ABSTRACT
E-READINESS MADRASAH ALIYAH NEGERI
(ISLAMIC STATE HIGH SCHOOL) IN BANDARLAMPUNG CITY
e-Readinessis a competencyin the course of integrating education and ICT. This research intents: (1) to find out the implementation of ICT in Madrasah Aliyah Negeri (Islamic State Senior High School) in Bandarlampung City; (2) to reveal the difference of ICT implementation from both MAN; (3) to uncover the obstacles during ICT implementation from both MAN; and (4) to discover the best practice of ICT implementation from both MAN. This is a descriptive and qualitative research along with communication audit method. Researcher analyze the data by using filling system technique and has examined it through triangulation method. This research illustrates that: (1) MAN in Bandarlampung City have implemented ICT fairly well; (2) MAN 1 Bandarlampung and MAN 2 Tanjukarang have diverse electronic readiness process on ICT access, ICT penetration, e-leadership, school policy, and human capital; (3) practically both madrasah have gone through many obstacles for instance operational expense, connectivity, training constraints of ICT, short of e-leadership training, and intrinsic motivation; (4) both MAN in Bandarlampung City haven’t produced any best practice during ICT implementation.
ABSTRAK
E-READINESS MADRASAH ALIYAH NEGERI DI KOTA BANDARLAMPUNG
e-Readiness merupakan suatu kompetensi dalam upaya integrasi TIK dan pendidikan. Penelitian ini bertujuan untuk: (1) mengungkapkan implementasi TIK di Madrasah Aliyah Negeri yang ada di Kota Bandarlampung; (2) mengungkapkan ada atau tidaknya perbedaan kesiapan implementasi TIK antar MAN; (3) mengungkapkan hambatan yang dialami MAN dalam mengimplementasikan TIK pada sistem sekolah; dan (4) mengungkapkan best practice yang dilakukan MAN dalam mengimplementasikan TIK. Penelitian ini adalah penelitian deskriptif kualitatif dengan metode audit komunikasi. Periset menganalsis data melalui teknik filling system dan menguji validitasnya dengan triangulasi metode/ teknik. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa: (1) implementasi TIK di MAN Kota Bandarlampung berjalan dengan cukup baik; (2) MAN 1 Bandarlampung dan MAN 2 Tanjungkarang mengalami proses e-readiness yang berbeda pada aspek akses TIK, penetrasi TIK, e-leadership, kebijakan sekolah, dan SDM; (3) dalam praktiknya kedua madrasah mengalami hambatan-hambatan seperti kendala biaya operasional, koneksitas, keterbatasan pelatihan TIK, belum tersedianya pelatihan e-leadership, dan picuan motivasi intrinsik; (4) kedua MAN di Kota Bandarlampung belum memiliki best practice dalam hal implementasi TIK.
E-READINESS MADRASAH ALIYAH NEGERI DI KOTA BANDARLAMPUNG
(Studi pada MAN 1 (Model) Bandarlampung dan MAN 2 Tanjungkarang)
Oleh
ESY ANDRIYANI
Skripsi
Sebagai salah satu syarat untuk mencapai gelar SARJANA ILMU KOMUNIKASI
Pada
Jurusan Ilmu Komunikasi
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Lampung
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK JURUSAN ILMU KOMUNIKASI
UNIVERSITAS LAMPUNG BANDARLAMPUNG
Skripsi
Oleh
ESY ANDRIYANI
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK JURUSAN ILMU KOMUNIKASI
UNIVERSITAS LAMPUNG BANDARLAMPUNG
DAFTAR BAGAN
Bagan Halaman
DAFTAR GAMBAR
Gambar Halaman
1. MAN 1 (Model) Bandarlampung ... (Lampiran 2) 2. Gedung Laboratorium TIK MAN 1 Bandarlampung... (Lampiran 2) 3. Ruang Laboratorium TIK MAN 1 Bandarlampung ... (Lampiran 2) 4. Fasilitas di Ruang Laboratorium TIK
MAN 1 Bandarlampung (1) ... (Lampiran 2) 5. Fasilitas di Ruang Laboratorium TIK
MAN 1 Bandarlampung (2) ... (Lampiran 2) 6. Fasilitas di Ruang Laboratorium TIK
MAN 1 Bandarlampung (3) ... (Lampiran 2) 7. Fasilitas di Ruang Laboratorium TIK
MAN 1 Bandarlampung (4) ... (Lampiran 2) 8. Fasilitas di Ruang Laboratorium TIK
MAN 1 Bandarlampung (5) ... (Lampiran 2) 9. Fasilitas di Ruang Laboratorium TIK
MAN 1 Bandarlampung (6) ... (Lampiran 2) 10.Fasilitas di Ruang Laboratorium TIK
MAN 1 Bandarlampung (7) ... (Lampiran 2) 11.Fasilitas di Ruang Laboratorium TIK
MAN 1 Bandarlampung (8) ... (Lampiran 2) 12.Proses Belajar Mengajar di Ruang Laboratorium TIK
15.Fasilitas di Ruang Guru MAN 1 Bandarlampung (2) ... (Lampiran 2) 16.Sistem Penilaian Digital MAN 1 Bandarlampung ... (Lampiran 2) 17.Banner Hasil Tugas Kelompok Siswa
(Tugas Mata Pelajaran TIK)... (Lampiran 2) 18.Masjid MAN 1 Bandarlampung ... (Lampiran 2) 19.Keadaan di dalam Masjid
(Usai Shalat Dzuhur Berjama’ah) ... (Lampiran 2) 20.Lapangan Upacara MAN 1 Bandarlampung ... (Lampiran 2) 21.MAN 2 Tanjungkarang ... (Lampiran 2) 22.Pintu Masuk Laboratorium TIK MAN 2 Tanjungkarang ... (Lampiran 2) 23.Proses Belajar Mengajar di Ruang TIK
MAN 2 Tanjungkarang ... (Lampiran 2) 24.Fasilitas di Ruang Laboratorium TIK
MAN 2 Tanjungkarang (1)... (Lampiran 2) 25.Fasilitas di Ruang Laboratorium TIK
MAN 2 Tanjungkarang (2)... (Lampiran 2) 26.Banner Visi Misi MAN 2 Tanjungkarang ... (Lampiran 2) 27.Absensi Elektronik di Depan Ruang Waka
MAN 2 Tanjungkarang ... (Lampiran 2) 28.Masjid MAN 2 Tanjungkarang ... (Lampiran 2) 29.Keadaan di daam Masjid
(Menjelasng Shalat Dzuhur Berjama’ah) ... (Lampiran 2)
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR BAGAN ... ii
DAFTAR GAMBAR ... iii
DAFTAR TABEL ... iv
I. PENDAHULUAN ... 1
1.1. Latar Belakang ... 1
1.2. Rumusan Masalah ... 9
1.3. Tujuan Penelitian ... 9
1.4. Kegunaan Penelitian ... 10
II. TINJAUAN PUSTAKA ... 11
2.1. Integrasi TIK dan Pendidikan ... 11
2.2. Integrasi TIK dan Pendidikan untuk Menjembatani Kesenjangan Digital ... 16
2.3. MAN sebagai Lembaga Pendidikan Islam Berbasis TIK ... 19
2.4. Menilai “Kesiapan” Integrasi TIK dan Pendidikan (e-Readiness)... 24
a. Pengertian e-Readiness ... 26
b. Mengapa e-Rediness? ... 28
2.5. Model Asesmen e-Readiness ... 30
2.6. Menilai e-Readiness dengan Model CID ... 30
2.7. Menilai e-Readiness dengan Model McConnell International ... 42
2.8. Menilai e-Readiness dengan Model Nurhaida, dkk. ... 47
2.9. Formulasi Tiga Model Penilaian dan Penelitian ... 47
2.10 Kerangka Pikir Penelitian ... 57
III. METODE PENELITIAN ... 59
3.1. Desain dan Metode Penelitian ... 59
3.2. Sumber Data... 62
3.3. Jenis Data ... 62
3.4. Subjek Penelitian ... 63
3.5. Unit Analisis ... 64
3.6. Teknik Pengumpulan Data ... 65
3.8. Teknik Analisis Data ... 68
3.9. Uji Validitas Data ... 68
IV. GAMBARAN UMUM ... 70
4.1. MAN 1 Bandarlampung ... 71
4.2. MAN 2 Tanjungkarang ... 82
V. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 90
5.1. e-Readiness Madrasah Aliyah Negeri di Kota Bandarlampung ... 90
a. Akses TIK Sekolah ... 90
b. Penetrasi TIK Sekolah ... 93
c. Literasi TIK Sekolah ... 96
d. e-Leadership ... 98
e. Kebijakan Sekolah ... 100
f. Struktur Organisasi Sekolah ... 103
g. SDM Berbasis TIK ... 104
h. Best Practice ... 104
5.2. Perbedaan Kesiapan Implementasi TIK antar MAN ... 107
5.3. Hambatan Implementasi TIK dalam Sistem Sekolah ... 109
a. Biaya Operasional ... 109
b. Koneksitas terhadap Beban Coverage ... 111
c. Pelatihan TIK yang Terbatas ... 112
