• Tidak ada hasil yang ditemukan

Republik Islam Iran : studi atas theo-demokrasi pascarevolusi 1979-2005

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Republik Islam Iran : studi atas theo-demokrasi pascarevolusi 1979-2005"

Copied!
80
0
0

Teks penuh

(1)

REPUBLIK ISLAM IRAN

Studi atas Theo-Demokrasi Pascarevolusi 1979-2005

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Sosial (S.Sos.)

Disusun Oleh:

IRNANINGSIH

NIM: 103033227788

PROGRAM STUDI PEMIKIRAN POLITIK ISLAM

FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

(2)

REPUBLIK ISLAM IRAN

Studi atas Theo-Demokrasi Pascarevolusi 1979-2005

Skripsi

Diajukan Kepada Fakultas Ushuluddin dan Filsafat

Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Sosial (S.Sos.)

Oleh:

Irnaningsih

NIM: 103033227788

Di Bawah Bimbingan

Drs. Agus Nugraha, MA

NIP. 150 299478

PROGRAM STUDI PEMIKIRAN POLITIK ISLAM FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT

UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

(3)

PENGESAHAN PANITIA UJIAN

Skripsi berjudul ”Republik Islam Iran, Studi atas Theo-Demokrasi Pascarevolusi 1979-2005” telah diujikan dalam sidang munaqasyah Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada hari kamis, tanggal

27 Maret 2008. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk

memperoleh gelar Sarjana Sosial (S.Sos.) pada Program Studi Pemikiran Politik

Islam.

Jakarta, 27 Maret 2008

Sidang Munaqasyah

Ketua Merangkap Anggota, Sekretaris Merangkap Anggota,

Drs. Agus Darmaji, M.Fils. Dra. Wiwi Siti Sajaroh, MA.

NIP. 150 262447 NIP. 150 270808

Anggota

Penguji I Penguji II

Nawiruddin, MA. Dr. Sirajuddin Aly, MA.

NIP. 150 317965 NIP. 150 318684

Pembimbing

(4)

KATA PENGANTAR

Puji syukur yang tidak terhingga penulis haturkan kehadirat Allah swt,

yang telah melimpahkan segala rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat

menyelesaikan skripsi ini. Salawat dan salam semoga senantiasa tercurah kepada

Nabi Muhammad saw, segenap keluarganya dan para sahabatnya yang telah

membawa umat kepada Islam.

Selama proses penyusunan skripsi ini, tidak sedikit kesulitan dan

hambatan yang dilalui penulis. Namun berkat doa dan motivasi serta

kesungguhan, maka semua kesulitan dan hambatan tersebut dapat diatasi dengan

baik. Penulis menyadari sepenuhnya atas dukungan dan bimbingan berbagai

pihak, baik secara moril maupun materil. Oleh karena itu, penulis mengucapkan

terima kasih kepada:

1. Bapak Dr. M Amin Nurdin, MA. sebagai dekan Fakultas Ushuluddin dan

Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Bapak Drs. Agus Darmaji M.Fils. dan Ibu Dra. Wiwi Siti Sajaroh, M.Ag.

selaku ketua dan sekretaris Program Studi Pemikiran Politik Islam Fakultas

Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Bapak Drs. Agus Nugraha, MA selaku Pembimbing Akademik yang telah

memberikan nutrisi intelektual dan motivasi untuk segera menyelesaikan skripsi.

4. Bapak dan Ibu dosen di Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, yang telah banyak

memberikan ilmu pengetahuan bagi penulis.

5. Kepala pimpinan dan staf perpustakaan utama UIN Syarif Hidayatullah

Jakarta, perpustakaan Ushuluddin dan Filafat, perpustakaan Iranian Corner,

(5)

Universitas Indonesia, perpustakaan CSIS, dan perpustakaan Islamic Culture

Center (khususnya ka Fatimah) yang telah memberikan kemudahan bagi penulis

dalam meminjam dan mengakses referensi.

6. Penghargaan yang tulus dan ikhlas kepada orang tua tercinta (I love u), dengan

kesabarannya memberikan dukungan moril dan materil yang sangat berharga.

Serta kakakku Wandy yang memotivasi agar cepat selesai dan adikku Isna

(pemanis keluarga) yang membantu menerjemahkan artikel.

7. Teman-teman PPI A dan PPI B angkatan 2003; khususnya Lynda (akhirnya

selesai juga); Khilda, Rizki, mba Muti (yang lulus terlebih dahulu); Baiti

(semangat terus ya!) dan semuanya yang tidak bisa disebutkan satu per satu, telah

membuat hidup jadi penuh warna dalam pemikiran politik Islam.

8. Terakhir tetapi yang utama, Adi Gunawan yang telah membelikan komputer

untuk memudahkan penulis dalam membuat skripsi. Sekali lagi, thank’s your

support and trust me.

Penulis berdoa, semoga bantuan dari berbagai pihak tersebut diterima

Allah swt sebagai amal saleh dan mendapat balasan dari-Nya, Amin.

Bogor, 29 Februari 2008

(6)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR………... i

DAFTAR ISI……….... iii

TRANSLITERASI... v

BAB I PENDAHULUAN... 1

A. Latar Belakang Masalah ………... 1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ...………... 7

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian .………... 7

D. Metode Penelitian ………... 8

E. Studi Kepustakaan………... 8

F. Sistematika Penulisan ... 9

BAB II PENDEKATAN KONSEPTUAL TENTANG DEMOKRASI... 11

A. Makna dan Batasan Demokrasi …... 11

B. Demokrasi dalam Perspektif Barat .…... 15

C. Demokrasi dalam Perspektif Islam ..………... 19

BAB III LEMBAGA-LEMBAGA NEGARA MENURUT KONSTITUSI REPUBLIK ISLAM IRAN... 28

A. Wil âyah al-Faqih ………... 28

B. Leg islatif………... 35

C. Eks ekutif………... 37

D. Yu dikatif………... 40

(7)

A. Partisipasi Masyarakat ………... 44

B. Pemilihan Umum ………....………... 49

C. Hak Wanita dan Minoritas ………... 56

D. Kebebasan pers………... 61

BAB V PENUTUP... 65

Kesimpulan………...…………... 65

DAFTAR PUSTAKA………...………... 67

(8)

PEDOMAN TRANSLITERASI

Arab Latin Arab Latin Arab Latin

ا = ض = d

ب = b ط = t لا = al

ت = t ظ = z = a

ث = ts ع = = i

ج = j غ = gh = u

ح = h ف = f

خ = kh ق = q Vokal Panjang

د = d ك = k ﺎــــ = â

ذ = dz ل = l ْﻲـــ = î

ر = r م = m ْﻮــــ = û

ز = z ن = n Diftong

س = s و = w ﻮــــ = aw

ش = sy ـه = h ﻲــــ = ay

ء = ’

(9)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Sebelum terjadinya revolusi Islam di Iran, ada empat dinasti besar yang

berkuasa, yaitu Dinasti Safawi (1501-1750), Dinasti Zand (1750-1779), Dinasti

Qajar (1785-1925), dan Dinasti Pahlevi (1925-1979). Dinasti Safawi merupakan

peletak dasar bagi suatu negara Persia modern dengan salah satu rajanya yang

termasyur yaitu Raja Ismail Safawi. Pada masa ini pula untuk pertama kalinya

mazhab Syi’ah Itsna ‘Asyariyah (Syi’ah Duabelas Imam) menjadi dasar resmi

negara. Kekuasaan dinasti ini berakhir pada 1722 dan digantikan dengan Dinasti

Zand yang berakhir 1779. Kemudian digantikan lagi oleh Dinasti Qajar, dan

terjadi revolusi konstitusional oleh aliansi para pedagang, ulama, dan intelektual

yang menuntut dibentuknya suatu parlemen (majelis) untuk menghubungkan

rakyat dengan raja. Dinasti Qajar ini pun runtuh pada 1925 yang disebabkan

beberapa faktor seperti lemahnya pemerintahan pusat, terjadinya pemberontakan

lokal, terjadinya Perang Dunia I dan menguatnya pengaruh Inggris di Iran. Setelah

Dinasti Qajar runtuh berdirilah Dinasti Pahlevi, yang disinyalir merupakan

rekayasa Amerika serikat dan Inggris. Reza Syah sebagai rajanya merebut

kekuasaan dari perdana menteri pada waktu itu yaitu Zia ed-Din Tatabai. Pada 17

Desember 1941, Mohammad Reza Pahlevi (anak Reza Syah) naik tahta dan

menjadi shah Iran terakhir.1

1

Riza M Sihbudi, Biografi Politik Imam Khomeini (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama

(10)

Hilangnya kekuasaan Reza Pahlevi karena kebijakan-kebijakan yang

diambil olehnya seringkali mendapat kecaman dari masyarakat dan tokoh ulama

Iran termasuk Khomeini (seorang ulama yang sangat populer dan berkharisma di

Iran). Pada 1963-1964 Ayatullah Khomeini dan beberapa tokoh agama lainnya

memimpin demonstrasi menentang kebijakan Revolusi Putih yang digulirkan oleh

Reza Pahlevi. Awal kejatuhan Syah Pahlevi adalah ketika ayatullah Khomeini

difitnah oleh Menteri Penerangan Darius Hamayan melalui surat kabar Ettla'at

pada Januari 1978 yang menyatakan bahwa Khomeini dibayar oleh dinas rahasia

Inggris untuk melawan Rezim Syah. Pernyataan tersebut menyulut demonstrasi

besar-besaran di Teheran selama dua hari. Kemudian tanggal 8 September Syah

memaklumatkan Undang-Undang Darurat perang selama 6 bulan yang ditentang

oleh pihak oposisi dengan menewaskan 4000 orang. Keadaan Iran yang semakin

memburuk memaksa Syah Pahlevi untuk meninggalkan Iran pada Januari 1979.

