• Tidak ada hasil yang ditemukan

Insidensi Buta Warna Siswa Kelas X Sma Santo Thomas 1 Medan Tahun 2014

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Insidensi Buta Warna Siswa Kelas X Sma Santo Thomas 1 Medan Tahun 2014"

Copied!
63
0
0

Teks penuh

(1)

INSIDENSI BUTA WARNA SISWA KELAS X SMA SANTO THOMAS 1 MEDAN TAHUN 2014

Oleh :

MINARNI ARITONANG 110100178

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(2)

INSIDENSI BUTA WARNA SISWA KELAS X SMA SANTO THOMAS 1 MEDAN TAHUN 2014

KARYA TULIS ILMIAH

Oleh :

MINARNI ARITONANG 110100178

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(3)
(4)

ABSTRAK

Tujuan : Untuk mengetahui banyaknya penderita buta warna pada siswa kelas X SMA Santo Thomas1Medan pada tahun 2014.

Metodologi : Metode penelitian ini adalah penelitian deskriptif dengan desain Cross-sectional. Sampel penelitian ini adalah siswa SMA Santo Thomas 1 Medan. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan

September 2014. Metode pengambilan sampel dengan cara total sampling. Pengambilan data tentang buta warna dilakukan dengan pengukuran langsung menggunakan buku Ishihara pada seluruh siswa kelas X di SMA Santo Thomas 1 Medan. Analisis data dilakukan dengan program SPSS (Statistic Package for Social Science).

Hasil Insidensi defek penglihatan warna yang dijumpai pada siswa kelas X Santo Thomas 1 Medan adalah sebanyak 9 orang (2%) dari total keseluruhan 464 responden.

Kesimpulan : Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa buta warna umumnya terjadi pada laki-laki.

(5)

ABSTRACT

Objective : This research is done to determine the number of people with color blindness in class X SMA Santo Thomas 1 Medan in 2014. Methodology : This study used a descriptive research method with

cross-sectional study design. The samples were students of SMA Santo Thomas 1 Medan. The research was done in September 2014. This study used total sampling method. The data about color blindness was collected by ishihara book, which is the instrument for color blindness examination. The data was analized with SPSS (Statistics Package for Social Science). Results : The total incidence of color vision defects were found in class x

of St. Thomas 1 are 9 studets (2%) of the total 464 respondents. Conclusion : From these results of this study, it can be concluded that the

color blindness commonly occurs in men.

(6)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas berkat dan rahmatnya sehingga penulis dapat menyelesaikan karya tulis ilmiah ini yang merupakan salah satu tugas akhir dalam menyelesaikan pendidikan Sarjana Kedokteran di Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

Penulis selama melakukan penelitian dan penyusunan karya tulis ilmiah ini telah memperoleh dukungan secara moril maupun materiil dari berbagai pihak. Oleh karena itu, dalam kesempatan ini penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih yang setulusnya kepada:

1. Dr. Zaldi, Sp.M selaku Dosen Pembimbing yang telah memberikan waktu, tenaga, dan pikiran untuk dapat memberikan bimbingan, saran, motivasi serta semangat sehingga karya tulis ini dapat terselesaikan.

2. Dr. Dairion Gatot, Sp.PD selaku Dosen Penguji I yang telah memberikan saran dan nasehat-nasehat dalam penyempurnaan penulisan karya tulis ilmiah ini.

3. Dr. Putri C. Amelia, M.Ked(Ped), Sp.A selaku Dosen Penguji II yang juga telah memberikan saran dan nasehat-nasehat dalam penyempurnaan penulisan karya tulis ilmiah ini.

4. Kepada staf pengajar Departemen Kedokteran Komunitas Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara yang telah memberi pengajaran mengenai metodologi penelitian sehingga penulis memahami metode penyusunan karya tulis ilmiah ini.

5. Kepada orangtua penulis yang tercinta, Ayahanda Irjen.Pol.Drs. Robert Aritonang dan Ibunda Dra. Martha Pasaribu yang telah memberikan dukungan selama ini dalam bentuk moril maupun materil.

(7)

7. Rekan-rekan mahasiswa Fakultas Kedokteran angkatan 2011 yang telah memberikan inspirasi kepada penulis, Sabatini Manurung, Angela Purba, Eunike Imori, Leo Baik, Irnanda Nasution. Dan khususnya kepada Mikha Y. Sidbutar yang telah memberikan bantuan baik tenaga maupun waktu yang tidak ternilai terutama dalam proses survey dan pengambilan data. 8. Semua pihak yang telah memberikan bantuan secara langsung maupun

tidak langsung

Akhir kata, penulis menyadari bahwa penelitian ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, dengan segala kerendahan hati, penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun demi perbaikan penelitian ini. Semoga penelitian ini bermanfaat bagi kita semua, memberi informasi dan manfaat dalam pengembangan ilmu kedokteran.

Medan, Desember 2014 Penulis,

Minarni Aritonang (NIM.110100178)

(8)

DAFTAR ISI

Halaman

LEMBAR PENGESAHAN ... i

ABSTRAK ... ii

ABSTRACK ... iii

KATA PENGANTAR ... iv

DAFTAR ISI ... vi

DAFTAR TABEL ... viii

DAFTAR GAMBAR ... ix

DAFTAR LAMPIRAN ... x

BAB 1 PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 3

1.3 Tujuan Penelitian ... 3

1.3.1. Tujuan Umum ... 3

1.3.2. Tujuan Khusus ... 3

1.4 Manfaat Penelitian ... 4

1.4.1. Bagi Siswa ... 4

1.4.2. Bagi Peneliti ... 4

1.4.3. Bagi Institusi Pendidikan ... 4

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ... 5

2.1 Fisiologi Penglihatan ... 5

2.2 Buta Warna ... 10

2.2.1. Definisi ... 10

2.2.2. Etiopatogenesis ... 10

2.2.3. Klasifikasi Buta Warna ... 12

2.2.3.1. Monochromacy ... 12

2.2.3.2. Dichromacy ... 12

2.2.3.3. Anomalous Trichromacy ... 13

2.2.4. Diagnosis ... 15

2.2.5. Manajemen ... 19

BAB 3 KERANGKA KONSEP DAN DEFENISI OPERASIONAL . 21 3.1 Kerangka Konsep Penelitian ... 21

(9)

BAB 4 METODE PENELITIAN ... 23

4.1 Desain Penelitian ... 23

4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian ... 23

4.2.1. Lokasi Penelitian ... 23

4.2.2. Waktu Penelitian ... 23

4.3 Populasi dan Sampel ... 23

4.3.1 Populasi Penelitian ... 23

4.3.2 Sampel ... 23

4.3.3 Besar Sampel ... 23

4.4 Metode Pengumpulan Data ... 24

4.5 Metode Pengolahan Data dan Analisis Data ... 24

4.6 Cara Kerja dan Alur Penelitian ... 24

4.6.1 Cara Kerja ... 24

4.6.2 Alur Penelitian ... 25

BAB 5 HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 26

5.1 Hasil Penelitian ... 26

5.1.1. Lokasi Penelitian ... 26

5.1.2. Deskripsi Karakteristik Responden ... 26

5.2 Hasil Analisis Data ... 27

5.2.1. Distribusi Defek Penglihatan Warna ... 27

5.2.2. Distribusi Defek Penglihatan Warna Menurut Jenis Kelamin ... 28

5.2.3. Distribusi Defek Penglihatan Warna Menurut Usia ... 29

5.3 Pembahasan ... 29

5.4 Keterbatasan Penelitian ... 31

BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN ... 32

6.1 Kesimpulan ... 32

6.2 Saran ... 32

(10)

DAFTAR TABEL

Halaman Tabel 3.1. Penjelasan Tiap Plate ... 22 Tabel 5.1. Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Umur ... 26 Tabel 5.2. Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan

Jenis Kelamin ... 27 Tabel 5.3. Distribusi Frekuensi Responden Buta Warna ... 27 Tabel 5.4. Distribusi Defek Penglihatan Warna Menurut

(11)

DAFTAR GAMBAR

Halaman Gambar 2.1. Anatomi Retina (Sherwood, 2011) ... 5 Gambar 2.2. Siklus Penglihatan Rodopsin-Retina Pada Sel Batang

(Guyton dan Hall, 2010) ... 7 Gambar 2.3.a. Spektrum penyerapan cahaya yang relatif terjadi pada

tiga kelas photopigment kerucut manusia pada penglihatan warna yang normal (trikromatik). b. Penyerapan cahaya relatif digambarkan terhadap panjang gelombang dalam nanometer (nm) (Deeb dan Motulsky, 2011) ... 9 Gambar 2.4.a. Protanopia. b. Deutanopia. c. Protanomalia.

(12)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Judul

Lampiran 1 Daftar Riwayat Hidup Lampiran 2 Surat Izin Penelitian Lampiran 3 Ethical Clearence Lampiran 4 Data Induk Penelitian Lampiran 5 Informed Consent Lampiran 6 Output SPPS

(13)

ABSTRAK

Tujuan : Untuk mengetahui banyaknya penderita buta warna pada siswa kelas X SMA Santo Thomas1Medan pada tahun 2014.

Metodologi : Metode penelitian ini adalah penelitian deskriptif dengan desain Cross-sectional. Sampel penelitian ini adalah siswa SMA Santo Thomas 1 Medan. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan

September 2014. Metode pengambilan sampel dengan cara total sampling. Pengambilan data tentang buta warna dilakukan dengan pengukuran langsung menggunakan buku Ishihara pada seluruh siswa kelas X di SMA Santo Thomas 1 Medan. Analisis data dilakukan dengan program SPSS (Statistic Package for Social Science).

