serta kekuatan-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini sebagai bagian dari tugas akademis di Jurusan Peradilan Agama Fakultas Syariah & Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Shalawat serta salam semoga tercurahkan kepada junjungan kita Nabi Besar Muhammad SAW, beserta keluarganya, para sahabatnya, tabi’in dan tabi’at hingga sampailah kepada kita yang mengikuti risalahnya sampai akhir zaman.
Skripsi yang berjudul “Penetapan Nafkah Hadanah dalam Perkara Putusan Verstek (Analisis Putusan Pengadilan Agama di Provinsi DKI Jakarta)” akhirnya dapat terselesaikan sesuai dengan harapan penulis. Kebahagiaan yang tak ternilai bagi penulis secara pribadi adalah dapat mempersembahkan yang terbaik kepada orang tua, seluruh keluarga dan pihak-pihak yang telah ikut andil dalam mensukseskan harapan penulis.
Sebagai bahan yang tak terlukiskan izinkanlah penulis menuangkan dalam bentuk ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :
1. Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH., MA., MM. Dekan Fakultas Syariah & Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta yang banyak memberikan nasihat-nasihat yang berharga demi meningkatkan kualitas spiritual dan intelektual kepada Mahasiswa/I Fakultas Syariah & Hukum.
2. Drs. H. Basiq Djalil, SH., MA. Ketua Program Studi Ahwal As-Syakhsiyyah Konsentrasi Peradilan Agama, yang selalu memberikan masukan kepada penulis secara tidak langsung sangat membantu penyusunan skripsi ini.
3. Kamarusdiana, SH., MH. Sekertaris Program Studi Ahwal As-Syakhiyyah yang banyak membantu saran untuk penulis dan membantu memudahkan mahasiswa secara birokrasi dan administrasi kampus.
4. Sri Hidayati, M.Ag dan Afwan Faizin, MA. Dosen pembimbing yang telah banyak meluangkan waktu di sela-sela kesibukan dalam memberikan masukan maupun nasihat dalam penyusunan skripsi ini.
5. Bapak & Ibu Dosen Fakultas Syariah & Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan ilmunya kepada penulis selama dibangku kuliah.
6. Ketua Pengadilan Agama Jakarta Pusat dan Drs. Ujang Sholeh S.H,. M.H serta staf jajarannya yang telah membantu dalam memperoleh data dan informasi yang penulis butuhkan dalam penyusunan skripsi ini.
7. Ketua Pengadilan Agama Jakarta Barat dan Drs. H. Muhyiddin S.H,. M.H serta staf jajarannya yang telah membantu dalam memperoleh data dan informasi yang penulis butuhkan dalam penyusunan skripsi ini.
8. Rasa Ta’zim & terima kasih yang mendalam Ibunda tercinta Siti Aminah dan Ayah anda Muhammad Yakub, sebagai inspirator dan tempat curhatan hati, atas dukungan moril dan materil, kesabaran, keikhlasan, perhatian serta kasih sayang yang tak pernah habis bahkan doa munajatnya yang tak henti-henti kepada Allah SWT senantiasa agar penulis mendapatkan kesukseskan dan belajar juga atas
Saepudin dan Yulia Hilmi, yang banyak sekali memberikan kontribusi baik itu pikiran tenaga maupun materi hingga penulis bisa menyelesaikan kuliah ini.
10. Teman sejati hatiku Melly Amalia, S.S yang banyak memberikan masukan dan kritikan yang bersifat membangun kepada penulis dan sabar menemani.
11. Sahabat-sahabat seperjuangan Jurusan PA A 2006 Danu, Tami, Afandi, Kobet, Akhri, V-men, Maul, Boggie dan sahabat lain yang tidak bisa saya sebutkan satu-satu namun telah memberikan banyak inspirasi kepada penulis hingga saat ini. 12. Guruku tercinta K.H Bahruddin Pimpinan Pondok Pesantren Dar el-Hikam,
Abdul Rosyid, Saepudin, Muhammad Ali, bang Ayat serta teman-teman dar el-Hikam yang tidak bisa disebutkan satu persatu namun tidak mengurangi rasa hormat saya, telah banyak memberikan inspirasi dan semangat hingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
13. Sahabat-sahabat “Warkop PMI Bogor” yaitu Upay, Umay, Mayda, N-dank, Iwan, Evia, Zarpin Tea, Maoy, Abah, Nyonk dan Keluarga N-dank yang tidak bisa disebutkan satu persatu namun tidak mengurangi rasa hormat saya kepada beliau yang telah banyak memberikan spirit dan doa sehingga rampungnya kuliah dan penulisan skripsi ini.
14. Terimakasih buat Nadia, Oci, dan Yuli yang sudah bersedia meminjamkan buku perpustakaan sebagai bahan skripsi ini sehingga selesai tepat waktunya.
iv
Semoga amal yang telah diberikan kepada penulis dapat di balas oleh Allah SWT dengan pahala yang berlipat ganda. Dengan segala kelemahan, kekurangan, & kelebihan yang ada semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya & bagi para pembaca umumnya. Semoga Allah SWT senantiasa meridhoi setiap langkah kita (aamiin).
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ...1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ...6
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ...7
D. Metode Penelitian ...8
E. Kajian Terdahulu ...11
F. Sistematika Penulisan ...12
BAB II PEMBAHASAN TENTANG NAFKAH HADANAH A. Pengertian Nafkah Hadanah ...13
B. Dasar Hukum Nafkah Hadanah ...14
C. Kadar Nafkah Hadanah ...20
D. Batas Usia Pemberian Nafkah Hadanah ...22
E. Hak dan Kewajiban Memberi Nafkah Hadanah ...24
BAB III TINJAUAN UMUM TENTANG PUTUSAN VERSTEK A. Pengertian Putusan Verstek ...29
B. Syarat-syarat untuk Menjatuhkan Putusan Verstek ...31
C. Akibat Hukum Putusan Verstek ...32
D. Verstek dalam Fiqh... ...34
BAB IV TINJAUAN FIQH TERHADAP PENETAPAN NAFKAH HADANAH DALAM PERKARA PUTUSAN VERSTEK
A. Kronologis Perkara ...37
1. Putusan Pengadilan Agama Jakarta Barat…….. ………..37
2. Putusan Pengadilan Agama Jakarta Pusat……. ………...43
B. Tinjauan Fiqh terhadap Pertimbangan Hakim tentang Penetapan Nafkah Hadanah dalam Perkara Putusan Verstek ...49
BAB V Penutup A. Kesimpulan ...54
B. Saran ...55
Daftar Pustaka ……….56
Lampiran ...59
1. Data Surat Pengantar Mahasiswa melakukan obsevasi...60
2. Surat keterangan telah melakukan observasi dari A. Pengadilan Agama Jakarta Barat ...61
B. Pengadilan Agama Jakarta Pusat ...62
3. Data Wawancara A. Wawancara Hakim Pengadilan Agama Jakarta Barat ...63
B. Wawancara Hakim Pengadilan Agama Jakarta Pusat ...66
4. Data Putusan A. Putusan Pengadilan Agama Jakarta Barat ...68
B. Putusan Pengadilan Agama Jakarta Pusat ...81
1
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah
Perkawinan merupakan proses yang turun menurun dari generasi ke generasi dan berlangsung terus-menerus dari waktu ke waktu, karena salah satu tujuan hidup manusia dalam memenuhi kebutuhan batin adalah dapat melalui kehidupan berkeluarga.
Dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, menyebutkan pernikahan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri yang bertujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa1. Sedangkan jika kita mengkaji Kompilasi Hukum Islam mengenai hukum perkawinan pada bab II pasal 2, dapat kita pahami bahwa perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau mitsaqan ghalidan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya adalah ibadah2. Sebagaimana yang telah diungkapkan oleh Sayid Sabiq : “Ikatan antara suami istri adalah ikatan paling suci dan paling kokoh” dan tidak ada suatu dalil yang lebih jelas menunjukkan tentang sifat kesuciannya yang
1
Hasbullah Bakri, Kumpulan Lengkap Undang-Undang dan Peraturan Perkawinan di Indonesia, (Jakarta : Bulan Bintang, 1978), h.3.
2Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia,( Jakarta: Akademika Pressindo, 1992),
demikian agung itu, lain dari allah itu sendiri, yang menamakan ikatan perjanjian antara suami istri dengan mitsaqan ghalidan (perjanjian yang kokoh)3.
Namun terkadang fenomena berbicara lain, perkawinan yang diharapkan sakinah, mawaddah dan warohmah ternyata karena satu dan lain hal harus kandas di tengah jalan. Kondisi rumah tangga mengalami perselisihan, pertengkaran serta suami istri sudah tidak dapat lagi di damaikan maka islam memberi solusi dengan perceraian atau talak. Perceraian atau talak obat terakhir utuk mengakhiri pertentangan dan pergolakan antara suami istri serta menjadi jalan keluar yang layak untuk keduanya.
Jika perceraian itu terjadi dan telah memperoleh keturunan maka seorang anak tersebut akan dirugikan. Karena itu untuk menjamin kesejahteraan dan ketentraman anak terutama anak dibawah umur maka di Indonesia diberlakukan undang-undang yang mengatur tanggung jawab orang tua terhadap biaya pemeliharaan anak (hadanah) akibat perceraian untuk memberikan perlindungan bagi kepentingan masa depan anak. Dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 pasal 41 mengenai akibat putusnya perkawinan karena perceraian ialah :
1. Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak pengadilan memberi keputusan. 2. Bapak yang bertanggungjawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan
yang diperlukan anak itu, bilamana bapak dalam kenyataan tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut, pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut langsung memikul biaya tersebut.
