LAPORAN BACA KARYA SASTRA BALAI PUSTAKA
“
MANTRI DJERO”
R. Memed Sastrahadiprawira
disusun untuk memenuhi tugas Ujian Akhir Semester mata kuliahTeori Sastra
Dosen
Asep Yusup Hudayat, M. A.
Oleh
Rini Anggraini
180210120033
PROGRAM STUDI SASTRA SUNDA
FAKULTAS ILMU BUDAYA
UNIVERSITAS PADJADJARAN
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah SWT, Tuhan semesta alam. Salawat dan salam semoga tetap tercurah kepada Nabi Muhammad SAW pembawa risalah Allah yang mengorbankan waktunya semata-mata untuk berjuang dijalan-Nya.
Atas izin dan karunia-Nya, penyusunan laporan baca guna memenuhui salah satu tugas Ujian Akhir Semester dapat terselesaikan tepat pada waktunya. Kategori yang dipilih adalah karya-karya sastra Balai Pustaka yang berjudul “Mantri Djero” karya R. Memed Sastrahadiprawira (1929).
Adapun kendala dalam penyusunan laporan semata-mata merupakan proses perjuangan menuju pemikiran yang lebih kritis, teliti, dan matang serta berwawasan lebih luas. Terimakasih kepada Bapak Asep Yusup Hudayat, M. A. selaku dosen matakuliah Teori Sastra dan juga sebagai dosen wali. Sebuah motivasi besar yang diberikan dengan bimbingannya dan kritikannya yang pasti sangat membangun. Terimakasih juga kepada Uwa Sasmitha atas sumbangsih cerita, pandangan dan juga buku-buku koleksinya di Rumah Baca Buku Sunda.
Akhir kata, penyusun menyadari bahwa laporan ini masih banyak kekurangan dan jauh dari kesempurnaan. Dengan usaha yang semaksimal mungkin berharap dapat memperoleh hasil yang maksimal pula. “Barang siapa yang menanam maka dia yang akan menuai hasilnya.” Mudah-mudahan laporan ini dapat bermanfaat bagi penyusun khususnya dan bagi orang lain pada umumnya.
Jatinangor, Juli 2013
DAFTAR ISI
KATA PENGATAR... i
DAFTAR ISI... iii
BAB I PENDAHULUAN... 1
1.1 Latar Belakang... 1
1.2 Identifikasi Masalah... 2
1.3 Tujuan ... 3
BAB II PEMBAHASAN ... 4
2.1 Identifikasi Objek Material ... 4
2.2 Sinopsis Objek Material ... 9
2.3 Deskripsi Objek Material ... 10
2.4 Pendekatan dan Teori ... 14
BAB III KESIMPULAN... 29
DAFTAR PUSTAKA... 31
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Sastra dan kehidupan tidak dapat dipisahkan. Sebagaimana dalam
perkembangannya sastra selalu menghadirkan hidup dan kehidupan dalam
masyarakat. Hidup tidak terlepas dari sastra. Peristiwa yang digambarkan dalam
karya sastra bisa terjadi dalam kehidupan nyata maupun di luar alam nyata. Sastra
merupakan salah satu bentuk komunikasi yang disampaikan melalui bahasa.
Dalam hal ini, sastra selain menyajikan nilai-nilai keindahan serta paparan
peristiwa, juga mampu mengajak pembaca untuk menemukan nilai-nilai dan
menghayati kehidupan secara mendalam. Membawa terbang ke alam imajinasi
yang lebih jauh tapi pada akhirnya tetap merupakan bagian dalam kehidupan.
Teeuw menjabarkan istilah sastra dipakai untuk menyebut gejala budaya yang
dapat dijumpai pada semua masyarakat meskipun secara sosial, ekonomi, dan
keagamaan, keberadaannya tidak merupakan keharusan.
Macam-macam karya sastra meliputi puisi, roman, novel, drama, dan cerpen.
Mempelajari dan meneliti karya sastra terdapat unsur-unsur pembangun, baik
unsur intrinsik maupun unsur ekstrinsik. Unsur intrinsik merupakan unsur-unsur
yang membangun karya sastra berkaitan dengan peristiwa cerita, plot, penokohan,
tema, latar, sudut pandang penceritaan, dan bahasa atau gaya bahasa. Sedangkan
Nyoman Kutha Ratna (2007:305) mengemukakan sastra dalam pengertian luas
kedalaman pikiran dan ekpresi jiwa. Dengan begitu karya sastra adalah suatu
imajinasi yang dilukiskan melalui bahasa dan dilakukan oleh pengarang.
Generalisasi sastra itu sendiri terdiri dari deotomatisasi atau ketidak
langsungan, imaginatif, ambiguitas, nilai estetiknya dominan dan bersifat
konotatif.
Dalam modul pembelajaran teori sastra Asèp Yusup Hudayat mengemukakan
ilmu sastra mempunyai karakteristik keilmiahan sendiri. Dalam hal ini peneliti
harus memilih metode dan langkah-langkah kerja yang tepat dan sesuai dengan
karakteristik objek kajiannya. Salah satu yang menarik dalam menggunakan
metode penelitian sastra adalah keharusan adanya distansi, kerja yang objektif,
dan terhindar dari unsur prasangka dari perspektif. Gejala dengan situasi
kesastraan inilah yang sering menuntut perhatian sendiri. Sudah dapat
disimpulkan bahwa dalam penelitian sastra tersebut tidak berjarak dan
subjektivitas.
1.2 Identifikasi Masalah
1. Apa sajakah yang dijadikan rujukan penelitian?
2. Pendekatan dan teori apakah yang digunakan dalam kajian Mantri
Djero?
3. Mengapa objek material tersebut dianggap penting untuk penelitian? 4. Bagaimana ketertarikan terhadap objek material yang diteliti?