Hasil Insidensi defek penglihatan warna yang dijumpai pada siswa kelas X Santo Thomas 1 Medan adalah sebanyak 9 orang (2%) dari total keseluruhan 464 responden.

Kesimpulan : Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa buta warna umumnya terjadi pada laki-laki.

(14)

ABSTRACT

Objective : This research is done to determine the number of people with color blindness in class X SMA Santo Thomas 1 Medan in 2014. Methodology : This study used a descriptive research method with

cross-sectional study design. The samples were students of SMA Santo Thomas 1 Medan. The research was done in September 2014. This study used total sampling method. The data about color blindness was collected by ishihara book, which is the instrument for color blindness examination. The data was analized with SPSS (Statistics Package for Social Science). Results : The total incidence of color vision defects were found in class x

of St. Thomas 1 are 9 studets (2%) of the total 464 respondents. Conclusion : From these results of this study, it can be concluded that the

color blindness commonly occurs in men.

(15)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Mata yang biasa kita gunakan untuk melihat suatu objek harus menangkap pola pencahayaan di lingkungan sebagai “gambaran/bayangan optis” di suatu lapisan sel yang peka sinar, retina. Citra yang tersandi di retina disalurkan melalui serangkaian tahap pemprosesan visual yang rumit hingga akhirnya secara sadar dipersepsikan sebagai kemiripan visual dari bayangan asli (Sherwood, 2011). Warna-warna yang dapat kita lihat dikarenakan pada retina mata terdapat sel kerucut yang berbeda-beda peka terhadap warna cahaya yang berbeda-beda pula (Guyton dan Hall, 2010).

Pada penderita buta warna, ia tidak mempunyai sekelompok sel kerucut sebagai penerima warna pada retina matanya, sehingga orang tersebut tidak dapat membedakan beberapa warna dari warna-warna lainnya (Guyton dan Hall, 2010). Istilah buta warna umumnya digunakan untuk menggambarkan orang-orang yang mengalami kesulitan untuk membedakan warna merah dan hijau atau nuansa biru dan kuning, meskipun hal tersebut bukan deskripsi akurat karena orang-orang ini pada kenyataannya masih bisa melihat warna. Sehingga istilah defisiensi warna menjadi lebih tepat dan lebih sesuai. Buta warna lengkap sangat langka terjadi dimana dapat menyebabkan seseorang untuk melihat benda-benda hanya dalam nuansa abu-abu

(16)

adalah laki-laki karena gangguan ini terkait dengan kromosom seks X (Handayani, 2010).

Perbandingan angka kejadian buta warna yang terdapat pada jenis kelamin laki-laki dibanding dengan buta warna yang terdapat pada perempuan adalah 20:1. Buta warna mempengaruhi 13% populasi umum. Saat ini di Eropa sekitar 8-12% pria dan 0,5-1% wanita menderita buta warna. Penelitian lain menyatakan 1 dari 12 orang pria menderita buta warna, sedangkan wanita hanya 1 dari 200 orang saja yang menderita buta warna (Rahmadi, 2009). Di Australia buta warna terjadi pada 8% laki-laki dan hanya sekitar 0,4% pada perempuan. Di Iran, dari populasi anak-anak usia 12-14 tahun yang mengalami defek penglihatan warna 8,18% laki-laki dan 0,43% perempuan, tidak didapatkan adanya penyakit sistemik, penyakit mata, pengobatan kronis, dan tidak terdapat kelainan penglihatan dengan visus 20/20 (emmetropia). Sedangkan di Amerika, sekitar 10 juta pria Amerika sepenuhnya 7% dari penduduk laki-laki tidak dapat membedakan warna merah dari hijau, atau melihat merah dan hijau berbeda dari kebanyakan orang. Ini adalah bentuk paling umum pada buta warna. Pada perempuan hanya mempengaruhi 4%. Type yang paling sering adalah merah-hijau (Handayani, 2010).

Dari data Riset Kedokteran Dasar (RISKESDAS) tahun 2007 didapatkan prevalensi nasional buta warna adalah 0,7% (berdasarkan keluhan responden). Sebanyak 6 provinsi mempunyai prevalensi buta warna di atas prevalensi nasional, yaitu Nanggroe Aceh Darussalam, Sumatera Barat, Sumatera Selatan, Bangka Belitung, DKI Jakarta, dan Nusa Tenggara Barat.

(17)

untuk masuk jurusan tertentu yang buta warna menjadi salah satu kriteria seperti kedokteran, teknik, design grafis, dan lain-lain. Oleh karena hal tersebut, identifikasi dini kelainan buta warna perlu dilakukan untuk membimbing anak dalam menentukan jenjang pendidikannya kelak (Ilyas, 2004).

Guru sering tidak menyadari cacat tak kasat mata ini karena siswa-siswi yang buta warna mencoba untuk menjaga rahasia untuk menghindari rasa malu. Tes buta warna dapat membantu mengidentifikasi anak-anak yang mengalami kesulitan membedakan warna, sehingga mereka mungkin mulai menerima bantuan dalam belajar untuk mengatasi keluhan mereka (Stiles, 2006). Pemeriksaan ini dapat pula membantu guru-guru untuk memilih metode-metode yang tidak mengandung banyak elemen warna, seperti penggunaan angka-angka yang berwarna pada pelajaran matematika sebaiknya tidak dilakukan pada murid penderita buta warna (Milner, 2010).

Dari data latar belakang masalah di atas tersebut, maka peneliti tertarik meneliti insidensi buta warna pada siswa kelas X SMA Santo Thomas 1 Medan.

1.2 Rumusan Masalah

Berapa jumlah kasus baru penderita buta warna pada siswa kelas X SMA Santo Thomas 1 Medan pada tahun 2014?

1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan Umum

Mengetahui banyaknya penderita buta warna pada siswa kelas X SMA Santo Thomas 1 Medan pada tahun 2014.

1.3.2 Tujuan Khusus

Yang menjadi tujuan khusus dalam penelitian ini adalah :

(18)

2. Untuk mengetahui banyaknya penderita buta warna pada siswa kelas X SMA Santo Thomas 1 Medan pada tahun 2014 sesuai dengan jenis kelamin dari responden.

1.4 Manfaat Penelitian 1.4.1 Bagi Siswa

1. Penelitian ini diharapkan bermanfaat untuk siswa kelas X SMA Santo Thomas 1 Medan agar mengetahui kesehatan matanya.

2. Memberi edukasi kepada siswa kelas X SMA Santo Thomas 1 Medan yang menderita buta warna agar dapat mengarahkan ke jurusan yang sesuai.

1.4.2 Bagi Peneliti

Sebagai sarana pengembangan diri dan penerapan pengetahuan yang diperoleh penulis tentang metodologi penelitian serta memperluas wawasan dan memperdalam mengenai Ilmu Kedokteran Mata, khususnya dalam hal buta warna.

1.4.3 Bagi Institusi Pendidikan

(19)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Fisiologi Penglihatan Warna

Fungsi utama mata adalah memfokuskan berkas cahaya dari lingkungan ke sel fotoreseptor retina, yaitu sel batang dan sel kerucut. Fotoreseptor kemudian mengubah energi cahaya menjadi sinyal listrik untuk ditransmisikan ke sistem saraf pusat (Sherwood, 2011).

Pada gambar 2.1. jelas terlihat bagian saraf retina yang terdiri dari tiga lapisan sel yang peka rangsang :

1. Lapisan paling luar (paling dekat dengan koroid) yang mengandung sel batang dan sel kerucut,

2. Lapisan tengah sel bipolar,

3. Lapisan dalam sel ganglion. Akson-akson sel ganglion menyatu membentuk saraf optik, yang keluar dari retina tidak tepat di bagian tengah. Titik di retina tempat saraf optik keluar dan pembuluh darah berjalan disebut diskus optikus (Sherwood, 2011).

(20)

Bila sel batang ataupun sel kerucut terangsang, sinyal akan dijalarkan melewati lapisan ganglion dan bipolar sebelum mencapai fotoreseptor di semua bagian retina kecuali di fovea. Di fovea, yaitu cekungan yang terletak tepat di tengah retina, lapisan ganglion dan bipolar tersisih ke tepi sehingga cahaya langsung mengenai fotoreseptor (Sherwood, 2011). Fovea terutama berfungsi untuk penglihatan cepat dan rinci. Fovea sentralis dengan diameter hanya 0,3 milimeter, hampir seluruhnya terdiri atas sel-sel kerucut (Guyton dan Hall, 2010). Foveola adalah bagian paling tengah pada fovea, di sini fotoreseptornya adalah sel kerucut, dan bagian retina paling tipis (Riordan-eva dan Witcher, 2010). Daerah tepat di sekitar fovea, makula lutea juga memiliki konsentrasi sel kerucut yang tinggi dan ketajaman lumayan. Namun, ketajaman makula lebih rendah daripada fovea, karena ada lapisan sel ganglion dan bipolar di atasnya.

