• Tidak ada hasil yang ditemukan

Komponen Neraca Air Tanaman Kelapa Sawit di PTPN VIII, Cimulang, Bogor

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Komponen Neraca Air Tanaman Kelapa Sawit di PTPN VIII, Cimulang, Bogor"

Copied!
32
0
0

Teks penuh

(1)

KOMPONEN NERACA AIR TANAMAN KELAPA SAWIT DI

PTPN VIII, CIMULANG, BOGOR

TJEDAHWATI

DEPARTEMEN ILMU TANAH DAN SUMBERDAYA LAHAN FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Komponen Neraca Air Tanaman Kelapa Sawit di PTPN VIII, Cimulang, Bogor adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

(4)

ABSTRAK

TJEDAHWATI. Komponen Neraca Air Tanaman Kelapa Sawit di PTPN VIII, Cimulang, Bogor. Dibimbing oleh SURIA DARMA TARIGAN dan DWI PUTRO TEJO BASKORO.

Intersepsi hujan merupakan proses tertahannya air hujan pada permukaan vegetasi sebelum diuapkan kembali ke atmosfer. Hilangnya air melalui intersepsi merupakan bagian penting dalam siklus hidrologi. Selain intersepsi, proses kehilangan air dapat disebabkan oleh evapotranspirasi. Evapotranspirasi merupakan proses kehilangan air melalui permukaan tanah dan tanaman. Penelitian ini bertujuan untuk menetapkan besarnya aliran batang, lolosan tajuk, dan menghitung intersepsi; serta menetapkan besaran evapotranspirasi tanaman kelapa sawit. Hasil penelitian menunjukkan terdapat 16 hari kejadian hujan dalam periode 3 bulan pengamatan dengan hujan harian bervariasi antara 4.83 mm/hari sampai 95.53 mm/hari. Aliran batang dan lolosan tajuk meningkat dengan meningkatnya curah hujan. Nilai aliran batang yang didapat di lapangan sangat kecil yaitu kurang dari 1%, sehingga nilai aliran batang yang digunakan untuk mengukur intersepsi mengadaptasi nilai aliran batang penelitian Purba (2007) sebesar 7.8%. Nilai aliran batang per kejadian hujan yang diperoleh bervariasi antara 0.38 mm sampai 7.45 mm. Nilai lolosan tajuk bervariasi antara 5.00 mm sampai 87.47 mm atau sebesar 73.00% sampai 127.84%. Nilai intersepsi umumnya meningkat dengan meningkatnya curah hujan, namun persentase curah hujan yang terintersepsi menurun, serta intersepsi semakin kecil dengan semakin besarnya aliran batang dan lolosan tajuk. Nilai rata-rata intersepsi bervariasi antara 0.51 mm sampai 4.32 mm atau 0.64% sampai 19.20%. Penurunan kadar air pada kedalaman perakaran 30 cm sebesar 2.40 mm/hari. Penurunan kadar air pada kedalaman perakaran 60 cm sebesar 4.28 mm/hari. Nilai penurunan kadar air tersebut setara dengan nilai evapotranspirasi.

Kata kunci: aliran batang, evapotranspirasi, intersepsi, lolosan tajuk

ABSTRACT

(5)

period of observation which variation of daily rain from 4.83 mm/day to 95.53 mm/day. Stemflow and throughfall were increasing as the increase of rainfall. The value of stemflow obtained in field observation was very low i.e. fewer than 1%, therefore the value used for measuring interception was adapted from research conducted by Purba (2007) i.e. 7.8%. The stemflow values of each rainy day were obtained varied from 0.38 mm to 7.45 mm. The throughfall were obtained varied from 5.00 mm to 87.47 mm or from 73.00% to 127.84%. Generally, the interception values increase with the increase of rainfall, yet the percent of intercepted rainfall decreased, also the interception decreased stemflow and throughfall. The average value of interception varied between 0.51 mm and 4.32 mm or from 0.64% to 19.20%. Decreasing soil moisture in 30 cm root depth were 2.40 mm/day. Decreasing soil moisture in 60 cm root depth were 4.28 mm/day. Those values were equal to evapotranspiration.

(6)
(7)

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian

pada

Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan

KOMPONEN NERACA AIR TANAMAN KELAPA SAWIT DI

PTPN VIII, CIMULANG, BOGOR

TJEDAHWATI

DEPARTEMEN ILMU TANAH DAN SUMBERDAYA LAHAN FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(8)
(9)

Judul Skripsi : Komponen Neraca Air Tanaman Kelapa Sawit di PTPN VIII, Cimulang, Bogor

Nama : Tjedahwati NIM : A14090082

Disetujui oleh

Dr Ir Suria Darma Tarigan Pembimbing I

Dr Ir Dwi Putro Tejo Baskoro, MSc Pembimbing II

Diketahui oleh

Dr Ir Baba Barus, MSc Ketua Departemen

(10)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala karunia-Nya sehingga laporan hasil penelitian (Skripsi) yang berjudul “Komponen Neraca Air Tanaman Kelapa Sawit di PTPN VIII, Cimulang, Bogor” dapat diselesaikan. Skripsi ini merupakan salah satu syarat kelulusan di program studi Manajemen Sumberdaya Lahan IPB.

Pada kesempatan ini penulis menyampaikan rasa syukur kepada Allah SWT, serta rasa terima kasih yang sebesarnya kepada Papa dan Mama untuk segala kasih sayang, cinta, dorongan, semangat, dan motivasi serta selalu mendoakan keberhasilan penulis. Kakak-kakakku Diana, Fazlillah, dan Rahmi yang walaupun menyebalkan tapi selalu memberikan dorongan untuk segera lulus.

Terima kasih kepada Dr. Ir. Suria Darma Tarigan yang dengan sabar membimbing penulis dan telah memberikan waktu dan perhatiannya kepada penulis selama dalam penelitian. Dr. Ir. Dwi Putro Tejo Baskoro, MSc sebagai pembimbing kedua yang membantu penulis dalam penulisan laporan hasil penelitian ini.

