DISERTASI
MODEL KONSEPTUAL REVITALISASI
PRAKTIK FARMASI KOMUNITAS DI INDONESIA
Oleh:
WIRYANTO
NIM 098116007
PROGRAM STUDI DOKTOR ILMU FARMASI
FAKULTAS FARMASI
UIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
MODEL KONSEPTUAL REVITALISASI
PRAKTIK FARMASI KOMUNITAS DI INDONESIA
DISERTASI
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh Gelar Doktor dalam Ilmu Farmasi pada Fakultas Farmasi
Universitas Sumatera Utara
Oleh:
WIRYANTO
NIM 098116007
PROGRAM STUDI DOKTOR ILMU FARMASI
FAKULTAS FARMASI
UIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
PROMOTOR
Prof. Dr. Urip Harahap, Apt.Guru Besar Ilmu Farmakologi Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara
KO-PROMOTOR
Prof. Dr. Karsono, Apt. Guru Besar Ilmu FarmasetikaFakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara
KO-PROMOTOR
Prof. Dr. Herman MawengkangGuru Besar Ilmu Matematika
Telah diuji pada Ujian Tertutup Tanggal: 28 Agustus 2014
PANITIA PENGUJI DISERTASI
Ketua : Prof. Dr. Urip Harahap, Apt.
Anggota : Prof. Dr. Karsono, Apt.
Prof. Dr. Herman Mawengkang
Prof. Dr. Sumadio Hadisahputra, Apt.
Prof. Dr. Julia Reveny, M.Si., Apt.
PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS
Sebagai sivitas akademik Universitas Sumatera Utara, saya yang bertandatangan di bawah ini:
Nama : Wiryanto
No. Induk Mahasiswa : 098116007
Program Studi : Doktor Ilmu Farmasi
Judul Disertasi : Model Konseptual Revitalisasi Praktik Farmasi Komunitas di Indonesia
Demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui dan memberikan kepada Universitas Sumatera Utara Hak Bebas Royalti Non Eksklusif (Non-exclusive Royalti Free Right) atas disertasi saya yang berjudul:
Model Konseptual Revitalisasi Praktik Farmasi Komunitas di Indonesia Beserta perangkat yang ada (jika diperlukan), dengan Hak Bebas Royalti Non Eksklusif ini, Universitas Sumatera Utara berhak menyimpan dalam bentuk database, merawat dan mempublikasikan disertasi saya tanpa meminta izin dari saya sebagai penulis dan sebagai pemilik hak cipta. Demikian pernyataan ini saya perbuat dengan sebenarnya.
Dibuat di Medan
Pada tanggal 28 Agustus 2014 Yang menyatakan,
PERNYATAAN ORISINALITAS
Saya yang bertandatangan di bawah ini:
Nama : Wiryanto
No. Induk Mahasiswa : 098116007
Program Studi : Doktor Ilmu Farmasi
Judul Disertasi : Model Konseptual Revitalisasi Praktik Farmasi
Komunitas di Indonesia
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi yang saya buat adalah asli karya
saya sendiri, bukan plagiat, dan apabila di kemudian hari diketahui disertasi saya
tersebut plagiat karena kesalahan saya sendiri, maka saya bersedia diberi sanksi
apapun oleh Program Studi Doktor Ilmu Farmasi Fakultas Farmasi USU. Saya
tidak akan menuntut pihak manapun atas perbuatan saya tersebut.
Demikian surat pernyataan ini saya perbuat dengan sebenarnya dan dalam
keadaan sehat
Medan, 28 Agustus 2014 Yang membuat pernyataan,
Wiryanto
Abstrak
Praktik farmasi komunitas di Indonesia dideskripsikan sebagai praktik yang tidak memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan dan kaidah-kaidah profesi. Mayoritas apoteker yang seharusnya menjadikan apotek sebagai tempat praktik kefarmasian, lebih memilih tidak hadir setiap harinya. Tujuan penelitian adalah menyusun standar praktik farmasi komunitas, merancang model penentuan kriteria praktik, dan merancang model konseptual revitalisasi praktik farmasi komunitas di Indonesia.
Standar praktik farmasi komunitas disusun dari elemen-elemen standar yang diadopsi dari berbagai ketentuan dalam peraturan perundangan-undangan dan kaidah-kaidah profesi yang berlaku, terbagi ke dalam 5 aspek aktivitas standar: profesionalisme, manajerial, dispensing, asuhan kefarmasian, dan pelayanan kesehatan masyarakat. Sebagai langkah validasi, dilakukan survei pendapat/masukan dari para apoteker komunitas di Indonesia, menggunakan instrumen kuesioner dengan skala Likert lima poin pada masing-masing elemen standar. Instrumen kuesioner disusun menggunakan fasilitas google doc, dikirim langsung ke 800 alamat facebook apoteker komunitas di Indonesia untuk diisi secara online. Model penentuan kriteria praktik terdiri dari instrumen penilaian tingkat pemenuhan standar dan instrumen penentuan kriteria praktik. Penentuan kriteria praktik didasarkan pada perolehan poin kumulatif dan digambarkan melalui diagram jaring laba-laba (spider web). Selanjutnya dirancang sebuah model konseptual revitalisasi praktik farmasi komunitas terdiri dari standar praktik, model penentuan kriteria praktik, dan model Nolan.
Hasil survei menunjukkan bahwa semua elemen penyusun standar praktik yang ditawarkan memperoleh pendapat positif dengan kisaran poin 3,64-4,56. Model penentuan kriteria praktik dapat digunakan untuk menentukan kriteria praktik. Penggunaan model penentuan kriteria praktik menyederhanakan proses penentuan kriteria praktik pada tahapan awal revitalisasi. Rancangan model konseptual revitalisasi praktik farmasi komunitas terdiri dari 3 tahapan revitalisasi dengan sasaran peningkatan level kehadiran dan level imbalan apoteker, peningkatan intensitas keterlibatan apoteker, dan peningkatan mutu kinerja apoteker sesuai standar.
Model konseptual revitalisasi praktik farmasi komunitas merupakan sebuah instrumen, yang dapat digunakan secara bertahap mengembalikan peran vital praktik farmasi komunitas, dalam penyelenggaraan pelayanan kefarmasian yang aman, bermutu, dan terjangkau.
Abstract
Community pharmacy practice in Indonesia is described as practices that do not comply with the laws and rules of the profession. The majority of pharmacists are supposed to function the pharmacy as a place to conduct pharmacy practices, but they prefer not present every day. The purposes of the research are to develop a community pharmacy practice standards, to design models criteria determining the practices, and to design a conceptual model of the revitalization of community pharmacy practice in Indonesia.
The community pharmacy practice standards composed of standards elements adopted from various provisions of laws, regulations and applied rules of profession, divided into five aspects of the standard: professional, managerial, dispensing, pharmaceutical care, and community health services. As a validation step, an opinion survey/feedback from community pharmacists in Indonesia was conducted, using a questionnaire instrument with five-point Likert scale to each standard elements. Questionnaire instruments were prepared by using google doc, sent directly to 800 community pharmacists’ facebook address in Indonesia to be filled online. A model for the determination of practice criteria was designed consisting of instrument assessing level of standard compliance and instrument determining practices criteria. Determination of practices criteria was based on obtained cumulative points and illustrated by the diagram of spider webs. Furthermore, a model of revitalization concept of community pharmacy practice was designed by researcher. This model consists of standard of practice, determination of practice criteria models, and Nolan models.
The survey results showed that all the constituent elements of the standard practice offered obtained a positive opinion with a range of 3.64 to 4.56 points. The determination of practices criteria model can be used to determine the criteria for practice. The use of this model simplified the process of determination of practices criteria in the early stages of revitalization. The design of the conceptual model of the revitalization of community pharmacy practice consisted of 3 stages of revitalization with the goal of improving the level of presence and level of remuneration of pharmacists, increasing the intensity of the involvement of pharmacists and increasing the quality of pharmacists according to standards.
Conceptual model of community pharmacy practice revitalization is an instrument, which can be used to gradually return the vital role of community pharmacy practice, in the implementation of pharmacy services that is safe, good quality, and affordable.
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT atas segala limpahan rahmat dan karuniaNya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penyusunan disertasi ini dengan sebaik-baiknya.
Disertasi ini disusun untuk melengkapi salah satu syarat mencapai gelar Doktor Ilmu Farmasi pada Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara yang berjudul “Model Konseptual Revitalisasi Praktik Farmasi Komunitas di Indonesia”
Pada kesempatan ini dengan segala kerendahan hati penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:
1. Rektor Universitas Sumatera Utara, Bapak Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, D.T.M.&H., M.Sc. (C.T.M.), Sp.A.(K.), atas kesempatan dan segala fasilitas yang diberikan untuk mengikuti dan menyelesaikan Program Doktor.
2. Dekan Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara, Bapak Prof. Dr. Sumadio Hadisahputra, Apt., yang telah menyediakan fasilitas dan kesempatan bagi penulis menjadi mahasiswa Program Doktor Ilmu Farmasi Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara.