Fotoreseptor (sel batang dan sel kerucut) terdiri dari 3 bagian, yaitu :

1. Segmen luar (paling dekat dengan koroid), bagian ini mendeteksi rangsangan cahaya. Segmen ini, berbentuk batang pada sel batang dan kerucut pada sel kerucut,

2. Segmen dalam, yang terletak di bagian tengah fotoresetor. Bagian ini mengandung perangkat metabolik sel,

3. Terminal sinaps, yang terletak paling dekat dengan bagian interior mata, menghadap ke sel bipolar. Bagian ini menyalurkan sinyal yang dihasilkan fotoreseptor karena stimulasi cahaya ke sel-sel selanjutnya di jalur penglihatan (Sherwood, 2011).

(21)

Fotopigmen terdiri dari dua komponen : 1. Opsin yang merupakan suatu protein,

2. Retinen, suatu turunan vitamin A yang terikat di bagian dalam molekul opsin. Retinen adalah bagian fotopigmen yang menyerap cahaya (Sherwood, 2011).

Terdapat empat fotopigmen berbeda, satu di sel batang dan masing-masing satu di ketiga jenis sel kerucut. Keempat fotopigmen ini menyerap panjang gelombang sinar yang berbeda-beda (Sherwood, 2011). Bahan kimia yang peka cahaya dalam sel batang disebut rodopsin; tiga bahan kimia peka cahaya dalam sel kerucut, disebut pigmen warna merah, hijau dan biru, mempunyai komposisi sedikit berbeda dari rodopsin (Guyton dan Hall, 2010).

Substansi rodopsin pada sel batang merupakan kombinasi dari protein skotopsin dengan pigmen karotenoid retinal. Retinal tersebut merupakan bentuk tipe khusus yang disebut 11-cis retinal. Bentuk cis retinal adalah bentuk yang penting sebab hanya bentuk ini saja yang dapat berikatan dengan skotopsin agar dapat bersintesis menjadi rodopsin. Prinsip-prinsip fotokimiawi pada siklus penglihatan rodopsin dan penguraiannya oleh energi cahaya (gambar 2), yang sama pula dapat diterapkan pada pigmen sel kerucut (Guyton dan Hall, 2010).

(22)

Retina mengandung sel batang 30 kali lebih banyak daripada sel kerucut (100 juta sel batang dibandingkan 3 juta sel kerucut per mata). Sel kerucut lebih banyak di makula lutea pada bagian tengah retina. Dari titik ini keluar, konsentrasi sel kerucut berkurang dan konsentrasi sel batang meningkat. Sel batang paling banyak di perifer. Perbedaan antara sel batang dan sel kerucut adalah sel kerucut memberi penglihatan warna sedangkan sel batang memberi penglihatan hanya dalam bayangan abu-abu. Sel kerucut memiliki sensitivitas rendah terhadap cahaya, “dinyalakan” hanya oleh sinar terang siang hari, tetapi sel ini memiliki ketajaman (kemampuan membedakan titik yang berdekatan) tinggi. Manusia menggunakan sel kerucut untuk penglihatan siang hari, yang berwarna dan tajam. Sel batang memiliki ketajaman rendah tetapi sensitivitasnya tinggi sehingga sel ini berespons terhadap sinar temaram malam hari (Sherwood, 2011).

Sel kerucut pada retina merupakan komponen penting untuk melihat warna. Setiap jenis sel kerucut sensitif terhadap panjang gelombang yang berbeda. Pada sel kerucut mata orang yang normal memiliki tiga jenis pigmen yang dapat membedakan warna terhadap cahaya. Penglihatan warna yang normal pada manusia ini disebut juga dengan trikromatik. Sifat absorbsi dari pigmen yang terdapat di dalam ketiga macam sel kerucut itu menunjukkan bahwa puncak absorbsi pada gelombang cahaya berturut-turut sebagai berikut :

a) 420 nm: sel kerucut biru atau "S" kerucut untuk panjang gelombang pendek (short-wavelength light),

b) 530 nm: sel kerucut hijau atau "M" kerucut untuk panjang gelombang menengah (middle-wavelength light),

(23)

Gambar 2.3. a. Spektrum penyerapan cahaya yang relatif terjadi pada tiga kelas photopigment kerucut manusia pada penglihatan warna yang normal (trikromatik).

b. Penyerapan cahaya relatif digambarkan terhadap panjang gelombang dalam nanometer (nm) (Deeb dan Motulsky, 2011).

Penglihatan warna, presepsi berbagai warna, bergantung pada berbagai rasio stimulasi ketiga tipe sel kerucut terhdap bermacam-macam panjang gelombang tertentu dari sinar yang sampai ke fotoreseptor retina (Sherwood, 2011). Panjang gelombang ini juga merupakan panjang gelombang untuk puncak sensitivitas cahaya untuk setiap tipe sel kerucut, yang dapat mulai digunakan untuk menjelaskan bagaimana retina dapat membedakan warna (Guyton dan Hall, 2010). Misalnya panjang gelombang yang terlihat sebagai biru tidak merangsang sel kerucut merah atau hijau sama sekali tetapi merangsang sel kerucut biru secara maksimal (Sherwood, 2011).

(24)

2.2. Buta Warna 2.2.1. Definisi

Buta warna adalah suatu keadaan dimana pasien mengalami

kelemahan/penurunan kemampuan untuk membedakan antara warna-warna tertentu yang seharusnya dapat dibedakan oleh orang dengan penglihatan yang

normal (Jang et al., 2010).

Istilah buta warna atau colour blind sebenarnya kurang akurat, karena seorang penderita buta warna tidak buta terhadap seluruh warna. Akan lebih tepat bila disebut gejala defisiensi daya melihat warna atau colour vision dificiency (Jubinville, 2014). Buta warna total sangat langka terjadi dan menyebabkan seseorang untuk melihat benda dalam nuansa abu-a

2.2.2. Etiopatogenesis

Ketiga macam pigmen warna pada retina membuat kita dapat membedakan warna. Untuk dapat melihat normal, ketiga pigmen sel kerucut harus bekerja dengan baik. Jika salah satu pigmen mengalami kelainan atau tidak ada, maka terjadi buta warna (Ilyas, 2008). Kekurangan penglihatan warna terjadi ketika salah satu atau lebih sel kerucut pada retina kurang berfungsi daripada keadaan normal, atau tidak berfungsi sama sekali (Jang et al., 2010).

Buta warna merupakan penyakit keturunan yang terekspresi hampir hanya pada para pria (Indrawan, 2008). Wanita secara genetik hanya sebagai carrier buta warna yang diturunkan ke anak laki-lakinya (Guyton dan Hall, 2010). Kelainan ini terjadi akibat defisiensi kongenital terkait-X kromosom pada salah satu jenis fotoreseptor retina yang spesifik yaitu sel kerucut. Akibat faktor genetik ini sel kerucut penderita buta warna tidak mampu untuk menangkap spektrum warna tertentu (Riordan-eva dan Witcher, 2010).

(25)

anak-anaknya. Menurut salah satu riset 5-8% pria dan 0,5% wanita dilahirkan buta warna. Dan 99% penderita buta warna termasuk dikromasi, protanopia, dan deuteranopia (Situmorang, 2010).

Dengan adanya penemuan gen pada opsin sel kerucut manusia yang mengkode panjang gelombang pendek (S), panjang gelombang menengah (M) dan yang panjang (L), maka dihubungkanlah dengan dua hipotesis yang menyatakan bahwa: (1) komposisi dan variasi dalam urutan rangkaian asam amino dari opsin sel kerucut bertanggung jawab untuk perbedaan spektral antara photopigments (2) perubahan gen pada opsin sel kerucut mendasari kekurangan penglihatan warna diturunkan (Neitz, 2010).

Pola gen turunan untuk kelainan penglihatan warna, dari merah-hijau dan biru-kuning untuk manusia, yaitu panjang gelombang yang panjang (L) dan menengah (M) pada opsin sel kerucut yang diterjemahkan ke X-kromosom di Xq28, dan gen untuk panjang gelombang pendek (S) pada opsin sel kerucut untuk autosom, kromosom 7 pada 7q32. Sebutan untuk gen opsin L, M dan S masing-masing adalah OPN1LW (Opsin 1 Long Wave), OPN1MW (Opsin 1 Middle Wave), dan OPN1SW (Opsin 1 Short Wave) (Neitz, 2010).

(26)

2.2.3. Klasifikasi Buta Warna.

Defek penglihatan warna atau buta warna dapat dikenal dalam bentuk : 2.2.3.1. Monochromacy

Monochromacy adalah keadaan dimana seseorang hanya memiliki sebuah sel pigmen cones atau tidak berfungsinya semua sel cones (Kurnia, 2009). Seseorang yang menderita monochromacy disebut monokromat (Indrawan, 2008). Monochromacy ada dua jenis, yaitu :

a) Rod monochromacy (typical) adalah jenis buta warna yang sangat jarang terjadi, yaitu ketidakmampuan dalam membedakan warna sebagai akibat dari tidak berfungsinya semua sel kerucut retina. Penderita rod monochromacy tidak dapat membedakan warna sehingga yang terlihat hanya hitam, putih dan abu-abu,

b) Cone monochromacy (atypical) adalah tipe monochromacy yang sangat jarang terjadi yang disebabkan oleh tidak berfungsinya dua sel kerucut. Penderita nya masih dapat melihat warna tertentu, karena masih memiliki satu sel kerucut yang berfungsi (Kurnia, 2009).