Terima kasih kepada para pegawai PTPN VIII, Bapak Yusuf, Ibu Fia, Ibu Yudi, dan Bapak Hari yang membantu penulis dalam perizinan lokasi penelitian. Bapak Ahmad yang membantu penulis dalam pemilihan lokasi penelitian serta memberi tahu penulis setiap keadaan cuaca selama penelitian berlangsung. Bapak Ndang yang membantu penulis dalam pemasangan alat dan pengeboran tanah. Bapak Hatta yang membantu penulis dalam pengeboran tanah dan memberi tahu penulis setiap keadaan cuaca selama penelitian berlangsung. Teteh yanti dan Teteh Erlin yang bersedia memberi tempat untuk menaruh peralatan penelitian.

Terima kasih kepada Prapti, Hanna, Nindya atas kebersamaan dan pertemanannya selama di perkuliahan. Teman-teman Ilmu Tanah 46 atas persaudaraanya dan selalu bersedia membantu penulis. Terima kasih kepada Pak Syaiful sebagai Laboran Laboratorium Konservasi Tanah dan Air atas bantuannya selama penelitian.

Penulis berharap semoga Tuhan Yang Maha Esa memberikan balasan atas semua kebaikan dan dukungan yang telah diberikan. Masih banyak kekurangan dan ketidaksempurnaan dalam tulisan ini, oleh karena itu penulis menerima saran, koreksi, masukan, dan kritikan yang membangun dari berbagai pihak untuk kesempurnaannya kelak. Akhir kata, semoga tulisan ini bermanfaat bagi kita semua.

(11)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL vi

DAFTAR GAMBAR vi

DAFTAR LAMPIRAN vi

PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Tujuan Penelitian 1

TINJAUAN PUSTAKA 2

Siklus Hidrologi 2

Intersepsi, Lolosan Tajuk, dan Aliran Batang 2

Evapotranspirasi 3

Tanaman Kelapa Sawit 3

METODE 4

Tempat dan Waktu Penelitian 4

Alat Penelitian 4

Desain Percobaan dan Instalasi Peralatan 5

Curah Hujan 5

Aliran Batang 6

Lolosan Tajuk 7

Evapotranspirasi 7

Intersepsi 8

HASIL DAN PEMBAHASAN 8

Aliran Batang (Stemflow) 8

Lolosan Tajuk (Throughfall) 10

Intersepsi 11

Evapotranspirasi 12

SIMPULAN DAN SARAN 14

DAFTAR PUSTAKA 14

LAMPIRAN 16

(12)

DAFTAR TABEL

1 Penurunan kadar air (mm/hari) dan kadar air (% bobot) kedalaman 30

cm dan kedalaman 60 cm 13

DAFTAR GAMBAR

1 Desain percobaan pengukuran curah hujan 5

2 Pengukuran curah hujan di lapang 6

3 Desain percobaan pengukuran aliran batang dan lolosan tajuk 6

4 Pengukuran aliran batang di lapang 7

5 Pengukuran lolosan tajuk di lapang 7

6 Desain percobaan pengukuran evapotranspirasi 8

7 Aliran batang setiap kejadian hujan 9

8 Lolosan tajuk pada jarak berbeda dari tanaman 10

9 Intersepsi pada setiap kejadian hujan 11

DAFTAR LAMPIRAN

1 Curah hujan, total lolosan tajuk, aliran batang, dan intersepsi (mm) 16 2 Penurunan kadar air (mm/hari) kedalaman perakaran 30 cm dan 60 cm 16

(13)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Air sangat penting untuk setiap sektor kehidupan, baik untuk manusia, hewan, dan tanaman. Air bagi tanaman berfungsi sebagai pereaksi dalam proses-proses fotosintesis dan hidrolisis, serta dalam mempertahankan turgor sel (Lee 1988). Kekurangan air bagi tanaman mengakibatkan terganggunya pertumbuhan tanaman. Salah satu tanaman yang membutuhkan air dalam jumlah besar adalah kelapa sawit (Elaies guineensis Jack).

Tanaman kelapa sawit (Elaies guineensis Jack) merupakan komoditi utama sektor perkebunan di Indonesia yang menghasilkan minyak nabati paling efisien. Hasil produksi yang optimum didapatkan bila syarat tumbuh tanaman ini terpenuhi dengan baik. Salah satu syarat tumbuh yang penting yaitu faktor iklim. Idealnya curah hujan antara 2000-4000 mm/tahun, dengan hari hujan lebih dari 250 hari hujan/tahun, intensitas matahari 6 jam/hari, serta temperatur rata-rata 25oC (Hakim 2007).

Air mengalami peredaran melalui siklus hidrologi, yaitu tahapan-tahapan yang dilalui air dari atmosfer ke bumi dan kembali lagi ke atmosfer, serta berlangsung secara terus menerus (Seyhan 1990). Dalam konsep hidrologi bahwa jumlah air di suatu luasan tertentu di permukaan bumi dipengaruhi oleh besarnya air yang masuk dan keluar pada jangka waktu tertentu. Semakin cepat siklus hidrologi maka tingkat neraca airnya semakin dinamis. Analisis neraca air sangat membantu dalam menyusun perencanaan di suatu lahan tertentu. Komponen neraca air diantaranya intersepsi dan evapotranspirasi.

Intersepsi merupakan proses tertahannya hujan oleh tajuk tanaman. Dalam bidang pertanian, meskipun jumlah air yang diintersepsi relatif kecil tetapi mempunyai arti yang penting dalam hubungannya dengan kebutuhan air tanaman. Pengukuran intersepsi sangat penting dilakukan karena untuk menduga jumlah air yang menjadi aliran permukaan. Aliran permukaan dapat mengurangi kesuburan tanah, karena mengakibatkan tererosinya lapisan top soil. Air hujan yang tertahan terlebih dahulu pada batang dan tajuk tanaman dapat menekan daya tumbukan langsung terhadap tanah, sehingga kekuatan air yang menyebabkan terjadinya erosi berkurang.

