• Tidak ada hasil yang ditemukan

Determinan Asupan Energi dan Protein pada Balita di Wilayah Indonesia Timur dan Barat Tahun 2010 (Analisis Data Sekunder Riskesdas 2010)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Determinan Asupan Energi dan Protein pada Balita di Wilayah Indonesia Timur dan Barat Tahun 2010 (Analisis Data Sekunder Riskesdas 2010)"

Copied!
147
0
0

Teks penuh

(1)

Skripsi

Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat (SKM)

OLEH: AYU PUNARSIH NIM: 108101000015

PEMINATAN GIZI

PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) SYARIF HIDAYATULLAH

(2)

i Dengan ini saya menyatakan bahwa :

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah

satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di Fakultas Kedokteran dan Ilmu

Kesehatan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai

dengan ketentuan yang berlaku di Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan

Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau

merupakan jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi

yang berlaku di Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri

(UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

Ciputat, Desember 2012

(3)

ii SKRIPSI, 25 JANUARI 2013

Ayu Punarsih, NIM: 108101000015

Determinan Asupan Energi dan Protein pada Balita di Wilayah Indonesia Timur dan Barat Tahun 2010 (Analisis Data Sekunder Riskesdas 2010)

xiv + 106 halaman + 12 tabel + 5 grafik + 5 gambar + 2 lampiran ABSTRAK

Kurang Energi Protein (KEP) merupakan salah satu masalah gizi utama di Indonesia. Balita merupakan kelompok umur yang paling sering menderita akibat kekurangan gizi. Sejak tahun 1993 di Indonesia sudah diperkenalkan pembagian wilayah menjadi dua kawasan pembangunan, yaitu wilayah Indonesia Timur dan Barat. Menurut data riskesdas 2010 di wilayah Indonesia timur dan barat didapatkan bahwa sebagian besar anak balita di wilayah Indonesia Timur memiliki risiko mengalami malnutrisi lebih besar dari wilayah Indonesia Barat. Berdasarkan hal di atas perlu dibuktikan determinan asupan energi dan protein balita di wilayah Indonesia Timur dan Barat.

Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan pendekatan cross sectional. Studi ini menggunakan data sekunder yaitu dengan menganalisis data dari penelitian RISKESDAS 2010 di wilayah Indonesia. Penelitian ini dilakukan pada bulan Mei- Desember 2012. Sampel penelitian sebanyak 10.478 individu di wilayah Indonesia Barat dan 2.636 individu di wilayah Indonesia Timur. Pada penelitian ini yang menjadi variabel independen adalah (umur ibu, umur balita, status bekerja ibu, pendidikan ibu, jumlah anggota keluarga, tingkat ekonomi keluarga). Sedangkan untuk variabel dependen adalah asupan energi dan protein balita. Instrument yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuisioner riskesdas. Data yang diperoleh kemudian dilakukan uji statistik dengan rumus chi square dan Mean withney. Hasil penelitian menunjukkan balita yang memiliki asupan energi dan protein kurang dari kebutuhan minimal sebanyak 62,86% balita di wilayah Indonesia Timur dan 37,50% balita di Barat. Berdasarkan hasil analisis bivariat diketahui faktor yang berhubungan dengan asupan energi dan protein pada balita di wilayah Indonesia Timur yaitu umur balita, pendidikan ibu, tingkat ekonomi, jumlah anggota keluarga. Sedangkan Faktor yang berhubungan dengan asupan energi dan protein pada balita di wilayah Indonesia Barat yaitu umur ibu, umur balita, pendidikan ibu, tingkat ekonomi, jumlah anggota keluarga.

Oleh karena itu disarankan agar instansi kesehatan terkait dapat melakukan intervensi yang sesuai dengan hasil penelitian di wilayah Indonesia Timur dan Barat. Selain itu, penyebaran informasi mengenai asupan gizi yang baik untuk balita agar dapat menyeluruh ke daerah-daerah terpencil seperti pada wilayah Indonesia Timur.

(4)

iii Paper, Januari 25 2013

Ayu Punarsih, NIM : 108101000015

Determinants of Energy and Protein Intake of Toddler in East & West

Indonesian’s Region, Year 2010 (Secondary Data Analysis of Riskesdas 2010) xiv + 106 pages + 12 tables + 5 charts + 5 images + 2 attachment

ABSTRACT

Protein Energy Malnutrition (PEM) is one of the major nutritional problems in Indonesia. Toddler is the age group that most often suffer from malnutrition. Since 1993 Indonesia has been introduced in the division of the region into two areas of development, in the name are East Indonesian‟s Region and West Indonesian‟s Region. According to Riskesdas 2010 data in the east and west region of Indonesia found that the majority of children under five in east region of Indonesia have a greater risk of malnutrition from the west region of Indonesia. Based on that opinion need to be proven determinant of energy and protein intake of toddler in east and west region of Indonesia.

This research is a quantitative study with cross sectional approach. This study used secondary data analysis from the study of RISKESDAS 2010 in Indonesia. The research was conducted in May-December 2012. The sample‟s research from this study are 10,478 people in west region of Indonesia, and 2636 people in east region of Indonesia. In this study, the independent variables are (maternal age, toddler age, maternal employment status, maternal education, family number, family income level). As for the dependent variables are the energy and protein intake of toddler. The instrument that used in this study is a questionnaire of Riskesdas. The data obtained is then performed with the statistical test and the chi-square formula Mean Whitney.

The results of the research showed a toodler that has less energy and protein intake from the minimum needed are 62.86% in the east Indonesian Region and 37.50% in the West Indonesian Region. Based of the bivariate result is knowed the factors that associated with the energy and protein intake in toddler at east Indonesia region are aged toddler, maternal education, economic level, number of family members. While factors related to energy and protein intake in infants in western parts of Indonesia, namely maternal age, infant age, maternal education, economic level, number of family members.

It is therefore recommended that health-related agencies to intervene in accordance with the results of research in western and eastern Indonesia. In addition, the dissemination of information on good nutrition for toddlers to be thorough to remote areas such as in eastern Indonesia.

(5)

iv

Judul Skripsi

DETERMINAN ASUPAN ENERGI DAN PROTEIN PADA BALITA DI WILAYAH INDONESIA BARAT DAN TIMUR TAHUN 2010 (ANALISIS DATA

SEKUNDER RISKESDAS 2010)

Telah diperiksa, disetujui dan dipertahankan dihadapan Tim pembimbing dan penguji

skripsi Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan

Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta

Jakarta, Januari 2013

Mengetahui

Dr. H. Arif Sumantri, SKM., M.Kes

(6)

v

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

Jakarta, Januari 2013

(7)

vi

Nama : Ayu Punarsih

TTL : Jakarta, 4 Agustus 1990

Jenis Kelamin : Perempuan

Agama : Islam

Ponsel : 0856 8979 021

Alamat : Jl. KH. Hasyim Ashari Gg. Almakmur Kebalen RT 06/03 No.59

Kel. Pinang, Kec. Pinang, Tangerang - Banten

E-mail : aiu_yuppy@yahoo.com / ayu.yuppi@gmail.com

PENDIDIKAN FORMAL

2008 – Sekarang : Peminatan Gizi, Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan

Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta

2005 – 2008 : SMAN 12 Tangerang (Jurusan IPA) 2002 – 2005 : SMPN 3 Ciledug- Tangerang

1996 – 2002 : SDN Pinang 3 Tangerang

PENGALAMAN ORGANISASI

2008 – sekarang : Anggota Paduan Suara Mahasiswa FKIK-UIN (PASIFIK) 2008 – 2010 : Anggota BEM Jurusan Kesehatan Masyarakat

2009 : Anggota FMITFB (Forum Mahasiswa Indonesia Tanggap Flu

Burung)

PENGALAMAN KERJA

2009- Sekarang : Freelance Interviewer Polling Litbang - KOMPAS GRAMEDIA

2011 : APPL (Asisten Pengawas Pemilu Lapangan) PEMILUKADA

TANGERANG SELATAN

(8)

vii

Skripsi ini Ku Persembahkan Untuk Kedua Orang Tua Ku,. Terima Kasih Ibu Dan Bapak,.

Terima Kasih Atas Doa Ibu dan Bapak Yang Tidak Pernah Henti Untukku,.

Terima Kasih Atas Semangat Yang Diberikan , TERIMA KASIH IBU,. TERIMA KASIH BAPAK,. 

“Ya Allah, berilah mereka balasan yang sebaik

-baiknya atas didikan mereka

padaku dan Pahala yang besar atas kasih sayang yang Mereka limpahkan

kepadaku,Peliharalah mereka Sebagaimana mereka memeliharaku”

Keridhoan Allah tergantung kepada keridhoan orang tua dan

kemurkaan Allah tergantung kepada kemurkaan orang tua.”

(HR Tirmidzi)

AKU BUKANLAH ORANG YANG HEBAT, TAPI KU MAU BELAJAR DARI ORANG-ORANG YANG HEBAT

AKU ADALAH ORANG BIASA, TAPI AKU INGIN MENJADI ORANG YANG LUAR BIASA DAN AKU BUKANLAH ORANG YANG ISTIMEWA, TAPI AKU INGIN MEMBUAT

(9)

viii

Alhamdulillahirabbil‟alamin, wasshalatu wassalamu „ala ashrafil anbiyaai wal mursalin, wa‟ala alihi wa ash-habihi ajma‟in, amma ba‟d.