2.2.3.2. Dichromacy

Dichromacy adalah jenis buta warna dimana salah satu dari tiga sel kerucut tidak ada atau tidak berfungsi. Akibatnya, seseorang yang menderita dikromat akan mengalami gangguan penglihatan terhadap warna-warna tertentu (Kurnia, 2009). Seseorang yang menderita dichromacy disebut juga dengan dikromat (Indrawan, 2008). Dichromacy dibagi menjadi 3 bagian berdasarkan sel pigmen yang rusak, yaitu:

(27)

b. Deutanopia adalah gangguan penglihatan terhadap warna yang disebabkan ketiadaan photoreseptor retina hijau. Hal ini menimbulkan kesulitan dalam membedakan warna merah dan hijau (red-green hue discrimination) (Kurnia, 2009). Pada Deuteranopia hanya memiliki sel kerucut biru dan merah saja, tetapi tidak ada sel kerucut hijau yang fungsional (terjadi pada 1 % dari laki-laki putih) (Gambar 2.4.b.) (Deeb dan Motulsky, 2011). Orang yang menderita deuteranopia disebut deuteranope (Indrawan, 2008),

c. Tritanopia adalah keadaan dimana seseorang tidak memiliki short-wavelength cone yaitu warna biru, akibatnya penderita akan kesulitan membedakan warna biru dan kuning dari spektrum cahaya tampak. Tritanopia disebut juga buta warna biru-kuning dan merupakan tipe dichromacy yang sangat jarang dijumpai. (Kurnia, 2009). Orang yang menderita tritanopia disebut tritanope (Indrawan, 2008).

2.2.3.3. Anomalous Trichromacy

Penderita anomalous trichromacy memiliki tiga sel kerucut yang lengkap, tetapi terjadi kerusakan mekanisme sensitivitas terhadap salah satu dari tiga sel reseptor warna tersebut (Kurnia, 2009). Seseorang yang mengalami anomalous trichromacy disebut anomali trikromat (Indrawan, 2008). Anomalous trichromacy terdiri dari 3, yaitu :

(28)

Seseorang yang menderita protanomalia disebut protanomalous (Indrawan, 2008),

b. Deuteranomalia disebabkan oleh kelainan pada bentuk pigmen middle-wavelength (green). Sama halnya dengan protanomaly, deuteranomaly tidak mampu melihat perbedaan kecil pada nilai warna dalam area spektrum untuk warna merah, jingga, kuning, dan hijau. Penderita salah dalam menafsirkan warna dalam region tersebut karena warnanya lebih mendekati warna merah. Perbedaan antara keduanya yaitu penderita deuteranomalia tidak memiliki masalah dalam hilangnya penglihatan terhadap kecerahan (brigthness) (Kurnia, 2009). Deuteranomalia terjadi pada 5% dari laki-laki berkulit putih (Gambar 2.4.d.) (Deeb dan Motulsky, 2011). Seseorang yang menderita deuteranomalia disebut deuteranomalous (Indrawan, 2008),

c. Tritanomalia adalah tipe anomolous trichromacy yang sangat jarang terjadi, baik pada pria maupun wanita. Pada tritanomaly, kelainan terdapat pada short-wavelength pigment (blue). Pigmen biru ini bergeser ke area hijau dari spektrum warna. Tidak seperti protanomalia dan deuteranomalia, tritanomalia diwariskan oleh kromosom 7. Inilah alasan mengapa penderita tritanomalia sangat jarang ditemui (Kurnia, 2009). Orang-orang ini mengalami kesulitan membedakan hijau, cyan, dan biru. Mereka juga mungkin mengalami kesulitan membedakan kuning dari ungu dan juga sering kebingungan dengan warna merah jambu, jingga, dan coklat (Wagner, 2013). Seseorang yang menderita tritanomalia disebut tritanomalous

(29)

Gambar 2.4. a. Protanopia b. Deutanopia c. Protanomalia d. Deuteranomalia (Deeb dan Motulsky, 2011).

2.2.4. Diagnosis

Para peneliti menyimpulkan bahwa skrining untuk buta warna dapat dimulai pada usia 4 tahun. Pengujian pada usia dini sangat penting karena anak-anak dengan buta warna sering melakukan hal buruk pada tes atau tugas yang menampilkan warna-warna. Anak-anak dengan buta warna membutuhkan berbagai jenis rencana pelajaran yang tidak memerlukan kemampuan untuk melihat warna dengan benar. Pemeriksaan harus dimulai sejak dini karena label anak tidak pintar adalah stigma besar bagi anak dan menyebabkan kecemasan yang signifikan bagi orang tua dan keluarga (Thai News Service Group, 2014).

Tes buta warna saat ini juga sangat dibutuhkan bagi dunia industri, pendidikan, maupun pemerintahan. Hal ini disebabkan oleh ketergantungan manusia dalam pekerjaan atau pendidikan yang erat sekali berhubungan dengan warna (Agusta et al., 2012).

(30)

untuk mendiagnosis jenis dan tingkat keparahan cacat dan yang ketiga untuk menilai dampak dari cacat pada profesi atau pekerjaan tertentu. Secara umum, tes yang efektif adalah test yang tepat, mudah, dan biaya yang dibutuhkan untuk mendiagnosa kelainan penglihatan warna yang akuratet al., 2013).

Diagnosis buta warna dibuat berdasarkan anamnesis, dan pemeriksaan penunjang. Anamnesis yang sesuai adalah terdapat riwayat buta warna di dalam keluarga atau terdapat riwayat trauma kranial yang menyebabkan kelainan saraf atau makula (Riordan-eva dan Witcher, 2010). Banyak tes untuk pemeriksaan penunjang yang digunakan secara klinis untuk mendiagnosa kelainan penglihatan warna, tes ini berkisar dari yang sederhana dengan buku Ishihara dan tes penilaian yang lebih kompleks termasuk tes Farnsworth-Munsell 100-Hue (FM 100-Hue), D-15 Farnsworth-Munsell (D-15), dan anomaloscope untuk diagnosis yang lebih tepat dan akuratet al., 2013).

Pada penelitian ini pemeriksaan dilakukan dengan test ishihara yang paling populer dan digunakan secara luas untuk tujuan skrining. Penggunaan buku ishihara juga dikarenakan tes ini harus dilakukan secara cepat, tepat, mudah dan murah untuk menilai jenis dan tingkat keparahan cacat penglihatan warna et al., 2013). Metode ini dikembangkan menjadi Tes Buta Warna Ishihara oleh Dr. Shinobu Ishihara. Tes ini pertama kali dipublikasi pada tahun 1917 di Jepang dan terus digunakan di seluruh dunia (Widianingsih et al., 2010).

Test Ishihara didasarkan pada penggunaan kartu bertitik-titik yang mempunyai bermacam-macam warna dan ukuran yang disusun dengan menyatukan titik-titik yang berbeda tersebut (Guyton dan Hall, 2010). Warna-warnanya dibuat sedemikian rupa membentuk pola titik-titik berbeda yang disusun hingga membentuk lingkaran. Untuk orang yang defisiensi warna, semua titik dalam satu atau lebih dari lempeng akan muncul mirip atau sama "isokromatik". Untuk seseorang tanpa kekurangan warna, beberapa titik akan muncul cukup berbeda dari titik-titik lain untuk membentuk sosok yang berbeda pada masing-masing piring "Pseudoisochromatic" (Wagner, 2013).

(31)

Merah-Hijau (red-green deficiency) [buta warna merah (protanopia/protanomalia) dan buta warna hijau (deuteranopia/deuteranomalia)] dan buta warna total/akromatopsia. Kelainan tritanomaly tidak dapat dilihat disini. Tes Ishihara digunakan untuk mendiagnosis defek penglihatan warna kongenital, untuk mengetahui penyebab yang didapat (saraf, kelainan macula, trauma kranial) perlu dilakukan pemeriksaan lebih lanjut (Riordan-eva dan Witcher, 2010).

Tes Ishihara ini mempunyai kelemahan yaitu berupa media tes. Media yang digunakan adalah lembaran kertas bagi Ishihara. Media tes ini sendiri hanya dapat dilakukan pada ruangan bercahaya putih dengan intensitas penerangan yang cukup, sehingga melakukan tes buta warna ini tidak bisa di sembarang tempat/ruangan dengan bercahaya redup dan menggunakan cahaya kemerahan atau lampu pijar. Hal ini merupakan salah satu dari kelemahan tes konvensional, karena jika penerangan ruangan tidak sesuai dengan ketentuan standar, maka warna pada media tes pun akan berubah. Tes Ishihara pun mempunyai kelemahan berupa pemudaran warna, mudah robek, dan bisa saja salah satu dari lembaran tes terselip ataupun hilang (Agusta et al., 2012).

Tahapan dalam pemeriksaan buta warna dengan metode ishihara, yaitu : 1. Menggunakan buku Ishihara 14 plate

2. Dalam pemeriksaan buta warna hal-hal yang perlu diperhatikan, yaitu: a. Ruangan pemeriksaan harus cukup pencahayaannya

(32)

b. Angka-angka yang terlihat pada kartu disebutkan, dan setiap jawaban diberikan dalam waktu tidak lebih dari 3 detik (Widianingsih et al. 2010).

3. Penjelasan pada tiap lembar gambar :

No.1. Setiap subjek, baik dengan penglihatan warna normal atau cacat penglihatan warna akan membaca dengan benar angka "12". Plate ini digunakan terutama untuk penjelasan awal dari proses tes untuk mata pelajaran.

