• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Produk Daging Hewan Potong Di Bandar Lampung

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Produk Daging Hewan Potong Di Bandar Lampung"

Copied!
63
0
0

Teks penuh

(1)

i ABSTRAK

Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Produk Daging Hewan Potong Di Bandar Lampung

Oleh:

Muhammad Gerri Prasetya

Salah satu tahap yang menentukan kualitas dan keamanan daging dalam mata rantai penyediaan daging ialah Pemotongan hewan yang dilakukan di Rumah Potong Hewan Ruminansia (RPH-R). Hal ini bertujuan agar pemotongan hewan dilakukan secara benar dan melindungi konsumen dari daging yang ditangani secara tidak sehat ataupun dijual tanpa pemeriksaan. Permasalahan dalam penelitian ini mengkaji tentang perlindungan hukum konsumen terhadap daging hewan yang dipotong tidak melalui Rumah Potong Hewan Ruminansia (RPH-R). Tanggung jawab hukum pelaku usaha yang menjual daging hewan yang tidak dipotong melalui Rumah Potong Hewan Ruminansia (RPH-R). Upaya hukum yang ditempuh konsumen terhadap kualitas daging hewan yang dipotong tidak melalui Rumah Potong Hewan Ruminansia (RPH-R).

Penelitian ini adalah penelitian hukum normatif. Data yang digunakan adalah data sekunder yang terdiri dari bahan hukum primer, sekunder dan tersier serta didukung oleh data wawancara yang dilakukan kepada konsumen, pelaku usaha dan lembaga terkait yang dalam hal ini adalah Dinas Pertanian, Peternakan Perkebunan, dan Kehutanan Kota Bandar Lampung serta Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), yang berkaitan langsung dengan pokok pembahasan.

Berdasarkan hasil penelitian ini disimpulkan perlindungan hukum konsumen terhadap kualitas daging yang dipotong pada kenyataanya belum sesuai dengan aturan yang berlaku dikarenakan daging yang diperjualbelikan tidak dipotong melalui Rumah Potong Hewan Ruminansia (RPH-R) melainkan melalui tempat pemotongan hewan milik pelaku usaha yang tidak berstandarisasi, sehingga daging yang dihasilkan tidak terjamin kualitas dan keamanannya. Berdasarkan Pasal 61 Undang-Undang Peternakan dan Kesehatan Hewan, pemotongan hewan yang dagingnya diedarkan harus dipotong di Rumah Potong Hewan Ruminansia

(RPH-R), hal ini dikarenakan dalam Rumah Potong Hewan Ruminansia (RPH-R)

sebelum dan sesudah hewan dipotong akan melewati pemeriksaan kesehatan sehingga didapatkan daging yang berkualitas dan layak dikonsumsi. Hewan yang dikualifikasikan untuk dipotong melalui Rumah Potong Hewan Ruminansia (RPH-R) adalah hewan yang dipotong untuk diperjualbelikan ataupun

diperdagangkan dan bukan untuk hewan yang dipotong untuk dikonsumsi sendiri.

(2)

ii

dikarenakan mengkomsumsi daging tersebut maka pelaku usaha akan bertanggungjawab memberikan ganti rugi sesuai dengan Pasal 19 ayat (2) Undang-Undang Perlindungan konsumen, dalam bentuk berupa pengembalian uang atau penggantian barang dan/atau jasa yang sejenis atau setara nilainya, atau perawatan kesehatan dan/atau pemberian santunan yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-perundangan yang berlaku. Upaya hukum yang dapat ditempuh konsumen yang dirugikan terhadap kualitas daging hewan tersebut adalah dengan melakukan pengaduan kepada Yayasan Lembaga Konsumen

Indonesia (YLKI) yang dapat berperan aktif sebagai lembaga mediasi dalam

melindungi konsumen, namun pada pelaksanaannya apabila dalam proses mediasi tidak terjadi kesepakatan antara para pihak maka akan melimpahkan permasalahan ini kepada Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK). Sejauh ini upaya hukum diatas belum dilakukan oleh konsumen hal ini dikarenakan ketidaktahuan konsumen dan kurangnya informasi tentang daging yang berkualitas dan berasal dari pemotongan hewan yang benar.

(3)

Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Produk Daging Hewan Potong Di Bandar Lampung

(Skripsi)

Oleh

MUHAMMAD GERRI PRASETYA

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

(4)

Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Produk Daging Hewan Potong Di Bandar Lampung

Oleh

MUHAMMAD GERRI PRASETYA Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Mencapai Gelar SARJANA HUKUM

Pada

Bagian Hukum Keperdataan Fakultas Hukum Universitas Lampung

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

(5)

xiii DAFTAR ISI

ABSTRAK ... i

HALAMAN JUDUL ... iii

HALAMAN PERSETUJUAN ... iv

HALAMAN PENGESAHAN ... v

RIWAYAT HIDUP ... vi

MOTO ... vii

PERSEMBAHAN ... viii

SANWACANA ... ix

DAFTAR ISI ... xiii

I. PENDAHULUAN ... 1

A.Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 6

C. Ruang Lingkup ... 6

D.Tujuan Penelitian ... 7

E. Kegunaan Penelitian ... 7

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 9

A.Perlindungan Hukum Konsumen ... 9

B. Pelaku Usaha ... ... 18

C. Rumah Potong Hewan Ruminansia (RPH-R) ... 20

D.Pengaturan Hukum Tentang Kualitas Daging . ... 24

1. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen ... 24

2. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009 Tentang Peternakan Dan Kesehatan Hewan . ... 27

3. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 95 Tahun 2012 Tentang Kesehatan Masyarakat Veteriner dan Kesejahteraan Hewan ... 28

E. Tanggung Jawab Hukum Pelaku Usaha ... 33

(6)

xiv

III. METODE PENELITIAN ... 40

A.Jenis Penelitian ... 40

B. Tipe Penelitian ... 41

C. Pendekatan Masalah ... 41

D.Data dan Sumber Data ... 42

E. Metode Pengumpulan Data ... 43

F. Metode Pengolahan Data ... 44

G.Analisis Data ... 44

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 45

A. Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Daging Hewan Yang Dipotong Tidak Melalui Rumah Potong Hewan Ruminansia (RPH-R). ... 45

1. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen ... 45

2. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009 Tentang Peternakan Dan Kesehatan Hewan. ... 48

3. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 95 Tahun 2012 Tentang Kesehatan Masyarakat Veteriner dan Kesejahteraan Hewan ... 52

B. Tanggung Jawab Hukum Pelaku Usaha Yang Menjual Daging Hewan Yang Dipotong Tidak Melalui Rumah Potong Hewan Ruminansia (RPH-R) ... 63

C. Upaya Hukum Yang Ditempuh Konsumen Terhadap Kualitas Daging Hewan Yang Dipotong Tidak Melalui Rumah Potong Hewan Ruminansia (RPH-R) ... 69

V. PENUTUP. ... 80

1. Kesimpulan. ... 80

(7)

vii MOTO

“Sesungguhnya para pedagang akan dibangkitkan pada hari kiamat nanti sebagai

orang-orang fajir (jahat) kecuali pedagang yang bertakwa dan berbuat baik dan

berlaku jujur . ”

( HR. Muslim. No 106 )

“Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di

bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan itu, karena

sesungguhnya syaitan adalah musuh nyata bagimu.”

(8)
(9)
(10)

vi

RIWAYAT HIDUP

Nama lengkap penulis adalah Muhammad Gerri Prasetya, penulis

dilahirkan di Kotabumi pada tanggal 04 Januari 1994. Penulis

merupakan anak kedua dari dua bersaudara, dari pasangan bapak

IPTU.H.Darson Elidi dan ibu Hj.Ermiyati, S.Pd.

Penulis mengawali pendidikan di Taman Kanak-kanak (TK) Tunas Harapan

Kotabumi pada tahun 1998, penulis melanjutkan ke Sekolah Dasar di SD VI

Kelapa 7 Kotabumi pada Tahun 1999 hingga tahun 2005, Sekolah Menengah

Pertama di Xaverius Kotabumi pada tahun 2005 hingga tahun 2008 dan Sekolah

Menengah Atas di SMA Negeri 4 Kotabumi pada Tahun 2008 hingga tahun 2011.

Penulis terdaftar sebagai mahasiwa Fakultas Hukum melalui jalur Seleksi

Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN) pada tahun 2011.

