• Tidak ada hasil yang ditemukan

FAKTOR PENYEBAB TERJADINYA PEREDARAN GELAP NARKOTIKA DI LEMBAGA PEMASYARAKATAN NARKOTIKA (Studi di Lembaga Pemasyarakatan Narkotika Kelas IIA Bandar Lampung)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "FAKTOR PENYEBAB TERJADINYA PEREDARAN GELAP NARKOTIKA DI LEMBAGA PEMASYARAKATAN NARKOTIKA (Studi di Lembaga Pemasyarakatan Narkotika Kelas IIA Bandar Lampung)"

Copied!
62
0
0

Teks penuh

(1)

ABSTRAK

FAKTOR PENYEBAB TERJADINYAPEREDARAN GELAP NARKOTIKA DI LEMBAGA PEMASYARAKATAN NARKOTIKA (Studi di Lembaga Pemasyarakatan Narkotika Kelas II A Bandar Lampung)

Oleh

LASMAIDA MANIK

Penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika merupakan masalah sosial yang sangat marak dan terjadi bukan hanya dalam pergaulan sehari-hari di masyarakat tetapi terjadi pula di dalam Lembaga Pemasyarakatan (Lapas). Rumusan masalah yang dibahas dalam penelitian ini yaitu: apakah faktor penyebab terjadinya peredaran gelap narkotika di Lembaga Pemasyarakatan Narkotika, bagaimanakah upaya penanggulangan secara non penal peredaran gelap narkotika di Lembaga Pemasyarakatan Narkotika dan Apakah faktor-faktor penghambat upaya penanggulangan secara non penal peredaran gelap narkotika di Lembaga Pemasyarakatan Narkotika.

Pendekatan masalah yang digunakan adalah pendekatan secara yuridis normative dan yuridis empiris. Sumber dan jenis data dalam penelitian ini adalah data primer yang diperoleh dari studi lapangan dengan melakukan wawancara dengan pihak Lembaga Pemasyarakatan Narkotika Kelas II A Bandar Lampung, Ditreserse Narkoba Polda Lampung, Badan Narkotika Nasional Provinsi Lampung dan Dosen Fakultas Hukum Universitas Lampung, sedangkan data sekunder di peroleh dari studi kepustakaan.

(2)

Pembinaan kepada para Petugas Lembaga Pemasyarakatan, melakukan penyuluhan tentang bahaya narkotika kepada narapidana, melakukan program pembinaan mental, dan mencanangkan program Pencegahan, Pemberantasan Penyalahgunaan dan Peredaran Gelap Narkoba (P4GN). Ketiga: Faktor penghambat penanggulangan secara non penal peredaran gelap narkotika di Lembaga Pemasyarakatan yaitu: faktor penegak hukum, factor sarana dan prasarana, dan factor masyarakat.

Saran penulis dalam skripsi ini adalah agar pengawasan terhadap narapidana dan pegawai Lembaga Pemasyarakatan hendaknya terus ditingkatkan dan diefisienkan dengan proses penanganan yang transparan serta perlunya meningkatkan profesionalitas kerja Lembaga Pemasyarakatan dalam menanggulangi peredaran gelap narkotika.

(3)

FAKTOR PENYEBAB TERJADINYA PEREDARAN GELAP NARKOTIKA

DI LEMBAGA PEMASYARAKATAN NARKOTIKA

(Studi di LembagaPemasyarakatanNarkotikaKelas IIA Bandar Lampung)

(Skripsi)

Oleh:

LASMAIDA MANIK

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk mencapai gelar

SARJANA HUKUM

pada

Bagian Hukum Pidana

Fakultas Hukum Universitas Lampung

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS LAMPUNG

(4)
(5)
(6)

RIWAYAT HIDUP

Penulis lahir di Sumatera Utara pada tanggal 02 Desember 1992 yang merupakan anak ke enam dari enam bersaudara, putri dari Bapak Paima Manik dan Ibu Dorkas Rajagukguk.

Penulis menyelesaikan pendidikan Sekolah Dasar di SD Negeri 3 Sidikalang pada tahun 2005, kemudian penulis melanjutkan pendidikannya di Sekolah Menengah Pertama Negeri 3 Sidikalang yang lulus pada tahun 2008. Penulis melanjutkan pendidikan di Sekolah Menengah Atas Negeri 1 Sidikalang dan lulus pada tahun 2011. Pada tahun 2011 penulis terdaftar sebagai mahasiswa Fakultas Hukum di Universitas Lampung yang diterima lewat seleksi jalur undangan.

(7)

!

"

!

# $

%

&'

(

! $

$

!

#

# #

)

* #

+

#

! ,

#

#

(8)

! " # $

% &

&

'

$

& (

(9)

SANWACANA

Segala puji dan syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yesus Kristus yang senantiasa memberikan anugerah dan pertolongan-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini sebagai salah satu syarat akhir guna memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Lampung dengan judul : Faktor Penyebab Terjadinya Peredaran Gelap Narkotika Di Lembaga Pemasyarakatan Narkotika (Studi Di Lembaga Pemasyarakatan Narkotika Kelas II A Bandar Lampung).

Penulis menyadari selesainya skripsi ini tidak lepas dari partisipasi, bimbingan serta bantuan dari berbagai pihak baik secara langsung maupun tidak langsung. Maka pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Ir. Sugeng Prayitna Harianto, M.S. selaku Rektor Universitas Lampung.

2. Bapak Prof. Dr. Heryandi, S.H., M.S. selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Lampung.

(10)

yang telah memberikan saran, koreksi, dan arahan sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan sebaik-baiknya.

4. Bapak Tri Andrisman, S.H., M.H. Selaku Dosen Pembimbing I yang telah membimbing dan banyak mengingatkan penulis terhadap kelalaian dan kesalahan yang diperbuat dalam penyelesaian skripsi ini.

5. Bapak Deni Achmad, S.H., M.H. Selaku Dosen Pembimbing II yang selalu membimbing dan mengarahkan penulis dengan penuh kesabaran, serta banyak memberikan kritik dan saran yang membangun pemahaman penulis sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini dengan hasil yang baik.

6. Ibu Rini Fathonah, S.H., M.H. Selaku Dosen Pembahas II yang telah memberikan saran, koreksi, dan arahan sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik.

7. Ibu Diane Eka Rusmawati, S.H., M.HUM. Selaku Dosen Pembimbing Akademik.

8. Bapak Anggi Febiakto, Ibu Rini Legitasari, A.Md.IP.,S.H., M.H., Ibu dr.Dini Kartiyani, dari pihak Lembaga Pemasyarakatan Narkotika Kelas II A Bandar Lampung; Bapak Fhata Z’af Al’ali, S.IKom dari pihak Badan Narkotika Nasional Provinsi Lampung; Bapak H.Azhari, S.H., M.H, dari pihak Direktorat Reserse Narkoba Polda Lampung; dan Bapak Dr.Maroni, S.H., M.H, Dosen Pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung yang telah membantu dalam proses penelitian, memberikan izin penelitian, menjadi narasumber dan membantu penyediaan data dalam penyusunan skripsi ini. 9. Seluruh Dosen Fakultas Hukum Universitas Lampung yang tidak dapat

(11)

serta ilmu yang telah diberikan selama penulis menjadi Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Lampung, yang kelak akan sangat berguna bagi penulis. 10.Seluruh Staf dan Karyawan Fakultas Hukum Universitas Lampung yang telah

membantu penulis dalam proses akademis dan kemahasiswaan. Terkhusus untuk Babe Narto, Mbak Sri, Mbak Yanti, Mbak Dian, Pak Herman terimakasih selalu menyempatkan waktu untuk berdiskusi, dan banyak membantu penulis selama perkuliahan di Fakultas Hukum.

11.Teristimewa dan terkhusus kepada kedua orang tuaku tercinta Bapak Paima Manik dan Dorkas Rajagukguk atas perjuangan dan pengorbanan selama ini yang tidak mengenal lelah dan tanpa pamrih untuk mewujudkan cita-citaku dan harapan untuk menjadikanku kelak jadi orang yang berguna dan menjadi berkat bagi keluarga. Terimakasih buat iringan doa yang senantiasa mengalir untukku, semoga doa, pengharapan dan jerih lelah kalian kelak akan terbalaskan dengan keberhasilan putrimu ini.

12.Abangku, Anggiat Manik, Saut M.T Manik, Hotman Lamsihar Manik, Nasib H Manik, Junior Ginting, kakakku Rista Leny Marlina Manik,dan Edaku Berliana Berutu, Nirwana Siagian, Selma Purba, yang senantiasa menemani, mendukung dan mendoakanku, semoga Tuhan memberkati kita.

(12)

14.Untuk tulang, nantulang, tante, uda, sepupu-sepupuku, dan keluarga besarku yang tidak dapat kusebut satu persatu, terimakasih untuk dukungan dan nasehat-nasehatnya.

15.Teristimewa untuk Rudi Sihite, seseorang yang begitu berharga dan memberi warna dalam hidupku, yang begitu banyak berkorban untuk membantu penyelesaian skripsi ini, dengan penuh kesabaran selalu memberikan motivasi, dorongan, dan menjadi tempat berbagi keluh kesah dan kebahagiaan. Terimakasih untuk kasih sayang yang tak hentinya diberikan kepada penulis. 16.Sahabat-sahabatku Kalsum Sari Asih, Emilia Sari, Devilitasari, Elsa Stella

Nova, Rantika Tarigan, yang memberikan kenangan indah di masa kuliah. 17.Sahabat tergokilku, Erna Sihombing yang selalu setia membantu, menghibur

dan memberi semangat kepada penulis. Terimakasih buat kenangan indah semasa perkuliahan, semoga kelak kita dapat meraih kesuksesan bersama. 18.Sahabatku yang selalu siap untuk bertukar pikiran dan memberi banyak

masukan mulai awal pengajuan judul hingga akhir selesainya skripsi ini Dopdon K Sinaga, terimakasih buat semua saran dan dukungannya.

