• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS YURIDIS KEKUATAN PEMBUKTIAN BUKTI DIGITAL (DIGITAL EVIDENCE) DALAM PEMBUKTIAN PERKARA KORUPSI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "ANALISIS YURIDIS KEKUATAN PEMBUKTIAN BUKTI DIGITAL (DIGITAL EVIDENCE) DALAM PEMBUKTIAN PERKARA KORUPSI"

Copied!
49
0
0

Teks penuh

(1)

ABSTRAK

ANALISIS YURIDIS KEKUATAN PEMBUKTIAN BUKTI DIGITAL (DIGITAL EVIDENCE)DALAM PEMBUKTIAN

PERKARA KORUPSI Oleh :

Anton Saputra

Sebagai suatu kejahatan luar biasa/Extraordinary crrime, pembuktian dalam tindak pidana korupsi dianggap lebih sulit dibanding dengan tindak pidana yang lain. Banyak contoh kasus korupsi yang dalam pembuktiannya menggunakan alat bukti elektronik, salah satunya adalah penggunaan alat bukti digital, baik itu melalui penggunaan email, telegram, penyadapan telepon, teleconference, televideoconferene ataupun rekaman CCTV dll. Untuk itu diperlukan suatu upaya yang luar biasa pula dalam pembuktiannya. Permasalahan dalam penelitian ini adalahah bagaimanakah kedudukan alat bukti digital/elektronik dalam pembuktian perkara korupsi dan bagaimanakah kekuatan pembuktian alat bukti digital/elektronik dalam pembuktian perkara korupsi.

Pendekatan masalah yang digunakan adalah pendekatan yuridis normatif dan didukung denga pendekatan yuridis empiris. Data yang digunakan adalah data primer dan sekunder, pengumpulan data dengan wawancara, studi pustaka, dan studi dokumen. Sedangkan pengolahan data melalui tahap pemeriksaan data, penandaan data, rekonstruksi data, dan sistematisasi data. Data yang sudah diolah kemudian disajikan dalam bentuk uraian, lalu dintreprestasikan atau ditafsirkan untuk dilakukan pembahasan dan dianalisis secara kualitatif, kemudian untuk selanjutkan ditarik suatu kesimpulan.

(2)

Anton Saputra

Acara Pidana. Alat bukti digital yang dapat digunakan sesuai dengan Pasal 26 A adalah alat butki digital yang mempunyai makna. Hal tersebut semakin menguatkan bahwa penggunaan alat bukti petunjuk harus ada persesuaian dengan perbuatan, kejadian atau keadaan. Persesuaian yang diwujudkan alat bukti petunjuk harus mampu mewujudkan suatu petunjuk yang “Nyata dan Utuh” yang bermuara pada keyakinan hakim tentang terjadinya tindak pidana dan terdakwalah yang melakukannya.

Perlu segera adanya penyempurnaan pada KUHAP yang mengakomodir mengenai penggunaan alat bukti digital. Mengingat, seiring dengan kemajuan zaman dan teknologi yang membawa dampak pada banyaknya kejahatan kejahatan yang menggunakan media komputer dan elektronik yang dalam pembuktiannya pasti memerlukan adanya pembuktian menggunakan alat bukti digital.

(3)

ANALISIS YURIDIS KEKUATAN PEMBUKTIAN BUKTI DIGITAL (DIGITAL EVIDENCE)DALAM PEMBUKTIAN

PERKARA KORUPSI (Skripsi)

Oleh : Anton Saputra

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

(4)

DAFTAR ISI

Halaman I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang ……… 1

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup ………. 4

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ………. 5

D. Kerangka Teoritis dan Konseptual ………. 6

E. Sistematika Penulisan ………. 9

II. TINJAUAN PUSTAKA A. Hukum Pembuktian ... 11

B. Pengertian Alat Bukti ……… 14

C. Tinjauan Umum tentang Alat Bukti Digital/Elektronik ……… 18

D. Pengertian Tindak Pidana dan Tindak Pidana Korupsi ……….…….. 22

III.METODE PENELITIAN A. Pendekatan Masalah ……….…………..……….. 30

B. Sumber dan Jenis Data ……….…………..……….. 30

C. Penentuan Responden ... 31

D. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data ….…..…….……….. 32

(5)

IV.HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Karakteristik Responden ... 34 B. Penggunaan Alat Bukti Digital/Elektronik Dalam Pembuktian

Perkara Korupsi ……….………...….. 35 C. Kekuatan Pembuktian Alat Bukti Digital/Elektronik Dalam

Pembuktian Perkara Korupsi ………... 42

V. PENUTUP

A. Kesimpulan ………..………. 50

B. Saran ……….……… 51

(6)

MOTTO

Kemenangan yang

seindah-indahnya dan sesukar-sukarnya

yang boleh direbut oleh manusia

ialah menundukan diri sendiri

(7)

MENGESAHKAN

1. Tim Penguji

Ketua : Firganefi, S.H., M.H. ...

Sekretaris/Anggota : Tri Andrisman, S.H., M.H. ...

Penguji

Bukan Pembimbing : Dr. Maroni, S.H., M.H. ...

2. Dekan Fakultas Hukum

Dr. Heriyandi, S.H., M.S. NIP 196211091987031003

(8)

PERSEMBAHAN

Dengan ketulusan dan kerendahan hati kupersembahkan karya kecil ini kepada

orang-orang yang terkasih dan mengasihiku :

Kedua orang tuaku tercinta, untuk tiap tetes keringat yang keluar untuk

keberhasilanku dan untuk semangat, nasihat, dorongan dan doa disetiap shalat

dan sujudnya.

(9)

Judul Skripsi : ANALISIS YURIDIS KEKUATAN

PEMBUKTIAN BUKTI DIGITAL (DIGITAL EVIDENCE)DALAM PEMBUKTIAN PERKARA KORUPSI

Nama Mahasiswa : Anton Saputra

No. Pokok Mahasiswa : 0852011029 Bagian : Hukum Pidana

Fakultas : Hukum

MENYETUJUI 1. Komisi Pembimbing

Firganefi, S.H., M.H. Tri Andrisman, S.H., M.H. NIP 196312171988032002 NIP 196112311989031023

2. Ketua Bagian Hukum Pidana

(10)

RIWAYAT HUDUP

Penulis dilahirkan di Kota Bumi Lampung Utara, pada tanggal 19 Januari 1989. Penulis merupakan anak kedua dari empat bersaudara dari pasangan Bapak Amransyah dan Ibu Hamidah.

Penulis menyelesaikan pendidikan TK Aisiah Kota Bumi tahun 1996, kemudian melanjutkan Sekolah Dasar (SD) Negeri 1 Kota

Bumi yang diselesaikan tahun 2002, kemudian melanjutkan ke Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) Negeri 3 Bandar Lampung yang diselesaikan tahun 2005, kemudian melanjutkan ke Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) 1 Kota

(11)

SANWACANA

Bismillahirrohmanirrohim.

Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT yang telah melimpahkan

rahmat serta hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

Skripsi dengan judul “Analisis Yuridis Kekuatan Pembuktian Bukti Digital (Digital Evidence) Dalam Pembuktian Perkara Korupsi” adalah salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum di Universitas Lampung.

Dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada :

1. Bapak Dr. Heriyandi, S.H., M.S. selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Lampung;

2. Ibu Diah Gustiniati, S.H., M.H. selaku Ketua Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung;

3. Ibu Firganefi, S.H., M.H. selaku Dosen Pembimbing I yang telah memberikan kesempatan, bimbingan, dan masukan-masukan yang membangun, memotifasi penulis dalam menyelesaikan skripsi ini;

4. Bapak Tri Andrisman, S.H., M.H. selaku Dosen Pembahas II atas waktu, saran, masukan dan kritik membangunnya kepada penulis untuk dapat

(12)

5. Bapak Dr. Maroni, S.H., M.H. selaku Dosen Pembahas I yang telah

memberikan kesempatan, bimbingan, dan masukan-masukan yang membangun, memotifasi penulis dalam menyelesaikan skripsi ini;

6. Ibu Rini Fatonah, S.H., M.H. selaku Dosen Pembahas II atas waktu, saran, masukan dan kritik membangunnya kepada penulis untuk dapat

menyempurnakan skripsi ini;

7. Bapak Ahmad Soleh, S.H., M.H. Selaku Dosen Pembimbing Akademik yang telah memberikan bimbingan dan saran kepada penulis;

8. Seluruh Dosen Fakultas Hukum Universitas Lampung yang telah mendidik, membimbing serta memberikan ilmu pengetahuannya kepada penulis;

9. Ayahanda ibunda serta kakak dan adiku yang selalu memberikan semangat, senyum yang bermakna.

10.Teman-temanku di Fakultas Hukum Universitas Lampung khususnya

angkatan 2008 deni irawan, novi, rio, beni robiansyah, sumantri, berry, irham, rian, rici, mirwan, galuh dan masih banyak lagi yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, terima kasih atas persahabatannya.

Akhir kata, penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, akan tetapi sedikit harapan semoga skripsi yang sederhana ini dapat berguna dan bermanfaat bagi kita semua. Amin.

Bandar Lampung, 8 Mei 2013

Penulis

(13)

DAFTAR PUSTAKA

Hamzah, Andi. 2002. Hukum Acara Pidana Indonesia. Ghalia Indonesia. Jakarta.

_______, Andi, 1991. Korupsi di Indonesia, Gramedia, Jakarta.

Harahap, M.Yahaya. 1993. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Jilid 2 (Pemeriksaan di Sidang Pengadilan, Kasasi dan Peninjauan Kembali). Sinar Grafika. Jakarta.

Indrayana. Denny, 2008. Negeri Para Mafioso, Hukum di Sarang Koruptor.

Kompas. Jakarta.

Moeljatno. 1989. Pembaharuan Hukum Pidana Nasional. Bumi Aksara. Yogyakarta.

Mulyadi, Lilik, 2000, Tindak pidana korupsi, Citra Aditya Bakti, Bandung.

Prodjodikoro, Wirjono. 1983. Hukum Acara Pidana Indonesia. Sumur. Bandung. H.M. Arsyad Sanusi. 2009. ”Relasi antara Korupsi dan Kekuasaan”. Jurnal

Konstitusi Volume 6 Nomor 2, Juli 2009. Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. Jakarta.

Marsono, 2007, “Pemberantasan Korupsi di Indonesia dari Perspektif Penegakan

Hukum”, Jurnal Menejemen Pembangunan, No.58.

Otto Cornelis Caligis, 2006, “Korupsi Sebagai Tndakan Kriminal yang Harus Diberantas: Karakter dan Prakek Hukum di Indonesia”.Jurnal Equality,

Volume.11, No.02.

Sasangka, Hari dan Lily Rosita. 2003. Petunjuk Sebagai Alat Bukti yang Sah Dalam Perkara Pidana . Alumni. Bandung.

(14)

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi

(15)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Korupsi sebenarnya bukanlah problematika baru di Indonesia, karena telah ada sejak era tahun 1950-an. Bahkan berbagai kalangan menilai bahwa korupsi telah

menjadi bagian dari kehidupan, menjadi suatu sistem dan menyatu dengan penyelenggaraan peme-rintahan negara. Kasus-kasus korupsi yang sarat muatan

politis makin meningkat setelah krisis moneter terjadi di Indonesia. Dalam hal ini gejala yang obvious, yaitu kerusuhan sosial dan krisis moneter, dianggap bersumber pada se-suatu yang sama sekali berbeda, remang-remang dan bersifat

politik.1

Korupsi sebagai sumber segala bencana dan kejahatan, the root of all evils. Koruptor bahkan relatif lebih berbahaya dari teroris. Uang yang telah ”dimakan” koruptor adalah hidup mati bagi ribuan rakyat, dalam konteks inilah koruptor adalah the real terrorist. Sebuah mimpi belaka pemberantasan kemiskinan dan peningkatan kualitas hidup masyarakat dapat tercapai, bila korupsi masih

merajalela.2

1 Otto Cornelis Caligis, “Korupsi

Sebagai Tndakan Kriminal yang Harus Diberantas:

Karakter dan Prakek Hukum di Indonesia”.Jurnal Equality, Volume.11, No.02,2006, hlm. 152.

2

(16)

2

Berdasarkan survey tersebut, partai politik, parlemen, polisi dan lembaga

peradilan dianggap sebagai pihak yang sangat rawan dari pengaruh korupsi. Khusus Mengenai korupsi yang terjadi di lembaga peradilan, hal ini disebut sebagai Judicial Corruption. Saat ini prinsip kemandirian kekuasaan kehakiman

tidak dapat diintervensi adalah menyesatkan. Prinsip independensi demikian memang diakui namun hanya berlaku bagi sistem peradilan yang bersih. Di dalam

system peradilan yang kotor, dimana putusan dapat dipesan dan diperjual belikan, maka intervensi menjadi wajib hukumnya.3

Sebagai suatu kejahatan luar biasa/Extraordinary crrime, pembuktian dalam

tindak pidana korupsi dianggap lebih sulit dibanding dengan tindak pidana yang lain. Untuk itu diperlukan suatu upaya yang luar biasa pula dalam pembuktiannya. Untuk membuktikan bahwa terdakwa memang benar benar telah melakukan

tindak pidana korupsi tidak cukup dengan pembuktian konvensional seperti halnya dalam tindak pidana umum lainnya. Kesulitan ini terjadi lantaran umumnya tindak pidana korupsi dilakukan oleh orang-orang yang memiliki

kesempatan, kewenangan ataupun sarana yang dimungkinkan oleh jabatan yang diperolehnya. Dengan demikian pada sebagian besar kasus korupsi dilakukan oleh

pembuat keputusan bukan pada tingkat bawah. Dalam posisi semacam ini, apabila seseorang yang katakanlah pegawai bawahan mengetahui bahwa atasannya melakukan tindak pidana korupsi, kemungkinan besar ia enggan melaporkan

kasus tersebut karena khawatir akan mengancam pekerjaannya yang sudah jelas berada di bawah si pelaku tersebut. Tanpa adanya perlindungan hukum terhadap

3

(17)

3

orang-orang seperti ini, kemungkinan besar kasus-kasus korupsi yang besar tidak

akan pernah terungkap (Naskah Akademik RUU Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban).

Pembentuk undang undang menyadari betul mengenai kesulitan yang mungkin

dihadapi oleh para penegak hukum dalam upaya pembuktian tindak pidana korupsi, maka disamping tetap mengacu pada segi segi hukum pembuktian umum

yang diatur dalam KUHAP, pembentuk undang undang memberikan pengecualian pembuktian perkara korupsi. Salah satunya adalah penggunaan alat bukti digital / elektronik, baik itu melalui penggunaan email, telegram, penyadapan telepon,

teleconference, televideoconferene ataupun rekaman CCTV dll. Banyak contoh kasus korupsi yang dalam pembuktiannya menggunakan alat bukti elektronik,

contohnya adalah penggunaan bukti penyadapan telepon dan rekaman CCTV pada kasus jaksa Urip Tri Gunawan dan Arthalita Suryani. Selain itu, ada pula penggunaan teleconference pada saat pemeriksaan saksi mantan Presiden B.J.

Habibie pada sidang kasus korupsi Bulloggate II dengan terdakwa Akbar Tanjung.

