Segala puji dan syukur bagi Allah SWT, karena atas rahmat dan inayahNya tugas
akhir skripsi ini dapat diselesaikan. Shalawat dan salam senantiasa tercurahkan kepada
manusia agung, yaitu Nabi Muhammad Saw, yang telah membawa umat manusia dari
alam kegelapan menuju alam yang terang benderang dengan dien yang diridhai olehNya.
Dalam sebuah perjalanan menuju kesuksesan, tidak sedikit hambatan dan cobaan
yang penulis hadapi, namun semua bisa terlalui asalkan ada kemauan. Alhamdulillah,
berkat pertolonganNya segala hambatan dan cobaan yang penulis hadapi dalam
menyelesaikan penulisan skripsi ini dapat penulis atasi dengan penuh ketabahan dan
kesabaran hati. Disamping itu, penulis menyadari sepenuhnya bahwa tanpa adanya
motivasi, bimbingan, do’a dan bantuan senantiasa mengalir dari orang-orang disekeliling
penulis. Melalui kesempatan ini dengan segala kerendahan hati, penulis persembahkan
untaian kata terimakasih kepada:
1. Prof. DR. H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM. Dekan Fakultas Syariah
dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Dr. Euis Amalia, M.Ag. Ketua Program Studi Muamalat dan Azharuddin Latif,
M.Ag. Sekretaris Program Studi Muamalat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Dr. Hasanudin. M.Ag. Dosen Pembimbing yang telah memberikan bimbingan
dan pengarahan dalam penulisan skripsi ini.
4. Segenap Ibu/Bapak Dosen UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberi
ilmu yang tidak ternilai kepada penulis.
5. Pimpinan dan Karyawan perpustakaan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang
telah memberikan pelayanan referensi yang diperlukan penulis.
6. Almarhum Ayahanda tercinta KH. Muhammad Ali. Terimakasih banyak atas
diberikannya kesempatan ananda menuntut ilmu di UIN Syarif Hidatullah.
Semoga ilmu yang ananda dapatkan disini bermanfaat.
memberikan semangat moril dan materil kepada penulis dalam menyelesikan
skripsi ini.
9. Putri kecilku Zalfa Al-Kachla selamat ulang tahun sayang, skripsi ini umi
persembahkan dihari ulang tahunmu. Terimakasih sudah sering menemani penulis
di setiap waktu.
10.Kepada teman-temanku, mba Azza yang telah memberi motivasi dan informasi
buat penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Serta segenap teman-teman
angkatan 2003, yang telah setia menjadi teman seperjuangan, khususnya
teman-teman Fakultas Syariah dan Hukum Konsentrasi Perbankan Syariah serta semua
pihak yang tidak mungkin penulis sebutkan satu persatu, atas segala bantuan,
informasi serta motivasi yang diberikan dalam menyelesaikan skripsi ini.
Akhirnya dengan penuh kerendahan hati, penulis haturkan terimakasih yang
mendalam atas segala keikhlasan dukungan, motivasi, pengarahan, serta bantuan baik
moril maupun materiil. Penulis hanya mampu berdo’a semoga Allah membalas semua
amal perbuatan dengan kasih sayang-Nya. Harapan penulis mudah-mudahan skripsi ini
bisa memberikan manfaat bagi penulis maupun bagi pembaca. Amin
Jakarta, 19 November 2010
Penulis
Siti Nurlaila
1 A. Latar Belakang Masalah
Perbankan Islam sekarang telah menjadi istilah yang terkenal luas baik
di dunia Muslim maupun di dunia Barat. Istilah tersebut mewakili suatu
bentuk perbankan dan pembiayaan yang berusaha menyediakan
layanan-layanan bebas ‘bunga’ kepada para nasabah. Para pendukung perbankan Islam
berpendapat bahwa bunga adalah riba dan karenanya, menurut hukum Islam
bunga bank diharamkan. Sikap terhadap bunga yang seperti ini mendorong
beberapa sarjana dan praktisi perbankan Muslim untuk menemukan sejumlah
cara dan alat guna mengembangkan sistem perbankan alternative yang sesuai
dengan ajaran-ajaran hukum Islam, khususnya, aturan-aturan yang terkait
dengan pengharaman riba.1
Sebelum penulis mengupas lebih dalam masalah bunga bank, penulis
terlebih dahulu membahas asal mula berdiri atau terbentuknya bank, karena
sistem bunga muncul ketika bank itu terbentuk. Salah satu kegiatan usaha
yang paling dominan dan sangat dibutuhkan keberadaannya didunia ekonomi
dewasa ini adalah kegiatan usaha lembaga keuangan perbankan, karena bank
adalah salah satu lembaga ekonomi yang sudah sangat tua keberadaannya.
1
Abdullah Saeed, Menyoal Bank Syariah Kritik atasInterpretasi BungaBank KaumNeo
Kita tidak tahu sejak kapan bank pertama diorganisir, dan bukti-bukti sejarah
menunjukkan bahwa usaha-usaha perbankan telah ada dalam peradaban kuno.
Lempengan-lempengan tanah liat di puing-puing kota Babylonia pada tahun
2000 SM, telah ada pelayanan seperti bank yaitu untuk menyimpan harta, dan
berkembangnya perekonomian uang dan kredit. Lempengan-lempengan tanah
liat tersebut merupakan bentuk-bentuk janji dan perintah untuk membayar
mata uang atau perak, mirip dengan promes dan cek yang kita kenal saat ini.
Misalnya, salah satu lempengan tanah liat kuno tersebut merupakan sebuah
prasasti yang jelas mencerminkan promes oleh seorang petani kepada bank
sebagai tanda terima pinjaman yang diterimanya.
Inskripsi tersebut berbunyi:
“Warad-Ilish, anak laki-laki dari Taribaum, telah menerima dari pendeta
wanita matahari, puteri dari Ibbatum, satu shekel perak menurut timbangan
dewa matahari. Jumlah ini akan digunakan untuk membeli wijen, pada waktu
panen wijen, ia akan membayar kembali dalam bentuk wijen menurut harga
pasar yang berlaku kepada pembawa dokumen ini”.2
Prasasti tersebut telah secara jelas menunjukkan adanya transaksi
pinjam meminjam dan bentuk promes yang dapat diperjual belikan.
Tampaknya pada awal perkembangannya kegiatan usaha perbankan
dimonopoli oleh organisasi-organisasi keagamaan seperti kuil-kuil di
Babylonia tersebut. Terdapat alasan yang kuat mengapa kegiatan usaha
2
Bank Indonesia, “Sistem Perbankan dan Peran Perbankan dan Dampaknya Dalam
Meningkatkan Kesejahteraan Ekonomi. Keputusan dan Makalah Lokakarya Bunga Bank dan Perbankan”, Safari Garden Hotel, Cisarua – Bogor, 19-22 Agustus 1990, h. 1.
perbankan tersebut hanya dapat dilakukan oleh organisasi-organisasi
keagamaan. Organisasi keagamaan pada masa itu memiliki tanah-tanah yang
luas yang dapat menjadi sumber penghasilan besar bagi organisasi.
Disamping itu karena kuil-kuil dianggap suci dan dapat menyimpan
rahasia, maka sangat dipercaya oleh masyarakat. Dengan demikian wajarlah
bila masyarakat Babylonia menganggap kuil-kuil itu sebagai tempat yang
aman untuk menyimpan emas, perak dan uang mereka. Dalam perkembangan
selanjutnya kuil-kuil tersebut selain menerima tabungan dari masyarakat dan
menyediakan kredit, mereka juga menyediakan fasilitas penyimpanan
barang-barang berharga (safe deposit). Praktek-praktek perbankan tampaknya telah
dilaksanakan pula dikerajaan Romawi kuno, dimana para banker telah
menerima simpanan, mengeluarkan promes, menyediakan pinjaman, membeli
dan menjual surat-surat hipotik serta mengeluarkan L/C.3
Kegiatan usaha lembaga keuangan perbankan sangat dibutuhkan
didalam dunia perekonomian karena jika kita melihat fungsinya yaitu sebagai
pengumpul dana yang sangat berperan demi menunjang pertumbuhan
ekonomi suatu bangsa. Selain alat penghimpun dana, lembaga keuangan ini
mampu melancarkan gerak pembangunan dengan menyalurkan dananya ke
berbagai proyek penting di berbagai sektor usaha yang dikelola oleh
pemerintah. Demikian pula lembaga keuangan ini dapat menyediakan dana
3
bagi pengusaha-pengusaha swasta atau kalangan rakyat pengusaha lemah
yang membutuhkan dana bagi kelangsungan usahanya. Dan juga sebagai
fungsi lain yang berupa jasa bagi kelancaran lalu lintas dan peredaran uang
baik nasional maupun antar Negara4.
Permasalahan muncul dipertengahan tahun 1990 yaitu masalah bunga
bank, yang terjadi setelah pemerintah menempuh kebijaksanaan baru dalam
masalah perbankan, karena itu banyak bermunculan di mana-mana bak jamur
musim hujan. Yang menjadi permasalahan di kalangan ulama dan bahkan
menjadi polemik berkepanjangan adalah tentang penentuan bunga pada
lembaga keuangan yang berkembang selama ini. Apakah bunga yang
diperlakukan didalam lembaga keuangan termasuk di dalam unsur riba, atau
bahkan praktik riba itu sendiri? Bunga dijadikan sebagai penopang hidup dan
berkembangnya lembaga keuangan. Oleh para kaum kapitalis dianggap
sebagai penggerak ekonomi, tanpa bunga perekonomian dunia tidak akan
pernah berkembang. Para ulama dan cendikia muslim berbeda pendapat dalam
memahami dan menentukan apakah bunga boleh diperlakukan dalam kegiatan
ekonomi dengan dikaitkan pada nash tentang riba.5
Masalah status hukum bunga bank apakah termasuk kategori riba
ataukah tidak sampai saat ini masih kontroversial. Ada yang mengatakan,
4
Gemala Dewi, Aspek-Aspek Hukum Dalam Perbankan dan Perasuransian Syariah Di
Indonesia, cet.II, (Jakarta: Kencana, 2004), h. 53.