19.Teman-teman seperjuangan Fakultas Hukum, Noni, Silvy, Andre, Jimmy, deswandi, gusti, wayan, Yola, Nur Saadah, Komang dan semua yang belum disebutkan terimakasih atas kebersamaannya selama perkuliahan.

(13)

21.Senior Formahkris, Kak Ivo, Kak Eby, Kak Elsie, Kak Dede, Bang Tua, Kak Elfrida, Kak Ade, dan kakak-kakak yang lain yang tidak bisa disebut satu persatu serta adik-adik Formahkris Angkatan 2012,2013, dan 2014, terimakasih untuk kekeluargaan yang diberikan dalam ikatan keluarga Formahkris.

22.Untuk teman-teman KKN: Litha, Mely, Nita, Leni, Ismail, Jepri, Kahfindra, dan Rendra, terimakasih atas kebersamaan dan kekompakan serta kenangan yang tidak terlupakan semasa KKN.

23.Keluarga Besar Ikatan Muda/I Batak Kristen (IMBK) Dosroha Bandar Lampung, Kak Darlia, Kak Uli, Kak Niar, Evi, Harapan, Herman, Jitro, Hotman Malau, Chandra, Agustinus, Jefri, Rinto, Cahjon, Joster, Rio, Yusman, dan teman-teman yang lain, terimakasih buat kekeluargaan dan kenangan yang diberikan.

24.Untuk Almamater Tercinta, Fakultas Hukum Universitas Lampung yang telah menjadi saksi bisu dari perjalanan ini hingga menuntunku menjadi orang yang lebih dewasa dalam berfikir dan bertindak.

Semoga Skripsi ini dapat berguna dan bermanfaat bagi masyarakat, bangsa dan negara, para mahasiswa, akademisi, serta pihak-pihak lain terutama bagi penulis. Akhir kata penulis ucapkan terima kasih.

Bandar Lampung April 2015 Penulis

(14)

DAFTAR ISI

Halaman I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup Penelitian ... 7

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 8

D. Kerangka Teoritis dan Konseptual ... 9

E. Sistematika Penulisan ... 12

II TINJAUAN PUSTAKA A. Lembaga Pemasyarakatan Narkotika ... 14

B. Upaya Penanggulangan Kejahatan Narkotika ... 24

C. Faktor Penghambat Penanggulangan Kejahatan ... 29

III METODE PENELITIAN A. Pendekatan Masalah ... 35

B. Sumber dan Jenis Data ... 36

C. Penentuan Narasumber ... 38

D. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data ... 39

E. Analisis Data... 40

IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Karakteristik Responden ... 41

(15)

C. Upaya Penanggulangan Secara Non Penal Peredaran Gelap Narkotika di Lembaga Pemasyarakatan Narkotika ... 47 D. Faktor-Faktor Penghambat Upaya Penanggulangan Secara Non Penal

Peredaran Gelap Narkotika di Lembaga Pemasyarakatan Narkotika ... 57

V. PENUTUP

A. Kesimpulan ... 61 B. Saran ... 63

(16)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Kejahatan narkotika merupakan masalah yang sangat komplek, yang memerlukan

upaya penanggulangan secara komprehensif dengan melibatkan kerja sama

multidisipliner, multisektor, dan peran masyarakat secara aktif yang dilaksanakan

secara berkesinambungan, konsekuen dan konsisten.

Perdagangan narkotika menjadi lahan bisnis yang sangat menjanjikan suatu

keuntungan yang sangat menggiurkan. Produsen, penjual, pengedar atau bandar

narkotika akan menikmati keuntungan finansial yang sangat besar dalam waktu

cepat setelah menekuni bisnis narkotika, sedangkan pengguna atau pemakai akan

dijanjikan suatu kenikmatan yang tak terhingga setelah menggunakan narkotika.1

Sejatinya narkotika merupakan zat atau obat yang sangat bermanfaat dan

diperlukan dibidang kesehatan seperti pada pengobatan penyakit tertentu dan

dalam rangka kepentingan pengembangan suatu ilmu pengetahuan. Namun di sisi

lain, narkotika merupakan zat yang dapat merusak syaraf otak manusia dan

1

(17)

mempunyai akibat sindroma ketergantungan kepada penggunanya, sehingga jika

narkotika digunakan tidak pada tempatnya yang benar, akan menimbulkan bahaya

bagi penggunanya, bahkan dapat mengakibatkan kematian.2 Mengingat bahaya

yang ditimbulkan oleh adanya kejahatan narkotika ini maka bangsa Indonesia

secara sadar telah menentukan sikap untuk memeranginya, karena dampaknya

yang sangat merusak generasi muda.3

Pemerintah Indonesia telah meratifikasi United Nations Convention Against Illict Traffic in Narcotic Drugs and Psychotropic Substances 1988 dengan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1997 tentang Psikotropika dan

Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika, yang dalam

perkembangan selanjutnya memberlakukan Undang-Undang Nomor 35 Tahun

2009 tentang Narkotika setelah menyatakan bahwa Undang-Undang Nomor 22

Tahun 1997 tidak berlaku lagi, dengan tujuan untuk mengahadapi bahaya

narkotika dan menyelamatkan rakyat Indonesia, terutama generasi muda yang

pada saatnya nanti akan tampil sebagai penerus eksistensi bangsa dan Negara.4

Ketentuan perundang-undangan yang mengatur masalah narkotika telah disusun

dan diberlakukan. Namun demikian kejahatan yang menyangkut tentang narkotika

belum dapat diredakan. Permasalahan yang sangat menarik untuk dibahas, yaitu

pada fakta empiris penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika tidak hanya

terjadi di dalam pergaulan sehari-hari di masyarakat tetapi terjadi pula di balik

tembok penjara yaitu di dalam ruang lingkup Lembaga Pemasyarakatan (Lapas)

(18)

yang merupakan tempat untuk melaksanakan pembinaan narapidana.5 Hal tersebut

dapat dilihat dan didengar dari berbagai pemberitaan di media massa maupun

elektronika, yang memberitakan tentang warga binaan di suatu Lembaga

Pemasyarakatan tertentu terlibat dalam suatu jaringan pengedar narkotika dari

balik tembok penjara.

Contoh kasus narapidana yang terlibat dalam jaringan peredaran narkotika adalah

kasus yang terjadi pada hari Jumat, 27 Juni 2014 jajaran kepolisian kembali

membuktikan narapidana yang sedang ditahan di LP Way Hui mampu

mengendalikan peredaran narkotika melalui ponsel. Terdakwa bernama Toni

Ariansyah (23) didampingi Ade Panca (34), tersangka lainnya, mengaku disuruh

kakaknya mengantar paket sabu-sabu. Kakak yang dia maksud adalah narapidana

bernama Taufik yang sedang menjalani hukuman di Lembaga Pemasyarakatan

Way Hui Bandar Lampung. Taufik adalah Kakak kandung tersangka. Sudah vonis

lima tahun dan baru dua tahun di penjara. Kedua tersangka ditangkap Kamis, 26

Juni 2014, jam 20.30 WIB, di Jl Pulau Bacan Kelurahan Jagabaya II Kecamatan

Sukabumi Bandar Lampung. Keduanya diancam Pasal 114 sub Pasal 112 UU RI

No 35 tahun 2009 tentang Narkotika. Keduanya juga diancam penjara lima hingga

20 tahun.6

Berdasarkan data dari buku register F (buku pelanggaran) Lembaga

Pemasyarakatan Narkotika Kelas II A Bandar Lampung, jumlah kasus peredaran

5

Badan Narkotika Nasional, “Menuju Indonesia Bebas Narkoba 2015 Optimistis Kita Bisa”, Aware And Care, Jurnal Edisi 02/2009, Hlm 1.

6

(19)

narkotika yang pernah ditangani di Lembaga Pemasyarakatan tersebut tahun 2014

berjumlah 17 kasus.

Tabel. Jumlah kasus peredaran gelap narkotika di Lembaga Pemasyarakatan Narkotika Kelas II A Bandar Lampung tahun 2014

No. Bulan Jumlah kasus

1. Februari 3 kasus

2. Agustus 4 kasus

3. Oktober 6 kasus

4. November 4 kasus

Jumlah 17 kasus

Dalam hal ini kasus tersebut bukan hanya kasus pengedar tetapi juga terdapat

kasus pemakai, dan kasus upaya memasukkan narkotika ke dalam Lembaga

Pemasyaratakan. Kasus terakhir yang ditemukan oleh pihak Lembaga

Pemasyarakatan Narkotika Kelas II A Bandar Lampung adalah penemuan 12

paket narkotika, yang mana paket tersebut di bawa pihak luar dan berusaha akan

memasukkannya kedalam Lembaga Pemasyarakatan.