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan nikmat yang tak terhingga

kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Kemudian tak lupa

shalawat serta salam penulis haturkan kepada junjungan kita Nabi Besar Muhammad

SAW, semoga kita semua mendapatkan syafa‟at dan pertolongannya di yaumil qiyamah nanti.

Skripsi dengan judul “Determinan Asupan Energi dan Protein pada Balita di

Wilayah Indonesia Timur dan Barat tahun 2010” ini disusun sebagai salah satu persyaratan untuk memperoleh gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat (SKM) pada

program Studi Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan.

Penyusunan skripsi ini tidak terlepas dari bantuan, bimbingan, motivasi dan semangat

dari banyak pihak. Oleh karena itu dalam kesempatan kali ini penulis ingin

menyampaikan ungkapan dan rasa terima kasih yang tak terhingga ini kepada:

1. Ibu dan Bapak tercinta yang selalu memberikan segala dukungan, doa dan

perhatian kepada penulis sehingga skripsi ini dapat terselesaikan. Kemudian

terima kasih juga untuk keluargaku yaitu kakakku Imam Punarko, S.Pd dan kedua

adikku Fika Punarsari dan Ardi Punarditio atas Doanya.

2. Bapak Prof. Dr. (hc). Dr. M.K. Tadjudin, Sp. And, selaku dekan Fakultas

Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah

Jakarta.

3. Ibu Ir. Febrianti, M.Si, selaku ketua Program Studi Kesehatan Masyarakat dan juga

sebagai dosen pembimbing 2 yang dengan sabar membimbing dan membantu

penulis selama penyusunan skripsi ini sehingga skripsi ini dapat selesai.

4. Dr. H. Arif Sumantri, SKM., M.Kes selaku pembimbing 1, terima kasih atas

(10)

ix

6. Bapak Ahmad Gozali selaku bagian akademik, terima kasih atas bantuannya dalam

pembuatan surat-surat untuk penelitian ini.

7. Para Staf Balitbangkes Kementerian Kesehatan, terima kasih atas kepercayaannya

dalam memberikan data Riskesdas 2010 sehingga penulis dapat menyusun skripsi

ini.

8. Kakakku Yunci Perdani Putri, SKM dan Devy Hilpiani, S.Far yang telah menjadi

inspirasiku dalam mengerjakan laporan ini dan terima kasih untuk semangat dan

motivasi yang diberikan kepada penulis dalam penyusunan skripsi ini.

9. Sahabat-sahabat terbaikku sejak SMA (Devi, Aulia, dan Dona) terima kasih telah

menjadikan penulis lebih mengerti arti sebuah persahabatan dan persaudaraan.

10.Sahabat-sahabat seperjuanganku Irda Septiani, Ayu Dwi Lestari, Titah Wulandari,

Avianing Kemala Ulfa dan Riska Ferdian yang selalu memberikan semangat,

motivasi spiritual, serta kebersamaannya kepada penulis sehingga penulis terus

bersemangat dalam menyelesaikan skripsi ini.

11.Teman-teman STOOPELTH 2008, kakak-kakak, serta adik-adik kelasku yang

selalu memberikan motivasi dan semangat kepada penulis.

12.Teman-teman PASIFIK (Paduan Suara FKIK) yang telah memberikan semangat baru dengan senandung irama musik.

13.Semua pihak yang telah membantu penulis untuk selalu semangat dalam

menyelesaikan skripsi ini, yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.

Akhirnya, penulis sangat mengharapkan semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi

semua yang membacanya, di samping itu penulis menyadari bahwa penulisan laporan

ini masih kurang dari sempurna, sehingga penulis sangat mengharapkan saran dan

(11)

x

ABSTRAK ... ii

ABTRACK ... iii

LEMBAR PENGESAHAN ... iv

PANITIA SIDANG ... v

DAFTAR RIWAYAT HIDUP ... vi

LEMBAR PERSEMBAHAN ... vii

KATA PENGANTAR ... viii

DAFTAR ISI ... x

DAFTAR TABEL ... xiii

DAFTAR GRAFIK ... xii

DAFTAR GAMBAR ... xiv

DAFTAR LAMPIRAN ... xiv

DAFTAR SINGKATAN ... xiv

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 7

1.3 Pertanyaan Penelitian ... 9

1.4 Tujuan 1.4.1 Tujuan Umum ... 10

1.4.2 Tujuan Khusus ... 10

1.5 Manfaat 1.5.1 Bagi Instansi Kesehatan Terkait ... 11

1.5.2 Bagi Peneliti ... 12

1.6 Ruang Lingkup ... 12

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Asupan Energi dan Protein ... 13

(12)

xi

2.2.3 Status bekerja Ibu ... 24

2.2.4 Pengetahuan Gizi Ibu ... 28

2.2.5 Pendidikan Ibu ... 29

2.2.6 Ketersediaan Pangan ... 35

2.2.7 Besar Keluarga ... 35

2.2.8 Pendapatan Keluarga ... 39

2.2.9 Pola Asuh Gizi Balita ... 40

2.2.10 Penyakit Infeksi ... 41

2.3 Kerangka Teori ... 43

BAB III KERANGKA KONSEP, DEFINISI OPERASIONAL DAN HIPOTESIS 3.1 Kerangka Konsep ... 44

3.2 Definisi Operasional ... 46

3.3 Hipotesis ... 48

BAB IV METODOLOGI PENELITIAN 4.1 Jenis dan Desain Penelitian ... 49

4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian ... 49

4.3 Populasi dan Sampel Penelitian ... 49

4.4 Instrumen Penelitian ... 52

4.5 Pengolahan Data ... 57

4.6 Analisis Data ... 58

BAB V HASIL 5.1 Gambaran Wilayah Indonesia Timur dan Indonesia Barat ... 60

5.2 Analisis Univariat ... 61

5.3 Hubungan antara umur ibu balita dengan asupan energi dan protein pada balita di wilayah Indonesia Timur dan Barat... 67

(13)

xii

5.7 Hubungan antara status bekerja ibu dengan asupan energi dan

protein pada balita di wilayah Indonesia Timur dan Barat ... 71

5.8 Hubungan antara tingkat ekonomi keluarga dengan asupan energi

dan protein pada balita di wilayah Indonesia Timur dan Barat ... 72

5.9 Hubungan antara jumlah keluarga dengan asupan energi dan

protein pada balita di wilayah Indonesia Timur dan Barat... 73

BAB VI PEMBAHASAN

6.1 Keterbatasan Penelitian ... 75

6.2 Gambaran asupan energi dan protein balita di wilayah Indonesia

Timur dan Barat menurut data riskesdas 2010 ... 76

6.3 Gambaran Umur Ibu balita di wilayah Indonesia Timur dan Barat

menurut data riskesdas 2010 ... 80

6.4 Gambaran Umur balita di wilayah Indonesia Timur dan Barat

menurut data riskesdas 2010 ... 84

6.5 Gambaran Pendidikan Ibu di wilayah Indonesia Timur dan Barat

menurut data riskesdas 2010 ... 87

6.6 Gambaran Status Bekerja Ibu di wilayah Indonesia Timur dan

Barat menurut data riskesdas 2010 ... 91

6.7 Gambaran Tingkat Ekonomi Keluarga di wilayah Indonesia

Timur dan Barat menurut data riskesdas 2010 ... 97

6.8 Gambaran Jumlah Anggota Keluarga di wilayah Indonesia Timur

dan Barat menurut data riskesdas 2010 ... 100

BAB VII PENUTUP

A Simpulan ... 105

B Saran ... 106

(14)

xiii

2.1 Angka Kecukupan Gizi rata-rata yang dianjurkan ... 15

4.1 Daftar variabel dan kuisioner dalam riskesdas 2010 ... 52

4.2 Kode Variabel Pekerjaan dalam Riskesdas 2010 ... 54

4.3 Kode Variabel Pendidikan dalam Riskesdas 2010 ... 55

5.1 Distribusi friekuensi umur ibu balita di wilayah Indonesia Timur dan Barat tahun 2010 ... 62

5.2 Distribusi frekuensi umur balita di wilayah Indonesia Timur dan Barat tahun 2010 ... 63

5.3 Rata-rata umur ibu balita dengan asupan energi dan protein pada balita di wilayah Indonesia Timur dan Barat tahun 2010 ... 68

5.4 Rata-rata umur balita dengan asupan energi dan protein pada balita di wilayah Indonesia Timur dan Barat tahun 2010 ... 69

5.5 Distribusi pendidikan ibu dengan asupan energi an protein pada balita di wilayah Indonesia Timur dan Barat tahun 2010 ... 70

5.6 Distribusi status bekerja ibu dengan asupan energi dan protein pada balita di wilayah Indonesia Timur dan Barat tahun 2010 ... 71

5.7 Distribusi Tingkat ekonomi keluarga dengan asupan energi dan protein pada balita di wilayah Indonesia Timur dan Barat tahun 2010 ... 72

5.8 Distribusi jumlah keluarga dengan asupan energi dan protein pada balita di wilayah Indonesia Timur dan Barat tahun 2010 ... 73

DAFTAR GRAFIK 5.1 Distribusi frekuensi asupan energi dan protein balita di wilayah Indonesia Timur dan Barat tahun 2010 ... 61

5.2 Distribusi frekuensi pendidikan ibu di wilayah Indonesia Timur dan Barat tahun 2010 ... 64

(15)

xiv

5.5 Distribusi frekuensi jumlah keluarga di wilayah Indonesia Timur dan

Barat Tahun 2010 ... 67

DAFTAR GAMBAR Nomor Gambar Halaman 2.1 Faktor penyebab timbulnya masalah gizi ... 17