5
Nadratuzzaman Hosen, dkk, Menjawab Keraguan Umat Islam Terhadap Bank Syariah,
bunga bank termasuk kategori riba yang hukumnya haram. Dipihak lain, ada
pula yang mentolelir bahkan memperbolehkan bunga bank dengan berbagai
alasan.6
Kata riba telah disebutkan secara umum dalam Al-Qur’an atau hadits.
Maka konotasinya tidak lain dari riba yang hakiki, yaitu apa yang dikenal
pada era jahiliyah, dan yang populer dengan istilah “ riba nasi’ah” ‘riba
utang’. Namun ada lagi jenis riba lain dalam hadits disebut “riba fadl” ‘riba
jual beli’. Jenis ini diharamkan oleh Sunnah melalui pintu “sadd az-zara’i”
tindakan preverentif bagi terjadinya riba yang asli. Jadi ini diharamkan,
karena fungsinya sebagai mediator (wasilah), bukan karena substansinya.7
Sebenarnya inti permasalahan yang disini adalah masalah prinsip.
Yang menjadi prinsip bank adalah “bunga” (interest). Yakni, tambahan uang
yang sudah ditetapkan sebelumnya berapapun besarnya, apapun jenis
uangnya, dan dalam kondisi apapun.
Dalam riba jahiliyah mereka yang meminjamkan uang pada awalnya
tidak memakai riba (tambahan). Riba baru muncul bila jangka waktu
pembayaran yang telah ditentukan semula telah berakhir, sementara peminjam
belum juga melunasi utangnya. Jadi konsekuensinya, orang yang menetapkan
sejak awal bahwa pihaknya tidak akan memberi pinjaman, kecuali dengan
6
Yusuf Al-Qardawi, Bunga Bank, Haram, cet.III, (Jakarta: Akbar Media Eka Sarana, 2003),
h. 4.
7
memakai riba (bunga), berarti lebih bejat dan lebih haram lagi, ketimbang
praktik yang terjadi pada riba jahiliyah. Inilah praktek-praktek yang berlaku
pada bank sekarang ini. Karena bunga bank dihitung bagi peminjam sejak hari
pertama seseorang mengambil uang dari bank.8
Akan tetapi menurut ulama lainnya bunga bank itu tidak termasuk ke
dalam umumnya lafadh riba. Sebab bank adalah badan hukum, bukan
perorangan, di mana sistem perbankan pada waktu itu (zaman jahiliyah/
permulaan Islam) belum ada.9 Apabila kita melihat semangat ayat-ayat riba
maka dapat kita fahami bahwa riba yang dilarang itu adalah yang dilakukan
oleh perorangan. Mari kita renungkan secara seksama ayat riba dalam surat
al-Baqarah ayat 278-280:
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah dan tinggalkanlah sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman.maka jika kamu tidak megerjakan (meninggalkan sisa riba) maka ketahuilah bahwa Allah dan RasulNya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba) maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak boleh menganiaya dan tidak boleh dianiaya. Dan jika (orang yang berhutang itu)
8
Ibid., h. 77
9
Ibrahim Hosen, Kajian Tentang Bunga Bank Menurut Hukum Islam, makalah disampaikan
dalam kesukaran maka berilah tagguh waktu sampai ia berkelapangan. Dan menyedekahkan (sebagian atau semua hutang) itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui”
Dalam ayat diatas nampak jelas bahwa khitab riba itu ditujukan
kepada pribadi/perorangan tidak lembaga atau badan hukum. Memang,
melihat lafadh riba yang bersifat umum itu semestinya tercakuplah di
dalamnya pribadi/perorangan dan badan hukum. Akan tetapi karena melihat
fakta yang ada, dimana waktu itu badan hukum, yaitu bank belum ada maka
jelas bank belum tercakup di dalamnya.
Dengan adanya beberapa pendapat mengenai bunga bank dan riba,
maka di sini penulis ingin mengkaji lebih dalam lagi tentang bunga bank
apakah termasuk riba atau bukan. Dalam hal ini penulis akan membandingkan
pendapat Ibrahim Hosen dan Yusuf al-Qaradhawi mengenai status hukum
tersebut. Oleh karena itu penulis tertarik untuk menulis skripsi dengan judul
“Pandangan Ibrahim Hosen dan Yusuf al-Qaradhawi Mengenai Status Hukum Bunga Bank”
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
Dalam pembatasan pada skripsi ini hanya dibatasi pada pandangan
Ibrahim Hosen dan Yusuf al-Qaradhawi mengenai status hukum bunga bank.
Dari uraian latar belakang dan pembatasan masalah tersebut, maka yang
1.Bagaimana pandangan atau pemikiran Ibrahim Hosen dan Yusuf al-Qaradhawi
terhadap status hukum bunga bank?
2.Apa persamaan dan perbedaan pandangan hukum bunga bank antara
keduanya?
3.Bagaimana konstribusinya terhadap pertumbuhan perbankan syariah di
Indonesia?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian yang akan dibahas oleh penulis dalam skripsi
ini adalah sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui tentang pandangan Ibrahim Hosen dan Yusuf
al-Qaradhawi.
2. Menganalisis persamaan dan perbedaan pandangan status hukum bunga bank
yang dipaparkan oleh Ibrahim Hosen dan Yusuf al-Qaradhawi.
3. Untuk mengetahui konstribusi yang diberikan dari kedua pemikiran Ibrahim
Hosen dan Yusuf al-Qaradhawi terhadap pertumbuhan perbankan syariah di
Indonesia.
Dari tujuan penelitian tersebut diharapkan akan memberikan konstribusi
positif bagi umat islam dan menambah pemahaman mengenai bunga bank dan
D. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian
Skripsi ini berupa penelitian kepustakaan (library research) dengan data
dan cara analisa kualitatif,10 dengan mendeskripsikan dan menganalisis obyek
penelitian yaitu membaca dan menelaah berbagai sumber yang berkaitan
dengan topik, untuk kemudian dilakukan analisis dan akhirnya mengambil
kesimpulan yang akan dituangkan dalam bentuk laporan tertulis.
Skripsi ini juga menggunakan metode analisa komparasi11 yaitu
dengan membandingkan pandangan status hukum bunga bank Ibrahim Hosen
dan Pandangan status hukum bunga bank Yusuf al-Qaradhawi dengan
demikian akan menghasilkan pemahaman yang obyektif dan utuh.
2. Tingkat Penelitian
Tingkat penelitian mengarah pada deskriptif (Taksonomik) dan
eksploratif, yaitu ingin menggambarkan sekaligus menggali secara luas
tentang sebab atau hal-hal yang mempengaruhi latar belakang pemikiran
tokoh ini.
3. Jenis Data dan Sumber Data
Jenis data yang digunakan dalam penulisan ini adalah data kualitatif
yang diperoleh dari sumber-sumber otentik yang terdiri atas sumber data
10 Lexy J. Moloeng, Metode Penelitian Kualitatif, cet.X, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya,
1999), h. 160. 11
Abudin Nata, Metodelogi Studi Islam, cet.IX, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004),
primer dan sumber data skunder. Dalam penelitian ini, sumber data primer
yang digunakan adalah makalah lokakarya yang ditulis Ibrahim Hosen dan
buku karya Yusuf al-Qaradhawi yang berjudul Bunga Bank, Haram terjemah
dari Fawaid al-Bunuk Hiya ar-Riba al-Haram yang diterbitkan oleh Akbar
Eka Media Sarana tahun 2003.
Sedangkan sumber data skunder yang digunakan adalah berbagai
tulisan yang berkaitan dengan penelitian ini, baik langsung maupun tidak
langsung, seperti buku Bunga Itu Bukan Riba dan Bank Itu Tidak Haram
karya Prof.MR.R.H. Kasman Singodimedjo, Bantahan Atas
Kebohongan-kebohongan Seputar Hukum Riba dan Bunga Bank karya M. Ahmad
ad-Da’ur, Doktrin Ekonomi Islam jilid 3 karya Afzalur Rahman. Menyoal Bank
Syariah: Kritik atas Interpretasi Bunga Bank Kaum Neo-Revivalis karya
Abdullah Saeed.
4. Tehnik Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah
studi kepustakaan (Library Research) dengan membaca, memahami dan
menganalisa buku-buku serta menelusuri berbagai literature yang ada
relevansinya dengan pembahasan ini, serta literature lain sebagai penunjang
untuk dikaji lebih jauh guna mencari landasan pemikiran dalam upaya
5. Teknik Analisis Data
Untuk menganalisa data yang terkumpul pandangan tokoh Ibrahim
Hosen dan Yusuf al-Qaradhawi yang menjadi objek penulisan ini penulis
memakai metode analisis wacana (Discourse), karena pengumpulan data dan
informasi akan dilakukan pengujian arsip dan data dokumen, naskah atau
literatur lainnya yang tidak mengadakan perhitungan melainkan penekanan
ilmiah, dengan mengikuti alur pemikiran Ibrahim Hosen dan Yusuf
al-Qaradhawi.