Selama menjadi mahasiswa, penulis aktif di berbagai unit kegiatan mahasiswa,

yaitu anggota muda Pusat Studi Bantuan Hukum Fakultas Hukum Universitas

Lampung, Anggota Komunitas Konstitusi, HIMA Perdata Fakultas Hukum

menjabat sebagai ketua pemberdayaan mahasiswa pada tahun 2014-2015. Penulis

juga tercatat mengikuti program Kuliah Kerja Nyata (KKN Tematik) di Desa

(11)

ix

SANWACANA

Alhamdulillahirabbil’alamin, Puji syukur kehadirat Allah SWT atas limpahan

rahmat, taufik, serta hidayah-Nya sehingga penulis dapat penulis dapat

menyelesaikan penulisan skripsi yang berjudul “Perlindungan Hukum

Terhadap Konsumen Produk Daging Hewan Potong Di Bandar Lampung” sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum di Fakultas

Hukum Universitas Lampung di bawah bimbingan dari dosen pembimbing serta

atas bantuan dari berbagai pihak lain. Shalawat serta salam semoga senantiasa

tercurahkan kepada baginda Nabi besar Muhammad SAW beserta seluruh

keluarga dan sahabatnya.

Penyelesaian penelitian ini tidak lepas dari bantuan, bimbingan, dan saran dari

berbagai pihak, maka pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih

kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Heryandi, S.H., M.S., Dekan Fakultas Hukum Universitas

Lampung.

2. Bapak Dr. Wahyu Sasongko, S.H.,M.Hum., Ketua Bagian Hukum

Keperdataan Fakultas Hukum Universitas Lampung.

3. Bapak Dr. Hamzah, S.H., M.H., Pembimbing I atas kesabaran dan kesediaan

(12)

x

pemikirannya, memberikan bimbingan, saran, dan kritik dalam proses

penyelesaian skripsi ini.

4. Ibu Dewi Septiana, S.H., M.H., Pembimbing II yang telah bersedia untuk

meluangkan waktunya, mencurahkan segenap pemikirannya, memberikan

bimbingan, saran, dan kritik dalam proses penyelesaian skripsi ini.

5. Ibu Nilla Nargis, S.H., M.Hum., Pembahas I yang telah memberikan kritik,

saran, dan masukan yang membangun terhadap skripsi ini.

6. Bapak Depri Liber Sonata, S.H., M.H., Pembahas II yang telah memberikan

kritik, saran, dan masukan yang membangun terhadap skripsi ini.

7. Ibu Siti Azizah, S.H., M.H., Pembimbing Akademik atas bimbingan dan

pengarahan kepada penulis selama menjalankan studi di Fakultas Hukum

Universitas Lampung.

8. Seluruh dosen dan karyawan/i Fakultas Hukum Universitas Lampung yang

penuh dedikasi dalam memberikan ilmu yang bermanfaat bagi penulis, serta

segala bantuan yang diberikan kepada penulis selama menyelesaikan studi.

9. Kepala Bagian Peternakan Dan Kesehatan Hewan Kota Bandar Lampung Ibu

Siti Khomariyah yang telah membantu dan bersedia menjadi narasumber

dalam penulisan skripsi ini.

10. Papah dan Mamah tercinta yang telah banyak memberikan dukungan dan

pengorbanan baik secara moril maupun materiil sehingga penulis dapat

menyelesaikan studi dengan baik. Terimakasih atas segalanya semoga kelak

dapat membahagiakan, membanggakan, dan selalu bisa membuat kalian

(13)

xi

11.Kakak Astrid Elsye Anggrainy, S.Pd. terima kasih atas semua dukungan

moril, motivasi, kegembiraan, dan semangatnya yang selalu engkau berikan

kepada penulis selama ini.

12.Keluarga besar ku terima kasih atas doa, dukungan dan motivasi selama ini.

13.Astari Maharani, terimakasih telah memberikan dukungan, semangat, doa,

nasihat dan saran serta mendengarkan cerita-ceritaku, terimakasih atas bantuan

dan waktunya selama ini.

14.Sahabat-sahabatku yang selalu hadir dikala sedih maupun senang, Bramantya

Ariwibowo, Clara Lucky Respati, Pebie Putri R, Annisa Dian Permata H,

Chelsilia Hernidons, Chandra Agus Wijaya terima kasih untuk semangat, doa,

kebersamaan, tawa canda dan persahabatan kita selama ini.Terima kasih untuk

semuanya, semoga persahabatan kita abadi selamanya dan semoga kita jadi

menjadi orang yang sukses dan bermanfaat Aamin YRA.

15.Sahabat-sahabat saya Rio Panduwinata, Ahmad Tri Johan, Ari Nugraha,

Yudha Dwi Nugraha, Riki Ricardo. Terima kasih untuk semuanya dan semoga

persahabatan kita awet selamanya dan semoga kita jadi menjadi orang yang

sukses dan bermanfaat Aamiin YRA.

16.Sahabat-sahabat dari awal perkuliahan sampai sekarang Ridho Aulia Husein,

Sindu Purnomo, Agung Kurniawan, Dimas Pamori, Reynhad Saragih, Reza

Wahyu Saputra, Tara Sabily, Tommy Hidayat, Dimas Agung Nugraha, Dian

Rama Nuari. Terima kasih atas semangat, dukungan, tawa canda dan doanya

selama ini.

17.Teman-teman Hukum Keperdataan 2011 Abung Pratama, Dananjaya A,

(14)

xii

teman-teman HIMA Perdata yang tidak dapat disebutkan satu persatu terima

kasih atas dukungan dan kerjasamanya.

18.Seluruh teman-teman KKN Tematik 2014 di Bumi Ratu Nuban, Median

Fauzi, M Azhari, M lutfhi , M Satria, Mauli, Merisa, Panji Kesuma,

Monika ,Miftayuni R, Mizaany Aulia, Maria Dita, Marlina Siagian, atas

kebersamaan selama 40 hari yang mengesankan.

19.Almamater Tercinta Universitas Lampung.

Semoga Allah SWT memberikan balasan atas jasa dan budi baik yang telah

diberikan kepada penulis. Akhir kata, penulis menyadari masih terdapat

kekurangan dalam penulisan skripsi ini dan masih jauh dari kesempurnaan, akan

tetapi sedikit harapan semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi yang

membacanya, khususnya bagi penulis dalam mengembangkan dan mengamalkan

ilmu pengetahuan.

Bandar Lampung, Desember 2015

Penulis

(15)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pangan mempunyai peranan yang penting bagi kehidupan manusia. Peran pokok

pangan adalah untuk mempertahankan kelangsungan hidup, melindungi dan

menjaga kesehatan, serta berguna untuk mendapat energi yang cukup untuk

bekerja secara produktif. Makanan dan minuman yang dikonsumsi manusia

haruslah makanan dan minuman yang baik dan bermanfaat bagi tubuh, serta halal

untuk dikonsumsi.

Makanan yang sehat adalah makanan yang memiliki komposisi gizi yang lengkap

yang terdiri dari karbohidrat, serat, protein, baik yang bersumber dari hewani

maupun nabati. Sumber protein hewani salah satunya dapat kita peroleh dengan

mengonsumsi daging sapi. Daging mengandung enzim-enzim yang dapat

mengurai atau memecah beberapa komponen gizi (protein, lemak) yang akhirnya

menyebabkan pembusukan daging, oleh sebab itu daging dikategorikan sebagai

pangan yang mudah rusak (perishable food), untuk menjaga daging tetap bermutu

baik, aman dan layak untuk dikonsumsi, maka perlu penanganan daging yang

aman dan baik mulai dari peternakan sampai dikonsumsi.1

1

(16)

Salah satu tahap yang sangat menentukan kualitas dan keamanan daging dalam

mata rantai penyediaan daging adalah tempat pemotongan ternak. Pemotongan

ternak sebaiknya dilakukan di suatu tempat khusus yang telah memenuhi

persyaratan tertentu, yaitu di Rumah Potong Hewan Ruminansia (RPH-R).

Persyaratan atau peraturan mengenai pemotongan hewan dimaksudkan agar

pemotongan hewan dilakukan secara benar dan juga melindungi konsumen dari

daging yang ditangani secara tidak sehat ataupun yang dijual tanpa pemeriksaan.2

Rumah Potong Hewan Ruminansia (RPH-R) yang memenuhi standar

kualitas, jaminan kehalalan serta kehigienisan daging akan meningkatkan efisiensi

penanganan daging yang dijual oleh produsen kepada konsumen, dikarenakan

Rumah Potong Hewan Ruminansia (RPH-R) memiliki prosedur dan serangkaian

pemeriksaan terhadap hewan sebelum dipotong. Rumah Potong Hewan

Ruminansia (RPH-R) juga menjadi kunci penting dalam rantai produksi dan

distribusi daging. Rumah Potong Hewan Ruminansia (RPH-R) yang berkualitas

bisa mengurangi kerugian akibat penjualan daging yang tidak sehat atau tidak

aman dikonsumsi dan bisa mencegah penyebaran penyakit dari hewan ke manusia

(zoonisis).

