• Tidak ada hasil yang ditemukan

Karakteristik Abses Leher Dalam Di SMF THT-KL RSUP. H. Adam Malik Medan Tahun 2006-2012.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Karakteristik Abses Leher Dalam Di SMF THT-KL RSUP. H. Adam Malik Medan Tahun 2006-2012."

Copied!
95
0
0

Teks penuh

(1)

KARAKTERISTIK INFEKSI LEHER DALAM

DI SMF THT-KL RSUP. H.ADAM MALIK MEDAN

TAHUN 2006-2012

Tesis

Oleh :

dr. Julia Maria Sari

PROGRAM PENDIDIKAN MAGISTER KEDOKTERAN KLINIK ILMU KESEHATAN TELINGA HIDUNG TENGGOROK

BEDAH KEPALA LEHER

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

(2)
(3)

KATA PENGANTAR

Dengan mengucapkan Bismillahirahmanirrahim, saya sampaikan

rasa syukur kehadiran Allah SWT karena dengan rahmat dan karunia-Nya

saya dapat menyelesaikan tesis ini sebagai salah satu syarat dalam

menyelesaikan pendidikan untuk memperoleh gelar Magister dalam

bidang Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok dan Bedah Kepala

Leher di Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara Medan. Saya

menyadari penulisan tesis ini masih jauh dari sempurna, baik isi maupun

bahasannya. Walaupun demikian, mudah-mudahan tulisan ini dapat

menambah perbendaharaan penelitian dengan judul KARAKTERISTIK

ABSES LEHER DALAM DI SMF THT-KL RSUP. H. ADAM MALIK MEDAN TAHUN 2006-2012.

Dengan telah selesainya tulisan ini, pada kesempatan ini dengan

tulus hati saya mengucapkan terima kasih yang tak terhingga dan

penghargaan setinggi-tingginya kepada yang terhormat:

Prof. Dr. dr. Abd.Rachman S., Sp.THT-KL(K) atas kesediaannya sebagai

ketua pembimbing penelitian ini, dr. Ida Sjailandrawati Harahap,

SpTHT-KL, dr. Harry A.Asroel,M.Ked, SpTHT-KL sebagai anggota pembimbing,

dan Prof. Dr. Albiner Siagian, Msi sebagai pembimbing ahli. Di tengah

kesibukan mereka, dengan penuh perhatian dan kesabaran, telah banyak

memberi bantuan, bimbingan, saran dan pengarahan yang sangat

bermanfaat kepada saya dalam menyelesaikan tulisan ini.

Dengan telah berakhirnya masa pendidikan magister saya, pada

kesempatan yang berbahagia ini perkenankanlah saya menyampaikan

penghargaan dan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

Yang terhormat Rektor Universitas Sumatera Utara, Bapak Prof. dr.

Syahril Pasaribu, Sp.A(K), DTM&H dan mantan Rektor Universitas

Sumatera Utara, Prof. dr. Chairuddin Panusunan Lubis, Sp.A(K), DTM&H,

yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk mengikuti

Program Magister Kedokteran Klinik di Departemen THT-KL Fakultas

(4)

Yang terhormat Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera

Utara Prof. dr. Gontar Alamsyah Siregar, Sp.PD(KGEH), atas kesempatan

yang diberikan kepada saya untuk mengikuti Program Magister

Kedokteran Klinik di Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

Yang terhormat Bapak Direktur RSUP. H. Adam Malik Medan, yang

telah mengizinkan peneliti untuk melakukan penelitian di rumah sakit yang

beliau pimpin dan telah memberi kesempatan pada saya untuk menjalani

masa pendidikan di RSUP. H. Adam Malik Medan.

Yang terhormat Ketua Departemen Ilmu Kesehatan Telinga Hidung

Tenggorok dan Bedah Kepala Leher Fakultas Kedokteran USU Prof. Dr.

dr. Abdul Rachman Saragih, Sp.THT-KL(K) dan Ketua Program Studi Ilmu

Kesehatan THT-KL Fakultas Kedokteran USU Dr. dr. Tengku Siti Hajar

Haryuna, Sp.THT-KL, Ketua Program Studi Ilmu Kesehatan THT-KL

Fakultas Kedokteran USU periode sebelumnya Prof. dr. Askaroellah

Aboet, Sp.THT-KL(K) yang telah memberikan izin, kesempatan dan ilmu

kepada saya dalam mengikuti Program Magister Kedokteran Klinik sampai

selesai.

Yang terhormat Guru-guru saya di jajaran Departemen THT-KL

Fakultas Kedokteran USU/RSUP. H. Adam Malik Medan, Prof. dr. Ramsi

Lutan, Sp.THT-KL(K), dr. Yuritna Haryono, Sp.THT-KL(K), Prof. dr.

Askaroellah Aboet, Sp.THT-KL(K), Prof. Dr. dr. Abdul Rachman Saragih,

Sp.THT-KL(K), dr. Muzakkir Zamzam, Sp.THT-KL(K), dr. Mangain

Hasibuan, Sp.THT-KL, dr. T.Sofia Hanum, Sp.THT-KL(K), Prof. Dr. dr.

Delfitri Munir, Sp.THT-KL(K), dr. Linda I. Adenin, Sp.THT-KL, dr. Ida

Sjailandrawati Hrp, Sp.THT-KL, dr.Adlin Adnan, Sp.THT-KL, dr. Rizalina

A. Asnir, Sp.THT-KL(K), dr. Siti Nursiah, Sp.THT-KL, dr. Andrina Y.M.

Rambe, Sp.THT-KL, dr. Harry Agustaf Asroel, M.Ked, Sp.THT-KL, dr.

Farhat, M.Ked(ORL-HNS), Sp.THT-KL(K), Dr. dr. Tengku Siti Hajar

Haryuna, Sp.THT-KL, dr. Aliandri, Sp.THT-KL, dr. Ashri Yudhistira,

M.Ked(ORL-HNS), Sp.THT-KL, dr. Devira Zahara, M.Ked(ORL-HNS),

Sp.THT-KL, dr. H.R. Yusa Herwanto, M.Ked(ORL-HNS), Sp.THT-KL, dr.

(5)

Sp.THT-KL. Terima kasih atas segala ilmu, keterampilan dan

bimbingannya selama ini.

Yang tercinta teman-teman sejawat PPDS Ilmu Kesehatan THT-KL

Fakultas Kedokteran USU, atas bantuan, nasehat, saran maupun

kerjasamanya selama masa pendidikan.

Yang tersayang Ayahanda dr. H. N. Rizal R.S., Sp.PD dan Ibunda

Hj. Irmayati, ananda sampaikan rasa hormat dan terima kasih yang tak

terhingga serta penghargaan yang setinggi-tingginya atas kasih sayang

yang telah diberikan dan dilimpahkan kepada ananda sejak dalam

kandungan, dilahirkan, dibesarkan dan diberi pendidikan yang baik serta

diberikan suri tauladan yang baik hingga menjadi landasan yang kokoh

dalam menghadapi kehidupan ini. Yang tersayang ayah mertua Drs. H.

Zainal Arifin Miraza dan ibu mertua Hj. Syahyarani, yang selama ini telah

memberikan dorongan dan restu untuk selalu menuntut ilmu

setinggi-tingginya. Dengan memanjatkan doa kehadirat Allah SWT, Ya Allah

ampunilah dosa kedua orang tua hamba serta sayangilah mereka

sebagaiman mereka menyayangi hamba sewaktu kecil, dan sayangi

jualah kedua mertua hamba sebagaimana mereka menyanyangi hamba,

amin amin amin ya robbalalamin.

Kepada suamiku tercinta dan tersayang dr. Syaiful Arief Miraza,

tiada kata yang lebih indah yang dapat diucapkan selain ucapan terima

kasih yang setulus-tulusnya atas pengorbanan tiada tara, cinta dan kasih

sayang, kesabaran, ketabahan, pengertian dan dorongan semangat yang

tiada henti-hentinya dan doa sehingga dengan penyertaan Tuhan akhirnya

kita sampai pada saat yang berbahagia ini.

Kepada seluruh keluarga, kerabat dan handai taulan yang tidak

dapat disebutkan satu persatu penulis mengucapkan terima kasih atas

limpahan kasih sayang dan tak henti-hentinya memberikan dorongan serta

doa kepada penulis.

Akhirnya izinkanlah saya mohon maaf yang setulus-tulusnya atas

segala kesalahan dan kekurangan saya selama mengikuti pendidikan ini,

(6)

selama mengikuti pendidikan kiranya mendapat balasan yang berlipat

ganda dari Tuhan, yang Maha Pemurah, Maha Pengasih dan Maha

Penyayang. Amin.

Medan, 22 November 2013

Penulis

(7)

KARAKTERISTIK INFEKSI LEHER DALAM DI SMF THT-KL RSUP. H. ADAM MALIK MEDAN TAHUN 2006-2012

ABSTRAK

Pendahuluan: Infeksi leher dalam merupakan infeksi leher pada ruang (potensial) diantara fasia leher, terdiri dari abses peritonsil, parafaring, retrofaring dan submandubula. Pada saat ini kasus infeksi leher dalam sudah jarang dijumpai sejak diperkenalkannya antibiotik. Namun infeksi leher dalam masih merupakan kasus kedaruratan THT-KL dikarenakan dapat mengakibatkan komplikasi yang berakibat fatal.

Tujuan: Mengetahui karakteristik infeksi leher dalam di SMF THT-KL RSUP. H. Adam Malik Medan Tahun 2006-2012

Metode: Penelitian deskriptif terhadap 40 penderita Infeksi leher dalam dari tahun 2006-2012.