1.3 Tujuan
1. Mendeskripsikan apa saja yang menjadi rujukan dalam penelitian. 2. Menjabarkan pendekatan dan teori yang digunakan dalam objek
material.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Identifikasi Objek Material
Objek material dalam peneitian ini adalah roman yang berjudul “Mantri
Djero” karya Raden Memed Sastrahadiprawira. Lahir pada periode angkatan
Balai Pustaka, cetakan pertama tahun 1928 diterbitkan oleh Dinas Penerbitan
Balai Pustaka Jakarta. Sedangkan material yang saya dapat adalah cetakan kedua
tahun 1958. Masih menggunakan ejaan yang belum disempurnakan atau ejaan
baheula sehingga kesulitan tersendiri dalam membaca roman tersebut, selain itu
terdapat banyak diksi yang masih menggunakan Bahasa Sunda Kuno. Diwarnai
oleh guguritan. Penuh akan nasihat dan wejangan dari orang tua.
Terdiri dari 160 halaman yang menceritakan kehidupan di tatar Priangan
pada awal abad ke-17. Berawal dari seorang Keturunan Bupati bernama
Wirautama yang kabur karena terjadi konflik antar keluarga yang menyebabkan ia
pergi jauh meninggalkan kediaman dengan memboyong istrinya. Hingga
sampailah mereka di suatu daerah yang mau menerima kedatangan mereka yang
secara tak langsung telah menjadi buronan. Nagara Tengah lah yang kini menjadi
tempat cucu bupati tersebut hidup nyaman tanpa ada nafsu duniawi yang akan
melahirkan kerakusan akan kekuasaan. Adjengan merupakan nama panggilannya,
seorang anak yang bernama Yogaswara, soerang pemuda yang sangat tampan,
berwibawa dan tentunya baik tutur kata juga tingkah lakunya. Di desa
pengembaraannya Adjengan menjadi seorang petani, jadi sepengetahuan
Yogaswara pun dia adalah turunan orang biasa saja. Pada suatu hari Adjengan
menceritakan semua kejadian pada masa dulunya, siapa sebenarnya dia, kenapa
bisa sampai kabur ke Nagara Tengah sementara dia adalah turunan dari Bupati
Suniawenang. Pada suatu hari ketika ada rombongan dari Kadaleman yakni
Kapala Tjutak yang memantau keadaan desa, Yogaswara menjadi tertarik. Maka
Yogaswara pun ingin mencoba ke kota dan mengabdi di Kadaleman ditambah lagi
karena dalam dirinya mengalir turunan mènak yang tak sembarangan. Ayahnya
pun sudah barang pasti mengizinkan namun sebelum Yogaswara pergi ke kota
untuk mencari pekerjaan yang dia inginkan, dia diharuskan untuk menuntut ilmu
terlebih dahulu di pesantren Djanggala yang dipimpin oleh Kiai Abdul Mugni.
Disana hatinya tertambat pada anak Kiai yang bernama Nyi Halimah. Dia juga
mempunyai sahabat yang bernama Ki bulus yang setia mendampinginya. Setelah
mengikat hati dengan Nyi Halimah akhirnya Yogaswara dan Ki Bulus pamitan
untuk pergi ke kota untuk mengabdi. Yogaswara mula-mula diterima oleh Mas
Anggataruna yang memberinya pekerjaan sebagai pengurus kuda. Yogaswara
memang orang yang baik dalam tingkah laku juga tata bahasanya, sehingga tak
heran jika Kangjeng Dalem mengangkat dia sebagai Mantri Djero yakni istilah
atau sebutan untuk pangkat dan jabatan orang yang bertanggung jawab dalam
urusan rumah tangga bupati. Hal ini menimbulkan iri dengki bagi Mas
Sehubungan dengan datangnya surat dari Kawasẻn yang menyatakan bahwa
Mataram negeri dari wètan akan segera menyerang ke daerah kulon. Sesegera mungkin Kangjeng Dalem mengumpulkan pasukan dan Mas Anggataruna menyarankan agar Mantri Djero saja yang menjadi panglima perangnya, tak lain dengan maksud agar Mantri Djero terbunuh dalam peperangan. Tapi pada akhirnya Yogaswara tidak mati meskipun ia pulang berbasuh darah di sekujur tubuhnya dengan penuh luka berat namun masih bisa selamat.
Setelahnya takluk oleh Mataram, setiap Bupati di Priangan diwajibkan mengirim upeti ke Mataram dalam kurun waktu tertentu. Meskipun Bupati yang pergi ke Mataram boleh membawa keluarga atau orang yang disenanginya namun Kangjeng Dalem tidak serta membawa selirnya yang cantik, Nyimas Ratnawulan karena khawatir diminta oleh pembesar Mataram. Dengan perginya Kangjeng Dalem sudah pasti yang diamanahi menjaga rumah tangga Kadaleman adalah Yogaswara. Pada suatu hari ketika Yogaswara bertemu dengan Nyimas Ratnawulan, ia menceritakan siapa sebenarnya dirinya setelah Nyimas Ratnawulan menerangkan bahwa ia adalah adik Pangawulaan Suniawenang. Jadi Nyimas Ratnawulan adalah bibi dari Yogaswara. Secara tidak sengaja ada abdi Pangawulaan yang melihat percakapan antara Yogaswara dan Nyimas Ratnawulan yang begitu akrab sehingga timbul fitnah, terlebih lagi Mas Anggataruna mengetahui hal tersebut sampai-sampai ia mengirim surat kepada Kangjeng Dalem yang sedang di Mataram.
tentang Yogaswara merekalah yang selalu memenangkan Mantri Djero. Ki Bulus sahabatnya, Ki Sura yang pertama kali mengajaknya bekerja di Kadaleman, dan Ma Idjem. Meskipun sebenarnya Kangjeng Dalem penuh dengan keraguan tapi hukum tetaplah hukum yang harus dijalankan sebagai alat juga untuk menyelesaikan masalah karena sesungguhnya benar dan salah itu tidak akan tertukar. Yogaswara dihukum dengan ketentuan adat, ia dijaram menyelam di lubuk Panereban, Pasir Uncal bersamaan dengan sebuah tempurung yang berlubang tengahnya. Apabila tempurung tenggelam sebelum Yogaswara timbul berarti Yogaswara tidak bersalah. Sebaliknya apabila timbul sebelum tempurung tenggelam berarti Yogaswara berdosa. Dan tentu saja Yogaswara lulus dari hukuman adat tersebur. Nama baiknya kembali. Sementara itu ayahnya, Wirautama beserta ibunya dan Kiai Abdulmugni bersama istri dan anaknya Nyi Halimah datang karena telah diberi kabar oleh Ki Bulus. Ayahnya menerangkan kepada Kangjeng Dalem mengenai silsilah keturunan Yogaswara dan hubungannya dengan Nyimas Ratnawulan, yang lain adalah adik Wirautama.