6. Teknik Penarikan Kesimpulan
Metode induksi-deduksi dilakukan untuk menelaah pemikiran sang
tokoh yang dihadapinya dapat diambil kesimpulan umum mengenai status
hukum bunga bank untuk kemudian diambil kembali dengan menerapkannya
kepada pemikiran-pemikiran lain dari kedua tokoh ini demi melihat sejauh
mana ketepatan kesimpulan yang diambil pertama.
E. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu
Penelitian oleh Jaenudin Kurniawan pada tahun 2007 yaitu penelitian
tentang “Pengaruh tingkat suku bunga SBI terhadap penetapan nisbah bagi hasil
deposito mudharabah pada PT. Bank Muamalat Indonesia Tbk” hasil
penelitiannya adalah yang pertama, dampak dari tingkat suku bunga yang tinggi
adalah tingkat bunga yang tinggi juga untuk para debitur. Bank tidak mau rugi.
uangnya maka mereka akan menuntut bunga yang lebih tinggi lagi bagi mereka
yang meminjam dari bank. Selisih diantara keduanya adalah keuntungan bank dan
inilah yang menjadi salah satu sumber penghasilan bank, bagi hasil merupakan
salah satu prinsip yang dapat digunakan perbankan sebagai pengganti bunga
dalam memberi dan menerima imbalan atas jasa yang dilakukan. Faktor-faktor
yang mempengaruhi suku bunga BI adalah kebutuhan dana, Target laba yang
diinginkan, Kualitas jaminan, Kebijaksanaan pemerintah, Jangka waktu, Reputasi
perusahaan, Produk yang kompetitif, hubungan baik persaingan.
Kedua, penentuan bagi hasil yang diterima nasabah dipengaruhi oleh pendapatan
yang diperoleh bank dari bagi hasil dengan nasabah pembiayaan. Target
perolehan dana bank, hal ini di kondisikan dengan tingkat FDR, tingkat bagi hasil
competitor. Nisbah yang ada pada Bank Muamalat itu ada dua, ada yang disebut
dengan nisbah conter dan juga nisbah spesial yang ternyata pelayanannya pun
berbeda.12
F. Kerangka Teori
Riba secara bahasa bermakna ziyadah (tambahan). Dalam pengertian lain,
secara linguistik, riba juga berarti tumbuh dan membesar. Adapun menurut istilah
teknis, riba berarti pengambilan tambahan dari harta pokok atau modal secara
berlebihan. Ada beberapa pendapat dalam menjelaskan riba, namun secara umum
12 Jaenudin Kurniawan, “Pengaruh tingkat suku bunga SBI terhadap penetapan nisbah bagi hasil
terdapat benang merah yang menegaskan bahwa riba adalah pengambilan
tambahan, baik dalam transaksi jual beli maupun pinjam meminjam secara bathil
atau bertentangan dengan prinsip muamalah dalam Islam.
Dalam kaitannya dengan pengertian al-bathil, Ibnu al-Arabi al-Maliki
dalam kitabnya, Ahkam al-Qur’an, menjelaskan; “pengertian riba secara bahasa
adalah tambahan, namun yang dimaksud riba dalam ayat Qur’ani yaitu setiap
penambahan yang diambil tanpa adanya satu transaksi pengganti atau
penyeimbang yang dibenarkan syariah.“
Yang dimaksud dengan transaksi pengganti atau penyeimbang yaitu
transaksi bisnis atau komersial yang melegitimasi adanya penambahan tersebut
secara adil, seperti transaksi jual beli, gadai, sewa, atau bagi hasil proyek. Dalam
transaksi sewa si penyewa membayar upah sewa karena adanya manfaat sewa
yang dinikmati, termasuk menurunnya nilai ekonomis suatu barang karena
penggunaan si penyewa. Mobil misalnya, sesudah dipakai maka nilai
ekonomisnya pasti menurun jika dibandingkan sebelumnya. Dalam hal jual beli,
si pembeli membayar harga atas imbalan barang yang diterimanya. Demikian juga
dalam hal bagi hasil, para peserta perkongsian berhak mendapat keuntungan
karena di samping menyertakan modal juga turut serta menanggung kemungkinan
risiko yang bisa saja muncul setiap saat.
Dalam transaksi simpan pinjam dana, secara konvensional, si pemberi
pinjaman mengambil tambahan dalam bentuk bunga tanpa adanya suatu
yang berjalan selama proses peminjaman tersebut. Yang tidak adil disini adalah si
peminjam diwajibkan untuk selalu, tidak boleh tidak, harus, mutlak, dan pasti
untung dalam setiap penggunaan kesempatan tersebut. 13
Asal usul ataupun sebab-sebab bunga sebagaimana dinyatakan dalam
kutipan berikut oleh Haberler menuliskan :14
“teori bunga telah lama muncul secara lemah dalam ilmu ekonomi,
sedangkan penjelasan dan ketentuann tingkat bunga masih tetap memperlebar
jurang ketidaksamaan pendapat antara pakar ekonomi dari pada cabang-cabang
ekonomi lain pada umumnya”.
Bunga bank dapat diartikan sebagai balas jasa yang diberikan oleh bank
yang berdasarkan prinsip konvensional kepada nasabah yang membeli atau
menjual produknya. Bunga juga dapat diartikan sebagai harga yang harus dibayar
kepada nasabah (yang memiliki simpanan) dengan yang harus dibayar oleh
nasabah kepada bank (nasabah yang memperoleh pinjaman).15
Dalam kegiatan perbankan sehari-hari ada 2 macam bunga yang diberikan
kepada nasabahnya yaitu:
1. Bunga Simpanan
Bunga yang diberikan sebagai rangsangan atau balas jasa bagi nasabah yang
menyimpan uangnya di bank. Bunga simpanan merupakan harga yang harus
13
Muhammad Syafii Antonio, Bank Syariah dari Teori ke Praktik, (Gema Insani: Jakarta,
2001), h. 37-38. 14
Afzalur Rahman, Doktrin Ekonomi Islam Jilid III, cet.II, (PT. Dana Bhakti Prima Yasa,
Yogyakarta, 2002), h.13. 15
dibayar bank kepada nasabahnya. Sebagai contoh jasa giro, bunga tabungan
dan bunga deposito.
2. Bunga Pinjaman
Adalah bunga yang diberikan kepada para peminjam atau harga yang
harus dibayar oleh nasabah peminjam kepada bank. Sebagai contoh bunga
kredit.
Kedua macam bunga ini merupakan komponen utama faktor biaya dan
pendapatan bagi bank konvensional. Bunga simpanan merupakan biaya dana
yang harus dikeluarkan kepada nasabah sedangkan bunga pinjaman
merupakan pendapatan yang diterima dari nasabah. Baik bunga simpanan
maupun bunga pinjaman masing-masing saling mempengaruhi satu sama
lainnya. Sebagai contoh seandainya bunga simpanan tinggi, maka secara
otomatis bunga pinjaman juga terpengaruh ikut naik dan demikian pula
sebaliknya.
Al-Qur’an dan Sunnah adalah dua sumber pokok hukum Islam
melarang keras adanya bunga karena kezalimannya (Q.S, Al Muzzammil dan
Q.S, Al Baqarah)16. Dan Islampun mengecam bunga, tetapi bersamaan dengan
itu menciptakan kondisi di dalam masyarakat sehingga pinjaman bebas bunga
tersedia bagi orang yang membutuhkannya. Bahkan orang miskin yang
16
M. Abdul Mannan, Teori dan Praktek Ekonomi Islam, (Yogyakarta: PT. Dana Bhakti
meminjam diberi kelonggaran disaat mengalami kesulitan keuangan
sebagaimana dinyatakan pada surat al-Baqarah ayat 280.
Hukum Islam secara tegas melarang memberikan pinjaman uang
tabungan melipatgandakan bunga. Orang secara bebas dapat menabung
sesukanya tetapi akumulasi tabungann tersebut tidak boleh menumbuhkan
bunga dalam sistem ekonomi Islam.17
Beberapa ulama serta pakar ekonomi banyak yang berbeda pendapat
mengenai bunga bank, diantaranya Yusuf al-Qaradhawi yang menyatakan
bahwa bunga bank itu termasuk riba, dan juga mengatakan secara tegas bahwa
Islam telah mengharamkan riba dan secara keras melarangnya.18 Sedangkan
pendapat yang kedua dikemukakan oleh Ibrahim Hosen, beliau mengatakan
bahwa bunga bank itu tidak termasuk ke dalam umumnya lafadh riba. Sebab
bank adalah badan hukum, bukan perorangan, di mana sistem perbankan pada
waktu itu (zaman jahiliyah/ permulaan Islam) belum ada. Apabila kita melihat
semangat ayat-ayat riba maka dapat kita fahami bahwa riba yang dilarang itu
adalah yang dilakukan oleh perorangan.
Alasan pendapat yang mengharamkan karena di dalam bunga bank
terdapat unsur-unsur riba, yaitu: Unsur tambahan (ziyadah) pembayaran atas
modal yang dipinjamkan. Tambahan tersebut tanpa iwadh/moqobil (risiko),
hanya karena adanya tenggang waktu pembayaran kembali. Tambahan itu
17
Ibid.,h. 7
18
diisyaratkan di dalam akad. Dapat menimbulkan adanya unsur pemerasan
(dzulm).
