• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PEMILU LEGILATIF DALAM PASAL 309 UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 2012 (Studi Perkara Nomor: 70/Pid./2014/PT.Tjk.)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PEMILU LEGILATIF DALAM PASAL 309 UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 2012 (Studi Perkara Nomor: 70/Pid./2014/PT.Tjk.)"

Copied!
56
0
0

Teks penuh

(1)

ABSTRACT

CRIMINAL LIABILITY OF PLAYERS CRIME OF ELECTIONS IN ARTICLE 309 LEGILATIF LAW NUMBER 8 IN 2012

(Study Case Number: 70 / Pid. / 2014 / PT.Tjk.) By

BERI PRASETYO

Legislative elections should be conducted honestly and fairly as in mandated by law, but in fact the organizers of the election committed a criminal act in the form of additional votes on certain election participants. Every criminal act elections should be held accountable in accordance with the error does. The problems of this study are: (1) How is the criminal responsibility of the perpetrators of criminal acts of the legislative elections in article 309 of Law No. 8 of 2012 (case No. 70 / Pid. / 2014 / PT / TJK.)? (2) Does the consideration of judges in imposing criminal offense to legislative elections in article 309 of Law No. 8 of 2012 (case No. 70 / Pid. / 2014 / PT / TJK.)?

This research approach used is a normative juridical approach and empirical jurisdiction. The type of data using secondary data and primary data. Speakers consisted of judges in the country penggadilan rock promontory, the prosecutor at the high prosecutor lampung and lecturer of criminal law section lampung university law faculties. Analysis using qualitative analysis.

(2)

Beri Prasetyo

that defendant is contrary to the spirit of the legislative elections and fair, accused of abusing their authority and actions prejudicial to the rights of people accused (voice calegpeserta election). Lighten things are terdakawa admitted his actions, be polite in court and the defendant has not been convicted.

Suggestions in this study were: (1) criminal responsibility of the perpetrators of the crime of election should be optimized through the maximum punishment in accordance with the threat contained in the legislation. (2) The judge in imposing punishment to the perpetrators of criminal acts of the election are advised to consider the various aspects of the causes of crime, the interests of the community towards the eradication of the State elections and the amount of loss caused by the actions of the defendant.

(3)

ABSTRAK

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PEMILU LEGILATIF DALAM PASAL 309

UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 2012 (Studi Perkara Nomor: 70/Pid./2014/PT.Tjk.)

Oleh BERI PRASETYO

Pemilu legislatif seharusnya dilaksanakan dengan jujur dan adil sebagaimana di amanatkan oleh undang-undang, tetapi pada kenyataannya para penyelenggara pemilu melakukan tindak pidana berupa penambahan suara pada peserta pemilu tertentu. Setiap pelaku tindak pidana pemilu harus mempertanggungjawabkan perbuatan sesuai dengan kesalahan yang dilakukannya. Permasalahan penelitian ini adalah: (1) Bagaimanakah pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku tindak pidana pemilu legislatif dalam pasal 309 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 (perkara Nomor: 70/Pid./2014/PT/Tjk.)? (2) Apakah dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana terhadap pelaku tindak pidana pemilu legislatif dalam pasal 309 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 (perkara Nomor: 70/Pid./2014/PT/Tjk.)?

Pendekatan penelitian ini yang digunakan adalah pendekatan yuridis normative dan yuridis empiris. Jenis data menggunakan data skunder dan data primer. Narasumber penelitian terdiri dari hakim pada penggadilan negeri tanjung karang, jaksa pada kejaksaan tinggi lampung dan dosen bagian hukum pidana fakultas hukum universitas lampung. Analisis menggunakan analisis kualitatif.

(4)

Beri Prasetyo

antara kesalahan terdakwa, ketentuan undang-undang serta hukuman yang dijatuhkan antara terdakwa. Selain itu hal-hal yang memberatkan yaitu perbuatan terdakwa bertentangan dengan semangat pemilu legislatif yang jujur dan adil, terdakwa menyalahgunakan kewenangan yang dimilikinya dan perbuatan terdakwa merugikan hak orang (suara calegpeserta pemilu). Hal-hal yang meringankan adalah terdakawa mengakui perbuatannya,bersikap sopan di pengadilan dan terdakwa belum pernah dihukum.

Saran dalam penelitian ini adalah: (1) Pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku tindak pidana pemilu hendaknya dioptimalkan melalui pemidanaan yang maksimal sesuai dengan ancaman yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan. (2) Hakim dalam menjatuhkan pidana kepada pelaku tindak pidana pemilu disarankan untuk mempertimbangkan berbagai aspek yang menyebabkan terjadinya tindak pidana, kepentingan masyarakat terhadap pemberantasan tindak pidana pemilu dan besarnya kerugian Negara yang diakibatkan oleh perbuatan terdakwa.

(5)

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PEMILU LEGISLATIF DALAM PASAL 309

UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 2012 (Studi Perkara Nomor: 70/Pid./2014/PT.Tjk.)

Oleh Beri prasetyo

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk mencapai gelar SARJANA HUKUM

Pada

Bagian Hukum Pidana

Fakultas Hukum Universitas Lampung

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

(6)

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PEMILU LEGISLATIF DALAM PASAL 309

UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 2012 (Studi Perkara Nomor: 70/Pid./2014/PT.Tjk.)

(Skripsi)

Oleh : Beri Prasetyo

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

(7)
(8)
(9)
(10)

DAFTAR ISI A. LatarBelakangMasalah ... 1

B. PermasalahandanRuangLingkupPenelitian ... 7

C. TujuandanKegunaanPenelitian ... 8

D. KerangkaTeoritisdanKonseptual ... 9

E. SistimatisPenulisan ... 15

II. TINJAUAN PUSTAKA A. PengertianTindakPidanadanPertanggungjawabanPidana ... 17

B. PengertianTindakPidanaPemiluLegislatifdanUndang-Undang pemilulegislative ... 26

C. DasarPertimbangan Hakim dalamMenjatuhkanPidana... 28

III. METODE PENELITIAN A. PendekatanMasalah ... 31

B. SumberdanJenis Data ... 32

C. PenentuanNarasumber... 33

D. ProsedurPengumpulandanPengolahan Data ... 34

E. Analisis Data ... 35

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. KarakteristikResponden ... 36

(11)

C. Dasarpertimbangan hakim dalammenjatuhkanpidanaterhadap pelakutindakpidanapemilulegislatifdalampasal 309

Undang-UndangNomor 8 Tahun 2012 (perkaraNomor:

70/Pid./2014/PT/Tjk ... 53 V. PENUTUP 58

A. Simpulan ... 60 B. Saran ... 61 DAFTAR PUSTAKA

(12)

MOTO

Ya Alloh

Aku berlindung kepada-mu

dari ilmu yang tidak berguna

dari hati yang tidak khusyuk

dari nafsu yang kurang puas

dan dari doa yang tidak terkabul

(Doa rasulullah SAW)

Keinginan yang berlebihan, selain mendatangkan penderitaan juga menggiring orang melakukan perbuatan yang medatangkan

karma buruk

(13)

PERSEMBAHAN

Kupersembahkan karya ilmiah ini kepada

Kedua orang tuaku, ayah Hi. Juari dan Ibu Hj. Komariah

Sebagai kedua orang tua tercinta yang telah mendidik

Membesarkan dan membimbingku dalam menjalani kerasnya kehidupan

Tidak ada kata yang dapat aku ucapkan untuk menggantikan semua kasih saying dan

pengorbananmu sehingga aku bias menjadi orang yang berhasil

Kakak dan adikku, Meri Arianti dan Yos Idrison yang selalu memotivasi, member saran,

kritik, do a untuk selalu berfikir maju dan jauh lebih baik lagi

Untuk seseorang yang nantinya akan menjadi pendamping hidupku semoga dia menjadi orang

yang bias bersabar dan tekun menjalani hidup bersama untuk menggapai cita-cita

Almamater Universitas Lampung

Tempat aku menimba ilmu, disinilah aku mendapatkan ilmu dan pengetahuan yang menjadi

(14)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Tanjung Jaya , pada tanggal 25 Maret 1992, merupakan putra dari kedua dari ketiga bersaudara pasangan Ayahanda H. Juari dan Ibunda Hj.Komariah.

Jenjang pendidikan penulis dimulai pada Taman Kanak-Kanak (TK) Tanjung Jaya persada selesai tahun 1998, Sekolah Dasar Negeri 2 Tanjung Jaya Lampung Tengah selesai pada tahun 2003, Sekolah Menengah Pertama Negeri 2 Tanjung Kedokan selesai pada tahun 2006,Sekolah Menengah Kejuruan 2 mei Bandar Lampung diselesaikan pada tahun 2009.

(15)

SANWACANA

Alhamdulillahirabbil ’alamin, puji syukur kehadirat Allah SWT, atas rahmat dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul: “PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANAPEMILU LEGILATIF DALAM PASAL 309 UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 2012(Studi Perkara Nomor: 70/Pid./2014/PT.Tjk.)” sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Lampung.

