BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah
Kata pailit berasal dari bahasa Prancis; failite yang berarti kemacetan pembayaran. Secara tata bahasa, kepailitan berarti berarti segala hal yang
berhubungan dengan pailit. Menurut Imran Nating, kepailitan diartikan sebagai suatu proses di mana seorang debitur yang mempunyai kesulitan keuangan untuk
membayar utangnya dinyatakan pailit oleh pengadilan, dalam hal ini pengadilan niaga, dikarenakan debitur tersebut tidak dapat membayar utangnya. Harta debitur dapat dibagikan kepada para kreditur sesuai dengan peraturan pemerintah. Dalam
Ensiklopedia Ekonomi Keuangan Perdagangan disebutkan bahwa yang dimaksudkan dengan pailit adalah seseorang yang oleh suatu pengadilan dinyatakan bankrupt, dan
yang aktivitasnya atau warisannya telah diperuntukkan untuk membayar hutang-hutangnya1.
Dalam Black’s Law Dictionary, pailit atau bankrupt adalah “the state or
condition of a person (individual, partnership, corporation, municipality) who is unable to pay its debt as they are, or become due”. The term includes a person againt
whom an involuntary petition has been filed, or who has filed a voluntaru petition, or who has been adjudged a bankrupt2. Dari pengertian tersebut maka pengertian pailit
dihubungkan dengan ketidakmampuan untuk membayar dari seorang debitor atas
utang-utangnya yang telah jatuh tempo. Ketidakmampuan tersebut harus disertai
1 Abdurrachman, A. 1991. Ensiklopedia Ekonomi Keuangan Perdagangan. Pradnya Paramita. Jakarta, hal. 89.
suatu tindakan nyata untuk mengajukan, baik yang dilakukan secara sukarela oleh debitor sendiri, maupun atas permintaan pihak ketiga. Maksud dari pengajuan
permohonan tersebut sebagai bentuk pemenuhan asas publisitas dari keadaan tidak mampu membayar3.
Setiap debitur yang berada dalam keadaan berhenti membayar dapat dijatuhi
putusan kepailitan. Debitur ini dapat berupa perorangan (badan pribadi) maupun badan hukum. Dengan dijatuhkannya putusan pailit oleh Pengadilan Niaga, debitur
demi hukum kehilangan haknya untuk berbuat sesuatu terhadap penguasaan dan pengurusan hartanya yang termasuk dalam kepailitan terhitung sejak tanggal kepailitan itu. Kepailitan mengakibatkan seluruh hartanya debitur serta segala sesuatu
yang diperoleh selama kepailitan berada dalam sitaan umum sejak saat putusan pernyataan pailit di ucapkan.
Umumnya, secara teoritis debitur yang memiliki masalah utang piutang berkaitan dengan kemampuan membayar utang, menempuh berbagai alternatif penyelesaian. Mereka dapat merundingkan permintaan penghapusan utang baik untuk
sebagian atau seluruhnya. Mereka dapat pula menjual sebagian aset atau bahkan usahanya, serta dapat pula mengubah pinjaman tersebut menjadi penyertaan saham.
Selain kemungkinan tadi, debitur dapat pula merundingkan permintaan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, sebagai upaya terakhir barulah ditempuh melalui proses kepailitan
Pada dasarnya, kepailitan mencakup mengenai harta kekayaan dan bukan mengenai perorangan debitur .Yang disebut dengan harta pailit adalah harta milik
debitur yang dinyatakan pailit berdasarkan keputusan pengadilan.4 Ketentuan pasal 21 Undang-Undang Kepailitan secara tegas menyatakan bahwa"Kepailitan meliputi seluruh kekayaan Debitur pada saat putusan pernyataan pailit diucapkan serta segala
sesuatu yang diperoleh selama kepailitan". Walaupun demikian pasal 22 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan Dan Penundaan Kewajiban
Pembayaran Utang mengecualikan beberapa harta kekayaan debitur dari harta pailit. Selain itu, dalam Pasal 1131 dan Pasal 1132 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata juga menerangkan tentang jaminan pembayaran harta seorang debitur kepada
kreditur. Dalam Pasal 1131 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) disebutkan bahwa" Segala kebendaan si berutang,baik yang bergerak maupun tak
bergerak, baik yang sudah ada maupun yang baru akan ada di kemudian hari, menjadi tanggungan perikatan perseorangan," hal ini sangat memperjelas tentang obyek dari harta pailit. Namun dalam perkembanganya,banyak debitor yang berusaha
menghindari berlakunya Pasal 1131 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tersebut dengan melakukan berbagai perbuatan hukum untuk memindahkan berbagai asetnya
sebelum dijatuhkanya putusan pailit oleh Pengadilan Niaga. Misalnya menjual barang-barangnya sehingga barang tersebut tidak lagi dapat disitajaminkan oleh kreditur.
