BAB I BAB I
PENDAHULUAN PENDAHULUAN 1.1
1.1 Latar BeLatar Belakanlakang Masalg Masalahah Ke
Ketitimpmpanangan gan yayang ng bebesar sar dadalalam m didiststriribubusi si pependandapapatatan n atatau au keskesenjenjanangangan ekon
ekonomi omi dan dan tintingkagkat t kemkemiskiskinainan n mermerupakupakan an dua dua masmasalaalah h besabesar r di di banbanyak yak negnegaraara berkem
berkembang, tak bang, tak terkecuterkecuali di ali di IndonesiIndonesia. a. Berawal dari Berawal dari distridistribusi pendapatan yang busi pendapatan yang tidak tidak merata yang kemudian memicu terjadinya ketimpangan pendapatan sebagai dampak dari merata yang kemudian memicu terjadinya ketimpangan pendapatan sebagai dampak dari kemiskinan. Hal ini akan menjadi sangat serius apabila kedua masalah tersebut kemiskinan. Hal ini akan menjadi sangat serius apabila kedua masalah tersebut berlarut-lar
larut ut dan dan dibdibiariarkan kan semsemakiakin n paraparah, h, pada pada akhiakhirnyrnya a akaakan n menmenimbimbulkaulkan n konkonsekusekuensiensi politik dan sosial yang dampaknya cukup negatif.
politik dan sosial yang dampaknya cukup negatif.
Negara Indonesia secara geografis dan klimatalogis merupakan negara yang Negara Indonesia secara geografis dan klimatalogis merupakan negara yang mempunyai potensi ekonomi yang sangat tinggi. Dengan garis pantai yang terluas di mempunyai potensi ekonomi yang sangat tinggi. Dengan garis pantai yang terluas di dunia, iklim yang memungkinkan untuk pendayagunaan lahan sepanjang tahun, hutan dunia, iklim yang memungkinkan untuk pendayagunaan lahan sepanjang tahun, hutan dan
dan kandungakandungan bumi Indonen bumi Indonesia yang sangasia yang sangat kaya, mert kaya, merupakan bahanupakan bahan(ingredient)(ingredient) yangyang utama untuk membuat negara menjadi negara yang kaya. Suatu perencanaan yang bagus utama untuk membuat negara menjadi negara yang kaya. Suatu perencanaan yang bagus yang mampu memanfaatkan semua bahan baku tersebut secara optimal, akan mampu yang mampu memanfaatkan semua bahan baku tersebut secara optimal, akan mampu mengantarkan negara Indonesia menjadi negara yang makmur. Ini terlihat pada hasil mengantarkan negara Indonesia menjadi negara yang makmur. Ini terlihat pada hasil hasil Pelita III sampai dengan Pelita V yang dengan pertumbuhan ekonomi rata rata 7% hasil Pelita III sampai dengan Pelita V yang dengan pertumbuhan ekonomi rata rata 7% -8% membuat Indonesia menjadi salah satu negara dengan pertumbuhan ekonomi dan 8% membuat Indonesia menjadi salah satu negara dengan pertumbuhan ekonomi dan pe
pendapndapataatan n penpendudududuk k yanyang g titingginggi. . Dan Dan IndoIndonesnesia ia menmenjadjadi i salsalah ah satsatu u negnegara ara yanyangg mendapat julukan “Macan Asia”.
mendapat julukan “Macan Asia”.
Namun ternyata semua pertumbuhan ekonomi dan pendapatan tersebut ternyata Namun ternyata semua pertumbuhan ekonomi dan pendapatan tersebut ternyata tidak memberikan dampak yang cukup berarti pada usaha pengentasan kemiskinan. tidak memberikan dampak yang cukup berarti pada usaha pengentasan kemiskinan. Indonesia adalah sebuah negara yang penuh paradoks. Negara ini subur dan kekayaan Indonesia adalah sebuah negara yang penuh paradoks. Negara ini subur dan kekayaan alamnya melimpah, namun sebagian cukup besar rakyat tergolong miskin. Pada puncak alamnya melimpah, namun sebagian cukup besar rakyat tergolong miskin. Pada puncak krisis ekonomi tahun 1998-1999 penduduk miskin Indonesia mencapai sekitar 24% dari krisis ekonomi tahun 1998-1999 penduduk miskin Indonesia mencapai sekitar 24% dari jumlah penduduk atau hampir 40 juta orang. Tahun 2002 angka tersebut sudah turun jumlah penduduk atau hampir 40 juta orang. Tahun 2002 angka tersebut sudah turun menjadi 18%, dan pada menjadi 14% pada tahun 2004. Situasi terbaik terjadi antara menjadi 18%, dan pada menjadi 14% pada tahun 2004. Situasi terbaik terjadi antara
tahun 1987-1996 ketika angka rata-rata kemiskinan berada di bawah 20%, dan yang tahun 1987-1996 ketika angka rata-rata kemiskinan berada di bawah 20%, dan yang paling baik adalah pada tahun 1996 ketika angka kemiskinan hanya mencapai 11,3%. paling baik adalah pada tahun 1996 ketika angka kemiskinan hanya mencapai 11,3%.
Di Indonesia pada awal orde baru para pembuat kebijaksanaan dan perencana Di Indonesia pada awal orde baru para pembuat kebijaksanaan dan perencana pembangunan di Jakarta masih sangat percaya bahwa proses pembangunan ekonomi pembangunan di Jakarta masih sangat percaya bahwa proses pembangunan ekonomi yang pada awalnya terpusatkan hanya di Jawa, Khususnya Jakarta dan sekitarnya, dan yang pada awalnya terpusatkan hanya di Jawa, Khususnya Jakarta dan sekitarnya, dan hanya di sector-sektor tertentu saja, pada akhirnya akan menghasilkan “
hanya di sector-sektor tertentu saja, pada akhirnya akan menghasilkan “Trickle DownTrickle Down Effects”
Effects”. Didasarkan pada pemikiran tersebut, pada awal orde baru hingga akhir tahun. Didasarkan pada pemikiran tersebut, pada awal orde baru hingga akhir tahun 1970-an, strategi pembangunan ekonomi yang dianut oleh pemerintahan Orde Baru lebih 1970-an, strategi pembangunan ekonomi yang dianut oleh pemerintahan Orde Baru lebih berorientasi kepada pertumbuhan ekonomi yang tinggi tanpa memperhatikan pemerataan berorientasi kepada pertumbuhan ekonomi yang tinggi tanpa memperhatikan pemerataan pembangunan ekonomi.
pembangunan ekonomi.
Untuk mencapai tujuan tersebut, maka pusat pembangunan ekonomi nasional di Untuk mencapai tujuan tersebut, maka pusat pembangunan ekonomi nasional di mulai di Pulau Jawa dengan alasan bahwa semua fasilitas-fasilitas yang dibutuhkan, mulai di Pulau Jawa dengan alasan bahwa semua fasilitas-fasilitas yang dibutuhkan, seperti transportasi, telekomunikasi, dan infrastruktur lainnya lebih tersedia di pulau seperti transportasi, telekomunikasi, dan infrastruktur lainnya lebih tersedia di pulau j
jawaawa, , khukhusussusnynya a JakJakartarta, a, didibabandindingngkan kan dedengangan n prproviovinsi nsi lalaininnynya a di di IndIndononesiesia.a. Pembangunan saat itu juga hanya terpusatkan pada sektor-sektor tertentu saja yang Pembangunan saat itu juga hanya terpusatkan pada sektor-sektor tertentu saja yang seca
secara ra potpotensiensial al memmemiliiliki ki kemkemampampuan uan besabesar r untuntuk uk menmenyumyumbang bang nilnilai ai pendpendapatapatanan na
nasisiononal al yayang ng titingnggigi. . PePememeririntntah ah sasaat at ititu u pepercrcayaya a babahwhwa a nanantntininya ya hahasisil l dadariri pembangunan itu akan menetes ke sektor-sektor dan wilayah Indonesia lainnya.
pembangunan itu akan menetes ke sektor-sektor dan wilayah Indonesia lainnya.
Ada berbagai cara untuk mengetahui prestasi pembangunan suatu negara yaitu Ada berbagai cara untuk mengetahui prestasi pembangunan suatu negara yaitu dengan pendekatan ekonomi
dengan pendekatan ekonomi dan pendekatan non-ekonomi. dan pendekatan non-ekonomi. Dalam pendekatan Dalam pendekatan ekonomiekonomi dapat dilakuka
dapat dilakukan n berdasarkberdasarkan tinjauan aspek an tinjauan aspek pendapatpendapatan an maupun aspek non maupun aspek non pendapapendapatan.tan. Dalam aspek pendapatan digunakan konsep pendapatan perkapita, namun hal tersebut Dalam aspek pendapatan digunakan konsep pendapatan perkapita, namun hal tersebut b
belelum um cucukup kup ununtutuk k memeninilalai i prprestestasi asi pepembmbanangungunan an kakarenrena a titidak dak memencncermermininkakann ba
bagaigaimanmana a pendpendapaapatan tan nasinasional onal sebusebuah ah negnegara ara terterbagi bagi di di kalkalangangan an penpendudududuknyknya,a, sehingga tidak memantau unsur keadilan atau kemerataan. Untuk itu diperlukan data sehingga tidak memantau unsur keadilan atau kemerataan. Untuk itu diperlukan data mengenai kemerataan distribusi pendapatan dimana perhatiannya bukan hanya pada mengenai kemerataan distribusi pendapatan dimana perhatiannya bukan hanya pada distribusi pendapatan nasional tapi juga distribusi proses atau pelaksanaan pembangunan distribusi pendapatan nasional tapi juga distribusi proses atau pelaksanaan pembangunan itu sendiri.
itu sendiri.
Krisis yang terjadi secara mendadak dan diluar perkiraan pada akhir dekade Krisis yang terjadi secara mendadak dan diluar perkiraan pada akhir dekade 1990-an merupakan pukulan yang sangat berat bagi pembangunan Indonesia. Bagi 1990-an merupakan pukulan yang sangat berat bagi pembangunan Indonesia. Bagi
tahun 1987-1996 ketika angka rata-rata kemiskinan berada di bawah 20%, dan yang tahun 1987-1996 ketika angka rata-rata kemiskinan berada di bawah 20%, dan yang paling baik adalah pada tahun 1996 ketika angka kemiskinan hanya mencapai 11,3%. paling baik adalah pada tahun 1996 ketika angka kemiskinan hanya mencapai 11,3%.