Alasan pendapat yang menghalalkan bunga bank ialah: adanya
kesukarelaan kedua belah pihak dalam akad. Tidak adanya unsur pemerasan
(zulm). Mengandung manfaat untuk kemaslahatan umum.
G. Teknik Penulisan
Penulisan skripsi ini mengacu pada “Buku Pedoman Penulisan Skripsi”
yang diterbitkan oleh Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri
(UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta 2007.
H. Sistematika Penulisan
Merujuk pada semua yang telah diuraikan diatas dan metode yang
digunakan serta untuk memudahkan penulisan skripsi ini, maka pembahasan
dibagi menjadi lima bab yang disusun sebagai berikut :
BAB I PENDAHULUAN
Dalam bab ini berisi tentang latar belakang masalah, pembatasan
dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian,
metodelogi penelitian, tinjauan kajian terdahulu, kerangka teori,
BAB II PEMIKIRAN IBRAHIM HOSEN DAN YUSUF AL-QARADHAWI TERHADAP STATUS HUKUM BUNGA BANK
Bab ini mengungkapkan biografi Ibrahim Hosen, dan biografi
Yusuf Qaradhawi, pemikiran Ibrahim Hosen dan Yusuf
al-Qaradhawi terhadap status hukum bunga bank, persamaan dan
perbedaan pemikiran antara keduanya.
BAB III ARGUMEN IBRAHIM HOSEN DAN YUSUF
AL-QARADHAWI TERHADAP STATUS HUKUM BUNGA BANK
Bab ini mengungkapkan beberapa pendapat ulama dan para ahli
sekitar masalah status hukum bunga bank, argumen Ibrahim Hosen
Yusuf al-Qaradhawi terhadap status hukum bunga bank dari
pendapat ulama dan para ahli.
BAB IV KONTRIBUSINYA TERHADAP PERTUMBUHAN
PERBANKAN SYARIAH DI INDONESIA
Bab ini mengungkapkan kontribusi yang diberikan kepada Ibrahim
Hosen dan Yusuf al-Qaradhawi terhadap pertumbuhan perbankan
BAB V PENUTUP
Bab ini merupakan bab terakhir yang terdiri atas kesimpulan yang
merupakan jawaban dari perumusan masalah, saran-saran dan
20 A. Biografi Kedua Tokoh
1. Biografi Ibrahim Hosen
Ibrahim Hosen dilahirkan pada tanggal 01 Januari 19171 di sebuah dusun
perbatasan kota Tanjung Agung Bengkulu. Ia dilahirkan dari perkawinan seorang
ulama sekaligus saudagar besar keturunan Bugis, KH. Hosen dengan anak bangsawan
dari keluarga ningrat Kerajaan Salebar Bengkulu bernama Siti Zawiyah. Ia adalah
anak kedelapan dari dua belas bersaudara.2
Ibrahim Hosen kecil tumbuh dan dibesarkan dalam keluarga yang religius
tradisional dan disiplin. Oleh sebab itu, ayahnya tidak memasukkan Ibrahim Hosen
kesekolah Belanda (HIS), meskipun secara materi mampu membiayainya. Karena
belajar pada sekolah Belanda, termasuk mempelajari bahasanya, bagi Ayahnya dan
umumnya yang dianut para ulama waktu itu masih dianggap tabu. Ibrahim Hosen
dididik Ayahnya sendiri dengan pemberlakuan jadwal yang ketat baginya. Pagi hari
ia harus bangun sebelum Subuh, lalu shalat dan terus belajar mengaji, begitu juga
1
Tanggal, bulan, dan tahun kelahirannya ini menurut penuturan Ibrahim kepada anak-anaknya adalah berdasarkan perkiraannya saja, yang pastinya ia tidak tahu karena dahulu tidak ada catatan (akte lahir) dari orang tuanya. Hasil wawancara Toha Andiko dengan Nadratuzzaman, Jakarta, 14 Januari 2008.
2
Panitia Penyusun Biografi, Prof. KH. Ibrahim Hosen dan Pembaharuan Hukum Islam di
sore harinya hingga tengah malam. Sedangkan siang harinya ia belajar di Madrasah.
Disamping itu, ia juga sering dibawa ayahnya berdakwah dari satu surau ke surau
lainnya dan diajak mengunjungi para ulama terkenal yang ada pada masa itu.3
Secara formal, Ibrahim Hosen melalui pendidikannya pada Madrasah
As-Sagaf, tinggkat ibtidaiyah di Singapura tahun 1925. Menjelang duduk di kelas IV, ia
mengikuti ayahnya dan seluruh keluarganya pindah ke Tanjung Karang. Di kota ini,
ia melanjutkan pendidikannya di Mu’awanatul Khair Arabische School (MAS),
sekolah yang didirikan ayahnya pada tahun 1922. Pada kedua sekolah tersebut,
prestasi Ibrahim Hosen tidak terlalu istimewa. Kalaupun ada kelebihan dalam
beberapa mata pelajaran, seperti bahasa Arab dan penguasaan kitab kuning, ini karena
ayah dan kakaknya Oesman Hosen secara khusus mengajarinya dirumah.
Setelah Ibrahim Hosen melanjutkan pendidikannya ke tingkat Tsanawiyah
mulai tahun 1932-1934 di Teluk Betung, mulailah terlihat perbedaannya dibanding
dengan kawan-kawannya. Ia sangat tekun dalam belajar. Diluar waktu sekolah, ia
menggunakan kesempatan untuk belajar agama dan bahasa Arab lewat kajian
kitab-kitab kuning kepada Kyai Nawawi.4 Dirumah Kyai Nawawi ini pula ia menamatkan
kitab nahw, sharf, dan fiqih, termasuk Minhaj al-Abidin dalam bidang tasawuf. Jadi
dari Kyai inilah Ibrahim Hosen secara serius lebih memperdalam penguasaannya
terhadap ilmu-ilmu agama, terutama bahasa arab dan fiqih.
3
Ibid., h.5
4
Kyai Nawawi (bukan Nawawi al-Bantani) adalah seorang ulama besar yang pernah belajar
dan menjadi guru di Mekkah selama kurang lebih 12 tahun. Murid-muridnya, baik sewaktu di Makkah
Setelah menyelesaikan jenjang Tsanawiyah, Ibrahim Hosen merasa bahwa
ilmu yang didapatnya belum memadai. Oleh sebab itu, iapun bertekad harus
mengelana mencari ilmu dengan memburu guru ke tempat asalnya. Hal itu ia lakukan
demi mencapai cita-cita hidupnya, belajar untuk menjadi orang alim dalam bidang
agama. Karena itu pula, pada tahun 1934 ia menuju pulau jawa. Tempat pertama yang
ditujunya adalah pesantren Cibeber, Cilegon di kawasan Banten yang dipimpin oleh
KH. Abdul Latif. Di Pesantren ini, Ibrahim Hosen hanya tinggal 2 bulan. Sebab apa
yang diajarkan di Pesantren Cibeber ini tidak jauh berbeda dengan apa yang pernah
diterimanya sewaktu di Teluk Betung dari Kyai Nawawi. Selain itu, sistem pesantren
yang sangat tradisional menjadi alasan lain baginya untuk pergi menuju Jami’at Khair
Tanah Abang, sekolah semi Pesantren yang sangat terkenal pada, masa itu.
Tujuan Ibrahim Hosen ke sekolah tersebut ingin belajar langsung kepada
Sayyid Ahmad as-Segaf, seorang ulama yang sangat mahir dalam ilmu bahasa dan
sastra Arab, yang juga pernah menjadi guru kakanya, Otsman Hosen. Namun sayang
sang guru telah pindah ke Solo dan sudah tidak mengajar lagi. Hal menarik terjadi
ketika Ibrahim Hosen datang ke Jami’at Khair, karena saat itu ia disangka datang
akan mengajar. Ini karena perkenalannya dengan para guru dan pengurus sekolah
melalui percakapan yang menggunakan bahasa Arab yang cukup fasih. Berulang kali
ia meyakinkan pihak sekolah bahwa ia ingin belajar, bukan mengajar, tetapi pihak
sekolah tidak percaya, bahkan mereka menawarkan ijazah kepada Ibrahim Hosen
Masih ditahun yang sama, Ibrahim Hosen lalu berangkat ke Serang Banten
menuju Pesantren Lontar yang dipimpin oleh KH. TB. Sholeh Ma’mun (Di Arab
Saudi dikenal dengan Syekh Ma’mun al-Khusyairi) yang ahli dalam ilmu qira’at dan
tilawat al-Qur’an. Di sini ia diistimewakan dibanding santri lainnya dengan
menempati sebuah kamar yang serumah dengan Kyai Sholeh dan belajar secara
langsung darinya setiap pagi dan malam hari. Sedangkan siang harinya, ia belajar di
Madrasah Khairul Huda, Kaujon, yang dipimpin Ustadz Khudhari. Walaupun di
pesantren ini ia belajar tidak lebih dari 6 bulan, namun cukup banyak ia mewarisi
ilmu dari gurunya tersebut. Selain ilmu fiqih dan penguasaan kitab-kitab kuning
lainnya, ia juga mewarisi ilmu Qira’ah dan Tilawah serta lagu-lagu berirama qasidah,
termasuk Barzanji, Mawalan, dan lainnya. Ilmu-ilmu inilah kiranya yang telah
mempengaruhi dan memotivasi Ibrahim Hosen di kemudian hari untuk berusaha
mendirikan Perguruan Tinggi Ilmu al-Qur’an (PTIQ) yang terwujud tahun 1971 dan
Istitut Ilmu al-Qur’an (IIQ) pada tahun 1977.