Hasil Penelitian: Dari 40 penderita, 55% dijumpai abses submandibula, 32,5% abses peritonsil, 10,0% abses parafaring, dan 2,5% abses retrofaring. Pada abses submandibula dijumpai usia >50-60 tahun 40,9%, laki-laki 63,6%, keluhan terbanyak pembengkakan di leher 68,2%, dan disebabkan infeksi gigi 86,4%. Pada abses peritonsil, usia >20-30 tahun 30,8%, laki-laki 30,7%, keluhan sakit menelan 46,2%, dan terbanyak disebabkan oleh tonsilitis 53,8%. Pada abses parafaring, usia >20-30 tahun 50%, laki- laki 75%, keluhan sakit menelan 50%, dan penyebabnya tidak jelas 50%. Pada abses retrofaring, usia >20-30 tahun 100%, laki- laki 100%, keluhan sakit menelan 100%, dan disebabkan TBC 100%. Dari hasil kultur 22,5% tidak dijumpai pertumbuhan kuman, 85% tanpa penyakit penyerta, 85% tanpa komplikasi, 60% terapi dengan medikamentosa dan operatif dan 90% sembuh.

(8)

THE CHARACTERISTIC OF DEEP NECK INFECTIONS AT H. ADAM MALIK GENERAL HOSPITAL MEDAN IN 2006-2012

ABSTRACT

Introduction: A deep neck infection is a neck infection at the space (a potential) between the fascia of the neck, consists of peritonsil, parapharynx, retropharynx and submandibular abscesses. Currently, the case of deep neck infection is rarely found since the discovering of antibiotics. Deep neck infection is still a case of emergency in ENT-HNS cause resulting a fatal complications.

Purpose: To identify the characteristic of deep neck infection at H. Adam Malik General Hospital Medan in 2006-2012.

Method: A descriptive study of 40 patients in 2006-2012.

Result: From 40 patients, 55% were the submandibular abscess, 32,5% peritonsil abscess, 10,0% parapharynx abscess, and 2,5% retropharynx abscess. In the submandibular abscess, 40,9% were found at age> 50-60 years, 63,6% men, 68,2% with a main complaint of swelling in the neck, and 86,4% due to the tooth infection. In the peritonsil abscess, 30,8% were found at age> 20-30 years, 30,7% men, 46,2% with a main complaint of sore throat, and 53,8% due to tonsillitis. In the parapharynx abscess, 50% were found aged>20-30 years, 75% men, 50% with a main complaint of sore throat, and 50% the cause were not clear. In the retropharynx abscess, 100% were found at age> 20-30 years, 100% men, 100% with a main complaint of sore throat, and 100% due to tuberculosis. Of culture results 22,5% were found no growth of bacteria, 85% with no comorbidities, 85% without complications, 60% with medicament and operative therapy, and 90% healed.

(9)

KATA PENGANTAR

BAB 1. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang 1

1.2. Perumusan Masalah 3

1.3. Tujuan Penelitian 3

1.4. Manfaat Penelitian 4

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1.

2.2.

Definisi infeksi leher dalam

Etiologi dan Patogenesis

5

5

2.3. Gejala klinis dan Diagnosis 6

2.4. Pemeriksaan Penunjang 6

2.5. Prinsip Penatalaksanaan 8

2.6. Komplikasi infeksi leher dalam 9

2.7. Ruang Lingkup 9

Angina Ludovici / Ludwig’s angina

(10)

BAB 3. METODE PENELITIAN

3.1. Jenis Penelitian 32

3.2. Waktu dan Tempat Penelitian 32

3.3. Populasi dan Sampel 32

3.4. Variabel Penelitian 32

3.5. Definisi Operasional 33

3.6. Teknik Pengumpulan Data 37

3.7. Pengolahan dan Analisa Data 37

3.8. Kerangka Kerja 37

3.9. Jadwal Penelitian 38

BAB 4. HASIL PENELITIAN

4.1. Hasil Statistik Deskriptif 39

4.1.1.

4.1.2.

Distribusi frekuensi infeksi leher

dalam berdasarkan ruang yang

terlibat

Distribusi frekuensi infeksi leher

dalam berdasarkan umur dan jenis

kelamin

39

40

4.1.3. Distribusi frekuensi infeksi leher

dalam berdasarkan keluhan 42

4.1.4. Distribusi frekuensi infeksi leher

dalam berdasarkan etiologi 44

4.1.5. Distribusi frekuensi infeksi leher

dalam berdasarkan pola kuman 45

4.1.6.

4.1.7.

4.1.8.

4.1.9.

Distribusi frekuensi infeksi leher

dalam berdasarkan penyakit

penyerta

Distribusi frekuensi infeksi leher

dalam berdasarkan komplikasi

Distribusi frekuensi infeksi leher

dalam berdasarkan terapi

Distribusi frekuensi infeksi leher

46

46

47

(11)

dalam berdasarkan hasil terapi

BAB 5.

5.1.

5.2.

PEMBAHASAN

Distribusi frekuensi infeksi leher

dalam berdasarkan ruang yang

terlibat

Distribusi frekuensi infeksi leher

dalam berdasarkan umur dan jenis

kelamin

48

49

5.3. Distribusi frekuensi infeksi leher

dalam berdasarkan keluhan 50

5.4. Distribusi frekuensi infeksi leher

dalam berdasarkan etiologi. 51

5.5. Distribusi frekuensi infeksi leher

dalam berdasarkan pola kuman 52

5.6.

Distribusi frekuensi infeksi leher dalam

berdasarkan penyakit penyerta

Distribusi frekuensi infeksi leher

dalam berdasarkan komplikasi

Distribusi frekuensi infeksi leher

dalam berdasarkan terapi

Distribusi frekuensi infeksi leher

dalam berdasarkan hasil terapi

KESIMPULAN DAN SARAN

(12)

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1.

Tabel 2.

Distribusi frekuensi infeksi leher

dalam berdasarkan ruang yang

terlibat

Distribusi frekuensi abses peritonsil

berdasarkan umur dan jenis kelamin

39

40

Tabel 3. Distribusi frekuensi abses retrofaring

berdasarkan umur dan jenis kelamin 40

Tabel 4. Distribusi frekuensi abses parafaring

berdasarkan umur dan jenis kelamin 41

Tabel 5. Distribusi frekuensi abses submandibula

berdasarkan umur dan jenis kelamin 41

Tabel 6.

Distribusi frekuensi abses peritonsil

berdasarkan keluhan

Distribusi frekuensi abses retrofaring

berdasarkan keluhan

Distribusi frekuensi abses parafaring

berdasarkan keluhan

Distribusi frekuensi abses

submandibula berdasarkan keluhan

Distribusi frekuensi abses peritonsil

berdasarkan etiologi

Distribusi frekuensi abses retrofaring

berdasarkan etiologi

Distribusi frekuensi abses parafaring

berdasarkan etiologi

Distribusi frekuensi abses

submandibula berdasarkan etiologi

Distribusi frekuensi infeksi leher

dalam berdasarkan pola kuman

(13)

Tabel 15

Tabel 16

Tabel 17

Tabel 18

Distribusi frekuensi infeksi leher

dalam berdasarkan penyakit penyerta

Distribusi frekuensi infeksi leher

dalam berdasarkan komplikasi

Distribusi frekuensi infeksi leher

dalam berdasarkan terapi

Distribusi frekuensi infeksi leher

dalam berdasarkan hasil terapi

46

47

47

(14)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1. Algoritma penatalaksanaan abses

leher dalam

8

Gambar 2. Daerah parafaring dari potongan

axial

19

Gambar 3. Potongan vertikal submandibula 22

Gambar 4. Ruang- ruang potensial di daerah

leher

(15)

KARAKTERISTIK INFEKSI LEHER DALAM DI SMF THT-KL RSUP. H. ADAM MALIK MEDAN TAHUN 2006-2012

ABSTRAK

Pendahuluan: Infeksi leher dalam merupakan infeksi leher pada ruang (potensial) diantara fasia leher, terdiri dari abses peritonsil, parafaring, retrofaring dan submandubula. Pada saat ini kasus infeksi leher dalam sudah jarang dijumpai sejak diperkenalkannya antibiotik. Namun infeksi leher dalam masih merupakan kasus kedaruratan THT-KL dikarenakan dapat mengakibatkan komplikasi yang berakibat fatal.

Tujuan: Mengetahui karakteristik infeksi leher dalam di SMF THT-KL RSUP. H. Adam Malik Medan Tahun 2006-2012

Metode: Penelitian deskriptif terhadap 40 penderita Infeksi leher dalam dari tahun 2006-2012.

Hasil Penelitian: Dari 40 penderita, 55% dijumpai abses submandibula, 32,5% abses peritonsil, 10,0% abses parafaring, dan 2,5% abses retrofaring. Pada abses submandibula dijumpai usia >50-60 tahun 40,9%, laki-laki 63,6%, keluhan terbanyak pembengkakan di leher 68,2%, dan disebabkan infeksi gigi 86,4%. Pada abses peritonsil, usia >20-30 tahun 30,8%, laki-laki 30,7%, keluhan sakit menelan 46,2%, dan terbanyak disebabkan oleh tonsilitis 53,8%. Pada abses parafaring, usia >20-30 tahun 50%, laki- laki 75%, keluhan sakit menelan 50%, dan penyebabnya tidak jelas 50%. Pada abses retrofaring, usia >20-30 tahun 100%, laki- laki 100%, keluhan sakit menelan 100%, dan disebabkan TBC 100%. Dari hasil kultur 22,5% tidak dijumpai pertumbuhan kuman, 85% tanpa penyakit penyerta, 85% tanpa komplikasi, 60% terapi dengan medikamentosa dan operatif dan 90% sembuh.

(16)

THE CHARACTERISTIC OF DEEP NECK INFECTIONS AT H. ADAM MALIK GENERAL HOSPITAL MEDAN IN 2006-2012

ABSTRACT

Introduction: A deep neck infection is a neck infection at the space (a potential) between the fascia of the neck, consists of peritonsil, parapharynx, retropharynx and submandibular abscesses. Currently, the case of deep neck infection is rarely found since the discovering of antibiotics. Deep neck infection is still a case of emergency in ENT-HNS cause resulting a fatal complications.