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Universitas Gadjah Mada (UGM)

bekerjasama dengan Asosiasi Produsen Daging dan Feedlot Indonesia

(APFINDO), kebutuhan daging sapi indonesia tahun 2015 diperkirakan mencapai

640.000 ton. Jumlah ini meningkat 8,5 persen dibandingkan proyeksi tahun 2014

yang sebanyak 590.000 ton. Pada tahun 2015, konsumsi daging sapi diperkirakan

2

(17)

mencapai 2,56 kilogram (kg) per kapita/tahun, atau meningkat 8,5 persen

dibandingkan tahun lalu sebesar 2,36 kg per kapita/tahun.3

Banyaknya permintaan terhadap konsumsi daging sapi haruslah diimbangi

dengan pengawasan yang semakin baik dikarenakan pengetahuan dan kesadaran

konsumen sampai saat ini masih rendah khususnya tentang daging yang sehat

dan berkualitas serta aman untuk dikonsumsi. Umumnya konsumen tidak

mengetahui daging yang mereka beli berasal dari mata rantai proses penyediaan

daging yang terjamin keamanannya atau tidak, beberapa konsumen hanya berpikir

untuk mendapatkan daging yang murah tanpa memperdulikan keamanan daging

yang dibelinya. Pengetahuan para penjual pun masih rendah, penjual juga hanya

berpikir untuk mencari untung sebesar-besarnya dan terkadang mengabaikan

keselamatan konsumennya.

Daging yang beredar di masyarakat memiliki kualitas yang sangat bervariatif. Hal

ini dapat dilihat dari kondisi ternak tersebut, cara pemeliharaan ternak dan umur

potong dari ternak tersebut sehingga dari semua faktor ini akan berdampak pada

kualitas dari daging yang dihasilkan akan menjadi beragam. Sebagai contoh

terdapat salah satu tempat usaha di Bandar Lampung yang memperjualbelikan

daging segar yaitu ibu Mul. Usaha yang dijalankan oleh ibu Mul ini merupakan

salah satu usaha tertua di Bandar Lampung yang bergerak dibidang jual beli

daging dan masih bertahan hingga saat ini. Usaha ini dirintis pada tahun

1970-an. Pada mulanya usaha ini memperjualbelikan daging rusa, kemudian ditahun

1975 beralih memperjualbelikan daging sapi dan tidak berubah hingga saat ini.

3

(18)

Pemotongan hewan pada usaha yang dimiliki oleh ibu Mul di tempat pemotongan

hewan sendiri yang tidak jauh dari lokasi penjualan. Tempat pemotongan hewan

usaha jual beli daging ibu Mul masih sangat sederhana, hal ini terlihat dari tempat

dilakukannya pemotongan, tidak adanya ruang pelayuan pendingin, serta tidak

adanya tempat pembuangan limbah. Kondisi tempat penjualan daging pun masih

sangat sederhana. Kondisi seperti ini tentu tidak menutup kemungkinan dapat

memperngaruhi kualitas daging yang dihasilkan dikarenakan pelaku usaha tidak

memperhatikan dengan benar cara yang baik untuk mendapatkan daging yang

berkualitas. Walaupun demikian, masih terdapat konsumen yang membeli daging

pada pelaku usaha tersebut. Hal ini dikarenakan lokasi penjualan dekat dengan

pemukiman warga, dan opini masyarakat mengenai kualitas daging sudah

terpercaya.

Kualitas produk merupakan standar minimum yang harus dipenuhi atau dimiliki

suatu barang dan/atau jasa tertentu sebelum barang dan/atau jasa tersebut dapat

diperdagangkan untuk dikonsumsi oleh masyarakat luas. Standar minimum

tersebut merupakan informasi penting yang harus diketahui oleh konsumen.

Informasi yang demikian tidak hanya datang dari pelaku usaha semata, melainkan

dari berbagai sumber lain yang dapat dipercaya, serta dipertanggungjawabkan

sehingga pada akhirnya konsumen tidak dirugikan dengan membeli barang

dan/atau jasa yang sebenarnya tidak layak untuk diperdagangkan.4

Keamanan terhadap kualitas makanan merupakan salah satu yang terpenting

dalam pengembangan sistem mutu industri pangan, berbagai macam aturan yang

4

(19)

telah ada termasuk aturan pangan asal hewan seperti daging tidak lantas

menjamin daging yang beredar di masyarakat aman untuk dikonsumsi.

Berdasarkan Pasal 4 (a) dan (c) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang

Perlindungan Konsumen, konsumen memiliki hak yaitu hak atas kenyamanan,

keamanan dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa serta

konsumen juga memiliki hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai

kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa sehingga dalam hal ini konsumen harus

dilindungi dengan mendapatkan daging yang terbaik, namun pada kenyataannya

masih terdapat beberapa kasus peredaran daging yang tidak layak dikonsumsi.

Permasalahan ini merupakan tanggungjawab bersama sebagai bentuk dari upaya

perlindungan konsumen, oleh karena itu tanggung jawab ini tidak hanya terletak

pada konsumen dan pelaku usaha saja, tetapi peran lembaga yang terkait akan

membuat terselenggaranya perlindungan konsumen berjalan dengan semestinya.

Lembaga yang terkait dalam upaya perlindungan terhadap konsumen ini ialah

pemerintah dan Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI). Pemerintah

berperan dalam pengawasan terhadap penyelenggaraan perlindungan konsumen

seperti yang tertera dalam Pasal 30 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang

Perlindungan Konsumen, yaitu pengawasan terhadap penyelenggaraan

perlindungan konsumen, serta penerapan ketentuan peraturan

perundang-undangannya diselenggarakan oleh pemerintah, masyarakat, dan Lembaga

Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat. Sementara itu, sebagai Lembaga

Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat, Yayasan Lembaga Konsumen

Indonesia (YLKI) yang merupakan organisasi non-pemerintah yang terdaftar

(20)

tujuan untuk meningkatkan kesadaran kritis konsumen tentang hak-hak dan

tanggungjawabnya sehingga dapat melindungi dirinya sendiri dan lingkungannya.

Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka peneliti tertarik untuk meneliti

tentang “Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Produk Daging Hewan

Potong di Bandar Lampung”

B. Permasalahan

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka permasalahan yang akan

dibahas dalam penelitian ini yaitu:

1. Bagaimana perlindungan hukum terhadap konsumen daging hewan yang

dipotong tidak melalui Rumah Potong Hewan Ruminansia (RPH-R)?

2. Bagaimana tanggung jawab hukum pelaku usaha yang menjual daging hewan

yang dipotong tidak melalui Rumah Potong Hewan Ruminansia (RPH-R)?

3. Bagaimana upaya hukum yang ditempuh konsumen terhadap kualitas daging

hewan yang dipotong tidak melalui Rumah Potong Hewan Ruminansia

(RPH-R)?

C. Ruang Lingkup

Berdasarkan rumusan masalah di atas, ruang lingkup dalam pembahasan ini

dibatasi pada kajian hukum perdata khususnya hukum perlindungan konsumen

mengenai perlindungan hukum terhadap konsumen daging hewan potong,

sedangkan ruang lingkup dalam bidang ilmu adalah hukum perlindungan

(21)

D. Tujuan Penelitian

Tujuan yang akan dicapai dalam penelitian ini adalah:

a) Mengetahui dan memahami perlindungan hukum bagi konsumen terhadap

daging hewan yang dipotong tidak melalui Rumah Potong Hewan

Ruminansia (RPH-R).

b) Mengetahui dan memahami tanggung jawab hukum pelaku usaha yang

menjual daging hewan yang dipotong tidak melalui Rumah Potong Hewan

Ruminansia (RPH-R).

c) Mengetahui dan memahami Bagaimana upaya hukum yang ditempuh

konsumen terhadap kualitas daging hewan yang dipotong tidak melalui

Rumah Potong Hewan Ruminansia (RPH-R).

E. Kegunaan Penelitian

Adapun penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat baik secara teoritis

maupun secara praktis.

a) Secara teoritis

Penelitian ini diharapkan memberikan sumbangan pemikiran bagi

pengembangan ilmu pengetahuan hukum perdata, khususnya hukum

perlindungan konsumen.

b) Secara praktis, penulisan ini dituangkan berguna sebagai:

1. Bahan bacaan atau sumber informasi bagi peneliti mengenai terhadap

perlindungan hukum konsmen daging hewan yang dipotong tidak melalui

(22)

2. Salah satu syarat akademik untuk menyelesaikan studi pada Fakultas

Hukum Universitas Lampung.