Dengan terbuktinya Yogaswara yang tidak melakukan salah saat itu juga Mas Anggataruna dimasukan ke dalam penjara, semua harta bendanya disita. Yogaswara menikah dengan Nyi Halimah dan menetap di Nagara Tengah sementara Ki Bulus mendapatkan harta kekayaan ayahnya Yogaswara sebagai balasan dari pengabdian dan kesetiaannya kepada Yogaswara.
filsafat hidup lingkungan Raden Mèmèd, yaitu lingkungan fèodal bertemakan tentang perjuangan yang sudah menjadi bumbu pelengkapnya adalah konflik iri dengki namun tak lepas dari sentuhan-sentuhan romantisme. Penokohannya pun beragam dengan karakter pasif maupun aktif. Sajian karya sastra yang apik dan menarik.
Judul buku : Mantri Djero
Pengarang : R. Memed
Sastrahadiprawira
Penerbit : Balai Pustaka
Tahun terbit : 1958
(cetakan ke-2)
Jumlah halaman : 180 halaman
2.2 Sinopsis objek material
Turunan mah teu beunang dibunian. Lir ibarat mas,ẻ
sanajan geus rumeuk oge, ari dikosok mah tangtu herang deui,
wantuning moal robah sipat kaemasanana mah. Lamur rek nitenan
hiji j l ma turunan luhur lainna, diuji heula, nya ta ditilik tindakẻ ẻ ẻ
rengkakna, tata basana jeung omongana, sabab ieu sarat-sarat nu
tilu rupa hese diturutanana, lamun dina dirina h nteu nyampakẻ
darahna. Wong tua gawe wiwitan, wong nom darma nglakoni,ẻ
hatina boh kahadean boh kagorengan, lapanggihna sok ku
anak-incu.
Kudu p rcaya kana kayakinan hate sorangan, sanajan ceukẻ
batur salah, tapi lamun ceuk kayakinan hate sorangan b n r, asalẻ ẻ
geus cukup ihtiar, ulah rek galindeur, sabab saksi nom r hiji nuẻ
bakal nyalahkeun jeung ngab n rkeun kalakuan teh nyaeta: h a tẻ ẻ
2.3 Deskripsi Objek Material
Novel adalah sastra prosa yang menceritakan kisah hidup seseorang yang
berisikan perubahan nasib seseorang yang secara garis besar merupakan sebuah
cerita yang menceritakan sebagian kecil kisah kisah hidup seseorang, sedangkan
roman adalah karya sastra prosa yang menceritakan tentang sebagian besar kisah
hidup seseorang dan bentuk yang terbaik adalah yang menceritakan kisah hidup
seseorang dari ia kecil sampai meninggal.
Dalam roman terdapat kejelasan, keteraturan dan detail cerita, dengan
menceritakan setiap unsur-unsur di dalamnya secara deskriptif. Saat ini roman
sudah hampir punah dari dunia sastra Indonesia, padahal Roman adalah salah satu
bentuk sastra yang terbaik sepanjang sejarah Indonesia. Dalam roman para
penulisnya meniupkan ruh perjuangan bangsa Indonesia pada masa penjajahan
Belanda, walaupun dengan bentuk yang samar-samar. Mantri Djero merupakan
salah satu roman yang lahir pada angkatan balai pustaka karya Radèn Mèmèd
Sastrahadiprawira. Pertama diterbitkan di balai pustaka pada tahun 1928
kemudian cetakan kedua pada tahun 1958 dan cetakan ketiga di tahun 1982. Telah
diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia pertama kali oleh M. A. Salmun tahun
1955 kemudian oleh Haksan Wirasutisna (Jakarta, 1980).
Raden Memed Sastrahadiprawira lahir di Manonjaya, 18 Maret 1897 dan
meninggal pada umur 35 tahun setelah dioperasi tepatnya 5 Juli 1932. Diantara
para pengarang balai pustaka R. Mèmèd termasuk bintangnya. Dalam waktu
belasan buku dalam kondisi sering sakit-sakitan. Namun beliau tetap gigih
mengeluarkan karya-karya terutama kecintaannya terhadap tanah sunda. Pada
tahun 1923 ia mengarang Wawacan Ẻ ẻnd n Sari Banon dan Wawacan Sejarah Tanah
Jawa, yang kemudian diterbitkan oleh toko buku M.I. Prawirawinata di Bandung. Tahun
1928 mengarang Manri Djero dan Lakon kalayaẺ sempalan dari Mahabarata
kemudian ia menganggit Wawacan berdasarkan epos Hindu Mahabarata, sampai
tujuh jilid diterbitkan oleh Balai Pustaka kemudian beliau pindah bekerja ke Balai
Pustaka di Jakarta dan menjadi pembantu ahli bahasa. Karangan lainnya adalah Tresnas na jeung Putri Sedih Asih ẻ (saduran, 1931).
Carita Mantri Djero sempat diterbitkan di mangle pada terbitan 2012 sebagai cerita bersambung. Belum ada penerbit yang mencetak ulang Mantri Djero termasuk Kiblat yang menurut salah satu tim redaksinya masih dalam daftar yang akan diterbitkan yang artinya masih waiting list. Pengelola Lawang Buku, Kang Dèni menyatakan bahwa buku Mantri Djero termasuk buku yang langka karena hanya tiga kali mengalami cetakan. Sementara itu di Rumah Baca Buku Sunda pun buku ini hanya tinggal satu-satunya dengan penerbit kiblat, berbeda dengan buku-buku roman yang juga lahir pada masanya seperti Pangèran Kornèl telah ada cetakan ulang oleh penerbit lain seperti Rahmat Cijulang dan Kiblat. Berbeda dengan Diarah Pati karya Margasoelaksana cetakan keduanya 1957 terdapat dua buku yang masih menjadi koleksi. Uwa Sasmitha, pemilik Rumah Baca Buku Sunda menuturkan bahwa buku Mantri Djero tersebut belum ada lagi terbitan terbarunya ia hanya memiliki cetakan kedua tahun 1958.
