INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK
SKRIPSI
Oleh
WENDY DESKY R
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG
Halaman
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ... 1
B. Permasalahan dan Ruang Lingkup ... 9
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian... 10
D. Kerangka Teoritis dan Konseptual ... 11
E. Sistematika Penulisan... 19
II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian dan Unsur-Unsur Tindak Pidana ... 21
B. Pertanggungjawaban Pidana... 31
C. Pornografi dalam Undang-Undang No. 44 Tahun 2008 Tentang Pornografi dan Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik ... 33
D. Teori Pertanggungjawaban Pidana ... 37
E. Teori Penanggulangan Tindak Pidana... 39
III. METODE PENELITIAN A. Pendekatan Masalah ... 43
B. Jenis dan Sumber Data ... 44
C. Penentuan Populasi dan Sampel... 46
D. Metode Pengumpulan dan Pengolahan Data... 46
E. Analisis Data ... 47
IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Karakteristik Responden ... 49
... 62
V. KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan... 67
B. Saran ... 68
DAFTAR PUSTAKA
PORNO DITINJAU DARI TENTANG PORNOGRAFI DAN UU TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK
Oleh
WENDY DESKY R
Hadirnya media internet secara global menyebabkan siapa saja dapat mengakses situs-situs yang tersedia secara mudah. Ketentuan tentang pornografi dalam dunia maya tidak saja berupa tindak pidana penyebaran gambar-gambar yang dianggap tabu/porno untuk dipertontonkan kepada publik, melainkan juga dimanfaatkan sebagai media transaksi prostitusi secara online. Situs-situs porno tersebut juga menjual/menawarkan gambar-gambar bahkan cerita-cerita porno kepada setiap orang yang mengunjungi situs tersebut dengan pembayaran melalui transfer online. Permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimanakah pertanggungjawaban pidana yang dapat dijatuhkan kepada pemilik situs porno ditinjau dari Undang-Undang Pornografi dan Informasi dan Transaksi Elektronik? dan apakah faktor penghambat dalam pertanggungjawaban pidana yang dapat dijatuhkan kepada pemilik situs porno ditinjau dari Undang-Undang Pornografi dan Informasi dan Transaksi Elektronik?.
Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif, pendekatan analisis empiris karena penelitian ini berdasarkan jenisnya merupakan kombinasi antara penelitian normatif dengan empiris. Sedangkan berdasarkan sifat, bentuk dan tujuannya adalah penelitian deskriptif dan problem identification, yaitu dengan mengidentifikasi masalah yang muncul kemudian dijelaskan berdasarkan peraturan-peraturan atau perundang-undangan yang berlaku serta ditunjang dengan landasan teori yang berhubungan dengan penelitian. Metode analisis data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah analisis kuantitatif, hal ini didasarkan pada teori bahwa penelitian normatif dimana perolehan datanya lebih dominan dengan studi kepustakaan/data sekunder (meliputi hukum primer, sekunder dan tersier) metode yang diterapkan lebih tepat analisis kualitatif, sedangkan data primer hasil pengamatan dan wawancara dikualitatifkan.
keterampilan aparat selaku penyelidik dan penyidik di bidang komputer ini mengakibatkan teknis penyelidikan, penuntutan dan pemeriksaan terhadap suatu perkara akan sulit dikuasai apalagi saat di pengadilan, karena menyangkut sistem yang ada dalam komputer, dimana sistem dalam komputer yang digunakan oleh pelaku cyberporn juga harus dikuasai oleh aparat penegak hukum, polisi selaku penyidik.
Ade Maman Suherman,Aspek Hukum Dalam Ekonomi Global, Ghalia Indonesia, Jakarta,
Arief, Barda Nawawi, 1996. Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, PT. Citra Aditya Bhakti, Bandung.
Arikunto, Suharsimi, 1998. Prosedur Penelitian, SuatuPendekatan Praktik. Penerbit Rineka Cipta. Jakarta.
Didik M. Arief Mansur dan Alisatris Gultom, op.cit.
Ervina Lerry W.S., Iman dan 25 Drs. H. Sutarman, M.H. Op. cit.hlm. 66.
Leden Marpaung, S.H., Kejahatan Terhadap Kesusilaan dan Masalah Prevensinya, Sinar Grafika, Jakarta, 2004.
Maleong, Lexy J, 2005,Metode Penelitian Sosial: Edisi Revisi, Bandung, Remaja Rosdakarya.
Mas Wigrantoro Roes Setiyadi dan Mirna Dian Avanti Siregar, Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana di Bidang Teknologi Informasi, Global Internet PolicyInitiative-Indonesia bekerja sama dengan Indonesia Media Law and Policy Center, November, 2003,
Rumusan Sementara Seminar Cyber Crime dan Cyber Porn Dalam Perspektif Hukum Teknologi dan Hukum Pidana, Semarang, 6–7 Juni 2007, hlm 15-16.
Soekanto, Soerjono. 1986.Metode Penelitian Sosial. Bina Rupa Aksara. Jakarta.
Stella K.R.,The World of Cyber Crimes: Carding,Bheta Versions, IKI-4000.)
http://anggara.files.wordpress.com/2008/04/na_ruu_tipiti.pdf
Menuntut Ilmu Wajib Atas Tiap Muslim (Baik Muslimin Maupun
Muslimah).
(HR. Ibnu Majah)
Apa Yang Sedikit Tetapi Mencukupi Lebih Baik Daripada Banyak
Tetapi Tidak Puas .
(HR.Abu dawud)
Bertahanlah Dari Segala Tekanan, Dan Bersabarlah Dari Segala
Masalah. Temukan Jalan Keluar Dan jadikan Segalanya Agar Lebih
A. Latar Belakang
Peradaban manusia di penghujung abad 19 mulai mengalami perubahan drastis,
hal ini dapat dilihat terutama dalam hal pergaulan luas tanpa batas di seluruh
penjuru dunia yang difasilitasi media telekomunikasi, dan teknologi yang selalu
mengalami perkembangan dari hari ke harilah yang memegang peran serta andil
terjadinya perubahan drastis tersebut. Tidak ada lagi sekat atau batas antar belahan
dunia, perbedaan budaya, ras, golongan dan warna kulit tidak lagi
dipermasalahkan. Era globalisasi, itulah sebutan yang tepat digunakan untuk
menggambarkan kondisi tersebut. Pesatnya perkembangan di bidang teknologi
informasi saat ini merupakan dampak dari semakin kompleksnya kebutuhan
manusia akan informasi itu sendiri.
Kedekatan hubungan antara informasi dan teknologi jaringan komunikasi telah
menghasilkan dunia maya yang amat luas yang biasa disebut dengan teknologi
cyberspace. Teknologi ini berisikan kumpulan informasi yang dapat diakses oleh semua orang dalam bentuk jaringan-jaringan komputer yang disebut jaringan
internet. Sebagai media penyedia informasi internet juga merupakan sarana
kegiatan komunitas komersial terbesar dan terpesat pertumbuhannya. Sistem
informasi secara cepat dan menghilangkan batas-batas teritorial suatu wilayah
negara.
Kepentingan yang ada bukan lagi sebatas kepentingan suatu bangsa semata,
melainkan juga kepentingan regional bahkan internasional. Perkembangan
teknologi informasi yang terjadi pada hampir setiap negara sudah merupakan ciri
global yang mengakibatkan hilangnya batas-batas negara.Negara yang sudah
mempunyai infrastruktur jaringan informasi yang lebih memadai tentu telah
menikmati hasil pengembangan teknologi informasinya, negara yang sedang
berkembang dalam pengembangannya akan merasakan kecenderungan timbulnya
neo-kolonialisme (Teguh Arifiyadi, 2008).
Hal tersebut menunjukan adanya pergeseran paradigma dimana jaringan informasi
merupakan infrastruktur bagi perkembangan suatu negara. Setiap negara harus
menghadapi kenyataan bahwa informasi dunia saat ini dibangun berdasarkan
suatu jaringan yang ditawarkaan oleh kemajuan bidang teknologi. Salah satu cara
berpikir yang produktif adalah mendirikan usaha untuk menyediakan suatu
infrastruktur informasi yang baik di dalam negeri, yang kemudian dihubungkan
dengan jaringan informasi global.
Kecenderungan mengglobalnya karakteristik teknologi informasi yang semakin
akrab dengan masyarakat, akhirnya menjadikan Indonesia harus mengikuti pola
tersebut. Karena teknologi informasi (khususnya dalam dimensicyber) tidak akan mengkotak-kotak dan membentuk signifikasi karakter. Namun selalu ada gejala
negatif dari setiap fenomena teknologi, salah satunya adalah aktifitas kejahatan.
beradaptasi pada tingkat perkembangan teknologi. Salah satu contoh terbesar saat
ini adalah kejahatan maya atau biasa disebut cyber crime, yang merupakan bentuk fenomena baru dalam kejahatan sebagai dampak langsung dari perkembangan
teknologi informasi (Teguh Arifiyadi, 2008).
