PENGARUH KONSENTRASI GLISEROL DAN TAPIOKA
TERHADAP KARAKTERISTIK BIODEGRADABLE FILM
BERBASIS AMPAS RUMPUT LAUT Eucheuma cottonii
Oleh
ERLI NOVIDA SARI
Skripsi
Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN
Pada
Jurusan Teknologi Hasil Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Lampung
FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS LAMPUNG
ABSTRAK
PENGARUH KONSENTRASI GLISEROL DAN TAPIOKA TERHADAP KARAKTERISTIK BIODEGRADABLEFILM BERBASIS AMPAS RUMPUT
LAUT Eucheuma cottonii
Oleh
ERLI NOVIDA SARI
Biodegradable film merupakan film yang dapat dihancurkan secara alami oleh
mikroorganisme. Karakteristik biodegradable film dapat dipengaruhi dengan
bahan-bahan yang ditambahkan. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan
konsentrasi gliserol dan tapioka yang tepat untuk menghasilkan karakteristik
biodegradable film berbasis ampas rumput laut eucheuma cottonii terbaik.
Penelitian ini terdiri dari dua faktor dengan tiga ulangan yang disusun dalam
Rancangan Acak Kelompok Lengkap (RAKL). Faktor pertama adalah
penambahan konsentrasi gliserol yang terdiri dari tiga taraf, yaitu 0,25%, 0,5%
atau 0,75%. Faktor kedua adalah penambahan konsentrasi tapioka yang terdiri
dari tiga taraf yaitu, 5%, 6% atau 7%.
Data untuk uji kuat tarik, uji persen pemanjangan, dan uji kelarutan diolah dengan
analisis sidik ragam untuk mendapatkan penduga ragam galat serta signifikasi
untuk mengetahui ada tidaknya perbedaan antar perlakuan. Kesamaan ragam diuji
dianalisis lebih lanjut dengan uji BNJ pada taraf 5%. Analisis data secara
deskriptif digunakan untuk kemurnian bahan baku ampas rumput laut
menggunakan metode FTIR, penampakan biodegradable film secara visual dan
biodegradabilitas. Data laju transmisi uap air diperoleh dari perlakuan terbaik
dengan nilai kuat tarik tertinggi. Sebanyak 8,5 gram selulosa ampas rumput laut
Eucheuma cottonii dimasukan ke dalam Erlenmeyer 250 mL dan ditambahkan
0,5 gram CMC 1% (b/v), etanol 15 mL, gliserol (konsentrasi 0,25%; 0,5% dan
0,75%) dan tapioka (konsentrasi 0,5%; 0,6% dan 0,7%). Selanjutnya campuran
tersebut dilarutkan dengan 50 mL aquades. Larutan dipanaskan dan diaduk
selama 30 menit pada suhu 70oC menggunakan hot plate. Larutan diangkat dan
dihilangkan gelembungnya. Larutan dituang pada kaca 20x20 cm dan
dikeringkan pada suhu ruang selama 48 jam.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa konsentrasi gliserol dan tapioka berpengaruh
nyata terhadap kuat tarik dan persen pemanjangan film tetapi tidak berpengaruh
nyata untuk kelarutan film. Hasil terbaik dapat diperoleh pada proses pembuatan
biodegradable film dari selulosa ampas rumput laut dengan penambahan
konsentrasi gliserol 0,25% dan tapioka 7% yang menghasilkan nilai kuat tarik
53,92 Mpa, persen pemanjangan 3,647%, kelarutan 86,173%, dan
biodegradabilitas 14 hari. Laju transmisi uap air 6,13 g/(m2/hari) diperoleh dari
perlakuan terbaik. Penambahan konsentrasi gliserol dan tapioka pada pembuatan
biodegradablefilm berbasis ampas rumput laut Eucheuma cottonii dapat membuat
karakteristik biodegradablefilm lebih plastis dan homogen.
ii
3.1. Tempat dan Waktu Pelaksanaan Penelitian ... 19
3.2. Bahan dan Alat Penelitian ... 19
3.3. Metode Penelitian ... 20
3.4. Pelaksanaan Penelitian ... 20
3.4.1. Prosedur untuk Pemisahan Ampas Rumput Laut... 20
3.4.2. Prosedur untuk Pemurnian Selulosa Ampas Rumput Laut .. 22
3.4.3. Prosedur Pembuatan Biodegradable Film ... 22
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 28
4.1. Pemurnian Selulosa Ampas Rumput Laut ... 28
4.2. Penampakan Visual BiodegradableFilm ... 30
4.3. Kuat Tarik ... 33
4.4. Persen Pemanjangan ... 35
4.5. Biodegradabilitas ... 38
4.6. Kelarutan ... 40
4.7. Uji Laju Transmisi Uap Air ... 42
4.8. Penentuan Perlakuan Terbaik... 43
V. SIMPULAN DAN SARAN ... 45
5.1. Simpulan ... 45
5.2. Saran ... 46
DAFTAR PUSTAKA ... 47
1
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang dan Masalah
Produksi plastik di Indonesia mengalami peningkatan seiring dengan kenaikan
konsumsi masyarakat, khususnya untuk plastik kemasan. Berdasarkan data
INAPLAS (Indonesian Olefin Aromatic Plastic Industry Asociation) kebutuhan
plastik masyarakat Indonesia pada tahun 2012 tercatat 2,9 juta ton sedangkan pada
tahun 2013 diperkirakan akan meningkat menjadi 3,2 juta ton (Budi, 2013).
Luasnya penggunaan bahan plastik sebagai bahan baku kemasan disebabkan oleh
berbagai keunggulan antara lain ringan, kuat, mudah dibentuk, anti karat, tahan
terhadap bahan kimia, mempunyai sifat isolasi listrik yang tinggi, serta dapat
dibuat berwarna maupun transparan (Mujiarto, 2005). Plastik merupakan salah
satu bahan pengemas tidak tahan panas sehingga apabila bahan plastik dipanaskan
maka terjadikontaminasi produk melalui perpindahan monomernya. Hal ini dapat
menyebabkan penyakit bagi manusia jika dikonsumsi secara terus menerus.
Plastik merupakan polimer sintetis dari minyak bumi atau petrokimia yang
memiliki bobot molekul besar, jumlah cincin aromatik tinggi, dan ikatan-ikatan
yang kompleks (Kim dan Rhee, 2003 dalam Syamsu et al., 2008) sehingga sulit
terurai secara biologis oleh bakteri dan mikroba. Hal ini karena bakteri dan
2
minyak bumi (Chandra dan Rustgi, 1998). Plastik yang tidak terurai
menyebabkan penumpukan limbah plastik dalam jumlah besar. Penumpukan
limbah plastik dalam skala besar dapat menimbulkan masalah pencemaran
lingkungan yang serius (Syamsu et al., 2008) karena plastik membutuhkan waktu
bertahun-tahun untuk dapat terurai. Pada saat terurai partikel–partikel plastik
akan mencemari tanah dan air tanah. Apabila plastik dibakar akan menghasilkan
asap beracun seperti dioksin yang dapat memicu kanker dan gangguan saraf
(Tanaga, 2010). Berdasarkan hal tersebut, kemasan plastik tidak dapat
dipertahankan penggunaannya secara luas sehingga dibutuhkan bahan baku
kemasan plastik yang bersifat mudah terurai (organik), tersedia di alam dalam
jumlah besar, dan murah tetapi mampu menghasilkan kemasan dengan kekuatan
yang sama dari kemasan plastik yang ada saat ini (Darni et al., 2009).
