• Tidak ada hasil yang ditemukan

The development of a model for improving human resource quality and family well being in coastal area, West Java Province

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "The development of a model for improving human resource quality and family well being in coastal area, West Java Province"

Copied!
260
0
0

Teks penuh

(1)

PENINGKATAN KUALITAS SUMBERDAYA MANUSIA

DAN KESEJAHTERAAN KELUARGA

DI WILAYAH PESISIR PROVINSI JAWA BARAT

ISTIQLALIYAH MUFLIKHATI

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Analisis dan Pengembangan Model Peningkatan Kualitas Sumberdaya Manusia dan Kesejahteraan Keluarga di Wilayah Pesisir Provinsi Jawa Barat adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Bogor, Desember 2010

(3)

human resource quality and family well-being in coastal area, West Java Province. Under supervision of HARTOYO, UJANG SUMARWAN, ACHMAD FAHRUDIN, and HERIEN PUSPITAWATI.

One of the most problems of coastal communities in Indonesia is the high of poverty level and low of human resources quality. The purpose of this research is to develop a model for improving the quality of human resource and family well-being in coastal area. The study involved 280 families randomly selected from four districts of West Java. The results show that the quality of human resources in northern coastal tend to be lower than that of families in southern coastal area. Fisherman families tend to have lower quality of human resources rather than non-fisherman families. According to World Bank and BPS indicators, families in northern coastal area are wealthier than families in southern. Meanwhile, in terms of BKKBN and socio-metric indicators, it shows that families in southern coastal area tend to have higher family well-being than families in northern coastal area. Based on the analysis of structural equation model shows that family well-being in a coastal area can be improved by increasing family income, assets, gender relation in family decision making process, education and health conditions of family’s member, and reducing family size.

(4)

Kualitas Sumberdaya Manusia dan Kesejahteraan Keluarga di Wilayah Pesisir Provinsi Jawa Barat. Dibimbing oleh HARTOYO, UJANG SUMARWAN, ACHMAD FAHRUDIN, dan HERIEN PUSPITAWATI.

Wilayah pesisir merupakan wilayah yang unik karena merupakan wilayah peralihan antara ekosistem darat dan laut yang saling berinteraksi. Hal ini menyebabkan masyarakat pesisir juga memiliki karakteristik tersendiri akibat dari adaptasi terhadap lingkungannya. Hampir sepertiga masyarakat pesisir Indonesia hidup di bawah garis kemiskinan. Penelitian ini bertujuan untuk: 1) Menganalisis karakteristk keluarga di wilayah pesisir Jawa Barat, 2) Menganalisis relasi gender dalam pengambilan keputusan keluarga, 3) Menganalisis kualitas sumberdaya manusia, 4) Menganalisis tingkat kesejahteraan keluarga, 5) Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi kualitas sumberdaya manusia dan kesejahteraan keluarga, dan 5) Mengembangkan model peningkatan kualitas sumberdaya manusia dan kesejahteraan keluarga di wilayah pesisir.

Penelitian ini dilakukan di pesisir Jawa Barat yang memiliki dua wilayah pesisir yaitu pesisir utara (pantura) dan pesisir selatan (pansela). Lokasi penelitian mencakup empat kecamatan, dua di pantura (Gebang, Kabupaten Cirebon dan Kandanghaur, Kabupaten Indramayu) dan dua di pansela (Pelabuhanratu, Kabupaten Sukabumi dan Pangandaran, Kabupaten Ciamis). Pengambilan data dilaksanakan pada Bulan Januari 2008 sampai Februari 2009. Contoh diambil sebanyak 280 keluarga yang terdiri dari keluarga nelayan dan bukan nelayan. Data dianalisis secara deskriptif dengan Uji-t, Anova, regresi linier berganda, regresi logistik, dan structural equation model (SEM). Kesejahteraan keluarga diukur dengan berbagai indikator yaitu indikator World Bank, Garis Kemiskinan dari Badan Pusat Statistik (BPS), Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), dan sosial metrik.

Hasil penelitian menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan antara karakteristik keluarga nelayan dan bukan nelayan di wilayah pesisir utara dan selatan Jawa Barat. Dilihat dari mata pencaharian utama keluarga, keluarga nelayan memiliki jumlah anggota keluarga dan pendapatan keluarga yang lebih besar daripada keluarga bukan nelayan. Namun keluarga nelayan memiliki total aset dan tingkat pendidikan suami-istri yang lebih rendah daripada keluarga bukan nelayan. Dilihat dari wilayah tempat tinggal, keluarga di pantura memiliki besar keluarga, pendapatan, dan aset yang lebih besar daripada keluarga di pansela. Akan tetapi pendidikan suami dan istri pada keluarga di pantura lebih rendah daripada di pansela.

Relasi gender dalam pengambilan keputusan keluarga di wilayah pesisir pada umumnya masih rendah. Pengambilan keputusan kegiatan domestik lebih didominasi oleh istri, namun untuk kegiatan publik/kemasyarakatan pengambilan keputusan melibatkan dua pihak (suami dan istri). Indeks relasi gender pada keluarga nelayan lebih tinggi daripada keluarga bukan nelayan. Sementara itu relasi gender pada keluarga di pantura lebih tinggi daripada keluarga di pansela. Berdasarkan hasil analisis regresi berganda, besar keluarga berpengaruh negatif signifikan terhadap indeks relasi gender. Sementara itu pengeluaran keluarga dan persepsi terhadap peran gender berpengaruh positif signifkan terhadap relasi gender.

(5)

besar keluarga dan pendidikan ibu.

Dengan menggunakan indikator World Bank dan BPS, kesejahteraan keluarga nelayan lebih tinggi dibandingkan dengan keluarga bukan nelayan. Namun dengan menggunakan indikator rumah tangga miskin penerima bantuan langsung tunai (BLT), BKKBN, dan sosial metrik, keluarga bukan nelayan lebih sejahtera dibandingkan keluarga nelayan. Sementara itu, keluarga di pantura lebih sejahtera daripada keluarga di pansela jika kesejahteraan diukur dengan menggunakan indikator World Bank dan BPS (garis kemiskinan dan kriteria rumah tangga miskin BLT). Seballiknya dengan menggunakan indikator BKKBN dan sosial metrik, keluarga di pansela berpeluang lebih sejahtera dibandingkan keluarga di pantura. Fenomena ini menunjukkan bahwa penggunaan alat ukur kesejahteraan yang berbeda akan menghasilkan perbedaan tingkat kesejahteraan keluarga.

Faktor-faktor yang berpengaruh secara signifikan terhadap kesejahteraan keluarga dengan menggunakan analisis SEM adalah mata pencaharian utama keluarga (nelayan dan bukan nelayan), besar keluarga, tingkat pendidikan kepala keluarga, nilai aset, pengeluaran keluarga, relasi gender, dan kualitas sumberdaya manusia dalam keluarga. Keseluruhan variabel tersebut berpengaruh positif terhadap tingkat kesejahteraan keluarga di wilayah pesisir, kecuali besar keluarga.

Model peningkatan kualitas sumberdaya manusia dan kesejahteraan keluarga di wilayah pesisir mencakup tiga pilar, yaitu kemandirian ekonomi, peningkatan kualitas sumberdaya manusia, serta perbaikan kehidupan sosial. Berdasarkan pendekatan teori ekosistem keluarga, maka model peningkatan kesejahteraan keluarga di wilayah pesisir tidak hanya menyentuh faktor internal keluarga, tetapi juga mencakup lingkungan mikro dan lingkungan makronya. Lingkungan mikro yang dimaksud adalah dengan meningkatkan modal sosial yang ada dalam masyarakat serta mengembangkan kelembagaan sosial ekonomi. Sedangkan lingkungan makro yang harus dikembangkan adalah pembangunan infrastruktur, aksesibilitas terhadap pelayanan pendidikan dan kesehatan, program-program pengentasan kemiskinan dan pemberdayaan keluarga, serta tetap menjaga kelestarian sumberdaya alam.

Berdasarkan hasil penelitian tersebut, agar program pengentasan kemiskinan atau peningkatan kesejahteraan keluarga khususnya di wilayah pesisir dapat berjalan lebih efektif dan efisien, maka upaya yang harus dilakukan oleh pemerintah adalah sebagai berikut: 1) Dalam menetapkan sasaran program, perlu penggunaan indikator yang tepat untuk meminimalisir kesalahan, 2) hendaknya program KB lebih digencarkan kembali mengingat besar keluarga memiliki pengaruh yang negatif terhadap tingkat kesejahteraan keluarga, 3) Program peningkatan kesejahteraan dilakukan dengan menggunakan pendekatan sustainable livelihood yang tidak hanya diarahkan pada peningkatan pendapatan tetapi juga aspek yang lain, seperti: pendidikan, kesehatan, dan modal sosial (kemasyarakatan), dan 4) Proses pemberdayaan hendaknya tidak hanya menggunakan pendekatan individu atau kelompok, tetapi juga pendekatan keluarga.

(6)

© Hak Cipta milik IPB, Tahun 2010

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau

menyebutkan sumber:

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya

ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah;

b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.

2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini

(7)

DAN KESEJAHTERAAN KELUARGA

DI WILAYAH PESISIR PROVINSI JAWA BARAT

ISTIQLALIYAH MUFIKHATI

Disertasi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar doktor pada Program Studi Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(8)

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tertutup : 1. Dr.Ir. Diah Krisnatuti, M.S. 2. Dr.Ir. Arif Satria, M.Si Penguji Luar Komisi pada Ujian Terbuka:

(9)

Keluarga di Wilayah Pesisir Provinsi Jawa Barat

Nama : Istiqlaliyah Muflikhati

NRP : A 561030021

Progam Studi : Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga

Disetujui Komisi Pembimbing

Dr.Ir. Hartoyo, M.Sc. Ketua

Prof. Dr.Ir. Ujang Sumarwan, M.Sc. Anggota

Dr.Ir. Achmad Fahrudin, M.Si. Anggota

Dr.Ir. Herien Puspitawati, M.Sc.,M.Sc. Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi GMK Dekan Sekolah Pascasarjana IPB

drh. M Rizal Damanik, M.Rep.Sc,Ph.D. Prof.Dr.Ir. Khairil A Notodiputro, MS.

