ASPEK REPRODUKSI IKAN SAPU-SAPU
(
Pterygoplichthys pardalis
) DISUNGAI CILIWUNG, KEBUN
RAYA BOGOR
ALFANIA HARIANDATI
DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Aspek Reproduksi Ikan Sapu-Sapu (Pterygoplichthys pardalis) di SungaiCiliwung, Kebun Raya Bogor adalah benar karya saya denganarahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor, Juli 2015
ABSTRAK
ALFANIA HARIANDATI. Aspek Reproduksi Ikan Sapu-Sapu (Pterygoplichthys pardalis) di SungaiCiliwung, Kebun Raya Bogor. Dibimbing oleh YUNIZAR ERNAWATI dan MOHAMMAD MUKHLIS KAMAL.
Ikan sapu-sapu (Pterygoplichthys pardalis) merupakan jenis ikanintroduksi dari Amerika Tengah dan Amerika Selatan yang sekarang keberadaannya mengancam ikan asli Indonesia. Penelitian ini bertujuan untuk menentukan musim pemijahan, dan tipe pemijahan. Penelitian dilakukan pada bulan Maret, Juli, dan Agustus 2014 di sungai Ciliwung. Jumlah total individu ikan yang ditangkap adalah 97 individu, terdiri atas 60 individu betina dan 37 individu jantan. Faktor kondisi ikan jantan dan betina, masing-masing 0.6319-0.7639 dan 0.7485-0.8487. Nisbah kelamin ikan sapu-sapu adalah 1:1.87 atau 38%:62%. Ukuran pertama kali matang gonad untuk betina adalah 373-434 mm. Puncak musim pemijahan ikan sapu-sapu di sungai Ciliwung berada pada bulan Agustus. Tipe pemijahan ikan sapu-sapu yang diperoleh dari penelitian ini adalah total spawner.
Kata kunci: Ikan sapu-sapu, Pterygoplichthys pardalis, reproduksi, sungai Ciliwung.
ABSTRACT
ALFANIA HARIANDATI. Reproduction Aspects of Suckermouth Catfish in Ciliwung river, Kebun Raya Bogor. Supervised by YUNIZAR ERNAWATI and MOHAMMAD MUKHLIS KAMAL.
Suckermouth fish (Pterygoplichthys pardalis) wasintroductionfish from Central America and South America which now threatening the existence of its native fish Indonesia.This study aims to determine the spawning season and type of spawning. This study was done in March, July, and August 2014 in Ciliwung river.The amount of fish caught as many as 97 individual, consists of 60 individual female and 37 individualmale.A factor of the condition of fish male and female each 0,6319-0,7639 and 0,7485-0,8487 . The ratio of suckermouth fish is 1: 1,87 or 38%: 62%. The size of the first ripe to the gonads of the female is 373-434 mm. The top of the spawning suckermouth fish in Ciliwung river was in August.A spawning type of suckermouth fish obtained from this study is the total spawner.
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan
pada
Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan
ASPEK REPRODUKSI IKAN SAPU-SAPU
(
Pterygoplichthys pardalis
) di SUNGAI CILIWUNG, KEBUN
RAYA BOGOR
ALFANIA HARIANDATI
DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian ini adalah reproduksiyang dilaksanakan pada bulan Maret, Juli, dan Agustus dengan judul Aspek Reproduksi Ikan Sapu-Sapu (Pterygoplichthys pardalis) Di Sungai Ciliwung, Kebun Raya Bogor.
Terima kasih Penulis sampaikan kepada:
1. Institut Pertanian Bogor yang telah memberikan kesempatan untuk studi. 2. Ibu Dr. Ir. Yunizar Ernawati, MS sebagai dosen pembimbing skripsi yang
telah memberikan masukan dan arahan kepada penulis.
3. Bapak Dr. Ir. M. Mukhlis Kamal, MSc sebagai dosen pembimbing skripsi yang telah memberi arahan, dan masukan dalam penulisan karya ilmiah ini. 4. Bapak Ali Mashar, S Pi, M Si sebagai dosen penguji tamu yang telah
memberi banyak masukan kepada penulis.
5. Ibu Dr. Ir. Niken TM Pratiwi, Msi sebagai ketua komisi pendidikan yang telah memberikan motivasi, masukan dan arahan dalam penulisan karya ilmiah ini.
6. Bapak Drs. H. Hari Parwanto, MBA (alm), Ibu Hj. Sri Juwarti, Tante Puji Maryati, kakak, adik, serta seluruh keluarga tercinta yang selalu memberikan do’a dan dukungannya dalam penyusunan skripsi.
7. Teman-teman dari MSP angkatan 45-49 yang telah membantu penulis dalam penulisan skripsi.
8. Semua pihak yang telah membantu penyusunan skripsi yang tidak dapat disebutkan satu per satu.
Demikian skripsi ini disusun, semoga bermanfaat.