3. Ketua Program Doktor Ilmu Farmasi Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara, Bapak Prof. Dr. Karsono, Apt., sekaligus selaku Ko Promotor yang tiada henti memberikan dorongan, berbagai koreksi dan diskusi sehingga penulis terpacu untuk menyelesaikan Pendidikan Program Doktor Ilmu Farmasi.
4. Bapak Prof. Dr. Urip Harahap, Apt., selaku Promotor yang telah menyediakan waktu dengan penuh kesabaran untuk berbagai koreksi dan diskusi, serta medorong penulis untuk segera menyelesaikan penelitian dan penyusunan disertasi ini.
6. Para penguji yaitu Prof. Dr. Sumadio Hadisahputra, Apt., Prof. Dr. Julia Reveny, M.Si., Apt., Prof. Dr. Marchaban, DESS., Apt., dan Dr. Faiq Bahfen, SH., yang telah memberikan kritik, koreksi, dan masukan sangat berguna bagi kesempurnaan disertasi ini.
7. Seluruh guru-guru saya di Fakultas Farmasi UGM dan di Program Doktor Ilmu Farmasi Fakultas Farmasi USU, semoga ilmu-ilmu yang diajarkan selama ini memberi manfaat yang besar bagi saya dan bagi masyarakat.
8. Ahmad Subagiyo Apoteker, Hari Ronaldo Tanjung, S.Si., M.Pharm., Apt., Dadang Irfan Husori, S.Si., M.Sc., Apt., Agus Dermawan, S.Farm., Apt., serta teman-teman seangkatan di Program Doktor Ilmu Farmasi atas segala bantuannya sepanjang penyelesaian disertasi ini.
9. Seluruh sejawat apoteker farmasi komunitas di Indonesia yang telah bersedia menjadi responden, sehingga disertasi ini dapat diselesaikan dengan baik
Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada semua pihak yang tidak penulis sebutkan satu per satu atas segala kebaikan dan bantuannya, semoga Allah memberikan balasan yang berlipat ganda.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa dalam penulisan disertasi ini masih jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu dengan segala kerendahan hati, penulis menerima kritik dan saran demi kesempurnaan disertasi ini. Dan pada akhirnya penulis berharap semoga disertasi ini dapat memberi manfaat bagi dunia farmasi, khususnya bagi masa depan profesi farmasi komunitas.
Medan, Agustus 2014
Penulis,
RIWAYAT HIDUP
A. Identitas Diri
Nama Lengkap : Wiryanto
Tempat, Tanggal Lahir : Semarang, 25 Oktober 1951
Agama : Islam
NIP : 1951 1025 198002 1 001
Pangkat/Golongan : Pembina Utama Muda / IVc
Pekerjaan : Staf Pengajar Fakultas Farmasi USU Jabatan Fungsional : Lektor Kepala
Alamat Kantor : Jl. Tridarma No. 5, Kampus USU, Medan No. Telepon/Fax : (061) 8223558 / (061) 8219775
Alamat Rumah : Taman Setiabudi Indah Blok F No.70 Medan No. Telepon Rumah/HP : (061) 8212773 / 082166578272
Alamat E-mail : wiryanto_2510@yahoo.com; wiryanto@usu.ac.id Nama Ayah : Alm. Wagiyo Wiryoharjono
Nama Ibu : Alm. Hj. Sri Ismaningsih Nama Istri : Dra. Sudewi, M.Si., Apt. Nama Anak : 1. Kartika Respati, SE.
2. Renny Widiastuti, S.Sos.
Nama Menantu : Muhammad Syafril Malau, S.Si., ME. Nama Cucu 1. Anindia Nafeeza Ayu Malau
2. Anindita Anthea Putri Malau
B. Riwayat Pendidikan 1957-1963
1964-1967 1968-1970 1971-1977 1977-1978 1986-1989 2009-2014
SD Negeri 2, Kartasura SMP Negeri, Kartasura
SMA Muhammadiyah I, Surakarta
C. Riwayat Pekerjaan 1980-sekarang
1995-2006 2006- sekarang 2008-2010 2009-2010
Staf Laboratorium Teknologi Formulasi Steril Kepala Laboratorium Teknologi Formulasi Steril Ketua Program Studi Pendidikan Profesi Apoteker Kepala Laboratorium Statistika
Kepala Laboratorium Farmasi Komunitas
D. Publikasi Ilmiah
1. Kompetensi Apoteker dan Profil Pelayanan Kefarmasian di Apotik Pasca PUKA di Kota Medan. Jakarta: Prosiding Kongres Ilmiah XVII ISFI, 7-8 Desember 2009.
2. Peluang Penerapan PP 51 Tahun 2009 terkait Titik Impas: Studi Kasus di Apotek Farma Nusantara Medan. Makassar: Prosiding Kongres Ilmiah XVIII ISFI. 10-12 Desember 2010.
3. Kinerja Praktik Farmasi Komunitas Menjelang Implementasi PP 51 Tahun 2009. Medan: Prosiding Seminar & Workshop Pharmacy Update 3. 18-19 Maret 2011.
4. Penguatan Kaidah-Kaidah Profesi dalam Mewujudkan Pelayanan Kefarmasian di Apotek Sesuai Standar. Medan: Prosiding Seminar & Workshop Pharmacy Update 3. 18-19 Maret 2011.
5. Standards of Community Pharmacy Practice In Indonesia. Nusa Dua: Proceedings of The 24th Federation of Asian Pharmaceutical Association (FAPA) Congress. 13-16 September 2012.
6. Profil Kinerja Praktik Farmasi Komunitas/Apotek di Indonesia. Medan: Prosiding Seminar Nasional Farmasi. 29 September 2012.
7. Profil Pemenuhan Standar Praktik Kefarmasian Beberapa Apotek Di Kota Medan. Medan: Prosiding Seminar Nasional Herbal. 23-24 Agustus 2013. 8. Community Pharmacy Practice Standards as Guidelines for Pharmacists in
Performing Profession in Indonesia. International Journal of Pharmacy Teaching & Practices 2014, Vol.5, Issue 1, 880-886.
DAFTAR SINGKATAN
The American College of Physicians-American Society of Internal Medicine
Asosiasi Pendidikan Tinggi Farmasi Indonesia Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi Bahan Bakar Minyak
Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional Badan Penyelenggara Jaminan Sosial
Badan Usaha Milik Negara Badan Usaha Milik Daerah
Continuing Professional Development First In First Out
First Expire First Out
Fédération Internationale de Pharmaceutiques
Inpres Desa Tertinggal Jaring Pengaman Sosial Keputusan Menteri Kesehatan Level kehadiran
Level imbalan
Malaysian Community Pharmacist Association
Obat Wajib Apotek Pedagang Beasar Farmasi
Pengurus Daerah Ikatan Apoteker Indonesia Sumatera Utara Peraturan Menteri Kesehatan
Peraturan Pemerintah
Program Studi Pendidikan Profesi Apoteker Perguruan Tinggi Farmasi
Surat Izin Kerja Apoteker Surat Izin Praktik
Surat Izin Praktik Apoteker
Sertifikasi Kompetensi Profesi Apoteker
Short Message Service
Standar Prosedur Operasional
Statistical Product and Service Solutions
Surat Tanda Regestrasi Apoteker
Tuberculosis
Tunjangan Hari Raya Upah Minimum Provinsi Undang-Undang
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN PENGESAHAN . . . i
HALAMAN PERNYATAAN . . . ii
ABSTRAK . . . iii
ABSTRACT . . . iv
KATA PENGANTAR . . . v
DAFTAR ISI . . . x
DAFTAR LAMPIRAN . . . xiv
DAFTAR GAMBAR . . . xv
DAFTAR TABEL . . . xvii
BAB I PENDAHULUAN . . . 1
1.1 Latar Belakang . . . 1
1.2 Kerangka Pikir Penelitian . . . 7
1.3 Perumusan Masalah . . . 13
1.4 Hipotesis . . . 14
1.5 Tujuan Penelitian . . . 14
1.6 Manfaat Penelitian . . . 15
BAB II TINJAUAN PUSTAKA . . . 16
2.1 Farmasi Komunitas . . . 16
2.1.1 Definisi . . . 16
2.1.2 Praktik Farmasi Komunitas . . . 17
2.1.4 Perkembangan Perizinan Apotek . . . 21
2.2 Profesi . . . 23
2.2.1 Definisi . . . 23
2.2.2 Pendekatan Sosiologis Profesionalisasi . . . 24
2.2.3 Karakteristik Inti Profesi . . . 27
2.2.4 Misi Profesi Farmasi . . . 29
2.2.5 Apoteker . . . 31
2.2.6 Profesionalisme . . . 32
2.2.7 Organisasi Profesi . . . 34
2.3 Pemodelan . . . 35
2.4 Model Konseptual Revitalisasi Praktik Farmasi Komunitas. . . 38
2.5 Implementasi Kebijakan . . . 44
2.5.1 Aktor-aktor Implementasi . . . 44
2.5.2 Teknik Implementasi Kebijakan . . . 48
2.6 Instrumen Kebijakan . . . 61
BAB III METODE PENELITIAN . . . 66
3.1 Menyusun Standar Praktik Farmasi Komunitas . . . 66
3.2 Merancang Model Penentuan Kriteria Praktik Farmasi Komunitas . . . 70