Di Indonesia pada awal orde baru para pembuat kebijaksanaan dan perencana Di Indonesia pada awal orde baru para pembuat kebijaksanaan dan perencana pembangunan di Jakarta masih sangat percaya bahwa proses pembangunan ekonomi pembangunan di Jakarta masih sangat percaya bahwa proses pembangunan ekonomi yang pada awalnya terpusatkan hanya di Jawa, Khususnya Jakarta dan sekitarnya, dan yang pada awalnya terpusatkan hanya di Jawa, Khususnya Jakarta dan sekitarnya, dan hanya di sector-sektor tertentu saja, pada akhirnya akan menghasilkan “
hanya di sector-sektor tertentu saja, pada akhirnya akan menghasilkan “Trickle DownTrickle Down Effects”
Effects”. Didasarkan pada pemikiran tersebut, pada awal orde baru hingga akhir tahun. Didasarkan pada pemikiran tersebut, pada awal orde baru hingga akhir tahun 1970-an, strategi pembangunan ekonomi yang dianut oleh pemerintahan Orde Baru lebih 1970-an, strategi pembangunan ekonomi yang dianut oleh pemerintahan Orde Baru lebih berorientasi kepada pertumbuhan ekonomi yang tinggi tanpa memperhatikan pemerataan berorientasi kepada pertumbuhan ekonomi yang tinggi tanpa memperhatikan pemerataan pembangunan ekonomi.
pembangunan ekonomi.
Untuk mencapai tujuan tersebut, maka pusat pembangunan ekonomi nasional di Untuk mencapai tujuan tersebut, maka pusat pembangunan ekonomi nasional di mulai di Pulau Jawa dengan alasan bahwa semua fasilitas-fasilitas yang dibutuhkan, mulai di Pulau Jawa dengan alasan bahwa semua fasilitas-fasilitas yang dibutuhkan, seperti transportasi, telekomunikasi, dan infrastruktur lainnya lebih tersedia di pulau seperti transportasi, telekomunikasi, dan infrastruktur lainnya lebih tersedia di pulau j
jawaawa, , khukhusussusnynya a JakJakartarta, a, didibabandindingngkan kan dedengangan n prproviovinsi nsi lalaininnynya a di di IndIndononesiesia.a. Pembangunan saat itu juga hanya terpusatkan pada sektor-sektor tertentu saja yang Pembangunan saat itu juga hanya terpusatkan pada sektor-sektor tertentu saja yang seca
secara ra potpotensiensial al memmemiliiliki ki kemkemampampuan uan besabesar r untuntuk uk menmenyumyumbang bang nilnilai ai pendpendapatapatanan na
nasisiononal al yayang ng titingnggigi. . PePememeririntntah ah sasaat at ititu u pepercrcayaya a babahwhwa a nanantntininya ya hahasisil l dadariri pembangunan itu akan menetes ke sektor-sektor dan wilayah Indonesia lainnya.
pembangunan itu akan menetes ke sektor-sektor dan wilayah Indonesia lainnya.
Ada berbagai cara untuk mengetahui prestasi pembangunan suatu negara yaitu Ada berbagai cara untuk mengetahui prestasi pembangunan suatu negara yaitu dengan pendekatan ekonomi
dengan pendekatan ekonomi dan pendekatan non-ekonomi. dan pendekatan non-ekonomi. Dalam pendekatan Dalam pendekatan ekonomiekonomi dapat dilakuka
dapat dilakukan n berdasarkberdasarkan tinjauan aspek an tinjauan aspek pendapatpendapatan an maupun aspek non maupun aspek non pendapapendapatan.tan. Dalam aspek pendapatan digunakan konsep pendapatan perkapita, namun hal tersebut Dalam aspek pendapatan digunakan konsep pendapatan perkapita, namun hal tersebut b
belelum um cucukup kup ununtutuk k memeninilalai i prprestestasi asi pepembmbanangungunan an kakarenrena a titidak dak memencncermermininkakann ba
bagaigaimanmana a pendpendapaapatan tan nasinasional onal sebusebuah ah negnegara ara terterbagi bagi di di kalkalangangan an penpendudududuknyknya,a, sehingga tidak memantau unsur keadilan atau kemerataan. Untuk itu diperlukan data sehingga tidak memantau unsur keadilan atau kemerataan. Untuk itu diperlukan data mengenai kemerataan distribusi pendapatan dimana perhatiannya bukan hanya pada mengenai kemerataan distribusi pendapatan dimana perhatiannya bukan hanya pada distribusi pendapatan nasional tapi juga distribusi proses atau pelaksanaan pembangunan distribusi pendapatan nasional tapi juga distribusi proses atau pelaksanaan pembangunan itu sendiri.
itu sendiri.
Krisis yang terjadi secara mendadak dan diluar perkiraan pada akhir dekade Krisis yang terjadi secara mendadak dan diluar perkiraan pada akhir dekade 1990-an merupakan pukulan yang sangat berat bagi pembangunan Indonesia. Bagi 1990-an merupakan pukulan yang sangat berat bagi pembangunan Indonesia. Bagi
ke
kebanbanyayakakan n ororangang, , dadampmpak ak dardari i krkrisisis is yayang ng teterparparah rah dadan n lalangngsunsung g didirasrasakaakan,n, diakibatkan oleh inflasi. Antara tahun 1997 dan 1998 inflasi meningkat dari 6% menjadi diakibatkan oleh inflasi. Antara tahun 1997 dan 1998 inflasi meningkat dari 6% menjadi 78%, sementara upah riil turun menjadi hanya sekitar sepertiga dari nilai sebelumnya. 78%, sementara upah riil turun menjadi hanya sekitar sepertiga dari nilai sebelumnya. Akibatnya, kemiskinan meningkat tajam. Antara tahun 1996 dan 1999 proporsi orang Akibatnya, kemiskinan meningkat tajam. Antara tahun 1996 dan 1999 proporsi orang yang hidup di bawah garis kemiskinan bertambah dari 18% menjadi 24% dari jumlah yang hidup di bawah garis kemiskinan bertambah dari 18% menjadi 24% dari jumlah penduduk. Pada saat yang sama, kondisi kemiskinan menjadi semakin parah, karena penduduk. Pada saat yang sama, kondisi kemiskinan menjadi semakin parah, karena pendapatan
pendapatan kaum miskin kaum miskin secara keseluruhan menurun jauh secara keseluruhan menurun jauh di bawah garis di bawah garis kemiskinan.kemiskinan.
1.2
1.2 PerumuPerumusan san masalamasalahh
Berkaitan dengan permasalahan distribusi dan pemertaan pembangunan yang Berkaitan dengan permasalahan distribusi dan pemertaan pembangunan yang te
telalah h di di jejelalaskaskan n sebsebelelumumnynya, a, adada a bebebeberaprapa a pepertrtananyayaan an yayang ng didiajajukaukan n sesebagbagaiai perumusan masalah dengan
perumusan masalah dengan tujuan agar pembahasan tujuan agar pembahasan dapat terfokus pada dapat terfokus pada masalah masalah yangyang telah di jabarkan diatas. Adapun perumusan masalah adalah sebagai berikut :
telah di jabarkan diatas. Adapun perumusan masalah adalah sebagai berikut :
11.. BBaaggaaiimmaanna a ddiissttrriibbuussi i ppeennddaappaattaan n bbeerrppeennggaarruuh h tteerrhhaaddaap p ppeemmeerraattaaaann pembangunan nasional?
pembangunan nasional?
22.. BBaaggaiaimmaana na ddiissttrriibubusi si ppeennddaapapattaan n bbeerprpeennggaaruruh h tteerhrhaaddaap p kkeemmiiskskiinanan n ddii Indonesia?
Indonesia?
33.. FFaakkttoorr--ffaakkttoor r aappa a ssaajja a yyaanng g mmeemmppeennggaarruuhhi i kkeettiimmppaannggaan n ddiissttrriibbuussii pendapatan?
Faktor-faktor yang mempengaruhi ketimpangan
perekonomian antar
daerah di Indonesia
Carlos ChrisyantoDeskripsi Dokumen: http://www.lontar.ui.ac.id//opac/themes/libri2/detail.jsp?id=90373&lokasi=lokal
---Abstrak
Terjadinya perbedaan dari distribusi pendapatan antar daerah dan distribusi pengeluaran pemerintah pusat
dan daerah merupakan satu permasalahan dalam pelaksanaan pembangunan di berbagai daerah di Indonesia.
Perbedaan tersebut terjadi selama bertahun-tahun lamanya sehingga menyebabkan terjadinya ketimpangan
antar daerah satu dengan yang lain. Dilakukannya satu kebijakan pemerintah yaitu otonomi daerah masih
belum mampu memperkecil adanya ketimpangan tersebut, dimana terlihat adanya perbedaan tingkat
pembangunan antara lain perbedaan tingkat pendapatan per kapita dan infrastruktur di daerah yang
disebabkan karena minimnya pengeluaran pembangunan di daerah.
Mengacu pada perumusan masalah, penelitian ini bertujuan untuk menganalisa faktor-faktor yang
mempengaruhi ketimpangan ekonomi daerah melalui Indeks Williamson, faktor-faktor yang dianalisa
tersebut adalah PDRB, Pendapatan Per Kapita dan Pengeluaran daerah untuk Pembangunan selama masa
sebelum dan sesudah krisis.
Metode analisa yang digunakan adalah regresi linier berganda dengan menggunakan data 30 propinsi di
Indonesia tahun 1989-2003, dengan variabel terikat adalah ketimpangan daerah (yang diukur dengan Indeks
Williamson) dan variabel bebas berupa pendapatan per kapita, pengeluaran daerah dan Dummy Krisis untuk
pembangunan. Pendugaan dilakukan dengan metode ordinary Least Square (OLS). Dari hasil analisa ditemukan bahwa terjadinya ketimpangan ekonomi antar daerah disebabkan oleh
tingginya pendapatan perkapita DKI Jakarta yang menyebabkan ketimpangan di Pulau Jawa dan tingginya
pendapatan perkapita di Kalimantan Timur yang menyebabkan ketimpangan di luar Pulau Jawa.