3
3
3. Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas untuk memberikan biaya penghidupan dan atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas istri.
Hal ini juga diatur dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) mengenai pemeliharaan anak, sebagaimana yang tercantum dalam pasal 105 c :
“Biaya pemeliharaan anak ditanggung oleh ayahnya” Dalam Pasal 156 d
“Semua biaya hadanah dan nafkah anak menjadi tanggungan ayah menurut kemampuannya, sekurang-kurangnya sampai anak tersebut dewasa dan dapat mengurus sendiri”
Begitu pula dalam Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak dalam Pasal 8 yaitu :
“Setiap anak berhak memperoleh pelayanan kesehatan dan jaminan sosial sesuai dengan kebutuhan fisik, mental, spiritual dan sosial”
Maksud dalam Pasal-pasal diatas memberikan isyarat terhadap orang tua agar memperhatikan anaknya dan memenuhi hak seorang anak baik itu dari segi pendidikan maupun kesehatannya.
kebutuhan, tetapi berdasarkan kaya atau miskin seorang suami yaitu berdasarkan kemampuan seorang suami untuk memberi nafkah.4
Apabila terjadi perceraian maka mantan suami tetap berkewajiban memberi nafkah kepada mantan istri dan anak-anaknya. Apalagi telah ditetapkan dan diberlakukannya Undang-undang No.1 Tahun 1974 Pasal 41 mengenai kewajiban pemberian nafkah akibat putusnya perkawinan karena perceraian.
Maka menjadi kewenangan Pengadilan Agama untuk memutuskan perkara perceraian bagi orang-orang Islam yang berada dalam wilayah yurisdiksinya. Di dalam proses persidangan bagi para pihak adakalanya tidak dapat mengikuti persidangan dikarenakan alasan tertentu. Namun dalam hal ketidakhadiran salah satu pihak, seorang hakim dapat memutus perkara tersebut.
Untuk perkara yang tidak dihadiri salah satu pihak maka diatur di HIR, diantara pasal-pasal HIR yaitu pasal 125 yang berbunyi “Jika tergugat tidak hadir pada hari perkara akan diperiksa atau tidak pula menyuruh orang lain untuk menghadap mewakilinya, meskipun orang itu dipanggil secara patut, maka gugatan itu dapat diputus dengan tidak hadir”. Pasal tersebut dijadikan dasar dalam hukum acara perdata positif untuk menyelesaikan perkara tanpa hadirnya pihak tergugat atau termohon, yang dalam istilah hukum acara perdata positif disebut Verstek.
Pada dasarnya putusan verstek dengan memberikan penetapan nafkah kepada suami bertentangan dengan asas-asas umum hukum acara perdata yang menyatakan
5
bahwa harus mendengar kedua belah pihak juga tidak sesuai dengan Hukum Islam mengenai penentuan kadar nafkah yang harus diberikan seorang suami yang telah bercerai dari istrinya baik itu cerai talak oleh suami maupun gugat cerai oleh seorang istri ditentukan berdasarkan kemampuan seorang suami bukan menurut kebutuhan seorang istri, karena itu bagaimana seseorang hakim dalam memutus perkara yang berkaitan dengan penentuan nafkah anak jika tidak mengetahui keadaan ekonomi suami jika suami tersebut verstek.
Begitu juga tentang larangan memberikan ekstra petita yang diatur dalam HIR, maka hakim tidak boleh memutus melebihi dari gugatan, ketika permohonan cerai talak oleh suami dalam permohonannya tidak menyebutkan untuk memberi nafkah kepada istri ataupun anak dan juga karena ketidakhadiran istri yang tidak menuntut hal tersebut hakim secara ex officio boleh membebankan nafkah tersebut, maka seperti yang ada dalam rumusan masalah nantinya ialah bagaimana pertimbangan hakim dalam memutus hal tersebut.
Dengan adanya permasalahan tersebut ditemukan perkara yang berkaitan dengan hal itu di Pengadilan Agama Jakarta Barat dan di Pengadilan Agama Jakarta Pusat mengenai penetapan nafkah hadanah kepada suami yang diputus verstek.
Berkaitan dengan apa yang telah dipaparkan di atas, maka penulis akan meneliti dan menganalisa putusan Pengadilan Agama Jakarta Pusat dan Pengadilan Agama Jakarta Barat dengan judul ” PENETAPAN NAFKAH HADANAH
DALAM PERKARA PUTUSAN VERSTEK (Analisis Putusan Pengadilan
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah 1. Pembatasan Masalah
Agar penelitian ini lebih akurat dan terarah sehingga tidak menimbulkan masalah baru serta pelebaran secara meluas maka penulis memberi batasan pembahasan ini pada masalah nafkah hadanah dalam putusan verstek yang dilakukan oleh lembaga peradilan agama dalam perkara cerai di Pengadilan Agama di lingkungan DKI Jakarta ada dua kasus yaitu di Pengadilan Agama Jakarta Pusat dan Pengadilan Agama Jakarta Barat dengan Nomor Perkara 207/Pdt.G/2009/PA.JB dan 696/Pdt.G/2009/PA.JP.
2. Perumusan Masalah
Mestinya penetapan nafkah hadanah yang diputus verstek itu berdasarkan kemampuan dan dalam HIR pun hakim tidak boleh memutus melebihi dari guagatan (ekstra petita), namun pada kenyataannya kerap terjadi hakim memutus perkara melebihi dari isi gugatan yang tidak diminta oleh pihak istri yang tidak hadir. Dan untuk memudahkan pembahasan ini, maka penulis akan merumuskan masalah sebagai berikut :
a. Apa saja pertimbangan hakim Pengadilan Agama Jakarta Barat dan Pangadilan Agama Jakarta Pusat dalam penetapan nafkah hadanah perkara perceraianyang diputus verstek?
7
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Sesuai dengan rumusan masalah tersebut diatas, maka tujuan yang ingin dicapai dalam penulisan skripsi ini adalah :
1. Untuk mengetahui pertimbangan hakim Pengadilan Agama Jakarta Pusat dan Pengadilan Agama Jakarta Barat dalam penetapan nafkah hadanah pada perkara perceraian yang diputus verstek.
2. Ingin mengetahui bagaimana tinjauan fiqh terhadap pertimbangan hakim Pengadilan Agama Jakarta Barat dan Pengadilan Agama Jakarta Pusat dalam penetapan nafkah hadanah pada perkara perceraian yang diputus verstek.
Adapun manfaat yang diperoleh dari penulisan skripsi ini dihaarapkan dapat memberikan kontribusi pemikiran bagi disiplin keilmuan secara umum dan sekurang-kurangnya dapat digunakan dua aspek, yaitu :
1. Aspek Teoritis : Sebagai upaya bagi pengembangan ilmu pengetahuan, khususnya yang berhubungan dengan persoalan di bidang nafkah hadanah akibat perceraian dan hukum acara putusan verstek.
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta dan kampus-kampus lain pada umumnya.
D. Metode Penelitian 1. Metode Penelitian a. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang diterapkan dalam skripsi ini adalah penelitian yang bersifat kualitatif, yang memusatkan perhatian pada prinsip-prinsip umum yang mendasari perwujudan satuan-satuan gejala yang ada dalam kehidupan manusia,5dengan mengkaji data dan literatur-literatur yang berkaitan dengan judul. Strategi pendekatan yang digunakan dalam penelitian adalah strategi deskriftif analisis, yaitu bertujuan menggambarkan keadaan sementara dengan memaparkan hasil-hasil penelitian yang bersumber dari wawancara, dan atau dokumen tertulis untuk melakukan analisis dan interpretasi langsung dari hasil pengamatan.
Adapun jenis penelitian dengan pengambilan data yang digunakan dalam penyusunan karya tulis adalah :
1). Penelitian Lapangan (field Research) untuk memperoleh informasi yang akurat dengan melakukan pencarian data-data dari tempat penelitian melalui interview hakim serta meminta data otentik maupun yurisprudensi yang berkaitan dengan masalah tersebut.
5
9
2). Penelitian Pustaka (library Research) untuk memperoleh informasi yang berkaitan dengan kajian penelitian ini melalui buku-buku, artikel, majalah-majalah, dan sumber lain yang berkaitan dengan permasalahan diatas.
2. Sumber Data
Sementara data yang diambil dalam penelitian ini terdiri atas sumber data dan sumber data sekunder, yaitu :
a. Data primer adalah data yang diperoleh penulis dari data lapangan penelitian, berkas surat-surat bukti dan dokumen yang terkait dengan perkara tersebut. Wawancara terhadap hakim Pengadilan Agama Jakarta Barat dan Hakim Pengadilan Agama Jakarta Pusat yang terkait dengan kasus ini.
b. Data Sekunder adalah data yang diperoleh dengan jalan mengadakan studi kepustakaan atas dokumen-dokumen yang berhubungan masalah yang diajukan, dokumen-dokumen yang dimaksud adalah Al-Quran, hadits, buku-buku ilmiah, Undang-Undang, Kompilasi Hukum Islam (KHI), serta peraturan-peraturan lainnya yang erat kaitannya dengan masalah yang diajukan.
3. Teknik Pengumpulan Data
Dalam upaya mengumpulkan data yang diperlukan, digunakan metode sebagai berikut :
Metode dokumentasi adalah mencari hal-hal atau variabel berupa catatan, transkip, buku, surat, kabar, majalah, prasasti, notulen, rapat, agenda, dan sebagainya.6
b. Metode Interview
Metode Interview adalah sebuah dialog yang dilakukan oleh pewawancara untuk memperoleh informasi dari terwawancara.7 Dalam hal ini adalah wawancara dengan hakim di Pengadilan Agama Jakarta Barat dan Pengadilan Agama Jakarta Pusat.