3.3 Merancang Model Konseptual Revitalisasi Praktik Farmasi Komunitas . . . 71
3.4 Diagram Alir Penelitian . . . 73
3.5 Defenisi Operasional . . . 74
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN . . . 78
4.2 Standar Praktik Farmasi Komunitas . . . 81
4.2.1 Elemen-elemen Penyusunan Draf Standar Praktik
Farmasi Komunitas . . . 81
4.2.2 Instrumen Kuesioner tentang Elemen-elemen Standar
Praktik Farmasi Komunitas . . . 83
4.2.3 Uji Validitas dan Uji Reliabilitas Instrumen Kuesioner . . 83
4.2.4 Pendapat Responden tentang Elemen-elemen Standar
Melalui Skala Likert . . . 83
4.2.5 Pengaruh Karakteristik Responden Terhadap
Pendapatnya Tentang Standar Praktek . . . 90
4.2.6 Pendapat/Masukan Responden tentang Kondisi dan
Situasi Praktik Farmasi Komunitas . . . 94
4.3 Instrumen Kuesioner tentang Deskripsi Elemen-elemen
Standar Praktik Farmasi Komunitas . . . 99
4.3.1 Profil Kinerja Bisnis Praktik Farmasi Komunitas . . . 120
4.3.2 Kriteria Praktik Farmasi Komunitas . . . 129
4.3.3 Permasalahan Mendasar dalam Praktik Farmasi
Komunitas di Indonesia . . . 130
4.3.4 Model Penentuan Kriteria Praktik Farmasi Komunitas . . 132
4.3.5 Simulasi Model Penentuan Kriteria Praktik . . . 135
4.3.6 Kriteria Praktik Farmasi Komunitas di Indonesia . . . 138
4.3.7 Pengaruh Karakteristik Responden Terhadap Tingkat
Pemenuhan Standar Praktik Farmasi Komunitas . . . 141
4.4 Model Konseptual Revitalisasi Praktik Farmasi Komunitas . . . 145
4.5 Simulasi Model Konseptual Revitalisasi Praktik Farmasi
Komunitas pada Beberapa Apotek di Kota Medan . . . 147
4.6 Strategi Implementasi Model Konseptual Revitalisasi Praktik
Farmasi Komunitas . . . 152
5.1 Kesimpulan . . . 155
5.2 Saran . . . 155
DAFTAR PUSTAKA . . . 156
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Lampiran 1 Perhitungan jumlah responden menggunakan instrumen
Raosoft . . . 165
Lampiran 2 Draf Standar Praktik Farmasi Komunitas . . . 166
Lampiran 3 Kuesioner tentang Elemen-elemen Praktik Farmasi
Komunitas . . . 170
Lampiran 4 Hasil Uji Validitas dan Reliabilitas . . . 178
Lampiran 5 Pendapat/masukan umum responden terkait praktik
farmasi komunitas . . . 183
Lampiran 6 Kuesioner tentang Deskripsi Elemen-Elemen Standar
Praktik Farmasi Komunitas . . . 190
Lampiran 7 Standar Praktik Farmasi Komunitas . . . 199
Lampiran 8 Lembar Penilaian Tingkat Pemenuhan Standar Praktik 202
Lampiran 9 Lembar Penentuan Kriteria Praktik Farmasi Komunitas . . 210
Lampiran 10 Rumusan Penilaian Tingkat Pemenuhan Standar Untuk
Masing-Masing Elemen Standar . . . 211
Lampiran 11 Hasil penentuan kriteria 5 apotek di kota Medan . . . 225
Lampiran 12 Hasil penentuan kriteria 5 apotek di kota Medan setelah
langkah revitalisasi . . . 240
Lampiran 13 Hasil analisis statistik pengaruh karakteritik responden terhadap pendapatnya tentang standar praktik dan aspek
aktivitas standar . . . 255
Lampiran 14 Hasil analisis statistik pengaruh karakteritik responden terhadap tingkat pemenuhan standar praktik farmasi
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 1.1 Kerangka pikir penelitian model konseptual revitalisasi
praktik farmasi komunitas . . . 10
Gambar 1.2 Proses penyusunan standar dan perancangan model penentuan kriteria praktik farmasi komunitas . . . 11
Gambar 1.3 Rancangan model konseptual revitalisasi praktik farmasi komunitas . . . 13
Gambar 2.1 Proses Pemodelan . . . .. . . 37
Gambar 2.2 Empat variabel pengaruh terhadap implementasi kebijakan . . . 50
Gambar 2.3 Dua variabel pengaruh terhadap implementasi kebijakan 53 Gambar 2.4 Tiga kelompok variabel pengaruh terhadap implementasi kebijakan . . . 54
Gambar 2.5 Lima variabel pengaruh terhadap implementasi kebijakan 58 Gambar 2.6 Empat kelompok variabel pengaruh terhadap implementasi kebijakan . . . 60
Gambar 2.7 Sepuluh jenis instrumen kebijakan . . . 61
Gambar 3.1 Diagram alir tahapan penelitian . . . 73
Gambar 4.1 Distribusi persentase seluruh pendapat responden terhadap elemen-elemen standar praktik farmasi komunitas/apotek . . . 89
Gambar 4.2 Distribusi imbalan yang diterima responden per bulan . . 121
Gambar 4.3 Distribusi Imbalan yang diharapkan responden per bulan 122
Gambar 4.4 Persentase distribusi jumlah lembar resep per hari . . . 124
Gambar 4.5 Persentase distribusi harga per lembar resep . . . 125
Gambar 4.6 Persentase distribusi omset apotek per hari . . . 126
Gambar 4.8 Distribusi (%) kriteria hasil penentuan tanpa dan dengan
model penentuan kriteria praktik . . . 139
Gambar 4.9 Diagram jaring laba-laba (spider web) tingkat pemenuhan standar praktik berdasarkan aspek aktivitas standar hasil penentuan tanpa dan dengan model penentuan kriteria
praktik . . . 141
Gambar 4.10 Model Konseptual Revitalisasi Praktik Farmasi
Komunitas . . . 147
Gambar 4.11 Strategi implementasi model konseptual revitalisasi
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 2.1 Fokus perubahan implementasi PP No. 25 tahun 1980 dari
PP No. 26 tahun 1965 (Patra, 1985). . . 39
Tabel 2.2 Empat tingkatan penting perbaikan mutu pelayanan
kesehatan . . . 41
Tabel 4.1 Karakteristik responden . . . 78
Tabel 4.2 Rerata poin pendapat responden terhadap elemen-elemen
standar praktik farmasi komunitas/apotek . . . 84
Tabel 4.3 Tujuh elemen standar yang memperoleh rerata poin di
bawah 4. . . 88
Tabel 4.4 Penggabungan pertama 3 elemen standar ke dalam elemen
standar yang lain . . . 89
Tabel 4.5 Nilai p pengaruh karakteritik responden terhadap pendapatnya tentang standar praktik dan aspek aktivitas
standar . . . 91
Tabel 4.6 Penggabungan kedua 4 elemen standar ke dalam elemen
standar yang lain . . . 100
Tabel 4.7 Data Tingkat Kehadiran Apoteker di Apotek . . . 131
Tabel 4.8 Deskripsi tahapan dan sasaran pembinaan dan pengawasan 133
Tabel 4.9 Model rumusan penilaian berdasarkan tahapan pembinaan dan pengawasan dengan level kehadiran (lk) dan level imbalan (li)
apoteker sebagai variabel untuk 25 elemen standar . . . 133
Tabel 4.10 Kriteria praktik hasil simulasi model penentuan kriteria
praktik menggunakan 4 level kehadiran sebagai variable . . 137
Tabel 4.11 Rerata poin kumulatif dan kriteria praktik hasil penentuan
tanpa dan dengan model penentuan kriteria praktik . . . 138
Tabel 4.12 Rerata poin dan kriteria praktik berdasarkan aspek
aktivitas standar hasil penentuan tanpa dan dengan model
Tabel 4.13 Nilai p Hasil Analisis Statistik Pengaruh Karakteristik
Responden terhadap Kriteria Tingkat Pemenuhan Standar . 142
Tabel 4.14 Model konseptual revitalisasi praktik farmasi komunitas
secara bertahap sesuai aspek permasalahan . . . 146
Tabel 4.15 Hasil penentuan kriteria 5 praktik farmasi komunitas di
Abstrak
Praktik farmasi komunitas di Indonesia dideskripsikan sebagai praktik yang tidak memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan dan kaidah-kaidah profesi. Mayoritas apoteker yang seharusnya menjadikan apotek sebagai tempat praktik kefarmasian, lebih memilih tidak hadir setiap harinya. Tujuan penelitian adalah menyusun standar praktik farmasi komunitas, merancang model penentuan kriteria praktik, dan merancang model konseptual revitalisasi praktik farmasi komunitas di Indonesia.