Purpose: To identify the characteristic of deep neck infection at H. Adam Malik General Hospital Medan in 2006-2012.

Method: A descriptive study of 40 patients in 2006-2012.

Result: From 40 patients, 55% were the submandibular abscess, 32,5% peritonsil abscess, 10,0% parapharynx abscess, and 2,5% retropharynx abscess. In the submandibular abscess, 40,9% were found at age> 50-60 years, 63,6% men, 68,2% with a main complaint of swelling in the neck, and 86,4% due to the tooth infection. In the peritonsil abscess, 30,8% were found at age> 20-30 years, 30,7% men, 46,2% with a main complaint of sore throat, and 53,8% due to tonsillitis. In the parapharynx abscess, 50% were found aged>20-30 years, 75% men, 50% with a main complaint of sore throat, and 50% the cause were not clear. In the retropharynx abscess, 100% were found at age> 20-30 years, 100% men, 100% with a main complaint of sore throat, and 100% due to tuberculosis. Of culture results 22,5% were found no growth of bacteria, 85% with no comorbidities, 85% without complications, 60% with medicament and operative therapy, and 90% healed.

(17)

`BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Infeksi leher dalam merupakan infeksi leher pada ruang-ruang

potensial leher dekat pembuluh darah, saraf dan otot. Pada saat ini kasus

infeksi leher dalam jarang kita jumpai sejak diperkenalkannya antibiotik.

Akan tetapi infeksi leher dalam masih tetap merupakan salah satu kasus

kedaruratan THT-KL. Hal ini disebabkan penyebaran infeksi pada leher

dalam dapat mengakibatkan komplikasi yang bersifat bahaya dan

berakibat fatal (Saragih, 2003).

Infeksi leher dalam sebagai akibat penjalaran infeksi dari berbagai

sumber, seperti gigi, mulut, tenggorok, sinus paranasal, telinga tengah dan

leher, tergantung pada ruang mana yang terlibat. Gejala dan tanda

klinisnya berupa nyeri dan pembengkakan yang menunjukkan lokasi

infeksi. Yang termasuk abses leher dalam ialah abses peritonsil, abses

parafaring, abses retrofaring, dan abses ludovici (Ludwig’s angina) atau

abses submandibula (Rahardjo, 2008).

Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik,

pemeriksaan laboratorium dan pemeriksaan radiologi. Ada empat prinsip

penatalaksanaan abses leher dalam yaitu proteksi dan kontrol jalan nafas,

pemberian antibiotik yang adekuat, insisi dan drainase abses serta

pemberian hidrasi dan nutrisi yang adekuat (Sulaiman, 2010).

Menurut penelitian yang dilakukan di Departemen THT Fakultas

Kedokteran Maulana Azad New Delhi dan Rumah Sakit Lok Nayak pada

Mei sampai Desember 2002 dijumpai 54 penderita infeksi leher dalam

yang terdiri dari submandibular 20 penderita, submental 10 penderita,

peritonsil 3 penderita, parafaring 6 penderita, retrofaring 4 penderita,

Ludwig’s angina 6 penderita (Meher et al., 2005).

Pada evaluasi terhadap 150 penderita di klinik THT Universitas

(18)

penderita infeksi leher dalam adalah pria dengan usia rata-rata 31,86

tahun. Dari penelitian di atas ditemukan 60 penderita (37%) sumber infeksi

pada infeksi leher dalam yang disebabkan oleh infeksi gigi, diikuti oleh

penyebab yang tidak jelas 49 penderita (33%), infeksi faring dan tonsil 30

penderita (20%), infeksi kelenjar ludah 6 penderita (4%) dan trauma 5

penderita (3%) (Coelbo et al., 2009).

Penelitian yang dilakukan di Rumah Sakit Royal Perth Australia dari

tahun 2000-2007, penderita infeksi leher dalam datang ke rumah sakit

dengan gejala rasa nyeri 91%, pembengkakan di leher 87%, trismus 78%,

disfagia 52%, eritema leher 16%, disfonia 10%, dispnu 8%, dan stridor 4%

(Matzelle et al., 2009).

Pada penelitian yang dilakukan oleh Alexandre dan kawan-kawan

di Sao Paulo Santa Casa Brazilia yang dilakukan secara analisis

retrospektif pada 80 penderita infeksi leher dalam dari Juni 1997-Juni

2003, didapatkan usia rata-rata yang paling sering menderita infeksi leher

dalam bervariasi, yaitu antara usia 36-57 tahun. Penderita infeksi leher

dalam lebih banyak ditemui pada pria dibandingkan wanita (Suebara,

2008). Sedangkan menurut Jun dan kawan-kawan pada penelitian yang

dilakukan di Departemen THT Rumah Sakit Iwaki Kyoritsu Jepang dari

Januari 1998-Agustus 2007 selama 10 tahun, ditemukan 56 penderita

infeksi leher dalam yang terdiri dari 42 penderita pria dan 23 penderita

wanita, dengan usia rata-rata 51 dan 53 tahun (Hasegawa et al., 2010).

Saat ini belum didapatkan data-data tentang karakteristik infeksi

leher dalam di Departemen THT-KL FK. USU/ SMF THT-KL RSUP. H.

Adam Malik Medan, karena itulah peneliti tertarik untuk melakukan

penelitian tentang hal ini.

1.2. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang penelitian yang telah diuraikan di atas,

dapat dirumuskan masalah penelitian, yaitu bagaimana karakteristik

infeksi leher dalam di Departemen THT-KL FK. USU/ SMF THT-KL RSUP.

(19)

1.3. Tujuan Penelitian 1.3.1. Tujuan Umum

Mengetahui karakteristik infeksi leher dalam di Departemen THT-KL

FK. USU/ SMF THT-KL RSUP. H. Adam Malik Medan tahun 2006-2012.

1.3.2. Tujuan Khusus

1.3.2.1. Mengetahui distribusi frekuensi infeksi leher dalam di RSUP. H.

Adam Malik Medan berdasarkan ruang yang terlibat.

1.3.2.2. Mengetahui distribusi frekuensi infeksi leher dalam di RSUP. H.

Adam Malik Medan berdasarkan umur dan jenis kelamin.

1.3.2.3. Mengetahui distribusi frekuensi infeksi leher dalam di RSUP. H.

Adam Malik Medan berdasarkan keluhan.

1.3.2.4. Mengetahui distribusi frekuensi infeksi leher dalam di RSUP. H.

Adam Malik Medan berdasarkan etiologi.

1.3.2.5. Mengetahui distribusi frekuensi infeksi leher dalam di RSUP. H.

Adam Malik Medan berdasarkan pola kuman.

1.3.2.6. Mengetahui distribusi frekuensi infeksi leher dalam di RSUP. H.

Adam Malik Medan berdasarkan penyakit penyerta.

1.3.2.7. Mengetahui distribusi frekuensi infeksi leher dalam di RSUP. H.

Adam Malik Medan berdasarkan komplikasi.

1.3.2.8. Mengetahui distribusi frekuensi infeksi leher dalam di RSUP. H.

Adam Malik Medan berdasarkan terapi.

1.3.2.9. Mengetahui distribusi frekuensi infeksi leher dalam di RSUP. H.

Adam Malik Medan berdasarkan hasil terapi.

1.4. Manfaat Penelitian

1.4.1. Dapat bermanfaat sebagai bahan informasi dalam upaya

peningkatan kelengkapan data penderita infeksi leher dalam.

1.4.2. Dapat bermanfaat sebagai bahan penyuluhan bagi masyarakat

untuk mengetahui pencegahan, gejala dan penatalaksanaan

penderita infeksi leher dalam.

(20)

BAB 2

TINJAUAN KEPUSTAKAAN

2.1. Definisi Infeksi Leher Dalam

Infeksi leher dalam merupakan infeksi leher pada ruang (potensial)

diantara fasia leher dalam sebagai akibat penjalaran infeksi dari berbagai

sumber seperti gigi, mulut, tenggorok, sinus paranasal, telinga tengah dan

leher (Fachruddin, 2007).

Abses terjadi sebagai akumulasi dari pus dalam suatu rongga

patalogis yang dapat terjadi dibagian tubuh manapun sebagai reaksi

pertahanan tubuh terhadap benda asing. Infeksi pada area leher dalam

tidak selalu menyebabkan abses. Pada kasus-kasus dimana infeksi

jaringan lunak tidak terlokalisir dimana eksudat menyebar keantara celah

interstitial jaringan ikat (Surarso, 2011).

2.2. Etiologi Dan Patogenesis

Pembentukan abses merupakan hasil perkembangan dari flora

normal dalam tubuh. Flora normal dapat tumbuh dan mencapai daerah

steril dari tubuh baik secara perluasan langsung, maupun melalui laserasi

atau perforasi. Berdasarkan kekhasan flora normal yang ada di bagian

tubuh tertentu maka kuman dari abses yang terbentuk dapat diprediksi

berdasarkan lokasinya. Sebagian besar abses leher dalam disebabkan

oleh campuran berbagai kuman, baik kuman aerob, anaerob, maupun

fakultatif anaerob (Pulungan, 2011).

Sumber infeksi paling sering pada infeksi leher dalam berasal dari

infeksi tonsil dan gigi. Infeksi gigi dapat mengenai pulpa dan periodontal.

Penyebaran infeksi dapat meluas melalui foramen apikal gigi ke daerah

sekitarnya. Apek gigi molar I yang berada di atas mylohyoid

menyebabkan penjalaran infeksi akan masuk terlebih dahulu ke daerah

sublingual, sedangkan molar II dan III apeknya berada di bawah

mylohyoid sehingga infeksi akan lebih cepat ke daerah submaksila

(21)

Menurut penelitian yang dilakukan Parhischar dan kawan-kawan,

terhadap 210 infeksi leher dalam, 175 (83,3%) dapat diidentifikasi

penyebabnya. Penyebab terbanyak infeksi gigi 43%. Ludwig’s angina

yang disebabkan infeksi gigi 76%, abses submandibula 61% disebabkan

oleh infeksi gigi (Parhiscar et al., 2001).