Evapotranspirasi merupakan kehilangan air melalui permukaan tanah (evaporasi) dan melalui tanaman (transpirasi). Evapotranspirasi sering disebut sebagai penggunaan air tanaman (Handoko 1994), serta merupakan faktor dasar untuk menentukan kebutuhan air dalam rencana irigasi dan merupakan proses yang penting dalam siklus hidrologi (Sosrodarsono dan Takeda 1978). Maka dari itu pengukuran terhadap evapotranspirasi penting untuk dilakukan.

Tujuan Penelitian

1. Menetapkan besarnya komponen neraca air berupa: aliran batang, lolosan tajuk, dan menghitung intersepsi pada tanaman kelapa sawit.

(14)

2

TINJAUAN PUSTAKA

Siklus Hidrologi

Air di bumi kira-kira sejumlah 1.3-1.4 milyar km3, dengan 97.5% air laut; 1.75% berbentuk es; dan 0.73% berada di daratan sebagai air sungai, air danau, air tanah, dan sebagainya; hanya 0.001% berbentuk uap di udara. Air di bumi mengulangi terus menerus sirkulasi, terdiri dari penguapan, presipitasi, dan pengaliran keluar (Sosrodarsono dan Takeda 1978). Sirkulasi air tersebut sering dikenal dengan istilah siklus hidrologi.

Siklus hidrologi merupakan suatu pola perdauran yang umum yang terdiri dari susunan-susunan gerakan air yang rumit dan transformasi-transformasinya (Lee 1988). Seyhan (1990) mengatakan bahwa siklus hidrologi merupakan tahapan-tahapan yang dilalui air dari atmosfer ke bumi dan kembali lagi ke atmosfer. Termasuk juga evaporasi dari tanah atau laut maupun air pedalaman, kondensasi untuk membentuk awan, presipitasi, akumulasi di dalam tanah maupun dalam tubuh air, dan evaporasi kembali.

Tolman (1937) menjelaskan secara rinci tentang siklus hidrologi pada buku “Ground Water”. Siklus hidrologi termasuk semua pergerakan uap air di atmosfer. Diawali dengan kondensasi air dalam bentuk cair maupun padat di atmosfer. transpirasi pada permukaan bumi dan permukaan lautan yang kembali dalam bentuk uap ke atmosfer.

Menurut Handoko (1994) di daerah tropika basah siklus hidrologi terjadi secara aktif dan presipitasi dalam bentuk curah hujan yang diterima lebih besar dari evaporasi. Di daerah gurun, energi mencukupi tetapi kelembaban kurang. Hal tersebut karena evaporasi selalu terjadi setiap saat bila air tersedia tetapi presipitasi sangat jarang, sehingga siklus hidrologi menjadi pasif. Untuk mencapai keseimbangan harus ada transfer air atau uap air.

Intersepsi, Lolosan Tajuk, dan Aliran Batang

(15)

3 Lolosan tajuk adalah sebagian air hujan yang jatuh melalui celah tajuk vegetasi atau air hujan yang menetes melalui daun, ranting, dan cabang sampai ke permukaan tanah (Ward dan Robinson 1990). Lolosan tajuk dipengaruhi oleh intensitas hujan. Semakin besar intensitas hujan, semakin besar pula lolosan tajuk yang terjadi (Manokaran 1997). Jika curah hujan atau intensitas hujan rendah, sebagian besar dari air hujan akan ditahan tajuk vegetasi dan langsung diuapkan, sehingga persentase intersepsi menjadi tinggi. Sebaliknya jika curah hujan besar dengan intensitas hujan tinggi, maka akan lebih besar air hujan yang jatuh ke permukaan tanah, sehingga persentase intersepsi akan menjadi rendah. Nilai lolosan tajuk akan berbeda pada setiap jenis tegakan tanaman, tergantung dari kerapatan penutupan tajuk, ketebalan tajuk, dan luas tajuk.

Aliran batang adalah bagian dari curah hujan yang tertahan sementara oleh batang, terkumpul dan mengalir ke bawah sampai ke permukaan tanah melalui batang (Hewlett dan Nutter 1969). Aliran batang merupakan salah satu peubah yang penting sehubungan dengan studi ekologi dan kelembaban tanah. Keberadaan aliran batang menjadi sangat penting, terutama mengenai ketersediaan air dan kelembaban lapisan tanah bagian atas. Aliran batang dipengaruhi oleh percabangan suatu vegetasi. Percabangan pada pohon berpengaruh terhadap sisa air jatuhan yang tertahan pada posisi lebih atas. Semakin banyak percabangan maka air hujan yang tertahan akan semakin banyak.

Evapotranspirasi

Evapotranspirasi merupakan ukuran total kehilangan air (penggunaan air) untuk suatu luasan lahan melalui evaporasi dari permukaan tanah atau air dan transpirasi dari permukaan tanaman (Handoko 1994). Evapotranspirasi terdiri dari evapotranspirasi potensial dan evapotranspirasi aktual. Evapotranspirasi potensial merupakan laju maksimum suatu pertanaman yang mengalami kehilangan air sebagai akibat perubahan kondisi iklim dan terjadinya uap air pada pertanaman tersebut dalam keadaan yang cukup. Evapotranspirasi aktual terjadi pada keadaan air tanah sebenarnya, dipengaruhi oleh keadaan permukaan evaporasi dan tersedianya air (Rowi 1988).