Lembaga Pemasyarakatan Khusus Narkotika sesuai dengan namanya, khusus

melaksanakan pembinaan terhadap narapidana kasus Narkotika dan Psikotropika

(20)

sekaligus memutus mata rantai jaringan peredaran narkotika, serta misi

pembinaan yang menjadi tugas pokok Lembaga Pemasyarakatan.7

Kebijakan dalam menentukan bentuk Lembaga Pemasyarakatan khusus narkotika

dan bentuk pembinaannya didasarkan pada strategi demand reduction yaitu :

a. Memudahkan dalam pengawasan

b. Meningkatkan pengetahuan narapidana tentang bahaya narkotika

c. Penyakit akibat dampak narkotika

d. Mencegah narapidana non-narkotik terpengaruh menggunakan narkotika. 8

Hal ini dapat dilihat pada Pasal 2 UU No. 12 tahun 1995 yang menyebutkan :

“Sistem pemasyarakatan diselenggarakan dalam rangka membentuk warga binaan pemasyarakatan agar menjadi manusia seutuhnya, menyadari kesalahan, memperbaiki diri, dan tidak mengulangi tindak pidana, sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan dalam pembangunan, dan dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan bertanggung jawab.”

Kebijakan pembinaan narapidana khusus narkotika berbeda dengan penanganan

narapidana pada umumnya sehingga dalam pembinaan perlu didasari dengan

metode sistematis, baik terhadap pengedar maupun pengguna narkotika.9 Hal ini

didukung oleh Soejoto yang menyatakan bahwa narapidana dan tahanan narkotika

mempunyai kekhususan tersendiri, karena narapidana dan tahanan kasus

narkotika, bukan hanya pelaku tindak pidana, juga sebagai korban

penyalahgunaan narkotika karena mengkonsumsi narkotika. Dengan demikian

7

Yusril Ihza Mahendra, Lembaga Pemasyarakatan Narkotika Upaya Pemerintah Merespon Program Penanganan Mendesak Penyalahgunaan Narkotika, Departemen Kehakiman Dan Ham Ri, Jakarta, Hlm 41.

8

Untung Sugiyono, Kebijakan Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Tentang Penanggulangan Napza Dan Hiv Di Lembaga Pemasyarakatan Dan Rutan, 2004, Hlm 4

9

(21)

kasus narkotika tidak hanya menjalani pidana, namun juga perlu direhabilitasi,

supaya sembuh dari ketergantungan narkotika.10

Kondisi pengamanan di Lembaga Pemasyarakatan Narkotika harus benar-benar

diperhatikan dengan baik, karena keamanan merupakan salah satu kunci

keberhasilan dari upaya penanggulangan peredaran gelap narkotika di Lembaga

Pemasyarakatan. Sistem pengamanan di lingkungan Lembaga Pemasyarakatan di

Indonesia sudah didasarkan pada ketentuan Standard Operasional Prosedur (SOP) yang berlaku. Seperti pengamanan lingkungan pintu utama oleh Petugas Pengamanan Pintu Utama (P2U) di lakukan sangat ketat dan terfokus pada

penanganan gangguan keamanan dan ketertiban baik dari dalam Lembaga

Pemasyarakatan maupun dari luar.

Penegakan hukum pidana dikenal dengan sistem penegakan hukum atau criminal law enforcement sebagai bagian dari criminal policy atau kebijakan penanggulangan kejahatan. Dalam penanggulangan kejahatan dibutuhkan dua

sarana yakni menggunakan penal atau sanksi pidana, dan menggunakan sarana

non penal yaitu penegakan hukum tanpa menggunakan sanksi pidana (penal).

Dengan melihat fakta dalam berbagai pemberitaan, masih banyak kita temukan

bahwa ada banyak kasus peredaran narkotika yang terjadi di dalam Lembaga

pemasyarakatan. Untuk itu sangat diperlukan alternatif maupun solusi dalam

upaya mencegah, menanggulangi sekaligus memberantas kejahatan

penyalahgunaan dan peredaran narkotika tersebut.

10

(22)

Berdasarkan uraian latar belakang di atas penulis tertarik untuk melakukan

penelitian dalam bentuk skripsi dengan judul “Faktor Penyebab Terjadinya

Peredaran Gelap Narkotika di Lembaga Pemasyarakatan Narkotika (Studi di

Lembaga Pemasyarakatan Narkotika Kelas II A Bandar Lampung)”.

B.Permasalahan dan Ruang Lingkup Penelitian

1. Permasalahan

Berdasarkan uraian pada latar belakang yang telah dikemukakan di atas, maka

permasalahan yang akan dibahas dalam penulisan ini adalah sebagai berikut :

a. Apakah faktor penyebab terjadinya peredaran gelap narkotika di Lembaga

Pemasyarakatan Narkotika?

b. Bagaimanakah upaya penanggulangan secara non penal peredaran gelap

narkotika di Lembaga Pemasyarakatan Narkotika?

c. Apakah faktor-faktor yang menjadi penghambat upaya penanggulangan

secara non penal peredaran gelap narkotika di Lembaga Pemasyarakatan

Narkotika?

2. Ruang Lingkup Penelitian

Ruang lingkup penelitian ini adalah kajian bidang hukum pidana pada umumnya

dan khususnya pada mata kuliah hukum penitensier dan sistem pemasyarakatan

mengenai faktor penyebab terjadinya peredaran gelap narkotika di Lembaga

Pemasyarakatan Narkotika, upaya penanggulangannya secara non penal dan

faktor-faktor penghambat pelaksanaan upaya penanggulangan peredaran gelap

narkotika di Lembaga Pemasyarakatan Narkotika. Penelitian ini akan dilakukan di

(23)

C.Tujuan dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Tujuan yang hendak disampaikan oleh penulis adalah sebagai berikut:

a. Untuk mengetahui faktor-faktor penyebab terjadinya peredaran gelap narkotika

di Lembaga Pemasyarakatan Narkotika.

b. Untuk memperoleh pengetahuan dan wawasan mengenai upaya

penanggulangan secara non penal peredaran gelap narkotika di ruang lingkup

Lembaga Pemasyarakatan Narkotika.

b. Untuk mengetahui faktor-faktor penghambat upaya penanggulangan secara non

penal peredaran gelap narkotika di dalam ruang lingkup Lembaga

Pemasyarakatan Narkotika.

2. Kegunaan Penelitian a. Kegunaan Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk mengembangkan ilmu

pengetahuan hukum pidana tentang hukum pemasyarakatan dan penitensier.

b. Kegunaan Praktis

Untuk meningkatkan pengetahuan serta wawasan bagi penulis dan pihak-pihak

yang membutuhkan mengenai faktor penyebab terjadinya peredaran gelap

(24)

D.Kerangka Teoritis dan Konseptual

1. Kerangka Teoritis

Kerangka teoritis adalah konsep-konsep yang merupakan abstraksi dan hasil

pemikiran atau kerangka acuan yang pada dasarnya bertujuan untuk mengadakan

identifikasi terhadap dimensi-dimensi sosial yang dianggap relevan oleh

peneliti.11

Setelah mengetahui faktor penyebab terjadinya kejahatan, maka perlu dilakukan

upaya penanggulangannya. Sejalan dengan perkembangan ilmu hukum pidana,

terdapat suatu pemikiran bahwa untuk memperoleh hasil yang maksimal yang

bersifat welfare dengan sarana penal, tidak setiap pelaku kejahatan akan memperoleh perlakuan yang sama antara penjahat yang satu dengan penjahat yang

lain. Perbedaan perlakuan ini dilakukan mengingat sifat, karakter serta kausa

kejahatan yang tidak selalu sama. Berkaitan dengan perbedaan tersebut, maka

pada narapidana narkotika akan mengakibatkan adanya keterpaduan antara upaya

penanggulangan kejahatan dengan sarana penal dan non penal.

Teori penanggulangan kejahatan menurut Barda Nawawi Arief dibagi dua, yaitu :

a. Penanggulangan dengan sarana penal

b. Penanggulangan dengan sarana non penal. 12

Kegiatan penanggulangan kejahatan melalui sarana non penal pada dasarnya

adalah semua bentuk aktivitas yang bermuara pada perlindungan masyarakat dari

11

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta, Universitas Indonesia Press, 2010, Hlm.125

12

(25)

kejahatan, yang tidak menggunakan sarana hukum pidana (penal). Selanjutnya

dijelaskan pula bahwa sarana non penal lebih menitik beratkan pada sifat preventif

(pencegahan, penangkalan, pengendalian) sebelum kejahatan terjadi, maka

sasaran utamanya adalah menangani faktor-faktor kondusif penyebab kejahatan.