2.2 Faktor-faktor yang mempengaruhi konsumsi makanan ... 18

2.3 Model Konsumsi Makanan ... 19

2.4 Kerangka Teori Penelitian ... 43

3.1 Kerangka Konsep Penelitian ... 45

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Kuisioner Riskesdas 2010

Lampiran 2 Output Stata Indonesia Timur dan Indonesia Barat

DAFTAR SINGKATAN

KEP = Kurang Energi Protein

GAKY = Gangguan Akibat Kekurangan Yodium

KVA = Kurang Vitamin A

AKG = Angka Kecukupan Gizi

GBHN = Garis Besar Haluan Negara

MDGs = Millenium Development Goals

SDM = Sumber Daya Manusia

TPAK = Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja

(16)

1 1.1. Latar Belakang

Masalah gizi di Indonesia dan negara berkembang pada umumnya masih

didominasi oleh masalah Kurang Energi Protein (KEP), Anemia Besi, Gangguan

Akibat Kekurangan Yodium (GAKY), Kurang Vitamin A (KVA) dan masalah

obesitas terutama dikota-kota besar. Kurang Energi Protein (KEP) merupakan salah

satu masalah gizi utama di Indonesia. Keadaan ini banyak diderita oleh kelompok

balita yang merupakan generasi penerus bangsa (Supariasa, 2002).

Menurut Sediaoetama (2008), mengemukakan bahwa balita merupakan

kelompok umur yang paling sering menderita akibat kekurangan gizi. Balita juga

merupakan kelompok yang menunjukan pertumbuhan badan yang pesat, sehingga

memerlukan zat-zat gizi yang tinggi setiap kilogram berat badannya.

Salah satu upaya pemerintah dalam meningkatkan sumber daya manusia dan

sekaligus dalam rangka pengentasan kemiskinan adalah dengan meningkatkan gizi

anak terutama gizi balita (BPS, 2002). Pemenuhan gizi balita salah satunya

dipengaruhi oleh asupan energi dan protein yang dapat mempengaruhi

perkembangan berat badan dan tinggi badan balita.

Kejadian rawan pangan menjadi masalah sangat sensitif bagi Indonesia.,

sehingga untuk mewujudkan ketahanan pangan dan gizi nasional sebagai salah satu

pilar ketahanan nasional dan wilayah maka pada Konferensi Dewan Ketahanan

Pangan Tahun 2006, para Gubernur selaku Ketua DKP Provinsi seluruh

(17)

menyusun rencana nasional menuju Indonesia Tahan Pangan dan Gizi 2015

(DKP, 2009).

Makronutrien (zat gizi makro) yang terdiri dari karbohidrat, protein dan lemak

merupakan zat gizi yang sangat dibutuhkan dalam proses tumbuh kembang anak.

Selanjutnya berdasarkan fungsinya ketiga zat gizi makro tersebut dibagi menjadi

dua yaitu sebagai sumber energi dan protein. Energi dibutuhkan untuk

pertumbuhan, metabolisme, utilisasi bahan makanan dan aktivitas. Sedangkan

protein dibutuhkan untuk menyediakan asam amino bagi sintesa protein sel,

hormone maupun enzim untuk mengatur metabolisme. Disamping itu protein juga

dapat bertindak sebagai sumber energi tubuh (Pudjiaji, 2005).

Menurut Almatsier (2004), kekurangan pangan dalam waktu lama akan

berakibat buruk terhadap kesehatan karena pangan merupakan salah satu kebutuhan

pokok yang dibutuhkan tubuh setiap hari dalam jumlah tertentu sebagai sumber

energi dan zat-zat gizi. Dampak kurang energi protein merupakan bahaya pada

periode umur balita. Pada anak-anak, Kurang Energi Protein (KEP) dapat

menghambat pertumbuhan, rentan terhadap penyakit terutama penyakit infeksi dan

mengakibatkan rendahnya tingkat kecerdasan. Menurut Seroeder (2001), anak balita

dengan gizi kurang mempunyai resiko menurunnya perkembangan motorik,

rendahnya fungsi kognitif serta kapasitas penampilan dan pada akhirnya gizi kurang

memberi efek negatif tingginya risiko terhadap kematian.

Hasil penelitian di 11 negara di Asia, Afrika, dan Amerika Latin pada tahun

2004 terhadap balita usia 6-59 bulan, diperoleh hasil anak dengan stunted

(18)

47%, Mali 35%, Rawanda 40%, Zimbabwe 31%, Cambodia 36%, Nepal 44%,

Colombia 16%, Haiti 20% dan Peru 22%, sedangkan anak dengan status gizi wasted

berdasarkan indeks BB/TB, diantaranya adalah Benin 16%, Ethiopia 18%,

Malawmi 9%, Mali 18%, Rwanda 10%, Zimbabwe 9%, Cambodia 19%, Nepal

18%, Colombia 1%, Haiti 8%, dan Peru 1 % (Arimond dan Ruel, 2004 dalam

Nuraeni, 2008).

Berdasarkan hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (BPS, 2002, 2003 dan 2005)

diketahui bahwa persentase balita yang bergizi baik/normal sebesar 71,88% pada

tahun 2002 dan 69,59% pada tahun 2003 dan mengalami penurunan menjadi

68,48% pada tahun 2005, sedangkan balita yang bergizi kurang/buruk atau dikenal

dengan istilah Kurang Energi Protein (KEP) sebesar 25,82% pada tahun 2002 dan

mengalami peningkatan pada tahun 2003 menjadi 28,17% dan pada tahun 2005

menjadi 28,04%.

Sejak tahun 1993 di Indonesia sudah diperkenalkan pembagian wilayah

menjadi dua kawasan pembangunan, yaitu wilayah Indonesia Timur dan wilayah

Indonesia Barat. Wilayah Indonesia Timur terdiri dari 12 propinsi yaitu Sulawesi

Utara, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Barat, Sulawesi Tengah,

Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Gorontalo, Maluku, Maluku Utara,

Papua dan Papua Barat. Sedangkan wilayah Indonesia Barat terdiri dari 21 Propinsi

yaitu Bangka Belitung, Kepulauan Riau, Riau, Bengkulu, NAD, Jambi, Lampung,

Banten, Jawa tengah, Jawa Timur, Jawa Barat, DI Yogyakarta, Jakarta, Bali,

Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Kalimantan Tengah, Kalimantan Barat,

(19)

Menurut BPS (2010), salah satu ciri perbedaan wilayah Indonesia Timur dan

Indonesia Barat adalah persebaran penduduk yang tidak merata, yaitu pada wilayah

Indonesia Timur yang luas geografisnya 60% dihuni oleh 15% penduduk,

sedangkan pada wilayah Indonesia Barat yang luas geografisnya 40% dihuni oleh

84% penduduk. Jika dilihat dari data diatas maka dapat disimpulkan bahwa wilayah

Indonesia Barat lebih padat penduduknya dibandingkan dengan wilayah Indonesia

Timur.

Berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar 2007 (Depkes, 2008), diketahui

persentase balita gizi kurang di wilayah Indonesia timur lebih besar dibanding

dengan wilayah Indonesia Barat, hal ini dapat dilihat dari prevalensi tertinggi gizi

kurang di Indonesia timur sebesar 24,2 % di propinsi Nusa Tenggara Timur dan

prevalensi gizi kurang terendah sebesar 11,5% di propinsi Sulawesi Utara.

Sedangkan prevalensi gizi kurang tertinggi di Indonesia Barat sebesar 18,2% di

Kalimantan Selatan dan prevalensi terendah gizi kurang sebesar 8,5% di DI

Yogyakarta. Sehingga dapat disimpulkan bahwa prevalensi gizi kurang di wilayah

Indonesia timur masih diatas prevalensi nasional gizi kurang yaitu 18,4%.

Menurut data riskesdas 2010 di wilayah Indonesia timur dan barat di dapatkan

prevalensi balita yang tingkat konsumsi energi dibawah kebutuhan minimal kurang

dari 70% AKG sebesar 31,28 % di wilayah Indonesia Timur dan 23,87 % di

wilayah Indonesia Barat. Sedangkan tingkat konsumsi protein balita dibawah

kebutuhan minimal kurang dari 80% AKG yaitu sebesar 25,87 % balita di wilayah

Indonesia Timur dan 15,38 % balita di wilayah Indonesia Barat. Jika dilihat dari

(20)

minimal di wilayah Indonesia Timur sudah melebihi angka rata-rata prevalensi

nasional balita yang tingkat konsumsi energi dan protein dibawah kebutuhan

minimal di seluruh Indonesia yaitu sebesar 24,7% untuk energi dan 18,4% untuk

protein. Hal ini berarti bahwa sebagian besar anak balita di wilayah Indonesia

Timur memiliki risiko mengalami malnutrisi lebih besar dari wilayah Indonesia

Barat.

Kurangnya konsumsi protein dan energi pada Balita juga dipengaruhi oleh

faktor kemiskinan. Menurut data BPS (2010), didapatkan prevalensi penduduk

miskin di wilayah Indonesia Timur sebesar 20,50%, sedangkan prevalensi

penduduk miskin di wilayah Indonesia Barat sebesar 10,97%.

