• Tidak ada hasil yang ditemukan

Optimalisasi Katalog Bintang Untuk Navigasi Sikap Satelit Menggunakan Metode Clustering Berbasis Densitas

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Optimalisasi Katalog Bintang Untuk Navigasi Sikap Satelit Menggunakan Metode Clustering Berbasis Densitas"

Copied!
52
0
0

Teks penuh

(1)

OPTIMALISASI KATALOG BINTANG UNTUK NAVIGASI

SIKAP SATELIT MENGGUNAKAN METODE

CLUSTERING

BERBASIS DENSITAS

MUHAMMAD ARIF SAIFUDIN

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Optimalisasi Katalog Bintang untuk Navigasi Sikap Satelit Menggunakan Metode Clustering Berbasis Densitas adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, September 2015

Muhammad Arif Saifudin

(3)

RINGKASAN

MUHAMMAD ARIF SAIFUDIN. Optimalisasi Katalog Bintang untuk Navigasi Sikap Satelit Menggunakan Metode Clustering Berbasis Densitas. Dibimbing oleh BIB PARUHUM SILALAHI dan IMAS SUKAESIH SITANGGANG.

Membuat katalog bintang yang optimal merupakan hal yang penting dalam aplikasi sensor bintang. Sensor bintang sebagai sensor navigasi sikap satelit membutuhkan akurasi serta kecepatan memberikan informasi sikap satelit yang tinggi. Ukuran katalog yang besar dapat memberikan akurasi yang tinggi namun kecepatan proses identifikasi bintang menjadi lebih lambat. Akibat kedua faktor tersebut, maka diperlukan suatu katalog bintang yang optimal. Pada prinsipnya, katalog baru dibuat dengan cara mengurangi jumlah bintang dari katalog dasar. Teknik sederhana yang umum digunakan untuk mengurangi jumlah bintang adalah menggunakan Magnitude Filtering Method (MFM) yaitu mengurangi jumlah bintang dengan caro menapis daftar bintang berdasarkan nilai magnitudo tertentu yang tergantung pada sensitivitas sensor. Namun, teknik ini mempunyai kekurangan yaitu bintang dalam katalog tidak terdistribusi secara merata yang bisa menggagalkan proses identifikasi bintang di setiap arah bore sightField of View (FOV). Dalam penelitian ini, diusulkan metode baru untuk menghasilkan katalog bintang menggunakan metode clustering berbasis densitas yaitu DBSCAN (Density-based Spatial Clustering of Application with Noise). Dengan menggunakan metode clustering berbasis densitas, bintang-bintang pada daerah dengan densitas tinggi akan teridentifikasi dalam cluster-cluster bintang. Reduksi jumlah bintang dilakukan dengan menyimpan bintang yang paling terang pada setiap cluster. Kandidat bintang navigasi dipilih semua bintang paling terang yang tersisa dari hasil reduksi ditambah dengan semua bintang yang bukan anggota cluster. Simulasi Monte Carlo dilakukan dengan membangkitkan FOV acak untuk melakukan pengujian keseragaman katalog baru. Proses identifikasi bintang menggunakan metode segitiga diterapkan untuk menghitung waktu proses identifikasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa metode clustering menggunakan algoritme DBSCAN menghasilkan katalog bintang yang optimal yang menghasilkan 840 bintang dengan akurasi 96%. Kesimpulan yang diperoleh adalah bahwa metode clustering berbasis densitas merupakan metode yang menjanjikan untuk digunakan dalam memilih bintang navigasi untuk bintang membuat katalog bintang.

.

(4)

SUMMARY

MUHAMMAD ARIF SAIFUDIN. Star Catalog Optimization for Satellite Attitude Navigation using Density-based Clustering Method. Supervised by BIB PARUHUM SILALAHI and IMAS SUKAESIH SITANGGANG.

Generating an optimized star catalog are an essential part of the star sensor application. Star sensor as satellite attitude navigation sensor requires an high accuracy and high speed of updated information of satellite attitude. The number of stars of the catalog may affect to star identification process and accuracy of attitude determination of satellite. Less number of stars might speed up of the identification process, however the accuracy is getting low. As a result of these two factors, it requires an optimized star catalog. In principle, the new catalog is generated by reducing the number of stars from a base catalog. Common simple techniques to reduce the number of star is using Magnitude Filtering Method (MFM) which is cutting star list based on its particular magnitude with related to sensor sensitivity. However, the technique has disadvantaged that is, the stars are not uniformly distributed which could fail of star identification in any Field of View (FOV) bore sight direction. In this study, a new method to generate star catalog using density-based clustering namely DBSCAN (Density-based Spatial Clustering of Application with Noise) is proposed. By using density-based clustering method, stars in regions with a high density will be identified in clusters of stars. Reduction of the number of stars is done by storing the brightest star in each cluster. Navigation star candidates selected all the brightest star was left out of the results coupled with the reduction of all the stars that are not members of the cluster. Monte Carlo simulation has performed to generate random FOV to check the uniformity of the new catalog. Star identification using triangle method has performed to calculate the time process. The result shows that proposed method produced an optimized star catalog that has 840 stars with an accuracy of 96%. It concluded that density-based clustering is a promising method to select navigation star for star catalog generation.

(5)

©

Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(6)
(7)

OPTIMALISASI KATALOG BINTANG UNTUK NAVIGASI SIKAP

SATELIT MENGGUNAKAN METODE

CLUSTERING

BERBASIS

DENSITAS

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Ilmu Komputer

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2015

(8)
(9)

Judul Tesis : Optimalisasi Katalog Bintang untuk Navigasi Sikap Satelit Menggunakan Metode Clustering Berbasis Densitas

Nama : Muhammad Arif Saifudin

NRP : G651120684

Disetujui oleh

Komisi Pembimbing

Dr Ir Bib Paruhum Silalahi, MKom Ketua

Dr Imas Sukaesih Sitanggang, SSi MKom Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi Ilmu Komputer

Dekan Sekolah Pascasarjana

DrEng Wisnu Ananta Kusuma, ST MT Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

(10)

PRAKATA

Bismillaahirrahmaanirrahiim

Alhamdulillah, puji syukur kehadirat Allah Subhanahu wa Ta’ala Yang Maha Mendengar dan Maha Melihat dan atas segala limpahan rahmat, taufik, dan hidayah- Nya sehingga penulis dapat meyelesaikan karya tulis ilmiah dalam bentuk tesis ini.

Shalawat serta salam semoga senantiasa tercurahkan kepada Rasulullah Muhammad Sallallahu ‘Alayhi wa sallam serta seluruh keluarganya, sahabatnya, dan para pengukutnya sampai akhir zaman.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr Ir Bib Paruhum Silalahi, MKom dan Ibu Dr Imas Sukaesih Sitanggang, SSi, MKom selaku pembimbing. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada teman-teman Magister Ilmu Komputer kelas khusus angkatan XIV yang telah memberikan bantuan, motivasi, dan semangat. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada orang tua, istri, serta seluruh keluarga, atas segala doa dan kasih sayangnya dan juga kepada segenap keluarga besar Pusat Teknologi Satelit LAPAN atas dukungannya.