Kemasan plastik yang berbahan baku organik bersifat mudah terurai salah satunya
adalah biodegradable film. Penelitian mengenai biodegradable film telah lama
dilakukan terutama oleh negara-negara maju seperti Jerman. Biodegradable film
dapat memiliki tingkat kekuatan yang relatif sama dengan plastik sintetik
(Vroman and Tighzert, 2009). Selain itu, penggunaan biodegradable film pada
bahan pengemas dapat memberikan perlindungan terhadap kualitas produk
dengan baik dan memperpanjang masa simpan, serta juga dapat digunakan
sebagai bahan pengemas yang ramah lingkungan (Mindarwati, 2006).
Biodegradable film dapat terbuat dari polisakarida yang berasal dari tumbuhan
3
Ampas rumput laut dapat digunakan sebagai bahan baku biodegradable film.
Pada industri rumput laut bagian yang digunakan hanya sekitar 30-35%,
sedangkan 65-70% menjadi limbah yang belum banyak dimanfaatkan
(Wekridhany et al., 2012). Oleh karena itu, pemanfaatan ampas rumput laut perlu
dilakukan. Pemanfaatan ampas rumput laut jenis Eucheuma cottonii sebagai
bahan baku dalam pembuatan kertas sudah pernah diteliti dan memiliki hasil yang
baik (Sintaria, 2012). Pada penelitian tersebut, dapat diketahui bahwa ampas
rumput laut memiliki kandungan komponen selulosa sebesar 17,47%;
hemiselulosa 21,16% dan lignin 8,23%. Kandungan selulosa yang tinggi
menjadikan ampas rumput laut Eucheuma cottonii memiliki potensi sebagai bahan
baku untuk biodegradable film.
Penelitian terdahulu, mengenai biodegradable film berbahan baku ampas nanas
menunjukkan hasil film yang baik namun bersifatkaku (Zulferiyenni et al., 2004),
kemudian dengan penambahan gliserol sebagai plasticizer pada biodegradable
film berbahan baku ampas nanas menunjukkan bahwa gliserol mampu merubah
sifat biodegradable film menjadi lebih plastis, namun memiliki permukaan film
yang tidak homogen (Satriyo, 2012). Berdasarkan uraian tersebut, maka
dilakukan penelitian pembuatan biodegradable film berbahan baku utama ampas
rumput laut jenis Eucheuma cottonii dengan penambahan gliserol sebagai
plasticizer dan tapioka sebagai bahan pengisi, namun belum tersedia informasi
tentang formulasi bahan ampas rumput laut Eucheuma cottonii menggunakan
gliserol sebagai plasticizer dan tepung tapioka sebagai bahan pengisi yang
optimum untuk menghasilkan biodegradable film dengan karakteristik yang
4
1.2. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan konsentrasi gliserol dan tapioka yang
tepat untuk menghasilkan karakteristik biodegradable film dari ampas rumput laut
Eucheuma cottonii terbaik.
1.3. Kerangka Pemikiran
Penelitian mengenai biodegradable film sudah banyak dilakukan. Salah satunya
penelitian mengenai biodegradable film dari ampas nanas, namun biodegradable
film yang dihasilkan bersifat kaku (Zulferiyenni et al., 2004), sehingga perlu
dilakukan penambahan gliserol sebagai bahan plasticizer. Hal ini tidak berbeda
dengan biodegradable film dari selulosa ampas rumput laut yang memerlukan
penambahan gliserol sebagai zat pemlastis. Selain itu, biodegradable film yang
terbuat dari polisakarida tumbuhan jenis selulosa yang sukar larut pada bahan lain
menyebabkan permukaan biodegradable film yang dihasilkan menjadi kurang rata
sehingga perlu dilakukan penambahan tapioka sebagai bahan pengisi. Akan tetapi
belum tersedia informasi tentang formulasi bahan ampas rumput laut Eucheuma
cottonii menggunakan gliserol sebagai plasticizer dan tepung tapioka sebagai
bahan pengisi yang optimum untuk menghasilkan biodegradable film dengan
karakteristik yang diinginkan.
Ampas rumput laut jenis Eucheuma cottonii memiliki kandungan komponen
selulosa sebesar 17,47%; hemiselulosa 21,16%, dan lignin 8,23% (Sintaria, 2012),
sehingga ampas rumput laut jenis Eucheuma cottonii sangat potensial dijadikan
5
penambahan gliserol menunjukkan bahwa hasil terbaik diperoleh pada konsentrasi
gliserol 0,5% (v/b), dengan nilai kelarutan 47,22%, kuat tarik 199,63 Mpa dan
persen perpanjangan 11,93% (Satriyo, 2012). Penambahan gliserol pada
formulasi berfungsi sebagai plasticizer pada biodegradable film. Gliserol akan
menghasilkan film yang lebih plastis karena adanya kuat tarik yang lebih tinggi.
Kuat tarik yang tinggi pada biodegradable film mampu memberikan perlindungan
produk dari gangguan mekanis. Selain itu, gliserol dapat meningkatkan
permeabilitas film (Gontard and Guilbert, 1992).
Penelitian mengenai pembuatan kertas dari ampas rumput laut Eucheuma cottonii
dengan penambahan tapioka diperoleh hasil terbaik pada konsentrasi tapioka
6% (b/v), dengan nilai derajat putih 52,40%, dan daya renggang 1,76 GPa
(Sintaria, 2012). Penambahan tapioka berfungsi sebagai bahan pengisi pada
rongga-rongga biodegradable film, sehingga dapat memperkecil pori-pori dan
menghomogenkan permukaan biodegradable film (Chandra, 2011). Hal tersebut
dapat terjadi karena adanya proses gelatinisasi. Gelatinisasi dapat terjadi dengan
adanya penambahan air dengan suhu tinggi. Gelatinisasi mengakibatkan air
terperangkap dalam granula-granula pati. Air ini akan terlepas pada saat proses
pengeringan dan terjadi penyusutan. Penyusutan ini menghasilkan film yang
stabil dan halus (Winarno, 1997). Oleh karena itu, pada penelitian ini digunakan
formulasi bahan komposit yang merujuk pada formulasi pembuatan
biodegradable film dari bahan selulosa dengan rentang persentase untuk gliserol
0,25% (v/v); 0,5% (v/v) atau 0,75% (v/v), sedangkan untuk tepung tapioka
6
1.4. Hipotesis
Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Terdapat konsentrasi gliserol yang tepat untuk menghasilkan karakteristik
biodegradable film dari ampas rumput laut Eucheuma cottonii terbaik.
2. Terdapat konsentrasi tapioka yang tepat untuk menghasilkan karakteristik
biodegradable film dari ampas rumput laut Eucheuma cottonii terbaik.