Pada 1 Februari 1979 Khomeini kembali ke Iran dari tempat pembuangannya,

Perancis.2 Kenyataan itu membuat ulama-ulama Iran dan generasi-generasi

mudanya ingin merubah kearah masyarakat yang lebih baik, maka dibentuklah

Republik Islam Iran berdasarkan referendum. Dari para pemilih, 98,2 % memilih

Republik Islam.3

Menurut Michael Adams, pascarevolusi 1979, Iran secara bertahap mampu

mengembangkan demokrasi, perubahan politik secara radikal yang terjadi pada

tahun tersebut menandai berakhirnya sebuah rezim otoriter sekuler. Sedangkan

menurut John L Esposito, demokrasi yang berkembang di Iran bukanlah berdasar

2

Imam Khomeini,” dalam John L Esposito, ed., Ensiklopedi Oxford, Vol.I (Bandung: Mizan, 2001), h. 340.

3

(11)

pada kedaulatan rakyat secara penuh, melainkan kedaulatan rakyat yang tunduk

pada hukum Tuhan melalui fuqahâ (para ahli hukum Islam). Kedaulatan rakyat

yang dibimbing dan diarahkan para ahli agama.4

Republik Islam Iran buatan Ayatullah Khomeini yang berdiri sampai

sekarang merupakan penggabungan antara demokrasi dan teokrasi. Hal ini tidak

terlepas dari peran Syi’ah yang merupakan mazhab resmi negara khususnya

Syi’ah Imam Duabelas. Doktrin Syi’ah mengajarkan; jika tidak ada penguasa

yang adil (Imam ke Duabelas) maka masyarakat muslim dibimbing oleh hukum

Islam.

Sebagian besar literatur tentang demokrasi menegaskan beragamnya

konsep dan praktik demokrasi. Ini untuk mengatakan bahwa konsep dan praktik

demokrasi sebenarnya tidak tunggal. Unsur-unsur dasar itu dipengaruhi, dibentuk,

dan diperkaya oleh kultur dan struktur yang ada. Dengan kata lain, konsep dan

praktik demokrasi digerakkan oleh konstruk sosiologis dan budaya masyarakat

setempat. Dalam setiap negara manapun, nilai-nilai demokrasi akan berkembang

sesuai dengan bangunan sosial-budaya masyarakatnya.

Demokrasi di Iran merupakan demokrasi "Islam". Karena uniknya

menggabungkan kedaulatan masyarakat di tangan presiden dan kedaulatan Tuhan

di tangan faqih5. Seperti yang telah disebutkan di atas, kita harus mengakui bahwa

setiap demokrasi akan tumbuh dan berkembang sesuai dengan kultur dan kondisi

negara yang bersangkutan.

4

John L Esposito dan John O Voll, Demokrasi di Negara-Negara Muslim: Problem dan Prospek, terj Rahmani Astuti (Bandung: Mizan, 1999), h. 81.

5

(12)

Ciri-ciri demokrasi seperti yang dipraktikkan di Inggris dan Amerika yang

menekankan pemilu multipartai, pasar bebas dan hak-hak individu, sering

diperlakukan sebagai sesuatu yang universal. Sehingga negara yang tidak

mempraktikkannya sama sekali atau mempraktikkannya tetapi dengan cara yang

lain dari Amerika, misalnya, dianggap sebagai negara yang “tidak demokratis”.

Yang menjadi permasalahan adalah apakah demokrasi ala Inggris dan Amerika

bisa diterapkan secara universal atau tidak? Bagi mereka yang tidak percaya pada

gagasan model universal berpendapat bahwa negara-negara lain dapat juga

menerapkan gaya pemerintahan yang berbeda, dengan penekanan-penekanan yang

berbeda pula tanpa dicap sebagai yang “tidak demokratis”. Mereka mengatakan

bahwa demokrasi yang berkembang di Barat lahir melalui suatu proses tertentu

dan dalam konteks masyarakat yang khas Barat. Sehingga tidak adil rasanya jika

masyarakat atau bangsa lain yang berbeda, dan mengalami kesejarahan yang

berbeda pula, dipaksa untuk menerima dan menerapkan demokrasi ala Barat. Dari

sinilah muncul persepsi demokrasi yang berbeda mengikuti perbedaan alur pikiran

manusianya berdasarkan geografis dan kondisi pluralitas masyarakatnya.6

Demokrasi yang terjadi di negara-negara penganutnya, memang berbeda.

Seperti antara Amerika dan Inggris yang merupakan negara ‘dekat’, mempunyai

demokrasi yang berbeda. Apakah Amerika dapat menjalankan standar

demokrasinya di negara-negara kawasan Timur? Iran sebelum Revolusi 1979 di

bawah kekuasaan dan pengaruh Amerika tidak lebih baik dibandingkan sekarang.

Salah satu indikasi sebuah negara dapat dikatakan demokratis adalah

dengan adanya pemilu. Bahkan, pengertian demokrasi untuk saat ini lebih dilihat

6

Ahmad Sukardja dan Ahmad Sudirman Abbas. Demokrasi Dalam Perspektif Islam

(13)

secara prosedural, yakni adanya pemilu tersebut. Di Iran terdapat pemilu, yakni

memilih presiden, parlemen, dewan faqih (Dewan Ahli), Dewan Kota dan

sebagainya. Bukan hanya itu, pembentukan konstitusi dan negara setelah

terjadinya Revolusi 1979 ditentukan dengan referendum, mengajak masyarakat

untuk berpartisipasi dalam politik. Namun, bagaimana demokrasi yang berkaitan

dengan hak wanita, kaum minoritas serta kebebasan pers. Apakah demokratis?

Partisipasi ulama atau peran mullah (sebutan untuk ulama) di Iran bisa

terbilang besar karena otoritas tinggi berada pada Pemimpin (rahbar)7. Ini tidak

terlepas dari paham Syi’ah karena doktrinnya (Imâmah) menganggap sebelum

datangnya Imam Mahdi maka harus ada pemimpin (adil, mengerti agama dan

berwawasan luas) yaitu mullah tersebut. Hal inilah yang terdapat dalam konsep

wilâyah al-faqih (pemerintahan ulama) di Iran.

Konstitusi Republik Islam Iran, mempunyai pranata-pranata demokrasi.

Konstitusi melengkapi sistem pemerintahan dengan badan eksekutif, legislatif,

dan yudikatif; melakukan pembagian kekuasaan dan membentuk sistem

pengawasan dan perimbangan; dan menetapkan pemilihan presiden dengan suara

mayoritas mutlak (pada 1989 konstitusi dirubah, kedudukan presiden

menggantikan perdana menteri). Dalam mukadimahnya konstitusi itu menjamin

dengan tegas “menolak segala bentuk tirani intelektual dan sosial serta monopoli

ekonomi, dan mempercayakan nasib rakyat ke tangan rakyat itu sendiri.” Dan

dalam pasal-pasal tertentu, konstitusi menegaskan pentingnya opini rakyat dan

pemilihan umum.8 Seperti yang terdapat pada pasal 6, pasal 27, pasal 59, pasal 62,

pasal 64, dan sebagainya.

7

Artinya pemimpin tertinggi di Iran. Rahbar dalam bahasa Persia berarti Pemimpin Besar.

8

(14)

Republik Islam Iran tetap menjadi lambang penting bagi Islam

revolusioner, dan menjelang pertengahan 1990-an, setelah berlangsung lebih dari

satu setengah dasawarsa, pengalaman dan contoh darinya dapat dijadikan studi

kasus mengenai Islam politis moderen dalam praktiknya. Jelas bahwa Iran

mewakili eksperimen penting dalam upaya menciptakan negara agama yang

modern. Struktur yang dibangunnya tidak sama dengan pola-pola praktik

demokrasi sebagaimana dikembangkan dalam masyarakat Barat. Sistem politik

Iran merupakan perpaduan antara aturan Islam dan partisipasi politik rakyat yang

penuh perdebatan dengan cara yang mencerminkan isu penting menyangkut

hubungan Islam dan demokrasi.9

Pemerintahan di Iran, diwarnai dengan naik dan turunnya kekuasaan

antarfaksi atau kelompok. Pemilu yang berkala pascarevolusi 1979 sampai

sekarang, adanya pembagian kekuasaan, partisipasi wanita dalam politik yang

semakin luas, kebebasan pers yang lebih baik dibandingkan dengan sebelum

revolusi 1979, partisipasi masyarakat serta perubahan-perubahan kearah yang

lebih baik. Apakah dapat dijadikan bukti bahwa Iran mampu menghidupkan

demokrasi.

Persoalan Islam dan demokrasi merupakan salah satu permasalahan utama

yang sedang berlaku dirata-rata negara Islam. Demokrasi yang dianggap satu

produk Barat yang paling laris di dunia, kini menjadi pilihan utama

“pembeli-pembeli” termasuk umat Islam. Penerimaan umat Islam terhadap demokrasi telah

9

(15)

menimbulkan satu fenomena besar dunia sekaligus telah memperkenalkan wacana

tentang Islam dan demokrasi.10

Dengan adanya fenomena demokrasi di Iran, penulis ingin melihat sejauh

mana demokrasi yang ada di sana. Untuk itulah penulis bermaksud

menuangkannya dalam sebuah karya tulis ilmiah (skripsi) dengan judul “Republik

Islam Iran, Studi atas Demokrasi Pascarevolusi 1979-2005”, karena demokrasi

merupakan bagian yang penting untuk membangun sebuah negara.

Bagi sebagian orang, pengalaman Iran merupakan penegasan

kemungkinan untuk menciptakan suatu demokrasi Islam. Bagi sebagian yang lain,

hanya menegaskan watak otoriter pranata-pranata dan praktik politik muslim.11

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah

Dalam penelitian ini penulis membatasi hanya pada studi yang berkaitan

dengan demokrasi Iran pascarevolusi 1979-2005. Dari batasan masalah tersebut

dirumuskan masalah sebagai berikut: Bagaimana model demokrasi di Iran

pascarevolusi 1979-2005?

