Pendekatan Hukum Ekonomi Lingkungan
Pendekatan hukum ekonomi lingkungan pada dasarnya adalah suatu pendekatan
ilmiah tentang pengaturan pengelolaan lingkungan secara interdispliner, dalam hal ini
mengintegrasikan aspek hukum, ekonomi, dan lingkungan. Pendekatan hukum ekonomi
lingkungan dipergunakan untuk menjabarkan paradigma pengelolaan lingkungan yang
berlaku pada saat ini yakni paradigma pembangunan berkelanjutan.
1Menurut pendekatan hukum ekonomi lingkungan, pengelolaan kawasan pada
prinsipnya mengupayakan 3 (tiga) hal pokok, yakni perlindungan, pelestarian, dan
pemanfaatan, sedangkan pengelolaan sumber daya alam bertujuan untuk mencapai
keseimbanan kepentingan lingkungan, ekonomi, dan sosial budaya.
21 Tarsisius Murwaji, Disertasi berjudul Pengelolaan Terpadu Taman Nasional Berlandaskan Pendekatan Hukum Ekonomi Lingkungan (Analisis Penyelamatan Taman Nasional Kutai), 2009, Program Pascasarjana Fakultas Hukum, UGM, Yogyakarta, hlm.146.
Pendekatan hukum ekonomi lingkungan semakin menguat dengan diselenggarakannya
World Summit on Sustaibale Development (WSSD)
di Johanesburg tahun 2002. DalamWSSD
disepakatiThe Johanesburg Declaration
on Sustainable Development
yang menghasilkan 37 butir kesepakatan dan rencana implementasinya.Menurut Keraf dalam bukunya
Etika Lingkungan
sebagaimana dikutip oleh Tarsisius3, krisis lingkungan dewasa ini hanya dapat diselesaikan denganmelakukan perubahan cara pandang dan perilaku manusia terhadap alam secara fundamental dan radikal. Krisis lingkungan global yang dialami sekarang ini sebenarnya kesalahan fundamental dan filosofis dalam pemahaman atau cara pandang manusia mengenai dirinya, alam dan tempat manusia dalam keseluruhan ekosistem. Manusia keliru memandang alam dan keliru menempatkan diri dalam konteks alam secara keseluruhan.
Kesalahan cara pandang tersebut bersumber dari berlakunya teori etika antroposentris, teori tersebut memandang manusia sebagai pusat dari alam semesta, dan hanya manusia yang memiliki nilai, sementara alam dan segala isinya hanya sekedar alat pemuasan kepentingan dan kebutuhan hidup manusia. Manusia dipahami sebagai penguasa alam yang boleh melakukan apa saja terhadap alam.
Teori Etika Lingkungan
Teori Antroposentrisme4
Teori antroposentrisme adalah teori etika lingkungan yang memandang manusia sebagai pusat dari sistem alam semesta. Manusia dan kepentingannya dianggap yang paling penting menentukan dalam tatanan ekosistem dan dalam kebijakan yang diambil dalam kaitannya dengan alam, baik secara langsung, maupun tidak langsung. Nilai tertinggi adalah manusia, dan kepentingannya, hanya manusia yang mempunyai nilai sehingga mendapat perhatian. Alam akan mendapat perhatian sejauh menunjang dan demi kepentingan manusia.
Teori ini hanya memlihat alam sebagai obyek, alat, dan sarana bagi pemenuhan kebutuhan dan kepentingan manuia. Alam hanya alat bagi pencapaian tujuan manusia, alam tidak memiliki nilai pada dirinya sendiri. Etika hanya berlaku bagi manusia, segala tuntutan mengenai perlunya kewajiban dan tanggung jawab moral manusia terhadap lingkungan hidup dianggap sebagai berlebihan, tidak relevan, dan tidak pada tempatnya.
Teori Biosentrisme
Teori biosentrisme menolak argumen teori antroposentrisme, menurut teori biosentrisme tidak benar bahwa hanya manusia yang memiliki nilai. Alam juga memiliki nilai pada dirinya sendiri lepas dari kepentingan manusia. Alam semesta adalah sebuah komunitas moral, dimana setiap kehidupan dalam alam semesta ini, baik manusia ataupun bukan manusia, sama-sama memiliki moral. Seluruh kehidupan di alam semesta sesungguhnya membentuk sebuah komunitas moral. Sebagai konsekuensinya, kehidupan makhluk apa pun pantas
dipertimbangkan secara serius dalam setiap keputusan, dan tindakan moral, bahkan lepas dari perhitungan untung-rugi bagi kepentingan manusia.
Menurut biosentrisme, sumber daya alam seperti air, udara, lahan, hidup manusia namun juga memberikan kontribusi yang cukup besar bagi suatu bangsa. sedangkan pada teori etika ekosentris diperluas mencakup makhluk hidup, dan benda mati.
Secara ekologis makhluk hidup dan benda-benda mati saling berkaitan satu sama lain, menurut etika ekosentris, kewajiban, dan tanggung jawab moral tidak hanya dibatasi oleh makhluk hidup, namun juga berlaku bagi realitas ekologi.
Kebijaksanaan
Masyarakat dapat menilai kebijaksanaan itu baik atau tidak tergantung pada apakah kebijaksanaan tersebut memenuhi kriteria sebagai berikut5:
(1) Kebijaksanaan harus dapat diandalkan (
dependable
), artinya kebijaksanaan itu harus dapat dipercaya dalam hal mencapai tujuan yang telah digariskan dan kebijaksaaan tersebut dapat dilaksanakan secara pasti dan otomatis. Misalnya, pencemaran dianggap sebagai hal yang normal atau kegiatan ekonomi biasa saja sehingga tidak perlu pengawasan terus-menerus. Oleh karena itu, perpajakan adalah kebijaksanaan yang paling efektif karena dapat diperlakukan secara rutin, dan dapat diperkirakan;(2) Kebijaksanaan yang baik sedapat mungkin dapat diperlakukan secara permanen dan dapat disesuaikan dengan pertumbuhan ekonomi. Pengaturan dan larangan pada hakikatnya adalah konsep yang sifatnya sementara, tergantung pada minat masyarakat, dan perhatian Pemerintah;
(3) Kebijaksanaan harus mengarah pada pemertaan, misalnya pengenaan tarif pajak, dimana hal pajak semua membayar tarif sama, mampu ataupun tidak mampu;
(4) Kebijaksanaan harus dapat mendorong orang untuk berusaha secara maksimum. Dalam hal perusahaan bisa diberi hadiah jika berusaha menanggulangi pencemaran, bisa pula didenda bila tidak mengurangi pencemaran, hal tersebut mendorong ke kompetisi;
(5) Kebijaksanaan harus mengarah ke efisiensi. Penetapan larangan dan peraturan biasanya berdasarkan metode coba-coba, apalagi jika pencemaran banyak sekali dilakukan, kebijaksanaan itu tidak akan efisien; (6) Kebijaksanaan itu baik jika terdapat penerimaan sukarela dari pihak-pihak