• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PEMILIK SITUS PORNO DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG TENTANG PORNOGRAFI DAN UNDANG-UNDANG TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "ANALISIS PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PEMILIK SITUS PORNO DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG TENTANG PORNOGRAFI DAN UNDANG-UNDANG TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK"

Copied!
71
0
0

Teks penuh

(1)

INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK

SKRIPSI

Oleh

WENDY DESKY R

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

(2)

Halaman

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang ... 1

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup ... 9

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian... 10

D. Kerangka Teoritis dan Konseptual ... 11

E. Sistematika Penulisan... 19

II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian dan Unsur-Unsur Tindak Pidana ... 21

B. Pertanggungjawaban Pidana... 31

C. Pornografi dalam Undang-Undang No. 44 Tahun 2008 Tentang Pornografi dan Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik ... 33

D. Teori Pertanggungjawaban Pidana ... 37

E. Teori Penanggulangan Tindak Pidana... 39

III. METODE PENELITIAN A. Pendekatan Masalah ... 43

B. Jenis dan Sumber Data ... 44

C. Penentuan Populasi dan Sampel... 46

D. Metode Pengumpulan dan Pengolahan Data... 46

E. Analisis Data ... 47

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Karakteristik Responden ... 49

(3)

... 62

V. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan... 67

B. Saran ... 68

DAFTAR PUSTAKA

(4)

PORNO DITINJAU DARI TENTANG PORNOGRAFI DAN UU TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK

Oleh

WENDY DESKY R

Hadirnya media internet secara global menyebabkan siapa saja dapat mengakses situs-situs yang tersedia secara mudah. Ketentuan tentang pornografi dalam dunia maya tidak saja berupa tindak pidana penyebaran gambar-gambar yang dianggap tabu/porno untuk dipertontonkan kepada publik, melainkan juga dimanfaatkan sebagai media transaksi prostitusi secara online. Situs-situs porno tersebut juga menjual/menawarkan gambar-gambar bahkan cerita-cerita porno kepada setiap orang yang mengunjungi situs tersebut dengan pembayaran melalui transfer online. Permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimanakah pertanggungjawaban pidana yang dapat dijatuhkan kepada pemilik situs porno ditinjau dari Undang-Undang Pornografi dan Informasi dan Transaksi Elektronik? dan apakah faktor penghambat dalam pertanggungjawaban pidana yang dapat dijatuhkan kepada pemilik situs porno ditinjau dari Undang-Undang Pornografi dan Informasi dan Transaksi Elektronik?.

Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif, pendekatan analisis empiris karena penelitian ini berdasarkan jenisnya merupakan kombinasi antara penelitian normatif dengan empiris. Sedangkan berdasarkan sifat, bentuk dan tujuannya adalah penelitian deskriptif dan problem identification, yaitu dengan mengidentifikasi masalah yang muncul kemudian dijelaskan berdasarkan peraturan-peraturan atau perundang-undangan yang berlaku serta ditunjang dengan landasan teori yang berhubungan dengan penelitian. Metode analisis data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah analisis kuantitatif, hal ini didasarkan pada teori bahwa penelitian normatif dimana perolehan datanya lebih dominan dengan studi kepustakaan/data sekunder (meliputi hukum primer, sekunder dan tersier) metode yang diterapkan lebih tepat analisis kualitatif, sedangkan data primer hasil pengamatan dan wawancara dikualitatifkan.

(5)

keterampilan aparat selaku penyelidik dan penyidik di bidang komputer ini mengakibatkan teknis penyelidikan, penuntutan dan pemeriksaan terhadap suatu perkara akan sulit dikuasai apalagi saat di pengadilan, karena menyangkut sistem yang ada dalam komputer, dimana sistem dalam komputer yang digunakan oleh pelaku cyberporn juga harus dikuasai oleh aparat penegak hukum, polisi selaku penyidik.

(6)

Ade Maman Suherman,Aspek Hukum Dalam Ekonomi Global, Ghalia Indonesia, Jakarta,

Arief, Barda Nawawi, 1996. Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, PT. Citra Aditya Bhakti, Bandung.

Arikunto, Suharsimi, 1998. Prosedur Penelitian, SuatuPendekatan Praktik. Penerbit Rineka Cipta. Jakarta.

Didik M. Arief Mansur dan Alisatris Gultom, op.cit.

Ervina Lerry W.S., Iman dan 25 Drs. H. Sutarman, M.H. Op. cit.hlm. 66.

Leden Marpaung, S.H., Kejahatan Terhadap Kesusilaan dan Masalah Prevensinya, Sinar Grafika, Jakarta, 2004.

Maleong, Lexy J, 2005,Metode Penelitian Sosial: Edisi Revisi, Bandung, Remaja Rosdakarya.

Mas Wigrantoro Roes Setiyadi dan Mirna Dian Avanti Siregar, Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana di Bidang Teknologi Informasi, Global Internet PolicyInitiative-Indonesia bekerja sama dengan Indonesia Media Law and Policy Center, November, 2003,

Rumusan Sementara Seminar Cyber Crime dan Cyber Porn Dalam Perspektif Hukum Teknologi dan Hukum Pidana, Semarang, 6–7 Juni 2007, hlm 15-16.

Soekanto, Soerjono. 1986.Metode Penelitian Sosial. Bina Rupa Aksara. Jakarta.

Stella K.R.,The World of Cyber Crimes: Carding,Bheta Versions, IKI-4000.)

http://anggara.files.wordpress.com/2008/04/na_ruu_tipiti.pdf

(7)

Menuntut Ilmu Wajib Atas Tiap Muslim (Baik Muslimin Maupun

Muslimah).

(HR. Ibnu Majah)

Apa Yang Sedikit Tetapi Mencukupi Lebih Baik Daripada Banyak

Tetapi Tidak Puas .

(HR.Abu dawud)

Bertahanlah Dari Segala Tekanan, Dan Bersabarlah Dari Segala

Masalah. Temukan Jalan Keluar Dan jadikan Segalanya Agar Lebih

(8)

A. Latar Belakang

Peradaban manusia di penghujung abad 19 mulai mengalami perubahan drastis,

hal ini dapat dilihat terutama dalam hal pergaulan luas tanpa batas di seluruh

penjuru dunia yang difasilitasi media telekomunikasi, dan teknologi yang selalu

mengalami perkembangan dari hari ke harilah yang memegang peran serta andil

terjadinya perubahan drastis tersebut. Tidak ada lagi sekat atau batas antar belahan

dunia, perbedaan budaya, ras, golongan dan warna kulit tidak lagi

dipermasalahkan. Era globalisasi, itulah sebutan yang tepat digunakan untuk

menggambarkan kondisi tersebut. Pesatnya perkembangan di bidang teknologi

informasi saat ini merupakan dampak dari semakin kompleksnya kebutuhan

manusia akan informasi itu sendiri.

Kedekatan hubungan antara informasi dan teknologi jaringan komunikasi telah

menghasilkan dunia maya yang amat luas yang biasa disebut dengan teknologi

cyberspace. Teknologi ini berisikan kumpulan informasi yang dapat diakses oleh semua orang dalam bentuk jaringan-jaringan komputer yang disebut jaringan

internet. Sebagai media penyedia informasi internet juga merupakan sarana

kegiatan komunitas komersial terbesar dan terpesat pertumbuhannya. Sistem

(9)

informasi secara cepat dan menghilangkan batas-batas teritorial suatu wilayah

negara.

Kepentingan yang ada bukan lagi sebatas kepentingan suatu bangsa semata,

melainkan juga kepentingan regional bahkan internasional. Perkembangan

teknologi informasi yang terjadi pada hampir setiap negara sudah merupakan ciri

global yang mengakibatkan hilangnya batas-batas negara.Negara yang sudah

mempunyai infrastruktur jaringan informasi yang lebih memadai tentu telah

menikmati hasil pengembangan teknologi informasinya, negara yang sedang

berkembang dalam pengembangannya akan merasakan kecenderungan timbulnya

neo-kolonialisme (Teguh Arifiyadi, 2008).

Hal tersebut menunjukan adanya pergeseran paradigma dimana jaringan informasi

merupakan infrastruktur bagi perkembangan suatu negara. Setiap negara harus

menghadapi kenyataan bahwa informasi dunia saat ini dibangun berdasarkan

suatu jaringan yang ditawarkaan oleh kemajuan bidang teknologi. Salah satu cara

berpikir yang produktif adalah mendirikan usaha untuk menyediakan suatu

infrastruktur informasi yang baik di dalam negeri, yang kemudian dihubungkan

dengan jaringan informasi global.

Kecenderungan mengglobalnya karakteristik teknologi informasi yang semakin

akrab dengan masyarakat, akhirnya menjadikan Indonesia harus mengikuti pola

tersebut. Karena teknologi informasi (khususnya dalam dimensicyber) tidak akan mengkotak-kotak dan membentuk signifikasi karakter. Namun selalu ada gejala

negatif dari setiap fenomena teknologi, salah satunya adalah aktifitas kejahatan.

(10)

beradaptasi pada tingkat perkembangan teknologi. Salah satu contoh terbesar saat

ini adalah kejahatan maya atau biasa disebut cyber crime, yang merupakan bentuk fenomena baru dalam kejahatan sebagai dampak langsung dari perkembangan

teknologi informasi (Teguh Arifiyadi, 2008).