Penulis menyadari ini bukanlah hasil jerih payah sendiri akan tetapi berkat bimbingan dan dukungan dari berbagai pihak baik moril maupun materiil sehingga penulisan skripsi ini dapat selesai. Oleh karena itu, di dalam kesempatan ini penulis menyampaikan rasa hormat dan ucapan rasa terima kasih yang tulus kepada :

1. Bapak Prof. Dr. Heryandi, S.H., M.S. selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Lampung.

2. Ibu Diah Gustiniati Maulani, S.H., M.H. selaku Ketua Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung, sekaligus sebagai Pembimbing I(satu) yang telah meluangkan waktu dan sabar membimbing saya dalam mengerjakan skripsi ini.

(16)

meluangkan waktu di tengah kesibukannya untuk memberikan koreksi yang sangat membantu dalam perbaikan skripsi penulis

4. Bapak A. Irzal Fardiansyah, S.H., M.H. selaku Pembahas I (satu) yang telah meluangkan waktu di tengah kesibukannya untuk memberikan koreksi yang sangat membantu dalam perbaikan skripsi penulis.

5. Bapak Deni Ahmad, S.H., M.H. selaku Pembahas II (dua) (dua) yang telah memberikan saran dan kritik dalam penulisan skripsi ini

6. Ibu Eka Deviani, S.H., M.H. selaku Pembimbing Akademik, terimakasih atas masukan dan arahanya selama penulis menjalani kuliah.

7. Seluruh Dosen Hukum Universitas Lampung yang telah memberikan ilmu dan pengetahuan kepada penulis, serta kepada seluruh staf administrasi Fakultas Hukum Universitas Lampung;

8. Keluarga Besar Bagian Hukum Pidana dan Keluarga Besar Fakultas Hukum 2010 terimakasih telah menjadi bagian perjalanan hidupku, besar harapan silaturahmi tak berujung.

9. Bapak Nelson Panjaitan, S.H.,M.H. selaku Hakim Pengadilan Negeri Tanjung Karang yang telah bersedia memberikan bantuan, pendapat dan meluangkan waktu.

(17)

11. Kakak dan Adikku Meri Ariyanti dan Yos Idrison telah memotivasiku dan memberikan canda tawa, kalian adalah kakak dan adik terkeren yang aku punya.

12. Untuk seseorang yang nantinya akan mejadi pendamping dalam hidup ku semoga dia orang yang terbaik yang ditujuk oleh alloh swt (amin)

13. Sahabat-sahabatku Beni Pramiza S.H, Cahaya Rama Putra S.H, , Ardi saputra panduwinata S.H (Lek), Lukman Hakim, Johan Aziz S.H, Gudal, Rizky adhya pratama S.H,Ardi Muhari, Istana Laundry, Artnivora Studio yang telah memberikan motivasi dan kenangan indah selama menjalani lika-liku kehidupan kampus.

14. Serta semua pihak yang terlibat yang tidak dapat disebutkan satu persatu, penulis mengucapkan terima kasih atas doa dan dukungannya dalam menyelesaikan skripsi ini.Semoga Allah SWTmembalasnya dengan kebaikan.

Akhir kata, sangat penulis sadari bahwa berakhirnya masa studi ini adalah awal dari perjuangan panjang untuk menjalani kehidupan yang sesungguhnya. Sedikit harapan semoga karya ini dapat berguna dan bermanfaat bagi kita semua.Amin.

Bandar Lampung, 30 Juli 2015 Penulis,

(18)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pemilihan Umum (Pemilu) Legislatif pada dasarnya merupakan sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pemilu Legislatif diselenggarakan untuk memilih anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota yang berasal dari partai politik. Pemilihan para wakil rakyat yang akan duduk di lembaga legislatif ini merupakan perwujudan dari demokrasi Indonesia yang menganut sistem kepartaian melalui partai politik.

(19)

2

Arti penting pemilu dalam negara demokrasi berkaitan dengan tiga fungsi utamanya yaitu (1) Legitimasi politik, Melalui Pemilu, legitimasi pemerintah atau penguasa dikukuhkan karena pemerintah terpilih hakikatnya adalah pilihari rakyat terbanyak yang memiliki kedaulatan. (2) Sirkulasi elit politik. Dengan Pemilu, terjadinya sirkulasi atau pergantian elit kekuasaan dilakukan secara lebih adil, karena warga negaralah yang langsung menentukan siapa yang masih dianggap memenuhi syarat sebagai elit politik dan siapa yang tidak. (3) Pendidikan politik. Hal ini menunjukkan bahwa Pemilu berfungsi sebagai alat untuk melakukan pendidikan politik bagi warga negara agar dapat memahami hak dan kewajiban politiknya. Dengan keterlibatan dalam proses pelaksanaan Pemilu, diharapkan warga negara akan mendapat pelajaran langsung tentang bagaimana selayaknya warga negara berkiprah dalam sistem demokrasi)1

Konteks sistem pemilu dan sistem kepartaian tidak terlepas dari sistem pemerintahan suatu negara. Sistem pemerintahan mempengaruhi cara atau metode seseorang dalam memperoleh kekuasan tertinggi maupun jabatan strategis lainnya. Sebut saja sistem pemerintahan monarki yang secara otomatis mengangkat seseorang berdasarkan garis keturunan, kekuasaan terletak pada raja. Sistem pemerintahan sosialis atau lebih dikenal dengan sistem komunis berdasarkan satu partai tunggal yang paling berkuasa dinegara tersebut dengan menjalankan sistem perekrutan/ indoktrinasi kader-kadernya sejak usia dini hingga pemaksaan terhadap rakyatnya. Kekuasaan terletak pada pemerintah. Kemudian pada sistem pemerintahan demokrasi dimana kekuasaan diperoleh

1

(20)

3

melalui sistem Pemilihan umum dengan beberapa partai yang mengikutinya, kekuasaan berada di tangan rakyat.

Sistem pemerintahan Indonesia menerapkan sistem demokrasi dalam menjalankan pemerintahannya. Demokrasi merupakan bentuk pemerintahan di mana hak untuk membuat keputusan-keputusan politik diselenggarakan oleh warga negara melalui wakil-wakil yang dipilih oleh mereka dan yang bertanggungjawab kepada mereka melalui suatu proses Pemilihan yang bebas. Maknanya adalah demokrasi merupakan suatu sistem yang meletakan kekuasaan atas rakyat melalui perwakilan yang ada diparlemen yang dipilih secara langsung dalam suatu Pemilihan umum.2

Upaya yang dilakukan untuk menciptakan pemilu yang berkualitas adalah menciptakan integritas dan profesionalitas penyelenggara pemilu. Komitmen menyelenggarakan pemilu berintegritas yang telah dibangun secara nasional tidak boleh terciderai oleh adanya kepentingan individu dan kepentingan sesaat dan oknum penyelenggara. Setiap pelanggaran yang dilakukan oleh penyelenggara meski masuk dalam kategori pelanggaran ringan, tetap harus dikenai sanksi. Hal ini penting untuk memberikan peringatan kepada setiap penyelenggara bahwa KPU secara berjenjang tetap melakukan monitoring dan evaluasi terhadap kinerja penyelenggara. integritas dan profesionalitas mutlak dimiliki semua jajaran penyelenggara pemilu. Penyelenggara harus memiliki daya tahan terhadap setiap godaan yang datang dari luar, termasuk godaan yang datang dari para kandidat yang ikut berkontestasi dalam pemilu. Pelaksanaan supervisi secara berjenjang

2

(21)

4

harus ditingkatkan untuk memastikan kinerja penyelenggara di kabupaten/kota, kecamatan, desa/kelurahan dan TPS sesuai dengan SOP yang ditetapkan.

Penyelenggara Pemilu Legislatif baik harus dapat bekerja sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku seperti yang tercantum dalam Undang-Undang Nomor 8 tahun 2012 Tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, bahwa azas penyelenggara Pemilu yang harus dijadikan pedoman bagi setiap penyelenggara Pemilu, yaitu mandiri, jujur, adil, kepastian hukum, tertib penyelenggara Pemilu, kepentingan umum, keterbukaan, proporsionalitas, profesionalitas, akuntabilitas, efisiensi dan efektivitas.

