• Tidak ada hasil yang ditemukan

Asas asas Hukum Pidana

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Asas asas Hukum Pidana"

Copied!
330
0
0

Teks penuh

(1)

DAFTAR ISI

BAB II TINDAK PIDANA ……

…..14

BAB IV SIFAT MELAWAN HUKUM

(RECHTSWDRIG, UNRECHT,

BAB VI KESENGAJAAN (DOLUS, INTENT, OPZET, VORATZ)…

VIII KESALAHAN DALAM DELIKPELANGGARAN………….. ………..67 BAB IX PIDANA DAN PEMIDANAAN

(HUKUM PENITENSIER)…

…… …..69 BAB X PERCOBAAN (POGING, ATTEMPT)

………

…… …..79

(2)

………... …..94

XIII ALASAN/DASAR PENGHAPUSPIDANA (STRAFUITSLUITINGSGROND,

(3)

BAB I

PENDAHULUAN

I. LATAR BELAKANG

Apakah hukum pidana itu ? pertanyaan ini sesungguhnya sangat sulit untuk dijawab, mengingat hukum pidana itu mempunyai banyak segi, yang masing-masing mempunyai arti sendiri-sendiri. Penerapan hukum pidana berkaitan dengan ruang lingkup hukum pidana itu sendiri dapat bersifat luas dan dapat pula bersifat sempit. Dalam tindak pidana dapat melihat seberapa jauh seseorang telah merugikan masyarakat dan pidana apa yang perlu dijatuhkan kepada orang tersebut karena telah melanggar hukum. Selain itu, tujuan hukum pidana tidak hanya tercapai dengan pengenaan pidana, tetapi merupakan upaya represif yang kuat berupa tindakan-tindakan pengamanan.

(4)

pendahuluan mengerti dan memahami teori-teori maupun asas-asas hukum pidana yang perlu diperhaitkan dalam melaksanakan tugas dan fungsinya sebagai jaksa nantinya.

II. DESKRIPSI SINGKAT

Modul asas-asas hukum pidana memberikan pemahaman bagi peserta pendidikan dan pelatihan tentang ruang lingkup berlakunya, tindak pidana, adanya hubungan sebab akibat

(causaliteit, causalitat), sifat melawan hukum, kesalahan dan pertanggungjawaban pidana, kesengajaan, kealpaan, delik pelanggaran, pemidanaan, percobaan, penyertaan, penggabungan tindak pidana, dasar penghapus pidana, gugurnya wewenang menuntut dan menjalankan pidana.

III. TUJUAN PEMBELAJARAN

A. Tujuan Intruksional Umum

(5)

B. Tujuan Instruksional Khusus

Setelah mempelajari modul ini peserta diklat diharapkan mengetahui tentang ruang lingkup berlakunya, tindak pidana, adanya hubungan sebab akibat (causaliteit, causalitat), sifat

melawan hukum, kesalahan dan

pertanggungjawaban pidana, kesengajaan, kealpaan, delik pelanggaran, pemidanaan, percobaan, penyertaan, penggabungan tindak pidana, dasar penghapus pidana, gugurnya wewenang menuntut dan menjalankan pidana.

IV. POKOK BAHASAN

a. Ruang lingkup berlakunya Hukum Pidana.

b. Tindak Pidana.

c. Hubungan sebab akibat (causaliteit, causalitat). d. Sifat melawan hukum (rechtswdrig, unrecht,

wederrechtelijk, onrechmatig).

e. Kesalahan dan pertanggungjawaban pidana.

f. Kesengajaan (dolus, intent, opzet, vorsatz). g. Kealpaan (culpa).

h. Kesalahan dalam delik pelanggaran.

i. Pidana dan pemidanaan (hukum penitensier). j. Percobaan (poging, attempt).

k. Penyertaan.

(6)

m. Alasan / dasar penghapus pidana

(straffuitsluitingsgrond, grounds of impiunity.) n. Gugurnya kewenangan menuntut dan

menjalankan pidana.

V. FASILITAS / MEDIA

Fasilitas dan media yang digunakan dalam proses pembelajaran Pengantar asas-asas hukum pidana antara lain :

a) Modul asas-asas hukum pidana; b) Internet;

(7)

BAB II

RUANG LINGKUP BERLAKUNYA

HUKUM PIDANA

A. RUANG BERLAKUNYA HUKUM PIDANA MENURUT WAKTU

Penerapan hukum pidana atau suatu perundang-undangan pidana berkaitan dengan waktu dan

tempat perbuatan dilakukan. Serta berlakunya hukum pidana menurut waktu menyangkut penerapan hukum pidana dari segi lain. Dalam hal seseorang melakukan perbuatan (feit) pidana sedangkan perbuatan tersebut belum diatur atau belum diberlakukan ketentuan yang bersangkutan, maka hal itu tidak dapat dituntut dan sama sekali tidak dapat dipidana.

(8)

aturan perundang-undangan yang telah ada terlebih dahulu.

Dalam perkembangannya amandemen ke-2 UUD 1945 dalam Pasal 28 ayat (1) berbunyi dan berhak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun dan Pasal 28 J ayat (2) Undang-undang Dasar 1945 yang berbunyi : “Dalam menjalankan hak dan kebebasannya setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis”. Karenanya asas ini dapat pula dinyatakan sebagai asas konstitusional.

Dalam catatan sejarah asas ini dirumuskan oleh Anselm von Feuerbach dalam teori : “vom psychologishen zwang (paksaan psikologis)”

(9)

sine praevia lege poenali yang mengandung tiga prinsip dasar :

- Nulla poena sine lege (tiada pidana tanpa undang-undang)

- Nulla Poena sine crimine (tiada pidana tanpa perbuatan pidana)

- Nullum crimen sine poena legali (tiada perbuatan pidana tanpa undang-undang pidana yang terlebih dulu ada)

Adagium ini menganjurkan supaya :

1) Dalam menentukan perbuatan-perbuatan yang dilarang di dalam peraturan bukan saja tentang

macamnya perbuatan yang

harusdirumuskan dengan jelas, tetapi juga macamnya pidana yang diancamkan;

(10)

3) Dengan demikian dalam batin orang itu akan mendapat tekanan untuk tidak berbuat. Andaikata dia ternyata melakukan juga perbuatan yang dilarang, maka dinpandang dia menyetujui pidana yang akan dijatuhkan kepadanya.

Prof. Moeljatno menjelaskan inti pengertian yang dimaksud dalam asas legalitas yaitu :

1) Tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana kalau hal itu terlebih dahulu belum dinyatakan dalam suatu aturan undang-undang. Hal ini dirumuskan dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP.

2) Untuk menentukan adanya perbuatan pidana tidak boleh digunakan analogi, akan tetapi diperbolehkan penggunaan penafsiran ekstensif.

(11)

Schaffmeister dan Heijder merinci asas ini dalam pokok-pokok pikiran sebagai berikut :

a) Tidak dapat dipidana kecuali ada ketentuan pidana berdasar peraturan perundang-undangan (formil).

b) Tidak diperkenankan Analogi (pengenaan suatu undang-undang terhadap perbuatan yang tidak diatur oleh undang-undang tersebut).

c) Tidak dapat dipidana hanya berdasarkan kebiasaan (Hukum tidak tertulis).

d) Tidak boleh ada perumusan delik yang

kurang jelas(lex Certa).

e) Tidak boleh Retroaktif (berlaku surut) f) Tidak boleh ada ketentuan pidana

diluar Undang-undang.

g) Penuntutan hanya dilakukan berdasarkan atau dengan cara yang ditentukan undang-undang.

(12)

Teori tetang ruang lingkup berlakunya hukum pidana nasional menurut tempat terjadinya. Perbuatan (yurisdiksi hukum pidana nasional),

apabila ditinjau dari sudut Negara ada 2 (dua) pendapat yaitu :

a. Perundang-undangan hukum pidana berlaku bagi semua perbuatan pidana yang terjadi diwilayah Negara, baik dilakuakan oleh warga negaranya sendiri maupun oleh orang lain (asas territorial).

b. Perundang-undangan hukum pidana berlaku bagi semua perbuatan pidana yang dilakukan oleh warga Negara, dimana saja, juga apabila perbuatan pidana itu dilakukan diluar wilayah Negara. Pandangan ini disebut menganut asas personal atau prinsip nasional aktif.

(13)

I. Asas Teritorial.

II. Asas Personal (nasional aktif). III. Asas Perlindungan (nasional pasif) IV. Asas Universal.

Ad. I. Asas Teritorial

Asas ini diatur juga dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yaitu dalam pasal 2 KUHP yang menyatakan : “Ketentuan pidana dalam perundang-undangan Indonesia diterapkan bagi setiap orang yang melakukan suatu tindak pidana di Indonesia”.