Hal ini sangat merugikan kreditur karena semakin berkurangnya harta yang dipailitkan maka pelunasan utang kepada kreditur menjadi tidak maksimal.
Undang-Undang telah melakukan berbagai cara untuk melindungi kreditor dengan Pasal 1341 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan Pasal 41-49 Undang Undang No.37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.
Upaya-upaya yang dilakukan oleh undang-nndang tersebut sering disebut dengan
actio pauliana. Actio pauliana adalah suatu upaya hukum untuk membatalkan
transaksi yang dilakukan oleh debitur untuk kepentingan debitur tersebut yang dapat merugikan kepentingan krediturnya. Namun dalam upaya pembuktianya bahwa debitur telah melakukan berbagai perbuatan hukum yang merugikan kreditur
bukanlah sesuatu yang mudah.
Pasal 41 ayat (1) UU Kepailitan dinyatakan secara tegas bahwa untuk
kepentingan harta pailit, segala hukum debitur yang telah dinyatakan pailit, yang merugikan kepentingan kreditur, yang dilakukan sebelum putusan pernyataan pailit diucapkan, dapat dimintai pembatalan oleh kreditur kepada pengadilan.
Ketentuan Pasal 41 dan 42 UU Kepailitan, dapat diketahui bahwa sistem pembuktian yang dipakai adalah sistem pembuktian terbalik, artinya beban
pembuktian terhadap pembuatan hukum debitur (sebelum putusan pernyataan pailit) tersebut adalah berada pada pundak debitur pailit dan pada pihak ketiga yang melakukan perbuatan hukum dengan debitur apabila perbuatan hukum debitur
bahwa perbuatan hukum tersebut wajib dilakukan oleh mereka dan perbuatan hukum tersebut tidak merugikan harta pailit.
Berbeda, apabila perbuatan hukum yang dilakukan debitur dengan pihak ketiga dalam jangka waktu lebih dari 1 tahun sebelum putusan pernyataan pailit, dimana Kurator menilai bahwa perbuatan hukum tersebut merugikan kepentingan
kreditur atau harta pailit, maka yang wajib membuktikan adalah Kurator. Kepailitan hanya mengenai harta kekayaan dan bukan kekayaan dan bukan mengenai perorangan
debitur, ia tetap dapat melaksanakan hukum kekayaan yang lain, seperti hak-hak yang timbul dari kekuasaan orang tuanya.
Akibat kepailitan hanyalah terhadap kekayaan debitur. Debitur tidaklah
berada dibawah pengampunan. Debitur tidaklah kehilangan kemampuannya untuk melakukan perbuatan hukum menyangkut dirinya, kecuali apabila perbuatan hukum
menyangkut pengurusan dan pengalihan harta bendanya yang telah ada. Apabila menyangkut harta benda yang akan diperolehnya debitur pailit tetap berwenang bertindak sepenuhnya akan tetapi tindakan-tindakannya tidak mempengaruhi harta
kekayaan yang telah disita.
Pernyataan pailit, debitur pailit demi hukum kehilangan hak untuk menguasai
dan mengurus kekayaannya yang dimasukan dalam kepailitan, terhitung sejak tanggal kepailitan itu, termasuk juga untuk kepentingan perhitungan hari pernyataan itu sendiri. Pasal 67 ayat (1) Undang-Undang No.37 Tahun 2004 tentang kepailitan dan
Debitur kehilangan hak menguasai harta yang masuk dalam kepailitan, namun tidak kehilangan hak atas harta kekayaan yang berada diluar kepailitan. Tentang harta
kepailitan, lebih lanjut dalam Pasal 19 kepailitan dan penundaan kewajiban pembayaran utang menerangkan bahwa harta pailit meliputi semua harta kekayaan debitur, yang ada pada saat pernyataan pailit diucapkan serta semua kekayaan yang
diperolehnya selama kepailitan.