Kejahatan cyber secara hukum bukanlah kejahatan sederhana karena tidak menggunakan sarana konvensional, tetapi menggunakan komputer dan internet, di

tengah kemajuan di bidang teknologi informasi yang dilakukan negara-negara

tetangga, kondisi negeri ini memang cukup memprihatinkan. Setidaknya

sebagaimna dipaparkan oleh pakar multimedia dan pengamat telematika R.M.

Roy Suryo pada sebuah seminar tentang komunikasi mayantara (cyber

communication) di Bandung, “Dalam hal penggunaan internet, Indonesia sebetulnya masuk dalam kategori rendah. Artinya, jumlah pengguna internet

dibandingkan jumlah penduduk masih sangat sedikit. Dari sekitar 240 juta

penduduknya, hanya sekitar 3-4 juta warga Indonesia yang menggunakan

internet” (Pikiran Rakyat, 7 November 2003).

Ironisnya, di tengah rendahnya penggunaan internet itu, Indonesia justru menjadi

negara kedua tebesar kejahatan siber (cyber crime) di dunia, setelah Ukraina. Dua

modus kejahatan dunia maya yang paling sering dilakukan adalah carding atau memalsukan nomor kartu kredit orang lain untuk bisa mandatangkan berbagai

produk komersial yang diperjualbelikan lewat internet. Modus kedua adalah

(11)

Pernyataan Roy Suryo tentang peringkat Indonesia dalam cyber crime tersebut sejalan dengan pernyataan Ade Ari Syam Indradi. Berdasarkan hasil penelusuran

Ade Ari Syam Indradi tentang peringkat Indonesia dalam cyber crime dinyatakan bahwa Indonesia telah menggantikan posisi Ukraina yang sebelumnya menduduki

peringkat pertama dalam persentase tertinggi di dunia maya. Data hasil penelitian

Verisign, perusahaan yang memberikan pelayanan intelejen di dunia maya yang

berpusat di California, Amerika Serikat, menempatkan Indonesia pada posisi

tertinggi pelaku kejahatan di dunia maya, sementara peringkat kedua itempati oleh

Nigeria dan peringkat ketiga oleh Pakistan (Sutarman, 2007)

Berdasarkan beberapa bahasan di atas mengenai teknologi informasi maka dapat

kita ketahui bahwa jika kita dapat memanfaatkan teknologi tersebut maka kita

akan memperoleh kemudahan dalam menjalankan kehidupan sehari-hari. Namun

satu hal yang harus kita ingat bahwa perkembangan teknologi tersebut bukannya

tanpa ada efek sampingnya, karena justru Crime is product of society it self yang berarti bahwa semakin tinggi tingkat intelektualitas suatu masyarakat maka akan

semakin canggih dan beraneka-ragam pulalah tingkat kejahatan yang dapat

terjadi. Sebagai bukti nyata sekarang banyak negara yang dipusingkan oleh

kejahatan melalui internet yang dikenal dengan istilah cyber crime. Oleh karena itulah maka kita sebagai bangsa yang masih baru dalam mengikuti perkembangan

teknologi informasi haruslah pintar-pintar memilah dan memilih dalam

penggunannya, karena alih-alih kita ingin memajukan bangsa dengan menjadikan

teknologi informasi sebagai teknologi yang mencerahkan orang banyak

(12)

Namun justru yang terjadi malah sebaliknya, yaitu destructive technology. Umumnya suatu masyarakat yang mengalami perubahan akibat kemajuan

teknologi, banyak melahirkan masalah-masalah sosial. Hal itu terjadi karena

kondisi masyarakat itu sendiri yang belum siap menerima perubahan atau dapat

pula karena nilai-nilai masyarakat yang telah berubah dalam dalam menilai

kondisi lama sebagai kondisi yang tidak lagi dapat diterima (Horton, Paul B. dan

Chester L. Hunt, 1984).

Secara garis besar, kejahatan-kejahatan mayantara tersebut dapat dibedakan

menjadi dua kelompok besar, yaitu kejahatan yang menjadikan komputer sebagai

tujuan dan kejahatan yang menggunakan komputer atau internet sebagai sarana.

Kejahatan yang menjadikan komputer sebagai tujuan contohnya adalah cracker. Cracker adalah seseorang atau sekelompok orang yang melakukan pengrusakan situs atau website milik orang lain. Sedangkan kejahatan yang menggunakan

computer atau internet sebagai sarana contohnya adalah cyber gambling, cyber fraud, cyber narcotism, cyber smuggling, cyber attacks on critical infrastructure, cyber blackmail, cyber threatening, cyber terrorism dan cyber pornography/sex. Cyber pornography/sex adalah bentuk kejahatan kesusilaan yang menggunakan internet sebagai media utama dalam penyebaran segala sesuatu yang mengandung

unsure porno dan seksual (Alfons Zakaria, 2008).

(13)

yang mengaksesnya, apalagi bagi anak-anak di bawah umur, karena tidak ada

halangan bagi mereka untuk menggunakan jasa warung internet (warnet) ini

disebabkan tidak ada klasifikasi atau pembatasan usia yang diberikan oleh

pengelola warnet, tentu saja itu tidak akan dilakukan para pengelola warnet

tersebut demi kepentingan bisnis mereka, dengan demikian tidak ada pengawasan

bagi anak-anak tersebut dan dengan bebas mereka bisa mengakses situs-situs

porno, yang sangat ditakutkan apabila kemudian diaplikasikan dalam kehidupan

bermasyarakat maka akan terjadi perbuatan asusila, yang juga bisa memacu

tingkat kriminalitas. Keadaan ini tidak dapat dibiarkan terus-menerus, karena

dapat merusak moral bangsa. Setidak-tidaknya ada rambu-rambu khusus untuk

mengatur hal ini, karena situs ini bergerak ke seluruh dunia tanpa ada batas.

Apalagi jumlah warung internet (warnet) di Indonesia terus berkembang. Di akhir

tahun 2008, jumlahnya diperkirakan bisa menembus angka 12 ribu di seluruh

Indonesia. Menurut Ketua Asosiasi Warnet Indonesia (AWARI) Irwin Day

memperkirakan, saat ini jumlah warnet yang ada di tanah air berjumlah sekitar 10

ribu warnet (Irwin Day, 2010).

Hadirnya media internet secara global menyebabkan siapa saja dapat untuk

mengakses situs-situs yang tersedia secara mudah. Ketentuan tentang pornografi

dalam dunia maya tidak saja hanya berupa tindak pidana penyebaran

gambargambar yang dianggap tabu/porno untuk dipertontonkan kepada publik,

melainkan juga dimanfaatkan sebagai media transaksi prostitusi secara online.

Situs-situs porno tersebut juga menjual/menawarkan gambar-gambar bahkan

cerita-cerita porno kepada setiap orang yang mengunjungi situs tersebut dengan

(14)

dengan budaya Indonesia. Gambar-gambar cyberporn telah memberikan dampak yang luar biasa pada tingkat individu, keluarga, komunitas, masyarakat-bangsa,

bahkan umat manusia secara keseluruhan. Khususnya, cyberporn memberikan dampak yang besar pada dunia kebudayaan dan keberagamaan pada umumnya.

Dengan adanya kenyataan tersebut, aparat kepolisian sebagai aparat penegak

hukum tentu saja tidak bisa tinggal diam, oleh karenanya harus dilaksanakan

operasi atau razia terhadap warnet-warnet ‘nakal’ yang kini semakin merebak. Sukses merazia warnet yang menggunakan software bajakan pada awal 2007 lalu,

Kamis (27/12) kemarin Polwil Malang kembali merazia warnet. Dalam razia yang

berlangsung mulai pukul 11.00 hingga pukul 12.00 ini, petugas menyita sebanyak

116 unit personal computer (PC) dari empat warnet, yakni X-trem di Jl MT Haryono, Wardot di Jl Danau Toba, Lilo Magnet yang berada di Ruko Dinoyo

Permai. Hingga kemarin, Reskrim Polwil Malang masih menuntaskan penyidikan

terhadap 12 saksi dari karyawan, konsumen dan teknisi pada warnet itu. Kasubag

Reskrim Polwil Malang AKP Jamaludin Farti mengatakan, razia ini berawal dari

penyelidikan yang pernah dilakukan seminggu sebelumnya. Ditemukan banyak

film yang di-copy dari internet, satu komputer kami temukan sekitar lima film.

Dari hasil penyelidikan diketahui, warnet-wanet ini dikenal memang kerap

menyediakan film-film porno yang bisa dengan mudah menikmatinya tanpa harus

men-download terlebih dahulu dari situs yang menyediakannya. Jamaludin

menduga ada kesengajaan yang dilakukan pengelola untuk men-copy film tanpa

sensor (http://www.detikinet.com, di akses pada 22 Juli 2011).

Tujuannya sebagai daya tarik agar warnet bisa banyak menjaring konsumen, yang

(15)

meningkat jumlahnya, ternyata masih banyak pelaku yang tidak dapat diadili

akibat ketiadaan undang-undang. Akibatnya, sangat wajar apabila kejahatan

mayantara (cybercrime) semakin meningkat dari waktu ke waktu. Ketiadaan

undang-undang yang menjadi penyebab tidak dapat dibiarkan berlarut-larut,

karena apabila hal ini tidak segera diselesaikan akan menimbulkan keresahan di

masyarakat dan pada akhirnya hukum akan kehilangan wibawanya (Didik M.

Arief Mansur dan Alisatris Gultom, 2005).