3. Meningkatkan pengetahuan dan pengembangan wawasan ilmu bagi

(23)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Perlindungan Hukum Konsumen

1. Pengertian Perlindungan Hukum Konsumen

Perlindungan adalah tempat berlindung atau merupakan perbuatan (hal)

melindungi, misalnya memberi perlindungan kepada orang yang lemah.5

Pemaknaan kata perlindungan secara kebahasaan memiliki kemiripan atau

kesamaan dengan unsur-unsur, yaitu unsur tindakan melindungi, unsur

pihak-pihak yang melindungi, unsur cara-cara melindungi. Dengan demikian, kata

perlindungan mengandung makna suatu tindakan perlindungan atau tindakan

melindungi pihak-pihak tertentu yang ditujukan untuk pihak tertentu dengan

menggunakan cara-cara tertentu. 6

Hukum itu sendiri diartikan sebagai kumpulan peraturan atau kaedah yang

mempunyai isi yang bersifat umum dan normatif, umum karena berlaku bagi

setiap orang dan norma karena menentukan apa yang seyogyanya dilakukan, apa

yang tidak boleh dilakukan atau harus dilakukan serta menentukan bagaimana

caranya melaksanakan kepatuhan pada kaedah–kaedah,7 Jadi perlindungan

5

W.J.S Poerdwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Cetakan IX, Jakarta: Balai

Pustaka, 1986, hlm.600

6

Wahyu Sasongko, Ketentuan- Ketentuan Pokok Hukum Perlindungan Konsumen,

Lampung: Unila, 2007, hlm.30

7

Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum ( Suatu Pengantar ), Yogyakarta: Liberty,

(24)

hukum adalah jaminan perlindungan dari pemerintah kepada warga negara dalam

melaksanakan fungsi, hak, kewajiban, dan peranannya sesuai dengan ketentuan

peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Perlindungan hukum yang diberikan untuk warga negara merupakan implementasi

atas prinsip pengakuan dan perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia

yang bersumber dari Pancasila dan prinsip Negara Hukum yang berdasarkan

Pancasila. Setiap orang berhat mendapatkan perlindungan hukum. Oleh karena itu

terdapat banyak macam perlindungan hukum. Salah satunya ialah perlindungan

hukum terhadap konsumen.8

AZ. Nasution mengemukakan bahwa hukum perlindungan konsumen merupakan

bagian dari hukum konsumen. Hukum konsumen dapat diartikan sebagai

keseluruhan asas-asas atau kaidah-kaidah yang mengatur dan melindungi

konsumen dalam hubungan dan masalah penyediaan dan penggunaan produk

(barang dan/atau jasa) antara penyedia dan penggunanya dalam kehidupan

bermasyarakat. AZ Nasution juga memberikan batasan hukum perlindungan

konsumen yaitu keseluruhan asas-asas dan kaidah-kaidah hukum yang mengatur

dan melindungi konsumen dalam hubungan dan masalahnya dengan para

penyedia barang dan/atau jasa konsumen.9

Hukum konsumen pada pokoknya lebih berperan dalam hubungan dan masalah

konsumen yang kondisi para pihaknya berimbang dalam kedudukan sosial

ekonomi, daya saing, maupun tingkat pendidikan. Sementara perlindungan

konsumen digunakan apabila konsumen dengan pelaku usaha yang mengadakan

8

Ahmadi Miru, prinsip-prinsip Perlindungan bagi konsumen indonesia, PT.Raja Grafindo

Persada,Jakarta.2011, hlm.41

9

(25)

suatu hubungan itu terjadi permasalahan yang diakibatkan kedudukannya yang

tidak seimbang. 10

Menurut Pasal 1 Angka 1 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang

Perlindungan Konsumen, hukum perlindungan konsumen yaitu segala upaya yang

menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada

konsumen. Hal ini dapat diartikan bahwa pemerintah memberikan kepastian

hukum kepada konsumen dalam hal perlindungan terhadap hak-hak dan

kepentingannya. Kepastian hukum merupakan unsur yang utama dalam

perlindungan konsumen karena terdapat korelasi atau hubungan yang positif

antara kepastian hukum dan perlindungan konsumen.

Kepastian hukum merupakan variabel yang akan mempengaruhi pemberian

perlindungan konsumen, sebaliknya, perlindungan konsumen merupakan variabel

yang terpengaruh dari adanya kepastian hukum. Berdasarkan Undang-Undang

Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen ada dua prasyarat utama

dalam perlindungan konsumen yaitu dengan adanya jaminan hukum (law

guarantee) dan adanya kepastian hukum (law certainty).11

Perlindungan konsumen merupakan suatu tujuan yang akan dicapai, oleh karena

itu tujuan perlindungan konsumen perlu dirancang dan dibangun secara berencana

serta dipersiapkan sejak awal. Tujuan perlindungan konsumen meliputi atau

mencakup aktivitas-aktivitas penciptaan dan penyelenggaraan perlindungan

konsumen.

10

N..H.T Siahaan, Hukum Konsumen. Jakarta: Panta Rei, 2005, hlm,13.

11

(26)

Tujuan perlindungan konsumen telah diatur dalam Pasal 3 Undang-Undang

Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, yaitu:

1. Meningkatkan kesadaran, kemampuan dan kemandirian konsumen untuk

melindungi diri;

2. Mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya

dari akses negatif pemakaian barang dan/atau jasa;

3. Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan dan

menuntut hak- hak sebagai konsumen;

4. Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur

kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan

informasi;

5. Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan

konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggung jawab dalam

berusaha;

6. Meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin kelangsungan

usaha produksi barang dan/atau jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan, dan

keselamatan konsumen.

2. Pengertian Konsumen

Istilah konsumen berasal dari kata consumer (Inggris-Amerika) atau

consument/konsument (Belanda). Pengertian dari consumer atau consument itu

tergantung dari posisinya. Secara harfiah arti kata dari consumer itu adalah (lawan

(27)

Bahasa Inggris-Indonesia memberi arti kata consumer sebagai pemakai atau

konsumen.12

Menurut Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang

Perlindungan Konsumen, konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau

jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga,

orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan.

Pakar masalah konsumen dari Belanda, Hondius menyimpulkan pengertian

konsumen adalah pemakai atau pengguna terakhir dari benda atau jasa.13 Dari

rumusan ini Hondius ingin mengemukakan bahwa ada konsumen akhir dan

konsumen bukan pemakai akhir, artinya ada konsumen yang membeli barang

dan/atau jasa itu tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya berserta

keluarganya melainkan untuk diperdagangkan untuk menambah penghasilan,

disamping itu juga terdapat kosumen akhir yaitu konsumen yang membei barang

dan/atau jasa untuk memenui hidupnya dan keluarganya dengan tujuan

melangsungkan hidupnya, oleh karenanya, batasan pengertian konsumen perlu

dibedakan, yaitu;

1. Konsumen adalah setiap orang yang mendapatkan barang dan/atau jasa

digunakan untuk tujuan tertentu.

2. Konsumen antara adalah setiap orang yang mendapatkan barang dan/atau jasa

yang digunakan untuk tujuan membuat barang dan/atau jasa lain atau untuk

diperdagangkan (tujuan komersil).

12

John M.Echols dan Hasan Shadily, Kamus Inggris-Indonesia, Jakarta: Gramedia, 2013,

hlm 124.

13

(28)

3. Konsumen akhir adalah setiap orang yang mendapatkan dan atau menggunakan

barang dan atau/jasa untuk tujuan memenuhi kebutuhan hidup pribadinya,

keluarganya, dan/atau rumah tangga dan tidak untuk diperdagangkan kembali

(non komersil).14

Bagi konsumen antara, barang atau jasa itu adalah barang atau jasa kapital, berupa

bahan baku, bahan penolong atau komponen dari produk lain yang akan

diproduksinya. Konsumen antara ini mendapatkan barang atau jasa itu di pasar

industri atau pasar produsen. Melihat pada sifat penggunaan barang dan/atau jasa

tersebut, konsumen antara ini sesungguhnya adalah pengusaha, baik pengusaha

perorangan maupun pengusaha yang berbentuk badan hukum atau tidak, baik

pengusaha swasta maupun pengusaha publik (perusahaan milik negara), dan dapat

terdiri dari penyedia dana (investor), pembuat produk akhir yang digunakan oleh

konsumen akhir atau produsen, atau penyedia atau penjual produk akhir seperti

supplier, distributor, atau pedagang.