(10)

hidayahNya sehingga disertasi ini dapat diselesaikan. Disertasi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga, Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

Disertasi yang berjudul Analisis dan Pengembangan Model Peningkatan Kualitas Sumberdaya Manusia dan Kesejahteraan Keluarga di Wilayah Pesisir Provinsi Jawa Barat ini bertujuan untuk menyusun sebuah model peningkatan kesejahteraan bagi keluarga di wilayah pesisir khususnya keluarga nelayan.

Disertasi ini tidak akan dapat diselesaikan tanpa bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu ucapan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya penulis sampaikan kepada:

1. Dr. Ir. Hartoyo, M.Sc. selaku ketua komisi pembimbing, Prof.Dr.Ir. Ujang Sumarwan, M.Sc., Dr. Ir. Achmad Fahrudin, M.Si, dan Dr.Ir. Herien Puspitawati, M.Sc.,M.Sc. selaku anggota komisi pembimbing yang dengan kesabarannya senantiasa memberikan arahan dan bimbingan kepada penulis sejak penyusunan proposal hingga selesainya disertasi ini.

2. Dr.Ir. Hedi M. Idris, M.Sc. dan Dr.Ir. Luky Adrianto, M.Sc. selaku dosen penguji luar komisi pada ujian terbuka atas masukannya untuk menyempurnakan disertasi ini.

3. Dr.Ir. Diah Krisnatuti, M.S. selaku dosen penguji luar komisi pada ujian tertutup dan pembahas pada kolokium yang telah memberikan banyak masukan dan koreksi atas proposal penelitian dan disertasi.

4. Dr.Ir. Arif Satria, M.Si. selaku dosen penguji luar komisi pada ujian tertutup sekaligus sebagai pemimpin sidang pada ujian terbuka atas masukan dan saran yang sangat membangun.

5. Prof.Dr.Ir. Ahmad Sulaeman, M.Sc. sebagai pemimpin pada ujian tertutup. 6. Dr.Ir. Dwi Hastuti, M.Sc. sebagai dosen penguji luar komisi pada prelim lisan

atas masukan bagi perbaikan proposal penelitian.

7. Ditjen DIKTI atas beasiswa dan bantuan biaya penyelesaian disertasi. 8. Kepala Dinas Perikanan Provinsi Jawa Barat atas pemberian izin dan data. 9. Ketua Program Studi Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga dan Dekan

(11)

penulis untuk melanjutkan studi.

11. Dosen-dosen dan staf kependidikan pada Departemen Ilmu Keluarga dan Konsumen FEMA IPB yang tidak henti-hentinya memberi dorongan dan semangat pada penulis untuk menyelesaikan disertasi.

12. Ibu Etty Eidman, SH., Bapak Sahat Simanjuntak, M.Sc, serta bapak/ibu dosen eks Departemen Sosial Ekonomi Perikanan FPIK yang telah banyak memberikan dukungan bagi penulis.

13. Tim peneliti Kontribusi Sektor Perikanan terhadap Peningkatan IPM Jawa Barat (Dr.Ir Hartoyo, M.Sc., Dr.Ir. Yusli Wardiatno, M.Sc., Ir. Gatot Yulianto, M.Si., Ali Mashar, SP, dan Megawati Simanjuntak, SP, M.Si.) yang telah memberikan izin dan kesempatan bagi penulis untuk ikut serta dalam penelitian dan menggunakan datanya.

14. Rekan-rekan enumerator yang membantu dalam pengambilan data primer di lapangan (Sa’adillah Fauzi, S.Pi., Hary Rachmat, S.Pi., Defa Saputra, S.Pi., Juliani, SP, Juliana Handriana, SPi., Hardinal, S.Pi., Arofiq, S.Pi., Bangun Satrio, S.Pi., dan Atika Rahma, S.Si.).

15. Dr. Lilik Noor Yuliati, Dr. Lilik Kustiyah, Dr. Nunik Sri Aryanti, Dr. Anna Fatchiya, Mbak Waysima, Mbak Uke, dan Mbak Meda atas kebersamaan dan pemberian semangatnya.

16. Mbak Ir. Lusi Fausia, M.Ec. yang selalu membesarkan hati dan memberikan semangat serta dorongan baik moril maupun materiil.

17. Prof.Dr.Ir. Kudang Boro Seminar dan Ibu atas ilmu dan nasihat spiritual sehingga penulis tetap semangat untuk menyelesaikan studi.

18. Seluruh keluarga yang selalu memberikan dorongan semangat dan doa. 19. Mbak Atun, Mbak Yayu, Ibu Yuyu, Bu Halimah, dan semua pihak yang telah

membantu baik langsung maupun tidak langsung dalam penyusunan disertasi ini yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu.

Semoga Allah membalas semua kebaikan yang telah diberikan dengan berlipat ganda dan diberikan kelancaran dalam setiap urusannya.

Penulis menyadari bahwa disertasi ini masih jauh dari sempurna, namun demikian semoga disertasi ini bermanfaat bagi para pembacanya.

Bogor, Desember 2010

(12)

Penulis dilahirkan di Salatiga, Jawa Tengah pada tanggal 16 Juni 1964. Penulis merupakan puteri dari pasangan Bapak Moch Damanhuri (alm) dan Ibu Siti Chodijah (almh).

Penulis menamatkan sekolah menengah atas di SMA Negeri Salatiga pada tahun 1982. Pada tahun yang sama penulis diterima di Institut Pertanian Bogor melalui jalur Perintis II. Pada tahun 1983 penulis masuk ke Fakultas Perikanan IPB Jurusan Sosial Ekonomi Perikanan dan menamatkannnya pada tahun 1987. Pada tahun 1989 penulis bekerja sebagai staf pengajar pada Jurusan Sosial Ekonomi Perikanan, Fakultas Perikanan IPB.

Pada tahun 1991 penulis melanjutkan studi pada Sekolah Pascasarjana IPB dengan mengambil Program Studi Ekonomi Pertanian (EPN) dan mendapatkan gelar Magister Sains pada tahun 1995. Tahun 2003 penulis berkesempatan melanjutkan studi program doktor pada Program Studi Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga, Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

(13)

DAFTAR TABEL ... xvi

DAFTAR GAMBAR ... xix

DAFTAR LAMPIRAN ... xx

PENDAHULUAN ... 1

Latar Belakang ... 1

Perumusan Masalah ... 4

Tujuan Penelitian ... 7

Manfaat Penelitian ... 7

TINJAUAN PUSTAKA ... 9

Pengertian Keluarga dan Pendekatan Teori Keluarga ... 9

Pengertian Keluarga ... 9

Fungsi Keluarga ... 10

Pendekatan Teori Keluarga ... 12

Sumberdaya Manusia ... 20

Kualitas Sumberdaya Manusia ... 21

Faktor-faktor Penentu Kualitas Sumberdaya Manusia ... 24

Kesejahteraan Keluarga dan Kemiskinan ... 29

Konsep Kesejahteraan Keluarga ... 29

Konsep Kemiskinan ... 31

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kemiskinan dan Kesejahteraan Keluarga ... 35

Karakteristik Wilayah dan Masyarakat Pesisir ... 37

Karakteristik Wilayah Pesisir ... 37

Karakteristik Masyarakat Pesisir ... 38

Program Penanggulangan Kemiskinan dan Peningkatan Kesejahteraan ... 42

KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS ... 47

Kerangka Pemikiran ... 47

Hipotesis ... 50

METODE PENELITIAN ... 51

Desain, Lokasi, dan Waktu Penelitian ... 51

Desain Penelitian ... 51

Lokasi Penelitian ... 51

(14)

Kontrol Kualitas Data ... 56

Pengukuran Variabel Penelitian ... 57

Analisis Data ... 61

Definisi Operasional ... 66

HASIL DAN PEMBAHASAN ... 69

Keadaan Umum Lokasi Penelitian ... 69

Letak Geografis dan Luas Wilayah ... 69

Kondisi Sosial Ekonomi Penduduk ... 70

Prasarana dan Sarana ... 73

Program Peningkatan Kesejahteraan ... 75

Karakteristik Keluarga Contoh ... 77

Tipe dan Besar Keluarga ... 77

Umur Suami dan Istri ... 80

Pendidikan Suami dan Istri ... 84

Pekerjaan Suami dan Istri ... 89

Keadaan Ekonomi Keluarga Contoh ... 94

Kepemilikan Aset ... 94

Pola Pendapatan Keluarga ... 98

Pola Pengeluaran Keluarga ... 105

Bantuan yang Pernah Diterima ... 115

Karakteristik Usaha Perikanan Keluarga Contoh ... 118

Status Usaha ... 118

Armada dan Alat Tangkap yang Digunakan ... 119

Musim dan Daerah Penangkapan ... 123

Jenis Ikan yang Ditangkap ... 126

Relasi Gender dalam Pengambilan Keputusan Keluarga ... 129

Relasi Gender dalam Pengambilan Keputusan Kegiatan Domestik ... 131

Relasi Gender dalam Pengambilan Keputusan Kegiatan Publik/Kemasyarakatan ... 134

Relasi Gender dalam Pengambilan Keputusan Kegiatan Domestik dan Publik/Kemasyarakatan ... 137

(15)

Tingkat Pendidikan Keluarga ... 152

Kualitas SDM Keluarga ... 159

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kualitas Sumberdaya Manusia Keluarga ... 161

Tingkat Kesejahteraan Keluarga ... 164

Indikator World Bank ... 164

Indikator BPS ... 166

Indikator BKKBN ... 171

Indikator Sosial Metrik ... 175

Analisis Sensitivitas dan Spesifisitas Berbagai Indikator ... 180

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kesejahteraan Keluarga ... 184