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

Konsep permerintahan Iran merupakan Republik Islam. Konsep ketuhanan

yang terwujud ke dalam wilâyah al-faqih serta masuknya nilai demokrasi yang

disesuaikan, merupakan hal yang menarik. Sehingga, dalam penelitian ini penulis

mempunyai tujuan untuk memahami sejauhmana model demokrasi di Republik

Islam Iran pascarevolusi 1979-2005.

10

MJ Ali Larijani, mantan menteri Luar Negeri Iran, dalam seminar “Islam and Modern Society,” Ciputat, Selasa 30 Oktober 2007.

11

(16)

D. Metode Penelitian

Dalam penyusunan penulisan ini, penulis menggunakan metode penelitian

kualitatif, yaitu penelitian yang cenderung dan banyak digunakan dalam

ilmu-ilmu sosial yang berhubungan dengan perilaku sosial atau manusia dengan

berbagai argumen, yang bersifat deskriptif atau memaparkan gejala-gejala yang

diamati, yang tidak harus selalu berbentuk angka-angka atau koevisien antar

variabel dan penelitian lebih sering berbentuk studi kasus.

Teknik pengumpulan data yang digunakan, dilakukan dengan

mengumpulkan bahan pustaka, yaitu; buku, koran, artikel, jurnal, dan lainnya

yang berhubungan dengan tema bahasan penelitian ini.

Sedangkan pembahasan analisis penelitian ini menggunakan sistem

deskriptif analitik, yaitu memaparkan dan menggambarkan serta menganalisis

data-data yang diperoleh.

Kemudian untuk metode penulisan penelitian ini menggunakan buku

“Pedoman Penulisan karya ilmiah (Skripsi, Tesis, dan Disertasi)” yang diterbitkan

oleh Center for Quality Development Assurance (CEQDA) UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta tahun 2007 sebagai referensi.

E. Studi Kepustakaan

Pembahasan-pembahasan tentang Iran memang banyak, namun belum ada yang membahas demokrasi Iran secara lebih khusus. Hanya saja terdapat tesis di

Universitas Indonesia oleh Nurohman yang berjudul, “Sistem Pemerintahan

(17)

dalam Pemerintahan Iran Pasca Revolusi 1979-2005.” Namun, demokrasi yang

dibahasnya lebih prosedural dan mendalami perpaduan teokrasi dan demokrasi di

Iran. Kajian teorinya tentang sejarah dan perkembangan teokrasi dan demokrasi.

Nurohman tidak membahas hak wanita, kaum minoritas dan kebebasan pers

dalam implementasi demokrasi di Iran.

Sedangkan skripsi yang penulis buat merupakan kajian demokrasi secara

keseluruhan dengan menggunakan teori demokrasi perspektif Islam dan Barat.

Pembahasannya tidak hanya demokrasi prosedural atau sering disebut pemilu.

Dalam skripsi ini, batasan demokrasinya juga melihat demokrasi perspektif Barat

seperti; kebebasan pers, hak minoritas dan peran wanita.

Untuk itu, skripsi yang penulis buat belum pernah ada. Data primer yang

digunakan adalah Undang-Undang Dasar Republik Islam Iran, buku Sistem

Pemerintahan Islam tulisan Khomeini (terjemahan), dan wawancara.

F. Sistematika Penulisan

Guna memudahkan pembahasan dan penulisan lebih sistematis, maka

penulis menyusun kedalam lima bab, yaitu:

Pertama; Pendahuluan yang merupakan gambaran umum tentang hal yang

berkaitan dengan demokrasi di Iran, yang terdiri atas latar belakang masalah,

pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan kegunaan penelitian, metode

penelitian, studi kepustakaan, dan sistematika penulisan.

Kedua; Menjelaskan pendekatan konseptual tentang demokrasi, baik itu perspektif

(18)

Ketiga; Membahas lembaga-lembaga negara menurut konstitusi Iran. Terdiri dari,

wilâyah al-faqih, legislatif, eksekutif, dan yudikatif.

Keempat; Memahami implementasi demokrasi di Iran pascarevolusi 1979-2005,

melalui partisipasi masyarakat, pemilihan umum, hak wanita dan kaum minoritas,

serta kebebasan pers.

(19)

BAB II

PENDEKATAN KONSEPTUAL TENTANG DEMOKRASI

A. Makna dan Batasan Demokrasi

Pertumbuhan dan perkembangan demokrasi dilihat dari sejarahnya,

melalui proses-proses historis yang sangat panjang dan komplek. Konsep

demokrasi yang belum disepakati dan tidak mudah dipahami, menjadikannya

memiliki konotasi makna yang beragam dan dinamis.

Secara etimologis demokrasi berasal dari bahasa Yunani kuno yang terdiri

dari kata demos yang berarti rakyat dan kratos atau kratein berarti kekuasaan atau

berkuasa. Jadi demokrasi menurut asal kata berarti "rakyat berkuasa" atau

"government or rule by the people".12 Dengan kata lain demokrasi adalah

pemerintahan oleh rakyat; atau kedaulatan rakyat, kekuasaan tertinggi berada

dalam keputusan rakyat.13

Sedangkan secara terminologis, menurut Joseph A. Schmeter, demokrasi

merupakan suatu perencanaan institusional untuk menyampaikan keputusan

politik di mana individu-individu memperoleh kekuasaan untuk memutuskan

dengan cara perjuangan kompetitif atas suara rakyat. Sydney Hook berpendapat

bahwa demokrasi adalah bentuk pemerintahan yang mana keputusan-keputusan

pemerintah yang penting secara langsung ataupun tidak langsung didasarkan pada

kesepakatan mayoritas yang diberikan secara bebas dari rakyat yang sudah

dewasa. Philippe C. Schmitter dan Terry Lynn Karl menegaskan bahwa

12

Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1998), h. 50.

13

Moh. Kusnardi dan Bintang R. saragih, Ilmu Negara (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1995), h. 165.

(20)

demokrasi merupakan suatu sistem pemerintahan di mana pemerintah dimintai

tanggung jawab atas tindakan-tindakan mereka di wilayah publik oleh warga

negara, yang bertindak secara tidak langsung melalui kompetisi dan kerjasama

dengan para wakil mereka yang terpilih. Menurut Hendry B. Mayo, demokrasi

merupakan sistem politik yang menunjukkan bahwa kebijakan umum ditentukan

atas dasar mayoritas oleh wakil-wakil rakyat yang diawasi secara efektif oleh

rakyat dalam pemilihan-pemilihan berkala yang didasarkan atas prinsip kesamaan

politik dan diselenggarakan dalam suasana terjaminnya kebebasan politik.14

Sekalipun terminologi demokrasi memiliki banyak pengertian dan ragam,

namun batasan yang dikemukakan para pemikir politik tersebut tampak

menemukan titik temu yang sama. Yaitu, demokrasi memiliki doktrin dasar yang

tak pernah berubah. Doktrin tersebut adalah adanya keikutsertaan anggota

masyarakat (rakyat) dalam menyusun agenda-agenda politik (pemerintahan) yang

dapat dijadikan landasan pengambilan keputusan,15 adanya pemilihan yang

dilakukan secara umum dan berkala, serta adanya pembatasan kekuasaan politik.

Dalam kamus besar bahasa Indonesia, demokrasi adalah bentuk atau

sistem pemerintahan yang segenap rakyat turut serta memerintah dengan perantara

wakilnya (pemerintahan rakyat), yang berarti gagasan atau pandangan hidup yang

mengutamakan persamaan hak dan kewajiban serta perlakuan yang sama bagi

warga negara.16

14

Tim ICCE UIN Jakarta, Demokrasi, HAM, dan Masyarakat Madani (Jakarta: ICCE UIN, 2003), h.110-111.

15

Idris Thaha, Demokrasi Religius Pemikiran Politik Nurcholish Madjid dan M Amin Rais

(Jakarta: TERAJU, 2005) h. 29.

16

(21)

Demokrasi bukan hanya sebuah metode kekuasaan mayoritas melalui

peran rakyat dan kompetisi yang bebas, akan tetapi mengandung nilai-nilai

persamaan, kebebasan dan sebagainya. Kendatipun konsep pelaksanaannya

beraneka ragam sesuai dengan kondisi budaya pada suatu negara. Eksistensi

demokrasi berkaitan erat dengan eksistensi hak manusia. Demokrasi tidak hanya

berhubungan dengan institusi formal tetapi juga dengan eksistensi hak

nilai-nilainya.17

Demokrasi sebagai suatu sistem telah dijadikan alternatif dalam berbagai

tatanan aktivitas bermasyarakat dan bernegara dibeberapa negara. Seperti diakui

oleh Moh. Mahfud MD, ada dua alasan dipilihnya demokrasi sebagai sistem

bermasyarakat dan bernegara. Pertama, hampir semua negara di dunia ini telah

menjadikan demokrasi sebagai asas yang fundamental; kedua, demokrasi sebagai

asas kenegaraan secara essensial telah memberikan arah bagi peranan masyarakat

untuk menyelenggarakan negara sebagai organisasi tertingginya. Karena itu,

diperlukan pengetahuan dan pemahaman yang benar pada warga masyarakat

tentang demokrasi.18

Dalam studi tentang demokrasi, dikenal dua macam pemahaman. Yaitu,

pemahaman secara normatif dan secara empirik. Pemahaman normatif berkenaan

dengan demokrasi sebagai tujuan, mengajarkan tentang nilai-nilai ideal bagaimana

seharusnya demokrasi diwujudkan. Sedangkan pemahaman empirik atau

demokrasi prosedural adalah rumusan demokrasi yang telah dilaksanakan.19

17

Masykuri Abdillah, Demokrasi di Persimpangan Makna Respons Intelektual Muslim Indonesia Terhadap Konsep Demokrasi (1966-1993), (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1999), h. 74.