Selanjutnya dalam salah satu tulisannya Barda Nawawi Arief menyatakan bahwa:

Usaha-usaha yang rasional untuk mengendalikan atau menanggulangi kejahatan (politik criminal) sudah barang tentu tidak hanya dengan menggunakan sarana penal (hukum pidana), tetapi dapat juga menggunakan sarana-sarana non penal, usaha-usaha non penal ini misalnya penyantunan dan pendidikan sosial dalam rangka mengembangkan tanggungjawab sosial masyarakat melalui pendidikan moral, agama dan sebagainya; kegiatan patroli dan pengawasan lainnya secara continue oleh polisi dan aparat penegak keamanan lainnya dan sebagainya. Usaha non penal ini dapat melalui bidang yang sangat luas sekali diseluruh sektor kebijakan sosial. Tujuan utama dari usaha non penal itu adalah memperbaiki kondisi-kondisi sosial tertentu, namun secara tidak langsung mempunyai pengaruh preventif terhadap kejahatan.13

Dalam uraian diatas dinyatakan bahwa terdapat beberapa masalah-masalah sosial

atau kondisi-kondisi sosial yang dapat menyebabkan timbulnya kejahatan. Faktor

penghambat penegakan hukum pidana menurut Soerjono Soekanto adalah:

a. Hukumnya sendiri;

Barda Nawawi Arief Dan Muladi, Teori-Teori Dan Kebijakan Pidana, Bandung, Alumni, 1992. Hlm.158-159

14

(26)

2. Konseptual

Kerangka Konseptual adalah gambaran tentang hubungan antara konsep-konsep

khusus yang merupakan kumpulan arti yang berkaitan dengan istilah yang

diteliti.15 Berdasarkan judul akan diuraikan berbagai istilah sebagai berikut :

a. Faktor penyebab adalah hal (keadaan, peristiwa) yg ikut menyebabkan

(mempengaruhi) terjadinya sesuatu16

b. Peredaran Gelap Narkotika adalah beredarnya zat atau obat yang berasal dari

tanaman atau bukan tanaman, baik sintetis maupun semisintetis, yang dapat

menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, dan dapat

menimbulkan ketergantungan, yang dibedakan kedalam golongan-golongan

sebagaimana terlampir dalam Undang-Undang Narkotika (UU No.35 Tahun

2009 tentang narkotika Pasal 1 ayat (1)) secara illegal di tengah masyarakat

atau lingkup sebuah lembaga.17

c. Lembaga Pemasyarakatan Narkotika adalah Tempat untuk melaksanakan

pemasyarakatan narapidana /anak Didik pengguna narkotika dan obat terlarang

lainnya.18

d. Narkotika adalah obat atau zat yang dapat digunakan untuk menenangkan

saraf, menghilangkan rasa sakit, menimbulkan rasa mengantuk atau sejenis

obat atau zat yang dapat menimbulkan rangsangan, seperti: ganja, opium dan

sebagainya.19

15 Soerjono Soekanto. Pengantar Penelitian Hukum Cet.Ketiga, Op Cit, Hal.132 16

http://artikata.com/arti-326961-faktor penyebab.html di unduh pada 10 April 2015 jam 08:16 WIB.

17

Penjelasan Pasal 56 Angka 2 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika 18

Keputusan Direktur Jenderal Pemasyarakatan Nomor : E.Kp.09.05-701a Tahun 2003 Tentang Tugas Pejabat Struktural Dan Petugas Operasional Di Lembaga Pemasyarakatan Narkotika Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Departemen Kehakiman Dan Hak Asasi Manusia RI 19

(27)

E.Sistematika Penulisan

Sistematika suatu penulisan skripsi bertujuan untuk memberikan suatu gambaran

yang jelas mengenai pembahasan skripsi yang dapat dilihat dari hubungan antar

satu bagian dengan bagian lain dari seluruh isi tulisan sebuah skripsi dan untuk

mengetahui serta untuk lebih memudahkan memahami materi yang ada dalam

skripsi ini, maka penulis menyajikan sistematika penulisan skripsi ini sebagai

berikut:

I. PENDAHULUAN

Bab ini menguraikan secara garis besar mengenai latar belakang penulisan,

perumusan masalah dan ruang lingkup, tujuan dan kegunaan penulisan, kerangka

teoritis dan konseptual, serta sistematika penulisan.

II. TINJAUAN PUSTAKA

Bab ini merupakan pengantar pemahaman ke dalam pengertian-pengertian umum

serta pokok bahasan. Dalam uraian bab ini lebih bersifat teoritis yang nantinya

akan digunakan sebagai bahan studi perbandingan antara teori yang berlaku

dengan kenyataannya yang berlaku dalam praktek.

III. METODE PENELITIAN

Bab ini menjelaskan tentang langkah-langkah yang digunakan dalam penelitian

yang memuat tentang pendekatan masalah, data dan sumber data, penentuan

populasi dan sampel, prosedur pengumpulan data dan pengolahan data serta

(28)

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Pada bab ini menyajikan pembahasan dari hasil penelitian yang akan memberikan

jawaban tentang upaya penanggulangan secara non penal peredaran gelap

narkotika di Lembaga Pemasyarakatan narkotika, faktor-faktor penghambat upaya

penanggulangan secara non penal peredaran gelap narkotika di lembaga

pemasyarakatan, serta karakteristik responden.

V. PENUTUP

Bab ini merupakan penutup dari penulisan skripsi yang berisikan secara singkat

hasil pembahasan dari penelitian dan beberapa saran dari peneliti sehubungan

dengan masalah yang dibahas, memuat lampiran-lampiran, serta saran-saran yang

berhubungan dengan penulisan dan permasalahan yang dibahas bagi aparat

(29)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A.Lembaga Pemasyarakatan Narkotika

1. Pengertian Lembaga Pemasyarakatan Narkotika

Lembaga Pemasyarakatan khusus narkotika merupakan lembaga khusus yang

diperuntukkan bagi narapidana kasus narkotika, berdiri sendiri dengan pola

pembinaan berbeda dengan Lembaga Pemasyarakatan umum yaitu menggunakan

dua aspek penanganan dan pendekatan yakni, aspek perawatan dan aspek

kesehatan dari narapidana.1

Secara ideal Lembaga Pemasyarakatan Narkotika mengandung makna berperan

“memasyarakatkan kembali “ para narapidana yang telah melanggar aturan hukum

dan norma-norma yang dianut masyarakat. Lembaga Pemasyarakatan Narkotika

melaksanakan pembinaan secara komprehensif, baik rehabilitasi terpadu, sosial

maupun rehabilitasi medis.

Lembaga Pemasyarakatan atau yang dulunya disebut dengan penjara merupakan

bangunan tempat isolasi yang secara filosofis ditujukan untuk menghilangkan

kemerdekaan narapidana atau mengalami pencabutan kemerdekaan serta membina

1

(30)

atau mendidik para narapidana agar menjadi baik selama di dalam Lembaga

pemasyarakatan.2

Lembaga Pemasyarakatan narkotika merupakan tempat untuk menampung

narapidana penyalahgunaan narkotika yakni tempat yang bersifat isolasi, yang

membatasi gerak-gerik para narapidana dengan tembok yang kokoh dan tinggi

serta pintu dan jendela yang terbuat dari trali besi, terkungkung dalam kamar yang

gelap dan pengab. Selain itu, pengawasan dan penjagaan di dalam Lembaga

Pemasyarakatan narkotika oleh para petugas Lembaga Pemasyarakatan sangat

ketat.

Masyarakat yang akan memasuki Lembaga Pemasyarakatan juga harus mendapat

ijin resmi dari pejabat yang berwenang, misalnya dari pengadilan, serta sebelum

memasuki gedung Lembaga Pemasyarakatan tersebut para pengunjung diperiksa

dan diawasi atau mendapat pengawasan yang ketat dari petugas Lembaga

Pemasyarakatan. Tidak sedikit dari pengunjung yang tidak diperbolehkan masuk

untuk membesuk keluarganya atau hanya melihat-lihat di dalam Lembaga

Pemasyarakatan narkotika, dengan alasan peraturan atau kebijakan.

Hal tersebut menunjukkan bahwa seseorang yang dimasukkan ke dalam penjara

atau Lembaga Pemasyarakatan tidak bisa secara bebas berkomunikasi dengan

orang luar, karena telah diisolasikan dan tidak bisa keluar atau bebas dari

Lembaga Pemasyarakatan tanpa seijin dari pimpinan Lembaga Pemasyarakatan

atau telah selesai masa tahanannya.

2

(31)

Hal ini menunjukkan sistem birokrasi pemerintah di dalam Lembaga

Pemasyarakatan narkotika menjadi sesuatu yang sakral. Dengan jalan demikian,

diharapkan setelah menjalankan hukumannya ia akan menjadi insaf dan tidak mau

lagi melakukan tindak pidana kejahatan.3

Lembaga Pemasyarakatan narkotika sebagai institusi tentu memiliki

keterbatasan-keterbatasan fisik dan organisatoris. Lembaga Pemasyarakatan narkotika tidak

saja dibatasi oleh batas-batas fisik tapi juga batas-batas sosial. Batas fisik seperti

pagar, tembok, jeruji, diberlakukan bagi terhukum agar tidak berinteraksi secara

bebas layaknya masyarakat di luar Lembaga Pemasyarakatan.

Batas-batas fisik dan sosial mendasari timbulnya kesepakatan-kesepakatan

tertentu diantara petugas dan narapidana untuk saling bekerja sama menafsirkan

penggunaan dan pemanfaatan batas-batas tersebut sesuai kebutuhan dan

kepentingan masing-masing. Batas-batas ini mencerminkan struktur masyarakat di

balik tembok Lembaga Pemasyarakatan tak jauh berbeda dengan struktur

masyarakat di Luar Lembaga pemasyarakatan.4

2. Lembaga Pemasyarakatan Narkotika Kelas II A Bandar Lampung

Lembaga Pemasyarakatan Narkotika Kelas II A Bandar Lampung adalah salah

satu UPT Pemasyarakatan di bidang perawatan dan pelayanan tahanan, khusus

tahanan narkotika yang berfungsi sebagai tempat pembinaan narapidana yang

sudah dijatuhi vonis hukuman oleh hakim yang bertanggung jawab langsung

kepada Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM Provinsi Lampung.