Kejahatan cyber secara hukum bukanlah kejahatan sederhana karena tidak menggunakan sarana konvensional, tetapi menggunakan komputer dan internet, di
tengah kemajuan di bidang teknologi informasi yang dilakukan negara-negara
tetangga, kondisi negeri ini memang cukup memprihatinkan. Setidaknya
sebagaimna dipaparkan oleh pakar multimedia dan pengamat telematika R.M.
Roy Suryo pada sebuah seminar tentang komunikasi mayantara (cyber
communication) di Bandung, “Dalam hal penggunaan internet, Indonesia sebetulnya masuk dalam kategori rendah. Artinya, jumlah pengguna internet
dibandingkan jumlah penduduk masih sangat sedikit. Dari sekitar 240 juta
penduduknya, hanya sekitar 3-4 juta warga Indonesia yang menggunakan
internet” (Pikiran Rakyat, 7 November 2003).
Ironisnya, di tengah rendahnya penggunaan internet itu, Indonesia justru menjadi
negara kedua tebesar kejahatan siber (cyber crime) di dunia, setelah Ukraina. Dua
modus kejahatan dunia maya yang paling sering dilakukan adalah carding atau memalsukan nomor kartu kredit orang lain untuk bisa mandatangkan berbagai
produk komersial yang diperjualbelikan lewat internet. Modus kedua adalah
Pernyataan Roy Suryo tentang peringkat Indonesia dalam cyber crime tersebut sejalan dengan pernyataan Ade Ari Syam Indradi. Berdasarkan hasil penelusuran
Ade Ari Syam Indradi tentang peringkat Indonesia dalam cyber crime dinyatakan bahwa Indonesia telah menggantikan posisi Ukraina yang sebelumnya menduduki
peringkat pertama dalam persentase tertinggi di dunia maya. Data hasil penelitian
Verisign, perusahaan yang memberikan pelayanan intelejen di dunia maya yang
berpusat di California, Amerika Serikat, menempatkan Indonesia pada posisi
tertinggi pelaku kejahatan di dunia maya, sementara peringkat kedua itempati oleh
Nigeria dan peringkat ketiga oleh Pakistan (Sutarman, 2007)
Berdasarkan beberapa bahasan di atas mengenai teknologi informasi maka dapat
kita ketahui bahwa jika kita dapat memanfaatkan teknologi tersebut maka kita
akan memperoleh kemudahan dalam menjalankan kehidupan sehari-hari. Namun
satu hal yang harus kita ingat bahwa perkembangan teknologi tersebut bukannya
tanpa ada efek sampingnya, karena justru Crime is product of society it self yang berarti bahwa semakin tinggi tingkat intelektualitas suatu masyarakat maka akan
semakin canggih dan beraneka-ragam pulalah tingkat kejahatan yang dapat
terjadi. Sebagai bukti nyata sekarang banyak negara yang dipusingkan oleh
kejahatan melalui internet yang dikenal dengan istilah cyber crime. Oleh karena itulah maka kita sebagai bangsa yang masih baru dalam mengikuti perkembangan
teknologi informasi haruslah pintar-pintar memilah dan memilih dalam
penggunannya, karena alih-alih kita ingin memajukan bangsa dengan menjadikan
teknologi informasi sebagai teknologi yang mencerahkan orang banyak
Namun justru yang terjadi malah sebaliknya, yaitu destructive technology. Umumnya suatu masyarakat yang mengalami perubahan akibat kemajuan
teknologi, banyak melahirkan masalah-masalah sosial. Hal itu terjadi karena
kondisi masyarakat itu sendiri yang belum siap menerima perubahan atau dapat
pula karena nilai-nilai masyarakat yang telah berubah dalam dalam menilai
kondisi lama sebagai kondisi yang tidak lagi dapat diterima (Horton, Paul B. dan
Chester L. Hunt, 1984).
Secara garis besar, kejahatan-kejahatan mayantara tersebut dapat dibedakan
menjadi dua kelompok besar, yaitu kejahatan yang menjadikan komputer sebagai
tujuan dan kejahatan yang menggunakan komputer atau internet sebagai sarana.
Kejahatan yang menjadikan komputer sebagai tujuan contohnya adalah cracker. Cracker adalah seseorang atau sekelompok orang yang melakukan pengrusakan situs atau website milik orang lain. Sedangkan kejahatan yang menggunakan
computer atau internet sebagai sarana contohnya adalah cyber gambling, cyber fraud, cyber narcotism, cyber smuggling, cyber attacks on critical infrastructure, cyber blackmail, cyber threatening, cyber terrorism dan cyber pornography/sex. Cyber pornography/sex adalah bentuk kejahatan kesusilaan yang menggunakan internet sebagai media utama dalam penyebaran segala sesuatu yang mengandung
unsure porno dan seksual (Alfons Zakaria, 2008).
yang mengaksesnya, apalagi bagi anak-anak di bawah umur, karena tidak ada
halangan bagi mereka untuk menggunakan jasa warung internet (warnet) ini
disebabkan tidak ada klasifikasi atau pembatasan usia yang diberikan oleh
pengelola warnet, tentu saja itu tidak akan dilakukan para pengelola warnet
tersebut demi kepentingan bisnis mereka, dengan demikian tidak ada pengawasan
bagi anak-anak tersebut dan dengan bebas mereka bisa mengakses situs-situs
porno, yang sangat ditakutkan apabila kemudian diaplikasikan dalam kehidupan
bermasyarakat maka akan terjadi perbuatan asusila, yang juga bisa memacu
tingkat kriminalitas. Keadaan ini tidak dapat dibiarkan terus-menerus, karena
dapat merusak moral bangsa. Setidak-tidaknya ada rambu-rambu khusus untuk
mengatur hal ini, karena situs ini bergerak ke seluruh dunia tanpa ada batas.
Apalagi jumlah warung internet (warnet) di Indonesia terus berkembang. Di akhir
tahun 2008, jumlahnya diperkirakan bisa menembus angka 12 ribu di seluruh
Indonesia. Menurut Ketua Asosiasi Warnet Indonesia (AWARI) Irwin Day
memperkirakan, saat ini jumlah warnet yang ada di tanah air berjumlah sekitar 10
ribu warnet (Irwin Day, 2010).
Hadirnya media internet secara global menyebabkan siapa saja dapat untuk
mengakses situs-situs yang tersedia secara mudah. Ketentuan tentang pornografi
dalam dunia maya tidak saja hanya berupa tindak pidana penyebaran
gambargambar yang dianggap tabu/porno untuk dipertontonkan kepada publik,
melainkan juga dimanfaatkan sebagai media transaksi prostitusi secara online.
Situs-situs porno tersebut juga menjual/menawarkan gambar-gambar bahkan
cerita-cerita porno kepada setiap orang yang mengunjungi situs tersebut dengan
dengan budaya Indonesia. Gambar-gambar cyberporn telah memberikan dampak yang luar biasa pada tingkat individu, keluarga, komunitas, masyarakat-bangsa,
bahkan umat manusia secara keseluruhan. Khususnya, cyberporn memberikan dampak yang besar pada dunia kebudayaan dan keberagamaan pada umumnya.
Dengan adanya kenyataan tersebut, aparat kepolisian sebagai aparat penegak
hukum tentu saja tidak bisa tinggal diam, oleh karenanya harus dilaksanakan
operasi atau razia terhadap warnet-warnet ‘nakal’ yang kini semakin merebak. Sukses merazia warnet yang menggunakan software bajakan pada awal 2007 lalu,
Kamis (27/12) kemarin Polwil Malang kembali merazia warnet. Dalam razia yang
berlangsung mulai pukul 11.00 hingga pukul 12.00 ini, petugas menyita sebanyak
116 unit personal computer (PC) dari empat warnet, yakni X-trem di Jl MT Haryono, Wardot di Jl Danau Toba, Lilo Magnet yang berada di Ruko Dinoyo
Permai. Hingga kemarin, Reskrim Polwil Malang masih menuntaskan penyidikan
terhadap 12 saksi dari karyawan, konsumen dan teknisi pada warnet itu. Kasubag
Reskrim Polwil Malang AKP Jamaludin Farti mengatakan, razia ini berawal dari
penyelidikan yang pernah dilakukan seminggu sebelumnya. Ditemukan banyak
film yang di-copy dari internet, satu komputer kami temukan sekitar lima film.
Dari hasil penyelidikan diketahui, warnet-wanet ini dikenal memang kerap
menyediakan film-film porno yang bisa dengan mudah menikmatinya tanpa harus
men-download terlebih dahulu dari situs yang menyediakannya. Jamaludin
menduga ada kesengajaan yang dilakukan pengelola untuk men-copy film tanpa
sensor (http://www.detikinet.com, di akses pada 22 Juli 2011).
Tujuannya sebagai daya tarik agar warnet bisa banyak menjaring konsumen, yang
meningkat jumlahnya, ternyata masih banyak pelaku yang tidak dapat diadili
akibat ketiadaan undang-undang. Akibatnya, sangat wajar apabila kejahatan
mayantara (cybercrime) semakin meningkat dari waktu ke waktu. Ketiadaan
undang-undang yang menjadi penyebab tidak dapat dibiarkan berlarut-larut,
karena apabila hal ini tidak segera diselesaikan akan menimbulkan keresahan di
masyarakat dan pada akhirnya hukum akan kehilangan wibawanya (Didik M.