Penggunaan alat bukti elektronik dalam pembuktian perkara korupsi digunakan oleh para penegak hukum dalam upaya mengungkap tindak pidana korupsi.

Penggunaan alat bukti elektronik sendiri diakomodir dalam beberapa peraturan perundangan. Diantaranya, Undang Undang Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dan Undang Undang Nomor 20 tahun 2001

(18)

4

B. Rumusan Masalah dan Ruang Lingkup

1. Rumusan Masalah

Perumusan masalah dalam suatu penelitian dimaksudkan untuk mempermudah penulis dalam membatasi masalah yang akan diteliti sehingga tujuan dan sasaran yang akan dicapai menjadi jelas, terarah dan mendapatkan hasil seperti yang

diharapkan. Dalam penelitian ini perumusan masalah dari masalah-masalah yang diteliti dapat dirumuskan sebagai berikut:

a. Bagaimanakah penggunaan alat bukti digital/elektronik dalam pembuktian perkara korupsi?

b. Bagaimanakah kekuatan pembuktian alat bukti digital/elektronik dalam pembuktian perkara korupsi?

2. Ruang Lingkup Penelitian

Adapun lingkup pembahasan dalam penelitian ini adalah bagian dari kajian

Hukum Pidana materiil da hukum pidana formil. Sedangkan lingkup pembahasan dalam penelitian ini hanya terbatas pada penggunaan alat bukti digital/elektronik dalam pembutkian perkara korupsi dan kekuatan pembuktian alat bukti

digital/elektronik dalam pembuktian perkara korupsi. Penelitian ini mengambil tempat di Pengadilan Negeri Tanjung Karang.

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

1. Tujuan Penelitian

(19)

5

a. Untuk mengetahui penggunaan alat bukti digital/elektronik dalam pembutkian

perkara korupsi.

b. Untuk mengetahui kekuatan pembuktian alat bukti digital/elektronik dalam

pembuktian perkara korupsi.

2. Kegunaan Penelitian

Kegunaan penelitian ini mencakup kegunaan teoritis dan kegunaan praktis, yaitu:

a. Kegunaan Teoritis

Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran dalam rangka pengembangan ilmu hukum pidana mengenai

penggunaan alat bukti digital/elektronik dalam pembutkian perkara korupsi. b. Kegunaan Praktis

Penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan masukan kepada Praktisi Hukum dan masyarakat khususnya mengenai kekuatan pembuktian alat bukti digital/elektronik dalam pembuktian perkara korupsi.

D. Kerangka Teori dan Konseptual

1. Kerangka Teori

Kerangka teoritis adalah konsep-konsep yang merupakan abstraksi dari hasil pemikiran atau kerangka acuan yang pada dasarnya bertujuan untuk mengadakan

identifikasi terhadap dimensi-dimensi sosial yang dianggap relevan oleh peneliti.4

Adapun teori-teori yang berkaitan dalam penelitian ini adalah mencakup teori pembuktian serta beberapa teori tujuan pemidanaan yang juga mnecakup teori

4

(20)

6

dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan vonis dalam perkara pidana.

Secara teoritis mengenai tujuan dan pedoman pemidanaan dalam proses persidangan sebagaimana dikemukakan oleh Moeljatno yaitu:

“…..maka dalam usaha pencapaian proses peradilan pidana Indonesia secara terpadu, pembuktian dalam proses di persidangan merupakan salah satu masalah urgen untuk diperhatikan. Oleh sebab itu, dalam menjatuhkan vonis maka hakim harus dapat memperhatikan beberapa dasar pertimbangan untuk memberikan sanksi pidana”.5

Berdasarkan pemaparan tersebut, pembuktian merupakan kekuatan-kekuatan yang berisi penggarisan dan pedoman tentang tata cara yang dibenarkan undang-undang

membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa. Pembuktian juga merupakan ketentuan yang mengatur alat-alat bukti yang dibenarkan

undang-undang dan yang boleh dipergunakan oleh hakim membuktikan kesalahan yang didakwakan.6

Berkaitan dengan hal itu, hukum pembuktian merupakan suatu persoalan tentang bagaimana untuk mencari atau mendapatkan kebenaran yang

selengkap-lengkapnya dari suatu peristiwa tertentu sehingga tercapai suatu kebenaran yang materil atau setidak-tidaknya mendekati pada kebenaran yang sempurna. Menurut Wirjono Prodjodikoro menyatakan kebenaran dari suatu peristiwa adalah sebagai

berikut :

“...kebenaran biasanya hanya mengenai keadaan-keadaan tertentu yang sudah lampau, oleh karena roda waktu didunia tidak mungkin diputar kembali maka seorang hakim didalam meyakini kebenaran dari suatu peristiwa haruslah dengan kepastian seratus persen. Untuk mendapatkan keyakinan tersebut hakim membutuhkan alat-alat guna menggambarkan lagi keadaan-keadaan yang sudah lampau itu. Alat-alat tersebut dapat

5

Moeljatno, Pembaharuan Hukum Pidana Nasional. Bumi Aksara. Yogyakarta 1989, hlm. 34

6

(Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Jilid 2

(21)

7

berupa tanda-tanda yang terwujud benda atau barang atau juga ingatan-ingatan orang orang yang mengalami keadaan itu”.7

Berdasarkan pemaparan di atas maka yang dimaksud dengan pembuktian adalah suatu proses beracara yang telah diatur oleh undang-undang dalam mencari suatu kebenaran yang sejati dari suatu tindak pidana yang telah terjadi. Senada dengan

pengertiantersebut, Martiman Prodjohamidjojo mengemukakan bahwa membuktikan mengandung maksud dan usaha untuk menyatakan kebenaran atas

sesuatu peristiwa, sehingga dapat diterima akal terhadap kebenaran peristiwa tersebut.8

Berkaitan dengan hal di atas, sistem pembuktian yang dianut KUHAP Pasal 183

KUHAP mengatur, menentukan salah atau tidaknya seorang terdakwa dan untuk menjatuhkan pidana kepada seorang terdakwa harus:

a. Kesalahannya terbukti dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah;

b. Atas keterbuktian dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah, hakim memperoleh keyakinan bahwa tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.

Sehubungan dengan hal itu, alat bukti merupakan segala sesuatu yang ada

hubungannya dengan suatu perbuatan, dimana dengan alat-alat bukti tersebut, dapat dipergunakan sebagai bahan pembuktian guna menimbulkan keyakinan

hakim atas kebenaran atas suatu tindak pidana yang telah dilakukan oleh

Hari Sasangka dan Lily Rosita, Petunjuk Sebagai Alat Bukti yang Sah Dalam Perkara

Pidana . Alumni. Bandung 2003, hlm. 11

9

(22)

8

2. Konseptual

Konseptual adalah kerangka yang mengambarkan hubungan antara konsep-konsep khusus, yang merupakan kumpulan dalam arti-arti yang berkaitan dengan istilah yang ingin tahu akan diteliti.10 Adapun Konseptual yang digunakan dalam

penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut:

a. Menurut penjelasan Kamus Besar Bahasa Indonesia yang dimaksud dengan

analisis adalah penguraian suatu pokok atas berbagai bagiannya dan penelaahan bagian itu sendiri serta hubungan antar bagian untuk memperoleh pengertian yang tepat dan pemahaman arti keseluruhan.11

b. Pembuktian adalah kekuatan-kekuatan yang berisi penggarisan dan pedoman tentang tata cara yang dibenarkan undang-undang membuktikan kesalahan

yang didakwakan kepada terdakwa. Pembuktian juga merupakan ketentuan yang mengatur alat-alat bukti yang dibenarkan undang-undang dan yang boleh dipergunakan oleh hakim membuktikan kesalahan yang didakwakan.12

c. Alat bukti adalah segala sesuatu yang ada hubungannya dengan suatu perbuatan, dimana dengan alat-alat bukti tersebut, dapat dipergunakan sebagai bahan pembuktian guna menimbulkan keyakinan hakim atas kebenaran atas

suatu tindak pidana yang telah dilakukan oleh terdakwa.13

d. Alat Bukti digital didefinisikan sebagai fisik atau informasi elektronik yang

dikumpulkan selama investigasi komputer yang dapat digunakan untuk bukti dalam persidangan.14

10

Soerjono Soekanto, Op. Cit., hlm. 132

11

Tim Penyusun Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1997, hlm. 32

12

Yahya Harahap, Op. Cit., hlm. 793

13

Hari Sasangka dan Lily Rosita, Op. Cit., hlm. 11.