(14)

dalam asas kedua (asas personal atau asas nasional yang aktif) menitik beratkan pada orang yang melakukan

perbuatan pidana, tidak

mempermasalahkan tempat terjadinya perbuatan pidana. Asas territorial yang pada saat ini banyak diikuti oleh Negara-negara di dunia termasuk Indonesia. Hal ini adalah wajar karena tiap-tiap orang yang berada dalam wilayah suatu Negara harus tunduk dan patuh kepada peraturan-peraturan hukum Negara dimana yang bersangkutan berada.

Perluasan dari Asas Teritorialitas diatur dalam pasal 3 KUHP yang menyatakan :

“Ketentuan pidana perundang-undangan Indonesia berlaku bagi setiap orang yang di luar wilayah Indonesia melakukan tindak pidana didalan kendaraan air atau pesawat udara Indonesia”.

(15)

perahu (kendaraan air) dan pesawat terbang lalu dianggap bagian wilayah Indonesia. Tujuan dari pasal ini adalah supaya perbuatan pidana yang terjadi di dalam kapal atau pesawat terbang yang berada di perairan bebas atau berada di wilayah udara bebas, tidak termasuk wilayah territorial suatu Negara, sehingga ada yang mengadili apabila terjadi suatu perbuatan pidana.

Setiap orang yang melakukan perbuatan pidana diatas alat pelayaran Indonesia diluar wilayah Indonesia. Alat pelayaran pengertian lebih luas dari kapal. Kapal merupakan bentuk khusus dari alat pelayaran. Di luar Indonesia atau di laut bebas dan laut wilayah Negara lain.

Asas-asas Extra Teritorial / kekebalan

(16)

 Kepala Negara asing dan anggota keluarganya.

 Pejabat-pejabat perwakilan asing dan keluarganya.

 Pejabat-pejabat pemerintahan Negara asing yang berstatus diplomatik yang dalam perjalanan melalui Negara-negara lain atau menuju Negara lain.

 Suatu angkatan bersenjata yang terpimpin.

 Pejabat-pejabat badan

Internasional.

 Kapal-kapal perang dan pesawat udara militer / ABK diatas kapal maupun di luar kapal.

Ad. II. Asas Personal

(17)

berada dalam suatu wilayah Negara telah melakukan tindak pidana dan tindak pidana dan tidak diadili menurut hukum Negara tersebut maka berarti bertentangan dengan kedaulatan Negara tersebut. Pasal 5 KUHP hukum Pidana Indonesia berlaku bagi warga Negara Indonesa di luar Indonesia yang melakukan perbuatan pidana tertentu Kejahatan terhadap keamanan Negara, martabat kepala Negara, penghasutan, dll.

Pasal 5 KUHP menyatakan :

“(1). Ketetentuan pidana dalam perundang-undangan Indonesia diterapkan bagi warga Negara yang di luar Indonesia melakukan : salah satu kejahatan yang tersebut dalam Bab I dan Bab II Buku Kedua dan Pasal-Pasal 160, 161, 240, 279, 450 dan 451. Salah satu perbuatan yang oleh suatu

(18)

perundang-undangan Indonesia dipandang sebagai kejahatan, sedangkan menurut perundang-undangan Negara dimana perbuatan itu dilakukan diancam dengan pidana.

(2). Penuntutan perkara sebagaimana dimaksud dalam butir 2 dapat dilakukan juga jika terdakwa menjadi warga Negara sesudah melakukan perbuatan”.

Sekalipun rumusan pasal 5 ini memuat perkataan “diterapkan bagi warga Negara Indonesia yang diluar wilayah Indonesia”’, sehingga seolah-olah mengandung asas personal, akan tetapi sesungguhnya pasal 5 KUHP memuat asas melindungi kepentingan nasional (asas nasional pasif)

karena :

(19)

wilyah Indonesia tersebut hanya pasal-pasal tertentu saja, yang dianggap penting sebagai perlindungan terhadap kepentingan nasional. Sedangkan untuk asas personal, harus diberlakukan seluruh perundang-undangan hukum pidana bagi warga Negara yang melakukan kejahatan di luar territorial wilayah Negara.

Ketentuan pasal 5 ayat (2) adalah untuk mencegah agar supaya warga Negara asing yang berbuat kejahatan di Negara asing tersebut, dengan jalan menjadi warga Negara Indonesia (naturalisasi).

(20)

dilakukan diancam dengan pidana, sedangkan menurut KUHP Indonesia merupakan kejahatan, bukan pelanggaran.

Ketentuan pasal 6 KUHP :

Berlakunya pasal 5 ayat (1) butir 2 dibatasi sedemikian rupa sehingga tidak dijatuhkan pidana mati, jika menurut perundang-undangan Negara dimana perbuatan dilakukan terhadapnya tidak diancamkan pidana mati”.

(21)

Ad. III. Asas Perlindungan

Sekalipun asas personal tidak lagi digunakan sepenuhnya tetapi ada asas lain yang memungkinkan diberlakukannya hukum pidana nasional terhadap perbuatan pidana yang terjadi di luar wilayah Negara

Pasal 4 KUHP (seteleh diubah dan ditambah berdasarkan Undang-undang No. 4 Tahun 1976)

“Ketentuan pidana dalam perundang-undangan Indonesia diterapkan bagi setiap orang yang melakukan di luar Indonesia :

1. Salah satu kejahatan berdasarkan pasal-pasal 104, 106, 107, 108 dan 131;

(22)

dikeluarkan dan merek yang digunakan oleh Pemerintah Indonesia;

3. Pemalsuan surat hutang atau sertifikat hutang atas tanggungan suatu daerah atau bagian daerah Indonesia, termasuk pula pemalsuan talon, tanda deviden atau tanda bunga yang mengikuti surat atau sertifikat itu, dan tanda yang dikeluarkan sebagai pengganti surat tersebut atau menggunakan surat-surat tersebut di atas, yang palsu atau dipalsukan, seolah-olah asli dan tidak palsu;

(23)

mengancam keselamatan penerbangan sipil.

Dalam pasal 4 KUHP ini terkandung asas melindungi kepentingan yaitu melindungi kepentingan nasional dan melindungi kepentingan internasional (universal). Pasal ini menentukan berlakunya hukum pidana nasional bagi setiap orang (baik warga Negara Indonesia maupun warga negara asing) yang di luar Indonesia melakukan kejahatan yang disebutkan dalam pasal tersebut.

Dikatakan melindungi kepentingan nasional karena pasal 4 KUHP ini memberlakukan perundang-undangan pidana Indonesia bagi setiap orang yang di luar wilayah Negara Indonesia melakukan perbuatan-perbuatan yang merugikan kepentingan nasional, yaitu :

(24)

Presiden Republik Indonesia (pasal 4 ke-1)

2) Kejahatan mengenai pemalsuan mata uang atau uang kertas Indonesia atau segel / materai dan merek yang digunakan oleh pemerintah Indonesia (pasal 4 ke-2) 3) Kejahatan mengenai pemalsuan

surat-surat hutang atau sertifkat-sertifikat hutang yang dikeluarkan oleh Negara Indonesia atau bagian-bagiannya (pasal 4 ke-3)

4) Kejahatan mengenai pembajakan kapal laut Indonesia dan pembajakan pesawat udara Indonesia (pasal 4 ke-4)

Ad. IV. Asas Universal

(25)

melaksanakan tata hukum sedunia (hukum internasional).

(26)

kapal laut atau pesawat terbang Negara asing.

Jika pemalsuan mata uang atau uang kertas, pembajakan kapal, laut atau pesawat terbang adalah mengenai kepemilikan Indonesia, maka asas yang berlaku diterapkan adalah asas melindungi kepentingan nasional (asas nasional pasif). Jika pemalsuan mata uang atau uang kertas, pembajakan kapal laut atau pesawat terbang adalah mengenai kepemilikan Negara asing, maka asas yang berlaku adalah asas melindungi kepentingan internasional (asas universal).

Pasal 7 KUHP

(27)

dimaksudkan dalam Bab XXVIII Buku Kedua”.

(28)

dengan pidana yang sama sebagai pelaku tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam pasal 2, pasal 3, pasal 5 sampai dengan pasal 14”

Pasal 8 KUHP

“Ketentuan pidana dalam perundang-undangan Indonesia berlaku nahkoda dan penumpang perahu Indonesia, yang di luar Indonesia, sekalipun di luar perahu, melakukan salah satu tindak pidana sebagaimana dimaksudkan dalam Bab XXIX Buku Kedua dan Bab IX buku ketiga, begitu pula yang tersebut dalam peraturan mengenai surat laut dan pas kapal di Indonesia, maupun dalam ordonansi perkapalan”.

(29)

KUHP pada Buku Kedua Bab XXIX A. pertimbangan lain untuk memasukkan Bab XXIX A Buku Kedua ke dalam pasal 8 KUHP adalah juga menjadi kenyataan bahwa kejahatan penerbangan sudah digunakan sebagai bagian dari kegiatan terorisme yang dilakukan oleh kelompok terorganisir pasal 9 KUHP.

Diterapkannya pasal-pasal 2-5-7 dan 8 dibatasi oleh pengecualian-pengecualian yang diakui dalam hukum-hukum internasional.