Arief Mansur dan Alisatris Gultom, 2005).
Seiring berjalannya waktu melihat fenomena semakin merebaknya kejahatan
mayantara (cybercrime) mengingat selain menggunakan piranti canggih, modus
cybercrime juga tergolong rapi, dan semakin banyak pihak yang dirugikan dari kejahatan ini, yang kemudian memunculkan reaksi dari dari seluruh elemen
masyarakat untuk mengajak pemerintah agar segera bertindak mengatasi
permasalahan ini. Karena seperti diketahui bahwa sistem pembuktian kita
terutama yang menyangkut elemen penting dari alat bukti (Pasal 184 KUHAP
ayat (1) huruf c) masih belum mengakui data komputer sebagai bagiannya karena
sifatnya yang digital, padahal dalam kasus cyber crime data elektronik sering kali menjadi barang bukti yang ada, karenanya sangat realistis jika data elektronik
dijadikan sebagai bagian dari alat bukti yang sah. Oleh karena itu dibutuhkan
perangkat hukum tentang dunia maya/siber (cyberlaw) yang dapat secara langsung
menangani kejahatan mayantara. Maka dibuatlah berbagai rancangan
undang-undang yang bersangkutan dalam rangka menanggulangi cyber crime, dan baru-baru RUU tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) yang dipilih untuk
disahkan menjadi UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi
pencegahan dan penegakan hukum, demi tercapainya supremasi hukum. Sebab,
apabila dibiarkan terus-menerus, tidak menutup kemungkinan dapat mengganggu
keamanan dalam negeri. Sesungguhnya cyber crime sudah mengganggu keamanan dalam negeri. Sehingga diperlukan langkah strategis aparat penegak
hukum untuk menanggulanginya.
Berdasarkan tersebut di atas, maka peneliti tertarik melakukan penelitian dengan
judul: Analisis Pertanggungjawaban Pidana Pemilik Situs Porno ditinjau dari
Undang-Undang No. 44 Tahun 2008 Tentang Pornografi dan Undang-Undang
No. 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
B. Permasalahan dan Ruang Lingkup
1. Permasalahan
Permasalahan dalam penelitian ini adalah:
a. Bagaimanakah pertanggungjawaban pidana yang dapat dijatuhkan kepada
pemilik situs porno ditinjau dari Undang-Undang Pornografi dan
Informasi dan Transaksi Elektronik?
b. Apakah faktor penghambat dalam pertanggungjawaban pidana yang dapat
dijatuhkan kepada pemilik situs porno ditinjau dari Undang-Undang
Pornografi dan Informasi dan Transaksi Elektronik?
2. Ruang Lingkup
Penulis membatasi ruang lingkup dalam penelitian terbatas pada kajian hukum
pidana yang meliputi: sebagai tempat penelitian adalah Pengadilan Negeri
pertanggungjawaban pidana yang dapat dijatuhkan kepada pemilik situs porno
ditinjau dari Undang-Undang Pornografi dan Informasi dan Transaksi
Elektronik.
C. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui pertanggungjawaban pidana yang dapat dijatuhkan kepada
pemilik situs porno ditinjau dari Undang-Undang Pornografi dan Informasi
dan Transaksi Elektronik.
2. Untuk mengetahui faktor penghambat dalam pertanggungjawaban pidana yang
dapat dijatuhkan kepada pemilik situs porno ditinjau dari Undang-Undang
Pornografi dan Informasi dan Transaksi Elektronik
D. Kegunaan Penelitian
Kegunaan penelitian ini meliputi kegunaan teoritis dan praktis, yaitu :
1. Kegunaan teoritis
Secara teoritis penelitian ini diharapkan dapat berguna bagi perkembangan
ilmu hukum dan dapat memperluas daya berfikir, dapat mengembangkan
kemampuan berkarya ilmiah dengan daya nalar dan sebagai sumber informasi
bagi mereka yang memerlukan dan dapat menjadi salah satu referensi,
khususnya mengenai putusan pengadilan tentang pemilik situs porno ditinjau
dari Undang No. 44 Tahun 2008 Tentang Pornografi dan
2. Kegunaan Praktis
Secara praktis hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan
pemikiran kepada pihak-pihak yang berkepentingan khususnya bagi aparat
penegak hukum dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya dalam
menindak tindak pidana pemilik situs porno.
E. Kerangka Teoritis dan Konseptual
1. Kerangka Teoritis
a. Unsur Tindak Pidana
Suatu tindak pidana yang terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana pada umumnya memiliki dua unsur yakni unsur subjektif yaitu unsur
yang melekat pada diri si pelaku dan unsur objektif yaitu unsur yang ada
hubungannya dengan keadaan-keadaan (Lamintang, 1981:193).
Menurut Lamintang (1981:193) unsur subjektif dari suatu tindak pidana adalah:
1. Kesengajaan atau ketidaksengajaan (dolusatauculpa) 2. Maksud atauvoornemenpada suatu percobaan
3. Macam-macam maksud atauoogmerk
4. Merencanakan terlebih dahulu atauvoorbedachte raad 5. Perasaan takut atauvress
Unsur objektif dari suatu tindak pidana adalah : 1. Sifat melanggar hukum
2. Kualitas dari si pelaku
3. Kausalitas, yakni hubungan antara sesuatu tindakan sebagai penyebab dengan suatu kenyataan sebagai akibat.
b. Pertanggungjawaban pidana
Pertanggungjawaban pidana dalam istilah asing tersebut juga dengan
terdakwa atau tersangka dipertanggung jawabkan atas suatu tindakan pidana
yang terjadi atau tidak (Saifudien, 2001).
Dipidananya si pelaku disyaratkan bahwa tindak pidana yang dilakukannya itu
memenuhi unsur-unsur yang telah ditentukan dalam Undang-undang. Dilihat
dari sudut terjadinya tindakan yang dilarang, seseorang akan dipertanggung
jawabkan atas tindakan-tindakan tersebut, apabila tindakan tersebut melawan
hukum serta tidak ada alasan pembenar atau peniadaan sifat melawan hukum
untuk pidana yang dilakukannya. Dilihat dari sudut kemampuan bertanggung
jawab maka hanya seseorang yang mampu bertanggung jawab yang dapat
dipertanggung jawabkan atas perbuatannya. Tindak pidana jika tidak ada
kesalahan adalah merupakan asas pertanggung jawaban pidana, oleh sebab itu
dalam hal dipidananya seseorang yang melakukan perbuatan sebagaimana
yang telah diancamkan, ini tergantung dari soal apakah dalam melakukan
perbuatan ini dia mempunyai kesalahan.
Sebagai seorang hakim dalam memberikan putusan kemungkinan dipengaruhi
oleh beberapa hal, seperti pengaruh dari faktor agama, kebudayaan,
pendidikan, nilai, norma dan sebagainya. Sehingga dapat dimungkinkan
adanya perbedaan putusan atas kasus yang sama. Dan pada dasarnya hal
tersebut lebih disebabkan oleh adanya perbedaan cara pandang sehingga
mempengaruhi pertimbangan hakim dalam memberikan putusan.
Kemampuan untuk membeda-bedakan antara perbuatan yang baik dan yang
untuk menentukan kehendaknya menurut keinsyafan tentang baik buruknya
perbuatan tersebut adalah merupakan faktor perasaan (volitional factor) yaitu dapat menyesuaikan tingkah lakunya dengan keinsyafan atas mana yang
diperbolehkan dan mana yang tidak. Sebagai konsekuensi dari dua hal tadi
maka tentunya orang yang tidak mampu menentukan kehendaknya menurut
keinsyafan tentang baik buruknya perbuatan, dia tidak mempunyai kesalahan
kalau melakukan tindak pidana, orang demikian itu tidak dapat dipertanggung
jawabkan.
Kemampuan bertanggungjawab merupakan unsur kesalahan, maka untuk
membuktikan adanya kesalahan unsur tadi harus dibuktikan lagi. Mengingat
hal ini sukar untuk dibuktikan dan memerlukan waktu yang cukup lama, maka
unsur kemampuan bertanggung jawab dianggap diam-diam selalu ada karena
pada umumnya setiap orang normal bathinnya dan mampu bertanggung
jawab, kecuali kalau ada tanda-tanda yang menunjukkan bahwa terdakwa
mungkin jiwanya tidak normal. Dalam hal ini, hakim memerintahkan
pemeriksaan yang khusus terhadap keadaan jiwa terdakwa sekalipun tidak
diminta oleh pihak terdakwa. Jika hasilnya masih meragukan hakim, itu
berarti bahwa kemampuan bertanggung jawab tidak berhenti, sehingga
kesalahan tidak ada dan pidana tidak dapat dijatuhkan berdasarkan asas tidak
dipidana jika tidak ada kesalahan.
Masalah kemampuan bertanggung jawab dalam KUHP ini terdapat dalam
tidak dapat dipertanggung jawabkan kepadanya karena jiwanya cacat dalam
pertumbuhan atau terganggu karena cacat, tidak dipidana.”
