• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGARUH PADAT TEBAR TERHADAP PERTUMBUHAN DAN KUALITAS UDANG WINDU (Penaeus monodon) PADA SISTEM NURSERI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "PENGARUH PADAT TEBAR TERHADAP PERTUMBUHAN DAN KUALITAS UDANG WINDU (Penaeus monodon) PADA SISTEM NURSERI"

Copied!
46
0
0

Teks penuh

(1)

THE GROWTH AND QUALITY OF TIGER SHRIMP (Penaeus monodon) IN DIFFERENT DENSITY DURING NURSERY PHASE

By

Aris Candra Prihantoro

ABSTRACT

(2)

PENGARUH PADAT TEBAR TERHADAP PERTUMBUHAN DAN KUALITAS UDANG WINDU (Penaeus monodon) PADA SISTEM NURSERI

Oleh

Aris Candra Prihantoro

ABSTRAK

Budidaya udang windu (Penaeus monodon) skala tradisional memiliki kekurangan diantaranya produktifitas tambak yang rendah. Salah satunya disebabkan oleh benur yang ditebar belum mampu menghadapi lingkungan tambak yang fluktuatif. Kelemahan tersebut dapat diatasi dengan sistem nurseri (pengasuhan) yang dapat meningkatkan kualitas benur dalam hal ukuran dan meningkatkan kemampuan beradaptasi pada lingkungan tambak. Kegiatan nurseri merupakan pemeliharaan benur dari post larva (PL) menjadi gelondong dengan masa pemeliharaan maksimal 14 hari. Nurseri juga dilakukan untuk meminimalisasi variasi pertumbuhan. Tujuan dari penelitian untuk mengetahui pertumbuhan dan kualitas gelondong udang windu serta kepadatan optimal yang sesuai dengan lingkungan tambak tradisional di Kecamatan Pasir Sakti Kabupaten Lampung Timur. Perlakuan padat tebar yang digunakan adalah 750 ekor/m2, 1250 ekor/m2, 1750 ekor/m2, dan 2250 ekor/m2 yang dipelihara dalam hapa pada tambak irigasi. Pengamatan kualitas gelondong dilakukan dengan mengamati isi usus, keseragaman, nekrosis, dan penempelan sedangkan pengamatan pertumbuhan dilakukan dengan mengukur panjang dan berat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan padat tebar berbeda nyata pada pertumbuhan berat dan panjang tetapi tidak berbeda nyata pada kelulushidupan. Kualitas gelondong dan pertumbuhan terbaik ditunjukkan oleh perlakuan kepadatan 750 ekor/m2. Produksi gelondong terbanyak diperoleh dari perlakuan 2250 ekor/m2. Analisis usaha menunjukkan keuntungan tertinggi diperoleh dengan pemeliharaan benur pada kepadatan 1750 ekor/m2. Lingkungan tambak irigasi yang kurang terkontrol hanya mampu memberikan hasil terbaik pada kepadatan 750 ekor/m2 dalam hal pertumbuhan dan kualitas gelondong.

(3)
(4)
(5)
(6)

Dengan ini saya meny

uk mendapat gelar akademik (Sarjana/Ahli Ma

mpung maupun di perguruan tinggi lainnya.

ni murni gagasan, rumusan, dan penelitian say

k lain, kecuali arahan tim pembimbing.

ulis ini tidak terdapat karya atau pendapat ya

kasikan orang lain, kecuali secara tertulis

n sebagai acuan dalam naskah dengan disebutkan na

kan dalam daftar pustaka.

saya buat dengan sesungguhnya dan apabila di

pangan dan ketidakbenaran dalam pernyataan

rima sanksi akademik berupa pencabutan g

na karya tulis ini, serta sanksi lainnya yang

rlaku di Perguruan Tinggi ini.

Bandar Lampung, Okt

Yang Membuat Perny

dan belum pernah

Madya), baik di

saya sendiri, tanpa

yang telah ditulis

ulis dengan jelas

(7)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Tanjung Karang, Bandar Lampung

pada tanggal 01 Agustus 1991, sebagai anak keenam dari

enam bersaudara dari pasangan Bapak Sigit Rasino dan Ibu

Sulastri.

Penulis menyelesaikan pendidikan di Sekolah Dasar Negeri 7 Bagelen Gedong

Tataan Pesawaran pada tahun 2003. Menyelesaikan pendidikan di SMP Negeri 1

Gedong Tataan Pesawaran pada tahun 2006 serta menamatkan pendidikan di

SMA Negeri 7 Bandarlampung pada tahun 2009.

Tahun 2010, penulis mendapatkan kesempatan untuk melanjutkan pendidikan S1

ke Perguruan Tinggi Universitas Lampung di Fakultas Pertanian, Jurusan

Budidaya Perairan melalui jalur SNMPTN (Seleksi Nasional Masuk Perguruan

Tinggi Negeri). Selama menjadi mahasiswa penulis ikut organisasi di Himpunan

Mahasiswa Budidaya Perairan Unila (HIDRILA) sebagai anggota bidang

Kerohanian pada tahun 2011-2012.

Alhamdulillah selama perkuliahan dari semester 4 s/d 9, penulis mendapatkan

bantuan dana untuk bisa terus melanjutkan kuliah melalui program beasiswa

(8)

Selama menikmati masa perkuliahan pada bulan Juli 2013 selama 30 hari penulis

mengikuti Praktik Umum (PU) di Balai Besar Pengembangan Budidaya Laut

(BBPBL) Lampungdengan judul “Pembenihan Ikan Kerapu Bebek (Cromileptees altivelis)”.Kemudian penulis juga mengikuti Kuliah Kerja Nyata (KKN) di Pekon

Labuhan Ratu, Kecamatan Pasir Sakti Kabupaten Lampung Timur selama 40 hari.

Dan yang terakhir penulis melakukan penelitian yang berjudul “Pengaruh Padat Tebar terhadap Pertumbuhan dan Kulitas Udang Windu (Penaeus monodon)” di

lokasi pertambakkan Desa Purworejo Kecamatan Pasir Sakti Kabupaten Lampung

(9)

PERSEMBAHAN

Karya ini ku persembahakan sebagai tanda baktiku

kepada kedua orang tua, Ibu dan Bapak serta

Keluarga yang selalu mendoakan

dan memberikan motivasi

.

Untuk sahabat-sahabatku

serta semua pihak yang ikut membantu

menyelesaikan skripsi ini.

(10)

A

✁✂ ✄☎ ✆✝✁✆✝ ✞ ✁✟ ✠✡ ✁✆✝

-

✠✡ ✁✆✝ ☛ ✁✆✝ ☞ ☎ ✡✌ ✄ ✁✆ ✍✌

✁ ✆✟ ✁ ✡✁ ✞ ✁ ✌✁✆ ✍✁✆ ✠ ✡✁✆✝

orang yang diberi ilmu

dengan beberapa derajat.