Banyaknya evapotranspirasi berbeda-beda tergantung dari kadar kelembaban tanah dan jenis tanaman. Umumnya banyaknya transpirasi yang diperlukan untuk menghasilkan 1 gram bahan kering disebut laju transpirasi dan dinyatakan dalam gram. Pada daerah lembab, banyaknya adalah ± 200 sampai dengan 600 gram, dan untuk daerah kering ± 2 kali dari daerah lembab. Jika air dalam tanah yang tersedia cukup banyak maka evapotranspirasi itu disebut evapotranspirasi potensial (Sosrodarsono dan Takeda 1978). Evapotranspirasi dipengaruhi oleh unsur iklim, kondisi tanah, dan sifat tanaman (Handoko 1994). Menurut Sosrodarsono dan Takeda (1978), faktor-faktor yang mempengaruhi evaporasi dan evapotranspirasi adalah suhu air, suhu udara (atmosfer), kelembaban, kecepatan angin, tekanan udara, dan sinar matahari.

Tanaman Kelapa Sawit

(16)

4

tanaman liar , setengah liar, dan sebagai tanaman yang dibudidayakan di daerah-daerah tropis Asia Tenggara, Amerika Latin, dan Afrika. Tanaman ini berasal dari Afrika yaitu dari kawasan Nigeria di Afrika Barat. Dewasa ini tanaman kelapa sawit terdapat di sepanjang daerah tropis, terutama kawasan antara 10oLU dan 10oLS, yang mempunyai suhu rata-rata 24oC-26oC dengan fluktuasi suhu kurang dari 10oC. Tanaman kelapa sawit dimasukkan ke Indonesia oleh bangsa Belanda. Bibit tersebut berasal dari Bourbon dan Amsterdam. Bibit tersebut ditanam di Kebun Raya Bogor untuk dijadikan tanaman koleksi pada tahun 1848 (Setyamidjaja 1991).

Kelapa sawit menghendaki iklim dengan curah hujan merata sepanjang tahun dengan intensitas matahari sekitar 6 jam per hari. Namun pada iklim yang musim hujan tidak meratapun kelapa sawit tetap hidup dan berproduksi. Air sangat dibutuhkan untuk pertumbuhan tanaman, pembentukan bunga, dan perkembangan buah. Pada musim kering bunga akan gugur dan bakal bunga akan gagal tumbuh. Hal ini dapat menyebabkan pengurangan produksi. Besarnya penurunan tergantung dari besarnya kekeringan yang ditandai dengan water deficit dan lamanya hujan tidak turun (Hakim 2007).

Idealnya curah hujan yang dibutuhkan kelapa sawit antara 2000-4000 mm/tahun. Hari hujan lebih dari 250 hari hujan/ tahun. Intensitas matahari 6 jam per hari dengan temperatur rata-rata 25oC. Water deficit sampai diatas 500 mm akan membuat penurunan produktivitas sampai dengan 70%. Water deficit dibawah 50 mm masih belum mempunyai dampak terhadap produktivitas. Curah hujan yang cukup (diatas 5 mm) per hari hujan yang merata sepanjang tahun merupakan tempat yang paling cocok untuk kelapa sawit (Hakim 2007).

METODE

Tempat dan waktu Penelitian

Penelitian dilakukan di Kebun Kelapa Sawit Afdelling II, unit usaha Cimulang, PTPN VIII, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat. Kegiatan pengamatan dan pengukuran di lapangan dilakukan mulai Mei 2013 hingga Oktober 2013. Tanaman kelapa sawit yang digunakan ditanam pada tahun 2005 dengan jarak tanam 9 m x 9 m x 9 m.

Alat Penelitian

Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah:

a) Jerigen 5 liter sebanyak 4 buah untuk menampung air hujan yang digunakan untuk pengukuran curah hujan.

b) Jerigen 20 liter sebanyak 20 buah, 5 buah untuk menampung air hujan yang menjadi aliran batang dan 15 buah untuk menampung air hujan yang menjadi lolosan tajuk.

c) Corong dengan diameter 13,6 cm untuk menampung air hujan yang menjadi aliran batang dan lolosan tajuk.

(17)

5 e) Seng dengan panjang 2,5 m dan lebar 30 cm untuk tiap ulangan aliran

batang.

f) Gelas ukur 1000 ml sebanyak 1 buah untuk mengukur volume air yang tertampung dalam jerigen, baik aliran batang, lolosan tajuk, dan curah hujan.

g) Balok kayu sepanjang 30 cm sebanyak 48 buah untuk menahan tiap jerigen yang dipasang agar tidak terjatuh dan berpindah posisi.

h) Golok, palu, dan paku digunakan dalam proses penempelan seng pada batang tanaman kelapa sawit.

i) Bor tanah sebanyak 1 buah untuk mengambil contoh tanah kedalaman 30 cm dan 60 cm.

j) Alumunium foil untuk membungkus contoh tanah.

k) Cawan alumunium sebanyak 54 buah untuk meletakkan contah tanah. l) Oven untuk mengoven tanah.

m) Timbangan 2 desimal untuk menimbang contoh tanah.

n) Alat-alat tulis untuk mencatat jumlah aliran batang, lolosan tajuk, curah hujan, dan contoh tanah, serta seperangkat notebook untuk mengolah data.

Desain Percobaan dan Instalasi Peralatan

a) Curah Hujan

Gambar 1 Desain Percobaan Pengukuran Curah Hujan

(18)

6

Gambar 2 Pengukuran Curah Hujan di Lapang b) Aliran Batang

Gambar 3 Desain Percobaan Pengukuran Aliran Batang dan Lolosan Tajuk Air hasil aliran batang dialirkan dengan seng yang dibentuk setengah lingkaran dan dilingkarkan di sekeliling batang yang sebelumnya telah dibersihkan dari sisa pelepah. Salah satu ujungnya diletakkan lebih rendah untuk memungkinkan mengalirnya air ke jerigen. Bagian bawah seng dihubungkan dengan jerigen untuk menampung air hasil aliran batang. Bagian atas jerigen dipasang corong untuk memudahkan mengalirkan air.