d. Belum Tersedianya Pelatihan Kepemimpinan Teknologi ... 112
e. Picuan Motivasi Intrinsik ... 113
5.4. Best Practice MAN Kota Bandarlampung dalam Implementasi TIK ... 114
5.5. Pembahasan Hasil Penelitian ... 115
a. Penetrasi TIK Sekolah: Antara Persepsi dan Implementasi ... 115
b. Pengalaman Bukanlah Cermin Penetrasi dan Literasi TIK yang Baik ... 116
c. e-Leadership yang Cekatan Belum Tentu Berbanding Lurus dengan Penetrasi TIK yang Mapan ... 117
d. Implementasi TIK Bias Gender? ... 119
VI. SIMPULAN DAN SARAN ... 120
6.1. Simpulan ... 120
6.2. Saran ... 122 DAFTAR PUSTAKA
DAFTAR TABEL
Tabel Halaman
1. e-Readiness di Kawasan Asia Pasifik ...26
2. Definisi e-Readiness ...26
3. Networked Learning ...35
4. Kondisi Guru MAN 1 Bandarlampung (1) ...73
5. Kondisi Guru MAN 1 Bandarlampung (2) ...74
6. Kondisi Murid MAN 1 Bandarlampung ...78
7. Kondisi Guru MAN 2 Tanjungkarang ...83
8. Kondisi Murid MAN 2 Tanjungkarang ...86
9. Sarana dan Prasarana MAN 2 Tanjungkarang ...86
10.Akses TIK MAN di KotaBandarlampung ...90
11.Penetrasi TIK MAN di Kota Bandarlampung ...92
12.Literasi TIK MAN di Kota Bandarlampung ...95
13.e-Leadership MAN di Kota Bandarlampung ...97
14.Kebijkan MAN di Kota Bandarlampung ...99
15.Struktur Organisasi MAN di Kota Bandarlampung ...102
16.SDM Berbasis TIK di MAN Kota Bandarlampung ...103
17.Perbedaan Implementasi TIK antar MAN ...105 18.Rubrik Penilaian e-Readiness Madrasah Aliyah Negeri
di Kota Bandarlampung Kategori “Akses TIK Sekolah” ... (Lampiran 1)
di Kota Bandarlampung Kategori “Penetrasi TIK Sekolah”.... (Lampiran 1)
20.Rubrik Penilaian e-Readiness Madrasah Aliyah Negeri
di Kota Bandarlampung Kategori “Literasi TIK Sekolah” ... (Lampiran 1)
21.Rubrik Penilaian e-Readiness Madrasah Aliyah Negeri
di Kota Bandarlampung Kategori “e-Leadership” ... (Lampiran 1)
22.Rubrik Penilaian e-Readiness Madrasah Aliyah Negeri
di Kota Bandarlampung Kategori “Kebijakan Sekolah” ... (Lampiran 1)
23.Rubrik Penilaian e-Readiness Madrasah Aliyah Negeri
di Kota Bandarlampung Kategori “SDM Berbasis TIK” ... (Lampiran 1)
24.Hasil Penilaian e-Readiness Madrasah Aliyah Negeri
MOTO
Tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka
beribadah kepada-Ku.
(Q .S. Ad z D z aar i yaat [51]: 56)
Katakanlah: Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan
orang-orang yang tidak mengetahui?’ …
(Q .S. Az Zu mar [39]: 9)
Katakanlah: "Hai hamba-hamba-Ku yang malampaui batas terhadap diri
mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah.
Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa (kecuali dosa syirik) semuanya.
Sesungguhnya Dia-lah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
(Q .S. Az Zu mar [39]: 53)
Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan, sesungguhnya
sesudah kesulitan itu ada kemudahan. Maka apabila kamu telah selesai (dari
sesuatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lain,
dan hanya kepada Tuhanmulah hendaknya kamu berharap.
(Q .S. Al Syar h [94]: 5-8 )
Tidaklah sempurna iman seseorang diantara kalian hingga dia mencintai
saudaranya sebagaimana dia mencintai dirinya sendiri.
PERSEMBAHAN
Allahu Al ‘Alim
(Penulis persembahkan karya ini untuk Allah Yang Maha Mengetahui. Karena
sesungguhnyalah hamba ini sekadar peminjam Mu. Jika bukan sebab
ilmu-Mu, hamba tak lebih dari manusia yang banyak diliputi kebodohan. Maka, apabila
Engkau temukan banyak kesalahan dalam menyampaikan karya ini, hamba
mohon perbaikilah Ya Rabb dan berkahilah tulisan ini. Sehingga ia mampu
mengantarkan hamba untuk memandang wajah -Mu kelak di Jannah, aamiin).
kemudian …
Ibu dan Mama
SANWACANA
Alhamdu lillaahi ladzi bini’matihi tatimmush shaalihaatu.
Segala puji bagi Allah yang dengan nikmat-Nya segala amal shalih sempurna.
Ungkapan syukur atas segala nikmat, taufiq, dan hidayah Allah Ta’ala. Sehingga,
penulis dapat menuntaskan skripsi yang berjudul “e-Readiness Madrasah Aliyah
Negeri di Kota Bandarlampung (Studi pada MAN 1 (Model) Bandarlampung dan MAN 2 Tanjungkarang)”. Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ilmu Komunikasi Universitas Lampung.
Banyak pihak telah mendermakan berbagai bimbingan dan dukungan pada penulis
selama penyusunan skripsi ini. Untuk itu, penulis ingin menghaturkan terima
kasih dengan tulus kepada yang terhormat:
1. Bapak Drs. Agus Hadiawan, M.Si, selaku Dekan FISIP Universitas Lampung.
2. Bapak Drs. Teguh Budi Raharjo, M.Si., selaku Ketua Jurusan Ilmu
Komuniasi.
3. Ibu Nanda Utaridah, S. Sos., M. Si., selaku Pembimbing Akademik yang telah
bermurah hati dalam membimbing penulis.
4. Ibu Dra. Ida Nurhaida, M.Si., selaku Pembimbing yang telah mengevokasi
untuk berpikir dan bertindak inventive serta yang telah bersabar dalam
5. Ibu Dhanik S., S.Sos, M.Comm&MediaSt., selaku Pembahas yang telah
menyediakan kerelaan dalam memberikan saran dan masukan pada penulis.
6. Seluruh Dosen Jurusan Ilmu Komunikasi yang telah berjasa mendidik penulis.
7. Bapak Antoni Iswantoro, M.Ed. dan Bapak Drs. M. Iqbal, selaku Kepala
MAN 1 Bandarlampung dan Kepala MAN 2 Tanjungkarang yang telah
memberikan izin untuk melangsungkan penelitian dan berbagi inspirasi.
8. Bapak Sutopo, S. Pd. dan Ibu Wita Kurnia, S. Kom., M. Pd., selaku Guru TIK
MAN 1 Bandarlampung dan Guru TIK MAN 2 Tanjungkarang yang telah
memberikan ruang bagi penulis untuk mengeksplorasi keadaan TIK di
masing-masing sekolah.
9. Bapak dan Ibu Guru, serta Staf Tata Usaha MAN 1 Bandarlampung dan MAN
2 Tanjungkarang yang telah menerima penulis dengan hati terbuka.
10.Ibu, Mama, Papa, dan Dedek yang menjadi bagian dari pengajaran Allah
sehingga penulis menjadi manusia yang tidak biasa.
11.Budi Winandri sesosok pemuda yang Allah hadirkan lalu membuat agama ini
menjadi separuh sempurna.
12.Sahabat selegit madu karena dipadu dengan cinta kasih karena Illahi: Vita
Nurul Hidayati, Nani Pahini, Zulaikha “Keren”, Ratih Novita Sari, Agra
Maysa, Lady Balqis, Mita Rusmiati, Susmi Rahayu, Prima Helaubudi, Fitri
Oki Lestari, Elsa Puji Rahmawati, Wahdya Nurul Qolby, Zakiyah Derajat, dan
sahabat-sahabat lain yang telah memberikan romantika dalam sanubari
penulis.
13.Adik-adik yang penuh dengan gelora dan ketaatan pada Ar Rahman: Herdiani
dan Ammah Ari juga Fitri.
14.Keluarga Besar UKMF FSPI FISIP Unila yang telah menjadi faset dalam
mentaati Allah Ta’ala dan membenarkan dakwah Rasulullah shalallahu
‘alaihi wa salam.
15.Kawan-kawan Ilmu Komunikasi 2010 yang telah belajar dan bertumbuh
bersama dengan bermacam perbedaan magis yang mendewasakan.
16.Kawan-kawan KKN Kampung Sinar Gading: Dina Anggraini, M. Amri Satria,
Maria Ansela Handayani , Melzi Ambar Mazta, Novi Hardiyansyah, Nurul
Umunia Lukita, Selvia Eka Putri, Sevina Silvi, dan Silvia Febriani.
Semoga Allah Ta’ala senantiasa melimpahkan taufiq dan hidayah-Nya kepada
kita semua, serta membalas semua kebaikan yang telah didermakan pada penulis.
Akhirnya, kendati skripsi ini masih jauh dari paripurna. Penulis berharap semoga
skripsi ini tetap dapat mensyarahkan manfaat bagi semua, Aamiin.