Seiring berjalannya waktu melihat fenomena semakin merebaknya kejahatan

mayantara (cybercrime) mengingat selain menggunakan piranti canggih, modus

cybercrime juga tergolong rapi, dan semakin banyak pihak yang dirugikan dari kejahatan ini, yang kemudian memunculkan reaksi dari dari seluruh elemen

masyarakat untuk mengajak pemerintah agar segera bertindak mengatasi

permasalahan ini. Karena seperti diketahui bahwa sistem pembuktian kita

terutama yang menyangkut elemen penting dari alat bukti (Pasal 184 KUHAP

ayat (1) huruf c) masih belum mengakui data komputer sebagai bagiannya karena

sifatnya yang digital, padahal dalam kasus cyber crime data elektronik sering kali menjadi barang bukti yang ada, karenanya sangat realistis jika data elektronik

dijadikan sebagai bagian dari alat bukti yang sah. Oleh karena itu dibutuhkan

perangkat hukum tentang dunia maya/siber (cyberlaw) yang dapat secara langsung

menangani kejahatan mayantara. Maka dibuatlah berbagai rancangan

undang-undang yang bersangkutan dalam rangka menanggulangi cyber crime, dan baru-baru RUU tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) yang dipilih untuk

disahkan menjadi UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi

(16)

pencegahan dan penegakan hukum, demi tercapainya supremasi hukum. Sebab,

apabila dibiarkan terus-menerus, tidak menutup kemungkinan dapat mengganggu

keamanan dalam negeri. Sesungguhnya cyber crime sudah mengganggu keamanan dalam negeri. Sehingga diperlukan langkah strategis aparat penegak

hukum untuk menanggulanginya.

Berdasarkan tersebut di atas, maka peneliti tertarik melakukan penelitian dengan

judul: Analisis Pertanggungjawaban Pidana Pemilik Situs Porno ditinjau dari

Undang-Undang No. 44 Tahun 2008 Tentang Pornografi dan Undang-Undang

No. 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup

1. Permasalahan

Permasalahan dalam penelitian ini adalah:

a. Bagaimanakah pertanggungjawaban pidana yang dapat dijatuhkan kepada

pemilik situs porno ditinjau dari Undang-Undang Pornografi dan

Informasi dan Transaksi Elektronik?

b. Apakah faktor penghambat dalam pertanggungjawaban pidana yang dapat

dijatuhkan kepada pemilik situs porno ditinjau dari Undang-Undang

Pornografi dan Informasi dan Transaksi Elektronik?

2. Ruang Lingkup

Penulis membatasi ruang lingkup dalam penelitian terbatas pada kajian hukum

pidana yang meliputi: sebagai tempat penelitian adalah Pengadilan Negeri

(17)

pertanggungjawaban pidana yang dapat dijatuhkan kepada pemilik situs porno

ditinjau dari Undang-Undang Pornografi dan Informasi dan Transaksi

Elektronik.

C. Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui pertanggungjawaban pidana yang dapat dijatuhkan kepada

pemilik situs porno ditinjau dari Undang-Undang Pornografi dan Informasi

dan Transaksi Elektronik.

2. Untuk mengetahui faktor penghambat dalam pertanggungjawaban pidana yang

dapat dijatuhkan kepada pemilik situs porno ditinjau dari Undang-Undang

Pornografi dan Informasi dan Transaksi Elektronik

D. Kegunaan Penelitian

Kegunaan penelitian ini meliputi kegunaan teoritis dan praktis, yaitu :

1. Kegunaan teoritis

Secara teoritis penelitian ini diharapkan dapat berguna bagi perkembangan

ilmu hukum dan dapat memperluas daya berfikir, dapat mengembangkan

kemampuan berkarya ilmiah dengan daya nalar dan sebagai sumber informasi

bagi mereka yang memerlukan dan dapat menjadi salah satu referensi,

khususnya mengenai putusan pengadilan tentang pemilik situs porno ditinjau

dari Undang No. 44 Tahun 2008 Tentang Pornografi dan

(18)

2. Kegunaan Praktis

Secara praktis hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan

pemikiran kepada pihak-pihak yang berkepentingan khususnya bagi aparat

penegak hukum dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya dalam

menindak tindak pidana pemilik situs porno.

E. Kerangka Teoritis dan Konseptual

1. Kerangka Teoritis

a. Unsur Tindak Pidana

Suatu tindak pidana yang terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum

Pidana pada umumnya memiliki dua unsur yakni unsur subjektif yaitu unsur

yang melekat pada diri si pelaku dan unsur objektif yaitu unsur yang ada

hubungannya dengan keadaan-keadaan (Lamintang, 1981:193).

Menurut Lamintang (1981:193) unsur subjektif dari suatu tindak pidana adalah:

1. Kesengajaan atau ketidaksengajaan (dolusatauculpa) 2. Maksud atauvoornemenpada suatu percobaan

3. Macam-macam maksud atauoogmerk

4. Merencanakan terlebih dahulu atauvoorbedachte raad 5. Perasaan takut atauvress

Unsur objektif dari suatu tindak pidana adalah : 1. Sifat melanggar hukum

2. Kualitas dari si pelaku

3. Kausalitas, yakni hubungan antara sesuatu tindakan sebagai penyebab dengan suatu kenyataan sebagai akibat.

b. Pertanggungjawaban pidana

Pertanggungjawaban pidana dalam istilah asing tersebut juga dengan

(19)

terdakwa atau tersangka dipertanggung jawabkan atas suatu tindakan pidana

yang terjadi atau tidak (Saifudien, 2001).

Dipidananya si pelaku disyaratkan bahwa tindak pidana yang dilakukannya itu

memenuhi unsur-unsur yang telah ditentukan dalam Undang-undang. Dilihat

dari sudut terjadinya tindakan yang dilarang, seseorang akan dipertanggung

jawabkan atas tindakan-tindakan tersebut, apabila tindakan tersebut melawan

hukum serta tidak ada alasan pembenar atau peniadaan sifat melawan hukum

untuk pidana yang dilakukannya. Dilihat dari sudut kemampuan bertanggung

jawab maka hanya seseorang yang mampu bertanggung jawab yang dapat

dipertanggung jawabkan atas perbuatannya. Tindak pidana jika tidak ada

kesalahan adalah merupakan asas pertanggung jawaban pidana, oleh sebab itu

dalam hal dipidananya seseorang yang melakukan perbuatan sebagaimana

yang telah diancamkan, ini tergantung dari soal apakah dalam melakukan

perbuatan ini dia mempunyai kesalahan.

Sebagai seorang hakim dalam memberikan putusan kemungkinan dipengaruhi

oleh beberapa hal, seperti pengaruh dari faktor agama, kebudayaan,

pendidikan, nilai, norma dan sebagainya. Sehingga dapat dimungkinkan

adanya perbedaan putusan atas kasus yang sama. Dan pada dasarnya hal

tersebut lebih disebabkan oleh adanya perbedaan cara pandang sehingga

mempengaruhi pertimbangan hakim dalam memberikan putusan.

Kemampuan untuk membeda-bedakan antara perbuatan yang baik dan yang

(20)

untuk menentukan kehendaknya menurut keinsyafan tentang baik buruknya

perbuatan tersebut adalah merupakan faktor perasaan (volitional factor) yaitu dapat menyesuaikan tingkah lakunya dengan keinsyafan atas mana yang

diperbolehkan dan mana yang tidak. Sebagai konsekuensi dari dua hal tadi

maka tentunya orang yang tidak mampu menentukan kehendaknya menurut

keinsyafan tentang baik buruknya perbuatan, dia tidak mempunyai kesalahan

kalau melakukan tindak pidana, orang demikian itu tidak dapat dipertanggung

jawabkan.

Kemampuan bertanggungjawab merupakan unsur kesalahan, maka untuk

membuktikan adanya kesalahan unsur tadi harus dibuktikan lagi. Mengingat

hal ini sukar untuk dibuktikan dan memerlukan waktu yang cukup lama, maka

unsur kemampuan bertanggung jawab dianggap diam-diam selalu ada karena

pada umumnya setiap orang normal bathinnya dan mampu bertanggung

jawab, kecuali kalau ada tanda-tanda yang menunjukkan bahwa terdakwa

mungkin jiwanya tidak normal. Dalam hal ini, hakim memerintahkan

pemeriksaan yang khusus terhadap keadaan jiwa terdakwa sekalipun tidak

diminta oleh pihak terdakwa. Jika hasilnya masih meragukan hakim, itu

berarti bahwa kemampuan bertanggung jawab tidak berhenti, sehingga

kesalahan tidak ada dan pidana tidak dapat dijatuhkan berdasarkan asas tidak

dipidana jika tidak ada kesalahan.

Masalah kemampuan bertanggung jawab dalam KUHP ini terdapat dalam

(21)

tidak dapat dipertanggung jawabkan kepadanya karena jiwanya cacat dalam

pertumbuhan atau terganggu karena cacat, tidak dipidana.”

Tidak dipertanggungjawabkan perbuatan disebabkan hal lain, misalnya

jiwanya tidak normal dikarenakan dia masih muda, maka Pasal tersebut tidak

dapat dikenakan.apabila hakim akan menjalankan Pasal 44 KUHP, maka

sebelumnya harus memperhatikan apakah telah dipenuhi dua syarat sebagai

berikut :

1) Syarat Psychiartris yaitu pada terdakwa harus ada kurang sempurna

akalnya atau sakit berubah akal, yaitu keadaan kegilaan (idiote), yang

mungkin ada sejak kelahiran atau karena suatu penyakit jiwa dan keadaan

ini harus terus menerus.