Dalam buku Ngalanglang Kasusastraan Sunda (2009) R. Mèmèd bisa
dikatakan mencapai puncak kejayaannya pada saat mengeluarkan roman Mantri
hampir bersamaan yakni Pangèran Kornèl (1930) secara roman jauh dibawah
Mantri Djero. Disamping banyak bagian-bagian yang secara fragmentaris
terbilang bagus. Sebaliknya Mantri Djero yang secara roman merupakan tingkatan
yang unggul dari karya-karya sastra pada zamannya menimbulkan banyak
pertanyaan dalam sejarah. Sampai sejauh mana R. Memed meneliti dan
membabad sejarah untuk bahan-bahan Mantri Djero? Dalam Ensiklopedi Sunda:
Alam, Manusia, Budaya (2000) diterangkan roman Mantri Djero sangat digemari
oleh para pembaca Sunda. Sebagai roman komposisinya lebih bulat daripada
roman Mèmèd Sastrahadiprawira yang lain, Pangèran Kornèl. Namun demikian
gambaran sejarahnya lebih mirip dengan keadaan Priangan pada abad ke-19
daripada abad ke-17. Misalnya ketika melukiskan keadaan Negara Tengah dan
hukum yang dikutip oleh Jaksa dan Patih tatkala membahas tuduhan terhadap
Yogaswara (Mantri Djero) berbahasa Jawa, padahal ketika itu Nagara Tengah
baru saja ditaklukan oleh Mataram, sehingga lebih masuk akal kalau hukum yang
digunakan adalah hukum yang berlaku di negara Sunda yang tentu berbahasa
Sunda.
Hing kang serat sayogya mugi kondjuk hing pandj n nganẻ ẻ
Dal m,Paduka Kangdj ng Bupatos hing Nagara T ngah, kangẻ ẻ ẻ
nudju apilenggah hing datulaja panagari. Satuhusing s rat hingẻ
awios kaulanun abdi Dal m njembahkeun s wu b b ndu, laksaẻ ẻ ẻ ẻ
duduka, bilih aja tutus langkung, kepang halang, bobo sapanon, tjarang sapaka, tunggul dirarud, tjatang dirumpak, rehing abdi Dalem kumalatjang, undjuk uninga ka Dampal Dalem tanpa dawuhan, tawis gumusti mintonkeun budi, rehing gaduh p p ndakan anu parajogi katingali ku salira Dampal Dal m.ẻ ẻ ẻ
Anamung mugia Dampal Dalem henteu djadi rengating galih, rehing abdi Dal m njembahkeun piundjuk anu matakẻ
setya-tuhu, supados henteu lebet kana paripaos: tunggu tutng, aja pependakan henteu enggal undjukan.
Dampal Dal m kant nan moal njant n satjongo rambut,ẻ ẻ ẻ
abdi Dal m, pun Mantri Dj ro, milampah tjidra, kumawantunẻ ẻ
niron bapa maling, ngadurdjana puputon kembang karaton. Pun Mantri Djero teh l b t kana paripaos; milegeg lebe, ngabudiẻ ẻ
santri, anamung lampahna njata euwah-euwah, margina parantos kumawantun njidr ng r smina abdi Dalem punẻ ẻ
Ratnawulan, mustika anu ku Dampal Dalem dipikameumeut, didam l djimat. Ieu piundjuk henteu pido dam l, pan sumanggaẻ ẻ
saeusining padam lan diparios, tan wade sadaja abdi-abdiẻ
Dalem uninga sabalakana.
Abdi Dal m miwah sadaja wilajat anu sar g p kumur b kaẻ ẻ ẻ ẻ
pangkon Dampal Dalem, sami ngaraos kaliputan halimun kawujung; mangjerikeun, mangpeurihkeun ka salira Dampal Dalem, rehing parantos dipiwani ku abdi nu sakitu laipna, diunghak, ku djalma nu teu kant nan asal-usulna.ẻ
Kumargi eta sadaja-daja abdi Dal m ngambangkeun kaẻ
k rsa, siang-dalu ngaderek dawuhan, kaulanun.ẻ
Kering hing kang s mbah sudjud abdi Dal mẻ ẻ
hing kang s tya tuhu.ẻ
2.4 Pendekatan dan Teori
Pendekatan merupakan langkah pertama dalam penelitian karya sastra
setelah proses membaca dan memahami karya tersebut. Dengan pendekatan kita
akan dapat mengenal lebih dalam lagi terhadap suatu karya. Secara etimologis,
pendekatan berasal dari kata appropio, approch, yang artinya sebagai jalan dan
penghampiran. Pendekatan didefinisikan sebagai cara-cara menghampiri objek.
(Ratna, 2004: 55)
Mantri Djero, karya sastra yang berbentuk roman karya Radèn Mèmèd
Sastrahadiprawira termasuk kategori karya-karya Balai Pustaka karena lahir pada
periode angkatan balai pustaka. Adapun ciri khas atau karakteristik dari
karya-karya sastra angkatan Balai Pustaka adalah menggambarkan tema pertentangan
paham antara kaum tua dan kaum muda, soal pertentangan adat dan kawin paksa,
soal kebangsaan yang belum mengemuka, masih bersifat kedaerahan. Penggunaan
gaya bahasanya masih menggunakan perumpamaan yang klise, pepatah, pribahasa
tapi menggunakan bahasa percakapan sehari-hari lain dengan bahasa hikayat
sastra lama, puisinya berupa syair dan pantun. Isi karya sastranya bersifat didaktis
dan alirannya bercorak romantik. Karya-karya pada masa angkatan balai pustaka
merupakan karya-karya yang merepresentasikan realitas sosial pada masa itu,
namun tentunya karya-karya tersebut harus sejalan dengan politik pemerintahan
kolonial.
