekanan eksternal seperti

ancaman dan hukuman, dan imbalan eksternal yang nyata mengurangi rasa

ingin tahu untuk tugas-tugas tertentu.

3. Open-mindedness [judgment, critical thinking]: open-mindedness dapat

diaktifkan atau dihambat tergantung dari bagaimana suatu ide atau gagasan

dibingkai dalam pikiran individu. Tetlock (dalam Peterson dan Seligman

2004) berpendapat, individu berpandangan terbuka (open minded) secara

lebih aktif ketika mereka harus membuat penilaian atau pun keputusan

mencakup nilai-nilai serta tujuan-tujuan yang kesemuanya sama-sama kuat

dan bertentangan. Janis dan Mann (dalam Peterson dan Seligman 2004)

berpendapat bahwa pemikiran yang baik terjadi ketika keputusan yang

diambil merupakan keputusan yang penting, ketika si pembuat keputusan

memiliki waktu untuk memutuskannya, dan ketika ada kemungkinan

bahwa beberapa hasil keputusan dapat diterima. Tekanan waktu yang

sangat berat, atau rasa putus asa, mengarah ke disorganisasi total atau

(49)

4. Love of learning: sejumlah faktor situasional yang telah diidentifikasi

mendukung kecintaan untuk belajar, yakni mencakup strategi-strategi yang

dapat digunakan oleh pengajar atau pun orang tua diantaranya dalam

menyesuaikan, mengatur atau menyetel instruksi atau pun tugas yang

memenuhi kekuatan, minat, serta kebutuhan yang dimiliki anak atau siswa,

strategi lainnya juga termasuk menyesuaikan atau pun menyetal

metode-metode sehingga individu dapat mengatur proses belajar mereka sendiri.

Pendahulu dan kondisi yang mempengaruhi kemampuan seseorang

untuk menemukan koneksi ke konten yang dipelajari; menghasilkan dan

merevisi strategi; merasakan dukungan; dan mengatur diri sendiri untuk

terlibat dan mempelajari bidang konten tertentu adalah sebagai berikut:

a) Perasaan positif untuk area konten tertentu yang akan dipelajari

b) Pengetahuan tentang bidang konten yang relatif terhadap keterlibatan

lain yang dimiliki

c) Keyakinan bahwa tugas yang bersangkutan dapat dilakukan

d) Rasa ingin tahu terhadap tugas yang bersangkutan

e) Kemampuan untuk mengidentifikasi dan memanfaatkan sumber daya

yang ada untuk mengerjakan tugas yang bersangkutan.

5. Perspective [wisdom]: Studi longitudinal Hartman (dalam Peterson dan

Seligman 2004) tentang perempuan setengah baya yang diidentifikasi pada

beberapa faktor yang mengaktifkan atau menghambat perkembangan

kebijaksanaan (wisdom) dan Perspective. Dalam

(50)

signifikan sebagai prediktor pendahulu atas perkembangan kebijaksanaan

pada usia paruh baya, dengan potensi kreatif dan produktivitas kreatif

menyajikan jalur independen bagi kebijaksanaan, dan produktivitas

motivasi yang secara signifikan memprediksi perkembangan

kebijaksanaan pada usia setengah baya. Selain itu, Hartman (dalam

Peterson dan Seligman 2004) menemukan bahwa akumulasi berbagai

pengalaman dewasa mengawali perkembangan kebijaksanaan.

6. Bravery [valour]: Penelitian menunjukkan beberapa faktor yang dapat

memunculkan keberanian (dalam Peterson dan Seligman 2004):

a) pesan-pesan kontekstual yang mendukung keberanian

b) dukungan kontekstual dari nilai-nilai prososial dan penekanan pada

penyampaian kebenaran

c) kepemimpinan yang kuat

d) kepercayaan

e) harapan yang jelas terhadap perilaku

f) hubungan masyarakat

g) kepribadian seseorang

Keberanian dapat ditingkatkan dengan praktek (kebiasaan moral),

dengan mencontoh (pemodelan), dan dengan mengembangkan atribut

tertentu dari individu (self-confidence) atau kelompok (kohesi). Namun di

samping faktor-faktor di atas, tampak bahwa kepribadian merupakan

(51)

7. Persistence [perseverance, industriousness] : faktor yang mempengaruhi

ketekunan yakni, dukungan sosial, umpan balik positif, penghargaan atas

usaha yang positif, pengendalian diri yang baik serta self- awareness yang

tinggi.