2) Syarat Psychologis ialah gangguan jiwa itu harus pada waktu si pelaku

melakukan perbuatan pidana, oleh sebab itu suatu gangguan jiwa yang

timbul sesudah peristiwa tersebut, dengan sendirinya tidak dapat menjadi

sebab terdakwa tidak dapat dikenai hukuman.

c. Pertimbangan Hakim

Kekuasaan kehakiman diatur dalam UU No. 48 Tahun 2009 yang

menggantikan UU No.4 Tahun 2004. Pasal 1 UU No. 48 Tahun 2009

menentukan bahwa kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan Negara yang

merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakan hukum dan

keadilan berdasarkan Pancasila demi terselenggarannya Negara Hukum RI. Ini

berarti bahwa hakim itu bebas dari pihak ekstra yudisiil dan bebas menemukan

(22)

batas, melainkan dibatasi dari segi makro dan mikro. Dari segi makro dibatasi

oleh sistem pemerintahan, sistem politik, sistem ekonomi dan sebagainya,

sedangkan dari segi mikro kebebasaan hakim dibatasi atau diawasi oleh

Pancasila, UUD, UU, kesusilaan dan ketertiban umum. Dibatasinya kebebasan

hakim tidaklah tanpa alasan, karena hakim adalah manusia yang yang tidak

luput dari kekhilafan. Untuk mengurangi kekeliruan dalam menjatuhkan

putusan maka kebebasan hakim perlu dibatasi dan putusannya perlu dikoreksi.

Oleh karena itu asas peradilan yang baik (principle of good judicature) antara

lain ialah adanya pengawasan dalam bentuk upaya hukum.

Pasal 2 UU No. 48 Tahun 2009 menyatakan bahwa kekuasaan kehakiman oleh

Mahkamah Agung dan Mahkamah Kostitusi. Pasal 11 UU No. 48 Tahun 2009

mengatakan bahwa MA merupakan pengadilan tertinggi dari keempat

lingkungan peradilan, sedangkan Pasal 12 berbunyi bahwa MK mengadili

pada tingkat pertama dan terakhir. Dengan demikian sesudah Tahun 2006 kita

tidak lagi mempunyai pengadilan yang tertinggi. Kecuali oleh karena MK

mengadili pada tingkat pertama dan terakhir maka tidak ada upaya hukum

sama sekali. Semua lingkungan peradilan dibawah MA tersedia upaya hukum,

sehingga putusan pengadilan di tingkat pertama dan kedua di lingkungan di

bawah MA dimungkinkan untuk dikoreksi oleh pengadilan yang lebih tinggi,

Dengan tidak adanya pengawasan maka kekuasaan MK adalah mutlak. Sistem

ini tidak memenuhi principle of good judicature. Pasal 19 UU No. 48 Tahun 2009 Ayat 3 mengatakan bahwa rapat musyawarah hakim adalah bersifat

rahasia, yang berarti bahwa tidak boleh diketahui oleh umum atau diluar yang

(23)

permusyawaratan tidak dapat dicapai mufakat bulat, pendapat hakim yang

berbeda wajib dimuat dalam putusan (dissenting opinion).

d. Faktor penghambat dalam pertanggungjawaban pidana yang dapat dijatuhkan kepada pemilik situs porno

Menurut Didik M. Arief Mansur dan Alisatris Gultom (2007) terdapat beberapa

faktor penghambat dalam upaya penegakan hukum terhadap cybeporn antara lain seperti:

a. Lemahnya Penguasaan Komputer. Kurangnya kemampuan dan keterampilan

aparat selaku penyelidik dan penyidik di bidang komputer ini mengakibatkan

teknis penyelidikan, penuntutan dan pemeriksaan terhadap suatu perkara akan

sulit dikuasai apalagi saat di pengadilan, karena menyangkut sistem yang ada

dalam komputer, dimana sistem dalam komputer yang digunakan oleh pelaku

cyberporn juga harus dikuasai oleh aparat penegak hukum, polisi selaku penyidik.

b. Bukti Elektris. Persoalan yang muncul adalah belum diakuinya data komputer

yang merupakan alat bukti elektris sebagai salah satu alat bukti yang sah

dipengadilan, karena sifatnya digital, atau dalam istilah kepolisian dikenal

dengan digital forensik. Mengingat bukti dalam bentuk elektris tersebut tidak

riil, mudah di ubah atau di copy, dihapus maupun dipindah. Dikhawatirkan pada saat diperlukan saat persidangan di pengadilan kondisi bukti elektris

tersebut sudah tidak sesuai seperti saat kejadian.

c. Perbedaan persepsi. Perbedaan persepsi antara pihak penyidik dan kejaksaan,

dimana pihak kejaksaan menilai bahwa tersangka dalam kasus ini belum dapat

(24)

yang secara langsung melihat tersangka melakukan download film porno

melalui internet. Hal ini akan menghambat proses hukum dalam penanganan

suatu kasus. Karena dalam rangka penegakan hukum terhadap kejahatan

maupun tindak pidana apapun jenisnya, diperlukan kerjasama yang solid dari

seluruh instansi terkait, jadi seharusnya pihak jaksa penuntut umum dalam hal

ini bisa lebih menghargai usaha yang telah dilakukan oleh aparat Polwil

Lampung, selaku penyidik, serta lebih bersungguh-sungguh dalam

menjalankan tugasnya sebagai bagian dari aparat penegak hukum.

d. Kepercayaan masyarakat. Tidak adanya kepercayaan dari masyarakat yang

diberikan kepada Polri dalam mengemban tugas, juga menjadi kendala. Hal ini

bisa dilihat dari komentar masyarakat melalui internet yang banyak memberi

kesan negatif terhadap usaha yang dilakukan dengan melakukan razia

sejumlah warnet di Lampung tersebut. Dampaknya seperti yang bisa dilihat,

bahwa setelah dilakukannya razia warnet tersebut ternyata tidak membuat jera

para pemilik warnet, karena hanya beberapa waktu saja setelah razia tersebut

warnet-warnet tersebut tertib dan patuh pada peraturan, namun kini sudah

bermunculan kembali praktek pornografi tersebut

e. Instrumen Hukum. Belum adanya cyber law di Indonesia untuk menanggulangi cyber crime. Peraturan perundang-undangan yang juga harus diformulasikan dengan tepat dan sebaik-baiknya agar bisa dilaksanakan

(25)

2. Konseptual

a. Analisis merupakan kajian ilmiah terhadap suatu masalah yang muncul

yang memerlukan penyelesaian berdasarkan fakta dan dasar-dasar teori

yang ada (www.e-psikologi.co.id, 2009).

b. Pertanggungjawaban pidana adalah tindakan yang menjurus kepada

pemidanaan petindak dengan maksud untuk menentukan apakah seseorang

terdakwa atau tersangka dipertanggung jawabkan atas suatu tindakan

pidana yang terjadi atau tidak (Saifudien, 2001)

c. Website atau situs porno dapat diartikan sebagai kumpulan

halaman-halaman yang digunakan untuk menampilkan informasi teks, gambar diam

atau gerak, animasi, suara, dan atau gabungan dari hal yang berbau

pornografi baik yang bersifat statis maupun dinamis yang membentuk satu

rangkaian bangunan yang saling terkait dimana masing-masing

dihubungkan dengan jaringan-jaringan halaman (hyperlink) (Sutarman,

2007)

d. Berdasarkan Undang-Undang No. 44 Tahun 2008 Tentang Pornografi dan

Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi

Elektronik, situs porno adalah segala jenis layanan pornografi yang

disediakan oleh orang perseorangan atau korporasi melalui pertunjukan

langsung, televisi kabel, televisi teresterial, radio, telepon, internet, dan

komunikasi elektronik lainnya serta surat kabar, majalah, dan barang

(26)

F. Sistematika Penulisan

Upaya memudahkan maksud dari penelitian ini serta dapat dipahami, maka

penulis membaginya ke dalam 5 (lima) bab secara berurutan dan saling berkaitan

hubungannya yaitu sebagai berikut :

I. PENDAHULUAN

Bab ini menguraikan tentang Latar Belakang tentang Putusan Pengadilan

dalam memutuskan pelaku tindak pidana pornografi yang selanjutnya

merumuskan masalah dalam menentukan Ruang Lingkup Penelitian, Tujuan

dan Kegunaan Penelitian, Konseptual dan Sistematika Penulisan.

II. TINJAUAN PUSTAKA

Bab ini menguraikan tentang teori-teori yang dapat dijadikan sebagai dasar

atau teori dalam menjawab masalah yang terdiri dari Pengertian Tindak pidana

dan Jenis-Jenis Tindak pidana, Bentuk-Bentuk Tindak pidana pornografi,

Sebab-sebab Terjadinya Tindak pidana, serta Dasar Hukum Pemberantasan

Tindak pidana pornografi.

III. METODE PENELITIAN

Bab ini menguraikan langkah-langkah atau cara yang dilakukan dalam

penelitian meliputi Pendekatan Masalah, Sumber dan Jenis Data,

Pengumpulan Data dan Pengolahan Data serta Analisa Data.

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Bab ini memuat pembahasan berdasarkan hasil penelitian dari pokok

(27)

tindak pidana pornografi dan pertanggungjawaban pidana pelaku tindak

pidana pornografi.