Menurut Moeljatno, pada umumnya pengecualian yang diakui meliputi :

(30)

2) Duta besar Negara asing beserta keluarganya meeka juga mempunyai hak eksteritorial.

3) Anak buah kapal perang asing yang berkunjung di suatu Negara, sekalipun ada di luar kapal. Menurut hukum internasional kapal peran adalah teritoir Negara yang mempunyainya

(31)

BAB III

TINDAK PIDANA

a. PENGERTIAN TINDAK PIDANA

Hingga saat ini belum ada kesepakatan para sarjana tentang pengertian Tindak pidana (strafbaar feit). Menurut Prof. Moeljatno S.H., Tindak Pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barang siapa yang melanggar aturan tersebut.

Terdapat 3 (tiga) hal yang perlu diperhatikan :

 Perbuatan pidana adalah perbuatan oleh suatu aturan hukum dilarang dan diancam pidana.

(32)

 Antara larangan dan ancaman pidana ada hubungan yang erat, oleh karena antara kejadian dan orang yang menimbulkan kejadian itu ada hubungan erat pula. “ Kejadian tidak dapat dilarang jika yang menimbulkan bukan orang, dan orang tidak dapat diancam pidana jika tidak karena kejadian yang ditimbulkan olehnya”.

Selanjutnya Moeljatno membedakan dengan tegas dapat dipidananya perbuatan (die strafbaarheid van het feit) dan dapat dipidananya orang

(strafbaarheid van den person). Sejalan dengan itu memisahkan pengertian perbuatan pidana

(criminal act) dan pertanggungjawaban pidana

(criminal responsibility). Pandangan ini disebut pandangan dualistis yang sering dihadapkan dengan pandangan monistis yang tidak membedakan keduanya.

b. UNSUR-UNSUR TINDAK PIDANA

(33)

adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu bagi barang siapa yang melanggar larangan tersebut”. Untuk mengetahui adanya tindak pidana, maka pada umumnya dirumuskan dalam peraturan perundang-undangan pidana tentang perbuatan-perbuatan yang dilarang dan disertai dengan sanksi. Dalam rumusan tersebut ditentukan beberapa unsur atau syarat yang menjadi ciri atau sifat khas dari larangan tadi sehingga dengan jelas dapat dibedakan dari perbuatan lain yang tidak dilarang. Perbuatan pidana menunjuk kepada sifat perbuatannya saja, yaitu dapat dilarang dengan ancaman pidana kalau dilanggar.

Menurut Simons, unsur-unsur tindak pidana

(strafbaar feit) adalah :

 Perbuatan manusia (positif atau negative, berbuat atau tidak berbuat atau membiarkan).

 Diancam dengan pidana (statbaar gesteld)  Melawan hukum (onrechtmatig)

(34)

 Oleh orang yang mampu bertanggung jawab (toerekeningsvatoaar person).

Simons juga menyebutkan adanya unsur obyektif dan unsur subyektif dari tindak pidana (strafbaar feit).

Unsur Obyektif :

 Perbuatan orang

 Akibat yang kelihatan dari perbuatan itu.  Mungkin ada keadaan tertentu yang

menyertai perbuatan itu seperti dalam pasal 281 KUHP sifat “openbaar” atau “dimuka umum”.

Unsur Subyektif :

 Orang yang mampu bertanggung jawab  Adanya kesalahan (dollus atau culpa).

Perbuatan harus dilakukan dengan kesalahan.

(35)

Sementara menurut Moeljatno unsur-unsur perbuatan pidana :

 Perbuatan (manusia)

 Yang memenuhi rumusan dalam undang-undang (syarat formil)

 Bersifat melawan hukum (syarat materiil)

Unsur-unsur tindak pidana menurut Moeljatno terdiri dari :

1) Kelakuan dan akibat

2) Hal ikhwal atau keadaan tertentu yang menyertai perbuatan, yang dibagi menjadi : a. Unsur subyektif atau pribadi

(36)

bukan pegawai negeri maka tidak mungkin diterapka pasal tersebut

b. Unsur obyektif atau non pribadi

Yaitu mengenai keadaan di luar si pembuat, misalnya pasal 160 KUHP tentang penghasutan di muka umum (supaya melakukan perbuatan pidana atau melakukan kekerasan terhadap penguasa umum). Apabila penghasutan tidak dilakukan di muka umum maka tidak mungkin diterapkan pasal ini

Unsur keadaan ini dapat berupa keadaan yang menentukan, memperingan atau memperberat pidana yang dijatuhkan.

(1) Unsur keadaan yang menentukan misalnya dalam pasal 164, 165, 531 KUHP

(37)

yang terancam, diancam, apabila kejahatan jadi dilakukan, dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan atau denda paling banyak tiga ratus rupiah.

(38)

Keharusan memberi pertolongan pada orang yang sedang menghadapi bahaya maut jika tidak memberi pertolongan, orang tadi baru melakukan perbuatan pidana, kalau orang yang dalam keadaan bahaya tadi kemudian lalu meninggal dunia. Syarat tambahan tersebut tidak dipandang sebagai unsur delik (perbuatan pidana) tetapi sebagai syarat penuntutan. (2) Keadaan tambahan yang memberatkan

pidana

Misalnya penganiayaan biasa pasal 351 ayat (1) KUHP diancam dengan pidana penjara paling lama 2 tahun 8 bulan. Apabila penganiayaan tersebut menimbulkan luka berat; ancaman pidana diperberat menjadi 5 tahun (pasal 351 ayat 2 KUHP), dan jika mengakibatkan mati ancaman pidana menjad 7 tahun (pasal 351 ayat 3 KUHP). Luka berat dan mati adalah merupakan keadaan tambahan yang memberatkan pidana

(39)
(40)

Unsur melawan hukum yang dinyatakan sebagai unsur tertulis misalnya pasal 362 KUHP dirumuskan sebagai pencurian yaitu pengambilan barang orang lain dengan maksud untuk memilikinya secara melawan hukum.

(41)

memudahkan aparat penegak hukum menerapkan peraturan hukum.

Bagi Jaksa pentingnya memahami pengertian unsur-unsur tindak pidana adalah :

1) Untuk menyusun surat dakwaan, agar dengan jelas;

2) Dapat menguraikan perbuatan terdakwa yang menggambarkan uraian unsur tindak pidana yang didakwakan sesuai dengan pengertian / penafsiran yang dianut oleh doktrin maupun yurisprudensi;

3) Mengarahkan pertanyaan-pertanyaan kepada saksi atau ahli atau terdakwa untuk menjawab sesuai fakta-fakta yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana yang didakwakan;

(42)

5) Mengarahkan jalannya penyidikan atau pemeriksaan di sidang pengadilan berjalan secara obyektif. Dalil-dalil yang digunakan dalam pembuktian akan dapat dipertanggungjawabkan secara obyektif karena berlandaskan teori dan bersifat ilmiah;

6) Menyusun requisitoir yaitu pada saat uraian penerapan fakta perbuatan kepada unsur-unsur tindak pidana yang didakwakan, atau biasa diulas dalam analisa hukum, maka pengertian-pengertian unsur tindak pidana yang dianut dalam doktrin atau yurisprudensi atau dengan cara penafsiran hukum, harus diuraikan sejelas-jelasnya karena ini menjadi dasar atau dalil untuk berargumentasi.

c. JENIS-JENIS TINDAK PIDANA

Di bawah ini akan disebut berbagai pembagian jenis delik.

1. Kejahatan dan Pelanggaran

(43)

disebut : pelanggaran criterium apakah yang dipergunakan untuk membedakan kedua jenis delik itu ? KUHP tidak memberi jawaban tentang hal ini. Ia hanya membrisir atau memasukkan dalam kelompok pertama kejahatan dan dalam kelompok kedua pelanggaran.

Tetapi ilmu pengetahuan mencari secara intensif ukuran (kriterium) untuk membedakan kedua jenis delik itu.

Ada dua pendapat :

a. Ada yang mengatakan bahwa antara kedua jenis delik itu ada perbedaan yang bersifat kwalitatif. Dengan ukuran ini lalu didapati 2 jenis delik, ialah :

1. Rechtdelicten

(44)

2. Wetsdelicten

Ialah perbuatan yang oleh umum baru disadari sebagai tindak pidana karena undang-undang menyebutnya sebagai delik, jadi karena ada undang-undang mengancamnya dengan pidana. Misal : memarkir mobil di sebelah kanan jalan (mala quia prohibita). Delik-delik semacam ini disebut “pelanggaran”. Perbedaan secara kwalitatif ini tidak dapat diterima, sebab ada kejahatan yang baru disadari sebagai delik karena tercantum dalam undang-undang pidana, jadi sebenarnya tidak segera dirasakan sebagai bertentangan dengan rasa keadilan. Dan sebaliknya ada “pelanggaran”, yang benar-benar dirasakan bertentangan dengan rasa keadilan. Oleh karena perbedaan secara demikian itu tidak memuaskan maka dicari ukuran lain.