Pelaksanaan pemilu Legislatif Tahun 2014 memiliki potensi konflik dan tindak pidana dalam tiap tahapannya, mulai dari pelaksanaan kampanye, pemungutan dan penghitungan suara, rekapitulasi suara sampai dengan tahapan penetapan dan pengumuman hasil Pemilihan, di antaranya adalah:

a. Tahap Kampanye

Berpotensi memperebutkan pengaruh terhadap calon pemilih yang berbuntut pada terjadinya bentrok antar pendukung, perusakan/pencabutan tanda gambar peserta, pelanggaran jadwal kampanye, tuntutan memberikan sanksi terhadap calon tertentu karena dianggap melanggar aturan main kampanye, politik uang, kemacetan dan pelanggaran lalu lintas, kegaduhari, intimidasi, fitnah, teror, ancaman, provokasi, aksi fanatisme, pendiskreditan nama baik, kerumunan massa, isu negatif untuk menjatuhkan nama baik calon, perang dingin, pengrusakan, pembakaran, dll.

b. Tahap Pemungutan Suara

(22)

5

c. Tahap Penghitungan Suara

Keterkaitan dengan ketelitian dalam penghitungan suara, penetapan sah tidaknya, penolakan saksi, pembuatan Berita Acara, pengiriman dan pengantaran hasil perhitungan suara, termasuk kotak suara serta rekapitulasi hasil dan Pemilu Legislatif iangsung yang dilaksanakan di masing-masing tempat/lokasi, dan lain sebagainya sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan.

d. Tahap Penetapan Pasangan Calon Terpilih

Untuk menentukan waktu pengesahari, dan pelantikan, terutama aksi luapan kegembiraan pendukung terhadap calon terpilih, berpotensi terjadi kecurangan, intimidasi, sabotase, dan kemungkinan terjadi penyanderaan.3

Dalam konteks yang demikian maka hukum memiliki peranan penting dalam mengantisipasi setiap perubahan atau gejolak yang berkembang di masyarakat, terkait dengan adanya situasi politik. Setiap sistem hukum menunjukkan empat unsur dasar, yaitu: pranata peraturan, proses penyelenggaraan hukum, prosedur pemberian keputusan oleh pengadilan dan lembaga penegakan hukum. Dalam hal ini pendekatan pengembangan terhadap sistem hukum menekankan pada beberapa hal, yaitu: bertambah meningkatnya diferensiasi internal dan keempat unsur dasar sistem hukum tersebut, menyangkut perangkat peraturan, penerapan peraturan, pengadilan dan penegakan hukum serta pengaruh diferensiasi lembaga dalam masyarakat terhadap unsur-unsur dasar tersebut.

Tinjauan perkembangan hukum difokuskan pada hubungan timbal balik antara diferensiasi hukum dengan diferensiasi sosial yang dimungkinkan untuk menggarap kembali peraturan-peraturan, kemampuan membentuk hukum, keadilan dari institusi penegak hukum. Diferensiasi itu sendiri merupakan ciri yang melekat pada masyarakat yang tengah mengalami perkembangan. Melalui

3

(23)

6

diferensiasi ini suatu masyarakat terurai ke dalam bidang spesialisasi yang masing-masing sedikit banyak mendapatkan kedudukan yang otonom.4

Perkembangan tersebut menyebabkan susunan masyarakat menjadi semakin kompleks, karena dengan diferensiasi dimungkinkan untuk menimbulkan daya adaptasi masyarakat yang lebih besar terhadap lingkungannya.Sebagai salah satu sub-sistem dalam masyarakat, hukum tidak terlepas dari perubahan-perubahan yang terjadi masyarakat. Hukum disamping mempunyai kepentingan sendiri untuk mewujudkan nilai-nilai tertentu didalam masyarakat terikat pada bahari-bahari yang disediakan oleh masyarakatnya. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa hukum sangat dipengaruhi oleh perubahan yang terjadi di sekelilingnya.

Salah satu tindak pidana pemilu yang terjadi dalam konteks pelaksanaan Pemilu Legislatif di Provinsi Lampung adalah dalam Perkara Nomor: 70/Pid./2014/PT.Tjk, dengan terdakwa para ketua dan anggota PPK Kecamatan Tulang Bawang Udik Kabupaten Tulang Bawang Barat yang melakukan tindak pidana pemilu yaitu dengan sengaja melakukan penambahari suara pada peserta pemilu tertentu, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 309 Undang-Undang Nomor 8 tahun 2012 Tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Majelis hakim menjatuhkan pidana kepada para terdakwa dipidana yaitu penjara selama 3 (tiga) bulan dan denda sebesar Rp.500.000,- (lima ratus ribu rupiah) dengan ketentuan apabila denda tidak dibayar maka diganti dengan pidana kurungan penjara selama I (satu bulan).

4

(24)

7

Penjatuhan pidana terhadap terdakwa tersebut pada dasarnya merupakan bentuk pertanggjawaban para terdakwa atas kesalahan yang dilakukannya. Pertanggungjawaban pidana ini didasarkan pada adanya unsur kesalahan para terdakwa, selain adanya kemampuan bertanggungjawab, tidak ada unsur pemaaf dan pembenar atas kesalahan yang dilakukan para terdakwa.

Berdasarkan uraian latar belakang di atas, penulis melaksanakan penelitian dalam rangka penyusunan Skripsi dengan judul: “Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana Pemilu Legislatif dalam Pasal 309 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 (Studi Perkara Nomor: 70/Pid./2014/PT.Tjk.

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup Penelitian

1. Permasalahan

Berdasarkan uraian pada latar belakang di atas, maka Permasalahan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. Bagaimanakah pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku Tindak Pidana Pemilu Legislatif dalam Pasal 309 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 (Perkara Nomor: 70/Pid./2014/PT.Tjk)

b. Apakah dasar pertlinbangan hakim dalam menjatuhkan pidana terhadap pelaku Tindak Pidana Pemilu Legislatif dalam Pasal 309 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 (Perkara Nomor: 70/Pid./2014/PT.Tjk.)?

2. Ruang Lingkup Penelitian

(25)

8

dalam Pasal 309 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 (Perkara Nomor: 70/Pid./2014/PT.Tjk) Ruang lingkup Lokasi Penelitian adalah Pengadilan Negeri Tanjung Karang dan penelitian dilaksanakan pada Tahun 2014.

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Berdasarkan Permasalahan yang dikemukakan di atas, maka tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. Untuk mengetahui pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku Tindak Pidana Pemilu Legislatif dalam Pasal 309 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 (Perkara Nomor: 70/Pid./2014/PT.Tjk).

b. Untuk mengetahui dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana terhadap terhadap pelaku Tindak Pidana Pemilu Legislatif dalam Pasal 309 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 (Perkara Nomor: 70/Pid./2014/PT.Tjk.)

2. Kegunaan Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat, baik secara teoritis maupun secara praktis, yaitu sebagai berikut:

(26)

9

b. Secara praktis hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna sebagai masukan dan kontribusi positif bagi aparat penegak hukum dalam menanggulangi tindak pidana pemilu pada masa-masa yang akan datang, sehingga penanggulangan tindak pidana pemilu dapat dilaksanakan secara lebih optimal.

D. Kerangka Teori dan Konseptual

1. KerangkaTeori

Kerangka teori merupakan pengabstrakan hasil pemikiran sebagai kerangka acuan atau dasar yang relevan untuk pelaksanaan penelitian ilmiah, khususnya dalam penelitian ilmu hukum. Peneliti menggunakan kerangka teori sebagai dasar untuk melakukan analisis terhadap Permasalahan yang dibahas dalam penelitian, sehingga setiap pembahasan yang dilakukan memiliki landasan secara teoritis. Kerangka teoritis yang digunakan dalain penelitian ini adalah sebagai berikut: a. Teori Pertanggungjawaban Pidana

Untuk dapat dipertanggungjawabkan secara pidana, maka suatu perbuatan harus mengandung kesalahan. Kesalahan tersebut terdiri dari dua jenis yaitu kesengajaan (opzet) dan kelalaian (culpa).

1. Kesengajaan (opzel)

Kesengajaan terdiri dari tiga macam, yaitu sebagai berikut: a. Kesengajaan yang bersifat tujuan

Bahwa dengan kesengajaan yang bersifat tujuan, si pelaku dapat dipertanggungjawabkan dan mudah dapat dimengerti oleh khalayak ramai. Apabila kesengajaan seperti ini ada pada suatu tindak pidana, si pelaku pantas dikenakan hukuman pidana.

b. Kesengajaan secara keinsyafan kepastian

(27)

10

c. Kesengajaan secara keinsyafan kemungkinan

Kesengajaan ini yang terang-terang tidak disertai bayangan suatu kepastian akan terjadi akibat yang bersangkutan, melainkan hanya dibayangkan suatu kemungkinan belaka akan akibat itu.