Kewenangan untuk melaksanakan pengurusan dan pemberesan harta Debitur
pailit ada pada Kurator, karena sejak adanya penyataan pailit, Debitur demi hukum kehilangan haknya untuk menguasai dan mengurus kekayaannya yang dimasukkan dalam kepailitan. Putusan pailit oleh pengadilan tidak mengakibatkan debitor
kehilangan kecakapannya pada umumnya, tetapi hanya kehilangan kekuasaan atau kewenangannya untuk mengurus dan mengalihkan harta kekayaannya. Oleh karena
itu diperlukan suatu peraturan perundang-undangan yang lengkap dan sempurna agar proses kepalitan dapat berlangsung secara cepat, terbuka dan efektif sehingga dapat memberikan kesempatan kepada kreditur dan debitur untuk mengupayakan
penyelesaian yang adil.
Adanya permasalahan tersebut dan untuk menyelesaikan tugas akhirnya maka
B. Perumusan Masalah
Adapun permasalahan yang diajukan dalam penelitian ini adalah:
1. Bagaimana akibat hukum kepailitan bagi kewenangan debitor pailit dalam melakukan perbuatan hukum atas hartanya?
2. Bagaimana peran kurator terkait dengan kewenangan debitor pailit dalam
melakukan perbuatan hukum atas hartanya? C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian skripsi yang akan penulis lakukan adalah: a. Untuk mengetahui kepailitan dalam sistem hukum di Indonesia
1. Untuk mengetahui akibat hukum kepailitan terhadap kewenangan debitur pailit
dalam melakukan perbuatan hukum atas hartanya.
2. Untuk mengetahui peran kurator terkait dengan kewenangan debitur pailit dalam
melakukan perbuatan hukum atas hartanya. D. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat penelitian skripsi yang akan penulis lakukan adalah:
1. Sebagai bahan masukan teoritis bagi penulis untuk menambah pengetahuan dan pemahaman hukum kepailitan terhadap kewenangan debitur dalam melakukan
perbuatan hukum.
2. Untuk menerapkan pengetahuan penulis secara praktis agar masyarakat mengetahui pembaruan hukum khususnya bagi hukum kepailitan dalam
E. Tinjauan Kepustakaan
Apabila di tinjau secara teoritis, lahirnya Undang-Undang Kepailitan dan
PKPU, adalah sebagai konsekwensi dari keadaan krisis ekonomi dan moneter di Indonesia yang pada akhirnya juga menimbulkan krisis sosial dan politik dimana terjadi euphoria reformasi segala bidang, maka untuk mengantisipasi adanya
kecenderungan dunia usaha yang bangkrut pemerintah menertibkan Undang-Undang Kepailitan menjadi suatu daerah hukum positif dalam sistem Perundang-Undangan di
Indonesia.
Seluruh harta benda debitur dalam kepailitan di peruntukan bagi pembayaran tagihan-tagihan kreditur maka jika harta bendanya itu tidak mencukupi untuk
memenuhi kewajiban atas semua tanggungan itu, tentu harta benda itu harus dibagi di antara para kreditur menurut perbandingan tagihan mereka masing-masing5.
Pembagian harta kekayaan pailit yang dimaksudkan untuk menjamin kepentingan para kreditur. Hukum yang memberikan perlindungan terhadap kreditor dari kreditur lainnya berupaya mencegah salah satu kreditur memperoleh lebih
banyak dari kreditur lainnya dalam pembagian harta kekayaan, sedangkan perlindungan dari kreditur yang tidak jujur diperoleh dengan mewajibkan debitur
mengungkap secara penuh maupun secara priodik. Sementara itu, apabila debitur berada dalam keadaan susah dapat ditolong maka debitur dimungkinkan untuk dapat di keluarkan secara terhormat dari permasalahan utangnya.6