Bogor, Juli 2015
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI ix
DAFTAR TABEL x
DAFTAR GAMBAR x
DAFTAR LAMPIRAN x
PENDAHULUAN
Latar Belakang 1
Perumusan Masalah 1
Tujuan Penelitian 2
Manfaat Penelitian 2
METODE PENELITIAN
Lokasi dan Waktu Penelitian 2
Alat dan Bahan 3
Prosedur Kerja 3
Analisis Data 4
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil 7
Pembahasan 15
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan 17
Saran 17
DAFTAR PUSTAKA 18
LAMPIRAN 20
DAFTAR TABEL
1. Alat dan Bahan yang digunakan dalam penelitian dan kegunaannya 3 2. Tingkat Kematangan Gonad Ikan Belanak (Mugil dussumieri) 6 3. Nisbah kelamin ikan sapu-sapu (Pterygoplichthys pardalis) 10
DAFTAR GAMBAR
1. Peta lokasi pengambilan sampel 2
2. Ikan sapu-sapu (Pterygoplichthys pardalis) 4 3. Sebaran selang kelas panjang ikan sapu-sapu jantan dan betina
(Pterygoplichthys pardalis) 8
4. Hubungan panjang berat ikan sapu-sapu jantan
(Pterygoplichthys pardalis) 8
5. Hubungan panjang berat ikan sapu-sapu betina
(Pterygoplichthys pardalis) 9
6. Faktor kondisi ikan sapu-sapu (Pterygoplichthys pardalis) jantan dan betina berdasarkan bulan pengamatan 9 7. Tingkat Kematangan Gonad (TKG) ikan sapu-sapu jantan
(Pterygoplichthys pardalis) berdasarkan selang kelas panjang 10 8. Tingkat Kematangan Gonad (TKG) ikan sapu-sapu betina
(Pterygoplichthys pardalis) berdasarkan selang kelas panjang 11 9. Tingkat Kematangan gonad ikan sapu-sapu jantan
(Pterygoplichthys pardalis) berdasarkan bulan pengamatan 11 10. Tingkat Kematangan gonad ikan sapu-sapu betina
(Pterygoplichthys pardalis) berdasarkan bulan pengamatan 12 11. Indeks Kematangan Gonad ikan sapu-sapu (Pterygoplichthys pardalis)
berdasarkan bulan pengamatan 12
12. Hubungan Indeks Kematangan Gonad dengan Tingkat Kematangan
Gonad ikan sapu-sapu (Pterygoplichthys pardalis) 13 13. Hubungan fekunditas dengan panjang total ikan sapu-sapu
(Pterygoplichthys pardalis) 14
14. Hubungan fekunditas dengan berat total ikan sapu-sapu
(Pterygoplichthys pardalis) 14
15. Sebaran diameter telur ikan sapu-sapu betina
(Pterygoplichthys pardalis) 15
DAFTAR LAMPIRAN
1. Data Ikan Sapu-sapu (Pterygoplichthys pardalis) 20 2. Hubungan panjang berat ikan sapu-sapu (Pterygoplichthys pardalis)
jantan dan betina 22
3. Faktor kondisi ikan sapu-sapu (Pterygoplichthys pardalis) 23 4. Pendugaan ukuran pertama kali matang gonad ikan sapu-sapu betina
5. Nisbah kelamin ikan sapu-sapu (Pterygoplichthys pardalis) jantan dan
betina 23
6. TKG ikan sapu-sapu (Pterygoplichthys pardalis) jantan dan betina 24
7. IKG ikan sapu-sapu (Pterygoplichthys pardalis) jantan dan betina 25
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Ikan sapu-sapu merupakan jenis ikan yang diintroduksi dari Amerika Tengah dan Amerika Selatan. Namun sekarang, jenis ikan ini sudah banyak ditemukan di perairan tawar di seluruh Indonesia. Salah satunya ialah Sungai Ciliwung. Sungai ini mengalir melalui kota Bogor, Depok, dan bermuara di Teluk Jakarta. Kondisi pencemaran sungai Ciliwung di dominasi oleh limbah domestik. Beban limbah domestik yang masuk ke sungai Ciliwung sudah terlihat cukup tinggi di awal masuk wilayah Jakarta, hal ini mengindikasikan bahwa pencemaran terjadi tidak hanya di wilayah Jakarta tetapi juga di wilayah Depok atau Bogor. Meningkatnya perkembangan pembangunandisepanjang bantaran sungai Ciliwung dan maraknya pertokoan di sepadan sungai di wilayah Depok dan Bogor merupakan beberapa faktor yang menyebabkan kualitas sungai Ciliwung terus memburuk (Yudo2010). Kondisi ini menyebabkan hanya ikan tertentu yang dapat hidup di sungai Ciliwung yang salah satunya adalah ikan sapu-sapu.
Ikan sapu-sapu mempunyai kemampuan adaptasi yang tinggi karena memiliki dua alat pernafasan. Alat pernafasan utama adalah insang yang digunakan saat berada di air yang jernih. Alat pernafasan lainnya adalah labirin. Labirin adalah alat pernafasan binatang lumpur atau air yang keruh. Karena memiliki alat pernafasan tambahan, maka ikan sapu-sapu mampu hidup dalam perairan dengan kadar oksigen terlarut yang rendah dan juga dapat hidup di perairan yang tercemar limbah. Ikan ini juga dikenal sebagai pemakan alga atau lumut dan sangat populer sebagai ikan pembersih akuarium (Ariana 2013). Sebagaimana halnya jenis-jenis makhluk hidup lain yang merupakan hasil introduksi, saat ini ikan sapu-sapu telah menjadi ancaman yang mengkhawatirkan bahkan telah dianggap sebagai gulma. Ikan ini dianggap sebagai gulma bukan karena sifatnya yang suka memakan hewan lain (predator), namun karena hidupnya yang berada didasar perairan yang bisa saja memakan telur dari hewan di perairan tersebut secara tidak sengaja ketika dia sedang berenang.
Oleh karena itu diperlukan pengamatan mengenai aspek reproduksi sehingga dapat diketahui pola pemijahan dan produktivitasnya. Penilaian terhadap aspek reproduksi dilakukan melalui pengamatan ukuran panjang dan berat tubuh, tingkat kedewasaan dan waktu serta tempat ikan memijah. Beberapa metode yang dapat digunakan dalam pengamatan aspek reproduksi ikan antara lain, pengamatan secara visual dan pengamatan langsung terhadap gonad yang meliputi tingkat kematangan gonad, indeks kematangan gonad, fekunditas, dan diameter telur pada ikan betina (Jabarsyah dkk2006)
Perumusan Masalah
2
dalam pengelolaan ikan sapu-sapu. Penelitian ini difokuskan pada aspek reproduksi ikan sapu-sapu yang ada di Sungai Ciliwung, Kebun Raya Bogor.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk menentukan tingkat kematangan gonad, indeks kematangan gonad, serta menduga waktu pemijahan ikan sapu-sapu sehingga dapat memberikan informasi mengenai reproduksi ikan sapu-sapu yang ditangkap di Sungai Ciliwung.
Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberi informasi mengenai pola pemijahan ikan sapu-sapu serta pendugaan produktivitas nya sehingga produksi ikan sapu-sapu dapat terkontrol dan tidak lagi menjadi ancaman serta dapat dijadikan data dasar untuk pengelolaan sumberdaya ikan sungai Ciliwung
METODE PENELITIAN
Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret, Juli, dan Agustus 2014. Penelitian dilakukan di hulu sungai Ciliwung yang berlokasi di tempat wisata Kebun Raya Bogor. Sampel ikan sapu-sapu diperoleh dengan meminta bantuan salah satu warga bantaran sungai ciliwung untuk menangkap. Selanjutnya, pengukuran serta analisis aspek reproduksi akan dilakukan di Laboratorium Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor.
3
Alat dan Bahan
Berikut adalah alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian reproduksi ikan sapu-sapu (Pterygoplichthys pardalis)
Tabel 1.Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian dan kegunaannya.
Jenis Kegunaan
Alat
1. Penggaris 50 cm dengan ketelitian 1mm
2. Timbangan manual berkapasitas 1kg dengan ketelitian 0,1 gram 3. Alat bedah
4. Plastik bening ukuran ¼ kilo 5. Alat tulis
Pengambilan sampel dilakukan di daerah hulu sungai Ciliwung Bogor, tepatnya di lokasi wisata Kebun Raya Bogor. Pengambilan ikan dilakukan oleh petani ikan dengan menggunakan alat tangkap jala. Ikan yang ditangkap kemudian dimasukkan terlebih dahulu ke dalam bak yang berisi air, agar ketika dibedah ikan masih segar. Baru setelah itu dimasukkan ke dalam karung untuk kemudian di bedah untuk dianalisis.