Konsumen akhir, barang dan/atau jasa itu adalah barang atau jasa konsumen,

yaitu barang dan/atau jasa yang biasanya digunakan untuk memenuhi kebutuhan

pribadi, keluarga, atau rumah tangganya (produk konsumen). Barang dan/atau

jasa konsumen ini umumnya diperoleh di pasar-pasar konsumen.15

3. Asas-Asas Perlindungan Konsumen

Pada dasarnya asas-asas hukum merupakan fondasi suatu undang-undang dan

peraturan pelaksana yang tidak dapat dikesampingkan. Sudikno Mertokusumo

14

AZ.Nasution.,Op.Cit, hlm. 13

15

Celina Tri Siwi Kristiyanti, Hukum Perlindungan Konsumen, Jakarta: Sinar

(29)

mengatakan bahwa asas hukum merupakan pikiran dasar yang umum dan abstrak,

atau merupakan latar belakang konkrit yang terdapat didalam dan dibelakang

setiap sistem hukum yang terjelma dalam peraturan perundang-undangan dan

putusan hakim yang merupakan hukum positif dan dapat ketemukan dengan

mencari sifat-sifat atau ciri-ciri yang umum dalam peraturan konkrit tersebut.16

Perlindungan konsumen diselenggarakan sebagai usaha bersama berdasarkan 6

(enam) asas yang relevan dalam pembangunan nasional, yaitu:

1. Asas manfaat dimaksudkan untuk mengamanatkan bahwa segala upaya

dalam menyelenggarakan perlindungan konsumen harus memberikan manfaat

yang sebesar-besarnya bagi kepentingan konsumen dan pelaku usaha secara

keseluruhan;

2. Asas keadilan dimaksudkan agar partisipasi seluruh rakyat dapat

diwujudkan secara maksimal dan memberikan kesempatan kepada konsumen

dan pelaku usaha untuk memperoleh haknya dan melaksanakan kewajibannya

secara adil;

3. Asas keseimbangan dimaksudkan untuk memberikan keseimbangan antara

kepentingan konsumen, pelaku usaha, dan pemerintah dalam arti materiil dan

spiritual;

4. Asas keamanan dan keselamatan konsumen dimaksudkan untuk memberikan

jaminan atas keamanan dan keselamatan kepada konsumen dalam penggunaan,

pemakaian, dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang dikonsumsi atau

digunakan;

5. Asas kepastian hukum dimaksudkan agar pelaku usaha maupun konsumen

16

(30)

menaati hukum dan memperoleh keadilan dalam menyelenggarakan

perlindungan konsumen, serta negara menjamin kepastian hukum.

6. Asas itikad baik diatur dalam Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata. Maksud itikad

baik disini adalah bertindak sebagai pribadi yang baik. Itikad baik dalam

pengertian yang sangat subjektif dapat diartikan sebagai kejujuran seseorang,

yang terletak didiri seseorang pada waktu diadakan perbuatan hukum

sedangkan itikad baik dalam pengertian obyektif yaitu bahwa pelaksanaan

suatu perjanjian itu harus didasarkan pada norma kepatutan atau sesuatu yang

dirasa sesuai dengan yang patut dalam masyarakat.

4. Hak dan Kewajiban Konsumen

Berbicara mengenai perlindungan konsumen, tidak akan lepas dari dunia

perdagangan dimana di dalamnya melibatkan dua pihak, yaitu konsumen dan

pelaku usaha. Masing-masing pihak tentunya memiliki hak dan kewajiban yang

harus dapat dilaksanakan secara seimbang, sehingga perlindungan konsumen yang

diinginkan dapat terwujud.

Secara khusus hak-hak konsumen telah diatur dalam Pasal 4 Undang–Undang

Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen yang berbunyi:

1. Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi

barang dan/atau jasa;

2. Hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau

jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang

(31)

3. Hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan

barang dan/atau jasa;

4. Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang

digunakan;

5. Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian

sengketa perlindungan konsumen secara patut;

6. Hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen;

7. Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak

diskriminatif;

8. Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila

barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian

atau tidak sebagaimana mestinya;

9. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.

Keseluruhan butir hak-hak konsumen di atas, terlihat bahwa masalah

kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen merupakan hal yang paling

pokok dan utama dalam perlindungan konsumen karena barang dan/atau jasa yang

penggunaannya tidak memberikan kenyamanan, terlebih lagi yang tidak aman

atau membahayakan keselamatan, jelas tidak layak untuk diedarkan dalam

masyarakat. Selanjutnya, untuk menjamin bahwa suatu barang dan/atau jasa

dalam penggunaannya akan nyaman, aman maupun tidak membahayakan

konsumen, maka konsumen diberikan hak untuk memilih informasi yang benar,

jelas, dan jujur. Apabila terdapat penyimpangan yang merugikan, konsumen

berhak untuk didengar, memperoleh advokasi, pembinaan, perlakuan yang adil,

(32)

B. Pelaku Usaha

1. Pengertian Pelaku Usaha

Istilah pelaku usaha memiliki abstraksi yang tinggi, karena dapat mencakup

berbagai istilah seperti produsen (producer), pengusaha atau pebisnis (bussiness

man), pedagang (trader), eksportir, importir, penjual (seller), pedagang eceran

(retailer), pembuat barang-barang jadi atau pabrikan (manufacturer), penyedia

jasa, serta pengrajin (crafter).

Pasal 1 Angka 3 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan

Konsumen mengartikan bahwa pelaku usaha adalah setiap perseorangan atau

badan usaha, baik berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang

didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum

Negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui

perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi.17

Sebagai penyelenggara kegiatan usaha, pelaku usaha adalah pihak yang harus

bertanggung jawab atas akibat-akibat negatif berupa kerugian yang ditimbulkan

oleh usahanya terhadap pihak ketiga, yaitu konsumen, sama seperti seorang

produsen.18

2. Hak dan Kewajiban Pelaku Usaha

Hak pelaku usaha dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang

Perlindungan Konsumen meliputi lima aspek yang sesungguhnya merupakan

17

Wahyu Sasongko, Op.cit., hlm 57

18

Janus Sidabalok, Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia, Bandung:Citra Aditya

(33)

hak yang bersifat umum dan sudah menjadi standar. Hak-hak pelaku usaha

tersebut yaitu:

1. Hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai

kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;

2. Hak untuk mendapat perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang

beritikad tidak baik;

3. Hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian

hukum sengketa konsumen;

4. Hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa

kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/atau jasa yang

diperdagangkan;

5. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.

Kewajiban para pelaku usaha diatur dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor 8

Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, adapun kewajiban-kewajiban

tersebut adalah:

1. Beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya;

2. Memberikan informasi yang benar, jelas, jujur mengenai kondisi serta jaminan

barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan, dan

pemeliharaan;

3. Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak

diskriminatif;

4. Menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan

(34)

5. Memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji dan atau mencoba

barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas

barang yang dibuat dan/atau yang diperdagangkan;

6. Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat

penggunaan, pemakaian, dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang

diperdagangkan;

7. Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau

jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.19

C. Rumah Potong Hewan Ruminansia (RPH-R)

Pemotongan hewan merupakan hal penting dalam mata rantai penyediaan daging

untuk kebutuhan masyarakat oleh karena itu, dalam rangka menjamin keamanan

pangan dan keselamatan masyarakat terhadap daging yang dikonsumsi,

pemerintah telah menyediakan tempat pemotongan hewan yaitu Rumah Potong

Hewan Ruminansia (RPH-R). Rumah Potong Hewan Ruminansia (RPH-R) adalah

kompleks bangunan dengan desain dan konstruksi khusus yang memenuhi

persyaratan teknis dan higiene tertentu yang digunakan sebagai tempat memotong

hewan potong untuk memenuhi kebutuhan konsumsi daging bagi masyarakat.

Kata ruminansia disini untuk membedakan antara Rumah Potong Hewan dengan

Rumah Potong Unggas. Ruminansia diartikan sebagai hewan mamalia yang

dikenal sebagai hewan memamah biak. Rumah Potong Hewan Ruminansia

(RPH-R) khusus memotong hewan seperti sapi, kerbau, kambing ataupun babi.

19

Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 42

(35)

Rumah Potong Hewan Ruminansia (RPH-R) merupakan unit pelayanan

masyarakat dalam penyediaan daging yang aman, sehat, utuh, dan halal, serta

berfungsi sebagai sarana untuk melaksanakan:

1. Pemotongan hewan secara benar, (sesuai dengan persyaratan kesehatan

masyarakat veteriner, kesejahteraan hewan dan syariah agama);

2. Pemeriksaan kesehatan hewan sebelum dipotong (ante-mortem inspection)

dan pemeriksaan karkas, dan jeroan (post-mortem inspektion) untuk mencegah

penularan penyakit zoonotik ke manusia;

3. Pemantauan dan surveilans penyakit hewan dan zoonosis yang ditemukan

pada pemeriksaan ante-mortem dan pemeriksaan post-mortem berguna untuk

pencegahan, pengendalian, dan pemberantasan penyakit hewan menular

dazoonosis di daerah asal hewan.