Penulis menyadari bahwa tesis ini masih jauh dari sempurna, maka saran serta kritik dari semua pihak dapat memberikan kontribusi dalam perbaikan penelitian ini. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, September 2015

(11)

DAFTAR ISI

Penapisan Berdasarkan Batasan Magnitudo 15

Reduksi Jumlah Bintang 15

Clustering Menggunakan Algoritme DBSCAN 15

Pembuatan Katalog dan Sub katalog 16

Simulasi dan Evaluasi 17

4 HASIL DAN PEMBAHASAN 20

Praproses Clustering 20

Pengurutan berdasarkan Magnitudo 20

Penapisan berdasarkan batasan Magnitudo 21

Reduksi Jumlah Bintang 21

Simulasi Monte Carlo 25

5 KESIMPULAN DAN SARAN 29

Kesimpulan 29

Saran 29

DAFTAR PUSTAKA 30

LAMPIRAN 33

(12)

DAFTAR TABEL

1 Sensor sikap satelit (Bak 1999) 1

2 Contoh magnitudo bintang (Sidi 1997) 8

3 Contoh Katalog SAO dengan Informasi RA, DE, dan Mv 15

4 Format katalog utama 16

5 Format sub katalog 16

6 Data bintang dalam katalog SAO 20

7 Data bintang dalam katalog SAO setelah diurutkan 20

8 Katalog awal dengan MFM 6.0 Mv 21

9 Akurasi dan waktu proses hasil simulasi untuk Eps awal 0.1, 0.2, 0.3, dan

0.4 26

10 Akurasi dan waktu proses hasil simulasi untuk Eps awal 0.5, 0.6, 0.7,

0.8, 0.9, dan 1.0 27

DAFTAR GAMBAR

1 Skema model sensor bintang (Analyticon 2002) 4

2 Sensor bintang 5

3 Sensor bintang dengan FOV mo x no 5

4 Sensor bintang dengan FOV do 6

5 Proses identifikasi bintang (Ho 2012) 6

6 Distribusi Katalog SAO dengan VMT 6.0 8

7 Visual Magnitude Threshold terhadap jumlah bintang 9 8 Directly density-reachability (Ester et al. 1996) 10

9 Density-reachability (Ester et al. 1996) 10

10 Cluster DBSCAN (Andrade et al. 2013) 10

11 Posisi bintang dalam koordinat langit (Escobal 1976) 11

12 Sudut antara bintang A dan bintang B 12

13 Metodologi penelitian 14

14 Ilustrasi clustering DBSCAN pada katalog bintang 16

15 Diagram alir simulasi 18

16 Diagram alir proses identifikasi bintang dengan metode poligon segitiga 19

17 Distribusi bintang dalam katalog awal 21

18 Contoh cluster dan noise yang terbentuk 22

19 Bintang ID 669 dan semua noise sebagai kandidat bintang navigasi 22

20 Grafik pengaruh nilai awal Eps terhadap penurunan jumlah bintang serta

jumlah iterasi 23

21 Contoh katalog utama 24

22 Contoh katalog dan sub katalognya 24

23 Titik pusat FOV acak yang dibangkitkan 25

24 Grafik akurasi dan waktu proses hasil simulasi 28

25 Distribusi Katalog dengan 840 Bintang 28

DAFTAR LAMPIRAN

(13)

1 PENDAHULUAN

Latar Belakang

Satelit sebagai wahana antariksa secara alamiah akan mengalami dinamika sikap akibat adanya gangguan yang ada di lingkungan orbitnya yang disebut sebagai torsi gangguan. Torsi gangguan dapat berasal dari gradien gravitasi bumi dan medan magnet bumi untuk satelit orbit rendah (Low Earth Orbit/LEO) dengan ketinggian < 1000 km. Torsi gangguan tersebut yang berinteraksi dengan properti massa atau inersia satelit dapat menganggu kestabilan sikap satelit. Pada umumnya satelit yang membawa misi tertentu membutuhkan pengendalian sikap agar misinya tercapai. Misalnya saja satelit dengan misi penginderaan jauh/observasi bumi (remote sensing) yang harus melakukan pengendalian ketika kamera mengambil citra bumi, satelit telekomunikasi yang harus menjaga pointing antena ke area layanannya, satelit navigasi yang harus mengirimkan sinyal navigasi ke bumi, maupun misi ilmiah. Misi satelit-satelit tersebut tidak akan terpenuhi jika tidak ada pengetahuan akan dinamika satelit. Penentuan sikap satelit menjadi salah satu komponen kunci pada hampir semua misi satelit terutama untuk satelit-satelit yang navigasi dan pengendalian sikapnya dilakukan secara otomatis di komputer satelit. Pengetahuan akan dinamika satelit membutuhkan komponen sensor yang berfungsi untuk memberikan informasi orientasi sikap satelit. Pada umumnya, beberapa sensor sikap satelit yang sering digunakan adalah sensor horizon, sensor matahari, sensor bintang dan magnetometer seperti yang disajikan pada Tabel 1.

Di antara sensor-sensor sikap satelit tersebut, sensor bintang merupakan sensor sikap satelit yang paling akurat (Liebe 1995; Li et al. 2005; Jiang et al. 2009; Fortescue

et al. 2011; Mohammadnejad et al. 2012; Miri dan Shiri, 2012). Orientasi sikap satelit dinyatakan sebagai gerak rotasi satelit relatif dalam ruang tiga dimensi x, y, dan z terhadap kerangka acuan sumbu bendanya. Untuk mengetahui orientasi sikap satelit tersebut secara absolut, maka diperlukan sebuah referensi yang bersifat inersial atau tetap dan referensi ini mengacu pada tata acuan koordinat langit. Posisi bintang dalam sistem koordinat inersial adalah relatif tetap karena pergesarannya terjadi dalam kurun waktu yang sangat lama sehingga posisi bintang dapat dijadikan sebagai referensi. Posisi bintang inilah yang akan ditransformasikan sebagai sikap satelit. Navigasi satelit dengan meggunakan referensi posisi bintang dilakukan dengan menggunakan sebuah sensor yang dikenal dengan sensor bintang (star sensor atau star tracker). Komponen utama sensor bintang adalah kamera optik yang berfungsi untuk menangkap citra bintang. Sensor bintang membutuhkan referensi sebagai acuan dalam menghitung posisi bintang. Referensi tersebut berupa basis data bintang atau disebut juga dengan katalog bintang.

Tabel 1 Sensor sikap satelit (Bak 1999)

Sensor Akurasi

Sensor horizon 0.05o - 1o (LEO) Sensor matahari 0.005o– 4o

Sensor bintang 1 arc sec– 1 arc min

(14)

2

Perumusan Masalah

Permasalahan yang dihadapi adalah terdapat berbagai versi katalog bintang seperti Tycho-2, SAO (Smithsonian Astrophysical Observatory), USNO (US Naval Observatory), Hipparchos, Yale, dan lain-lain. Katalog dasar tersebut memuat ribuan bahkan jutaan data bintang. Untuk tujuan pengenalan pola bintang, katalog dasar tersebut tidak dapat digunakan secara langsung dan harus dilakukan modifikasi agar bisa digunakan dalam algoritme pengenalan bintang. Ukuran katalog yang besar menjadi permasalahan dalam proses pengenalan pola karena proses akan membutuhkan waktu yang relatif lama sementara kebutuhan penentuan sikap satelit membutuhkan waktu yang sangat cepat. Terutama jika proses identifikasi bintang dilakukan secara

onboard di satelit, maka membutuhkan memori yang besar dan kecepatan komputasi yang tinggi di unit elektronik sensor bintang. Sementara memori pada perangkat keras sensor bintang umumnya memiliki kapasitas yang terbatas serta mikroprosesor yang sederhana. Jika jumlah bintang dalam katalog dikurangi secara drastis, maka akan timbul masalah yaitu seberapa akurat proses pengenalan pola bintang yang dihasilkan,

artinya dalam setiap kondisi “lost in space” atau tidak memperoleh informasi sikap

satelit, sensor bintang selalu dapat menemukan pola antara di sensor dengan data di katalog. Distribusi bintang yang tidak seragam (uniform) menjadi kendala dalam menentukan daftar bintang dalam katalog. Kepadatan bintang tinggi pada gugus Bima Sakti sementara rendah pada daerah kutub. Maka dibutuhkan suatu katalog bintang yang optimal dengan criteria akurasi navigasi satelit tinggi dan waktu proses identifikasi bintang cepat. Metode yang umum digunakan adalah dengan melakukan penapisan data bintang berdasarkan nilai magnitudonya. Sebagai contoh, sensor dengan sensitivitas cahaya bintang dengan nilai magnitudo 6.0, maka katalog yang digunakan hanya akan memuat data bintang dengan nilai magnitudo maksimal 6.0. Namun metode ini terkendala dalam distribusi bintang yang tidak merata yang memungkinkan munculnya

“lubang” dalam kondisi FOV tertentu. Akibatnya pada kondisi tersebut, sensor bintang gagal dalam menemukan pola bintang.