3. Terdapat interaksi antara gliserol dan tapioka yang tepat untuk
menghasilkan karakteristik biodegradable film dari bahan ampas rumput
7
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Biodegradable Film
Biodegradable film secara umum diartikan sebagai film yang dapat didaur ulang
dan dihancurkan secara alami oleh mikroorganisme menjadi polimer rantai-rantai
pendek. Ada tiga jenis biodegradable berdasarkan penggunaannya, yaitu:
biodegradable film, biodegradable coating, dan enkapsulasi. Biodegradable
coating langsung di bentuk pada produk, sedangkan pada biodegradable film
pembentukannya tidak secara langsung melainkan sebagai pelapis dan pengemas.
Enkapsulasi adalah biodegradable packaging yang berfungsi sebagai pembawa
zat flavor berbentuk serbuk. Biodegradable film berfungsi sebagai penghambat
perpindahan uap air, penghambat pertukaran gas, pencegah kehilangan aroma,
pencegah perpindahan lemak, peningkatan karakteristik fisik, dan pembawa zat
aditif (Austin, 1985).
Biodegradable film berdasarkan komponen penyusunnya dapat dibagi menjadi
tiga macam yaitu hidrokoloid, lipida, dan komposit. Hidrokoloid yang cocok
antara lain senyawa protein, turunan selulosa, alginat, pektin, dan pati. Lipida
yang biasa digunakan gliserol, waxes, asil gliserol dan asam lemak, sedangkan
komposit merupakan gabungan lipida dengan hidrokoloid. Biodegradable film
8
baik digunakan sebagai penghambat perpindahan uap air, sehingga mampu
menjaga umur simpan produk. Di sisi lain, biodegradable film yang terbuat dari
campuran protein dan polisakarida baik digunakan sebagai penghambat
perpindahan gas yang efektif untuk mencegah oksidasi lemak (Austin, 1985).
Berdasarkan bahan baku yang dipakai, biodegradable film dikelompokkan
menjadi 2 kelompok. Kelompok pertama campuran petrokimia (non-renewable
resources) dengan bahan aditif dari senyawa bio-aktif yang bersifat
biodegradable. Kelompok kedua bahan baku dari sumber daya alam terbarukan
(renewable resources) secara keseluruhan seperti dari bahan tanaman pati,
selulosa dan hewan seperti cangkang atau mikroorganisme (Ningsih, 2010).
Secara umum karakteristik kemasan yang diukur dan diamati dari sebuah film
kemasan termasuk biodegradable film antara lain kuat tarik (tensile strength),
persen pemanjangan (elongation to break), permeabilitas (Harsunu, 2008) dan
kelarutan (Gontard and Guilbert,1992).
a. Kuat tarik
Kuat tarik adalah gaya tarik maksimum yang dapat ditahan oleh sebuah film
sebelum film putus atau robek. Kuat tarik menggambarkan gaya maksimum
yang terjadi pada film selama pengukuran berlangsung. Hasil pengukuran
kuat tarik berhubungan erat dengan konsentrasi plasticizer yang ditambahkan
pada proses pembuatan film. Penggunaan plasticizer pada konsentrasi tertentu
9
b. Persen Pemanjangan
Persen pemanjangan merupakan perubahan panjang maksimum pada saat
terjadi peregangan hingga film terputus. Pada umumnya plasticizer dalam
jumlah lebih besar akan membuat nilai persen pemanjangan suatu film
meningkat lebih besar (Harsunu, 2008).
c. Laju Transmisi Uap
Nilai laju transmisi uap suatu jenis film digunakan untuk memperkirakan daya
simpan produk yang dikemas di dalamnya. Nilai laju transmisi uap juga
digunakan untuk menentukan produk atau bahan pangan apa yang sesuai
untuk kemasan tersebut. Nilai laju transmisi uap mencakup laju transmisi uap
terhadap uap air dan gas (Harsunu, 2008).
d. Kelarutan
Kelarutan adalah persentase kelarutan biodegradable film yang dilihat dari
berat kering setelah dicelupkan dalam air selama waktu tertentu
(Gontard and Guilbert, 1992).
Karakteristik biodegradable film yang baik yaitu mampu mendekati karakteristik
kemasan berbahan baku petrokimia. Bahan pengemas yang paling sering
digunakan adalah polietilen. Polietilen merupakan polimer dari monomer etilen
yang dibuat dengan proses polimerisasi adisi dari gas etilen yang diperoleh dari
hasil samping industri minyak dan batubara. Polietilen memiliki sifat lunak,
transparan, fleksibel serta mempunyai kekuatan benturan dan kekuatan sobek
yang baik. Pemanasan polietilen pada suhu 1100C menyebabkan plastik ini lunak
10
yang baik pada ketebalan 0.00254 -0.0254 cm sehingga digunakan sebagai bahan
pengemas. Polietilen termasuk golongan termoplastik yang dapat dibentuk
menjadi kantung dengan derajat kerapatan yang baik (Harumningtyas, 2010).
Berdasarkan densitasnya maka plastik polietilen dibedakan menjadi:
1. Polietilen densitas rendah/LDPE (Low Density Polyethylene)
LDPE (Low Density Polyethylene) merupakan salah satu jenis plastik yang
memiliki massa jenis rendah, kuat, agak tembus cahaya, fleksibel dan
permukaannya agak berlemak. Pada suhu dibawah suhu 600C sangat resisten
terhadap senyawa kimia dan daya proteksi terhadap uap air tergolong baik,
namun kurang baik bagi gas-gas yang lain seperti oksigen. Titik lelehnya
berkisar antara 105-1150C. LDPE biasanya digunakan untuk film, mangkuk,
botol, dan wadah/kemasan. Plastik LDPE dapat didaur ulang, namun sulit
dihancurkan (Julianti dan Nurminah, 2006). Plastik ini mempunyai kekuatan
terhadap kerusakan dan ketahan putus yang tinggi.Nilai kuat tarik LDPE yaitu
9,86 Mpadan kemuluran 100% (Boedeker plastic, 2013).
2. Polietilen densitas tinggi/HDPE (High Density Polyethylene)
HDPE (High Density Polyethylene) dihasilkan dengan cara polimerisasi pada
tekanan dan suhu yang rendah. HDPE merupakan senyawa termoplastik dari
atom karbon dan sistem yang bergabung menghasilkan berat molekul tinggi.
HDPE merupakan salah satu jenis plastik sintetik yang memilki massa jenis
tinggi, yaitu memiliki densitas antara 935-956,86 kg/cm3. Proses
pembuatannya dimulai dari gas metana yang diubah menjadi etilen, kemudian
dengan aplikasi panas dan tekanan (10 atm, 50-700C), diubah lagi menjadi
11
500.000-1.000.000. Rantai cabang yang panjang dan pendek muncul di
sepanjang rantai utama, semakin panjang rantai jumlah cabang semakin
banyak. HDPE memilki nilai kuat tarik 144 Mpa dan kemuluran 146%.
HDPE merupakan salah satu bahan plastik yang aman untuk digunakan karena
HDPE mampu mencegah reaksi kimia antara plastik berbahan HDPE dengan
makanan /minuman yang dikemasnya. HDPE memiliki sifat bahan yang lebih
kuat, keras, buram, dan lebih tahan terhadap suhu tinggi
(Harumningtyas, 2010).