Interprestasi analisa model regresi menunjukan bahwa ketimpangan daerah dengan melihat faktor migas
dipengaruhi oleh pengeluaran pemerintah daerah pada saat 2 tahun sebelumnya dan terjadinya krisis
ekonomi. Sedangkan ketimpangan daerah tanpa melihat faktor migas dipengaruhi oleh pendapatan perkapita
daerah dan pengeluaran pemerintah.
Kebijakan terhadap peningkatan alokasi pengeluaran pemerintah daerah khusus untuk daerah-daerah miskin
atau daerah yang tidak kaya dengan migas akan memperkecil ketimpangan antar daerah sebab hasil
penelitian melihat bahwa pengeluaran pemerintah lebih banyak dialokasikan kepada daerah kaya (DKI
Jakarta) dan daerah kaya migas (Kalimantan Timur dan Riau).
BAB II ISI 2.1 Konsep Dan Teori Distribusi Pendapatan
Distribusi pendapatan mencerminkan merata atau timpangnya pembagian hasil pembangunan suatu negara di kalangan penduduknya. Ada beberapa cara yang dijadikan sebagai indikator untuk mengukur kemerataan distribusi pendapatan, diantaranya yaitu :
1. Kurva Lorenz
Kurva Lorenz menggambarkan distribusi kumulatif pendapatan nasional di kalangan lapisan-lapisan penduduk. Kurva ini terletak di dalam sebuah bujur sangkar yang sisi tegaknya melambangkan persentase kumulatif pendapatan nasional, sedangkan sisi datarnya mewakili persentase kumulatif penduduk. Kurvanya sendiri ditempatkan pada diagonal utama bujur sangkar tersebut. Kurva Lorenz yang semakin dekat ke
diagonal (semakin lurus) menyiratkan distribusi pendapatan nasional yang semakin merata. Sebaliknya, jika kurva Lorenz semakin jauh dari diagonal (semakin lengkung), maka ia mencerminkan keadaan yang semakin buruk, distribusi pendapatan nasional semakin timpang dan tidak merata.
`
Sumber : Tulus Tambunan (2003)
2. Indeks atau Rasio Gini
Gini ratio merupakan alat ukur yang umum dipergunakan dalam studi empiris, yaitu dengan formula:
1 n n
Gini = --- - y j 2n2– y I=1 j=1
Sumber: Tulus Tambunan (2003)
Nilai Gini antara 0 dan 1, dimana nilai 0 menunjukkan tingkat pemerataan yang sempurna, dan semakin besar nilai Gini maka semakin tidak sempurna tingkat pemerataan pendapatan. P e rs e n ta s e P e n d a p a ta n N a s io n a l
Persentase Jumlah Penduduk
Namun dalam studi studi empiris terutama dalam single country, ternyata kemiskinan tidak identik dengan kesejahteraan. Artinya ukuran ukuran diatas belum mencerminkan tingkat kesejahteraan. Studi yang dilakukan oleh Ranis (1977) dalam Tulus Tambunan (2003) mengemukakan bahwa di Republik Cina dan Ravallion dan Datt (1996) dalam Tulus Tambunan (2003) mengemukakan bahwa di India, menunjukkan kedua negara tersebut dilihat dari ti ngkat pendapatan per kapita maupun ukuran Gini ( Gini ratio) menunjukkan tingkat kemikskinan yang cukup parah. Namun dilihat dari tingkat kesejahteraan, kedua negara tersebut masih lebih baik dari beberpa negera Amerika Latin yang mempunyai tingkat Gini ratio rendah dan tingkat pendapatan perkapita tinggi. Ranis, Ravallion dan Datt memasukan faktor seperti tingkat kemudahan mendapatkan pendidikan yang murah, hak mendapatkan informasi, layanan kesehatan yang mudah dan murah, perasaan aman baik dalam mendapatkan pendidikan dan lapangan kerja, dan lain lain.
Intinya adalah dalam mengukur kemiskinan, banyak variabel non keuangan yang harus diperhatikan. Variabel keuangan (tingkat pendapatan) bukanlah satu satunya variabel yang harus dipakai dalam menghitung kemiskinan.
Namun kalau pengambil keputusan, lebih menitikberatkan padacross variable study dalam mengatasi masalah kemiskinan, maka berarti kemiskinan akan diatasi
dengan cara meningkatkan kesejahteraan dalam arti yang luas. 3. Kriteria Bank Dunia
Kriteria ketidakmerataan versi Bank Dunia didasarkan atas porsi pendapatan nasional yang dinikmati oleh tiga lapisan penduduk, yakni 40% penduduk berpendapatan rendah, 40% penduduk berpendapatan menengah, serta 20% penduduk berpendapatan tinggi. Ketimpangan atau ketidakmerataan distribusi pendapatan dinyatakan parah apabila 40% penduduk berpendapatan rendah menikmati kurang dari 12% pendapatan nasional. Ketidakmerataan dianggap sedang atau moderat apabila 40% penduduk miskin menikmati antara 12-17% pendapatan nasional. Sedangkan jika 40% penduduk yang berpendapatan rendah menikmati lebih dari 17% pendapatan nasional,
maka ketimpangan atau kesenjangan dikatakan lunak dan distribusi pendapatan nasional dianggap cukup merata.
4. Hipotesis Kuznets
Data data ekonomi periode 1970 – 1980, terutama mengenai pertumbuhan ekonomi dan distribusi pendapatan terutama di LDS ( Less Developing Countries), terutama di negara negara yang mempunyai tingkat pertumbuhan ekonomi yang cukup pesat, seperti Indonesia, menunjukan seakan akan korelasi positif antara laju pertumbuhan ekonomi dan tingkat kesenjangan ekonomi. Semakin tinggi pertumbuhan produk domestik bruto, atau semakin tinggi tingkat pendapatan per kapita, maka
semakin besar perbedaan antara kaum miskin dan kaum kaya. Bahkan studi yang dilakukan di negara negara Eropa Barat, menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi tidak atau justru membuat ketimpangan antara kaum miskin dan kaum kaya semakin melebar. Jantti (1997) dalam Tulus Tambunan (2003) mengemukakan bahwa fenomea tersebut timbul karena adanya perubahan suplly of labor (masuknya buruh murah dari Turki, atau negara Eropa Timur kedalam pasar buruh di Eropa Barat). Berdasarkan fakta tersebut, muncul pertanyaan: mengapa terjadi trade-off antara pertumbuhan dan kesenjangan ekonomi dan untuk berapa lama? Kerangka pemikiran ini yang melandasi Hipotesis Kuznets. Yaitu, dalam jangka pendek ada korelasi positip antara pertumbuhan pendapatan perkapita dengan kesenjangan pendapatan. Namun dalam jangka panjang
hubungan keduanya menjadi korelasi yang negatif. Artinya, dalam jangka pendek meningkatnya pendapatan akan diikuti dengan meningkatnya kesenjangan pendapatan, namun dalam jangka panjang peningkatan pendapatan akan diikuti dengan penurunan kesenjangan pendapatan. Fenomena ini dikenal dengan nama “Kurva U terbalik dari Hipotesis Kuznets”.
Namun, hipotesis Kuznets ini mulai dipertanyakan. Beberapa studi yang mengambil data time series membuktikan bahwa dalam beberapa negara yang masih bertumpu pada sektor pertanian (rural economy) menunjukan hubungan negatif. Ini berarti bertolak belakang dari hipotesis Kuznets.
Pemahaman atas variabel variable tersebut akan membuktikan bahwa negara pertanian tidak identik dengan kemiskinan atau mungkin lebih tepatnya adalah
kesejahteraan pun bisa meningkat di negara-negara yang berbasis pertanian.
5. Indeks Theil
Digunakan untuk mengukur ketimpangan pendapatan antar individu di dalam provinsi dan ketimpanan pendapatan antar provinsi. Untuk megukurnya digunakan
rumus sebagai berikut:
Theil = Σi
Σ
j(Y
ij/Y)1n(Ŷij/Ŷ)
Sumber : Tulus Tambunan (2003Keterangan:
Yij = Total pendapatan di prvinsi i, grup j
Ŷij = Rata-rata pendapatan per kapita di provinsi i, grup j
Ŷ = Total pendapatan nasional
Untuk mengakses dan mendownload tugas kuliah ini selengkapnya
anda harus berstatus Paid Member
Kemiskinan,
Distribusi Pendapatan, Masalah Kemiskinan, dan
Pertumbuhan versus Pemerataan
Simon Kuznets (1955) membuat hipotesis adanya kurva U terbalik (inverted U curve) bahwa mula-mula ketika
pembangunan dimulai, distribusi pendapatan akan makin tidak merata, namun setelah mencapai suatu tingkat pembangunan tertentu, distribusi pendapatan makin merata.
INDIKATOR DISTRIBUSI PENDAPATAN
Distribusi Ukuran (Distribusi Pendapatan Perorangan) Kurva Lorenz
Koefisien Gini
Distribusi Ukuran
(personal distribution of income)
Distribusi pendapatan perseorangan ( personal distribution of income) atau distribusi ukuran pendapatan (size distribution of income) merupakan indikator yang paling sering digunakan oleh para ekonom. Ukuran ini secara langsung menghitung jumlah penghasilan yang diterima oleh setiap individu atau rumah tangga.
Yang diperhatikan di sini adalah seberapa banyak pendapatan yang diterima seseorang, tidak peduli dari mana sumbernya, entah itu bunga simpanan atau tabungan, laba usaha, utang, hadiah ataupun warisan.
Lokasi sumber penghasilan (desa atau kota) maupun sektor atau bidang kegiatan yang menjadi sumber penghasilan (pertanian, industri, perdagangan, dan jasa) juga diabaikan.
Bila si X dan si Y masing-masing menerima pendapatan yang sama per tahunnya, maka kedua orang tersebut langsung dimasukkan ke dalam satu kelompok atau satu kategori penghasilan yang sama, tanpa mempersoalkan bahwa si X memperoleh uangnya dari membanting tulang selama 15 jam
sehari, sedangkan si Y hanya ongkang-ongkang kaki menunggu bunga harta warisan yang didepositokannya.
Berdasarkan pendapatan tsb, lalu dikelompokkan menjadi lima kelompok, biasa disebut kuintil (quintiles) atau sepuluh kelompok yang disebut desil (decile) sesuai dengan tingkat pendapatan mereka, kemudian menetapkan proporsi yang diterima oleh masing-masing kelompok.