Jika ditinjau melalui pendekatan ekspesif yakni Radèn Mèmèd merupakan
pembantu ahli bahasa. Tidak dapat dipandang sebelah mata, karya-karyanya yang
penuh dengan orientasi puitika sangat digemari di kalangan pembaca. Terlebih
sering menyelipkan guguritan yang mampu membawa pembaca jauh semakin
dalam lagi pada cerita sebagai dukungan suasana, penekanan cerita dan menuntun
imajinasi pembaca agar lebih luas lagi. Sesuai dengan karakteristik angkatan balai
pustaka yakni Penggunaan gaya bahasanya masih menggunakan perumpamaan
yang klise, pepatah, pribahasa tapi menggunakan bahasa percakapan sehari-hari
lain dengan bahasa hikayat sastra lama, puisinya berupa syair dan pantun.
Namun hampir dalam semua karyanya R. Mèmèd senantiasa menyelipkan
guguritan, begitu populer, bahkan tidak sedikit yang dijadikan contoh
nembangkeun lagu pupuh Kinanti. Suasana-suasana resmi, sedih ataupun bahagia
biasanya selalu dituangkan dalam dangding. Bagi dunia kesusastraan sunda saat
itu sudah barang tentu menjadi daya tarik tersendiri hingga pembaca dapat larut
dalam tulisan-tulisan yang R. Mèmèd guratkan dalam buku-bukunya. Masyarakat
pada masa tersebut memanglah sangat hafal dan mengenal tembang dan dangding
dengan patokan-patokannya yang baku. Asmarandhana menunjukan kasmaran,
kesedihan diwakilkan dengan Maskumambang, dalam hal keresmian ada
Dangdanggula dan sebagainya.
Pendapat R. Mèmèd Sastrahadiprawira mengenai kesusastraan dijelaskan
dalam essaynya “Kasusastraan Sunda” yang pertama kali dimuat dalam
Parahiangan dan dikutip oleh majalah Kiwari 1957. “karangan-karangan anu
saraè basana, boh anu dirakit dangding boh diwuku baè, sugrining buahna
dengan kesusastraan sunda dalam Kongres Basa Sunda yang pertama kali
diadakan pada tahun 1924 di Bandung, ketika beliau ngamamaoskeun dangding
ciptaannya. Pada Kongrès Basa Sunda yang kedua tahun 1927 R. Mèmèd menjadi
pusat perhatian karena terlibat dalam gending karesmen Sempalan Babad
Cikundul. Berperan sebagai utusan Sultan Mataram. Karena landasan itulah
banyak karya-karya R. Mèmèd yang menyelipkan guguritan, menggunakan
bahasa-bahasa yang puitis dan penyusunan yang indah dengan berbagai
perumpamaan dan majas.
R bun-r bun halimun pasusun-susunẻ ẻ
Rarimbunan tatangkalan
Wawangunan djeung kakajon siga disangsangan kasang
Sasampajan boeh rarang.
Raong hayam kongkorongok, sorana palambat-lambat
Ti langit beulah wetan marabat pating arudat – balebat
Tjet manuk disarada; manuk tjatjing, tjangkurileung
Tembalan djeung saeran, ngabageakeun katineung:
Ajana ngag bur hurung.ẻ
Bubuka dalam roman Mantri Djero
Adapun komentar R. Mèmèd selalu menyelipkan guguritan dalam setiap
karyanya adalah tetap pada niatnya untuk bercerita meskipun dalam bentuk
rumpaka atau dangding, “keur baris panungtun, minangka panggeuing
alam R. Mèmèd begitu indah sampai merasuk ke dalam hati terasa nyata. Sudah
tidak diragukan lagi dalam Mantri Djero dan Pang ran Korn lẻ ẻ yang merupakan
cerita berlatarkan tanah tempat kita bernaung yang orang-orangnya masih
mencintai tembang, tetapi ini dalam Trèsnasèna jeung Nyi Putri Sedihasih pun
yang asalnya dari Eropa, banyak sekali dangding yang sengaja diselipkan, pada
umumnya menggambarkan kesedihan atau sakit hati. Nyi Putri Sedihasih yang
aslinya Iseut (Isolde) kala teringat akan Trèsnasèna, ia ngadangding pupuh
Asmarandhana, lagunya Kapati-pati atau Sinom. Tidak menjadi janggal karena R.
Mèmèd begitu apik menempatkan suasananya.
Dalam cerita Mantri Djero, ketika Yogaswara hendak dihukum adat
Nyimas Ratnawulan lantas ngadangding pupuh Maskumambang sambil tak henti
airmatanya mengalir:
Maskoemambang
Aduh Gusti naha kaniaja teuing
Teu aya rasrasan
Sim abdi dituding-tuding
Ngalampahkeun kahinaan
Biheung teuing moal kum l ndang deuiẻ ẻ
Kabawa ku kadar
Katarik ku milik diri
Tapi nadjan buang djauh gantung tinggi
T t p nja pertjajaẻ ẻ
Kana kab r sihan diriẻ ẻ
Da henteu rumaos dosa
Ngan sakadar enggeus nembongkeun kaasih
Ngambat sipat anak
Bidjil tina ati sutji
M dal tina kaw ninganẻ ẻ
Sugan te’ mah moal dibeuli ku pati
Ditumpang ku njawa
Duh Gusti Robbul Idjati
Mugi k rsa nangtayunganẻ
...
Banyak lagi pupuh yang diselipkan dalam cerita Mantri Djero. Sebagai
apresiasinya kepada budaya Sunda dan kecintaanya terhadap seni Sunda
khususnya hingga saat ini belum ada lagi penulis yang dengan sejuta
pembendaharaan kata-kata yang indah juga ribuan diksi yang puitis.
Pandangan terhadap karya sastra yang melaui pendekatan ekspresif
tentunya kepada pengarang itu sendiri bukan hanya selesai sampai disini.