2.2. Gliserol
Bahan tambahan yang dicampurkan pada pembuatan plastik bertujuan untuk
memperbaiki sifat mekanik plastik. Sifat mekanik plastik sangat penting dalam
pengemasan dan penyimpanan produk terutama dari faktor mekanis seperti
tekanan fisik (jatuh dan gesekan), getaran, benturan antara bahan dengan alat atau
wadah selama penyimpanan dan pendistribusian (Harsunu, 2008). Bahan yang
ditambahkan berfungsi sebagai plasticizer, penstabil, pewarna, dan penyerap UV.
Plasticizer didefinisikan sebagai bahan non volatil, bertitik didih tinggi, jika
ditambahkan pada material lain dapat merubah sifat material menjadi lebih plastis.
Plasticizer berfungsi untuk mengurangi kerapuhan film, meningkatkan
permeabilitas terhadap gas, uap air, dan zat terlarut serta meningkatkan plastis
(Gontard and Guilbert, 1992). Beberapa jenis plasticizer yang dapat digunakan
dalam pembuatan biodegadable film antara lain gliserol, lilin lebah, polivinil
12
Gliserol adalah senyawa golongan alkohol polihidrat dengan 3 buah gugus
hidroksil dalam satu molekul (alkohol trivalen). Gliserol memiliki berat molekul
92,1 g/mol dan massa jenis 1,23 g/cm2. Rumus molekul gliserol adalah C3H8O3
dengan nama kimia 1,2,3, - propanatriol. Gliserol terdapat pada lemak hewani
dan minyak nabati sebagai ester gliserin dari asam palmitat dan oleat. Gliserol
adalah senyawa netral, rasa manis, tidak berwarna, cairan kental dengan titik lebur
20oC dan memiliki titik didih yang tinggi yaitu 290oC. Gliserol dapat larut
sempurna dalam air dan alkohol namun tidak larut dalam minyak. Oleh karena itu
gliserol merupakan pelarut yang baik (Winarno, 1997). Gliserol memiliki titik
didih tinggi karena adanya ikatan hidrogen yang sangat kuat antar molekul
gliserol (Austin, 1985).
Gliserol bermanfaat sebagai anti beku (antifreeze) serta mencegah kekeringan
pada tembakau, pembuatan parfum, tinta, kosmetik, makanan dan minuman
lainnya. Campuran antara gliserol dan asam lemak digunakan sebagai bahan
kosmetika dan obat-obatan (Austin, 1985). Struktur gliserol disajikan pada
Gambar 1.
13
2.3. Tapioka
Tapioka adalah pati yang diekstrak dari ubi kayu segar (Astawan 2010). Pati
merupakan homopolimer glukosa dengan ikatan α-glikosidik. Pati berbentuk
butiran putih (granula), rasa tawar dan tidak berbau. Pati memiliki bentuk granula
berbeda–beda untuk setiap tanaman. Berikut gambar granula pati tapioka
disajikan pada Gambar 2.
Gambar 2. Granula pati Sumber: Anwar, 2002
Pati tapioka terdiri dari butiran- butiran kecil yang disebut granula. Granula ini
akan membengkak karena menyerap air saat dimasukkan ke dalam air dingin,
namun jumlah air yang terserap terbatas sehingga pembengkakan juga terbatas.
Air yang terserap tersebut hanya dapat mencapai 30%. Sebaliknya, apabila pati
mentah dimasukkan ke dalam air pada suhu antara 550C - 650C maka akan terjadi
pembengkakan maksimum tetapi tidak mampu kembali pada kondisi semula.
Perubahan tersebut disebut gelatinisasi (Winarno, 1997).
Gelatinisasi merupakan salah satu sifat pati tapioka. Pada proses gelatinisasi,
perubahan tampak saat larutan pati dipanaskan. Larutan pati yang semula keruh
14
air dapat dengan mudah masuk ke dalam granula sehingga menyebabkan granula
membengkak. Pada saat pembengkakan maksimum, maka granula akan pecah
yang menyebabkan molekul berantai panjang mulai membuka atau terurai.
Campuran pati dan air menjadi makin kental. Pada pendinginan, maka molekul
pati akan membentuk jaringan dengan molekul air terkurung di dalamnya
sehingga terbentuk gel (Winarno, 1997).
Tapioka tersusun dari dua macam karbohidrat yaitu amilosa dan amilopektin.
Amilosa memiliki struktur lurus dengan ikatan α-(1,4)-D-glukosa sedangkan
amilopektin mempunyai cabang dengan ikatan α-(1,6)-D-glukosa sebanyak 4-5
dari berat total. Amilosa memberikan sifat keras (pera) sedangkan amilopektin
menyebabkan sifat lengket. Amilosa memberikan warna ungu pekat pada tes
iodin sedangkan amilopektin tidak bereaksi (Winarno, 1997). Gambar struktur
kimia amilosa dan amilopektin disajikan pada Gambar 3 dan Gambar 4.
Gambar 3. Struktur amilosa Sumber: Winarno, 1997
15
Tapioka digunakan sebagai bahan pengental, bahan pengisi dan bahan pengikat.
Tapioka digunakan untuk meningkatkan kehalusan permukaan, menambah
kecerahan, dan meningkatkan kemampuan daya cetak lembaran. Penambahan
tapioka dilakukan pada saat biodegradable film dibentuk. Tapioka berfungsi untuk
menutup pori-pori yang tidak terisi sempurna oleh selulosa (Chandra, 2011).
2.4. Eucheuma cottonii
2.4.1. Klasifikasi Eucheuma cottonii
Lokasi budidaya rumput laut jenis Eucheuma cottonii antara lain Lombok,
Sulawesi Tenggara, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, Lampung, Kepulauan
Seribu, dan Perairan Pelabuhan Ratu (Aslan, 1998). Rumput laut jenis Eucheuma
cottoni memiliki thallus yang licin dan silindris, berwarna hijau, hijau kuning,
abu-abu dan merah. Tumbuh melekat pada substrat dengan alat perekat berupa
cakram (Atmadja, 1996 dalam Mindarwati, 2006). Klasifikasi Eucheuma cottonii
menurut Doty (1985) dalam Mindarwati (2006) adalah sebagai berikut :
Kingdom : Plantae
Divisi : Rhodophyta
Kelas : Rhodophyceae
Ordo : Gigartinales
Famili : Solieracea
Genus : Eucheuma
16
a b
Gambar 5. Eucheuma cottonii (a: basah, b: kering)
Umumnya Eucheuma cottonii tumbuh dengan baik pada kondisi perairan yang
sesuai, yaitu pada perairan yang terlindung dari terpaan angin dan gelombang
besar, kedalaman perairan 7,65-9,72 m, salinitas 33 -35 ppt, suhu air laut 28-30oC,
kecerahan 2,5-5,25 m, pH 6,5-7,0 dan kecepatan arus 22- 48 cm/detik
(Wiratmaja, 2011).