Pembahasan Umum ... 192

Model Peningkatan Kualitas SDM dan Kesejahteraan Keluarga ... 198

Keterbatasan Penelitian ... 206

KESIMPULAN DAN SARAN ... 211

Kesimpulan ... 211

Saran ... 212

DAFTAR PUSTAKA ... 215

(16)

1. Persyaratan untuk pembangunan manusia dari berbagai ahli ... 22

2. Isu-isu pembangunan manusia dan indikatornya ... 24

3. Beberapa konsep tentang kemiskinan ... 33

4. Teori Neo-liberal dan Demokrasi Sosial tentang kemiskinan…………. ... 34

5. Hasil penelitian yang menunjukkan hubungan antara kemiskinan dan ketergantuangan pada sumberdaya alam ... 36

6. Lokasi penelitian ... 52

7. Variabel penelitian dan pengukurannya ... 62

8. Uji kecocokan model dalam SEM ... 66

9. Kondisi geografis serta batas wilayah adminsitratif kecamatan lokasi penelitian ... 70

10. Persentase penduduk berdasarkan agama, mata pencaharian, dan tingkat pendidikan di lokasi penelitian menurut kecamatan, Tahun 2007 ... 72

11. Jumlah prasarana pendidikan, kesehatan, peribadatan, dan perekonomian di lokasi penelitian menurut kecamatan ... 74

12. Sebaran contoh berdasarkan tipe keluarga, mata pencaharian utama, dan wilayah tempat tinggal ... 78

13. Sebaran contoh berdasarkan besar keluarga, mata pencaharian utama, dan wilayah tempat tinggal ... 80

14. Sebaran keluarga contoh berdasarkan umur suami, mata pencaharian utama, dan wilayah tempat tinggal ... 81

15. Sebaran keluarga contoh berdasarkan umur istri, mata pencaharian utama, dan wilayah tempat tinggal ... 83

16. Sebaran keluarga contoh berdasarkan tingkat pendidikan suami, mata pencaharian utama, dan wilayah tempat tinggal ... 85

17. Sebaran keluarga contoh berdasarkan tingkat pendidikan istri, mata pencaharian utama, dan wilayah tempat tinggal ... 87

18. Sebaran keluarga contoh berdasarkan pekerjaan utama suami, mata pencaharian utama, dan wilayah tempat tinggal ... 89

19. Sebaran keluarga contoh berdasarkan kepemilikan pekerjaan sampingan suami, mata pencaharian utama, dan wilayah tempat tinggal ... 90

20. Sebaran keluarga contoh berdasarkan pekerjaan utama istri, mata pencaharian utama, dan wilayah tempat tinggal ... 92

21. Sebaran keluarga contoh berdasarkan kepemilikan pekerjaan sampingan istri, mata pencaharian utama, dan wilayah tempat tinggal .. 93

(17)

mata pencaharian utama, dan wilayah tempat tinggal ... 97 25. Sebaran keluarga contoh berdasarkan pendapatan keluarga

per bulan, mata pencaharian utama, dan wilayah tempat tinggal ... 99 26. Sebaran keluarga contoh berdasarkan pendapatan per kapita

per bulan, mata pencaharian utama, dan wilayah tempat tinggal ... 101 27. Rataan pendapatan keluarga contoh berdasarkan sumber

pencari nafkah, mata pencaharian utama, dan wilayah tempat tinggal ... 103 28. Sebaran keluarga contoh berdasarkan pengeluaran keluarga

per bulan, mata pencaharian utama, dan wilayah tempat tinggal ... 106 29. Sebaran keluarga contoh berdasarkan kondisi keuangan keluarga,

mata pencaharian utama, dan wilayah tempat tinggal ... 108 30. Sebaran keluarga contoh berdasarkan pengeluaran per kapita

per bulan, mata pencaharian utama, dan wilayah tempat tinggal ... 109 31. Rataan alokasi pengeluaran per kapita per bulan, mata pencaharian

utama, dan wilayah tempat tinggal ... 111 32. Rataan alokasi dan persentase pengeluaran pangan per kapita

keluarga contoh berdasarkan mata pencaharian utama, dan wilayah tempat tinggal ... 113 33. Rataan alokasi dan persentase pengeluaran bukan pangan

per kapita keluarga contoh berdasarkan mata pencaharian utama, dan wilayah tempat tinggal ... 115 34. Sebaran keluarga contoh berdasarkan jenis bantuan yang pernah

diterima, mata pencaharian utama, dan wilayah tempat tinggal ... 117 35. Sebaran keluarga contoh berdasarkan banyaknya jenis bantuan

yang pernah diterima ... 118 36. Sebaran keluarga nelayan contoh berdasarkan status usaha ... 119 37. Sebaran keluarga nelayan contoh berdasarkan jenis armada

penangkapan ... 120 38. Sepuluh jenis alat tangkap yang dominan digunakan oleh keluarga nelayan contoh menurut wilayah ... 122 39. Sebaran keluarga nelayan contoh berdasarkan jumlah jenis

alat tangkap yang digunakan ... 123 40. Sebaran keluarga nelayan contoh berdasarkan jangkauan daerah

penangkapan (fishing ground) ... 125 41. Sebaran keluarga nelayan contoh berdasarkan jenis ikan

hasil tangkapan utama ... 126 42. Sebaran keluarga nelayan contoh berdasarkan tujuan pemasaran ... 128 43. Sebaran keluarga contoh berdasarkan persepsi terhadap peran

(18)

kegiatan domestik, mata pencaharian utama, dan wilayah tempat tinggal ... 133 46. Frekuensi dan persentase keluarga contoh berdasarkan

pengambil keputusan kegiatan publik/kemasyarakatan ... 135 47. Sebaran keluarga contoh berdasarkan berdasarkan katagori

kerjasama dalam kegiatan publik/kemasyarakatan, mata pencaharian

utama, dan wilayah tempat tinggal ... 136 48. Sebaran keluarga contoh berdasarkan berdasarkan katagori

kerjasama dalam kegiatan domestik dan publik ... 138 49. Nilai koefisien regresi faktor-faktor yang mempengaruhi

relasi gender pada keluaraga di wilayah pesisir ... 140 50. Sebaran keluarga contoh menurut anggota keluarga yang sakit

selama satu bulan terakhir, mata pencaharian utama dan wilayah tempat tinggal ... 142 51. Sebaran keluarga contoh menurut jumlah anggota keluarga yang

sakit menurut kelompok keluarga nelayan dan bukan nelayan ... 143 52. Sebaran keluarga contoh menurut jenis penyakit yang banyak

diderita oleh anggota keluarga menurut kelompok keluarga nelayan dan bukan nelayan ... 145 53. Sebaran keluarga contoh berdasarkan frekuensi sakit dan kategori keluarga berdasarkan mata pencaharian utama ... 144 54. Sebaran keluarga contoh berdasarkan lama sakit anggota keluarga

dan mata pencaharian utama ... 147 55. Sebaran keluarga contoh berdasarkan upaya pengobatan ketika

anggota keluarga menderita sakit ... 149 56. Sebaran keluarga contoh berdasarkan kategori tingkat kesehatan ... 151 57. Sebaran keluarga contoh berdasarkan rata-rata lama sekolah,

mata pencaharian utama dan wilayah tempat tinggal ... 153 58. Sebaran keluarga contoh berdasarkan angka melek huruf,

mata pencaharian utama dan wilayah tempat tinggal ... 155 59. Sebaran keluarga contoh berdasarkan angka partisipasi sekolah,

mata pencaharian utama dan wilayah tempat tinggal ... 157 60. Sebaran keluarga contoh berdasarkan indeks pendidikan keluarga,

mata pencaharian utama dan wilayah tempat tinggal ... 158 61. Sebaran keluarga contoh berdasarkan indeks kualitas sumberdaya

manusia, mata pencaharian utama dan wilayah tempat tinggal ... 160 62. Nilai koefisien regresi faktor-faktor yang mempengaruhi IKSDM ... 162 63. Sebaran keluarga contoh berdasarkan kategori miskin menurut

(19)

tangga miskin menurut indikator BPS (penerima BLT) ... 169 66. Sebaran persentase keluarga contoh berdasarkan kategori miskin

menurut indikator BPS (penerima BLT) ... 171 67. Sebaran keluarga contoh berdasarkan kategori keluarga sejahtera

menurut indikator BKKBN ... 172 68. Sebaran persentase keluarga contoh menurut alasan ekonomi BKKBN ... 174 69. Sebaran keluarga contoh berdasarkan kategori miskin menurut

indikator alasan ekonomi, mata pencaharian utama, dan wilayah tempat tinggal ... 175 70. Skor rataan indikator sosial metric pada keluarga contoh ... 177 71. Sebaran keluarga contoh berdasarkan kategori miskin menurut

indikator sosial metrik ... 180 72. Sebaran keluarga contoh berdasarkan kategori miskin menurut

berbagai indikator, mata pencaharian utama, dan wilayah tempat tinggal ... 181 73. Sebaran keluarga contoh berdasarkan status kemiskinan menurut

berbagai indikator kesejahteraan dengan gold standard indikator

kemiskinan garis kemiskinan BPS ... 182 74. Analisis sensitivitas dan spesifisitas berbagai indikator

kesejahteraan dengan gold standard indikator kemiskinan Garis Kemiskinan BPS ... 183 75. Nilai koefisien regresi logistik faktor-faktor yang mempengaruhi

tingkat kesejahteraan keluarga di wilayah pesisir ... 187 76. Pengaruh wilayah, karakteristik keluarga, dan relasi gender terhadap

(20)

1. Lingkungan mikro dan makro dalam sistem keluarga (Deacon & Firebaugn 1988) ... 17 2. Hubungan antara input dan output dalam pembentukan kualitas manusia dan penduduk ... 25 3. Kerangka pemikiran konseptual... 49 4. Alur penentuan lokasi dan contoh penelitian ... 52 5. Model analisis faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kesejahteraan

keluarga di wilayah pesisir ... 65 6. Model pengaruh wilayah, karakteristik keluarga, dan relasi gender

terhadap kualitas SDM dan kesejahteraan keluarga di wilayah pesisir Jawa Barat ... 189 7. Model peningkatan kualitas SDM dan kesejahteraan keluarga di wilayah