Pengaturan dan persyaratan tentang Rumah Potong Hewan Ruminansia (RPH-R)

telah diatur melalui Peraturan Menteri Pertanian Nomor 13 Tahun 2010 tentang

Persyaratan Rumah Potong Hewan Ruminansia (RPH-R) dan Unit Penanganan

Daging. Pasal 5 Peraturan Menteri Pertanian Nomor 13 Tahun 2010 tentang

Persyaratan Rumah Potong Hewan Ruminansia (RPH-R) dan Unit Penanganan

Daging menyatakan bahwa rumah potong hewan harus memenuhi persyaratan

administratif dan persyaratan teknis. Persyaratan administratif harus disesuaikan

dengan peraturan perundang-undangan. Sementara itu persyaratan teknis meliputi:

a. lokasi;

b. sarana pendukung;

c. konstruksi dasar dan disain bangunan;

(36)

Persyaratan lokasi diatur dalam Pasal 6 ayat (1) Peraturan Menteri Pertanian

Nomor 13 Tahun 2010 tentang Persyaratan Rumah Potong Hewan Ruminansia

(RPH-R) dan Unit Penanganan Daging menyatakan bahwa dimana lokasi Rumah

Potong Hewan harus sesuai dengan Rencana Umum Tata Ruang Daerah

(RUTRD) dan Rencana Detail Tata Ruang Daerah (RDTRD) atau daerah yang

diperuntukkan sebagai area agribisnis

Sarana pendukung diatur Pasal 7 Peraturan Menteri Pertanian Nomor 13 Tahun

2010 tentang Persyaratan Rumah Potong Hewan Ruminansia (RPH-R) dan Unit

Penanganan Daging menyatakan bahwa, Rumah Potong Hewan harus dilengkapi

dengan sarana/prasarana pendukung paling kurang meliputi:

a. akses jalan yang baik menuju Rumah Potong Hewan yang dapat dilalui

kendaraan pengangkut hewan potong dan kendaraan daging;

b. sumber air yang memenuhi persyaratan baku mutu air bersih dalam jumlah

cukup, paling kurang 1.000 liter/ekor/hari;

c. sumber tenaga listrik yang cukup dan tersedia terus menerus;

d. fasilitas penanganan limbah padat dan cair.

Persyaratan tata letak, disain, dan konstruksi diatur dalam Pasal 8 yaitu:

a. Kompleks Rumah Potong Hewan harus dipagar, dan harus memiliki pintu

yang terpisah untuk masuknya hewan potong dengan keluarnya karkas, dan

daging;

b. Bangunan dan tata letak dalam kompleks Rumah Potong Hewan paling kurang

meliputi;

(37)

(2) Area penurunan hewan (unloading sapi) dan kandang

penampungan/kandang istirahat hewan;

(3) Kandang penampungan khusus ternak ruminansia betina produktif;

(4) Kandang isolasi;

(5) Ruang pelayuan berpendingin (chilling room);

(6) Area pemuatan (loading) karkas/daging;

(7) Kantor administrasi dan kantor Dokter Hewan;

(8) Kantin dan mushola;

(9) Ruang istirahat karyawan dan tempat penyimpanan barang pribadi

(locker)/ruang ganti pakaian;

(10) Kamar mandi dan wc;

(11) Fasilitas pemusnahan bangkai dan/atau produk yang tidak dapat

dimanfaatkan atau insinerator;

(12) Sarana penanganan limbah;

(13) Rumah jaga.

Persyaratan peralatan diatur dalam Pasal 29 Peraturan Menteri Pertanian Nomor

13 Tahun 2010 tentang Persyaratan Rumah Potong Hewan Ruminansia (RPH-R)

dan Unit Penanganan Daging yang menyatakan bahwa seluruh peralatan

pendukung dan penunjang di Rumah Potong Hewan harus terbuat dari bahan yang

tidak mudah korosif, mudah dibersihkan dan didesinfeksi serta mudah dirawat.

Berdasarkan Pasal 62 ayat (1) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009 tentang

Peternakan Dan Kesehatan Hewan menjelaskan bahwa setiap pemerintah daerah

(38)

yang memenuhi persyaratan teknis, selanjutnya dalam ayat (2) dijelaskan bahwa

Rumah Potong Hewan Ruminansia (RPH-R) baru diperbolehkan melakukan

kegiatannya setelah memiliki izin usaha dari bupati/walikota. Usaha Rumah

Potong Hewan Ruminansia (RPH-R) sebagaimana dimaksud pada ayat (2)

tersebut harus dilakukan di bawah pengawasan dokter hewan berwenang di

bidang pengawasan kesehatan masyarakat veteriner serta wajib memiliki Nomor

Kontrol Veterine (NKV), untuk mendapatkan NKV unit Rumah Potong Hewan

Ruminansia (RPH-R) harus memenuhi persyaratan higiene-sanitasi.

D. Pengaturan Hukum Tentang Kualitas Daging

1. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen

Kualitas daging hewan layak konsumsi merupakan hal pokok dan penting yang

harus dipenuhi atau dimiliki sebelum daging tersebut diperdagangkan ataupun

dikonsumsi oleh masyarakat luas. Standar tersebut sudah menjadi pengetahuan

umum, namun masih memerlukan penjelasan lebih lanjut, untuk itu informasi

menjadi suatu hal yang penting bagi konsumen. Informasi yang demikian tidak

hanya datang dari pelaku usaha semata-mata, melainkan dari berbagai sumber lain

yang dapat dipercaya, serta dipertanggungjawabkan sehingga pada akhirnya

konsumen tidak dirugikan dengan membeli barang dan atau jasa yang

sebenarnya tidak layak untuk diperdagangkan.

Daging layak konsumsi didapatkan dengan proses yang sedikit lebih lama dan

dipengaruhi oleh beberapa faktor-faktor, yaitu dimulai pada waktu hewan masih

(39)

bagaimana cara pemeliharaan hewan tersebut, berupa pemberian pakan, tata

laksana pemeliharaan, dan perawatan kesehatan sampai hewan dipotong, sehingga

nantinya hewan yang sehat dan layak untuk dipotong ini akan menghasilkan

kualitas daging yang sangat baik serta layak untuk dikonsumsi. Kualitas daging

baik serta layak dikonsumsi merupakan hal yang sangat penting, oleh karena itu

daging harus memiliki kriteria–kiriteria tertentu. Kriteria yang dipakai sebagai

pedoman untuk menentukan kualitas daging yang sehat dan aman konsumsi

adalah:20

1. Keempukan daging ditentukan oleh kandungan jaringan ikat. Semakin tua

usia hewan susunan jaringan ikat semakin banyak sehingga daging yang

dihasilkan semakin liat. Jika ditekan dengan jari daging yang sehat akan

memiliki konsistensi kenyal.

2. Kandungan lemak (marbling) adalah lemak yang terdapat diantara serabut

otot (intramuscular). Lemak berfungsi sebagai pembungkus otot dan

mempertahankan keutuhan daging pada wkatu dipanaskan. Marbling

berpengaruh terhadap cita rasa dan sesudah hewan dipotong. Usaha

penyediaan daging memerlukan perhatian khusus karena daging mudah dan

cepat tercemar oleh pertumbuhan mikroorganisme yang dapat menurunkan

kualitas daging.

3. Warna daging bervariasi tergantung dari jenis hewan secara genetik dan usia,

misalkan daging sapi potong lebih gelap daripada daging sapi perah, daging

sapi muda lebih pucat daripada daging sapi dewasa. Warna daging yang baru

dipotong biasanya merah ungu gelap dan akan berubah menjadi terang bila

20

(40)

dibiarkan terkena udara dan bersifat reversible (dapat balik). Namun bila

dibiarkan terlalu lama diudara akan berubah menjadi cokelat

4. Rasa dan Aroma dipengaruhi oleh jenis pakan. Daging berkualitas baik

mempunyai rasa gurih dan aroma yang sedap.

5. Kelembaban daging secara normal dapat dilihat pada bagian permukaan. Bila

permukaan daging relatif kering, daging tersebut dapat menahan

pertumbuhan mikroorganisme dari luar, sehingga mempengaruhi daya

simpan.

6. Untuk memproduksi daging yang bermutu suhu penyimpanan daging setelah

proses pemotongan, sangat dianjurkan agar daging disimpan pada suhu

dingin(<4>oC) untuk mempertahankan mutu daging serta untuk mencegah

atau menghambat pertumbuhan dan perkembang-biakan kuman. Daging yang

disimpan pada suhu 0-2 oC dapat bertahan selama 2-3 hari (daging dikemas).

Untuk daging giling yang disimpan padasuhu 0-4 oC akan bertahan sampai 12

jam.

Ditinjau dari sisi perlindungan konsumen, konsumen diberikan hak-hak yang

harus dilindungi sebagai bentuk perlindungan terhadap konsumen. Pasal 4 (a) dan

(c) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen,

menyatakan bahwa konsumen memiliki hak yaitu hak atas kenyamanan,

keamanan dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa serta

konsumen memiliki hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai

kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa. Pasal 7 (b) dan (d) Undang-Undang

Perlindungan konsumen menyatakan bahwa pelaku usaha berkewajiban untuk

(41)

barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan

pemeliharaan, serta pelaku usaha harus menjamin mutu barang dan/atau jasa yang

diproduksi dan/atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang

dan/atau jasa yang berlaku.