Berdasarkan hasil survei demografi kesehatan Indonesia (BPS, 2008),

didapatkan persentase laki-laki dan perempuan yang tidak menempuh pendidikan di

wilayah Indonesia timur sebesar 7,2 % laki-laki dan sebesar 12,1 % wanita.

Sedangkan persentase laki-laki dan wanita yang tidak menempuh pendidikan di

wilayah Indonesia Barat sebesar 4,9 % laki-laki dan sebesar 10,2 % wanita. Jika

dilihat dari jumlah persentase tertinggi di wilayah Indonesia Timur dan Barat, maka

wilayah Indonesia Timur masih tertinggal dalam hal pendidikan baik laki-laki

maupun wanita.

Berdasarkan data BPS (2008), didapatkan persentase balita yang mengalami

keluhan kesehatan seperti diare yaitu sebesar 7,25 % di wilayah Indonesia Timur

dan 5,39% di wilayah Indonesia Barat. Maka dapat disimpulkan bahwa balita yang

mengalami keluhan kesehatan lebih besar prevalensinya di wilayah Indonesia

(21)

Berdasarkan hasil survey pertanian tanaman pangan (BPS,2008), didapatkan

data luas panen padi tahun 2008 di wilayah Indonesia Timur sebesar 1.959.953 Ha,

sedangkan luas panen padi tahun 2008 di wilayah Indonesia Barat sebesar

10.425.289 Ha. Sedangkan hasil produksi padi tahun 2008 di wilayah Indonesia

Timur sebesar 8.861.943 ton, dan hasil produksi padi tahun 2008 di wilayah

Indonesia Barat sebesar 51.015.576 ton. Dari hasil survey tersebut dapat

disimpulkan bahwa produksi padi yang merupakan salah satu sumber energi di

wilayah Indonesia Barat lebih besar dibanding dengan wilayah Indonesia Timur.

Sejumlah penelitian menyebutkan bahwa terdapat beberapa faktor yang

mempengaruhi konsumsi energi dan protein pada anak balita diantaranya umur ibu,

suku ibu, status bekerja ibu, pendidikan ibu, pengetahuan gizi ibu, besar keluarga

dan pendapatan keluarga. Selain faktor-faktor tersebut, terdapat faktor lain seperti

faktor kebudayaan yang dapat mempengaruhi konsumsi energi dan protein pada

anak (Nasekhah, 2011). Berdasarkan Kusin dan Kardjati (1985) mengungkapkan

bahwa keterbatasan tersedianya pangan dan kebiasaan, seperti pantangan makanan

mempengaruhi mutu dan jumlah makanan yang diberikan pada anak.

Dalam penelitian Nasekhah (2011), menemukan adanya hubungan bermakna

antara status bekerja ibu, pendidikan ibu, pengetahuan gizi ibu,besar keluarga, dan

pendapatan keluarga dengan Konsumsi energi dan Protein pada Batita di Kelurahan

Serua pada tahun 2010. Sedangkan dalam penelitian Hermansyah (2010), terdapat

hubungan bermakna antara pola asuh gizi balita, tingkat pendidikan ibu balita, dan

pendapatan keluarga dengan tingkat konsumsi energi dan protein pada balita di

(22)

Menurut Prof. Firmanzah (2012), Indonesia masih menghadapi persoalan

kesenjangan kesejahteraan. Salah satunya adalah kesenjangan kesejahteraan spasial

yaitu antara kawasan Barat dan Timur Indonesia. Kontribusi pembangunan dan

konsentrasi industri yang masih berpusat di pulau Sumatera-Jawa-Bali ditambah

dengan tingginya persentase masyarakat miskin di kawasan Timur Indonesia. Selain

itu masih terbatasnya akses ke sejumlah fasilitas publik bagi masyarakat Timur

Indonesia seperti kesehatan, pendidikan, listrik, jalan dan faktor produksi lain

semakin memperbesar kesenjangan kesejahteraan.

Berdasarkan hal di atas diduga bahwa determinan Asupan energi dan protein

berbeda antara Indonesia Timur dan Barat. Sehingga perlu diadakan penelitian

mengenai “Determinan Asupan Energi dan Protein Balita Pada Wilayah Indonesia Timur Dan Barat Tahun 2010”. Sehingga diharapkan dengan adanya penelitian ini dapat melihat perbedaan faktor-faktor yang mempengaruhi asupan

energi dan protein di wilayah Indonesia Timur dan Barat dan dapat dilakukan

tindakan yang tepat untuk mengatasi masalah asupan makanan balita di wilayah

Indonesia Timur dan Barat.

1.2. Rumusan Masalah

Konsumsi energi dan protein merupakan salah satu faktor penyebab gizi kurang

pada balita. Angka Kecukupan Gizi nasional 2004 untuk konsumsi energi balita

adalah sebesar 70% AKG dan Angka Kecukupan Gizi nasional 2004 untuk

konsumsi protein balita sebesar 80% AKG.

Menurut data riskesdas 2010 di wilayah Indonesia timur dan barat didapatkan

(23)

dari 70% AKG sebesar 31,28 % di wilayah Indonesia Timur dan 23,87 % di

wilayah Indonesia Barat. Sedangkan tingkat konsumsi protein balita dibawah

kebutuhan minimal kurang dari 80% AKG yaitu sebesar 25,87 % balita di wilayah

Indonesia Timur dan 15,38 % balita di wilayah Indonesia Barat. Jika dilihat dari

prevalensi tersebut maka tingkat konsumsi energi dan protein dibawah kebutuhan

minimal di wilayah Indonesia Timur sudah melebihi angka rata-rata prevalensi

nasional balita yang tingkat konsumsi energi dan protein dibawah kebutuhan

minimal di seluruh Indonesia yaitu sebesar 24,7% untuk energi dan 18,4% untuk

protein. Hal ini berarti bahwa sebagian besar anak balita di wilayah Indonesia

Timur memiliki risiko mengalami malnutrisi lebih besar dari wilayah Indonesia

Barat.

Berdasarkan latar belakang diatas didapatkan bahwa determinan asupan energi

dan protein pada balita yaitu umur balita, pendidikan ibu, jumlah keluarga, status

bekerja ibu, status ekonomi, dan umur ibu. Maka disinyalir determinan asupan

energi dan protein balita berbeda antara wilayah Indonesia timur dan Indonesia

Barat, sehingga perlu diadakan penelitian yang membuktikan adanya perbedaan

determinan asupan energi dan protein balita di wilayah Indonesia Timur dan Barat.

Sehubungan dengan masalah di atas, peneliti tertarik untuk melakukan

(24)

kebijakan kesehatan yang terkait dengan asupan makanan pada balita di

masing-masing bagian wilayah Indonesia Timur dan Barat.

1.3. Pertanyaan Penelitian

1.3.1 Bagaimana gambaran asupan energi dan protein pada balita, umur ibu balita,

umur balita, pendidikan ibu, status bekerja ibu, tingkat ekonomi keluarga

dan jumlah keluarga di wilayah Indonesia Timur dan Barat menurut data

riskesdas 2010?

1.3.2 Apakah ada hubungan antara umur ibu balita terhadap asupan energi dan

protein pada balita di wilayah Indonesia Timur dan Barat menurut data

riskesdas 2010?

1.3.3 Apakah ada hubungan antara umur balita terhadap Asupan energi dan

protein pada balita di wilayah Indonesia Timur dan Barat menurut data

riskesdas 2010?

1.3.4 Apakah ada hubungan antara pendidikan ibu terhadap asupan energi dan

protein pada balita di wilayah Indonesia Timur dan Barat menurut data

riskesdas 2010?

1.3.5 Apakah ada hubungan antara status bekerja ibu terhadap asupan energi dan

protein pada balita di wilayah Indonesia Timur dan Barat menurut data

riskesdas 2010?

1.3.6 Apakah ada hubungan antara tingkat ekonomi keluarga terhadap asupan

energi dan protein pada balita di wilayah Indonesia Timur dan Barat

(25)

1.3.7 Apakah ada hubungan antara jumlah keluarga terhadap asupan energi dan

protein pada balita di wilayah Indonesia Timur dan Barat menurut data

riskesdas 2010?

1.4. Tujuan

1.4.1 Tujuan Umum

Diketahuinya Determinan Asupan Energi dan Protein pada Balita di

Wilayah Indonesia Timur Dan Barat Tahun 2010 (berdasarkan analisis data

sekunder riskesdas 2010).

1.4.2 Tujuan Khusus

1.4.2.1 Diketahuinya gambaran asupan energi dan protein pada balita,

umur ibu balita, umur balita, pendidikan ibu, status bekerja ibu,

tingkat ekonomi keluarga, dan jumlah keluarga di wilayah

Indonesia Timur dan Barat menurut data riskesdas 2010.

1.4.2.2 Diketahuinya hubungan antara umur ibu balita terhadap asupan

energi dan protein pada balita di wilayah Indonesia Timur dan

Barat menurut data riskesdas 2010.

1.4.2.3 Diketahuinya hubungan antara umur balita terhadap Asupan energi

dan protein pada balita di wilayah Indonesia Timur dan Barat

menurut data riskesdas 2010.

1.4.2.4 Diketahuinya hubungan antara pendidikan ibu terhadap asupan

energi dan protein pada balita di wilayah Indonesia Timur dan

(26)

1.4.2.5 Diketahuinya hubungan antara status bekerja ibu terhadap asupan

energi dan protein pada balita di wilayah Indonesia Timur dan

Barat menurut data riskesdas 2010.