18

Tim ICCE, Demokrasi, h.109.

19

(22)

Berdasarkan pengertian demokrasi yang sifatnya prosedural, terdapat

unsur-unsur pokok; yaitu proses rekrutmen elit melalui pemilihan yang jujur dan

bebas; serta hak masyarakat untuk memilih. Pelaksanaan dari konsep demokrasi

prosedural ini akan menjamin kebebasan untuk berpendapat dan berserikat. Lebih

dari itu, dengan menganggap pemilihan umum sebagai cara untuk merekrut elit

pemerintahan, sistem ini mengisyaratkan bahwa pimpinan bertanggung jawab

kepada yang memberi mandat (warga negara), khususnya ketika mereka tengah

berkuasa.20 Negara yang menyatakan diri menganut demokrasi harus mengadakan

pemilihan umum. Apakah pemilihan umum tersebut hanya merupakan ritual saja

atau secara substansial mencerminkan demokrasi, adalah persoalan lain.

Demokrasi paling sering digunakan, namun juga paling problematik.

Problematik, karena para pakar politik masih belum sepakat, apakah demokrasi

sekedar alat untuk mencapai tujuan atau tujuan itu sendiri.21 Namun, Willy Eichler

berpendapat, bahwa demokrasi bukanlah suatu nilai statis yang terletak disuatu

tempat di depan kita, lalu kita bergerak menuju ke sana untuk mencapainya. Bagi

Eichler demokrasi adalah suatu nilai dinamis, karena nilai essensialnya adalah

proses ke arah yang lebih maju dan lebih baik.22 Karena pengertian demokrasi

sebagai cara dan proses, tidak mengherankan bahwa pelaksanaan prinsip-prinsip

demokrasi sangat beragam dari satu negara dengan negara lainnya. Meskipun

begitu, perlu disadari bahwa demokrasi sebagai cara atau jalan akan menentukan

kualitas tujuan yang dicapai oleh suatu masyarakat. Seperti dikatakan Albert

20

Bahtiar Effendy, “Islam dan Demokrasi,” dalam M Nasir Tamana dan Elza Peldi Taher (ed.), Agama dan Dialog Antar Peradaban (Jakarta: Paramadina, 1996), h. 90.

21

Idris Thaha, Demokrasi Religius,h. 2.

22

(23)

Camus, tidak boleh ada pertentangan antara cara dan tujuan; jika tujuan

membenarkan cara yang digunakan, maka cara yang digunakan itu sendiri ikut

membenarkan tujuan yang dicapai. Inilah salah satu sendi pandangan

demokratis.23 Terlepas dari tujuan atau cara, demokrasi merupakan sistem

pemerintahan yang saat ini sangat populer.

B. Demokrasi dalam Perspektif Barat

Konsep demokrasi semula lahir dari pemikiran mengenai hubungan negara

dan hukum di Yunani Kuno dan dipraktikkan dalam hidup bernegara antara abad

ke-6 SM sampai abad ke-4 M. Demokrasi yang dipraktikkan pada saat itu

berbentuk demokrasi langsung, artinya hak rakyat untuk membuat keputusan

politik dijalankan langsung oleh seluruh warga negara berdasarkan prosedur

mayoritas.24 Namun demokrasi yang melibatkan partisipasi politik pada saat itu,

tidak mengikutsertakan perempuan dan budak.

Gagasan demokrasi Yunani Kuno berakhir pada abad pertengahan.

Masyarakat abad pertengahan dicirikan oleh struktur masyarakat yang feodal,

kehidupan spiritual dikuasai oleh Paus dan pejabat agama. Sedangkan kehidupan

politiknya ditandai oleh perebutan kekuasaan di antara para bangsawan. Tetapi,

menjelang akhir abad pertengahan, tumbuh kembali keinginan menghidupkan

demokrasi dengan munculnya renaissance dan reformasi.25 Demokrasi

mempunyai tempat di masyarakat, dan semakin berkembang dalam konsep

maupun secara empiris.

23

Nurcholish Madjid, “Demokrasi dan Demokratisasi,h. 204.

24

Tim ICCE, Demokrasi, HAM, h.125.

25

(24)

Dua filusuf besar yaitu John Locke dari Inggris dan Montesquieu dari

Perancis telah memberikan sumbangan yang besar bagi gagasan pemerintahan

demokrasi. John Locke mengemukakan bahwa hak-hak politik rakyat mencakup

hak atas hidup, kebebasan dan hak memiliki; sedangkan Montesquieu

mengungkapkan sistem pokok yang menurutnya dapat menjamin hak-hak politik

tersebut melalui “trias politica”-nya, yakni suatu sistem pemisahan kekuasaan

dalam negara menjadi tiga bentuk kekuasaan yaitu legislatif, eksekutif, dan

yudikatif.26 Kebanyakan negara demokrasi menggunakan pembagian kekuasaan

seperti ini, karena efektif untuk check and balance dalam pemerintahan.

Menurut Robert A. Dahl dalam bukunya Democracy and Its Critics,

seperti dikutip Syamsudin Haris, demokrasi merupakan sarana, bukan tujuan

utama, untuk mencapai persamaan (equality) politik yang mencakup tiga hal:

kebebasan manusia (baik secara individu maupun kolektif), perlindungan terhadap

nilai (harkat dan martabat) kemanusiaan, dan perkembangan diri manusia.27

Menurutnya nilai-nilai demokrasi itu adalah: Pertama, persamaan hak pilih dalam

menentukan keputusan kolektif yang mengikat. Kedua, partisipasi efektif, yaitu

kesepakatan yang sama bagi semua warga negara dalam proses pembuatan

keputusan secara kolektif. Ketiga, pembeberan kebenaran, yaitu adanya peluang

yang sama bagi setiap orang memberikan penilaian terhadap jalannya proses

politik pemerintahan secara logis. Keempat kontrol terakhir terhadap agenda, yaitu

adanya kekuasaan eksekutif bagi masyarakat yang menentukan agenda mana yang

harus dan tidak harus diputuskan melalui proses pemerintahan yang mewakili

26

Ibid., h.127.

27

(25)

masyarakat. Kelima pencakupan yaitu, terliputinya masyarakat mencakup semua

orang dewasa dalam kaitannya dengan hukum.28

Sedangkan Gwendolen M. Carter, John H Hery dan Henry B. Mayo

merumuskan nilai-nilai demokrasi sebagai berikut: Pertama, pembatasan terhadap

tindakan pemerintah yang memberikan perlindungan bagi individu dan kelompok

dengan jalan menyusun pergantian pimpinan secara berkala, tertib dan damai dan

juga melalui alat-alat perwakilan rakyat yang efektif. Kedua, adanya sikap

toleransi terhadap pendapat yang berlawanan. Ketiga, persamaan di depan hukum

yang diwujudkan dengan sikap tunduk rule of law tanpa membedakan kedudukan

politik. Keempat, adanya pemilihan yang bebas dengan disertai adanya model

perwakilan yang efektif. Kelima, didirikannya kebebasan berpartisipasi dan

beroposisi bagi partai politik, organisasi masyarakat, perseorangan serta pers dan

media masa. Keenam, dikembangkannya sikap menghargai hak-hak minoritas dan

perorangan dengan lebih mengutamakan diskusi dari pada redresi.29

Secara umum nilai demokrasi yang disebutkan oleh para tokoh di atas,

menunjukkan beragamnya nilai demokrasi khususnya perspektif barat. Namun

terdapat nilai-nilai universal yaitu keterlibatan atau partisipasi masyarakat dalam

proses formulasi kebijakan, pengawasan terhadap kekuasaan dan perlakuan yang

sama terhadap semua warga negara.

Suatu pemerintahan dikatakan demokratis bila dalam mekanisme

pemerintahan mewujudkan prinsip-prinsip demokrasi. Menurut Robert Dahl ada

unsur-unsur dasar yang membuat sebuah sistem disebut demokratis. (1)

28

Eep Saifullah Fattah, Masalah dan Prospek Demokrasi di Indonesia (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1994), h. 6. Lihat juga Anas Urbaningrum, Islamo-Demokrasi Pemikiran Nurcholish Madjid (Jakarta: Penerbit Republika, 2004), h.20.

29

(26)

menyelenggarakan pemilihan yang terbuka dan bebas; (2) mengembangkan pola

kehidupan politik yang kompetitif; (3) dan memberi perlindungan terhadap

kebebasan masyarakat.30

Sedangkan menurut G. Bingham Powell Jr., kriteria negara demokrasi

adalah: pemerintah mengklaim mewakili hasrat para warganya, adanya pemilihan

secara berkala, partisipasi orang dewasa sebagai pemilih dan dipilih, pemilihan

bebas, warga negara memiliki kebebasan-kebebasan dasar (kebebasan berbicara,

kebebasan pers, dan kebebasan berkumpul).31 Menurut Franz Magnes Suseno,

kriteria negara demokrasi adalah: (1) negara terikat pada hukum; (2) kontrol

efektif terhadap pemerintah oleh rakyat; (3) pemilu yang bebas; (4) prinsip

mayoritas; (5) adanya jaminan terhadap hak-hak demokratis.32

Demokrasi bukanlah sebuah sistem yang terbebas dari kritik, seperti diakui

Robert Dahl.

“Para pengkritik demokrasi, katanya, pada umumnya justru datang dari mereka yang mendukung gagasan demokrasi itu sendiri. Bahkan menurut Dahl, “kehancuran demokrasi lebih banyak disebabkan oleh para pendukungnya yang utopis daripada oleh musuh-musuhnya.” Dahl membagi para pengkritik demokrasi menjadi tiga golongan. Pertama, mereka yang, seperti Plato, percaya bahwa meskipun demokrasi itu mungkin diciptakan, tetapi tidak diinginkan; kedua, mereka yang, seperti Robert Michels, percaya bahwa meskipun demokrasi itu disenangi bila diciptakan, namun pada dasarnya tidak bisa diciptakan; dan ketiga, mereka yang bersimpati pada demokrasi dan ingin mempertahankannya, namun mengritiknya dipandang dari beberapa segi penting.”33

Terlepas dari dukungan dan kritikan terhadapnya, sampai saat ini

demokrasi merupakan sistem pemerintahan yang menjadi alternatif di berbagai

negara. Karena demokrasi dapat mewakili aspirasi orang banyak.