Pengamatan contoh di lapang
4
Gambar 2. Ikan sapu-sapu (Pterygoplichthys pardalis)
Pengamatan contoh di laboratorium
Gonad ikan sapu-sapu yang telah disimpan didalam plastik dan diberi larutan formalin 40% dianalisis dengan menggunakan metode gravimetrik yaitu metode analisis yang didasarkan pada pengukuran berat gonad ikan. Gonad ikan sapu-sapu yang telah di formalin lalu ditimbang berat totalnya, kemudian dibagi menjadi 3 (tiga) sub gonad contoh yaitu bagian anterior, tengah dan posterior. Masing-masing dari ketiga sub gonad tersebut lalu ditimbang kembali sehingga nanti didapat bobot sub gonad contoh. Setelah itu, telur pada masing-masing sub gonad contoh tersebut diambil (sebanyak 10% dari bobot sub gonad contohnya) untuk kemudian dihitung jumlah telur nya.Untuk pengukuran diameter telur, dilakukan pengambilan 100 butir telur secara acak dan diukur dengan menggunakan jangka sorong.Pengukuran diameter telur ini tidak memakai mikroskop karena ukuran telur yang besar sehingga tidak memungkinkan untuk melakukan pengukuran dengan mikroskop.
Analisis Data
Hubungan panjang dan berat
Menurut Hile (1936) dalamEffendie (1997), hubungan panjang-berat dihitung dalam suatu bentuk rumus umum sebagai berikut :
W= aL
bKeterangan :
W = berat ikan (gram) L = panjang ikan (mm) a = intercept
b = slope
5 pertumbuhan ikan tersebut allometrik negatif (pertambahan panjang lebih dominan daripertambahan bobot); b>3 maka bentuk pertumbuhan ikan tersebut allometrik positif (pertambahan bobot lebih dominan dibanding panjang).
Faktor kondisi
Faktor kondisi ditentukan setelah mengetahui pola pertumbuhan. Jika pertumbuhan ikan yang didapat saat pengamatan bersifat allometrik (b 3), maka faktor kondisi dihitung dengan rumus (Effendie, 1997):
K = aLb
sedangkan bila pola pertumbuhan yang didapat saat pengamatan bersifat isometrik (b = 3), maka faktor kondisi dihitung dengan menggunakan rumus
Ukuran pertama kali matang gonad
Untuk mengetahui pertama kali ikan matang gonad dapat digunakan rumus berdasarkan tabel tingkat kematangan gonad yang ditransformasikan ke dalam tabel kelas panjang (Andy Omar 2002 dalam Jabarsyah 2006). Ukuran pertama kali matang gonad (Lm) dapat diduga dengan cara sebagai berikut:
m = Xk + (
2 ) - ( X.Pi)
Jika σ = 0,05 maka batas-batas kepercayaan dari (m) adalah Antilog m ± 1,96
2Σ (Pi x qi)
−1
Keterangan:
m = logaritma ikan pada saat pertama kali matang gonad Xk = logaritma nilai tengah kelas panjang pada saat semua ikan
(100%) sudah matang gonad X = selisih logaritma nilai tengah
Pi = proporsi ikan matang gonad pada kelas ke-i (p=n/ni) n = jumlah ikan matang gonad selang ke-i
ni = jumlah ikan pada kelas ke-i, (qi = 1 pi)
Nisbah kelamin
6
Pj (%) = 100
Keterangan:
Pj = nisbah kelamin (jantan atau betina) (%)
A = jumlah jenis ikan tertentu (jantan atau betina) B = jumlah total individu ikan yang ada
Untuk selanjutnya, keseragaman nisbah kelamin diuji dengan menggunakan uji Chi-square (Steel dan Torrie 1993 dalam Rahmawati 2006)
X2 =�( �−��) 2
��
Keterangan:
X2 = Nilai bagi peubah acak yang sebaran penarikan contoh nya mendekati sebaran Chi-square
oi = Frekuensi ikan jantan dan betina yang teramati ei = Frekuensi harapan dari ikan jantan dan betina
Tingkat kematangan gonad (TKG)
Tingkat Kematangan Gonad merupakan tahap tertentu perkembangan gonad sebelum dan sesudah ikan memijah (Effendie 1997).Standar penentuan yang dipakai adalah ikan Belanak (Mugil dussumieri). Keterangan tentang TKG diperlukan untuk perbandingan antara ikan yang sudah matang gonad dengan yang belum dan umur ikan atau ukuran ikan yang pertama matang gonad. Dasar penentuan tingkat kematangan gonad antara lain dengan pengamatan ciri-ciri morfologis secara makroskopis, yaitu bentuk, ukuran panjang, berat, dan warna. Dalam menganalisis TKG digunakan klasifikasi Skala Kematangan Gonad dari modifikasi Cassie dalam Effendie 1997.
Tabel 2. Tingkat Kematangan Gonad Ikan Belanak (Mugil dussumieri) (Effendie, 1997)
TKG Jantan Betina
I Testes seperti benang, lebih pendek, ujungnya di rongga tubuh, warna jernih
Ovari seperti benang, panjang sampai ke depan tubuh, warna jenih, permukaan licin.
II Ukuran testes lebih besar, berwarna putih susu, bentuk lebih jelas dari TKG I
Ukuran lebih besar, pewarnaan gelap kekuning-kuningan, telur belum terlihat jelas
III Permukaan testes nampak bergerigi, warna makin putih,
Ovari berwarna kuning, secara morfologi telur mulai kelihatan dengan mata. Butir minyak terlihat
IV Seperti TKG III tampak lebih jelas, testes makin pejal dan rongga tubuh mulai penuh, warna putih susu
Ovari bertambah besar, telur berwarna kuning, mudah dipisahkan, butir minyak tidak tampak, ovari mengisi ½ - 2/3 rongga tubuh, usus terdesak
V Testes bagian belakang kempis dan bagian testes yang dekat pelepasan masih terisi
7
Indeks kematangan gonad (IKG)
IKG adalah perbandingan dari berat gonad terhadap tubuh ikan.Nilai IKG sebenarnya bisa dijadikan tingkat kematangan gonad. Peningkatan IKG akan seiring dengan meningkatnya TKG ikan. Indeks gonad merupakan indikator pengukur kematangan seksual ikan betina (Effendie, 1997).