(19)

7

Gambar 4 Pengukuran Aliran Batang di Lapang c) Lolosan Tajuk

Lolosan tajuk ditampung dengan jerigen 20 liter yang di atasnya dipasang corong. Jerigen tersebut diletakkan diantara kedua pohon kelapa sawit dengan jarak 2 m, 3 m, dan 4 m dari pohon kelapa sawit yang telah dipasang alat aliran batang. Setiap ulangan pada pengukuran aliran batang, terdapat 3 alat yang dipasang untuk mengukur lolosan tajuk. Ketiga alat tersebut diletakkan pada jarak yang berbeda-beda. Volume air hujan yang tertampung diukur menggunakan gelas ukur 1000 ml. Untuk mendapatkan nilai lolosan tajuk dalam millimeter (tinggi lolosan tajuk), digunakan perbandingan antara volume air yang tertampung dengan luas area corong.

Gambar 5 Pengukuran Lolosan tajuk di Lapang d) Evapotranspirasi

Evapotranspirasi diukur secara tidak langsung dengan mengukur kehilangan air pada kedalaman perakaran 30 cm dan kedalaman perakaran 60 cm. Kehilangan air tersebut didapat dengan mengukur kadar air pada tiap hari tidak hujan secara berturut-turut. Terdapat 3 pohon yang digunakan dalam pengukuran evapotranspirasi. Setiap pohon tersebut terdapat 3 titik pengeboran dengan jarak 2 meter dari pohon yang dipasang alat pengukur aliran batang. Adapun perhitungan untuk mendapat kehilangan air adalah sebagai berikut:

 Konversi KA (% bobot) ke KA (% volume)

(20)

8

 Δtinggi air atau rata-rata kehilangan selama hari tidak hujan =

Tinggi air awal (1 hari setelah hujan) – Tinggi air akhir (hari ke-n setelah hujan)

 Kehilangan air tiap hari = Tinggi air (hari 1) – Tinggi air (hari 2), dan seterusnya.

Gambar 6 Desain Percobaan Pengukuran Evapotranspirasi d) Intersepsi

Intersepsi ditetapkan menggunakan rumus: I = Pg- Sf– Tf

keterangan: I (Intersepsi (mm)), Pg (Curah Hujan (mm)), Sf (Aliran Batang (mm)), dan Tf (Lolosan Tajuk (mm)).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Aliran Batang (Stemflow)

Aliran batang terjadi setelah hujan yang tercegat oleh ranting maupun daun mengalir melalui ruas batang, sehingga akan terkumpul dan selanjutnya mengalir melalui batang. Ruas batang yang menutup rapat sekeliling batang mengakibatkan air pada awal terjadinya aliran batang tidak langsung mengalir ke bawah, melainkan diserap terlebih dahulu oleh batang dan ditahan oleh ruas batang tersebut. Hal ini mengakibatkan kehilangan air yang tinggi sebelum mengalami aliran batang.

Hasil pengukuran di lapangan menunjukkan nilai aliran batang yang sangat kecil. Nilai aliran batang yang didapat kurang dari 1%. Hal tersebut jauh berbeda dengan penelitian sebelumnya. Mulyadi dan Tarumun (2012) melaporkan nilai aliran batang yang diukur di Perkebunan Kelapa Sawit PPKS Sub Unit Kalianta Kabun sebesar 19.31 mm/bulan (8.11%). Penelitian yang dilakukan oleh Ridwan (2009) melaporkan nilai aliran batang di Perkebunan Kelapa Sawit PTPN VII Lampung sebesar 3.74 mm (11.22%).

(21)

9 penelitian sebelumnya. Data aliran batang yang digunakan adalah data aliran batang hasil penelitian Purba (2007). Berdasarkan penelitian tersebut nilai aliran batang yang diperoleh sebesar 7.8% dari total curah hujan. Nilai tersebut kemudian dikali dengan nilai curah hujan harian (mm) yang diperoleh pada pengukuran langsung, sehingga didapatkan nilai tinggi aliran batang (mm) pada tiap kejadian hujan. Berdasarkan hasil perhitungan didapatkan grafik aliran batang sebagai berikut:

Gambar 7 Aliran batang setiap kejadian hujan

Variasi nilai aliran batang antara 0.38 mm hingga 7.45 mm (Gambar 7). Rataan nilai aliran batang yang diperoleh sebesar 1.83 mm (7.8%). Nilai aliran batang berbanding lurus dengan curah hujan. Hal tersebut menunjukkan semakin besar curah hujan yang terjadi pada satu kali kejadian hujan, semakin besar pula nilai aliran batang yang didapat.

Rendahnya nilai aliran batang karena batang kelapa sawit memiliki diameter yang lumayan besar dibandingkan dengan tanaman perkebunan lainnya, sehingga luas permukaan batang menjadi besar pula. Air hujan yang mengalir melalui batang akan lebih banyak diserap oleh permukaan batang sebelum dialirkan menjadi aliran batang ataupun diuapkan kembali. Hal tersebut sesuai dengan penelitian yang dilaporkan oleh Kaimudin (1994) bahwa semakin besar diameter batang, maka aliran batang semakin kecil karena luas permukaannya semakin besar.

Hal lainnya yang membuat nilai aliran batang menjadi rendah yaitu masih dijumpai sisa-sisa pelepah pada batang kelapa sawit, sehingga menghambat air yang menjadi aliran batang. Heryansyah (2008) melaporkan kulit batang yang licin memberikan peran besar dalam mengalirkan air hujan melalui batang. Air hujan akan mengalir dengan mudah dibandingkan kulit pohon yang kasar. Kondisi kulit yang kasar dan retak-retak menyebabkan air hujan masuk dan tertahan pada kulit batang.