Bandarlampung, Oktober 2015
Penulis
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Bandarlampung pada tanggal 21 Februari 1992. Penulis telah
menempuh pendidikan: TK Aisiyah diselesaikan pada tahun 1998, SD Negeri 1
Patoman diselesaikan pada tahun 2004, SMP Negeri 1 Pagelaran diselesaikan
pada tahun 2007, dan SMA Negeri 1 Pringsewu diselesaikan pada tahun 2010.
Selanjutnya, penulis diterima dan terdaftar sebagai mahasiswa Jurusan Ilmu
Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik di Universitas Lampung pada
tahun 2010 melalui jalur Ujian Masuk Lokal.
Dalam menempuh pendidikan di Universitas Lampung, penulis pernah terlibat
dalam beberapa kegiatan mahasiswa: BEM-U (Badan Eksekutif Mahasiswa
Universitas), FSPI (Forum Studi Pengembangan Islam), dan ESo (English
Society) juga satu organisasi ektrakampus, KAMMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa
Muslim Indonesia). Sebagai tambahan, penulis pernah meraih Juara 1 Seleksi
Mahasiswa Berprestasi FISIP Universitas Lampung pada tahun 2013.
Selain itu, penulis telah melaksanakan KKN (Kuliah Kerja Nyata) tematik
Universitas Lampung Periode II yang dilaksanakan pada tanggal 1 Juli 2013
sampai dengan 1 Agustus 2013. Penulis melakssanakan kegiatan KKN di
Kampung Sinar Gading, Kecamatan Kasui, Kabupaten Way Kanan dengan
tambahan bertema “Pemberdayaan Wanita”. Selanjutnya, penulis juga telah
melalui PKL (Praktik Kerja Lapangan) di perpustakaan Hukum Kantor Wilayah
Kementerian Hukum dan HAM Lampung. PKL di institusi tersebut penulis pilih
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Laporan United Nations Development Program (UNDP) 2012 menunjukkan
bahwa Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Indonesia pada 2012 meningkat
menjadi 0,629, menjadikannya naik tiga posisi ke peringkat 121 dari peringkat
124 pada 2011 (0,624), dari 187 negara. Sejak 1980 hingga 2012, nilai IPM
Indonesia meningkat dari 0,422 menjadi 0,629, atau meningkat 49 persen,
dikarenakan kenaikan angka harapan hidup, pada periode yang sama, dari 57,6
tahun menjadi 69,8 tahun saat ini. Tingkat ekspektasi belajar di sekolah
meningkat dari 8,3 tahun pada 1980 menjadi 12,9 tahun pada 2012. Artinya, anak
usia sekolah di Indonesia memiliki harapan mengenyam bangku pendidikan
selama 12,9 tahun atau mencapai tingkat pertama jenjang perguruan tinggi.
Meskipun indeks tersebut mengalami kenaikan tiga peringkat, IPM Indonesia
masih di bawah rata-rata dunia 0,694 atau regional 0,683. Indonesia dikategorikan
sebagai “Negara Pembangunan Menengah” bersama 45 negara lainnya. Peringkat
Indonesia masih jauh di bawah beberapa negara anggota ASEAN, termasuk
Singapura, Brunei Darussalam, Malaysia, Thailand dan Filipina. Singapura (18)
memiliki IPM tertinggi di antara negara-negara ASEAN. Brunei (30), Malaysia
Sementara, bila kita simak lebih jauh indeks pendidikan Indonesia berada di
urutan 6 dari 10 negara ASEAN. Sebagai tambahan, Indeks Daya Saing Global
(Global Competitiveness Index) Indonesia berada di ranking 5 dari 10 negara
ASEAN. Data-data ini melukiskan betapa pembangunan di Indonesia masih jauh
tertinggal dari negera ASEAN lainnya. Oleh karena itu, Indonesia perlu berupaya
keras demi menggapai kemajuan yang lebih baik.
Kemajuan suatu bangsa berkaitan erat dengan pendidikan. Pendidikan yang
berkualitas dapat mengantarkan suatu bangsa menjadi bangsa terpandang dan
digdaya. Pendidikan melahirkan ilmu yang dapat membantu dalam menicpta dan
menimbang suatu keputusan. Bangsa Indonesia sendiri dewasa ini giat mengejar
ketertinggalannya melalui bidang pendidikan.
Dalam rangka mengejar ketertinggalan dan meningkatkan daya saing bangsa,
implementasi TIK (Teknologi Informasi dan Komunikasi) akhirnya dipilih
menjadi program unggulan dari Depdikbud (Departemen Pendidikan Nasional dan
Kebudayaan). Ada kaitan yang begitu erat antara pendidikan dan TIK. Integrasi
pendidikan dan TIK diyakini menjadi cara paling mutakhir yang dapat
mengakselerasi tercapainya tanggung jawab besar pendidikan (mencerdaskan dan
memajukan bangsa). TIK dinilai dapat berfungsi sebagai sumber, sarana belajar,
serta cara berkomunikasi yang efesien. Lebih lanjut, jika dikelola secara
bijaksana, TIK dapat bermanfaat untuk mengurangi disparitas pendidikan.
Sehingga, diharapkan Indonesia mampu meningkatkan keunggulan kompetitifnya
3
Namun, dalam upaya integrasi pendidikan dan TIK yang efektif, maka seharusnya
faktor “kesiapan” menjadi modal utama. Faktor kesiapan, selanjutnya akan
penulis sebut sebagai e-Readiness (electronic readiness – kesiapan elektronik),
mesti menjadi faktor pertama dan utama yang harus digapai. Sehingga, TIK
sebagai pemutakhiran pembangunan pendidikan mampu terwujud secara
paripurna.
Berbicara tentang e-Readiness, secara umum konsep ini dapat kita definisikan
sebagai derajat kesiapan masyarakat untuk menggunakan teknologi komunikasi
dan informasi (TIK) untuk membangun ekonomi yang efisien dan menggerakkan
kesejahteraan dalam suatu masyarakat informasi (Nurhaida, 2011: 6). e-Readiness
secara masif terus menjadi perhatian khusus bagi negara-negara berkembang yang
sedang berusaha menjadi negara maju. Berbagai biaya dan upaya terus
dikerahkan demi mampu mengukur tingkat e-readiness negara (Dada, 2006: 1).
Mengapa demikian? Akses TIK, utamanya internet, dapat memfasilitasi
keseimbangan distribusi sosial, ekonomi, kebijakan dan layanan politik (Jackson,
2004: 170). Karenanya, mengukur kesiapan teknologi atau TIK menjadi patut
dilaksanakan.
Secara sederhana, mengukur e-readiness ialah menilik pada faktor konektivitas
internet. Apakah suatu negara telah memiliki konektivitas internet yang baik,
merupakan salah satu pertanyaan yang harus dijawab sebagai refleksi tingkat
e-readiness yang baik. Walaupun demikian, sebuah laporan menyatakan bahwa
Singapura dan Korea Selatan kini memimpin negara-negara dunia sebagai negara
dengan koneksi internet terbaik. Namun demikian, dua negara tersebut tidak
serta-merta menjadi e-learner terbaik. Faktor lain seperti sistem pendidikan yang
mantap dan kekayaan konten online juga dibutuhkan sebagai negara yang siap
secara elektronik (e-ready) (Economist Intelligence Unit, 2003: 3).
Berkaitan dengan koneksi dan pendidikan, data dilapangan menyatakan bahwa
sebagian besar sekolah di Indonesia justru belum terhubung Internet. Dalam
Symposium On Open Distance and E-Learning (ISODEL 2007) baru 9% dari
populasi sekolah yang berjumlah 220.000 yang terkoneksi ke internet. Bahkan
koneksi ke internet yang diprakarsai oleh Kemendikbud dalam program Schoolnet
pada tahun 2011 baru merancang 16.678 sekolah yang terlibat atau baru 7,2% dari
total sekolah di Indonesia. Sebagai tambahan, dalam berita yang dilansir dari
Republika Online (Zuhri, 2013) dan Sindonews (Yoenianto, 2013), pun bersama
dengan bantuan dari pihak P.T. Telkom barulah membantu sedikitnya 18.000
sekolah untuk dapat terkoneksi ke internet. Artinya secara kuantitas koneksi
internet ke sekolah-sekolah masih belum mencapai harapan. Sementara, sarana
laboratorium komputer sebagai sarana membangun kompetensi TIK juga faktanya
tidak jauh berbeda. Intinya, e-readiness Indonesia masih banyak memerlukan
pembenahan dan peningkatan.
Selanjutnya, studi Nurhaida, dkk. (2011) menemukan bahwa 43% SLTA yang ada
di Kota Bandarlampung yang nota bene adalah ibu kota propinsi tidak memiliki
5
sekolah, utamanya SLTA swasta memiliki komputer kurang dari 10 unit, padahal
siswa yang harus dilayani lebih dari 40 siswa. Padahal dalam program percepatan
pelaksanaan Prioritas Pembangunan Nasional Tahun 2010 (Inpres No.1 Tahun
2010) targetnya 40% SLTA dan 20% SLTP menerapkan sistem sekolah berbasis
TIK. Fakta lain menunjukkan bahwa jaringan broadband yang tersedia di
Lampung barulah sekitar sekitar 9,8% saja.
