BADAN NARKOTIKA NASIONAL
LIDO
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi (S.Psi)
Disusun oleh :
FIRANTI HANDAYANI NIM: 106070002240
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
REHABILITASI BADAN NARKOTIKA NASIONAL
LIDO
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Psikologi untuk memenuhi syarat-syarat memperoleh gelar Sarjana Psikologi
Oleh :
FIRANTI HANDAYANI
NIM : 106070002240
Di Bawah Bimbingan :
Pembimbing I Pembimbing II
Neneng Tati Sumiati, M.Si, Psi S. Evangeline I. Suaidy, M.Si, Psi
NIP. 19730328 200003 203 NIP. 150411217
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1431H/2010M
DENGAN RESILIENSI RESIDEN NARKOBA DI UNIT PELAKSANA TEKNIS (UPT) TERAPI DAN REHABILITASI BADAN NARKOTIKA
NASIONAL LIDO” telah diujikan dalam sidang munaqasyah Fakultas Psikologi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 9 Desember 2010. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana psikologi.
Jakarta, 9 Desember 2010
Sidang Munaqasyah
Dekan/ Pembantu Dekan/
Ketua merangkap Anggota Sekretaris merangkap Anggota
Jahja Umar, Ph.D Dra. Fadhilah Suralaga, M.Si
NIP.130 885 522 NIP.19561223 198303 2001
Anggota
Ikhwan Lutfi, M. Psi Neneng Tati Sumiati, M.Si, Psi
NIP. 19730710 200501 1 006 NIP. 19730328200003203
S. Evangeline I. Suaidy, M.Si, Psi
NIP.150411217
Yang bertanda tangan di bawah ini
Nama : Firanti Handayani
NIM : 106070002240
Dengan ini menyatakan bahwa skripsi yang berjudul “HUBUNGAN ANTARA KEKUATAN KARAKTER DENGAN RESILIENSI RESIDEN NARKOBA DI UNIT PELAKSANA TEKNIS (UPT) TERAPI DAN REHABILITASI BADAN NARKOTIKA NASIONAL LIDO” adalah benar merupakan karya saya dan tidak melakukan tindakan plagiat dalam penyusunan karya ini telah dicantumkan sumber pengutipannya dalam skripsi.
Saya bersedia untuk melakukan proses yang semestinya sesuai dengan undang-undang jika ternyata skripsi ini secara prinsip merupakan plagiat atau ciplakan dari karya orang lain
Demikian pernyataan ini diperbuat untuk dipergunakan seperlunya
Jakarta, 9 Desember 2010
Yang Menyatakan
Firanti Handayani
NIM: 106070002240
MOTTO :
Every person has their own strength to live, struggle
and compete in this world, but only the resilient one
who can be tough and survive until the end.
PERSEMBAHAN :
Skripsi ini saya persembahkan untuk kedua orang tua saya,
Ayah Firman & Ibu Tami yang menyayangi saya dengan sepenuh
hati serta selalu mendoakan saya dalam kebaikan.
C) Firanti Handayani
D) Hubungan Antara Kekuatan Karakter Dengan Resiliensi Residen Narkoba Di Unit Pelaksana Teknis (Upt) Terapi Dan Rehabilitasi Badan Narkotika Nasional Lido
E) xiv + 94 halaman + lampiran
F) Maraknya penyalahgunaan narkoba terjadi di berbagai belahan dunia termasuk di Indonesia. Penelitian yang dilakukan oleh BNN bekerja sama dengan Puslitkes UI pada tahun 2008 memperoleh hasil bahwa jumlah penyalahguna narkoba di Indonesia diperkirakan sebanyak 3,1 juta sampai 3,6 juta orang. Adapun institusi yang diberikan tanggung jawab untuk mengkoordinasikan strategi dan implementasi penanggulangan permasalahan narkotika di Indonesia adalah Badan Narkotika Nasional. Fenomena yang terjadi di Badan Narkotika Nasional sendiri adalah residen yang kabur dari rehabilitasi dan dari 100 residen yang kabur 97 orang diantaranya pasti relapse. Banyak hal yang memicu residen ingin kabur dari rehabilitasi salah satunya aspek internal dari dalam diri mereka sendiri, diantaranya kekuatan karakter dan resiliensi. Oleh karena itu penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah ada hubungan positif yang signifikan antara kekuatan karakter dengan resiliensi pada residen narkoba di unit pelaksana teknis (upt) terapi dan rehabilitasi Badan Narkotika Nasional Lido. Sampel yang merupakan residen sejumlah 134 orang diambil dengan teknik purposive sampling dan diberikan angket untuk mengukur kekuatan karakter serta resiliensi mereka. Jawaban terhadap skala kekuatan karakter diukur kemudian digunakan untuk membagi responden menjadi tiga kategori, yakni responden yang memiliki kekuatan karakter tinggi, sedang, dan rendah, begitu pula yang dilakukan terhadap skala resiliensi. Analisis data pada penelitian ini menggunakan uji korelasi pada taraf signifikansi 0,05.
Hasil penelitian menyatakan bahwa ada hubungan positif yang signifikan antara kekuatan karakter dengan resiliensi. Dimana jika kekuatan karakter residen tinggi maka resiliensinya akan tinggi pula dan sebaliknya jika kekuatan karakter residen rendah maka resiliensinya akan rendah pula. Hasil penelitian tambahan menunjukkan bahwa kekuatan karakter memberikan kontribusi sebesar 62,7 % terhadap resiliensi dimana
gratitude merupakan kekuatan karakter yang memberikan kontribusi
paling besar terhadap resiliensi sebesar 29,3% sekaligus merupakan kekuatan karakter yang memiliki korelasi terbesar dengan resiliensi dengan pearson product moment r sebesar 0,542.
Fakultas Psikologi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Peneliti amat berharap siapapun yang membaca penelitian ini dapat memberikan masukan guna perbaikan dan penyempurnaan di masa yang akan datang.
Melalui penelitian ini peneliti mendapatkan pelajaran berharga bahwa setiap orang memiliki potensi karakter-karakter positif di dalam dirinya walaupun dalam taraf yang berbeda-beda dan merupakan seseorang yang dipandang sebelah mata oleh masyarakat. Implikasinya, setelah selesai melakukan penelitian, peneliti menemukan cara pandang yang berbeda dalam melihat orang lain. Karena berangkat dari hasil penelitian yang peneliti peroleh, peneliti mengambil kesimpulan bahwa seburuk-buruk perangai atau karakter yang dimiliki seseorang, pasti terdapat potensi karakter positif yang perlu dan bisa dilatih. Demikianlah, peneliti sampaikan hikmah yang peneliti dapatkan melalui penelitian ini. Kiranya dapat menjadi pelajaran yang berharga bagi siapapun yang membacanya.
Penelitian ini melibatkan banyak pihak, terutama dari responden yang telah bersedia membantu peneliti melakukan penelitian serta memberikan pelajaran tidak langsung kepada peneliti melalui penelitian ini. Terima kasih yang sebesar-besarnya peneliti ucapkan kepada:
1. Kedua orang tua saya, ayah dan ibu, yang selalu bersabar, percaya, mendukung dan membantu dalam menyelesaikan penelitian ini baik dari segi moril, emosional, spiritual maupun finansial. Ketiga saudaraku, Ajeng, Mas Fakhri, dan Ade Afif yang telah membantu dan mendukung baik secara emosional maupun tenaga dalam pengolahan data.
2. Jahja Umar, Ph.D, Dekan Fakultas Psikologi, Dra. Fadhilah Suralaga, M.Si, Pembantu Dekan I, beserta seluruh jajaran dekanat lainnya, yang Insya Allah tiada henti berusaha menciptakan lulusan-lulusan Fakultas Psikologi yang semakin baik dan berkualitas.
3. Neneng Tati Sumiati, M.Si, Psi. Dosen pembimbing satu, yang dengan kesabarannya selalu dapat memberikan solusi-solusi cerdas mengenai hal-hal yang saya bingungkan berkaitan dengan penelitian. Terima kasih telah meluangkan waktu di sela-sela kesibukan ibu untuk berdiskusi dan memberikan masukan yang sangat berarti.
4. Sitti Evangeline I. Suaidy, M.Si, Psi. Dosen pembimbing dua, yang mengajarkan banyak nilai-nilai baru dan hal-hal bermanfaat yang bermakna berkaitan dengan penelitian sehingga membuka cakrawala baru dalam ranah berpikir saya. Terima kasih telah meluangkan waktu di sela-sela jadwal ibu yang sangat padat untuk berdiskusi dan memberikan masukan yang sangat berarti.
BNN Lido . Anda semua telah menunjukkan bagaimana kerasnya usaha untuk memperoleh hal-hal yang pada umumnya dipandang remeh oleh orang lain.
7. M. Fierza Mucharom Nasution, M.Si, Psi, CHt. beserta staff psikologi di BNN Lido, Mba dewi, Mas Rizal, Mas Donal yang telah bersedia mengizinkan dan membantu saya melakukan penelitian di BNN Lido, serta Mas Ito yang telah membantu saya dalam hal administrasi surat penelitian. Tanpa izin dan bantuan dari Anda semua saya tidak mungkin bisa melakukan penelitian di BNN Lido
8. Tidak lupa kepada re-entry program manager Bro Chico dan mayor re-entry stage Bro Erwin yang telah memberikan saya izin dan waktu untuk melakukan penelitian di re-entry stage. Kemudian kepada primary program manager Bro Aldi dan mayor primary stage Bro Nata yang telah memberikan saya izin dan waktu untuk melakukan penelitian di primary stage. Tanpa izin dan bantuan dari Anda semua saya tidak mungkin bisa melakukan penelitian secara efektif pada tiap stage.