14

(23)

9

E. Sistematika Penulisan Hukum

Adapun sistematika penulisan hukum terbagi dalam 5 (lima) bab yang saling

berkaitan dan berhubungan. Sistematika dalam penulisan hukum ini adalah sebagai berikut :

I. PENDAHULUAN

Dalam bab pendahuluan ini, penulis menguraikan mengenai latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, metode

penelitian dan sistematika penulisan hukum.

II. TINJAUAN PUSTAKA

Bab ini menguraikan tentang kerangka teori dan kerangka pemikiran. Kerangka

teori meliputi tinjauan umum tentang hukum acara pidana dan tinjauan umum tentang tindak pidana pencucian uang.

III. METODE PENELITIAN

Pada bab ini memuat metode yang digunakan dalam penulisan yang menjelaskan

mengenai langkah-langkah yang digunakan dalam pendekatan masalah, yaitu dalam memperoleh dan megklasifikasikan sumber dan jenis data, serta prosedur

pengumpulan data dan pengolahan data, kemudian dari data yang telah terkumpul dilakukan analisis data dengan bentuk uraian.

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

(24)

10

V. PENUTUP

(25)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Hukum Pembuktian

Secara umum tujuan acara pidana untuk mendapatkan kebenaran tentang terjadinya suatu tindak pidana. Disamping itu acara pidana juga bertujuan untuk

mengatasi kekuasaan para penegak hukum dan melindungi terdakwa dari tindakan-tindakan yang tidak dibenarkan oleh hukum. Namun suatu permasalahan

yang amat penting tetapi juga amat sukar ialah bagaimana hakim dapat menetapkan hal adanya kebenaran itu. Permasalahan ini adalah pembuktian dari hal sesuatu peristiwa.17

Komposisi dalam hukum acara pidana yang berkewajiban membuktikan bahwa

telah terjadi tindak pidana dan terdakwa pelakunya adalah Jaksa Penuntut Umum dengan mengemukakan alat bukti yang sah yang telah diakui oleh

Undang-Undang, dengan minimal dua alat bukti yang sah, demikian KUHAP, barulah hakim diperbolehkan untuk memberikan penilaian dalam rangka mendapatkan keyakinan untuk memutuskan suaru perkara pidana. Sehubungan dengan hal itu,

untuk lebih memperjelas hal di atas ketentuan dalam Pasal 183 KUHAP menjelaskan bahwa:

17

(26)

12

“Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali dengan

sekurang-kurangnya dengan dua alat bukti yang sah ia memperoleh

keyakinan bahwa suatu tindak pidana telah terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya”.

Berdasarkan ketentuan Pasal 183 di atas, KUHAP hanya menentukan minimal

batas alat bukti yang berarti hakim baru dibolehkan memberikan penilaian untuk mendapatkan keyakinan apabila minimal ada dua alat bukti yang sah. Sedangkan batas maksimal tidak ada, yang berarti tidak ada keterikatan bagi hakim untuk

memberikan keyakinan bahwa telah terjadi tindak pidana dan terdakwalah pelakunya walaupun penuntut umum mengemukakan lebih dari dua lat bukti yang

sah menurut Undang-Undang, namun demikian ketidak keterkaitan ini tidak berarti KUHAP memberikan kebebasan tanpa batas kepada hakim untuk tidak memberikan keyakinan, hal ini karena di dalam Pasal 182 Ayat (5) KUHAP djelaskan bahwa: “Dan semua pendapat harus disertai pertimbangan beserta alasannya”. Selanjutnya Pasal 199 huruf b KUHAP menjelaskan bahwa: “Pernyataan bahwa terdakwa diputus bebas atau lepas dari segala ketentuan

hukum, dengan menyebutkan alasan dan peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar putusan”.

Menelaah kedua Pasal di atas serta menghubungkannya dengan sistem

pembuktian yang negatif sebagaimana dianut oleh KUHAP, maka dapat diketahui bahwa dalam hal pembuktian hakim dibolehkan untuk tidak meyakini alat-alat

(27)

13

harus menyebutkan alasan ketidak yakinannya itu serta pasal peraturan

perundang-undang yang menjadi dasar putusan. Apapun yang telah ditentukan oleh Pasal 183 KUHAP dan Pasal 6 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 48 tahun

2009 tentang Pokok Kekuasaan Kehakiman serta sistem pembuktian yang negatif dalam KUHAP, tidak lain tujuan nya agar keputusan hakim yang mengandung pemidanaan betul-betul sesuai dengan kenyataan, dalam arti betul-betul telah

terjadi tindak pidana dan terdakwa pelakunya, dengan kata lain tidak terjadi penghukuman terhadap orang terhadap orang yang tidak bersalah dalam hal ini hokum acara pidana mengakui pendapat yang menyatakan bahwa “lebih baik

melepaskan seratus orang yang bersalah dari pada menghukum satu orang yang tidak bersalah”.

Sehubungan dengan hal tersebut, acara pidana sebetulnya hanya merupakan jalan untuk mendapatkan kebenaran yang sejati yang intinya adalah pembuktian, maka dalam acara pidana dikenal tiga bagian hukum pembuktian, yaitu:

a. Penyebutan alat bukti yang dapat dipakai oleh hakim untuk mendapatkan gambaran dari peristiwa pidana yang sudah lampau.

b. Penguraian cara bagaimana alat-alat bukti dipergunakan.

c. Kekuatan pembuktian dari masing-masing alat bukti.

Ketiga macam hukum pembuktian di atas akan dibahas dalam uraian tentang petunjuk sebagai alat bukti yang sah dalam dalam perkara pidana sebagai

(28)

14

B. Pengertian Alat Bukti

Alat bukti adalah segala sesuatu yang ada hubungannya dengan suatu perbuatan, dimana alat-alat tersebut, dapat digunakan sebagai bahan pembuktian guna

menimbulkan keyakinan hakim atas kebenaran adanya suatu tindak pidana yang telah dilakukan oleh terdakwa. Di dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP menjelaskan tentang apa saja kah yang menjadi bukti yang sah menurut Hukum Formil ini.

Ditegaskan bahwa Alat bukti yang sah ialah : 1. keterangan saksi;

2. keterangan ahli; 3. surat,

4. petunjuk;

5. keterangan terdakwa.

Untuk lebih jelasnya dapat dijelaskan satu persatu berdasarkan teori hukum yang Penulis pelajari.

a. Keterangan saksi

Saksi adalah setiap orang yang mendengar sendiri, melihat sendiri, dan

mengalami sendiri tentang suatu tindak pidana. Agar suatu keterangan saksi atau kesaksian dapat dianggap sah dan memilki kekuatan pembuktian, maka harus dipenuhi ketentuan sebagai berikut:

1) Merupakan keterangan atas suatu peristiwa pidana yang telah saksi lihat, dengar atau alami sendiri, dengan menyebut alasan dari pengetahuannya tersebut (pengertian “„keterangan saksi” berdasarkan Pasal 1 butir 27

(29)

15

2) Keterangan seorang saksi saja tidak cukup tanpa disertai oleh alat bukti yang

sah lainnya.