Jika dikaitkan dengan kualitas daging hewan tentu hal ini menjadi fondasi bagi

konsumen dimana konsumen harus mendapatkan barang yang baik dan layak

untuk dikonsumsi. Seperti yang tertera dalam Pasal 8 ayat 1 Undang-Undang

Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yang menjelaskan bahwa

pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau

jasa yang tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkan

dan ketentuan peraturan perundang-undangan. Selain itu, berdasarkan Pasal 8

Ayat 2 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen

pelaku usaha juga dilarang memperdagangkan barang yang rusak, cacat atau

bekas, dan tercemar tanpa memberikan informasi secara lengkap dan benar atas

barang dimaksud.

2. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan

Pasal 61 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan

Kesehatan Hewan menyatakan bahwa pemotongan hewan potong yang dagingnya

diedarkan harus dilakukan di Rumah Potong Hewan Ruminansia (RPH-R) yang

memenuhi persyaratan teknis yang diatur oleh menteri dan menerapkan cara yang

(42)

sehingga pemotongan hewan harus memperhatikan kaidah-kaidah agama dan

kepercayaan yang dianut masyarakat.

Pasal 63 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan

Kesehatan Hewan, pemerintah dan pemerintah daerah sesuai dengan kewenangan

wajib menyelenggarakan penjaminan higiene dan sanitasi. Kegiatan higiene dan

sanitasi dilakukan oleh dokter hewan berwenang di bidang kesehatan masyarakat

veteriner. Higiene diartikan seluruh kondisi atau tindakan kesehatan sedangkan

sanitasi diartikan usaha pencegahan penyakit yang dilakukan dengan cara

menghilangkan atau mengatur faktor-faktor lingkungan yang berkaitan dengan

rantai perpindahan penyakit tersebut. Demi mewujudkan higiene dan sanitasi

maka dilaksanakan melalui langkah-langkah di bawah ini, yaitu:

a. Pengawasan, inspeksi, dan audit terhadap tempat produksi, rumah

pemotongan hewan, tempat pemerahan, tempat penyimpanan, tempat

pengolahan, dan tempat penjualan atau penjajaan serta alat dan mesin produk

hewan;

b. Surveilans terhadap residu obat hewan, cemaran mikroba, dan/atau

cemaran kimia; dan

c. Pembinaan terhadap orang yang terlibat secara langsung dengan aktivitas

tersebut.

3. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 95 Tahun 2012 Tentang Kesehatan Masyarakat Veteriner Dan Kesejahteraan Hewan

Selain diatur dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan

(43)

dengan Peraturan Pemerintah nomor 95 Tahun 2012 tentang Kesehatan

Masyarakat Veteriner dan Kesejahteraan Hewan. Dalam peraturan pemerintah ini

mengatur lebih khusus tentang pelaksanaan pemotongan hewan di Rumah Potong

Hewan Ruminansia (RPH-R).

Pasal 8 Peraturan Pemerintah Nomor 95 Tahun 2012 tentang Kesehatan

Masyarakat Veteriner dan Kesejahteraan Hewant menjelaskan bahwa pemotongan

hewan harus memenuhi persyaratan teknis yang telah diatur dan menerapkan cara

yang baik.

Cara-cara yang baik tersebut meliputi:

a. Pemeriksaan kesehatan hewan potong sebelum dipotong;

b. Penjaminan kebersihan sarana, prasarana, peralatan, dan lingkungannya;

c. Penjaminan kecukupan air bersih;

d. Penjaminan kesehatan dan kebersihan personel;

e. Pengurangan penderitaan hewan potong ketika dipotong;

f. Penjaminan penyembelihan yang halal bagi yang dipersyaratkan dan bersih;

g. Pemeriksaan kesehatan jeroan dan karkas setelah hewan potong dipotong;

dan

h. Pencegahan tercemarnya karkas, daging, dan jeroan dari bahaya biologis,

kimiawi, dan fisik.

Pemeriksaan kesehatan hewan potong sebelum dipotong dan pemeriksaan

kesehatan jeroan dan karkas setelah hewan potong dipotong harus dilakukan oleh

dokter hewan di Rumah Potong Hewan Ruminansia (RPH-R) atau paramedik

(44)

Pasal 9 Peraturan Pemerintah Nomor 95 Tahun 2012 tentang Kesehatan

Masyarakat Veteriner dan Kesejahteraan Hewan menjelaskan bahwa pemotongan

hewan harus dilakukan dengan pemeriksaan kesehatan hewan potong sebelum

dipotong pemeriksaan dilakukan untuk memastikan bahwa hewan potong yang

akan dipotong sehat dan layak untuk dipotong.

Pasal 10 Peraturan Pemerintah Nomor 95 Tahun 2012 tentang Kesehatan

Masyarakat Veteriner dan Kesejahteraan Hewan menyatakan bahwa hewan

potong yang layak untuk dipotong harus memenuhi kriteria paling sedikit

a. Tidak memperlihatkan gejala penyakit hewan menular dan/atau zoonosis;

b. Bukan ruminansia besar, betina, anakan, dan betina produktif;

c. Tidak dalam keadaan bunting; dan

d. Bukan hewan yang dilindungi berdasarkan ketentuan peraturan

perundang-undangan.

Hewan potong yang telah diperiksa kesehatannya akan diberi tanda SL untuk

hewan potong yang sehat dan layak untuk dipotong dan TSL untuk hewan potong

yang tidak sehat dan/atau tidak layak untuk dipotong. Pemotongan hewan yang

dagingnya diedarkan haruslah berasal dari Rumah Potong Hewan Ruminansia

(RPH-R) akan tetapi diperbolehkan pemotongan hewan dilakukan di luar Rumah

Potong Hewan Ruminansia (RPH-R). Pasal 11 Peraturan Pemerintah Nomor 95

Tahun 2012 tentang Kesehatan Masyarakat Veteriner dan Kesejahteraan Hewan

menjelaskan bahwa pemotongan hewan diperbolehkan dilakukan di luar Rumah

Potong Hewan Ruminansia (RPH-R) dalam hal untuk upacara keagamaan dan

(45)

Pasal 12 Peraturan Pemerintah Nomor 95 Tahun 2012 tentang Kesehatan

Masyarakat Veteriner dan Kesejahteraan Hewan menjelaskan bahwa pemotongan

hewan di luar Rumah Potong Hewan Ruminansia (RPH-R) untuk keperluan

upacara keagamaan ini hanya diperbolehkan apabila disuatu daerah tersebut tidak

memiliki Rumah Potong Hewan Ruminansia (RPH-R) atau kapasitas Rumah

Potong Hewan Ruminansia (RPH-R) tersebut belum memadai, sedangkan untuk

keperluan upacara adat dalam rangka upacara pemakaman atau pernikahan

masyarakat tertentu dapat dilakukan di luar Rumah Potong Hewan Ruminansia

(RPH-R) hanya saja pemilik ataupun penanggung jawab hewan terlebih dahulu

melapor kepada pihak otoritas veteriner dibidang kesehatan masyarakat veteriner

kabupaten/kota.

Penjaminan higiene dan sanitasi juga merupakan salah satu hal yang terpenting

dalam rantai produksi produk hewan dan harus dilaksanakan dengan cara-cara

yang baik misalnya seperti pada proses pengumpulan dan penjualan daging. Pasal

18 Peraturan Pemerintah Nomor 95 Tahun 2012 tentang Kesehatan Masyarakat

Veteriner dan Kesejahteraan Hewan menjelaskan bahwa proses pengumpulan dan

penjualan daging dapat dilakukan dengan cara-cara yaitu: .

a. Penjaminan kebersihan sarana, prasarana, peralatan, dan lingkungannya;

b. Pencegahan bersarangnya hewan pengganggu;

c. Penjaminan kesehatan dan kebersihan personel;

d. Pencegahan tercemarnya produk hewan oleh bahaya biologis, kimiawi, dan

fisik yang berasal dari petugas, alat, dan proses produksi;

e. Pemisahan produk hewan yang halal dari produk hewan atau produk lain

(46)

f. Penjaminan suhu ruang tempat pengumpulan dan penjualan produk

Hewan yang dapat menghambat perkembangbiakan mikroorganisme; dan

g. Pemisahan produk hewan dari hewan dan komoditas selain produk hewan.