9. Sahabat-sahabat saya di Fakultas Psikologi (angkatan 2006) pada umumnya dan kelas B khususnya yang telah menjadi teman dalam berjuang, belajar, bersenda gurau, berkonsultasi baik dalam senang atau pun susah. Reza Rihan Kamarz atas bantuan serta dukungan moril, pikiran dan tenaga dalam penyusunan penelitian, penyebaran angket try out dan pelaksanaan field test. Hanny Safitri Sari dan Rika Fadilah atas bantuan serta dukungan moril, pikiran dan tenaga dalam penyusunan penelitian serta pelaksanaan penelitian lapangan. Ain Rahmiati yang telah mendukung serta menjadi guru dan tempat naungan untuk bertanya selama penyusunan penelitian. Choiriah febriana dan Andriana Kiswanti yang selalu menjadi sahabat serta mendukung dan membantu saya selama penyusunan penelitian. Adiyo R. dan Isni Noviansjah yang telah bersedia mengajarkan dan menjelaskan kepada saya mengenai teknik-teknik analisa data yang saya tidak pahami sebelumnya.
Penelitian ini tidak akan berarti tanpa kehadiran dan kontribusi dari semua pihak yang telah disebutkan sebelumnya. Semoga penelitian ini dapat memberikan manfaat dan inspirasi bagi banyak orang. Amin.
Jakarta, 16 November 2010
Peneliti
HALAMAN PERSETUJUAN ... ii
HALAMAN PENGESAHAN ... iii
HALAMAN PERYATAAN ... iv
MOTTO DAN PERSEMBAHAN ... v
ABSTRAK ... vi
KATA PENGANTAR ... viii
DAFTAR ISI ... x
DAFTAR TABEL ... xiii
DAFTAR LAMPIRAN ... xiv
BAB 1 PENDAHULUAN ... 1-14 1.1 Latar Belakang Masalah ... 1
1.2 Perumusan dan Pembatasan Masalah ... 12
1.2.1 Perumusan Masalah ... 12
1.2.2 Pembatasan Masalah ... 12
2.1 Tujuan Penelitian ... 14
3.1 Manfaat Penelitian ... 14
BAB 2 KAJIAN PUSTAKA ... 15-58 2.1 Resiliensi ... 15
2.1.1 Pengertian Resiliensi ... 15
2.1.2 Faktor – Faktor Resiliensi ... 18
2.1.3 Karakteristik Resiliensi ... 21
2.1.4 Resiliensi dan Pemulihan (Recovery) ... 26
2.2.3 Faktor – Faktor Yang Mempengaruhi Strength ... 32
2.3 Karakteristik Residen ... 45
2.3.1 Karakteristik Kognitif dan Tingkah laku ... 45
2.3.2 Karakteristik Perseptual ... 47
2.3.3 Karakteristik Emosional ... 48
2.3.4 Karakteristik Sosial ... 52
2.4 Kerangka Berpikir ... 54
BAB 3 METODE PENELITIAN ... 59-68 3.1 Pendekatan dan Metode Penelitian ... 59
3.2 Variabel Penelitian ... 59
3.2.1 Definisi Konseptual ... 60
3.2.2 Definisi Operasional ... 60
3.3 Pengambilan Sampel ... 61
3.3.1 Populasi dan Sampel ... 61
3.3.2 Karakteristik Subjek Penelitian ... 61
3.3.3 Teknik Pengambilan Sampel ... 62
3.4 Pengumpulan Data ... 62
3.4.1 Metode Pengumpulan Data ... 62
3.4.2 Instrumen Penelitian ... 63
3.4.3 Uji Instrumen Penelitian ... 66
3.4.3.1 Uji Validitas ... 66
3.4.3.2 Uji Reliabilitas ... 66
3.5 Analisa Data ... 67
4.1 Gambaran Umum Responden ... 69
4.2 Analisis Deskriptif ... 72
4.2.1 Kategorisasi Skor Kekuatan Karakter ... 73
4.2.2 Kategorisasi Skor Resiliensi ... 75
4.3 Uji Hipotesis Penelitian ... 76
4.3.1 Uji Korelasional ... 76
4.4 Hasil Penelitian Tambahan ... 77
4.4.1 Uji Regresi ... 78
BAB 5 KESIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN ... 81-92 5.1 Kesimpulan ... 81
5.2 Diskusi ... 81
5.3 Saran ... 89
5.3.1 Saran Teoritis ... 89
5.3.2 Saran Praktis ... 91
DAFTAR PUSTAKA ... 92
LAMPIRAN
Tabel 3.2 Blue Print Skala Resiliensi Tabel 4.1 Responden Berdasarkan Usia
Tabel 4.2 Responden Berdasarkan Pendidikan Terakhir Tabel 4.3 Responden Berdasarkan Status Pernikahan Tabel 4.4 Responden Berdasarkan Tahapan Rehabilitasi Tabel 4.5 Descriptive Statistics
Tabel 4.6 Distribusi Skor Kekuatan Karakter
Tabel 4.7 Distribusi Skor Klasifikasi Kekuatan Karakter Tabel 4.8 Distribusi Skor Resiliensi
Tabel 4.9 Correlations
Tabel 4.10 Correlations
Tabel 4.11 Model Summary
Tabel 4.12 Tabel Kontribusi Klasifikasi Kekuatan Karakter Terhadap Resiliensi
xiv
Lampiran 2 Gambaran Penyalahgunaan Narkoba Di Indonesia Lampiran 3 Angket Penelitian
Lampiran 4 Daftar Pertanyaan Wawancara
Lampiran 5 Output Uji Validitas Kekuatan Karakter Lampiran 6 Output Uji Validitas Resiliensi
Lampiran 7 Output Regresi Kekuatan Karakter Dengan Resiliensi Lampiran 8 Output Regresi Tiap Klasifikasi Kekuatan Karakter
Lampiran 9 Output Descriptive Statistics Tiap Klasifikasi Kekuatan Karakter Lampiran 10 Data Kontrol
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Di zaman modern ini maraknya penyalahgunaan narkoba terjadi di
berbagai belahan dunia termasuk di Indonesia. Penelitian yang dilakukan oleh
BNN bekerja sama dengan Puslitkes UI pada tahun 2008 memperoleh hasil bahwa
jumlah penyalahguna Narkoba di Indonesia diperkirakan sebanyak 3,1 juta sampai
3,6 juta orang atau sekitar 1,99% dari total seluruh penduduk Indonesia yang
beresiko terkena Narkoba di tahun 2008 (usia 10-59 tahun) atau dengan nilai
tengah sebanyak 3.362.527 orang. Dari sejumlah penyalahguna tersebut,
terdistribusi atas 26% coba pakai, 27% teratur pakai, 40% pecandu bukan suntik
dan 7% pecandu suntik (BNN & Puslitkes UI, 2008)
Pecandu yang ada di Indonesia pun memiliki berbagai latar belakang yang
berbeda-beda. Dari kumpulan penelitian yang dilakukan BNN dan lembaga terkait
dapat dilihat berbagai macam segi dari pecandu di Indonesia. Pertama dari segi
usia, kecenderungan usia pertama kali menggunakan narkoba penyalahguna di
Indonesia dimulai dari usia yang sangat dini, yakni kurang dari 12 tahun, bahkan
yang sangat memprihatinkan, yakni usia 7 tahun (BNN, 2003, 2006). Hal tersebut
sesuai dengan tulisan Elizabeth B. Hurlock dalam bukunya (1980) dimana usia 7
tahun merupakan masa kanak-kanak akhir dan pelanggaran yang paling sering
dilakukan kanak-kanak akhir salah satunya adalah mengkonsumsi obat-obatan
Untuk kelompok usia tertinggi pada penyalahguna narkoba rata-rata terjadi
pada kelompok usia 20 tahun keatas (BNN, 2003, 2005). Hal tersebut sangat
disayangkan dimana usia yang menurut Hurlock (1980) termasuk masa dewasa
awal tersebut juga merupakan fase pencapaian prsetasi. Menurut Schaie (dalam,
Santrock 2002), fase mencapai prestasi (achieving stage) adalah fase di masa
dewasa awal yang melibatkan penerapan intelektualitas pada situasi yang
memiliki konsekuensi besar dalam mencapai tujuan jangka panjang, seperti
pencapaian karir dan pengetahuan.
Schaie (dalam, Santrock 2002) percaya bahwa orang dewasa muda yang
menguasai kemampuan kognitif perlu memonitor perilaku mereka sendiri
sehingga memperoleh kebebasan yang cukup untuk berpindah ke fase selanjutnya
yang melibatkan tanggung jawab sosial, yakni fase tanggung jawab. Fase
tanggung jawab (the responsibility stage) adalah fase yang terjadi ketika keluarga
terbentuk dan perhatian diberikan pada keperluan-keperluan pasangan dan
keturunan. Namun, jika seorang individu pada usia 20 tahun sudah
menyalahgunakan narkoba, adalah hal mustahil jika individu tersebut dapat
mencapai fase tanggung jawab. Untuk dapat memenuhi fase mencapai prestasi
secara utuh saja sangat disangsikan. Oleh karena itu, sangat disayangkan jika
potensi-potensi individu yang dapat dikembangkan dan diterapkan pada masa
dewasa awal ini harus terhambat oleh narkoba.