Dari Pesantren Lontar, Ibrahim Hosen melanjutkan pengembaraan
intelektualnya ke Cirebon, tepatnya di Pesantren Buntet yang diasuh oleh KH. Abbas,
murid kenamaan Kyai Hasyim Asy’ari, pendiri NU. Pada saat itu, sebenarnya Kyai
Abbas sudah tidak lagi mengajar secara langsung, tapi mendelegasikannya kepada
adik-adik dan anggota keluarganya yang lain karena jumlah santri-santrinya yang
cukup banyak. Biasanya orang yang datang ke Pesantren tersebut tidak bisa langsung
bertemu Kyai Abbas, apalagi diajarinya. Berbeda halnya yang dialami Ibrahim
khusus pula. “ Tuan sama saya saja di sini, di kamar tamu,” kata Kyai Abbas
kepadanya. Di sinilah Ibrahim Hosen belajar dibawah bimbingan langsung Kyai
Abbas secara intensif mulai pagi hari setelah Shubuh, lalu setelah Ashar, dan setelah
Isya setiap harinaya, kecuali hari jum’at. Sehingga dalam waktu singkat, ia mampu
menamatkan beberapa kitab tentang ilmu Manthiq, Fiqh, Ushul al-Fiqh, dan lainnya.5
Begitu dekatnya hubungan Ibrahim Hosen dengan Kyai Abbas, sehingga tidak
tampak lagi seperti hubungan Kyai dengan santrinya, tapi mirip pertemanan, padahal
umur Ibrahim Hosen saat itu baru 18 tahun. Pada bulan puasa misalnya, keduanya
tetap sahur bersama, begitu pula kalau Kyai Abbas pergi untuk mengajar, ceramah,
atau pertemuan para ulama, Ibrahim selalu diajaknya. Kyai Abbas sendiri terkenal
keluhuran ilmunya, prilakunya yang santun, ceramahnya yang memukau, dan kalau
ditanya soal apa saja, selalu bisa menjawabnya dengan tepat dan sempurna,
disamping dianggap keramat karena kalau cincinya tidak ditanggalkan, rambutnya
susah dicukur. Dalam berbagai kesempatan itulah Ibrahim Hosen banyak belajar dari
Kyai Abbas tentang bagaimana memecahkan masalah, berdiskusi, dan sekaligus
bermasyarakat. Setelah 4 bulan, Ibrahim Hosen dianggap Kyai Abbas telah tamat
belajar darinya.
Selanjutnya, Kyai Abbas menganjurkannya agar melanjutkan belajarnya ke
Solo atau ke Gunung Puyuh, Sukabumi. Tapi ia memilih ke Solo untuk menemui
Sayyid Ahmad as-Segaf yang dulu pernah dicarinya di Jami’at Khair. Pada Sayyid
Ahmad as-Segaf inilah ia memperdalam lagi bahasa Arab, sedangkan tentang fiqih, ia
5
belajar lagi kepada Muhsin as-Segaf, kakaknya Sayyid Ahmad as-Segaf. Setelah
selesai belajar di Solo, ia melanjutkan pendidikannya di Pesantren Gunung Puyuh
pada KH. Sanusi yang dikenal tinggi ilmunya dan sangat pandai dalam berdebat.
Sama seperti di pesantren sebelumnnya, di Gunung Puyuh inipun Ibrahim Hosen
mendapat perlakuan istimewa. Ia tidak tinggal di pesantren, melainkan di rumah salah
seorang keluarga Kyai Sanusi. Di pesantren inilah ia belajar ilmu Balaghah, yakni
Ma’ani, Bayan, Badi, dan kitab-kitab lainnya selama kurang dari 5 bulan.6
Totalnya, kurangnya dari setahun Ibrahim Hosen menghabiskan waktunya
untuk pengembaraan intelektualnya ke berbagai pesantren dari satu Kyai ke
Kyai-Kyai lainnya. Hasilnya, Ibrahim dapat menguasai berbagai ilmu agama dan
kemasyarakatan yang menjadi bekal dalam perjalanan hidupnya di kemudian hari
sebagai ulama yang disegani karena kedalaman pemahamannya dan keluasan dan
wawasannya.
Ketika Ibrahim Hosen dipercaya menjabat sebagai Imam Besar di Bengkulu
tahun 1942, Jepang memberinya kesempatan melanjutkan belajar ke Batu Sangkar
untuk bersekolah di Gunsei Gakko (sebelumnya bernama Jakiyu Kanri Gakko) yang
mendidik para pelajarnya yang sudah menjadi pegawai untuk menjadi asisten wedana
(Fuku Guncho). Tapi karena Ibrahim bukan seorang pegawai, maka ia dipersiapkan
menjadi Syukiyo Gakari (Pimpinan Urusan Agama) pada Bun Kyoka (Departemen
6
P&K) Keresidenan Bengkulu.7 Disekolah inilah tampaknya ia mulai mengenal dan
banyak menimba ilmu pemerintahan dan persoalan-persoalan administrasi serta
organisasi yang berperan besar dan sangat membantunya dalam pengembangan
karirnya kelak sebagai pegawai pemerintah, baik pada Departemen Agama maupun
dalam jabatan-jabatan struktural lainnya dalam organisasi kemasyarakatan dan
keagamaan.
Ketika Pemilu I RI baru saja selesai, tepatnya pada bulan September 1955,
walaupun dalam keadaan sakit, Ibrahim Hosen yang selalu haus akan ilmu
meneruskan kembali pengembaraan intelektualnya menuju Mesir. Sesampainya di
Mesir, ia tidak dapat langsung kuliah, sebab peraturan yang berlaku saat itu
mengharuskan semua mahasiswa asing yang tidak memiliki ijazah Madrasah Aliyah
yang salah satu gurunya harus ada utusan dari al-Azhar, tidak bisa kuliah langsung di
Universitas al-Azhar. Jadi harus melewati jenjang Aliyah di Mesir terlebih dahulu.
Namun demi menjaga nama baik dan citranya sebagai ulama Ibrahim Hosen
menempuh cara lain dengan menimba ilmu secara sorogan dari Syaikh Ied Washif
dalam bidang fiqih dan belajar pada Prof. Dr. Hasan Jad dalam bidang sastra.
Sehingga dalam waktu setahun, ia pun tercatat sebagai satu-satunya mahasiswa
“mustami” yang mendapat beasiswa di Fakultas Sastra Universitas al-Azhar.8
Selama 4 tahun menempuh kuliah di Universitas al-Azhar Kairo, Mesir,
Ibrahim Hosen tidak hanya berkutat di bidang akademis dengan menimba ilmu
7
Ibid., h. 22-23
8
sebanyak-banyaknya dari berbagai ulama di sana, mamun ia juga berusaha
mendalami adat istiadat yang berlaku di Mesir dan mencoba menyatu dengan
masyarakatnya. Karena pergaulannya yang luas dan senioritasnya, iapun terpilih
sebagi Ketua Umum Himpunan Pelajar Indonesia (HPI) di Kairo saat itu. Maka tak
heran kiranya jika Ibrahim Hosen sangat dikenal oleh para mahasiswa Indonesia di
Mesir dan orang-orang yang bekerja di Kedutaan Besar Indonesia.9
Ibrahim Hosen menamatkan pendidikan formalnya dan mendapat ijazah dari
Universitas al-Azhar Kairo berupa Syahadat al-Aliyah li Kuliyat al-Syari’ah pada
bulan Desember tahun 1960 M/ Rajab 1380 H. Yang menurut Undang-Undang
Mesir, sama derajatnya dengan Licence dalam bidang syari’ah (hukum Islam).
Prestasinya sangat memuaskan (mumtaz), sebab ia tercatat telah lulus dari semua
ujian pada tahun 1959 M/1379 H dengan nilai ushul al-fiqh mencapai 39 dan fiqih 38
dari nilai tertinggi 40. Iapun berada pada rangking ketiga dari keseluruhan mahasiswa
al-Azhar dari Fakultas Syariah masa itu yang berjumlah 87 orang. Dan menurut
ketentuan UU Mesir tahun 1936 yang berlaku hingga saat itu, bagi yang telah
mendapatkan gelar Licence diperbolehkan langsung promosi doktor tanpa harus
melewati jenjang S2. Dengan syarat, yang bersangkutan harus kuliah tiga tahun dan
ditambah dua tahun untuk menyusun disertasi. Atau, bisa juga dengan mengajar
selama lima tahun. Setelah lima tahun, lalu harus kembali lagi ke Mesir dengan
9
Toha Andiko, “Ijtihad Ibrahim Hosen Dalam Dinamika Pemikiran Hukum Islam di
membawa disertasi yang siap diuji, untuk meraih gelar doktor dari Universitas
al-Azhar.10
Bekal dari pendidikannya dari Fakultas Syari’ah di al-Azhar inilah kiranya
yang telah mengubah pandangan Ibrahim Hosen tentang syari’ah dan fiqih. Ia yang
sebelumnya sangat fanatik pada kebenaran pendapat dari mazhab Syafi’I kini mulai
membuka diri terhadap kebenaran pendapat dari mazhab-mazhab lainnya. Di sini
mulai terbuka cakrawala berfikirnya tentang keaneka ragaman fiqih dan kewajaran
perbedaan pendapat yang terjadi dikalangan imam mazhab dan pengikutnya karena
memang watak fiqih itu sendiri “berbeda pendapat” sebagai hasil dari seorang
mujtahid yang hanya mengikat bagi mujtahidnya saja, tapi tidak terhadap yang
lainnya. Oleh sebab itu, iapun tidak terikat lagi hanya pada satu madzhab tertentu.