Selanjutnya dihitung berapa % dari pendapatan nasional yang diterima oleh masing-masing kelompok, dan bertolak dari
perhitungan ini mereka langsung memperkirakan tingkat
pemerataan atau tingkat ketimpangan distribusi pendapatan di masyarakat atau negara yang bersangkutan.
Indikator yang memperlihatkan tingkat ketimpangan atau pemerataan
distribusi pendapatan diperoleh dari kolom 3, yaitu perbandingan antara
pendapatan yang diterima oleh 40 persen anggota kelompok bawah
(mewakili lapisan penduduk termiskin) dan 20 persen anggota
kelompok atas (lapisan penduduk terkaya).
Rasio inilah yang sering dipakai sebagai ukuran tingkat
sangat miskin dan kelompok yang sangat kaya di dalam suatu negara.
Rasio ketidakmerataan dalam contoh di atas adalah 14 dibagi dengan
51, atau sekitar 1 berbanding 3,7 atau 0,28.
Peta pendapatan jika total populasi dibagi menjadi sepuluh kelompok
(desil) yang masing-masing menguasai pangsa 10 persen pada kolom 4.
10 persen populasi terbawah (dua individu atau rumah tangga yang
paling miskin) hanya menerima 1,8 persen dari total pendapatan,
sedangkan 10 persen kelompok teratas (dua individu atau rumah tangga
terkaya) menerima 28,5 persen dari pendapatan nasional.
Bila ingin diketahui berapa yang diterima oleh 5 persen kelompok
teratas, maka jumlah penduduknya harus dibagi menjadi 20 kelompok
yang masing-masing anggotanya sama (masing-masing kelompok
terdiri dari satu individu) dan kemudian dihitung persentase total
pendapatan yang diterima oleh lima kelompok teratas dari pendapatan
nasional atau total pendapatan yang diterima oleh kedua puluh
kelompok tersebut.
Dari Tabel 5-1, kita bisa mengetahui bahwa pendapatan 5 persen
penduduk terkaya (20 individu) menerima 15 persen dari pendapatan,
lebih tinggi dibandingkan dengan total pendapatan dari 40 persen
kelompok terendah (40 persen rumah tangga yang paling miskin).
Kurva Lorenz
Sumbu horisontal menyatakan jumlah penerimaan pendapatan dalam
persentase
kumulatif.Misalnya, pada titik 20 kita mendapati populasi
atau kelompok terendah (penduduk yang paling miskin) yang
jumlahnya meliputi 20 persen dari jumlah total penduduk. Pada titik 60
terdapat 60 persen kelompok bawah, demikian seterusnya sampai pada
sumbu yang paling ujung yang meliputi 100 persen atau seluruh
populasi atau jumlah penduduk.
Sumbu vertikal menyatakan bagian dari total pendapatan yang diterima
oleh masing-masing persentase jumlah (kelompok) penduduk tersebut.
Sumbu tersebut juga berakhir pada titik 100 persen, sehingga kedua
sumbu (vertikal dan horisontal) sama panjangnya.
Setiap titik yang terdapat pada garis diagonal melambangkan persentase
jumlah penerimanya (persentase penduduk yang menerima pendapatan
itu terdapat total penduduk atau populasi). Sebagai contoh, titik tengah
garis diagonal melambangkan 50 persen pendapatan yang tepat
didistribusikan untuk 50 persen dari jumlah penduduk.
Titik yang terletak pada posisi tiga perempat garis diagonal
melambangkan 75 persen pendapatan nasional yang didistribusikan
kepada 75 persen dari jumlah penduduk.
Garis diagonal merupakan garis "pemerataan sempurna"
(perfectequality)
dalam distribusi ukuran pendapatan.
Persentase pendapatan yang ditunjukkan oleh titik-titik di sepanjang
garis diagonal tersebut
persis samadengan persentase penduduk
penerimanya terhadap total penduduk.
Titik A menunjukkan bahwa 10 persen kelompok terbawah (termiskin)
dari total penduduk hanya menerima 1,8 persen total pendapatan
(pendapatan nasional).
Titik B menunjukkan bahwa 20 persen kelompok terbawah yang hanya
menerima 5 persen dari total pendapatan, demikian seterusnya bagi
masing-masing 8 kelompok lainnya. Perhatikanlah bahwa titik tengah,
menunjukkan 50 persen penduduk hanya menerima 19,8 persen dari
total pendapatan.
Semakin tinggi derajat ketidakmerataan, kurva Lorenz akan semakin
melengkung (cembung) dan semakin mendekati sumbu horizontal
sebelah bawah.
Figur (a):
Distribusi pendapatan yang relatif merata
(ketimpangannya tidak parah).
Figur (b):
Distribusi pendapatan yang relatif tidak merata
(ketimpangannya parah)
Koefisien Gini dan Ukuran Ketimpangan
Pengukuran tingkat ketimpangan atau ketidakmerataan pendapatan yang
relatif sangat sederhana pada suatu negara dapat diperoleh dengan
menghitung rasio bidang yang terletak antara garis diagonal dan kurva
Lorenz dibagi dengan luas separuh bidang di mana kurva Lorenz itu
berada.
Pada Figur 5-6, rasio yang dimaksud adalah rasio atau perbandingan
bidang A terhadap total segitiga
BCD.Rasio inilah yang dikenal sebagai
rasio konsentrasi Gini (Gini concentration ratio) yang seringkali
disingkat dengan istilah koefisien Gini (Gini coefficient).
Istilah tersebut diambil dari nama seorang ahli statistik Italia yang
Koefisien Gini dan Ukuran Ketimpangan Agregat
Pengukuran tingkat ketimpangan atau ketidakmerataan
pendapatan yang relatif sangat sederhana pada suatu negara dapat diperoleh dengan menghitung rasio bidang yang terletak antara garis diagonal dan kurva Lorenz dibagi dengan luas separuh bidang di mana kurva Lorenz itu berada.
Pada Figur 5-6, rasio yang dimaksud adalah rasio atau
perbandingan bidang A terhadap total segitiga BCD. Rasio inilah yang dikenal sebagai rasio konsentrasi Gini (Gini concentration ratio) yang seringkali disingkat dengan istilah koefisien Gini (Gini coefficient).
Istilah tersebut diambil dari nama seorang ahli statistik Italia yang pertama kali merumuskannya pada tahun 1912.
Koefisien Gini adalah ukuran ketidakmerataan atau ketimpangan (pendapatan/ kesejahteraan) agregat (secara keseluruhan) yang angkanya berkisar antara nol (pemerataan sempurna) hingga satu (ketimpangan yang sempurna).
Angka ketimpangan untuk negara-negara yang ketimpangan pendapatan di kalangan penduduknya dikenal tajam berkisar antara 0,50 hingga 0,70.
Untuk negara-negara yang distribusi pendapatannya dikenal relatif paling baik (paling merata), berkisar antara 0,20 sampai 0,35.
http://ridhoassegaf.blogspot.com/2008/12/kemiskinan-distribusi-pendapatan.html
KEMISKINAN DAN DISTRIBUSI PENDAPATAN KEMISKINAN DAN DISTRIBUSI PENDAPATAN
A. Latar Belakang
Kesenjangan ekonomi atau ketimpangan dalam distribusi pendapatan antara kelompok masyarakat berpendapatan tinggi dan kelompok masyarakat berpandapatan rendah serta tingkat kemiskinan atau jumlah orang yang berada dibawah garis kemiskinan merupakan dua masalah besar yang dihadapi negara-negara yang sedang berkembang, tidak
terkecuali Indonesia.
Pada awal periode orde baru hingga akhir dekade 1970-an strategi pembangunan ekonomi lebih terfokus pada bagaimana mencapai suatu laju pertumbuhan yang tinggi dalam suatu periode yang sangat singkat. Pada akhir dekade itu strategi pembangunan diubah , tidak lagi hanya pertumbuhan tetapi juga untuk kesejahteraan rakyat. Hingga menjelang krisis nilai tukar, program yang dilakukan pemerintah yang bertujuan untuk mengurangi jumlah orang miskin dan perbedaan pendapatan antara kelompok miskin dan kelompok kaya, seperti Inpres Desa tertinggal (IDT).
Di negara-negara miskin, perhatian utama terfokus pada dilema kompleks antara pertumbuhan versus distribusi pendapatan. Keduanya sama-sama penting, namun
hampir selalu sangat sulit diwujudkan secara bersamaan. Pengutamaan yang satu akan menuntut dikorbankannya yang lain. Pembangunan ekonomi mensyaratkan GNP yang lebih tinggi, dan untuk itu tingkat pertumbuhan yang lebih tinggi merupakan pilihan yang harus diambil. Namun, yang menjadi masalah bukan hanya soal bagaimana
caranya memacu pertumbuhan, tetapi juga siap melakukan dan berhak menikmati hasil-hasilnya
Persoalan kemiskinan merupakan salah satu persoalan mendasar yang menjadi pusat perhatian pemerintah. Salah satu aspek penting untuk mendukung strategi
penanggulangan kemiskinan adalah tersedianya data kemiskinan yang akurat dan tepat sasaran. Pengukuran kemiskinan yang dapat dipercaya dapat menjadi instrument
tangguh bagi pengambil kebijakan dalam memfokuskan perhatian pada kondisi hidup orang miskin. Data kemiskinan yang baik dapat digunakan untuk mengevaluasi
kebijakan pemerintah terhadap kemiskinan, membandingkan kemiskinan antar waktu dan daerah, serta menentukan target penduduk miskin dengan tujuan untuk memperbaiki posisi mereka.