(QS Al - Mujadalah [58]: 11)

Sebaik

baiknya manusia adalah yang paling banyak

manfaatnya bagi manusia yang lain.

~

HR. Thabrani

~

Kesempatan akan menjadi nol apabila kita berhenti

berusaha.

~ Aris Candra ~

Semakin tinggi prestasi yang dicapai, maka cobaan

akan membuat kita semakin kuat.

(11)

SANWACANA

Dengan menyebut nama Allah SWT Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang,

segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas limpahan

rahamat dan dan karunia – Nya yang telah diberikan kepada penulis, sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan gelar

Sarjana Perikanan (S.Pi) pada program studi Budidaya Perairan, Fakultas

Pertanian Universitas Lampung dengan judul “Pengaruh Padat Tebar terhadap Pertumbuhan dan Kualitas Udang Windu (Penaeus monodon) pada Sistem

Nurseri“.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Ir. Wan Abbas Zakaria, M.S, selaku dekan Fakultas

Pertanian Universitas Lampung.

2. Ibu Ir. Siti Hudaidah, M.Sc, selaku ketua program studi Budidaya Perairan

Fakultas Pertanian Universitas Lampung.

3. Bapak Ir. Suparmono, M.T.A. selaku dosen pembimbing akademik yang

memberikan motivasi penuh dalam penyelesaian skripsi ini.

4. Bapak Wardiyanto, S.Pi, M.P, selaku dosen pembimbing I yang dengan

sabar memberikan bimbingan dan masukan dalam penulisan skripsi ini.

5. Bapak Yudha T. Adiputra, S.Pi, M.Si, selaku dosen pembimbing II atas

(12)

6. Bapak Limin Santoso, S.Pi., M.Si, selaku dosen pembahas atas segala

kritik, saran dan bimbingan yang diberikan kepada penulis.

7. Bapak Ansori, Bapak Ali, Bapak Min, dan Pak Muhari, yang telah

membimbing dan memberikan solusi penulis selama melaksanakan

penelitian di Lampung Timur.

8. Ibunda dan ayahanda atas cinta dan kasih sayang, perhatian, pengorbanan

dan dukungan serta do’a yang selalu dipanjatkan demi kelancaran,

keselamatan dan kesuksesan hingga penulis bisa sampai pada tahap ini.

9. Kakak – kakakku yang senantiasa memberikan masukan moriil serta materiil sehingga penulis dapat menyelesaikan studi ini.

10. Teman-teman satu tim penelitian (Rico Wahyu, dan Nyi Ayu) yang selalu

solid dan kompak dari awal sampai akhir penelitian.

11. Sahabat seperjuangan Ahmad Fauzy, S.Pi dan M. Pebriansyah yang selalu

ada disaat susah maupun senang, yang selalu ada untuk penulis dari

menjadi mahasiswa sampai terselesaikannya skripsi dan telah menemani

penulis menjalankan hari-hari dikampus serta menjadi tempat menuangkan

isi hati.

12. Teman–teman Rekreasi, Imam, Jumaidi, Yuti, Eko, Rudi, Robert, Angga, Erwin, Anggi, Ginanjar, Ali, Bay, Hermawan, Ardi, Dimas yang selalu

menghibur penulis ketika masa sulit selama penelitian.

13. Teman–teman angkatan 2010, Adit, Median, Aan, Soma, Soffan, Sandy, Andi, Fadli, Aziz, Vina, Assovaria, Winda, Windi, Nikky, Rossi, Pratica,

Reinita, Yuli, Dwinda, Dike, Sera, Jelita, Rima, Dian, Safrina, Mauli,

(13)

Retno, S.Pi., terimakasih atas kekompakan kesolidan, kebersamaan, dan

persaudaraan kita selama ini sehingga kita semua mampu menghadapi

berbagai masalah bersama-sama..

14. Seluruh warga Budidaya Perairan Unila angkatan 2008, 2009, 2011, 2012

sampai 2013.

15. Desi Setianingrum dan Diana Nur’afni yang telah membantu dalam

penyelesaian skripsi ini.

16. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu dan telah banyak

membantu dalam penyelesaian skripsi ini.

Hanya dengan Do’a yang dapat penulis berikan untuk membalas budi semuanya. Semoga Allah SWT memberikan yang terbaik untuk kita semua, dan dengan

segala kerendahan semoga skripsi ini dapat diterima dan bermanfaat bagi kita

semua, Aamiin.

Bandar Lampung, Oktober 2014

(14)

xv 1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Tujuan Penelitian ... 3

1.3 Manfaat Penelitian ... 3

1.4 Hipotesis... 4

1.5 Kerangka Pikir ... 4

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Biologi Udang Windu (Penaus monodon)... 6

2.1.1 Klasifikasi ... 6

2.1.2 Morfologi ... 6

2.1.3 Sifat dan Kehidupan Udang Windu ... 7

2.1.4 Habitat ... 8

2.2 Padat Penebaran ... 8

2.3 Pengasuhan/Nurseri Budidaya Udang Windu ... 9

2.4 Budidaya Udang Windu Tradisional... 9

2.5 Irigasi Tambak ... 10

2.6 Pertumbuhan dan Perkembangan ... 10

2.7 Kelulushidupan ... 11

2.8 Pakan ... 12

2.9 Hapa ... 13

2.10 Kualitas Air ... 13

2.10.1 Suhu ... 13

2.10.2 Salinitas ... 14

2.10.3 Derajat Keasaman (pH) ... 15

2.10.4 Oksigen Terlarut ... 15

2.10.5 Kecerahan ... 16

III. METODE PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian ... 17

3.2 Alat dan Bahan ... 17

3.3 Konstruksi dan Kedalaman Tambak ... 17

3.4 Desain Penelitian ... 17

3.5 Prosedur Penelitian ... 19

(15)

xvi

3.5.2 Pelaksanaan Penelitian ... 19

3.5.2.1 Benur ... 19

3.5.2.2 Pengambilan Contoh... 20

3.5.2.3 Pengambilan Contoh Kualitas Air ... 20

3.5.2.4 Manajemen Pakan ... 20

3.6 Parameter yang Diamati ... 21

3.6.1 Kelulushidupan ... 21

3.6.2 Berat Tubuh... 21

3.6.3 Pertumbuhan Berat Harian... 22

3.6.4 Panjang Tubuh ... 22

3.6.5 Pertumbuhan Panjang Harian... 22

3.6.6 Koefisien Keragaman Panjang... 23

3.6.7 Kualitas Air ... 23

3.7 Analisis Data ... 23

3.8 Analisis Usaha ... 24

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Air ... 25

4.2 Kualitas Air ... 25

4.2.1 Suhu ... 26

4.2.2 Derajat Keasaman (pH) ... 27

4.2.3 Salintas... 28

4.3 Kualitas Benur ... 28

4.4 Kelulushidupan ... 30

4.5 Pertumbuhan ... 31

4.5.1 Pertumbuhan Panjang ... 31

4.5.2 Pertumbuhan Berat ... 34

(16)

xvii

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

1. Alat dan Bahan yang dibutuhkan dalam Penelitian... 17 2. Kiaran Nilai Parameter Kualitas Air pada Kegiatan Nurseri ... 26 3. Kisaran Nilai Parameter Kualitas Air Harian ... 26 4. Kualitas Gelondong Udang Windu (Penaeus monodon) pada