Standar praktik farmasi komunitas disusun dari elemen-elemen standar yang diadopsi dari berbagai ketentuan dalam peraturan perundangan-undangan dan kaidah-kaidah profesi yang berlaku, terbagi ke dalam 5 aspek aktivitas standar: profesionalisme, manajerial, dispensing, asuhan kefarmasian, dan pelayanan kesehatan masyarakat. Sebagai langkah validasi, dilakukan survei pendapat/masukan dari para apoteker komunitas di Indonesia, menggunakan instrumen kuesioner dengan skala Likert lima poin pada masing-masing elemen standar. Instrumen kuesioner disusun menggunakan fasilitas google doc, dikirim langsung ke 800 alamat facebook apoteker komunitas di Indonesia untuk diisi secara online. Model penentuan kriteria praktik terdiri dari instrumen penilaian tingkat pemenuhan standar dan instrumen penentuan kriteria praktik. Penentuan kriteria praktik didasarkan pada perolehan poin kumulatif dan digambarkan melalui diagram jaring laba-laba (spider web). Selanjutnya dirancang sebuah model konseptual revitalisasi praktik farmasi komunitas terdiri dari standar praktik, model penentuan kriteria praktik, dan model Nolan.
Hasil survei menunjukkan bahwa semua elemen penyusun standar praktik yang ditawarkan memperoleh pendapat positif dengan kisaran poin 3,64-4,56. Model penentuan kriteria praktik dapat digunakan untuk menentukan kriteria praktik. Penggunaan model penentuan kriteria praktik menyederhanakan proses penentuan kriteria praktik pada tahapan awal revitalisasi. Rancangan model konseptual revitalisasi praktik farmasi komunitas terdiri dari 3 tahapan revitalisasi dengan sasaran peningkatan level kehadiran dan level imbalan apoteker, peningkatan intensitas keterlibatan apoteker, dan peningkatan mutu kinerja apoteker sesuai standar.
Model konseptual revitalisasi praktik farmasi komunitas merupakan sebuah instrumen, yang dapat digunakan secara bertahap mengembalikan peran vital praktik farmasi komunitas, dalam penyelenggaraan pelayanan kefarmasian yang aman, bermutu, dan terjangkau.
Abstract
Community pharmacy practice in Indonesia is described as practices that do not comply with the laws and rules of the profession. The majority of pharmacists are supposed to function the pharmacy as a place to conduct pharmacy practices, but they prefer not present every day. The purposes of the research are to develop a community pharmacy practice standards, to design models criteria determining the practices, and to design a conceptual model of the revitalization of community pharmacy practice in Indonesia.
The community pharmacy practice standards composed of standards elements adopted from various provisions of laws, regulations and applied rules of profession, divided into five aspects of the standard: professional, managerial, dispensing, pharmaceutical care, and community health services. As a validation step, an opinion survey/feedback from community pharmacists in Indonesia was conducted, using a questionnaire instrument with five-point Likert scale to each standard elements. Questionnaire instruments were prepared by using google doc, sent directly to 800 community pharmacists’ facebook address in Indonesia to be filled online. A model for the determination of practice criteria was designed consisting of instrument assessing level of standard compliance and instrument determining practices criteria. Determination of practices criteria was based on obtained cumulative points and illustrated by the diagram of spider webs. Furthermore, a model of revitalization concept of community pharmacy practice was designed by researcher. This model consists of standard of practice, determination of practice criteria models, and Nolan models.
The survey results showed that all the constituent elements of the standard practice offered obtained a positive opinion with a range of 3.64 to 4.56 points. The determination of practices criteria model can be used to determine the criteria for practice. The use of this model simplified the process of determination of practices criteria in the early stages of revitalization. The design of the conceptual model of the revitalization of community pharmacy practice consisted of 3 stages of revitalization with the goal of improving the level of presence and level of remuneration of pharmacists, increasing the intensity of the involvement of pharmacists and increasing the quality of pharmacists according to standards.
Conceptual model of community pharmacy practice revitalization is an instrument, which can be used to gradually return the vital role of community pharmacy practice, in the implementation of pharmacy services that is safe, good quality, and affordable.
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Menurut WHO (1994), apoteker mempunyai peran profesional dalam
berbagai bidang pekerjaan meliputi regulasi dan pengelolaan obat, farmasi
komunitas, farmasi rumah sakit, industri farmasi, kegiatan akademik, pelatihan
tenaga kesehatan lainnya, dan penelitian. Peran profesional dalam semua bidang
pekerjaan tersebut adalah memastikan hasil terapi obat optimal, baik dengan cara
berkontribusi pada pembuatan, pasokan, dan pengendalian obat, maupun dengan
cara memberikan informasi dan saran kepada pembuat resep dan pengguna
produk-produk farmasi. Apoteker merupakan profesional kesehatan paling mudah
diakses oleh publik, mereka menyediakan kebutuhan obat-obatan baik melalui
resep ataupun tanpa resep. Selain memastikan secara akurat pasokan
produk-produk yang tepat, kegiatan profesional mereka juga mencakup konseling pasien
pada saat dispensing obat baik melalui resep maupun tanpa resep, informasi obat
kepada profesional kesehatan lain, pasien dan masyarakat umum, dan
berpartisipasi dalam program promosi kesehatan.
Menurut Anderson (2002), farmasi adalah profesi kesehatan yang
memiliki tanggung jawab untuk memastikan penggunaan obat-obatan dilakukan
secara aman, efektif, dan rasional. Menurut Jan Smits, presiden Asosiasi Apoteker
Belanda, perhatian utama apoteker adalah pasien, dengan penekanan pada
keselamatan penggunaan obat, kepatuhan pasien, penyampaian informasi terkait
obat, serta peningkatan ketepatan pada peresepan dan dispensing obat-obatan
komunitas mencakup berbagai pekerjaan mulai dari (a) memastikan ketepatan
terapi dan hasilnya; (b) dispensing sediaan farmasi dan perbekalan kesehatan
lainnya; (c) melakukan promosi kesehatan dan pencegahan penyakit; hingga (d)
memberikan kontribusi kepada manajemen sistem kesehatan (Wledenmayer, dkk.,
2006).
Menurut Kronus (1975), Ladinsky (1971), dan Quinney (1964), di farmasi
komunitas terdapat konflik antara etika dan bisnis bersamaan dengan hadirnya
farmasi komunitas itu sendiri. Konflik muncul karena farmasi komunitas adalah
bisnis sementara apoteker komunitas adalah profesional layanan kesehatan.
Apoteker komunitas berada dalam bisnis penjualan obat-obatan sekaligus
memiliki tanggung jawab legal dan etis bagi pasien mereka (Resnik, dkk., 2000).
Pada kenyataannya, disamping sebagai obyek profesi apoteker, sediaan farmasi
adalah komoditas dagang yang tunduk pada kaidah-kaidah ekonomi. Apoteker
dihadapkan pada konflik peran, apakah melakukan pekerjaan berciri profesional
yang memposisikan sediaan farmasi sebagai obyek profesi, atau melakukan
pekerjaan non-profesional yang memposisikan sediaan farmasi sebagai komoditas
dagang.
Cordina, dkk. (2008), berpendapat bahwa liberalisasi di Maldova salah
satu negara di Eropa Timur, telah mendorong farmasi lebih sebagai bagian dari
sektor komersial ketimbang sebagai bagian dari profesional dalam sistem
kesehatan. Sementara Anderson (1977), berpendapat bahwa banyak waktu
apoteker komunitas dihabiskan tanpa pekerjaan yang sesuai dengan kapasitasnya.
Tugas-tugas tidak produktif yang hanya membutuhkan tingkat keterampilan teknis
rendah, seharusnya dapat dikerjakan oleh tenaga teknis kefarmasian dengan biaya
Di Indonesia, apoteker komunitas hanya menyediakan sedikit waktu, yaitu
kurang dari 20 jam per minggu, baik untuk pekerjaan profesional maupun
pekerjaan non-profesional dalam kegiatan sehari-hari. Konsep praktik farmasi
komunitas tidak berkembang dengan baik, lebih tepat digambarkan sebagai toko
obat. Apotek pada keyataannya lebih banyak dikelola oleh tenaga non-profesional
yang tidak memiliki kualifikasi tertentu, dengan pengetahuan sangat terbatas
tentang obat (Hermansyah, dkk., 2012).
Ahaditomo (2002), ketua umum Pengurus Pusat ISFI periode tahun
2000-2005, menilai bahwa praktik farmasi komunitas di Indonesia sebagai praktik yang
tidak memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan dan kaidah-kaidah
profesi. Sementara Bahfen (2006), seorang staf ahli menteri kesehatan bidang
mediko legal, berpendapat bahwa sebelum tahun 2004 Indonesia mempunyai
masalah dalam pengaturan praktik farmasi, oleh karena berbagai standar yang
perlu diimplementasikan belum ada.