3) Bukan merupakan pendapat atau rekaan yang diperoleh sebagai hasil dari

pemikiran.

4) Harus diberikan oleh saksi yang telah mengucapkan sumpah. 5) Harus diberikan di muka sidang pengadilan .

6) Keterangan saksi-saksi yang berdiri sendiri dapat digunakan sebagai alat bukti bila keterangan tersebut bersesuaian satu sama lain sehingga dapat

menggambarkan suatu kejadian tertentu.

Untuk menilai kebenaran atas keterangan beberapa saksi sebagai alat bukti, maka hakim harus dengan sungguh-sungguh memperhatikan dan mempertimbangkan

hal-hal berikut (Pasal 185 ayat (6) KUHAP):

1) Kesesuaian antara keterangan saksi satu dengan yang lainnya. 2) Kesesuaian antara keterangan saksi dengan alat bukti lain.

3) Alasan saksi dalam memberikan keterangan tertentu.

4) Cara hidup dan kesusilaan serta hal-hal lain yang pada umumnya mempengaruhi dapat tidaknya keterangan tersebut dipercaya.

b. Keterangan ahli

Keterangan ahli merupakan keterangan yang diberikan oleh seseorang yang memilki keahlian khusus mengenai suatu hal yang diperlukan guna membuat

terang suatu perkara pidana demi kepentingan pemeriksaan. Keterangan ahli harus dinyatakan dalam sidang pengadilan dan diberikan dibawah sumpah (Pasal 186

(30)

16

pemeriksaan oleh penyidik atau penuntut umum dan dituangkan dalam suatu

bentuk laporan (Pasal 133 jo penjelasan Pasal 186 KUHAP).

Visum et repertum merupakan alat bukti yang dikatakan memiliki dualisme sebagai alat bukti dimana visum menyentuh dua sisi alat bukti yang sah menurut

undang-undang; yaitu keterangan ahli dan surat. Visum sebagai alat bukti keterangan ahli merupakan bentuk dari keterangan ahli yang diberikan pada waktu

penyidikan dan dituangkan dalam bentuk laporan (sebagaimana ditegaskan dalam penjelasan Pasal 186 KUHAP).

c. Surat

Surat sebagai alat bukti yang sah harus dibuat atas sumpah jabatan dan dikuatkan dengan sumpah. Dalam Pasal 187 KUHAP disebutkan secara luas bentuk-bentuk surat yang bernilai sebagai alat bukti yaitu:

1) Berita acara atau surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat oleh atau dihadapan pejabat yang berwenang mengenai suatu kejadian yang didengar/dilihat/dialami sendiri disertai alasan yang jelas mengenai keterangan

tersebut.

2) Surat yang dibuat menurut ketentuan peraturan perundangan atau yang dibuat

oleh pejabat mengenai hal yang termasuk dalam tata laksana yang menjadi tanggung jawabnya.

3) Surat keterangan dari seorang ahli yang memuat keterangan berdasarkan

(31)

17

Alat bukti surat dinilai sebagai alat bukti yang sempurna dan memiliki kekuatan

mengikat bagi hakim (volledig en beslissende bewijskracht). Namun demikian, kesempurnaan dan kekuatan mengikat tersebut hanyalah secara formal. Pada

akhirnya, keyakinan hakimlah yang menentukan kekuatan pembuktiannya.

Berdasarkan keterangan tersebut, visum et repertum juga dapat digolongkan sebagai alat bukti surat yaitu surat keterangan seorang ahli atas suatu hal yang

dibuat berdasarkan keahliannya, dan dimintakan secara resmi kepadanya oleh penyidik.

d. Petunjuk

Petunjuk adalah suatu “isyarat” yang dapat ditarik atas suatu perbuatan atau

kejadian atau keadaan yang bersesuaian, sehingga menandakan telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya. Petunjuk hanya dapat diperoleh secara terbatas

dari keterangan saksi, surat, dan keterangan terdakwa. Pada umumnya, alat bukti petunjuk baru diperlukan bila alat bukti yang lain belum dianggap hakim cukup membuktikan kesalahan Terdakwa.

e. Keterangan Terdakwa

Keterangan Terdakwa dapat diberikan di dalam dan diluar sidang. Yang dapat dijadikan sebagai alat bukti yang sah menurut undang-undang adalah keterangan

Terdakwa di hadapan sidang. Keterangan yang diberikan diluar sidang dapat digunakan untuk membantu menemukan bukti di sidang; selama didukung oleh

(32)

18

Adapun keterangan Terdakwa sebagai alat bukti, tanpa disertai oleh alat bukti

lainnya, tidak cukup untuk membuktikan kesalahan Terdakwa. Hal ini merupakan ketentuan beban minimum pembuktian sebagaimana diatur dalam Pasal 183

KUHAP, yaitu dua alat bukti yang sah menurut undang-undang.

C. Tinjauan Umum tentang Alat Bukti Digital / Elektronik.

Alat Bukti digital didefinisikan sebagai fisik atau informasi elektronik yang

dikumpulkan selama investigasi komputer yang dapat digunakan untuk bukti dalam persidangan, namun tidak terbatas pada komputer file (seperti file log atau dihasilkan laporan) dan file yang dihasilkan manusia (seperti spreadsheet,

dokumen, atau pesan email).18 Macam Macam Alat bukti Digital diantaranya : 1. E-mail.

Adalah singkatan dari Electronic Mail, yaitu surat yang baik berupa teks maupun gabungan dengan gambar, yang dikirimkan dari satu alamat email ke alamat lain di jaringan internet.

2. SMS (Short Message Service)

Short Message Service (SMS) adalah suatu fasilitas untuk mengirim dan

menerima suatu pesan singkat berupa teks melalui perangkat nirkabel, yaitu perangkat komunikasi teleon selular, dalam hal ini perangkat nirkabel yang digunakan adalah telepon selular

3. File berbentuk (J.PG, T.IF, G.IF dll)

File dengan Extension J.PG, T.IF, G.IF, yang biasanya berupa gambar.

18

(33)

19

4. Rekaman penyadapan.

Yaitu rekaman yang didapat dari penyadapan pembicaraan seseorang dengan orang lain yang diduga kuat berhubungan secara langsung ataupun tidak langsung

dengan tindak pidana korupsi.

5. CCTV (Closed Circuit Television)

Yaitu perangkat kamera video digital yang digunakan untuk mengirim sinyal ke

layar monitor di suatu ruang atau tempat tertentu. Hal tersebut memiliki tujuan untuk dapat memantau situasi dan kondisi tempat tertentu, sehingga dapat

mencegah terjadinya kejahatan atau dapat dijadikan sebagai bukti tindak kejahatan yang telah terjadi.

6. Teleconference, Televideoconference.

Yaitu hubungan jarak jauh antara orang satu dengan yang lain, dimana kita dapat mendengar suara dan gambar lawan bicara kita secara real time

Penggunaan alat bukti elektronik di negara negara maju sudah diakui sebagai alat

bukti yang sah serta dipertimbangkan hakim dalam memutus perkara baik pidana atau perdata. Di Negara negara lain terdapat peraturan yang mengatur alat bukti elektronik sebagai alat bukti yang sah di pengadilan. Sebagai contoh Negara

Malaysia, di Malaysia alat bukti diatur dalam Evidence Act 1950 atau UU tentang Alat Bukti 1950. Dalam UU tersebut alat bukti dibagi atas dua macam, yaitu alat

bukti primer dan alat bukti sekunder. Yang dimaksud alat bukti primer berdasarkan Pasal 62 evidence act adalah alat bukti berupa dokumen yang original

(34)

20

Bagian-bagian dari dokumen tersebut sepanjang itu original dianggap sebagai alat

bukti primer.