Tujuan Penelitian

Tujuan yang ingin dicapai adalah untuk membuat katalog bintang yang optimal, dengan kriteria akurasi proses identifikasi bintang tinggi dan waktu proses untuk identifikasi bintang singkat. Kedua hal tersebut akan diperoleh jika distribusi bintang yang dihasilkan mendekati seragam.

Manfaat Penelitian

Manfaat yang diperoleh adalah mengurangi kemungkinan “blind” dari sensor

(15)

3

Ruang Lingkup Penelitian

Ruang lingkup penelitian adalah mereduksi jumlah bintang dalam katalog bintang dasar menjadi katalog bintang baru yang optimal dengan metode clustering berbasis densitas, yaitu DBSCAN (Density-based Spatial Clustering of Application with Noise. Katalog baru yang dibuat menggunakan salah satu katalog dasar yang sering digunakan dalam astronomi, yaitu SAO (Smithsonian Astrophysical Observatory) dengan waktu

(16)

2 TINJAUAN PUSTAKA

Sensor Bintang

Bintang merupakan referensi optik yang paling akurat untuk menentukan sikap satelit dengan alasan (1) bintang merupakan acuan yang tetap secara inersial dan (2) bintang merupakan obyek yang sangat kecil dilihat dari tata surya (Sidi 1997). Sensor bintang adalah sebuah sensor berupa kamera optik (lensa, sensor deteksi dan baffle) yang digunakan untuk menangkap citra bintang dan selanjutnya diproses dengan hasil keluaran posisi bintang. Sensor bintang terdiri atas sebuah fungsi pencitraan, fungsi deteksi, dan fungsi pemrosesan data Electronic Data Processing Unit (EDPU). Model skema sensor bintang seperti ditunjukkan pada Gambar 1.

Bintang

Gambar 1 Skema model sensor bintang (Analyticon 2002)

Fungsi pencitraan berfungsi untuk menangkap foton dari sebuah obyek dalam jangkauan Field of View (FOV) sensor dan memusatkannya pada elemen detektor. Elemen tersebut akan mengubah foton menjadi sinyal listrik untuk selanjutnya diproses untuk menghasilkan keluaran sensor. Fungsi pemrosesan akan memproses output dari sensor menjadi parameter yang digunakan dalam proses pengenalan pola bintang. Tipe detektor yang digunakan umumnya adalah CCD (Couple Charge Device) dan CMOS (Complementary Metal-Oxide Semiconductor) yang banyak digunakan pada kamera digital. Contoh sensor bintang yang digunakan dalam satelit LAPAN-TUBSAT menggunakan sensor dengan detektor CMOS sedangkan dalam satelit LAPAN-A2 menggunakan dua buah sensor bintang dengan detektor CMOS dan CCD. Gambar 2 menunjukkan berbagai sensor bintang yang digunakan untuk satelit.

(17)

5

cakupan vertikal. Sedangkan FOV dengan cakupan lingkaran sebesar (Gambar 4) dengan d adalah diameter cakupan.

Sensor bintang satelit LAPAN-TUBSAT

Sensor bintang satelit LAPAN-A2

Sensor bintang buatan LAPAN

Gambar 2 Sensor bintang

Sensor Bintang

mo

no

(18)

6

Proses Identifikasi Bintang

Pengenalan pola bintang atau biasa disebut juga dengan proses identifikasi bintang adalah proses bagaimana mengenali citra yang ditangkap oleh sensor tersebut apakah obyek bintang atau bukan karena di antariksa terdapat berbagai obyek benda langit yang bertebaran dan mempunyai tampilan visual seperti halnya bintang seperti planet, meteor dan benda langit lainnya. Untuk mengetahui suatu obyek itu merupakan bintang atau bukan, maka digunakan sebuah referensi berupa basis data bintang atau disebut juga katalog bintang. Dalam proses pengenalan pola bintang, terdapat proses pembandingan antara citra yang ditangkap sensor dengan katalog. Proses inilah yang sangat menentukan dalam menentukan keberhasilan menentukan posisi bintang.

Gambar 5 Proses identifikasi bintang (Ho 2012)

Sensor Bintang

do

(19)

7

Metode mendapatkan posisi bintang dari sebuah sensor bintang dijelaskan secara sederhana adalah sebagai berikut. Sensor menangkap citra yang masuk dalam FOV. Kemudian citra tersebut diekstraksi menjadi data bintang. Langkah berikutnya adalah melakukan proses identifikasi bintang dari citra kamera dengan cara membandingkan dengan data dalam katalog bintang. Proses identifikasi bintang berhasil jika citra bintang identik dengan identitas (ID) bintang tertentu dalam katalog. Jika citra bintang berhasil diidentifikasi, maka selanjutnya adalah melakukan perhitungan posisinya berdasarkan data posisi bintang dalam katalog. Posisi bintang yang dihasilkan diterjemahkan sebagai arah sikap satelit seperti ditunjukkan pada Gambar 5. Untuk mengidentifikasi atau mengenali pola bintang, maka diperlukan suatu metode atau algoritme tertentu. Berbagai algoritme identifikasi bintang telah banyak dikembangkan dan bervariasi dalam hal kompleksitas, waktu identifikasi, basis data atau ukuran katalog, akurasi pengenalan, dan robustness (Pham et al. 2012). Algoritme yang paling banyak digunakan adalah menggunakan pendekatan geometri kelompok bintang dalam FOV atau cakupan sensor bintang. Metode yang umum digunakan adalah mengukur jarak angular atau sudut masing-masing bintang dengan bintang lainnya. Algoritme yang menggunakan metode ini antara lain: Oriented Triangle (Rousseau et al. 2005),

Planar Triangle (Cole dan Crassidis, 2006), dan Geometric Voting (Kolomenkin et al. 2008). Selain itu juga dikembangkan metode pengenalan pola bintang dengan berbasis kecerdasan seperti Neural Network (Li et al. 2003), Fuzzy (Sohrabi dan Shirazi 2010), dan Algoritme Genetika (Paladugu et al. 2003). Metode dengan mengukur jarak angular paling sederhana adalah dengan metode poligon segitiga dengan minimal terdapat tiga buah bintang dalam FOV (Ho 2012). Proses identifikasi bintang untuk pengenalan pola membutuhkan referensi dari bintang navigasi yang terdapat dalam katalog bintang.

Katalog Bintang

Katalog bintang berisi data bintang yang terdeteksi oleh instrumen ekplorasi seperti teleskop resolusi tinggi maupun satelit dengan misi khusus untuk mengeksplorasi obyek-obyek ruang angkasa. Katalog bintang sederhana telah disusun sejak jaman peradaban kuno seperti Babylonia, Yunani, China, Persia, dan Arab meskipun dengan metode dan alat yang sederhana. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi telah menghasilkan data obyek benda langit khususnya bintang menjadi lebih banyak dan lebih presisi. Berbagai katalog bintang telah dibuat untuk tujuan riset dalam astronomi dan astrofisika maupun untuk keperluan praktis misalnya dalam hal penanggalan dan penentuan waktu. Dalam dunia astronautika khususnya operasi dan pengendalian satelit, katalog bintang digunakan sebagai referensi dalam navigasi sikap satelit dengan menggunakan sensor bintang. Berbagai versi katalog bintang yang telah dibuat berisi data bintang yang sangat banyak dengan berbagai atributnya sementara data bintang yang digunakan harus dipilih secara selektif untuk menghindari proses pengenalan pola bintang yang lama serta besarnya file katalog. Umumnya data atau atribut bintang yang digunakan dalam proses pengenalan pola bintang adalah ID bintang (Star ID), posisi bintang yaitu Asensio Rekta (Right Ascension, RA), deklinasi (DE), dan magnitudo (Mv). Sebagai contoh jika sebuah bintang mempunyai posisi RA, DE = (0, 0), maka bintang tersebut terletak pada titik perpotongan antara vernal equinox

dengan bidang ekuator bola langit. Sedangkan parameter magnitudo (Mv) menyatakan

tingkat kecerahanan atau level terang dari suatu bintang. Indeks Mv dinyatakan dalam

(20)

8

masing-masing -1.6 dan 1.0, maka bintang dengan nilai mag -1.6 lebih terang dari bintang dengan nilai magnitudo 1.0.

