• Tidak ada hasil yang ditemukan

Isi Pembukaan UUD 1945

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Isi Pembukaan UUD 1945"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

Isi Pembukaan UUD 1945

Republik Indonesia

Pembukaan UUD 1945

"Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan diatas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan."

"Dan perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah sampailah kepada saat yang berbahagia dengan selamat sentosa mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan negara Indonesia, yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur."

"Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya."

"Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu pemerintah negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada :

Ketuhanan Yang Maha Esa,

kemanusiaan yang adil dan beradab,

persatuan Indonesia, dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan,

(2)

LATAR BELAKANG MAHKAMAH KONSTITUSI

o) George Jellinek > Mahkamah Agung Austria memiliki wewenang untuk melakukan

Judicial Review

o) Hans Kelsen > Dibentuk pengadilan tersendiri di luar Mahkamah Agung >

Vervassungsgerichtschoft (Konstitusi Austria 1920)

o) Dasar Pemikiran :

- Supremasi konstitusi

- Check and Balances

- Perlindungan hak warga negara

o) Kronologis terbentuknya mahkamah konstitusi

-Usulan M. Yamin sehingga hadir wewenang Balai Agung untuk melakukan perbandingan undang-undang.

- Konstitusi RIS memberikan kewenangan kepada Mahkamah Agung untuk melakukan pengujian terhadap undang-undang negara bagian

- Rekomendasi PAH II MPRS 1966-1967 bahwa MAhkamah Agung berwenang menguji undang-undang

- IKAHI,1970, Mahkamah Agung memiliki wewenang Judicial Review

- TAP MPR No. III/MPR/2000 menyatakan bahwa MPR berwenang menguji undang-undang terhadap UUDNRI 1945

- Amandemen UUDNRI 1945 > diberikan wewenang judicial review kepada MA untuk sementara sembari menunggu pembentukan MK > UU Nomor 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi > Pelimpahan wewenang dari MA kepada MK

o) Dasar pemikiran mahkamah konstitusi di Indonesia:

- Pentingnya Judicial Review

- Mengimbangi kekuasaan pembentuk undang-undang

- Berubahnya supremasi MPR menjadi supremasi konstitusi

- Perlindungan HAM dan hak konstitusional warga negara

(3)

- Sebagai lembaga negara

- Pelaku kekuasaan kehakiman

- Sejajar dengan lembaga negara lainnya

- Merdeka (Impartial)

FUNGSI MAHKAMAH KONSTITUSI

- Pengawal konstitusi (The Guardian of The Constitution)

- Penafsir final konstitusi (The Final Interpreter of The Constitution)

- Pelindung hak asasi manusia (The Protector of Human Rights)

- Pelindung hak konstitusional warga negara (The Protector of The Citizen’s Constitutional Rights)

- Pelindung demokrasi (The Protector of Democracy)

WEWENANG MAHKAMAH KONSTITUSI

- Menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945

- Memutus sengketa kewenangan antar lembaga negara yang diberikan oleh UUDNRI 1945

- Memutus perselisihan hasil pemilu

- Memutus pembubaran partai politik

- Memutus atas pendapat DPR mengenai pelanggaran hukum oleh presiden dan/atau wakil presiden

SUMBER HUKUM ACARA MAHKAMAH KONSTITUSI

- Sumber langsung:

1. UUDNRI 1945

2. UU Nomor 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi

3. Peraturan MK

4. Yurisprudensi MK RI

- Sumber tidak langsung:

(4)

2. Pendapat sarjana (doktrin)

3. Hukum acara dan yurisprudensi MK negara lain

ASAS-ASAS HUKUM ACARA MAHKAMAH KONSTITUSI

a. Persidangan terbuka untuk umum

Pasal 40 ayat (1) UU MK

” Sidang Mahkamah Konstitusi terbuka untuk umum, kecuali rapat permusyawaratan hakim.”

b. Independen dan imparsial

- Kemandirian hakim yang berkaitan erat dengan imparsialitas, yaitu tidak memihak baik dalam pemeriksaan maupun pengambilan keputusan.