Tidak dipertanggungjawabkan perbuatan disebabkan hal lain, misalnya
jiwanya tidak normal dikarenakan dia masih muda, maka Pasal tersebut tidak
dapat dikenakan.apabila hakim akan menjalankan Pasal 44 KUHP, maka
sebelumnya harus memperhatikan apakah telah dipenuhi dua syarat sebagai
berikut :
1) Syarat Psychiartris yaitu pada terdakwa harus ada kurang sempurna
akalnya atau sakit berubah akal, yaitu keadaan kegilaan (idiote), yang
mungkin ada sejak kelahiran atau karena suatu penyakit jiwa dan keadaan
ini harus terus menerus.
2) Syarat Psychologis ialah gangguan jiwa itu harus pada waktu si pelaku
melakukan perbuatan pidana, oleh sebab itu suatu gangguan jiwa yang
timbul sesudah peristiwa tersebut, dengan sendirinya tidak dapat menjadi
sebab terdakwa tidak dapat dikenai hukuman.
c. Pertimbangan Hakim
Kekuasaan kehakiman diatur dalam UU No. 48 Tahun 2009 yang
menggantikan UU No.4 Tahun 2004. Pasal 1 UU No. 48 Tahun 2009
menentukan bahwa kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan Negara yang
merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakan hukum dan
keadilan berdasarkan Pancasila demi terselenggarannya Negara Hukum RI. Ini
berarti bahwa hakim itu bebas dari pihak ekstra yudisiil dan bebas menemukan
batas, melainkan dibatasi dari segi makro dan mikro. Dari segi makro dibatasi
oleh sistem pemerintahan, sistem politik, sistem ekonomi dan sebagainya,
sedangkan dari segi mikro kebebasaan hakim dibatasi atau diawasi oleh
Pancasila, UUD, UU, kesusilaan dan ketertiban umum. Dibatasinya kebebasan
hakim tidaklah tanpa alasan, karena hakim adalah manusia yang yang tidak
luput dari kekhilafan. Untuk mengurangi kekeliruan dalam menjatuhkan
putusan maka kebebasan hakim perlu dibatasi dan putusannya perlu dikoreksi.
Oleh karena itu asas peradilan yang baik (principle of good judicature) antara
lain ialah adanya pengawasan dalam bentuk upaya hukum.
Pasal 2 UU No. 48 Tahun 2009 menyatakan bahwa kekuasaan kehakiman oleh
Mahkamah Agung dan Mahkamah Kostitusi. Pasal 11 UU No. 48 Tahun 2009
mengatakan bahwa MA merupakan pengadilan tertinggi dari keempat
lingkungan peradilan, sedangkan Pasal 12 berbunyi bahwa MK mengadili
pada tingkat pertama dan terakhir. Dengan demikian sesudah Tahun 2006 kita
tidak lagi mempunyai pengadilan yang tertinggi. Kecuali oleh karena MK
mengadili pada tingkat pertama dan terakhir maka tidak ada upaya hukum
sama sekali. Semua lingkungan peradilan dibawah MA tersedia upaya hukum,
sehingga putusan pengadilan di tingkat pertama dan kedua di lingkungan di
bawah MA dimungkinkan untuk dikoreksi oleh pengadilan yang lebih tinggi,
Dengan tidak adanya pengawasan maka kekuasaan MK adalah mutlak. Sistem
ini tidak memenuhi principle of good judicature. Pasal 19 UU No. 48 Tahun 2009 Ayat 3 mengatakan bahwa rapat musyawarah hakim adalah bersifat
rahasia, yang berarti bahwa tidak boleh diketahui oleh umum atau diluar yang
permusyawaratan tidak dapat dicapai mufakat bulat, pendapat hakim yang
berbeda wajib dimuat dalam putusan (dissenting opinion).
d. Faktor penghambat dalam pertanggungjawaban pidana yang dapat dijatuhkan kepada pemilik situs porno
Menurut Didik M. Arief Mansur dan Alisatris Gultom (2007) terdapat beberapa
faktor penghambat dalam upaya penegakan hukum terhadap cybeporn antara lain seperti:
a. Lemahnya Penguasaan Komputer. Kurangnya kemampuan dan keterampilan
aparat selaku penyelidik dan penyidik di bidang komputer ini mengakibatkan
teknis penyelidikan, penuntutan dan pemeriksaan terhadap suatu perkara akan
sulit dikuasai apalagi saat di pengadilan, karena menyangkut sistem yang ada
dalam komputer, dimana sistem dalam komputer yang digunakan oleh pelaku
cyberporn juga harus dikuasai oleh aparat penegak hukum, polisi selaku penyidik.
b. Bukti Elektris. Persoalan yang muncul adalah belum diakuinya data komputer
yang merupakan alat bukti elektris sebagai salah satu alat bukti yang sah
dipengadilan, karena sifatnya digital, atau dalam istilah kepolisian dikenal
dengan digital forensik. Mengingat bukti dalam bentuk elektris tersebut tidak
riil, mudah di ubah atau di copy, dihapus maupun dipindah. Dikhawatirkan pada saat diperlukan saat persidangan di pengadilan kondisi bukti elektris
tersebut sudah tidak sesuai seperti saat kejadian.
c. Perbedaan persepsi. Perbedaan persepsi antara pihak penyidik dan kejaksaan,
dimana pihak kejaksaan menilai bahwa tersangka dalam kasus ini belum dapat
yang secara langsung melihat tersangka melakukan download film porno
melalui internet. Hal ini akan menghambat proses hukum dalam penanganan
suatu kasus. Karena dalam rangka penegakan hukum terhadap kejahatan
maupun tindak pidana apapun jenisnya, diperlukan kerjasama yang solid dari
seluruh instansi terkait, jadi seharusnya pihak jaksa penuntut umum dalam hal
ini bisa lebih menghargai usaha yang telah dilakukan oleh aparat Polwil
Lampung, selaku penyidik, serta lebih bersungguh-sungguh dalam
menjalankan tugasnya sebagai bagian dari aparat penegak hukum.
d. Kepercayaan masyarakat. Tidak adanya kepercayaan dari masyarakat yang
diberikan kepada Polri dalam mengemban tugas, juga menjadi kendala. Hal ini
bisa dilihat dari komentar masyarakat melalui internet yang banyak memberi
kesan negatif terhadap usaha yang dilakukan dengan melakukan razia
sejumlah warnet di Lampung tersebut. Dampaknya seperti yang bisa dilihat,
bahwa setelah dilakukannya razia warnet tersebut ternyata tidak membuat jera
para pemilik warnet, karena hanya beberapa waktu saja setelah razia tersebut
warnet-warnet tersebut tertib dan patuh pada peraturan, namun kini sudah
bermunculan kembali praktek pornografi tersebut
e. Instrumen Hukum. Belum adanya cyber law di Indonesia untuk menanggulangi cyber crime. Peraturan perundang-undangan yang juga harus diformulasikan dengan tepat dan sebaik-baiknya agar bisa dilaksanakan
2. Konseptual
a. Analisis merupakan kajian ilmiah terhadap suatu masalah yang muncul
yang memerlukan penyelesaian berdasarkan fakta dan dasar-dasar teori
yang ada (www.e-psikologi.co.id, 2009).
b. Pertanggungjawaban pidana adalah tindakan yang menjurus kepada
pemidanaan petindak dengan maksud untuk menentukan apakah seseorang
terdakwa atau tersangka dipertanggung jawabkan atas suatu tindakan
pidana yang terjadi atau tidak (Saifudien, 2001)
c. Website atau situs porno dapat diartikan sebagai kumpulan
halaman-halaman yang digunakan untuk menampilkan informasi teks, gambar diam
atau gerak, animasi, suara, dan atau gabungan dari hal yang berbau
pornografi baik yang bersifat statis maupun dinamis yang membentuk satu
rangkaian bangunan yang saling terkait dimana masing-masing
dihubungkan dengan jaringan-jaringan halaman (hyperlink) (Sutarman,
2007)
d. Berdasarkan Undang-Undang No. 44 Tahun 2008 Tentang Pornografi dan
Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik, situs porno adalah segala jenis layanan pornografi yang
disediakan oleh orang perseorangan atau korporasi melalui pertunjukan
langsung, televisi kabel, televisi teresterial, radio, telepon, internet, dan
komunikasi elektronik lainnya serta surat kabar, majalah, dan barang
F. Sistematika Penulisan
Upaya memudahkan maksud dari penelitian ini serta dapat dipahami, maka
penulis membaginya ke dalam 5 (lima) bab secara berurutan dan saling berkaitan
hubungannya yaitu sebagai berikut :
I. PENDAHULUAN
Bab ini menguraikan tentang Latar Belakang tentang Putusan Pengadilan
dalam memutuskan pelaku tindak pidana pornografi yang selanjutnya
merumuskan masalah dalam menentukan Ruang Lingkup Penelitian, Tujuan
dan Kegunaan Penelitian, Konseptual dan Sistematika Penulisan.
II. TINJAUAN PUSTAKA
Bab ini menguraikan tentang teori-teori yang dapat dijadikan sebagai dasar
atau teori dalam menjawab masalah yang terdiri dari Pengertian Tindak pidana
dan Jenis-Jenis Tindak pidana, Bentuk-Bentuk Tindak pidana pornografi,
Sebab-sebab Terjadinya Tindak pidana, serta Dasar Hukum Pemberantasan
Tindak pidana pornografi.