4. Teknik Analisa Data
Analisa data adalah proses mencari dan menyusun secara sistematis data yang hasail wawancara, data lapangan dan bahan-bahan lain sehingga dapat mudah dipahami dan temuannya dapat diinformasikan kepada orang lain.8
Data yang telah berhasil dihimpun akan dianalisis dengan menggunakan metode deskriptif analitis yaitu menguraikan tentang putusan hakim mengenai biaya pemeliharaan anak (hadanah) setelah perceraian secara sistematis, cermat factual dengan pola pikir deduktif yaitu mengemukakan teori-teori atau dalil-dalil yang bersifat umum tentang hadanah kemudian dilakukan analisis terhadap data tentang
6Soejono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta : Pustaka Pelajar, 1992), h.206.
7
Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian, (Jakarta: Rineka Cipta, 2002), h.205.
8
11
pemeliharaan anak setelah perceraian yang telah diputus verstek untuk memperoleh kesimpulan yang khusus.
Karena penelitian ini termasuk kualitatif, maka analisis datanya juga analisis kualitatif, dan metode yang digunakan untuk menganalisis data peneltian adalah deskriptif analitis, yakni dimulai dengan menggambarkan dan mengguraikan tentang penyelesaian putusan. Dalam hal ini akan diuraikan dan dipaparkan data-data yang akan mendukung dalam perkara ini dan pertimbangan para hakim dalam memutus perkara penetapan nafkah hadanah dalam putusan verstek di Pengadilan Agama Jakarta Barat dan Pengadilan Agama Jakarta Pusat dan kesimpulannya diperoleh pola piker deduktif, yakni dari pola umum ke pola khusus yaitu mengacu pada norma hokum tentang hadanah kemudian dihubungkan dengan norma yang dipahami dalam putusan Pengadilan Agama Jakarta Barat dan Pengadilan Agama Jakarta Pusat tentang perkara yang diteliti.
E. Kajian Review Terdahulu
Maka terdapat skripsi terkait yang membahas tentang perceraian yang diputus
verstek :
Agus Sudianto yang mengambil judul skripsi “ Penyelesaian Perkara Perceraian yang diputus Verstek Di Pengadilan Agama Jakarta Selatan”. Yang ditulis pada tahun 2007. Ia memaparkan tentang bagaimana pemeriksaan perkara serta problemnya dan cara penyelesaian perkara yang diputus verstek. Pada skripsi ini itu lebih kepada pemanggilan secara resmi dan patut kepada para pihak dan hak yang diperoleh serta upaya hukum bagi tergugat.
F. Sistematika Penulisan
Adapun sistematika penulisan dan pembahasan akan terbagi berdasarkan sistematika sebagai berikut :
Bermula dari BAB I : Pendahuluan. Didalamnya memaparkan latar belakang masalah yang mencangkup pemilihan judul, pembatasan dan perumusan masalah, metode penelitian, tujuan penelitian, kajian review dan sistematika penulisan.
Bab II Membahas landasan teori tentang nafkah hadanah dan bagaimana hak serta kewajiban orangtua memberi nafkah hadanah.
Bab III Membahas Putusan verstek yang berlandaskan teoritik yang sesuai dengan kaidah-kaidah dasar dan asas-asas ilmu pengetahuan.
Bab IV Membahas tentang kronologis perkara dan Tinjauan Fiqh terhadap pertimbangan hakim dalam memutus perkara tersebut.
BAB II
NAFKAH HADANAH A. Nafkah Hadanah
1. Pengertian Nafkah Hadanah
Secara bahasa nafkah (ﺔ ﻨ ا) berasal dari kata infak (قﺎ ﻻا) artinya membiayai.
Dengan demikian, kata nafaqah berarti biaya. Yang dimaksud ialah menyangkut
biaya penghidupan.1 Disebutkan juga oleh Ahmad Warson Munawir dalam
al-Munawir Kamus Arab Indonesia bahwa nafkah mempunyai arti yaitu biaya, belanja
dan biaya pengeluaran, dibelanjakan.2
Sedangkan menurut istilah, nafkah berarti : sesuatu kewajiban sang suami
memberikan suatu penghasilan pekerjaan (nafkah ) kepada dirinya, isterinya dan
anak-anaknya.3 Dan dijelaskan juga oleh syekh Faisal bin Abdul Aziz dalam kitab
Terjemahan Nailul Author (Himpunan Hadits-hadits Hukum), yaitu kewajiban memberi penghasilan (nafkah) kepada isteri dan anak-anaknya ketika sang suami
merasa cukup (nafkah) untuk dirinya.4 Sedangkan hadanah sendiri berasal dari kata
alhidn yang artinya rusuk. Kemudian kata hadanah dipakai sebagai istilah
1
Zainudin bin Abdul Aziz al-Malibari al-Fannani, Terjemah Fathul Mu’in, Jilid Dua, (Bandung :Sinar Baru al-Gesindo), h. 1434
2
Ahmad Warson Munawir, al-Munawir Kamus Arab Indonesia, (Yogyakarta : Pustaka Progresif), Cet. 14, h. 1449
3
Ash-Shabuni, (Hadiyyatul Afraa lil’Aruusain) Hadiah Untuk Pengantin, (Jakarta: Mustaqim), h. 229
4
Syekh Faisal bi Abdul Aziz, Terjemahan Nailul Author Himpunan Hadits-Hadits Hukum, h. 2464
“pengasuhan anak” karena seorang ibu yang sedang mengasuh anak sering
meletakkannya disebelah rusuk. Dan menurut istilah ahli fiqh hadanah berarti
memelihara dan menjaga kesehatan jasmani dan rohani anak.5
Dari uraian diatas dapat diketahui bahwa nafkah hadanah adalah pemberian
yang wajib dilaksanakan oleh ayah terhadap anak untuk pemeliharaan dan
pengasuhan baik pemberian itu berupa sandang, pangan, papan maupun pendidikan
berdasarkan kemampuannya.
2. Dasar Hukum Nafkah Hadanah
a. Dasar hukum nafkah hadanah dalam Al-Quran
Nafkah merupakan hak isteri dan anak maka ayah wajib membiayainya
didasarkan pada Q.S al-Baqarah : 233.
⌧
☺
⌧
☺
5
15
Artinya : “Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun
penuh, Yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. dan kewajiban ayah memberi Makan dan pakaian kepada Para ibu dengan cara ma'ruf. seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan seorang ayah karena anaknya, dan warispun berkewajiban demikian. apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, Maka tidak ada dosa atas keduanya. dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, Maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. bertakwalah kamu kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha melihat apa yang kamu kerjakan.” (Q.S. al-Baqarah ayat 233).
Abu Ali al-Fahdli berpendapat bahwa kewajiban suami memberi nafkah itu
bukan disebabkan karena isteri itu menyusui anaknya, melainkan karena isteri itu
sendiri yang diceraikan oleh suaminya dan suami wajib memberi nafkah atas isteri
sesuai dengan keadaan pada waktu itu.6 Dapat diartikan bahwa kewajiban nafkah
kepada mantan isteri yang telah mempunyai anak, adalah satu kesatuan yaitu nafkah
isteri dan pemeliharaan anak (hadanah).
Begitu juga Ash-Shabuni menyatakan bahwa makna ayat diatas adalah
seorang ayah wajib memberikan nafkah dan pakaian kepada istrinya yang telah
6
dicerai jika ia menyusui anak-anaknya.7 Dalil itu merupakan wajibnya seorang ayah
menafkahi anak-anaknya. Sebab, mereka masih belum mampu dan lemah8.
Keharusan nafkah dari seseorang suami tak hanya sewaktu dia masih menjadi
isteri sahnya dan terhadap anak-anak dari isteri itu, tetapi suami wajib memberi
mereka nafkah bahkan saat perceraian. Apalagi terhadap perawatan anak dan
kesejahteraan ibu merupakan tanggung jawab seorang ayah, meskipun terjadi
perceraian jangan sampai mengurangi nafkah yang wajar bagi ibu dan anaknya sesuai
keadaannya.9 Seperti yang dijelaskan dalam al-Quran Surat al-Baqarah ayat 233 :
Artinya : “…..dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada Para
ibu dengan cara ma'ruf…..”