3

R. Abdoel Djamali, Pengantar Hukum Indonesia, Rajawali Pers, , 2009, Hlm.188 4

(32)

Lembaga Pemasyarakatan Narkotika Kelas II A Bandar Lampung didirikan

berdasarkan Keputusan Menteri Kehakiman Dan Hak Asasi Manusia RI Nomor

M.04. PR. 07. 03 Tahun 2003 tentang Pembentukan Direktorat Bina Khusus

Narkotika di Tingkat Pusat dan Lembaga Pemasyarakatan Khusus Narkotika di

Tingkat Daerah, dan dioperasionalkan sejak tanggal 1 Juni 2005 oleh Kepala

Kementerian Hukum dan HAM Provinsi Lampung. Realisasi dan Keputusan

Menteri tersebut di atas adalah dengan pendirian 14 Lembaga Pemasyarakatan

Khusus Narkotika di seluruh Indonesia termasuk di Bandar Lampung melalui

Keputusan Menteri Kehakiman dan hak Asasi Manusia M.04. PR. 07. 03 tanggal

16 April 2003.

Lembaga Pemasyarakatan Narkotika Kelas II A Bandar Lampung didirikan di atas

lahan seluas 22.500 m2 atas bantuan Pemerintah Daerah Propinsi Lampung. Lahan

tersebut adalah keseluruhan dan area dalam dan area luar yang digunakan sebagai

bangunan utama serta sarana dan prasarana dalam hal pembinaan terhadap

narapidana seperti bangunan kantor, poliklinik, bengkel kerja, dapur, aula, masjid,

gereja, blok hunian, straff cell, pagar keliling, pos jaga 4 lokasi, dan lain-lain.

Lembaga Pemasyarakatan Narkotika Kelas II A Bandar Lampung ini terletak di

Jalan Raya Way Hui Sukarame Bandar Lampung. Kapasitas atau daya muat

Lembaga Pemasyarakatan tersebut adalah sebanyak 168 orang. Berdasarkan data

pada sampai tanggal 27 November 2014, jumlah narapidana di Lembaga

(33)

ini menunjukkan bahwa keadaan dan isi Lembaga Pemasyarakatan Narkotika

Kelas II A Bandar Lampung over kapasitas sebesar 335,11%.5

Lembaga Pemasyarakatan Narkotika Kelas II A Bandar Lampung memiliki Visi

“Memulihkan kesatuan hubungan hidup, kehidupan dan penghidupan Warga

Binaan Pemasyarakatan sebagai individu, anggota masyarakat dan makhluk

Tuhan Yang Maha Esa (Membagun Manusia Mandiri)”, serta Misi

“Melaksanakan perawatan tahanan, pembinaan dan pembimbingan Warga Binaan

Pemasyarakatan serta pengelolaan benda sitaan Negara dalam kerangka

penegakan hukum, pencegahan dan penanggulangan kejahatan serta pemajuan dan

perlindungan Hak Asasi Manusia”.

Tujuan Lembaga Pemasyarakatan Narkotika Kelas II A Bandar Lampung, antara

lain :

1. Membentuk warga binaan pemasyarakatan agar menjadi manusia seutuhnya,

menyadari kesalahan, memperbaiki diri, mandiri dan tidak mengulangi

tindak pidana sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat,

dapat aktif berperan dalam pembangunan dan dapat hidup secara wajar

sebagai warga yang baik dan bertanggungjawab.

2. Memberikan jaminan perlindungan hak asasi tahanan yang ditahan dirumah

tahanan Negara dan cabang rumah tahanan dalam rangka memperlancar

proses penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan.

3. Memberikan jaminan perlindungan hak asasi tahanan/ para pihak yang

berperkara serta keselamatan dan keamanan benda-benda yang disita untuk

5

(34)

keperluan barang bukti pada tingkat penyidikan, penuntutan dan

pemeriksaan di sidang pengadilan serta benda-benda yang dinyatakan

dirampas untuk Negara berdasarkan putusan pengadilan. 6

Lembaga Pemasyarakatan Narkotika Kelas II A Bandar Lampung memiliki fungsi

melaksanakan pembinaan narapidana/anak didik kasus narkotika, memberikan

bimbingan, terapi dan rehabilitasi narapidana/anak didik kasus narkotika,

melakukan bimbingan sosial kerohanian, melakukan pemeliharaan keamanan dan

tata tertib lembaga pemasyarakatan, serta melakukan urusan Tata Usaha dan

Rumah Tangga.

Pada prinsipnya fungsi keamanan di tiap UPT dimaksudkan untuk memberikan

rasa aman kepada tahanan, narapidana dan anak didik pemasyarakatan. Keamanan

juga ditujukan untuk mencegah terjadinya kekerasan antar tahanan, narapidana

dan anak didik pemasyarakatan, kekerasan kepada petugas dan pengunjung, dan

mencegah terjadinya bunuh diri. Keamanan juga menjadi pendukung utama

pencegahan pengulangan tindak pidana, pelarian, pencegah terjadinya kerusuhan

atau pembangkangan pada tata tertib, dan terhadap masuknya benda-benda yang

tidak diperkenankan masuk kedalam hunian seperti narkotika. Pengamanan juga

diberikan pada tahanan, narapidana dan anak didik pemasyarakatan yang

berpindah tempat atau keluar untuk menjalani proses pemeriksaan tertentu, seperti

pemeriksaan di pengadilan, kesehatan, dan keperluan lainnya.

6

(35)

Setiap pelanggaran akan dikenai sanksi disiplin, salah satunya penempatan di

ruang isolasi atau tutupan sunyi. Penjatuhan sanksi ini tidak lepas dari penegakan

disiplin dan pengamanan. Namun demikian harus dikedepankan rasa keadilan dan

tindakan yang tidak sewenang-wenang dalam penerapannya.

Sistem keamanan dibuat berdasarkan landasan pembentukan keamanan di

Lembaga Pemasyarakatan pada Bab V Pasal 46 UU No. 12 Tahun 1995 yaitu,

Kepala Lembaga Pemasyarakatan bertanggung jawab atas keamanan dan

ketertiban di Lembaga Pemasyarakatan yang dipimpinnya. Keamanan merupakan

syarat mutlak untuk terlaksananya program-program pembinaan. Oleh karena

itulah suasana aman dan tertib perlu diciptakan. Sistem keamanan yang digunakan

dalam Lembaga Pemasyarakatan Narkotika Kelas II A Bandar Lampung adalah

Sistem Keamanan Individual, Sistem Keamanan Kelompok, Sistem Keamanan

Campuran dan dilaksanakan sesuai dengan tingkat keadaan (situasi) mulai tahapan

Maximal Security, Medium security dan minimum security.7

Untuk penciptaan kondisi keamanan yang kondusif di Lembaga Pemasyarakatan

Narkotika Kelas II A Bandar Lampung, maka pelaksanaan program keamanan di

bagi menjadi empat regu keamanan yang keseluruhannya di jalankan oleh KPLP

(Kesatuan Pengamanan Lembaga Pemasyarakatan).8

Lembaga Pemasyarakatan Narkotika Kelas II A Bandar Lampung didukung

kekuatan keamanan 4 regu dan masing-masing regu berjumlah 8 personil, serta 4

regu petugas P2U yang masing-masing regu berjumlah 2 personil. KPLP yang di

7

Erna Dewi, Op Cit. 8

(36)

kepalai oleh Ka.KPLP memiliki 2(dua) unsur yaitu : Staf KPLP dan regu jaga.

Secara umum KPLP bergerak dilapangan dan bertanggung jawab secara teknis

terhadap keamanan dan ketertiban Lembaga pemasyarakatan, dari seluruh unsur

yang ada di Lembaga pemasyarakatan. KPLP adalah unsur yang bersinggungan

langsung dan secara terus menerus berada di dalam Lembaga Pemasyarakatan

melalui regu jaga. Sebagai unsur yang selalu berada paling dekat dengan

narapidana maka penanganan pertama terhadap adanya tindakan pelanggaran

kedisiplinan berada di unsur KPLP.9

Kesatuan Pengamanan Lembaga Pemasyarakatan mempunyai tugas menjaga

keamanan dan ketertiban Lembaga pemasyarakatan. Untuk menyelenggarakan

tugas tersebut Kesatuan Pengamanan Lembaga Pemasyarakatan mempunyai

fungsi yaitu melakukan penjagaan dan pengawasan terhadap Narapidana/ Anak

Didik, melakukan pemeliharaan keamanan dan ketertiban, melakukan

pengawalan, penerimaan, penempatan dan pengeluaran narapidana/anak didik,

melakukan pemeriksaan terhadap pelanggaran keamanan, serta membuat laporan

harian dan berita acara pelaksanaan pengamanan.

Ada dua jenis sanksi yang dijatuhkan ke narapidana terkait pelanggaran disiplin,

yaitu tindakan disiplin sesuai Permen No.6 tahun 2013 berupa pemindahan ke sel

pengasingan selama 6 (enam) hari; dan hukuman disiplin. Adapun jenis-jenis

tindakan narapidana yang dikategorikan sebagai pelanggaran adalah :

9

(37)

1. Penjatuhan hukuman disiplin tingkat ringan bagi narapidana dan tahanan yang

melakukan pelanggaran :

a) Tidak menjaga kebersihan diri dan lingkungan;

b) Meninggalkan blok hunian tanpa izin kepada petugas blok;

c) Tidak mengenakan pakaian seragam yang telah ditentukan;

d) Tidak mengikuti apel pada waktu yang telah ditentukan;

e) Mengenakan anting, kalung, cincin, dan ikat pinggang;

f) Melakukan perbuatan atau mengeluarkan perkataan yang tidak pantas dan

melanggar norma kesopanan atau kesusilaan; dan

g) Melakukan tindakan yang berdasarkan pertimbangan siding tim pengamat

pemasyarakatan termasuk dalam perbuatan yang dapat dikenakan

hukuman disiplin tingkat ringan.