(45)

kriterium pada perbedaan yang dilihat dari segi kriminologi, ialah “pelanggaran” itu lebih ringan dari pada “kejahatan”.

Mengenai pembagian delik dalam kejahatan dan pelanggaran itu terdapat suara-suara yang menentang. Seminar Hukum Nasional 1963 tersebut di atas juga berpendapat, bahwa penggolongan-penggolongan dalam dua macam delik itu harus ditiadakan.

Kejahatan ringan :

Dalam KUHP juga terdapat delik yang digolongkan sebagai kejahatan-kejahatan misalnya pasal 364, 373, 375, 379, 382, 384, 352, 302 (1), 315, 407.

2. Delik formil dan delik materiil (delik dengan perumusan secara formil dan delik dengan perumusan secara materiil)

(46)

perasaan kebencian, permusuhan atau penghinaan kepada salah satu atau lebih golongan rakyat di Indonesia (pasal 156 KUHP); penyuapan (pasal 209, 210 KUHP); sumpah palsu (pasal 242 KUHP); pemalsuan surat (pasal 263 KUHP); pencurian (pasal 362 KUHP).

b. Delik materiil adalah delik yang perumusannya dititikberatkan kepada akibat yang tidak dikehendaki (dilarang). Delik ini baru selesai apabila akibat yang tidak dikehendaki itu telah terjadi. Kalau belum maka paling banyak hanya ada percobaan. Misal : pembakaran (pasal 187 KUHP), penipuan (pasal 378 KUHP), pembunuhan (pasal 338 KUHP). Batas antara delik formil dan materiil tidak tajam misalnya pasal 362.

3. Delik commisionis, delik ommisionis dan delik commisionis per ommisionen commissa

(47)

berbuat sesuatu yang dilarang, pencurian, penggelapan, penipuan.

b. Delik ommisionis : delik yang berupa pelanggaran terhadap perintah, ialah tidak melakukan sesuatu yang diperintahkan / yang diharuskan, misal : tidak menghadap sebagai saksi di muka pengadilan (pasal 522 KUHP), tidak menolong orang yang memerlukan pertolongan (pasal 531 KUHP).

c. Delik commisionis per ommisionen commissa : delik yang berupa pelanggaan larangan (dus delik commissionis), akan tetapi dapa dilakukan dengan cara tidak berbuat. Misal : seorang ibu yang membunuh anaknya dengan tidak memberi air susu (pasal 338, 340 KUHP), seorang penjaga wissel yang menyebabkan kecelakaan kereta api dengan sengaja tidak memindahkan wissel (pasal 194 KUHP).

(48)

a. Delik dolus : delik yang memuat unsur kesengajaan, misal : pasal-pasal 187, 197, 245, 263, 310, 338 KUHP

b. Delik culpa : delik yang memuat kealpaan sebagai salah satu unsur misal : pasal 195, 197, 201, 203, 231 ayat 4 dan pasal 359, 360 KUHP.

5. Delik tunggal dan delik berangkai (enkelvoudige en samenge-stelde delicten) a. Delik tunggal : delik yang cukup dilakukan

dengan perbuatan satu kali.

b. Delik berangkai : delik yang baru merupakan delik, apabila dilakukan beberapa kali perbuatan, misal : pasal 481 (penadahan sebagai kebiasaan)

6. Delik yang berlangsung terus dan delik selesai (voordurende en aflopende delicten) Delik yang berlangsung terus : delik yang mempunyai ciri bahwa keadaan terlarang itu berlangsung terus, misal : merampas kemerdekaan seseorang (pasal 333 KUHP). 7. Delik aduan dan delik laporan

(klachtdelicten en niet klacht delicten)

(49)

penghinaan (pasal 310 dst. jo 319 KUHP) perzinahan (pasal 284 KUHP), chantage (pemerasan dengan ancaman pencemaran, ps. 335 ayat 1 sub 2 KUHP jo. ayat 2). Delik aduan dibedakan menurut sifatnya, sebagai :

a. Delik aduan yang absolut, ialah mis. : pasal 284, 310, 332. Delik-delik ini menurut sifatnya hanya dapat dituntut berdasarkan pengaduan.

b. Delik aduan yang relative ialah mis. : pasal 367, disebut relatif karena dalam delik-delik ini ada hubungan istimewa antara si pembuat dan orang yang terkena.

Catatan : perlu dibedakan antara aduan den gugatan dan laporan. Gugatan dipakai dalam acara perdata, misal : A menggugat B di muka pengadilan, karena B tidak membayar hutangnya kepada A. Laporan hanya pemberitahuan belaka tentang adanya sesuatu tindak pidana kepada Polisi atau Jaksa.

(50)

Delik yang ada pemberatannya, misal : penganiayaan yang menyebabkan luka berat atau matinya orang (pasal 351 ayat 2, 3 KUHP), pencurian pada waktu malam hari dsb. (pasal 363). Ada delik yang ancaman pidananya diperingan karena dilakukan dalam keadaan tertentu, misal : pembunuhan kanak-kanak (pasal 341 KUHP). Delik ini disebut “geprivelegeerd delict”. Delik sederhana; misal : penganiayaan (pasal 351 KUHP), pencurian (pasal 362 KUHP).

9. Delik ekonomi (biasanya disebut tindak pidana ekonomi) dan bukan delik ekonomi Apa yang disebut tindak pidana ekonomi itu terdapat dalam pasal 1 UU Darurat No. 7 tahun 1955, UU darurat tentang tindak pidana ekonomi.

d. SUBYEK TINDAK PIDANA

(51)

a. Rumusan delik dalam undang-undang lazim dimulai dengan kata-kata : “barang siapa yang …….”. Kata “barang siapa” ini tidak dapat diartikan lain dari pada “orang”.

b. Dalam pasal 10 KUHP disebutkan jenis-jenis pidana yang dapat dikenakan kepada tindak pidana, yaitu :

1. pidana pokok : a. pidana mati b. pidana penjara c. pidana kurungan

d. pidana denda, yang dapat diganti dengan pidana kurungan

2. pidana tambahan :

a. pencabutan hak-hak tertentu

b. perampasan barang-barang tertentu c. dimumkannya keputusan hakim

Sifat dari pidana tersebut adalah sedemikian rupa, sehingga pada dasarnya hanya dapat dikenakan pada manusia. c. Dalam pemeriksaan perkara dan juga sifat dari

(52)

d. Pengertian kesalahan yang dapat berupa kesengajaan dan kealpaan itu merupakan sikap dalam batin manusia.

Dalam perkembangannya apakah kecuali manusia tidak ada sesuatu yang dapat melakukan tindak pidana misalnya badan hukum ? dalam KUHP terdapat pasal yang seakan-akan menyinggung soal ini, ialah pasal 59. Pasal ini tidak menunjuk ke arah dapat dipidana suatu badan hukum, suatu perkumpulan atau badan (korporasi) lain. Menurut pasal ini yang dapat dipidana adalah orang yang melakukan sesuatu fungsi dalam sesuatu korporasi. Seorang anggota pengurus dapat membebaskan diri, apabila dapat membuktikan bahwa pelanggaran itu dilakukan tanpa ikut campurnya.

Keterangan : di dalam hukum acara, ini disebut “pembalikan beban pembuktian” (omkering van bewijslast).

(53)

terlarang”, dan juga pasal 398 dan 399, mengenai pengurus atau komisaris perseroan terbatas dan sebagainya yang dalam keadaan pailit merugikan perseroannya.

(54)

Pompe (hal. 83) menyatakan mengenai persoalan ini (terjemahan) “Untuk sebagian peradilan dengan dibantu oleh ilmu pengetahuan hukum harus menemukan sendiri penyelesaian untuk problem dalam materi baru ini”.

Van Hattum (hal. 147) : “agaknya perlu untuk menggambarkan pertumbuhan ajaran ini agak lebih luas dari pada biasanya dalam buku pelajaran, sebab peradilan terhadap badan hukum kiranya akan menduduki tempat yang penting dalam hukum pidana kita. Persoalan mengenai penyertaan dan kesalahan dalam pada itu akan kerap kali menjadi sumber perbedaan pendapat”.

(55)

membuat ketentuan-ketentuan umum dalam hal suatu tindak pidana dilakukan oleh suatu korporasi.

BAB IV

(56)

A. Kausalitas

Didalam delik-delik yang dirumuskan secara materiil (selanjutnya disebut delik materiil), terdapat unsur akibat sebagai suatu keadaan yang dilarang dan merupakan unsur yang menentukan (essentialia dari delik tersebut). Berbeda dengan dengan delik formil terjadinya akibat itu hanya merupakan accidentalia, bukan suatu essentialia, sebab jika disini tidak terjadi akibat yang dilarang dalam delik itu, maka delik (materiil) itu tidak ada, paling banyak ada percobaan.

Misalnya :

Pasal 338 KUHP : Barang siapa dengan sengaja merampas nyawa orang lain dihukum karena pembunuhan.

Keadaan yang menentukan di sini adalah terampasnya nyawa seseorang. Contoh : matinya si A.