(17)

xviii

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

1. Skema Kerangka Pikir ... 5

2. Desain Penempatan Satuan Unit Perlakuan ... 18

3. Kelulushidupan Gelondong Udang Windu (Penaeus monodon) ... 30

4. Panjang Akhir Udang Windu (Penaeus monodon) ... 32

5. Pertumbuhan Panjang Udang Windu (Penaeus monodon) ... 32

6. Panjang Harian Udang Windu (Penaeus monodon)... 33

7. Koefisien Keragaman Gelondong Udang Windu (Penaeus monodon)... 34

8. Berat Akhir Gelondong Udang Windu (Penaeus monodon)... 35

9. Berat Harian Gelondong Udang Windu (Penaeus monodon) ... 35

(18)

✎i✎

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran Halaman

(19)

1

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Indonesia memiliki 70% wilayah perairan dengan daya dukung lingkungan yang

besar untuk memperoleh sumberdaya ikan dan udang (KKP, 2009). Pemanfaatan

sumberdaya alam melalui penangkapan ikan dan udang memberikan dampak yang

buruk sehingga upaya produksi melalui budidaya harus dikembangkan. Melalui

perusahaan dan petani udang, produksi udang di Indonesia memberikan hasil yang

optimal dan meningkatkan devisa negara serta menyediakan bahan makanan

berprotein tinggi bagi masyarakat domestik maupun internasional (Yuliati, 2009).

Ekspor udang di Indonesia ke berbagai negara tujuan seperti Jepang, Hongkong,

Singapura, Jerman, Australia, dan Uni Eropa yang selama ini diproduksi oleh

tambak intensif memiliki kendala dalam menjaga daya dukung lingkungan

tambak. Ciri – ciri dari tambak intensif adalah tingginya penggunaan pakan buatan, obat-obatan dan bahan kimia, yang pada akhirnya menimbulkan degradasi

lingkungan tambak. Berbagai kasus kematian udang windu (Penaeus monodon)

sejak tahun 1990-an, baik akibat dari daya dukung lingkungan yang menurun dan

infeksi penyakit seperti parasit, jamur, bakteri dan virus yang menyebabkan

(20)

2 Rendahnya produksi udang karena infeksi penyakit dan daya dukung lingkungan

yang rendah mendorong pemerintah tetap mempertahankan produksi udang

dengan sistem tambak tradisional (ekstensif). Penerapan tambak udang tradisional

mampu menjaga daya dukung lingkungan tambak dengan mengurangi pemberian

pakan buatan dan tidak menggunakan obat-obatan dan bahan kimia. Tambak

ekstensif memberikan peluang usaha dengan memproduksi udang windu organik

yang menjadi primadona di pasar internasional karena memiliki harga yang lebih

tinggi dibandingkan udang windu hasil tambak intensif.

Tambak ekstensif mengalami kemunduran produksi dalam perkembangannya. Hal

ini disebabkan oleh rendahnya padat tebar benur udang windu dan ukuran benur

(post larva/PL-12) yang belum siap menghadapi lingkungan tambak yang

fluktuatif. Sistem nurseri (pengasuhan) dikembangkan untuk meningkatkan

kemampuan adaptasi benur sebelum dibesarkan dalam tambak. Kajian mengenai

padat tebar pada fase nurseri belum banyak dilakukan pada tambak udang windu

berpola ekstensif yang disesuaikan dengan ukuran dan produktifitas kolam,

kuantitas pakan alami yang tersedia dan kualitas air tambak. Padat tebar udang

yang terlalu rendah akan menyebabkan produktifitas tambak berlebih yang

ditandai dengan tumbuhnya pakan alami dengan cepat (plankton blooming). Padat

penebaran yang melebihi daya dukung lahan dapat menyebabkan kesulitan udang

budidaya dalam mendapatkan ruang serta oksigen sehingga pertumbuhannya

terhambat. Oleh karena itu, perlu dilakukan pengasuhan benur udang windu yaitu

dari ukuran PL menjadi gelondong dalam sistem nurseri. Selain dapat

meningkatkan daya tahan udang windu, pengasuhan ini juga diharapkan dapat

(21)

3 Penelitian mengenai nurseri udang windu yang dilakukan Budiardi (2005) dengan

padat tebar 250, 500, 750, dan 1000 ekor/m2 selama 14 hari pemeliharaan belum menunjukkan perbedaan yang nyata, baik pertumbuhannya maupun kelangsungan

hidup. Sedangkan penelitian yang dilakukan oleh Heryanto (2006) dengan padat

tebar 1000, 1500, 2000, dan 2500 ekor/m2 memberikan 20% perbedaan tehadap koefisien panjang. Studi ini menggunakan padat tebar yang berbeda dengan

kedua penelitian sebelumnya yaitu 750, 1250, 1750, dan 2250 ekor/m2 dengan lama pemeliharaan 14 hari. Hasil dari penelitian ini diharapkan mampu

memberikan informasi yang tepat mengenai padat penebaran pada fase nurseri

udang windu untuk meningkatkan hasil produksi terutama pada tambak pola

tradisional.

1.2 Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan:

1. Mempelajari pertumbuhan, kualitas, variasi ukuran dan kelulushidupan udang

windu dengan padat tebar berbeda pada fase nurseri

2. Mempelajari padat tebar yang optimal memberikan keuntungan dengan

menggunakan simulasi analisis ekonomi pada tambak udang tradisional.

1.3 Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai proses

pengasuhan serta padat penebaran yang optimal pada udang windu, sebagai cara

(22)

4

1.4 Hipotesis

Adapun hipotesis dari penelitian ini adalah

H0: µ0= 0 pada selang kepercayaan 95% tidak terdapat pengaruh padat tebar

terhadap pertumbuhan, kualitas, variasi ukuran dan kelulushidupan

udang windu pada sistem nurseri.

H1: µ0≠0 pada selang kepercayaan 95% terdapat pengaruh padat tebar

terhadap pertumbuhan, kualitas, variasi ukuran dan kelulushidupan

udang windu pada sistem nurseri.

1.5 Kerangka Pikir

1. Kerangka Pikir

Budidaya udang windu dimulai dari panti benih dengan memproduksi naupli

ataupun benur. Produksi benur yang dihasilkan dari panti benih dapat langsung

ditebar ke tambak ataupun diasuh untuk peningkatan kemampuan adaptasi. Upaya

peningkatan kemampuan adaptasi dengan nurseri, yaitu pengasuhan benur dari

ukuran PL menjadi gelondongan yang dipelihara dengan kondisi terkontrol.