2. Narapidana dan tahanan yang dijatuhi hukuman disiplin tingkat sedang jika

melakukan pelanggaran :

a) Memasuki steril area tanpa ijin petugas;

b) Membuat tato dan/atau peralatannya, tindik, atau sejenisnya;

c) Melakukan aktifitas yang dapat membahayakan keselamatan diri sendiri

atau orang lain;

d) Melakukan perbuatan atau mengeluarkan perkataan yang tidak pantas yang

melanggar norma keagamaan;

e) Melakukan aktifitas jual beli atau utang piutang;

f) Melakukan perbuatan yang termasuk dalam kategori yang mendapatkan

(38)

g) Melakukan tindakan yang berdasarkan pertimbangan siding tim pengamat

pemasyarakatan termasuk dalam perbuatan yang dapat dikenakan

hukuman disiplin tingkat sedang;

3. Narapidana dan tahanan yang dijatuhi hukuman disiplin tingkat berat jika

melakukan pelanggaran :

a) Tidak mengikuti program pembinaan yang telah ditetapkan;

b) Mengancam, melawan, atau melakukan penyerangan terhadap petugas;

c) Membuat atau menyimpan senjata api, senjata tajam, atau sejenisnya;

d) Merusak fasilitas Lembaga Pemasyarakatan atau rutan;

e) Mengancam, memprovokasi, atau perbuatan lain yang menimbulkan

gangguan keamanan dan ketertiban;

f) Memiliki, membawa, menyimpan, mengedarkan atau mengkonsumsi

minuman yang mengandung alkohol;

g) Membuat, membawa, menyimpan, mengedarkan, atau mengkonsumsi

narkotika dan obat terlarang serta zat adiktif lainnya;

h) Melakukan upaya melarikan diri atau membantu narapidana atau tahanan

lain untuk melarikan diri;

i) Melakukan tindakan kekerasan terhadap sesama penghuni maupun

petugas;

j) Melakukan pemasangan atau menyuruh orang lain melakukan pemasangan

instalasi listrik di dalam kamar hunian;

k) Melengkapi untuk kepentingan pribadi di luar ketentuan yang berlaku

dengan alat pendingin, kipas angin, kompor, televisi, slot pintu, dan/atau

(39)

l) Melakukan perbuatan asusila atau penyimpangan seksual;

m) Melakukan pencurian, pemerasan, perjudian, atau penipuan;

n) Menyebarkan ajaran sesat;

o) Melakukan perbuatan yang termasuk dalam kategori yang mendapatkan

hukuman disiplin tingkat sedang secara berulang lebih dari 1(satu) kali

atau perbuatan yang dapat menimbulkan gangguan keamanan dan

ketertiban berdasarkan penilaian sidang TPP; dan

p) Melakukan tindakan yang berdasarkan pertimbangan sidang TPP termasuk

dalam perbuatan yang dapat dikenakan hukuman disiplin tingkat berat. 10

Kecenderungan makin maraknya peredaran narkotika di Lembaga

Pemasyarakatan Narkotika baik secara kualitas maupun kuantitas harus diiringi

oleh suatu upaya penanganan terpadu atas peredaran narkotika, baik melalui

pemeriksaan barang, tamu kunjungan, diklat-diklat maupun pelatihan tentang

narkotika bagi petugas.

B.Upaya Penanggulangan Kejahatan Narkotika

Upaya atau kebijakan untuk melakukan pencegahan atau penanggulangan

kejahatan narkotika termasuk bidang kajian “kebijakan kriminal”. Sudarto

mengemukakan tiga arti kebijakan kriminal yaitu :

a. Dalam arti sempit, yakni keseluruhan asas dan metode yang menjadi dasar

dari reaksi terhadap pelanggaran hukum yang berupa pidana;

10

(40)

b. Dalam arti luas, yakni keseluruhan fungsi dari aparatur penegak hukum,

termasuk di dalamnya cara kerja dari Lembaga Pemasyarakatan;

c. Dalam arti paling luas, yakni keseluruhan kebijakan, yang dilakukan melalui

perundang-undangan dan badan resmi yang bertujuan untuk menegakkan

norma-norma sentral dari masyarakat.11

Barda Nawawi Arief menjelaskan bahwa tujuan tersebut dapat di identifikasikan

dalam hal-hal pokok sebagai berikut :

a. Pencegahan dan penanggulangan kejahatan menunjang tujuan (goal),

kesejahteraan masyarakat/Social Welfare (SW) dan perlindungan

masyarakat/Social Defence (SD). Aspek SW dan SD yang sangat penting adalah aspek kesejahteraan/perlindungan masyarakat yang bersifat

immaterial, terutama nilai kepercayaan, kebenaran, kejujuran, dan keadilan.

b. Pencegahan dan penanggulangan kejahatan harus dilakukan dengan

pendekatan integral, ada keseimbangan sarana penal dan non penal. Di lihat

dari sudut politik dan kriminal, kebijakan paling strategis melalui sarana “non

penal” karena lebih bersifat preventif dan karena kebijakan “penal” memiliki

kelemahan/keterbatasan (yaitu bersifat fragmentaris atau lebih bersifat

represif dan harus didukung oleh infrastruktur dengan biaya tinggi).

c. Pencegahan dan penanggulangan kejahatan dengan sarana penal merupakan

penal policy atau penal law enforcement policy yang fungsionalisasi atau operasionalisasinya melalui beberapa tahap yakni tahap formulasi, tahap

aplikasi, dan tahap eksekusi.12

11

Sudarto, 1986, Kapita Selekta Hukum Pidana, Bandung, Hal.113 12

(41)

Berkaitan dengan uraian diatas maka pembentuk hukum dan perencana

undang-undang dalam mempersiapkan peraturan hukum pidana harus berorientasi pada

kepentingan masyarakat di masa mendatang dengan mengingat nilai-nilai sosial

budaya dan struktural masyarakat.13 Suatu perumusan hukum pidana yang kurang

baik akan berdampak pada kedua tahap berikutnya, sehingga tahap kebijakan

formulatif atau legislative merupakan tahapan yang paling penting.

Upaya penanggulangan kejahatan ini dilakukan tidak semata-mata secara penal

saja, tetapi juga dilakukan dengan upaya-upaya non penal agar lebih efektif dan

efisien, dimana kedua upaya tersebut saling melengkapi dan saling mengisi satu

sama lain. Dalam kerangka penanggulangan kejahatan ini tidak terlepas dari

pemikiran bahwa hakekat dan tujuan penanggulangan kejahatan dalam rangka

melindungi masyarakat dari kejahatan (social defence policy), yang pada akhirnya guna mencapai kesejahteraan masyarakat (social welfare policy).

Dari sisi frekuensi, upaya penal bersifat temporal kondisional yang bekerja ketika

suatu pelanggaran/kejahatan terjadi, sedangkan upaya non penal bersifat rutin atau

continue yaitu tetap bekerja, baik pada saat tidak ada pelanggaran/kejahatan maupun setelah ada pelanggaran/kejahatan. Jika menbandingkan pola kerja

keduanya tersebut, maka upaya penal merupakan ultimum remidium yang sebenarnya hanya mem-back-up upaya non penal saja.14

Upaya penal lebih bersifat refresif yang bekerja setelah kejahatan terjadi dengan

fokus utama pada pelakunya, sedangkan upaya non penal bersifat preventif yang

13

Djisman Samosir, Fungsi Pidana Dalam Sistem Pemidanaan Di Indonesia, Bina Cipta, Bandung, 1992, Hlm.26

14

(42)

bekerja sebelum kejahatan terjadi yaitu melakukan langkah-langkah antisipasi

berupa tindakan pencegahan, yang diarahkan pada upaya menangani faktor-faktor

kondusif penyebab terjadinya kejahatan. Pada dasarnya masalah strategi yang

harus ditanggulangi menurut Barda Nawawi Arief, ialah menangani

masalah-masalah atau kondisi sosial secara langsung atau tidak langsung yang dapat

menumbuh suburkan kejahatan, ini berarti penanganan dan penggarapan

masalah-masalah itu justru merupakan posisi kunci dan strategis dilihat dari sudut politik

kriminal. Beberapa ahli hukum pidana berpendapat upaya non penal mempunyai

peranan kunci yang strategis dari keseluruhan upaya politik kriminal atau politik

hukum pidana dalam upaya pencegahan terjadinya suatu kejahatan. 15

Salah satu aspek yang patut mendapat perhatian adalah penggarapan masalah

upaya penanggulangan kejahatan narkotika. Kejahatan narkotika merupakan

masalah yang sangat kompleks, yang memerlukan upaya penanggulangan secara

komprehensif dengan melibatkan kerja sama multidisipliner, multisektor, dan

peran serta masyarakat secara aktif yang dilaksanakan secara berkesinambungan,

konsekuen dan konsisten.

Kebijakan kriminal atau penanggulangan kejahatan pada hakekatnya merupakan

bagian integral dari upaya perlindungan masyarakat (social defence) dan upaya mencapai kesejahteraan masyarakat (social welfare) oleh karena itu dapat dikatakan bahwa tujuan akhir atau tujuan utama dari politik kriminal adalah

perlindungan masyarakat untuk mencapai kesejahteraan masyarakat. Dengan

15

(43)

demikian dapat dikatakan, bahwa politik kriminal pada hakekatnya juga

merupakan bagian integral dari politik sosial.