IKG = �
�x 100%
Keterangan: IKG = Indeks Kematangan Gonad BG = berat gonad
BT = berat tubuh
Fekunditas
Dalam analisis fekunditas digunakan dua metode, yaitu metode hitung langsung dan metode gravimetrik. Cara metode hitung langsung ialah telur ikan dihitung satu persatu. Sedangkan metode gravimetrik menggunakan pengukuran berdasarkan bobot gonad (Effendie, 1997) :
F : x = G : Q F = jumlah telur yang dicari
x = jumlah telur contoh G = bobot gonad total Q = bobot gonad contoh
Perhitungan fekunditas dapat dicari dengan rumus : F = �� �
�
Keterangan: F = fekunditas yang dicari G = berat gonad total V = volume pengenceran
X = jumlah telur yang ada dalam 10% dari sub gonad Q = berat telur contoh
Diameter telur
Diameter telur merupakan garis tengah telur. Diameter telur diukur dengan cara menaruh 100 butir telur diatas cawan petri kemudian diamati satu persatu dengan menggunakan jangka sorong.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil
Hubungan Panjang dan Berat
8
didapat pada selang kelas panjang antara 39,93-44 cm, sedangkan pada ikan sapu-sapu jantan jumlah terbanyak didapat pada selang kelas panjang antara 44,10-48,18 cm (Gambar 3). Hubungan panjang berat ikan sapu-sapu jantan (Gambar 4) diperoleh berdasarkan persamaan W = 0,068L2,403 dengan koefisien determinasi (R2) sebesar R² = 63,80%dan nilai koefisien korelasi (r) sebesar 0,7987 menunjukkan bahwa pertambahan panjang tidak mempengaruhi pertambahan berat ikan. Hubungan panjang berat ikan sapu-sapu betina (Gambar 5) diperoleh berdasarkan persamaan W =0,010L2,922 dengan koefisien determinasi (R2) sebesar R² = 87,40%dan koefisien korelasi (r) yang mendekati nilai 1, yaitu sebesar 0,9348 menunjukkan bahwakorelasi antara panjang dan berat ikan sangat erat. Hubungan panjang berat ikan sapu-sapu disajikan pada Lampiran 2.
Gambar 3. Sebaran selang kelas panjang ikan sapu-sapu jantan dan betina (Pterygoplichthys pardalis)
9
Gambar 5. Hubungan panjang berat ikan sapu-sapu betina (Pterygoplichthys pardalis)
Hasil uji statistik terhadap nilai b pada ikan sapu-sapu jantan sebesar 2,403, sedangkan nilai b pada ikan sapu-sapu betina sebesar 2,922. Pola pertumbuhan ikan sapu-sapu jantan maupun betina ialah isometrik (pertumbuhan berat sama cepat dengan pertumbuhan panjang).
Faktor kondisi
Faktor kondisi rata-rata ikan sapu-sapu (Pterygoplichthys pardalis) berfluktuasi pada masing-masing bulan pengamatan, baik ikan jantan maupun ikan betina disajikan pada Gambar 6. Ikan sapu-sapu jantan memiliki nilai faktor kondisi rata-rata tertinggi pada bulan Juli yaitu sebesar 0,7639 dan nilai terendah sebesar 0,6319 yaitu pada bulan Maret. Pada ikan sapu-sapu betina nilai faktor kondisi rata-rata tertinggi pada bulan Juli yaitu sebesar 0,8487 dan nilai terendah pada bulan Maret yaitu sebesar 0,7485. Puncak faktor kondisi ikan sapu-sapu jantan dan betina tertinggi terjadi pada bulan Juli, sedangkan nilai faktor kondisi rata-rata terendah terjadi di bulan Maret. Nilai faktor kondisi dan standar deviasi ikan sapu-sapu jantan dan betina disajikan pada Lampiran 3.
Gambar 6. Faktor kondisi ikan sapu-sapu (Pterygoplichthys pardalis) jantan dan betina berdasarkan bulan pengamatan
10
Ukuran pertama kali matang gonad
Ukuran pertama kali matang gonad merupakan ukuran panjang ikan tertentu saat pertama kali matang gonad. Ukuran yang didapat pada ikan sapu-sapu betina adalah pada kisaran panjang 37,3 cm – 43,4 cm. Untuk ikan sapu-sapu jantan tidak didapatkan hasil karena TKG 4 tidak ditemukan selama penelitian.
Nisbah kelamin
Nisbah kelamin merupakan perbandingan jumlah proporsi ikan jantan dan betina di suatu perairan. Nilai nisbah kelamin bervariasi pada setiap pengamatan. Total jumlah ikan sapu-sapu jantan yang tertangkap sebanyak 37 ekor dan ikan betina sebanyak 60 ekor. Dari analisa data dengan menggunakan uji Chi-square (Lampiran 5) didapatkan perbandingan rasio jantan dan betina adalah 1:3,25 pada bulan Maret, rasio 1:1,06 pada bulan Juli, dan rasio 1: 1,31 pada bulan Agustus. Kondisi ini menunjukkan bahwa selama bulan penelitian didapatkan ikan betina lebih dominan di perairan dibanding ikan jantan (Tabel 3).
Tabel 3. Nisbah kelamin ikan sapu-sapu (Pterygoplichthys pardalis) Bulan Pengamatan n Jumlah (ind) Perbandingan (%)
jantan betina jantan betina
Maret 34 8 26 24 76
Juli 33 16 17 48 52
Agustus 30 13 17 43 57
Tingkat Kematangan Gonad
Nilai frekuensi relatif dari tingkat kematangan gonad (TKG) ikan sapu-sapu dihitung berdasarkan selang kelas maupun berdasarkan bulan pengamatan. Dilihat berdasarkan selang kelas panjang nya, nilai frekuensi relatif tertinggi ikan sapu-sapu jantan terdapat pada TKG 1 sebesar 18,92% dan nilai terendah terdapat pada TKG 3 yaitu sebesar 2,7%, sedangkan pada ikan sapu-sapu betina, nilai frekuensi relatiftertinggi terdapat pada TKG 4 yaitu sebesar 25% dan nilai frekuensi terendah sebesar 1,7% terdapat pada TKG 1, 2, 3, dan 4.
Gambar 7. Tingkat Kematangan Gonad (TKG) ikan sapu-sapu jantan (Pterygoplichthys pardalis) berdasarkan selang kelas panjang
11
Gambar 8. Tingkat Kematangan Gonad (TKG) ikan sapu-sapu betina (Pterygoplichthys pardalis) berdasarkan selang kelas panjang
Jika dilihat berdasarkan bulan pengamatan nya, pada ikan sapu-sapu jantan nilai frekuensi relatif tertinggi terdapat pada TKG 1 di bulan Agustus, yaitu sebesar 62% (Gambar 7). Pada ikan sapu-sapu betina, nilai frekuensi relatif tertinggi terdapat pada TKG 4 di bulan Juli dan Agustus, sedangkan nilai frekuensi relatif terendah terdapat pada bulan Maret (Gambar 8). Pada bulan Juli dan Agustus, ikan sapu-sapu betina diduga sedang mengalami matang gonad karena pada bulan-bulan ini TKG 4 paling banyak ditemukan.