No.2. Subyek normal akan membaca "8" dan mereka dengan defisiensi warna merah-hijau melihat angka "3".

No.3. Subyek normal akan membaca "5" dan mereka dengan defisiensi warna merah-hijau melihat angka "2".

No.4. Subyek normal akan membaca "29" dan mereka dengan defisiensi warna merah-hijau melihat angka "70".

No.5. Subyek normal akan membaca "74" dan mereka dengan defisiensi warna merah-hijau melihat angka "21".

No.6-7. Dengan baik dipahami oleh subyek normal, tapi tidak atau sulit untuk dibaca bagi mereka dengan defisiensi merah-hijau.

No.8. Subjek normal dengan jelas melihat angka "2" untuk tetapi tidak jelas bagi mereka dengan defisiensi merah-hijau.

No.9. Subyek normal bisa sukar membacanya, tapi kebanyakan dari mereka dengan kekurangan merah-hijau melihat angka "2" di dalamnya.

(33)

protanomalia kuat akan membaca "5" saja, dan deuteranopia dan deuteranomalia kuat "3" saja.

No.13. Subyek normal dan orang-orang dengan kekurangan merah-hijau ringan melihat angka-angka "96" tapi protanopia dan protanomalia kuat akan membaca "6" saja, dan deuteranopia dan deuteranomalia kuat "9" saja.

No.14. Dalam menelusuri garis berkelok-kelok antara dua x itu, jejak yang normal yaitu sepanjang garis ungu dan merah. Dalam protanopia dan protanomalia kuat hanya garis ungu ditelusuri, dan dalam hal protanomalia ringan kedua baris adalah ditelusuri tetapi garis ungu adalah lebih mudah untuk mengikuti. Dalam deuteranopia dan deuteranomalia kuat hanya garis merah ditelusuri dan dalam hal deuteranmalia ringan kedua baris adalah ditelusuri tetapi garis merah lebih mudah untuk mengikuti (Ishihara, 1994).

2.2.5. Manajemen

Deteksi dini cacat visi warna merah-hijau yang parah pada usia sekolah menengah harus dikomunikasikan kepada orang tua dan anak-anak yang terkena dampak karena temuan ini mungkin relevan untuk pilihan pekerjaan tertentu. Konseling genetik juga diperlukan untuk mengurangi resiko dan mengevaluasi kemungkinan resiko terkena buta warna yang terdiri dari: evaluasi untuk mengkonfirmasi, mendiagnosa, atau mengecualikan kondisi genetik pasien, sindrom malformasi, atau cacat lahir terisolasi seperti peran hereditas, komunikasi risiko genetik, dan penyediaan atau rujukan untuk dukungan psikososial (Deeb dan Motulsky, 2011).

(34)

Kebanyakan orang dengan buta warna belajar untuk membedakan antara warna. Beberapa cara yang dapat digunakan sebagai alat bantu penglihatan warna dalam beberapa kasus, yaitu :

• Lensa kontak dan kacamata specially tinted, yang dapat membantu uji warna namun tidak memperbaiki penglihatan warna.

• Kacamata yang memblokade glare, karena orang dengan masalah penglihatan warna masih dapat membedakan sedikit warna saat tidak terlalu terang (Kartika et al., 2014).

(35)

BAB 3

KERANGKA KONSEP PENELITIAN DAN DEFINISI OPERASIONAL

3.1 Kerangka Konsep Penelitian

Gambar 3.1. Kerangka Konsep Penelitian

3.2 Variabel dan Definisi Operasional

Definisi operasional dari penelitian ini perlu dijelaskan dengan tujuan supaya tidak terdapat perbedaan persepsi dalam menginterpretasikan masing– masing variabel. Dibawah ini akan dijelaskan definisi operasional dari penelitian ini :

A. Siswa kelas X SMA Santo Thomas 1 Medan

Yang dimaksudkan disini adalah semua murid–murid ataupun pelajar Sekolah Menengah Atas tingkat 1 yang terdaftar dan bersekolah di Santo Thomast 1 Medan.

B. Insidensi Buta Warna

Jumlah kasus baru penyakit buta warna yang terjadi di dalam suatu populasi selama selama periode tertentu

C. Cara ukur : Observasi partisipatif D. Alat ukur : Test Ishihara

E. Hasil pengukuran : Pengukuran insidensi buta warna di SMA Santo Thomas 1 Medan berdasarkan tabel Ishihara. Setelah pembacaan ishihara siswa akan dikelompokkan sesuai dengan tabel sebagai berikut :

Insidensi Buta warna Siswa SMA kelas X

(36)
[image:36.595.112.511.152.653.2]

Tabel 3.1. Penjelasan Tiap Plate.

Number of plate

Normal person

Person with Red- Green Deficiencies

Personal with Total Colour Blindness and

Weakness

1 12 12 12

2 8 3 X

3 5 2 X

4 29 70 X

5 74 21 X

6 7 X X

7 45 X X

8 2 X X

9 X 2 X

10 16 X X

11 Traceable X X

Protan Deutan

Strong Mild Strong Mild

12 35 5 (3) 5 3 3 (5)

13 96 6 (9)6 9 9(6)

14 Can trace two lines

Purple Purple (red)

Red Red (purple)

X

Keterangan : Tanda (x) menunjukkan bahwa kartu tidak dapat dibaca. Nilai dengan angka yang berada dalam kurung menunjukkan angka tersebut dapat dibaca atau diikuti tapi termasuk tidak jelas (Ishihara, 1994).

(37)

i. Penglihatan Normal/trikromat

ii. Buta warna Merah-Hijau (red-green deficiency)  Buta warna merah (protanopia/protanomaly)  Buta warna hijau (deuteranopia/deuteranomaly) iii. Buta warna total/akromatopsia

(38)

BAB 4

METODE PENELITIAN

4.1. Desain Penelitian

Desain penelitian ini mengambil bentuk Deskriptif Cross Sectional yang sepenuhnya menghitung angka insidensi kejadian buta warna pada siswa SMA kelas X Santo Thomas 1 Medan.

4.2. Lokasi dan Waktu Penelitian 4.2.1 Lokasi Penelitian

Penelitian ini di lakukan di SMA Santo Thomas 1 Medan. Lokasi ini dipilih karena tingginya minat siswa Santo Thomas 1 Medan untuk melanjutkan studi ke berbagai jurusan di perguruan tinggi yang juga memerlukan penglihatan warna seperti arsitektur, design grafis, kedokteran dan lainnya.

4.2.2. Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan selama bulan Agustus 2014-Oktober 2014.

4.3. Populasi dan Sampel 4.3.1. Populasi Penelitian

Populasi yang digunakan pada penelitian ini adalah seluruh siswa kelas X SMA Santo Thomas 1 Medan Tahun 2014.

4.3.2. Sampel

Metode pengambilan sampel dengan cara total sampling.

4.3.3. Besar Sampel

(39)

4.4. Metode Pengumpulan Data

Penelitian ini menggunakan data primer, data yang didapat langsung dari masing-masing sampel penelitian. Pengambilan data tentang buta warna dilakukan dengan pengukuran langsung menggunakan buku Ishihara pada seluruh siswa kelas X di SMA Santo Thomas 1 Medan.

4.5. Metode Pengolahan Data dan Analisis Data

Data yang telah terkumpul dari hasil pengukuran dalam penelitian ini kemudian ditabulasikan untuk kemudian diolah lebih lanjut dengan menggunakan program Statistic Package for Social Science (SPSS). Sesuai dengan tujuan penelitian yaitu untuk mengetahui insidensi buta warna siswa kelas X SMA Santo Thomas 1 Medan. Analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah statistika deskriptif, yaitu analisis univariat.

4.6. Cara Kerja dan Alur Penelitian 4.6.1. Cara Kerja

(40)

4.6.2. Alur Penelitian

Buta warna hijau (deuteranopia/deuteranomal

y) Buta warna merah

(protanopia/protanomal

Siswa kelas X SMA Santo Thomas 1 Medan menandatangani Informed

Consent

Mengisi data demografi : nama, usia dan jenis kelamin

Siswa membaca Plate Ishihara

Mengelompokkan siswa sesuai dengan Tabel Ishihara

Penglihatan Normal/trikromat

Buta warna Merah-Hijau (red-green deficiency)

Buta warna total/akromatopsia

Hasil

Analisis Data

(41)

BAB 5

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

5.1. Hasil Penelitian 5.1.1. Lokasi Penelitian

Lokasi penatalaksanaan penelitian ini adalah kelas X Sekolah Menengah Atas Santo Thomas 1 Medan, yang beralamatkan di jalan Letjend S. Parman No.109, Medan.

5.1.2. Deskripsi Karakteristik Responden

Responden yang menjadi sampel dalam penelitian ini adalah siswa Sekolah Menengah Atas Santo Thomas 1 Medan. Jumlah responden adalah sebanyak 464 orang. Semua data sampel diambil dari data primer, yaitu data yang didapat langsung dari masing-masing siswa dengan buku Ishihara. Karakteristik yang diamati terhadap responden adalah umur dan jenis kelamin.