Islam sebagai agama yang praktis, tidak memaksakan beban yang berlebihan
kepada salah satu pihak. Tetapi mereka harus melakukan yang terbaik untuk
kepentingan anak sesuai dengan kemampuan mereka. Apalagi mereka bertindak
dengan tulus, maka Allah memberi solusi untuk mengatasi masalah pemeliharaan
yang dijelaskan dalam al-Quran surat at-Talaq ayat 6 yang berbunyi :
7Ali ash-Shabuni, Shafwat at-Tafasir, Juz I, T.t, h. 150
8Imam Ibnu al-‘Arabi, Ahkam al-Qur’an, Juz I, T.t, h. 274
9
17
⌧
⌧
☺
Artinya : “Tempatkanlah mereka (para isteri) di mana kamu bertempat
tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati) mereka. dan jika mereka (isteri-isteri yang sudah ditalaq) itu sedang hamil, Maka berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga mereka bersalin, kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak)mu untukmu Maka berikanlah kepada mereka upahnya, dan musyawarahkanlah di antara kamu (segala sesuatu) dengan baik; dan jika kamu menemui kesulitan Maka perempuan lain boleh menyusukan (anak itu) untuknya” (Qs. At-Talaq : 6)
Ayat diatas mempertegas hak-hak wanita itu tempat tinggal yang layak. Ini
perlu dalam rangka mewujudkan yang ma’ruf, sekaligus memelihara hubungan agar
tidak semakin keruh dengan perceraian itu. Ayat diatas menyatakan tempatkan
mereka para isteri yang dicerai itu dimana kamu wahai yang menceraikannya
bertempat tinggal. Kalau dahulu kamu tinggal ditempat yang mewah sedangkan
penghasilan menurun atau sebaliknya tempatkanlah mereka ditempat menurut atau
sesuai dengan kemampuannya kamu sekarang, dan janganlah sekali-kali kamu
menyusahkan mereka dalam hal tempat tinggal atau selainnya dengan tujuan untuk
menyempitkannya hati dan keadaan mereka sehingga mereka terpaksa keluar atau
minta keluar.10
10
☺
Artinya : “Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. dan orang yang disempitkan rezkinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekedar apa yang Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan” (QS. At-Talaq ayat 7)
M. Quraish Shihab berpendapat bahwa ayat diatas menjelaskan prinsip umum
mencakup penyusuan dan sebagainya sekaligus menengahi kedua pihak dengan
menyatakan bahwa hendaklah yang lapang yakni mampu dan memiliki banyak rezeki
memberi nafkah untuk isteri dan anak-anaknya sebatas kemampuan suami dan
dengan demikian hendaknya ia memberi sehingga anak dan isterinya itu memiliki
pula kelapangan dan keluasan berbelanja dan siapa yang disempitkan rezekinya yakni
terbatas penghasilannya, maka hendaklah ia memberi nafkah yang diberikan oleh
Allah kepadanya.11
Dalam jumlah nafkah, M. Quraish Shihab mengatakan tidak ada ketentuan
yang pasti melainkan melihat kondisi masing-masing dan adat kebiasaan yang
berlaku pada suatu masyarakat atau apa yang diistilahkan oleh al-Qur’an dan Sunnah
dengan urf yang tentu saja dapat berbeda antara satu masyarakat dengan masyarakat
11
19
yang lain serta waktu dan waktu yang lain.12 Pendapat ini juga dikemukakan oleh
Imam Malik dan Abu Hanifah.13
Berbeda dengan pendapat Imam Syafi’i bahwa nafkah itu ditentukan besarnya.
Bagi orang-orang yang kaya dikenakan dua mud. 14 Orang-orang menengah
dikenakan satu setengah mud, sedangkan orang-orang yang miskin dikenakan satu
mud.
b.
ang suami terhadap istri maupun
ﻦ
ﺟ
ﻨ
حﺎ
؟
لﺎ
ﺧ
ﺬ
ى
ﻦ
ﺎ
ﻪ
etahu dia, apakah itu berdosa bagiku. Maka beliau berkata : Ambillah hartanya yang cukup buatmu dan anak-anakmu dengan cara yang baik”. (HR. Muttafaq ‘Alaih)15
Dasar Hukum Nafkah Hadanah dalam Al-Hadits
Dalam hal nafkah adalah kewajiban seor
anaknya, sesuai hadits nabi SAW yang berbunyi :
ﻦ
ﺋﺎ
ﺔ
ﺎ
ﺖ
د
ﺧ
ﺖ
ه
ﻨﺪ
ﻨ
ﺖ
ﺘ
ﺔ
ا
ﺮ
أة
ا
ﺳ
نﺎ
ر
ﻰ
ﺳ
ﻮ
ل
ﷲا
ﺻ
ﺎ
ﺖ
رﺎ
ﺳ
ﻮ
ل
ﷲا
إ
ﱠن
ا
ﺳ
ﺎ
نﺎ
ر
ﺟ
ﺤ
ﺢ
ﺎ
ﻄ
ﻨ
ﻰ
ﻦ
ﱠﻨ ا
ﺔ
ﺎ
ﻜ
ﻨ
ﻰ
و
ﻜ
ﻰ
ﻨ
ﱠ
ا
ﻻ
ﺎ
ا
ﺧ
ﺬ
ت
ﻦ
ﺎ
ﻪ
ﻐ
ﺮ
ﻪ
ﻬ
ﱠ
ذ
ﻰ
ﻚ
ﺎ
ﺮ
و
ف
ﺎ
ﻜ
ﻚ
و
ﻜ
ﻨ
ﻚ
)
ﺘ
ﻪ
(
16Artinya : “ Dari Aisyah ra., beliau berkata : Hindun bin Utbah isteri abu
Sofyan setelah menghadap rasulullah saw dan berkata : Ya Rasulullah sesungguhnya Abu Sufyan itu adalah orang kikir, ia tidak suka memberi belanja yang cukup buat aku dan anak-anakku, melainkan dengan hartanya yang aku ambil tanpa s
12
Ibid, h.300
13
Al-Faqih Abu Walid Muhammad bin Ahmad bin Muhammad ibu Rusyd, Terjemah Bidayatul Mujtahid wa nihayatul Muqtashid (Analisa Fiqih Para Mujtahid), h.519
14
1 (satu) mud yaitu 6 ons gandum/beras
15
ibnu Rusyd, Terjemah Bidayatul Mujtahid, h.519
16Abdillah ‘Ali Ibn Al-jarudi Abu Muhammad An-Naisaburi, Muntaqi min as-Sunan
ر
ﺖ
ﻨ
ﺔ
ﺎ
ﻦ
ﺿ
ﷲاا
ﻨﻬ
ﺎ
ﻦ
ﱠﻨ ا
ﱢ
ا
ﻄ
ﱠ
ﺔ
ﺛ
ﺛ
ﺎ
لﺎ
:
ﻬ
ﺳﺎ
ﻜﻨ
ﻰ
و
ﺎ
ﺔ
)
ر
وا
(
17Artinya : “ Dari Fathimah bin Qais dari Nabi SAW bersabda bahwa ia telah ditalak tiga oleh suaminya baginya tidak ada hak tempat tinggal dan nafkah. (HR. Muslim)
c. Dasar Hukum Nafkah Hadanah dalam Hukum Undang-Undang Perkawinan
dan KHI
Adapun dalam masalah nafkah hadanah dalam Undang-undang No. 1 tahun
1974 Tentang Perkawinan dalam Pasal 41 dikemukakan akibat putusnya perkawinan
ialah bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan
yang diperlukan anak itu, bilamana bapak dalam kenyataan tidak dapat memenuhi
kewajiban tersebut, pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut langsung memikul
biaya tersebut.
Menurut Kompilasi Hukum Islam dalam pasal 80 disebutkan bahwa
perkawinan yang putus akibat perceraian menyebabkan hal-hal berikut ini sesuai
dengan penghasilannya suami menanggung biaya rumah tangga, biaya perawatan,
dan biaya pengobatan bagi isteri dan anak serta biaya pendidikan bagi anak. Begitu
juga dalam pasal 149 bilamana perkawinan putus karena talak, maka bekas suami
17
21
wajib memberikan biaya hadanah untuk anak-anaknya yang belum mencapai umur 21
tahun.
Ketentuan yang terkandung dalam Pasal 41 Undang-undang perkawinan
maupun dalam KHI tersebut, tampak bahwa tanggung jawab seorang ayah kepada
anaknya tidak dapat gugur walaupun ia sudah bercerai dengan istrinya atau ia sudah
kawin lagi.18
3. Kadar Nafkah Hadanah
Tentang penentuan ukuran nafkah yang harus diberikan suami kepada isteri
dan anak-anaknya baik pada waktu perkawinan atau setelah perceraian tidak diatur
batas-batasnya hanya diatur secara umum yaitu menurut kemampuan suami.
Namun ketika suami menentukan pemberian nafkah pada isteri atau anaknya,
maka hendaklah diperhatikan beberapa hal, yaitu ;
a. Hendaklah jumlah nafkah itu mencukupi keperluan isteri ndalam memelihara dan
mengasuh anak dan disesuaikan keadaan kemampuan mantan suami, baik yang
berhubungan dengan sandang, pangn, maupun pendidikan anak.
b. Hendaklah nafkah itu ada pada waktu yang tepat, yaitu ketika mantan isteri itu
membutuhkan atau dengan cara ditentukan waktunya.
18
c. Sebaiknya ukuran nafkah tersebut didasarkan pada kebutuhan pokok dan
pendidikan anak, dan hal ini disesuaikan keadaan perekonomian di masyarakat.19
Dengan demikian, kadar nafkah keluarga bagi isteri atau anak pada waktu
perkawinan atau setelah perceraian yang menjadi tanggung jawab suami harus
disesuaikan dengan :
1). Kemampuan Suami
Dalam nafkah keluarga begitu juga nafkah anak baik pada waktu perkawinan
atau setelah perceraian, bahwa isteri dituntut untuk tidak membebani suami diluar
kemampuannya. Suami hanya berkewajiban memberikan nafkah sesuai dengan
kemampuannya. Seperti dijelaskan dalam surat at-Talaq ayat 7 :
☺
Artinya : “hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. dan orang yang disempitkan rezkinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekedar apa yang Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan”
2). Tidak Kikir dan berlebihan
Jika suami bakhil, tidak memberi nafkah secukupna kepada isteri tanpa alasan
yang benar, maka isteri berhak menuntut jumlah nafkah tertentu baginya dan
19
23
anaknya. Dan hakim boleh memutuskan beberapa jumlah nafkah yang harus diterima
oleh isteri serta mengharuskan suami untuk membayarnya jika tuduhan-tuduhan yang
dilontarkan oleh isteri ternyata benar. Hal ini sesuai dengan firman Allah dala surat
al-isra’ ayat 29 yaitu :
⌧
Artinya : “Dan janganlah kamu jadikan tanganmu terbelenggu pada
lehermu dan janganlah kamu terlalu mengulurkannya. karena itu kamu menjadi
tercela dan menyesal”.