Pada fase nurseri terdapat adanya variasi respon pertumbuhan pada padat tebar

yang berbeda. Padat penebaran tinggi menyebabkan udang windu mengalami

kesulitan dalam mendapatkan ruang dan oksigen sedangkan padat penebaran yang

rendah akan menurunkan produktifitas. Oleh karena itu dilakukan perlakuan padat

tebar udang windu pada fase nurseri yaitu 750 ekor/m2, 1250 ekor/m2, 1750 ekor/m2, dan 2250 ekor/m2. Perlakuan ini diharapkan dapat menghasilkan pertumbuhan dan kualitas tokolan udang windu yang optimal untuk ditebar di

(23)

5

2. Skema Kerangka Pikir

Gambar 1. Skema Kerangka Pikir Budidaya Udang

Peningkatan Adaptasi

Pengasuhan (Nurseri)

Pertumbuhan pada Variasi Padat Tebar

Padat Penebaran Tinggi Padat Penebaran Rendah

Perlakuan Padat Tebar 750 ekor/m2 1250 ekor/m2 1750 ekor/m2 2250 ekor/m2

Dihasilkan Padat Tebar Optimal Panti Benih

Langsung ditebar di tambak

Kesulitan mendapatkan Ruang dan Oksigen

(24)

6

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Biologi Udang Windu (Penaeus monodon)

2.1.1 Klasifikasi

Klasifikasi Udang windu menurut Mujiman dan Suyanto (2003) tergolong ke

dalam

Filum : Arthropoda

Sub Filum : Mandibulata

Kelas : Crustacea

Sub Kelas : Malacostraca

Ordo : Decapoda

Sub Ordo : Matantia

Famili: Penaedae

Genus : Penaeus

Spesies: Penaeus monodon

2.1.2 Morfologi

Tubuh udang windu terdiri dari dua bagian, yaitu bagian depan dengan kepala dan

dada menyatu yang disebut kepala (cephalotorax), serta bagian belakang yang

disebut badan (abdomen). Kepala dan dada udang windu terbungkus oleh

(25)

7 untuk bagian kepala dan 8 segmen untuk bagian dada pada ujungnya terdapat

rostrum yaitu cangkang keras dan bergerigi, sedangkan abdomen terdiri atas 6

segmen dan 1 telson.

Bagian kepala udang windu memiliki 5 pasang appendage, terdiri dari 2 pasang

antenulla yang berfungsi sebagai penciuman dan keseimbangan, 1 pasang

mandibula untuk mengunyah, serta sepasang maxilulla dan maxilla untuk

membantu makan dan bernapas. Bagian dada udang windu memiliki tiga pasang

maxilped yang berfungsi membantu proses makan udang. Bagian badan udang

windu memiliki 5 pasang kaki renang (pleopoda) dan 5 pasang kaki jalan

(periopod) serta sepasanguropdauntuk membantu gerakan melompat dan naik turun

(Tricahyo, 1995).

2.1.3 Sifat dan Kehidupan Udang Windu

Udang windu memiliki toleransi yang luas terhadap salinitas sampai pada kisaran

35-45 ppt. Pertumbuhan udang windu ditunjukkan pada adanya proses pergantian

kulit (moulting). Kondsi udang saat ganti kulit sangat lemah sehingga akan sangat

mudah diserang oleh sesama udang lainnya. Hal ini disebabkan udang memiliki

sifat kanibalisme. Udang biasanya membenamkan diri kedalam lumpur untuk

menghindari ancaman tersebut (Sumeru dan Anna, 2004). Windu aktif di malam

hari (nocturnal) dalam mencari makan. Makanan dari udang ini sangat bervariasi

yaitu dari jenis crustacea rendah, moluska, ikan-ikan kecil, cacing, larva serangga,

(26)

8

2.1.4 Habitat

Udang windu bersifat bentik, dan menyukai dasar perairan yang lembut, biasanya

terdiri dari campuran lumpur dan pasir. Udang windu lebih suka bersembunyi di

rumpon dan membenamkan diri dalam lumpur pada saat moulting, hal ini

dilakukan udang untuk menghindari pemangsaan. Menurut Mudjiman (2003),

udang dewasa bertelur di laut kemudian larva yang menetas bergerak ke daerah

muara. Semakin dewasa udang akan bergerak secara berkelomok menuju ke laut

untuk melakukan perkawinan.

2.2 Padat Penebaran

Padat penebaran merupakan jumlah ikan yang ditebar pada suatu wadah dan

dinyatakan dalam jumlah persatuan luas atau persatuan volume. Kepadatan tebar

ikan dalam suatu lahan disesuaikan dengan kualitas dan kuantitas makanan, jenis

kolam dan ukuran ikan, sehingga dapat menunjang pertumbuhan dan

kelangsungan hidup ikan. Kepadatan yang rendah dan kuantitas pakan mencukupi

akan meningkatkan pertumbuhan dan kelangsungan hidup ikan (Syahid, 2006).

Menurut Syafiuddin (2000) padat penebaran udang windu pada tambak

bergantung pada sistem budidaya yang diterapkan. Untuk sistem budidaya

ekstensif maksimal 5 ekor/m2, semi intensif maksimal 5-10 ekor/m2, intensif 15-40 ekor/m2, dan super intensif lebih dari 100 ekor/m2. Padat tebar tidak mempengaruhi pertumbuhan udang pada batas-batas tertentu melainkan hanya

meningkatkan kemampuan cerna udang dalam mengubah pakan menjadi biomass.

(27)

9 besar sedangkan padat tebar tinggi menghasilkan banyak udang dengan ukuran

kecil (Heryanto, 2006).

2.3 Pengasuhan (nurseri) Udang Windu

Pengasuhan (nurseri) udang dalam tambak merupakan kegiatan pemeliharan

benur udang mulai dari ukuran PL-12 sampai dengan PL-25. Pemeliharaan ini

dilakukan pada kondisi terkontrol sebagai upaya adaptasi benur terhadap

lingkungan tambak yang fluktuatif. Pengasuhan udang bertujuan untuk

meningkatkan kualitas benur yang ditebar, seperti tahan terhadap serangan

penyakit, mampu bertahan pada perubahan lingkungan (Purwanto, 2005).

Fase nurseri dapat mempersingkat waktu budidaya karena udang terlebih dahulu

dipelihara dalam kondisi terkontrol. Hal ini juga memberikan dampak dalam

penyempurnaan persiapan tambak pembesaran. Dari upaya nurseri ini diharapkan

mampu memanajemen pemberian pakan, mengurangi serangan predator sehingga

pertumbuhan dan kelangsungan hidup udang meningkat (Rouse and Davis, 2004).

2.4 Budidaya Udang Windu Tradisional

Budidaya udang windu secara tradisional merupakan kegiatan pemeliharaan

udang dengan padat tebar rendah dan mengandalkan pakan alami dari alam.