(21)

1. Peta Lokasi Penelitian ... 225

2. Hasil Analisis Reliabilitas ... 226

3. Kriteria Rumah Tangga Miskin Penerima BLT (BPS)... 232

4. Kriteria Keluarga Sejahtera BKKBN ... 233

5. Kesejahteraan Keluarga Indikator Sosiometrik ... 235

6. Korelasi antar indikator kemiskinan ... 236

7. Korelasi antar variabel ... 237

(22)
(23)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Pembangunan di setiap negara pada hakekatnya bertujuan untuk meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan masyarakat. Namun pada kenyataannya hampir seluruh negara di dunia ini masih menghadapi permasalahan yang sulit diatasi, yaitu kemiskinan. Oleh karenanya masalah kemiskinan mendapatkan perhatian besar dari masyarakat internasional. Hal ini dibuktikan dengan disetujuinya agenda utama Millenium Development Goals (MDGs) yang menempatkan penanggulangan kemiskinan dan kelaparan sebagai tujuan pertama dari 8 tujuan yang ditetapkan. Delapan tujuan yang tertuang dalam MDGs adalah sebagai berikut: (1) Menanggulangi kemiskinan dan kelaparan, (2) Mencapai pendidikan dasar untuk semua, (3) Mendorong kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan, (4) Menurunkan angka kematian anak, (5) Meningkatkan kesehatan ibu, (6) Memerangi HIV/AIDS, malaria, dan penyakit lainnya, (7) Memastikan kelestarian lingkungan hidup, dan (8) Mengembangkan kemitraan global dalam pembangunan. Berkaitan dengan itu, salah satu target utama yang harus dicapai adalah menurunkan proporsi penduduk miskin pada Tahun 2015 menjadi setengah dari proporsi penduduk miskin pada Tahun 1990. Sebagai negara yang turut serta menyetujui MDGs, strategi pembangunan nasional Indonesia diarahkan untuk mendukung tercapainya target MDGs tersebut.

Berbagai kebijakan pembangunan umumnya diarahkan pada pertumbuhan ekonomi (economic growth). Dalam rangka pencapaian pertumbuhan ekonomi tersebut, indikator makro ekonomi yaitu gross national product (GNP) atau gross domestic product (GDP) lebih sering dijadikan sebagai indikator yang menggambarkan keberhasilan pembangunan. Selain itu seringkali dijumpai bahwa target pembangunan lebih diarahkan pada aspek yang secara fisik langsung terukur dan sangat kecil porsinya pada investasi jangka panjang seperti pembangunan pada sumberdaya manusia.

(24)

yaitu dimensi hidup sehat dan lama (life expectancy), dimensi pengetahuan (lama sekolah dan melek huruf), dan dimensi standar hidup atau daya beli masyarakat (pengeluaran per kapita).

Menurut laporan UNDP yang tertuang dalam Human Development Report (HDR), pada Tahun 2000, Indonesia memiliki nilai HDI 0,673 dan menduduki peringkat 93 dari 132 negara. Pada Tahun 2003 Indonesia berada pada peringkat 112 dari 174 negara dan pada Tahun 2004, kedudukan Indonesia meningkat menjadi peringkat 111 dari 177 negara. Demikian pula pada Tahun 2006 HDI Indonesia mengalami peningkatan dan menduduki peringkat 108 dari 177 negara. Selanjutnya, pada Human Development Report (HDR) 2007/2008 posisi Indonesia meningkat lagi menjadi ke peringkat 107 dari 177 negara. Kemudian menurut HDR 2009, Indonesia memiliki HDI sebesar 0,734 dan menduduki peringkat 111 dari 182 negara. Meskipun mengalami peningkatan HDI, namun kondisi tersebut memperlihatkan bahwa kualitas sumberdaya manusia Indonesia masih relatif rendah dibandingkan dengan negara-negara lain, khususnya dengan negara tetangga serumpun seperti Malaysia, Thailand, dan Philipina.

Kurang berhasilnya pembangunan nasional juga ditunjukkan dengan masih banyaknya penduduk miskin yang ada di Indonesia. Berdasarkan garis kemiskinan yang telah ditetapkan BPS, jumlah penduduk miskin Indonesia pada Tahun 1976 mencapai 54,2 juta jiwa atau 40,1 persen dari total penduduk Indonesia. Selanjutnya selama 20 tahun jumlah penduduk miskin mengalami penurunan sebanyak 19,7 juta jiwa sehingga menjadi 34,5 juta jiwa atau 23,4 persen pada Tahun 1996. Namun dengan adanya krisis moneter pada Tahun 1997 yang kemudian diikuti oleh krisis multidimensi, angka kemiskinan Indonesia mengalami peningkatan kembali. Pada Tahun 1998 jumlah penduduk miskin meningkat menjadi 49,5 juta jiwa (24,2 persen). Selanjutnya penduduk miskin berangsur-angsur mulai menurun sampai pada Tahun 2005 menjadi tinggal 35,1 juta jiwa (15,97 persen). Meskipun demikian target untuk menurunkan tingkat kemiskinan menjadi 7,6 persen pada Tahun 2015 akan sulit tercapai, karena pada Tahun 2010 ternyata penduduk miskin masih sebanyak 31,02 juta jiwa atau 13,33 persen dari total penduduk Indonesia.

(25)

miskin yang tinggal di wilayah perkotaan sebanyak 11,10 juta jiwa atau 9,87 persen. Salah satu kelompok masyarakat yang dianggap miskin bahkan paling miskin di antara penduduk miskin adalah masyarakat nelayan. Masyarakat nelayan merupakan bagian dari masyarakat pesisir yang di Indonesia berjumlah lebih kurang 16,42 juta jiwa. Masyarakat pesisir tersebar di 8.090 desa pesisir dan terdiri atas 4,2 juta jiwa nelayan, 2,67 juta jiwa pembudidaya ikan, serta 9,73 juta jiwa kelompok sosial lain. Dari keseluruhan masyarakat pesisir tersebut, sebanyak 32,14 persen atau 5,25 juta jiwa hidup di bawah garis kemiskinan (Direktorat PMP, 2006).

Beranjak dari realitas tersebut, masalah kemiskinan terutama di wilayah perdesaan dan pesisir harus terus ditanggulangi untuk mewujudkan masyarakat yang sejahtera. Masyarakat yang sejahtera akan tercipta jika keluarga sebagai unit sosial terkecil dari masyarakat juga sejahtera. Sementara itu untuk mewujudkan keluarga yang sejahtera diperlukan pengelolaan sumberdaya keluarga yang baik. Menurut Bryant (1990), sumberdaya yang dimiliki keluarga mencakup sumberdaya manusia, materi, dan finansial. Ketiga sumberdaya keluarga tersebut memiliki sifat terbatas, sehingga perlu dikelola dengan baik untuk mencapai tujuan keluarga, yaitu kesejahteraan.

Pengelolaan sumberdaya keluarga dapat berjalan dengan baik jika suami dan istri memiliki kemampuan untuk mengelola sumberdaya tersebut. Oleh karenanya pendidikan, pengetahuan, dan keterampilan sangat menentukan keberhasilan dalam mengelola sumberdaya keluarga. Disamping itu, kerjasama yang baik antara suami-istri dalam menjalankan peran dan fungsi masing-masing (relasi gender) dapat mendukung keberhasilan dalam mengelola sumberdaya keluarga yang dimilikinya. Kerjasama relasi gender tidak hanya terbatas pada kerjasama fisik tetapi juga menyangkut ide yang dikembangkan secara bersama.

(26)

Perumusan Masalah

Kemiskinan masyarakat di wilayah pesisir, khususnya masyarakat nelayan menurut berbagai pandangan lebih banyak disebabkan oleh ketergantungannya kepada sumberdaya alam. Akan tetapi faktanya kemiskinan nelayan merupakan fenomena yang kompleks. Di samping mencakup pendapatan yang rendah, kemiskinan nelayan juga mencakup komponen lain seperti: rendahnya tingkat kesehatan, rendahnya tingkat pendidikan, terpisah secara sosial (social exclusion), pengabaian hak (entitlement failure), rentan terhadap goncangan, dan tidak memiliki kekuatan politik (Béné 2003).

Lubis (2010) menegaskan bahwa paling tidak ada tiga ciri khas masyarakat pesisir. Ciri khas pertama adalah kekurangan (kemiskinan), kedua adalah keterbelakangan, dan ketiga kekumuhan. Fenomena ini juga diperjelas dengan studi-studi mengenai masyarakat pesisir, khususnya masyarakat nelayan di berbagai wilayah Indonesia. Hasil studi memberikan gambaran yang jelas bahwa persoalan kerawanan sosial-ekonomi seperti kemiskinan, kesenjangan sosial, keterbatasan akses pendidikan dan kesehatan, kelembagaan sosial yang lemah, serta kesulitan akses permodalan, teknologi, dan pasar merupakan permasalahan serius yang dihadapi oleh masyarakat pesisir.

Berkenaan dengan pencapaian MDG’s, maka masyarakat pesisir merupakan sasaran yang tepat bagi program-program yang diarahkan untuk mempercepat pencapaian target tersebut. Disamping masalah kemiskinan serta tingkat pendidikan dan kesehatan yang rendah, peran gender pada masyarakat pesisir juga belum optimal. Hal ini sesuai dengan pernyataan King dan Mason (2002) bahwa ketidaksetaraan gender dalam masalah pendidikan dan kesehatan paling banyak ditemui di kalangan kaum miskin.

(27)

anak perempuan, meskipun pada kenyataannya di kemudian hari seringkali perempuan memiliki pekerjaan rangkap antara kegiatan domestik seperti memasak, mengasuh anak, dan sekaligus melakukan pekerjaan publik atau pekerjaan yang berpenghasilan.