2.4.2. Ampas Rumput Laut Eucheuma cottonii
Rumput laut Eucheuma sp. terbagi menjadi dua jenis yaitu Eucheuma spinossum
dan Eucheuma cottonii. Eucheuma cottonii mempunyai peranan penting dalam
dunia perdagangan internasional sebagai penghasil ekstrak karagenan
(Aslan,1998). Pada industri ekstraksi karagenan, Eucheuma cottonii yang
digunakan hanya sekitar 30-35%, sedangkan 65-70% menjadi limbah yang
cenderung terbuang dan menjadi sampah organik (Wekridhany et al., 2012).
Menurut Riyanto dan Wilaksanti (2006), ampas rumput laut masih memiliki
kandungan zat gizi antara lain kadar air 80-84%, protein 0,5-0,8%, lemak
17
dengan komponen selulosa sebesar 16-20%, hemiselulosa 18-22%, lignin 7-8%
dan serat kasar 2,5-5%. Berdasarkan penelitian Sintaria (2012), diketahui bahwa
ampas rumput laut jenis Eucheuma cottonii, memiliki kandungan komponen
selulosa sebesar 17,47%, hemiselulosa 21,16%, dan lignin 8,23%. Komposisi
kimia Eucheuma cottonii dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Komposisi kimia rumput laut Eucheuma cottonii
Komposisi Jumlah
Selulosa merupakan bagian penyusun utama jaringan tanaman. Selulosa terdapat
pada setiap jenis tanaman, termasuk tanaman semusim, tanaman perdu dan
tanaman rambat bahkan tumbuhan paling sederhana sekalipun seperti jamur,
ganggang dan lumut. Berdasarkan derajat polimerisasi (DP) dan kelarutan dalam
senyawa natrium hidroksida (NaOH) 17,5%, selulosa dapat dibedakan atas tiga
jenis yaitu :
1) Selulosa α (Alpha Cellulose) adalah selulosa berantai panjang, tidak larut
18
polimerisasi) 600-1500. Selulosa α dipakai sebagai penduga atau penentu
tingkat kemurnian selulosa.
2) Selulosa β (Betha Cellulose) adalah selulosa berantai pendek, larut dalam
larutan NaOH 17,5% atau basa kuat dengan DP 15 - 90, dapat mengendap
bila dinetralkan.
3) Selulosa µ (Gamma Cellulose) adalah sama dengan selulosa β, tetapi DP
kurang dari 15.
Selulosa α merupakan kualitas selulosa yang paling tinggi (murni). Selulosa α >
92% memenuhi syarat untuk digunakan sebagai bahan baku utama pembuatan
propelan atau bahan peledak. Sedangkan selulosa kualitas di bawahnya digunakan
sebagai bahan baku pada industri kertas dan industri sandang/kain (serat rayon).
Selulosa dapat disenyawakan (esterifikasi) dengan asam anorganik seperti asam
nitrat (NC), asam sulfat (SC) dan asam fosfat (FC). Dari ketiga unsur tersebut,
NC memiliki nilai ekonomis yang' strategis daripada asam sulfat/SC dan fosfat/FC
karena dapat digunakan sebagai sumber bahan baku propelan/bahan peledak pada
industri pembuatan amunisi/mesin (Kirk and Othmer, 1978). Selulosa rumput laut
disajikan pada Gambar 6.
Gambar 6. Selulosa rumput laut Sumber: Sudjadi, 2008
19
III. METODE PENELITIAN
3.1. Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Analisis Hasil Pertanian Jurusan
Teknologi Hasil Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Lampung, Laboratorium
Kimia FMIPA Universitas Lampung, Laboratorium Kimia Fisik, Prodi Kimia
FMIPA-ITB dan Laboratorium Uji dan Kalibrasi Balai Besar Kimia dan Kemasan
(BBKK) Jakarta, pada bulan Oktober 2012 sampai dengan Februari 2013.
3.2. Bahan dan Alat Penelitian
Bahan utama yang digunakan untuk pembuatan biodegradable film dalam
penelitian ini adalah rumput laut kering jenis Eucheuma cottonii yang diperoleh
dari Pesawaran. Sedangkan bahan lain yang digunakan adalah gliserol merk
Chemical Product, tapioka cap Ibu Tani, aquades, etanol 96%, CMC 1%, H2O2
merk J.T. Beaker. Alat-alat yang digunakan adalah FTIR tipe Scimitar 2000,
kamera merk Casio tipe Exilim Ex-Zs6, testing machine MPY merk PA-104-30,
cawan, shaker waterbath merk Memmert tipe WB 14, hot plate, magnetik stirrer,
termometer, timbangan digital merk Mettler PJ 3000, pH meter, alumunium foil,
20
kompor merk Hitachi, panci, pipet tetes, saringan stainless steel, spatula dan
peralatan laboratorium lainnya.
3.3. Metode Penelitian
Perlakuan disusun secara faktorial dalam Rancangan Acak Kelompok Lengkap
(RAKL) dengan tiga kali ulangan. Penelitian dilakukan dengan menggunakan dua
faktor, konsentrasi gliserol (G) sebagai faktor pertama yang terdiri dari tiga taraf
yaitu 0,25% (G1); 0,5% (G2) atau 0,75% (G3). Faktor kedua adalah konsentrasi
tapioka (T) yang terdiri dari tiga taraf yaitu 5% (T1); 6% (T2) atau 7% (T3). Data
uji kuat tarik, uji persen pemanjangan, dan uji kelarutan diolah dengan analisis
sidik ragam untuk mendapatkan penduga ragam galat serta signifikasi untuk
mengetahui ada tidaknya perbedaan antar perlakuan. Kesamaan ragam diuji
dengan uji Bartlett dan kemenambahan data diuji dengan uji Tukey. Data
dianalisis lebih lanjut dengan uji BNJ pada taraf 5%. Sedangkan data untuk
pengujian bahan baku ampas rumput laut menggunakan analisis FTIR,
pengamatan penampakan biodegradable film secara visual, uji biodegrabilitas
disajikan dalam bentuk gambar dan laju transmisi uap air dianalisis dari hasil
perlakuan terbaik.
3.4. Pelaksanaan Penelitian
3.4.1. Prosedur untuk Pemisahan Ampas Rumput Laut
Sampel rumput laut kering sebanyak 675 gram dicuci dan dibersihkan. Sampel
21
dimasak selama 30 menit pada suhu 900-1000C sampai mendidih dengan
perbandingan rumput laut dan air 1:20. Sampel diperas dengan kain saring, untuk
memisahkan karagenan dan ampas. Ampas dicuci hingga bersih. Diagram alir
memperoleh ampas rumput laut disajikan pada Gambar 7.
Gambar 7. Diagram alir pemisahan ampas rumput laut Sumber: Mailisa (2012, dengan modifikasi)
Rumput laut kering sebanyak 675 gram
Dicuci dan direndam selama 24 jam
Ditimbang
Dimasak selama 30 menit suhu 90-1000C sampai mendidih rumput laut dan air 1:20
Diperas dengan kain saring
Karagenan Ampas rumput laut
22
3.4.2. Prosedur untuk Pemurnian Selulosa Ampas Rumput Laut
Ampas rumput laut sebanyak 1350 gram dihidriolisis dalam 100 ml larutan
hidrogen peroksida 2% (v/v) selama 3 jam pada suhu 850C dengan shaker
waterbath. Ampas dicuci hingga pH netral, kemudian disaring dengan kain saring
sehingga diperoleh selulosa. Diagram alir pemurnian selulosa dari ampas rumput
laut Eucheuma cottonii pada Gambar 8.