Penerapan teknologi pada kegiatan ini masih rendah sehingga tidak ada

penanganan khusus apabila terjadi infeksi penyakit maupun buruknya kualitas air.

Keunggulan dari tambak tradisional ini yaitu dengan produksi udang organik.

Udang organik merupakan udang dari hasil tambak yang dalam prosesnya tidak

menggunakan bahan-bahan anorganik dan bahan kimia. Menurut Ditjen Perikanan

(28)

10 budidaya udang organik, penggunaan bahan pakan dan obat-obatan yang berasal

dari bahan anorganik dan kimia ditiadakan. Produksi udang organik dapat

dihasilkan dari tambak ekstensif atau tradisional. Penerapan tambak ekstensif ini

bertujuan untuk mengurangi dampak degradasi lingkungan akibat kualitas air

yang buruk dari intensifikasi tambak. Budidaya ini seringkali diterapkan secara

polikultur (Syahid, 2006).

Kegiatan budidaya udang secara tradisional yang masih berjalan yaitu didaerah

Lampung Timur. Biasanya dilakukan secara polikultur dengan bandeng atau nila.

Padat penebaran benur yang dilakukan masyarakat yaitu 15.000 ekor/ha dengan

perbandingan udang dan bandeng 1 :10. Penerapan teknologi yang masih rendah

menyebabkan produksi tidak dapat ditentukan. Kondisi irigasi yang dijadikaninlet

danoutletdapat menjadi tempat masuknya bibit penyakit, hal ini akan menambah

kemunduran produksi dalam budidaya tradisional (Syahid, 2006).

2.5 Irigasi Tambak

Menurut Undang – undang nomor 7 tahun 2004, irigasi merupakan usaha penyediaan, pengaturan, dan pembuangan air untuk menunjang pertanian yang

jenisnya meliputi irigasi permukaan, irigasi rawa, irigasi air bawah tanah, irigasi

pompa, dan irigasi tambak. irigasi tambak terdiri dari dua jenis yaitu tradisional

dan semi teknis. Adapun perbedaan daru dua jenis irigasi ini adalah pada semi

teknis dilengkapi dengan sistem pencampuran air laut dengan air tawar sedangkan

irigasi tradisional tidak. Sistem pencampuran dari jenis irigasi semi teknis

dilakukan secara sederhana dan diterapkan untuk kegiatan budidaya udang. Pada

(29)

11 dan tidak teratur, sehingga jumlah dan mutu air tidak terkendali. Hal ini dapat

menyebabkan masuknya bibit penyakit yang menyerang tambak.

2.6 Pertumbuhan dan Perkembangan

Udang windu memiliki beberapa fase dalam perkembangannya, urutan

perkembangannya yakni dimulai darinauplius, zoea, mysis, post larva, dan udang

dewasa. Pada setiap fase udang mengalami beberapa pergantian kulit (moulting).

Moulting merupakan fenomena yang menyebabkan udang mengalami

pertumbuhan baik bobot, volume, maupun ukuran. Moulting pada udang

disebabkan oleh dua faktor yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor

internal meliputi kehilangan salah satu anggota tubuh, udang akan mempercepat

proses moulting sedangkan adanya telur pada udang akan menunda proses

moulting. Faktor eksternal meliputi perubahan lingkungan yang ekstrim seperti

perubahan cuaca. Berdasarkan kuantitasnya udang dapat moultingsecara individu

maupun serentak atau massal, udang mengalamimoultingmassal disebabkan oleh

adanya perubahan ekstrim pada lingkungan sekitarnya (Mujiman, 2003).

2.7 Kelulushidupan

Kelulushidupan merupakan perbandingan antara udang yang hidup diakhir

pemeliharaan dengan jumlah total pada awal penebaran (Effendie, 2003). Tingkat

kelulushidupan udang windu dipengaruhi oleh beberapa faktor, yakni kualitas

induk, kualitas telur, kualitas air, dan perbandingan jumlah pakan dan kepadatan

benur. Kualitas induk yang buruk akan menghasilkan kualitas telur yang buruk

pula sehingga ketahanan benur terhadap perubahan lingkungan akan rendah.

(30)

12 Kepadatan penebaran yang tinggi menyebabkan kompetisi dalam mendapatkan

ruang dan oksigen sehingga dalam konsumsi pakan mengalami penurunan

(Nuhman, 2009).

Mortalitas merupakan kematian yang dialami oleh individu dalam suatu populasi

sehingga menyebabkan penurunan populasi itu sendiri. Kematian udang dapat

disebabkan oleh penyakit terutama bakteri dan virus, kemudian pemangsaan yang

disebabkan karena adanya predator dalam tambak, serta kanibalisme sesama

udang windu. Umur dan daya penyesuaian diri juga menyebabkan kematian pada

udang. Mortalitas secara langsung mempengaruhi kelulushidupan udang yang erat

kaitannya dengan hasil produksi tambak, dan merupakan parameter yang

diperhatikan dalam pelaksanaan kegiatan tambak (Murtidjo, 2003).

2.8 Pakan

Kandungan nutrisi yang dibutuhkan oleh postlarva udang menurut Watanabe

(2001) yaitu protein 40-50%, karbohidrat 20% dan lemak 5-10%. Kebutuhan

nutrisi tersebut dapat diperoleh dengan pakan udang yang diberikan untuk

kegiatan tambak berupa pakan alami dan buatan. Secara umum jumlah pakan

buatan yang diberikan dalam kegiatan tambak udang berbeda menurut pola

tambak yang diterapkan. Pemberian pakan buatan untuk pola tambak ekstensif

dan semi intensif lebih dibatasi dan lebih mengandalkan kuantitas pakan alami

yang tersedia di tambak dibandingkan dengan pola intensif (Murtidjo, 2003).

Pakan alami yang diberikan pada udang dapat berupa rotifer yang dikultur untuk

keperluan tambak. Sedangkan pakan buatan yang diberikan adalah jenis remahan

(31)

13 hidup didasar peraian. Persaingan dan kompetisi makanan dapat memunculkan

sifat kanibalisme udang, untuk itu pemberian pakan secara merata dapat dilakukan

untuk menghindari terjadinya persaingan antar individu dalam memperoleh

makanan (Sumeru dan Anna, 2004).

2.9 Hapa

Hapa merupakan jaring berbentuk kubus tanpa tutup yang diletakkan dalam air.

Penggunaan alat ini sama persis dengan penggunaan keramba jaring apung,

dengan ukuran yang lebih kecil. Hapa sering digunakan dalam pemeliharaan

benur yang akan ditebar dalam kolam. Hal ini dilakukan untuk mengontrol benur

dalam membatasi pergerakkan sebelum ditebar ditambak.

2.10 Kualitas Air

Kualitas air memiliki beberapa parameter yaitu fisika (suhu, kekeruhan, padatan

tersuspensi), parameter kimia (pH, DO, BOD, salinitas, kadar logam), dan

parameter biologi (keberadaan plankton, bakteri, jamur). Beberapa parameter

tersebut berpengaruh terhadap kelangsungan budidaya udang windu pada tambak.