- Merupakan cerminan dari pasal 2 UU MK dan pasal 33 UU Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman.

c. Peradilan sederhana, cepat, dan murah

Pasal 4 ayat (2) UU Nomor 4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman

” Peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat, dan murah”

- Pengertian sederhana, cepat, dan murah adalah beracara dengan efisiensi yang tinggi tanpa mengorbankan ketelitian dan keadilan.

- Semua biaya yang menyangkut persidangan di Mahkamah Konstitusi merupakan beban negara

d. Audi et Alteram Tarem

“Hak yang sama untuk didengar keterangannya secara berimbang”

e. Hakim aktif juga pasif dalam persidangan

- Mekanisme Constitutional Control digerakkan oleh pemohon dan dalam hal demikian maka hakim dikatakan pasif. Mahkamah konstitusi tidak diperkenankan menggelar perkara tanpa adanya permohonan.

- Hakim harus aktif untuk menggali data dan keterangan yang diperlukan, bahkan dengan menyelidiki melalui risalah pembahasan undang-undang tersebut sesuai dengan apa yang dikemukakan di dalam pasal 11 UU MK

f. Ius Curia Novit

(5)

” Pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya.

g. Putusan final

Mahkamah konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final. (Pasal 10 UU MK)

h. Praduga Rechtmatig

- Putusan Mahkamah Konstitusi merupakan akhir dan mempunyai kekuatan hukum tetap pada saat putusan dibacakan serta tidak berlaku surut.

- Akibat putusan tersebut adalah Ex Nunc, yaitu dianggap ada sampai saat pembatalannya. (Pencerminan Pasal 58 UU MK)

i. Pembuktian bebas

Hakim konstitusi memiliki kebebasan untuk menentukan apa yang harus dibuktikan, beban pembuktian, penilaian pembuktian, serta sah atau tidaknya suatu alat bukti berdasarkan keyakinannya.

j. Erga omnes

- Putusan Mahkamah Konstitusi bersifat mengikat para pihak dan harus ditaati oleh siapapun (bersifat publik, berlaku kepada siapa saja).

- Putusannya langsung dapat dilaksanakan dan tidak memerlukan keputusan-keputusan pejabat berwenang, kecuali peraturan perundang-undang mengatur lain.

k. Obyektivitas

Hakim atau panitera wajib mengundurkan diri apabila terdapat hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai derajat ketiga atau hubungan suami istri atau mantan istri.

l. Sosialisasi

Pasal 14 UU MK

” Masyarakat mempunyai akses untuk mendapatkan putusan Mahkamah Konstitusi”

PROSEDUR BERPEKARA DI MAHKAMAH KONSTITUSI

1. Pengajuan permohonan

(6)

- Ditandatangani oleh pemohon/kuasanya

- Permohonan dibuat rangkap 12

- Jenis perkara

- Permohonan menjelaskan secara rinci mengenai materi permohonan (sesuai dengan yurisdiki MK)

- Selain dalam bentuk formal, juga diajukan softcopy-nya yang disimpan dalam media penyimpanan elektronik (disket, compact disc, dll)

o) Isi Permohonan

- Identitas pemohon > Nama, TTL / umur, agama, pekerjaan, umur, kewarganegaraan, alamat lengkap, nomor telepon / faksimili / e-mail / telepon seluler (bila ada)

- Uraian mengenai hal yang menjadi dasar permohonan > Kewenangan MK, legal standing, alasan permohonan

- Hal-hal yang dimohonkan untuk diputus

- Permohonan harus disertai dengan alat-alat bukti yang mendukung

o) Tata Cara Pengajuan Permohonan

- Pemohon > Panitera MK > Akta Penerimaan Berkas / Akta Pemberitahuan

Kekuranglengkapan kepada pemohon > Registrasi / Tidak teregistrasi apabila memohon tidak melengkapi kekuranglengkapan

- Petugas kepaniteraan berkewajiban untuk melakukan pemeriksaan kelengkapan, yang sekurang-sekurangnya adalah:

a.) Bukti diri pemohon sesuai kualifikasi (Pasal 51 ayat 1 UU MK):

- Fotokopi KTP sebagai bukti bahwa pemohon adalah WNI

- Bukti keberadaan masyarakat hukum adat menurut UU dalam hal pemohon adalah masyarakat hukum adat

- Akta pendirian dan pengesahan badan hukum baik publik maupun privat dalam hal pemohon adalah badan hukum