III. METODE PENELITIAN
Bab ini menguraikan langkah-langkah atau cara yang dilakukan dalam
penelitian meliputi Pendekatan Masalah, Sumber dan Jenis Data,
Pengumpulan Data dan Pengolahan Data serta Analisa Data.
IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Bab ini memuat pembahasan berdasarkan hasil penelitian dari pokok
tindak pidana pornografi dan pertanggungjawaban pidana pelaku tindak
pidana pornografi.
V. PENUTUP
Bab ini dibahas mengenai kesimpulan terhadap jawaban permasalahan dari
hasil penelitian dan saran dari penulis yang merupakan alternatif penyelesaian
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Wahib dan Mohammad Labib, Kejahatan Mayantara (Cyber Crime), Refika Aditama, Bandung, 2005
Alfons Zakaria, Proposal Penelitian Kebijakan Hukum Pidana Dalam Pengaturan Website Yang Bermuatan Pornografi di Indonesia. 2007 Didik M. Arief Mansur dan Alisatris Gultom,Cyber Law-Aspek Hukum Teknologi
Informasi, Refika Aditama, Bandung, 2005, hlm.12.
Drs. H. Sutarman, M.H.Cyber Crime,Modus Operandi dan Penanggulangannya. LaksBang Pressindo. Yogyakarta. 2007
Horton, Paul B. dan Chester L. Hunt,Sosiologi, Erlangga, Jakarta, 1984
Teguh Arifiyadi, SH (Inspektorat Jenderal Depkominfo),Cyber Crime dan Upaya Antisipasinya Secara Yuridis (I), dikutip dari: http://www.google.com (22 Maret 2008)
A. Pengertian dan Unsur-Unsur Tindak Pidana
1. Pengertian Tindak Pidana
Pidana memiliki pengertian perbuatan yang dilakukan setiap orang/subjek hukum
yang berupa kesalahan dan bersifat melanggar hukum ataupun tidak sesuai dengan
perundang-undangan (KUHP).
Tindak pidana adalah perbuatan melakukan atau tidak melakukan sesuatu yang
oleh peraturan perundang-undangan dinyatakan sebagai perbuatan yang dilarang
dan diancam dengan pidana, untuk dinyatakan sebagai tindak pidana, selain
perbuatan tersebut dilarang dan diancam pidana oleh peraturan
perundang-undangan, harus juga bersifat melawan hukum atau bertentangan dengan
kesadaran hukum masyarakat. Setiap tindak pidana selalu dipandang bersifat
melawan hukum, kecuali ada alasan pembenar (Barda Nawawi Arief,
1996:152-153).
Konstelasi negara modern hukum dapat difungsikan sebagai sarana rekayasa
mekanisme penyelesaian kasus oleh badan-badan peradilan yang akan
menghasilkan jurisprudensi.
Konteks sosial teori ini adalah masyarakat dan badan peradilan di Amerika
Serikat. Dalam konteks ke Indonesiaan, fungsi hukum demikian itu, oleh Mochtar
Kusumaatmadja (1978: 11) diartikan sebagai sarana pendorong pembaharuan
masyarakat.
Sebagai sarana untuk mendorong pembaharuan masyarakat, penekanannya
terletak pada pembentukan peraturan perundang-undangan oleh lembaga
legislatif, yang dimaksudkan untuk menggagas konstruksi masyarakat baru yang
ingin diwujudkan di masa depan melalui pemberlakuan peraturan
perundang-undangan itu.
Penegakan hukum, sebagaimana dirumuskan secara sederhana oleh Satjipto
Rahardjo, merupakan suatu proses untuk mewujudkan keinginan-keinginan
hukum menjadi kenyataan (Satjipto Rahardjo, 1983: 24).
Keinginan-keinginan hukum yang dimaksudkan di sini yaitu yang merupakan
pikiran-pikiran badan pembentuk undang-undang yang dirumuskan dalam
peraturan-peraturan hukum itu. Perumusan pikiran pembuat hukum yang
dituangkan dalam peraturan hukum, turut menentukan bagaimana penegakan
hukum itu dijalankan. Dengan demikian pada gilirannya, proses penegakan
hukum itu memuncak pada pelaksanaannya oleh para pejabat penegak hukum itu
sendiri. Dari keadaan ini, dengan nada ekstrim dapat dikatakan bahwa
tugasnya sebetulnya sudah dimulai sejak peraturan hukum yang harus dijalankan
itu dibuat (Soerjono Soekanto, 1983: 15).
Proses penegakan hukum, dalam pandangan Soerjono Soekanto (1983:15),
dipengaruhi oleh lima faktor. Pertama, faktor hukum atau peraturan
perundang-undangan. Pertama, faktor aparat penegak hukumnya, yakni pihak-pihak yang
terlibat dalam peroses pembuatan dan penerapan hukumnya, yang berkaitan
dengan masalah mentalitas. Ketiga, faktor sarana atau fasilitas yang mendukung
proses penegakan hukum. Keempat,faktor masyarakat, yakni lingkungan sosial di
mana hukum tersebut berlaku atau diterapkan; berhubungan dengan kesadaran dan
kepatuhan hukum yang merefleksi dalam perilaku masyarakat. Kelima, faktor
kebudayaan, yakni hasil karya, cipta dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia
di dalam pergaulan hidup.
Sementara itu Satjipto Rahardjo (1983: 23-24), membedakan berbagai unsur yang
berpengaruh dalam proses penegakan hukum berdasarkan derajat kedekatannya
pada proses, yakni yang agak jauh dan yang agak dekat. Berdasarkan kriteria
kedekatan tersebut, maka Satjipto Rahardjo membedakan tiga unsur utama yang
terlibat dalam proses penegakan hukum. Pertama, unsur pembuatan
undang-undang cq. lembaga legislatif. Pertama, unsur penegakan hukum cq. polisi, jaksa
dan hakim. Dan Ketiga,unsur lingkungan yang meliputi pribadi warga negara dan
sosial. Pada sisi lain, Jerome Frank (1991: 121), juga berbicara tentang berbagai
faktor yang turut terlibat dalam proses penegakan hukum. Beberapa faktor ini
selain faktor kaidah-kaidah hukumnya, juga meliputi prasangka politik, ekonomi,
Lawrence M. Friedman (1977, 6-7) melihat bahwa keberhasilan penegakan hukum selalu menyaratkan berfungsinya semua komponen sistem hukum. Sistem hukum dalam pandangan Friedman terdiri dari tiga komponen, yakni komponen struktur hukum (legal structure), komponen substansi hukum (legal substance) dan komponen budaya hukum (legal culture). Struktur hukum (legal structure) merupakan batang tubuh, kerangka, bentuk abadi dari suatu sistem. Substansi hukum (legal substance) aturan-aturan dan norma-norma actual yang dipergunakan oleh lembaga-lembaga, kenyataan, bentuk perilaku dari para pelaku yang diamati di dalam sistem. Adapun kultur atau budaya hukum (legal culture) merupakan gagasan-gagasan, sikap-sikap, keyakinan-keyakinan, harapan-harapan dan pendapat tentang hukum.
Friedman (1977, 16) menambahkan pula komponen yang Keempat, yang
disebutnya komponen dampak hukum (legal impact). Dengan komponen dampak
hukum ini yang dimaksudkan adalah dampak dari suatu keputusan hukum yang
menjadi objek kajian peneliti.
Berkaitan dengan budaya hukum (legal culture) ini, menurut Roger Cotterrell, konsep budaya hukum itu menjelaskan keanekaragaman ide tentang hukum yang ada dalam berbagai masyarakat dan posisinya dalam tatanan sosial. Ide-ide ini menjelaskan tentang praktik-praktik hukum, sikap warga Negara terhadap hukum dan kemauan dan ketidakmauannya untuk mengajukan perkara, dan signifikansi hukum yang relatif, dalam menjelaskan pemikiran dan perilaku yang lebih luas di luar praktik dan bentuk diskursus khusus yang terkait dengan lembaga hukum. Dengan demikian, variasi budaya hukum mungkin mampu menjelaskan banyak tentang perbedaan-perbedaan cara di mana lembaga hukum yang nampak sama dapat berfungsi pada masyarakat yang berbeda (Roger Cotterrell, 1984:25).
Substansi hukum dalam wujudnya sebagai peraturan perundang-undangan, telah
diterima sebagai instrumen resmi yang memeproleh aspirasi untuk dikembangkan,
yang diorientasikan secara pragmatis untuk menghadapi masalah-masalah sosial
yang kontemporer. Hukum dengan karakter yang demikian itu lebih dikenal
disebutkan sebagai hukum yang berfungsi sebagai sarana untuk membantu
perubahan masyarakat.
Karakter keberpihakan hukum yang responsif ini, sering disebutkan sebagai
hukum yang emansipatif. Hukum yang emansipatif mengindikasikan sifat
demokratis dan egaliter, yakni hukum yang memberikan perhatian pada upaya
memberikan perlindungan hak-hak asasi manusia dan peluang yang lebih besar
kepada warga masyarakat yang lemah secara sosial, ekonomi dan politis untuk
dapat mengambil peran partisipatif dalam semua bidang kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Dikatakan bahwa hukum yang responsif
terdapat di dalam masyarakat yang menjunjung tinggi semangat demokrasi.