Beranjak dari sekolah menengah umum, penelitian ini menilik sekolah
mengengah agama atau di Indonesia popular disebut sebagai Madrasah. Madrasah
di Indonesia merupakan satuan pendidikan yang berbasis agama. Menurut
Tambak (2013: 70), kesadaran pentingnya moral dan etika hanya bisa tumbuh dari
pendidikan agama. Manusia yang memiliki religiusitas kuat akan semakin
termotivasi untuk menjadi agen perubahan dalam masyarakat (Tambak, 2013: 41).
Masyarakat Indonesia yang mayoritas muslim mendesak keterbutuhan akan
satuan pendidikan yang berciri khas Islam, maka diciptakanlah madrasah.
Madrsah di Indonesia tersedia dengan macam-macam tingakatan. Sebagaimana
sekolah umum, pemerintah menyediakan madrasah dari tingkat dasar hingga
menengah bahkan perguruan tinggi. Namun demikian, berkaitan dengan
penelitian ini periset berfokus pada madrasah tingkat menengah, yaitu Madrasah
Aliyah (setingkat SMA/ SMK). Secara spesifik, penelitian ini jatuh pada pilihan
Pemerintah Kota Bandarlampung pada hal ini Departemen Agama Provinsi
Lampung menyediakan dua Madrasah Aliyah Negeri, yaitu MAN 1
Bandarlampung dan MAN 2 Tanjungkarang. Pemerintah mendapuk MAN 1
Bandarlampung sebagai madrasah percontohan bagi seluruh madrasah yang ada di
Povinsi Lampung. Sedangkan MAN 2 Tanjungkarang dicanangkan pemerintah
sebagai madrasah yang meluluskan siswa-siswi siap bekerja. Sehingga, di MAN 2
Tanjungkarang terdapat jurusan-jurusan yang sifatnya teknis, yaitu elektro,
otomotif, dan tata busana.
MAN 1 Bandarlampung sebagai madrasah percontohan mendapat suntikan dana
dari pemerintah. Pemerintah banyak pula mengadakan kegiatan kependidikan di
madrasah ini. Sementara, MAN 2 Tanjungkarang sekadar madrasah biasa yang
menurut pada perkembangan yang ada.
Selain Madrasah Aliyah Negeri, pemerintah Kota Bandarlampung juga
memberikan izin berdiri bagi Madrasah Aliyah Swasta. Madrasah Aliyah Swasta
merupakan madrasah yang diselenggarakan oleh masyarakat. Artinya, Madrasah
Aliyah Swasta tidaklah didanai dari anggaran pemerintah.
Secara nyata, perkembangan Madrasah Aliyah Negeri jauh pesat jika
dibandingkan dengan Madrasah Aliyah Swasta. Hal ini tidak terlepas dari
pendanaan yang di dapat madrasah aliyah negeri dari pemerintah, seperti dana
BOS (Biaya Operasional Sekolah). Sedangkan Madrasah Aliyah Swasta
7
bantuan yang diperoleh Madrasah Aliyah Negeri mewajibkan mereka untuk dapat
bertanggungjawab pada pemerintah, beda halnya dengan Madrasah Aliyah Swasta
yang memiliki manajemen di luar kewenangan pemerintah. Bertolak pada
perkembangan, pendanaan, dan tugas madrasah negeri sebagai contoh bagi
madrasah swasta. Maka, penelitian ini bekerja di ranah Madrasah Aliyah Negeri.
Madrasah Aliyah Negeri sebagai sekolah yang berbasiskan pengetahuan dan
ketaqwaan idealnya butuh pada implementasi TIK. Madrasah seyogyanya
mengimplementasikan TIK baik sebagai pelajaran sekolah maupun dalam sistem
sekolah. Bagaimanapun madrasah harus terus mengembangkan diri sehingga bisa
memenuhi kebutuhan masyarakat. Karena itu Menteri Agama Lukman Hakim
Syafuddin dalam Nasrul (2014) berpendapat bahwa peran teknologi informasi dan
media penting untuk menjadikan madrasah pada akhirnya sangat diperhitungkan
dari sisi kualitas yang dimiliki.
Namun demikian, terdapat beberapa penolakan dari kalangan sekolah agama.
Beberapa sekolah agama sering kali menilai buruk akan hadirnya inovasi
teknologi. Bahkan penolakan ada kalanya menjadi sikap adopsi yang lumrah bagi
sekolah agama. Salah satu sebabnya adalah keengganan membaur pelajaran
agama dengan pelajaran ilmu pengetahuan umum - dikotomis keilmuan (Daulay,
2012: 144; Putra, 2014). Membaur keduanya dianggap menjauhkan siswa dari
nilai agama. Sementara, ketika teknologi telah ada “di depan wajah” sebagai
intensi keberpihakan akan inovasi teknologi, sering kali sekolah-sekolah agama
pengetahuan mereka terhadap teknologi tersebut. Tetapi, bukan berarti seluruh
sekolah agama anti-teknologi sebagaimana dua madrasah aliyah negeri yang
menjadi objek penelitian periset.
MAN 1 Bandarlampung dan MAN 2 Tanjungkarang sebagai dua Madrasah
Aliyah Negeri di Kota Bandarlampung adalah sekolah-sekolah agama yang melek
teknologi. Dalam penelitian ini periset membedah lebih detil bagaimana dua
madrasah ini berproses mencapai konsep e-readiness yang ideal. Periset
menggunakan asesmen e-readiness yang diciptakan oleh CID (Center for
International Development Harvard University, 2000), McConnell International
(2001), dan Penelitian Nurhaida, dkk. (2011). Secara lebih detil, penelitian ini
akan berfokus pada kategori “Networked Learning”, “Human Capital”, dan/atau
“Manajemen Sekolah”. Poin-poin yang akan dielaborasi ialah akses TIK,
penetrasi TIK, literasi TIK, e-leadership, kebijakan sekolah, struktur organisasi
sekolah, SDM berbasis TIK, dan best practice dari masing-masing sekolah.
Sedangkan dalam kaitannya dengan ilmu komunikasi, penelitian ini dapat kita
golongkan dalam kajian Komunikasi Pembangunan. Dalam kajian tersebut secara
spesifik riset ini “menduduki” pembahasan Komunikasi Inovasi. Komunikasi
Pembangunan secara substansial berbicara tentang bagaimana komunikasi
menjadi alat yang manjur untuk membantu proyek pembangunan. Pembangunan
pada kasus ini berupa berbagai perubahan-perubahan sosial menuju ke arah yang
lebih baik. Maka dari itu, demi mampu menuju dan menggapai perubahan sosial
9
bentuk dari komunikasi tersebut ialah sebagaimana riset yang dikaji dalam
penelitian ini, yaitu “e-Readiness Madarsah Aliyah Negeri di Kota
Bandarlampung”.
1.2.Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dijelaskan, maka rumusan masalah
penelitian ini adalah sebagai berikut:
a. Bagaimanakah kesiapan MAN Kota Bandarlampung dalam
mengimplementasikan TIK?
b. Apakah ada perbedaan kesiapan implementasi TIK antar MAN?
c. Hambatan-hambatan apakah yang dialami MAN dalam
mengimplementasikan TIK dalam sistem sekolah?
d. Apakah ada best practice yang dilakukan MAN dalam
mengimplementasikan TIK?
1.3. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai
berikut:
a. Mengungkapkan implementasi TIK di Madrasah Aliyah Negeri yang ada
di kota Bandarlampung berupa laboratorium komputer, manajemen dan
koneksitasnya ke internet, kebijakan sekolah berkaitan dengan TIK,
Sumber Daya Manusia (SDM) dan sumber-sumber pendanaannya
b. Mengungkapkan ada atau tidaknya perbedaan kesiapan implementasi TIK
antar MAN.
c. Mengungkapkan hambatan yang dialami MAN dalam
mengimplementasikan TIK pada sistem sekolah.
d. Mengungkapkan best practice yang dilakukan MAN dalam
mengimplementasikan TIK.
1.4. Kegunaan Penelitian
Adapun kegunaan dari diadakannya penelitian ini terdiri dari beberapa poin di
bawah ini:
a. Secara Teoritis
Penemuan penelitian ini bermanfaat untuk pengembangan Ilmu Komunikasi di
bidang komunikasi pembangunan, khususnya komunikasi inovasi di bidang
TIK.
b. Secara Praktis
Penemuan kesiapan madrasah dalam mengimplementasikan TIK harapannya
dapat menjadi masukan bagi pemegang kebijakan dalam merancang strategi
dan mentransformasi pendidikan modern melalui e-education, yaitu bagi
Kementerian Pendidikan Nasional, Dinas Pendidikan Propinsi khususnya
Dinas Pendidikan Kota Bandar Lampung, serta Kementerian Agama,
Departemen Agama Propinsi khususnya pula Departemen Agama Kota
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Integrasi TIK dan Pendidikan
Kesejahteraan nasional ialah tujuan bagi setiap bangsa yang diwujudkan melalui
pembangunan nasional yang baik. Pembangunan nasional yang baik terkonstruksi
lewat pendidikan yang berkualitas. Sehingga, kita dapat menyimpulkan bahwa
pendidikan berkualitas berbanding lurus dengan kesejahteraan nasional.
Karenanya, untuk dapat mencapai kesejahteraan nasional, suatu bangsa harus
menempuh jalan paling esensial, yaitu pendidikan.
Pendidikan berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta
peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan
bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi
manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak
mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang
demokratis serta bertanggung jawab (Pasal 3 Undang-Undang Nomer 20 Tahun
2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional).