2. Kelalaian (culpa)

Kelalaian (culpa) terletak antara sengaja dan kebetulan, bagaimanapun juga culpa dipandang lebih ringan dibanding dengan sengaja, oleh karena itu delik culpa, culpa itu merupakan delik semu (quasideliet) sehingga diadakan pengurangan pidana. Delik culpa mengandung dua macam, yaitu delik kelalaian yang menimbulkan akibat dan yang tidak menimbulkan akibat, tapi yang diancam dengan pidana ialah perbuatan ketidak hati-hatian itu sendiri, perbedaan antara keduanya sangat mudah dipahami yaitu kelalaian yang menimbulkan akibat dengan terjadinya akibat itu maka diciptalah delik kelalaian, bagi yang tidak perlu menimbulkan akibat dengan kelalaian itu sendiri sudah diancam dengan pidana.5

Berdasarkan hal tersebut maka pertanggungjawaban pidana atau kesalahan menurut hukum pidana, terdiri atas tiga syarat, yaitu:

a. Kemampuan bertanggung jawab atau dapat dipertanggungjawabkan dan si pembuat.

b. Adanya perbuatan melawan hukum yaitu suatu sikap psikis si pelaku yang berhubungan dengan kelakuannya yang disengaja dan sikap kurang hati-hati atau lalai

c. Tidak ada alasan pembenar atau alasan pemaaf dapat yang menghapuskan pertanggungjawaban pidana bagi si pernbuat6.

Pelaku tindak pidana harus mempertanggungjawabkan perbuataannya, dengan dasar kemampuan bertanggung jawab, ada perbuatan melawan hukum dan tidak ada alasan pemaafatan pembenar atas tindak pidana yang dilakukannya.

5

Moeljatno, Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Dalam Hukum Pidana. Jakarta: Bina Aksara, 1993, hlm. 46.

6

(28)

11

b. Dasar Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Pidana

Hakim dalam mengadili pelaku tindak pidana harus melalui proses penyajian kebenaran dan keadilan dalam suatu putusan pengadilan sebagai rangkaian proses penegakan hukum, maka dapat dipergunakan teori kebenaran. Dengan demikian, putusan pengadilan dituntut untuk memenuhi teori pembuktian, yaitu sating berhubungan antara bukti yang satu dengan bukti yang lain, misalnya, antara keterangan saksi yang satu dengan keterangan saksi yang lain atau saling berhubungan antara keterangan saksi dengan alat bukti lain (Pasal 184 KUHAP).

Kekuasaan kehakiman merupakan badan yang menentukan dan kekuatan kaidah-kaidah hukum positif dalam konkretisasi oleh hakim melalui putusan-putusannya.

(29)

12

penistiwa atau kesalahan dianggap telah terbukti, disamping adanya alat-alat bukti menurut undang-undang juga ditentukan keyakirian hakim yang dilandasi dengan integritas moral yang baik7.

Secara kontekstual ada tiga esensi yang terkandung dalam kebebasan hakim dalam melaksanakan kekuasaan kehakiman yaitu:

a. Hakim hanya tunduk pada hukum dan keadilan;

b. Tidak seorangpun termasuk pemerintah dapat mempengaruhi atau mengarahkan putusan yang akan dijatuhkan oleh hakim;

c. Tidak ada konsekuensi terhadap pribadi hakim dalam menjalankan tugas dan fungsi yudisialnya.8

Kebebasan hakim dalam memeriksa dan mengadili suatu perkara merupakan mahkota bagi hakim dan harus tetap dikawal dan dihormati oleh semua pihak tanpa kecuali, sehingga tidak ada satu pihak yang dapat mengintervensi hakim dalam menjalankan tugasnya tertentu.

Hakim dalam menjatuhkan putusan harus mempertimbangkan banyak hal, baik itu yang berkaitan dengan perkara yang sedang diperiksa, tingkat perbuatan dan kesalahan yang dilakukan pelaku, kepentingan pihak korban, keluarganya dan rasa keadilan masyarakat.

Menurut Mackenzie ada beberapa teori atau pendekatan yang dapat dipergunakan oleh hakim dalam Penjatuhan putusan dalam suatu perkara, yaitu sebagai berikut:

7

Ahmad Rifai, Penemuan Hukum oleh Hakim dalam Persfektif Hukum Progresf Jakarta: Sinar Grafika,.2010, hlm. 103.

8 Ibid

(30)

13

a. Teori keseimbangan

Yang dimaksud dengan keseimbangan disini keseimbangan antara syarat-syarat yang ditentukan undang-undang dan kepentingan pihak-pihak yang tersangkut atau berkaitan dengan perkara, yaitu antara lain seperti adanya keseimbangan yang berkaitan dengan masyarakat dan kepentingan terdakwa.

b. Teori pendekatan seni dan intuisi

Penjatuhan putusan oleh hakim merupakan diskresi atau kewenangan dari hakim. Sebagai diskresi, dalam Penjatuhan putusan hakim menyesuaikan dengan keadaan dan pidana yang wajar bagi setiap pelaku tindak pidana, hakim akan melihat keadaan pihak terdakwa atau penuntut umum dalam perkara pidana. Pendekatan seni dipergunakan oleh hakim dalam Penjatuhan putusan, lebih ditentukan oleh instink atau intuisi dan pada pengetahuan dari hakim

c. Teori pendekatan keilmuan

Titik tolak dari teori ini adalah pemikiran bahwa proses Penjatuhan pidana harus dilakukan secara sistematik dan penuh kehati-hatian khususnya dalam kaitannya dengan putusan-putusan terdahulu dalam rangka menjamin konsistensi dan putusan hakim. Pendekatan keilmuan ini merupakan semacam peringatan bahwa dalam memutus suatu perkara, hakim tidak boleh semata-mata atas dasar intuisi atau instink semata, tetapi harus dilengkapi dengan ilmu pengetahuan hukum dan juga wawasan keilmuan hakim dalam menghadapi suatu perkara yang harus diputuskannya.

d. Teori Pendekatan Pengalaman

Pengalaman dan seorang hakim merupakan hal yang dapat membantunya dalam menghadapi perkara-perkara yang dihadapinya sehari-hari, dengan pengalaman yang dimilikinya, seorang hakim dapat mengetahui bagaimana dampak dari putusan yang dijatuhkan dalam suatu perkara pidana yang berkaitan dengan pelaku, korban maupun masyarakat.

e. Teori Ratio Decidendi

Teori ini didasarkan pada landasan filsafat yang mendasar, yang mempertimbangkan segala aspek yang berkaitan dengan pokok perkara yang disengketakan, kemudian mencari peraturan perundang-undangan yang relevan dengan pokok perkara yang disengketakan sebagai dasar hukum dalam Penjatuhan putusan, serta pertimbangan hakim harus didasarkan pada motivasi yang jelas untuk menegakkan hukum dan memberikan keadilan bagi para pihak yang berperkara.

f. Teori kebijaksanaan

(31)

14

melindungi anak, agar kelak dapat menjadi manusia yang berguna bagi keluarga, masyarakat dan bagi bangsanya9.

2. Konseptual

Konseptual adalah susunan konsep-konsep sebagai fokus pengamatan dalam melaksanakan penelitian, khususnya dalam penelitian ilmu hukum. Analisis pokok-pokok bahasan dalam penelitian ini dan memberikan batasan pengertian yang berhubungan dengan yaitu sebagai berikut:

a. Pertanggungjawaban pidana (criminal responsibility) adalah suatu mekanisme untuk menentukan apakah seseorang terdakwa atau tersangka dipertanggungjawabkan atas suatu tindakan pidana yang terjadi atau tidak. Untuk dapat dipidananya si pelaku, disyaratkan bahwa tindak pidana yang dilakukannya itu memenuhi unsur-unsur yang telah ditentukan dalam undang-undang.10

b. Tindak Pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan mana yang disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu bagi siapa yang melanggar larangan tersebut. Tindak pidana merupakan pelanggaran norma atau gangguan terhadap tertib hukum, yang dengan sengaja atau tidak sengaja telah dilakukan terhadap seorang pelaku11.

c. Pelaku tindak pidana adalah setiap orang yang melakukan perbuatan melanggar atau melawan hukum sebagaimana dirumuskan dalam

9

Ahmad Rifai, op cit hlm. 105-106. 10

Moeijatno, op cit, hlm. 49. 11

(32)

15

undang. Pelaku tindak pidana harus diberi sanksi demi terpeliharanya tertib hukum dan terjaminnya kepentingan umum12.

d. Tindak pidana pemilu dalam Pasal 309 Undang-Undang Nomor 8 tahun 2012 Tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah adalah setiap orang yang dengan sengaja melakukan perbuatan yang menyebabkan suara seorang Pemilih menjadi tidak bernilai atau menyebabkan Peserta Pemilu tertentu mendapat tambahari suara atau perolehari suara Peserta Pemilu menjadi berkurang dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan denda paling banyak Rp48.000.000,00 (empat puluh delapan juta rupiah).

E. Sistematika Penulisan

Skripsi ini disusun dalam lima bab untuk untuk memudahkan pemahaman terhadap isinya. Secara terperinci sistematika penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut:

I PENDAHULUAN

Bab ini berisi pendahuluan penyusunan skripsi yang terdiri dari Latar Belakang, Permasalahan dan Ruang Lingkup, Tujuan dan Kegunaan Penelitian, Kerangka Teoni dan Konseptual serta Sistematika Penulisan.