Hukum responsif menampakkan ciri bahwa hukum ada bukan demi hukum itu
sendiri, bukan demi kepentingan praktisi hukum, juga bukan untuk membuat
pemerintah senang, melainkan hukum ada demi kepentingan rakyat di dalam
masyarakat (Max Weber, 1988: 483 ).
Berkaitan dengan karakter dasar hukum positif ini, Sunaryati Hartono melihat
bahwa Undang-Undang Dasar 1945 disusun dengan lebih berpegang pada konsep
hukum sebagai sarana rekayasa sosial (Sunaryati Hartono, 1991 53).
Karakter hukum positif dalam wujudnya sebagai peraturan peraturan
perundang-undangan, di samping ditentukan oleh suasana atau konfigurasi politik momentum
pembuatannya, juga berkaitan erat dengan komitmen moral serta profesional dari
para anggota legislatif itu sendiri. Oleh karena semangat hukum (spirit of law) yang dibangun berkaitan erat dengan visi pembentuk undang-undang, maka dalam
undang-undang penting dilakukan. Dikemukakan oleh Gardiner bahwa
pemben-tuk undang-undang tidak semata-mata berkekewajiban to adapt the law to this changed society, melainkan juga memiliki kesempatan untuk memberikan sumbangan terhadap pembentukan perubahan masyarakat itu sendiri. Pembentuk
undang-undang, dengan demikian, tidak lagi semata-mata mengikuti perubahan
masyarakat, akan tetapi justru mendahului perubahan masyarakat itu. Dalam
kaitan ini Saleh, Roeslan menegaskan bahwa masyarakat yang adil dan makmur
serta modern yang merupakan tujuan pembangunan bangsa, justru sesungguhnya
merupakan kreasi tidak langsung dari pembentuk undang-undang (Roeslan Saleh,
1979: 12).
Arti terpenting dari adanya hukum pidana sebagai bagian dari sistem hukum yang
berlaku di dalam suatu negara terletak pada tujuan hukum pidana itu sendiri yakni
menciptakan tata tertib di dalam masyarakat sehingga kehidupan masyarakat
dapat berlangsung dengan damai dan tenteram. Tujuan hukum pidana secara
umum demikian ini, sebenarnya tidak banyak berbeda dengan tujuan yang ingin
dicapai oleh bidang-bidang hukum lainnya. Perbedaannya terletak pada cara kerja
hukum pidana dalam mencapai tujuannya, yaitu bahwa upaya untuk mewujudkan
tata tertib dan suasana damai ini oleh hukum pidana ditempuh melalui apa yang di
dalam ilmu hukum pidana dikenal dengan istilah pemidanaan atau pemberian
pidana.
Cara kerja hukum pidana dengan melakukan pemidanaan atau pemberian pidana
ini mempunyai pengertian yang luas. Pemidanaan atau pemberian pidana
pengertian, yakni (1) pemidanaan dalam arti abstrak (pemidanaan in abstracto), dan (2) pemidanaan dalam arti kongkrit (pemidanaanin concreto). Hukum pidana menciptakan tata tertib di dalam masyarakat melalui pemberian pidana secara
abstrak, artinya dengan ditetapkannya di dalam undang-undang
perbuatan-perbuatan tertentu sebagai perbuatan-perbuatan yang dilarang disertai ancaman pidana, atau
dengan ditetapkannya perbuatan-perbuatan tertentu sebagai tindak pidana di
dalam undang-undang, maka diharapkan warga masyarakat akan mengerti dan
menyesuaikan diri sehingga tidak melakukan perbuatan-perbuatan yang telah
dilarang dan diancam pidana itu. Dengan demikian, dengan diberlakukannya suatu
undang-undang pidana yang baru di dalam masyarakat, diharapkan akan tercipta
ketertiban di dalam masyarakat.
2. Unsur-Unsur Tindak Pidana
Suatu tindak pidana yang terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
pada umumnya memiliki dua unsur yakni unsur subjektif yaitu unsur yang
melekat pada diri si pelaku dan unsur objektif yaitu unsur yang ada hubungannya
dengan keadaan-keadaan (Lamintang, 1981:193).
Menurut Lamintang (1981:193) unsur subjektif dari suatu tindak pidana adalah:
1. Kesengajaan atau ketidaksengajaan (dolusatauculpa) 2. Maksud atauvoornemenpada suatu percobaan
3. Macam-macam maksud atauoogmerk
4. Merencanakan terlebih dahulu atauvoorbedachte raad 5. Perasaan takut atauvress
Unsur objektif dari suatu tindak pidana adalah : 1. Sifat melanggar hukum
2. Kualitas dari si pelaku
Menurut Marpaung (2001: 25-26) unsur tindak pidana yang terdiri dari dua unsur
4. Sifat dapat dihukum dan sifat melawan hukum (Abdul Hakim, 1994: 295).
Kesalahan pelaku tindak pidana berupa dua macam yakni :
1. Kesengajaan (Opzet)
Sebagian besar tindak pidana mempunyai unsur kesengajaan atau opzet. Kesengajaan ini mempunyai tiga macam jenis yaitu :
a. Kesengajaan yang bersifat tujuan (Oogmerk)
Dapat dikatakan bahwa si pelaku benar-benar menghendaki mencapai akibat yang menjadi pokok alasan diadakan ancaman hukuman pidana. b. Kesengajaan secara keinsyafan kepastian (Opzet Bij
Zekerheids-Bewustzinj)
Kesengajaan semacam ini ada apbila si pelaku dengan perbuatannya tidak bertujuan untuk mencapai akibat yang menjadi dasar dari delict, tetapi ia tahu benar bahwa akibat itu pasti akan mengikuti perbuatan itu.
c. Kesengajaan secara keinsyafan kemungkinan (Opzet Bij Mogelijkheids-Bewustzijn)
Lain halnya dengan kesengajaan yang terang-terangan tidak disertai bayingan suatu kepastian akan terjadi akibat yang bersangkutan, tetapi hanya dibayangkan suatu kemungkinan belaka akan akibat itu.
2. Culpa
Berdasarkan uraian di atas penulis berpendapat bahwa semua unsur tersebut
merupakan satu kesatuan dalam suatu tindak pidana, satu unsur saja tidak ada
akan menyebabkan tersangka tidak dapat dihukum. Sehingga penyidik harus
cermat dalam meneliti tentang adanya unsur-unsur tindak pidana tersebut.
Pasal 1 angka (2) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (untuk selanjutnya
disingkat KUHAP), penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal
dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta
mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tindak pidana yang
terjadi dan guna menemukan tersangkanya. Berdasarkan Pasal 1 angka (2)
KUHAP dapat disimpulkan penyidikan baru dimulai jika terdapat bukti
permulaan yang cukup tentang telah terjadinya suatu tindak pidana dan siapa
pelakunya.
Berdasarkan uraian di atas dapat diketahui penyidikan dilakukan oleh Pejabat
Polisi Negara dan Pegawai Negeri Sipil yang diberi wewenang khusus sesuai
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Penyidikan dilakukan guna
mengumpulkan bukti-bukti sehingga membuat terang Tindak Pidana yang terjadi.
Hukum pidana menciptakan tata tertib atau ketertiban melalui pemidanaan dalam
arti kongkrit, yakni bilamana setelah suatu undang-undang pidana dibuat dan
diberlakukan ternyata ada orang yang melanggarnya, maka melalui proses
peradilan pidana orang tersebut dijatuhi pidana. Tujuan penjatuhan pidana atau
pemberian pidana itu sendiri bermacam-macam bergantung pada teori-teori yang
dianut di dalam sistem hukum pidana di suatu masa. Kendati demikian, tujuan
kerangka untuk mewujudkan tujuan hukum pidana. Ini berarti bahwa penjatuhan
pidana atau pemberian pidana sebenarnya merupakan sarana untuk mencapai
tujuan hukum pidana.
Berdasarkan uraian di atas terlihat bahwa kurang dapat ditanggulanginya masalah
kejahatan karena hal-hal berikut:
1. Timbulnya jenis-jenis kejahatan dalam dimensi baru yang mengangkat dan
berkembang sesual dengan pertumbuhan dan perkembangan masyarakat di
bidang politik, ekonomi, sosial dan budaya. Jenis-jenis kejahatan tersebut
tidak seluruhnya dapat terjangkau oleh Kitab Undang-undang Hukum Pidana
(KUHP) yang merupakan produk peninggalan pemerintah kolonial Hindia
Belanda.
2. Meningkatnya kualitas kejahatan baik dari segi pelaku dan modus operandi
yang menggunakan peralatan dan teknologi canggih sesuai dengan
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Padahal kemampuan aparat
penegak hukum (khususnya Polri) terbatas baik dan segi kualitas sumber daya
manusia, pembiayaan, serta sarana dan prasarananya, sehingga kurang dapat
menanggulangi kejahatan secara intensif.