1.4.2.6 Diketahuinya hubungan antara tingkat ekonomi keluarga terhadap

asupan energi dan protein pada balita di wilayah Indonesia Timur

dan Barat menurut data riskesdas 2010.

1.4.2.7 Diketahuinya hubungan antara jumlah keluarga terhadap asupan

energi dan protein pada balita di wilayah Indonesia Timur dan

Barat menurut data riskesdas 2010.

1.5. Manfaat

1.5.1 Bagi Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Kesehatan

Hasil penelitian ini diharapkan dapat dipergunakan sebagai masukan

informasi bagi Kementerian Kesehatan dalam menentukan perencanaan

kebijakan dan program penaggulangan gizi agar lebih merata ke setiap

bagian wilayah Indonesia timur dan barat, khususnya dalam mewujudkan

Indonesia Tahan Pangan dan Gizi 2015.

1.5.2 Bagi Peneliti

Hasil penelitian ini dapat dipergunakan untuk pengembangan ilmu dan

sebagai bahan referensi yang dapat dijadikan bahan bacaan oleh peneliti

selanjutnya yang berhubungan dengan faktor apa saja yang berhubungan

(27)

1.6. Ruang Lingkup

Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif menggunakan analisis

data sekunder riskesdas dengan membandingkan “Determinan Asupan Energi

dan Protein Pada Balita Di Wilayah Indonesia Timur Dan Barat Tahun 2010”.

Penelitian ini dilakukan pada Balita usia 12- 47 bulan. Variabel yang diteliti adalah

umur ibu balita, umur balita, pendidikan ibu, status bekerja ibu, tingkat ekonomi

keluarga dan jumlah anggota keluarga dengan asupan energi dan protein. Data

penelitian ini merupakan analisis data sekunder riskesdas 2010 di wilayah Indonesia

timur dan barat. Penelitian ini dilakukan oleh mahasiswi UIN Syarif Hidayatullah

Jakarta, Jurusan Kesehatan Masyarakat Peminatan Gizi Semester 8 pada bulan Mei

(28)

13 2.1 Asupan Energi dan Protein

Makanan adalah hal yang terpenting dalam kehidupan terutama untuk

pertumbuhan. Tanpa asupan makanan dan nutrisi yang cukup, suatu organisme

tidak bisa tumbuh dan berkembang secara normal (Robert, 1999 dalam Lupiana,

2010).

Makronutrien atau yang disebut sebagai zat gizi makro yang terdiri dari

karbohidrat, protein dan lemak adalah jenis zat gizi yang sangat diperlukan untuk

pertumbuhan anak. Energi diperlukan untuk pertumbuhan, metabolisme, utilisasi

bahan makanan, dan aktivitas. Kebutuhan energi di suplai terutama oleh karbohidrat

dan lemak. Walaupun protein dalam diet dapat memberikan energi untuk keperluan

tersebut, fungsi utamanya yaitu untuk menyediakan asam amino bagi sintesa protein

sel, dan hormone maupun enzim untuk mengatur metabolisme (Pudjiadi, 2005).

Tingkat kesehatan biasanya dipengaruhi oleh asupan makanan yang masuk ke

dalam tubuh seseorang, jika asupan gizi yang masuk dalam komposisi yang baik

maka gizi seseorang juga akan baik. Namun jika yang terjadi adalah yang

sebaliknya maka tubuh akan kekurangan zat gizi atau biasa disebut malnutrition.

Masalah tersebut disebabkan oleh kekurangan atau ketidakseimbangan antara energi

dan protein yang masuk dalam tubuh (Notoatmodjo, 1996).

Kebutuhan nutrient tertinggi per kg berat badan dalam sikulus daur kehidupan

adalah pada masa bayi dimana kecepatan tertinggi dalam pertumbuhan dan

(29)

dan normal akan tumbuh sesuai dengan potensi genetic yang dimilikinya. Akan

tetapi asupan zat gizi yang dikonsumsi dalam bentuk makanan akan mempengaruhi

pertumbuhan anak. Kekurangan asupan makanan akan dimanifestasikan dalam

bentuk pertumbuhan yang menyimpang dari standar (khomsan,2004).

Asupan makanan terkait dengan ketersediaan pangan namun tidak berarti jika

tersedia pangan kemudian akan secara pasti setiap orang akan tercukupi konsumsi

makanan yang dikonsumsinya. Apabila anak balita asupan makanannya tidak cukup

maka daya tahan tubuhnya akan menurun sehingga akan mengalami kurang gizi dan

mudah terserang penyakit infeksi, maka anak akan kehilangan nafsu makan

sehingga intake makanan menjadi kurang. Dua hal inilah yang menjadi penyebab

gizi kurang. Selama masa pertumbuhan anak balita memerlukan asupan energi dan

protein. Protein diperlukan oleh anak balita untuk pemeliharaan jaringan, perubahan

komposisi tubuh dan pertumbuhan jaringan baru (Robberts,et,al. 2000 dalam

nuraeni, 2008). Menurut Arisman (2004), jika asupan protein kurang pada balita

maka dapat berpengaruh terhadap pertumbuhan jaringan dan organ, berat badan dan

tinggi badan, serta lingkar kepala. Dan menurut Unicef (1998), anak yang tidak

cukup menerima asupan makan maka daya tahan tubuh (imunitas) melemah,

sehingga hal ini dapat menyebabkan terjadinya gizi kurang.

Balita dikatakan kekurangan asupan zat gizi (energi dan protein) apabila

tingkat konsumsi energi ≤ 70% AKG dan protein ≤ 80% AKG (Depkes, 2005).

Kecukupan energi dan protein untuk balita perorang perhari menurut kelompok

(30)

Tabel 2.1

Angka Kecukupan Gizi Rata-Rata Yang Dianjurkan(Per Orang Per Hari) Golongan umur Energi (Kkal) Protein (gr)

12-47 bulan 1000 25

48-60 bulan 1550 39

Sumber : Depkes RI, 2005

Energi merupakan salah satu hasil metabolisme karbohidrat, lemak, dan

protein yang berfungsi sebagai zat tenaga untuk metabolisme, pertumbuhan,

pengaturan suhu, kegiatan fisik. Setiap orang membutuhkan energi untuk

mempertahankan hidup guna menunjang proses pertumbuhan dan melakukan

aktivitas harian. Energi yang masuk melalui makanan harus seimbang dengan

kebutuhannya, bila hal tersebut tidak tercapai akan terjadi pergeseran keseimbangan

kearah negative atau positif. Keadaan berat badan seseorang dapat digunakan

sebagai satu petunjuk apakah seseorang dalam keadaan seimbang, kelebihan atau

kekurangan energi (Sayogo, 2006).

Sedangkan protein merupakan bagian dari semua sel-sel hidup, seperlima dari

berat tubuh orang dewasa merupakan protein (Yuniastuti, 2008). Protein sebagai

pembentuk energi, angka energi yang diperoleh akan tergantung dari macam jumlah

bahan makanan nabati dan hewani yang dikonsumsi manusia setiap harinya. Protein

dalam tubuh berfungsi untuk menyediakan energi apabila kebutuhan energi tidak

tercukupi dari konsumsi karbohidrat dan lemak (Martaliza, 2010). Energi yang

diperlukan tubuh hendaknya 10-15% didapat dari protein. Bahan makanan hewani

(31)

susu, daging, unggas, ikan dan kerang. Sumber nabati adalah kacang kedelai dan

hasilnya, seperti tempe, tahu, serta kacang-kacangan lain (Almatsier, 2002).

Menurut Depkes RI (2002), kekurangan energi dan protein pada masa

anak-anak akan berdampak secara langsung terhadap gangguan pertumbuhan,

perkembangan dan produktifitas. Proses pertumbuhan yang terganggu tersebut

akibat dari penggunaan protein tubuh sebagai sumber energi bukan pada fungsi

sebagai sumber zat pembangun.

Menurut Sediaoetama (1996). Konsumsi energi dan protein lebih banyak

ditentukan oleh kualitas dan kuantitas pangan yang dikonsumsi. Kualitas pangan

mencerminkan adanya zat gizi yang dibutuhkan oleh tubuh yang terdapat dalam

bahan pangan, sedangkan kuantitas pangan mencerminkan jumlah setiap gizi dalam

suatu bahan pangan. Untuk mencapai keadaan gizi yang baik, maka unsur kualitas

dan kuantitas harus dapat terpenuhi.

Berdasarkan hasil Penelitian Riyadi,dkk (2011) di wilayah Nusa Tenggara

Timur, pada pembuatan makanan untuk anak-anak, ibu cenderung memberikan nasi

jagung (tanpa lauk pauk). Hal ini akan menyebabkan anak-anak kekurangan

konsumsi protein dengan mutu baik karena konsumsi protein hanya bertumpu pada

protein nabati beras yang kekurangan asam amino lysine.

2.2 Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Asupan Energi dan Protein pada Balita.