Alat bukti sekunder ialah alat bukti yang tidak original. Ketidak originalan alat bukti tersebut bisa dikarenakan ia merupakan copy-an, rekaman yang merupakan

duplikasi dari alat bukti primer. Masuknya alat bukti elektronik dalam evidence act 1950 yaitu adanya perubahan atau lebih tepatnya penambahan pada Pasal 62

tentang alat bukti primer. Dalam klausul terakhir pasal tersebut dinyatakan bahwa dokumen yang dikeluarkan dari komputer merupakan alat bukti primer. Dalam Undang Undang tersebut memberikan definisi komputer tidak tersekat oleh

penamaan benda, tetapi lebih kepada prosesnya, apapun nama benda tersebut.19

Alat bukti elektronik di Indonesia sesungguhnya juga diperkenankan dalam rumusan beberapa undang undang, diantaranya :

a. Undang Undang Nomor 8 Tahun 1997 tentang dokumen perusahaan.

Dikeluarkannya Undang-undang No.8 Tahun 1997 tanggal 24 Maret 1997 tentang Dokumen Perusahaan, Pemerintah berusaha untuk mengatur pengakuan atas

mikrofilm dan media lainnya (alat penyimpan informasi yang bukan kertas dan mempunyai tingkat pengamanan yang dapat menjamin keaslian dokumen yang

dialihkan atau ditransformasikan). Pengaturan tersebut diatur dalam Pasal 12 Undang-undang tentang Dokumen Perusahaan tersebut sebagai alat bukti yang sah”.

19

(35)

21

b. Undang Undang Nomor 31 Tahun 1999 yang telah diubah dan ditambah

dengan Undang Undang Nomor 20 Tahun 2001.

Berdasarkan Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas

Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, adanya perluasan mengenai sumber perolehan alat bukti yang sah berupa petunjuk. Tetapi, menurut Undang-Undang No. 20 Tahun 2001, bukti petunjuk

juga dapat diperoleh dari alat bukti lain yang berupa informasi yang diucapkan, dikirim, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang

serupa dengan itu tetapi tidak terbatas pada data penghubung elektronik (electronic data interchange), surat elektronik (email), telegram, teleks, faksimili,

dan dari dokumen, yakni setiap rekaman data atau informasi yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang di atas kertas, benda fisik apapun selain kertas, maupun yang terekam secara elektronik,

yang berupa tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, huruf, tanda, angka, atau perforasi yang memiliki makna.

c. Undang Undang Nomor 25 Tahun 2003 tentang Pencucian Uang.

Kejahatan pencucuian uang/money laundering merupakan kejahatan yang

biasanya melibatkan antar negara, untuk menyamarkan tindak pidana pencucian uang biasanya uang hasil kejahatan disimpan di luar negeri. Pasal 2 angka (1q)

Undang-undang pencucian uang mengatur juga mengenai alat bukti elektronik atau digital evidence sesuai dengan Pasal 38 huruf (b), yaitu alat bukti lain berupa

(36)

22

d. Undang Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Tindak pidana perdagangan

orang

Pasal 29 Undang-Undang No. 21 tahun 2007 tentang Perdagangan Orang ini

mengatur mengenai alat bukti selain sebagaimana ditentukan dalam Undang-Undang Hukum Acara Pidana, dapat pula berupa” :

1) Informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima, atau disimpan secara

elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu; dan

2) Data, rekaman, atau informasi yang dapat dilihat, dibaca, dan/atau didengar

yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang di atas kertas, benda fisik apapun selain kertas, atau yang terekam

secara elektronik, termasuk tidak terbatas pada : a) tulisan, suara atau gambar;

b) peta, rancangan, foto atau sejenisnya;

Kendati telah diatur dalam beberapa UU, namun alat bukti elektronik sifatnya

masih parsial dan limitatif, sebab ia hanya dapat dipergunakan terbatas dalam tindakan hukum serta kasus kasus tertentu. KUHAP sebagai sumber hukum acara pidana sendiri tidak mengatur mengenai alat bukti digital.

D. Pengertian Tindak Pidana dan Tindak Pidana Korupsi

Istilah Tindak Pidana atau strafbaarfeit atau perbuatan pidana merupakan suatu perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum larangan mana disertai ancaman

(sanksi) yang berupa pidana tertentu, barangsiapa melanggar larangan tersebut.20 Adapun beberapa tokoh yang memiliki perbedaan pendapat tentang peristilahan

20

(37)

23

strafbaarfeit” atau tindak pidana, menurut Simons tindak pidana adalah tindakan

melanggar hukum yang telah dilakukan dengan sengaja ataupun tidak sengaja oleh seseorang yang dapat dipertanggungjawabkan atas tindakannya dan yang

oleh undang-undang telah dinyatakan sebagai suatu tindakan yang dapat dihukum.21 Menurut Wirjono Prodjodikoro tindak pidana merupakan pelanggaran norma-norma dalam 3 (tiga) bidang hukum lain, yaitu hukum perdata, hukum

ketatanegaraan, dan hukum tata usaha pemerintah, yang oleh pembentuk undang-undang ditanggapi dengan suatu hukum pidana.22

Beberapa peristilahan dan definisi diatas, menurut pendapat penulis yang dirasa paling tepat digunakan adalah “Tindak Pidana dan Perbuatan Pidana”, dengan

alasan selain mengandung pengertian yang tepat dan jelas, sebagai istilah hukum

juga sangat praktis diucapkan dan sudah dikenal oleh masyarakat pada umumnya. Menurut Moeljatno, Perbuatan Pidana didefinisikan sebagai perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang

berupa pidana tertentu, bagi barangsiapa melanggar larangan tersebut.23 Menurut Moeljatno, yang dikutib oleh Adam Chazawi perbuatan pidana lebih tepat digunakan dengan alasan sebagai berikut :

1) Perbuatan yang dilarang adalah perbuatannya (perbuatan manusia, yaitu suatu kejadian atau keadaan yang ditimbulkan oleh kelakuan orang), artinya

larangan itu ditujukan pada perbuatannya. Sementara itu, ancaman pidananya itu ditujukan pada orangnya.

21

PAF Lamintang, Delik-delik khusus, Sinar Baru , Bandung,1984, hlm 185.

22

Wiryono Prodjodikoro, Op, Cit, hlm. 01

23

(38)

24

2) Antara larangan (yang ditujukan pada perbuatan) dengan ancaman pidana

(yang ditujukan pada orangnya), ada hubungan yang erat. Oleh karena itu, perbuatan (yang berupa keadaan atau kejadian yang ditimbulkan orang tadi,

melanggar larangan) dengan orang yang menimbulkan perbuatan tadi ada hubungan erat pula.

3) Untuk menyatakan adanya hubungan yang erat itulah, maka lebih tepat

digunakan istilah perbuatan pidana, suatu pengertian abstrak yang menunjuk pada dua keadaan konkret yaitu pertama, adanya kejadian tertentu (perbuatan),

dan kedua, adanya orang yang berbuat atau yang menimbulkan kejadian itu.24

Menurut Roeslan Saleh, perbuatan pidana didefinisikan sebagai perbuatan yang bertentangan dengan tata atau ketertiban yang dikehendaki oleh hukum.25 Beliau

membedakan istilah perbuatan pidana dengan strafbaarfeit. Ini dikarenakan perbuatan pidana hanya menunjuk pada sifat perbuatan yang terlarang oleh peraturan perundang-undangan. Soedarto memakai istiah tindak pidana sebagai

pengganti dari pada strafbaarfeit, adapaun alasan beliau karena tindak pidana sudah dapat diterima oleh masyarakat.