Maksud dari ayat tersebut adalah jangan terlalu kikir dan jangan pula pemurah
karena berlaku kikir dalam memberi nafkah keluarga sangat dikecam oleh Rasulullah
SAW.
4. Batas Usia Pemberian Nafkah Hadanah
Dalam al-Qur’an dan hadits juga tidak diterangkan dengan tegas masa
memberikan nafkah hadanah, hanya ada isyarat-isyarat ayat yang menjelaskan hal itu.
Oleh karena itu para ulama’ berijtihad sendiri dengan pedoman isyarat-isyarat
tersebut.
Seperti mazhab Hanafi yang berpendapat bahwa masa nafkah untuk anak
laki-laki berakhir pada saat tersebut tidak lagi memerlukan penjagaan dan telah dapat
telah baligh atau telah dapat masa haid pertamanya.20 Yaitu anak laki-laki telah
berumur 7 tahun dan perempuan telah berumur 9 tahun. 21
Yang dijadikan ukuran ialah tamyiz dan kemampuan untuk berdiri sendiri.
Jika sianak kecil dapat membedakan mana yang benar dan salah, tidak membutukan
pelayanan perempuan dan dapat memenuhi kebutuhannya sendiri, maka hadanah
telah habis.
Dalam hal ini terdapat beberapa perbedaan diantara imam mazhab, dan untuk
lebih jelasnya dibawah ini dikemukakan beberapa pendapat tentang batasan seorang
anak berhak mendapatkan hadanah :
a. Golongan Hanafiyah mengatakan bahwa masa asuh anak adalah sampai 7 tahun
dan menurut sebagian lainnya adalah 9 tahun22.
b. Golongan Malikiyah berpendapat bahwa masa hadnah berlangsung sejak dia lahir
sampai dewasa. Jika ia punya ibu, maka ibulah yang mengasuhnya sampai dewasa
lalu gugurlah hak hadanah tersebut. Dan mengenai biaya nafkahnya tetap
kewajiban atas ayah.
20
M. Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam suatu Analisi dari Undang-undang No. 1
Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam, h. 185
21
Sayid Sabiq, Fiqh a-Sunnah, h.187
22
25
c. Golongan Syafi’iyah mengatakan tidak ada batasan waktu bagian pengasuhan.
Sesungguhnya anak kecil berhak memilih antar ayah dan ibunya dan siapa yang
dipilih olehnya, maka dialah yang berhak atasnya.
d. Golongan Hanabilah mengatakan bahwa masa hadanah baik laki-laki maupun
perempuan yang berumur 7 tahun23. Tetapi jika anak berumur 7 tahun dan kedua
orang tuanya sepakat agar salah satu dari mereka yang mengasuhnya, maka
dibolehkan. Dan jika keduanya berselisih maka anak disuruh memilih.
Didalam KHI pasal 98 ayat 1 dijelaskan bahwa batas usia anak untuk
mendapatkan pemeliharaan adalah sampai ia mampu berdiri sendiri atau dewasa (21
tahun), sepanjang anak tersebut tidak bercacat fisik maupun mental atau belum
pernah melangsungkan perkawinan.
5. Hak dan Kewajiban memberi Nafkah Hadanah
Dalam pemeliharaan anak setelah terjadinya perceraian antara suami isteri,
maka ibulah yang paling berhak mengasuhnya. Hal ini ditentukan dalam pasal 156 (a)
KHI yaitu akibat putusnya perkawinan karena perceraian ialah anak yang belum
mumayiz berhak mendapatkan hak hadanah dari ibunya.
Dalam Undang-Undang No.1 Tahun 1974 Pasal 41 (a) disebutkan bahwa
“ Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya,
semata-mata berdasarkan kepentingan anak, bilamana ada perselisihan mengenai
pengasuhan anak pengadilan memberi keputusannya”.
23
Para imam mazhab sepakat bahwa hak memelihara ada pada ibu selama ibu
belum bersuami lagi, tetapi bila ia telah bersuami lagi dan sudah disetubuhi, maka
gugurlah hak untuk memelihara anaknya. Jika terjadi perbedaan pendapat tentang
pemeliharaan anak maka undang-undang menyerahkan kebijaksanaan dan keputusan
pada hakim dengan pedoman bahwa kemaslahatan anak harus diutamakan24.
Meskipun yang berhak memlihara anak adalah ibu, namun dalam hal biaya
pemeliharaan anak ( nafkah hadanah) tetap menjadi kewajiban ayah menurut
kemampuannya, sebagaimana dalam al-Quran disebutkan dalam surat al-Baqarah
ayat 233 yang artinya :
“ ….dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian pada ibu dan anak dengan cara yang makruf…”
Maksud dari ayat tersebut telah berlaku dan diterapkan dalam KHI pasal 156
(d) dan (f) yaitu : Akibat dari putusnya perkawinan karena perceraian ialah (d) semua
biaya hadanah dan nafkah anak menjadi tanggung jawab ayah sesuai dengan
kemampuannya, sekurang-kurangnya sampai anak tersebut dewasa dan dapat berdiri
sendiri. (f) Pengadilan dapat pula dengan mengingat kemampuan ayahnya
menetapkan jumlah biaya pemeliharaan dan pendidikan anak yang tidak turut
padanya.
Sebagaimana dalam UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Pasal 45
1.Kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka
sebaik-baiknya
27
2.Kewajiban orang tua yang dimaksud ayat (1) pasal ini berlaku sampai anak itu
kawin atau dapat berdiri sendiri. Kewajiban mana berlaku terus meskipun perkawinan antara kedua orang tua putus.
Dan dalam KHI Pasal 80 (d) Sesuai dengan penghasilan suami menanggung :
1. Nafkah, kiswah dan tempat kediaman bagi isteri
2. Biaya rumah tangga, biaya perawatan dan biaya pengobatan bagi isteri dan anak 3. Biaya pendidikan anak.
Dan dalam membangun keluarga tidak akan tercapai keluarga yang bahagia
tanpa tercukupnya nafkah. Dan hal ini merupakan kewajiban suami sebagai kepala
keluarga, meskipun telah terputus perkawinannya. Sebagaimana firman Allah Swt
dalam surat an-Nisa ayat 34 :
☺
☺
⌧
☺
⌧
☺
⌧
⌧
⌧
Artinya : “Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh
Dari ayat diatas Imam ash-Shabuni menyatakan bahwa kaum pria memiliki
wewenang untuk mengeluarkan perintah maupun larangan yang wajib ditaati oleh
para wanita (istri-istrinya) serta memiliki kewajiban untuk memberikan belanja
(nafkah) dan pengarahan sebagaimana kewajiban seorang wali (penguasa) atas
rakyatnya25.
karena itu suami harus menyadari kewajiban dan tanggung jawabnya dalam
memenuhi nafkah untuk isteri dan anak-anaknya. Maka suami hendaknya berusaha
sekuat tenaga, agar dapat mencukupi nafkah bagi isteri dan anak-anaknya dengan
nafkah yang halal dan diperoleh dengan jalan yang diridhoi Allah SWT. Suami tidak
pantas jika berpangku tangan dan tidak selayaknya berlaku kikir terhadap orang yang
menjadi tanggung jawabnya.
25
29
BAB III
TINJAUAN UMUM TENTANG PUTUSAN VERSTEK
1. Pengertian Putusan Verstek
Menurut bahasa verstek ialah putusan tidak hadir, dalam kamus hukum ialah
keputusan sidang atau vonis yang diberikan oleh hakim tanpa hadirnya
tergugat/terdakwa.1Menurut istilah Putusan verstek adalah putusan yang dijatuhkan
diluar hadirnya tergugat.
Pengadilan Agama sebagai lembaga peradilan berfungsi memberikan solusi
dan jalan tengah terhadap dua pihak atau lebih yang berbenturan dalam hak-hak
mereka, dengan harapan tercipta suatu perdamaian, ketertiban dan tidak ada salah
satu pihak yang dirugikan. Karena tugas mendamaikan adalah salah satu tugas
pengadilan sesuai dengan asasnya, namun karena pihak-pihak yang berkepentingan
salah satunya tidak puas dengan hak mereka maka pemeriksaan di pengadilan dalam
upaya mendamaikan telah gagal. Namun sebagai lembaga peradilan yang mempunyai
tugas untuk menyelesaikan perkara tetap akan menjalankan peradilan sebagaimana
mestinya dengan jalan untuk mendapatkan putusan yang seadil-adilnya, meskipun
ada salah satu pihak yang tidak hadir dalam suatu persidangan.
Dalam perkara perdata, kedudukan hakim sebagai penengah diantara pihak
yang berperkara, sehingga memeriksa dengan meneliti terhadap pihak-pihak yang
1
berperkara, itulah sebabnya dalam perkara perdata pihak-pihak pada prinsipnya harus
hadir semua dimuka sidang.