Pertanyaannya kali ini, kenapa Radèn Mèmèd begitu paham dan mengenal
kehidupan di dalam Kadaleman dan adat kebiasaan mènak? Berdasarkan dari
Sastrahadiprawira yaitu lingkungan fèodal. Beliau begitu mengenal seperti apa
suasana dan mentalitas kaum fèodal yaitu seperti apa yang sering digambarkan
dalam karangan-karangannya. Kehidupan para menak di wilayah kabupaten yang
bercita-cita ingin dipandang berjasa dengan penuh keambisian sikut sana sikut
sini. Nyaris sama saja seperti keadaan sekarang abad 20-n. Melakukan segala cara
untuk mendapatkan jabatan, terlalu rakus dalam kekayaan. Seperti terlampir
dalam roman Mantri Djero, bagaimana usaha Mas Anggataruna dalam
melenyapkan Yogaswara ketika telah diangkat menjadi Mantri Djero. Begitu
banyak akal, menyebarkan fitnah hingga niat membunuh dengan menjadikannya
panglima perang dalam melawan Mataram. Jika meninjau kembali contoh fèodal
itu seperti Mas Anggataruna yang begitu berambisi ingin meruntuhkan
Yogaswara maka bisa diteruskan dengan penelitian menggunakan teori hegemoni
yakni tentang kekuasaan.
Apa itu teori hegemoni? Sebelum lebih jauh kita pahami terlebih dahulu
apa itu teori. Teori sebagai hasil perenungan yang mendalam, tersistem, dan
terstruktur terhadap gejala-gejala alam berfungsi sebagai pengarah dalam kegiatan
penelitian. Teori memperlihatkan hubungan-hubungan antarfakta yang tampaknya
berbeda dan terpisah ke dalam satu persoalan dan menginformasikan proses
pertalian yang terjadi di dalam kesatuan tersebut. Sesuai dengan beraneka ragam
ilmu, maka teori pun beraneka ragam. Dalam penelitian sastra, pemilihan teori
yang akan digunakan tergantung dari masalah yang akan dijawab oleh penelitian
Teori hegemoni merupakan suatu kekuasaan atau dominasi atas nilai-nilai
kehidupan, norma, maupun kebudayaan sekelompok masyarakat yang akhirnya
berubah menjadi doktrin terhadap kelompok masyarakat lainnya dimana
kelompok yang didominasi tersebut secara sadar mengikutinya. Kelompok yang
didominasi oleh kelompok lain (penguasa) tidak merasa ditindas dan merasa itu
sebagai hal yang seharusnya terjadi.
Terdapat dua pengertian hegemoni yang berbeda, yang satu versi Marxis
ortodoks dan yang satu versi dari Gramci. Hegemoni menurut Marxis,
menekankan pentingnya peranan reprensif dari negara dan masyarakat-masyarakat
kelas, Pemikiran Marx beranggapan kebudayaan kehidupan manusia semata-mata
merupakan cerminan dari dasar ekonomi masyarakat, Gramci menyebut ekonomi
jenis ini sebagai materialisme vulgar. Jadi hegemoni Marxis merupakan hegemoni
negara. Sementara hegemoni Gramsci berbeda, Gramsci tidak setuju dengan
konsep Marxis yang lebih kasar dan ortodoks mengenai dominasi kelas dan lebih
setuju dengan konsep kepemimpinan moral.
Hegemoni Gramci menekankan kesadaran moral, dimana seseorang
disadarkan lebih dulu akan tujuan hegemoni itu. Setelah seseorang sadar, ia tidak
akan merasa dihegemoni lagi melainkan dengan sadar melakukan hal tersebut
dengan suka rela. Jadi terdapat dua jenis hegemoni, yang satu melalui dominasi
atau penindasan, dan yang lain melalui kesadaran moral. Hegemoni dengan
dominasi atau penindasan merupakan hegemoni konsep Marxis ortodoks,
hegemoni dengan kepemimpinan intelektual dan moral, biasanya bernuansa
positif.
Hegemoni Gramsci memuat ide tentang usaha untuk mengadakan
perubahan sosial secara radikal dan revolusioner. Gagasan hegemoni Gramci telah
mengadung isu-isu pokok dalam studi kultural, seperti tentang pluralisme,
multikultural, dan budaya marginal. Jadi hegemoni Gramsci menolak
konsep-konsep yang mengedepankan kebenaran mutlak, baik yang terkandung dalam
Marxisme maupun non-Marxisme.
Karya satra merupakan cerminan kehidupan masyarakat. Karya sastra itu
bersifat dinamis berjalan sesuai dengan perkembangan masyarakat karena karya
sastra itu hasil ciptaan seseorang yang merupakan bagian dari masyarakat. Di
dalam masyarakat seorang individu menjalani berbagai macam kejadian yang ia
alami. Dari kejadian yang ia alami yang ada pada dunia nyata itulah sebagai bahan
dasar ide dalam penulisan karya sastra.
Terapan teori hegemoni dalam Mantri Djero terdapat dalam beberapa
bagian. Yang pertama adalah perebutan kekuasaan antara ayah dari Yogaswara
yakni Wirautama yang berebut kekuasaan dengan adiknya hingga pada akhirnya
Wirautama kabur memboyong serta istrinya, pergi jauh meninggalkan kabupaten
Suniawening. Ayah dari Wirautama atau kakek Yogaswara telah berpesan bahwa
yang akan meneruskan jabatan sebagai Bupati adalah ayah dari Yogaswara tapi
setelah kakeknya meninggal ternyata yang meneruskan jabatan sebagai Bupati
kekuasaan sampai datang kabar bahwa Wirautama akan dibunuh maka dari itu
bergegaslah mereka pergi meninggalkan nagaranya.
Saur adjẻngan: “sukur aru kitu mah, heug atuh reungeukeun! Udjang ku ama geus dibedjaan, jen di sakuloneun nagara nu ajeuna ku urang ditjitjingan, aja deui nagri anu kamamuranana njauraan ka Nagara Tẻngah, katẻlah Suniawenang ; ari nu djadi bupatina bapa ama. Nurutkeun kapalaj ejang maneh waktu djumẻnẻng keneh, upama andjeunna geus tepi ka pastina mulih ka kalanggẻngan, nu digadangkeun baris djadi gantina teh ama, dumeh ama teh putra tjikal. Tapi barang ejang maneh suargi pupus, nu diangkat teh adi ama, lantaran ama mah lain putra garwa padmi. Ku Udjang tangtu kapikir sakumaha pihandeuleueunana hate tapi ku ama henteu dipake ngunẻ k-ngunẻk, saperkara lolobana wargi ngarẻmpugan kana eta putusan, kadua pẻrkara nu diangkat teh tunggal dulur sorangan...”