Yang dan kawan-kawan (2008) melaporkan dari 100 penderita

infeksi leher dalam, 77 (77%) penderita dapat diidentifikasi sumber infeksi

sebagai penyebabnya. Penyebab terbanyak berasal dari infeksi orofaring

35%, odontogenik 23%. Penyebab lain adalah infeksi kulit, sialolitiasis,

trauma, tuberkulosis, dan kista yang terinfeksi.

2.3. Gejala Klinis dan Diagnosis

Gejala klinis infeksi leher dalam secara umum sama dengan gejala

infeksi pada umumnya yaitu, nyeri, demam, pembengkakan dan gangguan

fungsi. Berdasarkan ruang yang dikenai akan menimbulkan gejala spesifik

yang sesuai dengan ruang potensi yang terlibat (Ballenger, 1994;

Fachruddin, 2000).

Pada penelitian Lee dan kawan-kawan di Korea, melaporkan

gejala klinis pada 158 kasus infeksi leher dalam, yaitu keluhan leher

bengkak (74,7%), keluhan sakit leher (41,1%), demam (14,6%), panas

dingin (10,1%), sulit bernafas (10,1%), disfagia (6,3%), dan trismus (1,9%)

(Lee et al., 2007).

2.4. Pemeriksaan Penunjang Rontgen servikal lateral

Dapat memberikan gambaran adanya pembengkakan jaringan

lunak pada daerah prevertebra, adanya benda asing, gambaran udara di

subkutan, air fluid levels, erosi dari korpus vertebra. Penebalan jaringan

lunak pada prevertebra setinggi servikal II (C2), lebih 7 mm dan setinggi

14 mm pada anak, lebih 22 mm pada dewasa dicurigai sebagai suatu

abses retrofaring (Vieira, 2008).

(22)

Dilakukan pada kasus infeksi leher dalam yang dicurigai berasal

dari gigi (Viera, 2008).

Rontgen toraks

Perlu dilakukan untuk evaluasi mediastinum, empisema subkutis,

pneumonia yang dicurigai akibat aspirasi dari abses (Viera, 2008).

CT Scan

Berdasarkan penelitian Crespo dkk, dikutip dari Murray AD dkk,

bahwa dengan hanya pemeriksaan klinis tanpa CT Scan mengakibatkan

estimasi terhadap luasnya abses yang terlalu rendah pada 70% pasien.

CT Scan memberikan gambaran abses berupa adanya air fluid levels

(Viera, 2008).

Menurut penelitian yang dilakukan pada 65 penderita infeksi leher

dalam di Departemen THT-KL Universidade Estadual de Campinas, São

Paulo, Brazil, pemeriksaan CT Scan dengan kontras adalah penting dalam

mengevaluasi lokasi infeksi pada ruang leher sehingga mempermudah

tindakan drainase dan pembedahan. John dan kawan-kawan

menggunakan pemeriksaan CT Scan dengan kontras untuk mendiagnosis

infeksi leher dalam pada anak-anak yang akan diberikan terapi antibiotik

intravena (McClay et al., 2003).

• Pemeriksaan bakteriologi

Pemeriksaan bakteriologi pus dari lesi yang dalam. Setelah

desinfeksi kulit, pus dapat diambil dengan aspirasi memakai jarum aspirasi

atau dilakukan insisi. Pus yang diambil sebaiknya tidak terkontaminasi

dengan flora normal yang ada di daerah saluran nafas atas atau rongga

mulut. Spesimen yang telah diambil dimasukkan ke dalam media

transportasi yang steril (Yang, 2008).

2.5. Prinsip Penatalaksanaan

Prinsip utama adalah menjamin dan memelihara jalan nafas yang

memadai. Jika diperlukan jalan nafas buatan, intubasi endotrakea sulit

dilakukan karena abses merubah atau menyumbat jalan nafas atas. Jika

(23)

krikotirotomi. Terapi selanjutnya dimaksudkan untuk mengatasi infeksi dan

mencegah komplikasi (Bailey, 2006).

Pemeriksaan kultur darah serta aspirasi abses dan pemberian

antibiotik serta drainase bedah, diperlukan pada penatalaksanaan infeksi

ini. Resusitasi cairan diperlukan karena hampir selalu terjadi dehidrasi

oleh karena intake yang tidak mencukupi karena seringnya terjadi trismus

(Bailey, 2006).

Drainase bedah diindikasikan untuk penderita dengan abses atau

ancaman terjadinya komplikasi. Ruang primer yang terkena dan perluasan

keruang lainnya harus dibuka dan didrainase. Drainase dapat berupa

aspirasi abses atau insisi dan eksplorasi, tergantung pada luasnya abses

dan komplikasi yang ditimbulkannya (Surarso, 2011;Triana, 2011).

Berikut algoritma untuk menegakkan diagnosis dan

penatalaksanaan infeksi/abses leher dalam (Bailey, 2006; Surarso, 2011).

Gambar 1. Algoritma penatalaksanaan infeksi leher dalam (Bailey,

2006).

2.6. Komplikasi Infeksi leher dalam

Komplikasi infeksi leher dalam menurut Bailey (2006) terdiri dari:

(24)

• Perdarahan pada arteri karotis

• Trombosis pada sinus kavernosus

• Defisit neurologi yang terdiri dari: Horner Syndrome, pada nervus

kranial IX dan XII

• Edema paru

• Mediastinitis

• Perikarditis

• Aspirasi

• Sepsis

B. Komplikasi pembedahan:

• Kerusakan dari struktur neurovascular

• Infeksi pada luka

• Keracunan darah

• Luka parut

• Aspirasi

2.7. Ruang Lingkup

Infeksi di dalam ruang (potensial) leher dalam meliputi abses yang

terbentuk di peritonsil, parafaring, retrofaring, angina ludovici (Ludwig’s

angina) atau abses submandibula (Surarso, 2011; Bradley, 2012).

2.8. Abses Peritonsil

Definisi

Abses peritonsil (Quinsy) adalah kumpulan nanah/pus dalam ruang

peritonsil, diantara kapsul fibrous tonsil dengan muskulus konstriktor

faringeal superior, biasanya pada bagian kutub atas (Cowan, 1997;

Dingra, 2007).

(25)

Abses peritonsil biasanya terjadi sebagai komplikasi tonsilitis akut

atau infeksi yang bersumber dari kelenjar mukus weber dikutub atas tonsil

(Bailey, 2006; Galioto, 2008).

Biasanya kuman penyebab sama dengan penyebab tonsilitis, dapat

ditemukan kuman aerob dan anerob. Streptococcus pyogenes (grup A

beta hemolytic streptococcus) merupakan kuman aerob yang paling sering

dijumpai pada abses peritonsil. Infeksi gigi dan merokok juga menjadi

faktor risiko terjadinya abses peritonsil (Balleger 1997;MD Galioto, 2008).

Patogenesis

Daerah superior dan lateral fosa tonsilaris merupakan jaringan ikat

longgar sehingga infiltrasi atau supurasi ke ruang peritonsil tersering

menempati area ini, sehingga palatum mole tampak membengkak. Infeksi

biasanya berasal dari kripta magna yang ada di dekat kutub atas

(Fachruddin, 2007; Surarso, 2011).

Pada stadium permulaan ditandai dengan area infiltrat yang

bengkak dan hiperemis. Bila proses berlanjut, terjadi supurasi sehingga

daerah tersebut lebih lunak. Pembengkakan peritonsil akan mendorong

tonsil dan uvula kearah kontralateral (Ballenger, 1997; Surarso, 2011).

Bila proses peradangan berlanjut ke area sekitarnya akan

menyebabkan iritasi pada muskulus pterigoid interna sehingga timbul

trismus. Abses peritonsil dapat pecah spontan dan menimbulkan

komplikasi aspirasi ke paru (Fachruddin, 2007; Surarso, 2011).

Dalam penelitian terbaru menyatakan adanya keterlibatan kelenjar

weber yang berperan dalam terjadinya abses peritonsil. Kelenjar weber

merupakan kumpulan sekitar 20-25 kelenjar ludah yang berada langsung

diatas rongga tonsil, didalam palatum mole dan dihubungkan dengan

permukaan tonsil oleh sebuah saluran. Kelenjar weber berperan untuk

membersihkan daerah tonsil dari debris dan sisa-sisa makanan yang

terperangkap. Jika kelenjar weber mengalami inflamasi dapat terjadi

selulitis lokal. Pada proses infeksi yang berlanjut terus, saluran yang

(26)

terbentuknya nanah merupakan tanda dan gejala yang klasik dari abses

peritonsil (Galioto, 2008).

Tanda Dan Gejala

Abses peritonsil biasanya didahului oleh nyeri tenggorok selama

2-3 hari yang secara perlahan-lahan menjadi lebih berat dan biasanya

unilateral. Abses peritonsil bilateral pernah dilaporkan tetapi jarang terjadi

(Fachruddin, 2007).

Dapat terjadi nyeri alih pada telinga dan pembengkakan pada leher

akibat limfadenopati infektif.

Gejala klinis abses peritonsil terdiri dari:

• Demam tinggi, suhu tubuh bisa mencapai 39-40°C atau lebih

• Lemah

• Menggigil

• Sakit kepala

• Muntah

• Nyeri tenggorok yang berat, biasanya unilateral. Nyeri dapat

menjalar ke telinga dan sudut mandibula. Nyeri bertambah sesuai

dengan perluasan timbunan nanah.

• Nyeri menelan (odinofagia) dan sulit menelan (disfagia). Penderita

tidak dapat menelan air ludahnya sendiri.

• Hipersalivasi dan air ludah menetes dari sudut mulut.