Bukti empiris dari banyak negara di dunia menunjukkan bahwa masyarakat dengan ketidaksetaraan dan keadilan gender yang berkepanjangan akan menimbulkan kesenjangan produktivitas yang berdampak pada kemiskinan, kekurangan gizi, beragam penyakit, dan kerugian-kerugian lainnya. Jika hal ini juga terjadi pada keluarga di wilayah pesisir, terutama pada keluarga nelayan, maka keluarga nelayan akan tetap memiliki ciri khusus yaitu miskin, terbelakang, dan kumuh.

Ciri khusus pada masyarakat nelayan tersebut sangat ironis mengingat Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang memiliki laut seluas sekitar 5,8 juta km2. Luas perairan laut tersebut belum termasuk dengan perairan zona ekonomi eksklusif Indonesia (ZEEI) seluas 2,1 juta km2. Di dalam laut tersebut tersimpan potensi sumberdaya yang sangat berlimpah, baik sumberdaya perikanan maupun sumberdaya pesisir dan laut lainnya. Di samping itu Indonesia juga terkenal memiliki garis pantai terpanjang kedua di dunia setelah Kanada. Panjang garis pantai Indonesia lebih kurang 81.000 km (Kusumastanto 2002; Dahuri 2003).

Provinsi Jawa Barat merupakan salah satu provinsi yang memiliki garis pantai cukup panjang dan desa pesisir cukup banyak (334 desa pesisir atau 7,75 persen dari total desa yang ada di Provinsi Jawa Barat). Menurut data yang dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) Jawa Barat (2008), panjang garis pantai Provinsi Jawa Barat sekitar 805 km yang membentang di pantai bagian utara dan selatan. Di bagian utara, mulai dari Kabupaten Bekasi sampai dengan Kabupaten Cirebon sepanjang 428 km dan di bagian selatan dari Kabupaten Sukabumi sampai Kabupaten Ciamis sepanjang 377 km. Secara topografi, pantai utara (pantura) memiliki karakteristik yang berbeda dengan pantai selatan (pansela).

(28)

Kabupaten Indramayu, 5) Kabupaten Cirebon, dan 6) Kota Cirebon. Dengan kondisi topografi yang cenderung datar, wilayah pantura Jawa Barat memiliki infrastruktur yang lebih baik dibandingkan dengan wilayah pantai selatan. Dengan kondisi demikian, wilayah pesisir utara biasanya memiliki kepadatan penduduk yang lebih tinggi dibandingkan dengan wilayah pesisir selatan.

Keadaan topografi daratan pansela Jawa Barat pada umumnya terdiri dari daerah pegunungan dengan ketinggian sampai lebih kurang 1.500 m di atas permukaan laut. Kabupaten pesisir yang termasuk dalam wilayah Pantai Selatan Jawa Barat meliputi lima kabupaten. Kelima kabupaten tersebut adalah: 1) Kabupaten Ciamis, 2) Tasikmalaya, 3) Garut, 4) Cianjur, dan 5) Kabupaten Sukabumi. Oleh karena kondisi topografis yang berupa pegunungan, maka kondisi infrastruktur dan aksesibilitas masih terbatas.

Perbedaan karakteristik topografi dan agroekologi kedua wilayah tersebut diduga menyebabkan kehidupan masyarakat di pesisir pantura dan pansela Jawa Barat juga berbeda. Karena menurut teori ekosistem (Hawley, 1986 dalam Klein dan White, 1996), dalam kehidupannya manusia atau masyarakat sangat bergantung pada lingkungannya sekitarnya, termasuk dalam hal ini adalah lingkungan pesisir.

Masyarakat pesisir memiliki karakteristik yang khas, berbeda dengan masyarakat agraris lainnya. Hal ini disebabkan mereka berhadapan dengan sumberdaya alam yang juga memiliki karakteristik berbeda. Khusus untuk masyarakat nelayan, mereka menghadapi sumberdaya yang bersifat open access. Karakteristik sumberdaya seperti ini menyebabkan nelayan harus berpindah-pindah untuk memperoleh hasil yang maksimal. Dengan demikian, elemen resikonya menjadi sangat tinggi. Kondisi sumberdaya yang berisiko tersebut menyebabkan masyarakat nelayan memiliki karakter yang keras, tegas, dan terbuka (Satria 2002). Menurut Firth (1946) diacu dalam Satria (2002), masyarakat nelayan memiliki keragaman dalam tingkat dan perilaku ekonomi. Berdasarkan uraian tersebut, penelitian ini akan menjawab permasalahan sebagai berikut:

1. Bagaimana karakteristik keluarga di wilayah pesisir (baik keluarga nelayan maupun bukan nelayan di wilayah pantura dan pansela) Jawa Barat?

2. Bagaimanakah relasi gender dalam keluarga di wilayah pesisir Jawa Barat? 3. Bagaimanakah kualitas sumberdaya manusia pada keluarga di wilayah

(29)

4. Bagaimanakah tingkat kesejahteraan keluarga di wilayah pesisir?

5. Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi kualitas sumberdaya manusia dan kesejahteraan keluarga di wilayah pesisir?

6. Bagaimanakah model peningkatan kualitas sumberdaya manusia dan tingkat kesejahteraan keluarga yang sesuai untuk masyarakat pesisir?.

Tujuan Penelitian

Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk menganalisis kesejahteraan keluarga serta mengembangkan model peningkatan kualitas sumberdaya manusia dan kesejahteraan keluarga yang sesuai untuk masyarakat di wilayah pesisir.

Secara khusus, penelitian ini bertujuan untuk:

1. Menganalisis karakteristik keluarga di wilayah pesisir Jawa Barat.

2. Menganalisis relasi gender dalam pengambilan keputusan keluarga di wilayah pesisir Jawa Barat.

3. Menganalisis kualitas sumberdaya manusia pada keluarga di wilayah pesisir Jawa Barat.

4. Menganalisis tingkat kesejahteraan keluarga di wilayah pesisir Jawa Barat. 5. Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi kualitas sumberdaya

manusia dan kesejahteraan keluarga di wilayah pesisir Jawa Barat.

6. Merumuskan model peningkatan kualitas sumberdaya manusia dan tingkat kesejahteraan keluarga yang sesuai untuk masyarakat pesisir.

Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran mengenai kualitas sumberdaya manusia dan tingkat kesejahteraan keluarga di wilayah pesisir, khususnya di Jawa Barat. Adapun manfaat dari hasil penelitian ini antara lain : 1. Menambah referensi mengenai kondisi keluarga di wilayah pesisir, baik

pada keluarga nelayan maupun bukan nelayan, khususnya terkait dengan kualitas sumberdaya manusia dan tingkat kesejahteraan keluarga.

(30)

3. Sebagai bahan acuan pada kajian atau penelitian selanjutnya mengenai kualitas sumberdaya manusia dan kesejahteraan keluarga.

(31)

TINJAUAN PUSTAKA

Pengertian Keluarga dan Pendekatan Teori Keluarga

Pengertian Keluarga

Keluarga didefinisikan sebagai sekelompok orang yang mempunyai tingkatan hubungan spesifik melalui pernikahan, adopsi, dan hubungan darah (Rice & Tucker 1986; Kuznet 1989). Lebih spesifik, keluarga menurut definisi U.S. Bureau of the Census (2000) diacu dalam Newman dan Grauerholz (2002) adalah dua orang atau lebih yang memiliki ikatan darah, perkawinan, atau adopsi dan tinggal bersama dalam satu rumah tangga. Para ahli sosiologi menyatakan bahwa keluarga tidak hanya terdiri atas individu-individu tetapi lebih kepada adanya hubungan-hubungan (relationships) antara: suami-istri, orangtua-anak, saudara perempuan-saudara laki-laki, dan sebagainya. Hubungan tersebut termasuk pertalian, ikatan persaudaraan, kasih sayang, dan kewajiban antar anggota, yang merupakan karakteristik kunci dari beberapa tipe kelompok sosial.

Keluarga dianggap sebagai suatu sistem sosial karena memiliki unsur-unsur sistem sosial yang mencakup kepercayaan, perasaan, tujuan, kaidah-kaidah, kedudukan dan peranan, tingkatan atau jenjang, sanksi, kekuasaan, dan fasilitas (Soekanto 2004). Meskipun keluarga adalah kelompok sosial yang merupakan unit terkecil dari masyarakat, akan tetapi keluarga berbeda dari kelompok sosial lain seperti kelompok pertemanan, klub sosial, kelompok gereja, dan sebagainya (Beutler et al. 1989, diacu dalam Newman & Grauerholz 2002). Keluarga juga dapat dipandang sebagai unit dari lingkungan, yaitu suatu kelompok yang terdiri atas individu-individu yang saling berinteraksi dan saling tergantung yang memiliki tujuan dan sumberdaya, yang dalam sebagian siklus kehidupannya saling berbagi (Darling, 1987).

Keluarga dapat dibedakan atas keluarga batih atau keluarga inti (nuclear family), keluarga luas (extended family), dan keluarga pokok (stem family) (Castillo et al. 1968; Young dalam Lucas et al. 1995; United Nations 1958; Soekanto, 2004; Newman & Grauerholz, 2002). Keluarga batih atau keluarga biologis atau inti terdiri dari suami, istri, dan anak-anak yang belum kawin (Young dalam Lucas et al. 1995).

(32)

1. Unit terkecil dalam masyarakat yang mengatur hubungan seksual yang seyogya.

2. Wadah tempat berlangsungnya sosialisasi, yakni proses di mana anggota-anggota masyarakat baru mendapatkan pendidikan untuk mengenal, memahami, mentaati dan menghargai kaidah-kaidah serta nilai yang berlaku. 3. Unit terkecil dalam masyarakat yang memenuhi kebutuhan-kebutuhan

ekonomis.

4. Unit terkecil dalam masyarakat tempat anggota-anggotanya mendapatkan perlindungan bagi ketentraman dan perkembangan jiwanya.