Pada dasarnya verstek adalah pernyataan bahwa tergugat tidak hadir dalam
persidangan, meskipun ia menurut hukum harus datang. Namun mungkin terjadi
seorang tergugat atau seorang pemohon tidak hadir dalam persidangan, walaupun
telah dipanggail secara patut. Dari ketidakhadiran salah satu pihak tersebut akan
menimbulkan persoalan-persoalan dalam proses pemeriksaan perkara. Dalam artian
apakah perkara itu akan diputus oleh hakim dalam bentuk gugurnya gugatan atau
ditundanya waktu pemeriksaan atau diputus dengan putusan tanpa hadirnya tergugat
atau termohon yaitu diputus secara verstek. Seperti yang ada dalam ketentuan pasal
125 HIR, dijelaskan :
“Jika tergugat tidak hadir pada hari perkara akan diperiksa atau tidak pula menyuruh orang lain untuk menghadap mewakilinya, meskipun orang itu di
panggil secara patut, maka gugatan itu dapat diputus dengan tak hadir (verstek)”.
Dari pasal tersebut dapat diperoleh pengertian yang mendasar tentang verstek
dan juga dapat dipahami tentang hari perkara akan diperiksa dapat berarti hari sidang
pertama, tetapi juga pada hari sidang kedua dan seterusnya2. Hal ini beralasan karena
berdasarkan pasal 126 HIR yang berbunyi :
“ Apabila tergugat tidak hadir, padahal ia telah dipanggil secara sah, maka hakim dapat menjatuhkan dengan putusan verstek atau menunda sidang untuk
memanggil tergugat sekali lagi”.
2Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, (Yogyakarta : Liberty, 1999),
31
Jika hal itu terjadi maka ketika putusan dijatuhkan pada hari sidang kedua
tanpa hadirnya tergugat, maka putusan tersebut tetap merupakan putusan verstek.
Begitu juga jika hakim tetap menunda untuk sidang yang ketiga dan memutusnya
tanpa hadirnya tergugat maka putusan tersebut tetap disebut sebagai putusan verstek3.
2. Syarat-Syarat Untuk Menjatuhkan Putusan Verstek
Menurut hukum acara yang berlaku dalam KUH Perdata, tergugat yang telah
dipanggil secara patut, tidak datang pada waktu yang ditentukan atau tidak menyuruh
orang lain menghadap sebagai wakilnya, maka perkara tersebut diputus verstek, dan
tergugat dianggap kalah.
Putusan verstek tidak dapat diputus begitu saja hanya dengan alasan bahwa
tergugat dipanggil dengan patut dan ia tidak datang menghadap sendiri atau tidak
mengirimkan wakilnya. Karena untuk menjatuhkan putusan verstek harus dipenuhi
syarat-syarat sebagimana telah diatur dalam pasal 125 HIR.
Dalam pasal HIR pasal 125 menentukan bahwa untuk menjatuhkan putusan
verstek yang bersifat mengabulkan gugatan diharuskan gugatan diharuskan adanya beberapa syarat sebagai berikut :
a.Tergugat atau para tergugat kesemuanya tidak datang pada hari sidang yang telah
ditentukan;
b.Tergugat tidak mengirimkan wakil/kuasanya yang syah untuk menghadap;
c.Tergugat kesemuanya telah dipanggil dengan patut;
3
d.Petitum (gugatan) tidak melawan hukum;
e.Petitum beralasan.
Syarat-syarat tersebut harus benar-benar diperiksa oleh pengadilan sebelum
memutuskan perkara dengan putusan verstek. Karena tidak terpenuhinya salah satu
syarat tersebut diatas dapat mengakibatkan perkara ditolak atau tidak diterima.
Namun sebelum pengadilan memutus dengan verstek, pengadilan dapat (tidak
imperatif) memanggil sekali lagi tergugat4.
3. Akibat Hukum Putusan Verstek
Kehadiran para pihak pada suatu persidangan merupakan hak, bukan
kewajiban yang bersifat imperatif. Dan hukum telah menyerahkan sepenuhnya
kepada tergugat untuk mempergunakan haknya untuk membela kepentingannya.
Hakim dalam acara peradilan dapat menerapkan acara verstek jika
syarat-syaratnya terpenuhi maka hakim secara langsung dapat memutus verstek. Tindakan
tersebut dapat dilakukan berdasarkan jabatan atau ex officio, meski tidak ada
permintaan dari pihak penggugat. Apabila hakim hendak memutus dengan verstek
maka bentuk putusan yang dapat dijatuhkan berdasarkan pasal 125 ayat (1) HIR dapat
berupa, mengabulkan gugatan penggugat, pada prinsipnya hakim yang memutus
secara verstek harus menjatuhkan putusan dengan mengabulkan gugatan penggugat.
Namun tanggung jawab dari seorang hakim dalam penerapan acara verstek
adalah berat. Yaitu tanpa melalui pemeriksaan yang luas dan mendalam terhadap
4
33
fakta-fakta yang melekat pada sengketa. Maka dalam mengabulkan gugatan ada
beberapa pendapat yaitu :
a.Mengabulkan seluruh gugatan, maksudnya mengabulkan seluruh gugatan persis
seperti apa yang dirinci dalam petitum gugatan.
b.Mengabulkan sebagian gugatan, maksudnya adalah ketika seorang hakim dalam
memeriksa sebuah perkara dan salah satu pihak tidak hadir maka bukti yang
diperoleh tidak sempurna maka apabila cukup alasan yang dapat dikabulkannya
hanya untuk sebagian, hakim boleh memutus dengan mengabulkan sebagian saja5.
Setelah putusan tersebut dijatuhkan maka yang terjadi adalah eksekusi dari
putusan tersebut, berdasarkan pasal 128 HIR yang mengatur kapan kekuatan
eksekutorial melekat pada putusan verstek. Dalam pasal 128 HIR terdapat beberapa
batasan dalam melakukan elsekusi dari putusan verstek yaitu :
1) Selama jangka waktu mengajukan upaya hukum verzet belum melampaui,
dilarang menjalankan eksekui verstek.
2) Jangka waktu larangan adalah 14 hari dari tanggal pemberitahuan putusan
verstek kepada tergugat6.
Namun dalam keadaan yang sangat perlu maka putusan verstek dapat
dijalankan meskipun tenggang waktu mengajukan perlawanan belum lewat,
5
Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata, (Jakarta : Sinar Grafika, cet. 7, 2008), h. 397-398
6
pengecualian ini diatur dalam pasal 128 ayat (2). Ketika tergugat mengajukan
perlawanan terhadap putusan verstek (verzet) maka :
a) Mengakibatkan putusan ini mentah kembali dan perkara diperiksa kembali dari
keadaan semula sesuai dengan gugatan penggugat;
b) Dengan denikian perlawanan langsung meniadakan eksistensi putusan verstek,
sampai dijatuhkan putusan verzet;
c) Apabila putusan verzet menolak perlawanan maka elsistensi putusan verstek baru
timbul kembali dengan sifat yang permanen.
Di dalam putusan verstek memang sangat merugikan kepentingan penggugat,
karena tanpa hadir melakukan pembelaan ketika putusan dijatuhkan. Tetapi kerugian
itu wajar dibebankan kepada tergugat karena sikap yang tidak mentaati tata tertib
beracara pada sebuah peradilan. Jadi maksud utama sistem verstek dalam hukum
acara adalah untuk mendorong para pihak untuk mentaati tata tertib beracara,
sehingga proses pemeriksaan penyelesaian perkara terhindar dari anarki dan
kesewenangan.
4. Verstek dalam Fiqh
Keputusan yang dijatuhkan oleh hakim diluar hadirnya tergugat atau
termohon (verstek) dalam pengadilan islam dikenal dengan istilah Qadha ‘ala
al-Gaib7. Istilah ini berasal dari bahasa arab yang artinya memutus perkara tanpa
hadirnya mudda’a a’alaih (tergugat).
7
35
Memberikan keputusan atas ketidakhadiran salah satu pihak yang berpekara
itu ada dua macam pendapat, diantara para ulama yaitu :
a). Memberikan keputusan atas ketidak hadiran salah satu pihak adalah tidak boleh.
Sebab andaikata dibenarkan, niscaya kehadiran itu bukan merupakan suatu
kewajiban. Padahal apa yang tersirat dalam sabda Rasulullah SAW “fala taqdhi
bainahuma hatta tasma’a mina l-akhar kama sami’ta mina l-awwal” adalah menunjukkan kewajiban untuk hadir. Sebab orang yang tidak hadir tidak dapat
didengar keterangannya. Inilah pendapat yang dianut oleh Zaid bin ‘Ali dan Abu
Hanifah.