• Suara tidak jelas seperti mengulum makanan, yang dikenal dengan

sebutan “hot potato voice”.

• Mulut berbau (fetor ex ore).

• Sukar membuka mulut (trismus).

• Nyeri bila menggerakkan kepala ke lateral akibat infiltrasi ke

jaringan leher di regio tonsil (Dingra, 2007; Surarso, 2011).

Tanda-tanda Klinis

Kadang-kadang sukar memeriksa seluruh faring karena trismus.

(27)

menonjol ke depan, dapat teraba fluktuasi. Uvula membengkak dan

terdorong ke sisi kontralateral. Tonsil tampak hiperemis, membengkak dan

terdorong kearah tengah, depan dan bawah. Mukopus dapat terlihat

menutupi daerah tonsil. Sering dijumpai limfadenopati leher pada sisi yang

sakit (Dingra, 2007).

Diagnosis

Diagnosis ditegakkan berdasarkan (Steyer, 2002; Dhingra, 2007):

1. Anamnesis

2. Pemeriksaan fisik

3. Aspirasi abses

Aspirasi abses merupakan gold standard untuk menegakkan

diagnosa abses peritonsil

4. Pemeriksaan laboratorium

Pus yang didapat dari tindakan aspirasi dikirim ke laboratorium

untuk dilakukan pewarnaan gram dan kultur untuk menentukan

regimen terapi yang sesuai

5. Pemeriksaan radiologi

Pemeriksaan radiologi yang dapat membantu menegakkan

diagnosa abses peritonsil adalah CT Scan dan MRI.

Penatalaksanaan

A. Konservatif

Pada stadium infiltrasi, diberikan antibiotik dosis tinggi dan obat

simptomatik. Juga perlu kumur-kumur dengan cairan hangat dan kompres

dingin pada leher. Bila terdapat trismus, maka untuk mengatasi rasa nyeri

dapat diberikan analgetik (lokal) dengan menyuntikkan xylocain atau

novocaine 1% di ganglion sfenopalatina. Ganglion ini terletak di bagian

belakang atas lateral dari konka media. Ganglion sfenopalatina

mempunyai nervus palatina anterior, media dan posterior yang

(28)

Pasien sebaiknya dirawat di rumah sakit dan diberikan cairan infus untuk

mencegah dehidrasi (Dhingra, 2007; Fachruddin, 2007).

Pemilihan antibiotik sangat tergantung kepada hasil biakan dan uji

kepekaan dari pus yang didapat melalui tindakan aspirasi. Antibiotik

sebagai pilihan digunakan golongan penicillin tetapi karena munculnya

bakteri yang memproduksi beta-laktamase maka pilihan antibiotik telah

berubah. Beberapa penelitian melaporkan lebih dari 50% hasil kultur

didapati kuman anerob yang memproduksi beta-laktamase, hal inilah yang

membuat banyak para dokter menggunakan antibiotik spektrum luas

sebagai first line therapy (Galioto, 2008).

Manfaat pemberian steroid pada pengobatan abses peritonsil

belum diteliti lebih lanjut meskipun steroid banyak dipakai untuk

mengurangi edema dan inflamasi pada penyakit THT lainnya (Galioto,

2008).

B. Operatif

Ada 3 prosedur operasi untuk pengobatan abses peritonsil, yaitu

aspirasi jarum, insisi dan drainase serta tonsilektomi.

a) Aspirasi jarum/ Pungsi

Bila telah terbentuk abses, dilakukan aspirasi pada daerah

abses, kemudian diinsisi untuk mengeluarkan pus. Aspirasi

abses merupakan gold standard untuk menegakkan abses

peritonsil (Fachruddin, 2007).

b) Insisi dan drainase

Insisi dilakukan pada daerah yang menonjol (berfluktuasi),

biasanya pada bagian depan pilar anterior, batas antara 1/3

bagian atas dan tengah tonsil atau pada pertengahan garis

yang menghubungkan dasar uvula dengan geraham atas

terakhir pada sisi yang sakit (Ballenger, 1997; Fachruddin,

2007).

c) Tonsilektomi

Setelah dilakukan insisi dan drainase kemudian pasien

(29)

bersama-sama tindakan drainase abses disebut tonsilektomi “a’chaud”.

Bila tonsilektomi dilakukan 3-4 hari sesudah drainase abses,

disebut tonsilektomi ”a’ tiede” dan bila tonsilektomi 4-6 minggu

sesudah drainase abses, disebut tonsilektomi “a’ froid”. Pada

umumnya tonsilektomi dilakukan setelah infeksi tenang, yaitu

2-3 minggu sesudah drainase abses (Fachruddin, 2007).

Komplikasi

Abses dapat pecah spontan dan menyebabkan perdarahan dan

aspirasi paru (Lee KJ, 1997; Surarso, 2011).

1. Penjalaran infeksi dan abses ke daerah parafaring yang dapat

menyebabkan abses parafaring. Penyebaran infeksi melalui m.

konstriktor faringeus superior dapat menyebabkan abses parafaring

dimana bagian luar tonsil terikat longgar pada m. konstriktor

faringeus superior.

2. Infeksi meluas masuk ke mediastinum sehingga terjadi

mediastinitis. Infeksi dapat turun ke bawah (mediastinum) melalui

ruang visceral vascular. Ruangan ini adalah ruang potensial dalam

carotid sheath yang berada mulai dari dasar tengkorak hingga ke

medistinum dan menerima kontribusi dari seluruh tiga lapisan fasia

profunda dan dapat menjadi tempat infeksi sekunder yang

menyebar langsung dari ruang-ruang lain di leher dalam termasuk

dari ruang peritonsil.

3. Bila abses menjalar ke daerah intrakranial dapat mengakibatkan

trombus sinus kavernosus, meningitis dan abses otak. Infeksi dapat

menyebar ke atas (intrakranial) melalui ruang visceral vascular

yang mulai dari dasar tengkorak menyebabkan trombus sinus

kavernosus. Abses peritonsil yang berkomplikasi menjadi abses

parafaring dapat meluas ke intrakranial dimana dasar ruang

parafaring berada di dasar tengkorak (pars petrosus os temporal

(30)

2.9. Abses Retrofaring

Abses retrofaring adalah suatu peradangan yang disertai

pembentukan pus pada daerah retrofaring. Biasanya terjadi pada anak

usia 3 bulan hingga 5 tahun. Umumnya terjadi karena pada usia tersebut

ruang retrofaring masih berisi kelenjar dari hidung, sinus paranasal,

nasofaring, faring, tuba eustachius dan telinga tengah. Sedangkan pada

usia 6 tahun kelenjar-kelenjar tersebut mengalami atrofi (Fachruddin,

2007; Surarso, 2011).

Etiologi

Keadaan yang dapat menyebabkan terjadinya abses ruang

retrofaring ialah (Facruddin 2007):

1. Infeksi saluran nafas atas yang menyebabkan limfadenitis

retrofaring.

2. Trauma dinding belakang faring oleh benda asing seperti tulang

ikan atau tindakan medis, seperti adenoidektomi, intubasi

endotrakea dan endoskopi.

3. Tuberkulosis vertebra servikalis bagian atas (abses dingin).

Berdasarkan jenisnya secara umum abses retrofaring terbagi dua yaitu:

1. Akut

Sering terjadi pada anak-anak berumur dibawah 4-5 tahun.

Keadaan ini terjadi akibat infeksi pada saluran nafas atas seperti

pada adenoid, nasofaring, rongga hidung, sinus paranasal dan

tonsil yang meluas ke kelenjar limfe retrofaring (limfadenitis)

sehingga menyebabkan supurasi pada daerah tersebut. Sedangkan

pada orang dewasa terjadi akibat infeksi langsung oleh karena

trauma akibat penggunaan instrumen (intubasi endotrakea,

endoskopi, sewaktu adenoidektomi) atau benda asing.

2. Kronis

Biasanya terjadi pada orang dewasa atau anak-anak yang lebih

(31)

vertebra servikalis dimana pus secara langsung menyebar melalui

ligamentum longitudinal anterior. Selain itu abses dapat terjadi

akibat infeksi TBC pada kelenjar limfe retrofaring yang menyebar

dari kelenjar limfe servikal (Fachruddin, 2007; Surarso, 2011).

Pada banyak kasus sering dijumpai adanya kuman aerob dan

anaerob secara bersamaan. Beberapa organisme yang dapat

menyebabkan abses retrofaring adalah: kuman aerob; Streptococcus

beta–hemolyticus group A (paling sering), Streptococcus pneumoniae,

Streptococcus non–hemolyticus, Staphylococcus aureus, Haemophilus

sp., kuman anaerob; Bacteroides sp., Veillonella, Peptostreptococcus,

Fusobacteria (Fachruddin, 2007; Surarso, 2011).

Tanda dan Gejala

Pada anak dari anamnesis biasanya didahului oleh infeksi saluran

nafas atas. Pada orang dewasa dari anamnesis biasanya didahului

riwayat tertusuk benda asing pada dinding posterior faring, pasca tindakan

endoskopi atau adanya riwayat batuk kronis (Fachruddin, 2007).

Gejala utama abses retrofaring ialah rasa nyeri dan sukar menelan.

Pada anak kecil, rasa nyeri menyebabkan anak menangis terus (rewel)

dan tidak mau makan dan minum. Juga terdapat demam, leher kaku dan

nyeri. Dapat timbul sesak napas karena sumbatan jalan napas, terutama

di hipofaring. Bila proses peradangan berlanjut sampai mengenai laring

dapat timbul stridor. Sumbatan oleh abses juga dapat mengganggu

resonansi suara sehingga terjadi perubahan suara (Adam, 1997;

Fachruddin, 2007).