Indonesia dengan jumlah penduduk sekitar 249 juta merupakan negara
berpenduduk terbesar keempat dunia setelah Republik Rakyat Cina, India, dan
Amerika Serikat. Mengacu pada Indikator Indonesia Sehat 2010 (Menkes RI,
2003), Indonesia membutuhkan sekitar 25 ribu apoteker komunitas untuk
memberikan pelayanan farmasi. Saat ini jumlah apoteker yang terregistrasi di
Komite Farmasi Nasional telah mencapai lebih dari 48 ribu orang tersebar di 33
provinsi (Anonim, 2014). Jumlah ini akan terus bertambah seiring dengan
kelulusan apoteker setiap tahunnya dari 29 Perguruan Tinggi yang program
pendidikan S1 farmasinya terakreditasi A dan B (APTFI, 2014; BAN PT, 2014).
Dengan asumsi bahwa separoh dari apoteker terregistrasi adalah apoteker
profesional, jumlah tersebut dapat dikatakan sudah cukup. Masalahnya menjadi
lain ketika fakta mengatakan bahwa penyebaran apoteker tidak merata dan
pelayanan farmasi tidak dilakukan secara profesional. Penyebaran apoteker tidak
merata disebabkan oleh adanya kecenderungan apoteker menumpuk di kawasan
perkotaan, yang mengakibatkan kekurangan apoteker di kawasan kabupaten.
Sementara pelayanan farmasi yang tidak dilakukan secara profesional pada
dasarnya tidak lagi menuntut pemenuhan jumlah apoteker sesuai Indikator
Indonesia Sehat 2010.
Profesi farmasi diakui penting sebagai penyedia layanan kesehatan di
banyak negara maju, akan tetapi di kebanyakan negara berkembang profesi
farmasi masih kurang dimanfaatkan (Azhar, dkk., 2009). Pada tahun 1997,
Fédération Internationale de Pharmaceutiques (FIP) menerbitkan dokumen
standar kualitas pelayanan farmasi sebagai pedoman cara pelayanan farmasi yang
baik (Good Pharmacy Practice), dimaksudkan untuk meningkatkan kualitas
praktik farmasi di seluruh negara (FIP, 1997). Selanjutnya pada tahun 1998, FIP
menerbitkan dokumen cara pelayanan farmasi yang baik khusus untuk negara
sedang berkembang (Good Pharmacy Practice in Developing Countries) (FIP,
1998a).
Indonesia melalui kerja sama Direktorat Jenderal Pelayanan Kefarmasian
dan Alat Kesehatan (Ditjen Yanfar dan Alkes), Departemen Kesehatan RI dengan
organisasi profesi Ikatan Sarjana Farmasi Indonesia (ISFI) merespon kedua
dokumen FIP di atas dengan menyusun Standar Pelayanan Kefarmasian di
Apotek, antara lain bertujuan menyediakan pedoman praktik bagi apoteker dalam
menjalankan profesi, dan untuk melindungi masyarakat dari pelayanan
Kefarmasian di Apotek meliputi Pengelolaan Sumber Daya, Pelayanan, dan
Evaluasi Mutu Pelayanan.
Permasalahan praktik farmasi komunitas di Indonesia ternyata tidak dapat
terselesaikan hanya dengan diterbitkannya berbagai peraturan. Penelitian tentang
profil pelayanan kefarmasian di apotek setelah 5 tahun Standar Pelayanan
Kefarmasian di Apotek ditetapkan, menyimpulkan bahwa pelayanan kefarmasian
di apotek masih dilaksanakan sebagaimana tahun-tahun sebelumnya. Obat keras
tetap saja dikelola sebagai komoditas ekonomi yang seolah tanpa risiko pada
penggunanya, dijual tanpa resep dokter dan dilakukan oleh siapa saja (Wiryanto,
2009).
Hasil penelitian terhadap pelayanan permintaan obat-obat keras tanpa
resep dokter di 25 apotek di kota Medan menunjukkan, bahwa semua apotek
(100%) melayani permintaan obat antibiotika, 6 apotek (24%) melayani
permintaan obat psikotropika, dan semua apotek (100%) melayani permintaan
obat-obat untuk penyakit degeneratif. Dari segi siapa yang melayani permintaan
obat-obat keras tanpa resep tersebut, 5 (8,9%) dilayani oleh apoteker, 22 (39,3%)
dilayani oleh asisten apoteker, dan 29 (51,8%) dilayani oleh pegawai biasa
(Elyarni, 2009). Sementara penelitian tentang kehadiran apoteker di 68 apotek di
kota Medan menunjukkan, bahwa 52,9% tidak hadir setiap harinya, 26,5% hadir
setiap hari pada jam tertentu, dan 20,6% hadir pada setiap jam buka apotek
(Ginting, 2009). Penelitian lain yang dilakukan beberapa tahun kemudian tentang
kehadiran apoteker di 52 apotek di kota Medan menunjukkan, bahwa 40,4% hadir
sekali sebulan, 15,4% hadir sekali seminggu, 13,5% hadir 2 hingga 4 kali
seminggu, 21,1% hadir setiap hari pada jam tertentu, dan 9,6% hadir pada setiap
Didorong oleh kebutuhan mendesak akan sebuah peraturan pelaksanaan,
terutama menyangkut syarat keahlian dan kewenangan bagi pelaksanaan
pekerjaan kefarmasian, pada tahun 2009 pemerintah RI menetapkan Peraturan
Pemerintah (PP) No. 51 tentang Pekerjaan Kefarmasian (Presiden RI, 2009). Pada
tahun yang sama pemerintah RI menetapkan Undang-undang (UU) No. 36 tentang
Kesehatan menggantikan UU No. 23 tahun 1992 (Pemerintah RI, 2009), dan ISFI
menetapkan Kode Etik Apoteker Indonesia (ISFI, 2009a). Dengan ditetapkannya PP No. 51 tahun 2009 ini, maka telah tersedia perangkat hukum untuk kembali
dilakukan langkah-langkah revitalisasi praktik farmasi komunitas di Indonesia.
Langkah-langkah revitalisasi dimaksud adalah implementasi berbagai ketentuan
baru dalam PP ini ke dalam praktik secara sistematis, terukur, dan bertahap, meliputi (a) mewujudkan definisi apotek sebagai “sarana pelayanan kefarmasian
tempat dilakukan praktik kefarmasian oleh apoteker”; (b) melakukan sertifikasi
kompetensi apoteker; (c) melakukan regestrasi apoteker sebagai tenaga kesehatan;
dan (d) mensyaratkan izin praktik bagi apoteker yang akan melakukan praktik.
Ketidakberhasilan implementasi berbagai peraturan penting seperti PP
No. 25 tahun 1980 dan Kepmenkes No. 1027 tahun 2004 mengindikasikan bahwa
implementasi peraturan merupakan hal yang tidak mudah dilakukan di Indonesia.
Dan ketidakberhasilan implementasi PP No. 51 tahun 2009 yang saat ini berlaku,
merupakan ancaman bagi hilangnya peran vital farmasi komunitas, karena
penanganan pekerjaan kefarmasian diserahkan kepada orang lain yang tidak
mempunyai kompetensi dan kewenangan untuk itu. Konsekuensi selanjutnya
adalah gagalnya penyelenggaraan pelayanan kefarmasian yang aman, bermutu,
dan terjangkau, yang akan membawa implikasi kerugian bagi masyarakat
Dibutuhkan strategi pembinaan dan pengawasan secara terencana,
sistematis, terukur, dan bertahap menyangkut berbagai aspek kehidupan bagi
pemangku kepentingan, baik komunitas profesi apoteker itu sendiri maupun
profesi-profesi kesehatan lain, pemilik modal apotek, serta masyarakat pengguna
obat.
Peneliti tertarik mengemas strategi tersebut di atas sebagai sebuah model
konseptual revitalisasi praktik farmasi komunitas di Indonesia. Model konseptual
dimaksud adalah sebuah konsep bertahap dan berkelanjutan, yang merupakan
instrumen pembinaan dan pengawasan untuk memastikan proses revitalisasi
praktik farmasi komunitas berjalan dengan baik. Revitalisasi praktik farmasi
komunitas adalah serangkaian proses menjadikan vital kembali tugas dan fungsi
praktik farmasi komunitas, mengacu pada peraturan perundang-undangan dan
kaidah-kaidah profesi yang berlaku.
2. Kerangka Pikir Penelitian
Pada pasal 28H ayat 1 Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 dinyatakan bahwa “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan
batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan”. Selanjutnya pada pasal 4
Undang-undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan ditegaskan kembali bahwa “Setiap orang berhak atas kesehatan”. Dan pada pasal 5 ayat 2 bahwa
“Setiap orang mempunyai hak dalam memperoleh pelayanan kesehatan yang
aman, bermutu, dan terjangkau”.