Pasal 46 Peraturan Pemerintah Nomor 95 Tahun 2012 tentang Kesehatan

Masyarakat Veteriner dan Kesejahteraan Hewan menjelaskan bahwa pengawasan

produk hewan yang diproduksi di dalam negeri harus dilakukan terhadap produk

hewan sejak diproduksi sampai dengan diedarkan. Pengawasan dilakukan oleh

dokter hewan berwenang yang memiliki kompetensi sebagai pengawas kesehatan

masyarakat veteriner pada kementerian, provinsi, dan kabupaten/kota sesuai

dengan kewenangannya. Pasal 47 Peraturan Pemerintah Nomor 95 Tahun 2012

tentang Kesehatan Masyarakat Veteriner dan Kesejahteraan Hewan menjelaskan

bahwa pengawasan terhadap pemasukan produk hewan dari luar dilakukan pada:

a. Negara dan unit usaha asal;

b. Tempat pemasukan; dan

c. Peredaran.

Pengawasan terhadap pemasukan dilaksanakan oleh otoritas veteriner di bidang

kesehatan masyarakat veteriner kementerian. Pengawasan terhadap pemasukan

dilaksanakan oleh otoritas veteriner di bidang karantina hewan di tempat

pemasukan yang telah ditetapkan oleh menteri. Pengawasan terhadap peredaran

dilakukan oleh dokter hewan berwenang yang memiliki kompetensi sebagai

pengawas kesehatan masyarakat veteriner pada kementerian, provinsi, dan

(47)

Pasal 48 Peraturan Pemerintah Nomor 95 Tahun 2012 tentang Kesehatan

Masyarakat Veteriner dan Kesejahteraan Hewan menjelaskan bahwa pengawasan

produk dilakukan melalui pemeriksaan pada Kondisi fisik produk hewan,

dokumen; dan/atau ,label.

E. Tanggung Jawab Hukum Pelaku Usaha

Setiap pelaku usaha dibebani tanggung jawab atas perilaku yang tidak baik yang

dapat merugikan konsumen. Pengenaan tanggung jawab terhadap pelaku usaha

digantungkan pada jenis usaha atau bisnin yang digeluti. Bentuk dari tanggung

jawab yang paling utama adalah ganti kerugian yang dapat berupa pengembalian

uang, atau penggantian barang dan/atau jasa yang setara nilainya, atau perawatan

kesehatan dan/atau pemberian santunan. Tanggung jawab pelaku usaha di atur

dalam Bab VI Pasal 19 sampai dengan Pasal 28Undang- Undang Perlindungan

Konsumen.

Istilah tanggung jawab hukum adalah kewajiban menanggung suatu akibat

menurut ketentuan hukum yang berlaku. Misalnya, apabila terdapat perbuatan

yang melanggar norma hukum, maka pelakunya dapat dimintai

pertanggungjawaban sesuai dengan norma hukum yang dilanggarnya. Adapun

bentuk-bentuk dari tanggung jawab hukum:21

1. Tanggung Jawab Berdasarkan Atas Kesalahan

Prinsip tanggung jawab berdasarkan unsur kesalahan (liability based on fault)

adalah prinsip yang cukup umum berlaku dalam hukum pidana dan perdata. Pasal

21

(48)

1365 KUHPerdata atau yang dikenal sebagai pasal tentang perbuatan melawan

hukum, menyatakan bahwa tiap perbuatan melawan hukum yang membawa

kerugian kepada seseorang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya

menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut. Unsur-unsur pokok dari

ketentuan pasal tersebut, yaitu:

1. Adanya perbuatan melawan hukum ;

2. Adanya unsur kesalahan;

3. Adanya kerugian yang diderita;

4. Adanya hubungan kausaflitas antara kesalahan dan kerugian.22

Pertanggungjawaban dalam hukum perdata juga dapat disebabkan karena

wanprestasi atau perbuatan melawan hukum. Wanprestasi membawa konsekuensi

terhadap timbulnya hak dari pihak yang dirugikan untuk menuntut pihak yang

melakukan wanprestasi untuk memberikan ganti rugi, sehingga oleh hukum

diharapkan agar tidak ada satu pihak pun yang dirugikan karena wanprestasi

tersebut.

Pertanggungjawaban dalam hukum perdata juga dapat disebabkan karena adanya

perbuatan melawan hukum. Adapun persyaratan perbuatan melawan hukum:

1. Bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku;

2. Melanggar hak orang lain;

3. Melanggar kaidah tata susila;

4. Bertentangan dengan asas kepastian serta sikap kehati-hatian yang seharusnya

dimiliki seseorang dalam pergaulan dengan sesama warga masyarakat atau

terhadap harta benda orang lain.

22

(49)

2. Tanggung Jawab Secara Langsung

Tanggung jawab langsung biasa disebut juga sebagai tanggung jawab mutlak

karena digantungkan pada adanya kerusakan yang muncul. Tanggung jawab

secara langsung atau tanggung jawab berdasarkan risiko diatur dalam Pasal 19

ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen

menyatakan bahwa pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas

kerusakan, pencemaran, dan/atau diperdagangkan.

Prinsip tanggung jawab mutlak ini diterapkan karena:

1. Konsumen tidak dalam posisi menguntungkan untuk membuktikan adanya

kesalahan dalam suatu proses produksi dan distribusi yang kompleks.

2. Diasumsikan produsen lebih dapat mengantisipasi jika sewaktu-waktu ada

gugatan atas kesalahannya, misalnya dengan asuransi atau menambah

komponen biaya tertentu pada harga produknya.

3. Asas ini dapat memaksa produsen lebih hati-hati.

Ketiadaan pembuktian kesalahan oleh konsumen atau pengalihan beban

pembuktian kesalahan kepada pelaku usaha merupakan ciri khas dari strict

liability yang juga dijumpai pada product liability.23

3. Tanggung Jawab Produk

Prinsip tanggung jawab produk dan tanggung jawab langsung memiliki kesamaan,

yaitu ketiadaan unsur kesalahan yang harus dibuktikan oleh konsumen. Tanggung

jawab produk adalah tanggung jawab para produsen untuk produk yang telah

23

(50)

dibawanya ke dalam peredaran, yang menimbulkan atau menyebabkan kerugian

karena cacat yang melekat pada produk tersebut.

Product liabillity adalah suatu tanggung jawab secara hukum dari orang atau

badan hukum yang menghasilkan suatu produk (producer, manufacture) atau dari

orang atau badan yang bergerak dalam suatu proses untuk menghasilkan suatu

produk (processor, assembler) atau dari orang atau badan yang menjual atau

mendistribusikan (seller, distributor) produk tersebut.24

4. Pembayaran Ganti Kerugian

Tanggung jawab pelaku usaha terhadap konsumen atas produk yang

diperdagangkan dapat berupa pemberian ganti kerugian. Menurut ketentuan Pasal

19 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan

Konsumen, pelaku usaha bertanggung jawab memberikann ganti rugi atas

kerusakan, pencemaran, dan/atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi

barang dan/atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan.

Ganti kerugian merupakan tanggung jawab paling utama dari pelaku usaha. Ganti

kerugian menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan

Konsumen dapat berupa:

1. Pengembalian uang;

2. Penggantian barang dan/atau jasa yang sejenis atau setara nilainya,;

3. Perawatan kesehatan; dan/atau

24

(51)

4. Pemberian santunan yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-

undangan yang berlaku. 25

F. Kerangka Pikir

Guna memperjelas dari pembahasan ini, maka penulis membuat kerangka pikir

sebagai berikut:

25

Ibid, hlm. 112

Pelaku Usaha Konsumen

Perlindungan Konsumen Daging Hewan Potong Tanggung Jawab Pelaku

Usaha

Referensi

Dokumen terkait

Perlindungan konsumen atas produk pangan merupakan hal yang sangat penting karena produk pangan langsung berhubungan dengan kesehatan manusia, Produk pangan dalam kemasan yang

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KONSUMEN ROKOK ELEKTRIK YANG MENGANDUNG ZAT ADIKTIF YANG BELUM TERSTANDARISASI.. BERDASARKAN

Upaya Perlindungan Konsumen dalam Hukum Persaingan Usaha Di Indonesia Perlindungan akan kepentingan konsumen di dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 terdapat dalam

Analisis data yang digunakan adalah analisis kualitatif, perlindungan hukum bagi pasien belum sepenuhnya terlaksana dan pengaturan di undang-undang perlindungan

1) Bermacam-macam aturan perundang-undangan yang sudah ada mengatur ataupun bersinggungan akan produk halal masih belum adanya diberikan hukum yang pasti dan

pengembangan ilmu hukum perlindungan konsumen, khususnya yang berkaitan dengan perlindungan hukum bagi konsumen dan penerapan sanksi hukum terhadap pelaku usaha yang memperjual

Perlindungan hukum adalah tindakan atau upaya untuk melindungi masyarakat dari perbuatan sewenang-wenang oleh penguasa yang tidak sesuai dengan aturan hukum, untuk

Dalam penelitian ini diperoleh kesimpulan bahwa dalam ketentuan perundang-undangan di Indonesia dalam memberikan perlindungan hukum bagi konsumen muslim telah diatur