Berdasarkan umur, gejala pada orang dewasa yaitu sakit

tenggorokan, demam, disfagia, odinofagia, leher sakit, dispnu. Gejala

pada anak-anak diatas 1 tahun yaitu sakit tenggorokan (84%), demam

(64%), leher kaku (64%), odinofagia (55%), dan batuk. Sedangkan gejala

pada bayi yaitu demam (85%), leher bengkak (97%), kurang asupan oral

(32)

Diagnosis

Diagnosis ditegakkan berdasarkan adanya riwayat infeksi saluran

nafas bagian atas atau trauma, gejala dan tanda klinik serta pemeriksaan

penunjang foto rontgen lateral jaringan lunak leher. Pada kasus-kasus ini,

radiografi jaringan lunak lateral leher menunjukkan peningkatan bayangan

jaringan lunak yang jelas antara saluran udara faring dan korpus vertebra

servikalis. Laring dan trakea ditunjukkan dalam posisi ke arah depan. Jika

terdapat keraguan mengenai radiografi, maka dapat dipertegas dengan

radiografi penelanan barium (Adam 1997; Kahn JH, 2010).

Penatalaksanaan

A. Medikamentosa

Sebagai terapi medikamentosa diberikan antibiotika dosis tinggi,

untuk kuman aerob dan anaerob, diberikan secara parenteral.

Tujuan dari farmakoterapi adalah untuk membasmi infeksi,

mengurangi morbiditas, dan mencegah komplikasi.

B. Tindakan bedah

Dilakukan pungsi dan insisi abses melalui laringoskop langsung

dalam posisi pasien baring Trendelnburg. Pus yang keluar segera

diisap, agar tidak terjadi aspirasi. Tindakan dapat dilakukan dalam

analgesia lokal atau anesthesia umum. Pasien dirawat inap sampai

gejala dan tanda infeksi reda. Kadang-kadang, intubasi endotrakeal

atau krikotirotomi mungkin diperlukan jika pasien menunjukkan

tanda-tanda obstruksi saluran napas atas (Fachruddin, 2007; Khan

JH, 2010).

Komplikasi

Komplikasi yang mungkin terjadi ialah penjalaran ke ruang

parafaring, ruang vaskuler visera, mediastinitis, obstruksi jalan napas

(33)

aspirasi dan abses paru. Infeksi itu sendiri seperti sepsis dan kematian

(Fachruddin, 2007; Khan 2012).

2.10. Abses Parafaring

Abses parafaring dapat terjadi setelah infeksi faring, tonsil, adenoid,

gigi, parotis, atau kelenjar limfatik. Pada banyak kasus abses parafaring

merupakan perluasan dari infeksi leher dalam yang berdekatan seperti;

abses peritonsil, abses submandibula, abses retrofaring maupun

mastikator (Ballenger, 1997; Fachruddin, 2007).

Gambar 2. Daerah parafaring dari potongan axial (Bailey, 2006)

Etiologi

Ruang parafaring dapat mengalami infeksi dengan cara:

1. Langsung, yaitu akibat tusukan jarum pada saat melakukan

tonsilektomi dengan analgesia. Peradangan terjadi karena ujung

jarum suntik yang telah terkontaminasi kuman menembus lapisan

otot tipis (m. konstriktor faring superior) yang memisahkan ruang

parafaring dari fosa tonsilaris.

2. Proses supurasi kelenjar limfa leher bagian dalam, gigi, tonsil,

faring, hidung, sinus paranasal, mastoid dan vertebra servikal dapat

(34)

3. Penjalaran infeksi dan ruang peritonsil, retrofaring atau

submandibula (Ballenger, 1997; Fachruddin, 2007).

Tanda dan Gejala

Sebagian besar pasien mengalami edema, sakit tenggorokan, dan

odinofagia. Jika infeksi meluas dari faring ke ruang ini, pasien akan

menunjukkan trismus yang jelas. Adanya pembengkakan di sekitar

angulus mandibula dan demam tinggi. Sedangkan dinding faring lateral

mungkin terdorong ke medial, seperti pada abses peritonsilar (Bailey,

2006; Fachruddin, 2007).

Diagnosis

Diagnosis ditegakkan berdasarkan riwayat penyakit, gejala dan

tanda klinik. Bila meragukan, dapat dilakukan pemeriksaan penunjang

berupa foto rontgen jaringan lunak AP atau CT Scan (Bailey, 2006;

Fachruddin,2007).

Terapi

Terapi yang berhasil mencakup perbaikan jalan napas, antibiotik

parenteral, dan drainase bedah. Drainase eksternal adalah melalui fosa

submaksillaris seperti yang dijelaskan oleh Mosher tahun 1929 (Bailey,

2006).

Untuk terapi medikammentosa pada abses parafaring adalah

dengan pemberian antibiotika dosis tinggi secara parenteral terhadap

kuman aerob dan anaerob. Evakuasi abses harus segera dilakukan bila

tidak ada perbaikan dengan antibiotika dalam 24-48 jam dengan cara

eksplorasi dalam narkosis. Caranya melalui insisi dari luar dan intra oral

(Surarso, 2011).

Insisi dari luar dilakukan 2½ jari di bawah dan sejajar mandibula.

Secara tumpul eksplorasi dilanjutkan dari batas anterior m.

sternokleidomastoideus ke arah atas belakang menyusuri bagian medial

(35)

terabanya prosesus stiloid. Bila nanah terdapat di dalam selubung karotis,

insisi dilanjutkan vertikal dari pertengahan insisi horizontal ke bawah di

depan m. sternokleidomastoideus (cara Mosher) (Bailey, 2006;

Fachruddin, 2007).

Insisi intraoral dilakukan pada dinding lateral faring. Dengan

memakai klem arteri eksplorasi dilakukan dengan menembus m.

konstriktor faring superior ke dalam ruang parafaring anterior. Insisi

intraoral dilakukan bila perlu dan sebagai terapi tambahan terhadap insisi

eksternal. Pasien dirawat inap sampai gejala dan tanda infeksi reda

(Bailey, 2006; Fachruddin, 2007).

Komplikasi

Proses peradangan dapat menjalar secara hematogen, limfogen

atau langsung ke daerah sekitarnya. Penjalaran ke atas dapat

mengakibatkan peradangan intrakranial, ke bawah menyusuri selubung

karotis mencapai mediastinum. Komplikasi yang paling berbahaya dari

infeksi spatium faringomaksilaris adalah terkenanya pembuluh darah

sekitarnya. Dapat terjadi tromboflebitis septic vena jugularis. Juga dapat

terjadi perdarahan masif yang tiba-tiba akibat dari erosi arteri karotis

interna. Komplikasi ini dapat memberi kesan dengan adanya perdarahan

awal yang kecil (perdarahan tersamar) (Adam, 1997; Fachruddin, 2007).

2.11. Abses Submandibula

Ruang submandibula terdiri dari ruang sublingual dan ruang

submaksila dan submental. Muskulus milohiod memisahkan ruang

sublingual dengan ruang submental dan submaksila. Ruang sublingual

dipisahkan dari ruang submaksila oleh otot milohioid. Didalam ruang

sublingual terdapat kelenjar liur sublingual beserta duktusnya (Bailey,

2006).

Abses submandibula dan angina ludovici (Ludwig’s angina) dapat

(36)

faring, kelenjar limfe submandibula. Mungkin juga kelanjutan infeksi dari

ruang leher dalam lain (Raharjo, 2008; Ballenger, 2009).

Gambar 3. Potongan vertikal submandibula (Lee KJ, 1997).

Etiologi

Sumber infeksi seringkali dari gigi molar ke dua atau ke tiga,

ataupun peradangan supuratif kelenjar limfe servikal di ruang sub

mandibula yang merupakan penyebab dari abses sub lingual ataupun

submental (Surarso, 2010). Pada kasus yang berasal dari infeksi gigi,

sering ditemukan kuman anaerob Bacteroides melaninogenesis,

Eubacterium Peptostreptococus dan yang jarang adalah kuman

Fusobacterium (Novialdi, 2011).

Tanda dan Gejala

Demam dan nyeri leher yang disertai pembengkakan di bawah

dagu atau dibawah lidah baik unilateral atau bilateral, disertai rasa

demam, nyeritenggorok atau trismus. Mungkin didapatkan riwayat infeksi

atau cabut gigi. Pembengkakan dapat berfluktuasi atau tidak (Ballenger,

1997; Fachruddin, 2007).

Diagnosis

Diagnosis ditegakkan berdasarkan hasil anamnesis yang cermat,

pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Pada beberapa kasus

(37)

beberapa daerah infeksi leher dalam dan jika pasien sudah mendapatkan

pengobatan sebelumnya, pada pasien biasanya dijumpai riwayat sakit

gigi, mengorek atau mencabut gigi (Bailey, 2006; Surarso, 2010).

Terapi

Antibiotika dosis tinggi terhadap kuman aerob dan anaerob harus

diberikan secara parenteral. Evakuasi abses dapat dilakukan dalam

anastesi lokal untuk abses yang dangkal dan terlokalisasi atau eksplorasi

dalam narcosis bila letak abses dalam dan luas. Insisi dibuat pada tempat

yang paling berfluktuasi atau setinggi os hyoid, tergantung letak dan luas

abses. Pasien dirawat inap sampai 1-2 hari gejala dan tanda infeksi reda

(Surarso, 2010).

2.12. Angina Ludovici/Ludwig’s Angina

Ludwig’s angina mula-mula di deskripsikan oleh Wilhelm Frederick

von Ludwig pada 1836. Ludwig’s angina atau angina ludovici ialah infeksi

ruang submandibula berupa selulitis atau flegmon dari bagian superior

ruang suprahioid dengan tanda khas berupa pembengkakan, tidak

membentuk abses, sehingga keras pada perabaan submandibula (Adam,

1997; Fachruddin, 2007).