b). Seorang Qadhi dibolehkan memberikan keputusan atas ketidak hadir salah satu
pihak yang berperkara mengingat prinsip umum yang diistimbathkan dari putusan
Rasulullah s.a.w kepada Hindun untuk diperkenankan mengambil harta suaminya,
Abu Sufyan, tapa sepengathuannya8. Bunyi Hadits itu selengkapnya adalah
sebagai berikut :
ﺖ ﺎ
ﺻ
ﷲا
لﻮﺳر
ﻰ
نﺎ ﺳ
ا
ةأﺮ ا
ﺔ ﺘ
ﺖﻨ
ﺪﻨه
ﺖ ﺧد
ﺖ ﺎ
ﺔ ﺋﺎ
ﻦ
ﺎ
ﻻا
ﱠ ﻨ
ﻰ ﻜ و
ﻰﻨ ﻜ ﺎ
ﺔ ﱠﻨ ا
ﻦ
ﻰﻨ ﻄ ﺎ
ﺢ ﺤ
ﺟر
نﺎ ﺳ
ﺎ ا
ﱠنإ
ﷲا
لﻮﺳرﺎ
ﺧا
ﻪ ﺎ
ﻦ
ىﺬﺧ
لﺎ
؟حﺎﻨﺟ
ﻦ
ﻚ ذ
ﻰ
ﱠ
ﻬ
ﻪ
ﺮ ﻐ
ﻪ ﺎ
ﻦ
تﺬ
ﻚ ﻨ
ﻜ
و
ﻚ ﻜ
ﺎ
فوﺮ ﺎ
)
ﻪ
ﺘ
(
9
8Fatchur Rahman, Hadits-Hadits Tentang Peradilan Agama, (Jakarta : Bulan Bintang,1993),
h. 194
9Abdillah ‘Ali Ibn Al-jarudi Abu Muhammad An-Naisaburi, Muntaqi min as-Sunan
Artinya : “ Dari Aisyah ra., beliau berkata : Hindun bin Utbah isteri abu Sofyan setelah menghadap rasulullah saw dan berkata : Ya Rasulullah sesungguhnya Abu Sufyan itu adalah orang kikir, ia tidak suka memberi belanja yang cukup buat aku dan anak-anakku, melainkan dengan hartanya yang aku ambil tanpa setahu dia, apakah itu berdosa bagiku. Maka beliau berkata : Ambillah hartanya yang cukup buatmu dan anak-anakmu dengan cara yang baik”. (HR. Bukhori Muslimi)
Pada prinsipnya berperkara yaitu penggugat dan tergugat serta saksi yang
terkait dengan perkara, harus hadir dalam sidang pemeriksaan, namun adakalanya
dengan berbagai alasan, tergugat tidak hadir dalam sidang pemeriksaan. Hal ini akan
menimbulkan suatu hambatan yang mengganggu jalannya persidangan.
Namun dalam menegakkan syari’at islam yang menghendaki kebenaran maka
tidak boleh menetapkan sesuatu yang bertentangan dengan syariat. Oleh karena itu
hakim dibolehkan memutus tanpa hadirnya tergugat (verstek)10 tetapi dengan syarat
gugatannya harus jelas dan benar-benar terjadi dan juga mempunyai bukti-bukti. Jika
hal ini tidak dilaksanakan maka akan menimbulkan kerugian pada salah satu pihak
dan hal ini bertentangan dengan tujuan syari’at.
10
37
BAB IV
TINJAUAN FIQH TERHADAP PENETAPAN NAFKAH HADANAH
DALAM PERKARA PUTUSAN VERSTEK
A. Kronologis Perkara Putusan Pengadilan Agama Jakarta Barat dan Putusan Pengadilan Agama Jakarta Pusat
1. Putusan Pengadilan Agama Jakarta Barat a. Duduk Perkara
Pada tanggal 23 Februari 2009 di Pengadilan Agama Jakarta Barat telah
diajukan gugatan seorang istri yang telah dicatat dan didaftarkan pada Nomor
207/Pdt.G/2009/PA.JB. Penggugat adalah seorang istri dari tergugat yang telah
melangsungkan pernikahan pada tanggal 20 Juni 1998 sebagaimana tercatat dikutipan
akta nikah nomor : 439/76/VI/1998 tanggal 22 Juni 1998 yang dikeluarkan oleh
Kantor Urusan Agama Kecamatan Duren Sawit, kota Jakarta Timur DKI Jakarta.
Penggugat yang bernama HC1 yang berumur 35 tahun, beragama Islam,
pekerjaan karyawati swasta, bertempat tinggal di Jalan Mandala Tengah No. 53 RT.
015, RW. 004, Kelurahan Tomang Kecamatan Grogol Petamburan, Kota Jakarta
Barat telah menggugat tergugat yang bernama MWC2 umur 36 tahun, agama Islam,
pekerjaan tidak ada, bertempat tinggal di Jalan Latumanten III No. 23 RT. 013, RW.
011 Kelurahan Jelambar, Kecamatan Grogol Petamburan, Kota Jakarta Barat. Setelah
1
Penulis memberi nama dengan inisial singakatan untuk menjaga kerahasiaan
2
menikah keduanya bertempat tinggal bersama sebagai suami-istri di Jalan Makaliwe I
No. 5 RT. 001, RW. 07 Jakarta Barat. Selama pernikhan penggugat dan tergugat
hidup rukun sebagaimana layaknya suami istri dan telah dikaruniai 2 orang anak
masing-masing bernama AAQ umur 11 tahun dan SAA umur 4 tahun.
Awalnya kedua pasangan tersebut hidup rukun, namun sekitar bulan Maret
2005 ketentraman rumah tangga penggugat dan tergugat mulai goyah dikarenakan
tergugat melakukan kekerasan dalam rumah tangga dan tidak memberi nafkah lahir
kepada penggugat sejak Juli 1998 sampai dengan sekarang. Puncak perselisihan dan
pertengkaran terjadi pada bulan Maret 2007 yang akibatnya penggugat dan tergugat
pisah tempat tinggal.
Sehubungan dengan itu pada tanggal 23 Februari 2009 HC mengajukan gugat
cerai terhadap MWC selaku tergugat di kepaniteraan Pengadilan Agama Jakarta Barat.
Dalam surat gugatan tersebut berisikan tuntutan (petitum) agar majelis hakim
mengambil keputusan sebagai berikut :
1. Mengabulkan gugatan penggugat
2. Menjatuhkan talak satu bain sugro tergugat terhadap penggugat.
3. Menetapkan seorang anak yang bernama SAA umur 4 tahun diasuh dan dipelihara
oleh penggugat
4. Menghukum tergugat untuk memberikan nafkah anak kepada penggugat sebesar
Rp. 1.000.000,- perbulan sampai anak dewasa dan mandiri diluar biaya kesehatan
dan pendidikan.
39
b. Temuan Fakta
Penggugat dalam gugatannya mengajukan dalil-dalil yang menjadi dasar
gugatan. Juga telah diperkuat dengan mengajukan alat-alat bukti surat yaitu :
- Fotokopi buku Kutipan Akta Nikah No. 439/76/VI/1998 dikeluarkan kepala
KUA kecamatan Duren Sawit, Kota Jakarta Timur tanggal 22 Juni 1998 untuk
dapat memperkuat dalil hukum telah terjadi suatu perikatan yang dilakukan oleh
subyek hukum yang berperkara.
- Fotokopi Kutipan Akta kelahiran No. 4.709/DISP/JB/2002/1998, atas nama
AAQ dikeluarkan oleh Kepala Suku Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil
Kota Jakarta Barat.
Data tersebut diperkuat lagi dengan keterangan dari satu orang saksi keluarga
penggugat yaitu DC adalah ayah kandung penggugat berumur 74 tahun. Keterangan
saksi di persidangan mendukung berkesesuaian dengan pernyataan dan dalil-dalil
dalam gugatan.Namun penggugat tidak dapat mengajukan lagi saksi atau alat bukti
lain, kemudian penggugat mengucapkan sumpah pelengkap (sumpah supletoir) untuk
menguatkan dalil-dalil gugatannya.
Selama persidangan suami selaku tergugat tidak mau menghadirinya,
sehingga tidak ada dokumen hukum yang diserahkan ke hadapan majelis hakim.
Namun tergugat harus menerima kekalahan di persidangan. Dan majelis hakim akan
menjatuhkan putusan secara verstek karena tergugat tidak hadir. Hal ini dapat
dan patut dengan bukti adanya relaas panggilan yang disampaikan oleh petugas (juru
sita) pada tanggal 4 dan 18 Maret 2009.
c. Pertimbangan Hukum
Didalam putusan pada perkara No. 207/Pdt.G/2009/PA.JB. majelis hakim
memutus dengan pertimbangan hukum sebagai berikut ;
1. Memutus tanpa kehadiran dari tergugat (verstek) karena tergugat telah dipanggil
dengan sah dan patut sesuai dengan relaas panggilan pada tanggal 4 dan 18 Maret
2009 dan sesuai dengan pasal 125 (1) HIR dan 126 HIR.
2. Sesuai dengan bukti-bukti dan temuan fakta serta dikuatkan dengan sumpah
pelengkap pada persidangan dan masuk dalam kompetensi Pangadilan Agama
Jakarta Barat untuk memutus perkara tersebut dengan mengabulkan gugatan yaitu;
menjatuhkan talak bain sughro tergugat terhadap penggugat. Karena gugatan
terbukti beralasan dan sesuai dengan maksud pasal 5 dan 6 Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2004 Tentang KDRT sehingga tidak mungkin lagi didamaikan
untuk hidup rukun sebagai suami istri, hal mana telah sesuai dengan maksud pasal
39 ayat (2) Undang Nomor 1 tahun 1974 jo pasal 70 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama serta telah memenuhi
alasan perceraian dalam pasal 19 huruf f Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun
1975 jo pasal 116 huruf (f) Kompilasi Hukum Islam.
3. Menetapkan anak bernama AAQ, lahir 9 Desember 2006, berada dibawah
41
4. Menghukum tergugat untuk memberikan nafkah anak kepada penggugat sebesar
Rp. 500.000,- perbulan sampai anak tersebut dewasa. Hal ini sesuai dengan
keterangan saksi bahwa selama berkeluarga tergugat dan penggugat mempunyai
anak. Maka berdasarkan pasal 45 ayat (1) dan ayat (2) Undang-undang Nomor 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan sebagaimana telah diubah dengan
Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 jo pasal 105 c Kompilasi Hukum Islam, bahwa
sebagai orang tua tetap berkewajiban atas pendidikan dan pemeliharaan anak
sampai anak kawin atau dapat berdiri sendiri meskipun kedua orang tuanya telah
putus.