Menurut Call dan Levinson (1871) dalam Supariasa (2001), Faktor-faktor yang

(32)

Gambar 2.1

Faktor Penyebab Timbulnya Masalah Gizi

Sumber: Call dan Levinson (1871) dalam Supariasa (2001)

Sedangkan menurut Apriadji (1986), faktor-faktor yang mempengaruhi konsumsi

makanan yaitu terdapat faktor tidak langsung dan faktor langsung. Faktor tidak

langsung yaitu pendapatan keluarga, harga bahan makanan, tingkat pengelolaan

sumber daya lahan dan pekarangan. Sedangkan faktor langsung yaitu daya beli

keluarga, latar belakang sosial budaya, tingkat pendidikan dan pengetahuan gizi,

dan jumlah anggota keluarga. Faktor-faktor tersebut dapat dilihat pada gambar 2.2. Zat gizi dalam makanan

Ada tidaknya program pemberian makanan di luar keluarga

Daya beli keluarga

Pemeliharaan kesehatan Kebiasaan makan

Lingkungan fisik dan sosial

Konsumsi makanan

Kesehatan

(33)

Gambar 2.2

Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Konsumsi Makanan

Sumber :Apriadji, 1986

Menurut Elizabeth dan Sanjur (1981) dalam Suhardjo (1989), ada 3 faktor yang

mempengaruhi konsumsi makanan yaitu karakteristik individu, karakteristik

makanan dan karakteristik lingkungan. ketiga faktor tersebut akan mempengaruhi

preferensi seseorang terhadap makanan yang akhirnya akan mempengaruhi

konsumsi makanan. Ketiga faktor tersebut dapat digambarkan dalam suatu model

seperti pada gambar 2.3. Pendapatan keluarga

Harga bahan makanan

Tingkat pengelolaan sumber daya lahan dan pekarangan

Daya beli keluarga

Latar belakang sosial budaya

Tingkat pendidikan dan pengetahuan gizi

Jumlah anggota keluarga

(34)

Gambar 2.3

Model Konsumsi Makanan

Sumber: Elizabeth dan Sanjur (1981) dalam Suhardjo (1989)

2.2.1 Umur Ibu

Usia produktif ibu dalam masa reproduksi berperan dalam membantu

pertumbuhan dan perkembangan anaknya. Usia produktif ibu berkisar 20-35

tahun, penelitian Farida (2002) mengungkapkan bahwa ada hubungan yang

bermakna antara umur ibu dengan status gizi balita.

Penelitian Karyadi (2008), menemukan ibu yang berusia antara 20- 35

tahun lebih banyak anak balitanya dengan status gizi baik dibanding ibu-ibu

yang lebih muda atau lebih tua dari 20-30 tahun.

Menurut Sediaoetama (2006), menyatakan bahwa usia berpengaruh

terhadap terbentuknya kemampuan, karena kemampuan yang dimiliki dapat Konsumsi makanan

Preferensi Makanan

Karakteristik Individu Karakteristik Makanan Karakteristik Lingkungan

(35)

diperoleh melalui pengalaman sehari-hari diluar faktor pendidikannya.

Sebagaimana nilai budaya, pembelanjaan dan konsumsi makanan telah

tergantikan dengan modernisasi. Dapat diasumsikan bahwa kemampuan

pemilihan makanan ibu rumah tangga muda akan berbeda dengan

kemampuan pemilihan makanan pada ibu rumah tangga yang telah berumur

lebih tua dan pola pembelian makanan ibu rumah tangga muda cenderung

lebih terpengaruh kepada orang tuanya. Umur ibu berpengaruh pada tipe

pemilihan konsumsi makanan di rumah dan juga pengeluaran makanannya

(Sanjur, 1982) dalam Suhardjo (1989).

Selanjutnya Hurlock (1999) dalam Ningsih (2008) menyatakan bahwa

faktor usia muda juga cenderung menjadikan seorang ibu akan lebih

memperhatikan kepentingannya sendiri dari pada kepentingan anaknya.

Kondisi yang demikian akan menyebabkan kuantitas dan kualitas

pengasuhan anak kurang terpenuhi. Sebaliknya, ibu yang lebih berumur

cenderung akan menerima peranannya dengan sepenuh hati. Hal sebaliknya

dinyatakan oleh Sunyoto (1991) dalam Arinta (2010) bahwa seseorang yang

sudah berumur maka penerimaan terhadap hal baru akan semakin rendah.

Hal ini karena orang yang termasuk dalam golongan tua memiliki

kecenderungan selalu bertahan dengan nilai-nilai lama sehingga

diperkirakan sulit menerima hal-hal yang sifatnya baru.

Penelitian Shantica (1993) di Ponorogo menyebutkan bahwa sebesar

(36)

memberikan makanan pada balitanya. Kebiasaan yang turun menurun ini

seringkali kurang sesuai dengan anjuran makanan sehat bagi balita.

Penelitian Susenas (1986) dalam Alibbirwin (2001) menunjukkan ada

hubungan antara umur ibu dengan status gizi balita. Pada hasil tersebut

terlihat bahwa balita yang ibunya berumur 20-35 tahun memiliki status gizi

yang baik. Status gizi balita salah satunya dipengaruhi oleh konsumsi

makanan yang adekuat. Kusin dan Kardjati (1985) menyatakan bahwa salah

satu hal yang berhubungan dengan penyimpangan pertumbuhan dan kurang

gizi pada anak adalah kurang cukupnya konsumsi makanan yang diterima

oleh anak.

Berdasarkan penelitian Sanjur (1982) dalam Suhardjo (1989).

menunjukkan hubungan yang nyata antara umur ibu dengan konsumsi

energi dan protein pada anak. Sedangkan dalam penelitian Handayani,

didapatkan hasil bahwa semakin tua umur ibu balita maka proporsi balita

yang mengalami gizi kurang semakin kecil. Dan menurut Sampoerno dan

Azwar (1987), seorang wanita muda akan cenderung mengalami kesulitan

dalam merawat anak atau balitanya dikarenakan kurang pengalaman dalam

hal merawat atau mengasuh anak dan dalam memberikan asupan makanan

yang baik untuk balita sehingga dapat menyebabkan anak atau balita

menderita KEP. Sebaliknya menurut Soeprono (1982) dalam Mahliawati

(2010), seorang wanita yang sudah berumur memiliki kemunduran fungsi

(37)

mengasuh anak dan dalam memberikan asupan makanan yang baik bagi

anak.

2.2.2 Umur Balita

Umur ialah masa hidup responden dalam tahun dengan pembulatan

kebawah atau umur pada ulang tahun terakhir (Depkes, 2008). Masalah gizi

dapat terjadi pada seluruh kelompok umur, bahkan masalah gizi pada suatu

kelompok umur tertentu akan mempengaruhi status gizi pada periode siklus

kehidupan berikutnya (intergenerational impact) (Azwar, 2004 dalam Rizki,

2011). Salah satu faktor utama yang mempengaruhi asupan makanan adalah

karakteristik individu yaitu umur, jenis kelamin, jenis pekerjaan, lama

bekerja, pendidikan dan pengetahuan gizi (Suhardjo, 1989).

Umur merupakan faktor gizi internal yang menentukan kebutuhan gizi,

sehingga umur berkaitan erat dengan status gizi balita (Apriadji, 1986).

Hasil beberapa penelitian menemukan bahwa pada umur dibawah 6 bulan

kebanyakan bayi masih dalam keadaan status gizi baik, sedangkan pada

golongan umur setelah 6 bulan jumlah bayi yang berstatus gizi baik

menurun sampai 50% (Soekirman, 2000). Prevalensi KEP ditemukan pada

usia balita, kebutuhan gizi pada usia tersebut meningkat sedangkan ASI

sudah tidak mencukupi, disamping makanan sapihan tidak diberikan dalam

jumlah dan frekuensi yang cukup serta adanya diare karena kontaminasi

pada makanan yang diberikan (Abunain, 1979 dalam Mulyanawati, 2002).

Setelah anak umur satu tahun, pertumbuhannya berjalan sangat pesat

(38)

kehidupan masa antara umur satu tahun hingga remaja pertumbuhan

fisiknya tidak terlalu cepat. Dalam masa ini, kebutuhan anak balita akan zat

gizi harus tetap diperhatikan. Anak balita sangat membutuhkan asupan

protein dan energi yang adekuat untuk proses pertumbuhan dan

perkembangan (King, et al., 1972 dalam Anggraini, 2012). Pada umur balita

sangat rentan mengalami masalah gizi terutama umur 2 tahun, karena

asupan energi dan protein pada masa ini cukup sedikit. Dalam umur ini

terjadi peningkatan berat badan yang lambat bahkan penurunan berat badan

pada beberapa anak (Jelliffe, 1969 dalam Supariasa, 2002).

Hasil penelitian Kunanto (1992), menunjukkan bahwa ada hubungan

antara umur balita dengan status gizi. Hal ini berkaitan dengan menurunnya

perhatian orang tua anak tersebut, yang mungkin disebabkan oleh adanya

anak yang lebih muda (Adik) atau kesibukan orangtua anak tersebut.

Sedangkan hasil penelitian Sari, dkk (2003), didapatkan bahwa balita usia

25 bulan sampai 36 bulan lebih banyak mengalami gizi kurang di banding

dengan usia dibawah 24 bulan.

Faktor umur banyak terkait dengan masalah pertumbuhan dan aktivitas

anak. Periode pertumbuhan yang sangat cepat terjadi pada bayi dan awal

balita. Pada usia 6-12 bulan percepatan pertumbuhan yang sangat cepat

terjadi pada bayi dan awal balita. Pada usia 6-12 bulan percepatan

pertumbuhan berat badan rata-rata 0,4 kg/bulan dan 13-23 bulan

(39)

Semakin tua usia anak maka semakin baik status gizinya pada kelompok

yang diberi ASI. KEP tertinggi juga ditemukan pada kelompok anak usia 1

tahun yang mulai di sapih (Suhardjo, 1989). Menurut Notoatmodjo (2003),

anak balita merupakan kelompok umur yang rawan gizi dan penyakit,

dikarenakan beberapa anggapan bahwa balita baru berada dalam masa

transisi dari makanan bayi ke makanan orang dewasa, biasanya balita juga

sudah mempunyai adik atau ibu yang sudah bekerja penuh sehingga

perhatian ibu sudah berkurang. Selain itu anak balita belum dapat mengurus

dirinya sendiri, termasuk dalam pemilihan makanan.