Etiologi

Penyebab angina ludovici adalah trauma bagian dalam mulut,

infeksi lokal pada mulut, karies gigi, terutama gigi molar dan premolar,

tonsillitis dan peritonsilitis, trauma pada ekstraksi gigi, angina vincent,

erysipelas wajah, otitis media dan eksterna serta ulkus pada bibir dan

hidung. Jika infeksi berasal dari gigi, organism pembentuk gas tipe

anaerob sangat dominan. Jika infeksi bukan berasal dari gigi, biasanya

(38)

Tanda dan Gejala

Tanda-tanda dan gejala ludwig’s angina adalah selulitis, nyeri

tenggorok dan leher, disertai selulitis yang berkembang pesat atau

pembengkakan di daerah submandibula, yang tampak hiperemis dan

keras pada perabaan. Demam, sakit gigi, malaise, disfagia dan napas

berbau trismus, merupakan gejala yang umum.

Peradangan ruang ini menyebabkan kekerasan yang berlebihan

pada jaringan dasar mulut dan mendororng lidah ke atas dan belakang

dengan demikian dapat menyebabkan obstruksi jalan napas secara

potensial (Adam, 1997).

Diagnosis

Diagnosis ditegakkan berdasarkan riwayat sakit gigi, gejala dan

tanda klinik. Pada “Pseudo Angina Ludovici”, dapat terjadi fluktuasi

(Fachruddin, 2007).

Diagnosis menurut kriteria Grodinsky yaitu :

• Keterlibatan secara bilateral atau lebih ruang leher dalam

• Gangren yang disertai dengan pus serosanguinous

• Keterlibatan jaringan ikat, fasia, dan otot tetapi tidak mengenai

struktur kelenjar.

• Penyebaran melalui ruang fasial lebih sering daripada melalui sistem

limfatik(Lemonick, 2002).

Terapi

Sebagai gold standard dalam penanganan angina ludovici adalah

bebaskan jalan nafas, kemudian diberikan terapi antibiotika dengan dosis

tinggi, untuk kuman aerob dan anaerob, dan diberikan secara parenteral.

Selain itu dilakukan eksplorasi yang dilakukan untuk tujuan dekompresi

(mengurangi ketegangan) dan evakuasi pus (pada angina ludovici jarang

terdapat pus) atau jaringan nekrosis. Insisi dilakukan di garis tengah

secara horizontal setinggi os hyoid (3-4 jari di bawah mandibula), dengan

(39)

Sebelum dilakukan insisi dan drainase, sebaiknya dilakukan persiapan

terhadap kemungkinan trakeostomi karena ketidakmampuan dilakukan

intubasi pada pasien (Fachruddin, 2007; Russel, 2011).

Komplikasi

Komplikasi yang sering terjadi ialah (Medina, 2005; Facruddin,

2007):

1. Sumbatan jalan napas

2. Penjalaran abses ke ruang leher dalam lain dan mediastinum

3. Sepsis

2.13. Anatomi Leher

Pada daerah leher terdapat beberapa ruang potensial yang dibatasi

oleh fasia servikalis. Fasia servikalis terdiri dari lapisan jaringan ikat

fibrosus yang membungkus organ, otot, saraf dan pembuluh darah serta

membagi leher menjadi beberapa ruang potensial. Fasia servikalis terbagi

menjadi tiga bagian yaitu fasia servikalis superfisialis, media dan fasia

servikalis profunda. Ketiga fasia ini dipisahkan oleh otot platisma yang

tipis dan meluas ke anterior leher. Otot platisma sebelah inferior berasal

dari fasia servikalis profunda dan klavikula serta meluas ke superior untuk

berinsersi di bagian inferior mandibula. (Ballenger, 1994).

Fasia servikalis superfisial terletak tepat di bawah kulit leher

berjalan dari perlekatannya di prosesus zigomatikus pada bagian superior

dan berjalan ke bawah ke arah toraks dan aksila yang terdiri dari jaringan

lemak subkutan. Ruang antara fasia servikalis superfisial dan fasia

servikalis profunda berisi kelenjar limfe superfisial, saraf dan pembuluh

darah termasuk vena jugularis eksterna (Ballenger, 1994).

Fasia servikalis profunda mengelilingi daerah leher dalam dan

terdiri dari tiga lapisan yaitu:

1. Lapisan superfisial

Lapisan ini membungkus leher secara lengkap, dimulai dari dasar

(40)

menyebarkan ke daerah wajah dan melekat pada klavikula serta

membungkus m. sternokleidomastoideus, m. trapezius, m.

masseter, kelenjar parotis dan submaksila. Lapisan ini disebut juga

lapisan eksternal, investing layer, lapisan pembungkus dan lapisan

anterior.

2. Lapisan media

Lapisan ini dibagi atas dua yaitu divisi muskular dan viscera.

a) Divisi muskular, terletak dibawah lapisan superfisial fasia

servikalis profunda dan membungkus m. sternohioid, m.

sternotiroid, m. tirohioid dan m. omohioid. Di bagian superior

melekat pada os hioid dan kartilago tiroid serta dibagian inferior

melekat pada sternum, klavikula dan skapula.

b) Divisi viscera, membungkus organ-organ anterior leher yaitu

kelenjar tiroid, trakea dan esofagus. Di sebelah posterosuperior

berawal dari dasar tengkorak bagian posterior sampai ke

esofagus sedangkan bagian anterosuperior melekat pada

kartilago tiroid dan os hyoid. Lapisan ini berjalan ke bawah

sampai ke toraks, menutupi trakea dan esofagus serta bersatu

dengan perikardium. Fasia bukofaringeal adalah bagian dari

divisi viscera yang berada pada bagian posterior faring dan

menutupi m. konstriktor dan m. buccinator.

3. Lapisan profunda

Lapisan ini dibagi menjadi dua yaitu divisi alar dan prevertebra.

a) Divisi alar terletak diantara lapisan media fasia servikalis

profunda dan divisi prevertebra, yang berjalan dari dasar

tengkorak sampai vertebra torakal II dan bersatu dengan divisi

viscera lapisan media fasia servikalis profunda. Divisi ala

melengkapi bagian posterolateral ruang retrofaring dan

merupakan dinding anterior dari danger space.

b) Divisi prevertebra berada pada bagian anterior korpus vertebra

dan lateral meluas ke prosesus tranversus serta menutupi

(41)

ke os koksigeus serta merupakandinding posterior dari danger

space dan dinding anterior dari korpus vertebra.

Ketiga lapisan fasia servikalis profunda ini membentuk selubung

karotis (carotid sheath) yang berjalan dari dasar tengkorak melalui ruang

faringomaksilaris sampai ke toraks (Raharjo SP,2013)

Gambar 4. Ruang-ruang potensial di daerah leher (Bailey, 2006)

Ruang potensial leher dalam dibagi menjadi ruang yang melibatkan

daerah sepanjang leher, ruang suprahioid dan ruang infrahioid.

• Ruang sepanjang leher

Ruang ini meliputi ruang retrofaring, the danger space, ruang

prevertebral dan ruang vascular visceral. (Raharjo SP,2013).

Di bagian posterior ruang retrofaring terdapat danger space,

disebut demikian karena berisi jaringan ikat longgar sehingga

resistensinya kecil terhadap penyebaran infeksi dan berjalan mulai dari

dasar tengkorak hingga ke diafragma. Ruang prevertebral terletak diantara

otot-otot prevertebral dan fasia prevertebral. Infeksi di sini dapat

menerobos ke lateral atau inferior ke dalam mediastinum posterior (Bailey,

2006).

Ruang visceral vascular adalah ruang potensial dalam carotid

sheath. Sebagaimana halnya ruang prevertebral, ruang visceral vascular

(42)

dan resisten terhadap penyebaran infeksi. Ruangan ini berada mulai dari

dasar tengkorak hingga ke medistinum dan menerima kontribusi dari

seluruh tiga lapisan fascia profunda dan dapat menjadi tempat infeksi

sekunder yang menyebar langsung dari ruang-ruang lain di leher (Bailey,

2006).

• Ruang suprahioid

Ruang yang berada di atas tulang hioid antara lain adalah ruang

submandibular, ruang parafaring, ruang peritonsil, ruang mastikator, ruang

temporal dan ruang parotis. Ruang submandibular dibatasi di anterior dan

lateral oleh mandibula, bagian superior oleh mukosa lingual dan di

postero-inferior oleh hioid serta lapisan superfisial fascia servikalis

profunda dibagian inferior (Bailey, 2006).

Ruang parafaring, disebut juga ruang faringomaksila, ruang

perifaring atau ruang faring lateral. Digambarkan berbentuk corong terbalik

dengan dasarnya berada di dasar tengkorak dan apeksnya di hioid. Ruang

parafaring berhubungan dengan beberapa ruang leher dalam termasuk

submandibular, retrofaringeal, ruang parotis dan ruang mastikator. Hal ini

memiliki implikasi klinis penting dalam penyebaran infeksi di ruang-ruang

leher (Ballenger, 1997).

Ruang parafaring kemudian dibagi oleh prosessus styloid menjadi

kompartemen anterior, muskuler, atau prestyloid serta kompartemen

posterior neuro vaskuler atau poststyloid. Ruang prestyloid berisi lemak,

otot, kelenjar limfe, dan jaringan konektif serta dibatasi oleh fossa tonsilar

dimedial dan pterygoid medial disebelah lateral (Ballenger, 1997).

Ruang poststyloid berisi carotid sheath dan saraf kranialis IX, X, XII.

Aponeurosis stylopharingeal zuckerkandel dan testus dibentuk oleh

perpotongan antara fascia alar, buccoparyngeal dan stylomuscular fascia

yangbertindak sebagai penghalang penyebaran infeksi dari kompartemen

prestyloid ke poststyloid (Bailey, 2006).

Ruang peritonsil dibentuk oleh kapsul dari tonsil palatina di medial,

oleh otot konstriktor faring superior di sisi lateral dan pilar anterior tonsil di

(43)

jaringan ikat longgar terutama yang dekat dengan palatum mole yang

menjelaskan mengapa mayoritas abses peritonsil berlokasi di pole

posterior dari tonsil (Ballenger, 1997).