Katalog bintang yang ada umumnya memuat data bintang sampai ratusan ribu atau lebih dengan atribut lebih dari empat. Untuk keperluan praktis dalam pengenalan pola bintang, maka diperlukan suatu teknik ekstraksi yang hanya mengambil sebagian isi dan atribut dari katalog bintang. Teknik sederhana yang mudah untuk diimplementasikan adalah dengan Magnitude Filtering Method (MFM) yaitu melakukan seleksi data bintang hanya berdasarkan nilai magnitudonya (Kim dan Junkins 2002). Dengan teknik MFM, bintang dengan batasan nilai magnitudo tertentu yang akan digunakan dalam katalog. Sebagai contoh, katalog SAO memuat data 258997 bintang, jika menggunakan teknik MFM dengan batasan nilai magnitudo atau Visual Magnitude Threshold (VMT) = 6.0 maka katalog bintang akan berisi 5000 bintang. Dengan teknik MFM data katalog telah tereduksi sekitar 98% dan secara kuantitatif cukup baik dalam mereduksi jumlah bintang. Namun teknik ini mempunyai masalah lain dikarenakan distribusi bintang yang diekstraksi tidak merata (Gambar 6) sehingga dikhawatirkan sensor bintang tidak mempunyai referensi yang cukup ketika menghadap pada berbagai kemungkinan FOV.

Gambar 6 Distribusi Katalog SAO dengan VMT 6.0

Jika masih terdapat adanya “lubang” pada katalog bintang dengan teknik MFM,

cara yang dapat dilakukan adalah dengan meningkatkan nilai VMT. Namun dengan

Tabel 2 Contoh magnitudo bintang (Sidi 1997)

Magnitudo, Mv Nama Bintang Nama Konstelasi

0 Vega Alfa Lyrae ( Lyr)

-1.6 Sirius Alfa Canis Majoris ( CMa)

(21)

9

bertambahnya VMT, jumlah bintang panduan akan meningkat secara eksponensial. Contohnya dengan menentukan VMT = 6.0 yang terdiri atas 5000 bintang dengan menaikkan VMT menjadi 9 maka jumlah bintang menjadi 15000 bintang, meningkat 3 kali lipat seperti ditunjukkan pada Gambar 7.

Gambar 7 Visual Magnitude Threshold terhadap jumlah bintang

Untuk mengatasi hal tersebut, metode pembuatan katalog bintang juga telah dikembangkan diantaranya metode Thinning Method (Kim dan Junkins 2002), metode

Spherical-Patches, Charged Particles, dan Fixed-Slope Spiral (Samaan et al. 2003), modifikasi Thinning Method menggunakan Minimum Boltzmann Entropy (MBE) (Zhang et al. 2004), dan metode klasifikasi Support Vector Machine (SVM) (Rui dan Ting 2008). Pada semua metode tersebut tidak dilakukan simulasi atau evaluasi identifikasi bintang sehingga tidak diketahui waktu proses identifikasi bintangnya.

AlgoritmeDBSCAN

Algoritme clustering yang digunakan dalam penelitian ini adalah DBSCAN (Density-based Spatial Clustering of Application with Noise) (Ester et al. 1996). DBSCAN adalah clustering tipe partisional dimana daerah dengan kepadatan tinggi dianggap sebagai cluster dan daerah dengan kepadatan rendah disebut sebagai noise. (Nagpal dan Mann 2011). Parameter utama DBSCAN adalah cluster memiliki setidaknya jumlah obyek minimum (MinPts) dalam radius lingkungan (Eps). Kriteria

cluster di DBSCAN adalah (Ester et al. 1996):

Core, inti adalah titik sebagai pusat cluster, yang memiliki sejumlah tetangga obyek lebih atau sama dengan nilai yang ditentukan MinPts dalam Eps jangkauan.

Border, perbatasan adalah titik dari sejumlah MinPts lebih sedikit namun memiliki hubungan kedekatan dengan titik inti (core).

Noise, yang tidak terklasifikasi baik titik inti dan titik perbatasan.

Directly Density-Reachable, sebuah titik p adalah directly density-reachable dari titik q terhadap Eps dan MinPts jika dan .

(22)

10

Ilustrasi Diretly Density-Reachable ditunjukkan padaGambar 8.

Density Reachable, sebuah titik p adalah density-reachable dari titik p terhadap Eps and MinPts jika terdapat rantai titik-titik p1,…, pn, p1 = q, pn = p sehingga pi+1 adalah

directly-reachable dari p. Ilustrasi Density-Reachable ditunjukkan pada Gambar 9.

Gambar 10 menggambarkan kriteria dari DBSCAN.

Eps = 3

Gambar 9 Density-reachability (Ester et al. 1996)

p

(23)

11

Algoritme DBSCAN adalah sebagai berikut (Ester et al. 1996): 1. Menetapkan dataset (setpoints), nilai Eps, dan MinPts 2. Tentukan titik p dalam setpoints

3. Jika titik p belum teridentifikasi (core/border/noise), maka:

4. Cari semua titik (region p) dalam jangkauan Eps dan memenuhi MinPts 5. Jika setpoint dalam region p tidak memenuhi MinPts, maka p adalah

noise

6. Jika setpoint dari p memenuhi MinPts, maka p adalah titik inti (core point) dan cluster terbentuk

7. Ulangi langkah 3 untuk semua setpoint

Posisi bintang dinyatakan dalam Asensio Rekta (RA) dan Deklinasi (DE) dalam sistem acuan koordinat langit. RA adalah sudut bintang terhadap vernal equinox ke arah timur sepanjang bidang ekuator langit dan DE adalah sudut bintang yang diukur ke utara atau ke selatan terhadap bidang ekuator langit seperti ditunjukkan pada Gambar 11 dengan,

Asensio Rekta (RA)

Deklinasi (DE)

Transformasi dari koordinat langit ke koordinat kartesian adalah sebagai berikut (Montenbruck dan Gill, 2000):

Jika posisi dua buah bintang A dan bintang B direpresentasikan sebagai vektor, yaitu vektor a dan b dengan a

x y z1, 1, 1

dan b

x y z2, 2, 2

dan jika sudut antara dua bintang seperti ditunjukkan pada Gambar 12 adalah nilai Eps dalam algoritme DBSCAN, maka Eps () dihitung dengan persamaan (Anton 2010) :

cos  a b

a b (2)

(24)

12

Jika a dan b dinormalisasi, maka ab 1 Sehingga, nilai Eps diperoleh dari persamaan :

cos a b (3)

Jika parameter Eps dalam DBSCAN menggunakan jarak euclidean antar titik-titik dalam dataset, maka dalam penelitian ini nilai Eps merupakan jarak angular (sudut) antar bintang dalam katalog seperti yang telah diuraikan di atas.

Pada umumnya, setelah melakukan proses clustering maka dilakukan evaluasi terhadap hasil clustering untuk melihat kualitas dari cluster, seberapa baik sebuah obyek dimasukkan dalam cluster. Namun, dalam penelitian ini tidak dilakukan evaluasi cluster

karena clustering yang dilakukan adalah sebagai alat bantu dalam mereduksi jumlah bintang dari setiap cluster yang terbentuk.