Dari segi pendidikan, angka penyalahgunaan narkoba lebih tinggi pada
kelompok pendidikan tinggi dibanding pendidikan rendah; lebih tinggi pada
memprihatinkan karena kelompok responden dengan tingkat pendidikan
perguruan tinggi memiliki proporsi penyalahgunaan narkoba paling tinggi,
kemudian responden tingkat SMU memiliki proporsi penyalahgunaan narkoba
lebih tinggi dari pada tingkat SMP (BNN, 2003).
Dari segi latar belakang keluarga. penyalahgunaan narkoba cenderung
terjadi pada kelompok responden yang orang tuanya berpisah, tetapi belum cerai;
kelompok responden yang tidak pernah berbincang-bincang dengan orang tua
mereka; responden yang tidak tinggal bersama keluarga; kelompok responden
yang sebagian anggota keluarganya mempunyai kebiasaan merokok; kelompok
responden yang semua anggota keluarganya mempunyai kebiasaan
minum-minuman keras; kelompok responden yang anggota keluarganya mempunyai
kebiasaan pergi ke tempat hiburan; dan yang pasti responden yang semua anggota
keluarganya memiliki kebiasaan menyalahgunakan narkoba (BNN, 2003). Dapat
peneliti lihat bahwa peran keluarga inti terutama orang tua sangat berperan
penting sebagai faktor penentu individu untuk mudah tidaknya ia terjerumus pada
narkoba.
Untuk pintu masuknya peredaran narkoba kepada individu, teman sebaya
atau peer-group merupakan faktor yang paling potensial menjadi pintu masuknya
narkoba pada individu (BNN, 2006). Karena pada umumnya penyalahgunaan
Dalam kumpulan hasil penelitian sebelumnya dinyatakan terdapat
hubungan signifikan antara penyalahgunaan narkoba dengan teman sepergaulan
yang memiliki kebiasaan merokok dan meminum minuman keras (BNN, 2003,
2005). Perilaku tersebut merupakan perilaku awal yang biasanya menjadi pemicu
orang mencoba narkoba (BNN & Badan Pusat Statistik, 2003).
Untuk alasan pemakaian narkoba, alasan ingin coba-coba dan
bersenang-senang adalah alasan yang umumnya diutarakan para penyalah guna narkoba
(BNN, 2003 ; BNN 2005). Sangat disayangkan, tujuan mereka yang pada awalnya
hanya ingin mencoba dan bersenang-senang pada akhirnya dapat mengantarkan
mereka pada ketergantungan narkoba yang merusak diri sendiri dari segi fisik dan
psikologis.
Masuknya narkoba ke dalam tubuh akan mempengaruhi fungsi vital organ
tubuh, yaitu jantung, peredaran darah, pernafasan, dan terutama pada kerja otak
(susunan saraf pusat). Hal ini menyebabkan kerja otak berubah (bisa meningkat
atau menurun. Narkoba berpengaruh pada bagian otak yang bertanggung jawab
atas kehidupan perasaan, yang disebut dengan sistem limbus. Pusat kenikmatan
pada otak (Hipotalamus) adalah bagian dari sistem limbus. Narkoba menghasilkan
perasaan tinggi dengan mengubah susunan bio kimia molekul pada sel otak yang
disebut neurotransmitter (BNN, Buku Advokasi Pencegahan Penyalahgunaan
Dari jenis narkoba yang dipakai untuk pertama kali pada umumnya adalah
ganja dan codein (BNN & Badan Pusat Statistik, 2003; BNN, 2003). Dimana
ganja merupakan golongan halusinogen, yaitu jenis narkoba yang dapat
menimbulkan efek halusinasi yang bersifat merubah perasaan, pikiran dan
seringkali menciptakan daya pandang yang berbeda sehingga seluruh persaan
dapat terganggu. Disamping itu ganja juga merupakan narkotika yang hanya dapat
digunakan untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan dan tidak digunakan
dalam terapi, serta mempunyai potensi sangat tinggi mengakibatkan
ketergantungan. Sedangkan codein termasuk golongan depresan ( downer ), yakni
jenis narkoba yang berfungsi mengurangi aktifitas fungsional tubuh. Jenis ini
membuat pemakainya menjadi tenang dan membuat tertidur bahkan tak sadarkan
diri. Selain itu, codein ini juga merupakan narkotika yang berkhasiat pengobatan
dan banyak digunakan dalam terapi dan / atau tujuan pengembangan ilmu
pengetahuan serta mempunyai potensi ringan mengakibatkan ketergantungan
(BNN, 2009).
Untuk hasil penelitian pada kelompok rumah tangga di indonesia sangat
memprihatinkan. Sekitar 20% responden (penyalahguna narkoba) di rumah tangga
serta separuh responden di rumah kos, baik perempuan ataupun laki-laki
mempunyai lebih dari satu pasangan, termasuk berhubungan seks dengan pekerja
seks (BNN, 2005). Ditambah lagi pencurian, penipuan, perampasan, dan
penodongan merupakan tindak kriminalitas yang banyak dilakukan oleh
Adapun institusi yang diberikan tanggung jawab untuk mengkoordinasikan
strategi dan implementasi penanggulangan permasalahan Narkotika di Indonesia
adalah BNN (Badan Narkotika Nasional). Mengapa peneliti memutuskan untuk
mengambil responden di Badan Narkotika Nasional ? Karena Badan Narkotika
Nasional merupakan institusi yang diberikan tanggung jawab untuk
mengkoordinasikan strategi dan implementasi penanggulangan permasalahan
Narkotika di Indonesia. Dimana institusi ini merupakan Lembaga Non Struktural
yang berkedudukan dibawah dan bertanggungjawab langsung kepada Presiden.
Badan Narkotika Nasional mempunyai tugas membantu Presiden dalam
mengkoordinasikan instansi pemerintah terkait dalam penyusunan kebijakan dan
pelaksanaan kebijakan operasional di bidang ketersediaan dan pencegahan,
pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika, psikotropika,
prekursor dan bahan adiktif lainnya atau dapat disingkat dengan P4GN, dan dalam
melaksanakan P4GN dengan membentuk satuan tugas yang terdiri atas unsur
instansi pemerintah terkait sesuai dengan tugas, fungsi dan kewenangannya
masing-masing.
Pada tahun 2007 BNN telah membangun Unit Pelaksana Teknis (UPT)
terapi dan rehabilitasi di Lido, Sukabumi yang melaksanakan pelayanan terapi dan
rehabilitasi secara komprehensif dan integratif. Dengan pelayanan tanpa dipungut
Adapun metode rehabilitasi yang digunakan di BNN bagi para klien yang
mengikuti rehabilitasi di BNN (residen), yakni therapeutic community.
Therapeutic Community adalah suatu metode rehabilitasi sosial yang ditujukan
kepada korban penyalahguna narkoba, yang merupakan sebuah ‘keluarga’ terdiri
atas orang-orang yang mempunyai masalah yang sama dan memiliki tujuan yang
sama, yaitu untuk menolong diri sendiri dan sesama yang dipimpin oleh seseorang
dari mereka, sehingga terjadi perubahan tingkah laku dari yang negatif ke arah
tingkah laku yang positif (BNN R.I. & Departemen Sosial R.I. 2004).
Adapun indikator keberhasilan therapeutic community di BNN meliputi
dua aspek, yaitu indikator keberhasilan program dan indikator keberhasilan
residen. Indikator yang dapat digunakan untuk menilai program rehabilitasi ini
berhasil atau gagal, yakni: angka drop-out pada setiap tahapan; angka residen
yang kabur; angka kekambuhan; adanya peningkatan status kehidupan residen
yang lebih baik selama dan setelah mengikuti program yang dinilai dari
pelasanaan pekerjaan, sekolah, dan perilaku sehari-hari baik di lingkungan
keluarga maupun di lingkungan sosial lainnya. Indikator keberhasilan yang dapat
digunakan untuk menilai keberhasilan residen di BNN, yakni Pertama, residen
dalam keadaan bebas zat (abstinensia). Kedua, residen dapat menjalankan
kehidupan sosialnya sesuai dengan norma-norma yang berlaku dalam masyarakat.
(BNN R.I. & Departemen Sosial R.I. 2004).