Ibrahim Hosen lalu memutuskan untuk memilih alternatif kedua yaitu dengan
pulang ke tanah air untuk mengajar di Universitas Islam Sumatra Utara (UISU)
Medan, Jami’ah al-Washliyah, dan IAIN Raden Fatah Palembang. Disela-sela
kesibukannya mengajar, ia tetap terus menulis disertasi untuk meraih gelar doktornya.
Tapi, baru saja dua tahun berjalan pengabdiannya, tepatnya pada tanggal 17 Juli
tahun 1962, Ibrahim Hosen mendapat anugerah gelar Profesor. Maka menurut
kelaziman Universitas, promosi doktornya tidak perlu lagi diteruskan, sebab yang
memberi gelar doktor adalah Profesor. Walupun demikian, tulisan untuk disertasinya
tetap ia teruskan penyelesaiannya yang sebagiannya belakangan diterjemahkan ke
10
dalam bahasa Indonesia dengan judul “Fiqh Perbandingan Dalam Masalah Nikah,
[image:31.612.108.533.169.492.2]Thalaq, Ruju’ Dan Kewarisan” Jilid I .
Tabel: Pendidikan Ibrahim Hosen
No Nama/Tempat Tingkat Tahun Keterangan 1 Madrasah As-Sagaf Singapura Ibtidaiyah 1925-1930
2 Muawanatul Khair Arabische School (MAS) Teluk Betung
Tsanawiyah 1932-1934
3 Pesantren Cibeber Cilegon - 1934 2 bulan 4 Pesantren Lontar Serang Banten - 1934 6 bulan 5 Pesantren Buntet Cirebon - 1934 4 bulan 6 Jami’at Khaer Solo - 1935 +1 bulan 7 Pesantren Gunung Puyuh
Sukabumi
- 1942
8 Gunsei Gakko Batu Sangkar Tanah Datar Sumatra Barat
Sekolah Karir 1942
9 Universitas Al-Azhar, Mesir Licence 1955-1959
Karya-Karyanya
Ibrahim Hosen adalah seorang ulama yang aktif berdakwah melalui lisan dan
tulisan. Namun kapasitasnya sebagai ulama ilmuwan lebih menonjol daripada sebagai
ulama mubaligh. Terbukti, ia sangat produktif untuk masanya dalam hal penyampaian
ide-idenya melalui berbagai tulisan, seperti dalam bentuk buku, tulisan di jurnal
ilmiah, makalah-makalah seminar, maupun artikel ilmiah populer yang dimuat
dimajalah dan koran. Tulisan-tulisannya mayoritas adalah counter dan tanggapan
terhadap pendapat umum yang berkembang saat itu yang dianggapnya kurang sesuai,
baik tidak sesuai dalam tujuan secara kebahasaan, dalil hukum dan
kaedah-kaedahnya, maupun yang bertentangan dengan maqasid al-syari’ah dikaitkan dengan
solusi untuk menjawab permasalahan yang masih samar sehingga terjadi
kesimpang-siuran karena belum ditemukan jawabannya yang meyakinkan masyarakat, dan ada
[image:32.612.107.554.180.702.2]pula sebagai tawaran ilmiah yang lebih bersifat akademis.
Tabel: Klasifiksi Karya-karya Ibrahim Hosen
No Judul Jenis Tahun Tempat & Penerbit
Keterangan
A. IBADAH
1 Sahkah Khutbah dengan bahsa
‘Ajam?
Buku 1940 Bengkulu Belum ditemukan
2 Tuntutan Sabil Buku - Bengkulu Belum
ditemukan 3 “Hukum Memakai
Jilbab/Kerudung Bagi Muslimah Menurut Hukum Islam”
Artikel 1989 Jakarta Tempo
4 “Modernisasi Pengembangan dan Pemberdayagunaan Zakat”
MDT 1991 Jakarta
5 “Sekitar Pengertian Islam dan Aurat Wanita (Catatan Buat Dr. Nurcholis Madjid)”
MDT 1992 Jakarta Komisi Fatwa MUI
6 “Peranan Zakat Dalam Upaya Pengentasan Kemiskinan: Peningkatan Wawasan dan Pemahaman Terhadap Pensyari’atan Zakat”
MDT 1993 Jakarta
7 “Hikmah Puasa dan Kaitannya Dengan Pemerataan Kesejahteraan Sosial”
Artikel 1993 Jakarta Media Al-Furqan 8 “Konstribusi Ibadah Haji Bagi
Kesejahteraan Umat (Analisis Terhadap Pensyari’atan al-Hadyu) ”
MDT 1993 Jakarta Komisi Fatwa MUI
9 “Penetapan Awal Bulan Qaamariah Menurut Islam dan Permasalahannya”
Artikel 1994 Jakarta Mimbar Hukum 10 “Pandangan Islam Tentang
Patung”
B. MU’AMALAH
1 Penjelasan Tentang Hukum Bir Buku 1969 Jakarta
Depag RI 2 “Status Hukum Transplantasi
Kornea Mata, Katub Jantung dan Ginjal ”
MDT - Jakarta
3 “Hubungan Muslim Dengan Non Muslim Di Atas Dasar Kerukunan”
Artikel 1976 Jakarta Mimbar Ulama 4 “Ukhuwah Islamiyah Jangan
Menjadi Retak Dikarenakan Masalah Khilafiyah”
MPGB 1981 Jakarta IAIN Syahid
5 Ma Huwal Maisir, apakah Judi
itu?
Buku 1987 Jakarta LKI IIQ
6 Keluarga Berencana Menurut
Islam
Buku 1987 Jakarta LKI IIQ 7 “Tuntutan Islam Dalam Masalah
Kependudukan Dan Lingkungan Hidup”
MDT 1988 Jakarta
8 “Konsep Keluarga Sejahtera Menurut Pandangan Islam”
MDT 1989 Jakarta
9 “Kajian Tentang Bunga Bank Menurut Hukum Islam”
Msn 1990 Bogor Lokakarya MUI 10 “Sumpah Jabatan Dalam
Pandangan Islam”
MDT 1995 Jakarta
11 “KB Sebagai Ikhtiar Manusia Menuju Terbentuknya Keluarga Bahagia”
MDT 1996 Jakarta
12 “Perluasan Bidang Usaha Bank Syariah Ditinjau dari Hukum Fiqih”
MDT 1997 Jakarta
13 “Hukum Islam Tentang Beberapa Bahan Produk Makanan”
MSN 1998 Jakarta LP-POM MUI 14 “Urgensi Labelisasi Halal
(Kewajiban adanya lembaga yang menjamin kehalalan produk bagi Muslim )”
MDT - Jakarta
15 “Bunga Bank Dalam Hubungannya Dengan Ongkos Naik Haji (ONH) Cicilan”
16 “Perempuan Sah Menjadi Hakim” MDT - Jakarta
C. MUNAKAHAT
1 Fiqih Perbandingan Dalam
Masalah Nikah, Ruju’, dan
Kewarisan
Buku 1971 Jakarta Ihya
Ulumuddin 2 “Tinjauan Perbandingan Mazhab
Fiqih Tentang Nikah, Talak, Rudju’ dan Kearisan”, Bagian I
Artikel 1971 Jakarta Ihya Ulumuddin 3 “Tinjauan perbandingan Mazhab
Fiqih Tentang Nikah, Talak, Rudju’ dan Kewarisan”, Bagian IV
Artikel 1971 Jakarta Ihya
Ulumuddin
4 “Tinjauan Perbandingan Mazhab Fiqh Tentang Nikah, Talak, Rudju’ dan Kewarisan”, Bagian V
Artikel 1971 Jakarta Ihya Ulumuddin 5 “Tinjauan Perbandingan Mazhab
Fiqh Tentang Nikah, Talak, Rudju’ dan Kewarisan”, Bagian VI
Artikel 1971 Jakarta Ihya Ulumuddin
6 “Tinjauan Perbandingan Mazhab Fiqh Tentang Nikah, Talak, Rudju’ dan Kewarisan”, Bagian VII
Artikel 1971 Jakarta Ihya Ulimuddin
7 “Hukum Nikah Dari Segi Perseorangan”
Artikel 1971 Jakarta Ihya
Ulumuddin 8 “Kedudukan Wali Dalam Aqad
Nikah”
Artikel 1972 Jakarta Ihya
Ulumuddin D. JINAYAH DAN SIYASAH
1 “Jenis-jenis Hukuman Dalam Hukum Pidana Islam Dan Perbedaan Ulama Dalam Penerapannya”
MSN 1993 Jkarta IAIN Syahid
2 “Konsep Hukum Islam Tentang Penanggulangan AIDS (Sebuah Alternatif) ”
Artikel 1993 Jakarta Mimbar Hukum 3 “Fiqh Siyasah Dalam Tradisi
Pemikiran Islam Klasik”
E. PEMIKIRAN HUKUM ISLAM
1 Fiqh Mazhab Pemerintah Buku 1982 Jakarta
PKPQ 2 “Sampai Dimana Ijtihad Dapat
Berperan”
MSN 1983 Bandung IAIN Sunan Gunung Jati 3 “Kerangka Landasan Pemikiran
Islam”
MSN 1984 Jakarta Depag RI 4 “Masa Depan Hukum Islam di
Indonesia”
MSN 1985 Padang IAIN Imam Bonjol 5 “Pemahaman Al-Qur’an” Artikel 1985 Jakarta
Mimbar Ulama 6 “Ulama Ikut Yang Awam;
Bagaimana Berijtihad ?”