(22)

10

Lolosan Tajuk (Throughfall)

Lolosan tajuk merupakan salah satu komponen dari proses intersepsi. Air hujan yang jatuh di atas tajuk suatu vegetasi tidak langsung menembus tajuk dan jatuh menyentuh tanah, melainkan tertahan beberapa saat di tajuk dan kemudian akan jatuh sebagai lolosan tajuk (Heryansyah 2008). Setiap pengukuran aliran batang terdapat 3 titik pengukuran lolosan tajuk dengan jarak berbeda yaitu jarak 2 meter; jarak 3 meter; dan jarak 4 meter. Secara keseluruhan terdapat 15 titik pengukuran lolosan tajuk untuk semua ulangan. Perbedaan titik pengukuran bertujuan untuk melihat penyebaran spasial air hujan yang jatuh sebagai lolosan tajuk.

Berdasarkan hasil pengukuran di lapangan terdapat variasi nilai lolosan tajuk pada tiap jarak yang berbeda. Nilai rata-rata lolosan tajuk jarak 2 meter sebesar 17.97 mm (80.71%). Nilai rata-rata lolosan tajuk jarak 3 meter sebesar 16.31 mm (73.94%). Nilai rata-rata lolosan tajuk jarak 4 meter sebesar 32.80 mm (147.04%). Rataan nilai lolosan tajuk secara keseluruhan sebesar 22.36 mm (95.43). Nilai lolosan tajuk berbanding lurus dengan curah hujan. Artinya semakin besar curah hujan yang terjadi pada satu kali kejadian hujan, semakin besar nilai lolosan tajuk yang didapat. Nilai lolosan tajuk pada tiap jarak disajikan pada gambar berikut:

Gambar 8 Lolosan tajuk pada jarak berbeda dari tanaman

Lolosan tajuk pada jarak 4 meter memiliki hasil terbesar. Hal tersebut karena alat pengukur lolosan tajuk pada jarak 4 meter letaknya tepat berada di tengah 2 pohon kelapa sawit, sehingga mendapatkan air lolosan dan limpasan tajuk dari kedua pohon tersebut. Air yang tertampung pada alat pengukur lolosan tajuk dapat pula berupa air hujan yang langsung masuk ke alat pengukur lolosan tajuk. Hal tersebut dikarenakan terdapatnya celah di antara 2 pohon kelapa sawit. Lolosan tajuk jarak 2 meter dan jarak 3 meter memiliki hasil yang relaif sama. Hal tersebut karena letak keduanya yang dekat dengan masing-masing pohon kelapa sawit.

(23)

11 Pengukuran lolosan tajuk menghasilkan nilai lolosan tajuk yang lebih besar dari nilai curah hujan. Hal tersebut karena air hasil lolosan tajuk berasal dari area yang lebih luas, namun pembagi yang digunakan untuk meghitung tinggi lolosan tajuk menggunakan luas corong pada alat pengukur lolosan tajuk. Maka dari itu hasil yang didapat dapat lebih besar dari nilai curah hujan. Nilai lolosan tajuk yang lebih besar dari nilai curah hujan berpengaruh terhadap nilai intersepsi yang dihasilkan. Nilai intersepsi akan menjadi negatif.

Tanaman kelapa sawit memiliki luas tajuk yang relatif besar. Hal tersebut membuat air hujan yang jatuh akan tertampung terlebih dahulu pada tajuk sebelum jatuh sebagai lolosan tajuk atau menguap kembali ke atmosfer. Adanya rotasi pemangkasan pelepah tanaman kelapa sawit menyebabkan celah-celah tajuk bertambah. Celah-celah tajuk yang semakin banyak akan membuat lolosan tajuk semakin besar. Intensitas hujan berpengaruh terhadap besar kecilnya air yang menjadi lolosan tajuk. Hujan dengan intensitas rendah menyebabkan air hujan yang jatuh tertahan pada tajuk kemudian diuapkan kembali ke atmosfer. Sebaliknya, pada saat hujan intensitas tinggi air hujan telah menjenuhkan tajuk kemudian turun menjadi air lolosan tajuk (Anwar 2003). Besar kecilnya nilai lolosan tajuk berpengaruh besar terhadap nilai intersepsi. Semakin besar lolosan tajuk maka intersepsi hujan oleh tajuk semakin kecil.

Intersepsi

Intersepsi merupakan beda antara curah hujan dan hasil pertambahan aliran batang dengan lolosan tajuk. Berdasarkan hasil perhitungan didapatkan variasi nilai intersepsi antara 0.51 mm (1.98%) hingga 4.32 mm (19.20%). Rataan nilai intersepsi sebesar 1.61 mm (6.86%). Nilai intersepsi yang diperoleh tergolong rendah bila dibandingkan dengan penelitian sebelumnya. Purba (2007) melaporkan intersepsi yang terjadi di Perkebunan Kelapa Sawit PTPN VII sebesar 22.13%, pada lokasi yang sama Ridwan (2009) melaporkan intersepsi sebesar 34.90%. Penelitian yang dilakukan oleh Mulyadi dan Tarumun (2012) melaporkan intersepsi yang terjadi di Perkebunan Kelapa sawit PPKS Sub Unit Kalianta Kabun sebesar 21.23%. Nilai intersepsi tiap kejadian hujan disajikan pada gambar berikut:

Gambar 9 Intersepsi pada setiap kejadian hujan

(24)

12

besar dari nilai curah hujan. Nilai negatif tersebut tidak menunjukkan bahwa intersepsi bernilai negatif, karena nilai intersepsi paling rendah adalah nol (0) atau tidak ada air yang terintersepsi.

Bertambah besarnya nilai aliran batang dan lolosan tajuk mengakibatkan nilai intersepsi semakin kecil. Nilai intersepsi yang kecil menunjukkan bahwa jumlah hujan yang jatuh ke permukaan tanah sangat besar. Hal ini dapat menyebabkan jumlah air yang diserap ke dalam tanah lebih sedikit dan bahaya yang ditimbulkan oleh run off dan erosi menjadi lebih besar. Curah hujan yang sampai ke permukaan tanah selanjutnya sebagian akan diserap sebagai air tanah dan air perkolasi, sebagian lagi menjadi aliran permukaan dan sebagian diuapkan kembali.