Dalam panduan metode therapeutic community yang disusun oleh BNN
R.I. & Departemen Sosial R.I. (2004) ada tahapan yang di sebut primary stage,
yang memiliki berbagai kegiatan. Adapun kegiatan di primary stage yang
berkaitan dengan kekuatan karakter dan resiliensi, diantaranya morning meeting,
yang merupakan komponen utama dilaksanakan setiap pagi hari yang mengawali
kegiatan residen dan diikuti oleh seluruh residen. Morning meeting memiliki
tujuan, salah satunya, yakni membangkitkan kepercayaan diri, dimana
kepercayaan diri sendiri merupakan salah satu karakteristik resiliensi menurut
Conner (dalam O’Neal, 1999). Tujuan lainnya yakni melatih kejujuran dan
kepercayaan terhadap residen yang lain, dimana hal ini sesuai dengan salah satu
klasifikasi kekuatan karakter menurut Peterson dan Seligman (2004), yakni
kejujuran (honesty). Dalam morning meeting juga dilakukan pembahasan
mengenai isu keseluruhan rumah yang harus diselesaikan oleh komunitas. Dimana
hal tersebut sesuai dengan salah satu klasifikasi dalam kekuatan karakter, yaitu
team work, yang salah satu definisinya menurut Seligman adalah berbagi dengan
kelompok.
Kegiatan selanjutnya, yakni encounter group. Group ini dirancang khusus
untuk mengekspresikan atau menyatakan perasaan kesal, kecewa, marah, sedih
dan lain-lain. Group ini adalah bagian untuk memodifikasi perilaku agar
menjadikan residen lebih disiplin. Sesuai dengan klasifikasi dalam kekuatan
karakter yaitu keberanian (bravery) (dalam Peterson dan Seligman, 2004), dalam
encounter group ini residen dilatih agar berani mengungkapkan perasaan di depan
banyak residen lain kepada orang yang telah membuatnya kecewa kesal, marah,
PAGE (Peer Accountability Group Evaluation) adalah suatu kelompok
yang mengajarkan residen untuk dapat memberikan satu penilaian positif dan
negatif dalam kehidupan sehari-hari terhadap sesama residen. Dalam kelompok
ini tiap residen dilatih meningkatkan kepekaan terhadap perilaku komunitas. Hal
tersebut selaras dengan klasifikasi dalam kekuatan karakter, yakni kecerdasan
sosial (social intelligence) dimana seseorang harus peka terhadap motif dan
perasaan orang lain juga diri sendiri serta harus dapat menyesuaikan diri pada
situasi sosial yang berbeda (dalam, Peterson dan Seligman 2004). Selain itu,
PAGE juga sejalan dengan faktor lain dalam kekuatan karakter, yakni perspektif
(perspective), dimana seseorang harus mampu memberikan saran serta memiliki
cara pandang yang luas dan dapat diterima oleh orang lain (dalam, Peterson dan
Seligman 2004).
Namun, berhasil atau tidaknya kekuatan karakter dan resiliensi itu tumbuh
dalam diri residen kembali lagi tergantung para residen tersebut. Apakah mereka
memandang dan menghayati program yang mereka jalani sebagai sesuatu yang
positif dan dapat membantu mereka untuk menjadi lebih baik serta
menjalankannya dengan sungguh-sungguh ataukah sebagai sesuatu yang negatif,
melelahkan, tidak bermanfaat atau bahkan menyulitkan diri mereka sendiri. Salah
satu contohnya adalah residen-residen yang kabur dari BNN, seperti pada tanggal
24 maret 2010 berita yang ditayangkan pukul 11.56 wib di metro tv menampilkan
residen yang kabur dengan alasan tidak kuat mengikuti program penyembuhan di
BNN. Ia menyatakan bahwa dirinya lelah mengikuti semua program yang ada di
menganggap kegiatan yang ia jalani selama ini di BNN sebagai sesuatu yang
melelahkan serta tidak bermanfaat baginya.
Setelah primary stage ada tahapan yang disebut re-entry stage atau tahap
lanjutan. Re-entry stage adalah suatu tahapan proses lanjutan setelah tahap primer
dengan tujuan mengembalikan residen ke dalam kehidupan masyarakat
(resosialisasi) pada umumnya. Tahap ini dilaksanakan selama 3 sampai 6 bulan
(BNN R.I. & Departemen Sosial R.I. 2004). Terjadi fenomena di BNN dimana
pada tahap re-entry ini sebagian residen banyak yang kabur. Karena pada tahap ini
ijin pulang dan ijin bepergian menjadi lebih longgar.
Home leave serta bussines pass merupakan bagian dari treatment yang ada
di re-entry stage, yakni ijin pulang/ meninggalkan fasilitas TC yang diberikan
kepada residen dengan tujuan agar residen bisa mendekatkan diri dengan
keluarga, menjaga komunikasi di lingkungan keluarga, menindaklanjuti isu yang
ada di dalam keluarga (BNN R.I. & Departemen Sosial R.I. 2004).
Residen yang kabur dari BNN merupakan residen yang menyalahgunakan
kesempatan home leave atau business pass mereka. Pada saat peneliti melakukan
PKL di BNN Lido selama 2 minggu, ada tiga orang residen re-entry yang kabur
ketika sedang bussiness pass dan satu residen yang di serang pada saat encounter
group berulangkali karena kabur ketika ia sedang mendapat ijin keluar panti
rehabilitasi (outing), selain itu tidak sedikit pula residen yang mengikuti
rehabilitasi di BNN untuk yang kesekian kalinya, sebagian residen di BNN sudah
keluar masuk BNN hingga beberapa kali, mereka yang sudah pernah keluar BNN
selama peneliti menginap di BNN, beberapa kali para second admission sering
mencoba kabur serta menghasut para residen baru untuk kabur bersama-sama.
Hasil wawancara dengan salah seorang staff ahli BNN yang merupakan Primary
Program Manager di BNN menunjukkan bahwa dari 100 residen yang kabur 97
diantaranya pasti relapse. Dimana Primary Program Manager merupakan unsur
pimpinan yang bertanggung jawab penuh pada keseluruhan program primer serta
seluruh fasilitas yang digunakan oleh residen tahap primer (BNN R.I. &
Departemen Sosial R.I. 2004). Berikut cuplikan wawancaranya:
“Selama ini yang kabur lebih banyak yang relapse, dibanding yang selesai program ya...”
“Presentasenya kalo kita ambil dari seratus, sembilan puluh tujuhnya
relapse. Jadi, sedikit sekali yang berhasil, kalo dia mulainya buruk ya... paling berapa bulan kemudian ada lagi di detoks.”
Jadi, dapat dilihat bahwa dibandingkan dengan residen yang
menyelesaikan programnya di BNN secara utuh, residen yang kabur lebih banyak
yang relapse. Dengan perbandingan 3 : 97 dari 100 orang residen yang kabur, 97
diantaranya sudah pasti relapse, dan akan kembali masuk BNN beberapa bulan
kemudian dimulai dari detoxification stage atau tahap detoksifikasi.
Yang jadi pertanyaan disini adalah mengapa para residen tersebut banyak
yang kabur, dan beberapa residen yang kabur kemudian relapse menggunakan
narkoba kembali serta kembali masuk rehabilitasi mengikuti program rehabilitasi
di BNN untuk ke sekian kalinya. Apakah penyebabnya? Ada apa didalam diri
mereka? seberapa tinggikah kekuatan karakter dan resiliensi yang mereka miliki?
kekuatan karakter apakah yang memiliki skor paling tinggi serta paling rendah
kemampuan resiliensi yang ada dalam diri mereka ? Bagaimana kemampuan
resiliensi yang ada di dalam diri mereka ? hal-hal yang seperti itulah yang akan
peneliti angkat di dalam penelitian ini.
Jadi, berdasarkan hal-hal tersebut peneliti merasa tertarik untuk meneliti
serta mengkaji lebih dalam mengenai fenomena kekuatan karakter serta resiliensi
yang ada di dalam diri residen narkoba dengan mengangkat judul dalam penelitian
ini, yakni HUBUNGAN ANTARA KEKUATAN KARAKTER DENGAN
RESILIENSI RESIDEN NARKOBA DI UNIT PELAKSANA TEKNIS (UPT)
TERAPI DAN REHABILITASI BNN LIDO.
1.2 Perumusan dan Pembatasan Masalah
1.2.1 Perumusan Masalah
Terkait dengan masalah yang telah dijabarkan sebelumnya, peneliti
membuat pertanyaan penelitian yang akan dijadikan dasar pengumpulan data
dengan rumusan sebagai berikut:
Apakah ada hubungan positif yang signifikan antara kekuatan karakter dengan
resiliensi residen narkoba di unit pelaksana teknis (upt) terapi dan rehabilitasi
BNN Lido?
1.2.2 Pembatasan Masalah
Residen adalah sebutan untuk klien yang sedang mengikuti program
Departemen Sosial R.I. 2004). Residen yang akan diteliti dalam penelitian ini
adalah residen yang sedang ataupun telah mengikuti metode therapeutic
community, yakni residen pada primarystage fase younger, middle dan older serta
re-entrystage fase orientasi, fase A, fase B, dan fase C baik residen biasa maupun
second admission.
Agar penelitian ini lebih terarah dengan jelas pembahasannya, maka
peneliti hanya akan membahas masalah mengenai kekuatan karakter dan
resiliensi. Pembatasan kekuatan karakter disini mencakup:
Definisi kekuatan karakter itu sendiri, yakni karakter positif yang
membawa individu kepada perasaan yang positif (Seligman, 2005). Dimana
kekuatan karakter tersebut merupakan unsur psikologis (proses atau mekanisme)
yang memberikan definisi pada virtues (wisdom, courage, humanity, justice,
temperance, and transcendence). Kekuatan karakter dapat dibedakan dalam
menampilkan satu atau virtue lainnya. Misalnya, virtue wisdom dapat dicapai
melalui kekuatan seperti rasa ingin tahu dan kecintaan untuk belajar, berpikiran
terbuka, kreativitas, dan persperktif, yakni memiliki suatu gambaran besar
mengenai hidup (dalam Martin Seligman, 2004).