[image:41.595.112.515.497.646.2]

Berdasarkan data-data tersebut dapat dibuat karakteristik subjek penelitian sebagai berikut :

Tabel 5.1 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Umur

No Usia Jumlah (Orang) Persentase (%)

1 2 3 4 5 13 tahun 14 tahun 15 tahun 16 tahun 17 tahun 4 160 288 11 1 9 34,5 62,1 2,4 2

Total 464 100

(42)
[image:42.595.109.512.135.228.2]

Tabel 5.2 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Jenis Kelamin No Jenis Kelamin Jumlah (Orang) Persentase (%)

1 2 Laki-laki Perempuan 221 243 47,6 52,4

Total 464 100

Berdasarkan tabel 5.2, dapat dilihat bahwa dari keseluruhan 464 responden, jenis kelamin terbanyak yang menjadi responden adalah perempuan sebanyak 243 orang (52,4%) dan diikuti responden berjenis kelamin laki-laki sebanyak 221 orang (47,6%)

5.2. Hasil Analisa Data

[image:42.595.114.517.432.575.2]

5.2.1. Distribusi Defek Penglihatan Warna

Tabel 5.3 Distribusi Frekuensi Responden Buta Warna yang Menjalani Pemeriksaan dengan Buku Ishihara

No Buta Warna Jumlah (Orang) Persentase

(%) 1 2 3 Protanopia Protanomalia Negatif 5 4 455 1,1 0,9 98

Total 464 100

Berdasarkan tabel 5.3, dapat dilihat bahwa terdapat 9 orang (2%) yang mengalami defek penglihatan warna. Dari 9 orang siswa yang mengalami defek penglihatan warna diantaranya menderita Protanopia sebanyak 5 orang (1,1%) dan Protanomalia sebanyak 4 orang (0,9%).

5.2.2. Distribusi Defek Penglihatan Warna Menurut Jenis Kelamin

(43)

Jenis Kelamin Persentase (%)

No Buta Warna Laki-laki Perempuan

1 2 3

Protanopia 5 0 1,1

Protanomalia 4 0 0,9

Negatif 212 243 98

Total 221 243 100

Dari tabel 5.4, dapat dilihat bahwa seluruh penderita defek penglihatan warna pada sampel berjenis kelamin laki-laki sebanyak 9 responden (2%), dan tidak ditemukan adanya defek penglihatan warna pada perempuan. Dari 9 responden yang mengalami defek penglihatan warna diantaranya didapatkan menderita Protanopia sebanyak 5 responden (1,1%) dan Protanomalia sebanyak 4 responden (0,9%).

[image:43.595.101.524.117.260.2]

5.2.3. Distribusi Defek Penglihatan Warna Menurut Usia

Tabel 5.5 Distribusi Defek Penglihatan Warna Menurut Usia Usia Responden Persentase

(%)

No Buta Warna 13 14 15 16 17

1 2 3

Protanopia 0 2 3 0 0 1,1

0,9

Protanomlia 0 2 2 0 0

Negatif 4 156 283 11 1 98

Total 4 160 288 11 1 100

(44)

dimana diantaranya 2 responden (0,43%) yang menderita Protanopia dan 2 resonden (0,43%) menderita Protanomalia.

5.3. Pembahasan

Hasil penelitian yang diperoleh menunjukkan adanya variasi karakteristik responden berdasarkan umur dan jenis kelamin. Karakteristik responden seperti jenis kelamin termasuk dalam faktor predisposisi buta warna.

Dari hasil penelitian ini didapati, kelompok umur terbanyak adalah 15 tahun dengan 288 responden (62,1%) (Tabel 5.1). Menurut jenis kelamin, yang paling banyak menjadi responden adalah perempuan sebanyak 243 responden (52,4%) (Tabel 5.2).

Pada penelitian ini didapati sebanyak 9 responden (2%) yang mengikuti penelitian ini menderita defek penglihatan warna. Dimana dari 9 responden tersebut seluruhnya berjenis kelamin laki-laki. Hal ini hampir serupa dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Rahmadi (2009), dimana perbandingan angka kejadian buta warna yang terdapat pada jenis kelamin laki-laki dibanding dengan buta warna yang terdapat pada perempuan adalah 20:1. Namun, pada penelitian saya ini tidak dijumpai adanya defek penglihatan warna pada perempuan.

(45)

Dari hasil penelitian ini dapat dilihat juga bahwa responden yang menderita defek penglihatan warna terbanyak yaitu pada kelompok usia 15 tahun sebanyak 5 responden (1,1%), dimana diantaranya 3 responden (0,64%) menderita Protanopia dan 2 responden (0,43%) menderita Protanomalia. Kemudian diikuti oleh kelompok usia 14 tahun sebanyak 4 responden (0,9%), dimana diantaranya 2 orang (0,43%) menderita Protanopia dan 2 orang (0,43%) menderita Protanomalia. Padahal menurut penelitian yang dilakukan oleh Thai News Service Group (2014) menyimpulkan bahwa skrining untuk buta warna dapat dimulai pada usia 4 tahun. Pengujian pada usia dini sangat penting karena anak-anak dengan buta warna sering melakukan hal buruk pada tes atau tugas yang menampilkan berbagai macam warna-warna. Anak-anak dengan buta warna membutuhkan berbagai jenis rencana pelajaran yang tidak memerlukan kemampuan untuk melihat warna dengan benar. Pemeriksaan harus dimulai sejak dini karena label anak tidak pintar adalah stigma besar bagi anak dan menyebabkan kecemasan yang signifikan bagi orang tua dan keluarga.

5.4. Keterbatasan Penelitian

(46)

BAB 6

KESIMPULAN DAN SARAN

6.1. Kesimpulan

Dari uraian-uraian yang telah dipaparkan sebelumnya, maka dalam penelitian ini dapat diambil beberapa kesimpulan, yaitu:

1. Insidensi defek penglihatan warna yang dijumpai pada siswa kelas X Santo Thomas 1 Medan adalah sebanyak 9 responden (2%) dari total keseluruhan 464 responden.

2. Defek penglihatan warna dijumpai pada kelompok usia 15 tahun sebanyak 5 responden (1,1%), dimana diantaranya 3 responden (0,64%) menderita Protanopia dan 2 responden (0,43%) menderita Protanomalia. Kemudian diikuti oleh kelompok usia 14 tahun sebanyak 4 responden (0,9%), dimana diantaranya 2 responden (0,43%) menderita Protanopia dan 2 responden (4,3%) menderita Protanomalia.

3. Seluruh penderita defek penglihatan warna berjenis kelamin laki-laki sebanyak 9 responden (2%) dan tidak ditemukan adanya defek penglihatan warna pada perempuan.

4. Dari 9 responden laki-laki yang menderita defek penglihatan warna diantaranya didapatkan Protanopia sebanyak 5 responden (1,1%) dan Protanomalia sebanyak 4 responden (0,9%).

6.2. Saran

Dari seluruh proses penelitian yang telah dijalani oleh penulis dalam menyelesaikan penelitian ini, maka dapat diungkapkan beberapa saran yang mungkin dapat bermanfaat bagi semua pihak yang berperan dalam penelitian ini. Adapun saran tersebut yaitu:

(47)

warna saat ini juga sangat dibutuhkan bagi dunia industri, pendidikan, maupun pemerintahan. Hal ini disebabkan oleh ketergantungan manusia dalam pekerjaan atau pendidikan yang erat sekali berhubungan dengan warna. Tujuannya juga agar siswa tidak salah dalam menentukan cita-citanya kelak dan membantu mengarahkan siswa yang buta warna ke jurusan yang sesuai dengan kemampuannya. 2. Diharapkan adanya sosialisasi kepada orangtua siswa. Deteksi dini

(48)

DAFTAR PUSTAKA

Agusta, S., Tony, M., dan M, Sidik., 2012. “Instrumen Pengujian Buta Warna Otomatis.” Jurnal Ilmiah Elite Elektro, Vol. 3, No. 1.

Deeb, S.S., and Arno, G.M., 2011. “Red-green color vision defects.” In GeneReviews.

Departemen Kesehatan. 2007. Laporan Hasil Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) Nasional. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan. Jakarta.

Guyton, A.C., and Hall, J.E., 2010. Mata : II. Reseptor dan Fungsi Neural Retina. In : Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 11. Jakarta : EGC, 654-679.

Handayani, E., 2010. Gambaran Pengetahuan Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Sumatra Utara Stambuk 2008-2010 Mengenai Buta Warna. Skripsi. Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara. Medan.

Ishihara Colour Vision Test Based on Eastern Arabic Numerals.” Med Hypothesis Discov Innov Ophthalmol, Vol. 2, No. 3.

Ilyas, S., 2011. Ilmu Penyakit Mata. Edisi 4. Jakarta : Balai Penerbit FK UI. Indrawan, E., 2008. Perangkat Lunak Transformasi Warna Untuk Penderita Buta

Warna. Tesis. Program Studi Rekayasa Perangkat Lunak Program Magister Informatika Institut Teknologi Bandung. Medan.

ISHIHARA S., 1994. The Series of Plates Designed as a test for colour Deficiency. 14 Plates Edition. Tokyo Japan : Kanehara Trading Inc.

Jang, Y.G., Hoon, I.C., Kyoung, S.H., 2010. Visual contents adaptation for colour vision deficiency using customised ICC profile. Department C and I. Eng., Chongju University 36, Naedok-Dong, Sangdang-Gu, Chongju, Republic of Korea and National Information Society Agency, Seoul, Republic of Korea, Vol. 5, No. 4.

Jubinville, M., 2014. “Shades of Gray? The Facts of Color-blindness.” EBSCO Publishing.

(49)

Kurnia, R., 2009. Penentuan Tingkat Buta Warna Berbasis His pada Citra Ishihara.Yogyakarta : Jurusan Elektro Fakultas Teknik Universitas Andalas, 1907-5022.