Usaha penanggulangan kejahatan dapat dijabarkan sebagai berikut :

a. Pencegahan Penanggulangan Kejahatan (PPK) harus menunjang tujuan

(goal), social welfare dan social defence. Di mana aspek social welfare dan social defence yang sangat penting adalah aspek kesejahteraan perlindungan masyarakat yang bersifat immaterial, terutama nilai kepercayaan, kebenaran,

kejujuran/keadilan.

b. Pencegahan penanggulangan kejahatan dilakukan dengan pendekatan

integral, ada keseimbangan sarana penal dan non penal.

c. Pencegahan penanggulangan kejahatan dengan sarana penal atau penal law enforcement policy yang fungsionalisasi/operasionalisasinya melalui beberapa tahap : formulasi (kebijakan legislatif), aplikasi (kebijakan

yudikatif), dan eksekusi (kebijakan eksekutif/administratif).16

Upaya non penal dengan menjadikan masyarakat sebagai lingkungan sosial dan

lingkungan hidup yang sehat dari faktor-faktor kriminogen, merupakan potensi

yang dapat dicoba untuk menangkal kejahatan, termasuk kejahatan narkotika,

sehingga perlu dikembangkan seluruh potensi dan dukungan dari masyarakat

untuk mencegah dan menanggulangi terjadinya kejahatan narkotika.

Tingginya tingkat kemiskinan dan pengangguran yang terdapat dalam suatu

daerah dapat menjadi salah satu faktor kondusif yang mendorong terjadinya

kejahatan narkotika, disamping adanya kemudahan untuk memperoleh uang

16

(44)

dengan menjadi kurir, pengedar atau bandar narkotika. Mereka yang miskin atau

menganggur lebih mudah menjadi pengedar. Sedangkan mereka yang mempunyai

uang atau mereka yang mampu, cenderung untuk menjadi pengguna atau

penyalahguna narkotika.

Selanjutnya juga Barda Nawawi Arief17 mengemukakan bahwa usaha non penal

didalam penanggulangan kejahatan lebih bersifat tindakan pencegahan untuk

terjadinya kejahatan, maka sasaran utamanya adalah menangani faktor-faktor

kondusif penyebab terjadinya kejahatan, maka sasaran utamanya adalah

menangani faktor-faktor kondusif penyebab terjadinya kejahatan. Faktor-faktor

kondusif itu antara lain berpusat pada masalah-masalah atau kondisi-kondisi sosial

yang secara langsung atau tidak langsung dapat menimbulkan atau menumbuh

suburkan kejahatan. Dengan demikian dilihat dari sudut politik kriminal secara

makro dan global, maka upaya-upaya non penal menduduki posisi kunci dan

strategis dari keseluruhan upaya politik kriminal.

C. Faktor Penghambat Penanggulangan Kejahatan

Fakta dalam kehidupan bermasyarakat, seringkali terdapat penerapan hukum

yang tidak berjalan efektif. Persoalan efektifitas hukum mempunyai hubungan

yang sangat erat dengan persoalan penerapan, pelaksanaan dan penegakan hukum

dalam masyarakat demi tercapainya tujuan hukum. Artinya hukum benar-benar

berlaku secara filosofis, yuridis dan sosiologis.

(45)

Membahas ketidakefektifan hukum, ada baiknya juga memperhatikan

faktor-faktor yang mempengaruhi efektifitas suatu penerapan hukum karena dalam

proses penegakan hukum, ada faktor-faktor yang mempengaruhi dan mempunyai

arti sehingga dampak positif dan negatifnya terletak pada isi faktor tersebut.

Menurut Soerjono Soekanto bahwa faktor tersebut ada lima, yaitu :

a. Hukumnya sendiri.

b. Penegak hukum.

c. Sarana dan fasilitas.

d. Masyarakat.

e. Kebudayaan.18

a. Faktor Hukum

Praktek dalam penyelenggaraan hukum di lapangan ada kalanya terjadi

pertentangan antara kepastian hukum dan keadilan, hal ini disebabkan oleh

konsepsi keadilan merupakan suatu rumusan yang bersifat abstrak, sedangkan

kepastian hukum merupakan suatu prosedur yang telah ditentukan secara

normatif.

Suatu kebijakan atau tindakan yang tidak sepenuhnya berdasar hukum merupakan

sesuatu yang dapat dibenarkan sepanjang kebijakan atau tindakan itu tidak

bertentangan dengan hukum. Maka pada hakikatnya penyelenggaraan hukum

bukan hanya mencakup law enforcement saja, namun juga peace maintenance, karena penyelenggaraan hukum sesungguhnya merupakan proses penyerasian

18

(46)

antara nilai kaedah dan pola perilaku nyata yang bertujuan untuk mencapai

kedamaian.

Setiap permasalahan sosial tidak berarti hanya dapat diselesaikan dengan hukum

yang tertulis, karena tidak mungkin ada peraturan perundang-undangan yang

dapat mengatur seluruh tingkah laku manusia, yang isinya jelas bagi setiap warga

masyarakat yang diaturnya dan serasi antara kebutuhan untuk menerapkan

peraturan dengan fasilitas yang mendukungnya.

Hakekatnya, hukum itu mempunyai unsur-unsur antara lain hukum

perundang-undangan, hukum traktat, hukum yuridis, hukum adat, dan hukum ilmuwan atau

doktrin. Secara ideal unsur-unsur itu harus harmonis, artinya tidak saling

bertentangan baik secara vertikal maupun secara horizontal antara

perundang-undangan yang satu dengan yang lainnya, bahasa yang dipergunakan harus jelas,

sederhana, dan tepat karena isinya merupakan pesan kepada warga masyarakat

yang terkena perundang-undangan itu.

Demikian, tidak menutup kemungkinan hakim dalam menjatuhkan pidana

terhadap pelaku kejahatan itu terlalu ringan, atau terlalu mencolok perbedaan

antara tuntutan dengan pemidanaan yang dijatuhkan. Hal ini merupakan suatu

penghambat dalam penegakan hukum tersebut.

b. Faktor Penegak Hukum

Petugas penegak hukum memainkan peranan penting dalam berfungsinya hukum,

baik secara mentalitas atau kepribadian. Jika peraturan sudah baik, tetapi kualitas

(47)

keberhasilan dalam penegakan hukum adalah mentalitas atau kepribadian penegak

hukum dengan mengutip pendapat J. E. Sahetapy yang mengatakan :

“Dalam rangka penegakan hukum dan implementasi penegakan hukum bahwa penegakan keadilan tanpa kebenaran adalah suatu kebijakan. Penegakan kebenaran tanpa kejujuran adalah suatu kemunafikan. Dalam kerangka penegakan hukum oleh setiap lembaga penegakan hukum (inklusif manusianya) keadilan dan kebenaran harus dinyatakan, harus terasa dan terlihat, harus diaktualisasikan”.19

Di dalam konteks di atas yang menyangkut kepribadian dan mentalitas penegak

hukum, bahwa selama ini ada kecenderungan yang kuat di kalangan masyarakat

untuk mengartikan hukum sebagai petugas atau penegak hukum, artinya hukum

diidentikkan dengan tingkah laku nyata petugas atau penegak hukum. Tetapi

dalam melaksanakan wewenangnya sering timbul persoalan karena sikap atau

perlakuan yang dipandang melampaui wewenang atau perbuatan lainnya yang

dianggap melunturkan citra dan wibawa penegak hukum, hal ini disebabkan oleh

kualitas yang rendah dari aparat penegak hukum tersebut.

Hal ini dapat berakibat tidak memahami batas-batas kewenangan, karena kurang

pemahaman terhadap hukum, sehingga terjadi penyalahgunaan wewenang dalam

melakukan tugas penyidikan dan tugas lainnya. Masalah peningkatan kualitas ini

merupakan salah satu kendala yang dialami diberbagai instansi, tetapi khusus bagi

aparat yang melaksanakan tugas wewenangnya menyangkut Hak Asasi Manusia

(dalam hal ini aparat penegak hukum) seharusnya mendapat prioritas. Meskipun

disadari bahwa dalam hal peningkatan mutu berkaitan erat dengan anggaran

lainnya yang selama ini bagi Lembaga Pemasyarakatan selalu kurang dan sangat

minim.

19

(48)

b. Faktor Sarana atau Fasilitas Pendukung

Faktor sarana atau fasilitas pendukung mencakup perangkat lunak dan perangkat

keras, salah satu contoh perangkat lunak adalah pendidikan. Pendidikan yang

diterima oleh Petugas Lembaga Pemasyarakatan dewasa ini cenderung pada

hal-hal yang praktis konvensional, sehingga dalam banyak hal-hal petugas Lapas

mengalami hambatan di dalam tujuannya.