V. PENUTUP

Bab ini dibahas mengenai kesimpulan terhadap jawaban permasalahan dari

hasil penelitian dan saran dari penulis yang merupakan alternatif penyelesaian

(28)

DAFTAR PUSTAKA

Abdul Wahib dan Mohammad Labib, Kejahatan Mayantara (Cyber Crime), Refika Aditama, Bandung, 2005

Alfons Zakaria, Proposal Penelitian Kebijakan Hukum Pidana Dalam Pengaturan Website Yang Bermuatan Pornografi di Indonesia. 2007 Didik M. Arief Mansur dan Alisatris Gultom,Cyber Law-Aspek Hukum Teknologi

Informasi, Refika Aditama, Bandung, 2005, hlm.12.

Drs. H. Sutarman, M.H.Cyber Crime,Modus Operandi dan Penanggulangannya. LaksBang Pressindo. Yogyakarta. 2007

Horton, Paul B. dan Chester L. Hunt,Sosiologi, Erlangga, Jakarta, 1984

Teguh Arifiyadi, SH (Inspektorat Jenderal Depkominfo),Cyber Crime dan Upaya Antisipasinya Secara Yuridis (I), dikutip dari: http://www.google.com (22 Maret 2008)

(29)

A. Pengertian dan Unsur-Unsur Tindak Pidana

1. Pengertian Tindak Pidana

Pidana memiliki pengertian perbuatan yang dilakukan setiap orang/subjek hukum

yang berupa kesalahan dan bersifat melanggar hukum ataupun tidak sesuai dengan

perundang-undangan (KUHP).

Tindak pidana adalah perbuatan melakukan atau tidak melakukan sesuatu yang

oleh peraturan perundang-undangan dinyatakan sebagai perbuatan yang dilarang

dan diancam dengan pidana, untuk dinyatakan sebagai tindak pidana, selain

perbuatan tersebut dilarang dan diancam pidana oleh peraturan

perundang-undangan, harus juga bersifat melawan hukum atau bertentangan dengan

kesadaran hukum masyarakat. Setiap tindak pidana selalu dipandang bersifat

melawan hukum, kecuali ada alasan pembenar (Barda Nawawi Arief,

1996:152-153).

Konstelasi negara modern hukum dapat difungsikan sebagai sarana rekayasa

(30)

mekanisme penyelesaian kasus oleh badan-badan peradilan yang akan

menghasilkan jurisprudensi.

Konteks sosial teori ini adalah masyarakat dan badan peradilan di Amerika

Serikat. Dalam konteks ke Indonesiaan, fungsi hukum demikian itu, oleh Mochtar

Kusumaatmadja (1978: 11) diartikan sebagai sarana pendorong pembaharuan

masyarakat.

Sebagai sarana untuk mendorong pembaharuan masyarakat, penekanannya

terletak pada pembentukan peraturan perundang-undangan oleh lembaga

legislatif, yang dimaksudkan untuk menggagas konstruksi masyarakat baru yang

ingin diwujudkan di masa depan melalui pemberlakuan peraturan

perundang-undangan itu.

Penegakan hukum, sebagaimana dirumuskan secara sederhana oleh Satjipto

Rahardjo, merupakan suatu proses untuk mewujudkan keinginan-keinginan

hukum menjadi kenyataan (Satjipto Rahardjo, 1983: 24).

Keinginan-keinginan hukum yang dimaksudkan di sini yaitu yang merupakan

pikiran-pikiran badan pembentuk undang-undang yang dirumuskan dalam

peraturan-peraturan hukum itu. Perumusan pikiran pembuat hukum yang

dituangkan dalam peraturan hukum, turut menentukan bagaimana penegakan

hukum itu dijalankan. Dengan demikian pada gilirannya, proses penegakan

hukum itu memuncak pada pelaksanaannya oleh para pejabat penegak hukum itu

sendiri. Dari keadaan ini, dengan nada ekstrim dapat dikatakan bahwa

(31)

tugasnya sebetulnya sudah dimulai sejak peraturan hukum yang harus dijalankan

itu dibuat (Soerjono Soekanto, 1983: 15).

Proses penegakan hukum, dalam pandangan Soerjono Soekanto (1983:15),

dipengaruhi oleh lima faktor. Pertama, faktor hukum atau peraturan

perundang-undangan. Pertama, faktor aparat penegak hukumnya, yakni pihak-pihak yang

terlibat dalam peroses pembuatan dan penerapan hukumnya, yang berkaitan

dengan masalah mentalitas. Ketiga, faktor sarana atau fasilitas yang mendukung

proses penegakan hukum. Keempat,faktor masyarakat, yakni lingkungan sosial di

mana hukum tersebut berlaku atau diterapkan; berhubungan dengan kesadaran dan

kepatuhan hukum yang merefleksi dalam perilaku masyarakat. Kelima, faktor

kebudayaan, yakni hasil karya, cipta dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia

di dalam pergaulan hidup.

Sementara itu Satjipto Rahardjo (1983: 23-24), membedakan berbagai unsur yang

berpengaruh dalam proses penegakan hukum berdasarkan derajat kedekatannya

pada proses, yakni yang agak jauh dan yang agak dekat. Berdasarkan kriteria

kedekatan tersebut, maka Satjipto Rahardjo membedakan tiga unsur utama yang

terlibat dalam proses penegakan hukum. Pertama, unsur pembuatan

undang-undang cq. lembaga legislatif. Pertama, unsur penegakan hukum cq. polisi, jaksa

dan hakim. Dan Ketiga,unsur lingkungan yang meliputi pribadi warga negara dan

sosial. Pada sisi lain, Jerome Frank (1991: 121), juga berbicara tentang berbagai

faktor yang turut terlibat dalam proses penegakan hukum. Beberapa faktor ini

selain faktor kaidah-kaidah hukumnya, juga meliputi prasangka politik, ekonomi,

(32)

Lawrence M. Friedman (1977, 6-7) melihat bahwa keberhasilan penegakan hukum selalu menyaratkan berfungsinya semua komponen sistem hukum. Sistem hukum dalam pandangan Friedman terdiri dari tiga komponen, yakni komponen struktur hukum (legal structure), komponen substansi hukum (legal substance) dan komponen budaya hukum (legal culture). Struktur hukum (legal structure) merupakan batang tubuh, kerangka, bentuk abadi dari suatu sistem. Substansi hukum (legal substance) aturan-aturan dan norma-norma actual yang dipergunakan oleh lembaga-lembaga, kenyataan, bentuk perilaku dari para pelaku yang diamati di dalam sistem. Adapun kultur atau budaya hukum (legal culture) merupakan gagasan-gagasan, sikap-sikap, keyakinan-keyakinan, harapan-harapan dan pendapat tentang hukum.

Friedman (1977, 16) menambahkan pula komponen yang Keempat, yang

disebutnya komponen dampak hukum (legal impact). Dengan komponen dampak

hukum ini yang dimaksudkan adalah dampak dari suatu keputusan hukum yang

menjadi objek kajian peneliti.

Berkaitan dengan budaya hukum (legal culture) ini, menurut Roger Cotterrell, konsep budaya hukum itu menjelaskan keanekaragaman ide tentang hukum yang ada dalam berbagai masyarakat dan posisinya dalam tatanan sosial. Ide-ide ini menjelaskan tentang praktik-praktik hukum, sikap warga Negara terhadap hukum dan kemauan dan ketidakmauannya untuk mengajukan perkara, dan signifikansi hukum yang relatif, dalam menjelaskan pemikiran dan perilaku yang lebih luas di luar praktik dan bentuk diskursus khusus yang terkait dengan lembaga hukum. Dengan demikian, variasi budaya hukum mungkin mampu menjelaskan banyak tentang perbedaan-perbedaan cara di mana lembaga hukum yang nampak sama dapat berfungsi pada masyarakat yang berbeda (Roger Cotterrell, 1984:25).

Substansi hukum dalam wujudnya sebagai peraturan perundang-undangan, telah

diterima sebagai instrumen resmi yang memeproleh aspirasi untuk dikembangkan,

yang diorientasikan secara pragmatis untuk menghadapi masalah-masalah sosial

yang kontemporer. Hukum dengan karakter yang demikian itu lebih dikenal

(33)

disebutkan sebagai hukum yang berfungsi sebagai sarana untuk membantu

perubahan masyarakat.

Karakter keberpihakan hukum yang responsif ini, sering disebutkan sebagai

hukum yang emansipatif. Hukum yang emansipatif mengindikasikan sifat

demokratis dan egaliter, yakni hukum yang memberikan perhatian pada upaya

memberikan perlindungan hak-hak asasi manusia dan peluang yang lebih besar

kepada warga masyarakat yang lemah secara sosial, ekonomi dan politis untuk

dapat mengambil peran partisipatif dalam semua bidang kehidupan

bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Dikatakan bahwa hukum yang responsif

terdapat di dalam masyarakat yang menjunjung tinggi semangat demokrasi.

Hukum responsif menampakkan ciri bahwa hukum ada bukan demi hukum itu

sendiri, bukan demi kepentingan praktisi hukum, juga bukan untuk membuat

pemerintah senang, melainkan hukum ada demi kepentingan rakyat di dalam

masyarakat (Max Weber, 1988: 483 ).

Berkaitan dengan karakter dasar hukum positif ini, Sunaryati Hartono melihat

bahwa Undang-Undang Dasar 1945 disusun dengan lebih berpegang pada konsep

hukum sebagai sarana rekayasa sosial (Sunaryati Hartono, 1991 53).