(27)

Pengertian demokrasi, nilai-nilainya, dan kriteria negara demokrasi

perspektif Barat telah disebutkan di atas. Berdasarkan hal tersebut, untuk

mengetahui sejauhmana negara dianggap demokratis, harus memiliki prinsip

sebagai berikut:

- Adanya pemilu yang bebas, berkala, kompetitif, yang didasarkan pada

persamaan hak pilih serta terjaminnya kebebasan berpolitik yang tertuju

pada kesepakatan/suara mayoritas.

- Adanya pembagian kekuasaan dan tanggung jawab terhadap warga negara.

- Negara terikat oleh hukum yang adil termasuk menghargai minoritas dan

perempuan.

C. Demokrasi dalam Perspektif Islam

Pemahaman tentang ajaran Islam sendiri, diwarnai oleh

perbedaan-perbedaan. Munculnya berbagai perbedaan mazhab fiqh, teologi, dan filsafat

Islam merupakan contoh terbaik dari kenyataan bahwa ajaran Islam itu multitafsir.

Ini berarti, pemahaman orang-orang Islam terhadap agamanya, meminjam istilah

Syafii Maarif, yang menyejarah dan empiris –karena perbedaan konteks sosial,

ekonomi, dan politik mereka– akan berbeda antara satu sama lainnya. Dengan

kata lain, Islam akan dipahami dan digunakan secara berbeda. Meletakkan

perspektif ini dalam konteks kehidupan politik Islam –kendatipun dasar-dasar

teologisnya masih merupakan sesuatu yang bisa diperdebatkan– bisa dipahami

secara berbeda oleh masyarakat Islam. Akibatnya untuk menyebut satu contoh

yang sangat ekstrim dan kontroversial, apa yang dianggap sebagai negara Islam

(28)

Arab Saudi. Bahkan masing-masing pernah berusaha untuk saling menolak apa

yang mereka persepsikan sebagai negara Islam.34

Kalau diruntut sejarahnya, demokrasi baru masuk dalam khazanah

pemikiran Islam dan dianggap sebagai nilai baik, baru pada pertengahan abad

ke-19. Saat negara-negara Islam ketika itu di seluruh belahan bumi kondisinya nyaris

serupa: bergumul dengan kolonialisme, ditindas, dan diperintah oleh penguasa

atau raja yang tiran. Dalam kondisi demikian, mereka mendengar gagasan

demokrasi yang berasal dari Barat, yang menaruh penghargaan terhadap hak-hak

asasi manusia, menekankan kebebasan pendapat dan partisipasi rakyat dalam

mengambil keputusan. Mulailah mereka berbicara mengenai demokrasi sambil

mengatakan bahwa sesungguhnya Islam itu demokratis, karena Islam mengakui

hak-hak asasi manusia.35

Berbicara tentang demokrasi, memang membutuhkan waktu lama, karena

masing-masing orang mempunyai pandangan yang berbeda terhadapnya.

Sehingga praktik-praktik yang kita jumpai di berbagai negara terdapat perbedaan

sesuai dengan kondisi. Akan tetapi, nilai substansialnya tentu sama, yaitu

tercapainya kedaulatan rakyat. Kedaulatan yang menurut pandangan Barat adalah

mutlak di tangan rakyat.36

Secara literal, demokrasi berarti kekuasaan oleh rakyat, yang dalam

doktrin Islam berbeda. Islam justru menganut doktrin kedaulatan di tangan Tuhan.

Meski demikian, tidak otomatis demokrasi bertentangan dengan Islam atau

sebaliknya demokrasi bukanlah konsep yang secara keseluruhan Islami. Akan

tetapi, dalam Islam terkandung prinsip-prinsip yang sejalan dengan demokrasi.

34

Bahtiar Effendy, Islam dan Demokrasi, h.94

35

Yamani, Filsafat Politik, h.19.

36

(29)

Oleh karena itu, perkembangan paham dan konsep demokrasi lazim dikaitkan

dengan pola perkembangan pandangan sekularisme Barat. Untuk pemikiran

demokrasi liberal yang berkembang bersama

liberalisme-kapitalisme-individualisme, tampaknya benar bila ia dikategorikan kurang sesuai dengan

prinsip-prinsip ajaran Islam, namun bukan berarti tak ada “demokrasi Islam”.37

Dalam konsep Barat, kedaulatan rakyat diterjemahkan dengan

diwujudkannya hak-hak politik dan kebebasan sipil, serta dalam skala yang

bervariasi, dan dikuranginya campur tangan pemerintah dalam kehidupan pribadi

warganya. Hal-hal yang membatasi kebebasan hanyalah apabila kebebasan

tersebut dikhawatirkan melanggar hak dan kebebasan orang lain. Sedangkan

konsep Islam lebih menekankan pada aspek spiritual, sehingga menurut Hasbi

ash-Shiddieqy harus ada “tata aturan Islam”. Dan kalau perlu memakai lafaz

demokrasi dengan mengingat terdapat perbedaan konsep Barat dan Islam. Seperti

demokrasi yang berprikemanusiaan, keakhlakiyahan, kerohanian atau sebut saja

demokrasi Islam.38

Secara prinsipil, doktrin Islam yang berkenaan demokrasi adalah doktrin

politik (Islam) yang universal dan holistik, seperti keadilan, kebebasan,

persamaan, dan musyawarah. Pada dataran ini, Islam tidak berbicara tentang

sistem yang prosedural melainkan muatan substansial dari spirit dan arah

demokrasi.39

Berdasarkan prinsip-prinsip dasar sebuah sistem demokrasi, dapat

dikatakan bahwa pada tataran normatif, prinsip-prinsip politik Islam sesuai

dengan nilai-nilai demokrasi. Huntington (terlepas dari pandangannya yang

37

Khamami Zadadan Arif R Arofah, Diskursus Politik Islam (Jakarta: LSIP, 2004), h. 38.

38

Ahmad Sukardja, Demokrasi Dalam, h. 48.

39

(30)

negatif tentang hubungan Islam dan demokrasi) sebenarnya percaya bahwa

nilai-nilai Islam “pada umumnya sesuai dengan persyaratan-persyaratan demokrasi.”40

Seperti, asas persamaan dihadapan undang-undang, kebebasan berpikir dan

berkeyakinan, realisasi keadilan sosial, atau memberikan jaminan hak-hak dasar

(hak untuk hidup).41

Operasionalisasi prinsip demokrasi di negara Islam, akan mengikuti

kondisi negara tersebut yaitu sejauh manakah pemahaman para pemegang tampuk

kepemimpinan pemerintahan terhadap demokrasi itu sendiri, dan sejauh manakah

nilai-nilai demokrasi yang terikat oleh aturan Barat selaras dan bersesuaian

dengan syariat Islam yang mereka yakini.42 Demokrasi di Amerika dengan di

Inggris saja berbeda. Sudah sewajarnya demokrasi di negara muslim juga berbeda,

walau mengandung nilai-nilai yang sama.

Nilai-nilai demokrasi seperti persamaan di depan hukum, persamaan

dimuka publik dan kebebasan terdapat dalam Islam. Akan tetapi, nilai-nilai itu

pun tidak mutlak dan tanpa batas. Sebagaimana kebebasan yang ada di Perancis

misalnya, kebebasan ditegakkan dengan syarat tidak mengganggu hak-hak orang

lain. Kebebasan bekerja atau melakukan sesuatu perbuatan dalam Islam dibatasi

dengan tidak melakukan hal-hal yang dilarang oleh agama. Hal-hal yang dilarang

agama pada dasarnya adalah untuk kebaikan manusia sendiri.

Pemikiran politik Islam kontemporer telah begitu dalam dipengaruhi oleh

upaya-upaya rekonsiliasi antara Islam dan demokrasi. Para pemikir muslim yang

terlibat dalam perdebatan politik tidak dapat mengabaikan signifikasi dari sistem

demokrasi, yang merupakan tema yang masih terus di perbincangkan.

40

Bahtiar Effendy, Islam dan Demokrasi, h. 98.

41

Khamami Zada, Diskursus Politik, h. 44.

42

(31)

Terdapat tiga model hubungan Islam dan demokrasi;43 pertama, Islam

bertentangan dengan demokrasi atau yang disebut blok kontra. Mereka secara

terang-terangan menolak adanya hubungan apalagi perpaduan antara Islam dan

demokrasi. Tokohnya antara lain, Sayyid Quthb yang menolak gagasan demokrasi

yang berarti kedaulatan ditangan rakyat. Menurutnya hal ini bertentangan dengan

kekuasaan Tuhan karena Tuhanlah yang telah menetapkan seluruh sistem

kehidupan. Selain itu, tolak ukur kebenaran demokrasi ditentukan oleh pendapat

mayoritas, padahal kebenaran haruslah mengikuti kaidah dan prinsip Islam.44

Pendapat mayoritas tidak selalu menjamin kebenaran. Kedua, tidak ada pemisahan

antara Islam dengan demokrasi dan bisa disebut blok pro. Mereka menerima

demokrasi sebagai sesuatu yang universal, yang bisa hidup dan berkembang di

negara-negara muslim. Salah satu tokohnya, Yusuf Qardhawy, seorang ulama

terkenal dari Mesir, menurutnya demokrasi sejalan dengan Islam. Karena Islam

dan demokrasi sama-sama menolak diktatorisme. Ia membenarkan pandangan

pendukung demokrasi, yang menyatakan bahwa demokrasi ditegakkan

berdasarkan pendapat mayoritas. Jika terjadi perselisihan, pihak yang harus

didukung adalah suara mayoritas, karena pendapat dua orang lebih dekat kepada

kebenaran ketimbang pendapat satu orang.45 Ketiga, menerima Islam dengan

demokrasi sekaligus memberi catatan kritis. Mereka berusaha berdiri

ditengah-tengah, dengan mencari titik temu pendapat antara blok pro dan kontra dengan

mengemukakan adanya persamaan dan perbedaan antara Islam dengan demokrasi.