B. Konsep dan Defenisi
1. Kemiskinan relative (yang mengaju pada garis kemiskinan) yaitu suatu ukuran mengenai kesenjangan didalam distribusi pendapatan, biasanya dapat didefisisikan didalam kaitannya dengan tingkat rata-rata dari distribusi yang dimaksud. Dinegara-negara maju, kemiskinan relative diukur sebagai suatu proporsi dari tingkat pendapatan rata-rata perkapita. Standar minimum disusun berdasarakan kondisi hidup suatu negara pada waktu tertentu dan perhatian terfokus pada golongan penduduk “termiskin”,
misalnya 20 persen atau 40 persen dari total penduduk yang telah diurutkan menurut pendapatan/pengeluaran. Kelompok ini merupakan penduduk relative miskin. Dengan
demikian, ukuran kemiskinan relative sangat tergantung pada distribusi
pendapatan/pengeluaran penduduk sehingga dengan menggunakan definisi ini berarti “orang miskin selalu hadir bersama kita”.Dalam hal mengidentifikasi dan menentukan sasaran penduduk miskin, maka garis kemiskinan relative cukup untuk untuk digunakan, dan perlu disesuaikan terhadap tingkat tingkat pembangunan negara secara keseluruhan. Garis kemiskinan relative tidak dapat dipakai untuk membandingkan tingkat kemiskinan antar negara dan waktu karena tidak mencerminkan tingkat kesejahteraan yang sama. 2. Kemiskinan absolute (derajat kemiskinan di bawah, dimana kebutuhan-kebutuhan minimum untuk bertahan hidup tidak dapat terpenuhi. Yaitu suatu ukuran tetap didalam bentuk suatu kebutuhan kalori minimum ditambah komponen-komponen non makanan
yang juga sangat diperlukan untuk survive. Kemiskinan absolute ditentukan berdasarkan ketidakmampuan untuk mencukupi kebutuhan pokok minimum seprti pangan, sandang, kesehatan, perumahan dan pendidikan yang diperlukan untuk bisa hidup dan bekerja. Kebutuhan minimum diterjemahkan sebagai ukuran finansial dalam bentuk uang. Nilai kebutuhan minimum kebutuhan dasar tersebut dikenal dengan istilah garis kemiskinan. Penduduk yang pendapatannya di bawah garis kemiskinan digolongkan sebagai
penduduk miskin.
Garis kemiskinan absolute sangat penting jika seseorang akan mencoba menilai efek dari kebijakan anti kemiskinan antar waktu, atau memperkirakan dampak dari suatu proyek terhadap kemiskinan (misalnya, pemberian kredit skala kecil). Angka kemiskinan akan terbanding antara satu Negara dengan Negara lain hanya jika garis kemiskinan absolute yang sama digunakandi kedua Negara tersebut. Bank Dunia memerlukan garis
kemiskinan absolute agar dapat membandingkan angka kemiskinan antar Negara. Hal ini bermanfaat dalam menentukan kemana menyalurkan sumber daya financial (dana) yang
ada, juga dalam menganalisis kemajuan dalam memerangi kemiskinan. Pada umumnya ada dua ukuran yang digunakan oleh Bank Dunia, yaitu:
a) US $1 per hari dimana diperkirakan ada sekitar 1,2 miliar penduduk dunia yang hidup dibawah ukuran tersebut;
b) US $2 per hari dimana lebih dari 2 miliar penduduk yang hidup kurang dari batas tersebut. Kedua batas ini adalah garis kemiskinan absolute.
3. Kemiskinan Lainnya
Kemiskinan struktural adalah kemiskinan yang ditengarai bersebab dari kondisi struktur atau tatanan kehidupan yang tak menguntungkan.
Kemiskinan Cultural disebabkan oleh faktor-faktor adat dan budaya suatu daerah tertentu yang membelenggu seseorang tetap melekat dengan indicator kemiskinan.
C. Metodologi dan Konsep Penghitungan Penduduk Miskin, Distribusi dan Ketimpangan Pendapatan
1) Badan Pusat Statistik
Untuk mengukur kemiskinan, BPS menggunakan konsep kemampuan memenuhi
kebutuhan dasar (basic needs approach). Dengan pendekatan ini, kemiskinan dipandang sebagai ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan yang diukur dari sisi pengeluaran. Metode yang digunakan adalah menghitung Garis Kemiskinan (GK), yang terdiri dari dua komponen yaitu Garis
Kemiskinan Makanan (GKM) dan Garis Kemiskinan Non-Makanan (GKMN), sebagai berikut :
GK = GKM + GKNM
Penghitungan Garis Kemiskinan dilakukan secara terpisah untuk daerah perkotaan dan perdesaan. Penduduk miskin adalah penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran perkapita per bulan dibawah garis kemiskinan.
2) Kurva Lorenz
Kurva Lorenz memperlihatkan hubungan kuantitatif actual antara persentase jumlah penduduk penerima pendapatan tertentu dari total penduduk dengan persentase pendapatan yang benar-benar mereka peroleh dari total pendapatan.
Kurva Lorenz
Semakin jauh jarak kurva Lorenz dari garis diagonal, maka semakin timpang atau tidak merata distribusi pendapatannya. Kasus ekstrem dari ketidakmerataan yang sempurnah yaitu apabila hanya seseorang saja yang menerima seluruh pendapatn nasional,
sementara orang-orang lainnya sama sekali tidak menerima pendapatan akan diperlihatkan oleh kurva Lorenz yang berhimpit dengan sumbu horizontal sebelah bawah dan sumbu vertical di sebelah kanan.
Koefisien Gini adalah ukuran ketidakmerataan atau ketimpangan
(pendapatan/kesejahteraan) agregat yang angkanya berkisar antara nol (pemerataan sempurnah) hingga satu (ketimpangan yang sempurnah).
Pengukuran tingkat ketimpangan atau ketidakmerataan pendapatan yang relative sangat sederhana pada suatu negara dapat diperoleh dengan menghitung rasio bidang yang terletak antara garis diagonal dan kurva loronz dibagi dengan luas separuh bidang di mana kurva Lorenz itu berada.
3) Indeks Kemiskinan Manusia
Tidak puas dengan ukuran pendapatan perhari yang digunakan oleh bank Dunia, UNDP berusaha mengganti ukuran kemiskinan “pendapatan “ Bank dunia dengan ukuran
kemiskinan “Manusia”. Diukur dengan keyakinan bahwa kemiskinan manusia harus diukur dalam satuan hilangnya tiga hal utama. Yaitu kehidupan, pendidikan dasar, serta keseluruhan ketetapan ekonomi (diukur oleh persentase penduduk yang tidak memiliki akses terhadap pelayanan kesehatan dan air bersih ditambah persentase anak-anak di
bawah usia 5 Tahun yang kekurangan berat badan. D. Faktor-faktor yang menyebabkan kemiskinan: 1) Tingkat Pendidikan;
2) Tingkat dan laju pertumbuhan; 3) Tingkat upah neto;
4) Distribusi pendapatan 5) Kesempatan kerja 6) Tingkat Inflasi 7) Pajak dan Subsidi 8) Investasi
9) Alokasi serta kualitas sumber daya alam 10) Ketersediaan fasilitas umum
11) Penggunaan teknologi
12) Kondisi fisik dan alam disuatu wilayah, etos kerja dan motivasi pekerja
Dilihat secara sektoral, pusat kemiskinan di Indonesia terdapat disektor pertanian, terutama disektor perikanan. Ini disebabkan karena:
a) Tingkat produktivitas yang rendah disebabkan karena jumlah pekerja disektor tersebut terlalu banyak, sedangkan tanah, capital, dan teknologi terbatas, dan tingkat pendidikan petani masih sangat rendah.
b) Daya saing petani atau dasar tukar domestic antara komoditi pertanian terhadap output industri semakin lemah.
c) Tingkat diversifikasi usaha di sektor pertanian ke jenis-jenis komoditi nonfood yang memiliki prospek pasar dan harga yang lebih baik masih sangat terbatas.
E. Kebijakan Pemerintah dalam Kemiskinan dan Distribusi Pendapatan Strategi dalam pengurangan kemiskinan yaitu:
1. Pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan dan yang prokemiskinan 2. Pemerintahan yang baik (good Governance)
3. Pembangunan Sosial Intervensi pemerintah:
1. Intervensi jangka pendek adalah terutama pembangunan sektor pertanian dan ekonomi pedesaan;
2. Manajemen lingkungan dan sumber daya alam, ini penting karena hancurnya
lingkungan dan habisnya SDA akan dengan sendirinya menjadi factor pengerem proses pembangunan dan pertumbuhan ekonomi, yang berarti juga sumber peningkatan
kemiskinan.
3. Intervensi jangka menegah dan panjang yang penting adalah:
a. Pembangunan Sektor Swasta, sebagai motor utama penggerak ekonomi/sumber pertumbuhan dan penentu daya saing perekonomian nasional harus ditingkatkan. b. Kerjasama Regional, kerjasama yang baik dalam bidang ekonomi, industry, dan perdagangan, maupun non ekonomi.
usaha untuk meningkatkan cost effectiveness dari pengeluaran pemerintah untuk membiayai penyediaan/ pembangunan/penyempurnaan fasilitas-fasilitas umum. d. Desentralisasi, sangat membantu usaha pengurangan kemiskinan dalam negeri e. Pendidikan dan Kesehatan,
f. Penyediaan Air Bersih dan Pembangunan Perkotaan.
Kebijakan-kebijakan yang telah dilakukan pemerintah antara lain: A. Kebijakan Penanggulangan Kemiskinan dan Kesenjangan
Dalam kurun waktu 2005-2008 program penanggulangan kemiskinan dilaksanakan melalui sinkronisasi berbagai kebijakan lintas sektor yang diarahkan untuk penciptaan kesempatan usaha bagi masyarakat miskin, pemberdayaan masyarakat miskin,
peningkatan kemampuan masyarakat miskin, serta pemberian perlindungan sosial bagi masyarakat miskin. Sejak tahun 2009, program penanggulangan kemiskinan diarahkan pada 4 fokus, yaitu: (i) pembangunan dan penyempurnaan sistem perlindungan sosial
dan keberpihakan terhadap rakyat miskin; (ii) perluasan akses masyarakat miskin terhadap kesehatan serta keluarga berencana; (iii) penyempurnaan dan perluasan
cakupan program pembangunan berbasis masyarakat; dan (iv) peningkatan usaha rakyat. Pembangunan dan penyempurnaan sistem perlindungan sosial dan keberpihakan
terhadap rakyat miskin dilaksanakan melalui kegiatan: (1) pemberian Bantuan Langsung Tunai/BLT bagi 18,5 juta rumah tangga miskin; (2) pelaksanaan Program Harapan
Keluarga/PKH bagi 720.000 rumah tangga sangat miskin di 13 provinsi; (3) subsidi pangan untuk masyarakat miskin dengan sasaran 18,5 juta rumah tangga sasaran; (4) peningkatan akses dan kualitas pendidikan dalam bentuk dana Bantuan Operasional
Sekolah (BOS) dalam rangka mendukung Wajib belajar 9 tahun, serta pemberian beasiswa bagi mahasiswa miskin; (5) peningkatan kepastian kepemilikan dan
penguasaan tanah dengan membantu masyarakat miskin dalam memperoleh sertifikat hak atas tanah; (6) peningkatan akses terhadap air bersih dengan membangun prasarana air minum perpipaan di perkotaan dan perdesaan.