Kebijakan untuk menanggulang masalah-masalah kejahatan di atas dilakukan
dengan mengadakan peraturan perundang-undangan di luar KUHP baik dalam
bentuk undang-undang pidana maupun undang-undang administratif yang
bersanksi pidana, sehingga di dalam merumuskan istilah kejahatan dikenal adanya
istilah tindak pidana umum, tindak pidana khusus, dan tindak pidana tertentu.
Hukum Acara Pidana (KUHAP) penanganan masing tindak pidana tersebut
diselenggarakan oleh penyidik yang berbeda dengan hukum acara pidananya
masing-masing.
Tindak pidana umum adalah tindak pidana kejahatan dan pelanggaran yang diatur
di dalam KUHP yang penyidikannya dilakukan oleh Polri dengan menggunakan
ketentuan yang terdapat dalam KUHAP. Tindak pidana khusus adalah tindak
pidana di luar KUHP seperti Undang Tindak Pidana Korupsi,
Undang-Undang Tindak Pidana Ekonomi, Undang-Undang Undang-Undang Bea Cukai, Undang-Undang-Undang-Undang
Terorisme dan sebagainya yang penyidikannya dilakukan oleh Polri, kejaksaan,
dan pejabat penyidik lain sesuai dengan ketentuan-ketentuan khusus hukum acara
pidana bersangkutan. Sementara itu, tindak pidana tertentu adalah tindak pidana di
luar KUHP yang tidak termasuk dalam tindak pidana khusus, seperti
Undang-Undang Hak Cipta, Undang-Undang Keimigrasian, Peraturan Daerah, dan sebagainya.
B. Pertanggungjawaban Pidana
Pertanggungjawaban berasal dari kata tanggung jawab dimana menurut Kamus
Umum Bahasa Indonesia adalah, keadaan wajib menanggung segala sesuatunya.
Sehingga bertanggung jawab menurut kamus umum bahasa Indonesia adalah
berkewajiban menanggung, memikul jawab, menanggung segala sesuatunya, atau
memberikan jawab dan menanggung akibatnya. Tanggung jawab adalah
kesadaran manusia akan tingkah laku atau perbuatannya yang disengaja maupun
yang tidak di sengaja. Tangung jawab juga berarti berbuat sebagai perwujudan
Pertanggungjawaban pidana dalam istilah asing tersebut juga dengan
teorekenbaardheid atau criminal responsibility yang menjurus kepada pemidanaan petindak dengan maksud untuk menentukan apakah seseorang
terdakwa atau tersangka dipertanggung jawabkan atas suatu tindakan pidana yang
terjadi atau tidak (Saifudien, 2001).
Kemampuan bertanggungjawab merupakan unsur kesalahan, maka untuk
membuktikan adanya kesalahan unsur tadi harus dibuktikan lagi. Mengingat hal
ini sukar untuk dibuktikan dan memerlukan waktu yang cukup lama, maka unsur
kemampuan bertanggung jawab dianggap diam-diam selalu ada karena pada
umumnya setiap orang normal bathinnya dan mampu bertanggung jawab, kecuali
kalau ada tanda-tanda yang menunjukkan bahwa terdakwa mungkin jiwanya tidak
normal. Dalam hal ini, hakim memerintahkan pemeriksaan yang khusus terhadap
keadaan jiwa terdakwa sekalipun tidak diminta oleh pihak terdakwa. Jika hasilnya
masih meragukan hakim, itu berarti bahwa kemampuan bertanggung jawab tidak
berhenti, sehingga kesalahan tidak ada dan pidana tidak dapat dijatuhkan
berdasarkan asas tidak dipidana jika tidak ada kesalahan. Dalam KUHP masalah
kemampuan bertanggungjawab ini terdapat dalam Pasal 44 ayat 1 yang berbunyi :
“Barangsiapa melakukan perbuatan yang tidak dapat dipertanggung jawabkan kepadanya karena jiwanya cacat dalam pertumbuhan atau terganggu karena cacat,
tidakdipidana.” (Saifudien, 2001)
Pertanggungjawaban yang akan dibahas adalah menyangkut tindak pidana yang
pada umumnya sudah dirumuskan oleh si pembuat undang-undang untuk tindak
pembuatnya tidak mudah karena untuk menentukan siapakah yang bersalah harus
sesuai dengan proses yang ada, yaitu sistem peradilan ,pidan berdasarkan KUHP.
C. Pornografi dalam Undang-Undang No. 44 Tahun 2008 Tentang Pornografi dan Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik
1. Pengertian Pornografi
Pornografi merupakan salah satu bentuk dari sekian banyak kejahatan terhadap
kesusilaan. Kata “kesusilaan” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia yang disusun oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, diterbitkan Balai Pustaka 1989,
dimuat artinya “perihal susila” kata “susila” dimuat arti sebagai berikut: 1) baik budi bahasanya, beradab, sopan, tertib;
2) adat istiadat yang baik, sopan santun, kesopanan, keadaban:
3) pengetahuan tentang adat.
Kata “susila” dalam bahasa Inggris adalah moral, ethics, decent. Kata-kata tersebut biasa diterjemahkan berbeda. Kata moral diterjemahkan dengan moril,
kesopanan, sedang ethics diterjemahkan dengan kesusilaan, dan decent diterjemahkan dengankepatutan(Leden Marpaung, 2004).
Pada Kamus Besar Bahasa Indonesia yang disusun oleh Departemen Pendidikan
dan Kebudayaan dicantumkan arti pornografi adalah sebagai berikut
1. Penggambaran tingkah laku secara erotis dengan lukisan atau tulisan untuk
membangkitkan nafsu berahi: mereka mengumandangkan argumentasi
2. Bahan yang dirancang dengan sengaja dan semata-mata untuk membangkitkan
nafsu berahi dalam seks.
Pornografi juga merupakaan sebuah istilah yang mempunyai pengertian jamak
dan cenderung tak jelas batas-batasnya. Beberapa pengertian pornografi adalah
sebagai berikut :
a. Di dalam The Fontana Dictionary of Modern Thought, ‘pornografi’ didefinisikan sebagai bentuk “representasi (dalam literatur, filem, video, seni rupa, internet) yang tujuannya adalah untuk menghasilkankepuasan seksual. b. Pornografi’ didefinisikan pula sebagai “. . .penggunaan representasi
perempuan (tulisan, gambar, foto, video, filem) dalam rangka manipulasi hasrat (desire) orang yang melihat, yang di dalamnya berlangsung proses degradasi perempuan dalam statusnya sebagai ‘obyek seksual’ laki-laki”. c. Jon Huer mendefinisikan ‘pornografi’ sebagai “. . .setiap obyek yang
diproduksi dan didistribusikan dengan tujuan memasarkannya untuk
memperoleh keuntungan, dengan merangsanggairah seksual kita”.
Bahwa pengertian-pengertian di atas, terdapat perbedaan penekanan pada tiga
definisi tersebut: yang satu berdasarkan kacamata umum, yang kedua feminis, dan
yang ketiga ekonomi.
Delik pornografi dalam KUHP yang berkaitan dengan pornografi diatur dalam
Pasal 282 KUHP, yang bunyinya sebagai berikut :
(1) Barangsiapa menyiarkan, mempertunjukkan atau menempelkan, gambaran
atau benda, yang diketahui isinya dan melanggar kesusilaan, atau barangsiapa
umum, membikin tulisan, gambaran atau benda tersebut, memasukkan ke
dalam negeri, meneruskannya, mengeluarkannya dari negeri, atau mempunyai
dalam persediaan, ataupun barangsiapa secara terang-terangan atau dengan
mengedarkan surat tanpa diminta, menawarkannva atau menunjukkannya
sebagai bisa didapat. Diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun
enam bulan atau denda paling tinggi tiga ribu rupiah.
(2) Barangsiapa menyiarkan, mempertunjukkan atau menempelkan di muka
umum tulisan, gambaran atau benda yang melanggar kesusilaan atau
barangsiapa dengan maksud" untuk disiarkan, dipertunjukkan atau
ditempelkan di muka umum, membikinnya, memasukkannya ke dalam negeri,
meneruskan, mengeluarkannya dan negeri atau mempunyai dalam persediaan,
atau barangsiapa secara terang-terangan atau dengan mengedarkan surat tanpa
diminta, menawarkan atau menunjukkan sebagai bisa didapat, diancam jika
ada alasan kuat baginya untuk menduga bahwa tulisan, gambaran atau benda
itu melanggar kesusilaan dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan
atau denda paling banyak tiga ratus rupiah.
Kalau yang bersalah, melakukan kejahatan tersebut dalam ayat pertama, sebagai
pencaharian atau kebiasaan, dapat dijatuhi pidana penjara paling lama dua tahun
delapan bulan atau denda paling banyak lima ribu rupiah. Perbuatan-perbuatan
yang diancam hukuman, baik dalam ayat (1) maupun ayat (2) dari pasal tersebut
ada tiga macam, yakni :
a. Menyiarkan, mempertunjukkan atau menempelkan dengan terangterangan
b. Membuat, memasukkan ke dalam negeri, mengirim langsung ke dalam negeri,
mengirim langsung ke luar negeri, membawa ke luar ataumenyediakan tulisan
dan sebagainya untuk disiarkan, dipertunjukkan atau ditempelkan dengan
terang-terangan;
c. Dengan terang-terangan atau dengan sengaja menyiarkan suatu tulisan
menawarkan dengan tidak diminta atau menunjukkan, bahwa tulisan dan
sebagainya itu boleh didapat.