Menurut Ruslina (2000) yang menyatakan pada anak umur 0-12 bulan

tidak terjadi KEP karena pada umur tersebut pemberian ASI saja sudah

dapat mencukupi seluruh kebutuhan bayi sampai usia 6 bulan, kemudian

setelah usia 6 bulan sampai 12 bulan ASI dapat memenuhi kebutuhan bayi

sebanyak 60-70%, karena itu pada usia 6-12 bulan bayi sudah perlu

diberikan makanan pendamping ASI, dengan demikian terdapat

kecenderungan bahwa semakin tinggi umur balita maka semakin besar

peluang untuk mengalami kurang asupan energi dan protein.

2.2.3 Status Bekerja Ibu

Menurut Djaeni (2000), pekerjaan adalah mata pencaharian apa yang

dijadikan pokok kehidupan, sesuatu yang dilakukan untuk mendapatkan

nafkah. Lamanya seseorang bekerja sehari-hari pada umumnya 6-8 jam (sisa

16-18 jam) dipergunakan untuk kehidupan dalam keluarga, masyarakat,

(40)

bekerja dengan baik selama 40-50 jam. Ini dapat dibuat 5-6 hari kerja dalam

seminggu, sesuai dengan pasal 12 ayat 1 Undang-undang tenaga kerja No.

14 Tahun 1986.

Bertambah luasnya lapangan kerja, semakin mendorong banyaknya kaum

wanita yang bekerja terutama di sector swasta. Di satu sisi hal ini

berdampak positif bagi pertambahan pendapatan, namun di sisi lain

berdampak negative terhadap pembinaan dan pemeliharaan anak. Perhatian

terhadap pemberian makan pada anak yang kurang dapat menyebabkan anak

menderita kurang gizi, yang selanjutnya berpengaruh buruk terhadap

tumbuh kembang anak dan perkembangan otak mereka. Beban kerja yang

berat pada ibu yang melakukan peran ganda dan beragam akan dapat

mempengaruhi status kesehatan ibu dan status gizi balitanya (Mulyati, 1990

dalam Hermansyah, 2010).

Pada dasarnya hal ini dapat dikurangi dengan merubah pembagian kerja

dalam rumah tangga. Anak balita merupakan kelompok umur yang paling

sering menderita kekurangan energi dan protein (KEP). Beberapa kondisi

yang merugikan dalam penyediaan makan bagi kebutuhan balita, anak balita

masih dalam periode transisi dari makanan bayi ke orang dewasa, jadi balita

masih perlu beradaptasi. Anak balita belum dapat mengurus diri sendiri

dengan baik dan belum dapat berusaha mendapatkan sendiri apa yang

dibutuhkan dalam makanannya (Djaeni, 2000).

Dalam hal mengasuh anak, ibu adalah orang yang paling banyak terlibat

(41)

peranan wanita atau ibu rumah tangga sangat erat kaitannya dengan status

gizi anak, Karena meningkatnya kesempatan kerja wanita dapat mengurangi

waktu untuk pemeliharaan anak (Mutmainah, 1996). Ibu yang bekerja

diluar rumah mempunyai kecenderungan menyerahkan pemberian makanan

untuk balitanya dengan orang lain, misalnya kepada orang tua, pembantu

atau titip dengan tetangga, sehingga pemberian asupan makanan balita tidak

dapat dipantau dengan baik. Kemampuan dalam memberikan asupan gizi

balita merupakan sesuatu yang ditampilkan ibu dalam upaya memenuhi

kecukupan gizi balita. Penyediaan makanan bagi keluarga pada umumnya

merupakan tugas seorang ibu (Sediaoetama, 2004). Ibu mempunyai peranan

yang penting dalam memberikan asupan gizi pada balitanya. Kecukupan

gizi sangat diperlukan untuk pertumbuhan otak terutama pada masa balita,

sehingga ibu diharapkan memiliki kemampuan yang baik dalam

memberikan asupan gizi untuk balita (Depkes RI, 2000).

Kunanto (1992) dalam Hatril (2001) menjelaskan bahwa mata

pencaharian yang relative tetap meskipun rendah jumlahnya akan

memberikan jaminan sosial keluarga yang relative lebih aman dibandingkan

dengan pekerjaan yang tidak tetap. Selanjutnya dengan penghasilan yang

memadai akan memudahkan dalam mengelola pengeluaran untuk pangan

yang beranekaragam dan sesuai dengan menurut kebutuhan keluarga.

Anak balita merupakan kelompok umur yang paling sering menderita

kekurangan energi dan protein (KEP). Beberapa kondisi yang merugikan

(42)

periode transisi dari makanan bayi ke orang dewasa, jadi balita masih perlu

beradaptasi. Anak balita belum dapat mengurus diri sendiri dengan baik dan

belum dapat berusaha mendapatkan sendiri apa yang dibutuhkan dalam

makanannya (Djaeni, 2000).

Dampak dari pekerjaan ibu menurut beberapa studi mengemukakan

bahwa selain berkontribusi terhadap pendapatan keluarga, status pekerjaan

ibu berdampak pada keadaan gizi dan kesehatan keluarga yaitu ditunjukkan

dengan adanya perubahan dalam praktek konsumsi makanan keluarga

(Sanjur, 1982) dalam Suhardjo (1989). Dampak ini akan jelas terlihat pada

anak-anak kecil yang berada dalam suatu keluarga dengan status pekerjaan

ibu. Ibu yang bekerja di luar rumah, maka akan menyerahkan segala

perawatan balitanya kepada orang yang mengasuhnya (keluarga, tempat

penitipan anak) termasuk juga mengenai pola makanan sehari-harinya.

Mereka merupakan orang yang penting pada saat ibu bekerja di luar rumah.

Pengganti orang ini belum tentu mengerti dan mempunyai pengetahuan

yang cukup tentang kebutuhan gizi yang diperlukan untuk anak balita

sehingga akan mempengaruhi status gizi anak balita tersebut (Bumi, 2005).

Pekerjaan termasuk ke dalam salah satu sumber pendapatan keluarga,

dengan adanya pekerjaan tetap dalam suatu keluarga, maka keluarga

tersebut relatif terjamin pendapatannya setiap bulan. Jika keluarga tidak

memiliki pekerjaan tetap, maka pendapatan keluarga setiap bulannya juga

tidak dapat dipastikan. Buruh merupakan kelompok pekerjaan dengan

(43)

Beeby (1982) dalam Hatril (2001) mengemukakan bahwa pekerjaan

ditentukan oleh pendidikan. Semakin tinggi tingkat pendidikan terdapat

kecenderungn untuk mendapatkan pekerjaan yang lebih baik dan

berpenghasilan tetap. Status bekerja ibu merupakan karakteristik ekonomi

yang berhubungan dengan pendapatan. Ibu meninggalkan rumah untuk

bekerja memiliki masalah yang berkaitan dengan siapa yang memberikan

pelayanan di rumah termasuk siapa yang mengasuh balita. Soekirman, dkk

(2000) menyatakan bahwa meningkatnya kesempatan kerja wanita dapat

mengurangi waktu untuk tugas merawat anak dan memberikan asupan

makanan yang sesuai kebutuhan. Dalam mengasuh anak, ibu adalah orang

yang paling banyak terlibat sehingga pengaruhnya sangat besar bagi

perkembangan balita. Peran sebagai wanita karir dan ibu rumah tangga

sangat erat kaitannya dengan status gizi anak. Menurut Harahap (1992)

dalam Handayani (2012), mengemukakan bahwa salah satu dampak

negative yang ditimbulkan sebagai akibat bekerjanya ibu di luar rumah

adalah ketelantaran balita, sebab anak balita bergantung pada pengasuhnya.

2.2.4 Pengetahuan Gizi Ibu

Pengetahuan merupakan hasil dari tahu dan terjadi sesudah orang

melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu, pengetahuan

merupakan faktor yang sangat penting dalam membentuk tindakan

seseorang. Berdasarkan penelitian terbukti bahwa perilaku yang didasari

(44)

Pengukuran pengetahuan dilakukan dengan cara wawancara terstruktur

dengan kuisioner. Aspek-aspek dalam pengetahuan gizi yaitu; a) pangan dan

gizi (pengertian, jenis, fungsi, sumber, akibat kekurangan), b) pangan gizi

bayi (ASI, MP-ASI, umur pemberian, jenis), c) pangan/gizi balita, d)

pangan/gizi ibu hamil, e) pertumbuhan anak, f) kesehatan anak, g)

pengetahuan tentang pengasuhan anak. Kategori pengetahuan gizi bisa

dibagi dalam 3 kelompok yaitu baik, sedang, kurang. Cara pengkategorian

dilakukan dengan cut off points dari skor yang sudah dijadikan persen, yaitu

baik dengan skor >80% jawaban benar, sedang dengan skor 60-80%

jawaban benar, dan kurang dengan skor < 60% jawaban benar

(Khomsan,2004).