(57)

A. “akibat” ini artinya “perubahan atas suatu keadaan” dimana dapat berupa suatu pembahayaan atau perkosaan terhadap kepentingan hukum.

Hubungan sebab akibat

(causaliteitsvraagstuk) ini penting dalam delik materiil. Selain itu juga merupakan persoalan pada delik-delik yang dikualifikasi oleh akibatnya (door het gevolg gequafili ceerde delicten) misal pasal-pasal : 187, 188, 194 ayat 2, 195 ayat 2, pasal-pasal 333 ayat 2 dan 3, 334 ayat 2 dan 3, 351 ayat 2 dan 3, 355 ayat 2 dan 3 KUHP.

Persoalan kausalias ini terjadi karena kesulitan untuk menetapkan apa yang menjadi sebab dari suatu akibat. Perlu diketahui bahwa persoalan ini tidak hanya terdapat dalam lingkungan hukum pidana saja, akan tetapi juga dalam lapangan hukum lainnya. Misalnya hukum perdata dalam penentuan ganti rugi dan dalam hukum dagang misalnya dalam persoalan asuransi.

(58)

sebagai sebab dari suatu kejadian, maka terjadilah beberapa teori kausalita. Teori-teori hendak menetapkan hubungan obyektif antara perbuatan (manusia) dan akibat, yang tidak dikehendaki oleh undang-undang. Akibat kongkrit harus bisa ditelusuri sampai ke sebab.

Akan tetapi sebenarnya tidak boleh dipandang terlampau sederhana. Dalam filsafat terdapat “peringatan”, bahwa kejadian “B” yang terjadi sesudah kejadian “A”, belum tentu disebabkan karena kejadian “A” (post hoc non propter hoc).

B. Teori-teori Kausalitas (ajaran-ajaran kausalitas) B.1. Teori Ekivalensi (aquivalenz-theorie) atau Bedingungstheorie atau teori condition sine qua non dari von Buri

(59)

kongkrit, seperti yang senyata-nyatanya, menurut waktu, tempat dan keadaannya. Tidak ada syarat yang dapat dihilangkan (lazim dirumuskan “nicht hiin weggedacht warden kann dan seterusnya) tanpa menyebabkan berubahnya akibat.

Contoh : A dilukai ringan, kemudian dibawa ke dokter. Di tengah jalan ia kejatuhan genting, lalu mati. Penganiayaan ringan terhadap A itu juga merupakan sebab dari matinya A.

Teori ekivalensi ini memakai pengertian “sebab” sejalan dengan pengertian yang dipakai dalam logika. Dalam hubungan ini baik dikemukakan, bahwa terlepas satu sama lain, John Stuart Mill (di Inggris) dalam bukunya : Sistem of Logic berpendapat, “bahwa “sebab itu adalah “the whole of antecedents” (1843).

(60)

Kritik / keberatan terhadap teori ini : hubungan kausal membentang ke belakang tanpa akhir, sebab tiap-tiap “sebab” sebenarnya merupakan “akibat” dari “sebab” yang terjadi sebelumnya.

Jadi misal : B ditikam oleh A sampai mati. Yang merupakan sebab bukan hanya ditikam A, tetapi juga penjualan pisau itu kepada A dan penjualan pisau itu tidak ada, apabila tidak ada pembuatan pisau.

Jadi pembuatan pisau itu juga “sebab” dan begitu seterusnya. Berhubungan dengan keberatan itu, maka ada teori-teori lain yang hendak membatasi teori tersebut teori-teori yang akan disebutkan di bawah ini, mengambil dari sekian faktor yang menimbulkan akibat itu beberapa faktor yang kuat (dominant), sedang faktor lainnya dipisahkan sebagai faktor-faktor yang irrelevant (yang tidak perlu / penting).

(61)

dapat dipandang sebagai pangkal dari teori-teori lain.

B.2. Teori-teori Individualisasi

Teori-teori ini memilih secara post actum (inconcreto), artinya setelah peristiwa kongkrit terjadi, dari serentetan faktor yang aktif dan pasif dipilih sebab yang paling menentukan dari peristiwa tersebut; sedang faktor-faktor lainnya hanya merupakan syarat belaka. Penganut-penganutnya tidak banyak antara lain :

1. Birkmayer (1885) mengemukakan : sebab adalah syarat yang paling kuat (Ursache ist die wirksamste Bedingung)

2. Binding. Teorinya disebut

“Ubergewichtstheorie)”

(62)

syarat terakhir yang menghilangkan keseimbangan dan memenangkan faktor positif itu.

B.3. Teori-teori generalisasi

Teori-teori ini melihat secara ante factum (sebelum kejadian/in abstracto) apakah diantara serentetan syarat itu ada perbuatan manusia yang pada umumnya dapat menimbulkan akibat semacam itu, artinya menurut pengalaman hidup biasa, atau menurut perhitungan yang layak, mempunyai kadar (kans) untuk itu. Dalam teori ini dicari sebab yang adequate untuk timbulnya akibat yang bersangkutan (ad-aequare artinya dibuat sama). Oleh karena itu teori ini disebut teori adequat (teori adequate, Ada-quanzttheorie). Contoh-contoh tentang ada atau tidaknya hubungan sebab akibat yang adequat :

(63)

Ini suatu akibat yang abnormal, yang tidak biasa.

b. Seorang yang menyetir mobil terpaksa mengerem sekonyong-konyong, oleh karena ada pengendara sepeda hendak menyebrang jalan yang membelok, sedang ini tidak disangka-sangka oleh pengendara mobil. Pengendara mobil ini mendapat penyakit trauma karena menekan urat. Dianipun dapat dikatakan bahwa perbuatan pengendara sepeda itu tidak merupakan penyebab yang adequate untuk timbulnya penyakit trauma tersebut.

(64)

perbuatan petani itu benar-benar mempunyai kadar untuk matinya seseorang.

Hal yang merupakan persoalan dalam teori ini ialah : bagaimanakah penentuannya, bahwa suatu sebab itu pada umumnya cocok untuk menimbulkan akibat tertentu itu ? Mengenai hal ini ada beberapa pendirian. Disini disebut antara lain : 1. Penentuan subyektif (subjective ursprungliche Prognose). Disini yang dianggap sebab ialah apa yang oleh sipembuat dapat diketahui / diperkirakan bahwa apa yang dilakukan itu pada umumnya dapat menimbulkan akibat semacam itu (Von Kries jadi pandangan atau pengetahuan si pembuatlah yang menentukan).

2. Penentuan obyektif.

(65)

Dasar penentuan (Beurteilungs standpunkte) ini disebut “objektive nachtragliche Prognose” (Rumelin).

Sebenarnya dalam teori kausal adequat subyektif (Von Kries) itu tersimpul unsur penentuan tentang kesalahan); oleh karena itu dapat dikatakan bahwa teori adequate subyektif dari von Kries ini bukan teori kausalitas yang murni. Sebab suatu perbuatan baru dianggap sebagai sebab yang adequate apabila sipembuat dapat mengira-ngirakan atau membayangkan (voor zien) akan terjadinya akibat atau kalau orang umumnya membayangkan terjadinya akibat itu; jadi sipembuat dapat membayangkan dan seharusnya dapat membayangkan. Oleh karena dalam ajaran tersebut tersimpul unsur kesalahan, maka ia juga menentukan pertanggunganjawab (pidana), jadi bukan teori kausalitas dalam arti yang sesungguhnya.

(66)

petir ia menyuruh pekerjanya itu pergi ke suatu tempat dengan harapan agar orang itu disambar petir. Harapan itu terkabul dan pekerjanya itu mati disambar petir.

Menurut teori ekivalensi : ya, sebab seandainya pekerja itu tidak disuruh keluar oleh majikan, maka ia tidak mati. Konsekwensi ini umumnya dipandang terlalu jauh. Oleh karena itu lebih memuaskan apabila dipakai teori adequate. Menurut teori ini : perbuatan menyuruh orang ke tempat lain pada umumnya tidak mempunyai kadar untuk kematian seseorang karena disambar petir. Penyambaran petir adalah hal yang kebetulan. Dengan ini maka tidak ada hubungan kausal, sehingga juga tidak ada pemidanaan. Beberapa penganut teori adequat yang lain : 1. Simons :

(67)

2. Kami (Ringkasan Hukum Pidana hal. 47) berpendirian senada dengan Simons. Beliau katakan : “Kehidupan hukum dan perhubungan hukum itu terdiri atas persangkaan, (presumptie), bahwa alur peristiwa di dunia ini ada biasa dan normal. Ini kesimpulan pengalaman kita sebagai manusia. Syarat yang pada umumnya, biasanya, dengan mengikuti hal ikhwal yang berada dan menurut pengalaman kita, dengan kadarnya memadai sesuatu akibat, itulah yang dianggap sebagai suatu sebab”.

3. Pompe : yang disebut sebab ialah perbuatan-perbuatan yang dalam keadaan tertentu itu mempunyai strekking untuk menimbulkan akibat yang bersangkutan.