Arti “menyiarkan, mempertunjukkan atau menempelkan dengan terangterangan” yakni;
a. Yang dapat disiarkan adalah misalnya; surat kabar, majalah, buku, surat
selebaran atau lainnya, yang dibuat dalam jumlah banyak.
b. “Mempertunjukkan” berarti memperlihatkan kepada orang banyak.
c. “Menempelkan” berarti melekatkan disuatu tempat yang mudah diketahui oleh orang banyak.
Internet sendiri termasuk klasifikasi tempat yang mudah diketehui oleh orang
banyak dan termasuk sarana/tempat “penyiaran”.
2. Rumusan Pornografi dalam UU No. 8 Tahun 1992
Pasal 40 huruf c UU. RI No 8 Tahun 1992 tentang Perfilman yang menyebutkan :
Barang siapa dengan sengaja mengedarkan, mengekspor, nempertunjukkan
dan/atau menayangkan film yang tidak disensor sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 33 ayat (1). Sensor film tersebut yang termasuk didalamnya adalah bagian
3. Rumusan Pornografi dalam UU No. 11 Tahun 2008
Dalam UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik,
pornografi diatur dalam Bab VII tentang Perbuatan yang Dilarang,Pasal 27 ayat
(1) yang berbunyi: Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan
dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi
Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar
kesusilaan.
Sanksi terhadap pelanggaran pasal 27 ayat (1) tersebut diatur dalam Bab XI
tentang Ketentuan Pidana Pasal 45 ayat (1), yang berbunyi: Setiap Orang yang
memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1), ayat (2), ayat
(3), atau ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun
dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
D. Teori Pertanggungjawaban Pidana
Pertanggungjawaban pidana menjurus kepada pemidanaan pelaku, jika telah
melakukan suatu tindak pidana dan memenuhi unsur-unsur yang telah telah
melakukan suatu tindak pidana dan memenuhi unsur-unsur yang telah telah
ditentukan oleh undang-undang. Dilihat dari terjadinya perbuatan yang terlarang,
ia akan diminta pertanggungjawaban apabila perbutan tersebut melanggar hukum.
Dilihat dari sudut kemampuan bertanggungjawab maka hanya orang yang mampu
Pada umumnya seseorang dikatakan mampu bertanggungjawab dapat dilihat dari
beberapa hal yaitu:
Keadaan Jiwanya
a. Tidak terganggu oleh penyakit terus-menerus atau sementara.
b. Tidak cacat dalam pertumbuhan (Gage, Idiot, gila dan sebagainya)
c. Tidak terganggu karena terkejut (Hipnotisme, amarah yang meluap dan
sebagainya).
Kemampuan Jiwanya :
a. Dapat menginsyafi hakekat dari perbuatannya.
b. Dapat menentukan kehendaknya atas tindakan tersebut, apakah dilaksanakan
atau tidak.
c. Dapat mengetahui ketercelaan dari tindakan tersebut.
Adapun menurut Van Hamel (2001), sate (1) seseorang baru bisa diminta
pertanggungjawabannya apabila memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
a. Orang tersebut harus menginsafi bahwa perbuatannya itu menurut tata cara
kemasyarakatan adalah dilarang.
b. Orang tersebut harus dapat menentukan kehendaknya terhadap perbuatannya
tersebut. Selain itu menurut, doktriner untuk menentukan kemampuan
bertanggungjawab harus ada dua hal yaitu Adanya kemampuan untuk
membedakan perbuatan yang baik dan yang buruk, yang sesuai dengan hukum
dan yang bertentangan dengan hak. Adanya kemampuan untuk menentukan
kehendaknya menurut keinsafannya tentang baik buruknya perbuatan yang
Sementara itu berkaitan dengan masalah kemampuan bertanggung jawab KUHP
tidak memberikan batasan, KUHP hanya merumuskannya secara Negative yaitu
mempersyaratkan kapan seseorang dianggap tidak mampu
mempertanggungjawabkan perbuatan yang dilakukan.
Menurut ketentuan Pasal 44 ayat (1) seseorang tidak dapat dimintai
pertanggungjawabannya atas suatu perbuatan karena dua alas an yaitu : 1.Jiwanya
carat dalam pertumbuhannya. 2.Jiwanya terganggu karena penyakit. Kemampuan
bertanggungjawab merupakan unsur kesalahan, oleh karena itu untuk
membuktikan unsur kesalahan tersebut, maka unsur pertanggung jawaban harus
juga dibuktikan, namun demikian untuk membuktikan adanya unsur kemampuan
bertanggungjawab itu sangat sulit dan membutuhkan waktu dan biaya, maka
dalam praktek dipakai faksi yaitu bahwa setiap orang dianggap mampu
bertanggungjawaban kecuali ada tanda-tanda yang menunjukkan lain. Maka dari
keterangan di atas dapat diambil kesimpulan bahwa pengertian pertanggung
jawaban pidana yaitu kemampuan seseorang untuk menerima resiko dari
perbuatan yang diperbuatnya sesuai dengan undang-undang.
E. Teori Penanggulangan Tindak Pidana
Kejahatan yang dilakukan seseorang dapat mengakibatkan terjadinya
kegoncangan, ketidak-harmonisan dalam masyarakat yang menginginkan
kehidupan yang tentram dan sejahtera. Hukum pidana dengan salah satu
sarananya berupa pidana, merupakan alternatif, salah satu bagian, untuk
menanggulangi kejahatan dan mengembalikan kejahatan dan mengembalikan
Kejahatan merupakan gejala universal, artinya tidak hanya menjadi masalah
nasional tetapi juga menjadi masalah yang ada dimana-mana. Karena kejahatan
mendatangkan kerugian di dalam kehidupan masyarakat, maka terhadap pelaku
kejahatan perlu dilakukan pemberian sanksi atau hukuman yang setimpal, dan
untuk itu perlu suatu proses untuk menetapkan bahwa suatu perbuatan itu adalah
kejahatan oleh suatu lembaga yang berwenang dengan menjatuhkan sanksi
pidana.
Barda Nawawi Arief (2001) yang mengambil pendapat Gene Kassebaum
menyatakan bahwa penanggulangan kejahatan dengan menggunakan sanksi
pidana merupakan cara yang paling tua, setua peradaban manusia itu sendiri.
Adapula yang menyebutnya sebagai “older philosophy of crime control”. Herbert L. Packer juga mengemukakan bahwa pengendalian perbuatan anti sosial dengan
menggunakan pidana pada seseorang yang bersalah merupakan suatu problem
sosial yang mempunyai dimensi hukum yang penting.
Selanjutnya Barda Nawawi Arief (2001) mengemukakan bahwa : “meningkatnya kejahatan dapat mengganggu kebijakan perencanaan kesejahteraan masyarakat
yang ingin dicapai. Oleh karena itu kebijakan perencanaan untuk meningkatkan
kesejahteraan sosial harus pula dibarengi dengan kebijakan perencanaan
perlindungan sosial. Malahan sebenarnya di dalam menetapkan kebijakan sosial,
yaitu usaha-usaha yang rasional untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, di
dalamnya harus sudah tercakup juga kebijakan mengenai perencanaan
Lebih lanjut dikemukakan oleh Barda Nawawi Arief : “salah satu bentuk dari perencanaan perlindungan sosial adalah usaha-usaha yang rasional untuk
menanggulangi kejahatan yang biasa disebut dengan “politik kriminal”. Tujuan akhir dari kebijakan kriminal adalah “perlindungan masyarakat” untuk mencapai tujuan utama yang sering disebut dengan istilah, misalnya “kebahagiaan warga masyarakat” (happines of the citizens), “kehidupan kultural yang sehat dan menyegarkan” (a wholesome and cultural living), “kesejahteraan masyarakat” (social welfare) atau untuk mencapai “keseimbangan” (equalitiy). Dengan demikian politik kriminal yang merupakan bagian dari perencanaan perlindungan
masyarakat merupakan bagian pula darikeseluruhan kebijakan sosial”.
Sehubungan dengan konsep pemikiran yang demikian itu, maka Sudarto (2004)
mengemukakan bahwa apabila hukum pidana hendak dilibatkan dalam
usaha-usaha mengatasi segi negatif dari perkembangan masyarakat, maka hendaknya
dilihat dalam hubungan keseluruhan politik kriminal atau social defence planning. Dikemukan pula selanjutnya, bahwa social defence planning ini pun harus merupakan bagian integral dari rencana pembangunan nasional.
Politik kriminal menurut Sudarto (2001) mempunyai tiga arti, yaitu : a. “dalam arti sempit”, ialah keseluruhan asas dan metode yang menjadi dasar dari reaksi terhadap pelanggaran hukum yang berupa pidana; b. dalam arti luas, ialah
keseluruhan fungsi dari aparatur penegak hukum, termasuk di dalamnya cara kerja
pengadilan dan polisi; c. dalam arti paling luas (yang beliau ambil dari Jorgen