Menurut kelompok ini, agama secara teologis maupun sosiologis, sangat

mendukung proses demokratisasi politik. Semua agama, terlebih lagi yang berasal

43

Idris Thaha, Demokrasi Religius, h. 7-9.

44

Ibid., h. 41-42.

45

(32)

dari tradisi Ibrahim, muncul dan berkembang dengan misi untuk melindungi dan

menjunjung tinggi harkat manusia. Aktualisasi dari nilai kemanusiaan yang amat

substansial dan universal selalu mengasumsikan terwujudnya keadilan dan

kemerdekaan yang diyakini sebagai hak asasinya. Dalam konteks ini maka

demokrasi dan prosesnya merupakan kondisi niscaya terwujudnya keadilan dan

hak kemerdekaan seseorang.46

Tokohnya antara lain, Imam Khomeini dan Abdul Karim Soroush yang

merupakan orang Iran. Mereka menegaskan bahwa demokrasi liberal yang

diterapkan di dunia Barat hanya mengejar kebahagiaan rakyat dengan

mengabaikan restu Tuhan. Khomeini sendiri mengakui otoritas rakyat dan

menganggap pemerintahan sebagai perwujudan kehendak rakyat. Namun, rakyat

harus memutuskan wewenang mereka dengan suatu cara tertentu. Kehendak

rakyat (mayoritas) harus diikat oleh kehendak Ilahiah –ikatan ini dimanifestasikan

dengan pengendalian vilayat-i faqih. Dalam demokrasi Barat, kekuasaan rakyat

bersifat mutklak. Sedangkan dalam Islam kekuasaan rakyat tidak mutlak, tetapi

terikat oleh ketentuan syariah. Khomeini menyebutnya dengan model “demokrasi

Islam atau demokrasi sejati”, sedangkan Soroush menamakannya dengan

“demokrasi agama”..47 Selain itu, Abu A'lal al Maududi pendiri Jamaah Islami

Pakistan, juga berusaha merekonsiliasikan antara kedaulatan rakyat yang disebut

dengan demokrasi dan kedaulatan Tuhan, yang disebut Theokrasi. Maududi tidak

menolak demokrasi tetapi berusaha menggabungkan istilah tersebut yaitu,

Theo-Demokrasi yang artinya sebuah pemerintahan demokratis yang bersifat ketuhanan.

Theo-Demokrasi merupakan sistem yang menerapkan kedaulatan rakyat yang

46

Komarudin Hidayat, Tiga Model Hubungan Agama dan Demokrasi, dalam Elza Peldi Taher (ed.), Demokrasi Politik, Budaya dan Ekonomi (Jakarta: Paramadina 1994), h. 194.

47

(33)

dibatasi kedaulatan Tuhan48 Ini bisa dilihat pada masa sekarang dengan melihat

Republik Islam Iran. Prinsip Undang-Undang Republik Islam Iran menyebutkan

bahwa Tuhan memiliki kekuasaan yang tertinggi untuk memerintah, namun juga

suara mayoritas diperlukan untuk menjalankannya, seperti adanya

lembaga-lembaga yang dipilih dengan melibatkan partisipasi masyarakat lewat pemilihan

umum.

Berkaitan dengan Islam menurut Husain Haikal, tidak terdapat sistem

pemerintahan yang baku untuk pembentukan negara. Islam hanya meletakkan tata

nilai etika yang dapat dijadikan sebagai pedoman dasar bagi pengaturan tingkah

laku manusia dalam kehidupan dan pergaulan dengan sesamanya. Pedoman

dasarnya yaitu; prinsip Tauhid, sunatullah dan persamaan sesama manusia.

Pedoman dasar tersebut menjadi pijakan bagi perumusan prinsip-prinsip dasar

negara yang Islam.49 Dalam hal ini, karena demokrasi dijadikan suatu standar

sebuah pemerintahan (negara), maka Iran yang merupakan penduduknya

mayoritas beragama Islam (syi’ah), telah mampu bereksperimen dan

mempraktikkan hubungan demokrasi dengan Islam. Demokrasi secara prosedural,

dalam arti pemilu, telah dilaksanakan pascarevolusi 1979 sampai saat ini.

Menurut Imam Khomeini, tokoh revolusi Iran, ciri khas demokrasi adalah

bahwa ia mewujudkan suatu nilai atau tujuan melalui pemerintahan rakyat. Dan

pemerintahan yang demokratis adalah pemerintahan yang paling optimal dalam

menjamin kesejahteraan umum. Intinya menurut Khomeini, demokrasi ialah

pemerintahan yang membawa kepada kebebasan, keadilan dan kesejahteraan

umum. Seperti pernyataan Imam Khomeini sebagai berikut:

48

Masykuri Abdillah, Demokrasi di Persimpangan Makna, h. 8.

49

(34)

"Dengan rahmat Allah swt., kita tidak akan berhenti berjuang hingga kita dapat menjatuhkan pemerintahan imperialistik yang reaksioner ini dan menegakkan pemerintahan Islam yang adil. Kita akan meneruskan perjuangan ini hingga suatu pemerintahan demokratis –dalam makna yang sebenarnya– berhasil menggantikan rezim yang despotik".50

Ketika orang-orang Islam mencoba merumuskan bentuk pemerintahan dan

merujuk pada ajaran-ajaran Islam, mereka menemukan bahwa pandangan mereka

bergerak dalam sebuah spectrum, mulai dari yang paling populis (berorientasi

pada rakyat), sampai yang paling statis (berorientasi pada negara). Diantaranya

adalah konsep wilâyah al-faqih yang dikembangkan oleh kalangan Syi’ah.

Wilâyah al-faqih oleh sebagian orang dianggap sangat otoriter. Sehingga menarik

kalau ternyata di dalam konsep tersebut ada spectrum yang bergerak dari popular

sovereignty (kedaulatan rakyat) sampai state sovereignty (kedaulatan negara).

Memakai istilah politik dapat dikatakan, mulai dari yang demokratis sampai yang

otoriter.51

Dari pemaparan di atas setidaknya terdapat ciri negara demokrasi menurut

Islam. Antara lain; kekuasaannya merupakan pemerintahan rakyat yang tunduk di

bawah hukum Tuhan atau kedaulatan tidak mutlak ditangan rakyat, serta tidak

adanya diktatorisme karena semua orang dimata hukum adalah sama.

Apabila mengkaitkan Islam dengan demokrasi, hal ini lebih menekankan

pada pengertian demokrasi secara normatif, seperti keadilan, kebebasan,

persamaan, dan musyawarah.

Proses demokratisasi berlangsung lambat di mana pun. Demokrasi tidak

dapat dibangun dalam semalam. Demokrasi tidak dapat diimpor atau diekspor,

50

Yamani, Filsafat Politik Islam (Bandung: Mizan, 2002), h. 139.

51

(35)

juga tidak dapat dipaksakan oleh kekuatan militer. Demokrasi harus dibangun

secara bertahap.

Setelah melihat pendekatan konseptual tentang demokrasi perspektif Barat

maupun Islam, setidaknya kita mengetahui beragam pandangan tentang

demokrasi. Apakah Republik Islam Iran merupakan negara demokratis? Untuk

lebih jelasnya, kita harus mengetahui lembaga-lembaga negara menurut konstitusi

(36)

BAB III

LEMBAGA-LEMBAGA NEGARA MENURUT KONSTITUSI REPUBLIK ISLAM IRAN

Walaupun sruktur negara Iran dilandaskan pada ajaran Islam Syi’ah yang

cenderung bersifat teokratis, dalam praktiknya lembaga-lembaga politik “modern”

mendapatkan tempat yang cukup penting. Di antaranya, presiden dan parlemen

yang dipilih secara langsung melalui pemilihan umum. Juga, anggota kabinet

yang diangkat presiden terpilih pun harus mendapatkan persetujuan dari mayoritas

anggota parlemen.52 Jika dibandingkan negara berkembang di kawasan Timur

Tengah, Iran termasuk negara yang menjalankan demokrasi prosedural dengan

adanya pemilu secara berkala.

Setelah membahas konsep demokrasi di bab dua, selanjutnya akan dibahas

tentang lembaga-lembaga negara menurut konstitusi Republik Islam Iran.

Konstitusi Iran terdiri dari 14 bab dan 177 pasal. Konsep lembaga-lembaga negara

yang terdapat dalam konstitusi antara lain; wilâyah al-faqih53, legislatif, eksekutif

dan yudikatif. Untuk lebih jelasnya, akan dibahas sebagai berikut:

A. Wilâyah al-Faqih

Prinsip politik umat Islam Syi’ah adalah Imâmah. Oleh karena itu tidak

mengherankan bila hal ini menjadi salah satu akidah umat Islam Syi’ah. Tidak

52

Riza M Sihbudi, Menyandera Timur Tengah (Jakarta: Mizan, 2007), h. 245.

53

(37)

akan sempurna iman54 seseorang bila tidak meyakini Imâmah, demikian menurut

pandangan Syi’ah, khususnya Syi’ah Itsna ‘Asyariyah (Imam Duabelas).