12

(33)

16

II TINJAUAN PUSTAKA

Bab ini berisi tinjauan pustaka dari berbagai konsep atau kajian yang berhubungan dengan penyusunan skripsi dan diambil dari berbagai referensi atau bahari pustaka terdiri dari pengertian pertanggungjawaban pidana, pengertian dan jenis tindak pidana, tindak pidana pemilu.

III METODE PENELITIAN

Berisi metode yang digunakan dalam penelitian, terdiri dari Pendekatan Masalah, Sumber Data, Penentuan Narasumber, Prosedur Pengumpulan dan Pengolahari Data serta Analisis Data.

IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Berisi deskripsi berupa penyajian dan pembahasan data yang telah didapat penelitian, terdiri dari deskripsi dan analisis mengenai pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku Tindak Pidana Pemilu Legislatif dalam Pasal 309 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 (Perkara Nomor: 70/Pid./2014/ PT.Tjk.) dan dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana terhadap terhadap pelaku Tindak Pidana Pemilu Legislatif dalam Pasal 309 UndangU ndang Nomor 8 Tahun 2012 (Perkara Nomor: 70/Pid./2014/ PT.Tjk.).).

V PENUTUP

(34)

II TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian Tindak Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana

1. Pengertian Tindak Pidana

Tindak pidana adalah kelakuan manusia yang dirumuskan dalam undang-undang, melawan hukum, yang patut dipidana dan dilakukan dengan kesalahan. Orang yang melakukan perbuatan pidana akan mempertanggung jawabkan perbuatan dengan pidana apabila ia mempunyai kesalahan, seseorang mempunyai kesalahan apabila pada waktu melakukan perbuatan dilihat dari segi masyarakat menunjukan pandangan normative mengenai kesalahan yang dilakukan1

Tindak pidana adalah perbuatan melakukan atau tidak melakukan sesuatu yang memiliki unsur kesalahan sebagai perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana, di mana Penjatuhan pidana pada pelaku adalah demi tertib hukum dan terjaminnya kepentingan umum2.

Tingkah laku yang jahat immoral dan anti sosial akan menimbulkan reaksi berupa kejengkelan dan kemarahari di kalangan masyarakat dan jelas akan merugikan masyarakat umum. Mengingat kondisi tersebut maka setiap warga masyarakat

1

Andi Hamzah. Bunga Rampai Hukum Pidana dan Acara Pidana. Ghalia Indonesia Jakarta. 2001. hlm. 19

2

(35)

18

keseluruhan secara keseluruhan, bersama-sama dengan lembaga-lembaga resmi sang berwenang seperti kepolisian, kejaksaan, pengadilan, lembaga pemasyarakatan dan lain-lain wajib menanggulangi setiap tindak kejahatan atau kriminal. Setiap kejahatan yang dilakukan seseorang akan menimbulkan suatu akibat yakni pelanggaran terhadap ketetapan hukum dan peraturan pemerintah.

Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana. Tindak pidana merupakan suatu pengertian yuridis, lain halnya dengan istilah perbuatan jahat atau kejahatan. Secara yuridis formal, tindak kejahatan merupakan bentuk tingkah laku yang melanggar undang-undang pidana. Setiap perbuatan yang dilarang oleh undang-undang harus dihindari dan arang siapa melanggarnya maka akan dikenakan pidana. Jadi larangan-larangan dan kewajiban-kewajiban tertentu yang harus ditaati oleh setiap warga Negara wajib dicantumkan dalam undang-undang maupun peraturan-peraturan pemerintah, baik di tingkat pusat maupun daerah.3

Berdasarkan beberapa pengertian di atas maka dapat diketahui bahwa tindak pidana adalah perbuatan melakukan atau tidak melakukan sesuatu yang memiliki unsur kesalahan sebagai perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana, di mana Penjatuhan pidana terhadap pelaku adalah demi terpeliharanya tertib hukum dan terjaminnya kepentingan umum.

Menurut Andi Hamzah, jenis-jenis tindak pidana dibedakan atas dasar-dasar tertentu, antara lain sebagai berikut:

a) Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dibedakan antara lain kejahatan yang dimuat dalam Buku II dan Pelanggaran yang dimuat dalam Buku III. Pembagian tindak pidana menjadi “kejahatan” dan

3

(36)

19

pelanggaran itu bukan hanya merupakan dasar bagi pembagian KUHP kita menjadi Buku ke II dan Buku ke III melainkan juga merupakan dasar bagi seluruh sistem hukum pidana di dalam perundang-undangan secara keseluruhan.

b) Menurut cara merumuskannya, dibedakan dalam tindak pidana formil (formeel Delicten) dan tindak pidana materil (Materiil Delicten). Tindak pidana formil adalah tindak pidana yang dirumuskan bahwa larangan yang dirumuskan adalah melakukan perbuatan tertentu. Misalnya Pasal 362 KUHP yaitu tentang pencurian. Tindak Pidana materil inti larangannya adalah pada menimbulkan akibat yang dilarang, karena itu siapa yang menimbulkan akibat yang dilarang itulah yang dipertanggung jawabkan dan dipidana.

c) Menurut bentuk kesalahan, tindak pidana dibedakan menjadi tindak pidana sengaja (dolus delicten) dan tindak pidana tidak sengaja (culpose delicten). Contoh tindak pidana kesengajaan (dolus) yang diatur di dalam KUHP antara lain sebagai berikut: Pasal 338 KUHP (pembunuhari) yaitu dengan sengaja menyebabkan hilangnya nyawa orang lain, Pasal 354 KUHP yang dengan sengaja melukai orang lain. Pada delik kelalaian (culpa) orang juga dapat dipidana jika ada kesalahan, misalnya Pasal 359 KUHP yang menyebabkan matinya seseorang, contoh lainnya seperti yang diatur dalam Pasal 188 dan Pasal 360 KUHP.

d) Menurut macam perbuatannya, tindak pidana aktif (positif), perbuatan aktif juga disebut perbuatan materil adalah perbuatan untuk mewujudkannya diisyaratkan dengan adanya gerakan tubuh orang yang berbuat, misalnya Pencurian (Pasal 362 KUHP) dan Penipuan (Pasal 378 KUHP). Tindak Pidana pasif dibedakan menjadi tindak pidana murni dan tidak murni. Tindak pidana murni, yaitu tindak pidana yang dirumuskan secara formil atau tindak pidana yang pada dasarnya unsur perbuatannya berupa perbuatan pasif, misalnya diatur dalam Pasal 224,304 dan 552 KUHP.Tindak Pidana tidak murni adalah tindak pidana yang pada dasarnya berupa tindak pidana positif, tetapi dapat dilakukan secara tidak aktif atau tindak pidana yang mengandung unsur terlarang tetapi dilakukan dengan tidak berbuat, misalnya diatur dalam Pasal 338 KUHP, ibu tidak menyusui bayinya sehingga anak tersebut meninggal.4

Berdasarkan uraian di atas, dapat diketahul bahwa jenis-jenis tindak pidana terdiri dari tindak pidana kejahatan dan tindak pidana pelanggaran, tindak pidana formil dan tindak pidana materil, tindak pidana sengaja dan tindak pidana tidak sengaja serta tindak pidana aktif dan pasif.

4

(37)

20

2. Pengertian Pertanggungjawaban Pidana

Pertanggungjawaban pidana mengandung asas kesalahan (asas culpabilitas), yang didasarkan pada keseimbangan monodualistik bahwa asas kesalahan yang didasarkan pada nilai keadilan harus disejajarkan berpasangan dengan asas legalitas yang didasarkan pada nilai kepastian. Walaupun Konsep berprinsip bahwa pertanggungjawaban pidana berdasarkan kesalahan, namun dalam beberapa hal tidak menutup kemungkinan adanya pertanggungjawaban pengganti (vicarious liability) dan pertanggungjawaban yang ketat (strict liability). Masalah kesesatan (error) baik kesesatan mengenal keadaannya (error fact,) maupun kesesatan mengenai hukumnya sesuai dengan konsep merupakan salah satu alasan pemaaf sehingga pelaku tidak dipidana kecuali kesesatannya itu patut dipersalahkan kepadanya5.

Pertanggungjawaban pidana (criminal responsibility) adalah suatu mekanisme untuk menentukan apakah seseorang terdakwa atau tersangka dipertanggungjawabkan atas suatu tindakan pidana yang terjadi atau tidak. Untuk dapat dipidananya si pelaku, disyaratkan bahwa tindak pidana yang dilakukannya itu memenuhi unsur-unsur yang telah ditentukan dalam Undang-undang.

Pertanggungjawaban pidana mengandung makna bahwa setiap orang yang melakukan tindak pidana atau melawan hukum, sebagaimana dirumuskan dalam undang-undang, maka orang tersebut patut mempertanggungjawabkan perbuatan sesuai dengan kesalahannya. Dengan kata lain orang yang melakukan perbuatan pidana akan mempertanggungjawabkan perbuatan tersebut dengan pidana apabila

5

(38)

21

ia mempunyai kesalahan, seseorang mempunyai kesalahan apabila pada waktu melakukan perbuatan dilihat dari segi masyarakat menunjukan pandangan normatif mengenai kesalahan yang telah dilakukan orang tersebut6.