Kurang optimalnya kualitas air pada tambak akan mengakibatkan udang

mengalami gangguan seperti nafsu makan menurun, terhambatnya proses

moulting, dan mudah terserang penyakit (Efendie, 2003).

2.10.1 Suhu

Suhu pada tambak sangat berpengaruh terhadap proses metabolisme,

kelangsungan hidup, pertumbuhan, reproduksi, dan tingkah laku udang serta

perubahan stadia udang windu (Buwono, 1993). Kelarutan gas O2, CO2, ammonia,

(32)

14 maka kelarutan gas dalam air tersebut akan semakin rendah. Secara umum laju

pertumbuhan meningkat sejalan dengan kenaikan suhu perairan, kondisi ini akan

memberikan pengaruh pada kebutuhan pakan dan konsumsi oksigen (Kordi dan

Tancung, 2007). Udang windu memiliki toleransi yang tinggi terhadap perubahan

suhu, dan masih dapat tumbuh dan berkembang pada kisaran suhu 26 – 32 oC (Tricahyo, 1995).

2.10.2 Kadar Garam (Salinitas)

Menurut Tricahyo (1995) kadar garam untuk pemeliharaan udang windu di

tambak antara 15-30 ppt. Udang windu bersifat eurihalin, sehingga memiliki

toleransi yang luas terhadap salinitas. Perubahan salinitas di suatu perairan

mengakibatkan terganggunya proses molting pada udang, sehingga pertumbuhan

udang terhambat. Pada salinitas 5-10 ppt moulting udang dapat lebih cepat namun

lebih sensitif terhadap serangan penyakit (Tricahyo, 1995). Salinitas pada tambak

dipengaruhi oleh musim, pada musim kemarau salinitas akan meningkat,

sedangkan pada musim hujan salinitas akan menurun.

Perubahan salinitas secara tiba-tiba menyebabkan udang windu mengalami stress

dan mati. Hal ini disebabkan karena air dari lingkungan akan masuk kedalam

sel-sel tubuh udang melalui proses difusi, kandungan air yang berlebih akan

mengakibatkan sel mengalami lisis dan menyebabkan kematian pada udang

(Tricahyo, 1995).

2.10.3 Derajat Keasaman (pH)

Derajat keasaman merupakan logaritma negatif dari ion-ion hidrogen yang

(33)

15 indikator baik buruknya suatu perairan dan dapat berpengaruh secara langsung

terhadap pertumbuhan udang windu. Kisaran normal pH untuk pemeliharan udang

windu berkisar antara 7,5– 8,5. Udang mengalami kematian pada pH kurang dari 4 dan lebih dari 10. Nilai pH yang rendah menyebabkan perairan asam, dan

mengakibatkan gangguan dalam proses penyerapan kitin sehingga udang menjadi

keropos, sedangkan pada pH tinggi menyebabkan perairan basa yang

mengakibatkan peningkatan daya racun ammonia (Effendie, 2003).

2.10.4 Oksigen Terlarut (DO)

Udang windu sangat rentan terhadap perubahan kandungan oksigen terlarut dalam

tambak, karena berpengaruh secara langsung terhadap fungsi biologis udang.

Kandungan Oksigen terlarut yang dapat mendukung kelangsungan hidup udang

minimum 3 ppm, namun yang baik untuk pertumbuhan berkisar antara 5 – 10 ppm. Kandungan oksigen terlarut yang rendah akan menyebabkan udang

mengalami stress sehingga mudah terserang penyakit seperti bakteri, jamur,

parasit, dan virus. Oksigen terlarut dalam tambak memiliki peran oksidator

bahan-bahan organik yang ada di tambak. Proses oksidasi ini menghasilkan bahan-bahan-bahan-bahan

yang dapat dimanfaatkan oleh fitoplankton dan tumbuhan dalam tambak.

Sedangkan pada kandungan oksigen rendah, maka proses yang terjadi bersifat

anaerob sehingga bahan yang dihasilkan bersifat toksik (Azizi, 2005).

2.10.5 Kecerahan

Kecerahan air dipengaruhi oleh bahan-bahan tersuspensi dan terkoloid dalam air,.

Bahan-bahan tersebut dapat berupa organisme hidup dan partikel lumpur.

(34)

16 mempengaruhi kecerahan pada tambak. Kecerahan air di bawah 25 cm disebut

denganbloomingplankton kondisi ini dapat menyebabkan plankton mengeluarkan

zat toksik sehingga akan berbahaya bagi udang. Kecerahan air untuk udang windu

berkisar antara 31-45 cm. Kecerahan dibawah kisaran normal juga dapat

(35)

17

III. METODE PENELITIAN

3.1 Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada Mei 2014 sampai Juni 2014 bertempat di Desa

Purworejo Kecamatan Pasir Sakti, Kabupaten Lampung Timur.

3.2 Alat dan Bahan

Tabel 1. Alat dan Bahan yang dibutuhkan dalam penelitian

No Alat Bahan Uji

Udang windu ukuran PL 8

Pakan buatan Top Sea Grass Powder (1) dan Top Mini Grain (1)

3.3 Konstruksi dan Kedalaman Tambak

Tambak yang digunakan dalam penelitian ini adalah tambak irigasi dengan ukuran

20 x 10 m2dengan kedalaman 1 m dan ketinggian air 50 cm.

3.4 Desain Penelitian

Penelitian disusun dengan menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) yang

(36)

18 1750 ekor/ m2, dan 2250 ekor/ m2pada setiap hapa dan dilakukan sebanyak 4 kali ulangan. Penempatan setiap satuan percobaan dilakukan secara acak.

Desain penempatan satuan perlakuan adalah sebagai berikut :

z

Gambar 2. Desain Penempatan Satuan Unit Perlakuan

(37)

19

3.5 Prosedur Penelitian

Prosedur penelitian terdiri dari tahap persiapan, tahap pelaksanaan kegiatan

nurseri. Penelitian berakhir setelah pemeliharaan selama 14 hari.

3.5.1 Persiapan

Persiapan dilakukan dengan pemasangan hapa telebih dahulu. Hapa yang

digunakan berukuran 1x1x1 m sebanyak 16 buah. Ketinggian air pada hapa yaitu

50 cm.

3.5.2 Pelaksanaan Penelitian

Pelaksanaan penelitian dilakukan setelah semua persiapan selesai termasuk

kondisi hapa yang tidak berbau plastik, dan kualitas air tidak fluktuatif pada area

nurseri.