Bilamana kesejahteraan merupakan tujuan semua bangsa, maka sama halnya
dengan Indonesia. Bangsa Indonesia senantiasa memetakan berbagai rencana
pembangunan demi kesejahteraan nasional. Dewasa ini, rencana-rencana tersebut
Pembangunan Manusia). Laporan yang terbit sejak 1990 dan diedarkan setiap satu
tahun sekali ini diprakarsai oleh UNDP (United Nation and Development
Program). Laporan ini berisi Human Development Index (Indeks Pembangunan
Manusia - IPM), yaitu pencapaian setiap negara dalam pembanguanan manusia
mereka (Nasution, 2007: 64).
Laporan UNDP 2012 menunjukkan bahwa IPM Indonesia pada 2012 meningkat
menjadi 0,629, menjadikannya naik tiga posisi ke peringkat 121 dari peringkat
124 pada 2011 (0,624), dari 187 negara. Sejak 1980 hingga 2012, nilai IPM
Indonesia meningkat dari 0,422 menjadi 0,629, atau meningkat 49 persen,
dikarenakan kenaikan angka harapan hidup, pada periode yang sama, dari 57,6
tahun menjadi 69,8 tahun saat ini. Tingkat ekspektasi belajar di sekolah
meningkat dari 8,3 tahun pada 1980 menjadi 12,9 tahun pada 2012. Artinya, anak
usia sekolah di Indonesia memiliki harapan mengenyam bangku pendidikan
selama 12,9 tahun atau mencapai tingkat pertama jenjang perguruan tinggi.
Meskipun indeks tersebut mengalami kenaikan tiga peringkat, IPM Indonesia
masih di bawah rata-rata dunia 0,694 atau regional 0,683. Indonesia dikategorikan
sebagai “Negara Pembangunan Menengah” bersama 45 negara lainnya. Peringkat
Indonesia masih jauh di bawah beberapa negara anggota ASEAN, termasuk
Singapura, Brunei Darussalam, Malaysia, Thailand dan Filipina. Singapura (18)
memiliki IPM tertinggi di antara negara-negara ASEAN. Brunei (30), Malaysia
13
Sementara, bila kita simak lebih jauh indeks pendidikan Indonesia berada di
urutan 6 dari 10 negara ASEAN. Di sisi lain, berdasarkan Global Competitiveness
Index (Indeks Daya Saing Global), tingkat daya saing Indonesia berada di
peringkat 5 dari 10 negara ASEAN. Artinya, pembangunan Indonesia masih jauh
tertinggal dari negera ASEAN lainnya.
Penyebab krusial lemahnya pembangunan Indonesia ialah lambatnya jalan
peningkatan kualitas pendidikan. ICW mengatakan selain mutu pendidikan yang
belum baik, akses terhadap pendidikan meliputi infrastruktur dan ketersediaan
guru masih menjadi penyakit di Indonesia (Melisa, 2013). Secara sederhana,
keterlambatan tersebut disebabkan tidak meratanya distribusi akses pendidikan.
Maka, masalah tersebut harus segera diselesaikan demi pembangunan negara yang
lebih baik.
Dalam rangka mengejar ketertinggalan dan meningkatkan daya saing bangsa,
implementasi Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) akhirnya dipilih
menjadi program unggulan dari Depdikbud (Departemen Pendidikan Nasional dan
Kebudayaan). Pendayagunaan TIK diyakini dapat menunjang upaya peningkatan
dan pemerataan akses pendidikan, peningkatan mutu, relevansi, dan daya saing
pendidikan, serta tata kelola, akuntabilitas, dan citra publik terhadap pendidikan.
Penerapan TIK untuk pendidikan oleh Kemendiknas dapat memperluas
keterjangkauan pendidikan, serta sekaligus penguatan tata kelola (Renstra
Riset yang dilakukan oleh Bank Dunia menunjukkan bahwa Internet dapat
menyambungkan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) dan
seluruh sekolah di kepulauan Indonesia. Sampai dengan 95 persen dari jumlah
sekolah saat ini berada dalam jangkauan konektivitas Internet berkecepatan
rendah (Sektor Pengembangan Sumber Daya Manusia, Bank Dunia Jakarta,
2012). Parker dan Dunn dalam Severin & Tankard (2011: 306) menyatakan
potensi tunggal paling besar dari penggunaan informasi adalah kesempatan untuk
mengurangi biaya unit pendidikan sampai titik di mana masyarakat kita dapat
memberikan akses yang sama dan terbuka bagi kesempatan belajar untuk semua
anggota masyarakat sepanjang hidup mereka.
Teknologi dan pendidikan memang punya dampak yang siginifikan terhadap
pembangunan. Namun menjalankan keduanya secara beriringan bukanlah suatu
pencapain yang mudah dan sangat menantang. Lebih lanjut, bukan hanya masalah
teknis dari teknologi itu sendiri, akan tetapi ada masalah sosial, politik, atau
psikologi yang mengintai (Cavas, B., Cavas, P., Karaoglan, B., dan Kisla, T.,
2010: 85).
Shapiro, Roskos and Cartwright dalam Cavas, B., Cavas, P., Karaoglan, B., dan
Kisla, T. (2010: 85) menyatakan bahwa teknologi dapat mengembangkan
lingkungan belajar. Caranya ialah dengan menstimuli siswa melalui demonstrasi,
software, atau alat tertentu untuk pelajaran tertentu. Namun, hal ini harusnya
dilakukan dengan melakukan interaksi yang tinggi antara yang mengajar dan yang
15
via internet dan repository database. Dengan demikian, keberadaan teknologi
telah mengubah konsep kelas yang konvensional menjadi kontemporer.
Kelas kontemporer ialah konsep kelas yang berbeda dengan kelas konvensional.
Artinya, jika selama ini konsep kelas dimaknai sebagai proses pembelajaran
dalam ruangan. Pada kelas kontemporer proses pembelajaran justru dapat terjadi
di luar ruangan. Hal ini bisa juga kita sebut sebagai pendidikan jarak jauh.
Pendidikan jarak jauh atau di luar ruang kelas harapannya dapat menanggulangi
disparitas pendidikan. Caranya ialah dengan menyediakan akses yang sama
kepada mereka yang sulit mengekases pendidikan dalam ruang kelas. Akses yang
sama ini dapat kita peroleh dari internet. Baik dalam kelas maupun jauh dari ruang
kelas, internet dapat berfungsi sebagai media bertemu, berdiskusi, bereksplorasi,
dan bahkan menyimpan sumber belajar (Cavas, B., Cavas, P., Karaoglan, B., dan
Kisla, T., 2010: 85).
Untuk memperoleh akses yang sama tersebut, dalam hal ini guru menjadi “aktor”
utamanya. Guru sebagai pendidik ialah sumber daya yang berpartipasi dan ikut
menyelenggarakan pendidikan. Sebagai penyelenggara, guru harusnya dapat
menyukseskan akses pemerataan pendidikan melalui TIK ini. Guru di sini
berperan secara psikologis untuk menumbuhkan keyakinan akan manfaat TIK.
Bersamaan dengannya, guru juga menjadi pusat teladan dalam hal implementasi
TIK. Namun demikian, guru justru sering kali menampilkan resistansi terhadap
sumber belajar menjadi sekadar manajer sumber-sumber belajar (Albirini; Usun
dalam Cavas, B., Cavas, P., Karaoglan, B., dan Kisla, T., 2010: 86).
Di sisi lain, Smith dan rekannya melaporkan bahwa sekitar 80 persen guru setuju
bahwa teknologi memberikan dampak yang baik bagi perkembangan belajar anak,
dan 60 persen melaporkan teknologi dapat memberikan kontribusi pada
perkembangan profesionalitas guru. Tetapi, besarnya angka persetujuan tersebut
rupanya tidak berbanding lurus dengan langkah implementasi guru terhadap
internet (Cuban; Moersch; Sandholtz dkk. dalam Cavas, B., Cavas, P., Karaoglan,
B., dan Kisla, T., 2010: 86). Menurut penelitian mereka, sebagian besar guru
masih saja lebih memilih media ajar konvensional. Guru lebih nyaman
menggunakan papan tulis, kapur, atau buku teks dibandingkan dengan slide
presentasi, pemutar video, dan semacamnya.
Oleh karenanya, agar mampu mewujudkan seluruh rencana pembangunan itu kita
membutuhkan suatu kesiapan yang terencana. Kesiapan yang dapat
mengintegrasikan TIK dan pendidikan secara baik. Kesiapan yang mampu
mengatasi lemahnya distribusi pendidikan. Kesiapan yang dapat mengantarkan
masyarakat Indonesia menuju pembangunan nasional yang lebih sejahtera.
2.2. Integrasi TIK dan Pendidikan untuk Menjembatani Kesenjangan Digital
Terdapat optimisme sekaligus pesimisme akan revolusi digital pada setiap
individu, lingkungan sosial, dan masyarakat global. Dari sudut optimisme ada
17
distribusi sosial, ekonomi, kebijakan dan layanan politik. Sedangkan, segi
pesismisme percaya bahwa lemahnya akses terhadap teknologi ini justru akan
memperburuk kesenjangan yang ada, baik di antara setiap kelompok dalam
masyarakat maupun secara global (Jackson, 2004: 170).