Pertanggungjawaban pidana diterapkan dengan pemidanaan, yang bertujuan untuk untuk mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma hukum demi pengayoman masyarakat; menyelesaikan konflik yang ditimbulkan tindak pidana; memulihkan keseimbangan; mendatangkan rasa damai dalam masyarakat; memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan sehingga menjadi orang baik dan membebaskan rasa bersalah pada terpidana.

Pertanggungjawaban pidana harus memperhatikan bahwa hukum pidana harus digunakan untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur merata materiil dan spirituil. Hukum pidana tersebut digunakan untuk mencegah atau menanggulangi perbuatan yang tidak dikehendaki. Selain itu penggunaan sarana hukum pidana dengan sanksi yang negatif harus memperhatikan biaya dan kemampuan daya keija dan insitusi terkait, sehingga jangan sampal ada kelampauan beban tugas (overbelasting) dalam melaksanakannya7.

Perbuatan agar dapat dipertanggungjawabkan secara pidana, harus mengandung kesalahan. Kesalahan tersebut terdiri dari dua jenis yaitu kesengajaan (opzet) dan kelalaian (culpa).

1. Kesengajaan (opzet)

Sesuai teori hukum pidana Indonesia, kesengajaan terdiri dari tiga macam, yaitu sebagai benikut:

6

Moeljatno, Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Dalam Hukum Pidana, op cit: hlm. 41. 7

(39)

22

a. Kesengajaan yang bersifat tujuan

Bahwa dengan kesengajaan yang bersifat tujuan, si pelaku dapat dipertanggungjawabkan dan mudah dapat dimengerti oleh khalayak ramai. Apabila kesengajaan seperti ini ada pada suatu tindak pidana, si pelaku pantas dikenakan hukuman pidana. Karena dengan adanya kesengajaan yang bersifat tujuan ini, berarti si pelaku benar-benar menghendaki mencapai suatu akibat yang menjadi pokok alasan diadakannya ancaman hukuman ini

b. Kesengajaan secara keinsyafan kepastian

Kesengajaan ini ada apabila si pelaku, dengan perbuatannya tidak bertujuan untuk mencapai akibat yang menjadi dasar dan delik, tetapi ia tahu benar bahwa akibat itu pasti akan mengikuti perbuatan itu.

c. Kesengajaan secara keinsyafan kemungkinan

Kesengajaan ini yang terang-terang tidak disertai bayangan suatu kepastian akan terjadi akibat yang bersangkutan, melainkan hanya dibayangkan suatu kemungkinan belaka akan akibat itu. Selanjutnya mengenai kealpaan karena merupakan bentuk dari kesalahan yang menghasilkan dapat dimintai pertanggungjawaban atas perbuatan seseorang yang dilakukannya8.

2. Kelalaian (culpa)

Kelalaian (culpa) terletak antara sengaja dan kebetulan, bagaimanapun juga culpa dipandang lebih ringan dibanding dengan sengaja, oleh karena itu delik culpa, culpa itu merupakan delik semu (quasideliet) sehingga diadakan pengurangan pidana. Delik culpa mengandung dua macam, yaitu delik kelalaian yang menimbulkan akibat dan yang tidak menimbulkan akibat, tapi yang diancam dengan pidana ialah perbuatan ketidak hati-hatian itu sendiri, perbedaan antara keduanya sangat mudah dipahami yaitu kelalaian yang menimbulkan akibat dengan terjadinya akibat itu maka diciptalah delik kelalaian, bagi yang tidak perlu menimbulkan akibat dengan kelalaian itu sendiri sudah diancam dengan pidana9.

Syarat-syarat elemen yang harus ada dalam delik kealpaan yaitu:

1) Tidak mengadakan praduga-praduga sebagaimana diharuskan oleh hukum, adapun hal ini menunjuk kepada terdakwa berpikir bahwa akibat tidak akan terjadi karena perbuatannya, padahal pandangan itu kemudian tidak benar. Kekeliruan terletak pada salah pikir/pandang yang seharusnya disingkirkan. Terdakwa sama sekali tidak punya pikiran bahwa akibat yang dilarang mungkin timbul karena perbuatannya. Kekeliruan terletak pada tidak mempunyai pikiran sama sekali bahwa akibat mungkin akan timbul hal mana sikap berbahaya

2) Tidak mengadakan penghati-hatian sebagaimana diharuskan oleh hukum, mengenal hal ini menunjuk pada tidak mengadakan penelitian kebijaksanaan, kemahiran/usaha pencegah yang ternyata dalam keadaan yang tertentu/dalam caranya melakukan perbuatan10.

(40)

23

Seseorang akan dipertanggungjawabkan atas tindakan-tindakan tersebut, apabila tindakan tersebut melawan hukum serta tidak ada alasan pembenar atau peniadaan sifat melawan hukum untuk pidana yang dilakukannya. Dilihat dari sudut kemampuan bertanggung jawab maka hanya seseorang yang mampu bertanggung jawab yang dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatannya. Tindak pidana jika tidak ada kesalahan adalah merupakan asas pertanggungjawaban pidana, oleh sebab itu dalam hal dipidananya seseorang yang melakukan perbuatan sebagaimana yang telah diancamkan, ini tergantung dari soal apakah dalam melakukan perbuatan ini dia mempunyai kesalahan.

Kemampuan bertanggung jawab merupakan unsur kesalahan, maka untuk membuktikan adanya kesalahan unsur tadi harus dibuktikan lagi. Mengingat hal ini sukar untuk dibuktikan dan memerlukan waktu yang cukup lama, maka unsur kemampuan bertanggung jawab dianggap diam-diam selalu ada karena pada umumnya setiap orang normal bathinnya dan mampu bertanggung jawab, kecuali kalau ada tanda-tanda yang menunjukkan bahwa terdakwa mungkin jiwanya tidak normal. Dalam hal ini, hakim memerintahkan pemeriksaan yang khusus terhadap keadaan jiwa terdakwa sekalipun tidak diminta oleh pihak terdakwa. Jika hasilnya masih meragukan hakim, itu berarti bahwa kemampuan bertanggung jawab tidak berhenti, sehingga kesalahan tidak ada dan pidana tidak dapat dijatuhkan berdasarkan asas tidak dipidana jika tidak ada kesalahan11.

11

(41)

24

Masalah kemampuan bertanggung jawab mi terdapat dalam Pasal 44 Ayat 1 KUHP yang mengatur: “Barangsiapa melakukan perbuatan yang tidak dapat

dipertanggungjabkan kepadanya karena jiwanya cacat dalam pertumbuhari atau terganggu karena cacat. tidak dipidana”. Menurut Moeljatno, bila tidak dipertanggungjawabkan itu disebabkan hal lain, misalnya jiwanya tidak normal dikarenakan dia masih muda, maka Pasal tersebut tidak dapat dikenakan.apabila hakim akan menjalankan Pasal 44 KUHP, maka sebelumnya harus memperhatikan apakah telah dipenuhi dua syarat yaitu syarat psikiatris dan syarat psikologis.

Penjelasan mengenai kedua syarat tersebut adalah sebagai berikut:

a) Syarat psikiatris yaitu pada terdakwa harus ada kurang sempurna akalnya atau sakit berubah akal, yaitu keadaan kegilaan (idiote), yang mungkin ada sejak kelahiran atau karena suatu penyakit jiwa dan keadaan ini harus terus menerus.

b)

Syarat psikologis ialah gangguan jiwa itu harus pada waktu si pelaku melakukan perbuatan pidana, oleh sebab itu suatu gangguan jiwa yang timbul sesudah peristiwa tersebut, dengan sendirinya tidak dapat menjadi sebab terdakwa tidak dapat dikenai hukuman12.

Kemampuan untuk membeda-bedakan antara perbuatan yang baik dan yang buruk, adalah merupakan faktor akal (intelektual factor) yaitu dapat membedakan perbuatan yang diperbolehkan dan yang tidak. Kemampuan untuk menentukan kehendaknya menurut keinsyafan tentang baik buruknya perbuatan tersebut adalah merupakan faktor perasaan (volitional factor) yaitu dapat menyesuaikan tingkah lakunya dengan keinsyafan atas mana yang diperbolehkan dan mana yang tidak. Sebagai konsekuensi dari dua hal tersebut maka orang yang tidak mampu menentukan kehendaknya menurut keinsyafan tentang baik buruknya perbuatan,

12

(42)

25

dia tidak mempunyai kesalahan kalau melakukan tindak pidana, orang demikian itu tidak dapat dipertanggungjawabkan.