Gambar 9. Tingkat Kematangan gonad ikan sapu-sapu jantan (Pterygoplichthys pardalis) berdasarkan bulan pengamatan
12
Gambar 10. Tingkat Kematangan gonad ikan sapu-sapu betina (Pterygoplichthys pardalis) berdasarkan bulan pengamatan
Indeks Kematangan Gonad
Nilai indeks kematangan gonad (IKG) rata-rata ikan sapu-sapu betina bervariasi dengan nilai IKG tertinggi pada selang kelas antara 41,2–45,8 yaitu sebesar 18,1239 dan nilai terendah terdapat pada selang kelas 27,4–31,9 yaitu sebesar 0,0506. Sedangkan pada ikan sapu-sapu jantan nilai indeks kematangan gonad tertinggi terdapat pada selang kelas antara 41,2–45,8 yaitu sebesar 0,4145 dan nilai terendah terdapat pada selang kelas 36,6-41,1 yaitu sebesar 0,0579. Pada selang kelas 27,4–31,9 dan selang kelas 32,0–36,5 nilai IKG adalah 0.
Hasil perhitungan nilai indeks kematangan gonad (IKG) berdasarkan tingkat kematangan gonad (TKG) menunjukkan bahwa nilai IKG tertinggi pada ikan sapu-sapu betina ialah pada TKG IV yaitu sebesar 8,45%, sedangkan pada ikan sapu-sapu jantan nilai IKG tertinggi pada TKG III yaitu sebesar 0,14%.
13
Gambar 12. Hubungan Indeks Kematangan Gonad dengan Tingkat Kematangan Gonad ikan sapu-sapu (Pterygoplichthys pardalis)
Pada grafik hubungan indeks kematangan gonad dengan tingkat kematangan gonad terlihat bahwa nilai IKG tertinggi pada ikan sapu-sapu betina terdapat pada TKG IV sedangkan pada ikan sapu-sapu jantan nilai IKG tertinggi terdapat pada TKG III. Pada ikan sapu-sapu jantan, nilai IKG pada TKG IV bernilai 0 karena tidak ditemukan TKG IV pada ikan jantan.
Fekunditas
Berdasarkan perhitungan dengan metode grafimetrik, dari jumlah total ikan sapu-sapu betina memiliki kisaran nilai fekunditas sebesar 207–1445 butir. Pada bulan Maret, jumlah ikan betina TKG IV yang tertangkap sebanyak 14 ekor dan memiliki kisaran nilai fekunditas sebesar 299–872 butir. Pada bulan Juli, kisaran nilai fekunditas sebesar 478–1275 butir, sedangkan pada bulan Agustus, kisaran nilai fekunditas sebesar 207–1445 butir. Hubungan antara fekunditas dengan panjangtotal ikan sapu-sapu (Gambar 13) menunjukkan persamaan F= 0,000L2,220 yang memiliki koefisien korelasi (r) sebesar 0,5357. Hal ini menunjukkan bahwa antara fekunditas dengan panjang totaltidak memiliki korelasi yang erat. Hubungan fekunditas dengan berat total ikan sapu-sapu (Gambar 14) menunjukkan persamaan F= 4,611W0,747 dengan nilai koefisien korelasi (r) sebesar 0,5908 menunjukkan bahwa korelasi antara bobot total ikan dengan fekunditas tidak erat.
14
Gambar 13. Hubungan fekunditas dengan panjang total ikan sapu-sapu (Pterygoplichthys pardalis)
Gambar 14. Hubungan fekunditas dengan berat total ikan sapu-sapu (Pterygoplichthys pardalis)
Diameter Telur
Ikan sapu-sapu memiliki ukuran diameter telur yang bervariasi dengan ukuran berkisar antara 0,19 – 0,45 mm. Diameter telur dengan frekuensi tertinggi terdapat pada selang kelas 0,25 – 0,27 dengan persentase 49% atau sebanyak 2046 butir. Sedangkan diameter telur dengan frekuensi terendah terdapat pada selang kelas 0,43 – 0,45 mm dengan persentase sebesar 0,17% atau sebanyak 3 butir (Lampiran 8). Dari sebaran diameter telur (Gambar 15) diperoleh modus penyebaran satu puncak. Hal ini menunjukkan bahwa pola pemijahan ikan sapu-sapu adalah (total spawner) yaitu ikan yang memijah dengan mengeluarkan telur sekaligus.
0 200 400 600 800 1000 1200 1400 1600
15
Gambar 15. Sebaran diameter telur ikan sapu-sapu betina (Pterygoplichthys pardalis)
Pembahasan
Menurut Wakida-Kusunoki 2007, ikan sapu-sapu memiliki pola geometris padakepala dan macan tutul seperti bintik hitam pada bagian bawah tubuh nya. Kecepatan arus sungai yang rendah, predator yang sedikit, toleransi terhadap perairan dengan kadar oksigen yang rendah, migrasi sesekali keatas tanah, dan peluang makanan yang lebih besar, merupakan beberapa faktor ikan sapu-sapu beralih habitat selama tahap kehidupan yang berbeda. Kulit sisik ikan sapu-sapu merupakan sisik yang menyerupai lempengan lapisan yang keras dan tajam. Potensi predator ikan sapu-sapu yang sedikit, menjadikan adaptasi habitat seperti kecepatan air atau persediaan makanan, berperan lebih penting dalam membentuk distribusinya.
Ikan sapu-sapu di sungai Ciliwung memiliki kisaran panjang total ikan 27,4-60 cm dengan kisaran panjang sapu-sapu betina berkisar antara 27,4-59 cm dan berat total 140–1350 gram. Jika dibandingkan dengan penelitian Abdurrahman 1997, yaitu dengan jenis ikan sapu-sapu lainnya yaitu Hyposarcus pardalis yang ditangkap di Situ Rawa Besar Depok, maka ukuran ikan sapu-sapu Pterygoplichthys pardalis mempunyai kisaran panjang dan berat total yang lebih besar dibanding ikan sapu-sapu Hyposarcus pardalis yang hanya memiliki kisaran panjang total 25,8-46,5 cm dan berat total 176,1-676,4 gram. Hasil penelitian Dhika 2013, menyebutkan bahwa ikan sapu-sapu Pterygoplichthys pardalis di sungai Ciliwung di wilayah Depok memiliki kisaran panjang 26-38 cm dan di wilayah Jakarta memiliki kisaran panjang 22-38,5 cm. Adanya perbedaan panjang ikan antara wilayah Bogor, Depok, dan Jakarta diduga karena sungai Ciliwung daerah Depok dan Jakarta lebih tercemar dibanding dengan sungai Ciliwung di wilayah Bogor.