Terapan teori hegemoni yang kedua ialah pada adegan pada saat desa
tempat tinggal Yogaswara akan didatangi mènak, djuragan Kapala Tjutak.
Kira wantji petjat sawẻd, burubul aleutan menak sumping, diiring diabring-abring. Ti hareup ngalẻgẻdẻd sasaka desa tarumpak kuda. Di tukang ngabring nu ngariring, sawareh mah ngagarotong dongdang dieusi tutuangeun.
Hẻnteu lila aleutan geus datang ka katja-katja, breng tatabeuh ditabeuh, kitu deui lisung trang tring trung, kohkol nongtrongan, kawas aja samagaha bae! Djut palatuk-palatukna tarurun tina kuda, brek tjaringogo, kitu deui djelema rea hempak sarila di sisi djalan. Menak teh sẻmu bungah ningali palataran raresik, imah-imah bareres, andjeunna papariksa tina luhur kuda. Pananganana kiwa njẻpẻng kadali bari di tulak tjangkengkeun nu tẻngẻn njẻpẻng tjamẻti bari diulang-ulang, dawuhanana: “kumaha pakaja teh, marulus haaah?”
Sakur nu ngadareuheus barẻng ngawalon: “sumuhun dawuh aja hibar pangagung, wiludjẻng.” Menak imut ngagẻlẻnyu, lahirna: “sukuuurr..”
Ret menak teh ningali kebon waluh nu deukeut ka sisi djalan, buahna galẻde pisan, aja nu sagegẻde seeng, pok andjeuna mariksa: “pẻlak saha eta waluh teh, mana galẻde teuing. Haaah?”
Djagasatru tjẻdok njẻmbah, piunjukna, “sumuhun gaduhna pun Madasim” saur menak, “sukur, tarurutan deuleu eta ku sarerea, gening ari hade pagawe mah buahna galede naker”
manehna njampeurkeun ka Madasim bari nagharewos, “Sim, menak oge sedepeun waluh!”
Djawab Madasim, “sumangga teh teuing, sumawona waluh nadjan diri kuring oge saha nu kagungan!”
Henteu lila Kapala Tjutak djẻngkar deui rek neruskeun rondaanana. Madasim gura-giru ngala waluh nu panggaledena, diteundeun kana dongdang, bari ngomong kanu ngagarotong, “lamun djuragan mariksakeun, ieu waluh teh ti kuring kituh, nya!”
Sihoreng dongdang nu dogotong teh geus meh pinuh ku rupa-rupa hasil bumi.
Teori yang digunakan dalam adegan tersebut adalah teori hegemoni
Gramsci, karena kekuasaan masih dalam konteks positif tidak dengan penindasan
ataupun keterpaksaan. Masyarakat kalangan bawah itu sendiri merasa senag
apabila hasil tani ataupun hasil ternaknya dimakan oleh mènak. Itu sudah
merupaka tradisi adat dan kultur yang memang peraturan alamnya seprti itu.
Dalam penggalan cerita lain masih banyak yang dapat diteliti dengan
menggunakan teori hegemoni, bukan hanya hegemoni Gramsci saja tapi juga
hegemoni Marxis. Meskipun cenderung pada konteks negatif namun pada
kenyataannya masih terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Seperti pada peristiwa
Yogaswara dan Ki Bulus sampai di Dayeuh Nagara Tengah, mereka mendapat
perlakuan tidak menyenangkan dari gulang-gulang penjaga gerbang Nagara
gerbang Nagara Tengah padahal mereka sedang mengagumi gerbang yang begitu
megah yang tidak pernah mereka lihat sebelumnya.
...barang lar ngaliwat, gulang-gulang teh njalampeurkeun kek njẻkẻl ka Den Yogaswara jeung ka Ki Bulus, omongana bari morongos: “ieu djẻlẻma urang mana, teu njaho kana tẻtẻkon, naha dudukuy hẻnteu ditjuplak, hẻnteu katendjo itu aya menak?”
Bakating ku reuwas Den Yogaswara mẻni pias, ari ret ka gigir katingali aja nu ngadẻg majunan tumpukan rupa-rupa hasil bumi kayaning: djagong, peuteuy, pare jst. Sihoreng eta teh djuragan mantri tjuke keur narima tjuke ti sakur nu liwat ek dagang ka pasar.
Selain itu ketika Den Yogaswara diterima bekerja di Kadaleman, sebagai
pengurus kuda Kangdjeng Dalem tak lama setelahnya Yogaswara diangkat
menjadi Mantri Djero karena ketekunannya dalam bekerja, kejujuran dan
kepandaiannya. Selalu saja ada orang yang iri dengki terhadap kesuksesan
Yogaswara, salah satunya Mas Anggataruna yang mampu mendoktrin abdi-abdi
lainnya sehingga berkubang dalam hasutan-hasutannya terlebih saat Kangdjeng
Dalem sedang mengantarkan upeti ke Mataram, dengan gencar Anggataruna
meluncurkan fitnah dan berhasil menghasut hampir semua Abdi Dalem di
Kawulaan. Kecuali tiga sahabat Yogaswara. Hingga lebih jauh lagi Anggataruna
berniat membunuh Yogaswara dengan dalih mengutusnya menjadi panglima
Kekuasaan dan hasutannya itulah yang menjadi landasan teori hegemoni
Marxis dapat diterapkan, penuh dengan penindasan, otoritas, pangkat dan jabatan
dijadikan tameng dan senjata untuk mendoktrin abdi-abdi dalem. Ketidakpuasan
terhadap apa yang telah ia dapatkan, Mas Anggataruna masih begitu berambisi
untuk mendapatkan jabatan yang lebih. Penjilat dan ingin selalu terpakai oleh
Kanjeng Dalem.