Milner, H.R., 2010. “What does teacher education have to do with teaching? Implications for diversity studies.” Gale Light Arts, Economy, Education, Humanities & Social Science, Vol. 6, No. 1.

Neitz, J., and Maureen, N., 2010.” The genetics of normal and defective color vision.” University of Washington, Dept. Of Ophtalmology, Vol. 12, No. 2.

Riordan-Eva, P., dan J.P. Whitcher. 2009. Vaughan & Asbury’s general opthalmology. Edisi 17. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta. Alih bahasa, Brahm U. Pendit ; editor edisi bahasa Indonesia, Diana Susanto. Edisi 17. Jakarta : EGC, 2009.

Roger. 1997. “Pigmented contact lenses can correct for color blindness.” Trade Journals, Vol. 33.

Sherwood, L., 2011. Mata : Penglihatan. In :Fisiologi Manusia dari Sel ke Sel. Edisi 5. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC, 211-230.

Situmorang, M. A., 2010. Prevalensi Buta Warna Pada Siswa-Siswi SMA di Kecamatan Medan Helvetia. Skripsi. Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara. Medan.

Stiles, J., 2006. “Colorblindness Invisible Dissability.” Iowa Science Teachers Journal, Vol. 33, No. 1.

Stresing, D., 2010. “Color Blindness (Color Vision Problem; Color Vision Deficiency).” Medical Encyclopedia Article.

Thai News Service Group. 2014. Caucasian Boys Most Prone to Color Blindness, Study Finds. Dalam : (ProQuest). Available from :

Wagner, K., 2013.”Spinning the colour wheel: methods for teaching the color-blind student.” TD&T (Theatre Design & Technology. Vol. 49. No. 2. Widianingsih, R., Kridalaksana, A.H., Hakim, A.R., 2010. “Aplikasi Tes Buta

(50)

CURRICULUM VITAE

ama lengkap : MINARNI EUNIKA SESPIANI ARITONANG Jenis Kelamin : Wanita

Tempat/Tanggal lahir : Medan, 12 Desember 1993 Warga Negara : Indonesia

Status : Belum Menikah

Agama : Kristen Protestan

Alamat : Jalan D.I Panjaitan no. 170, Medan, Sumatera Utara

Nomor Handphone : 082165032555

Email : minarni29@rocketmail.com

Riwayat Pendidikan :

1. TK Bhayangkari Jakarta (1998) 2. SD Santo Yoseph Medan (1999) 3. SMP Santo Thomas 1 Medan (2005) 4. SMA Santo Thomas 1 Medan (2008)

(51)
(52)
(53)

DATA INDUK

NAMA USIA JENIS KELAMIN BUTA WARNA

AMT 15 Laki-laki Negatif

ADR 15 Perempuan Negatif

AJS 15 Perempuan Negatif

BWES 15 Perempuan Negatif

CDS 15 Perempuan Negatif

CDPB 14 Perempuan Negatif

DKE 15 Perempuan Negatif

DBMS 15 Perempuan Negatif

EVS 15 Perempuan Negatif

ES 15 Perempuan Negatif

ES 14 Perempuan Negatif

GNJM 15 Perempuan Negatif

GES 14 Perempuan Negatif

HPS 15 Perempuan Negatif

HMNP 14 Perempuan Negatif

LKS 14 Perempuan Negatif

NYP 14 Perempuan Negatif

RKS 15 Perempuan Negatif

SLT 15 Perempuan Negatif

SAL 14 Perempuan Negatif

SS 15 Perempuan Negatif

TGS 14 Perempuan Negatif

TDALM 15 Perempuan Negatif

TETG 15 Perempuan Negatif

YCEN 14 Perempuan Negatif

AM 14 Perempuan Negatif

AS 16 Perempuan Negatif

ARP 14 Perempuan Negatif

ACS 14 Perempuan Negatif

BMS 14 Perempuan Negatif

DNN 14 Perempuan Negatif

ELG 14 Perempuan Negatif

EDS 15 Perempuan Negatif

EMFLT 15 Perempuan Negatif

FNS 15 Perempuan Negatif

GMP 14 Perempuan Negatif

HLN 15 Perempuan Negatif

JACP 14 Perempuan Negatif

KMB 14 Perempuan Negatif

(54)

LEJH 14 Perempuan Negatif

LMS 15 Perempuan Negatif

MOS 14 Perempuan Negatif

SD 15 Perempuan Negatif

VHT 15 Perempuan Negatif

YM 15 Perempuan Negatif

YN 14 Perempuan Negatif

ATCP 15 Perempuan Negatif

ALPS 15 Perempuan Negatif

ANP 13 Perempuan Negatif

AJVM 14 Perempuan Negatif

ANT 15 Perempuan Negatif

BMBS 15 Perempuan Negatif

CG 15 Perempuan Negatif

CANP 14 Perempuan Negatif

CMST 15 Perempuan Negatif

DMM 15 Perempuan Negatif

FIT 15 Perempuan Negatif

GTY 16 Perempuan Negatif

MS 14 Perempuan Negatif

NAJP 14 Perempuan Negatif

OPHT 14 Perempuan Negatif

PDSS 15 Perempuan Negatif

PAG 15 Perempuan Negatif

PTLAB 15 Perempuan Negatif

SNC 15 Perempuan Negatif

WRM 15 Perempuan Negatif

WSCS 14 Perempuan Negatif

ZZDVS 14 Perempuan Negatif

ANT 15 Perempuan Negatif

BPTC 14 Perempuan Negatif

DGS 14 Perempuan Negatif

DS 14 Perempuan Negatif

EIPSP 15 Perempuan Negatif

EAP 15 Perempuan Negatif

GY 15 Perempuan Negatif

JNB 15 Perempuan Negatif

KKP 15 Perempuan Negatif

KBDP 16 Perempuan Negatif

MM 15 Perempuan Negatif

PUAWP 15 Perempuan Negatif

SEZT 14 Perempuan Negatif

(55)

TCFAD 15 Perempuan Negatif

TS 15 Perempuan Negatif

AMT 15 Perempuan Negatif

ALA 14 Perempuan Negatif

APRS 15 Perempuan Negatif

CTFS 15 Perempuan Negatif

CAG 15 Perempuan Negatif

CGMLT 15 Perempuan Negatif

DSARS 15 Perempuan Negatif

EMS 15 Perempuan Negatif

ENMPS 15 Perempuan Negatif

GTS 14 Perempuan Negatif

GMHN 15 Perempuan Negatif

HNS 14 Perempuan Negatif

LS 14 Perempuan Negatif

MTT 14 Perempuan Negatif

MRP 15 Perempuan Negatif

MML 15 Perempuan Negatif

MFS 15 Perempuan Negatif

MST 15 Perempuan Negatif

NSM 14 Perempuan Negatif

PDP 15 Perempuan Negatif

SGS 14 Perempuan Negatif

SGH 14 Perempuan Negatif

TPP 16 Perempuan Negatif

TS 14 Perempuan Negatif

TVS 15 Perempuan Negatif

YGS 15 Perempuan Negatif

YGS 15 Perempuan Negatif

CPES 14 Perempuan Negatif

CJS 15 Perempuan Negatif

CDD 14 Perempuan Negatif

DPSS 15 Perempuan Negatif

GEP 15 Perempuan Negatif

GHS 15 Perempuan Negatif

JG 15 Perempuan Negatif

LJP 14 Perempuan Negatif

MGP 14 Perempuan Negatif

PAH 14 Perempuan Negatif

PEPS 14 Perempuan Negatif

PSG 15 Perempuan Negatif

RW 15 Perempuan Negatif

(56)

RSS 15 Perempuan Negatif

SCS 15 Perempuan Negatif

SC 13 Perempuan Negatif

VP 15 Perempuan Negatif

YET 15 Perempuan Negatif

YWMP 15 Perempuan Negatif

ARES 15 Perempuan Negatif

ARES 15 Perempuan Negatif

AMRS 15 Perempuan Negatif

BPBS 15 Perempuan Negatif

DPT 15 Perempuan Negatif

GAT 14 Perempuan Negatif

JANS 14 Perempuan Negatif

KOM 14 Perempuan Negatif

LGN 13 Perempuan Negatif

MTH 15 Perempuan Negatif

NNS 15 Perempuan Negatif

PENS 15 Perempuan Negatif

RYS 14 Perempuan Negatif

RHNH 15 Perempuan Negatif

SVJS 15 Perempuan Negatif

TRIN 15 Perempuan Negatif

YPS 15 Perempuan Negatif

AL 14 Perempuan Negatif

AGP 15 Perempuan Negatif

AAP 14 Perempuan Negatif

BMS 15 Perempuan Negatif

EVS 15 Perempuan Negatif

ET 14 Perempuan Negatif

FDB 15 Perempuan Negatif

GG 14 Perempuan Negatif

GKPLT 14 Perempuan Negatif

GA 15 Perempuan Negatif

HKT 14 Perempuan Negatif

KNEN 15 Perempuan Negatif

KTH 14 Perempuan Negatif

KS 15 Perempuan Negatif

LSVH 14 Perempuan Negatif

MGS 15 Perempuan Negatif

MTS 14 Perempuan Negatif

MYTS 15 Perempuan Negatif

SPS 14 Perempuan Negatif

(57)