Sedangkan resiliensi adalah suatu kemampuan yang dimiliki individu
untuk menghadapi dan mengatasi kesulitan dalam hidup dengan cara yang adaptif,
serta mampu belajar dari hal tersebut sekaligus beradaptasi di dalam kondisi yang
sulit tersebut. Resiliensi sendiri menurut Grotberg memiliki karakteristik, yakni “
I HAVE”, “ I AM”, dan “ I CAN” (Grotberg, 1996, 2003 ; Grotberg dalam
2.1 Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini secara umum untuk mengetahui apakah ada hubungan positif
yang signifikan antara kekuatan karakter dengan resiliensi pada residen narkoba di
unit pelaksana teknis (upt) terapi dan rehabilitasi Lido.
3.1 Manfaat Penelitian
Manfaat yang ingin dicapai dalam penelitian ini meliputi manfaat teoritis dan
praktis:
1. Secara teoritis
Dapat menambah kajian teori mengenai kekuatan karakter dan resiliensi pada
residen narkoba dalam kajian psikologi positif.
2. Secara praktis
− Bagi subjek: dapat membuka dan menambah wawasan mengenai
kekuatan karakter dan resiliensi yang ada pada dirinya guna
membantunya dalam proses pemulihan untuk tetap bisa bertahan dari
narkoba.
− Bagi lembaga terkait: dapat memberikan kontribusi positif berkaitan
dengan penanganan pemulihan residen narkoba.
− Bagi praktisi pendidikan: dapat memberikan sumbangsih dan wawasan
baru bagi praktisi pendidikan mengenai kekuatan karakter dan resiliensi
BAB 2
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Resiliensi
2.1.1 Pengertian Resiliensi
Berikut beberapa definisi resilensi, menurut beberapa tokoh:
Menurut Conner (1992), orang-orang yang memiliki resiliensi bagus,
memiliki pandangan positif terhadap kehidupan dan diri mereka sendiri, kemudian
memiliki pikiran dan hubungan sosial yang fleksibel, merupakan orang yang
fokus, tertatur (organized), dan proaktif (dalam Jing Wang, 2004 ).
“Norman (2000), definition of resilience is successfully adapt to adverse condition”.
Menurut Norman (2000) definisi resiliensi yakni, beradaptasi dengan baik
pada kondisi yang sulit (dalam Mc Cubbin,2001).
“Luthar, Cicchetti, and Becker (2000), resilience refers to a dynamic process encompasing positive adaptation within the context of significant adversity”.
Menurut Luthar, Cicchetti, dan Becker (2000) resiliensi lebih kepada
sebuah proses dinamika meliputi adaptasi positif di dalam konteks kesulitan yang
signifikan (dalam Mc Cubbin,2001).
Menurut Garmezy dan rekan (1993) resiliensi adalah kapasitas untuk
adaptasi yang berhasil didalam mengahadapi penderitaan (dalam Mc Cubbin,
2001).
“Gortberg (2000), resilience is a universal capacity which allow a person, group or community to prevent, minimize or overcome the damaging effects of adversity”.
Menurut Gortberg (2000), resiliensi merupakan kapasitas yang bersifat
universal dan dengan kapasitas tersebut, individu, kelompok ataupun komunitas
mampu mencegah, meminimalisir ataupun melawan pengaruh yang bisa merusak
saat mereka mengalami musibah atau kemalangan (dalam Parinyaphol &
Chongruksa, 2008).
“Resilience is the human capacity to deal with, overcome, learn from, or even be transformed by the inevitable adversities of life”.
Resiliensi adalah kapasitas manusia untuk menghadapi, mengatasi,
mempelajari kesulitan dalam hidup dan bahkan ditransformasi oleh kesulitan
dalam hidup tersebut (Grotberg, 2003).
“Grotberg (1996) Resilience is the human capacity to face, overcome, and even be strengthened by the adversities of life”.
Reseliensi adalah kemampuan manusia untuk, menghadapi, mengatasi dan
bahkan diperkuat oleh kemalangan dalam hidup (Grotberg, 1996)
“Joseph (1994), resilience refers to individual’s ability to adjust and adapt to the changes, demands, and disappointments that come up in the course of life”.
Menurut Joseph (1994), resiliensi lebih kepada kemampuan individu untuk
puasan yang muncul di dalam kehidupan (dalam Parinyaphol & Chongruksa,
2008).
“Hawley & DeHaan (1996), stated resilience arise through hardship”.
Hawley & DeHaan (1996), menyatakan bahwa resiliensi timbul melalui
penderitaan (dalam Parinyaphol & Chongruksa, 2008).
“Lasarus (2004) defined resilience as the ability to overcome obstacle and stressors by using adaptive coping strategies in order to maintain an effective level of adjustment and functioning”.
Lasarus (2004), mendefinisikan resiliensi sebagai kemampuan untuk
mengatasi rintangan dan tekanan dengan menggunakan strategi coping yang
adaptif dalam rangka menjaga suatu tingkat efektif atas penyesuaian diri dan
kegunaan (dalam Parinyaphol & Chongruksa, 2008).
“Resilience defined as the process of, capacity for, outcome of succesful adaptation despite challenging or threatening circumstance”.
Menurut Masten, Best dan Garmzey (1990), resiliensi didefinisikan
sebagai suatu proses dari, kemampuan untuk, dan hasil dari adaptasi yang berhasil
meskipun dalam keadaan yang menantang atau mengancam (dalam Kaneko,
Nagamine, Nakaya, dan Oshio, 2003).
Jadi berdasarkan berbagai pengertian resiliensi yang telah dijabarkan dari
beberapa tokoh, peneliti dapat menyimpulkan bahwa resiliensi adalah suatu
kemampuan yang dimiliki individu untuk menghadapi dan mengatasi kesulitan
dalam hidup dengan cara yang adaptif, serta mampu belajar dari hal tersebut
2.1.2 Faktor – Faktor Resiliensi
Menurut Benard (1991) ada yang dinamakan protective factor pada
resiliensi. Istilah protective factor sendiri sampai saat ini belum memiliki definisi
secara terang (Norman, dalam McCubbin, 2001). Faktor protektif dibagi dalam
dua kategori, yakni faktor protektif internal, seperti self-esteem dan self-efficacy.
Serta faktor protektif eksternal, seperti dukungan keluarga juga keterlibatan
komunitas (Scalaes & Leffert, dalam McCubbin, 2001). Sedangkan Benard
sendiri membagi faktor protektif ke dalam tiga domain, yakni atribut kepribadian
individu, karakteristik keluarga dan pengaruh lingkungan seperti, teman sebaya,
sekolah, dan masyarakat (dalam Benard, 1991).
Benard menjelaskan faktor-faktor resiliensi dan inter hubungan diantara
kesemua faktor yang ada dalam suatu model konseptual, yang tercakup
didalamnya ada aset lingkungan dan aset internal resiliensi serta kebutuhan
Berikut model konseptual Benard:
Aset lingkungan menujukan ikatan prososial dan ikatan yang bermakna
terhadap masyarakat, sekolah (dalam hal ini panti rehabilitasi), keluarga dan
teman sebaya. Aset internal adalah trait resiliens individu, seperti self –efficacy,
Model konseptual ini dirancang untuk mengukur 11 aset lingkungan,
menanyakan tentang persepsi individu, mengenai harapan orang lain terhadap
dirinya, persepsi individu terhadap hubungan yang penuh kepedulian dengan
orang lain, dan kesempatan individu untuk berpartisipasi secara bermakna di
sekolah, rumah, dan lingkungan masyarakat. Model ini juga menilai hubungan
yang penuh kepedulian dan harapan yang tinggi dengan teman sebaya. Dukung
eksternal ini mempromosikan hasil positif, mengecilkan perilaku berisiko dan
merangsang keberhasilan akademik. (Benard, 2004; Constantine et al., 1999;
Hawkins, Catalano, & Miller, 1992; Masten & Coatsworth, 1998; Resnick et al.,
2000; Rutter, 1987; Werner & Smith, 1982, 1992, dalam Hanson dan Kim, 2007).
Aset internal resiliensi mencakup kompetensi sosial, pemecahan masalah,
otonomi, dan tujuan, yang masing-masing dapat dipecah lebih lanjut (Benard,
1991, 2004, dalam Hanson dan Kim, 2007). Kompetensi Sosial, misalnya,
memerlukan ketrampilan komunikasi sosial, empati dan kepedulian, serta
kemampuan untuk memperoleh tanggapan positif dari orang lain (responsiveness)
(Benard, 2004; Masten, 2001, dalam Hanson dan Kim, 2007). Pemecahan masalah
meliputi perencanaan, fleksibilitas, dan kepanjangan akal daya (resourcefulness).