5 Martiman Prodjomidjojo, Proses kepailitan (Bandung: Mandar Maju, 1999), hlm. 2.
Pandangan seperti itu memang secara ekonomis dapat diterima, bila dikemas di dalam peraturan hukum maka peraturan itu secara tepat kepentingan yang dilihat
dari sudut pandang ekonomis namun hal seperti ini jelas tidak sesuai dengan era global seperti sekarang ini. Menurut Peter, aturan main bentuk perangkat hukum di dalam kegiatan bisnis meliputi 3 (tiga) hal yaitu:
1. Aturan hukum yang memberi landasan hukum bagi keberadaan lembaga-lembaga yang mewadahi bisnis dalam arena pasar (substantive legal rules).
2. Aturan hukum yang mengatur perilaku (behavior) para pelaku bisnis dalam melaksanakan setiap transaksi bisnis, dan
3. Aturan hukum yang memungkinkan pelaku keluar dari pasar. Kata pailit berasal
dari bahasa Perancis "failite" berarti kemacetan pembayaran. Dalam bahasa Belanda digunakan istilah "failite". Sedang dalam hukum Anglo America,
undang-undangnya dikenal dengan Bankcrupty Act. Dalam pengertian kita, merujuk aturan lama yaitu pasal 1 ayat (1) Peraturan Kepailitan Faillisement Verordening S. 1990217 jo 1905-348 menyatakan: " Setiap berutang (debitur)
yang ada dalam keadaan berhenti membayar, baik atas laporan sendiri maupun atas permohonan seseorang atau lebih berpiutang (kreditur), dengan putusan
hakim dinyatakan dalam keadaan pailit ".7
Ketentuan yang baru yaitu dalam lampiran UU No.4 Tahun 1998 pasal 1 ayat (1), yang menyebutkan: "Debitur yang mempunyai dua atau lebih kreditur dan tidak
membayar sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan
pailit dengan putusan pengadilan yang berwenang sebagaimana dimaksud dalam pasal 2, baik atas permohonan sendiri, maupun atas permintaan seorang atau lebih
kreditur.8
Pernyataan pailit tersebut harus melalui proses pemeriksaan dipengadilan setelah memenuhi pesyaratan di dalam pengajuan permohonan. Keterbatasan
pengetahuan perihal ilmu hukum khususnya hukum kepailitan yang berasal dari hukum asing, juga istilah pailit yang jarang sekali dikenal oleh masyarakat kalangan
bawah maupun pedesaan yang lebih akrab dengan hukum adatnya, istilah bangkrut lebih kenal. Masyarakat desa tidak berpikir untuk memohon ke pengadilan agar dirinya dinyatakan pailit. Para pedagang kecil jika ia sudah tidak dapat berdagang
lagi, karena modalnya habis dan ia tidak dapat membayar utang-utangnya, laluia mengatakan bahwa dirinya sudah bangkrut. Tidak demikian halnya bagi
perusahaan/pedagang besar, pengertian istilah kebangkrutan maupun pailit telah mereka ketahui.
Esensi kepailitan secara singkat dapat dikatakan sebagai sita umum atas harta
kekayaan debitur baik yang pada waktu pernyataan pailit maupun yang diperoleh selama kepailitan berlangsung untuk kepentingan semua kreditur yang pada waktu
kreditur dinyatakan pailit mempunyai hutang, yang dilakukan dengan pengawasan pihak yang berwajib.9
Akan tetapi dikecualikan dari kepailitan adalah:
8 Sri Sumantri Hartono, Pengantar Hukum Kepailitan dan Penundaan Pembayaran,
(Yogyakarta:Liberty, 1981), hlm 42.
1. Semua hasil pendapatan debitur pailit selama kepailitan tersebut dari pekerjaan sendiri, gaji suatu jabatan/ jasa, upah pensiun, uang tunggu/ uang tunjangan,
sekedar atau sejauh hal itu diterapkan oleh hakim.
2. Uang yang diberikan kepada debitur pailit untuk memenuhi kewajiban pemberian nafkahnya menurut peraturan perundang-undangan (Pasal 213, 225, 321 KUH
Perdata).
3. Sejumlah uang yang ditetapkan oleh hakim pengawasan dari pendapatan hak
nikmat hasil seperti dimaksud dalam (Pasal 311 KUH Perdata).