Artikel 1987 Jakarta Mimbar Ulama 7 “Perbandingan Mazhab” MDT 1987 Jakarta 8 “Kajian Tentang Imam Ahmad
Bin Hanbal Sebagai Mujtahid/Faqih”
MDT 1987 Jakarta
9 Sekitar Masalah Syubhat Buku 1989 Jakarta
LPPI IIQ 10 “Peranan Lembaga Ijtihad Dalam
Pengembangan Hukum Islam”
MDT 1989 Jakarta
11 “Mujtahid Jama’i Dan Implementasinya Dalam Perkembangan Hukum Islam di Indonesia”
MSN 1991 Jakarta Litbang Depag RI
12 “Ijtihad Jama’I dan Implikasinya Dalam Perkembangan Hukum Islam di Indonesia ”
MSN 1991 Jakarta Litbang Depag RI 13 “Menyongsong Abad ke-21:
Dapatkah Hukum Islam Direaktualisasikan? ”
Artikel 1992 Jakarta Pelita
14 “Memecahkan Permasalahan Hukum Baru”, dalam Jalaludin Rahmat (ed.) Ijtihad Dalam Sorotan
15 “Pokok-pokok Pemikiran Hukum Islam Sebuah Kerangka Konseptual”
Artikel 1994 Jakarta Media al-Furqan 16 “Sekitar Fatwa Majelis Ulama
Indonesia”
MSN 1995 Jakarta MUI 17 “Beberapa Catatan Tentang
Reaktualisasi Hukum Islam”. Dalam Wahyuni Nafis et, al, Kontekstualisasi Ajaran Islam
Artikel 1995 Jakarta IPHI – Paramadina
18 “Fungsi dan Karakteristik Hukum Islam dalam Kehidupan Umat Islam”, dalam Amrullah (ed) Dimensi Hukum Islam Dalam Sistem Hukum Nasional
Artikel 1996 Jakarta Gema Insani Press
19 Bunga Rampai dari Percikan
Filsafat Hukum Islam
Buku 1997 Jakarta YIIQ
F. SOSIAL KEAGAMAAN
1 Jadikanlah Islam Agama
Masyarakat
Buku 1969 Jakarta Arinayudi 2 “Mengapa Mazhab Ahlussunnah
wal Jama’ah Tersebar Luas di Dunia Islam?” Bagian IV
Artikel 1970 Jakarta Ihya
Ulumuddin 3 “Mengapa Mazhab Ahlussunnah
wal Jama’ah Tersebar Luas di Dunia Islam?” Bagian VII
Artikel 1971 Jakarta Ihya
Ulumuddin 4 “Peningkatan Pengalaman Ajaran
Islam”
Artikel 1985 Jakarta Mimbar Ulama 5 “Ulama Adalah Pelita Di
Zamannya”
Artikel 1985 Jakarta Mimbar Ulama 6 “Benarkah Pemerintah Saudi
Arabia Mengikuti Mazhab Wahabi”
Artikel 1989 Jakarta Mimbar Ulama 7 “Peran Ulama Dalam
Memasyarakatkan Keluarga Berencana di Indonesia”
MSI 1990 Jakarta
8 “Peran Ulama Dalam Mensukseskan KB”
9 Benarkah Ahmadiyah Qadian (Mirza Ghulam Ahmad) Menerima Wahyu?
Buku 1994 Jakarta LPPI IIQ
10 “Upaya Pelayanan Kesehatan Dipandang Dari Segi Hukum Islam”
Artikel 1996 Jakarta Media al-Furan 11 “Menangkap Rasa Keadilan
Masyarakat Oleh Penegak Hukum”
MDT - Jakrta
Keteranagan :
MPGP : Makalah Pengukuhan Guru Besar
MSI : Makalah Seminar Internasional
MSN : Makalah Seminar Nasional
MDT : Makalah Diskusi Terbatas
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa Ibrahim Hosen termasuk faqih
Indonesia yang progresif, proaktif, dan produktif dalam berkarya, ia tidak hanya
menyampaikan ide-idenya secara lisan, tapi juga melalui tulisan.
[image:37.612.109.551.111.542.2]Karir Dan Aktifitas Sosial Keagamaannya
Tabel: Karir dan Aktifitas Sosial Keagamaan Ibrahim Hosen
No Karir/Aktivitas Tahun Tempat
1 Muballigh 1938 Bengkulu
2 Imam Besar 1942 Bengkulu
3 Komandan Hizbullah (pejuang senior) Pada Perang Grilya Melawan Belanda
1944 Bengkulu
4 Anggota Komisi Nasional Indonesia (KNI) Daerah Bengkulu
1945 Bengkulu
6 Juru bicara Delegasi Residen Hazairin dalam perundingan dengan pemberontak (ikut menyelesaikan konflik perbatasan)
1946 Muara Saung (Perbatasan
Bengkulu- Palembang) 7 Anggota tim perunding dengan Belanda 1948 Bengkulu 8 Anggota Badan Pekerja DPRD 1948 Bengkulu 9 Koordinator Urusan Agama 1950-1955 Bengkulu 10 Anggota Tim Kecil pada sidang Majlis
Tarjih Muhammadiyah mewakili Bengkulu
1954 Yogyakarta
11 Dosen di Fakultas Dakwah Al-Washliyah 1960-1961 Medan Sumut 12 Pegawai Tinggi Depag RI Pusat 1961-1964 Jakarta 13 Dosen Terbang di UISU 1961-1969 Medan Sumut 14 Guru Besar Luar Biasa IAIN Palembang 1962 Palembang 15 Dekan Fakultas Syari’ah IAIN Palembang
marangkap IAIN Jambi
1962-1964 Palembang
16 Rektor IAIN Raden Fatah 1964-1966 Palembang 17 Ketua Umum Majlis Ulama Daerah
Sumatra Selatan
1964-1966 Palembang
18 Ketua Yayasan Baitul Mal Sumsel 1964-1966 Palembang 19 Kepala Biro Hubbungan Masyarakat dan
Luar Negeri Depag RI
1966-1971 Jakarta
20 Penggagas dan salah satu pendiri PTIQ bersama KH. Muhammad Dahlan, KH. Zaini Miftah, dan KH. Mukti Ali
1971 Jakarta
21 Menggags perlunya UU Perkawinan bagi umat Islam Indonesia yang disampaikan dalam berbagai forum dan seminar, menulis buku fiqh Perbandingan dan membuat draft yang dijadikan pegangan bagi Fraksi PPP
1971-1974 Jakarta
22 Penasehat Ahli Mentri Agama RI 1971-1982 Jakarta
23 Rektor PTIQ 1972-1976 Jakarta
24 Pendiri dan Rektor IIQ 1977-2001 Jakarta 25 Anggota Komisi Fatwa MUI 1975-1980 Jakarta 26 Guru Besar Fakultas Syari’ah IAIN Syarif
Hidayatullah
1979-1982 Jakarta
27 Salah satu Ketua MUI merangkap Ketua Komisi Fatwa MUI
1980-1995 Jakarta
28 Penatar pada Pelatihan Ketua Pengadilan Tinggi Agama
1982 Pontianak
30 Konsultan BKKBN 1983-1986 Jakarta 31 Guru Besar Hukum Islam di UNISBA 1984 Bandung 32 Salah satu nara sumber KHI (pelaksana
bid. Kitab-kitab/yursprudensi) dan berperan aktif dalam mensosialisasikannya ke berbagai daerah
1985-1991 Jakarta, Jatim, Jateng, Medan,
Aceh, dan Kalimantan 33 Ikut mendukung dan meyakinkan DPR,
konsultan Fraksi PPP tentang arti penting RUUPA agar disahkan menjadi UUPA
1989 Jakarta
34 Anggota Dewan Pengawas Syari’ah BMI 1991 Jakarta 35 Anggota Dewan Pertimbangan Agung RI Jakarta 36 Pembicara dalam berbagai Seminar,
Simposium, Lokakarya, dan Konferensi Islam di dalam dan luar negeri
1971-1998 Jakarta, Bogor, Bandung, Padang,
Aceh, Kairo, Islamabad, Moskwa dan
Malaysia 37 Dewan Pembina LP.POM MUI Pusat 1998-2002 Jakarta 38 Guru Besar Hukum Islam di IAIN Sumatra
Utara, IAIN Sultan Syarif Qasim, dan IAIN Sunan Gunung Djati
Medan, Pekan Baru, Bandung
Walaupun sederet jabatan penting pernah dijabat, begitu banyak prestasi yang
telah diraih, dan besarnya konstribusi yang telah ditorehkannya bagi bangsa
Indonesia, namun Ibrahim Hosen tetap bersifat humanis dengan tampilan rapi,
bersahaja, sederhana, santun, rendah hati, dan suka menolong kepada siapa saja yang
memerlukan bantuan. Ia juga tidak malu untuk belajar kepada orang lain walaupun
orang lain itu sebenarnya selevel dengan dirinya. Ini terlihat misalnya sewaktu Kyai
yang akan dibahas, ia meminta sang Kyai untuk bersedia mengoreksi bacaannya
kalau salah, karena Kyai tersebut hafal kitab Alfiyah ibn Malik.11
Dalam kesehariannya, Ibrahim Hosen dikenang anak-anaknya sebagai Bapak
yang disiplin dan tegas tapi tetap demokratis. Ia selalu mengajak anak-anaknya
berdoa sebelum makan dan mensyukuri nikmat Tuhan karena masih bisa makan
sampai hari itu. Pada kesempatan lain, ia juga tak ragu untuk berdiskusi dan bertanya
pada anak-anaknya jika ada hal-hal yang belum ia ketahui betul masalahnya. Ketika
akan membahas masalah KB dalam perspektif hukum Islam misalnya, ia bertanya
dahulu kepada anaknya Nadratuzzaman tentang masalah anatomi tubuh manusia, dan
minta diterangkan ilmu biologi serta hal-hal yang berkaitan erat dengannya. Begitu
juga saat akan menullis makalah tentang ekonomi syari’ah dan beberapa bahan
produk makanan yang diragukan kehalalannya, Ibrahim Hosen sering bertanya
kepada Nadratuzzaman yang memang ahli di kedua bidang tersebut.12
Ibrahim Hosen selalu menekankan kepada anak-anaknya agar gemar
membaca. Dan dalam mempelajari sesuatu, ia berpesan: “kalau belajar itu harus
paham betul, jangan terang-terang kain.” Maksudnya supaya anak-anaknya jika ingin
menguasai sesuatu ilmu harus mendalam, tidak setengah-setengah atau
tanggung-tanggung. Pada kesempatan lain ia juga mengatakan: “Ulama itu kalu ditanya jangan
buka buku dulu baru menjawab. Ulama itu ada dua macam: pertama, ulama tabel
11
Nadratuzzaman, disampaikan pada “Memorial Conference Refleksi Pemikiran Al-Magfurlah Prof. KH. Ibrahim Hosen, LML (1971-2001)”. Gedung MUI Jakarta, 21 Oktober 2008.