Gambar 8. Diagram alir pemurnian selulosa dari ampas Eucheuma cottonii
Sumber: Hidayati (2000, dengan modifikasi)
3.4.3. Prosedur Pembuatan Biodegradable Film
Selulosa ampas rumput laut sebanyak 8,5 gram dimasukan kedalam Erlenmeyer
250 ml. Kemudian ditambahkan 0,5 gram CMC 1% (b/v), etanol 15 ml, gliserol
dan tapioka masing-masing sesuai perlakuan. Selanjutnya campuran tersebut
dilarutkan dengan 50 ml aquades. Larutan dipanaskan dan diaduk selama 30
menit pada suhu 70o C menggunakan hot plate. Larutan diangkat dan dihilangkan Ampas rumput laut sebanyak 1350 gram
Dihidrolisis dengan H2O2 sebanyak 2 %(v/v) dengan suhu 850C selama 3 jam
Dicuci hingga pH netral
Disaring dengan kain saring
Selulosa
Air
23
gelembungnya. Larutan dituang pada kaca 20 x 20 cm, kemudian dikeringkan
pada suhu ruang selama 48 jam. Pelaksanaan penelitian dapat dilihat pada
diagram alir pembuatan biodegradable film pada Gambar 9.
Gambar 9. Diagram alir pelaksanaan penelitian Sumber: Indarti dan Elsy (2008, dengan modifikasi)
3.5. Pengamatan
Pada penelitian ini bahan baku ampas rumput laut dan selulosa ampas rumput laut
dianalisis menggunakan metode FTIR, sedangkan pengamatan yang dilakukan
pada penelitian ini adalah pengamatan visual biodegradable film, analisis kuat Dipanaskan dan diaduk
pada suhu 70oC, selama 30 menit
Etanol 15 ml Aquades 50 ml CMC 1% (b/v) Gliserol: 0,25% (v/b) ; 0,5% (v/b) atau 0,75% (v/b)
Tapioka:5% (b/v); 6% (b/v) atau 7% (b/v)
Dihilangkan gelembung
Dicetak pada kaca berukuran 20x20 cm Selulosa sebanyak 8,5 gram
Dikeringkan pada suhu ruang selama 48 jam
24
tarik, persen pemanjangan, biodegrabilitas dan kelarutan. Analisis laju transmisi
uap air dilakukan berdasarkan nilai kuat tarik tertinggi.
3.5.1. Analisis Gugus Fungsi dengan FTIR
Analisis Gugus Fungsi yaitu menggunakan FTIR tipe Scimitar 2000. Sampel
yang digunakan merupakan sampel padat sehingga sebelum di analisis harus
dibentuk menjadi pellet yaitu campuran antara sampel dan KBr yang digiling
halus menggunakan mortar dengan perbandingan 1:100 menjadi partikel
berukuran 5 mm, kemudian pellet dimasukkan ke dalam die sets yang telah
tersusun dengan benar. Pellet diratakan lalu tutup, kelebihan pellet yang tertinggal
dibersihkan. Die sets diletakkan ke dalam pike hand press lalu press selama 15
detik. Press dihentikan kemudian die sets diambil. Pellet dianalisis dengan
menempatkan ke dalam set holder, kemudian dicari spektrum yang sesuai. Hasil
yang didapat berupa difraktogram hubungan antar panjang gelombang dengan
intensitas. Spektrum direkam menggunakan spektrofotometer infra red pada suhu
ruang. Pengujian ini dilakukan untuk mengetahui kemurnian selulosa melalui
gugus fungsi ampas rumput laut sebelum dan setelah proses pemurnian
(Darni et al., 2009).
3.5.2. Pengamatan Visual
Pengamatan visual dilakukan dengan menggunakan camera visual biasa (Merk
Casio type Exilim EX-ZS6). Biodegradable film yang dihasilkan difoto untuk
25
3.5.3. Uji Kuat Tarik
Uji kuat tarik diukur dengan Testing Machine MPY (Type: PA-104-30, Ltd
Tokyo, Japan). Sebelum dilakukan pengukuran disiapkan lembaran film ukuran
2,5 x 15 cm dan dikondisikan di laboratorium dengan kelembaban (RH) 50%
selama 48 jam. Instron diset pada initial grip separation 50 mm, crosshead speed
50 mm/menit dan loadcell 50 kg. Kuat tarik ditentukan berdasarkan beban
maksimum. Kekuatan tarik diukur dengan rumus :
Keterangan :
= kekuatan tarik (Mpa)
= gaya kuat tarik (N)
A = luas penampang (mm2) (ASTM, 1983)
3.5.4. Uji Persen Pemanjangan
Uji persen pemanjangan diukur dengan Testing Machine MPY (Type: PA-104-30,
Ltd Tokyo, Japan). Sebelum dilakukan pengukuran disiapkan lembaran sampel
film ukuran 2,5 x 15 cm dan dikondisikan di laboratorium dengan kelembaban
(RH) 50% selama 48 jam. Instron diset pada initial grip separation 50 mm,
crosshead speed 50 mm/ menit dan loadcell 50 kg. Persen pemanjangan dihitung
pada saat film pecah atau robek. Sebelum dilakukan penarikan, panjang film
diukur sampai batas pegangan yang disebut dengan panjang awal (lo), sedangkan
panjang film setelah penarikan disebut panjang setelah putus (l1) dan dihitung
26
Keterangan lo = panjang awal
l1 = panjang setelah putus (ASTM, 1983)
3.5.5. Uji Biodegradabilitas
Biodegradable film yang dihasilkan diuji sifat biodegradabilitasnya dengan cara
dikubur di dalam tanah dengan ukuran film 10 x 10 cm dan kedalaman 12 cm di
dalam gelas plastik. Proses penguburan dilakukan selama dua minggu kemudian
dilakukan pengamatan setiap satu minggu sekali (Gontard and Guilbert, 1992).
3.5.6. Uji Kelarutan
Uji kelarutan plastik biodegradable dalam air dilakukan dengan cara memasukkan
lembaran film plastik dengan ukuran 2x10 cm kedalam bejana yang berisi air.
Kelarutan dalam air dinyatakan persentase sebagian film yang larut dalam air
setelah perendaman selama satu minggu.