Berkaitan dengan pengamanan dan penggunaan sediaan farmasi dan alat
Kesehatan dikatakan bahwa “Setiap orang yang tidak memiliki keahlian dan
kewenangan dilarang mengadakan, menyimpan, mengolah, mempromosikan, dan mengedarkan obat dan bahan yang berkhasiat obat”. Dan pada pasal 108
dikatakan bahwa “Praktik kefarmasian yang meliputi pembuatan termasuk
pengendalian mutu sediaan farmasi, pengamanan, pengadaan, penyimpanan dan
pendistribusian obat, pelayanan obat atas resep dokter, pelayanan informasi obat
serta pengembangan obat, bahan obat dan obat tradisional harus dilakukan oleh
tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan”.
Untuk menjalankan pasal-pasal dalam undang-undang tersebut di atas
sebagaimana mestinya, terutama yang menyangkut syarat keahlian dan
kewenangan bagi pelaksanaan praktik kefarmasian, pemerintah RI telah
menetapkan PP No. 51 tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian. Pada pasal 5
dinyatakan bahwa pelaksanaan pekerjaan kefarmasian meliputi pengadaan,
produksi, distribusi atau penyaluran, dan pelayanan sediaan farmasi. Salah satu
fasilitas pelayanan sediaan farmasi adalah apotek, yang didefinisikan sebagai
sarana pelayanan kefarmasian tempat dilakukan praktik kefarmasian oleh apoteker
(Presiden RI, 2009).
Berbagai perangkat hukum dan profesi telah tersedia, namun berbagai
sikap tidak profesional dari mayoritas apoteker membuat situasi dan kondisi
penyelenggaraan pelayanan kefarmasian menjadi tidak kondusif. Realitanya
bahwa praktik farmasi komunitas di Indonesia saat ini, dideskripsikan oleh para
pemerhati sebagai praktik yang tidak berpedoman pada perangkat hukum dan
komunitas di Indonesia kembali berpedoman pada perangkat hukum dan profesi,
agar menghasilkan pelayanan kefarmasian yang aman, bermutu, dan terjangkau.
Sesuai dengan pasal 24 ayat 1 UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan
bahwa tenaga kesehatan dalam menyelenggarakan pelayanan kesehatan harus
memenuhi ketentuan kode etik, standar profesi, hak pengguna pelayanan
kesehatan, standar pelayanan, dan standar prosedur operasional. Dalam penelitian
ini yang dimaksud dengan standar praktik farmasi komunitas adalah standar untuk
pemenuhan berbagai ketentuan penyelenggaraan pelayanan kesehatan
sebagaimana dimaksud pada pasal 24 ayat 1 UU No. 36 Tahun 2009 tentang
Kesehatan di atas.
Standar praktik farmasi komunitas disusun dari elemen-elemen standar
untuk memastikan terlaksananya berbagai ketentuan dalam perangkat hukum dan
profesi, meliputi peran profesional apoteker, manajemen, dan sarana mengacu
pada peraturan perundang-undangan dan kaidah-kaidah profesi yang berlaku,
yaitu UU No. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan (Pemerintah RI, 2009), PP No. 51
tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian (Presiden RI, 2009), Kepmenkes RI
No. 1027 tahun 2004 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek (Menkes
RI, 2004), Kode Etik Apoteker Indonesia (ISFI, 2009a), Good Pharmacy Practice
(WHO, 1996; FIP, 1997; FIP, 1998), serta mengacu pada hasil penelitian
Chisholm, dkk., (2006), dan penelitian Cordina, dkk., (2008). Secara skematis
proses penyusunan draf standar praktik farmasi komunitas dan perancangan
instrumen penilaian tingkat pemenuhannya ditunjukkan pada Gambar 1.1, dan
kerangka pikir penelitian model konseptual revitalisasi praktik farmasi komunitas
Untuk mempermudah dan menyederhanakan, proses penentuan kriteria
praktik dirancang menjadi sebuah model. Model terdiri dari instrumen penilaian
tingkat pemenuhan standar dan instrumen penentuan kriteria praktik. Instrumen
penilaian tingkat pemenuhan standar berupa kuesioner terdiri dari 2 atau 3 pilihan
deskripsi elemen-elemen standar dalam skala tiga poin yaitu 0, 2, dan 4.
Instrumen penentuan kriteria praktik merupakan instrumen pengolah data hasil
pengisian instrumen penilaian tingkat pemenuhan standar, sehingga secara
otomatis menghasilkan keluaran berupa perolehan poin kumulatif, kriteria
akreditasi, kriteria praktik, kriteria aspek aktivitas standar, diagram jaring
laba-laba (spider web), dan tindak lanjut revitalisasi.
Melalui model penentuan kriteria praktik, penyelenggaraan praktik farmasi
komunitas akan terbagi menjadi beberapa kriteria praktik yang sekaligus dapat
digunakan sebagai dasar penentuan kriteria akreditasi apabila diperlukan. Dari
segi pembinaan dan pengawasan, praktik farmasi komunitas dengan kriteria
bawah standar akan mendapatkan pembinaan agar dapat ditingkatkan hingga
mencapai kriteria di atasnya, atau kalau tidak memungkinkan dapat dikenakan
sangsi penutupan sementara sampai dengan pencabutan izin/penutupan tetap.
Standar praktik farmasi komunitas dan model penentuan kriteria praktik
akan menjadi bagian dari rancangan model revitalisasi praktik farmasi komunitas,
menggunakan model Nolan (Langley, dkk., 1996) meliputi Plan, Do, Check,
Action (PDCA), dan Continuos Quality Improvement sesuai tahapan aspek
permasalahan yang menjadi sasaran revitalisasi. Secara skematis rancangan model
1.3 Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang dan kerangka pikir penelitian di atas, maka
rumusan masalah penelitian ini adalah:
a. Apakah standar praktik farmasi komunitas yang disusun dapat diterima oleh
para apoteker komunitas di Indonesia sebagai pedoman untuk menjalankan
praktik farmasi komunitas, sekaligus sebagai instrumen implementasi berbagai
ketentuan peraturan perundang-undangan dan kaidah-kaidah profesi.
b. Apakah model penentuan kriteria praktik yang dirancang dapat digunakan
sebagai instrumen untuk menentukan kriteria praktik farmasi komunitas di
Indonesia.
c. Apakah model konseptual revitalisasi yang dirancang dapat digunakan sebagai
instrumen pembinaan dan pengawasan secara terencana, sistematis, terukur,
dan bertahap, menuju terselenggaranya praktik farmasi komunitas sesuai
standar di Indonesia.
1.4 Hipotesis
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka hipotesis dalam penelitian ini
adalah:
a. Standar praktik farmasi komunitas yang disusun dapat diterima oleh apoteker
komunitas di Indonesia sebagai pedoman dalam menjalankan praktik profesi,
sekaligus sebagai instrumen implementasi berbagai ketentuan peraturan
perundang-undangan dan kaidah-kaidah profesi.
b. Model penentuan kriteria praktik yang dirancang dapat digunakan sebagai
instrumen untuk menentukan kriteria praktik farmasi komunitas di Indonesia.
c. Model konseptual revitalisasi yang dirancang dapat digunakan sebagai
instrumen pembinaan dan pengawasan secara terencana, sistematis, terukur,
dan bertahap, menuju terselenggaranya praktik farmasi komunitas sesuai
standar di Indonesia.
1.5 Tujuan Penelitian
Berdasarkan latar belakang dan kerangka pikir penelitian, tujuan penelitian
ini adalah:
a. Menghasilkan standar praktik farmasi komunitas yang dapat diterima oleh
apoteker komunitas sebagai pedoman dalam menjalankan praktik profesi,
sekaligus sebagai instrumen implementasi berbagai ketentuan peraturan
b. Menghasilkan sebuah model penentuan kriteria praktik yang dapat digunakan
sebagai instrumen untuk menentukan kriteria praktik farmasi komunitas di
Indonesia.
c. Menghasilkan sebuah model konseptual revitalisasi yang dapat digunakan
sebagai instrumen pembinaan dan pengawasan secara terencana, sistematis,
terukur, dan bertahap, menuju terselenggaranya praktik farmasi komunitas
sesuai standar di Indonesia.
1.6 Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian ini adalah tersedianya sebuah model konseptual
revitalisasi yang dapat ditawarkan kepada institusi terkait sebagai instrumen
pembinaan dan pengawasan, untuk: (a) mewujudkan penyelenggaraan praktik
farmasi komunitas sesuai standar, yang dapat menghasilkan pelayanan
kefarmasian bermutu, aman, dan terjangkau, dan (b) mendorong dan memberikan
kemungkinan bagi apoteker penanggung jawab apotek untuk dapat menjalankan
tugas dengan sebaik-baiknya sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan dan
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Farmasi Komunitas 2.1.1 Definisi.