(68)

merupakan sebab dari sesuatu akibat yang dimaksudkan dalam rumusan delik yang bersangkutan.

Mengenai teori adequat dari von Kries, itu dapat juga dikatakan, bahwa teori tersebut sesuai dengan jiwa hukum pidana. Hukum Pidana itu mempunyai tugas untuk melindungi kepentingan hukum terhadap perkosaan dan perbuatan yang membahayakan. Berhubung dengan tugas tersebut maka hukum pidana harus membuat “pagar” terhadap perbuatan-perbuatan yang agaknya mendatangkan kerugian. Dalam hal ini teori adequat dapat menunjukkan perbuatan-perbuatan tersebut. Akan tetapi kelemahan teori ini tidak mudah dalam kenyataan, ia menggunakan istilah-istilah yang tidak terang misalnya biasanya, kadar, pengalaman manusia pada umumnya dan sebagainya.

Dalam yurisprudensi Hindia Belanda, yang sesuai dengan asas konkordantie pada waktu itu, mengikuti yurisprudensi Negeri Belanda, tidak terlihat dengan nyata teori mana yang dipakai.

(69)

bahwa antara perbuatan dan akibat harus ada hubungan yang langsung dan seketika (onmiddellijk en rechtsreeks)

a. Putusan Raad van Justitie Batavia 23 Juli 1937 (. 147 hal 115) sebuah mobil menabrak sepeda motor. Pengendara sepeda motor terpental ke atas rel dan seketika itu dilindas oleh kereta api. Terlindasnya pengendara sepeda motor oleh kereta api itu dipandang oleh pengadilan sebagai akibat langsung dan segera dari penabrakan sepeda motor oleh mobil. Maka matinya si korban dapat dipertanggungjawabkan atas kesalahan si terdakwa (pengendara mobil).

b. Putusan Politierechter Bandung 5 April 1933

(70)

c. Putusan Politierechter Palembang 8 Nopember 1936 diperkuat oleh Hooggerechtshof 2 Pebruari 1937.

Perbuatan terdakwa yang tidak menarik seorang pengemudi mobil yang sembrono dari tempat kemudi (stuur) dan membiarkan pengemudi tersebut terus menyopir tidak dianggap sebagai sebab dari kecelakaan yang terjadi, oleh karena antara perbuatan terdakwa dan terjadinya kecelakaan itu tidak terdapat hubungan yang langsung. Perbuatan terdakwa, yang membiarkan pengemudi itu tetap menyopir, hanya dipandang sebagai suatu syarat dan bukan sebab.

(71)

Di dalam pertimbangan juga disebut bahwa perbuatan terdakwa mempunyai “hubungan erat” dengan “kecelakaan itu”.

C. Kausalitas dalam hal tidak berbuat

Persoalan ini timbul dalam delik-delik omissi dan dalam delik comisionis per ommisionem commissa (delik omissi yang tak sesungguhnya). Jenis kedua ini sebenarnya delik commissi yang dilakukan dengan “tidak berbuat”. Pada delik omissi persoalannya mudah, karena delik omissi itu adalah delik formil, sehingga tidak ada persoalan tentang kausalitas.

Yang ada persoalan ialah pada delik commisionis per omission commissa. Pada delik ini ada pelanggaran larangan dengan “tidak berbuat”. Dalam persoalan ini ada beberapa pendirian :

(72)

pengetahuan rokhani (seperti hukum pidana ini).

b. Yang disebut sebab ialah perbuatan yang positif yang dilakukan oleh sipembuat pada saat akibat itu timbul. Misal : dalam hal seorang ibu membunuh anaknya dengan tidak memberi susu, yang disebut sebagai sebab ialah “sesuatu yang dilakukan ibu itu pada saat ia tidak memberi susu itu, misal pergi ke toko. Teori ini dinamakan “teori berbuat lain. Teori inipun tidak dapat diterima, karena kepergian ibu itu tidak bisa dianggap ada perhubungan dengan akibat itu.

(73)

d. Seseorang yang tidak berbuat dapat dikatakan sebab dari sesuatu akibat, apabila ia mempunyai kewajiban hukum untuk berbuat. Kewajiban itu timbul dari hukum, tidak hanya yang nyata-nyata tertulis dalam suatu peraturan tetapi juga dari peraturan-peraturan yang tidak tertulis, ialah norma-norma lainyang berlaku dalam masyarakat yang teratur. Di bawah ini diberi contoh-contoh apakah ada kewajiban berbuat atau tidak :

1) Ada anak yang dibunuh; orang tuanya mengetahui hal ini, tetapi tidak berbuat apa-apa. Apakah orang tua bertanggung jawab sebagai ikut berbuat dalam pembunuhan ?

Jawab (Hof Amsterdam 23 Oktober 1883): tidak, tetapi memang sikap semacam itu sangat tercela (laakbaar) dan tidak patut.

(74)

Kesimpulan mengenai kausalitas dalam hal tidak berbuat : sekarang tidak ada persoalan lagi, bahwa tidak berbuat itu dapat menjadi sebab dari suatu akibat. “Tidak berbuat” sebenarnya juga merupakan “perbuatan”. Dalam delik commisionis per omissionem commissa (delik omissi yang tidak sesungguhnya) “tidak berbuat” itu bukannya “tidak berbuat sama sekali” akan tetapi “tidak berbuat

sesuatu”, yang diharapkan untuk

diperbuat/dilakukan. Maka dengan pengertian ini hal “tidak berbuat” pada hakekatnya sama dengan “berbuat sesuatu”, dalam arti dapat menjadi syarat untuk terjadinya suatu akibat. Sedang menurut teori adequate, mengingat keadaan yang kongkrit, dapat juga mempunyai kadar untuk terjadinya akibat, jadi juga dapat menjadi “sebab”.

Akhirnya perlu diperhatiakn bahwa soal hubungan kausal ini terletak dalam segi obyektif (yang menyangkut perbuatan) dari keseluruhan syarat pemidanaan, jadi harus dibedakan dari persoalan kesalahan atau pertanggungan jawab pidana yang merupakan segi subyektifnya, ialah yang menyangkut orangnya.

(75)

BAB IV

SIFAT MELAWAN HUKUM

(Rechtswdrig, Unrecht, Wederrechtelijk,

Onrechmatig)

A. Istilah dan Pengertian

(76)

a. tegas dipakai istilah “melawan hukum”, (wederrechtelijk) dalam pasal 167, 168, 335 (1), 522;

b. dengan istilah lain misalnya : “tanpa mempunyai hak untuk itu” (pasal 303, 548, 549); “tanpa izin” (zonder verlof) (pasal 496, 510); “dengan melampaui kewenangannya” (pasal 430); “tanpa mengindahkan cara-cara yang ditentukan oleh peraturan umum” (pasal 429).

Alasan pembentuk undang-undang itu mencantumkan unsur sifat melawan hukum itu tegas-tegas dalam sesuatu rumusan delik karena pembentuk undang-undang khawatir apalagi unsur melawan hukum itu tak dicantumkan dengan tegas, yang berhak atau berwenang untuk melakukan perbuatan-perbuatan sebagaimana dirumuskan dalam undang-undang itu, mungkin dipidana pula.

Arti istilah bersifat melawan hukum itu terdapat tiga pendirian:

(77)

2. bertentangan dengan hak (subyektief recht) orang lain (Noyon)

3. tanpa kewenangan atau tanpa hak, hal ini tidak perlu bertentangan dengan hukum (H.R).

Salah satu unsur dari tindak pidana adalah unsur sifat melawan hukum. Unsur ini merupakan suatu penilaian obyektif terhadap perbuatan, dan bukan terhadap si Pembuat. Bilamana sesuatu perbuatan itu dikatakan melawan hukum ? Orang akan menjawab : “apabila perbuatan itu masuk dalam rumusan delik sebagaimana dirumuskan dalam undang-undang”. Dalam bahasa Jerman ini disebut “tatbestandsmaszig”. Tasbestand disini dalam arti sempit, ialah unsur seluruhnya dari delik sebagaimana dirumuskan dalam peraturan pidana. Tasbestand dalam arti sempit ini terdiri atas tasbestand mer male, ialah masing-masing unsur dari rumusan delik.

(78)

ada hal yang menghilangkan sifat melawan hukumnya perbuatan tersebut. Misalnya dalam melaksanakan perintah undang-undang (ps. 50 KUHP) :

1) regu penembak, yang menembak mati seorang terhukum yang telah dijatuhi hukuman pidana mati, memenuhi unsur-unsur delik tersebut pasal 338 KUHP. Perbuatan mereka tidak melawan hukum.

2) Jaksa menahan orang yang sangat

dicurigai telah melakukan kejahatan. Ia tidak dapat dikatakan melakukan kejahatan tersebut pasal 333 KUHP, karena ia melaksanakan undang-undang (terdapat dalam peraturan hukum acara pidana) sehingga tidak ada unsur melawan hukum.