Pesimisme tersebut dapat pula berdampak terhadap dunia pendidikan. Kita boleh
berharap distribusi akses pendidikan berjalan secara merata dengan
mengoptimalkan manfaat TIK. Namun demikian, pemanfaatannya tidak bisa serta
merta meratakkan penyebaran akses begitu saja. Kita membutuhkan kesiapan dan
rencana yang baik agar TIK dapat berguna dengan baik pula. Sementara
pengadaan TIK tersendat, maka kita justru harus berhadapan dengan suatu
masalah, yaitu kesenjangan digital.
Istilah ‘kesenjangan digital’ mencapai popularitas di pertengahan tahun 1990.
Istilah ini menjadi cara bagi pemerintah dan media massa mendeskripsikan
disparitas antara mereka yang punya akses internet, dan mereka yang tidak. Pada
awalnya, istilah ini merupakan definisi sederhana akan akses terhadap teknologi
(komputer dan layanan telekomunikasi). Tetapi, di kemudian hari definisi ini
menjadi lebih kompleks. Kesenjangan digital bukan lagi dimaknai sebagai
kesenjangan komputer, namun sebagai kesenjangan infrastruktur sosial.
Kesenjangan infrastruktur sosial ini menyertakan kesenjangan akses terhadap
Pada dasarnya, masalah kesenjangan ini dapat terjadi karena TIK bukanlah entitas
yang murah. Dengan kata lain, pengadaan TIK merupakan pengadaan
infrastruktur yang membutuhkan banyak Rupiah. Bagi mereka yang memiliki
kelas sosial tinggi sangat mungkin mengadakan TIK dengan harga mahal. Akses
mereka terhadap TIK bisa dikirim dengan cepat dan mudah (Severin & Tankard,
2011: 308). Sedangkan, bagi mereka yang berada di kelas rendah biasanya hanya
mampu membayar TIK semampunya. Alhasil, akses yang mereka beli secara
murah hanya mampu berjalan lambat. Lebih dari itu, kesenjangan digital bukan
sekadar menyangkut sebab perbedaan status sosial. Berbeda umur (tua-muda);
beda gender (lelaki-perempuan); bahkan berbeda etnis atau suku dapat menjadi
penyebab-penyebab lain menguaknya kesenjangan dalam implementasi TIK
(Krotz, 2007: 240).
Sementara, perbedaan demografi dan geografi ikut menyumbang sebagai
pemantik lain yang menyebabkan kesenjangan digital. Grazella (2014) mengutip
sebuah studi terbaru yang dilakukan oleh Kementerian Komunikasi dan Informasi
bersama UNICEF. Studi ini mengatakan bahwa Yogyakarta adalah rumah bagi
para kaula muda yang menggunakan internet dari pada di Jakarta. Sedangkan
Papua Barat berada di dasar tangga, mencerminkan rendahnya penetrasi internet
di Indonesia bagian Timur. Gati Gayatri, Kepala Puslitbang Literasi dan Profesi
SDM Kementerian Komunikasi dan Informasi Republik Indoensia, dalam
Grazella (2014) menuturkan bahwa proporsi anak muda mengakses internet
19
mengatakan alasan utama bagi anak-anak yang tidak dapat mengaskes internet
ialah karena ketiadaan akses komputer, diikuti dengan biaya akses.
Secara mengagumkan, solusi dari kesenjangan digital justru berakar dari
pendidikan. Hardin (2014) menuliskan solusi kesenjangan digital ialah dengan
melibatkan pendidikan dan perlengkapan (komputer). Contohnya, akses internet
tanpa kepercayaan diri dan kecakapan efektif dalam menggunakan teknologi, hal
ini ibarat memiliki mikrofon namun tidak tahu bagaimana menyetelnya atau
bahkan tidak tahu apa yang harus dikatakan. Akses terhadap teknologi tiadalah
berarti hingga kita memahami bagaimana menggunakannya untuk dapat
memberdayakan hidup kita.
Substansinya, menanggulagi kesenjangan digital secara materiil ialah dengan
memberikan komputer. Namun sekadar membagikan komputer tidak akan
menyelesaikan masalah. Sehingga, kita juga harus menggenapkannya dengan
membekali pengetahuan yang cukup. Pengetahuan ini dapat berupa ilmu
operasional komputer, etika komputer, ilmu perawatan atau perbaikan, dan
semisalnya.
2.3. MAN sebagai Lembaga Pendidikan Islam Berbasis TIK
Pendidikan [ialah] investasi masa depan (Tambak, 2013: 8). Artinya, ketika kita
mewariskan ilmu, maka ia akan senatiasa berkembang. Lantas memberikan
ketentraman bagi empunya. Sebab kita tidak payah menjaganya siang dan malam.
Kemudian memberikan kekhawatiran bagi pemiliknya. Karena kita bersusah
menjaganya agar tidak dirampas orang lain. Sebaliknya, ilmu yang kita bagi
dengan orang lain justru berkembang semakin kaya.
Pendidikan yang baik dapat membuat generasinya berbudaya, berkarakter, dan
maju karena selalu ada inovasi dan ‘karya’ yang dihasilkan. Menghasilkan karya
orisinil inilah bagian dari pendidikan yang berkualitas. Inilah yang akan
menjemput harapan maju di masa depan. Pengajaran itu menyangkut soal teori,
sementara pendidikan itu sepenuhnya soal potensi. Pengajaran itu soal belajar
tentang, sementara pendidikan adalah soal belajar menjadi. (Tambak, 2013: 9, 62).
S. Nasution dalam Idi (2011: 61) mengatakan bahwa pada dasarnya setiap sekolah
mendidik anak agar menjadi anggota masyarakat yang berguna. Namun,
pendidikan di sekolah sering kurang relevan dengan kehidupan masyarakat.
Kurikulum kebanyakan berpusat pada bidang studi yang tersusun secara logis dan
sistematis yang tidak nyata hubungannya dengan kehidupan sehari-hari anak
didik. Apa yang dipelajari anak didik tampaknya hanya memenuhi kepentingan
sekolah untuk ujian, bukan untuk membantu totalitas anak didik agar hidup lebih
efektif dalam masyarakat.
Sebagaimana S. Nasution menyatakan bahwa sebagian besar sekolah hanya
mengajarkan anak bagaimana menjawab ujian dengan benar. Sementara itu,
mereka belum begitu mempedulikan kualitas anak didik. Padahal anak didik kita
21
yang mengherankan jika saat ini kita masih saja dihantui kekhawatiran terhadap
tren anak-anak muda, seperti tindak kekerasan, pencurian, tawuran, sikap
perusakan diri, kekerasan seksual, dan sebagainya. Walaupun mereka telah
sekolah di sekolah menengah hingga perguruan tinggi, bukan jaminan mereka
sekaligus bisa keluar menjadi panutan bagi lingkungan sekitar.
Untuk itu ada suatu hal pokok yang semestinya kita manifestasikan dengan
paripurna dalam sistem pendidikan kita. Satu hal yang telah umum menjadi
kristalisasi kehidupan masyarakat Indonesia yang berketuhanan. Hal ini ialah
agama. Agama bagi kebanyakan orang merupakan sebuah acuan utama yang
membawa mereka untuk membentuk kehidupan yang bermoral (Lickona, 2012:
64).
Menurut Tambak (2013: 70), kesadaran pentingnya moral dan etika hanya bisa
tumbuh dari pendidikan agama. Manusia yang memiliki religiusitas kuat akan
semakin termotivasi untuk menjadi agen perubahan dalam masyarakat (Tambak,
2013: 41). Demi menjawab kebutuhan ini, maka diciptakanlah madrasah.
Menurut sejarahnya (Mukhtar, 2001: 79), eksisitensi madrasah dalam tradisi
pendidikan Islam di Indonesia tergolong fenomena modern yaitu dimulai sekitar
awal abad 20. Madrasah di Indonesia biasa dianggap sebagai perkembangan lanjut
atau pembaruan dari lembaga pendidikan pesantren dan surau (Mukhtar, 2001:
Perkataan Madrasah berasal dari bahasa Arab yang artinya adalah tempat belajar
(Ibrahim Anis dalam Daulay, 2012: 45). Sementara madarasah didefinisikan
Ensiklopedi Indonesia dalam Daulay (2012: 45) ialah sekolah lebih dikhususkan
lagi sekolah-sekolah agama Islam. Daulay (2012: 45) menyimpulkan bahwa
berdasarkan definisi-definisi tersebut madrasah ialah lembaga yang mengajarkan
ilmu-ilmu keislaman.
Sedangkan dalam Keputusan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 370
Tahun 1993 dinyatakan bahwaMadrasah Aliyah adalah Sekolah Menengah umum
yang berciri khas agama Islam yang diselenggarakan oleh Departemen Agama
(Pasal 1, Ayat 1). Tujuan pendidikan MA ialah (Pasal 2, Ayat 1-3): (1)
meningkatkan pengetahuan siswa untuk melanjutkan pendidikan pada jenjang
yang lebih tinggi. (2) Meningkatkan pengetahuan siswa untuk mengembangkan
diri sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan kesenian yang
dijiwai ajaran agama Islam. (3) Meningkatkan kemampuan siswa sebagai anggota
masyarakat dalam mengadakan hubungan timbal balik dengan lingkungan sosial,
budaya dan alam sekitarnya yang dijiwai ajaran agama Islam.