Setiap algoritme memiliki kompleksitas masing-masing. Demikian juga dengan algoritme DBSCAN. Kompleksitas dari algoritme DBSCAN adalah O(n2) untuk worst case (Akbar dan Khan 2014). Untuk setiap n titik dari dataset, maka paling tidak terdapat satu region query sehingga kompleksitas rata-rata adalah O(n log n)(Ester et al. 1996). Kelemahan dari algoritme DBSCAN di antaranya adalah kompleksitasnya tinggi dan tidak dapat digunakan untuk dataset dengan perbedaan densitas yang sangat besar (Maitry dan Vaghela 2014).

(25)

13

Simulasi Monte Carlo

Simulasi Monte Carlo adalah suatu model pengambilan data sampling statistik yang telah diketahui distribusinya yang seolah-olah merepresentasikan data faktual. Salah satu metode Monte Carlo yang dapat digunakan adalah membangkitkan obyek acak dan memprosesnya untuk mengetahui perilakunya (Kroese dan Rubinstein 2012). Karena simulasi ini membutuhkan perhitungan yang kompleks, maka bilangan-bilangan acak dibangkitkan dengan bantuan komputer. Bilangan acak yang dibangkitkan tidak benar-benar acak melainkan bilangan acak semu (pseudorandom number). Disebut bilangan acak semu karena bilangan acak tersebut diperoleh melalui suatu algoritme yang menggunakan rumus matematik atau secara sederhana merupakan tabel yang berisi urutan angka yang telah dihitung sebelumnya dan akan muncul secara acak (Haahr 2010). Algoritme pembangkit bilangan acak semu tersebut dinamakan

Pseudorandom Number Generator (PRNG). Pada beberapa bahasa pemrograman komputer, PRNG telah disediakan dalam bentuk sebuah fungsi, misalnya rand() dalam bahasa C/C++ dan matlab dan rnd() dalam Visual Basic. Fungsi tersebut akan membangkitkan bilangan acak semu antara 0 dan 1.

Simulasi Monte Carlo digunakan pertama kali pada tahun 1940-an dalam proyek senjata nuklir atau Manhattan Project oleh fisikawan Stanislaw Ulam di Laboratorium Nasional Los Alamos, Amerika Serikat. Nama Monte Carlo sendiri merupakan kode proyek tersebut yang diambil dari nama sebuah kasino dan tempat judi yang terkenal di Monako tempat paman dari Stanislaw Ulam menghabiskan uang untuk berjudi. Pada awalnya simulasi Monte Carlo digunakan oleh para fisikawan untuk membuat model difusi neutron yang saat itu sangat kompleks dalam memperoleh solusi analitiknya, maka mereka menggunakan solusi numerik untuk memecahkannya melalui simulasi Monte Carlo. Saat ini simulasi Monte Carlo sudah banyak digunakan dalam bidang sains, teknik, dan keuangan.

(26)

3 METODOLOGI

Praproses Clustering

Metodologi penelitian yang dilakukan terdiri atas tiga tahapan utama. Pertama, praproses katalog meliputi pengurutan berdasarkan magnitudo kemudian penapisan berdasarkan batasan magnitudo. Kedua, reduksi jumlah bintang dengan DBSCAN

Clustering. Ketiga adalah tahap evaluasi meliputi pengujian identifikasi bintang dengan data simulasi Monte Carlo, dan menganalisis data statistik hasil simulasi. Alur metodologi penelitian ini secara lengkap ditunjukkan pada Gambar 13.

Penetapan Katalog Bintang

Katalog dasar yang akan digunakan adalah SAO (Smithsonian Astrophysical Observatory) yang memuat data 258997 bintang. Data yang diambil dari katalog SAO meliputi Asensio Rekta (RA), Deklinasi (DE), Magntitudo (Mv). Tabel 3 adalah contoh

(27)

15

Tabel 3 Contoh Katalog SAO dengan Informasi RA, DE, dan Mv

No. Asensio Rekta dikonversi ke dalam satuan sudut (derajat).

Pengurutan Berdasarkan Magnitudo

Pengurutan data katalog dilakukan berdasarkan nilai magnitudonya dari yang paling kecil (paling terang) ke yang paling besar (paling redup). Tujuan dari pengurutan data katalog ini adalah untuk melakukan proses penyaringan data bintang tahap pertama berdasarkan nilai magnitudonya menggunakan teknik MFM.

Penapisan Berdasarkan Batasan Magnitudo

Setelah dilakukan proses pengurutan data bintang berdasarkan nilai magnitudonya, selanjutnya dilakukan proses penyaringan dengan MFM. Kriteria yang ditetapkan dalam dalam MFM ini adalah menentukan nilai VMT. Dalam penelitian ini, nilai VMT yang ditetapkan adalah 6.0 (VMT 6.0). Nilai ini digunakan berdasarkan batas sensitivitas sensor yang hanya mampu mendeteksi cahaya bintang sampai dengan nilai magnitudo 6.0.

Reduksi Jumlah Bintang

Clustering Menggunakan Algoritme DBSCAN

Tahap pertama dalam DBSCAN adalah menentukan nilai MinPts dan Eps. Nilai MinPts yang ditetapkan adalah 3 (tiga) sedangkan nilai awal Eps ditetapkan dari 0.1 sampai dengan 1.0 dengan masing-masing nilai Eps meningkat setiap kelipatan dari nilai awal. Misalnya nilai awal Eps adalah 0.1, maka clustering berikutnya nilai Eps adalah 0.2, 0.3 dan seterusnya. Proses clustering berhenti jika tidak terbentuk lagi

(28)

16

MinPts = 3

A = Bintang sebagai Core

B = Bintang sebagai Border

C = Bintang sebagai Noise

A B

C

Eps

Gambar 14 Ilustrasi clustering DBSCAN pada katalog bintang

Dari hasil clustering, cluster yang padat akan dikurangi jumlah bintangnya hingga diperoleh tersisa satu bintang dalam satu cluster. Reduksi akan dilakukan dengan mengambil satu bintang yang paling terang dan menghapus bintang yang lainnya. Iterasi

clustering akan terus dilakukan sampai tidak lagi terbentuk cluster baru.

Pembuatan Katalog dan Sub katalog

Katalog utama merupakan katalog yang berisi data bintang hasil reduksi. Informasi yang diperlukan adalah ID dan posisi bintang dalam vektor satuan (vx, vy, vz). Format katalog utama ditunjukkan pada Tabel 4.

Tabel 4 Format katalog utama

ID vx vy vz

i vxi vyi vzi

… … …

n vxn vyn vzn

Sub katalog adalah katalog bintang yang diturunkan dari katalog utama hasil clustering. Sub katalog berisi informasi jarak angular dari setiap bintang dalam katalog utama yang dinamakan sebagai bintang poros terhadap bintang-bintang tetangganya. Karena bintang poros sebagai titik pusat dari FOV, maka kategori bintang tetangga adalah semua bintang dalam radius FOV/2. Format sub katalog ditunjukkan pada Tabel 5.

Tabel 5 Format sub katalog

ID bintang terdekat Jarak

NBi j dij

… …

k dik

dengan,

NBi : Jumlah bintang terdekat dari bintang ke-i dalam radius FOV/2 derajat

j : ID bintang terkecil (paling terang) dalam radius FOV/2 derajat dari bintang ke-i

k : ID bintang terbesar (paling redup) dalam radius FOV/2 derajat dari bintang ke-i

dij : Jarak bintang ke-i dengan bintang dengan ID j dalam derajat

(29)

17

Simulasi dan Evaluasi

Pada tahap ini, simulasi dilakukan untuk memberikan data uji dengan membangkitkan FOV secara acak yang merepresentasikan berbagai arah FOV dengan metode Monte Carlo. FOV yang dibangkitkan adalah koordinat Asensio Rekta (RA) dan Deklinasi (DE) dalam sistem koordinat langit sebagai titik pusat FOV yang selanjutnya ditransformasikan ke dalam koordinat kartesian. Dari titik pusat FOV tersebut kemudian mencari semua bintang dalam radius FOV/2 dari katalog awal. Evaluasi katalog dilakukan dengan memproses data bintang dari setiap FOV acak melalui algoritme identifikasi pola bintang menggunakan metode poligon segitiga. Dari proses evaluasi akan diperoleh data persentase keberhasilan (tingkat akurasi) identifikasi bintang serta waktu rata-rata yang dibutuhkan dalam proses identifikasi tersebut.