Keterangan : a = berat sampel awal (g)
b = berat cawan (g)
27
3.5.7. Uji Laju Transmisi Uap Air Metode Cawan
Laju transmisi uap air diukur dengan menggunakan water vapor transmission rate
tester Bergerlahr metode cawan. Film yang akan diukur dikondisikan sebelumnya
pada ruangan yang bersuhu 25 ± 20C selama 24 jam. Bahan penyerap uap air
(desikan) diletakkan dalam cawan sedemikian rupa sehingga permukaan berjarak
3 mm dari film yang akan diuji. Tutup cawan diletakkan sedemikian rupa
sehingga permukaan bagian yang terluar menghadap keatas. Film diletakkan
kedalam tutup cawan, lalu cincin karet diletakkan untuk menyegel kedalam,
ditutup sehingga cincin tersebut menekan film. Selanjutnya cawan ditimbang
dengan ketelitian 0,0001gram, kemudian diletakkan dalam humidity chamber,
ditutup lalu kipas angin dijalankan. Cawan ditimbang tiap hari pada jam yang
hampir sama dan ditentukan pertambahan berat cawan. Selanjutnya dibuat grafik
hubungan antara pertambahan berat (mg) dan waktu (jam). Nilai laju transmisi
uap air yang melewati film dihitung dengan rumus :
Keterangan :
= water vapor transmission rate
m2 = pertambahan berat (mg/jam)
45
V. SIMPULAN DAN SARAN
5.1. Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan dapat diambil kesimpulan
bahwa:
1. Konsentrasi gliserol berpengaruh nyata terhadap kuat tarik, persen
pemanjangan, biodegradabilitas dan laju transmisi uap air tetapi tidak
berpengaruh nyata terhadap kelarutan biodegradable film dari selulosa
ampas rumput laut. Hasil perlakuan terbaik diperoleh pada konsentrasi
gliserol 0,25%.
2. Konsentrasi tapioka berpengaruh nyata terhadap kuat tarik, persen
pemanjangan, biodegradabilitas dan laju transmisi uap air tetapi tidak
berpengaruh nyata terhadap kelarutan biodegradable film dari selulosa
ampas rumput laut. Hasil perlakuan terbaik diperoleh pada konsentrasi
tapioka 7%.
3. Terdapat interaksi antara kedua perlakuan penambahan konsentrasi
gliserol dan konsentrasi tapioka terhadap kuat tarik, persen pemanjangan,
biodegradabilitas, permeabilitas uap air dan kelarutan biodegradable film
dari selulosa ampas rumput laut. Hasil perlakuan terbaik diperoleh pada
perlakuan konsentrasi gliserol 0,25% dan tapioka 7 % dengan nilai kuat
46
biodegradabilitas 14 hari. Laju transmisi uap dari perlakuan terbaik yang
memiliki nilai kuat tarik tertinggi menghasilkan nilai 6,13 g/(m2/hari).
5.2. Saran
1. Perlu dilakukan penelitian untuk menghasilkan nilai persen pemanjangan
biodegradable film dari bahan selulosa ampas rumput laut yang sesuai
dengan standar untuk pengemas bahan pangan.
2. Perlu dilakukan penelitian untuk pembuatan biodegradablefilm dari bahan
selulosa ampas rumput laut dengan metode pencetakan film yang tepat
47
DAFTAR PUSTAKA
Ariestiani. 2012. Permeabilitas Uap Air dari Film atau Plastik. http://google. search. com. ariestiani.files.wordpress.com/2012/05/lap-permebilitas- anni1.doc. Diakses 06 Maret 2013.
Amna. 2012. Mengukur Permeabilitas Uap Air dari Plastik. http://google. search. com. mengukur-permeabilitas- uap-air-dari-plastik. html. Diakses 06 Maret 2012.
Anwar, E. 2002. Pemanfaatan Maltodekstrin dari Pati Singkong sebagai Bahan Penyalut Lapis Tipis Tablet. Jurnal Makara Sains. Farmasi FMIPA. Universitas Indonesia. 6(1): 1-10.
Aslan dan M. Laode. 1998. Budidaya Rumput Laut. Kanisius. Yogyakarta. 54 Hlm.
ASTM. 1983. Annual Book of ASTM Standards. American Society for Testing and Material Philadelpia. New york. 578 Hlm. Diakses pada tanggal 18 Mei 2012.
Austin, P. A. 1985. Shereve’s Chemical Process Industries. Mc graw – Hill Book Co. Tokyo.
Bambang. 2011. Instrumen FTIR dan Membaca Spektra FTIR. http://anekakimia. blogspot.com/2011/06/instrumen-ftir-dan-membaca-spektra-ftir.html. Diakses pada tanggal 10 Mei 2013.
Boedeker plastic. 2013. Polyethylene Specification. http://www.boedeker.com/ polye_p.htm. Diakses pada tanggal 10 Mei 2013.
Budi, Y. 2013. Penyiapan Sumber Daya di Bidang Moulding. https://www.
ubaya.ac.id/2013/content/articles_detail/65/penyiapan-sumber-daya-di-bidang-moulding.html. Diakses pada tanggal 10 Mei 2013.
48
Chandra, R., and R. Rustgi. 1998. Biodegradable Polymers. Program Polymer Science. 23:1273–1335. Department of Polymer Technology and Applied Chemistry. Delhi College of Engineering, Delhi-110006. India.
Darni, Y., H. Utami dan S. Asriah. 2009. Peningkatan Hidrofobisitas dan Sifat Fisik Plastik Biodegradable Pati Tapioka dengan Penambahan Selulosa Residu Rumput Laut Eucheuma spinossum. Prosiding Seminar Hasil Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat. Universitas Lampung. 14 Hlm.
Daffi, R. dan J. Kusnadi. 2012. Formulasi Edible film sebagai Antibacterial
Active Packaging dengan Penambahan Ekstrak Daun Jati (Tectona grandis) (Kajian Proporsi Pati Tapioka Dan Suhu Pengeringan Edible film). Jurnal Teknologi Hasil Pertanian. Universitas Brawijaya. Malang. 20 Hlm.
Fransisca, D. 2013. Pengaruh konsentrasi tapioka terhadap sifat fisik biodegradable film dari bahan komposit selulosa nanas. (Skripsi). Jurusan Teknologi Hasil Pertanian. Fakultas Pertanian. Universitas Lampung. Bandar Lampung. 52 Hlm
Gunawan, V. 2009. Formulasi dan aplikasi edible coating berbasis pati sagu dengan penambahan vitamin C pada paprika. (Skripsi). Fakultas Teknologi Pertanian IPB. Bogor. 50 Hlm.
Gontard, N., and S. Guilbert. 1992. Bio Packaging : Tecnology and Properties of Edible Biodegradable Material of Agricultural Origin. Food Packaging a Preservation. The Aspen Publisher Inc. Gaithersburg, Maryland. 30 Hlm.
Harsunu, B. 2008. Pengaruh konsentrasi plasticizer gliserol dan komposisi khitosan dalam zat pelarut terhadap sifat fisik edible film dari khitosan. (Skripsi). Departemen Metalurgi dan Material. Fakultas Teknik. Universitas Indonesia. 105 Hlm.
Harumningtyas. 2010. Aplikasi edible plastik pati tapioka dengan penambahan madu untuk pengawetan buah jeruk Citrus sp. (Skirpsi). Universitas Airlangga. Surabaya. 98 Hlm.
Hidayati. 2000. Pemutihan Pulp Ampas Tebu sebagai Bahan Dasar Pembuatan CMC. Jurnal Agrosains. 13(1):59-78.