Otonomi mencakup self-efficacy, self-awareness, kesadaran (mindfulness). Tujuan
meliputi arah tujuan, motivasi berprestasi, optimisme, dan harapan (Benard, 2004,
dalam Hanson dan Kim, 2007). Aset internal resiliensi mengembangkan baik
secara alami dan sebagai respons terhadap aset resiliensi yang berhubungan
dengan lingkungan. Aset internal resiliensi mengembangkan respon terhadap aset
(youth) dirancang untuk mengukur enam aset internal seperti, empati, pemecahan
masalah, self-efficacy, kesadaran diri (self-awareness), kerjasama dan komunikasi,
serta tujuan dan aspirasi (dalam Hanson dan Kim, 2007).
2.1.3 Karakteristik Resiliensi
Dalam jurnal yang berjudul Using Resilience Characteristics and
Traditional Background Factors to Study Adjusment of Interbarional Graduate
Students in U.S., Conner (dalam Jim Wang 2004) mengemukakan tujuh
karakteristik resiliensi, yaitu:
1. “Positive: The World”, yaitu memandang dunia dari segi positif. Positive:
The World merupakan kecenderungan seseorang untuk fokus kepada
elemen positif dunia ini. Mereka dapat melihat peluang di dalam situasi
sulit, dapat menemukan solusi dari suatu masalah, dan baik dalam
menciptakan situasi yang positif.
2. “Positive: Your self”, dimana seseorang memiliki kepercayaan diri dan
keyakinan untuk dapat mempengaruhi lingkungan. Memiliki pandangan
positif untuk dapat membangun dasar yang kuat untuk menahan tekanan
dan ambiguitas, serta memiliki kepercayaan diri untuk mengahadapi
kegagalan.
3. “Focused”, yakni memiliki pendirian yang kuat di dalam prioritas dan
tujuan, dapat mengalokasikan energi lebih dengan mudah untuk mencapai
4. “Flexible: Thoughts” merupakan kesediaan dan kemampuan individu
untuk melihat situasi dari berbagai sudut pandang, kemampuan individu
untuk menunda pendapat/penilaian dan mempertimbangkan perspektif
alternatif, serta merupakan kesediaan dan kemampuan individu untuk
menjalani hidup dan menerima paradoks serta kontradiksi sebaga bagian
dari kehidupan. Berpikiran terbuka, orang-orang yang memiliki pikiran
fleksibel cenderung mencari solusi yang kreatif terhadap suatu masalah.
Flexible: Thoughts sangat berkaitan dengan toleransi, karena berpikir
fleksibel mengadopsi perilaku toleransi.
5. “Flexible: Social” merupakan kemampuan untuk mendekati orang lain.
Orang-orang dengan karakteristik ini menyadari kesalingtergantungan
mereka dengan orang lain dan mampu membuat ikatan sosial yang kuat
dengan orang lain dimana mendukung orang lain ketika sedang mengalami
kesulitan.
6. “Organized”, yakni kemampuan untuk mengembangkan pendekatan yang
terstruktur untuk mengolah ambiguitas. Orang yang memiliki karakteristik
ini menyortir informasi secara cepat, membangun struktur di dalam
kekacauan, merencanakan tindakan untuk penggunaan efisien sumber daya
secara maksimum, dan menghindari tindakan mendadak (acting on
impuls).
7. “Proactive”, merupakan kesediaan untuk bertindak secara meyakinkan di
tengah-tengah keadaan yang tidak menentu. Orang-orang yang memiliki
dan lebih memilih melakukan perubahan dari pada bertahan untuk
menghadapinya. Ketika ada gangguan/ kekacauan orang yang memiliki
karakteristik ini lebih memilih menggunakan strategi aktif ketimbang
menggunakan strategi berupa penghindaran atau penarikan diri. (dalam
Jing Wang, 2004)
Karakteristik-karakteristik resiliensi tersebut tidak bisa berdiri
sendiri-sendiri. Karakteristik resiliensi ini dapat diterapkan kepada semua perubahan
situasi tetapi perubahan situasi yang berbeda mungkin menekankan hanya satu
atau beberapa karakteristik. Orang yang resiliensinya baik, memiliki kekuatan di
dalam ketujuh area tersebut dan memiliki keseimbangan di dalam karakteristik
resiliensinya. Orang-orang ini, menggunakan karakteristik berbeda di dalam
situasi yang berbeda pula. Kemudian, orang-orang yang bagus dalam beberapa
area dan lemah di dalam area lainnya, tidak memiliki keseimbangan di dalam
karakteristik resiliensi mereka. Mereka secara berlebihan cederung mengandalkan
karakteristik yang mereka miliki dengan baik dan cenderung tidak menggunakan
karakteristik yang tidak miliki dengan baik (dalam Jing Wang, 2004).
Dalam literatur lain Conner (dalam O’Neal, 1999) kembali menguraikan
lima karakteristik resiliensi. Menurutnya, orang yang memiliki resiliensi yang
baik, yaitu:
1. Memperlihatkan suatu perasaan aman dan kepercayaan diri berdasarkan
pandangan mereka tentang kehidupan sebagai sesuatu yang kompleks
namun penuh dengan kesempatan (Positive).
3. Mempertunjukkan suatu keluwesan luar biasa ketika merespon
ketidaktentuan (Flexible).
4. Mengembangkan pendekatan yang terstruktur untuk mengelola ambiguitas
(Organized).
5. Lebih memilih melakukan perubahan ketimbang bertahan untuk melawan
(Proactive).
Menurut Grotberg, ada tiga karakteristik resiliensi, yakni “I HAVE”, “I
AM”, dan “I CAN” (dalam Grotberg, 1996)
“I HAVE”
(External Support)
Orang-orang disekitarku yang aku
percaya dan yang sayang padaku, apa
pun yang terjadi.
Orang-orang yang menetapkan batas
untukku jadi aku tahu kapan harus
berhenti sebelum terjadi bahaya atau
masalah.
Orang-orang yang menunjukkan
bagaimana melakukan hal yang benar
sebagaimana cara yang mereka
lakukan.
Orang-orang yang menginginkan aku
untuk mempelajari sendiri mengenai
sesuatu.
Orang-orang yang menolongku ketika
aku sakit, di dalam bahaya atau ketika
“I AM”
(Inner Strength)
Seseorang yang dapat menyukai dan
menyayangi.
Senang melakukan hal-hal yang baik
untuk orang lain dan senang
menunjukkan perhatianku.
Menghargai diriku dan orang lain.
Bersedia bertanggung jawab atas apa
yang aku lakukan.
Yakin keadaan akan baik-baik saja.
“I CAN”
(Interpersonal and
Problem-Solving-Skills)
Berbicara kepada orang lain mengenai
hal-hal yang menggangguku dan
menakutkan bagiku.
Mencari jalan keluar atas persoalan
yang aku hadapi.
Mengendalikan diriku ketika aku
merasa melakukan sesuatu yang salah
atau berbahaya.
Mengetahui kapan waktu yang tepat
untuk berbicara atau mengambil
tindakan kepada orang lain.
Mencari seseorang untuk menolongku
ketika aku membutuhkan.
Menurut Grotberg, seseorang yang memiliki resiliensi baik tidak perlu
memiliki kesemua ciri ini, namun hanya memiliki satu ciri pun juga tidak cukup.
Sesorang mungkin dicintai (I HAVE), tetapi jika ia tidak memiliki kekuatan dari
dalam dirinya (I AM)) atau tidak memiliki kecakapan sosial (I CAN), maka ia
tidak memiliki resiliensi. Seseorang mungkin memiliki harga diri yang bagus (I
bagaimana menyelesaikan masalahnya (I CAN) dan tidak memiliki seseorang
untuk menolongnya (I HAVE), maka orang ini tidak memiliki resiliensi.
Seseorang mungkin bisa berbicara dengan sangat bagus dan lancar (I CAN),
namun ia tidak memiliki rasa empati (I AM) atau tidak memliki orang yang
dicontoh/ role model (I HAVE), maka orang itu tidak memiliki resiliensi.
Resiliensi terwujud dari kombinasi ketiga ciri ini (dalam Parinyaphol &
Chongruksa, 2008).
2.1.4 Resiliensi dan Pemulihan (Recovery)
Dalam penjelasan mengenai resiliensi dan recovery oleh Allegheny County
Coalition for Recovery Child and Family Committee (2006) dapat dilihat
karakteristik resiliensi dan pemulihan:
1. Resiliensi menggambarkan suatu karakteristik yang memungkinkan
adaptasi positif di dalam konteks kesulitan yang signifikan. Sedangkan
Pemulihan menggambarkan suatu proses yang memungkinkan restorasi
atau pembaharuan sesudah rintangan yang bersifat pribadi.
2. Resiliensi sebagian ditentukan oleh genetik seseorang, dan sebagian lagi
dikembangkan melalui pengalaman dan asuhan lingkungan. Sedangkan
pemulihan dicapai dengan mengatasi hambatan yang ditimbulkan oleh
kesakitan (illness) atau lingkungan.
3. Mengembangkan resiliensi merupakan aspek penting untuk proses
pemulihan yang sukses. Resiliensi dapat mungkin terjadi tanpa adanya
Menutut Grotberg (2006), pemulihan mengacu pada proses dimana orang
dapat hidup, bekerja, belajar, dan berpartisipasi penuh dalam masyarakat mereka.