Keluarga luas atau keluarga gabung (extended atau composite family) biasanya terdiri dari dua generasi yang berasal dari suatu keluarga biologis dan terdapat di negara-negara yang anak-anak tidak lazim meninggalkan rumah orangtua segera setelah menikah (United Nations 1958, diacu dalam Young 1995). Keluarga gabung terjadi jika ada dua anak atau lebih yang sudah menikah masih tinggal bersama orangtua mereka. Sedangkan keluarga pokok adalah keluarga luas dengan hanya satu anak yang sudah menikah tetap tinggal di rumah tangga orangtuanya (Castillo et al. 1969, diacu dalam Young 1995). Fungsi Keluarga

Undang-Undang No. 10 Tahun 1992 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga Sejahtera menyebutkan bahwa keluarga harus mampu menjalankan delapan fungsi utamanya agar bisa mengembangkan dirnya sendiri. Kedelapan fungsi utama keluarga tersebut adalah: 1) Fungsi keagamaan, 2) Fungsi sosial budaya, 3) Fungsi cinta kasih, 4) Fungsi melindungi, 5) Fungsi sosialisasi dan pendidikan, 6) Fungsi reproduksi, 7) Fungsi ekonomi, dan 8) Fungsi pembinaan lingkungan. Sedangkan menurut resolusi majelis umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), fungsi utama keluarga adalah: sebagai wahana untuk mendidik, mengasuh, dan mensosialisasikan anak, mengembangkan kemampuan seluruh anggotanya agar dapat menjalankan fungsinya di masyarakat dengan baik, serta memberikan kepuasan dan lingkungan yang sehat guna tercapainya keluarga sejahtera.

(33)

anak sesuai agama, norma dan nilai yang dianut keluarga maupun yang berlaku umum di masyarakat.

Hal tersebut senada dengan pendapat Soekanto 1990 yang menyatakan dalam keadaan normal, lingkungan pertama yang berhubungan dengan anak adalah orang tuanya, saudara-saudaranya yang lebih tua (kalau ada), serta mungkin kerabat dekatnya yang tinggal serumah. Melalui lingkungan itulah anak akan mengenal dunia sekitarnya dan mengalami proses sosialisasi awal. Orangtua, saudara, maupun kerabat terdekat pada umumnya mencurahkan perhatian untuk mendidik anak agar memperoleh dasar-dasar pola pergaulan hidup yang benar dan baik, melalui penanaman disiplin dan kebebasan dan penyerasinya. Mereka secara sadar atau setengah sadar melakukan sosialisasi yang biasa diterapkan melalui kasih sayang. Atas dasar kasih sayang tersebut, anak dididik untuk mengenal nilai-nilai, seperti nilai ketertiban dan ketentraman, nilai kebendaan dan nilai keakhlakan, nilai kelestarian dan kebaruan, dan sebagainya.

Menurut para ahli penganut faham struktural-fungsional, keluarga dapat menjalankan fungsi-fungsinya jika terdapat diferensiasi peran dan struktur organisasi yang jelas. Berdasarkan strukturnya anggota keluarga memiliki peran masing-masing dalam melaksanakan aktivitas sehari-hari untuk mencapai tujuan bersama. Ayah dan ibu memiliki peran yang berbeda tetapi bersinergi untuk mewujudkan keluarga yang sejahtera. Parsons dan Bales (1955) diacu dalam Megawangi (1999) membagi dua peran orang tua dalam keluarga, yaitu peran instrumental dan emosional atau ekspresif.

Peran instrumental diharapkan dapat dilakukan oleh ayah atau suami, karena peran ini dikaitkan dengan peran mencari nafkah untuk kelangsungan hidup seluruh keluarga. Peran instrumental ayah menjadi peran penting dalam menunjang kesejahteraan (ekonomi) dalam keluarga. Peran ini lebih memfokuskan pada situasi eksternal yang dihadapi keluarga.

Sedangkan peran emosional ekspresif adalah peran pemberi cinta, kelembutan dan kasih sayang yang cocok untuk dipegang oleh istri atau ibu. Peran ini bertujuan untuk mengintegrasikan atau menciptakan suasana harmonis. Oleh karenanya, istri atau ibu diharapkan dapat memberikan kedamaian agar integrasi dan keharmonisan dalam keluarga dapat tercapai.

(34)

mereka. Bagaimanapun kedua peran tersebut tetap dilakukan bersamaan, karena secara struktural masing-masing anggota keluarga memiliki fungsi yang harus dilaksanakan sesuai dengan nilai-nilai dan norma yang dianut dalam keluarganya. Dalam hal ini, peran dan fungsi keluarga dan anggota keluarga lainnya menjadi paling penting sebelum berinteraksi dengan lingkungan di luar keluarga, dalam menghasilkan SDM yang berkualitas.

Pentingnya keluarga dalam membentuk SDM yang berkualitas telah diakui sejak dahulu kala. Menurut Carlson (1999), sebelum era industrialisasi (akhir abad 19), Amerika melihat bahwa keluarga merupakan hal yang sangat penting. Hubungan kekerabatan (kinship) dan hubungan agama yang sangat kuat menyatukan bangsa Amerika. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Levy bahwa Bangsa Amerika dipersatukan dalam suatu keluarga dan menjadi tempat membesarkan anak-anaknya. Diibaratkan seperti tanaman yang menumbuhkan nilai-nilai kebenaran.

Kualitas SDM sangat ditentukan oleh bagaimana mereka tumbuh dan berkembang dalam suatu keluarga. Dasgupta dan Serageldin (2000) menekankan pentingnya modal sosial dalam keluarga bagi perkembangan intelektual anak-anak. Modal sosial keluarga adalah hubungan antara anak-anak dengan orangtuanya atau dengan anggota keluarga lainnya.

Tidak dapat disangkal lagi bahwa faktor yang paling berperan dalam dalam pendidikan dan pembentukan kepribadian anak adalah institusi keluarga. Locke (1985), diacu dalam Prameswari (1999) menjelaskan bahwa individu adalah ibarat selembar kertas yang bentuk dan coraknya tergantung kepada orangtua (keluarga) mengisi kertas kosong tersebut sejak bayi. Posisi pertama di dalam mendidik seorang individu terletak pada keluarga. Hal tersebut sejalan dengan pemikiran Belsky (1984), diacu dalam Megawangi (1999) yang mengatakan bahwa kepribadian anak sangat ditentukan oleh bagaimana orangtua mengasuh anaknya. Hal itu memperlihatkan bahwa pada periode-periode awal dari kehidupannya, anak akan menerima pengarahan dari kedua orangtuanya. Periode awal kehidupan ini merupakan periode yang paling penting dan sekaligus rentan.

Pendekatan Teori Keluarga

Teori Struktural-Fungsional. Pendekatan struktural-fungsional adalah

(35)

sebagai sebuah institusi dalam masyarakat mempunyai prinsip-prinsip serupa yang terdapat dalam kehidupan sosial masyarakat. Pendekatan ini mengakui adanya segala keragaman dalam kehidupan sosial yang merupakan sumber utama dari adanya struktur masyarakat dan keragaman dalam fungsi sesuai dengan posisi seseorang dalam struktur sebuah sistem (Megawangi 1999).

Pendekatan teori struktural-fungsional dapat digunakan untuk menganalisis peran anggota keluarga agar keluarga dapat berfungsi dengan baik untuk menjaga keutuhan keluarga dan mayarakat (Newman dan Grauherholz 2002). Menurut teori struktural-fungsional, keluarga juga dapat dilihat sebagai salah satu dari berbagai subsistem dalam masyarakat (Megawangi 1999). Keluarga dalam subsistem masyarakat tidak akan terlepas dari interaksinya dengan subsistem-subsistem lainnya yang ada dalam masyarakat, misalnya sistem ekonomi, politik, pendidikan, dan agama. Dalam interaksi tersebut keluarga berfungsi untuk memelihara keseimbangan sosial dalam masyarakat (equilibrium state).

Selanjutnya Megawangi (1999) mengatakan bahwa keseimbangan akan menciptakan sebuah sistem sosial yang tertib. Ketertiban sosial ini akan tercipta jika dalam keluarga terdapat struktur atau strata dalam keluarga, di mana masing-masing individu mengetahui posisinya dan patuh pada sistem nilai yang berlaku. Terdapat tiga elemen utama dalam struktur internal keluarga, yaitu: status sosial, fungsi sosial, dan norma sosial yang ketiganya saling kait mengait.

(36)

Pencapaian keseimbangan pada sistem sosial dapat tercipta dan berfungsi jika struktur keluarga sebagai sistem dapat berfungsi. Syarat struktural yang harus dipenuhi menurut Lezy, diacu dalam Megawangi 1999 adalah: 1) diferensiasi peran yaitu alokasi peran/tugas dan aktivitas yang harus dilakukan dalam keluarga, 2) alokasi solidaritas yang menyangkut distribusi relasi antar anggota keluarga, 3) alokasi ekonomi menyangkut distribusi barang dan jasa antar anggota keluarga untuk mencapai tujuan keluarga, 4) alokasi politik menyangkut distribusi kekuasaan dalam keluarga, serta 5) alokasi integrasi dan ekspresi yaitu cara/teknik sosialisasi internalisasi maupun pelestarian nilai-nilai maupun perilaku pada setiap anggota keluarga dalam memenuhi tuntutan norma-norma yang berlaku.

Teori Pertukaran Sosial. Teori pertukaran sosial (Social Exchange

Therory) merupakan salah satu pendekatan konseptual yang dapat digunakan untuk menjelaskan perkembangan individu dalam konteks keluarga. Teori pertukaran sosial didasari oleh faham utilitarianisme yang menganggap bahwa dalam menentukan pilihan, individu secara rasional menimbang antara imbalan (rewards) yang akan diperoleh dan biaya (cost) yang harus dikeluarkan. Para sosiolog yang menganut teori ini menyatakan bahwa seseorang akan berinteraksi dengan pihak lain jika hal itu dianggapnya menghasilkan keuntungan. Dalam hal ini keuntungan merupakan selisih antara imbalan yang diterima dengan biaya yang dikeluarkan.