Persamaan hubungan panjang berat ikan sapu-sapu jantan adalah W=0,068L2,403 (R2= 63,80%) sedangkan ikan betina adalah W=0,010L2,922 (R² = 87,40%). Hasil analisis pada uji t untuk nilai b pada ikan sapu-sapu jantan sebesar
16
2,4035 dan nilai b pada ikan sapu-sapu betina sebesar 2,9219. Nilai b pada ikan jantan hampir memiliki nilai yang sebanding dengan penelitian ikan sapu-sapu oleh Samat dkk 2008 dengan nilai b sebesar 2,538. Baik ikan jantan maupun ikan betina memiliki pola pertumbuhan isometrik. Nilai faktor kondisi baik ikan sapu-sapu jantan maupun betina memiliki nilai tertinggi pada bulan Juli. Hal ini diduga karena pada saat bulan Juli ikan sapu-sapu memiliki kemampuan hidup yang baik serta mendapat asupan nutrisi yang cukup untuk mencapai matang gonad sehingga nilai faktor kondisi tinggi pada bulan ini. Faktor kondisi ikan betina lebih tinggi dibanding ikan jantan. Nilai faktor kondisi ikan jantan dan betina masing-masing 0,6319-0,7639 dan 0,7485-0,8487 dengan rata-rata 0,6987 dan 0,7955 (Lampiran 3). Ini menunjukkan bahwa ikan betina lebih mampu untuk bertahan hidup dibanding ikan jantan. Faktor kondisi ikan bergantung pada berbagai faktor eksternal lingkungan dan faktor biologis, diantaranya kematangan gonad untuk reproduksi (Manik 2009).
Selama penelitian diperoleh 97 ekor ikan sapu-sapu yang terdiri atas 60 ekor betina dan 37 ekor jantan. Hasil analisis uji Chi-square yang didapat menghasilkan perbandingan rasio ikan jantan dan betina pada penelitian ini sebesar 1:1,87 atau 38%:62%. Kondisi ini menunjukkan perbedaan yang nyata sehingga dapat dikatakan tidak seimbang (1:1), karena proporsi ikan betina lebih dominan daripada ikan jantan. Adanya perbedaan dalam proporsi kelamin bisa disebabkan karena faktor eksternal maupun faktor internal. Faktor internal dapat berupa tingkah laku ikan, perbedaan laju mortalitas dan pertumbuhan, sedangkan faktor eksternal berupa ketersediaan makanan dan kepadatan populasi (Effendie 2002).
Ukuran pertama kali matang gonad ikan sapu-sapu betina adalah 37,3-43,4 cm (Lampiran 4). Pada ikan jantan tidak ditemukan adanya TKG 4 pada penelitian ini. Menurut Najamuddin dkk 2004, ukuran ikan pada saat pertama kali matang gonad menjadi indikator ketersediaan stok reproduktif.
Nilai indeks kematangan gonad (IKG) ikan sapu-sapu jantan lebih kecil dibanding dengan ikan sapu-sapu betina baik berdasarkan bulan pengamatan maupun berdasarkan tingkat kematangan gonad (Gambar 11,12). Berdasarkan bulan pengamatan, nilai IKG rata-rata ikan jantan dan betina masing-masing sebesar 0,0701-0,0735 dan 1,3689-3,0365. Ikan betina memiliki nilai IKG tertinggi di bulan Maret. Berdasarkan tingkat kematangan gonad, ikan sapu-sapu jantan dan betina memiliki nilai IKG rata-rata masing-masing sebesar 0,13-0,14 % dan 0,14-8,45 %. Nilai IKG rata-rata tertinggi terjadi pada bulan Agustus. Hal ini diduga karena pada bulan Agustus, nilai bobot gonad total yang didapat lebih besar dibanding bulan lainnya. Semakin tinggi tingkat perkembangan gonad, maka perbandingan antara berat tubuh dan berat gonad semakin besar. Tingginya nilai rata-rata indeks kematangan gonad ikan sapu-sapu pada bulan Agustus menunjukkan bahwa pada bulan tersebut merupakan puncak pemijahan.
17 kandungan logam berat timbal (Pb) pada ikan sapu-sapu di sungai Ciliwung telah melewati ambang batas baku mutu yang telah ditetapkan pemerintah. Diameter telur ikan sapu-sapu berkisar antara 0,19-1,45 mm dengan nilai rata-rata sebesar 0,27085 mm. Modus diameter telur berada pada selang kelas antara 0,25-0,27 mm dengan frekuensi sebesar 2046 butir (Gambar 15). Hoar dalam Abdurrahman 1997 menyatakan bahwa jika waktu pemijahan pendek, maka semua telur masak yang terdapat dalam ovarium akan berukuran sama.
Kondisi lingkungan perairanyang tercemar akan berpengaruh terhadap fekunditas dan diameter telur ikan, seperti hasil dari penelitian Setyawati 2011 yang menunjukkan bahwa senyawa pestisida organofosfat yang dipaparkan pada ikan nila akan menurunkan berat ovarium, menyebabkan kerusakan pada struktur histologi ovarium, serta menurunkan fekunditas yang ditandai penurunan jumlah produksi telur dalam ovarium ikan nila merah. Selain itu juga pada penelitian Gueye 2013 menyatakan bahwa padat polutan dari industri dan domestik juga dapat menyebabkan kerusakan pada insang ikanyang menyebabkan respirasi menjadi terganggu. Secara bersama-sama, faktor-faktor ini akan mengakibatkan ikan stresssehingga hal ini menjadi faktor pembatas ikan untuk reproduksi individu di daerah ini. Saat musim hujan, peningkatan masukan air tawar dari curah hujan dapat membantu mengencerkan polutan sehingga meringankan ikan dari stress. Oleh karena itu, pemijahan tertinggi selama musim penghujan dapat dikaitkan dengan tingginya pengenceran kontaminan dari curah hujan.Tingkat pencemaran yang semakin tinggi akan menyebabkan persentase daya tetas telur yang kecil seperti penelitian Prahastuti 2013 yang menyatakan bahwa semakin besar konsentrasi deterjen, maka semakin kecil persentase daya tetas telur (hatching rate) pada setiap harinya. Dari penelitian Syamsuri 2006 juga menyatakan bahwa pencemaran oleh estradiol-17β di sungai Brantas menurunkan jumlah telur ikan nila secara signifikan dan tidak berpengaruh secara signifikan terhadap pertumbuhan gonad dan kualitas telur ikan nila yang meliputi berat gonad, penampang telur, dan berat telur.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Tingkat kematangan gonad ikan sapu-sapu jantan tertinggi terdapat pada TKG 1 di bulan Agustus, sedangkan ikan sapu-sapu betina nilai tertinggi terdapat pada TKG 4 di bulan Juli dan Agustus. Nilai indeks kematangan gonad tertinggi pada ikan sapu-sapu betina terdapat pada TKG IV, sedangkan ikan sapu-sapu jantan pada TKG III. Musim pemijahan ikan sapu-sapu di sungai ciliwung adalah bulan Juli dan Agustus. Tipe pemijahan ikan sapu-sapu adalah total spawner.
Saran
18
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman, I. 1997. Beberapa aspek Biologi Reproduksi Ikan Sapu-Sapu (Hyposarcus pardalis Castelnau) di situ Rawa Besar Depok, Jawa Barat. Depok (ID): Universitas Indonesia. 34 hlm.