Simulasi data bintang yang akan dibangkitkan menggunakan distribusi seragam kontinu (continuous uniform distribution) dengan membangkitkan nilai RA dan DE secara acak dengan menggunakan fungsi:

r = a + (b - a)*RAND() (5)

dengan,

r = bilangan acak yang dibangkitkan a = nilai minimum

b = nilai maksimum RAND() = fungsi acak

Dari fungsi pada persamaan (5) di atas, maka:

r = Asensio Rekta (RA) atau Deklinasi (DE)

a = 0 untuk RA dan -90 untuk DE

b = 360 untuk RA dan 90 untuk DE

(30)

18

Mulai

Bangkitkan RA, DE acak

untuk semua bintang i dalam katalog

D < FOV/2 ?

Simpan Informasi bintang i dalam FOV

Periksa jarak RA, DE yang dibangkitkan dengan bintang i dalam katalog

Periksa jumlah bintang

jika jumlah bintang = NSTAR ?

ya

Gambar 15 Diagram alir simulasi

(31)

19

Mulai

Pilih 3 bintang hasil simulasi

untuk semua bintang i dalam katalog

untuk semua bintang j dalam sub katalog

Abs(jarak(j) – da)< th ?

j++

Akhir dari loop k

Akhir dari loop j Simpan Informasi bintang i

cocok dengan bintang j

da adalah kosinus jarak bintang 1 Dan bintang 2

th adalah nilai toleransi atau koreksi maksimum jarak

Ditemukan kecocokan pertama

Identifikasi bintang berhasil

Abs(jarak(k) – db)< th ?

db adalah kosinus jarak bintang 1 dan bintang 3 Hitung jarak bintang j dan

bintang k

tidak

Abs(jarak(j,k) – dc)< th ? i++

tidak

dc adalah kosinus jarak bintang 2 dan bintang 3

Ditemukan kecocokan ketiga

(32)

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

Praproses Clustering

Katalog dasar yang digunakan, yaitu SAO dengan epoch J2000 (1 Januari 2000) yang memuat 258997 bintang. Informasi yang diperlukan dari katalog dasar adalah Asensio Rekta (RA), Deklinasi (DE), dan Magnitudo (Mv) karena ketiga informasi

tersebut yang diperlukan dalam menyusun katalog baru seperti ditunjukkan pada Tabel 6.

Tabel 6 Data bintang dalam katalog SAO

Asensio Rekta (o) Deklinasi (o) Magnitudo (Mv)

Tahap pertama praproses clustering adalah mengurutkan data bintang berdasarkan magnitudo dari yang paling terang ke yang paling redup kemudian setiap bintang diberi nomor ID berdasarkan urutan tersebut seperti ditunjukkan pada Tabel 7.

Tabel 7 Data bintang dalam katalog SAO setelah diurutkan

(33)

21

Penapisan berdasarkan batasan Magnitudo

Tahap kedua dalam praposes adalah melakukan penapisan katalog SAO berdasarkan nilai magnitudo tertentu. Dalam penelitian ini penapisan dilakukan dengan mengambil data bintang menggunakan Magnitude Filtering Method (MFM) dengan magnitudo 6.0 Mv dan diperoleh sebanyak 5103 bintang seperti ditunjukkan Tabel 8.

Tabel 8 Katalog awal dengan MFM 6.0 Mv

ID Bintang Asensio Rekta (o) Deklinasi (o) Magnitudo (Mv) ditunjukkan pada Gambar 17.

Gambar 17 Distribusi bintang dalam katalog awal

Reduksi Jumlah Bintang

(34)

22

cluster baru. Dari setiap hasil clustering terbentuk beberapa cluster dan noise seperti contoh yang ditunjukkan pada Gambar 18, dan dari setiap cluster diambil satu bintang yang paling terang yang ditandai dengan ID yang paling kecil sebagai kandidat bintang navigasi termasuk semua noise (Gambar 19). Dari contoh Gambar 18, satu cluster

terbentuk dengan anggota bintang ID 669, 970, 2185, dan 4986. Sedangkan bintang ID 374, 1730, dan 4985 sebagai noise. Hasil clustering tersebut menjadikan bintang ID 669 sebagai bintang paling terang dan seluruh noise (ID 374, 1730, dan 4985) sebagai kandidat bintang navigasi. Proses clustering pertama dengan nilai awal Eps = 0,1 menghasilkan katalog baru dengan jumlah 5095 bintang. Katalog baru tersebut kemudian dijadikan sebagai dataset baru pada clustering berikutnya dengan nilai Eps = 0.2 dan seterusnya.

Deklinasi (

o )

Asensio Rekta (o)

Gambar 18 Contoh cluster dan noise yang terbentuk

Deklinasi (

o )

Asensio Rekta (o)

(35)

23

Tabel hasil clustering dari setiap nilai Eps awal dapat dilihat pada Lampiran 1. Dari hasil clustering yang dilakukan, nilai awal Eps berpengaruh terhadap jumlah iterasi

clustering yang dilakukan. Ditunjukkan pada Gambar 20 bahwa semakin besar nilai awal Eps, maka jumlah bintang yang direduksi dalam setiap iterasi clustering juga semakin banyak. Dengan semakin cepatnya jumlah bintang yang berkurang maka jumlah iterasi clustering juga akan semakin sedikit.

Gambar 20 Grafik pengaruh nilai awal Eps terhadap penurunan jumlah bintang serta jumlah iterasi

Pembuatan Katalog dan Sub Katalog

Katalog bintangdibuat berdasarkan jumlah bintang dari setiap iterasi. File katalog yang dibuat berektensi .bin dengan format isi katalog heksadesimal dan diberi nama

SAO_LIST1_xxxx.bin, xxxx adalah jumlah bintang. Contoh katalog utama ditunjukkan pada Gambar 21. Vektor (x, y, z) bintang dalam katalog utama dituliskan dalam bilangan integer tidak bertanda (unsigned integer) masing-masing 2 byte

sehingga setiap satu bintang terdiri atas 6 byte. File sub katalog yang dibuat berektensi

.bin dengan format isi katalog heksadesimal dan diberi nama SAO_LIST2_xxxx.bin, xxxx adalah jumlah bintang. Contoh sub katalog ditunjukkan pada Gambar 22 pada panel sebelah kanan. ID dan jarak pada sub katalog dituliskan dalam bilangan integer

(36)

24

Gambar 21 Contoh katalog utama

(37)

25

Simulasi Monte Carlo

Program simulasi Monte Carlo dibuat dengan menggunakan bahasa pemrograman Visual Basic 2010 Express, dijalankan pada PC Intel Core i5-3470 CPU, 3.20 GHz; 4 GB RAM; sistem operasi Windows 7 64-bit Professional Service Pack 1. Simulasi dilakukan dengan membangkitkan nilai koordinat inersial yaitu RA dan DE dalam satuan derajat (o) sebagai titik pusat FOV secara acak sebanyak 1000 kali. Contoh koordinat RA dan DE yang dibangkitkan adalah :

1) (87.49o, 22.86o) 2) (241.61o, 65.77o) 3) (127.31o, -51.22o) 4) (18.39o, 4.93o)

5) dan seterusnya sampai 1000 kali

Nilai 1000 FOV acak yang dibangkitkan dari simulasi Monte Carlo ditunjukkan pada Gambar 23.

Gambar 23 Titik pusat FOV acak yang dibangkitkan

Terlihat dari Gambar 23 bahwa distribusi FOV acak yang dibangkitkan mendekati seragam. Dari titik pusat FOV tersebut selanjutnya akan dicari semua bintang pada katalog awal (Gambar 17) dengan jumlah 5103 bintang yang radiusnya sebesar 11.5o sebagai bintang kandidat pengujian katalog yang dihasilkan dari proses clustering. Untuk setiap katalog bintang yang dihasilkan dari proses clustering, data simulasi Monte Carlo yang digunakan adalah sama. Dari hasil simulasi diperoleh akurasi dan waktu proses dari setiap nilai Eps awal yang ditunjukkan pada Tabel 9 dan Tabel 10.