Ciri khas Agama Islam diwujudkan dalam bentuk pengembangan bahan kajian
pelajaran pendidikan agama, penciptaan suasana keagamaan dan penjiwaan semua
bahan kajian dan pelajaran dengan ajaran agama Islam (Keputusan Menteri
Agama Republik Indonesia Nomor 370 Tahun 1993, Pasal 19, Ayat 2). Untuk
23
dengan masyarakat, dunia usaha, dunia kerja dan para dermawan (Keputusan
Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 370 Tahun 1993, Pasal 27).
Kalau dulu madrasah sekadar pilihan alternatif bagi orang tua dalam
menyekolahkan anaknya. Kini trend tersebut telah berubah. Madrasah bukan lagi
lembaga pendidikan alternatif atau “kelas dua”. Jumlah siswa madrasahpun terus
meningkat (Zuhri, 2014).
Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin menyatakan bahwa madrasah kini
mampu tampil percaya diri dalam melakukan perubahan-perubahan, bahkan
menjadi trend setter atau pencetus tren bukan follower atau pengekor. Madrasah
kini telah menjadi pengendali tren, bukan sekadar pengikut bagi model pendidikan
di Indonesia (Ramadhan, 2014).
Pengamat pendidikan, Imam Suprayogo dalam Ilmi (2010), menyatakan minat
masyarakat atas pendidikan Islam terus meningkat. Alasannya, banyak orang tua
menginginkan anaknya tidak hanya memiliki pengetahuan umum, tapi juga
agama. Dengan begitu anak diharapkan menjadi manusia intelektual dan
berakhlak. Anak bukan hanya berbekal kepintaran tetapi juga genap dengan adab
yang baik. Sementara, adab adalah hal yang penting sehingga kita bisa menjadi
manusia yang bermartabat.
Menurut al-Attas dalam Husaini (2014), adab adalah kemauan dan kemampuan
yang ditentukan Allah. Siswa beradab akan ikhlas taat kepada Tuhannya, hormat
guru dan orang tua, cinta sesama teman, dan gigih belajar dengan jujur untuk
mengembangkan potensi dirinya sebagai anugerah Allah SWT.
Bagaimanapun madrasah harus terus mengembangkan diri sehingga bisa
memenuhi kebutuhan masyarakat. Karena itu Menteri Agama Lukman Hakim
Syafuddin dalam Nasrul (2014) berpendapat bahwa peran teknologi informasi dan
media penting untuk menjadikan madrasah pada akhirnya sangat diperhitungkan
dari sisi kualitas yang dimiliki.
Di sisi lain, kita justru bisa mengawal teknologi informasi dan media ke arah yang
lebih baik. Sebagaimana kita ketahui teknologi bagaikan dua sisi mata uang. Ia
menampilkan kebaikan, sementara di baliknya menampakkan keburukan.
Membingkai teknologi dengan pemahaman agama harapannya menjadi jalan
penanggulangan ekses negatif teknologi itu sendiri.
Berbeda dengan sekolah umum, madrasah bisa menyediakan pengetahuan TIK
sekaligus membentuk pribadi dan karakter siswa lewat agama. Sehingga,
penyalahgunaan teknologi lebih rendah dari pada sekolah umum. Dengannya kita
bisa memaksimalkan madrasah sebagai lembaga pendidikan agama Islam yang
25
2.4. Menilai “Kesiapan” Integrasi TIK dan Pendidikan (e-Readiness)
Kesiapan integrasi TIK dan pendidikan, kesiapan elektronik (e-Readiness), dapat
kita telaah melalui berbagai sudut pandang, biasanya sudut pandang
ekonomi-bisnis. Namun, dalam penelitian ini periset akan melokuskan pada sudut pandang
pendidikan. Kita akan melihat bagaimanakah kesiapan sekolah dalam
mengimplementasi TIK. McConnell International (dalam Naidoo dan Klopper,
2005: 153) mencatat bahwa takkan kita temukan satu negara pun yang menjadi
“e-Ready” dalam semalam; dan negara-negara yang hari ini menjadi e-Leaders
tidak dijamin tetap menjadi pemimpin teknologi di hari esok. Bridges (dalam
Kashorda, Waema, dan Omosa, 2007: 8) menuliskan bahwa secara umum model
asesmen (penilaian) e-Readiness dapat dikategorikan menjadi dua, yaitu:
a. Kesiapan e-Economy yang berfokus pada kesiapan bangsa atau masyarakat
untuk memanfaatkan TIK bagi pembangunan ekonomi (misalnya,
berpartisipasi dalam ekonomi digital).
b. Kesiapan e-Society mengukur kemampuan masyarakat secara keseluruhan
dalam mengambil manfaat dari TIK.
Sementara, jika merujuk kategori di atas, maka penelitian periset termasuk ke
dalam kategori kesiapan e-Society (kesiapan elektronik masyarakat).
Tambahan pula, di bawah ini ialah salah satu tabel yang menunjukkan rendahnya
peringkat e-Readiness Indonesia. Secara kualitatif dari data di bawah ini, dapat
disimpulkan bahwa Indonesia belum muncukupi standar e-Raediness yang
dipatok oleh Regional Asia-Pasifik. Indonesia berada pada peringkat 8 dari
negara-negara Asia-Pasifik lainnya. Dengan kata lain pula, Indonesia masih jauh
[image:46.595.114.391.182.439.2]tertinggal dari negara tetangga kita, Singapura dan Malaysia.
Tabel 1. e-Readiness kawasan Asia Pasifik.
No. Negara Skor 2005 Skor 2006
1 Singapura 8.18 8.24
2 Malaysia 5.43 5.60
3 Thailand 4.56 4.63
4 India 4.17 4.25
5 Filipina 4.03 4.04
6 Cina 3.85 4.02
7 Sri Lanka 3.80 3.75
8 Indonesia 3.07 3.39
9 Vietnam 3.06 3.12
a. Pengertian e-Readiness
Berikut ini adalah beberapa definisi tentang e-Readiness diterjemahkan dari
penelitian Bui, T.X., Sankaran, S. dan Sebastian, I.M. (2003: 6) dengan
bersumber dari berbagai penelitian.
Tabel 2. Definisi e-Readiness.
Fokus Definisi Sumber
Penciptaan Nilai
“Kemampuan untuk mengejar kesempatan dalam menciptakan nilai dengan difasilitasi penggunaan internet“.
[image:46.595.124.518.616.696.2]27
Tabel 2. (Lanjutan).
Akses terhadap Jaringan dan Aplikasi yang Sesuai
“Suatu masyarakat yang e-ready memiliki akses yang tinggi dalam pasar kompetitif; dengan menggunakan aplikasi TIK dan aksesnya yang konstan di sekolah-sekolah, kantor-kantor pemerintahan, bisnis, fasilitas kesehatan dan di rumah; privasi pengguna dan keamanan secara online; dan kebijakan pemerintah yang mendukung keterhubungan dan penggunaan jaringan”.
CSPP
TIK; aplikasi internet; e-government
“Suatu masyarakat yang e-ready merupakan masyarakat yang membutuhkan infrastruktur fisik (bandwidth yang tinggi, ketahanan, dan harga terjangkau); TIK yang terintegrasi
dengan bisnis (e-commerce, sektor TIK
ditingkat lokal), komunitas (konten lokal,
organisasi-organisasi online, penggunaan
TIK dalam kehidupan sehari-hari, pengajaran TIK di sekolah), dan
pemerintah (e-government); kompetisi
yang kuat antar perusahaan telekomunikasi; regulasi yang independen dan komitmen terhadap akses universal; dan tidak terbatasnya perdagangan atau investasi asing”.
CID Promosi perdagangan bebas, secara regional, dan internasional
“Suatu negara yang “siap” dalam e-commerce maka mampu bersaing dalam perdagangan bebas, memiliki industri yang mandiri, memberikan kemudahan ekspor, dan mampu memenuhi perjanjian dan standar dagang internasional”.
[image:47.595.131.520.98.626.2]Sedemikian rupa, e-Readiness secara umum didefinisikan sebagai derajat
kesiapan masyarakat untuk menggunakan teknologi komunikasi dan informasi
(TIK) untuk membangun ekonomi yang efisien dan menggerakkan
kesejahteraan dalam suatu masyarakat informasi (Nurhaida, 2011: 6).
Sementara, peneliti sendiri menyimpulkan bahwa e-Readiness ialah
kemampuan suatu negara dalam mengambil keuntungan dari perkembangan
TIK (Teknologi Informasi dan Komunikasi) yang terbarukan. Lantas
Tabel 2. (Lanjutan).
e-Society
“Suatu negara yang e-ready adalah negara yang menggunakan TIK secara luas, di sekolah-sekolah, bisnis, pemerintahan, dan rumah-rumah; keterjangkauan dan ketahanan dalam pasar kompetitif; perdagangan bebas; pengadaan pelatihan TIK di sekolah dan melahirkan pekerja yang ahli dalam bidangnya; budaya kreatif; hubungan yang baik antara sektor bisnis dan pemerintah; pemerintahan yang stabil dan transparan bahkan memproduksi aturan terkait TIK; jaringan dan privasi personal yang aman; dan peraturan yang membolehkan enkripsi dan teken digital”.