Sains telah menunjukkan bahwa pemilikan harapan memainkan peran penting
dalam pemulihan individu. Sedangkan, resiliensi berarti kualitas pribadi dan
kualitas komunitas yang memungkinkan kita untuk pulih dari kesulitan, trauma,
tragedi, ancaman, atau tekanan lainnya dan untuk melanjutkan hidup dengan rasa
penguasaan, kompetensi, dan harapan.
Resiliensi sangat penting bagi orang yang sedang menjalani pemulihan
(dari kecanduan narkoba atau pun alkohol). Pemulihan sendiri bagi masalah
kecanduan alkohol dan obat-obatan memiliki definisi sebagai suatu perubahan
yang dilalui dimana individu mencapai tahab abstinensia (tahap dimana seorang
pecandu berusaha untuk mempertahankan keadaan bebas zatnya (BNN, 2004)),
perbaikan kesehatan, serta kehidupan yang berkualitas dan sejahtera. (National
Summit on Recovery Conference Report, 2005)
2.2 Kekuatan Karakter
2.2.1 Pengertian Kekuatan Karakter
Kekuatan karakter berkaitan erat dengan virtue (kebajikan). Peterson dan
Seligman (2004), mendefinisikan virtue sebagai:
“the core characteristics valued by moral philosophers and religious thinkers: wisdom, courage, humanity, justice, temperance, and transcendence.” (Peterson dan Seligman, 2004)
Jadi. virtue adalah karakteristik inti yang dihargai oleh para filosof dan
yaitu wisdom, courage, humanity, justice, temperance, and transcendence
(Peterson dan Seligman, 2004). Kesemua virtue ini bersifat universal dan terpilih
melalui proses evolusi karena penting untuk keberlangsungan hidup (Peterson dan
Seligman, 2004). Menurut Peterson dan Seligman (2004) seseorang dikatakan
memiliki karakter baik apabila ia memiliki seluruh virtue tersebut dengan nilai
yang tinggi.
Masing-masing virtue terdiri atas beberapa strength atau kekuatan tertentu
(Peterson dan Seligman, 2004). Menurut Seligman (2005), individu memiliki
karakter positif dan negatif. Namun, yang dimaksud dengan kekuatan karakter
adalah karakter positif yang membawa individu kepada perasaan yang positif.
Kekuatan karakter sendiri adalah unsur psikologis (proses atau
mekanisme) yang memberikan definisi pada virtue (wisdom, courage, humanity,
justice, temperance, and transcendence). Kekuatan karakter dapat dibedakan
dalam menampilkan satu atau virtue lainnya. Misalnya, virtue wisdom dapat
dicapai melalui kekuatan seperti rasa ingin tahu dan kecintaan untuk belajar,
berpikiran terbuka, kreativitas, dan persperktif, yakni memiliki suatu gambaran
besar mengenai hidup (dalam Martin Seligman, 2004).
2.2.2 Klasifikasi Kekuatan Karakter
Menurut Peterson dan Seligman (2004) klasifikasi kekuatan karakter
adalah sebagai berikut:
1. Wisdom and Knowledge: kekuatan kognitif yang memerlukan kemahiran dan
a. Creativity [originality, ingenuity]: Cara berpikir yang produktif dan
baru; termasuk pencapaian artistik namun tidak hanya terbatas pada hal
ini.
b. Curiosity [interest, novelty-seeking, openness to experience]:
Menyukai seluruh pengalaman; mencari semua topik dan pokok
persoalan yang sangat menarik; menggali dan menemukan banyak hal.
c. Open-mindedness [judgment, critical thinking]: Berpikir dari segala
sudut pandang, tidak langsung/ berhati-hati dalam mengambil
kesimpulan; menimbang semua bukti/ kemungkinan dengan adil;
mampu mengubah pikiran pada bukti yang nyata
d. Love of learning: Menguasai berbagai keterampilan baru; Menguasai
topik-topik ilmu pengetahuan baik formal maupun informal
e. Perspective [wisdom]: Mampu memberi saran; Memiliki cara
pandang yang luas dan dapat diterima oleh orang lain.
2. Courage: kekuatan emosional yang mengandung keinginan yang kuat untuk
menyelesaikan tujuan walaupun terdapat halangan yang bersifat eksternal
maupun internal.
a. Bravery [valour]: Tidak takut terhadap ancaman, tantangan, kesulitan,
atau rasa sakit; berani mengungkapkan keinginan walaupun ada lawan;
berani tampil berbeda walaupun tidak popular.
b. Persistence [perseverance, industriousness]: Menyelesaikan
walaupun terdapat hambatan; fokus pada tujuan yang ingin dicapai;
Senang dalam menyelesaikan tugas.
c. Integrity [authenticity, honesty]:Menyampaikan kebenaran tetapi lebih
bersifat luas yang menampilkan diri sendiri apa adanya; bertanggung
jawab terhadap perasaan dan tingkah laku.
d. Vitality [zest, enthusiasm, vigour, energy]: penuh suka cita dan
bernergi; melakukan sesuatu hingga selesai; menjalani hidup seolah
sedang berpetualang; penuh semangat/ aktif.
3. Humanity: kekuatan interpersonal yang meliputi keinginan untuk dekat dan
bersahabat denga orang lain.
a. Love: menghargai hubungan dengan orang lain; saling berbagi dan
memperhatikan; dekat dengan orang lain.
b. Kindness [generosity, nurturance, care, compassion, altruistic love,
"niceness"]: melakukan kebaikan terhadap orang lain; menolong
orang lain; menjaga orang lain.
c. Social intelligence [emotional intelligence, personal intelligence]:
peka terhadap motif dan perasaan orang lain dan diri sendiri; dapat
menyesuaikan diri pada situasi sosial yang berbeda; mengetahui cara
menggerakkan orang lain.
4. Justice: kekuatan publik yang mendasari kehidupan masyarakat yang sehat.
a. Citizenship [social responsibility, loyalty, teamwork]: Bekerja sama
dengan baik dalam satu kelompok; setia pada kelompok; berbagi
b. Fairness: memperlakukan setiap orang secara adil; tidak membiarkan
perasaan subjektif mempengaruhi keputusan yang menyangkut orang
lain; memberikan kesempatan yang sama pada setiap orang.
c. Leadership: Mendorong orang dalam kelompok untuk bekerja
sekaligus menjaga hubungan baik dengan anggota kelompok;
menyiapkan aktivitas kelompok dan mengevaluasinya.
5. Temperance: kekuatan yang melindungi dari suatu tindakan yang berlebihan.
a. Forgiveness and mercy: Memaafkan orang lain yang berbuat salah;
memberikan kesempatan bagi orang lain; tidak mendendam.
b. Humility and Modesty: Membiarkan prestasi anda berbicara atas
namanya; tidak mencari perhatian; tidak menganggap diri lebih spesial
dari orang lain.
c. Prudence: Berhati-hati dengan keputusan yang dibuat; tidak
mengambil resiko yang tidak semestinya; tidak mengatakan atau
melakukan sesuatu yang tidak bertanggung jawab.
d. Self-regulation [self-control]: Mengatur perasaan dan tingkah
laku;disipllin; mengontrol emosi dan selera.
6. Transcendence: kekuatan yang dapat menciptakan hubungan dengan
lingkungan semesta yang lebih luas dan memberi makna.
a. Appreciation of beauty and excellence [awe, wonder, elevation]:
Menyadari dan menghargai keindahan, kesempurnaan, dan kinerja
keterampilan di dalam seluruh aspek kehidupan, mulai dari alam,
b. Gratitude: menyadari dan berterimakasih atas hal-hal baik yang
terjadi; menyediakan waktu untuk mengekspresikan rasa bersyukur.
c. Hope [optimism, future-mindedness, future orientation]:
Mengharapkan yang terbaik untuk masa depan dan berusaha
mewujudkannya; meyakini bahwa nasib bisa berubah dan masa depan
yang baik bisa dicapai.
d. Humor [playfulness]: Senang tertawa dan menggoda; membuat orang
lain tersenyum; melihat sisi terang; membuat gurauan
e. Spirituality [religiousness, faith, purpose]: Memiliki keyakinan yang
koheren tentang kehendak yang lebih tinggi dan makna dari alam
semesta; memiliki keyakinan mengenai makna kehidupan yang
membentuk tingkah laku dan memberikan kenyamanan.
2.2.3 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Strength
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, strength atau kekuatan menurut
Peterson dan Seligman (2004) ada dua puluh empat, yakni : Creativity,Curiosity,
Open-mindedness, Love of learning, Perspective,Bravery, Persistence, Integrity,
Vitality, Love, Kindness, Social-intelligence, Citizenship, Fairness, Leadership,
Forgiveness and Mercy, Humility and Modesty, Prudence, Self-regulation,
Appreciation of beauty and excellence, Gratitude, Hope, Humor, Spirituality.
Berikut akan dijelaskan mengenai beberapa faktor yang mempengaruhi strength
atau kekuatan tersebut. Namun pengecualian untuk strength leadership. Peterson
yang mempengaruhi leadership. Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi kedua
puluh tiga kekuatan sebagai berikut:
1. Creativity [originality, ingenuity] : Di sisi positif, kreativitas difasilitasi
oleh lingkungan yang mendukung, yang memperkuat (reinforcing),
terbuka, dan informal. Kemudian, individu-individu yang sangat kreatif
cenderung untuk bekerja pada beberapa persoalan atau proyek secara
bersamaan, serta kerap kali memikirkan gagasan-gagasan mengenai satu
hal disaat bekerja pada hal yang lain. Di sisi negatif, ekspresi kreativitas
dapat dihalangi ketika seseorang berada di bawah tekanan berat.