(38)

26

Tabel 9 Akurasi dan waktu proses hasil simulasi untuk Eps awal 0.1, 0.2, 0.3, dan 0.4

Eps awal = 0.1 Eps awal = 0.2

Jumlah Akurasi Waktu Proses Jumlah Akurasi Waktu Proses Bintang (%) (milidetik) Bintang (%) (milidetik)

(39)

27

Tabel 10 Akurasi dan waktu proses hasil simulasi untuk Eps awal 0.5, 0.6, 0.7, 0.8, 0.9, dan 1.0

Eps awal = 0.5 Eps awal = 0.6

Jumlah Akurasi Waktu Proses Jumlah Akurasi Waktu Proses Bintang (%) (milidetik) Bintang (%) (milidetik)

Jumlah Akurasi Waktu Proses Jumlah Akurasi Waktu Proses Bintang (%) (milidetik) Bintang (%) (milidetik)

Jumlah Akurasi Waktu Proses Jumlah Akurasi Waktu Proses Bintang (%) (milidetik) Bintang (%) (milidetik)

(40)

28

Dari hasil simulasi yang disajikan dalam Tabel 9 dan Tabel 10untuk setiap nilai awal Eps, diambil jumlah bintang dengan akurasi yang masih dapat diterima adalah > 95% (Pham et al. 2013) dan rata-rata waktu proses identifikasi < 20 milidetik. Secara teoretik, semakin sedikit jumlah bintang maka akurasi akan semakin berkurang dan waktu proses identifikasi akan semakin cepat. Akan tetapi, dari hasil simulasi menunjukkan hal yang berbeda karena penetapan nilai awal Eps yang besar kemungkinan menghilangkan bintang-bintang yang cerah secara drastis. Dari Gambar 24 di atas terlihat bahwa waktu proses paling cepat dihasilkan oleh katalog dengan jumlah bintang 840 dengan nilai awal Eps = 0.1, yaitu 16 milidetik dengan akurasi 96%.

Gambar 24 Grafik akurasi dan waktu proses hasil simulasi

Jika distribusi jumlah 840 bintang hasil reduksi dengan nilai Eps awal = 0.1 disajikan dalam plot dua dimensi, maka terlihat seperti pada Gambar 25.

Gambar 25 Distribusi Katalog dengan 840 Bintang

Dari plot dua dimensi seperti yang ditunjukkan pada Gambar 25, katalog bintang yang diperoleh dengan jumlah bintang 840 menunjukkan distribusi yang mendekati seragam

(41)

29

dibandingkan dengan distribusi bintang pada katalog awal yang ditunjukkan pada Gambar 17. Terlihat bahwa daerah pada gugus Bima Sakti sudah tidak lagi mempunyai kepadatan bintang yang tinggi dibandingkan dengan daerah kutub. Dari plot 2 dimensi di atas dapat dilihat reduksi bintang yang dilakukan melalui metode clustering cukup berhasil.

5 KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Metode clustering berbasis densitas menggunakan algoritme DBSCAN dapat digunakan untuk membuat katalog bintang yang optimal. Dengan menggunakan metode reduksi bintang berbasis densitas diperoleh katalog bintang dengan distribusi yang hampir seragam sehingga meminimalkan terjadinya kegagalan identifikasi bintang pada berbagai arah. Penetapan nilai Eps awal menentukan reduksi jumlah bintang, semakin besar nilai Eps, maka reduksi bintang akan semakin cepat. Dengan penetapan nilai Eps yang kecil, maka diperoleh pemilihan kandidat bintang navigasi dengan distribusi bintang yang lebih seragam. Metode yang digunakan menghasilkan katalog bintang dengan jumlah bintang 840 dan hasil simulasi Monte Carlo diperoleh akurasi sebesar 96% dan waktu proses 16 milidetik sehingga memenuhi kriteria untuk diimplementasikan dalam sensor bintang.

Saran

(42)

DAFTAR PUSTAKA

Akbar S, Khan MNA. 2014. Critical Analysis of Density-based Spatial Clustering of Applications with Noise (DBSCAN) Techniques. International Journal of Database Theory and Application. 7(5): 17-28. doi: 10.14257/ijdta.2014.7.5.02. Analyticon. 2002. Space Engineering: Star Sensor Specification Standar.Hertfordshire Andrade G, Ramos G, Madeira D, Sachetto R, Ferreira R, Rocha L. 2013.

G-DBSCAN: A GPU Accelerated Algorithm for Density-based Clustering. Procedia Computer Science. 18: 369-378. doi:10.1016/j.procs.2013.05.200.

Anton H. 2010. Elementary Linear Algebra: Application Version. 10th ed. John Wiley & Sons (US) [Internet].[diunduh 2015 Sep 10]. Tersedia pada http://www2.warwick.ac.uk/fac/sci/maths/undergrad/ughandbook/content/ma106/ elementary_linear_algebra_10th_edition.pdf.

Bak T. 1999. Spacecraft Attitude Determination: A Magnetometer Approach.2nd ed. Aalborg (DK). Aalborg University. ISBN: 8790664035. hlm 16.

Cole CL, Crassidis JL, 2006. Fast Star Pattern Recognition Using Planar Triangles. J Guid Control Dynam. 29(1): 64-71. doi: 10.2514/1.13314.

Escobal PR. 1976. Method of Orbit Determination. 2nd ed. Krieger Pub Co. ISBN 0-88275-319-3. hlm 134.

Ester M, Kriegel HP, Sander J, Xu X. 1996. A Density-Based Algorithm for Discovering Clusters in Large Spatial Databases with Noise. Di dalam: Simoudis E, Han J, Fayyad U. editor. KDD-96: Proceedings : Second International Conference on Knowledge Discovery & Data Mining; 1996 Agu 2-4; Portland, Oregon, Amerika Serikat. Palo Alto (US): AAAI Press. hlm 226-231.

Fortescue P, Swinerd G, Stark J. 2011. Spacecraft System Engineering. 4th ed. Wiley. ISBN: 9781119971016. hlm 316.

Haahr, M., 2010. random.org. [Online] Tersedia di: httt://random.org/randomness [diakses 17 Februari 2014].

Ho K. 2012. A Survey of Algorithms for Star Identification with Low-Cost Star Tracker. Acta Astronaut. 73: 156-163. doi:10.1016/j.actaastro.2011.10.017. Hua J, Zhang T, Zhu H, Liang B, Liu B, Ling J. A New Method of Star Catalog

Optimization for Multi-FOV Star Sensor.[Editor tidak diketahui]. Proceeding of

11th World Congress on Intelligent Control and Automation; 2014 Jun 29 - Jul 4; Shenyang. China. IEEE. hlm 3529-3533. doi: 10.1109/WCICA.2014.7053302. Jiang J, Zhang G, Wei X, Li X. 2009. Rapid Star Tracking Algorithm for Star Sensor.

IEEE Aerosp. Electron. Syst. Mag. 24(9): 23-33.

doi: 10.1109/MAES.2009.5282286.

Kim HY, Junkins JL. 2002. Self-Organizing Guide Star Selection Algorithm for Star Tracker: Thinning Method. [Editor tidak diketahui]. 2002 IEEE Aerospace Conference Proceedings. 2002 Mar 9-16;. Big Sky, Amerika Serikat. New Jersey (US): IEEE. hlm 5-2275 – 5-2283; doi: 10.1109/AERO.2002.1035394.

Kolomenkin M, Polak S, Shimsoni I. 2008. A Geometric Voting Algorithm for Star Trackers. IEEE Trans. Aerosp. Electron. Syst. 44(2): 441-456. doi: 10.1109/TAES.2008.4560198.