Imâmah berarti kepemimpinan. Sedangkan Imâmah dalam pandangan

Syi’ah diartikan kepemimpinan atau pemerintahan yang berada pada diri Nabi

Muhammad, dan pada para imam setelah nabi. Dalam Syi’ah, kepemimpinan

didasarkan pada empat falsafi55; pertama, Allah pemegang kedaulatan. Hakim

mutlak seluruh alam semesta dan segala isinya. Kedua, kepemimpinan manusia

yang mewujudkan hakimiyah Allah di bumi yakni nabi/kenabian. Ketiga, garis

Imâmah melanjutkan garis kenabian dalam memimpin umat. Setelah zaman para

nabi berakhir dengan wafatnya Rasulullah, kepemimpinan umat dilanjutkan oleh

para imam yang diwasiatkan rasulullah dan ahl al-bait-nya. Para imam ini terdiri

dari dua belas orang. Keempat, kepemimpinan umat yang dipegang oleh faqih.

Setelah imam tiada, kepemimpinan dipegang oleh faqih yang memenuhi syarat

tertentu. Syarat tersebut terdapat dalam pasal 109.

Persyaratan dan kualifikasi utama Pemimpin:

a. keilmuan, sebagaimana yang dituntut bagi tugas-tugas mufti (pemberi fatwa) dalam berbagai bidang fiqih.

b. Adil, taqwa, sebagaimana yang dituntut bagi kepemimpinan Umat islam.

c. Berwawasan politik dan social, bijaksana, berani, mampu dalam pemerintahan, dan cakap dalam kepemimpinan.

Bila tidak seorang faqih pun memenuhi syarat, harus dibentuk majelis

fuqahâ (para ahli hukum Islam). Prinsip ini juga terdapat dalam pasal 5 konstitusi

Iran, yang terwujud dalam bentuk Majelis Ahli.

54

Lima Rukun Iman; beriman kepada Allah, Nabi, Hari kebangkitan, Keadilan Allah, dan Imamah.

55

(38)

Menurut doktrin Syi’ah, pemerintahan hanyalah milik imam saja. Karena

ia berhak atas kepemimpinaan politik dan otoritas keagamaan. Umat Islam Syi’ah

meyakini bahwa yang berhak dan memiliki otoritas spiritual politik setelah Nabi

Muhammad adalah Ali bin Abi Thalib dan keturunannya. Berdasarkan landasan

Imâmah kemudian muncul konsep pemerintahan yang disebut wilâyah al-faqih

(vilayat-i faqih), melalui perjalanan historis dalam bidang teologis maupun yuridis

dikalangan para cendikiawan Syi’ah.

Dalam konsep pemerintahan Syi’ah, wilâyah al-faqih merupakan jawaban

atas permasalahan dalam doktrin politik Syi’ah pada saat memasuki periode

kegaiban besar, yaitu masa sesudah meninggalnya empat wakil imam sampai

kedatangan kembali Muhammad ibn al-Hasan al-Mahdi al-Muntazhar (Imam

Mahdi) yang ditunggu pada akhir zaman.56 Sebelumnya ada masa kegaiban yang

dikenal dengan kegaiban kecil dimana empat orang wakil khusus imam tersebut

secara berturut-turut menjawab pertanyaan-pertanyaan kaum Syi’ah dan

menyelesaikannya. Dengan terjadinya kegaiban besar, yaitu masa kevakuman

sesudah meninggalnya empat wakil imam tersebut, praktis siklus Imâmah

berakhir dan dalam situasi seperti ini sangatlah sulit mencari figur faqih yang

representatif. Para faqih tidaklah memiliki ismah (terbebas dari kesalahan).

Karena itu, terdapat kecenderungan menurut Syi’ah, masalah yang menyangkut

pandangan politik tentang seorang pemimpin atau faqih kemudian bukan

dipahami sebagai wakil imam melainkan sebagai wakil rakyat.57

56

M Riza Sihbudi, “Tinjauan Teoritis dan Praktis atas Konsep Wilayat Faqih: Sebuah Studi Pengantar,” Jurnal Ulumul Quran No. 4 (1993), h. 74.

57

(39)

Al Quran dan sunah merupakan bahan mentah bagi sumber ijtihâd, suatu

metode yang digunakan oleh para faqih dengan landasan akal ketika ada sebuah

persoalan yang tidak ada jalan pemecahannya dalam syariah. Para faqih tersebut

juga merupakan sumber lain dalam menghadapi persoalan-persoalan. Karena

faqih diakui sebagai kelompok orang-orang saleh yang mengkhususkan diri pada

hal-hal hukum dan moralitas yang dapat menasehati umat tentang tingkah laku

Islam yang benar. Kelompok orang-orang saleh inilah yang menjadi panutan suatu

tatanan sosial politik serta menjadi pelopor reaksi terhadap tingkah laku korup

golongan yang berkuasa yang mereka anggap sebagai para perusak penciptaan

tatanan sosial.

Konsep pemerintahan wilâyah al-faqih merupakan pemerintahan yang

dipegang oleh faqih atau ahli hukum Islam, yang merupakan pemuka agama,

pengawas mekanisme kenegaraan Islam. Teori wilâyah al-faqih adalah kelanjutan

dari doktrin Imâmah dalam ajaran Islam Syi’ah. Dalam pemahaman kaum Syi’ah,

konsep wilâyah atau pemerintahan merupakan pandangan mengenai

kepemimpinan atas umat dengan dalil surat al-Maidah ayat 55. Menurut para

mufassir Syi’ah ayat ini berkaitan dengan konsep beriman melalui penunjukan

oleh Nabi. Walaupun menurut kalangan Ahlussunnah, ayat tersebut hanyalah

pujian keutamaan akhlak seorang sahabat, Ali bin Abi Thalib.

Wilâyah memiliki beberapa arti. Secara bahasa, ia berasal dari bahasa

Arab wilâyah, yang artinya dekat dan memiliki kekuasaan atas sesuatu. Secara

teknis, wilâyah berarti pemerintahan (rule), supremasi, atau kedaulatan. Dalam

pengertian lain wilâyah berarti persahabatan, kesucian, kesetiaan atau perwalian.

(40)

Perkembangan para faqih Syi’ah sebagai imam-imam fungsional kaum

Syi’ah sambil menanti kembalinya imam terakhir sebagai al-Mahdi inilah yang

merupakan fokus teori wilâyah al-faqih, untuk mengisi “kekosongan politik”

selama kegaiban besar.

Sejak Revolusi 1979, konsep wilâyah al-faqih tercantum dalam konstitusi

Republik Islam Iran. Dalam pasal 5 disebutkan selama ketidakhadiran imam yang

keduabelas dalam Republik Islam Iran, wilayah dan kepemimpinan umat

merupakan tanggung jawab dari seorang faqih yang adil dan taqwa mengenal

zaman, pemberani, giat, dan berkemampuan memerintah yang akan memegang

tanggung jawab jabatan ini.58

Dalam pemerintahan Iran, terdapat tiga pemilu nasional. Salah satunya

adalah pemilu untuk memilih Dewan Ahli (Majlis-i Khubregan) yang bertugas

untuk mengangkat rahbar59. Pemilihan Dewan Ahli (terdiri dari para faqih –ahli

hukum Islam) beranggotakan 83 orang, berdasarkan sistem distrik yang dipilih

oleh rakyat dan menjabat selama delapan tahun. Sesuai dengan pasal 107, setelah

wafatnya Imam Khomeini, maka kepemimpinan menjadi tanggung jawab sebuah

Dewan Ahli yang dipilih oleh rakyat. Diantara mereka harus dipilih sebagai

pemimpin sesuai dengan persyaratan yang terdapat pada pasal 109 (keilmuan

tinggi dalam berbagai bidang fiqih, adil dan taqwa, serta berwawasan luas). Maka

orang inilah yang akan memegang jabatan pemimpin atau walî faqih (rahbar).

Sesuai dengan pasal 107, di mata hukum rahbar dengan rakyat sama

kedudukannya. Dan dalam pasal 111, jika rahbar tidak mampu melaksanakan

58

Humas Kedutaan Besar Republik Islam Iran Jakarta. Undang-Undang Dasar Republik Islam Iran,h. 4.

59

(41)

tugas resminya, maka akan dilepas dari jabatannya oleh Dewan Ahli. Karena

rahbar dipilih oleh Dewan Ahli. Secara struktural, jabatan rahbar berada di

bawah Dewan Ahli. Hanya saja yang perlu dikritik ialah masa jabatan yang tidak

dibatasi waktu, hanya terbatas jika sudah tidak mampu.

Sedangkan wewenang rahbar terdapat pada pasal 110, diantaranya;

menggariskan kebijaksanaan umum Republik Islam Iran setelah bermusyawarah

dengan Dewan Kemaslahatan Nasional, mengawasi pelaksanaan kebijakan umum

dari sistem itu, menunjuk enam fuqaha pada dewan perwalian, mengeluarkan

perintah untuk referendum, menyetujui kelayakan calon-calon presiden,

menyatakan perang dan damai, dan sebagainya.60

Setelah Ayatullah Khomeini meninggal dan digantikan oleh Ayatullah Ali

Khamenei, kekuasaan rahbar dalam praktiknya cenderung menurun. Imam

Khomeini menjadi rahbar secara aklamasi, karena ia sebagai seorang marja’

al-taqlîd61 (bisa memberi fatwa) serta Pemimpin Revolusi Islam yang wawasannya

sangat luas dan sangat populer. Beliau menjadi rahbar sampai akhir masa

hidupnya. Namun gagasan wilâyah al-faqih Ayatullah Khomeini bukannya tidak

mengandung segi-segi kelemahan dan kekurangan. Seperti dalam soal kriteria

faqih yang bisa diangkat sebagai rahbar. Jelas tidak mudah menemukan seorang

faqih yang bisa memenuhi kriteria dalam pasal 109.

Pemilihan Sayyid Ali Khamenei –yang mendapat dukungan Imam

Khomeini ketika masih hidup– sebagai rahbar, berjalan mulus. Namun banyak

kalangan menganggap “kelas” Ali Khamenei masih “jauh di bawah” Ayatullah

60

Humas Kedutaan, Undang-Undang Dasar, h. 62-64.