Terdapat kelompok sarjana yang berpandangan monistis dan dualistis dalam

kaitannya dengan tindak pidana. Pandangan monistis berpendapat bahwa semua unsur dari suatu tindak pidana yaitu unsure perbuatan, unsur memenuhi ketentuan undang-undang, unsur sifat melawan hukum, unsur kesalahan dan unsur

bertanggungjawab digunakan sebagai satu kesatuan yang utuh, sehingga memungkinkan untuk dijatuhkan pidana kepada pelakunya. Mereka yang

24

Adam Chazawi, Op, Cit, hlm. 71

25

(39)

25

berpandangan dualistis, memisahkan perbuatan dengan pertanggungajawaban

pidana dalam pengertian jika perbuatan tersebut telah memenuhi unsur yang terdapat dalam rumusan undang-undang, maka perbuatan tersebut merupakan

suatu tindak pidana. Mengenai pelaku tersebut, dalam hal pertanggungjawaban pidana, masih harus ditinjau secara tersendiri, apakah pelaku tersebut mempunyai kualifikasi tertentu sehingga ia dapat dijatuhi pidana. Sebagai contoh apabila

pelaku mengalami gangguan jiwa maka ia tidak dapat dipidana.

Korupsi merupakan gejala masyarakat yang dapat dijumpai dimana-mana. Sejarah membuktikan bahwa hampir tiap Negara dihadapkan pada masalah korupsi. Tidak

berlebihan jika pengertian korupsi selalu berkembang dan berubah sesuai dengan perubahan zaman. Istilah korupsi berasal dari bahasa latin Corruptie atau

Corruptus. Selanjutnya, disebutkan bahwa Corruptio itu berasal dari kata

Corrumpore, suatu kata latin kuno. Dari bahasa latin inilah, istilah Corruptio

turun kebanyak bahasa Eropa, seperti inggris: Corruption, Corrupt; Prancis:

Corruption; dan Belanda: Corruptie.26

Arti harfiah dari kata Corrupt ialah kebusukan, keburukan, kebejatan, ketidak jujuran, dapat disuap, tidak bermoral, penyimpangan dari kesucian, kata-kata atau

ucapan yang menghina atau memfitnah,27 sedangkan menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia, Korupsi adalah penyelewengan atau penggelapan (uang negara atau perusahaan dsb) untuk keuntungan pribadi atau orang lain.28

26

Lilik Mulyadi, Tindak pidana korupsi, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000, hlm. 16

27

Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia. Ghalia Indonesia. Jakarta. 1984, hlm. 9

28

(40)

26

Andi Hamzah menyebutkan ada beberapa faktor yang menyebabkan tumbuh

suburnya korupsi:

1) Kurangnya gaji Pegawai Negeri Sipil (PNS) jika dibandingkan dengan

kebutuhan sehari hari yang semakin meningkat.

2) Kultur kebudayaan Indonesia yang merupakan sumber meluasnya korupsi. 3) Manajemen yang kurang baik serta komunikasi yang tidak efektif dan efisien.

4) Modernisasi.29

Tindak pidana Korupsi merupakan salah satu satu bagian dari hukum pidana khusus disamping mempunyai spesifikasi tertentu yang berbeda dengan hukum

pidana umum, seperti adanya penyimpangan pada hukum acara serta apabila ditinjau dari materi yang diatur maka secara langsung atau tidak langsung

dimaksudkan untuk menekan seminimal mungkin kebocoran dan penyimpangan keuangan dan perekonomian negara. Dengan diantisipasi sedini mungkin penyimpangan tersebut, diharapkan roda perekonomian dan pembangunan dapat

dilaksanakan sebagaimana mestinya, sehingga lambat laun akan membawa dampak adanya peningkatan pembangunan dan kesejahteraan masyarakat pada umumnya.

Secara Yuridis Formal pengertian Tindak Pidana Korupsi terdapat dalam Bab II tentang Tindak Pidana Korupsi Pasal 2 sampai dengan Pasal 20 serta Bab III tentang Tindak Pidana Lain yang berkaitan dengan Tindak Pidana Korupsi Pasal

21 sampai dengan 24 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Suatu perbuatan atau tindakan untuk

29

(41)

27

dapat dikategorikan sebagai suatu tindak pidana mempunyai unsur-unsur tindak

pidana yang harus dipenuhi. Demikian halnya suatu tindak pidana untuk dikatakan sebagai suatu tindak pidana korupsi terdapat unsur-unsur yang harus dipenuhi.

Berdasarkan Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999, yang dimaksud dengan

tindak pidana korupsi adalah: 1) Pasal 2 ayat (1) :

“Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya

diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian negara.”

2) Pasal 3 :

“Setiap orang yang dengan sengaja menguntungkan diri sendiri atau orang lain

atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.”

Mengacu kepada definisi dari masing-masing Pasal maka dapat diuraikan

unsur-unsur dari Tindak Pidana Korupsi, yaitu:

1) Setiap orang termasuk pegawai negeri, orang yang menerima gaji atau upah

dari keuangan negara atau daerah; orang yang menerima gaji atau upah dari suatu korporasi yang menerima bantuan dari keuangan negara atau daerah, orang yang menerima gaji atau upah dari korporasi lain yang mempergunakan

modal atau fasilitas dari negara atau masyarakat. Selain pengertian sebagaimana tersebut di atas termasuk setiap orang adalah orang perorangan

(42)

28

2) Secara melawan hukum adalah melawan hukum atau tidak, sesuai dengan

ketentuan-ketentuan baik secara formal maupun material, meskipun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan-peraturan maupun perundang-undangan.

Selain dari itu juga termasuk tindakan-tindakan yang melawan prosedur dan ketentuan dalam sebuah instansi, perusahaan yang telah ditetapkan oleh yang berkompeten dalam organisasi tersebut.

3) Melakukan perbuatan adalah sebagaimana yang diatur dalam Pasal 15 Undang-undang No. 31 tahun 1999, yaitu berupa upaya percobaan,

pembantuan, atau permufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana korupsi. Jadi walaupun belum terbukti telah melakukan suatu tindakan pidana korupsi,

namun jika dapat dibuktikan telah ada upaya percobaan, maka juga telah memenuhi unsur dari melakukan perbuatan.

4) Memperkaya diri, atau orang lain atau suatu korporasi adalah memberikan

manfaat kepada pelaku tindak pidana korupsi, baik berupa pribadi, atau orang lain atau suatu korporasi. Bentuk manfaat yang diperoleh karena meperkaya diri adalah, terutama berupa uang atau bentuk-bentuk harta lainnya seperti

surat-surat berharga atau bentuk-bentuk asset berharga lainnya, termasuk di dalamnya memberikan keuntungan kepada suatu korporasi yang diperoleh

dengan cara melawan hukum. Dalam hal yang berkaitan dengan korporasi, juga termasuk memperkaya diri dari pengurus-pengurus atau orang-orang yang memiliki hubungan kerja atau hubungan-hubungan lainnya.