Di dalam kedua contoh tersebut hal yang menghapuskan sifat melawan hukumnya perbuatan terdapat di dalam undang-undang. Namun dalam kasus :

(79)

- seorang menembak mati temannya atas permintaan sendiri, karena ia luka-luka berat dan tidak mungkin hidup terus, apalagi jauh dari dokter, karena dalam ekspedisi di Kutub Selatan

- seorang bioloog membedah binatang-binatang (vivisectie) untuk penyelidikan ilmiah.

Maka timbul persoalan ada tidaknya sifat melawan hukumnya perbuatan. Contoh lain yang mempermasalahkan unsur melawan hukum adalah :

- Putusan PN Sawahlunto 10 Setember 1936

(80)

Pengadilan Negeri berpendapat perbuatan Mamak cs melanggar pasal KUHP (merusak ketentraman rumah), dan memidana Mamak 3 bulan penjara dan lain-lainnya masing-masing 2 bulan. Alasan

- Arrest Hoge Raad 20 Pebruari 1933

(81)

mesti dipidana, apabila undang-undang sendiri tidak dengan tegas-tegas menyebut adanya alasan-alasan penghapus pidana, mungkin sekali dapat terjadi, bahwa unsur sifat melawan hukum tidak dicantumkan di dalam rumusan delik dan meskipun demikian tidak ada pemidanaan, karena dalam hal ini sifat melawan hukumnya perbuatan ternyata tidak ada, sehingga oleh karenanya pasal yang bersangkutan tidak berlaku terhadap perbuatan yang secara letterlijk memenuhi rumusan delik”.

Pembagian Ajaran Sifat Melawan Hukum

Menjawab persoalan tersebut maka hukum pidana membagi ajaran sifat melawan hukum dalam dua sudut pandang yaitu :

1. menurut ajaran sifat melawan

hukum yang formil

(82)

undang-undang; sedang sifat melawan hukumnya perbuatan itu dapat hapus, hanya berdasarkan suatu ketentuan undang-undang. Jadi menurut ajaran ini melawan hukum sama dengan melawan atau bertentangan dengan undang-undang (hukum tertulis).

Menurut Simons, “Memang boleh diakui, bahwa suatu perbuatan, yang masuk larangan dalam sesuatu undang-undang itu tidaklah mutlak bersifat melawan hukum, akan tetapi tidak adanya sifat melawan hukum itu hanyalah bisa diterima, jika di dalam hukum positif terdapat alasan untuk suatu pengecualian berlakunya ketentuan / larangan itu. Alasan untuk menghapuskan sifat melawan hukum tidak boleh diambil di luar hukum positif dan juga alasan yang disebut dalam undang-undang tidak boleh diartikan lain daripada secara limitatief.

2. menurut ajaran sifat melawan

hukum yang materiil

(83)

(yang tertulis) saja, akan tetapis harus dilihat berlakunya azas-azas hukum yang tidak tertulis. Sifat melawan hukumnya perbuatan yang nyata-nyata masuk dalam rumusan delik itu dapat hapus berdasarkan ketentuan undang-undang dan juga berdasarkan aturan-aturan yang tidak tertulis (uber gezetzlich).

Jadi menurut ajaran ini melawan hukum sama dengan bertentangan dengan undang-undang (hukum tertulis) dan juga bertentangan dengan hukum yang tidak tertulis termasuk tata susila dan sebagainya sebagaimana para sarjana yang menganut ajaran sifat melawan hukum yang meteriil ialah :

(84)

bertentangan dengan tujuan itu, maka tidak bersifat melawan hukum.

b) Zu Dohna mengatakan :

Suatu perbuatan itu tidak melawan hukum jika perbuatan itu merupakan upaya yang haq untuk tujuan yang haq (richtiges Mittel zum techten zwecke). Contohnya ialah seorang yang memukulpemuda yang memperkosa anak perempuannya. Di sini menurut Zu Dohna perbuatan ayahnya tidak bersifat melawan hukum.

c) M.E. Mayer mengatakan :

Perbuatan itu melawan hukum materiil atau tidak, ditentukan oleh norma kebudayaan (kulturnorm). Sifat melawan hukum itu, berarti bertentangan dengan kulturnorm yang diakui oleh negara. Kalau perbuatan itu sesuai dengan kulturnorm itu maka sifat melawan hukumnya hapus.

(85)

Onrechtmatigheid adalah syarat yang umum, obyektif yang berdiri sendiri, yang biasanya ada jika suatu perbuatan memenuhi rumusan delik dalam undang-undang, tetapi mengenai hal itu harus diselidiki untuk tiap-tiap kejadian yang kongkrit, apakah yang diharapkan oleh ketertiban hukum. Dalam hal ada keraguan mengenai sifat melawan hukum maka tidak boleh ada penjatuhan pidana.

e) Van Hattum

Dengan adanya keputusan Hoge Raad tentang dokter hewan Huizen itu, ia katakan : dengan itu menurut hemat saya (mer van Hattum) telah diterima ajaran sifat melawan hukum yang materiil oleh Hoge Raad dan telah dipecahkan persoalan mer azas-azas yang boleh dikatakan benar dalam ajaran “penentuan hukum” dewasa ini (in de hedendaagse leer Her rechtsvir onbetwist).

(86)

hati-hati, dan istimewa hakim harus membuka diri pada peristiwa-peristiwa yang kongkrit. Misal abortus protus (ps. 348 KUHP) bisa tidak melanggar hukum berdasarkan petunjuk eugenetisch atau sosial. (Eugenetiek adalah ajaran yang mempelajari perbaikan ras / keturunan).

Kesimpulan mengenai persoalan melawan hukumnya perbuatan, bila suatu perbuatan itu memenuhi rumusan delik, maka itu menjadikan tanda / indikasi bahwa perbuatan itu bersifat melawan hukum. Akan tetapi sifat itu hapus apabila diterobos dengan adanya alat pembenar (rechtvaardigingsgrond). Bagi mereka yang menganut ajaran sifat melawan hukum yang formil alasan pembenar itu hanya boleh diambil dan hukum yang tertulis, sedang penganut ajaran sifat melawan hukum yang materiil alasan itu boleh diambil dan luar hukum yang tertulis.

(87)

a). Apabila ada persoalan mengenai hukum yang tidak tertulis yang bertentangan dengan hukum yang tertulis, maka perlu dipertimbangkan betul-betul sampai dimanakah hukum tak tertulis itu dapat menyisihkan peraturan yang tertulis, yang dibuat dengan sah. Benarkah yang dipandang adil oleh suatu golongan dalam masyarakat biasa, juga dipandang adil / benar oleh seluruh masyarakat pada umumnya.

b). Apabila ada persoalan mengenai hukum yang tidak tertulis yang bertentangan dengan hukum yang tertulis, maka perlu dipertimbangkan betul-betul sampai dimanakah hukum tak tertulis itu dapat menghapuskan kekuatan berlakunya peraturan yang tertulis dsb.

c). Sampai dimanakah rasa keadilan dan keyakinan masyarakat dapat menyisihkan peraturan yang tertulis, yang dibuat dengan sah.

(88)

lebih-lebih keadaan masyarakat Indonesia yang dinamis yang bergerak menuju suatu masyarakat yang dicita-citakan, ialah masyarakat Pancasila mata, pikiran dan perasaan hakim harus tajam untuk dapat menangkap apa yang sedang terjadi dalam masyarakat, agar supaya putusannya tidak kedengaran sumbang. Hakim dengan seluruh kepribadiannya harus bertanggung jawab atas kebenaran keputusannya, baik secara formil maupun secara materiil.

Mengenai pengertian melawan hukum yang materiil itu perlu dibedakan :

- dalam fungsinya yang negatif

Ajaran sifat melawan hukum yang materiil dalam fungsinya yang negatif mengakui kemungkinan adanya hal-hal yang ada di luar undang-undang melawan hukumnya perbuatan yang memenuhi rumusan undang-undang, jadi hal tersebut sebagai alasan penghapus sifat melawan hukum.

(89)

Pengertian sifat melawan hukum yang materiil dalam fungsinya yang positif menganggap sesuatu perbuatan tetap sebagai sesuatu delik, meskipun tidak nyata diancam dengan pidana dalam undang-undang, apabila bertentangan dengan hukum atau ukuran-ukuran lain yang ada di luar undang-undang. Jadi disini diakui hukum yang tak tertulis sebagai sumber hukum yang positif.

(90)

anggapan bahwa hutang nyawa harus disaur dengan nyawa.

B. Pembuktian Unsur Sifat Melawan Hukum

Unsur sifat melawan hukum itu ada dalam rumusan delik :

1. ada yang tercantum dengan

tegas, maka dalam hal ini adanya unsur tersebut harus dibuktikan

2. ada pula yang tidak

tercantum. Terhadap delik-delik semacam itu ada perbedaan paham :

a. Jika unsur sifat melawan hukum dianggap mempunyai fungsi yang positif untuk sesuatu delik (artinya ada delik kalau perbuatan itu bersifat melawan hukum), maka harus dibuktikan. Sifat melawan hukum disini sebagai unsur konstitutif.