49
Jajo. 2008. Degradasi Komponen Lignoselulosa Oleh Kapang Pelapuk Putih. www.jajo66.files.wordpress.com%2f2008%2f10%2fdegradasi.lignoselulo sa.pdf. 21 Hlm. Diakses 20 September 2013
Kemala, T., M. S. Fahmi dan S.S. Achmadi. 2010. Pembuatan dan Pencirian Polipaduan Polistiren Pati. Jurnal Sains Materi Indonesia. Departemen Kimia. FMIPA. Institut Pertanian Bogor. Bogor. 12(1):30 – 35.
Kirk, R.E. and D. F. Othmer. 1978. Encyclopedia of Chemical Technology.
Verlogsgesselscraft MGH, Weinheim. Germany. 3(3): 1- 938.
Krisna, D. 2011. Pengaruh regelatinisasi dan modifikasi hidrotermal terhadap sifat fisik pada pembuatan edible film dari pati kacang merah (Vigna Angularis Sp.). (Tesis). Magister Teknik Kimia. Universitas Diponegoro. Semarang. 65 Hlm.
Latief, R. 2001. Teknologi Kemasan Plastik Biodegradable. Makalah Falsafah Sains Program Pasca Sarjana. IPB. Bogor. 23 Hlm. http: //www. hayati_ ipb.com/users/ rudyet/individu 2001/ Rindam _latief. htm-87k. Diakses pada 30 Juni 2012.
Mailisa, T. 2012. Pengaruh konsentrasi asam perasetat dan cmc terhadap sifat kimia pulp berbasis ampas rumput laut Eucheuma cottonii (Skripsi). Jurusan Teknologi Hasil Pertanian. Fakultas Pertanian. Universitas Lampung. Bandarlampung. 86 Hlm .
Mindarwati, E. 2006. Kajian pembuatan edible film komposit dari karagenan sebagai pengemas bumbu instan rebus. (Tesis). Sekolah Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor. 69 Hlm.
Mujiarto, I. 2005. Sifat dan Karakteristik Material Plastik dan Bahan Aditif. Jurnal Traksi. 3(2): 65- 75.
Ningsih, S.2010. Optimasi pembuatan bioplastik polihidroksialkanoat menggunakan bakteri mesofilik dan media limbah cair pabrik kelapa sawit. (Tesis). Jurusan Kimia. Fakultas MIPA. Universitas Sumatera Utara. Medan. 136 Hlm.
Nourieddini, H. and V. Mendikonkuru. 1997. Glycerolysis of fats and methyl ester. J. Am. Oil. Chem. Socs. 74(4):418-425.
Nugroho, A., Basito dan R.B. Katri. 2013. Kajian Pembuatan Edible Film
50
Nurjannah, W. 2004. Isolasi dan karakterisasi alginate dari rumput laut sargassum sp untuk pembuatan biodegradable film komposit alginate tapioka. (Skripsi). Fakultas Teknologi Pertanian UGM. Yogyakarta.
Riyanto, B dan M, Wilaksanti. 2006. Cookies Berkadar Serat Tinggi Subtitusi
Tepung Ampas Rumput Laut dari Pengolahan Agar Agar Kertas. Buletin
Teknologi Hasil Perikanan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. 9(1) : 47-57.
Satriyo. 2012. Kajian penambahan chitosan, gliserol dan cmc terhadap karakteristik biodegradable film dari bahan komposit nanas. (Skripsi). Jurusan Teknologi Hasil Pertanian Fakultas Pertanian. Universitas Lampung. Bandar Lampung. 56 Hlm.
Sintaria, D. 2012. Pengaruh konsentrasi hidrogen peroksida H2O2dan tepung tapioka terhadap sifat fisik kertas berbasis ampas rumput laut Eucheuma cottonii. (Skripsi). Jurusan Teknologi Hasil Pertanian Fakultas Pertanian. Universitas Lampung. Bandar Lampung. 53 Hlm.
Sogiana, M.B. 2013. Pencirian Bioplastik Tepung Tapioka Terplastisasi Gliserol dengan Penambahan Karaginan. Jurnal Online. Jurusan Kimia. FMIPA IPB. Bogor. 31 Hlm.
Sudjadi. 2008. Bioteknologi Kesehatan. Yogyakarta. 281 Hlm.
Syamsu, K., K. Setyowati dan A. Khoiri. 2008. Pengaruh Penambahan Pemlastis (Polietilen Glikol 400, Dietilen Glikol, dan Dimetil Ftalat) terhadap Proses Biodegradasi Bioplastik Poli-B-Hidroksialkanoat pada Media Cair dengan Udara Terlimitasi. Jurnal Teknologi Pertanian. 4(1):1-15.
Tanaga, N. 2010. Analisis kelayakan ekspansi investasi mesin pengolahan limbah plastik pada PT MIKE MEILINDO TANAGA. (Skripsi). Fakultas Ekonomi dan Bisnis. Jurusan Manajemen. Universitas Bina Nusantara. Jakarta 96 Hlm.
Teknopangan dan agroindustri. 2008. Edible Film. Jurnal Teknologi Pangan dan Gizi. 1(12):183- 187. http://www.teknopangan& agroindustri. com. Diakses pada tanggal 01 Agustus 2012.
Theresia, V. 2003. Aplikasi dan karakterisasi sifat fisik mekanik plastik
biodegradable dari campuran LLDPE dan tapioka. (Skripsi). Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor. 68 Hlm.
51
Wahyuni, S. 2001. Mempelajari karakteristik fisik dan kimia edible film dari gelatin tulang domba dengan plasticizer gliserol. (Skripsi). Jurusan Ilmu Produksi Ternak. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor. Bogor 78 Hlm.
Wekridhany, A., Y. Darni dan D. Agustina. 2012. Pengaruh rasio selulosa/NaOH pada tahap alkalinisasi terhadap peningkatan produksi natrium karboksimetilselulosa (Na-CMC) dari residu rumput laut eucheuma spinossum. Jurnal Penelitian. Jurusan Teknik Kimia. Fakultas Teknik. Universitas Lampung. Bandarlampung. 8 Hlm.
Widyasari, R. 2011. Pengaruh konsentrasi dan lama inkubasi enzim selulase untuk menghidrolisis selulosa dan hemiselulosa TKKS menjadi gula reduksi sebagai bahan baku bioethanol. (Skripsi). Fakultas Pertanian. Universitas Lampung. Bandarlampung. 61 Hlm.
Widyastuti, E. 2012. Modifikasi pati. Prosiding Teknologi Pangan. Universitas Brawijaya. Malang. 6 Hlm.
Wikipedia. 2012. Glycerol. http://en.wikipedia.org/wiki/gliserol. Diakses tanggal 28 mei 2012.
Winarno, F. G. 1997. Kimia Pangan dan Gizi. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Wiratmaja. 2011. Pembuatan Etanol Generasi Kedua dengan Memanfaatkan Limbah rumput Laut Eucheuma Cottonii sebagai Bahan Baku. Ejournal. http://ejournal.unud.ac.id/abstrak/13.%20jurnal-cakram. wiratmaja%20ok. pdf. Diakses tanggal 28 mei 2011.
Wirawan, S., A. Prasetya dan Ernie. 2012. Pengaruh Plasticizer pada Karakteristik Edible Film dari Pectin. Jurnal Reaktor. 14(1):67.