- Peraturan perundang-undangan pembentukan lembaga negara yang bersangkutan dalam hal pemohon adalah lembaga negara

(7)

c.) Daftar calon saksi ahli dan / atau saksi disertai pernyataan singkat tentang hal-hal yang akan diterangkan terkait dengan alasan permohonan serta pernyataan bersedia menghadiri persidangan dalam hal pemohon akan mengajukan sahli dan / atau saksi.

d.) Daftar bukti-bukti lain yang dapat berupa informasi yang disimpan dalam atau dikirim melalui media elektronik, bila dipandang perlu.

2. Pendaftaran

o) Permohonan yang sudah lengkap, dicatat dalam BRPK (Buku Registrasi Perkara Konstitusi) dan diberikan nomor perkara.

o) MK akan memberikan salinan permohonan kepada :

- Presiden, DPR,dan Mahkamah Agung serta memberitahukan kepada Mahkamah Agung untuk menghentikan segala pengujian peraturan perundang-undangan di bawahnya. (Terhadap perkara pengujian undang-undang)

- Lembaga negara termohon. (Terhadap perkara sengketa kewenangan antar lembaga negara)

- Parpol yang bersangkutan. (Terhadap perkara pembubaran partai politik)

- Presiden dan/atau wapres. (Terhadap pendapat DPR mengenai adanya pelanggaran hukum oleh presiden dan/atau wapres)

o) Penyampaian salinan permohonan disampaikan oleh Juru Panggil yang dibuktikan dengan berita acara penyampaian.

o) Dalam hal permohonan telah dicatat di dalam BRPK dan terdapat penarikan permohonan, maka panitera berkewajiban untuk membuatkan Akta Pembatalan Registrasi yang

disampaikan kepada pemohon beserta pengembalian berkas permohonan.

3. Penjadwalan sidang

o) Ketua MK menerima berkas yang telah diregistrasi dan menetapkan panel hakim.

o) Ketua panel hakim menentukan hari sidang pertama yang disampaikan kepada pemohon dengan surat pemanggilan yang telah ditandatangani oleh Panitera dan disampaikan secara langsung oleh Juru Panggil melalui berita acara penyampaian.

o) Penetapan hari sidang juga diumumkan kepada masyarakat dengan menempelkan pada papan pengumuman khusus dan dalam situs MK (www.mahkamahkonstitusi.go.id) serta disampaikan melalui media massa.

4. Pemeriksaan pendahuluan

o) Pemeriksaan terhadap:

(8)

- Dasar legal standing

- Saran-saran hakim untuk perbaikan posita dan petitum

- Pemeriksaan tumpang tindih kewenangan

- Pemeriksaan dapat dilanjutkan atau tidak

o) Dalam hal diharuskan adanya perbaikan, pemohon diberikan waktu 14 hari.

o) Tujuan pemeriksaan pendahuluan:

a. Adanya persiapan persidangan

b. Memudahkan pengujian dan klarifikasi

c. Penentuan jumlah saksi dan/atau saksi ahli

d. Penentuan sidang pleno lebih cepat dan mudah

e. Pemeriksaan persidangan

o) Hal yang harus dipersiapkan di dalam persidangan pendahuluan:

a. Kualifikasi pemohon, kewenangan bertindak, dan surat-surat kuasa

b. Legal standing

c. Statement of Constitutional Issue ( Permasalahan konstitusional yang diajukan)

d. Alat bukti

e. Saksi dan ahli yang pokok pernyataannya mendukung

5. Pemeriksaan persidangan

o) Terbuka untuk umum

o) Memeriksa permohonan dan alat bukti

o) Pemberian keterangan oleh saksi, ahli dan lembaga negara (lembaga negara yang diminta wajib memberikan keterangan paling lambat 7 hari)

6. Putusan

o) Diputus paling lambat dalam tenggang waktu:

- Perkara pembubaran partai politik : 60 hari kerja sejak teregistrasi

(9)

a. Pilpres – 30 hari kerja sejak teregistrasi

b. Pilkada – 14 hari kerja sejak teregistrasi

c. Pemilu DPR, DPD, dan DPRD – 30 hari kerja sejak teregistrasi

- Perkara pendapat DPR : 90 hari kerja sejak teregistrasi

o) Cara mengambil putusan

- Musyarah mufakat

- Setiap hakim menyampaikan pendapat secara tertulis

- Diambil suara terbanyak apabila tidak mencapai mufakat

o) Jenis putusan :

a. Putusan sela / provisional

b. Putusan akhir

- Menolak

- Mengabulkan

- Tidak dapat diterima ( Niet Ontvantkelijk Verklaard )

c. Putusan tanpa / dengan Dissenting Opinion

d. Putusan beryarat ( Conditionaly Constitutional )

o) Isi putusan:

- Identitas para pihak

- Ringkasan permohonan

- Pertimbangan terhadap fakta yang terungkap di dalam persidangan

- Amar putusan

- Hari dan tanggal putusan, nama dan tanda tangan hakim konstitusi serta panitera

- Pendapat berbeda hakim ( Dissenting Opinion )

(10)

Oleh: Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, SH.

Selama 4 kali berturut-turut bangsa kita telah menyelesaikan agenda perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yaitu dengan Perubahan Pertama pada tahun 1999, Perubahan Kedua pada tahun 2000, Perubahan Ketiga pada tahun 2001, dan Perubahan Keempat pada tahun 2002. Dengan adanya perubahan-perubahan empat kali itu, jumlah materi ketentuan yang semula hanya terdiri atas 71 butir ketentuan atau 71 butir rumusan ayat atau pasal, bertambah menjadi 199 butir ketentuan. Dalam keseluruhan materi ketentuan yang berjumlah 199 butir itu, hanya 25 butir ketentuan yang tidak mengalami perubahan atau masih sebagaimana aslinya pada saat disahkan pada tanggal 18 Agustus 1945, sedangkan selebihnya sebanyak 174 butir merupakan materi ketentuan yang sama sekali baru.

Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa hanya dengan empat kali perubahan, meskipun nama Undang-Undang Dasar ini masih menggunakan nama lama, tetapi isinya telah mengalami perubahan mendasar dalam jumlah yang berlipat-lipat ganda, yaitu 25 berbanding 174 butir ketentuan. Hal yang juga sangat penting diperhatikan dalam rangka perubahan-perubahan itu ialah bahwa sekarang, konstitusi yang diberi nama resmi UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 atau disingkat UUD 1945 ini, menyediakan mekanisme agar norma-norma hukum dasar yang terkandung di dalamnya dapat dijalankan diawasi pelaksanaannya oleh lembaga peradilan yang dinamakan Mahkamah Konstitusi. Majelis Permusyawaratan Rakyat adalah lembaga yang menetapkan dan/atau mengubah Undang-Undang Dasar, tetapi setelah ditetapkan Mahkamah Konstitusi lah yang ditugaskan untuk mengawalnya. Bahkan jikalau sekiranya dalam rumusan ketentuan UUD itu terdapat kekurangan atau ketidak-jelasan disana-sini, Mahkamah Konstitusi lah yang diberi kewenangan untuk menentukan tafsir yang tepat mengenai hal itu. Karena itu, Mahkamah Konstitusi di berbagai negara biasa disebut sebagai pengawal dan penafsir konstitusi atau “the guardian and the sole and the highest interpreter of the constitution”.

Hanya saja, harus dipahami bahwa pelaksanaan pengawalan dan penafsiran Undang-Undang Dasar itu oleh Mahkamah Konstitusi dilakukan bukan dengan cara yang tersendiri, melainkan melalui media putusan atas perkara-perkara yang diadilinya. Yang dapat diperiksa, diadili, dan diputus oleh Mahkamah Konstitusi adalah perkara-perkara konstitusi yang berkaitan (i) pengujian konstitusionalitas undang-undang; (ii) sengketa kewenangan konstitusional antar lembaga negara; (iii) perselisihan hasil pemilihan umum; (iv) pembubaran partai politik; dan (v) pendapat DPR dalam rangka penuntutan pertanggungjawaban untuk pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut Undang-Undang Dasar 1945. Putusan-putusan dalam perkara-perkara yang berkaitan dengan kelima jenis kewenangan Mahkamah Konstitusi tersebut pada pokoknya merupakan wujud konkrit dari fungsi pengawalan dan penafsiran yang dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi terhadap hukum dasar Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Oleh karena penting dan strategisnya kedudukan Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga negara yang baru dalam sistem ketatanegaraan kita pasca perubahan, maka sangat diperlukan upaya yang bersengaja bagi mahkamah ini untuk memperkenalkan diri ke tengah-tengah masyarakat. Dalam UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi ditentukan bahwa banyak sekali pihak yang berkepentingan untuk mengetahui keberadaan lembaga baru ini. Pihak-pihak yang secara jelas disebutkan dalam UU No. 24 Tahun 2003, mempunyai hak untuk mengajukan permohonan perkara ke Mahkamah Konstitusi adalah:

(11)

(2) Kesatuan masyarakat hukum adat (untuk pengujian UU);

(3) Badan hukum publik atau privat (untuk pengujian UU);

(4) Lembaga negara (untuk pengujian UU dan sengketa antar lembaga);

(5) Pemerintah (untuk pembubaran partai politik);

(6) Peserta pemilihan umum, baik pemilihan umum anggota DPR, DPD, dan DPRD, maupun pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden (untuk perselisihan hasil pemilu);

Dengan demikian sangatlah luas kelompok sasaran yang perlu diperkenalkan dengan segala seluk beluk Mahkamah Konstitusi untuk membantu agar hak-hak dan/atau kewenangan konstitusional masing-masing pihak tersebut di atas dapat dijamin dan diwujudkan dalam pelaksanaan kehidupan kenegaraan sehari-hari. Tentu tidak semua warga negara Indonesia, tidak semua kesatuan masyarakat hukum adat, tidak semua badan hukum, lembaga negara, aparatur pemerintah, ataupun peserta pemilihan umum mengajukan permohonan perkara. Mahkamah Konstitusi dalam rangka jaminan-jaminan atas hak-hak dan kewajiban-kewajiban konstitusional mereka sendiri dalam kehidupan bernegara berdasarkan UUD 1945.

Memperkenalkan dan menyadarkan orang akan hak-hak dan kewajiban-kewajiban konstitusionalnya sebagai warga negara, tentu tidaklah mudah. Upaya penyadaran atau ‘conscientisation’ membutuhkan waktu yang tidak sebentar dan memerlukan keterlibatan aktor yang luas dan banyak pula. Oleh karena itu, setiap lembaga resmi maupun lembaga yang tidak resmi, tokoh politik dan tokoh masyarakat diharapkan dapat bergotong royong bersama-sama dan sendiri-sendiri mengambil peran dan tanggungjawab kebangsaan guna membangun dan meningkatkan kesadaran bernegara berdasarkan UUD 1945 secara luas. Inilah yang kita namakan sebagai pendidikan bernegara berdasarkan UUD atau konstitusi, yang biasa disebut juga ‘civic education’ atau pendidikan kewarganegaraan.

(12)

Oleh karena itu, UU tentang Susduk Tahun 2003 menentukan bahwa salah satu tugas Pimpinan MPR adalah masyarakatkan putusan MPR, yang salah satunya adalah perubahan-perubahan Undang-Undang Dasar 1945. Meskipun tugas itu bukanlah tugas konstitusional institusi MPR, melainkan tugas legal Pimpinan MPR yang oleh Undang-Undang tentang Susduk ditentukan sebagai jabatan tersendiri, pemasyarakatan hasil kerja MPR sebagai lembaga negara, baik untuk kepentingan para anggotanya sendiri maupun untuk kepentingan masyarakat luas, khususnya mengenai perubahan-perubahan terhadap UUD 1945 memang merupakan suatu keniscayaan. Namun karena tugas pemasyarakatan konstitusi itu merupakan tugas mulia yang sangat besar, sudah sepantasnya dan seharusnya lembaga-lembaga lain turut meringankan beban pimpinan MPR, terutama untuk pemasyarakatan konstitusi bagi masyarakat luas.

Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga baru yang juga perlu memperkenalkan diri ke tengah-tengah masyarakat, juga perlu mengambil tanggungjawab untuk juga mengembangkan upaya pendidikan dan pemasyarakatan konstitusi, tidak saja berkenaan dengan hal-hal yang berkaitan dengan Mahkamah Konstitusi, hak dan kewajiban konstitusional warga negara, dan lain-lain yang berkaitan dengan pengawalan dan penafsiran terhadap UUD 1945, tetapi juga mengenai kebutuhan untuk pemasyarakatan UUD 1945 dalam arti yang lebih luas. Di samping itu, yang tentu tidak kalah pentingnya ialah peranan Pemerintah, lembaga-lembaga pendidikan, dan lembaga-lembaga penyiaran. Kegiatan pendidikan dan pemasyarakatan pertama-tama, pada pokoknya, termasuk wilayah kerja eksekutif atau pemerintahan. Karena itu, tanggungjawab utama dan pertama untuk pemasyarakatan dan pendidikan konstitusi itu ada di tangan Pemerintah. Pemerintah lah yang menguasai lebih banyak informasi, sumber-sumber dana, sarana, dan prasarana, tenaga, keahlian, dan jaringan yang dapat diharapkan mendukung upaya pemasyarakatan dan pendidikan konstitusi itu. Setelah Pemerintah sungguh-sungguh menjalankan perannya baru lah kita dapat berharap bahwa lembaga-lembaga pendidikan dan lembaga-lembaga-lembaga-lembaga penyiaran dapat digerakkan untuk berperan aktif dalam upaya pendidikan dan pemasyarakatan mengenai pentingnya kehidupan bernegara yang berdasarkan konstitusi. Baik lembaga pendidikan maupun lembaga penyiaran sama-sama penting dan sangat menentukan perannya dalam membentuk persepsi, pandangan, sikap tindak, dan pendapat umum yang berkembang dalam kehidupan bermasyarakat dan berbangsa. Demikian pula masyarakat sendiri, tokoh-tokoh politik, tokoh-tokoh agama, lembaga-lembaga swadaya masyarakat, organisasi-organisasi kemasyarakatan, dan semua institusi yang berperan dalam lingkungan masyarakat madani (civil society), dalam lingkungan dunia usaha atau business (market), dan dalam lingkungan organ-organ negara, organ-organ daerah secara sendiri-sendiri ataupun bersama-sama sudah seharusnya secara sinergi mendukung, membantu, dan memprakarsai berbagai upaya untuk menyukseskan kegiatan pemasyarakatan dan pendidikan kesadaran berkonstitusi tersebut. Dengan begitu, kita dapat berharap bahwa Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 akan benar-benar menjadi “living consttution”, sehingga tugas konstitusional Mahkamah Konstitusi sendiri sebagai “the guardian and the sole interpreter of the constitution” menjadi lebih mudah diwujudkan.

Referensi

Dokumen terkait

Berangkat dari latar belakang tersebut, penelitian ini bermaksud untuk mengetahui mekanisme pencalonan hakim Mahkamah Konstitusi dari Presiden, DPR, Mahkamah Agung

Apabila ada kehendak untuk mengubah konstitusi, maka sesuai dengan ketentuan yang berlaku, dibentuklah suatu lembaga negara khusus yang tugas serta wewenangnya hanya

Pasal 24C ayat (1) yang menyebutkan salah satu kewenangan dari Mahkamah Konstitusi adalah untuk mengadili dan memutus sengketa kewenangan antar lembaga negara yang

dapat diajukan oleh dewan Perwakilan Rakyat kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat hanya dengan terlebih dahulu mengajukan permintaan kepada Mahkamah Konstitusi untuk

Dalam putusan Mahkamah Konstitusi sudah menyatakan bahwa ketentuan konstitusional atau kriteria konstitusional itu hanya satu, yaitu sistem yang dikembangkan harus mencakup

Sebagai contoh, dengan adanya fenomena menjamurnya lembaga non struktural, nantinya perlu dipilah peran yang dapat dilakukan lembaga non struktural sehingga tidak mengambil

Selain Mahkamah Agung, kewenangan judicial review juga dimiliki oleh Mahkamah Konstitusi yang berwenang menguji Undang-Undang terhadap UUD. Bila dikaitkan dengan

Ini jelas-jelas harus Mahkamah Konstitusi memberikan batasan yang jelas terhadap KPK dan meletakkan dan mendudukkan lembaga-lembaga baik lembaga tinggi negara yang sudah