(43)

31

Lee HJ, Bang HC. 2007. Star Pattern Identification Techniques by Modified Grid Algorithm. IEEE Trans. Aerosp. Electron. Syst. 43(3): 1112-1116.

doi: 10.1109/TAES.2007.4383600.

Li BH, Zhang YC, Li HY, Xu SW. 2005. An Autonomus Star Pattern Recognition Algorithm Using Bit Match. [Editor tidak diketahui]. Proceeding of 4th International Conference on Machine Learning and Cybernetics; 2002 Agu 18-21; Guangzhou. China. IEEE. hlm 4818-4823.

doi: 10.1109/ICMLC.2005.1527791.

Li C, Li K, Zhang L, Jin S, Zu S. 2003. Star Pattern Recognition Method based on Neural Network. Chinese Sci Bull. 48(18): 1927-1930. doi: 10.1007/BF03183979 Liebe CC. 1995. Star Tracker for Attitude Determination. IEEE Aerosp. Electron. Syst.

Mag. 10(6): 10-16. doi: 10.1109/62.387971.

Maitry N., Vaghela D. 2014. Survey on Different Density Based Algorithms on Spatial Dataset. International Journal of Advance Research in Computer Science and Management Studies. 2(2): 362-366. ISSN: 2321-7782 (online).

Miri SS, Shiri ME. 2012. Star Identification Using Delaunay Triangulation and Distributed Neural Network. International Journal of Modeling and Optimization.

2(3): 234-238. doi: 10.7763/IJMO.2012.V2.118.

Mohammnejad S, Rostami A, Sarvi MN. 2012. A Practical View to Database Generation of Star Identification Algorithm for Space Applications. [Editor tidak diketahui]. 2012 8th International Symposium on Communication Systems, Networks & Digital Signal Processing (CSNDSP);Poznan, Polandia. New Jersey (US): IEEE. hlm 1-4.

Montenbruck O, Gill E, 2000. Satellite Orbits: Models, Methods and Applications. 1st Ed. Springer Heidelberg. New York. ISBN: 978-3-540-67280-7. hlm 25.

Nagpal PB, Mann AP. 2011. Comparative Study of Density based Clustering Algorithms. International Journal of Computer Applications. 27(11): 44-47. doi: 10.5120/3341-4600.

Paladugu L, Williams BG, Schoen MP. 2003. Star Pattern Recognition for Attitude Determination Using Genetic Algorithm.[Editor tidak diketahui]. Proceedings of the 17th AIAA/USU Conference on Small Satellites, The Technology Frontier II, SSC03-XI-2; 2003 Agu 11-14. Utah (US): USU.

Pham MD, Low KS, Shoushun C. 2013. An Autonomous Star Recognition Algorithm with Optimized Database. IEEE Trans. Aerosp. Electron. Syst. 49(3): 1467-1475. doi: 10.1109/TAES.2013.6557999.

Pham MD, Low KS, Shoushun C, Xing YT. 2012. A Star Pattern Recognition Algorithm for Satellite Attitude Determination. [Editor tidak diketahui]. IEEE Symposium on Industrial Electronics and Applications (ISIEA); 2012 Sep 23-26; Bandung. Indonesia. IEEE. hlm 236-241. doi: 10.1109/ISIEA.2012.6496636. Rousseau GL a, Bostel J, Mazari B. 2005. New Star Pattern Recognition Algorithm for

APS Star Tracker Application: "Oriented Triangles". IEEE Trans. Aerosp. Electron. Syst. 20(2): 27-31. doi: 10.1109/MAES.2005.1397146.

(44)

32

Samaan MA, Bruccoleri C, Mortari D, Junkins JL. 2003. Novel Techniques for Creating Nearly Uniform Star Catalog. [Editor tidak diketahui]. Proc. 2003 AAS/AIAA Astrodynamics Specialist Conference; 3-7 Agu 2003. Big Sky, Montana (US): AAS/AIAA. No.03-609.

Samaan MA, Mortari D, Junkins JL. 2005. Recursive Mode Star Identification Algorithms. IEEE Trans. Aerosp. Electron. Syst. 41(4): 1246-1254.

doi: 10.1109/TAES.2005.1561885.

Sidi MJ, 1997. Spacecraft Dynamics and Control: A Practical Engineering Approach. 1st ed. Cambridge: Cambridge University Press. ISBN: 9780521787802.

Sohrabi S, Shirazi AAB. 2010. A New Star Identification Algorithm Based on Fuzzy Line Pattern Matching. [Editor tidak diketahui]. 2010 25th International Conference of Image and Vision Computing New Zealand (IVCNZ 2010); 2010 Nop 8-9. Queenstown, Selandia Baru. New Jersey (US): IEEE. hlm 1-7.

(45)
(46)

34

Lampiran 1 Tabel hasil clustering dari setiap nilai Eps awal

(47)
(48)
(49)
(50)
(51)

39

Eps awal = 0.9 Eps = 1.0

Iterasi ke-i Eps Jumlah bintang Iterasi ke-i Eps Jumlah bintang

1 0.9 4639 1 1.0 4499

2 1.8 3012 2 2.0 2562

3 2.7 1620 3 3.0 1328

4 3.6 1020 4 4.0 803

5 4.5 644 5 5.0 524

6 5.4 463 6 6.0 353

7 6.3 362 7 7.0 287

8 7.2 295 8 8.0 220

9 8.1 228 9 9.0 176

10 9.0 181 10 10.0 137

11 9.9 160 11 11.0 126

12 10.8 128 12 12.0 96

13 11.7 103 13 13.0 89

14 12.6 96 14 14.0 76

15 13.5 88 15 15.0 73

16 14.4 76 16 16.0 62

17 15.3 68 17 17.0 57

18 16.2 57 18 18.0 51

19 17.1 53 19 19.0 43

20 18.0 48 20 20.0 39

21 18.9 40 21 21.0 34

22 22.0 31

23 23.0 29

24 24.0 27

(52)

40

RIWAYAT HIDUP

Muhammad Arif Saifudin, atau lebih sering dipanggil dengan Didin lahir di kota Bangil, Pasuruan pada tanggal 13 September 1977 dari pasangan Bapak Saiful Anwar

dan Ibu Lilik Matho’anah. Muhammad Arif Saifudin adalah adalah anak pertama dari 3

Gambar

Gambar 1 Skema model sensor bintang (Analyticon 2002)
Gambar 2 Sensor bintang
Gambar 4 Sensor bintang dengan FOV do
Tabel 2 Contoh magnitudo bintang (Sidi 1997)
+7

Referensi

Dokumen terkait

Analisis titik impas umumnya berhubungan dengan proses penentuan tingkat produksi untuk menjamin agar kegiatan usaha yang dilakukan dapat membiayai sendiri (self financing).

Therefore, an information space such as system have information tied to each other, but in different sub-systems can be built mutually bound: Google search engine and Yahoo

Sehingga menjadi suatu hal yang sangat penting untuk melakukan penelitian mengenai pengelolaan obat terutama penyimpanan obat di puskesmas untuk mengetahui seberapa

Low Mental Conflict ”, Di dalam makalah yang telah diteliti mencoba untuk mengidentifikasi, untuk memberikan pilihan dan menyediakan struktur ekuitas merek kepada

Berdasarkan permasalahan diatas, peneliti ingin mengetahui hubungan antara lifestyle (aktivitas fisik, kebiasaan merokok, konsumsi kafein konsumsi garam dan stres)

Maka dapat disimpulkan bahwa nisbah merupakan jumlah yang didapat sebagai kelebihan modal dengan ketentuan pembagian keuntungan tidak boleh ditetapkan dengan jumlah

dalam penelitian ini penulis mengeksplorasi 150 data nasabah salah satu bank (nama bank tidak disebutkan dalam penelitian ini) mencakup total saldo, agama,

Smoking have a significant relationship with periodontal tissues health, smoking were four more likely to have periodontal disesases (unhealthy periodontal tissues) as compared