3.5.2.1 Benur

Benur yang digunakan yaitu PL 8 dengan panjang rata – rata 8,93 berjumlah 24.000 ekor diperoleh dari hatchery bersertifikat bebas virus melalui pemeriksaan

Polymerase Chain Reaction (PCR). Benur siap ditebar di tambak apabila tes PCR

(Polymerase Chain Reaction) diperoleh hasil negatif terinfeksi virus.. Penebaran

benur dilakukan pada pukul 22.30 WIB, hal ini dilakukan untuk menghindari

fluktuasi suhu pada area nurseri. Sebelum ditebar benur di aklimatisasi selama

beberapa menit. Aklimatisasi benur meliputi suhu, pH, dan salinitas yaitu dengan

cara kantong benur diapungkan hingga suhu pada kantong plastik dan tambak

sama yang ditandai dengan kantong palstik berembun. Kemudian kantong plastik

dibuka dan dimasukkan air tambak kedalam kantong plastik sedikit demi sedikit.

(38)

20

3.5.2.2 Pengambilan Contoh

Contoh diambil sebanyak 1% dari tiap happa dengan menggunakan anco.

Pengambilan contoh dilakukan setelah pemberian pakan.

3.5.2.3 Pengambilan contoh Kualitas Air

Pengukuran kualitas air dilakukan setiap hari selama penelitian. Parameter yang

diamati yaitu suhu, salinitas, dan pH.

3.5.2.4 Manajemen Pakan

Pakan yang digunakan dalam penggelondongan udang windu yaitu pakan

tenggelam dengan merek dagang Top sea Grass Powder (TSGP) dan Top Mini

Grain (TMG) yang diproduksi oleh Yuh-Huei Enterprises Taiwan. Adapun

kandungan nutrisi dari TSGP yaitu protein 50 %, lemak 5 %, serat 3 %, abu 17

%, kelembaban 17 %, dan HCl Insoluble 2 % kemudian kandungan nutrisi pada

TMG yaitu 50 %, lemak 3 %, serat 3 %, abu 17 %, kelembaban 17 %, dan HCl

Insoluble2 %.

Pemberian pakan dilakukan sebanyak 4 kali sehari pada pukul 06.00 WIB, 13.00

WIB, 17.00 WIB, dan 23.00 WIB. pakan Top sea Grass diberikan hingga benur

berusia Pl 18 dan selanjutnya pakan diganti dengan Top Mini Grain hingga

penelitian berakhir. Jumlah pakan yang dihabiskan untuk pemeliharaan hingga 14

(39)

21

3.6 Parameter yang Diamati

Parameter yang diamati dalam penelitian ini adalah kelulushidupan, panjang

tubuh, pertumbuhan panjang harian, koefisien keragaman panjang, berat tubuh,

pertumbuhan berat harian, morfologi, dan kualitas air (suhu, pH, dan salinitas).

3.6.1 Kelulushidupan

Kelulushidupan udang windu merupakan perbandingan jumlah benur yang hidup

dengan total benur yang ditebar pada awal pemeliharaan. Menurut Effendie

(1997) persamaan yang digunakan dalam mengukur Kelulushidupan adalah

Keterangan :

SR : Kelulushidupan (Survival Rate)

Nt : Jumlah benur yang hidup di akhir penelitian

No : Jumlah total benur awal penebaran

3.6.2 Berat Tubuh

Berat tubuh diukur dengan menggunakan timbangan digital. Pengukuran berat

dilakukan dengan mengambil contoh 1 % dari populasi dan dhitung dengan

menggunakan rumus :

Keterangan :

Wt-r : Berat benur rata-rata pada waktu ke-t (g/ekor)

Wt : Berat benur contoh pada waktu ke-t (g)

n : Jumlah sampel benur

SR = (Nt x No-1) . 100%

(40)

22

3.6.3 Pertumbuhan Berat Harian

Pertumbuhan berat harian dapat diukur dengan menggunakan rumus :

Keterangan :

β : Pertumbuhan berat harian

∆W : Perubahan berat (gram)

∆t : Perubahan waktu (hari)

3.6.4 Panjang Tubuh

Panjang tubuh udang windu diukur dengan menggunakan digital kaliper.

Pengukuran dilakukan dengan mengambil contoh tiap perlakuan sebanyak 1 %

dari populasi. Dengan menggunakan rumus (Effendie, 1997):

Keterangan :

Lt-r : Panjang benur rata-rata pada waktu ke-t (mm/ekor)

Lt : Panjang benur contoh waktu ke-t (mm)

n : Jumlah sampel benur (ekor)

3.6.5 Pertumbuhan panjang harian

Pertumbuhan panjang harian menurut Effendie (1997) dapat diukur dengan

menggunakan rumus :

α = ∆Lx∆t-1

Keterangan α = Pertumbuhan panjang harian (mm/hari)

∆L= Perubahan panjang (mm)

∆t = Perubahan waktu (hari).

Lt-r=∑ Ltx n-1

(41)

23

3.6.6 Koefisien Keragaman Panjang

Pengukuran koefisien keragaman dilakukan untuk melihat keragaman dari benur

yang dihasilkan dalam kegiatan nuseri. Semakin kecil koefisien keragaman, maka

gelondong yang dihasilkan semakin baik. Koefisien keragaman dihitung dengan

rumus :

x 100%

Keterangan :

σ : Galat unit perlakuan Y : Rata-rata unit perlakuan

3.6.7 Kualitas Air

Parameter kualitas air yang diukur adalah suhu, pH, dan salinitas. Pengukuran

dilakukan sebanyak 4 kali dalam satu hari yaitu pagi, siang, sore, dan malam

bersamaan dengan pemberian pakan. Alat yang digunakan untuk pengukuran

adalah termometer, pH meter, dan refraktometer.

3.7 Analisis Data

Data kualitas air dianalisis secara deskriptif. Kemudian data pertumbuhan

panjang, pertumbuhan berat, dan kelangsungan hidup udang windu dianalisis

dengan menggunakan sidik ragam pada selang kepercayaan 95%. Apabila

didapatkan hasil yang berbeda nyata maka dilakukan uji lanjut BNT (Beda Nyata

(42)

24

3.8 Analisis Usaha

Penyajian analisis usaha pada kegiatan nurseri ini menggunakan pengujian

keuntungan antara lain pendapatan usaha dan analisis imbangan peneriamaan dan

(43)

43

V. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

1. Hasil penelitian menunjukkan bahwa semakin rendah padat tebar maka

semakin baik untuk laju pertumbuhan dan kualitas gelondong yang dihasilkan.

2. Kepadatan optimal ditunjukkan pada padat tebar 750 ekor/m2 untuk pertumbuhan dan kualitas gelondong, namun keuntungan terbaik diperoleh

pada padat tebar 1750 ekor/m2.

5.2 Saran

1. Pengelolaan kualitas air tambak harus diperhatikan dalam melakukan kegiatan

nurseri untuk menghindari transmisi patogen pada tambak irigasi.

(44)

DAFTAR PUSTAKA

Allan, G.L. and Maguaire, G. B. 1992. Effect Of Stocking Density On Production Of Penaeus Monodon Fabricus In Model Farming Ponds. Aquaculture. 107 : 49–66

Azizi, A. 2005. Produksi Tokolan Udang Windu (Penaeus monodon Fabricus) dalam sistem Resirkulasi dengan Padat Tebar 25, 50, 75, dan 100 ekor/L. Jurnal. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, IPB. Bogor. 5–8.