Karakter hukum positif dalam wujudnya sebagai peraturan peraturan

perundang-undangan, di samping ditentukan oleh suasana atau konfigurasi politik momentum

pembuatannya, juga berkaitan erat dengan komitmen moral serta profesional dari

para anggota legislatif itu sendiri. Oleh karena semangat hukum (spirit of law) yang dibangun berkaitan erat dengan visi pembentuk undang-undang, maka dalam

(34)

undang-undang penting dilakukan. Dikemukakan oleh Gardiner bahwa

pemben-tuk undang-undang tidak semata-mata berkekewajiban to adapt the law to this changed society, melainkan juga memiliki kesempatan untuk memberikan sumbangan terhadap pembentukan perubahan masyarakat itu sendiri. Pembentuk

undang-undang, dengan demikian, tidak lagi semata-mata mengikuti perubahan

masyarakat, akan tetapi justru mendahului perubahan masyarakat itu. Dalam

kaitan ini Saleh, Roeslan menegaskan bahwa masyarakat yang adil dan makmur

serta modern yang merupakan tujuan pembangunan bangsa, justru sesungguhnya

merupakan kreasi tidak langsung dari pembentuk undang-undang (Roeslan Saleh,

1979: 12).

Arti terpenting dari adanya hukum pidana sebagai bagian dari sistem hukum yang

berlaku di dalam suatu negara terletak pada tujuan hukum pidana itu sendiri yakni

menciptakan tata tertib di dalam masyarakat sehingga kehidupan masyarakat

dapat berlangsung dengan damai dan tenteram. Tujuan hukum pidana secara

umum demikian ini, sebenarnya tidak banyak berbeda dengan tujuan yang ingin

dicapai oleh bidang-bidang hukum lainnya. Perbedaannya terletak pada cara kerja

hukum pidana dalam mencapai tujuannya, yaitu bahwa upaya untuk mewujudkan

tata tertib dan suasana damai ini oleh hukum pidana ditempuh melalui apa yang di

dalam ilmu hukum pidana dikenal dengan istilah pemidanaan atau pemberian

pidana.

Cara kerja hukum pidana dengan melakukan pemidanaan atau pemberian pidana

ini mempunyai pengertian yang luas. Pemidanaan atau pemberian pidana

(35)

pengertian, yakni (1) pemidanaan dalam arti abstrak (pemidanaan in abstracto), dan (2) pemidanaan dalam arti kongkrit (pemidanaanin concreto). Hukum pidana menciptakan tata tertib di dalam masyarakat melalui pemberian pidana secara

abstrak, artinya dengan ditetapkannya di dalam undang-undang

perbuatan-perbuatan tertentu sebagai perbuatan-perbuatan yang dilarang disertai ancaman pidana, atau

dengan ditetapkannya perbuatan-perbuatan tertentu sebagai tindak pidana di

dalam undang-undang, maka diharapkan warga masyarakat akan mengerti dan

menyesuaikan diri sehingga tidak melakukan perbuatan-perbuatan yang telah

dilarang dan diancam pidana itu. Dengan demikian, dengan diberlakukannya suatu

undang-undang pidana yang baru di dalam masyarakat, diharapkan akan tercipta

ketertiban di dalam masyarakat.

2. Unsur-Unsur Tindak Pidana

Suatu tindak pidana yang terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

pada umumnya memiliki dua unsur yakni unsur subjektif yaitu unsur yang

melekat pada diri si pelaku dan unsur objektif yaitu unsur yang ada hubungannya

dengan keadaan-keadaan (Lamintang, 1981:193).

Menurut Lamintang (1981:193) unsur subjektif dari suatu tindak pidana adalah:

1. Kesengajaan atau ketidaksengajaan (dolusatauculpa) 2. Maksud atauvoornemenpada suatu percobaan

3. Macam-macam maksud atauoogmerk

4. Merencanakan terlebih dahulu atauvoorbedachte raad 5. Perasaan takut atauvress

Unsur objektif dari suatu tindak pidana adalah : 1. Sifat melanggar hukum

2. Kualitas dari si pelaku

(36)

Menurut Marpaung (2001: 25-26) unsur tindak pidana yang terdiri dari dua unsur

4. Sifat dapat dihukum dan sifat melawan hukum (Abdul Hakim, 1994: 295).

Kesalahan pelaku tindak pidana berupa dua macam yakni :

1. Kesengajaan (Opzet)

Sebagian besar tindak pidana mempunyai unsur kesengajaan atau opzet. Kesengajaan ini mempunyai tiga macam jenis yaitu :

a. Kesengajaan yang bersifat tujuan (Oogmerk)

Dapat dikatakan bahwa si pelaku benar-benar menghendaki mencapai akibat yang menjadi pokok alasan diadakan ancaman hukuman pidana. b. Kesengajaan secara keinsyafan kepastian (Opzet Bij

Zekerheids-Bewustzinj)

Kesengajaan semacam ini ada apbila si pelaku dengan perbuatannya tidak bertujuan untuk mencapai akibat yang menjadi dasar dari delict, tetapi ia tahu benar bahwa akibat itu pasti akan mengikuti perbuatan itu.

c. Kesengajaan secara keinsyafan kemungkinan (Opzet Bij Mogelijkheids-Bewustzijn)

Lain halnya dengan kesengajaan yang terang-terangan tidak disertai bayingan suatu kepastian akan terjadi akibat yang bersangkutan, tetapi hanya dibayangkan suatu kemungkinan belaka akan akibat itu.

2. Culpa

(37)

Berdasarkan uraian di atas penulis berpendapat bahwa semua unsur tersebut

merupakan satu kesatuan dalam suatu tindak pidana, satu unsur saja tidak ada

akan menyebabkan tersangka tidak dapat dihukum. Sehingga penyidik harus

cermat dalam meneliti tentang adanya unsur-unsur tindak pidana tersebut.

Pasal 1 angka (2) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (untuk selanjutnya

disingkat KUHAP), penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal

dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta

mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tindak pidana yang

terjadi dan guna menemukan tersangkanya. Berdasarkan Pasal 1 angka (2)

KUHAP dapat disimpulkan penyidikan baru dimulai jika terdapat bukti

permulaan yang cukup tentang telah terjadinya suatu tindak pidana dan siapa

pelakunya.

Berdasarkan uraian di atas dapat diketahui penyidikan dilakukan oleh Pejabat

Polisi Negara dan Pegawai Negeri Sipil yang diberi wewenang khusus sesuai

dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Penyidikan dilakukan guna

mengumpulkan bukti-bukti sehingga membuat terang Tindak Pidana yang terjadi.

Hukum pidana menciptakan tata tertib atau ketertiban melalui pemidanaan dalam

arti kongkrit, yakni bilamana setelah suatu undang-undang pidana dibuat dan

diberlakukan ternyata ada orang yang melanggarnya, maka melalui proses

peradilan pidana orang tersebut dijatuhi pidana. Tujuan penjatuhan pidana atau

pemberian pidana itu sendiri bermacam-macam bergantung pada teori-teori yang

dianut di dalam sistem hukum pidana di suatu masa. Kendati demikian, tujuan

(38)

kerangka untuk mewujudkan tujuan hukum pidana. Ini berarti bahwa penjatuhan

pidana atau pemberian pidana sebenarnya merupakan sarana untuk mencapai

tujuan hukum pidana.

Berdasarkan uraian di atas terlihat bahwa kurang dapat ditanggulanginya masalah

kejahatan karena hal-hal berikut:

1. Timbulnya jenis-jenis kejahatan dalam dimensi baru yang mengangkat dan

berkembang sesual dengan pertumbuhan dan perkembangan masyarakat di

bidang politik, ekonomi, sosial dan budaya. Jenis-jenis kejahatan tersebut

tidak seluruhnya dapat terjangkau oleh Kitab Undang-undang Hukum Pidana

(KUHP) yang merupakan produk peninggalan pemerintah kolonial Hindia

Belanda.

2. Meningkatnya kualitas kejahatan baik dari segi pelaku dan modus operandi

yang menggunakan peralatan dan teknologi canggih sesuai dengan

perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Padahal kemampuan aparat

penegak hukum (khususnya Polri) terbatas baik dan segi kualitas sumber daya

manusia, pembiayaan, serta sarana dan prasarananya, sehingga kurang dapat

menanggulangi kejahatan secara intensif.

Kebijakan untuk menanggulang masalah-masalah kejahatan di atas dilakukan

dengan mengadakan peraturan perundang-undangan di luar KUHP baik dalam

bentuk undang-undang pidana maupun undang-undang administratif yang

bersanksi pidana, sehingga di dalam merumuskan istilah kejahatan dikenal adanya

istilah tindak pidana umum, tindak pidana khusus, dan tindak pidana tertentu.

(39)

Hukum Acara Pidana (KUHAP) penanganan masing tindak pidana tersebut

diselenggarakan oleh penyidik yang berbeda dengan hukum acara pidananya

masing-masing.