Ruang mastikator dibentuk oleh lapisan superfisial dari fascia

servikalis profunda dan membungkus masseter dibagian lateral dan m.

pterigoid di medial. Ruang mastikator berhubungan langsung dengan

ruang temporal di bagian superior di bawah zigoma (Raharjo SP,2013).

Ruang temporal dibatasi di lateral oleh lapisan superfisial fasia

servikalis yang melekat ke zigoma dan temporal ridge serta batas

medialnya adalah periosteum tulang temporal. Ruang ini dibagi menjadi

ruang superfisial dan profunda oleh m. Temporalis (Bailey, 2006).

Ruang parotid, selain berisi kelenjar parotis juga kelenjar limfe

parotis, n. fasialis dan vena fasialis posterior. Lapisan pembungkus

memiliki bagian paling lemah di permukaan supero-medial menyebabkan

adanya hubungan langsung ruangan ini dengan ruang parafaring

(Ballenger, 1997; Surarso, 2011).

• Ruang infrahioid

Ruang potensial yang ada di bawah tulang hioid adalah ruang

visceral anterior. Area ini dibungkus oleh lapisan media dari fasia

servikalis profunda dan mengandung kelenjar tiroid, esofagus dan trakea.

Ruang potensial ini mulai dari kartilago tiroid hingga ke anterior dari

mediastinum superior dan arkus aorta (Ballenger, 1997; Surarso, 2011)

2.13. Kekerapan

Lee dan kawan-kawan (2007) melaporkan 158 kasus infeksi leher

dalam dari tahun 1995-2004. Ditemukan 89 penderita laki-laki dan 69

penderita perempuan. Usia penderita mulai dari 1-89 tahun dengan nilai

umur rata-rata 35,4 tahun.

Yang dan kawan-kawan (2008) pada 100 kasus infeksi leher dalam

yang dilakukan April 2001 sampai Oktober 2006 mendapatkan

perbandingan laki-laki dan perempuan 3:2. Usia 1-88 tahun dengan nilai

(44)

29%, abses submandibula 35%, parafaring 20%, mastikator 13%,

peritonsil 9%, sublingual 7%, parotis 3%, infra hyoid 26%, retrofaring 13%,

dan ruang karotis 11%.

Di bagian THT-KL Rumah Sakit dr. M. Djamil Padang (Oktober

2009- September 2010) didapatkan 33 penderita infeksi leher dalam,

abses peritonsil 11 penderita, abses submandibula 9 penderita, abses

parafaring 6 penderita, abses retrofaring 4 penderita, abses mastikator 3

penderita, abses pretrakea 1 penderita.

2.14. Kerangka konsep

Etiologi Umur

Jenis Kelamin

Infeksi Leher Dalam

Peritonsil Retrofaring Parafaring Submandibula

Keluhan Utama Gejala Klinis Lokasi Mikrobiologi Radiologi

Penatalaksanaan

Komplikasi Tanpa Komplikasi

(45)

BAB 3

METODE PENELITIAN

3.1. Jenis Penelitian

Penelitian ini bersifat deskriptif dengan menggunakan design case

series dari data sekunder di Departemen THT-KL FK. USU/ SMF THT-KL

RSUP. H. Adam Malik Medan.

3.2. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan di Departemen KL FK. USU/ SMF

THT-KL RSUP. H. Adam Malik Medan sejak bulan Januari 2006 - Desember

2012

3.3. Populasi Dan Sampel

3.3.1. Populasi

Seluruh data penderita dengan diagnosis infeksi leher dalam yang

datang ke Departemen THT-KL FK. USU/ SMF THT-KL RSUP. H. Adam

Malik Medan

3.3.2. Sampel Penelitian

Sampel penelitian adalah seluruh populasi dari penderita infeksi

leher dalam (total sampling) yang datang ke Departemen THT-KL FK.

USU/ SMF THT-KL RSUP. H. Adam Malik Medan sejak Januari 2006

sampai dengan Desember 2012.

3.4. Variabel Penelitian

Variabel yang diteliti adalah umur, jenis kelamin, keluhan, etiologi,

ruang yang terlibat, pola kuman, penyakit penyerta, komplikasi, terapi, dan

hasil terapi.

3.5. Definisi Operasional

3.5.1. Infeksi leher dalam merupakan infeksi leher pada ruang

(46)

infeksi dari berbagai sumber seperti gigi, mulut, tenggorok, sinus

paranasal, telinga tengah dan leher.

3.5.2. Abses peritonsil adalah kumpulan nanah yang terbentuk dalam

ruang peritonsil, diantara kapsul fibrous dari tonsil dengan

muskulus konstriktor faringeal superior, biasanya pada bagian

kutub atas. Abses peritonsil merupakan abses yang biasanya

merupakan lanjutan dari infeksi tonsil. Kuman sering sama dengan

penyebab tonsilitis. Gejala berupa demam, nyeri tenggorok, nyeri

menelan, hipersalivasi, nyeri telinga dan suara bergumam. Pada

pemeriksaan fisik didapatkan arkus faring tidak simetris,

pembengkakan di daerah peritonsil, uvula terdorong ke sisi yang

sehat, dan trismus. Tonsil hiperemis, dan kadang terdapat

detritus. Abses ini dapat meluas ke daerah parafaring. Untuk

memastikan diagnosis dapat dilakukan pungsi aspirasi dari tempat

yang paling fluktuatif.

3.5.3. Abses retrofaring adalah terkumpulnya nanah di ruang retrofaring

yang merupakan salah satu daerah potensial di leher dalam.Pada

umumnya sumber infeksi saluran nafas atas yang menyebabkan

limfadenitis retrofaring, trauma dinding belakang faring oleh benda

asing (tulang ikan dan tindakan medis) dan tuberkulosis vertebra

servikalis bagian atas. Gejala klinis berupa demam, nyeri

tenggorok, pergerakan leher terbatas, sesak nafas, odinofagi

maupun disfagi. Pada pemeriksaan didapatkan pembengkakan

dinding posterior faring. Aspirasi pus berfungsi sebagai diagnostik

dan terapi. Pemeriksaan penunjang berupa foto rontgen jaringan

lunak leher sisi lateral.

3.5.4. Abses parafaring adalah kumpulan nanah yang terbentuk di

dalam ruang parafaring. Abses parafaring dapat terjadi secara

langsung, akibat tusukan jarum saat melakukan tonsilektomi.

Cara lainnya penyebaran infeksi faring, tonsil, adenoid, gigi,

parotis, atau kelenjar limfatik. Pada banyak kasus abses

(47)

berdekatan seperti; abses peritonsil, abses submandibula, abses

retrofaring maupun mastikator. Gejala abses parafaring berupa

demam, trismus, nyeri tenggorok, odinofagi dan disfagia. Pada

pemeriksaan fisik didapatkan pembengkakan di daerah parafaring,

pendorongan dinding lateral faring ke medial, dan angulus

mandibula tidak teraba. Diagnosis dapat ditegakkan dengan

anamnesis dan pemeriksaan penunjang berupa foto rontgen

jaringan lunak leher sisi lateral atau CT Scan.

3.5.5. Abses submandibula adalah terbentuknya abses pada ruang

potensial di regio submandibula yang disertai dengan nyeri

tenggorok, demam dan terbatasnya gerakan membuka mulut.

Abses submandibula terjadi karena adanya infeksi yang

bersumber dari gigi, dasar mulut, faring, kelenjar limfe

submandibula. Mungkin juga kelanjutan infeksi dari ruang leher

dalam lain. Pada pemeriksaan fisik didapatkan pembengkakan di

daerah submandibula, fluktuatif, lidah terangkat ke atas dan

terdorong ke belakang, angulus mandibula dapat diraba. Pada

aspirasi didapatkan pus.

3.5.6. Umur adalah usia yang dihitung dalam tahun dan menurut ulang

tahun terakhir sesuai dengan yang tertulis di rekam medis,

dikelompokkan atas:

3.5.7. Jenis kelamin yaitu ciri biologis yang membedakan orang yang

satu dengan lainnya, terdiri atas

• Laki-laki

Gambar

Gambar 2. Daerah parafaring dari potongan axial (Bailey, 2006)
Gambar 4. Ruang-ruang potensial di daerah leher (Bailey, 2006)
Tabel 3. Distribusi  frekuensi abses retrofaring berdasarkan umur dan jenis kelamin
Tabel 5. Distribusi frekuensi abses submandibula berdasarkan umur dan
+7

Referensi

Dokumen terkait

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mempelajari pengaruh sistem pengolahan tanah terhadap jumlah spora MVA dan infeksi akar tanaman padi gogo, mempelajari pengaruh

Hasil dari penelitian ini adalah pada konsentrasi filtrat jeruk nipis 0% didapatkan kadar protein 10.68%, konsentrasi 50% sebesar 8.50%, dan konsentrasi 75% sebesar

Resiko terjadinya serangan ulang Stroke (pecahnya pembuluh darah otak) berhubunga n dengan ketidakma mpuan keluarga dalam merawat anggota keluarga yang mennderita Hipertensi

Berdasarkan penjelasan diatas, dapat diketahui individu dengan harga diri tinggi lebih cenderung dapat menyelesaikan masalah dengan baik, terbuka dengan masukan orang

Ada dua faktor yang menyebabkan peningkatan pada tindakan kemandirian di kelompok perlakuan, yang pertama adalah karena saat pre test atau sebelum dilakukan intervensi,

Kuesioner tersebut kemudian dianalisis menggunakan Partial Least Square (PLS). Hasil penelitian yang didapat adalah 4 hipotesis diterima, dan 4 hipotesis lainnya

[r]

Dalam perpajakan di Indonesia menganut sistem self assessment yang berarti bahwa wajib pajak diberi kepercayaan dan tanggung jawab menghitung, memperhitungkan, membayar dan