4. Tunjangan dari pendapatan anak-anaknya yang diterima oleh debitur pailit berdasarkan Pasal 318 KUH Perdata.
Apabila seorang debitur (yang utang) dalam kesulitan keuangan, tentu saja para kreditur akan berusaha untuk menempuh jalan untuk menyelamatkan
piutangnya dengan jalan mengajukan gugatan perdata kepada debitur kepengadilan dengan disertai sita jaminan atas harta si debitur atau menempuh jalan yaitu kreditur mengajukan permohonan ke pengadilan agar si debitur dinyatakan pailit10.
Kreditur menempuh jalan yang pertama yaitu melalui gugatan perdata, maka hanya kepentingan kreditur/si penggugat saja yang dicukupi dengan harta si debitur
yang disita dan kemudian dieksekusi pemenuhan piutang dari kreditur, kreditur lain yang tidak melakukan gugatan tidak dilindungi kepentingannya. Adalah lain halnya apabila kreditur-kreditur memohon agar pengadilan menyatakan debitur pailit, maka
dengan persyaratan pailit tersebut, maka jatuhlah sita umum atas semua harta
kekayaan debitur dan sejak itu pula semua sita yang telah dilakukan sebelumnya bila ada menjadi gugur11.
Dikatakan sita umum, karena sita tadi untuk kepentingan seorang atau beberapa orang kreditur, melainkan untuk semua kreditur atau dengan kata lain untuk mencegah penyitaan dari eksekusi yang dimintakan oleh kreditur secara
perorangan. Hal lain yang perlu dimengerti bahwa kepailitan hanya mengenai harta benda debitur, bukan pribadinya. Jadi ia tetap cakap untuk melakukan perbuatan
hukum di luar hokum kekayaan misalnya hak sebagai keluarga, hak yang timbul dari kedudukan sebagai orang tua, ibu misalnya. Jadi demikian sebenarnya esensi kepailitan.
Kepailitan yang pernah terjadi, Kurator tidak sepenuhnya bebas dalam melakukan pengurusan dan pemberesan harta pailit. Kurator senantiasa berada
dibawah pengawasan Hakim Pengawas. Tugas Hakim Pengawas adalah mengawasi pengurusan dan pemberesan harta pailit yang menjadi tugas Kurator (yang dilakukan oleh Kurator). Hakim Pengawas menilai sejauh manakah pelaksanaan tugas
pengurusan dan pemberesan harta pailit yang dilaksanakan oleh Kurator dapat dipertanggung jawabkan kepada debitur dan kreditur. Dalam kondisi inilah
diperlukan peran Hakim Pengawas oleh karenanya Kurator menyampaikan laporan kepada Hakim Pengawas mengenai keadaan harta pailit dan pelaksanaan tugasnya setiap tiga bulan12.
11 Ibid, hlm 115.
Mengingat beratnya tugas yang diemban oleh Kurator dalam melakukan
pengurusan dan pemberesan harta pailit, maka seorang Kurator harus selalu
berhubungan dengan Hakim Pengawas untuk melakukan konsultasi atau sekedar mendapat masukan. Hal ini dilakukan untuk mencapai tujuan keberhasilan dari suatu pernyataan pailit, karenanya Hakim Pengawas dan Kurator harus saling berhubungan
sebagai mitra kerja13. Dalam melaksanakan tugas, baik Hakim Pengawas maupun
Kurator harus sama-sama saling mengetahui tugas keduanya, sehingga keduanya
saling memahami kapankah harus berhubungan. Kerja sama yang harmonis sangat diperlukan, terlebih dahulu apabila menemui debitur atau kreditur yang kurang mendukung kelancaran penyelesaian perkara. Kenyataan di lapangan, meskipun
komunikasi Hakim Pengawas dan Kurator kurang lancar, Hakim Pengawas seringkali ragu untuk secara tegas dan langsung membantu tugas Kurator, misalnya
menindak debitur yang tidak kooperatif14.