Perluasan akses masyarakat miskin terhadap kesehatan serta keluarga berencana dilaksanakan melalui kegiatan: (1) peningkatan akses masyarakat miskin terhadap kesehatan melalui program Jaminan Pengamanan Sosial Bidang Kesehatan (JPSBK) dalam bentuk asuransi kesehatan bagi masyarakat miskin bagi 76,4 juta penduduk miskin dan (2) Peningkatan Akses Terhadap Pelayanan Keluarga Berencana.
Penyempurnaan dan perluasan cakupan program pembangunan berbasis masyarakat yang dilaksanakan melalui Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri yang terdiri atas kegiatan-kegiatan: kelanjutan Program Pengembangan Kecamatan (PPK) untuk daerah perdesaan, Program Penanggulangan Kemiskinan Perkotaan (P2KP) untuk daerah perkotaan, Program Pembangunan Daerah Tertinggal dan Khusus (P2DTK), Program Pengembangan Infrastruktur Sosial Ekonomi wilayah (PISEW) dan Program Peningkatan Infrastruktur Perdesaan (PPIP), kegiatan
pengembangan usaha agribisnis pertanian (PUAP), serta program pemberdayaan bidang kelautan dan perikanan. Sementara itu, peningkatan usaha rakyat dilaksanakan melalui: (1) pemberdayaan Usaha Mikro dan Kecil melalui Kredit Usaha Rakyat (KUR); (2) penguatan modal di sektor pertanian melalui dana penguatan modal-Lembaga Usaha
Ekonomi Perdesaan di 27 provinsi; serta (3) penguatan akses modal di sektor kelautan dan perikanan dalam bentuk penguatan akses modal kerja untuk masyarakat pesisir melalui penyediaan jasa lembaga keuangan di sentra-sentra kegiatan nelayan.
Berbagai kegiatan tersebut menghasilkan angka kemiskinan yang semakin membaik. Dalam 3 tahun terakhir jumlah penduduk miskin mengalami penurunan, dari sebesar 37,17 juta (16,58%) pada tahun 2007, menjadi 34,96 juta (15,42%) pada tahun 2008, dan pada tahun 2009 angkanya menjadi 32,53 juta (14,15%).
Pertumbuhan Ekonomi membutuhkan: Ketahanan Pangan
Ketahanan Energy Stabilitas Harga
Stabilitas Ekonomi dan stimulus fiscal Iklim Investasi yang kondusif
Pengembangan Infrastruktur untuk mendukung daya saing sector riil. B. Kebijakan Penunjang Penanggulangan Kemiskinan dan Kesenjangan 1. Kebijakan di bidang energi
Selama kurun waktu 2005-2009 bidang energi termasuk tenaga listrik menghadapi beberapa permasalahan, antara lain masih tingginya ketergantungan kepada produk
minyak bumi; keterbatasan infrastruktur; pertumbuhan dan intensitas energi yang masih tinggi; dan keterbatasan dana untuk pengembangan infrastruktur. Beberapa langkah kebijakan yang telah ditempuh, antara lain: 1) meningkatkan pemanfaatan gas bumi nasional sesuai dengan Rencana Induk Jaringan Transmisi dan Distribusi Gas Bumi Nasional (RIJTDGBN); 2) melanjutkan program konversi (diversifikasi) energi, melalui pengalihan pemanfaatan minyak tanah ke Liquefied Petroleum Gas (LPG); 3)
percepatan pembangunan pembangkit listrik 10.000 MW; 4) pengembangan usaha Hilir Migas dilaksanakan melalui mekanisme persaingan usaha yang wajar, sehat, dan
transparan; 5) restrukturisasi sektor energi; serta 5) meningkatkan koordinasi lintas sektor dalam pengelolaan energi.
Hasil-hasil di bidang energi yang dicapai hingga Juni 2009 antara lain: 1) pembangunan pipa transmisi gas bumi Sumatera Selatan-Jawa Barat tahap I dan tahap II yang akan
meningkatkan pasokan gas untuk daerah Jawa Barat, Jakarta, dan Banten. 2)
pengembangan wilayah distribusi gas bumi di Jawa Bagian Barat yang melalui Domestic Gas Market Development Project; 3) pembangunan 2 kilang mini minyak bumi dan 3 kilang mini LPG; 4) pembangunan kilang Liquefied Natural Gas (LNG) di Tangguh; 5) pelaksanaan program pengalihan dari minyak tanah ke LPG; 4) pengembangan Desa
Mandiri Energi (DME) yang berbasis NonBBN (Bahan Bakar Nabati) dan berbasis BBN; 5) penyelesaian beberapa peraturan, antara lain UU No. 30 tahun 2007 tentang Energi; PP No. 59 Tahun 2007 tentang Kegiatan Usaha Panas Bumi; dan Perpres No. 104 tahun 2007 tentang Penyediaan dan Pendistribusian LPG Tabung 3 Kilogram Untuk Rumah Tangga dan Usaha Kecil; Perpres No. 5 tahun 2006 tentang Kebijakan Energi Nasional.
Sementara itu, dalam pembangunan kelistrikan telah dilaksanakan: 1) penambahan kapasitas pembangkit listrik sebesar 5.457 MW; 2) pembangunan pembangkit listrik skala kecil di berbagai wilayah di Indonesia yang menggunakan pembangkit listrik tenaga hidro dan panas bumi; 3) percepatan pembangunan PLTU 10.000 MW; 4) pembangunan jaringan transmisi sebesar 4.137 km; 5) pencapaian rasio elektrifikasi
sebesar 65,1%; 6) pencapaian rasio desa berlistrik dari 86,26% (2004) menjadi 92,2% (2008); dan 7) pengembangan Energi Baru Terbarukan dalam bentuk Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS), Pembangkit Listrik Tenaga Mikro-Hidro (PLTMH), Pembangkit Listrik Tenaga Bayu (PLTB), dan Biofuel.
2. Kebijakan di bidang pangan
Di bidang pangan, pemerintah telah merumuskan berbagai kebijakan dan program/kegiatan yang diarahkan pada pencapaian swasembada pangan dan
kemandirian pangan sehingga ketersediaan dan konsumsi pangan dapat dipenuhi dalam jumlah yang cukup, aman, bergizi, seimbang, dan berkelanjutan baik di tingkat nasional,
daerah, maupun di tingkat rumah tangga. Di samping itu, dalam arti luas, kebijakan juga diarahkan untuk menjamin kebutuhan pangan masyarakat, memenuhi kebutuhan bahan baku industri, meningkatkan pertumbuhan sektor pertanian, meningkatkan
kemampuan/keterampilan petani, meningkatkan perlindungan terhadap petani dari dampak pasar global dan daya saing produk pertanian, meningkatkan mutu produk pertanian, meningkatkan efisiensi usaha tani, meningkatkan dukungan infrastruktur pertanian dan regulasi yang kondusif serta pengelolaan sumber daya pertanian secara
lestari dan berkelanjutan.
3. Kebijakan di bidang industri
Untuk meningkatkan daya saing industri nasional, dan menjadi negara industri tangguh pada tahun 2020, pada tahun 2005 telah diterbitkan buku Kebijakan Pembangunan
Industri Nasional yang kemudian dikukuhkan melalui Peraturan Presiden No.28 Tahun 2008 yang antara lain menetapkan bangun industri nasional dalam jangka panjang, strategi pembangunan industri, serta 6 industri prioritas dan 1 industri kompetensi daerah.
Mengantisipasi dampak negatif krisis global tahun 2008 terhadap industri dalam negeri, telah diterbitkan Instruksi Presiden tahun 2009 tentang penggunaan produk dalam negeri dalam pengadaan barang dan jasa pemerintah. Selanjutnya untuk lebih mengoptimalkan pembinaan industri, pada tahun 2009 ditetapkan Peraturan Pemerintah No. 24 tentang
Kawasan Industri.
Beberapa kebijakan di bidang perdagangan dan industri adalah: (i) melakukan upaya penetrasi pasar global melalui diversifikasi produk dan pasar tujuan ekspor; (ii)
meningkatkan fasilitas perdagangan melalui pelayanan elektronik; (iii) kerjasama
perdagangan internasional untuk peningkatan akses pasar; (iv) perlindungan konsumen; dan (v) standarisasi produk. Selain itu, dalam rangka stabilisasi harga bahan pokok dalam negeri telah dilakukan berbagai upaya, antara lain kebijakan PPN ditanggung Pemerintah (PPn DTP) untuk minyak goreng dan terigu, penurunan PPN impor untuk gandum, kedelai dan terigu, serta peluncuran program MAKITA.
Upaya lain yang dilakukan di bidang perdagangan adalah mewujudkan penyediaan layanan elektronik perdagangan dalam bentuk Penerapan E-Licensing dalam rangka National Single Window (NSW) serta penerapan otomasi Surat Keterangan Asal (SKA).
Sedangkan untuk peningkatan akses pasar telah dilaksanakan market intelligence, penyediaan layanan buyers reception desk, serta promosi dagang. Kerja sama perdagangan internasional dilaksanakan melalui ratifikasi berbagai perjanjian dan
kesepakatan internasional. Sementara itu dalam kerangka standardisasi produk telah ditetapkan 905 SNI di mana 173 diantaranya sudah harmonis dengan standar
internasional.
5. Kebijakan di bidang investasi
Kebijakan untuk meningkatkan investasi dilaksanakan melalui penetapan berbagai peraturan perundangan guna memberikan kepastian usaha bagi para penanam modal.