2. Curiosity [interest, novelty-seeking, openness to experience]: penelitian
eksperimental telah menemukan bahwa perolehan pengetahuan yang
spesifik membangkitkan rasa ingin tahu dan keinginan untuk memperoleh
informasi lebih jauh. Pengalaman kompetensi dan penguasaan berbasis
reward juga mendorong rasa ingin tahu di masa depan. Keyakinan bahwa
seseorang dapat bertindak sesuai kehendaknya sendiri (otonomi) dalam
suatu situasi dapat memfasilitasi secara kuat rasa ingin tahu di berbagai
tugas, pengaturan, dan berbagai domain.
Faktor penghambat yang ada meliputi percaya diri yang berlebihan,
dogmatisme, sumber daya kognitif yang rendah untuk memproses
stimulus, dan kondisi patologis seperti narsisisme, psikopat, dan
skizofrenia.
Lebih lanjut mengenai faktor-faktor lain yang mempengaruhi rasa
kegelisahan menghambat rasa ingin tahu dan menghambat eksplorasi
dalam interaksi interpersonal. Kecemasan interaksi sosial (misalnya, takut
bertemu orang baru, takut memulai percakapan) menunjukkan hubungan
yang unik dan negatif dengan rasa ingin tahu. Lebih lanjut lagi, perhatian
terhadap diri (self-focused) yang berlebihan juga menghambat rasa ingin
tahu dan menghambat eksplorasi terhadap lingkungan.
Sebuah penelitian besar menunjukkan bahwa tekanan internal,
seperti rasa bersalah dan ketakutan, serta tekanan eksternal seperti
ancaman dan hukuman, dan imbalan eksternal yang nyata mengurangi rasa
ingin tahu untuk tugas-tugas tertentu.
3. Open-mindedness [judgment, critical thinking]: open-mindedness dapat
diaktifkan atau dihambat tergantung dari bagaimana suatu ide atau gagasan
dibingkai dalam pikiran individu. Tetlock (dalam Peterson dan Seligman
2004) berpendapat, individu berpandangan terbuka (open minded) secara
lebih aktif ketika mereka harus membuat penilaian atau pun keputusan
mencakup nilai-nilai serta tujuan-tujuan yang kesemuanya sama-sama kuat
dan bertentangan. Janis dan Mann (dalam Peterson dan Seligman 2004)
berpendapat bahwa pemikiran yang baik terjadi ketika keputusan yang
diambil merupakan keputusan yang penting, ketika si pembuat keputusan
memiliki waktu untuk memutuskannya, dan ketika ada kemungkinan
bahwa beberapa hasil keputusan dapat diterima. Tekanan waktu yang
sangat berat, atau rasa putus asa, mengarah ke disorganisasi total atau
4. Love of learning: sejumlah faktor situasional yang telah diidentifikasi
mendukung kecintaan untuk belajar, yakni mencakup strategi-strategi yang
dapat digunakan oleh pengajar atau pun orang tua diantaranya dalam
menyesuaikan, mengatur atau menyetel instruksi atau pun tugas yang
memenuhi kekuatan, minat, serta kebutuhan yang dimiliki anak atau siswa,
strategi lainnya juga termasuk menyesuaikan atau pun menyetal
metode-metode sehingga individu dapat mengatur proses belajar mereka sendiri.
Pendahulu dan kondisi yang mempengaruhi kemampuan seseorang
untuk menemukan koneksi ke konten yang dipelajari; menghasilkan dan
merevisi strategi; merasakan dukungan; dan mengatur diri sendiri untuk
terlibat dan mempelajari bidang konten tertentu adalah sebagai berikut:
a) Perasaan positif untuk area konten tertentu yang akan dipelajari
b) Pengetahuan tentang bidang konten yang relatif terhadap keterlibatan
lain yang dimiliki
c) Keyakinan bahwa tugas yang bersangkutan dapat dilakukan
d) Rasa ingin tahu terhadap tugas yang bersangkutan
e) Kemampuan untuk mengidentifikasi dan memanfaatkan sumber daya
yang ada untuk mengerjakan tugas yang bersangkutan.
5. Perspective [wisdom]: Studi longitudinal Hartman (dalam Peterson dan
Seligman 2004) tentang perempuan setengah baya yang diidentifikasi pada
beberapa faktor yang mengaktifkan atau menghambat perkembangan
kebijaksanaan (wisdom) dan Perspective. Dalam
signifikan sebagai prediktor pendahulu atas perkembangan kebijaksanaan
pada usia paruh baya, dengan potensi kreatif dan produktivitas kreatif
menyajikan jalur independen bagi kebijaksanaan, dan produktivitas
motivasi yang secara signifikan memprediksi perkembangan
kebijaksanaan pada usia setengah baya. Selain itu, Hartman (dalam
Peterson dan Seligman 2004) menemukan bahwa akumulasi berbagai
pengalaman dewasa mengawali perkembangan kebijaksanaan.
6. Bravery [valour]: Penelitian menunjukkan beberapa faktor yang dapat
memunculkan keberanian (dalam Peterson dan Seligman 2004):
a) pesan-pesan kontekstual yang mendukung keberanian
b) dukungan kontekstual dari nilai-nilai prososial dan penekanan pada
penyampaian kebenaran
c) kepemimpinan yang kuat
d) kepercayaan
e) harapan yang jelas terhadap perilaku
f) hubungan masyarakat
g) kepribadian seseorang
Keberanian dapat ditingkatkan dengan praktek (kebiasaan moral),
dengan mencontoh (pemodelan), dan dengan mengembangkan atribut
tertentu dari individu (self-confidence) atau kelompok (kohesi). Namun di
samping faktor-faktor di atas, tampak bahwa kepribadian merupakan
7. Persistence [perseverance, industriousness] : faktor yang mempengaruhi
ketekunan yakni, dukungan sosial, umpan balik positif, penghargaan atas
usaha yang positif, pengendalian diri yang baik serta self- awareness yang
tinggi.
Beberapa masalah pribadi dan patologi juga dikaitkan dengan
penurunan ketekunan pada tugas-tugas. Masalah-masalah ini secara
singkat dapat dikatakan sebagai berikut: retardasi mental, anak-anak
retardasi mental telah terbukti memiliki ketekunan yang kurang dari
anak-anak normal terutama dalam menghadapi tugas-tugas motorik, anak-anak
berkesulitan, depresi, serta orang-orang yang memiliki kontrol diri rendah
seperti perokok, pemakai obat-obatan, dan alkoholik.
8. Integrity [authenticity, honesty] : stress psikososial, termasuk perceraian,
penyalahgunaan, dan penelantaran, juga dapat meningkatkan anak-anak
untuk berbohong. Sikap dan tindakan berbohong yang dilakukan oleh
keluarga dapat menjadikan contoh yang dapat dimodel oleh anak-anak
dalam tingkah lakunya baik langsung atau pun tidak langsung. Teman
sebaya juga menjadi faktor yang mendukung anak untuk dapat berbohong.
Terakhir, norma budaya dan praktek budaya dapat menekan
gambaran diri (self-portrayal) yang asli. Sebuah masyarakat pluralistik
memberikan kontribusi penerimaan diri (self-acceptance), penerimaan
orang lain, dan keselarasan antara diri dan tindakan di dunia. kesadaran
akan multikulturalisme dan keragaman merupakan bagian dari
9. Vitality [zest, enthusiasm, vigour, energy] : Penelitian oleh Ryan dan
Frederick (dalam Peterson dan Seligman 2004) menunjukan bahwa
terdapat faktor fisik dan sosial yang mempengaruhi semangat. Dari segi
fisik, penyakit, rasa sakit, dan kelelahan semuanya menghambat semangat
atau vitalitas. Selain itu, merokok, diet yang buruk, dan kurang olahraga
juga dapat menyebabkan rendahnya vitalitas.
Konteks sosial juga mempengaruhi vitalitas. Dalam beberapa
penelitian, faktor-faktor yang berkaitan dengan dukungan untuk otonomi
telah terbukti secara positif terkait dengan vitalitas. Nix et al. dan Thayer
dan Moore (dalam Peterson dan Seligman 2004) keduanya memberikan
bukti eksperimental yang menunjukkan bagaimana pengendalian konteks
dapat mengurangi energi subjektif atau vitalitas. (e.g., Reis et al., 2000).
10. Love : Teori kelekatan (attachment theory didasarkan pada gagasan bahwa
kapasitas untuk mencintai dan dicintai adalah aspek sifat manusia yang
berevolusi. Namun, kekuatan adaptif yang sama bertanggung jawab atas
kapasitas alamiah kita untuk mencintai dan dicintai hal tersebut juga
berakibat pada keberadaan diri kita melalui alam, dengan responsif dan
lunak terhadap masukan (input)dari lingkungan. Apa yang menumbuhkan
kapasitas untuk mencintai dan dicintai adalah pengalaman sensitivitas
dengan orang yang berarti (significant others).
11. Kindness [generosity, nurturance, care, compassion, altruistic love,
"niceness"] : Dalam mempertimbangkan faktor-faktor yang meningkatkan