Dengan demikian jelas mengapa sejak berabad-abad telah ada peraturan kepailitan, karena dirasakan perlu untuk mengatur hak-hak dan kewajiban debitur
yang tidak dapat membayar utang-utangnya serta hak-hak dan kewajiban para kreditur. Dari kesimpulan ini dapat dipahami mengapa masalah kepailitan selalu di
hubungkan dengan kepentingan para kreditur, khususnya tentang tata cara dan hak kreditur untuk memperoleh kembali pembayaran piutangnya dari seorang debitur yang dinyatakan pailit. Dari uraian tersebut tergambar sangatlah bahwa Hakim
Pengawas memiliki andil yang cukup besar dalam pemberesan dan pengurusan harta pailit dalam kepailitan.
F. Metode Penelitian
1. Sifat dan jenis penelitian
Sifat penelitian ini adalah deskriptif, penulis berupaya untuk menggambarkan sifat hubungan hukum secara normatif dalam hukum kepailitan
terhadap kewenangan debitur.
Jenis penelitian yang dilakukan adalah penelitian normatif, yakni sebuah jenis penelitian yang mencoba untuk melihat kesesuaian aturan-aturan hak
ditingkat normatif, yakni antara Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan
Kewajiban Pembayaran Utang. 2. Bahan Penelitian
Perlu ditegaskan bahan penelitian yang dipakai dalam penelitian ini, yaitu:
a. Bahan hukum primer yaitu ketentuan-ketentuan dalam peraturan perundang-undangan yang mempunyai kekuatan hukum mengikat, baik peraturan yang
dikeluarkan oleh Pemerintah Republik Indonesia maupun yang diterbitkan oleh Negara lain dan badan-badan internasional.
b. Bahan hukum sekunder yaitu bahan-bahan hukum yang erat kaitannya dengan
koran-koran, karya tulis ilmiah dan beberapa sumber internet yang berkaitan dengan persoalan diatas.
c. Bahan hukum tersier yaitu semua dokumen yang berisi konsep-konsep dan keterangan-keterangan yang mendukung bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, seperti kamus, ensiklopedia dan lain-lain.
3. Alat Penelitian
Penulisan ini, penulis mengumpulkan data-data yang diperlukan dengan
cara penelitian kepustakaan (library research) yakni dengan mempelajari peraturan perundang-undangan, buku, situs internet yang berkaitan dengan judul skripsi ini yang bersifat teoritis ilmiah yang dapat dipergunakan sebagai dasar
dalam penelitian dan menganalisa masalah-masalah yang dihadapi15.
4. Analisis Data
Metode yang digunakan dalam menganalisis data adalah analisis kualitatif, yaitu data yang diperoleh kemudian disusun secara sistematis dan selanjutnya dianalisis secara kualitatif untuk mencapai kejelasan masalah yang akan dibahas
dan hasilnya tersebut dituangkan dalam bentuk skripsi. G. Sistematika penulisan
Agar memudahkan pemahaman terhadap materi dari skripsi ini dan agar tidak terjadinya kesimpangsiuran dalam penulisan skripsi ini, maka penulis membaginya dalam beberapa bab, dan tiap bab dibagi lagi ke dalam beberapa sub-sub bab.
Adapun bab-bab yang dimaksud adalah sebagai berikut:
BAB I PENDAHULUAN
Bab ini merupakan gambaran umum yang berisi tentang latar belakang, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, tinjauan kepustakaan, metode penelitian, dan sistematika penulisan.
BAB II LANDASAN TEORITIS
Bab ini berisikan tentang pengertian kepailitan, sejarah kepailitan di
Indonesia, syarat dan putusan pailit, akibat hukum kepailitan dan pengurusan dan pemberesan harta pailit.