(91)

perbuatan merupakan pengecualian untuk adanya suatu delik), maka tidak perlu dibuktikan.

Yang menganggap sifat melawan hukum itu mempunyai fungsi yang positif (merupakan unsur konstitutif) a.l. van Hamel dan Zevenbergen. Yang menganggap sifat melawan hukum mempunyai fungsi yang negatif adalah Simons. Pendapat Simons, “ajaran sifat melawan hukum untuk hukum pidana pada umumnya hanyalah mempunyai hubungan dengan pertanyaan apakah ada pengecualian yang menyebabkan hapusnya sifat melawan hukum”.

(92)

undang-undang sifat melawan hukumnya perbuatan sudah ternyata pula. Hazewinkel-Suringa memandang sifat melawan hukum hanya sebagai tanda ciri dari tindak pidana.

C. Putatif Delik

(93)

BAB V

KESALAHAN DAN

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA

1. Pengertian Kemampuan Bertanggungjawab

(Zurechnungsfahigkeit

(94)

Telah disebutkan, bahwa untuk adanya pertanggung-jawab pidana diperlukan syarat bahwa pelaku mampu bertanggung jawab. Tidaklah mungkin seseorang dapat dipertanggungjawabkan apabila ia tidak mampu bertanggung jawab.

Bilamana seseorang itu dikatakan mampu bertanggung-jawab ? Apakah ukurannya untuk menyatakan adanya kemampuan bertanggung jawab itu ? KUHP tidak memberikan rumusannya. Dalam literatur hukum pidana Belanda dijumpai beberapa definisi untuk “kemampuan bertanggung jawab”.

Simons : “kemampuan bertanggung jawab dapat diartikan sebagai suatu keadaan psychis sedemikian, yang membenarkan adanya penerapan sesuatu upaya pemidanaan, baik dilihat dari sudut umum maupun dari orangnya”.

Dikatakan selanjutnya, bahwa seseorang mampu bertanggung jawab, jika jiwanya sehat, yakni apabila :

(95)

b. Ia dapat menentukan kehendaknya sesuai dengan kesadaran tersebut.

Van Hamel : kemampuan bertanggung jawab adalah suatu keadaan normalitas psychis dan kematangan (kecerdasan) yang membawa 3 kemampuan :

a. Mampu untuk mengerti nilai dari akibat-akibat perbuatannya sendiri

b. Mampu untuk menyadari, bahwa perbuatannya itu menurut pandangan masyarakat tidak dibolehkan

c. Mampu untuk menentukan kehendaknya atas perbuatannya-perbuatannya itu

Van Bemmelen : seseorang yang dapat dipertanggung-jawabkan ialah orang yang dapat mempertahankan hidupnya dengan cara yang patut.

(96)

Adapun Memorie van Toelichting (memori penjelasan) secara negative menyebutkan mengenai kemampuan bertanggung jawab itu, antara lain demikian :

Tidak ada kemampuan bertanggung jawab pada sipelaku :

a. Dalam hal ia tidak ada kebebasan untuk memilih antara berbuat dan tidak berbuat mengenai apa yang dilarang atau diperintahkan oleh undang-undang.

b. Dalam hal ia ada dalam suatu keadaan yang sedemikian rupa, sehingga tidak dapat menginsyafi bahwa perbuatannya itu bertentangan dengan hukum dan tidak dapat menentukan akibat perbuatannya.

(97)

perbuatannya itu dilarang oleh undang-undang dan berbuat sesuai dengan pikiran atau perasaannya itu.

Dalam persoalan kemampuan bertanggung jawab itu ditanyakan apakah seseorang itu merupakan “norm-adressat” (sasaran norma), yang mampu. Seorang terdakwa pada dasarnya dianggap (supposed) mampu bertanggung jawab, kecuali dinyatakan sebaliknya (lihat pembahasan tentang dasar-dasar penghapus pidana).

2. Kesalahan

2.1. Pengertian Kesalahan

(98)

untuk penjatuhan pidana. Untuk dapat dipertanggungjawabkannya orang tersebut masih perlu adanya syarat, bahwa orang yang melakukan perbuatan itu mempunyai kesalahan atau bersalah (subjective guilt). Dengan perkataan lain, orang tersebut harus dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatannya atau jika dilihat dari sudut perbuatnnya, perbuatannya harus dapat dipertanggungjawabkan kepada orang tersebut. Dalam hal ini berlaku asas “TIADA PIDANA TANPA KESALAHAN” atau Keine Strafe ohne Schuld atau Geen straf zonder Schuld atau Nulla Poena Sine Culpa (“culpa” disini dalam arti luas, meliputi juga kesengajaan).

(99)

dapat bertanggung jawab, telah bersalah atas perbuatan yang dituduhkan atas dirinya. Bahwa unsur kesalahan itu, sangat menentukan akibat dari perbuatan seseorang, dapat juga dikenal dari pepatah (Jawa) “sing salah, seleh” (yang bersalah pasti salah). Untuk adany pemidanaan harus ada kesalahan pada sipelaku. Asas “tiada pidana tanpa kesalahan” yang telah disebutkan di atas mempunyai sejarahnya sendiri.

Dalam ilmu hukum pidana dapat dilihat pertumbuhan dari hukum pidana yang menitikberatkan kepada perbuatan orang beserta akibatnya (Tatstrafrecht atau Erfolgstrafrecht) ke arah hukum pidana yang berpijak pada orang yang melakukan tindak pidana (taterstrafrecht), tanpa meninggalkan sama sekali sifat dari Tatstrafrecht. Dengan demikian hukum pidana yang ada dewasa ini dapat disebut sebagai Sculdstrafrecht, artinya bahwa, penjatuhan pidana disyaratkan adanya kesalahan pada si pelaku.

(100)

(asas) “Actus non facit reum nisi mens sit rea” atau disingkat dengan asas “mens rea”. Arti aslinya ialah “evil will” “guilty mind”. Mens rea merupakan subjective guilt melekat pada sipelaku subjective gilt ini berupa intent (kesengajaan setidak-tidaknya negligence (kealpaan).

2.2. Dasar Pemikiran

Filosofi dasar yang mempersoalkan kesalahan sebagai unsur yang menjadi persyaratan untuk dapat dipertanggungjawabkannya pelaku berpangkal pada pemikiran tentang hubungan antara perbuatan dengan kebebasan kehendak. Mengenai hubungan antara kebebasan kehendak dengan ada atau tidak adanya kesalahan ada 3 pendapat dari :

(101)

maka tidak ada pencelaan, sehingga tidak ada pemidanaan.

b. Aliran positivist yang melahirkan pandangan determinisme mengatakan, bahwa manusia tidak mempunyai kehendak bebas. Keputusan kehendak ditentukan sepenuhnya oleh watak (dalam arti naPasalu-naPasalu manusia dalam hubungan kekuatan satu sama lain) dan motif-motif ialah perangsang-perangsang yang datang dari dalam atau dari luar yang mengakibatkan watak tersebut. Ini berarti bahwa seseorang, tidak dapat dicela atas perbuatannya atau dinyatakan mempunyai kesalahan, sebab ia tidak punya kehendak bebas. Namun meskipun diakui bahwa tidak punya kehendak bebas, itu tak berarti bahwa orang yang melakukan tindak pidana tidak dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatannya.

Referensi

Dokumen terkait

Namun Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dalam hal ini pasal 284 yang mengatur mengenai Tindak Pidana Perzinahan tidak dapat mencegah perbuatan keji tersebut, karena yang

dengan aksi kejahatan tindak pidana terorisme ini. Judul Tinjauan Pelaksanaan Putusan Hakim Yang Mempunyai. Kekuatan Hukum Tetap Dalam Penjatuhan Pidana Mati ,

Dalam suatu tindak pidana dikatakan telah terjadi suatu perbarengan dalam kondisi, jika satu orang, melakukan lebih dari 1 tindak pidana, yang dapat dipertanggungjawabkan

kejahatan-kejahatan yang diatur dalam konvensi-konvensi internasional sebagai tindak pidana internasional, sedangkan istilah pidana trasnasional (tindak pidana trasnasional)

Seperti telah diketahui bahwa tindak pidana dapat dibagi dalam dua jenis yaitu tindak pidana kejahatan dan tindak pidana pelanggaran, begitu pula dalam hal

Namun Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dalam hal ini pasal 284 yang mengatur mengenai Tindak Pidana Perzinahan tidak dapat mencegah perbuatan keji tersebut, karena yang

Berdasarkan ketentuan undang-undang nomor 31 Tahun 1999 undang-undang nomor 20 tahun 2001, jenis penjatuhan pidana yang dapat dilakukan hakim terhadap terdakwa tindak pidana

Perjudian merupakan penyakit sosial. Di dalam hukum positif, perbuatan judi sebagai tindak pidana kejahatan yakni dengan diterbitkannya Undang-Undang Nomor 7 Tahun