Beberapa peraturan penting yang telah ditetapkan, antara lain: UU No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, Peraturan Presiden No. 27 Tahun 2009 tentang Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) di bidang penanaman modal, serta beberapa peraturan yang langsung atau tidak langsung terkait dengan perbaikan iklim usaha, yaitu: UU No. 20 Tahun 2008 tentang UMKM; UU No. 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas UU No. 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan; UU No. 4 Tahun 2009 tentang
Pertambangan Mineral dan Batubara; UU No. 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan; Peraturan Pemerintah No. 62 tahun 2008 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah No. 1 Tahun 2007 tentang Fasilitas Pajak Penghasilan untuk Penanaman Modal di
Bidang-bidang Usaha Tertentu dan/atau di Daerah-daerah Tertentu; Peraturan
Pemerintah No. 2 Tahun 2009 tentang Perlakuan Kepabeanan, Perpajakan, dan Cukai serta Pengawasan Atas Pemasukan dan Pengeluaran Barang ke dan dari serta Berada di Kawasan yang Telah Ditunjuk Sebagai Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas; dan Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 2009 tentang Kawasan Industri. Pelaksanaan berbagai perangkat peraturan tersebut menghasilkan realisasi investasi Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) yang meningkat dari Rp 15,4 triliun pada tahun 2004 menjadi Rp 20,4 triliun pada akhir tahun 2008 atau rata-rata tumbuh sebesar 7,2%, bahkan pada tahun 2007 mencapai Rp 34,9 triliun. Demikian pula untuk
Penanaman Modal Asing (PMA) pada periode yang sama mengalami lonjakan dari USD 4,6 miliar menjadi USD 14,9 miliar atau rata-rata tumbuh sebesar 34,3%.
6. Kebijakan di bidang infrastruktur
Pada dasarnya, permasalahan yang dihadapi di bidang infrastruktur adalah kualitas dan kuantitas yang terbatas serta sebarannya yang belum merata di seluruh wilayah.
Kebijakan dalam infrastruktur sumber daya air ditujukan untuk menjaga ketersediaan air secara memadai, baik dari sisi kuantitas maupun kualitasnya, antara lain melalui
pengembangan pola hubungan hulu-hilir dalam mencapai pola pengelolaan yang lebih berkeadilan serta melakukan percepatan pembangunan tampungan-tampungan air skala
kecil/menengah.
Di bidang prasarana jalan, kebijakan pokok diarahkan untuk: (i) memulihkan fungsi arteri dan kolektor serta mengoptimalkan pemeliharaan dan rehabilitasi jalan dan jembatan nasional terutama pada lintas-lintas strategis untuk mempertahankan dan
meningkatkan baik daya dukung, kapasitas, maupun kualitas pelayanannya, baik di daerah yang perekonomiannya berkembang pesat, maupun dalam membuka akses ke daerah terisolir dan belum berkembang; (ii) meningkatkan dan membangun jalan dan jembatan nasional pada lintas strategis; (iii) mengembangkan jalan bebas hambatan pada
koridor-koridor jalan berkepadatan tinggi; (iv) dukungan pembebasan tanah dalam pembangunan jalan tol; serta (v) melakukan koordinasi di antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah untuk mengharmonisasikan keterpaduan sistem dalam konteks pelayanan intermoda dan sistem transportasi nasional (Sistranas).
Kebijakan di bidang perkeretaapian antara lain: (i) melanjutkan deregulasi pada angkutan kereta api; (ii) melaksanakan program Roadmap to Zero Accident; (iii)
meningkatkan kapasitas lintas dan angkutan perkeretaapian untuk meningkatkan share angkutan barang; (iv) meningkatkan akuntabilitas dan efektivitas skema pendanaan public service obligation (PSO), infrastructures maintenance and operation (IMO), dan
track access charge (TAC); (v) meningkatkan peran swasta dalam penyelenggaraan perkeretaapian; (vi) meningkatkan pangsa angkutan barang pada pusat-pusat
pertambangan nasional; serta (vii) mengaktifkan jalur-jalur kereta api yang sudah tidak dioperasikan.
Kebijakan di bidang transportasi laut antara lain: meningkatkan peran armada laut nasional terutama untuk angkutan domestik antarpulau; melanjutkan kewajiban pemerintah dalam angkutan perintis; menghilangkan biaya ekonomi tinggi dalam
kegiatan bongkar muat di pelabuhan; menambah dan memperbaiki pengelolaan
prasarana dan sarana transportasi laut untuk pelabuhan yang terbuka bagi perdagangan luar negeri; mengetatkan pengecekan kelaikan laut baik kapal maupun peralatan Sarana Bantu Navigasi Pelayaran; dan meningkatkan fasilitas keselamatan dan keamanan
pelayaran sesuai dengan standar International Maritime Organization (IMO). Di bidang transportasi udara, beberapa kebijakan yang ditempuh antara lain:
melanjutkan kebijakan multioperator angkutan udara; restrukturisasi kewenangan antara pemerintah dan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dalam aspek keselamatan
penerbangan; melanjutkan pelayanan keperintisan untuk wilayah terpencil; memperketat pengecekan kelaikan udara baik pesawat maupun peralatan navigasi; peningkatan
fasilitas keselamatan penerbangan dan navigasi sesuai dengan standar (International Civil Aviation Organization) ICAO; serta memperketat pengecekan kelaikan udara baik pesawat maupun peralatan navigasi.
Berdasarkan pelaksanaan berbagai kebijakan tersebut, telah diperoleh hasil dan pencapaian dalam berbagai bentuk infrastruktur. Hasil pembangunan infrastruktur
sumber daya air antara lain berupa waduk, embung, atau sarana pengamanan bendungan di berbagai lokasi.
7. Kebijakan di bidang ketenagakerjaan
Dua kebijakan utama dalam mengatasi permasalahan pengangguran terbuka adalah melalui: (i) kebijakan yang dapat mendorong penciptaan lapangan kerja dan (ii)
mendorong program-program pembangunan agar mengarah pada penciptaan lapangan kerja sebanyak-banyaknya. Berdasarkan dua kebijakan pokok tersebut, langkah
kebijakan yang ditempuh adalah: (1) mendorong pembukaan lapangan kerja baru
melalui pengembangan UMKM; (2) meningkatkan kualitas dan kompetensi tenaga kerja melalui penyelenggaraan pelatihan kerja; (3) memperbaiki mekanisme penempatan dan perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (TKI) ke luar negeri melalui peningkatan kualitas pelayanan; (4) melaksanakan konsolidasi program-program perluasan kesempatan kerja melalui peningkatan sinergi proyek Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), dan UMKM; (5) membuka akses informasi pasar kerja; dan (6) memperkuat hubungan industrial antara pekerja dan pemberi kerja dengan mendorong tercapainya perundingan bipartit.
http://hendragforce.blogspot.com/2010/06/kemiskinan-dan-distribusi-pendapatan.html
Distribusi Pendapatan 1 Distribusi Pendapatan
Para ekonom pada umumnya membedakan dua ukuran pokok distribusi pendapatan, yang keduanya digunakan untuk tujuan analisis dan kuantitatif tentang keadilan distribusi pendapatan. Kedua ukuran tersebut adalah distribusiukuran, yakni besar atau kecilnya bagian pendapatan yang diterima masing-masing orang; dan
distribusi “ fungsional ” atau distribusi kepemilikan faktor-faktor produksi. Dari kedua jenis distribusi pendapatan ini kemudian dihitung indikator untuk menunjukkan
distribusi pendapatan masyarakat.
1.1 Distribusi Pendapatan Ukuran
Distribusi pendapatan perorangan ( personal distribution of income) atau distribusi ukuran pendapatan ( size distribution of income) merupakan ukuran yang paling sering digunakan oleh para ekonom. Ukuran ini secara langsung menghitung jumlah
pendapatan yang diterima oleh setiap individu atau rumah tangga tanpa memperdulikan sumbernya.
Contoh, Tabel 1 di bawah ini yang memperlihatkan distribusi pendapatan yang walaupun datanya hipotetis, namun biasa ditemui di satu negara berkembang.
Tabel 1: Distribusi Ukuran Pendapatan Perorangan di Satu Negara Berdasarkan Pangsa Pendapatan – Kuintil dan Desil
Individu Pendapatan/orang (unit uang) Pangsa (%) Kuintil Pangsa (%) Desil 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 0,8 1,0 1,4 1,8 1,9 2,0 2,4 2,7 2,8 3,0 3,4 3,8 4,2 4,8 5,9 7,1 10,5 12,0 13,5 15,0 5 9 13 22 51 1,8 3,2 3,9 5,1 5,8 7,2 9,0 13,0 22,5 28,5 Total (pendapatan nasional) 100 100 100 Ukuran ketimpangan = jumlah pendapatan dari 40 persen rumah tangga termiskin dibagi dengan jumlah
pendapatan dari 20 persen rumah tangga terkaya = 14/51 = 0,28.
Dalam tabel tersebut, semua penduduk negara tersebut diwakili oleh 20 individu (atau lebih tepatnya rumah tangga). Kedua puluh rumah tangga tersebut kemudian
diurutkan berdasarkan jumlah pendapatannya per tahun dari yang terendah (0,8 unit), hingga yang tertinggi (15 unit). Adapun pendapatan total atau pendapatan nasional yang merupakan penjumlahan dari pendapatan semua individu adalah 100 unit, seperti tampak pada kolom 2 dalam tabel tersebut. Dalam kolom 3, segenap rumah tangga digolong-golongkan menjadi 5 kelompok yang masing-masing terdiri dari 4 individu atau rumah tangga. Kuintil pertama menunjukkan 20 persen populasi terbawah pada skala pendapatan. Kelompok ini hanya menerima 5 persen (dalam hal ini adalah 5 unit uang) dari pendapatan nasional total. Kelompok kedua (individu 5-8) menerima 9 persen dari pendapatan total. Dengan kata lain, 40 persen populasi terendah (kuintil 1 dan 2) hanya menerima 14 persen dari pendapatan total, sedangkan 20 persen teratas (kuintil ke lima) dari populasi menerima 51 persen dari pendapatan total.
Ada tiga alat ukur tingkat ketimpangan pendapatan dengan bantuan distribusi ukuran, yakni: (1) Rasio Kuznets, (2) Kurva Lorenz, dan (3) Koefisien Gini.
(1) Rasio Kuznets
Ukuran umum yang memperlihatkan tingkat ketimpangan pendapatan dapat ditemukan dalam kolom 3, yaitu perbandingan antara pendapatan yang diterima oleh 20 persen anggota kelompok teratas dan 40 persen anggota kelompok terbawah. Rasio
yang sering disebut sebagai rasio Kuznets inilah (dinamai berdasarkan nama pemenang Nobel Simon Kuznets), yang sering dipakai sebagai ukuran tingkat ketimpangan antara dua kelompok ekstrem, yaitu kelompok yang sangat miskin dan kelompok yang sangat kaya di satu negara. Rasio ketimpangan dalam contoh ini adalah 14 dibagi dengan 51, atau sekitar 0, 28.