BAB III TINJAUAN TERHADAP AKIBAT HUKUM KEPAILITAN BAGI
KEWENANGAN DEBITOR DALAM MELAKUKAN PERBUATAN HUKUM TERHADAP HARTANYA
Bab ini berisikan tentang Akibat Hukum Kepailitan Terhadap Kewenangan Debitur Pailit Dalam Melakukan Perbuatan Hukum Atas Hartanya, kemudian dalam bab ini membahas tentang Peran Kurator Terkait Dengan
Kewenangan Debitur Pailit Dalam Melakukan Perbuatan Hukum Atas Hartanya. BAB IV PENUTUP
DAFTAR PUSTAKA I. Buku
Ahmad Yani dan Gumawan Wijaya, Seri Hukum Bisnis, Kepailitan, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002
Ahmad Yani dan Gunawan Widjaja, Kepailitan (Seri Hukum Bisnis), Rajagrafindo Persada, Jakarta, 2004
Andrew Keay and Michael Murray, Insolvenci: Personal corporate Law & Practice,
(Sadney: Law Book Company,, 2002)
Edward Manik, Cara Mudah Memahami Proses Kepailitan dan Penundaan
Kewajiban Pembayaran Utang, Penerbit Mandar Maju, Bandung, 2012
Erwin Mangatas Malau, Gijzeling dalam Kepailitan, Makalah dalam Pelatihan Hakim
Niaga, Bogor, 2004
Fred B.G.Tumbuan, Penyelesaian Utang Piutang Melalui Pailit Atau Penundaan
Kewajiban Pembayaran PKPU, Alumni, Bandung, 2000
Fred BG Tumbuan, Hukum Kepailitan Perseroan, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2009)
G.P. Aji Wijaya, Aspek Pidana dalam Kepailitan dan Permasalahan yang Dihadapi dalam Praktek, Makalah dalam Pelatihan Hakim Niaga, Bogor, 2004
Henry Campbell Black, Black's Law Dictionary, West Publishing Co, St. Paul -Minessota, USA, 1990
Jono, Hukum Kepailitan, Sinar Grafika, Bandung, 2009.
Khairandy, Perlindungan Dalam Undang-Undang Kepailitan, (Jakarta:Jurnal Hukum Bisnis, 2002).
M. Hadi Subhan, Hukum Kepailitan, Prinsip, Norma dan Praktik di Peradilan,
Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2001.
Man S. Sastrawidjaya, Hukum Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran
Utang, Almuni Bandung, 2006.
Nating Imran, Peranan dan Tanggung Jawab Kurator Dalam Pengurusan dan Pembebasan Harta Pailit, (Jakarta:Raja Grafindo Persada, 2004).
Rudy Lontoh, Penyelesaian Utang Melalui Pailit atau Penundaan Kewajiban
Pembayaran Utang, Bandung: Alumni, 2001.
Sentosa Sembiring, Hukum Kepailitan dan Peraturan Perundang-Undangan yang Terkait dengan Kepailitan, CV. Nuansa Aulia, Cetakan Ke-1, 2006, Bandung. Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum (Jakarta: Universitas Indonesia
Press, 2007).
Setiawan, Kepailitan serta Aplikasi Kini, tata Nusa , Jakarta, 1999.
Sri Rejeki Hartono, Hukum Perdata Sebagai Dasar Hukum Kepaitan Modern, (Jakarta: Majalah Hukum Nasional, 2000).
Sutan Remi Sjahdeini. Hukum Kepailitan, (Jakarta: PT. Pustaka Utama Grafiti, 2002). Sri Rejeki Hartono, Hukum Kepailitan, (Malang: UMM Press, 2008).
Sri Sumantri Hartono, Pengantar Hukum Kepailitan dan Penundaan Pembayaran,
(Yogyakarta:Liberty, 1981).
Sudargo Gautama, Komentar Atas Peraturan Kepailitan Untuk Indonesia, (Bandung: Citra Aditya Bakti,1998).
Victor M. Situmorang dan Hendri Soekarso, Pengantar Hukum Kepailitan Di Indonesia, Rineka Cipta: Jakarta, 1994.
Zainal Asikin, Hukum Kepailitan dan Penundaan Pembayaran Utang, Raja Grafindo Persada, Jakarta. 2001.
II. Perundang-undangan
Undang-udang No.37 tahun 2004 tentang Kepailitan Dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.
III.Website
AndryawalSimanjuntak, Gizeling/Lembaga Paksa Badan, http://andryawal. blogspot.com/2010/07/gizeling-lembaga-paksa-badan.html.
http://www.tanyahukum.com/kepailitan/22/syarat-syarat-dinyatakan-pailit/.
http://www.tanyahukum.com/kepailitan/111/pelaksanaan-putusan-pailit-oleh-kurator/
http://id.shvoong.com/law-and-politics/law/2289691-pengertian-dan-definisi-perbuatan-hukum/.