Oleh karena itu, sarana atau fasilitas mempunyai peranan yang sangat penting di

dalam penegakan hukum. Tanpa adanya sarana atau fasilitas tersebut, tidak akan

mungkin penegak hukum menyerasikan peranan yang seharusnya dengan peranan

yang aktual.

c. Faktor Masyarakat

Penegak hukum berasal dari masyarakat dan bertujuan untuk mencapai kedamaian

di dalam masyarakat. Setiap warga masyarakat atau kelompok sedikit banyaknya

mempunyai kesadaran hukum, persoalan yang timbul adalah taraf kepatuhan

hukum, yaitu kepatuhan hukum yang tinggi, sedang, atau kurang. Adanya derajat

kepatuhan hukum masyarakat terhadap hukum, merupakan salah satu indikator

berfungsinya hukum yang bersangkutan.

d. Faktor Kebudayaan

Dalam kebudayaan sehari-hari, orang begitu sering membicarakan soal

kebudayaan. Kebudayaan menurut Soerjono Soekanto, mempunyai fungsi yang

sangat besar bagi manusia dan masyarakat, yaitu mengatur agar manusia dapat

mengerti bagaimana seharusnya bertindak, berbuat, dan menentukan sikapnya

(49)

adalah suatu garis pokok tentang perikelakuan yang menetapkan peraturan

mengenai apa yang harus dilakukan, dan apa yang dilarang.20

Kelima faktor di atas saling berkaitan dengan eratnya, karena menjadi hal pokok

dalam penegakan hukum, serta sebagai tolok ukur dari efektifitas penegakan

hukum. Dari lima faktor penegakan hukum tersebut faktor penegakan hukumnya

sendiri merupakan titik sentralnya. Hal ini disebabkan oleh baik

undang-undangnya disusun oleh penegak hukum, penerapannya pun dilaksanakan oleh

penegak hukum dan penegakan hukumnya sendiri juga merupakan panutan oleh

masyarakat luas.

Kelima faktor yang dikemukakan Soerjono Soekanto tersebut, tidaklah disebutkan

faktor mana yang sangat dominan berpengaruh atau secara mutlak semua faktor

tersebut harus mendukung untuk membentuk efektifitas hukum. Namun

sistematika dari kelima faktor ini jika bisa optimal, setidaknya hukum dinilai

dapat efektif.

Sistematika tersebut artinya untuk membangun efektifitas hukum harus diawali

untuk mempertanyakan bagaimana hukumnya, kemudian disusul bagaimana

penegak hukumnya, lalu bagaimana sarana dan fasilitas yang menunjang,

kemudian bagaimana masyarakat merespon serta kebudayaan yang terbangun.

Dari apa yang dikemukakan Soerjono Soekanto, tentu bukan hanya kelima faktor

tersebut, tetapi banyak faktor-faktor lainnya yang ikut mempengaruhi efektifnya

suatu hukum diterapkan. Salah satu inisialnya adalah faktor keadaan atau kondisi

yang melingkupi penerapan suatu hukum.

20

(50)

III. METODE PENELITIAN

A.Pendekatan Masalah

Penelitian hukum merupakan suatu kegiatan ilmiah, yang didasarkan pada

metode, sistematika, dan pemikiran tertentu yang bertujuan untuk mempelajari

satu atau beberapa gejala hukum tertentu dengan cara menganalisanya.1

Pendekatan masalah yang digunakan dalam penelitian ini yaitu dengan

menggunakan pendekatan:

1. Pendekatan yuridis normatif adalah pendekatan dalam arti menelaah

kaidah-kaidah atau norma-norma dan aturan-aturan yang berhubungan dengan masalah

yang akan dibahas atau dilakukan hanya pada peraturan-peraturan yang tertulis

atau bahan-bahan hukum yang lain.2 Pendekatan tersebut dilakukan dengan

mengumpulkan berbagai peraturan-peraturan dan teori-teori yang berkenaan

dengan permasalahan dan pembahasan dalam penelitian ini.

2. Pendekatan yuridis empiris adalah pendekatan yang dilakukan secara langsung

terhadap objek penelitian dengan cara mendapatkan data langsung dari

narasumber melalui observasi dan wawancara, khususnya yang berkaitan

dengan permasalahan yang akan dibahas dalam mencari dan menemukan fakta

tersebut.

1

Soerjono Soekanto, Op Cit, Hlm.43. 2

(51)

B.Sumber dan Jenis Data

Sumber data dan jenis data dilihat dari sumbernya dapat dibedakan antara data

yang diperoleh lansung dari masyarakat dan data yang diperoleh dari bahan

pustaka3, yaitu:

1. Data Primer (field research)

Data primer adalah data yang diperoleh secara langsung dengan wawancara atau

kuisioner pada masyarakat dan instansi terkait. Adapun sumber data yang penulis

peroleh berupa keterangan-keterangan tentang faktor penyebab terjadinya

peredaran gelap narkotika di Lembaga Pemasyarakatan Narkotika di ruang

lingkup Lembaga Pemasyarakatan Narkotika Kelas II A Bandar Lampung, upaya

penanggulangannya secara non penal serta faktor-faktor penghambat pelaksanaan

penanggulangan peredaran narkotika pada kenyataannya.

2. Data Sekunder (library research)

Data sekunder adalah data yang terdiri dari bahan hukum primer dan bahan

hukum sekunder, atau data tersier.

a) Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat yang terdiri

dari :

1. Undang-Undang Nomor 12 tahun 1995 tentang Pemasyarakatan;

2. Undang-Undang Republik Indonesia Tahun 1981 Tentang Hukum

Acara Pidana;

3. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 Tentang Kitab Undang-Undang

Hukum Pidana (KUHP);

4. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika;

3

(52)

5. Undang-Undang Nomor 5 tahun 1997 tentang Psikotropika.

6. Peraturan Menteri Hukum dan HAM RI No.6 Tahun 2013 tentang Tata

Tertib Lembaga Pemasyarakatan dan Rutan Negara.

7. Peraturan Menteri Hukum dan HAM RI No. M.HH.16.kp.05.02 tahun

2011 tentang Kode Etik Pegawai Pemasyarakatan.

8. Peraturan Menteri Hukum dan HAM RI No. M.HH-01.pw.01.01 Tahun

2011 tentang Pengawasan Internal Pemasyarakatan.

9. Peraturan Direktorat Jenderal Bina Tuna Warga No. 3.3/17/1 Tanggal

27 Januari 1975 tentang Peraturan Penjagaan Lembaga Pemasyarakatan

(PPLP).

10. Keputusan Direktur Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan

HAM RI No. PAS1.22.PK.PK.04.01, Tanggal 13 April 2010 tentang

Penyusunan Standar Operating Procedure (SOP) Pengawasan dan

Pengendalian tentang Standar Perlakuan Minimum di dalam Lembaga

pemasyarakatan/Rutan.

11. Keputusan Direktur Jenderal Pemasyarakatan No. E22.PR.08.03 Tahun

2001 tentang Prosedur Tetap Pelaksanaan Tugas Pemasyarakatan.

b) Bahan hukum sekunder yaitu bahan-bahan yang memberikan petunjuk dan

penjelasan terhadap bahan hukum primer4. Bahan hukum sekunder

diperoleh dengan cara studi dokumen, buku-buku literatur, makalah dan

bahan-bahan lainnya yang berkaitan serta ditambah dengan kegiatan

pencarian data menggunakan media internet.

4

(53)

c) Bahan hukum tersier yaitu bahan-bahan yang memberikan petunjuk dan

penjelasan terhadap bahan hukum sekunder seperti kamus besar bahasa

Indonesia, media massa, artikel, majalah, paper, jurnal, yang berkaitan

dengan masalah yang dibahas dalam skripsi ini.5

C. Penentuan Narasumber

Penelitian ini memerlukan narasumber sebagai sumber informasi untuk mengolah

dan menganalisis data sesuai permasalahan yang akan dibahas. Narasumber dalam

penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Staf KPLP di Lembaga Pemasyarakatan Narkotika Kelas II A

Bandar Lampung = 1 orang

2. Kasubsi Bimbingan Kemasyarakatan Lembaga Pemasyarakatan

Narkotika Kelas II A Bandar Lampung = 1 orang

3. Dokter Umum Lembaga Pemasyarakatan Narkotika Kelas

II A Bandar Lampung = 1 orang

4. Penyuluh P4GN Badan Narkotika Nasional Provinsi Lampung = 1 orang

5. Kepala bagian Bina Operasional Direktorat Reserse Narkotika

Polda Lampung = 1 orang

6. Dosen bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas

Lampung = 1orang+

Jumlah = 6 orang

Gambar

Tabel. Jumlah kasus peredaran gelap narkotika di Lembaga Pemasyarakatan      Narkotika Kelas II A Bandar Lampung tahun 2014

Referensi

Dokumen terkait

Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIa Bandar Lampung memiliki tahapan yang sama dengan tahap tahalli, metode ini disebut metode dzikir yaitu suatu metode Rehabilitasi

Venelia Hati Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang dilakukan yang menjadi 1) Faktor penyebab larinya narapidana dari Lembaga Pemasyarakatan Narkotika klas II A di Way Hui

Dari hasil penelitian ini ternyata Pembimbing Rohani di Lembaga Pemasyarakatan Wanita Kelas IIA Way Hui Bandar Lampung lebih sering melakukan bimbingan individu

(2) Faktor-faktor penghambat upaya penanggulangan terhadap narapidana sebagai pelaku tindak pidana narkotika di Lembaga Pemasyarakatan Rajabasa adalah: a) Faktor

tindak pidana korupsi di Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIA Bandar Lampung sudah sesuai dengan peraturan Undang – undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, dan

Hasil wawancara dengan Bapak Muslim Surbakti, Amd.IP.SH selaku Kasubsi Bimkemaswat Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIA Kota Binjai menyatakan bahwa ruang lingkup petugas dalam

Menurut Bapak, apa-apa saja upaya yang dilakukan oleh petugas Lembaga. Pemasyarakatan Kelas IIA Kota Binjai dalam

Hasil penelitian memperlihatkan jika Lembaga Pemasyarakatan Khusus Kelas IIA Gunung Sindur melaksanakan upaya preventif, represif, dan rehabilitasi sesuai dengan prosedur pencegahan