(2) Kurva Lorenz
Kurva Lorenz menunjukkan hubungan kuantitatif aktual antara persentase penerima pendapatan dengan persentase pendapatan total yang benar-benar mereka terima selama,
misalnya, satu tahun.
(3) Koefisien Gini dan Ukuran Ketimpangan Agregat
Rasio konsentrasi Gini (Gini concentration ratio) atau sederhananya disebut
koefisien Gini (Gini coefficient), mengambil nama dari ahli statistik Italia yang merumuskannya pertama kali pada tahun 1912. Koefisien Gini adalah ukuran ketimpangan agregat yang angkanya berkisar antara nol (pemerataan sempurna) hingga satu (ketimpangan sempurna). Koefisien Gini untuk negara-negara yang derajat ketimpangannya tinggi berkisar antara 0,50 hingga 0,70, sedangkan untuk negara-negara yang distribusi pendapatannya relatif merata, angkanya berkisar antara 0,20 hingga 0,35.
1.2 Distribusi Fungsional
Distribusi pendapatan fungsional atau pangsa distribusi pendapatan per faktor
produksi ( functional or factor share distribution of income) berfokus pada bagian dari
pendapatan nasional total yang diterima oleh masing-masing faktor produksi (tanah, tenaga kerja, dan modal). Teori distribusi pendapatan fungsional ini pada dasarnya mempersoalkan persentase pendapatan tenaga kerja secara keseluruhan, bukan sebagai unit-unit usaha atau faktor produksi yang terpisah secara individual, dan membandingkannya dengan persentase pendapatan total yang dibagikan dalam bentuk sewa, bunga, dan laba (masing-masing merupakan perolehan dari tanah, modal uang, dan modal fisik). Walaupun individu-individu tertentu mungkin saja menerima seluruh hasil dari segenap sumber daya tersebut, tetapi hal itu bukanlah merupakan perhatian dari analisis pendekatan fungsional ini.
Kurva permintaan dan penawaran diasumsikan sebagai sesuatu yang menentukan harga per satuan (unit) dari masing-masing faktor produksi. Apabila harga-harga unit faktor produksi tersebut dikalikan dengan kuantitas faktor produksi yang digunakan bersumber dari asumsi utilitas (pendayagunaan) faktor produksi secara efisien (sehingga biayanya berada pada taraf minimum), maka kita bisa menghitung total pembayaran atau pendapatan yang diterima oleh setiap faktor produksi tersebut. Sebagai contoh, penawaran dan permintaan terhadap tenaga kerja diasumsikan akan menentukan tingkat
maka akan didapat jumlah keseluruhan pembayaran upah, yang terkadang disebut dengan istilah tersendiri, yakni total pengeluaran upah (total wage bill ).
1.3 Perkembangan Indeks Ketimpangan
Sebagai hasil dari penerapan berbagai cara untuk mencapai ukuran pembagian pendapatan di bawah ini disampaikan data mengenai koefisien Gini untuk periode 1964/65 sampai 1976 dan untuk periode 2002-2007, dan persentase pendapatan yang diterima oleh berbagai kelompok masyarakat di Indonesia dari 2002 sampai 2007 untuk menghitung koefisien Kuznets.
Tingkat ketimpangan pembagian pendapatan secara keseluruhan pada tahun 1964/65 hampir sama untuk perkotaan dan pedesaan dan termasuk pada ketimpangan yang sedang. Sedangkan pembagian pendapatan perkotaan di Jawa lebih merata dibandingkan di pedesaan Jawa, namun sebaliknya terjadi di Luar Jawa, yakni di pedesaan lebih merata. Kalau kita bergerak dari tahun 1964/65 maka distribusi pendapatan di perkotaan Jawa selalu menjadi lebih timpang, sedangkan di daerah pedesaan di Jawa selalu menjadi lebih merata sampai pada tahun 1976. Hal ini mungkin disebabkan oleh karena UUPMA dan UUPMDN dan beberapa kebijaksanaan lainnya yang mulai dilaksanakan pada awal pemerintahan Suharto lebih banyak dimanfaatkan oleh orang-orang kaya perkotaan di Jawa sehingga distribusi pendapatan di perkotaan Jawa menjadi lebih timpang. Hal yang sebaliknya terjadi di pedesaan di Jawa, yakni program pembangunan pertanian dan pedesaan, terutama program BIMAS-INMAS,
lebih banyak dinikmati oleh golongan miskin di Jawa sehingga distribusi pendapatannya menjadi lebih merata (koefisien Gini menurun). Koefisien Gini secara keseluruhan di perkotaan menjadi lebih timpang, sedangkan di pedesaan sedikit menjadi lebih baik bila
kita bergerak dari 1964/65 menuju 1976.
Kalau kita bergerak dari periode 1970an ke periode 2000an, maka dapat kita katakan bahwa tidak terjadi perubahan yang berarti mengenai ketimpangan distribusi pendapatan di Indonesia, masih tetap secara umum berada pada ketimpangan yang sedang baik ditunjukkan oleh koefisien Kuznets maupun koefisien Gini. Pada awal periode (2002-2004) bagian pendapatan yang diterima oleh 40 persen termiskin relatif
(sekitar 42 persen), sehingga koefisien Kuznets juga relatif konstan (bedanya 0,01 karena pembulatan), dan koefisien Gini juga menunjukkan hal yang sama dari 0,33 (pada tahun 2002) menjadi 0,32 pada dua tahun setelah itu. Dari tahun 2004 ke 2005 distribusi pendapatan menjadi sedikit lebih buruk, bagian yang diterima oleh 40 persen termiskin menurun dan bagian yang diterima oleh 20 persen terkaya meningkat sehingga koefisien Kuznets mengalami penurunan. Hal ini juga ditunjukkan oleh koefisien Gini yang menunjukkan distribusi pendapatan menjadi lebih timpang. Memburuknya distribusi pendapatan dari tahun 2006 ke 2007 (ditunjukkan oleh menurunnya koefisien Kuznets dan menaiknya koefisien Gini) mungkin dapat dijelaskan karena adanya kenaikan harga sebagai akibat naiknya harga bensin ketika itu. Kenaikan harga-harga rupanya lebih menguntungkan kelompok kaya dibandingkan dengan kelompok miskin, sebagaimana diperjuangkan oleh para demonstran yang menentang kenaikan harga premium waktu itu.
2 Kemiskinan
Yang dimaksud dengan kemiskinan di sini adalah penduduk miskin, yakni penduduk yang tidak mampu mendapatkan sumber daya yang cukup untuk memenuhi kebutuhan dasar. Mereka hidup di bawah tingkat pendapatan riil minimum tertentu – atau di bawah “garis kemiskinan internasional”. Garis tersebut tidak mengenal tapal batas antar negara, tidak tergantung pada tingkat pendapatan per kapita di satu negara, dan juga memperhitungkan perbedaan tingkat harga antar negara dengan mengukur penduduk miskin sebagai orang yang hidup kurang dari US$1 per hari dalam dolar paritas daya beli (ppp). Kemiskinan absolut dapat dan memang terjadi di mana-mana, di
Jakarta, di Bali, di Nusa Penida, di Medan, walaupun persentasenya terhadap jumlah penduduk berbeda-beda dari satu tempat ke tempat lainnya.
2.1 Mengukur Kemiskinan absolut
Kemiskinan absolut dapat diukur dengan angka, atau “hitungan per kepala (headcount )”, H, untuk mengetahui seberapa banyak orang yang penghasilannya berada
di bawah garis kemiskinan absolut, Y p. Ketika hitungan per kepala tersebut dianggap
sebagai bagian dari populasi total, N , kita memperoleh indeks per kepala (headcount index), H/N . Garis kemiskinan ditetapkan pada tingkat yang selalu konstan secara riil,
sehingga kita dapat menelusuri kemajuan yang diperoleh dalam menanggulangi kemiskinan pada level absolut sepanjang waktu. Gagasan yang mendasari penetapan level ini adalah satu standar minimum di mana seseorang hidup dalam “kesengsaraan absolut manusia”, yaitu ketika kesehatan seseorang sangat buruk.
Dalam banyak hal, metode dan penyederhanaan perhitungan jumlah penduduk yang masih hidup di bawah garis kemiskinan itu sendiri memang masih mengandung banyak keterbatasan. Oleh karena itu beberapa ekonom mencoba mengalkulasikan
indikator jurang kemiskinan ( poverty gap) yang mengukur pendapatan total yang
diperlukan untuk mengangkat mereka yang masih di bawah garis kemiskinan ke atas garis itu. Pada peraga di bawah ini, meskipun di negara A dan B, 50 persen penduduknya sama-sama masih berada di bawah garis kemiskinan, namun jurang
kemiskinan di A ternyata lebih lebar daripada yang ada di negara B. Dengan demikian negara A harus berusaha lebih keras guna memerangi kemiskinan absolut penduduknya.
Seperti dalam ukuran ketimpangan, ada beberapa kriteria ukuran kemiskinan yang diinginkan, yang telah diterima secara luas oleh para ekonom, yaitu prinsip-prinsip anonimitas, independensi populasi, monotonisitas, dan sensitivitas distribusional. Kedua prinsip yang pertama (anonimitas dan independensi populasi) sangat mirip karakteristik
yang digunakan untuk membahas indeks ketimpangan. Ukuran cakupan kemiskinan tidak boleh tergantung pada siapa yang miskin atau apakah negara tersebut mempunyai jumlah penduduk yang banyak atau sedikit. Prinsip monotonisitas berarti bahwa dan jika anda memberi sejumlah uang kepada seseorang yang berada di bawah garis kemiskinan, jika semua pendapatan yang lain tetap, maka kemiskinan yang terjadi tidak mungkin lebih tinggi dari pada sebelumnya. Jika ukuran kemiskinan selalu lebih rendah setelah pemberian transfer tersebut, sifat ini disebut mempunyai monotonisitas yang kuat ( strong monotonicity). Rasio headcount memenuhi asas monotonisitas, namun bukan
yang kuat. Prinsip sensitivitas distribusional menyatakan bahwa, dengan semua hal lain konstan, jika anda mentransfer pendapatan dari orang miskin ke orang kaya, maka akibatnya perekonomian akan menjadi lebih miskin.