...bawaning Kandjeng Dalem geus tamplok kanjaahna, Den Yogaswara diangkat kana Mantri Djero.
Ari anu disebut Mantri Djero teh nja eta hidji prijaji anu meunang kaprtjajaan ti dalem, dipapantjenan ngurus eusining padalẻman.
Ieu angkatan teh tangtu pisan matak nimbulkeun pasisirikan, sabab ngagẻntak teuing djeung ongkoh geus biasana di dunja mah, lamun aja djẻlẻma nu meunang daradjat gẻde teh sok dipisirik. Kitu deui ieu rentjang-rentjang sasama panakawan, ka Den Yogaswara teh seueur pisan nu giruk, nu teu ngeunaheun oge teu kurang, lantaran ngarasa kapantjat djeung njangka jen Kangdjeung Dalem pilih kasih, sabab henteu kararasaeun ari katitih pangarti kaungkulan pangabisa mah; puguh oge djelema mah ilaharna tara ngarasa di katunaan dirina. Malah Djurusimpẻn pisan, nu tadina sakitu ngadjeudjeuhkeunana, ajeuna mah djadi beda pasemonna nẻpi ka sok mindẻng sasauran sindi-sampir.
ditungtungan ku djebi bari ngalahir sẻmu ngahina: “Heh.. si urang manjang-munjung!”
Sebenarnya banyak sekali teori yang dapat diterapkan dalam roman Mantri
Djero, namun pertimbangan dalam pemilihan teori yang digunakan untuk objek
material ini difokuskan ke Teori Hegemoni. Teori hegemoni merupakan sebuah
teori politik paling penting abad 20. Hegemoni dikembangkan oleh filsuf Marxis
Italia Antonio Gramsci (1891-1937).. Antonio Gramsci dapat dipandang sebagai
pemikir politik terpenting setelah Marx. Teori hegemoni dari Gramsci yang
sebenarnya merupakan hasil pemikiran Gramsci ketika dipenjara yang akhirnya
dibukukan dengan judul Selection from The Prissons Notebook yang banyak
dijadikan acuan atau diperbandingkan khususnya dalam mengkritik
pembangunan. Dalam perkembangan selanjutnya teori hegemoni ini dikritisi oleh
kelompok yang dikenal dengan nama New Gramcian. Teori hegemoni dibangun di
atas preis pentingnya ide dan tidak mencukupinya kekuatan fisik belaka dalam
kontrol sosial politik. Menurut Gramsci, agar yang dikuasai mematuhi penguasa,
yang dikuasai tidak hanya harus merasa mempunyai dan menginternalisasi
nilai-nilai serta norma penguasa, lebih dari itu mereka juga harus memberi persetujuan
atas subordinasi mereka. Inilah yang dimaksud Gramsci dengan hegemoni atau
menguasai dengan kepemimpinan moraldan intelektual secara konsensual. Dalam
kontek ini, Gramsci secara berlawanan mendudukan hegemoni, sebagai satu
dengan bentuk supermasi lain yang ia namakan dominasi yaitu kekuasaan yang
BAB III
KESIMPULAN
Roman merupakan karya sastra yang di dalamnya memuat aspek-aspek sosial.
Aspek-aspek sosial ini lah yang digali untuk dapat menerapkan teori hegemoni.
Aspek-aspek sosial ini dijadikan pijakan dalam membedah roman Mantri Djero
karena dengan pendekatan ekspresif maka teori hegemoni itu sendiri berarti
dominasi kepemimpinan moral berdasar pandangan Gramsci.
Terlihat jelas dalam roman ini, di dalamnya telah mengungkap teori Gramsci
itu sendiri dalam pengkajiannya bahwa kepemimpinan moral atau pengarahan
pemikiran terjadi kepada beberapa tokoh yang terlibat di dalamnya. Hegemoni
yang ada pada roman ini sebenarnya bukan hanya terdapat empat bahasan seperti
yang telah dijelaskan pada pembahasan namun difokuskan kearah hegemoni yang
tampak dominan yang terjadi antar tokoh yang terlibat di dalamnya.
Terapan hegemoni yang pertama pada peristiwa perebutan kekuasaan
antara ayah Yogaswara, Wirautama dengan adiknya dalam menduduki jabatan
Bupati meneruskan jabatan ayahnya. Kedua adalah ketika desa tempat Yogaswara
tinggal di datangi oleh menak, Kapala Tjutak yang merupakan mandor dari
pemerintahan untuk mempantau keadaan di desa-desa. Pertama kalinya
Yogaswara menginjakan kaki di Dayeuh ternyata telah menimbulkan hegemoni,
itu yang ketiga dan peristiwa terakhir dalam pembahasan adalah masa pengabdian
Dari aspek-aspek sosial yang ada pada cerita dapat kita temukan bahwa
terdapat hegemoni yang dilakukan oleh seorang tokoh yang meghegemoni tokoh
lain yang ada di dalamnya. Hegemoni itu berupa pengarahan pemikiran, adat atau
kultur yang sudah menjadi aturan serta terdapat pula hegemoni yang berupa
penindasan. Penindasan yang ada bukan berupa penindasan fisik melainkan
penindasan pemikiran. Teori hegemoni pula yang dapat merubah pola pandang
karya sastra bukan hanya sebagai suatu tulisan biasa saja tetapi dapat ditarik
menjadi sebuah cerminan yang relevan untuk menggambarkan kehidupan nyata.
karena hegemoni merupakan sebuah teori politik yang paling penting pada abad
DAFTAR PUSTAKA
Kutha Ratna, Nyoman. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra.
Yogyakarta. 2012: Pustaka Pelajar.
Nurgiyantoro, Burhan. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta. 2010: Gadjah
Mada University Press
Rosidi, Ajip. dkk. Ensiklopedi Sunda: Alam, Manusia, Budaya (Termasuk
Budaya Cirebon dan Betawi). Jakarta. 2000: Pustaka Jaya.
Rosidi, Ajip. Manusia Sunda. Bandung. 2009: PT. Kiblat Buku Utama.
Rosidi, Ajip. Ngalanglang Kasusastraan Sunda. Bandung. 2009: PT. Kiblat
Buku Utama.