Pertimbangan hakim dalam memutus perkara tersebut untuk merespon
tuntutan (petitum) yang dimohonkan oleh penggugat. Maka majelis hakim
mengabulkan sebagian gugatan penggugat dipandang patut dan adil karena tidak
ditemukan fakta tentang penghasilan tetap tergugat.
d. Pertimbangan Hakim Dalam Menetapkan Nafkah Hadanah dalam Putusan Verstek
Dalam persidangan perkara No 207/Pdt.G/2009/PA.JB. Tergugat tidak pernah
hadir dalam persidangan dan telah dipanggil secara patut dan sah. Maka hakim dapat
memutuskan perkara tersebut tanpa kehadiran tergugat (verstek).
Karena hakim menerima gugatan tersebut secara verstek, apalagi yang
menjadi putusan hakim tersebut terkait dengan adanya penetapan nafkah
pemeliharaan anak yang dibebankan kepada mantan suami yang tidak hadir dalam
hakim dituntut untuk sungguh-sungguh dalam memeriksa perkara dengan keterangan
satu pihak saja.
Dalam perkara No 207/Pdt.G/2009/PA.JB yang diputus secara verstek dengan
membebankan kepada tergugat yang tidak hadir untuk memberikan nafkah
pemeliharaan anak (nafkah hadanah), jika dikaitkan dengan pendapat ulama bahwa
pemberian nafkah ditentukan berdasarkan kemampuan suami bukan berdasarkan
kebutuhan. Maka bagaimana pertimbangan hakim dalam menetapkan kemampuan
suami yang tidak hadir? Hakim akan menentukan kadar pemberian nafkah
berdasarkan pekerjaan suami seperti apa yang ada di dalam surat gugatan. Disamping
itu hakim mempertimbangkan dari pembuktian3. Dalam perkara tersebut tergugat
tidak diketahui pekerjaannya namun mempunyai sebuah kontrakan dan hakim
menentukan jumlah nafkah berdasarkan pertimbangan dari pekerjaan dan tuntutan
tergugat.
Selain hal tersebut hakim didalam proses pemeriksaan melihat dan mengamati
dari keterangan pihak serta keterangan saksi bagaimana tanggung jawab suami dalam
menafkahi keluarga, apakah layak untuk dibebani nafkah bagi pemeliharaan anak
atau tidak. Dalam perkara ini hakim membebankan nafkah karena selain dari
keterangan didalam persidangan tergugat juga tidak hadir tanpa ada alasan yang tidak
3Wawancara dengan Muhyiddin, Hakim Pengadilan Agama Jakarta Barat Pada Hari Kamis
43
jelas dalam persidangan berarti tergugat (suami) juga lalai pada kewajibannya kepada
anak dan istri.
Didalam penetapan nafkah hadanah tidak dapat menentukan kesejahteraan
anak dikemudian hari karena hal tersebut berkaitan dengan keadaan dan waktu, tetapi
bagi hakim yang terpenting adalah :
1). Perhatian Ayah kepada anak dapat tercapai
2). Putusan pengadilan dapat dijadikan sebagai alat bagi istri untuk mendapatkan
nafkah baginya dan anak-anaknya4.
3). Dengan adanya putusan tersebut istri dapat meminta eksekusi jika dikemudian
hari suami lalai dalam kewajibannya.
2. Putusan Pengadilan Agama Jakarta Pusat a. Duduk Perkara
Pemohon adalah seorang laki-laki yang bernama IM bin HM berusia 35 tahun
dan beragama Islam, pekerjaan wiraswasta dan bertempat tinggal di Jalan Setia
Kawan IV RT. 012, RW. 07 No. 03 Kelurahan Puri Pulo Kecamatan Gambir Jakarta
Pusat.
Pemohon mengajukan surat permohonan kepada Ketua Pengadilan Agama
Jakarta Pusat yang isinya mohon untuk mengucapkan ikrar talak kepada istrinya yang
bernama NY bin W umur 27 tahun, beragama Islam, pekerjaan ibu rumah tangga dan
4Wawancara pribadi dengan Muhyiddin, Hakim Pengadilan Agama Jakarta Barat Pada Hari
bertempat tinggal di Jalan Kp. Duri Barat RT. 011, RW. 008 No. 09 Kelurahan Duri
Pulo Kecamatan Gambir Jakarta Pusat.
Pada tanggal 07 Juli 2001 pemohon dan termohon melangsungkan pernikahan
yang dicatat oleh pegawai pencatat nikah Kantor Urusan Agama Kecamatan Jakarta
Pusat dengan Kutipan Akta Nikah No : 297/18/VII/2001 tanggal 09 Juli 2001.
Setelah melangsungkan pernikahan, keduanya hidup bersama dirumah orang tua
termohon selama 5 tahun dan telah hidup rukun sebagaimana layaknya suami istri
serta dikaruniai dua orang anak yang bernama OND berusia 7 tahun dan OPUD
berusia 5 tahun. Namun sejak bulan Juni tahun 2007 ketentraman rumah tangga
pemohon dan termohon mulai goyah karena seringkali terjadi perselisihan dan
pertengkaran yang disebabkan termohon sering meninggalkan rumah kediaman
bersama tanpa tujuan dan alasan yang sah serta izin pemohon, termohon lebih
mementingkan diri sendiri dari pada kepentingan pemohon dan anaknya dan
termohon seringkali membantah perkataan pemohon serta tidak mau diajak untuk
pindah ke rumah bersama yang telah dibuat pemohon dengan alasan termohon tidak
sanggup mengurus anak sendirian. Karena perselisihan tersebut pemohon dan
termohon sudah tidak serumah lagi dan tidak ada ikatan lahir dan bathin sejak tahun
2007 sampai sekarang.
Sehubungan dengan itu, maka pada tanggal 14 Oktober 2009, IM bin HM
sebagai pemohon mengajukan permohonan cerai talak kepada Pengadilan Agama
Jakarta Pusat dibawah nomor : 696/Pdt.G/2009/PA.JP. dalam permohonan tersebut
45
1. Mengabulkan permohonan pemohon
2. Menetapkan memberi izin kepada pemohon untuk menjatuhkan talak satu roj’i
kepada termohon.
3. Menghukum pemohon untuk membayar/memberikan nafkah selama iddah sebesar
Rp. 300.000 kepada termohon
4. Membebankan biaya perkara kepada pemohon.
b. Temuan Fakta
Pemohon dalam surat permohonannya mengajukan dalil-dalil yang menjadi
permohonannya atau tuntutannya (petitum). Dalil-dalil tersebut diperkuat dengan
mengajukan alat-alat bukti surat dan dua orang saksi
Dalam perkara tersebut pemohon mengajukan alat bukti surat yaitu foto copy
kutipan Akta Nikah Nomor : 297/18 VII/2001 tanggal 09 Juli 2001 yang dikeluarkan
Kantor Urusan Agama Kecamatan Gambir Jakarta Pusat dan Foto copy Kutipan Akta
Kelahiran dari Suku Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kota Madya Jakarta
Pusat No. 3518/U/JP2005 tanggal 24 Maret 2005 serta No. 5062/U/JP2005 tanggal
16 April 2002. Foto copy dari surat tersebut sudah diperiksa keasliannya oleh majelis
hakim dan dapat diterima sebagai alat bukti tertulis atau surat-surat yang dikualifikasi
sebagai akta outentik yang memiliki kekuatan pembuktian sempurna. Keterangannya
tak terbantahkan, kecuali ada bukti yang sebaliknya. Hal ini untuk memperkuat dalil
hukum tentang terjadinya suatu perkawinan yang dilakukan oleh subjek hukum yang
Fakta hukum yang diperoleh dari akta atau surat resmi diperkuat dengan
keterangan dua orang saksi yang diajukan oleh pemohon. Saksi pertama adalah kakak
kandung pemohon, dan kedua adalah saudara sepupu pemohon. Keterangan dari
kedua saksi di persidangan menguatkan pernyataan dan dalil-dalil hukum dalam surat
permohonan dan saling bersesuaian peristiwa yang terjadi antara pemohon dan
termohon.
Selama persidangan termohon tidak hadir sehingga tidak ada dokumen hukum
yang diserahkan ke hadapan majelis hakim. Namun termohon harus menerima
kekalahan di persidangan. Dengan melihat bukti relaas panggilan pada : tanggal 14
Oktober 2009 dan tanggal 15 November 2009
c. Pertimbangan Hukum
Didalam putusan pada perkara No. 696/Pdt/G/2009/PA.JP. Majelis hakim
memutus dengan pertimbangan hukum sebagai berikut :
1. Memutus tanpa kehadiran dari termohon (verstek) karena Termohon telah
dipanggil dengan sah dan patut sesuai relaas panggilan pada tanggal 14 Oktober
2009 dan 15 November 2009 serta sesuai dengan pasal 125 HIR.
2. Sesuai dengan bukti-bukti dan temua fakta pada persidangan adalah kewenangan
Pengadilan Agama Jakarta Pusat untuk memutus perkara tersebut dengan
mengabulkan permohonan yaitu ; menjatuhkan talak satu roj’i pemohon terhadap
pemohon. Karena permohonan pemohon terbukti beralasan dan sesuai dengan
maksud pasal 39 Undang-undang No. 1 Tahun 1974 Jo pasal 19 huruf (f)
47
Islam dan tidak dapat terwujud tujuan perkawinan yang membentuk keluarga
yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Majelis hakim
juga telah berusaha mendamaikan dan tidak berhasil begitu juga para pihak
keluarga.
3. Menghukum pemohon untuk memberikan nafkah iddah sebesar Rp. 900.000,- ,
mut’ah sebesar Rp. 500.000,- dan nafkah 2 orang anak yag diasuh termohon
sebesar Rp. 1.000.000,- sa