Farmasi Komunitas adalah area praktik farmasi di mana obat dan produk
kesehatan lainnya dijual atau disediakan langsung kepada masyarakat secara
eceran, baik melalui resep dokter maupun tanpa resep dokter (FIP, 1998). Di
Indonesia dikenal dengan nama Apotek, merupakan tempat menjual dan
kadang-kadang membuat atau meramu obat. Apotek juga merupakan tempat apoteker
melakukan praktik profesi farmasi sekaligus menjadi peritel (Anonim, 2011a). Sejalan dengan perkembangan bidang kefarmasian, definisi apotek mengalami
beberapa kali perubahan. Menurut Peraturan Pemerintah (PP) No. 26 tahun 1965
yang dimaksud dengan apotek adalah tempat tertentu, di mana dilakukan
usaha-usaha dalam bidang farmasi dan pekerjaan kefarmasian, sebagaimana
dimaksudkan dalam pasal 2 huruf e dan pasal 3 huruf b Undang-undang No. 7
tahun 1963 tentang Farmasi (Presiden RI, 1965). Selanjutnya PP No. 26 tahun
1965 diubah melalui PP No. 25 tahun 1980 dan definisi apotek berubah menjadi
suatu tempat tertentu, tempat dilakukan pekerjaan kefarmasian dan penyaluran
obat kepada masyarakat (Presiden RI, 1980). Terakhir dengan diterbitkannya PP
No. 51 tahun 2009 definisi apotek berubah menjadi sarana pelayanan kefarmasian
2.1.2 Praktik Farmasi Komunitas
Praktik Farmasi Komunitas merupakan salah satu wujud pengabdian
profesi apoteker. Untuk penjaminan mutu penyelenggaraan praktik farmasi
komunitas, WHO dan FIP menerbitkan dokumen Cara Praktik Farmasi yang Baik
di Farmasi Komunitas dan Farmasi Rumah Sakit atau Good Pharmacy Practice
(GPP) In Community and Hospital Pharmacy Settings (WHO, 1996) dan Standar
Kualitas Pelayanan Kefarmasian atau Standard for Quality of Pharmacy Services
(FIP, 1997).
Dengan maksud yang sama, Indonesia menetapkan Standar Pelayanan
Kefarmasian di Apotik (Menkes RI, 2004) sebagai pedoman bagi para apoteker
dalam menjalankan profesi, dengan tujuan melindungi masyarakat dari pelayanan
yang tidak profesional. Penetapan standar pelayanan ini merupakan konsekuensi
perubahan fundamental dari pelayanan berorientasi produk ke pelayanan
berorientasi pasien yang mengacu pada filosofi asuhan kefarmasian
(pharmaceutical care), yaitu pelayanan komprehensif di mana apoteker
mengambil tanggung jawab mengoptimalkan terapi obat, untuk mencapai hasil
yang lebih baik dengan tujuan meningkatkan kualitas hidup pasien (Cipolle, dkk.,
1998).
Asuhan kefarmasian didefinisikan pertamakali oleh Hepler dan Strand
(1990), melibatkan apoteker untuk memikul tanggung jawab atas hasil-hasil terapi
obat, di samping distribusi produk farmasi yang aman, akurat, dan efisien. Sebuah
komponen penting akibat pergeseran paradigma ini adalah peran profesional yang
terbarukan bagi para apoteker dalam proses pelayanan kepada pasien.
Paul Pierpaoli (1992), seorang pendidik dan praktisi farmasi menyatakan bahwa
sejati, menjadi advokat pasien yang bertanggung jawab penuh, memiliki
komitmen untuk mencapai hasil terapi yang optimal.
Sebagaimana layanan kesehatan modern yang mengharuskan apoteker
memiliki pengetahuan dan keterampilan klinis tingkat lanjut, asuhan kefarmasian
membutuhkan pengembangan lebih lanjut karakteristik-karakteristik yang
membuat apoteker menjadi sebuah profesi, bukan sekadar sebuah pekerjaan
(Benner dan Beardsley, 2000). Ibnu Gholib Ganjar (2004), ketua Asosiasi
Pendidikan Tinggi Farmasi Indonesia (APTFI), berpendapat bahwa asuhan
kefarmasian adalah pola pelayanan farmasi yang berorientasi pada pasien,
merupakan ekspansi kebutuhan yang meningkat dan tuntutan pelayanan farmasi
yang lebih baik demi kepentingan dan kesejahteraan pasien.
Dengan ditetapankannya Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek,
apoteker dituntut untuk senantiasa meningkatkan kompetensi dan komitmen.
Kompetensi meliputi pengetahuan, keterampilan, dan perilaku untuk
melaksanakan interaksi langsung dengan pasien, melaksanakan pemberian
informasi, monitoring penggunaan obat agar tujuan akhirnya sesuai harapan, dan
mendokumentasikannya dengan baik. Apoteker harus memahami dan menyadari
kemungkinan terjadinya kesalahan pengobatan (medication error) dalam proses
pelayanan, dan dituntut mampu berkomunikasi dengan tenaga kesehatan lain
dalam menetapkan terapi untuk mendukung penggunaan obat yang rasional. Maka
komitmen apoteker merupakan elemen penting dalam pelayanan kefarmasian agar
senantiasa menampilkan kinerja terbaik bagi kemanfaatan pasien yang dilayani
(FIP, 1997). Masyarakat dan profesi lain akan menilai bagaimana apoteker
mewujudkan komitmen ini ke dalam praktik. Lebih lanjut untuk mewujudkan
a. Perhatian utama apoteker adalah kebaikan/kesejahteraan pasien.
b. Inti kegiatan adalah penyediaan obat dan produk kesehatan lainnya dengan
kualitas terjamin, pemberian informasi dan saran yang tepat bagi pasien, dan
melakukan pemantauan dampak penggunaan obat.
c. Kontribusi peran apoteker adalah promosi peresepan yang rasional dan
ekonomis, serta penggunaan obat secara tepat.
d. Tujuan setiap elemen pelayanan kefarmasian harus relevan bagi setiap pasien,
terdefinisikan secara jelas dan dikomunikasikan secara efektif kepada semua
pihak yang terlibat.
Ada beberapa kondisi yang dibutuhkan untuk memenuhi keempat syarat tersebut:
a. Profesionalisme harus menjadi filosofi utama yang mendasari praktik,
meskipun diakui bahwa faktor ekonomi juga penting.
b. Apoteker harus mempunyai peluang memberikan masukan untuk setiap
keputusan penggunaan obat-obatan, dan harus ada sistem yang memungkinkan
apoteker melaporkan kejadian buruk penggunaan obat, kesalahan pengobatan,
cacat dalam hal kualitas produk, atau diketemukannya produk palsu.
c. Hubungan berkelanjutan dengan profesional kesehatan lain khususnya dokter,
harus dipandang sebagai suatu kemitraan yang didasarkan atas rasa saling
percaya dan keyakinan dalam segala hal terkait farmakoterapi.
d. Hubungan antar apoteker harus dijalin sebagai hubungan kesejawatan untuk
meningkatkan pelayanan kefarmasian, bukan sebagai pesaing.
e. Praktisi apoteker dan manajer apotek harus berbagi tanggung jawab untuk
mendefinisikan, mengevaluasi, dan meningkatkan kualitas pelayanan.
f. Apoteker harus menyadari pentingnya informasi medis dan pengobatan setiap
g. Apoteker membutuhkan informasi yang independen, komprehensif, obyektif
dan terkini tentang terapi dan obat-obatan yang digunakan.
h. Apoteker harus menerima tanggungjawab pribadi dalam setiap praktik, untuk
menjaga dan menilai kompetensi mereka sepanjang kehidupan profesionalnya.
i. Program pendidikan untuk memasuki dunia profesi harus sesuai, baik untuk
praktik kefarmasian masa kini maupun untuk kemungkinan perubahan di masa
mendatang.
j. Standar pelayanan kefarmasian yang telah ditetapkan harus dipatuhi oleh para apoteker praktisi.
2.1.3 Apotek Sebagai Bisnis
Apoteker yang memiliki apotek sendiri atau manajer bisnis farmasi adalah
pelaku bisnis. Dengan demikian, mereka memiliki dua tujuan: (a) untuk pelayanan
kesehatan pasien, dan (b) menghasilkan keuntungan yang cukup untuk bertahan
dalam bisnis. Hal ini sama pentingnya bagi apoteker maupun pekerja farmasi
lainnya di apotek, harus memahami tujuan bisnis dan melakukan semua yang
mereka bisa untuk membantu membuat bisnis sukses (Kelly, 2002). Untuk
menyesuaikan pengaruh sosial dan pasar, apotek mempunyai kecenderungan
menciptakan berbagai model yang bersifat dinamis. Apotek telah lama dianggap
menjadi salah satu pilar masyarakat, mereka menyediakan pelayanan dengan jam
buka yang panjang, dengan apoteker selalu siap untuk mengatasi berbagai
masalah kesehatan masyarakat. Apotek dengan kepemilikan perseorangan
cenderung mengkhususkan diri dalam pelayanan kesehatan rumah, peracikan, dan
penyediaan peralatan medis. Selain itu, telah ada inisiatif untuk mengembangkan
dalam model praktik komunitas. Di samping apotek dengan kepemilikan
perseorangan, saat ini berkembang beberapa model apotek, seperti Apotek
Waralaba (Franchise) yang diperuntukkan bagi siapa saja yang mempunyai modal
tertentu untuk bergabung dalam manajemen waralaba tertentu. Selanjutnya
Apotek Jaringan dengan sepuluh gerai ritel atau lebih yang beroperasi di bawah
satu bendera perusahaan, dan Apotek Supermarket merupakan model kombinasi
farmasi dengan supermarket. Penawaran utama dari Apotek Supermarket adalah
kemudahan one-stop shopping bagi mayoritas konsumen yang membutuhkan
(Pisano, 2003).