Adanya rotasi pemangkasan pelepah tanaman kelapa sawit menyebabkan terjadinya perubahan karakteristik tanaman kelapa sawit. Perubahan tersebut meliputi berkurangnya tajuk dan percabangan, mengakibatkan celah-celah antara tajuk menjadi berkurang, sehingga aliran batang dan lolosan tajuk bertambah sementara intersepsi berkurang. Terjadi penurunan laju pertambahan intersepsi dengan semakin besarnya curah hujan. Apabila terjadi hujan dengan ketebalan dan intensitas yang tinggi, kapasitas tampung tajuk dalam kondisi jenuh, sehingga curah hujan yang mengenai tajuk tanaman langsung dialirkan ke permukaan tanah. Sebaliknya apabila terjadi hujan dengan intensitas rendah, curah hujan sebagian besar akan diintersepsi oleh tajuk. Asdak (2004) melaporkan bahwa semakin tebal dan rapat keadaan tajuk pohon, maka akan semakin besar intersepsi yang terjadi.

Evapotranspirasi

(25)

13 Tabel 1 Penurunan kadar air (mm/hari) dan kadar air (% bobot) pada kedalaman 30 cm dan 60 cm

Hasil pengukuran di lapang terdapat 10 kali hari tidak hujan yang terukur. Rata-rata penurunan kadar air kedalaman 30 cm sebesar 2.40 mm/hari, sedangkan rata-rata penurunan kadar air kedalaman 60 cm sebesar 4.28 mm/hari. Rata-rata penurunan kadar air keseluruhan sebesar 3.34 mm/hari. Nilai penurunan kadar air kedalaman perakaran 30 cm lebih kecil daripada nilai penurunan kadar air kedalaman perakaran 60 cm. Kadar air kedalaman perakaran 30 cm lebih kecil daripada kadar air kedalaman perakaran 60 cm.

Terdapat beberapa hasil yang bernilai negatif (Tabel 1), sementara hari tidak hujan. Hal tersebut menunjukkan di dalam tanah pada kedalaman 30 cm dan kedalaman 60 cm tidak mengalami kehilangan air, melainkan mengalami penambahan air. Air tersebut berasal dari kedalaman lebih dari 60 cm yang karena adanya gaya kapiler dalam tanah maka air bergerak ke atas. Air tersebut mengisi pori-pori tanah pada kedalaman atasnya yaitu kedalaman 60 cm dan kedalaman 30 cm. Sehingga meningkatkan suplai air tanah ke permukaan tanah.

Kadar air kedalaman 30 cm lebih kecil dibandingkan dengan kadar air kedalaman 60 cm. Hal tersebut mengakibatkan air yang dievapotranspirasikan pada kedalaman 30 cm lebih kecil dibandingkan pada kedalaman 60 cm. sesuai dengan yang dikatakan oleh Sahara (2008) yaitu semakin tinggi kadar air tanah maka air yang dapat dievapotranspirasikan semakin tinggi, sampai mencapai evapotranspirasi potensial.

Perbedaan kadar air pada masing-masing kedalaman disebabkan karena pada kedalaman 30 cm terdapat akar yang paling aktif menyerap air dan unsur hara. Akar yang paling aktif menyerap air dan unsur hara adalah akar tersier dan kuartener. Pahan (2006) mengatakan sistem perakaran tanaman kelapa sawit yang aktif berada antara kedalaman 5-35 cm, umumnya akar tersier berada pada kedalaman 10-30 cm. Risza (1994) melaporkan perakaran paling padat terdapat pada kedalaman 25 cm.

(26)

14

Sawit PPKS Sub Unit Kalianta Kabun sebersar 3.06 mm/hari. Taufik dan Siswoyo (2013) melaporkan evapotranspirasi yang terjadi di Perkebunan Kelapa Sawit Sub DAS Landak Kapuas sebesar 4.39 mm/hari.

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Tanaman kelapa sawit yang ditanam tahun 2005 di Perkebunan Kelapa Sawit PTPN VIII memiliki nilai aliran batang, lolosan tajuk, intersepsi, dan evapotranspirasi yang bervariasi. Rataan nilai aliran batang sebesar 1.83 mm atau 7.8%, lolosan tajuk sebesar 22.36 mm (95.43%), intersepsi sebesar 1.61 mm atau 6.86%, dan evapotranspirasi sebesar 3.75 mm/hari. Nilai lolosan tajuk pada jarak 4 meter lebih besar daripada nilai lolosan tajuk pada jarak 2 meter dan 3 meter dari pohon kelapa sawit. Nilai penurunan kadar air pada kedalaman perakaran 30 cm lebih kecil dibandingkan nilai penurunan kadar air pada kedalaman perakaran 60 cm.

Saran

Pengukuran lolosan tajuk menggunakan alat pengukur berbentuk corong, sehingga hasil yang diperoleh dapat lebih besar dari curah hujan. Penelitian lebih lanjut perlu dilakukan, terutama dalam hal penentuan model alat yang digunakan. Model alat dapat berupa bak panjang yang luasnya dapat mewakili tajuk pohon kelapa sawit. Bak panjang tersebut kemudian disangga dengan kayu ataupun penyangga lainnya beberapa meter dari permukaan tanah. Salah satu bagian bak diletakkan jerigen atau drum untuk menampun air lolosan tajuk.