61

(42)

Khomeini yang merupakan marja’ al-taqlîd.62 Dalam hal ini, Khamenei hanyalah

seorang hujjah al-Islâm.63

Sebelum Khomeini meninggal, peraturan bahwa seorang rahbar harus

marja’ al-taqlîd dihapus. Sehingga Ali Khamenei yang bukan marja’ al-taqlîd

bisa terpilih. Terlepas dari kontroversi pemilihan khamenei sebagai rahbar ketika

itu, sampai saat ini kekuasaan Khamenei yang bergelar ayatullah masih diterima.

Pada tahun 1984, ulama Syiah, Ayatullah Ni’matullah Salihi-Najafabadi,

menerbitkan sebuah buku yang berjudul Vilayat-i Faqih: Hukumat-i Salihan

(Perwalian Faqih: Pemerintahan orang-orang saleh). Buku ini berisi interpretasi

baru terhadap teori wilâyah al-faqih Khomeini. Menurut Salihi, sifat yuridis

vilayat—merupakan suatu “kontrak sosial” antara rakyat dan faqih yang

dipercaya. Dalam rangka mendekatkan kepentingan dan peranan rakyat dengan

lembaga pemegang kekuasaan hukum, ia mencoba memadukan konsep-konsep

“moderen” seperti “pemerintahan mayoritas”, “kontrak sosial” dan “perwakilan”

dengan prinsip-prinsip pemerintahan Islam. Salah satu perwujudan dari “kontrak

sosial” itu adalah melalui baiat antara rakyat dan pemimpin. Baiat ditafsirkan “dua

arah”: bukan hanya rakyat yang wajib menaati pemimpin, tapi juga sebaliknya.

Sehingga mengandung kewajiban yang sama, baik bagi rakyat maupun pemimpin.

Dalam hal konsep perwakilan, Salihi berpendapat bahwa pemimpin dalam

komunitas Islam merupakan wakil rakyat. Oleh sebab itu, pemimpin yang terpilih

62

Riza Sihbudi, Tinjauan Teoritis h. 173.

63

Pada abad ke-19, dibentuk hirarki internal di dalam keulamaan, diratifikasi bersama,

ujjat h

tu adalah Di antara hirarki i

. disesuaikan dengan tingkat dan prestise diploma seorang ulama

al-Islâm (bukti Islam), ayat Allâh (tanda tuhan), ayat Allâh al-‘uzhmâ (ayatullah agung). Yang terakhirlah yang boleh menjadi marja’ al-taqlîd karena menguasai ilmu-ilmu agama secara mendalam dan dianggap mampu untuk mengambil keputusan hukum. Dalam Olivier Roy,

(43)

dapat dicopot kekuasaannya oleh rakyat yang memilihnya jika ia kehilangan

kualitasnya sebagaimana diisyaratkan bagi seorang Imam dalam Islam.

Munculnya interpretasi seperti ini, merupakan salah satu bukti bahwa wilâyah

al-faqih pada hakikatnya memang sebuah gagasan besar. Dan bagi sebuah gagasan

besar, interpretasi baru selalu dibutuhkan sesuai dengan perkembangan zaman.64

Konsep demokrasi dengan Islam yang digabungkan oleh Khomeini bukan hanya

sebuah pemikiran tetapi sudah terealisasi. Interpretasi Salihi secara tidak langsung

merupakan suatu dukungan terhadap pemerintahan Iran yang ada saat ini.

B. Legislatif

Legislatif di Iran terdiri dari tiga lembaga. Majelis Syura Islami

(parlemen), Dewan Perwalian (Dewan Wali), dan Dewan Ahli. Penjelasannya

sebagai berikut:

Pertama, Majelis Syura Islami yang biasa disebut parlemen, terdiri dari

wakil-wakil rakyat yang dipilih secara langsung melalui pemungutan suara secara

rahasia, sesuai dengan pasal 62. Tugasnya tidak membuat undang-undang,

melainkan mengusulkan rancangan undang-undang. Sumber legislasinya menurut

penafsiran pemimpin revolusi adalah jiwa syariat. Selain itu, parlemen

mempunyai hak untuk mengesahkan menteri-menteri dan membahas hal yang

berkaitan dengan masalah internasional, serta meminta tanggung jawab presiden.

Parlemen dipilih untuk masa jabatan selama empat tahun. Lembaga ini

bertanggung jawab langsung kepada rakyat karena hanya terikat pada aspirasi

rakyat. Saat ini anggotanya sebanyak 290 orang, dengan jumlah penduduk yang

64

(44)

semakin bertambah, maka setiap bertambah 150.000 orang akan bertambah satu

wakil di parlemen.

Sistem politik di Iran dilengkapi dengan mekanisme referendum dalam hal

tertentu. Misalnya, jika ada anggota parlemen yang meninggal atau gugur

keanggotannya karena suatu hal, maka diadakanlah pemilihan lagi di distrik yang

bersangkutan. Termasuk masalah-masalah mengenai masa depan negara atau

masalah perekonomian yang sangat penting, keputusan dapat dilakukan dengan

referendum. Boleh tidaknya referendum, ditentukan oleh dua pertiga dari seluruh

jumlah anggota legislatif (pasal 59 Undang-Undang Dasar).

Kedua, Dewan Perwalian65 (Shura-ye Negahban): yang terdiri dari 12

anggota –enam orang dipilih oleh rahbar dan enam ahli hukum lainnya ditunjuk

oleh kepala yudikatif dengan persetujuan Majelis Syura Islami. Masa jabatannya

enam tahun, tetapi setelah tiga tahun pertama, setengah dari setiap kelompok

diganti oleh anggota yang baru (pasal 92).

Dewan ini bertanggung jawab dalam pengesahan rancangan

undang-undang yang diusulkan parlemen. Apakah usulan rancangan undang-undang-undang-undang

tersebut sesuai dengan jiwa syariah. Jika sesuai dengan syariah, maka RUU akan

disahkan. Bila terjadi deadlock antara parlemen dengan Dewan Perwalian, maka

RUU akan diserahkan kepada Dewan Kemaslahatan Nasional, yang terdiri dari;

rahbar,ketua parlemen serta beberapa anggotanya, presiden, menteri serta banyak

ahli hukum yang berkaitan dengan hal tersebut. Kemudian masalah ini akan di

65

Dewan Perwalian ini, sama sekali bukan merupakan inovasi para pemimpin Iran. Dewan Perwalian yang sama juga ditemui dalam banyak sistem di negara lain. Seperti Perancis dengan Dewan Konstitusinya ataupun dalam bentuk lain seperti Republik Federal Jerman dengan Mahkamah Perwalian Konstitusi, ataupun diberikannya wewenang sejenis pada Mahkamah Agung

(45)

buka ke publik. Selain itu, dewan ini mempunyai tugas menyeleksi para kandidat

presiden dan bertanggung jawab atas pemilihan-pemilihan umum atau

referendum.

Ketiga,Dewan Ahli: dalam struktur negara Iran (terlampir), rahbar berada

di bawah Dewan Ahli (Majlis-i Khubregan). Karena ia dipilih oleh Dewan Ahli

sesuai dengan syarat dan ketentuan yang ada di dalam Undang-Undang Dasar

Republik Islam Iran (pasal 107 dan pasal 109). Lembaga ini terdiri dari 83 ulama

yang dipilih secara langsung melalui sistem distrik. Tugas rahbar adalah

mengawasi jalannya pemerintahan di bawah undang-undang. Sebelum datangnya

Imam Mahdi, rahbar merupakan perwakilan rakyat bukan perwakilan Tuhan.

Sisi demokratisnya terlihat bahwa yang menunjuk rahbar secara tidak

langsung adalah rakyat, bukan berdasarkan keturunan. Selain itu, wewenang

rahbar berada di bawah undang-undang, sehingga bila ia tidak sesuai dengan

undang-undang, Dewan Ahli dapat memberhentikannya. Dengan begitu, wilâyah

al-faqih66 merupakan pilihan rakyat namun pilihan tersebut harus memenuhi

standar spiritualitas yang tinggi agar tercapai manusia yang sejahtera dan selamat

tidak hanya di dunia tetapi juga di akhirat.

C. Eksekutif

Awal berdirinya Republik Islam Iran, jabatan eksekutif dipegang oleh

perdana menteri dan presiden. Namun dengan berjalannya waktu, tugas keduanya

66

Gambar

Tabel

Referensi

Dokumen terkait

pada ayat (1) tidak menutup usaha penyelesaian perkara perdata secara perdamaian”, dan didalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) khususmya terkait dengan hukum keluarga Pasal

Penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Suharto dan Suryoko 2016 dengan judul “Pengaruh Gaya Hidup, Suasana Toko Dan Kualitas Pelayanan Terhadap Keputusan Pembelian Pada Giggle

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan rahmat, taufiq, hidayah dan inayah-Nya sehingga penulis dapat menyusun dan menyelesaikan skripsi yang berjudul

LDR pada Bank Umum Swasta Nasional Devisa lebih kecil daripada Bank Asing, seharusnya NIM Bank Umum Swasta Nasional Devisa lebih kecil daripada Bank Asing, faktanya NIM

Hasil pertimbangan Pengadilan Negeri Kisaran menyatakan bahwa terdakwa terbukti bersalah melakukan tindak pidana bersalah melakukan tindak pidana “secara bersama-sama

surat yang akan ditandatangani oleh Walikota/Wakil Walikota terlebih dahulu harus diparaf oleh Sekretaris Daerah yang sebelumnya harus diparaf oleh Asisten Sekretaris Daerah

Penyusunan RKPD berpedoman pada RPJMD yang selanjutnya sebagai acuan dalam penyusunan KUA­PPAS dan   penyusunan

Hedging contract forward merupakan salah satu alternatif yang dapat digunakan perusahaan untuk mengurangi kerugian akibat fluktuasi kurs valas, karena kontrak ini