yang bisa buat kalender sendiri (mandiri dan benar-benar ahli). Kedua, ulama jendela,
yaitu ulama yang menunggu lebih dahulu bagaimana orang lain berpendapat, baru ia
berani mengeluarkan pendapatnya.” Dan Ibrahim Hosen selalu memotivasi anaknya
agar menjadi ulama tabel13 (ahli, pelopor, dan responsif).
Walaupun beberapa pemikiran Ibrahim Hosen dianggap liberal, melawan
arus, dan terkadang dikonotasikan negatif, ternyata dalam beribadah ia termasuk
orang yang sangat taat. Zikirnya setelah salat cukup panjang dan diakhiri dengan
membaca Al-Qur’an kecil yang selalu berada disakunya kemanapun ia pergi.14
Pada tahun 1998, ia termasuk menjadi sebagai salah satu dewan pembina di
Lembaga Pangkajian Pangan Obat-obatan dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia
(LP.POM MUI) pada kepengurusan periode 1998-2002. Dan pada periode
kepengurusan 2000-2005 ia terpilih kembali dan menjabat sebagai ketua dewan
pembina pada lembaga yang sama, yang tugasnya antara lain melakukan sosialisasi
dan komunikasi pada masyarakat tentang perlu dan pentingnya sertifikasi halal agar
masyarakat muslim mendapat keamanan, kenyamanan dan ketentraman dalam
mengkonsumsi makanan dan minuman serta menggunakan obat-obatan dan
kosmetika.15
Sejak delapan bulan sebelum ajal menjemput Ibrahim Hosen, ia banyak
menghabiskan waktunya dengan khusyu’ membaca al-Qur’an. Lalu enam bulan
13
Hasil wawancara Toha Andiko dengan Nadratuzzaman, Jakarta 23 Februari 2008 14
Risman Musa, Pribadi KH. Ibrahim Hosen Yang Kukenal, h.3.
15
LPPOM MUI, Dari Sertifikasi Menuju Liberalisasi Halal, (Jakarta: Pustaka Jurnal
sebelum meninggal dunia, Ibrahim Hosen bermimpi bertemu dengan sesosok
makhluk yang diduganya adalah malaikat. Ia bertanya: “kapan saya akan menghadap
Allah? Makhluk itu menjawab: “tidak lama lagi” sebab berjuang selama 8 hari
melawan penyakit jantungnya yang kambuh, maka pada hari Rabu tanggal 07
Nopember 2001 Allah SWT menepati janjinya dengan memanggil Ibrahim Hosen di
usianya 84 tahun untuk kembali ke pagkuannya di Rumah Sakit Elizabeth Singapura.
Jenazahnya kemudiah dikuburkan pada kamis siang di pemakaman IAIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
2. Biografi Yusuf al-Qaradhawi
Nama lengkapnya adalah Yusuf Abdullah Qaradhawi, disingkat Yusuf
al-Qaradhawi. Ia digelari juga dengan “Abu Muhammad”, karena anaknya yang terbesar
bernama Muhammmad. Kapasitas keilmuan al-Qaradhawi sesungguhnya tak lepas
dari latar belakang pendidikan dan keluarganya. Ia dilahirkan dari keluarga sederhana
pada 9 September 1926 di Desa Shafth Turab, Provinsi Manovia, yang masih ikut
pada Pusat Distrik Besar, dan merupakan bagian dari aktivitas Propinsi Barat di
Mesir.16 Sejak kecil al-Qaradhawi sarat dengan pendidikan keagamaan. Tidak heran
pada umur sembilan tahun, dia sudah hafal 30 juz Al-Qur’an.
16
Yusuf al-Qardawi, Perjalanan Hidupku,. Terj. H. Cecep Taufiqurrahma, Lc. Dan H.
Ketika ia menginjak usia dua tahun ayahnya yang seorang petani meninggal
dunia, maka ia sebagai anak yatim diasuh dan dididik oleh pamannya.17 Walaupun
al-Qaradhawi tidak pernah mendapat bimbingan dan didikan langsung dari ayahnya,
namun pamannya ini cukup banyak memperhatikan pendidikannya dengan baik
sebagaimana terhadap anak-anaknya sendiri al-Qaradhawi pun menganggap
pamannya ini seperti orang tuanya sendiri. Keluarga pamannya merupakan keluarga
yang teguh dan tekun menjalankan ajaran Islam. Sehingga al-Qaradhawi ikut
dibesarkan dan dididik dalam lingkungan yang agamis.
Pada waktu berusia lima tahun, al-Qaradhawi dimasukkan kepada salah satu
kuttab di desanya.18 Ketika berusia tujuh tahun, ia diserahkan ke Madrasah Ilzamiyah
yang berada di bawah Departemen Pendidikan Mesir. Disekolah ini ia mempelajari
ilmu pengetahuan seperti, matematika, sejarah, ilmu kesehatan, dan sebagainya. Sejak
saat itu, al-Qaradhawi bersekolah dua kali sehari, pagi hari di Madrasah Ilzamiyah,
sedangkan sore harinya di pendidikan kuttab.
Al-Qaradhawi telah berhasil menghafal seluruh Al-Qur’an pada usia sepuluh
tahun, suaranya merdu dan bacaannya fasih. Sejak saat itu al-Qaradhawi kecil sering
diangkat menjadi imam salat oleh penduduk desanya, terutama dalam salat berjamaah
jahriyah (magrib, isya dan subuh). Tidak sedikit orang yang menangis ketika
mengikuti salat bersama al-Qaradhawi. Penduduk desa menyebutnya Syeikh Yusuf.
17
Yusuf Al-Qardawi, Pokok-pokok Pikiran Nasyid Islami, (Bandung: Sinar Baru Algesindo,
1995), h. 2 18
Kuttab adalah semacam pesantren di Indonesia atau pendidikan non formal di masjid-masjid yang terdapat hampir di setiap pelosok Mesir. Lihat kupaasan ‘Biografi singkat Dr. yusuf Qaradhawi
dan Karya-Karyanya’ dalam buku Pemikiran Dr. Yusuf Al-Qaradhawi dalam timbangan, karangan
Penghargaan ini menyebabkan al-Qaradhawi kecil tidak bisa banyak bermain seperti
anak-anak lain sebayanya. Dari sini dapat dipahami bahwa al-Qardhawi berasal dari
keluarga yang taat beragama, kondisi tersebut tidak lepas dari lingkungan desanya
yang agamis.
Setamat dari Madrasah Ilzamiah, al-Qaradhawi berkeinginan kuat untuk
melanjutkan ke Madrasah Ibtidaiyah di Thanta. Namun, pamannya yang berekonomi
lemah merasa keberatan. Karena perjalanan menuntut ilmu adalah perjalanan panjang
yang membutuhkan biaya besar. Pamannya mengusulkan agar al-Qaradhawi remaja
menempuh jalan pintas dengan memilih sekolah keterampilan (kejuruan). Karena
kuatnya kemauan al-Qaradhawi dan kesediannya untuk bersekolah secara prihatin,
akhirnya ia direstui pamannya untuk bersekolah di Thanta. Madrasah Ibtidaiyah
diselesaikannya selama lima tahun. Karena kecerdasannya yang luar biasa ia selalu
mendapatkan rangking pertama, maka guru-gurunya memberi gelar ‘Allamah.19
Kecintaannya terhadap lembaga pendidikan Islam ternama, Al-Azhar,
membuat tekat bulatnya menempuh pendidikan dasar hingga pendidikan tingginya di
lembaga ini. “Saya cinta Al-Azhar sejak kecil, saya bercita-cita untuk menjadi salah
satu ulamanya. Al-Azhar menurut hemat saya adalah benteng pertahanan agama dan
ilmu pengetahuan. Atas bimbingan ulama Al-Azhar, orang-orang bodoh bisa belajar
19
‘Allamah adalah sebuah gela