McConnel International
Fasilitas e-commerce
“Negara yang ‘e-ready’ membutuhkan konsumen yang percaya pada keamanan
dan privasi e-commerce; teknologi
kemananan yang lebih baik; pekerja yang lebih terlatih dan biaya pelatihan yang lebih rendah; peraturan umum yang tidak terlalu ketat; perkembangan bisnis anyar
yang mampu beradaptasi dengan zaman
informasi; dan biaya yang lebih rendah
untuk teknologi e-commerce”.
WITSA
[image:48.595.136.515.96.519.2]29
menjadikan keuntungan tersebut sebagai mesin yang menggerakkan
perkembangan sumber daya manusia dan ekonomi negara tersebut.
b. Mengapa e-Readiness?
Terlepas dari tingkat perkembangan setiap negara, e-Readiness menentukan
kedudukan relative suatu negara untuk berpartisipasi ke dunia jaringan.
Manfaatnya adalah agar negara dapat merencanakan suatu rencana
pengembangan strategik dan penyusunan rencana aksi untuk membahas
peluang dan kendala untuk menunjukkan tujuan negara dalam bidang TIK
(Nurhaida, 2011: 6).
e-Readiness dapat kita analogikan sebagai gelas ukur yang membantu negara
dalam merencanakan dan membangun lantas menggapai kesejahteraan di
masa yang akan datang. Furthermore, higher levels of e-Readiness create a
ripple effect, increasing the competitiveness of national economies and
enterprises, and their ability to create wealth, and hence, employment and
empowerment to local communities, eventually leading to poverty reduction
(Lanvin dan Qiang dalam Dada, 2006: 2).
Dalam sebuah studi yang dilakukan oleh Dada (2006) mengafirmasi bahwa
dewasa ini e-rediness menjadi entitas yang penting bagi sebuah negara.
Globalisasi dan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi mau tidak
menjadi anggota masyarakat informasi yang mumpuni, maka kita dituntut
memiliki “kesiapan” dalam hal TIK.
Selanjutnya, ada berbagai cara/ metode dalam mengukur e-Readiness. World
Economic Forum (WEF) memfokuskan pada 12 indikator termasuk di
dalamnya kesiapan teknologi di masyarakat, sementara ITU menyertakan ICT
Use (termasuk dalam bidang pendidikan), ICT Access dan ICT Skill. Namun
dari berbagai cara tersebut selalu menyertakan TIK di bidang pendidikan yang
diyakini dapat menjadi faktor yang mendorong dan menggerakkan
pembangunan masyarakat informasi (Nurhaida, 2011: 6).
2.5. Model Asesmen e-Readiness
Secara umum, asesmen dapat diartikan sebagai proses untuk mendapatkan
informasi dalam bentuk apapun yang dapat digunakan sebagai dasar pengambilan
keputusan. Secara ringkas, asesmen dapat kita katakana sebagai “penilaian”. Pada
sub pokok bahasan berikutnya peneliti akan memaparkan beberapa model
asesmen e-Readiness. Dari sekian banyak model yang ada, tiga model asesmen
telah periset pilih. Model-model tersebut periset pilih sebagai pedoman dalam
penelitian ini. Ketiga model tersebut ialah Model Asesmen CID, Model Asesmen
McConnell International, dan Model Asesmen Nurhaida. Pertimbangan pemilihan
model-model tersebut bertumpu pada kesesuaian dengan bidang yang periset
31
2.6. Menilai e-Readiness dengan Model CID
Model CID (Center for International Development Harvard University)
merupakan pedoman yang cocok bagi masyarakat negara berkembang.
“Readiness” di sini diartikan sebagai derajat kesiapan untuk berpartisipasi dalam
Networked World (Dunia Berjaringan), yang dapat diukur dengan menilai
kemajuan relatif masyarakat pada daerah yang paling kritis dan paling signifikan
dalam hal adopsi TIK. Model ini lantas memformulasikan beberapa komponen:
Networked Access, Networked Learning, Networked Society, Networked
Economy, dan Networked Policy. Di bawah ini adalah penjabaran
komponen-komponen asesmen yang diformulasikan oleh CID:
a. Networked Access
Bagaimanakah ketersediaan, pembiayaan dan kualitas jaringan-jaringan TIK
serta layanan dan peralatannya?
Kondisi minimum yang diperlukan untuk e-Raediness adalah akses terhadap
jaringan infrastruktur yang memadai. Tanpa akses jaringan komunikasi global,
tidak ada satu pun masyarakat yang dapat berpartisipasi dalam Dunia
Berjaringan. Akses ditentukan oleh kombinasi dari ketersediaan dan
keterjangkauan penggunaan jaringan itu sendiri, serta perangkat keras dan
perangkat lunak yang diperlukan untuk antarmuka jaringan. Kualitas dan
kecepatan jaringan juga penting dalam menentukan bagaimana jaringan yang
digunakan. Penyedia layanan akses dengan berorientasi pelanggan merupakan
faktor utama dalam adopsi TIK. Dibawah ini ialah beberapa poin yang
1) Infrastruktur Informasi
Bagi sebagian besar masyarakat di negara berkembang, minimnya akses
layanan data dan suara masih menjadi hambatan yang signifikan terhadap
e-Readiness. Penetrasi infrastruktur komunikasi masih terkendala pada
faktor geografi dan/ atau tingkat pendapatan. Di sisi lain, saat ini sebagian
besar akses Internet di negara berkembang masih disediakan melalui
jaringan telekomunikasi tradisional.
2) Ketersediaan dan Keterjangkauan Internet
Ketersediaan akses internet dapat ditingkatkan melalui persaingan antar
Penyedia Jasa Layanan Internet (Internet Service Provider - ISP) yang
beroperasi secara lokal. Keterjangkauan internet dapat disiasati melalaui
penyediaan internet melaui paket tertentu dengan harga tertentu. Sehingga,
pengguna cukup membayar paket yang mereka butuhkan tanpa
“melubangi”kantong pengguna.
3) Kualitas dan Kecepatan Jaringan
Bandwidth yang cukup sehingga mampu mengunduh atau mengunggah
berkas-berkas digital secara online dengan mudah adalah sangat
dibutuhkan.
4) Peragkat Lunak dan Perangkat Keras
Pasar dinamis yang bersedia menyediakan berbagai pilihan, termasuk
menyesuaikan kebutuhan lokal terhadap hardware dan software dapat
mendorong penggunaan jaringan. Distribusi perangkat keras dan perangkat
lunak secara grosir dan ecer dapat memberikan kesempatan pada
33
perangkat lunak sangat penting dalam konteks negara berkembang, di
mana bagi mereka yang berpenghasilan rendah umumnya tidak dapat
menjangkau barang-barang konsumen harga tinggi.
5) Layanan dan Dukungan
Layanan berorientasi pelanggan yang berjalan dengan baik adalah sangat
penting dalam menentukan keberhasilan penyebaran jaringan. Proses
instalasi yang membutuhkan waktu lama dan kurangnya layanan dukungan
oleh perusahaan penyedia jasa telekomunikasi dan internet menimbulkan
hambatan utama dalam e-Readiness. Kualitas dan jumlah teknisi
profesional juga sangat penting dalam mempertahankan jaringan dan
menyediakan layanan.
b. Networked Learning
Apakah sistem pendidikan mengintegrasikan TIK ke dalam proses
peningkatkan pembelajaran? Apakah ada program pelatihan teknis di
masyarakat yang dapat melatih dan mempersiapkan tenaga kerja di bidang
TIK?
Tanpa pendidikan dan keterampilan berbasiskan TIK, maka masyarakat tidak
dapat sepenuhnya bergabung dalam Dunia Berjaringan. Oleh karena itu, demi
mondorong kemampuan sumber daya manusia, TIK harus dimasukkan ke
dalam sistem pembelajaran di sekolah. Walaupun demikian, elaborasi kategori
ini sering kali dianggap hal yang remeh-temeh. Padahal, penggunaan TIK
Jaringan. Dibawah ini ialah beberapa poin yang berkaitan dengan Networked
Learning:
1) Akses TIK Sekolah
Sekolah harus mengintegrasikan TIK dengan proses pembelajaran jika
ingin menjadi bagian dari Dunia Berjaringan. Program yang memberikan
kesempatan siswa mengakses TIK di dalam kelas dapat meningkatkan
keberhasilan e-Readiness. Kesiapan Elektronik sekolah secara umum
dapat ditinjau dari: jumlah komputer, akses fisik terhadap teknologi, jenis
komputer, difusi jaringan, akses dan organisasi konten elektronik, serta
kualitas dan kecepatan konektivitas di sekolah. TIK cenderung diadopsi
pertama kali di tingkat universitas, selanjutnya sekolah menengah, dan
akhirnya oleh sekolah dasar.
2) Meningkatkan Kualitas Pendidikan dengan TIK
Sementara memberikan akses TIK di sekolah-sekolah merupakan langkah
awal yang penting untuk Kesiapan, teknologi harus benar-benar
dimanfaatkan untuk meningkatkan proses pembelajaran. Para guru harus
dilatih untuk menggunakan komputer dan internet sebagai katalisator para
siswa. Kurikulum harus dirancang ulang untuk mendorong penggunaan
TIK dalam proses belaja