Tindak pidana umum adalah tindak pidana kejahatan dan pelanggaran yang diatur

di dalam KUHP yang penyidikannya dilakukan oleh Polri dengan menggunakan

ketentuan yang terdapat dalam KUHAP. Tindak pidana khusus adalah tindak

pidana di luar KUHP seperti Undang Tindak Pidana Korupsi,

Undang-Undang Tindak Pidana Ekonomi, Undang-Undang Undang-Undang Bea Cukai, Undang-Undang-Undang-Undang

Terorisme dan sebagainya yang penyidikannya dilakukan oleh Polri, kejaksaan,

dan pejabat penyidik lain sesuai dengan ketentuan-ketentuan khusus hukum acara

pidana bersangkutan. Sementara itu, tindak pidana tertentu adalah tindak pidana di

luar KUHP yang tidak termasuk dalam tindak pidana khusus, seperti

Undang-Undang Hak Cipta, Undang-Undang Keimigrasian, Peraturan Daerah, dan sebagainya.

B. Pertanggungjawaban Pidana

Pertanggungjawaban berasal dari kata tanggung jawab dimana menurut Kamus

Umum Bahasa Indonesia adalah, keadaan wajib menanggung segala sesuatunya.

Sehingga bertanggung jawab menurut kamus umum bahasa Indonesia adalah

berkewajiban menanggung, memikul jawab, menanggung segala sesuatunya, atau

memberikan jawab dan menanggung akibatnya. Tanggung jawab adalah

kesadaran manusia akan tingkah laku atau perbuatannya yang disengaja maupun

yang tidak di sengaja. Tangung jawab juga berarti berbuat sebagai perwujudan

(40)

Pertanggungjawaban pidana dalam istilah asing tersebut juga dengan

teorekenbaardheid atau criminal responsibility yang menjurus kepada pemidanaan petindak dengan maksud untuk menentukan apakah seseorang

terdakwa atau tersangka dipertanggung jawabkan atas suatu tindakan pidana yang

terjadi atau tidak (Saifudien, 2001).

Kemampuan bertanggungjawab merupakan unsur kesalahan, maka untuk

membuktikan adanya kesalahan unsur tadi harus dibuktikan lagi. Mengingat hal

ini sukar untuk dibuktikan dan memerlukan waktu yang cukup lama, maka unsur

kemampuan bertanggung jawab dianggap diam-diam selalu ada karena pada

umumnya setiap orang normal bathinnya dan mampu bertanggung jawab, kecuali

kalau ada tanda-tanda yang menunjukkan bahwa terdakwa mungkin jiwanya tidak

normal. Dalam hal ini, hakim memerintahkan pemeriksaan yang khusus terhadap

keadaan jiwa terdakwa sekalipun tidak diminta oleh pihak terdakwa. Jika hasilnya

masih meragukan hakim, itu berarti bahwa kemampuan bertanggung jawab tidak

berhenti, sehingga kesalahan tidak ada dan pidana tidak dapat dijatuhkan

berdasarkan asas tidak dipidana jika tidak ada kesalahan. Dalam KUHP masalah

kemampuan bertanggungjawab ini terdapat dalam Pasal 44 ayat 1 yang berbunyi :

“Barangsiapa melakukan perbuatan yang tidak dapat dipertanggung jawabkan kepadanya karena jiwanya cacat dalam pertumbuhan atau terganggu karena cacat,

tidakdipidana.” (Saifudien, 2001)

Pertanggungjawaban yang akan dibahas adalah menyangkut tindak pidana yang

pada umumnya sudah dirumuskan oleh si pembuat undang-undang untuk tindak

(41)

pembuatnya tidak mudah karena untuk menentukan siapakah yang bersalah harus

sesuai dengan proses yang ada, yaitu sistem peradilan ,pidan berdasarkan KUHP.

C. Pornografi dalam Undang-Undang No. 44 Tahun 2008 Tentang Pornografi dan Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik

1. Pengertian Pornografi

Pornografi merupakan salah satu bentuk dari sekian banyak kejahatan terhadap

kesusilaan. Kata “kesusilaan” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia yang disusun oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, diterbitkan Balai Pustaka 1989,

dimuat artinya “perihal susila” kata “susila” dimuat arti sebagai berikut: 1) baik budi bahasanya, beradab, sopan, tertib;

2) adat istiadat yang baik, sopan santun, kesopanan, keadaban:

3) pengetahuan tentang adat.

Kata “susila” dalam bahasa Inggris adalah moral, ethics, decent. Kata-kata tersebut biasa diterjemahkan berbeda. Kata moral diterjemahkan dengan moril,

kesopanan, sedang ethics diterjemahkan dengan kesusilaan, dan decent diterjemahkan dengankepatutan(Leden Marpaung, 2004).

Pada Kamus Besar Bahasa Indonesia yang disusun oleh Departemen Pendidikan

dan Kebudayaan dicantumkan arti pornografi adalah sebagai berikut

1. Penggambaran tingkah laku secara erotis dengan lukisan atau tulisan untuk

membangkitkan nafsu berahi: mereka mengumandangkan argumentasi

(42)

2. Bahan yang dirancang dengan sengaja dan semata-mata untuk membangkitkan

nafsu berahi dalam seks.

Pornografi juga merupakaan sebuah istilah yang mempunyai pengertian jamak

dan cenderung tak jelas batas-batasnya. Beberapa pengertian pornografi adalah

sebagai berikut :

a. Di dalam The Fontana Dictionary of Modern Thought, ‘pornografi’ didefinisikan sebagai bentuk “representasi (dalam literatur, filem, video, seni rupa, internet) yang tujuannya adalah untuk menghasilkankepuasan seksual. b. Pornografi’ didefinisikan pula sebagai “. . .penggunaan representasi

perempuan (tulisan, gambar, foto, video, filem) dalam rangka manipulasi hasrat (desire) orang yang melihat, yang di dalamnya berlangsung proses degradasi perempuan dalam statusnya sebagai ‘obyek seksual’ laki-laki”. c. Jon Huer mendefinisikan ‘pornografi’ sebagai “. . .setiap obyek yang

diproduksi dan didistribusikan dengan tujuan memasarkannya untuk

memperoleh keuntungan, dengan merangsanggairah seksual kita”.

Bahwa pengertian-pengertian di atas, terdapat perbedaan penekanan pada tiga

definisi tersebut: yang satu berdasarkan kacamata umum, yang kedua feminis, dan

yang ketiga ekonomi.

Delik pornografi dalam KUHP yang berkaitan dengan pornografi diatur dalam

Pasal 282 KUHP, yang bunyinya sebagai berikut :

(1) Barangsiapa menyiarkan, mempertunjukkan atau menempelkan, gambaran

atau benda, yang diketahui isinya dan melanggar kesusilaan, atau barangsiapa

(43)

umum, membikin tulisan, gambaran atau benda tersebut, memasukkan ke

dalam negeri, meneruskannya, mengeluarkannya dari negeri, atau mempunyai

dalam persediaan, ataupun barangsiapa secara terang-terangan atau dengan

mengedarkan surat tanpa diminta, menawarkannva atau menunjukkannya

sebagai bisa didapat. Diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun

enam bulan atau denda paling tinggi tiga ribu rupiah.

(2) Barangsiapa menyiarkan, mempertunjukkan atau menempelkan di muka

umum tulisan, gambaran atau benda yang melanggar kesusilaan atau

barangsiapa dengan maksud" untuk disiarkan, dipertunjukkan atau

ditempelkan di muka umum, membikinnya, memasukkannya ke dalam negeri,

meneruskan, mengeluarkannya dan negeri atau mempunyai dalam persediaan,

atau barangsiapa secara terang-terangan atau dengan mengedarkan surat tanpa

diminta, menawarkan atau menunjukkan sebagai bisa didapat, diancam jika

ada alasan kuat baginya untuk menduga bahwa tulisan, gambaran atau benda

itu melanggar kesusilaan dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan

atau denda paling banyak tiga ratus rupiah.

Kalau yang bersalah, melakukan kejahatan tersebut dalam ayat pertama, sebagai

pencaharian atau kebiasaan, dapat dijatuhi pidana penjara paling lama dua tahun

delapan bulan atau denda paling banyak lima ribu rupiah. Perbuatan-perbuatan

yang diancam hukuman, baik dalam ayat (1) maupun ayat (2) dari pasal tersebut

ada tiga macam, yakni :

a. Menyiarkan, mempertunjukkan atau menempelkan dengan terangterangan

(44)

b. Membuat, memasukkan ke dalam negeri, mengirim langsung ke dalam negeri,

mengirim langsung ke luar negeri, membawa ke luar ataumenyediakan tulisan

dan sebagainya untuk disiarkan, dipertunjukkan atau ditempelkan dengan

terang-terangan;

c. Dengan terang-terangan atau dengan sengaja menyiarkan suatu tulisan

menawarkan dengan tidak diminta atau menunjukkan, bahwa tulisan dan

sebagainya itu boleh didapat.

Arti “menyiarkan, mempertunjukkan atau menempelkan dengan terangterangan” yakni;

a. Yang dapat disiarkan adalah misalnya; surat kabar, majalah, buku, surat

selebaran atau lainnya, yang dibuat dalam jumlah banyak.

b. “Mempertunjukkan” berarti memperlihatkan kepada orang banyak.

c. “Menempelkan” berarti melekatkan disuatu tempat yang mudah diketahui oleh orang banyak.

Internet sendiri termasuk klasifikasi tempat yang mudah diketehui oleh orang

banyak dan termasuk sarana/tempat “penyiaran”.