Alfisyahrin, N. F. 2013. Distribusi Logam Berat Timbal (Pb) Dalam Daging Ikan Sapu-Sapu (Pterygoplichthys pardalis) di Sungai Ciliwung. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. 32 hlm.
Ariana. 2013. Makalah Kultur Hias; Ikan Sapu-sapu (Hypostomus plecostomus). Makassar (ID): Universitas Hasanuddin. 14 hlm.
Dhika, L. R. 2013. Kandungan Logam Berat Kadmium (Cd) Dalam Daging Ikan Sapu-Sapu (Pterygoplichthys pardalis) di Sungai Ciliwung. Bogor (ID). Institut Pertanian Bogor: 30 hlm.
Effendie, M. I. 1997. Metoda Biologi Perikanan. Bogor (ID): Yayasan Dewi Sri. 112 hlm
Effendie, M. I. 2002. Biologi Perikanan. Yogyakarta (ID): Yayasan Pustaka Nusatama. 163 hlm.
Gueye, M, Kantoussan J, and Tine M. 2013. The Impact Of Environmental Degradation On Reproduction OfThe Black-Chinned Tilapia Sarotherodon melanotheron From Various Coastal Marine, Estuarine and Freshwater Habitats. C R Biologies Volume 336 issue 7. 342–353.
Hadiaty.R & Wowor, D. 2011.Study of Fish Diversity and the Lost of Fish Species of River Ciliwung and R. Cisadane. Pusat Penelitian Biologi-LIPI.Cibinong.
Jabarsyah, H.A, Cahyadi J, Usman D. 2006.Aspek Reproduksi Ikan Kurisi Bali (Aprion Virescens) di Perairan Pulau Derawan dan Sekitarnya. FPIK Universitas Borneo Tarakan. Tarakan
Manik, N. 2009. Hubungan Panjang-Berat dan Faktor Kondisi Ikan Layang (Decapterus russelli) dari Perairan Sekitar Teluk Likupang Sulawesi Utara. UPT Loka Konservasi Biota Laut Bitung – LIPI. 65-74 hlm Najamuddin, Mallawa A, Budimawan, dan Muh. Y. N. Indar. 2004. Pendugaan
Ukuran Pertama Kali Matang Gonad Ikan Layang Deles (Decapterus macrosoma bleeker). Makassar (ID): J. Sains & Teknologi, April 2004,Vol. 4 No. 1:1-8 hlm
Prahastuti M. S, Ain C, dan Sulardiono B. 2013. Dampak Surfaktan Berbahan Aktif Na-ABS Terhadap Daya Tetas Telur Ikan Karper (CyprinusCarpio) Dalam Skala Laboratorium. Diponegoro Journal Of Maquares. Volume 2, No. 4.11-17 hlm.
Rahmawati, I. 2006. Aspek Biologi Reproduksi Ikan Beunteur (Puntius Binotatus C. V. 1842, Famili Cyprinidae) Di Bagian Hulu Daerah Aliran Sungai (Das) Ciliwung, Jawa Barat. Bogor: (ID). Institut Pertanian Bogor. 86 hlm.
19 Setyawati I, Wiratmini N. I, Wiryatno J. 2011. Pertumbuhan, Histopatologi Ovarium Dan Fekunditas Ikan Nila Merah(Oreochromis niloticus) Setelah Paparan Pestisida Organofosfat. Bali (ID): Jurnal Biologi Volume XV No.2. 44-48 hlm.
Syamsuri, 2006. Pencemaran Oleh Estradiol-17β di sungai Brantas Dapat Menimbulkan Feminisasi Organisme Perairan. Biologi FMIPA Universitas Negeri Malang. 25 hlm.
Wakida-Kusunoki A. T, Ruiz-Carus R, And Amador-Del-Angel E. 2007. Amazon Sailfin Catfish, Pterygoplichthys Pardalis (Castelnau, 1855) (Loricariidae), Another Exotic Species Established In Southeastern Mexico. The Southwestern Naturalist: vol. 52, no. 1
20
LAMPIRAN
Lampiran 1 Data Ikan sapu-sapu (Pterygoplichthys pardalis)
21 51 880 Jantan 0,68 2 0,08
60 1210 Jantan 1,90 3 0,16
Juli 2014 27,4 140 Betina 0,07 1 0,05 28,9 180 Betina 0,09 1 0,05 37 360 Betina 0,35 1 0,10 55 1240 Betina 1,58 1 0,13 35,5 465 Betina 0,79 2 0,17
40 670 Betina 56,43 4 8,42 665
40,5 440 Betina 48,19 4 10,95 543
42 850 Betina 61,06 4 7,18 781
42,1 590 Betina 56,94 4 9,65 860
42,3 630 Betina 63,94 4 10,15 814
43,5 1000 Betina 62,41 4 6,24 750
43,6 730 Betina 83,83 4 11,48 1275
43,7 590 Betina 80,09 4 13,58 1011
44,4 810 Betina 67,16 4 8,29 934
44,5 630 Betina 43,71 4 6,94 478
45,7 850 Betina 55,35 4 6,51 688
49,1 820 Betina 75,54 4 9,21 1064
33,2 270 Jantan 0,21 1 0,08 37,2 385 Jantan 0,27 1 0,07 40,8 560 Jantan 0,41 1 0,07 43,9 880 Jantan 0,61 1 0,07 45,7 775 Jantan 0,62 1 0,08 46,3 920 Jantan 0,36 1 0,04 49,1 600 Jantan 0,53 1 0,09 39 580 Jantan 0,17 2 0,03 42,6 560 Jantan 0,66 2 0,12 46 700 Jantan 1,00 2 0,14 46,1 590 Jantan 1,14 2 0,19 50 1125 Jantan 1,24 2 0,11 51,2 890 Jantan 1,48 2 0,17 51,6 910 Jantan 1,66 2 0,18 52,7 1010 Jantan 1,29 2 0,13 47,8 750 Jantan 0,90 3 0,12
Agustus
2014 44,4 610 Betina 1,09 1 0,18
22
41,1 420 Betina 0,61 2 0,15 42,5 520 Betina 1,01 2 0,19 48,2 865 Betina 0,71 2 0,08
36 325 Betina 20,93 4 6,44 212
36,4 450 Betina 52,47 4 11,66 521
38,5 430 Betina 27,48 4 6,39 279
40 470 Betina 50,82 4 10,81 671
40 750 Betina 79,92 4 10,66 755
41,2 550 Betina 19,17 4 3,49 207
42 660 Betina 60,89 4 9,23 565
45,5 640 Betina 68,90 4 10,76 762
49 1050 Betina 141,95 4 13,52 1387 52,7 1300 Betina 161,80 4 12,45 1445
53 1100 Betina 102,82 4 9,35 991