DAFTAR PUSTAKA

Anwar M. 2003. Intersepsi Hujan oleh Hutan dan Kebun Cokelat di Kawasan Batas Hutan Taman Nasional Lore Lindu Sulawesi Selatan [Tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Asdak C. 1994. Rainfall Interception in Unlogged and Logged Over Area of Tropical Forest of Central Kalimantan, Indonesia. Scotland (GB): IERM-School of Forestry and Ecologycal Sciences, University of Edinurgh, Scotland, UK. P. 45

_______. 1995. Hidrologi dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Yogyakarta (ID): Gadjah Mada University Press. 571

_______. 2004. Hidrologi dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Yogyakarta (ID): Gadjah Mada University Press.

Hakim M. 2007. Kelapa Sawit: Teknis Agronomis dan Manajemennya. Jakarta (ID): Lembaga Pupuk Indonesia.

(27)

15 Heryansyah EL. 2008. Intersepsi Hujan pada Tanaman Agathis Loranthifolia Sal. di DAS Cicatih Hulu Sukabumi [Skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Hewlett JD, Nutter WL. 1969. An Outline of Forest Hydrology. Athens (GR): University of Georgia Press. 137. P.

Kaimudin. 1994. Kajian Model Penggunaan Intersepsi Hujan pada Tegakan Pinus Merkusi, Agathis Loranthifolia, dan Schima Wallichi di Hutan Pendidikan Gunung Walat Sukabumi [Tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Lee R. 1988. Hidrologi Hutan. Penerjemah: Sentot S dan Soenardi P. Yogyakarta

(ID): Gadjah Mada University Press.

Lubis RE, Widanarko A. 2011. Buku Pintar Kelapa Sawit. Jakarta (ID): PT Agromedia Pustaka.

Manokaran N. 1979. Stemflow, Throughfall, and Rainfall Interception in a Lowland Tropical Rain Forest in Peninsular Malaysia. The Malaysian Forester. Vol 42 (3): 174-201

Mulyadi A, Tarumun S. 2012. Neraca air di Perkebunan Kelapa Sawit PPKS Sub Unit Kaliantas Kabun Riau. Riau (ID): Jurnal Ilmu Lingkungan. ISSN 1978-5283

Pahan I. 2006. Panduan Lengkap Kelapa Sawit-Manajemen Agribisnis dari Hulu hingga Hilir. Jakarta (ID): Penebar Swadaya.

Purba FF. 2007. Intersepsi Hujan pada Perkebuan Kelapa Sawit (Studi Kasus di Unit Usaha Rejosari PTPN VII Lampung) [Skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Ridwan BM. 2009. Penerapan Model Gash untuk Pendugaan Intersepsi Hujan pada Perkebunan Kelapa Sawit (Studi Kasus di Unit Usaha Rejosari PTPN VII Lampung) [Skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Risza S. 1994. Kelapa Sawit: Upaya Peningkatan Produktifitas. Yogyakarta (ID): Kanisius.

Rowi J. 1988. Pengaruh Ketersediaan Air Tanah terhadap Evapotranspirasi dan Pertumbuhan Kelapa Hibrida Indonesia pada Berbagai Tingkat Umur Muda [Tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Sahara RI. 2008. Pendugaan Evapotranspirasi dengan Berbagai Metode dan Hubungannya dengan Stres Air pada Perkebunan Kelapa Sawit PTPN VII Lampung [Skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Setyamidjaja D. 1991. Budidaya Kelapa Sawit. Yogyakarta (ID): Kanisius.

Seyhan E. 1990. Dasar-Dasar Hidrologi. Penerjemah: Sentot S dan Soenardi P. Yogyakarta (ID): Gadjah Mada University Press.

Sosrodarsono S, Takeda K. 1978. Hidrologi untuk Pengairan. Jakarta (ID): PT Pradnya Paramita.

Taufik M, Siswoyo H. 2013. Pengaruh tanaman kelapa sawit terhadap keseimbangan air hutan (Studi Kasus Sub DAS Landak, DAS Kapuas). Malang (ID): Jurnal Teknik Pengairan. Vol 4 (1): 47-52.

Tolman CF. 1937. Ground Water. New York (US): McGraw-Hill Book Company Inc.

(28)

16

Lampiran 1 Curah hujan, aliran batang, lolosan tajuk, dan intersepsi (mm)

(29)
(30)

18

(31)
(32)

20

RIWAYAT HIDUP

Gambar

Gambar 5 Pengukuran Lolosan tajuk di Lapang
Gambar 6 Desain Percobaan Pengukuran Evapotranspirasi
Tabel 1 Penurunan kadar air (mm/hari) dan kadar air (% bobot) pada kedalaman 30 cm dan 60 cm

Referensi

Dokumen terkait

Belakangan saya tidak menulis sebelum menyakinkan diri bahwasanya tema yang akan saya tulis sama dengan penerbit yang saya tuju?. Dan

Dari penelitian mengenai penempatan implan gigi pada hasil pemeriksaan radiografi periapikal yang telah direncanakan sebelum dan setelah pemasangan gigi dengan pemeriksaan

Finnet Indonesia, belum ada data ataupun penelitian yang menunjukkan perkembangan kinerja karyawan secara individual berdasarkan self concept masing masing karyawan dalam hal ini

Dari penelusuran pustaka dan observasi lapangan, ternyata lampion telah menjadi produk industri yang cukup menjanjikan.Bentuk dan fungsi lampion sudah tidak terpaku pada

Sedangkan dal am pel aksanaannya mul ai dar i pengumpul an dat a, pengol ahan dat a, anal i si s hasi l / masal ah sampai dengan penyusunan l apor an ber pedoman pada

Di dalam perancangan pembuatan sistem informasi inventaris laboratorium berbasis Web pada STIKes Bhakti Mandala Husada Slawi, dapat disimpulkan bahwa adanya website

Tujuan pengukuran adalah objektivitas, memberi makna pada skoring dan pengumpulan data tidak dipengaruhi oleh nilai-nilai peneliti, ‘bias’ dan persepsi;

Oleh karena itu, tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi zona asal dan zona tujuan perjalanan pelajar di Kota Yogyakarta, dan memodelkan bangkitan