5) Dapat merugikan keuangan negara adalah sesuai dengan peletakan kata dapat sebelum kata-kata merugikan keuangan negara atau perekonomian negara,

(43)

29

adanya tindak pidana korupsi adalah cukup dengan adanya unsur-unsur

(44)

III. METODE PENELITIAN

A. Pendekatan Masalah

Proses pengumpulan dan penyajian sehubungan dengan penelitian ini maka

digunakan pendekatan secara yuridis normatif dan yuridis empiris. Pendekatan Yuridis Normatif adalah suatu pendekatan yang dilakukan dimana pengumpulan

dan penyajian data dilakukan dengan mempelajari dan menelaah konsep-konsep dan teori-teori serta peraturan-peraturan secara kepustakaan yang berkaitan dengan pokok bahasan penulisan skripsi ini. Sedangkan pendekatan yuridis

empiris dilakukan untuk mempelajari hukum dalam kenyataan yang ada serta penegakan hukum di Indonesia.24

B. Sumber dan Jenis Data

Data yang dipergunakan dalam penelitian ini bersumber pada data sekunder. Data

sekunder yaitu data yang diperoleh dari studi kepustakaan dengan cara membaca, mengutip dan menelaah peraturan perundang-undangan, buku-buku, dokumen, kamus, artikel dan literatur hukum lainnya yang berkenaan dengan permasalahan

yang akan dibahas, yang terdiri dari :

24

(45)

31

a. Bahan Hukum Primer, antara lain:

1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)

2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

3) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak

Pidana Korupsi. b. Bahan Hukum Sekunder

Bahan hukum sekunder yaitu bahan-bahan yang memberikan penjelasan bahan hukum primer dalam hal ini teori-teori yang dukemukakan para ahli,

RUU Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, dan RUU Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.

c. Bahan Hukum Tersier

Bahan hukum tersier yaitu bahan-bahan hukum yang memberikan penjelasan bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder yang terdiri dari Literatur, Kamus, Internet, Makalah dan lain-lain

C. Penentuan Responden

Responden merupakan sejumlah objek yang jumlahnya kurang dari populasi. Pada sampel penelitiannya diambil dari beberapa orang populasi secara “purposive sampling” atau penarikan sampel yang bertujuan dilakukan dengan cara mengambil subjek berdasarkan pada tujuan tertentu.25 Adapun Responden dalam penelitian ini sebanyak 4 (empat) orang, yaitu :

25

(46)

32

1. Hakim Pengadilan Negeri Tanjung Karang = 2 orang

2. Penyidik Kepolisian Resor Bandar Lampung = 1 orang 3. Dosen Fakultas Hukum Universitas Lampung = 1 orang +

Jumlah = 4 orang

D. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data

1. Prosedur Pengumpulan Data a. Studi kepustakaan

Terlebih dahulu mencari dan mengumpulkan buku-buku literatur yang erat hubungannya dengan permasalahan yang sedang dibahas sehingga dapat mengumpulkan data sekunder dengan cara membaca, mencatat, merangkum

untuk dianalisa lebih lanjut. b. Studi lapangan

Studi Lapangan merupakan penelitian yang dilakukan dengan cara wawancara

(interview) yaitu sebagai usaha mengumpulkan data dengan mengajukan pertanyaan secara lisan. Teknik wawancara dilakukan secara langsung dan

terbuka kepada narasumber.

2. Prosedur Pengolahan Data

Keseluruhan Data yang telah diperoleh, baik dari kepustakaan maupun penelitian lapangan kemudian diproses, diteliti kembali dan disusun kembali secara seksama.

(47)

33

kekeliruan-kekeliruan serta belum lengkap dan lain sebagainya, terhadap data

yang telah diperoleh. Pengolahan data yang dilakukan dengan cara: a. Editing (pemeriksaan data)

Data yang telah dikumpulkan baik data sekunder maupun primer, dilakukan pemeriksaan untuk mengetahui apakah data yang dibutuhkan tersebut sudah cukup dan benar.

b. Klasifikasi (pengelompokan data)

Data yang sudah terkumpul dikelompokan sesuai dengan jenis dan sifatnya

agar mudah dibaca selanjutnya dapat disusun secara sistematis. c. Sistematisasi Data (penyusunan data)

Data yang sudah dikelompokkan disusun secara sistematis sesuai dengan pokok permasalahan konsep dan tujuan penelitian agar mudah dalam menganalisis data.

E. Analisis Data

Proses analisis adalah merupakan usaha untuk menemukan jawaban atas

pertanyaan perihal pembinaan dan hal-hal yang diperoleh dari suatu penelitian pendahuluan. Dalam proses analisis rangkaian data yang telah disusun secara

sistematis dan menurut klasifikasinya, diuraikan, dianalisis secara kualitatif yaitu dangan cara merumuskan dalam bentuk uraian kalimat, sehingga merupakan jawaban. Sedangkan dalam pengambilan kesimpulan dan hasil analisis tersebut

penulis berpedoman pada cara berfikir induktif, yaitu cara berfikir dalam mengambil kesimpulan atas fakta-fakta yang bersifat khusus lalu diambil

(48)

V. PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan maka dapat di tarik kesimoulan sebagai berikut :

1. Penggunaan alat bukti digital dalam pembuktian perkara korupsi adalah

sebagai bukti petunjuk. KUHAP tidak mengatur mengenai keberadaan alat bukti digital, pengaturan mengenai alat bukti digital dalam pembuktian

perkara korupsi diatur secara Lex Specialist di dalam UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi. Pasal 26 A UU Nomor 20

tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi memperluas cakupan alat bukti petunjuk dalam KUHAP, sehingga alat bukti digital juga termasuk

di dalam alat bukti petunjuk.

2. Kekuatan pembuktian alat bukti digital/elektronik dalam pembuktian perkara korupsi memiliki kekuatan pembuktian yang sama dengan semua alat bukti

pada Hukum Acara Pidana. Alat bukti digital yang dapat digunakan sesuai dengan Pasal 26 A adalah alat butki digital yang mempunyai makna. Hal

(49)

51

yang “Nyata dan Utuh” yang bermuara pada keyakinan hakim tentang

terjadinya tindak pidana dan terdakwalah yang melakukannya.

B. Saran

1. Perlu segera adanya penyempurnaan pada KUHAP yang mengakomodir

mengenai penggunaan alat bukti digital. Mengingat, seiring dengan kemajuan zaman dan teknologi yang membawa dampak pada banyaknya kejahatan kejahatan yang menggunakan media komputer dan elektronik yang dalam

pembuktiannya pasti memerlukan adanya pembuktian menggunakan alat bukti digital.

2. Perlunya peningkatan dan keahlian para aparat penegak hukum di bidang Teknologi Informasi untuk mengantisipasi kejahatan yang menggunakan peralatan digital / elektronik di masa mendatang. Karena perkembangan

Referensi

Dokumen terkait

2.1.2.3 Perhitungan pada Siklus Kompresi Uap Diagram tekanan entalpi siklus kompresi uap dapat digunakan untuk menganalisa unjuk kerja mesin pendingin kompresi uap yang meliputi

Lempeng Amerika Utara Lempeng Eurasia Lempeng Arab Lempeng Afrika Lempeng Pasifik Lempeng Indo-Australian Lempeng Antartka Lempeng Amerika Selatan Lempeng Karibia Lempeng

Organisasi Lini dan Fungsional adalah organisasi yang masing-masing anggota mempunyai wewenang yang sama dan pimpinannya kolektif. Organisasi Komite lebih mengutamakan

Melalui video pembelajaran , bahan ajar, diskusi kelompok, tanya jawab dengan guru melalui WaG di LKPD 1, peserta didik dapat mendeskripsikan jenis-jenis sendi

Corak ‘ilmi terutama berkaitan dengan ayat-ayat kauniyah yang terdapat dalam Alquran. Tafsir jenis ini berkembang pesat setelah kemajuan peradaban di dunia Islam. Meskipun

Dari hasil penelitian, dapat disimpulkan bahwa (1) seiring dengan perkembangan masyarakat dan pembangunan yang diarahkan pada masyarakat pedesaan di Kecamatan

Alat- dan bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah bubuk temulawak instan, gula halus, soda kue, asam sitrat, kandang ayam, sekam, sekat, feeder, drinker, brooder,

Pondasi Tiang Pancang adalah bagian-bagian konstruksi yang dibuat dari kayu, beton dan baja, yang digunakan untuk mentransmisikan beban- beban permukaan ke tingkat