(43)

26

B. Pengertian Tindak Pidana Pemilu Legislatif dan Undang-Undang Pemilu Legislatif

Menurut ketentuan Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Pemilu Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah adalah Pemilu untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dew an Perwakilan Rakyat Daerah provinsi dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah kabupaten/kota dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Menurut ketentuan Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, selanjutnya disingkat DPRD, adalah Dewan Perwakilan Rakyat Daerah provinsi dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah kabupaten/kota sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

(44)

27

lama 4 (empat) tahun dan denda paling banyak Rp48.000.000,00 (empat puluh delapan juta rupiah).

Peradilan pertama yang terlibat dalam tindak pidana Pemilu pada penyelenggaraan Pemilu adalah Pengadilan Negeri yang memiliki wewenang memeriksa, mengadili, dan memutus tindak pidana Pemilu dalam waktu 7 hari setelah pelimpahari berkas perkara. Sidang pemeriksaan perkara tindak pidana Pemilu dilakukan oleh majelis khusus yang terdiri atas hakim khusus yang merupakan hakim karir pada Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi yang ditetapkan secara khusus melalui Keputusan Ketua Makhamah Agung (MA).

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 memberikan batasan mengenai tindak pidana Pemilu di dalam Pasal 260, yang menyebutkan bahwa tindak pidana Pemilu adalah tindak pidana pelanggaran dan/atau kejahatan terhadap ketentuan tindak pidana Pemilu sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini. Proses penanganan tindak pidana Pemilu diatur dalam pasal-pasal sebagai berikut:

Pasal 261 UU Pemilu:

(1) Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia menyampaikan hasil penyidikannya disertai berkas perkara kepada Penuntut Umum paling lama 14 (empat belas) hari sejak diterimanya laporan.

(2) Dalam hal hasil penyidikan belum lengkap, dalam waktu paling lama 3 (tiga) hari Penuntut Umum mengembalikan berkas perkara kepada Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia disertai petunjuk tentang hal yang harus dilakukan untuk dilengkapi.”

(3) Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam waktu paling lama 3 (tiga) hari sejak tanggal penerimaan berkas sebagaimana dimaksud pada Ayat (2) harus sudah menyampaikan kembali berkas perkara tersebut kepada penuntut umum.

(45)

28

Pasal 262 UU Pemilu:

(1) Pengadilan Negeri dalam memeriksa, mengadili, dan memutus perkara tindak pidana Pemilu menggunakan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, kecuali ditentukan lain dalam Undang-Undang ini.

(2) Sidang pemeriksaan perkara tindak pidana Pemilu sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) dilakukan oleh majelis khusus.

Pasal 263 UU Pemilu:

(1) Pengadilan Negeri memeriksa, mengadili, dan memutus perkara tindak pidana Pemilu paling lama 7 (tujuh) hari setelah pelimpahari berkas perkara.

(2) Dalam hal putusan pengadilan sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) diajukan banding. perrnohonan banding diajukan paling lama 3 (tiga) hari setelah putusan dibacakan.

(3) Pengadilan Negeni melimpahkan berkas perkara permohonan banding kepada Pengadilan Tinggi paling lama 3 (tiga) hari setelah permohonan banding diterima.

(4) Pengadilan Tinggi memeniksa dan memutus perkara banding sebagaimana dimaksud pada Ayat (2) paling lama 7 (tujuh) hari setelah permohonan banding diterima.

(5) Putusan Pengadilan Tinggi sebagaimana dimaksud pada Ayat (4) merupakan putusan terakhir dan mengikat serta tidak dapat dilakukan upaya hukum lain.

C. Dasar Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Pidana

(46)

29

Pasal 185 Ayat (2) KUHAP menyebutkan bahwa keterangan seorang saksi saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah terhadap perbuatan yang didakwakan kepadanya, sedangkan dalam Pasal I 85Ayat (3) dikatakan ketentuan tersebut tidak berlaku apabila disertai dengan suatu alat bukti yang sah lainnya (unus testis nullus testis). Saksi korban juga berkualitas sebagai saksi, sehingga apabila terdapat alat bukti yang lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal I 85Ayat (3) KUHAP, maka hal itu cukup untuk menuntut pelaku tindak pidana13.

Hakim Pengadilan Negeri mengambil suatu keputusan dalam sidang pengadilan, mempertimbangkan beberapa aspek, yaitu:

(1) Kesalahan pelaku tindak pidana

Hal ini merupakan syarat utama untuk dapat dipidananya seseorang. Kesalahan di sini mempunyai arti seluas-luasnya, yaitu dapat dicelanya pelaku tindak pidana tersebut. Kesengajaan dan niat pelaku tindak pidana harus ditentukan secara normatif dan tidak secara fisik. Untuk menentukan adanya kesengajaan dan fiat harus dilihat dan peristiwa demi peristiwa, yang harus memegang ukuran normatifdari kesengajaan dan niat adalah hakim.

(2) Motif dan tujuan dilakukannya suatu tindak pidana

Kasus tindak pidana mengandung unsur bahwa perbuatan tersebut mempunyai motif dan tujuan untuk dengan sengaja melawan hokum (3) Cara melakukan tindak pidana

Pelaku melakukan perbuatan tersebut ada unsur yang direncanakan terlebih dahulu untuk melakukan tindak pidana tersebut. Memang terapat unsur niat di dalamnya yaitu keinginan si pelaku untuk melawan hukum. (4) Sikap batin pelaku tindak pidana

Hal ini dapat diidentifikasikan dengan melihat pada rasa bersalah, rasa penyesalan dan berjanji tidak akan mengulangi perbuatan tersebut. Pelaku juga memberikan ganti rugi atau uang santunan pada keluarga korban dan melakukan perdamaian secara kekeluargaan.

(5) Riwayat hidup dan keadaan sosial ekonomi

Riwayat hidup dan keadaan sosial ekonomi pelaku tindak pidana juga sangat mempengaruhi putusan hakim yaitu dan memperingan hukuman bagi pelaku, misalnya belum pernah melakukan perbuatan tidak pidana apa pun, berasal dan keluarga baik-baik, tergolong dan masyarakat yang berpenghasilan sedang-sedang saja (kalangan kelas bawah).

13

(47)

30

(6) Sikap dan tindakan pelaku sesudah melakukan tindak pidana

Pelaku dalam dimintai keterangan atas kejadian tersebut, ia menjelaskan tidak berbelit-belit, ia menerima dan mengakui kesalahannya.Maka hal yang di atas juga menjadi pertimbangan bagi hakim untuk memberikan keringanan pidana bagi pelaku. Karena hakim melihat pelaku berlaku sopan dan mau bertanggung jawab, juga mengakui semua perbuatannya dengan cara berterus terang dan berkata jujur. Karena akan mempermudah jalannya persidangan.

(7) Pengaruh pidana terhadap masa depan pelaku

Pidana juga mempunyai tujuan yaitu selain membuat jera kepada pelaku tindak pidana, juga untuk mempengaruhi pelaku agar tidak mengulangi perbuatannya tersebut, membebaskan rasa bersalah pada pelaku, memasyarakatkan pelaku dengan mengadakan pembinaan, sehingga menjadikannya orang yang lebih baik dan berguna.

(8) Pandangan masyarakat terhadap tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku Dalam suatu tindak pidana masyarakat menilai bahwa tindakaan pelaku adalah suatu perbuatan tercela, jadi wajar saja kepada pelaku untuk dijatuhi hukuman, agar pelaku mendapatkan ganjarannya dan menjadikan pelajaran untuk tidak melakukan perbuatan yang dapat merugikan diri sendiri dan orang lain. Hal tersebut dinyatakan bahwa ketentuan ini adalah untuk menjamin tegaknva kebenaran. keadilan dan kepastian hukum.14

Aspek secara kontekstual yang terkandung dalam kebebasan hakim dalam melaksanakan kekuasaan kehakiman adalah tiga esensi:

a. Hakim hatiya tunduk pada hukum dan keadilan

b. Tidak seorangpun termasuk pemerintah dapat mempengaruhi atau mengarahkan putusan yang akan dijatuhkan oleh hakim

(48)

III. METODE PENELITIAN

A. Pendekatan Masalah

Penelitian hukum merupakan suatu kegiatan ilmiah, yang didasarkan pada metode, sistematika dan pemikiran tertentu yang bertujuan untuk mempelajari satu atau beberapa gejala hukum tertentu dengan cara menganalisanya1.

Pendekatan masalah yang digunakan dalam penelitian mi yaitu dengan cara pendekatan yuridis normatifdan pendekatan yuridis empiris.

1. Pendekatan yuridis normatif dilakukan dengan mempelajari, melihat dan menelaah mengenai beberapa hal yang bersifat teoritis yang menyangkut asasa sas hukum, konsepsi, pandangan, doktrin-doktrin hukum, peraturan hukum dan sistem hukum yang berkenaan dengan permasalahan penelitian ini.