SFRM 15 Perempuan Negatif

VMDSS 14 Perempuan Negatif

ADBS 14 Perempuan Negatif

CFS 15 Perempuan Negatif

CASS 15 Perempuan Negatif

CSP 14 Perempuan Negatif

DTS 15 Perempuan Negatif

EAS 14 Perempuan Negatif

FP 14 Perempuan Negatif

FI 15 Perempuan Negatif

GGH 15 Perempuan Negatif

GMRG 15 Perempuan Negatif

HSFS 15 Perempuan Negatif

IAND 15 Perempuan Negatif

LW 15 Perempuan Negatif

MBS 14 Perempuan Negatif

MSNT 15 Perempuan Negatif

MSS 15 Perempuan Negatif

MZ 15 Perempuan Negatif

MWT 15 Perempuan Negatif

MVL 15 Perempuan Negatif

MDM 14 Perempuan Negatif

NBB 15 Perempuan Negatif

PTWK 15 Perempuan Negatif

RNB 15 Perempuan Negatif

RDP 16 Perempuan Negatif

RNGG 14 Perempuan Negatif

SYI 15 Perempuan Negatif

SAN 15 Perempuan Negatif

TS 16 Perempuan Negatif

TVA 14 Perempuan Negatif

WRS 15 Perempuan Negatif

YCP 15 Perempuan Negatif

AS 14 Perempuan Negatif

ALS 14 Perempuan Negatif

ABPS 15 Perempuan Negatif

ASDBS 15 Perempuan Negatif

BPVS 14 Perempuan Negatif

DNJRM 15 Perempuan Negatif

DMIS 14 Perempuan Negatif

ENS 15 Perempuan Negatif

ET 14 Perempuan Negatif

(58)

IM 15 Perempuan Negatif

JMB 15 Perempuan Negatif

LSS 15 Perempuan Negatif

MYMP 15 Perempuan Negatif

NFB 15 Perempuan Negatif

RAM 14 Perempuan Negatif

RASB 15 Perempuan Negatif

SDOM 14 Perempuan Negatif

TPM 14 Perempuan Negatif

TAP 15 Perempuan Negatif

YIN 14 Perempuan Negatif

YNS 14 Perempuan Negatif

BMTA 15 Perempuan Negatif

DAP 15 Perempuan Negatif

DGND 15 Perempuan Negatif

EJT 15 Perempuan Negatif

ERK 14 Perempuan Negatif

FY 14 Perempuan Negatif

GAS 15 Perempuan Negatif

IRNS 15 Perempuan Negatif

JAPHP 15 Perempuan Negatif

JMS 15 Perempuan Negatif

JPT 14 Perempuan Negatif

LRDS 15 Perempuan Negatif

MGSM 14 Perempuan Negatif

NNTP 15 Perempuan Negatif

NCS 15 Perempuan Negatif

NN 15 Perempuan Negatif

PYS 15 Perempuan Negatif

TGLS 14 Perempuan Negatif

VAVM 15 Perempuan Negatif

(59)

FORMULIR PERSETUJUAN PENELITIAN (Informed Consent)

Saya yang bernama Minarni Aritonang adalah mahasiswi S-1 Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara. Saya sedang mengadakan penelitian dengan judul “Insidensi Buta Warna Siswa kelas X SMA Santo Thomas 1 Medan”. Penelitian ini dilakukan sebagai salah satu syarat dalam menyelesaikan proses belajar mengajar pada program S-1 Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui banyaknya penderita buta warna pada siswa kelas X SMA Santo Thomas 1 Medan pada tahun 2014 sesuai dengan usia dan jenis kelamin.

Untuk keperluan tersebut saya mengharapkan izin bapak/ibu orangtua siswa agar siswa tersebut dapat berpartisipasi dalam penelitian ini. Penelitian ini bersifat sukarela dan tidak akan memberikan dampak yang membahayakan. Jika bapak/ibu bersedia, silahkan menandatangani persetujuan ini sebagai bukti kesukarelaan bapak/ibu.

Identitas pribadi siswa akan dirahasiakan dan semua informasi yang diberikan hanya akan digunakan untuk penelitian ini. Siswa berhak untuk ikut atau tidak ikut berpartisipan tanpa ada sanksi dan konsekuensi buruk dikemudian hari. Jika ada hal yang kurang dipahami siswa dapat bertanya langsung kepada peneliti atau menghubungi peneliti ke nomor 082165032555.

Atas perhatian dan izin bapak/ibu agar anaknya menjadi partisipan dalam penelitian ini, saya ucapkan terima kasih.

Medan, September 2014

Peneliti Orangtua/Wali

( Minarni Aritonang ) ( )

DATA SISWA Petunjuk Pengisian :

a. Jawablah pertanyaan sesuai dengan petunjuk

b. Untuk soal nomor 1,2 dan 4 isilah titik-titik sesuai dengan identitas anda c. Untuk soal nomor 3 dan 5 berilah tanda checklist pada kotak yang telah

(60)

d. Untuk soal nomor 6 akan diisi oleh peneliti

e. Untuk soal nomor 7 diisi oleh siswa dan coret yng tidak perlu Contoh menjawab :

Jenis Kelamin :

Laki-laki Perempuan

1.Nama :

2. Usia :

3. Jenis Kelamin :

Laki-laki Perempuan

4. Kelas :

5. Agama :

Islam Katolik Protestan Hindu Budha 6. Hasil Pemeriksaan :

Normal (trikromat)

Buta warna Merah-Hijau (red-green deficiency) Buta warna total (akromatopsia)

7. Riwayat Buta Warna pada keluarga: Ada/ Tidak

Peneliti Siswa

(61)

HASIL UJI STATISTIK Case Processing Summary

Cases

Valid Missing Total

N Percent N Percent N Percent

buta warna * umur responden

464 100.0% 0 .0% 464 100.0%

Jenis Kelamin

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid Laki-laki 221 47.6 47.6 47.6

Perempuan 243 52.4 52.4 100.0

Total 464 100.0 100.0

Buta Warna

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid Protanopia 5 1.1 1.1 1.1

Protanomalia 4 .9 .9 100.0

Usia Responden

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid 13 4 .9 .9 .9

14 160 34.5 34.5 35.3

15 288 62.1 62.1 97.4

16 11 2.4 2.4 99.8

17 1 .2 .2 100.0

(62)

Negatif 455 98.1 98.1 99.1

Total 464 100.0 100.0

Buta Warna * Jenis Kelamin Crosstabulation Count

Jenis Kelamin

Total Laki-laki Perempuan

Buta Warna Protanopia 5 0 5

Protanomalia 4 0 4

Negatif 212 243 455

Total 221 243 464

Buta Warna * Usia Responden Crosstabulation Count

Usia Responden

Total

13 14 15 16 17

Buta Warna Protanopia 0 2 3 0 0 5

Protanomalia 0 2 2 0 0 4

Negatif 4 156 283 11 1 455

(63)

LEMBAR HASIL KEGIATAN BIMBINGAN HASIL PENELITIAN

Dosen Pembimbing: dr. Zadi, Sp.M

TANGGAL MATERI DISKUSI MATERI DISKUSI

BERIKUTNYA

PARAF

Persiapan penelitian ke sekolah St. Thomas 1 Medan

Hasil Pengumpulan data di SPSS

Hasil SPSS dan BAB 5 HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Revisi BAB 5

Revisi BAB 5

BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN

BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN

Kata Pengantar dan ABSTRAK

Kata Pengantar dan ABSTRAK

Powerpoint Sidang KTI

Gambar

Gambar 2.1. Anatomi Retina (Sherwood, 2011).
Gambar 2.2. Siklus Penglihatan Rodopsin-Retina Pada Sel Batang
Gambar 2.3. a. Spektrum penyerapan cahaya yang relatif terjadi pada tiga kelas
Gambar 2.4. a. Protanopia b. Deutanopia c. Protanomalia d. Deuteranomalia
+5

Referensi

Dokumen terkait

Peralatan yang secara otomatis merespon sinyal dari control center secara real-time untuk mengatur daya aktif keluaran dari generator yang berada dalam suatu area tertentu

Seperti SAS (The Society for the Adherence of the Sunnah) di Amerika Serikat CRLO (Central for Scientific Research and Legal Opinions/) sebuah lembaga fatwa resmi di

KESATU ; Menetapkan Personalia Unit Pengelola Proyek Pengembangan dan Peningkatan Tujuh Universitas dalam Peningkatan Kualitas dan Relevansi Pendidikan di Indonesia, yang

Trait Treatment Interaction (TTI) menggunakan Adobe Flash terhadap keterampilan kolaborasi (Collaboration) peserta didik pada materi teori kinetik gas dan hukum

Arends (2012) menjelaskan bahwa ada lima tahapan dalam pembelajaran berbasis masalah, yaitu 1) mengenalkan siswa pada masalah; guru menyampaikan tujuan pembe- lajaran yang

Dari kode 9 diatas dapat dijelaskan pada baris pertama adalah fungsi untuk palikasi model database pegawai yang terdapat pada model tabel database aplikasi dan pada baris

Dengan terbentuknya Kabupaten Pidie Jaya sebagai daerah otonom, pemerintah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, Pemerintah Kabupaten Pidie, berkewajiban membina dan

Melalui itu, dari tiap-tiap penerima MAARIF Award 2014 akan diberikan ruang untuk mendiseminasikan gagasan dan praksis kerja kemanusiaannya pada komunitas lain yang