Hasil penelitian Syahbudin (2002) di puskesmas Munjul Kecamatan

Majalengka mengatakan bahwa meskipun pengetahuan ibu bukan

merupakan faktor penyebab langsung terjadinya gizi kurang namun terbukti

bahwa pengetahuan ibu tentang gizi ada hubungan bermakna dengan

terjadinya gizi kurang pada balita. Hasil penelitian Mulyaningsih (2007) di

Kecamatan Cilincing Kabupaten Bandung menunjukkan bahwa terdapat

kecenderungan proporsi ibu yang mempunyai pengetahuan kurang memiliki

anak gizi kurang lebih tinggi yaitu 36,1% dibanding ibu yang memiliki

pengetahuan baik (28,6%).

2.2.5 Pendidikan Ibu

Pendidikan merupakan suatu proses penyampaian bahan materi

(45)

pendidikan orang dewasa adalah perubahan kemampuan, penampilan atau

perilakunya. (Notoatmodjo,2007). Menurut Depdiknas (2001), pendidikan

adalah proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok

orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan

pelatihan.

Latar belakang pendidikan orang tua baik kepala keluarga maupun istri

merupakan salah satu unsur penting dalam hal ikut menetukan keadaan gizi

anak. Hubungan positif antara tingkat pendidikan orang tua dengan keadaan

gizi telah banyak diungkapkan oleh para peneliti. Pada masyarakat dengan

rata-rata pendidikan rendah, menunjukkan prevalensi gizi kurang yang

tinggi dan sebaliknya pada masyarakat yang tingkat pendidikannya cukup

tinggi prevalensi gizi kurangnya rendah (Abunain, 1998 dalam Soekirman,

2000).

Sedangkan menurut Notoatmodjo (2007), pendidikan adalah suatu proses

penyampaian bahan, materi pendidikan kepada sasaran pendidikan guna

perubahan tingkah laku. Hasil pendidikan orang dewasa adalah perubahan

kemampuan, penampilan atau perilakunya. Sehingga dapat dikatakan bahwa

makin tinggi tingkat pendidikan, maka makin banyak pengalaman atau

informasi yang diperoleh. Ibu yang berpendidikan rendah biasanya apatis

terhadap hal-hal baru, sehingga merupakan kendala besar untuk

meningkatkan kesehatannya. Pendidikan yang rendah juga berpengaruh

kepada pola konsumsi gizi keluarga sehingga mempengaruhi berat lahir dan

(46)

Pendidikan bertujuan memberikan pengetahuan kepada keluarga,

khususnya kaum perempuan tentang gizi seimbang, memantau berat badan

balita, pengasuhan balita yang benar, serta mendorong pola hidup sehat

lainnya (Soekirman dalam Siswono, 2007).

Rendahnya pendidikan orangtua khususnya ibu merupakan penyebab

mendasar terpenting yang mempengaruhi tingkat kemampuan individu,

keluarga dan masyarakat dalam mengelola sumberdaya yang ada untuk

mendapatkan kecukupan bahan makanan serta sejauh mana sarana

pelayanan kesehatan gizi dan sanitasi lingkungan yang tersedia

dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya (Depkes RI, 2005).

Pendidikan ibu menjadi dasar yang penting bagi keluarga karena dengan

semakin tinggi pendidikan maka lebih memudahkan untuk beradaptasi

dengan kemajuan pengetahuan dan teknologi dan mempengaruhi pula

produktivitas dan kesejahteraan keluarga. Pendidikan baik secara langsung

maupun tidak langsung mempengaruhi pengetahuan gizi (Surbakti, 1989).

Hal ini terlihat dari pengetahuan ibu tentang memilih bahan makanan yang

bernilai gizi baik dan tentang cara memperlakukan bahan pangan dalam

pengolahan sangat mempengaruhi status gizi balita (Khumaidi, 1994).

Menurut Hidayat (1989), tingkat pendidikan akan mempengaruhi

konsumsi pangan melalui cara pemilihan bahan pangan. Orang yang

berpendidikan lebih tinggi akan cenderung memilih bahan makanan yang

lebih baik dalam kualitas maupun kuantitas. Makin tinggi pendidikan orang

(47)

Faktor tingkat pendidikan turut pula menentukan mudah tidaknya

seseorang menyerap dan memahami pengetahuan gizi yang meraka peroleh

(Apriadji,1986 dalam Nuraeni, 2008). Setiap kenaikan satu tahun

pendidikan ibu mempunyai efek proteksi memperkecil risiko terjadinya

KEP pada balita sebesar 0,89 kali. Pendidikan ibu merupakan faktor tidak

langsung yang mempengaruhi status gizi (Amos,2000).

Hasil penelitian Mulyaningsih (2007) di Kecamatan Cililin Kabupaten

Bandung bahwa terdapat kecenderungan pada ibu yang berpendidikan

rendah mempunyai anak dengan status gizi kurang lebih tinggi (33,7%)

dibanding dengan ibu yang berpendidikan tinggi dengan anak gizi kurang

(28,6%) dan terdapat kecenderungan positif antara pendidikan ibu dengan

asupan protein. Sedangkan menurut hasil penelitian Riyadi, dkk (2011) di

wilayah Nusa Tenggara Timur, menunjukkan bahwa pendidikan ibu yang

relative tinggi dapat meningkatkan pengetahuan gizi serta praktek gizi dan

kesehatan, yang secara tidak langsung memperbaiki kebiasaan makan anak,

yang pada akhirnya meningkatkan konsumsi energi dan protein balita.

Semakin tinggi pendidikan ibu diikuti oleh semakin mudahnya akses ibu

untuk memperoleh informasi gizi dan kesehatan, sehingga berhubungan

positif terhadap peningkatan konsumsi energi dan protein balita.

Tingkat pendidikan dan intelegensi ibu yang tinggi dapat bertindak

sebagai faktor protektif yang mengurangi keadaan gizi kurang dalam awal

usia anak-anak terhadap perkembangan anak. Sebaliknya, kondisi gizi yang

(48)

perkembangan anak jika ibunya buta huruf atau mempunyai pendidikan

yang rendah (Gibney JM, 2009).

Pada penelitian Fikar (2003) di Padang, menunjukkan terdapat hubungan

yang bermakna antara pendidikan ibu dengan KEP pada anak dimana ibu

yang berpendidikan rendah berisiko KEP pada anaknya 4,07 kali lebih besar

dibanding dengan ibu yang berpendidikan tinggi (p<0,05; 95%CI;

2,262-7,308).

Pendidikan ibu dapat memperbaiki cara penggunaan sumber daya

keluarga dan memberi dampak positif terhadap taraf gizi keluarga.

Pendidikan ibu akan menentukan pemilihan bahan makanan yang

dikonsumsi. Ibu yang memiliki pendidikan tinggi lebih sedikit dipengaruhi

oleh praktek-praktek tradisional yang merugikan kualitas dan kuantitas

makanan untuk dikonsumsi keluarga setiap harinya (Schultz et.al, 1984

dalam Ichwanudin,2002).

Selanjutnya rendahnya tingkat pendidikan dapat menyebabkan rendahnya

pemahaman terhadap apa yang dibutuhkan pada pengasuh demi

perkembangan optimal anak (Mutmainah, 1996). Hal ini terlihat dari

pengetahuan ibu tentang memilih bahan makanan yang bernilai gizi baik

dan tentang cara memperlakukan bahan pangan dalam pengolahan sangat

mempengaruhi status gizi balita (Khumaidi, 1994). Menurut Jus‟at (1992)

dalam Handayani (2012), bahwa tingkat pendidikan ibu sangat berperan

terhadap pola asuh anak, alokasi masukan zat gizi serta utilisasi informasi

Gambar

Tabel 2.1 Angka Kecukupan Gizi Rata-Rata Yang Dianjurkan(Per Orang Per Hari)
Gambar 2.1 Faktor Penyebab Timbulnya Masalah Gizi
Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Konsumsi Makanan Gambar 2.2
Model Konsumsi Makanan Gambar 2.3
+7

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan pembahasan Laporan Kerja Praktik (LKP) yang telah di uraikan pada bab sebelumnya tentang mekanisme penyelesaian pembiayaan murabahah Griya iB Hasanah bermasalah

Kedua, sumber lain: Pemerintah (BOS, BOS Buku, DOP), donatur warga Muhammadiyah, hasil layanan antar jemput, catering, dan seragam.. Sekolah ini melaksanakan manajemen keuangan dan

melakukan penelitian tentang “ Pengembangan Multimedia Video Pembuatan Fly Zipper Closing pada Pantalon Pria” , sebagai sarana untuk menyampaikan materi. dan

Puji syukur Alhamdulillah penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah banyak mengkaruniakan nikmat-Nya yang tak terhitung, salah satunya penulis dapat

Dengan pertimbangan hati-hati apakah perubahan itu diperlukan untuk memindahkan organisasi dari kondisi saat ini ke keadaan yang diinginkan, apakah atau

Mengetahui besarnya pengaruh keyakinan akan manfaat merek produk, keyakinan akan image merek produk dan sikap konsumen terhadap iklan pada pembentukan sikap konsumen terhadap

Kegiatan ini dilakukan guna memberikan pengetahuan kepada mahasiswa tentang tugas-tugas dan tanggung jawab yang harus dilaksanakan selama kegiatan PPL berlangsung

Pada hari Senin tanggal 08 Oktober 2012 , kami Panitia Pengadaan Barang dan Jasa yang diangkat berdasarkan Surat Keputusan Dinas Bina Marga dan Pengairan Kab. 719- BM.Air/2012