53 1350 Betina 122,73 4 9,09 1301
41,5 520 Jantan 0,26 1 0,05 43,5 800 Jantan 1,58 1 0,20 45 790 Jantan 2,89 1 0,37 47,1 650 Jantan 0,99 1 0,15 47,2 590 Jantan 0,56 1 0,09 47,2 680 Jantan 1,02 1 0,15 48 790 Jantan 0,74 1 0,09 48,6 400 Jantan 1,15 1 0,29 39 550 Jantan 0,89 2 0,16 41,3 530 Jantan 0,88 2 0,17 43,7 500 Jantan 0,58 2 0,12 46,5 570 Jantan 0,21 2 0,04 55 1330 Jantan 2,14 2 0,16
Lampiran 2 Hubungan panjang berat ikan sapu-sapu (Pterygoplichthys pardalis) jantan dan betina
a. Ikan sapu-sapu jantan
Koefisien
Perpotongan 0,068 Kemiringan 2,403
thit 1,94961
ttab 2,030108
23 b. Ikan sapu-sapu betina
Koefisien Perpotongan 0,010 Kemiringan 2,922
thit 0,5360
ttab 2,0017
thit<ttab maka tolak H0, dan b = 2,9219
Lampiran 3 Faktor kondisi ikan sapu-sapu (Pterygoplichthys pardalis) Bulan
Pengamatan
Jantan Betina
FK rata-rata STDEV FK rata-rata STDEV
Maret 0,6319 0,0676 0,7485 0,1113
Juli 0,7639 0,1418 0,8487 0,1726
Agustus 0,7003 0,1700 0,7893 0,1442
Lampiran 4 Pendugaan ukuran pertama kali matang gonad ikan sapu-sapu betina (Pterygoplichthys pardalis)
SK (mm) NT xi ni nj Pi x(i+1)-xi qi=1-pi piqi/ni-1
274,0-319,1 296,6 2,4721 2 0 0 0,0617 1 0
3192-364,4 341,8 2,5338 4 2 0,5 0,0540 0,5 0,0833 364,5-409,6 387,1 2,5878 12 7 0,5833 0,0480 0,4167 0,0221 409,7-454,9 432,3 2,6358 18 12 0,6667 0,0432 0,3333 0,0131 455,0-500,1 477,5 2,6790 11 11 1 0,0393 0 0 500,2-545,4 522,8 2,7183 10 6 0,6 0,0360 0,4 0,0267 545,5-590,6 568 2,7544 3 1 0,3333 0,6667 0,1111
Lampiran 5 Nisbah kelamin ikan sapu-sapu (Pterygoplichthys pardalis) jantan dan betina
a. Proporsi jenis kelamin
TKG I II III IV Total
Jantan 19 16 2 0 37
Betina 10 8 3 39 60
24
b. Uji chi-square nisbah kelamin
Bulan
Pengamatan oi (J) oi (B) Jumlah ei thit ttab Keputusan J B
Maret 8 26 34 17 9,53 3,84 Tolak H0
gagal 1 3,25
Juli 16 17 33 16.5 0,03 3,84 Tolak H0
gagal 1 1,06
Agustus 13 17 30 15 0,53 3,84 Tolak H0
gagal 1 1,31
Total 37 60 97
Lampiran 6 TKG ikan sapu-sapu (Pterygoplichthys pardalis) jantan dan betina a. Data frekuensi relatif TKG ikan sapu-sapu jantan
Selang Kelas
fi frekuensi relatif (%)
TKG TKG
I II III IV I II III IV
26-30,9 0 0 0 0 0,027 0 0 0
31-35,9 1 0 0 0 0,054 0,054 0 0
36-40,9 2 2 0 0 0,216 0,108 0 0
41-45,9 8 4 0 0 0,216 0,135 0,027 0
46-50,9 8 5 1 0 0 0,135 0 0
51-55,9 0 5 0 0 0 0 0,027 0
56-60,9 0 0 1 0 0,027 0 0 0
b. Data frekuensi relatif TKG ikan sapu-sapu betina Selang
Kelas
fi frekuensi relatif (%)
TKG TKG
I II III IV I II III IV
26-30,9 2 0 0 0 0,0333 0 0 0
31-35,9 0 1 0 0 0 0,0167 0 0
36-40,9 1 0 2 8 0,0167 0 0,0333 0,1333
41-45,9 2 2 1 15 0,0333 0,0333 0,0167 0,25
46-50,9 2 1 0 8 0,033 0,0167 0 0,1333
51-55,9 1 3 0 7 0,0167 0,05 0 0,1167
25 Lampiran 7 IKG ikan sapu-sapu (Pterygoplichthys pardalis) jantan dan betina a. IKG ikan sapu-sapu (Pterygoplichthys pardalis) berdasarkan bulan pengamatan
Bulan Pengamatan
Jantan Betina
FK rata" STDEV FK rata" STDEV
Maret 0,0735 0,0352 3,0365 2,0210
Juli 0,0701 0,0194 2,2046 2,1978
Agustus 0,0718 0,0112 1,3689 0,1251
b. Hubungan indeks kematangan gonad dengan tingkat kematangan gonad ikan sapu-sapu (Pterygoplichthys pardalis)
TKG Jantan Betina
FK rata-rata STDEV FK rata-rata STDEV
I 0,1267 0,0890 0,1380 0,0595
II 0,1348 0,0524 0,1663 0,0467
III 0,1381 0,0263 1,0340 0,3526
IV 0 0 8,4533 2,6113
Lampiran 8 Sebaran diameter telur ikan sapu-sapu (Pterygoplichthys pardalis)
SK xi fi frekuensi relatif (%)
0,19-0,21 0,198571 85 2,02381
0,22-0,24 0,228571 695 16,54762
0,25-0,27 0,258571 2046 48,71429
0,28-0,30 0,288571 890 21,19048
0,31-0,33 0,318571 265 6,309524
0,34-0,36 0,348571 147 3,5
0,37-0,39 0,378571 49 1,166667
0,40-0,42 0,408571 20 0,47619
26
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Bogor pada tanggal 01 Oktober 1989. Penulis merupakan anak tunggal dari ayah Drs H. Hari Parwanto, MBA (alm) dan ibu Hj. Sri Juwarti. Penulis telahmenyelesaikan pendidikan TK Melur (1995), SDIslam PB Sudirman Jakarta Timur (2001), SLTP Islam PB Sudirman Jakarta Timur(2004). Pada tahun 2008 Penulis lulus dari SMA PPMI Assalaam-Solo dan pada tahun yang sama Penulis lulus seleksi masuk InstitutPertanian Bogor (IPB) melalui jalur Undangan Seleksi MasukIPB (USMI) dan diterima di Departemen Manajemen Sumber Daya Perairan,Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan.Selama menjadi mahasiswa Penulis pernah aktif dalam organisasikemahasiswaan BEM (Badan Eksekutif Mahasiswa) pada tahun 2010 di bagian Kewirausahaan.