2.1.4 Perkembangan Perizinan Apotek
Peraturan perundang-undangan yang pertama kali diterbitkan berkaitan
dengan apotek di Indonesia adalah UU No. 3 tentang Pembukaan Apotek pada
tahun 1953 (Pemerintah RI, 1953a). Bila sebelumnya apotek dibuka di mana saja tanpa memerlukan izin dari pemerintah, sejak saat itu pemerintah dapat menutup
kota-kota tertentu untuk pendirian apotek baru apabila jumlahnya dianggap telah
mencukupi. Selanjutnya pada tahun yang sama terbit UU No. 4 tentang Apotek
Darurat (Pemerintah RI, 1953b) yang membenarkan seorang asisten apoteker dengan masa pengalaman tertentu memimpin sebuah apotek. Hal ini sebagai
pengatasan masalah kurangnya tenaga apoteker untuk daerah-daerah yang belum
ada atau yang belum mencukupi jumlah apoteknya.
Sebagai pelaksanaan pasal 4 UU No.7 tahun 1963 tentang Farmasi, pada
tahun 1965 diterbitkan PP No. 26 tentang Apotek (Presiden RI, 1965) yang
membatalkan semua PP sebelumnya tentang Apotek. Melalui PP No. 26 ini mulai
sebagai mata pencaharian, akan tetapi lebih sebagai sarana distribusi perbekalan
farmasi yang harus mendistribusikan obat kepada masyarakat kapan dibutuhkan
secara meluas dan merata.
Penampilan apotek selama kurun waktu 15 tahun di bawah PP No. 26
tahun 1965 pada kenyataannya lebih memberi peluang sebagai usaha dagang, dan
dinilai telah menyimpang dari tugas dan fungsi utamanya sebagai sarana
pelayanan kesehatan kepada masyarakat. Aspek pelayanan kesehatan yang
dilakukan oleh apotek menjadi semakin kecil, apotek kembali tampil dengan
fungsi utama sebagai penjual obat kepada masyarakat, hubungan apotek dan
pasien cenderung bersifat relasi antara penjual dan pembeli. Eksistensi dan
peranan apoteker sebagai tenaga ahli profesional di apotek semakin kurang jelas,
sehingga apoteker tidak dapat mengembangkan tanggung jawab keahliannya
untuk kepentingan masyarakat luas. Maka pada tahun 1980 terbit PP No. 25
tentang Perubahan PP No. 26 Tahun 1965 tentang Apotek (Presiden RI, 1980),
sebagai upaya profesionalisasi pelayanan obat kepada masyarakat dengan sasaran
utama peningkatan mutu pelayanan kesehatan melalui apotek. Perubahan
mendasar terjadi pada kedudukan dan cara pengelolaan apotek dari bentuk usaha
dagang menjadi tempat pengabdian profesi, yang lebih sesuai dengan fungsi
apotek, yaitu sebagai tempat dilakukannya pekerjaan kefarmasian,
pendistribusian, serta informasi perbekalan farmasi yang dibutuhkan masyarakat
oleh tenaga kefarmasian. Langkah nyata yang membekali seorang apoteker untuk
melaksanakan fungsi apotek tersebut adalah pengalihan izin apotek serta
pengelolaannya secara keseluruhan dari badan usaha kepada apoteker.
Pada tahun 1992 terbit UU No. 23 tentang Kesehatan (Pemerintah RI,
oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu. Pasal
ini membawa konsekuensi diterbitkannya PP No. 51 tahun 2009 menggantikan PP
No. 25 tahun 1980 tentang Perubahan PP No. 26 Tahun 1965 tentang Apotek dan
PP No. 41 tahun 1990 tentang Masa Bakti dan Izin Kerja Apoteker. Melalui PP
No. 51 tahun 2009pekerjaan kefarmasian diatur dengan tujuan:
a. Memberikan perlindungan kepada pasien dan masyarakat dalam memperoleh
dan/atau menetapkan sediaan farmasi dan jasa kefarmasian;
b. Mempertahankan dan meningkatkan mutu penyelenggaraan pekerjaan
kefarmasian sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi
serta peraturan perundangan-undangan; dan
c. Memberikan kepastian hukum bagi pasien, masyarakat dan tenaga
kefarmasian.
2.2 Profesi 2.2.1 Definisi
Profesi adalah pekerjaan yang membutuhkan pelatihan dan penguasaan
terhadap suatu pengetahuan khusus. Sebuah profesi diidentifikasi melalui adanya
kemauan individual praktisinya untuk mematuhi etika dan standar profesional
melebihi persyaratan legal minimal (FIP, 2004). Suatu profesi biasanya memiliki
asosiasi profesi, kode etik, serta proses sertifikasi dan lisensi yang khusus untuk
bidang profesi tersebut. Seseorang yang memiliki suatu profesi tertentu disebut
profesional. Profesi merupakan pekerjaan, namun tidak semua pekerjaan adalah
profesi (Anonim, 2011b). Dalam literatur lain dikatakan bahwa profesi adalah sekelompok individu yang mematuhi standar etika dan mandiri, diterima oleh
khusus yang diperoleh melalui pembelajaran berasal dari penelitian, pendidikan,
dan pelatihan pada tingkat tinggi, yang digunakan bagi kemaslahatan orang lain
(Kelly, 2002).
2.2.2 Pendekatan Sosiologis Profesionalisasi
Apakah farmasi dianggap sebuah profesi perlu dilakukan analisis secara
mendalam. Berbagai literatur secara luas memperdebatkan sosiologi profesi, apa
sebenarnya profesi itu, atribut apa dari suatu pekerjaan yang umumnya diterima
sebagai pembeda sebuah profesi. Pertanyaan seperti mengapa beberapa pekerjaan
naik ke status profesi sedangkan yang lain tidak adalah teka-teki sosiologis yang
membutuhkan penjelasan. Sejak Parsons (1939), menerbitkan makalahnya
berjudul Profesi dan Struktur Sosial, banyak teori telah dipostulasikan. Sampai
tahun 1970-an, kebanyakan penulis mencoba untuk menjelaskan profesi sebagai
posisi unik dalam masyarakat dengan cara memberikan definisi. Mereka mencoba
mengidentifikasi atau mendefinisikan karakteristik dari suatu pekerjaan yang
khusus atau khas dengan status profesional. Ini mengakibatkan berkembangnya
atribut profesi, yang di antaranya dikemukakan oleh Goode (1960) yaitu 10 atribut
ideal sebagai ciri yang paling sering dikutip sebagai berikut:
a. Profesi menentukan sendiri standar pendidikan dan pelatihan.
b. Mahasiswa profesional mengalami proses pelatihan ekstensif dan sosialisasi.
c. Praktik profesional diakui secara legal dalam bentuk lisensi.
d. Pemberian lisensi dan proses masuk sebagai profesional diatur oleh anggota
profesi.
f. Profesi memiliki pendapatan, kekuatan, dan status yang tinggi, dan dapat
menuntut pendatang baru berkemampuan lebih tinggi.
g. Profesional relatif bebas dari evaluasi secara awam.
h. Norma-norma praktik ditegakkan oleh profesi seringkali lebih ketat daripada
kontrol hukum.
i. Anggota profesi memiliki rasa identifikasi dan afiliasi yang kuat dengan
kelompok kerja mereka.
j. Sebuah profesi menjadi pekerjaan seumur hidup.
Menurut Benner dan Beardsley (2000), profesi adalah sebuah pekerjaan
yang memiliki 10 karakteristik sebagai berikut:
a. Pelatihan terspesialisasi yang lama dalam sebuah badan ilmu pengetahuan.
b. Berorientasi pelayanan.
c. Sebuah ideologi yang didasarkan atas keyakinan orisinil yang dianut oleh para
anggotanya.
d. Sebuah etika yang mengikat para praktisinya.
e. Sebuah badan ilmu pengetahuan yang unik bagi para anggotanya.
f. Seperangkat kepiawaian yang membentuk teknik profesi.
g. Sebuah serikat dari mereka yang berhak mempraktikkan profesi tersebut.
h. Kewenangan yang diberikan oleh masyarakat dalam bentuk lisensi dan
sertifikasi.
i. Pengaturan yang diakui ketika profesi dipraktikkan.
j. Berupa teori tentang manfaat sosial yang bersumber dari ideologi.
Seorang profesional adalah seorang anggota profesi yang menampilkan 10
karakteristik sebagai berikut (Benner and Beardsley, 2000; Chisholm, dkk., 2006;