Asumsi yang mendasari teori pertukaran sosial pada intinya adalah bahwa manusia bersifat rasional. Namun demikian masing-masing ahli mengemukakan asumsi teori dengan berbagai cara. Sabatelli & Shehan (1993), mengemukakan bahwa asumsi dari teori pertukaran terdiri atas asumsi yang melekat pada sifat alamiah dari manusia (nature of humans) dan sifat alamiah dari hubungan (nature of relationships).

(37)

mempertimbangkan beberapa alternatif, sebelum bertindak. Mereka akan memilih alternatif yang paling sedikit pengorbanan atau biayanya, 4) Standar yang digunakan oleh setiap orang dalam menghitung imbalan dan biaya berbeda satu sama lain dan akan sangat bervariasi tergantung waktu, 5) Kepentingan untuk menangkap perilaku seseorang terhadap orang lain dalam berinteraksi berbeda satu sama lain dan tergantung waktu, dan 6) Semakin besar ekspektasi seseorang terhadap nilai imbalan, akan semakin kecil nilai imbalan tersebut pada masa yang akan datang.

Adapun asumsi tentang sifat alamiah dari hubungan terdiri atas: 1) Pertukaran sosial dicirikan dengan saling ketergantungan, yakni kemampuan untuk memperoleh keuntungan merupakan satu kesatuan dari kemampuan untuk memberikan imbalan kepada orang lain, 2) Adanya pengalaman dalam hubungan menunjukkan bagian dari pertukaran, 3) Pertukaran sosial diatur dengan norma dan keadilan, 4) Kedinamisan hubungan sepanjang waktu tergantung pada pengalaman dari pelakunya.

(38)

Dalam teori pertukaran sosial terdapat konsep-konsep sebagai berikut: 1. Imbalan (rewards), dapat berupa materi secara fisik maupun non materi

(sosial dan psikologis) seperti kesenangan dan kepuasan.

2. Biaya (costs) barupa materi maupun non materi seperti status, hubungan, interaksi, maupun perasaan yang tidak disukai.

3. Keuntungan (profit) yaitu selisih antara imbalan dan biaya. Individu selalu mencari keuntungan yang maksimum dengan cara memaksimumkan imbalan atau meminimumkan biaya.

4. Tingkat evaluasi atau tingkat perbandingan alternatif, yaitu suatu standar di mana seseorang dapat mengevaluasi imbalan dan biaya dari suatu hubugan atau kegiatan.

5. Norma timbal balik, adalah suatu gagasan yang menyangkut pertukaran timbal balik. Konsep ini sangat penting, karena tanpa timbal balik tidak mungkin akan terbentuk kehidupan sosial .

6. Pilihan, setiap manusia harus menentukan pilihan. Pengambilan keputusan merupakan output yang dijanjikan oleh pengambil keputusan.

Teori Ekologi Keluarga. Pendekatan teori ekologi dalam menganalisis

keluarga pertama kali dikembangkan oleh Bronfenbrenner yang menyatakan bahwa perkembangan anak merupakan hasil dari interaksinya dengan lima sistem dalam lingkungan di sekitarnya. Kelima sistem tersebut adalah: 1) mikrosistem, 2) mesosistem, 3) ekosistem, 4) makrosistem, dan 5) kronosistem. Selanjutnya berdasarkan teori ekologi tersebut, Deacon dan Firebaugh (1988) mengembangkan model ekologi keluarga yang memandang keluarga sebagai suatu subsistem dari sistem sosial lebih jelasnya yang saling berinteraksi. Gambar 1 memperlihatkan hubungan keluarga dengan lingkungannya. Dalam proses pegambilan keputusan, keluarga dipengaruhi oleh lingkungan di sekitarnya.

Lingkungan keluarga menurut Deacon dan Firebaugh (1988) lingkungan mikro dan makro. Pada lingkungan mikro, keluarga berhubungan dengan lingkungan fisik dan sosial yang ada di sekitarnya, yaitu tetangga. Kemudian lingkungan mikro ini berhubungan atau dipengaruhi oleh lingkungan yang lebih besar yaitu lingkungan makro yang meliputi kondisi fisik (sumberdaya alam), sosial, politik, ekonomi, sosial budaya dan teknologi.

(39)

1. Lingkungan fisik (physical environment), yaitu segala sesuatu di sekitar kita yang bersifat benda mati seperti gedung, sinar, air, dan lain-lain.

2. Llingkungan biologis (biological environment), yaitu segala sesuatu yang berada di sekitar kita yang bersifat organis, seperti: manusia, binatang, jasad renik, tumbuh-tumbuhan, dan sebagainya.

3. Lingkungan sosial (social environment), yaitu manusia yang berada di sekitar atau kepada siapa kita mengadakan hubungan pergaulan.

Gambar 1. Lingkungan mikro dan makro dalam sistem keluarga (Deacon dan Firebaugh, 1988)

Teori Gender. Menurut Donnel (1988) dan Eviota (1993), diacu dalam

Mugniesyah (2007), gender adalah perbedaan-perbedaan (dikotomi) sifat perempuan dan laki-laki yang tidak hanya berdasarkan biologis semata, tetapi lebih pada hubungan sosial budaya antara laki-laki dan perempuan yang dipengaruhi oleh struktur masyarakatnya yang lebih luas, dalam bermasyarakat dan bernegara. Gender juga dapat dikatakan sebagai proses melalui mana individu-individu yang dilahirkan dalam kategori jenis kelamin laki-laki dan

LINGKUNGAN MIKRO

Sosial

LINGKUNGAN MAKRO

Sistem keluarga

LINGKUNGAN MAKRO

Alam/struktur

Teknologi Ekonomi

Biologi

Fisik Politik

Sosial budaya Sistem sosial

Buatan manusia

(40)

perempuan yang kemudian memperoleh sifat-sifat maskulin dan feminin (Kabeer 1990, diacu dalam INSTRAW 1995).

Selanjutnya menurut ILO (2000), gender mengacu pada perbedaan-perbedaan dan relasi sosial antara laki-laki dan perempuan yang dipelajari secara luas di antara masyarakat dan budaya dan berubah sejalan dengan perkembangan waktu/zaman. Sedangkan menurut Kantor Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan (2001), gender adalah pandangan masyarakat tentang perbedaan peranana, fungsi, dan tanggung jawab antara perempuan dan laki-laki yang merupakan hasil konstruksi sosial budaya dan dapat berubah sesuai dengan perkembangan zaman.

Peranan gender adalah peranan yang dilakukan perempuan dan laki-laki sesuai status, lingkungan, budaya, dan struktur masyarakatnya. Terdapat tiga peranan gender menurut Mosher (1993), diacu dalam Mugniesyah (2007), yaitu: 1. Peranan produktif, yakni peranan yang dikerjakan perempuan dan laki-laki

untuk memperoleh bayaran/upah secara tunai dan sejenisnya. Contoh: kegiatan bekerja baik di sektor formal maupun informal.

2. Peranan reproduktif, yakni peranan yang berhubungan dengan tanggung jawab pengasuhan anak dan tugas-tugas domestik yang dibutuhkan untuk menjamin pemeliharaan dan reproduksi tenaga kerja yang menyangkut kelangsungan keluarga

3. Peran pengelolaan masyarakat dan politik yang dikelompokkan menjadi dua kategori, yakni: a) peranan pengelolaan masyarakat (kegiatan sosial) yang mencakup semua aktivitas yang dilakukan pada tingkat komunitas sebagai kepanjangan peranan reproduktif, bersifat voluntir dan tanpa upah, b) pengelolaan masyarakat politik (kegiatan politik), yaitu peranan yang dilakukan pada tingkat pengorganisasian komunitas pada tingkat formal secara politik, biasanya dibayar (langsung atau tidak langsung) dan meningkatkan kekuasaan atau status.

(41)

program struktural oleh kekuatan-kekuatan di tingkat nasional dan global (Mugniesyah 2007). Dengan demikian, relasi gender juga terjadi pada proses pengambilan keputusan.

Pengambilan keputusan merupakan proses yang mendasari semua fungsi manajemen sumberdaya keluarga (Deacon & Firebough, 1988). Menurut King dan Mason (2005) dalam kehidupan keluarga sehari-hari, pengambilan keputusan seringkali dilakukan, seperti pengambilan keputusan dalam menentukan menu makanan, menentukan pergi liburan, menentukan membeli baju, dan lain sebagainya.

Menurut Guhardja et al. (1992), terdapat tiga tipe pengambilan keputusan dalam keluarga dilihat dari keterlibatan anggota keluarganya, yaitu:

1. Pengambilan keputusan konsensus, yakni pengambilan keputusan secara bersama-sama antar anggota keluarga, setiap anggota memiliki hak untuk mengemukakan pendapatnya. Keputusan yang diambil merupakan keputusan bersama dan akan menjadi tanggung jawab semua anggota keluarga.

2. Pengambilan keputusan akomodatif, yang dicirikan oleh adanya orang yang dominan, sehingga keputusan yang diambil adalah dengan menerima pendapat orang yang dominan tersebut.

3. Pengambilan keputusan de facto, adalah pengambilan keputusan yang diambil secara terpaksa.

Di dalam keluarga, pola pengambilan keputusan menyangkut kewewenangan suami istri dalam mengambil keputusan. Dalam hal ini pola pengambilan keputusan dapat dibedakan atas pola tradisional dan pola modern. Pada pola tradisional, kewenangan mengambil keputusan hanya diberikan kepada suami. Sedangkan istri hanya sebagai pendukung keputusan. Sementara itu pada pola modern, keputusan diambil secara bersama-sama. Ada semacam kesamaan hak antara suami dan istri dalam mengambil keputusan, tanpa menghilangkan peran masing-masing.

Sumarwan (2003) merangkum beberapa studi yang mengidentifkasi model pengambilan keputusan produk oleh sebuah keluarga sebagai berikut: 1. Istri dominan dalam pengambilan keputusan. Istri memiliki kewenangan

(42)

2. Suami dominan dalam pengambilan keputusan. Suami memiliki kewenangan untuk memutuskan produk dan merek apa yang dibeli untuk dirinya atau anggota keluarganya.