Beberapa masalah pribadi dan patologi juga dikaitkan dengan

penurunan ketekunan pada tugas-tugas. Masalah-masalah ini secara

singkat dapat dikatakan sebagai berikut: retardasi mental, anak-anak

retardasi mental telah terbukti memiliki ketekunan yang kurang dari

anak-anak normal terutama dalam menghadapi tugas-tugas motorik, anak-anak

berkesulitan, depresi, serta orang-orang yang memiliki kontrol diri rendah

seperti perokok, pemakai obat-obatan, dan alkoholik.

8. Integrity [authenticity, honesty] : stress psikososial, termasuk perceraian,

penyalahgunaan, dan penelantaran, juga dapat meningkatkan anak-anak

untuk berbohong. Sikap dan tindakan berbohong yang dilakukan oleh

keluarga dapat menjadikan contoh yang dapat dimodel oleh anak-anak

dalam tingkah lakunya baik langsung atau pun tidak langsung. Teman

sebaya juga menjadi faktor yang mendukung anak untuk dapat berbohong.

Terakhir, norma budaya dan praktek budaya dapat menekan

gambaran diri (self-portrayal) yang asli. Sebuah masyarakat pluralistik

memberikan kontribusi penerimaan diri (self-acceptance), penerimaan

orang lain, dan keselarasan antara diri dan tindakan di dunia. kesadaran

akan multikulturalisme dan keragaman merupakan bagian dari

(52)

9. Vitality [zest, enthusiasm, vigour, energy] : Penelitian oleh Ryan dan

Frederick (dalam Peterson dan Seligman 2004) menunjukan bahwa

terdapat faktor fisik dan sosial yang mempengaruhi semangat. Dari segi

fisik, penyakit, rasa sakit, dan kelelahan semuanya menghambat semangat

atau vitalitas. Selain itu, merokok, diet yang buruk, dan kurang olahraga

juga dapat menyebabkan rendahnya vitalitas.

Konteks sosial juga mempengaruhi vitalitas. Dalam beberapa

penelitian, faktor-faktor yang berkaitan dengan dukungan untuk otonomi

telah terbukti secara positif terkait dengan vitalitas. Nix et al. dan Thayer

dan Moore (dalam Peterson dan Seligman 2004) keduanya memberikan

bukti eksperimental yang menunjukkan bagaimana pengendalian konteks

dapat mengurangi energi subjektif atau vitalitas. (e.g., Reis et al., 2000).

10. Love : Teori kelekatan (attachment theory didasarkan pada gagasan bahwa

kapasitas untuk mencintai dan dicintai adalah aspek sifat manusia yang

berevolusi. Namun, kekuatan adaptif yang sama bertanggung jawab atas

kapasitas alamiah kita untuk mencintai dan dicintai hal tersebut juga

berakibat pada keberadaan diri kita melalui alam, dengan responsif dan

lunak terhadap masukan (input)dari lingkungan. Apa yang menumbuhkan

kapasitas untuk mencintai dan dicintai adalah pengalaman sensitivitas

dengan orang yang berarti (significant others).

11. Kindness [generosity, nurturance, care, compassion, altruistic love,

"niceness"] : Dalam mempertimbangkan faktor-faktor yang meningkatkan

Gambar

Gambaran Penyalahgunaan Narkoba Di Indonesia
gambaran diri (self-portrayal) yang asli. Sebuah masyarakat pluralistik
Blue Print Tabel 3.1 Skala Kekuatan Karakter
Blue Print Tabel 3.2 Skala Resiliensi
+7

Referensi

Dokumen terkait