2. Rumusan Pornografi dalam UU No. 8 Tahun 1992

Pasal 40 huruf c UU. RI No 8 Tahun 1992 tentang Perfilman yang menyebutkan :

Barang siapa dengan sengaja mengedarkan, mengekspor, nempertunjukkan

dan/atau menayangkan film yang tidak disensor sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 33 ayat (1). Sensor film tersebut yang termasuk didalamnya adalah bagian

(45)

3. Rumusan Pornografi dalam UU No. 11 Tahun 2008

Dalam UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik,

pornografi diatur dalam Bab VII tentang Perbuatan yang Dilarang,Pasal 27 ayat

(1) yang berbunyi: Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan

dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi

Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar

kesusilaan.

Sanksi terhadap pelanggaran pasal 27 ayat (1) tersebut diatur dalam Bab XI

tentang Ketentuan Pidana Pasal 45 ayat (1), yang berbunyi: Setiap Orang yang

memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1), ayat (2), ayat

(3), atau ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun

dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

D. Teori Pertanggungjawaban Pidana

Pertanggungjawaban pidana menjurus kepada pemidanaan pelaku, jika telah

melakukan suatu tindak pidana dan memenuhi unsur-unsur yang telah telah

melakukan suatu tindak pidana dan memenuhi unsur-unsur yang telah telah

ditentukan oleh undang-undang. Dilihat dari terjadinya perbuatan yang terlarang,

ia akan diminta pertanggungjawaban apabila perbutan tersebut melanggar hukum.

Dilihat dari sudut kemampuan bertanggungjawab maka hanya orang yang mampu

(46)

Pada umumnya seseorang dikatakan mampu bertanggungjawab dapat dilihat dari

beberapa hal yaitu:

Keadaan Jiwanya

a. Tidak terganggu oleh penyakit terus-menerus atau sementara.

b. Tidak cacat dalam pertumbuhan (Gage, Idiot, gila dan sebagainya)

c. Tidak terganggu karena terkejut (Hipnotisme, amarah yang meluap dan

sebagainya).

Kemampuan Jiwanya :

a. Dapat menginsyafi hakekat dari perbuatannya.

b. Dapat menentukan kehendaknya atas tindakan tersebut, apakah dilaksanakan

atau tidak.

c. Dapat mengetahui ketercelaan dari tindakan tersebut.

Adapun menurut Van Hamel (2001), sate (1) seseorang baru bisa diminta

pertanggungjawabannya apabila memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:

a. Orang tersebut harus menginsafi bahwa perbuatannya itu menurut tata cara

kemasyarakatan adalah dilarang.

b. Orang tersebut harus dapat menentukan kehendaknya terhadap perbuatannya

tersebut. Selain itu menurut, doktriner untuk menentukan kemampuan

bertanggungjawab harus ada dua hal yaitu Adanya kemampuan untuk

membedakan perbuatan yang baik dan yang buruk, yang sesuai dengan hukum

dan yang bertentangan dengan hak. Adanya kemampuan untuk menentukan

kehendaknya menurut keinsafannya tentang baik buruknya perbuatan yang

(47)

Sementara itu berkaitan dengan masalah kemampuan bertanggung jawab KUHP

tidak memberikan batasan, KUHP hanya merumuskannya secara Negative yaitu

mempersyaratkan kapan seseorang dianggap tidak mampu

mempertanggungjawabkan perbuatan yang dilakukan.

Menurut ketentuan Pasal 44 ayat (1) seseorang tidak dapat dimintai

pertanggungjawabannya atas suatu perbuatan karena dua alas an yaitu : 1.Jiwanya

carat dalam pertumbuhannya. 2.Jiwanya terganggu karena penyakit. Kemampuan

bertanggungjawab merupakan unsur kesalahan, oleh karena itu untuk

membuktikan unsur kesalahan tersebut, maka unsur pertanggung jawaban harus

juga dibuktikan, namun demikian untuk membuktikan adanya unsur kemampuan

bertanggungjawab itu sangat sulit dan membutuhkan waktu dan biaya, maka

dalam praktek dipakai faksi yaitu bahwa setiap orang dianggap mampu

bertanggungjawaban kecuali ada tanda-tanda yang menunjukkan lain. Maka dari

keterangan di atas dapat diambil kesimpulan bahwa pengertian pertanggung

jawaban pidana yaitu kemampuan seseorang untuk menerima resiko dari

perbuatan yang diperbuatnya sesuai dengan undang-undang.

E. Teori Penanggulangan Tindak Pidana

Kejahatan yang dilakukan seseorang dapat mengakibatkan terjadinya

kegoncangan, ketidak-harmonisan dalam masyarakat yang menginginkan

kehidupan yang tentram dan sejahtera. Hukum pidana dengan salah satu

sarananya berupa pidana, merupakan alternatif, salah satu bagian, untuk

menanggulangi kejahatan dan mengembalikan kejahatan dan mengembalikan

(48)

Kejahatan merupakan gejala universal, artinya tidak hanya menjadi masalah

nasional tetapi juga menjadi masalah yang ada dimana-mana. Karena kejahatan

mendatangkan kerugian di dalam kehidupan masyarakat, maka terhadap pelaku

kejahatan perlu dilakukan pemberian sanksi atau hukuman yang setimpal, dan

untuk itu perlu suatu proses untuk menetapkan bahwa suatu perbuatan itu adalah

kejahatan oleh suatu lembaga yang berwenang dengan menjatuhkan sanksi

pidana.

Barda Nawawi Arief (2001) yang mengambil pendapat Gene Kassebaum

menyatakan bahwa penanggulangan kejahatan dengan menggunakan sanksi

pidana merupakan cara yang paling tua, setua peradaban manusia itu sendiri.

Adapula yang menyebutnya sebagai “older philosophy of crime control”. Herbert L. Packer juga mengemukakan bahwa pengendalian perbuatan anti sosial dengan

menggunakan pidana pada seseorang yang bersalah merupakan suatu problem

sosial yang mempunyai dimensi hukum yang penting.

Selanjutnya Barda Nawawi Arief (2001) mengemukakan bahwa : “meningkatnya kejahatan dapat mengganggu kebijakan perencanaan kesejahteraan masyarakat

yang ingin dicapai. Oleh karena itu kebijakan perencanaan untuk meningkatkan

kesejahteraan sosial harus pula dibarengi dengan kebijakan perencanaan

perlindungan sosial. Malahan sebenarnya di dalam menetapkan kebijakan sosial,

yaitu usaha-usaha yang rasional untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, di

dalamnya harus sudah tercakup juga kebijakan mengenai perencanaan

(49)

Lebih lanjut dikemukakan oleh Barda Nawawi Arief : “salah satu bentuk dari perencanaan perlindungan sosial adalah usaha-usaha yang rasional untuk

menanggulangi kejahatan yang biasa disebut dengan “politik kriminal”. Tujuan akhir dari kebijakan kriminal adalah “perlindungan masyarakat” untuk mencapai tujuan utama yang sering disebut dengan istilah, misalnya “kebahagiaan warga masyarakat” (happines of the citizens), “kehidupan kultural yang sehat dan menyegarkan” (a wholesome and cultural living), “kesejahteraan masyarakat” (social welfare) atau untuk mencapai “keseimbangan” (equalitiy). Dengan demikian politik kriminal yang merupakan bagian dari perencanaan perlindungan

masyarakat merupakan bagian pula darikeseluruhan kebijakan sosial”.

Sehubungan dengan konsep pemikiran yang demikian itu, maka Sudarto (2004)

mengemukakan bahwa apabila hukum pidana hendak dilibatkan dalam

usaha-usaha mengatasi segi negatif dari perkembangan masyarakat, maka hendaknya

dilihat dalam hubungan keseluruhan politik kriminal atau social defence planning. Dikemukan pula selanjutnya, bahwa social defence planning ini pun harus merupakan bagian integral dari rencana pembangunan nasional.

Politik kriminal menurut Sudarto (2001) mempunyai tiga arti, yaitu : a. “dalam arti sempit”, ialah keseluruhan asas dan metode yang menjadi dasar dari reaksi terhadap pelanggaran hukum yang berupa pidana; b. dalam arti luas, ialah

keseluruhan fungsi dari aparatur penegak hukum, termasuk di dalamnya cara kerja

pengadilan dan polisi; c. dalam arti paling luas (yang beliau ambil dari Jorgen

Referensi

Dokumen terkait

Sedangkan pengertian poligami menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia mempunyai makna “sistem perkawinan yang salah satu pihak memiliki atau mengawini beberapa lawan

Dalam rangka menuju world class university pada tahun 2025 seluruh civitas akademi UNIMED tentu harus mempersiapkan diri agar layak memiliki parameter yang

Kesenjangan ekonomi atau ketimpangan dalam distribusi pendapatan antara kelompok  masyarakat berpendapatan tinggi dan kelompok masyarakat berpandapatan rendah serta tingkat

1) Hasil analisa metalografi pada daerah yang tidak mengalami kegagalan, fasa yang tampak merupakan ferit dengan diameter rata2 butir sebesar 0,0213 mm dan

 Dibidang fisik melalui pembangunan serta pengadaan sarana dan prasarana seperti jalan, listrik, air minum, telepon dan sebagainya untuk melayani pengembangan

PERANCANGAN SISTEM KOMPETISI VIDEO KLIP GRUP BAND INDIE DENGAN MENGGUNAKAN SMS GATEWAY UNTUK POLLING PEMILIHAN DI MANAJ EMEN

Uji statistik yang dilakukan adalah uji korelasi Spearman untuk mengetahui korelasi antara usia sampel wanita menopause dengan flow saliva sebelum mengunyah permen karet