3. Keputusan autonomi, yakni keputusan yang bisa dilakukan oleh istri atau suami tanpa tergantung dari salah satunya. Artinya istri bisa memutuskan pembelian produk tanpa bertanya kepada suami, begitu pula sebaliknya. 4. Keputusan bersama, artinya keputusan untuk membeli produk atau jasa

dilakukan bersama antara suami dan istri.

Menurut Beatric (1977), diacu dalam Guhardja (1992) orang yang berhak melakukan pengambilan keputusan dalam keluarga dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu: usia, kekuasaan, jenis kelamin, kompetensi, dan keakraban.

Sumberdaya Manusia

Sumberdaya manusia merupakan salah satu sumberdaya yang sangat penting dalam pembangunan ekonomi. Bahkan menurut Nettimi dan Fidzani (2002) sumberdaya manusia diyakini sebagai faktor yang paling strategis dan krusial dalam pertumbuhan ekonomi. Meskipun beberapa negara memiliki potensi sumberdaya alam yang besar, namun belum tentu membuat ekonomi negara tersebut tumbuh cepat selama sumberdaya manusia yang ada tidak memiliki persyaratan untuk mampu memobilisasai dan menggunakan sumberdaya alamnya secara efektif.

(43)

Pembangunan manusia yang holistik menurut Tjiptoherijanto dan Soemitro (1998) memandang program pembangunan yang dirancang seharusnya bercirikan tentang, untuk, dan oleh penduduk dengan pengertian dasar bahwa:

1. Tentang penduduk (of people), pemberdayaan yang diupayakan melalui investasi bidang-bidang pendidikan, kesehatan, dan pelayanan sosial dasar lain.

2. Untuk penduduk (for people), pemberdayaan penduduk yang diupayakan melalui program penciptaan peluang bekerja dan memperluas peluang berusaha (dengan cara memperluas kegiatan ekonomi suatu wilayah).

3. Oleh penduduk (by people), pemberdayaan penduduk yang dapat meningkatkan harkat-martabat melalui peningkatan partisipasi dalam pengambilan keputusan di bidang politik dan proses pembangunan.

Tujuan atau sasaran pembangunan manusia sebenarnya menyangkut bidang yang sangat luas, tetapi jika diprioritaskan dapat dipersempit ke dalam tiga tujuan yaitu: (1) usia hidup (longevity); (2) pengetahuan (knowledge); dan standara hidup layak (decent living).

Kualitas Sumberdaya Manusia

Sumberdaya manusia yang berkualitas merupakan asset sekaligus tujuan dari pembangunan manusia (human development). Pembangunan manusia menurut konsep UNDP merupakan suatu proses untuk memperluas pilihan manusia, terutama dalam hal memperpanjang hidup sehat, lebih berpendidikan, dan menikmati standar hidup yang layak. Disamping pilihan utama, terdapat pilihan tambahan yang terdiri atas kebebasan berpolitik, keterjaminan hak asasi, dan penghargaan diri (Subraman 2002; Ranis et al. 2006).

Menurut Hardinsyah (2007), kualitas sumberdaya manusia didefinisikan sebagai sekumpulan ciri yang menunjukkan keunggulan manusia yang dapat dicermati sebagai individu, kelompok atau masyarakat di suatu wilayah. Para ahli telah melakukan studi mengenai pembangunan manusia dari berbagai aspek. Tabel 1 memperlihatkan persyaratan-persyaratan pembangunan manusia yang telah dikemukakan oleh beberapa ahli.

(44)

Tabel 1 Persyaratan untuk pembangunan manusia dari berbagai ahli

Barang primer Nilai dasar manusia

(45)

1. Komponen Human Development Index : kesehatan (angka harapan hidup), pendidikan (tingkat melek huruf penduduk dewasa dan angka lama sekolah), dan pendapatan.

2. Kesejahteraan mental: angka bunuh diri laki-laki, angka bunuh diri perempuan, kepuasan hidup, tawanan per jumlah penduduk.

3. Keberdayaan: angka kemiskinan, Human Poverty Index (HPI), Gender Empowerment Measure (GEM), angka partisipasi sekolah lanjutan laki-laki/perempuan, penggunaan alat kontarsepsi, perempuan (usia 15-19 tahun) yang menikah, rasio perempuan di parlemen, banyaknya serikat pekerja/koperasi.

4. Kebebasan berpolitik: kemerdekaan berpolitik dan berwarganegara, kebebasan beribadat, angka teror politik, kebebasan berpolitik, kebebasan pers, hukum yang independen.

5. Hubungan sosial: teman sangat penting, keluarga sangat penting, toleransi antar tetangga, angka perceraian kasar.

6. Kesejahteraan masyarakat: angka kejahatan, penggunaan alkohol, korupsi, angka anak yatim, kematian akibat AIDS, persentase gedung pemerintahan yang dipakai untuk organisasi, kepercayaan terhadap orang lain, peraturan perundangan, institusi publik, penduduk yang terkena bencana alam, toleransi antar tetangga.

7. Ketimpangan: kesenjangan pendapatan, ketidakmerataan horizontal (HIs), ketimpangan desa/kota, Gender Development Index (GDI), ketidakmerataan kebahagiaan, ketidakmerataan kesehatan.

8. Kondisi pekerjaan: pengangguran, kondisi pekerja, pekerja informal, tenaga kerja anak, kebijakan upah minimum.

9. Kondisi leisure: ketersediaan telepon, penggunaan internet, penggunaan radio, penonton bioskop, sirkulasi surat kabar, kepemilikan pesawat TV. 10. Dimensi keamanan ekonomi / stabilitas ekonomi: siklus GDP, fluktuasi indeks

harga konsumen (CPII), pabrik per total ekspor, investasi asing per GDP, fluktuasi perdagangan, penutupan keamanan sosial.

(46)

Di Indonesia, Tjiptoherijanto dan Soemitro, 1998 juga menjelaskan berbagai indikator yang terkait dengan pembangunan manusia. Hal tersebut dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2 Isu-isu pembangunan manusia dan indikatornya

Dimensi/Isu Pembangunan Manusia Indikator A. Kelangsungan Hidup:

- Derajat kesehatan penduduk secara umum rendah

Angka harapan hidup waktu lahir

- Kelangsungan hidup balita rawan Angka kematian balita

- Status kesehatan lingkungan rendah Persentase balita dengan gizi kurang - Cakupan pelayanan kesehatan masih

terbatas

Persentase rumah tangga yang memiliki WC dengan tangki septik Persentase balita yang memperoleh imunisasi lengkap

B. Pengetahuan:

- Taraf pengetahuan penduduk rendah Rata-rata lama sekolah - Partisipasi pendidikan usia sekolah

rendah

Persentase penduduk usia 13-15 tahun yang berstatus masih sekolah - Penilaian orangtua terhadap pendidikan

anak rendah

Persentase orangtua yang lebih cenderung agar anaknya bekerja daripada sekolah

- Tipologi daerah tidak kondusif untuk pendidikan formal

Persentase penduduk bekerja di sektor pertanian

C. Standar Hidup Layak:

- Pendapatan rendah PDRB per kapita

Rata-rata konsumsi per kapita

- Akses terhadap sumber ekonomi timpang Persentase penduduk miskin

Persentase petani yang tidak memiliki lahan pertanian atau memiliki tetapi kurang dari 0,25 Ha

- Sarana pemasaran produk pertanian terbatas

Persentase rumah tangga berjarak lebih dar 10 km ke pasar inpres Persentase desa yang mempunyai pasar permanen

Sumber: Tjiptoherijanto dan Soemitro, 1998.

Faktor-faktor Penentu Kualitas Sumberdaya Manusia

Gani 1984 dalam Tjiptoherijanto dan Soemitro 1998 mengemukakan hubungan antara input dan output dalam pembentukan kualitas sumberdaya manusia dan penduduk (Gambar 2).

(47)

Gambar 2 Hubungan antara input dan output dalam pembentukan kualitas manusia dan penduduk (Tjiptoherijanto & Soemitro 1998)

Kesehatan penduduk dapat diestimasi dengan berbagai ukuran. Salah satu cara terpenting untuk mengukur tingkat kesehatan masyarakat adalah angka harapan hidup (life expectancy= LE). Ukuran lain yang sering digunakan antara lain Healthy Life Expectancy (HLE) dan Disability Free Life Expectancy (DFLE). Angka harapan hidup saat lahir merupakan indikator kesehatan penduduk. Jika penduduk tidak mengalami penyakit kronis atau cacat maka LE akan meningkat (Postnote 2006). Healthy Life Expectancy (HLE) digunakan untuk mengestimasi lama tahun hidup sehat seseorang selama hidupnya. Dalam mengukur HLE terdapat dua tipe perhitungan, pertama adalah General HLE yaitu keadaan yang dirasakan seseorang selama 12 bulan terakhir mengenai kesehatannya. Tipe perhitungan kedua adalah LE bebas dari penyakit yang berkepanjangan. Disability Free Life Expectancy (DFLE) mengukur ketidakmampuan atau kecacatan seseorang dengan melihat keterbatasan aktivitas sehari-hari, seperti bekerja, sekolah, dan leisure.

Indikator kesehatan yang dipakai oleh Beegle et al. (2005) dalam melakukan penelitian tentang pekerja anak terdiri atas:

1) Penyakit yang dialami individu selama 4 minggu terakhir Gizi

Gambar

Gambar 1.  Lingkungan mikro dan makro dalam sistem keluarga (Deacon dan Firebaugh, 1988)
Tabel 1  Persyaratan untuk pembangunan manusia dari berbagai ahli
Tabel 2  Isu-isu pembangunan manusia dan indikatornya
Gambar 2 Hubungan antara input dan output dalam pembentukan kualitas manusia dan penduduk (Tjiptoherijanto & Soemitro 1998)
+7

Referensi

Dokumen terkait