Pendekatan masalah secara yuridis normatif dimaksudkan untuk memperoleh pemahaman tentang pokok bahasan yang jelas mengenai gejala dan objek yang sedang diteliti yang bersifat teoritis berdasarkan atas kepustakaan dan literatur yang berkaitan dengan permasalahan yang akan dibahas. Penelitian

1

(49)

32

ini bukanlah memperoleh hasil yang dapat diuji melalui statistik, tetapi penelitian ini merupakan penafsiran subjektif yang merupakan pengembangan teori-teori dalam kerangka penemuan ilmiah.

2. Pendekatan yuridis empiris dilakukan untuk mempelajari hukum dalam kenyataan atau berdasarkan fakta yang didapat secara objektif di lapangan, baik berupa pendapat, sikap dan perilaku aparat penegak hukum yang didasarkan pada identifikasi hukum dan efektifitas hukum.

B. Sumber dan Jenis Data

Jenis data dilihat dari sumbernya dapat dibedakan antara data yang diperoleh langsung dari masyarakat dan data yang diperoleh dari bahan pustaka2. Data tersebut yaitu:

a. Data Sekunder

Data sekunder adalah data yang diperoleh melalui studi kepustakaan (library research), dengan cara membaca, menelaah dan mengutip terhadap berbagai teori, asas dan peraturan yang berhubungan dengan permasalahan dalam penelitian. Data sekunder terdiri dari:

1) Bahan Hukum Primer, terdiri dari:

(a) Undang-Undang Nomor I Tahun 1946 jo Undang-Undang Nomor 73 Tahun 1958 tentang Pemberlakuan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

(b) Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.

2

(50)

33

(c) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2008 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman Republik Indonesia.

(d) Undang-Undang Nomor 8 tahun 2012 Tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah

(e) Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pedoman Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

2) Bahan Hukum Sekunder

Bahan hukum sekunder dalam penelitian ini bersumber dari bahan-bahan hukum yang dapat membantu menganalisa permasalahan, dari berbagai buku hukum, arsip dan dokumen, brosur, makalah dan sumber internet.

b. Data Primer

Data primer adalah data utama yang diperoleh secara langsung dari lapangan penelitian dengan cara melakukan wawancara dengan responden. Responden dalam penelitian adalah hakim pada Pengadilan Tinggi Tanjung Karang.

C. Penentuan Narasumber

Penelitian ini membutuhkan narasumber sebagai sumber informasi untuk memberikan penjelasan terkait dengan perinasalahan yang dibahas. Narasumber penelitian ini adalah sebagai berikut:

1). Jaksa pada Kejaksaan Negeri Bandar Lampung = 1 orang 2). Hakim pada Pengadilan Negera Kelas IA Tanjung Karang = 1 orang 3). Dosen Bagian Pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung = 1 orang +

(51)

34

D. Prosedur Pengumpulan Data dan Pengolahan Data

1. Prosedur Pengumpulan Data

Prosedur pengumpulan data dilakukan dengan teknik studi pustaka dan studi lapangan:

a. Studi pustaka (library research), adalah pengumpulan data dengan menelaah dan mengutip dari bahan kepustakaan dan melakukan pengkajian peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan bahasan

b. Studi lapangan (field research), dilakukan sebagai usaha mengumpulkan data secara langsung di lapangan penelitian guna memperoleh data yang dibutuhkan.3 Studi lapangan dilaksanakan dengan wawancara

(interview), yaitu mengajukan tanya jawab kepada responden penelitian dengan menggunakan pedoman wawancara yang telah dipersiapkan.

2. Pengolahan Data

Setelah melakukan pengumpulan data, selanjutnya dilakukan pengolahan data lapangan atau data empirik, sehingga data yang diperoleh dapat mempermudah permasalahan yang diteliti. Pengolahan data meliputi tahapan sebagai benikut:

a. Seleksi Data. Data yang terkumpul kemudian diperiksa untuk mengetahui kelengkapan data selanjutnya data dipilih sesuai dengan permasalahan yang diteliti.

3

(52)

35

b. Kiasifikasi Data. Penempatan data menurut kelompok-kelompok yang telah ditetapkan dalam rangka memperoleh data yang benar-benar diperlukan dan akurat untuk kepentingan penelitian.

c. Sistematisasi Data. Penempatan data yang saling berhubungan dan merupakan satu kesatuan yang bulat dan terpadu pada subpokok bahasan sesuai sistematika yang ditetapkan untuk mempermudah interpretasi data.

E. Analisis Data

(53)

V. PENUTUP

A. Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan maka dapat disimpulkan sebagai berikut:

1. Pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku tindak pidana pemilu legislatif dalam pasal 309 Undang-Udang Nomor 8 Tahun 2012 dilakukan dengan pemidanaan sebagaimana tertuang dalam putusan pengadilan Nomor: 70/Pid./2014/PT.Tjk., karena perbuatan tersebut telah memenuhi unsur-unsur pertanggungjawaban pidana yaitu pelaku telah cakap atau dewasa untuk melakukan perbuatan hukum, tidak ada alasan pembenaran dan alasan pemaaf bagi terdakwa dalam melakukan penambahan atau pengurangan suara calon anggota legislatif, sehingga pelaku harus mempertanggungjawabakan tindak pidana pemilu karena memenuhi unsur kesengajaan.

(54)

61

yaitu perbuatan terdakwa bertentangan dengan semangat Pemilu Legislatif yang jujur dan adil, terdakwa menyalahgunakan kewenangan yang dimilikinya dan perbuatan terdakwa merugikan hak orang (suara caleg peserta Pemilu). Hal-hal yang meringankan adalah terdakwa mengakui perbuatannya, bersikap sopan di pengadilan dan terdakwa belum pernah dihukum

B. Saran

Saran dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku tindak pidana Pemilu hendaknya dioptimalkan melalui pemidanaan yang maksimal sesuai dengan ancaman yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan. Hal ini penting untuk dilaksanakan dalam rangka memberikan efek jera kepada pelaku dan sebagai pembelajaran bagi pihak lain agar tidak melakukan tindak pidana Pemilu. 2. Hakim dalam menjatuhkan pidana kepada pelaku tindak pidana Pemilu

(55)

DAFTAR PUSTAKA

Hamzah, Andi. 2001. Bunga Rampai Hukum Pidana dan Acara Pidana. Jakarta: Ghalia Indonesia.

Lamintang P.A.F. 1996. Dasar-DasarHuku Pidana Indonesia. Bandung: Citra Adityta Bakti.

Moeljatno. 1993. Perbuatan Pidana dan Pertanggung jawaban Dalam Hukum Pidana, Jakarta: Bina Aksara.

Mulyadi, Lilik. 2007. Kekuasaan Kehakiman Surabaya: Bina Ilmu.

______ 2010. Putusan Hakim dalam Hukum Acara Pidana Teori, Praktik Teknik Penyusunan dan Permasalahannya. Bandung: Citra Aditya Bakti.

Nawawi Arief, Barda. 1992. Bunga Rampai Hukum Pidana Bandung: Alumni. _____ 2001. Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Penanggulangan

Kejahatan. Bandung: Citra Aditya Bakti.

Reksodiputro, Mardjono. 1994. Sistem Peradilan Pidana Indonesia (Melihat Kejahatan dan Penegakan Hukum dalam Batas-Batas Toleransi). Jakarta: Pusat Keadilan dan Pengabdian Hukum.

Rifai, Ahmad. 2010. Penemuan Hukum oleh Hakim dalam Persfektif Hukum Progress. Jakarta: Sinar Grafika.

Soekanto, Soerjono. 1983. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: Rineka Cipta. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 jo Undang-Undang Nomor 73 Tahun 1958

tentang Pemberlakuan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.

(56)

Undang-Undang Nomor 8 tahun 2012 Tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah

Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pedoman Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

Referensi

Dokumen terkait

Uji yang dilakukan di labotatorium adalah uji Mekanika Tanah dengan mengambil sampel tanah di lokasi saluran, uji yang dilakukan adalah uji sifat fisik tanah dan uji kuat

(2) Negara-negara anggota, yang menyadari bahwa negara anggota lain tidak melaksanakan kewajibannya sesuai dengan perjanjian ini yang menghasilkan pengurangan keuntungan bagi

[r]

Karbonisasi biomassa atau yang lebih dikenal dengan pengarangan adalah suatu proses untuk menaikkan nilai kalor biomassa dan dihasilkan pembakaran bersih

Audit laporan keuangan dilakukan untuk menentukan apakah laporan keuangan telah dinyatakan sesuai dengan kriteria tertentu dan pihak yang bertanggung jawab dalam mengaudit laporan

Rekapitulasi Nilai Perdagangan Saham Berdasarkan Tipe Investor

Data (27) kata one heart yang memiliki arti satu hati , yang dimaksudkan bahwa sesuai dengan logo iklan Honda yang berlambang hati, maka dari itu penggunaan bahasa

Penang bersatu membentuk pemukiman Selat Malaka. Permintaan pasar akan karet bertumbuh cepat pada abad ke-19, sementara pasokan hanya berasal dari Amerika Selatan. Benih-benih