Boyd, C.E., Haws, M.C., Green, B.W. 2001.Improving Shrimp Mariculture in Latin America. Good Management Practices (GMPs). Coastal Resources Centre. University of Rhode Island. RI

Buwono, I. D. 1993. Tambak Udang Windu : Sistem Pengelolaan Berpola Intensif. Kanisius. Yogyakarta. 152 hal.

Budiardi, T. 2005. Penokolan Udang Windu (Penaeus monodon Fab.) dalam Happa pada Tambak Intensif dengan Padat Tebar Berbeda. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. IPB. Bogor.Jurnal vol 4 (2) : 153158

Darmono.1993. Budidaya Udang Penaeus. Penerbit Kanisius Yogyakarta. 280 hal.

Djumadi, R. 2005. Produksi Tokolan Udang Windu (Penaeus monodon Fabricus) dalam Hapa pada tambak Intensif dengan Padat Tebar 250 ekor/m2, 500 ekor/m2, 750 ekor/m2, dan 1000 ekor/m2. Skripsi. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. IPB. Bogor.

Dwinanti, S.H. 2006. Keberadaan White Spot Syndrome Virus (WSSV), Taura Syndrome Virus (TSV) dan Infectious Hypordermal dan Hematopoeitic Necrosis Virus (IHHNV) di Tambak Intensif Udang Vannamei (Litopenaeus vannamei) di Bakauheni, Lampung Selatan.Skripsi. Program Studi Teknologi Dan Manajemen Akuakultur. Fakultas Perikanan Dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Hal 18–35

Effendie. 1997. Biologi Perikanan. Yayasan Pustaka Nusatama : Yogyakarta. 163 p

(45)

Heryanto, H. 2006. Produksi Tokolan Udang Windu (Penaeus monodon Fab.) dalam Happa dengan Padat Penebaran 1000, 1500, 2000, 2500 ekor/m2. Skripsi. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. IPB. Bogor. 18–26 hal. [KKP] Kementrian Kelautan dan Perikanan. 2009. Rencana Strategi Budidaya

Udang. Jakarta.

Kordi, M dan A.B Tancung. 2007. Pengeloalan Kualitas Air dalam Budidaya Perairan. Rineka Cipta. Jakarta. 208 hal.

Mujiman, A, dan Suyanto, R. 2003. Budidaya Udang Windu. Penebar Swadaya. Jakarta. 211 hal.

Murachman. 2010. Model Polikultur Udang Windu (Penaeus monodonFab), Ikan Bandeng (Chanos chanos Forskal) dan Rumput Laut (Gracillaria sp.) Secara Tradisional. Program Doktor Ilmu Pertanian. Fakultas Pertanian. Universitas Brawijaya : Malang.Jurnal Vol.1 (1) : 110.

Murtidjo dan Bambang A. 2003. Benih Udang Windu Skala Kecil. Kanisius, Yogyakarta. 75 hal.

Purwanto, E. 2005 Produksi Tokolan Udang Vanamei (Litopebaeus vannamei) dalam Happa dengan Padat Penebaran yang Berbeda. Skripsi. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, IPB Bogor. 17–24 hal.

Rouse, B D. and Davis, D. A. 2004.Stocking Density, Nursery Duration Influence Shrimp Growth, Survival During Growout. Departement of Fisheries and Allied Aquaculture, Auburn University. Alabama. (18) : 47–59.

Soetomo, M.J.A., 2000. Teknik Budidaya Udang Windu (Penaeus monodon).Kansius.Yogyakarta.78 hal.

Suhadi, I. 2003. Pendederan Kerapu Bebek Cromileptes altivelis di Keramba Jaring Apung dengan Padat Tebar yang Berbeda. Skripsi. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. IPB. Bogor.

Sumeru, S.U. dan Anna, S. 2004 Pakan Udang Windu (Penaus monodon Fab). Kanisius. Yogyakarta. 94 hlm.

Nuhman. 2009. Pengaruh Prosentase Pemberian Pakan Terhadap Kelangsungan Hidup dan Laju Pertumbuhan Udang Vannamei (Litopenaeus vannamei). Fakultas Teknologi Kelautan dan Perikanan. Universitas Hang Tuah. Surabaya.Jurnal Vol 1 No 2

(46)

Syafiuddin. 2000. Kinerja Budidaya Udang Windu (Penaeus monodon Fab) yang dipelihara Bertingkat dalam Sistem Resirkulasi. Tesis. Program Pascasarjana IPB. Bogor. 19–35 hal.

Syahid, M. Subhan A. dan Armando R. 2006. Budidaya Udang Organik Secara Polikultur. Penebar Swadaya : Jakarta. 75 hal.

Tricahyo, E. 1995. Biologi dan Kultur Udang Windu (Penaeus monodon Fab). Akademika. Jakarta. 211 hal.

Undang–undang nomor 7 tahun 2004. Tentang Sumber Daya Air.

Watanabe, T. 2001. Fish Nutrition and Marine Culture. Departemen of Aquatic Bioscience. Tokyo University of Fisheries. 147–149 hal.

Gambar

Gambar 1. Skema Kerangka Pikir
Tabel 1. Alat dan Bahan yang dibutuhkan dalam penelitian
Gambar 2. Desain Penempatan Satuan Unit Perlakuan

Referensi

Dokumen terkait

Oleh sebab itu, penelitian ini bertujuan untuk menguji pengaruh padat tebar yang berbeda terhadap sintasan dan pertumbuhan Vanname (Litopenaenus Vannamei)

terhadap pertumbuhan pasca larva udang windu pada padat.. penebaran awal 50 ekor per meter

PENGARUH PADAT PENEBARAN SEBESAR 1000, 2500, 4000, 5500 DAN 7000 EKOR/MX.. TERHADAP KELANGSUNGAN HIDUP

Hasil tingkat kelulushidupan tersebut cukup bagus mengingat padat tebar yang tinggi pada petakan tambak tersebut yaitu sebesar 120 ekor/m 2 , tetapi dengan pengelolaan kualitas

Dengan demikian, adanya peningkatan padat tebar tinggi hingga perlakuan 800 ekor/m³ telah menurunkan laju pertumbuhan bobot harian dan laju pertumbuhan panjang

Hasil penelitian menunjukkan bahwa padat tebar tidak berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan lebar karapas dan bobot rajungan yang dibesarkan di tambak (P>0,05) tetapi

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh perbedaaan padat tebar benih patin pada media pemeliharaan sistem zero exchange water yang ditambahkan probiotik

Suhu dalam media pemeliharaan ikan Corydoras aeneus yang dipelihara dengan padat tebar 3, 5 dan 8 ekor/liter pada akuarium sistem resirkulasi selama 6