LICENSING THE TRADE OF ALCOHOLIC BEVERAGES IN BANDAR
LAMPUNG CITY
By
Meyzon Duanda Herginawan
Chapter 7 article (1) Regional Regulation Number 11 year 2008 on the
supervision and
alcoholic beverages control states that every company that
conducts business trade in alcoholic beverages group B and group C is obligated
to have SIUP-MB. Especially for SIUP-MB, since 2008 after Regional Regulation
number 11 year 2008 has been expelled until 2011 has not been running as it
should. Companies that conduct business trade in alcoholic beverages which only
have SIUP (trade license) can be stated as legal for conducting business trade in
alcoholic beverages in Bandar Lampung city. In the year 2011, there is a specific
regulation that regulate the publication of SUIP-MB, which is forming and
legalizing the Regulation of Bandar Lampung’s Mayor number 81 year 2011
about the procedure for publishing alcoholic beverages trade business license
(Business license-MB). By this condition should be assessed: a) How does the
licensing trade in alcoholic beverages in bandar lampung? B) How does the
supervision for licensing trade in alcoholic beverages in bandar lampung?
The problem approach in this research is commited by using normative approach
and empirical approach. The normative approach is commited in order as the
effort to discuss by using applicable regulation as a starting point. Empirical
approach is commited by holding the supervision of the facts in the framework of
applicable regulations, especially about licensing the trade in alcoholic beverages
in bandar lampung.
PERIZINAN PERDAGANGAN MINUMAN BERALKOHOL
DI KOTA BANDAR LAMPUNG
Oleh
Meyzon Duanda Herginawan
Pasal 7 ayat (1) Peraturan Daerah Nomor 11 Tahun 2008 tentang Pengawasan dan
Pengendalian Minuman Beralkohol menyatakan bahwa setiap perusahaan yang
melakukan kegiatan usaha perdagangan minuman beralkohol golongan B dan
Golongan C wajib memiliki SIUP-MB. Khusus mengenai SIUP-MB, sejak tahun
2008 setelah dikeluarkan Peraturan Daerah Nomor 11 Tahun 2008 sampai tahun
2011 belum berjalan sebagaimana mestinya. Perusahaan yang melakukan
perdagangan minuman beralkohol dengan hanya memiliki SIUP (Surat Izin Usaha
Perdagangan) tetap dinyatakan legal untuk melalukan perdagangan minuman
beralkohol di Kota Bandar Lampung. Baru pada tahun 2011 ada peraturan yang
lebih khusus mengatur mengenai penerbitan SIUP-MB, yaitu dengan dibentuk dan
disahkannya Peraturan Walikota Bandar Lampung Nomor 81 Tahun 2011 tentang
Tata Cara Penerbitan Surat Izin Usaha Perdagangan Minuman Beralkohol
(SIUP-MB). Dengan kondisi tersebut perlu dikaji: a) Bagaimanakah tata cara perizinan
perdagangan minuman beralkohol di Kota Bandar Lampung? b) Bagaimanakah
pengawasan terhadap perizinan perdagangan minuman beralkohol di Kota Bandar
Lampung?
Pendekatan masalah dalam penelitian ini dilakukan dengan pendekatan normatif
dan pendekatan empiris. Pendekatan normatif dimaksudkan sebagai usaha
mengadakan pembahasan dengan bertitik tolak kepada peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Pendekatan empiris dilakukan dengan mengadakan
pengamatan terhadap kenyataan yang ada di lapangan dalam rangka pelaksanaan
peraturan-peraturan yang berlaku, khususnya mengenai perizinan perdagangan
minuman beralkohol di Kota Bandar Lampung.
dilakukan penyitaan, pemusnahan minuman beralkohol dan penutupan tempat
usaha yang bersangkutan. Bagi pengusaha yang memiliki Surat Izin Tempat
Penjualan Minuman Beralkohol (SITP-MB) dan Surat Izin Usaha Perdagangan
Minuman Beralkohol (SIUP-MB) namun melakukan pelanggaran akan diberikan
sanksi pemberhentian sementara izin dan pencabutan izin.
I. PENDAHULUAN
1. 1 Latar Belakang
Izin sebagai bukti legalitas untuk menjalankan usaha khususnya perdagangan barang yang dijual bebas ataupun barang yang perdagangannya dalam pengawasan pemerintah. Barang dagang yang perdagangannya diawasi oleh pemerintah salah satunya adalah minuman beralkohol. Minuman beralkohol termasuk dalam barang perdagangan dalam pengawasan karena efek dari mengkonsumsi minuman beralkohol ini dapat menurunkan atau menghilangkan kesadaran orang dan menyebabkan penyakit pada tubuh manusia.
Pengguna biasanya merasa dapat mengendalikan diri dan mengontrol tingkah lakunya. Pada kenyataannya mereka tidak mampu mengendalikan diri seperti yang mereka sangka mereka bisa. Oleh sebab itu, banyak ditemukan kecelakaan mobil yang disebabkan karena mengendarai mobil dalam keadaan mabuk.
Pemabuk atau pengguna alkohol yang berat dapat terancam masalah kesehatan yang serius seperti radang usus, penyakit liver, dan kerusakan otak. Kadang-kadang alkohol digunakan dengan kombinasi obat-obatan berbahaya lainnya, sehingga efeknya jadi berlipat ganda. Bila ini terjadi, efek keracunan dari penggunaan kombinasi akan lebih buruk lagi dan kemungkinan mengalami over dosis akan lebih besar.
oleh dua orang pelaku yang berinisial D dan K pada tanggal 08 November 2011. (Lampung Post, Jumat 11 November 2011) Selain itu juga mengonsumsi minuman beralkohol menjadi salah satu faktor penyebab terjadi kecelakaan lalu lintas jalan darat. Contohnya kecelakaan kendaraan bermotor antara tiga buah sepada motor yang mengakibatkan dua korban meninggal dunia dan empat orang luka-luka di Kota Metro (Radar Lampung, Senin 02 November 2009).
Pemerintahan mengatur dan mengawasi perdagangan minuman beralkohol karena dampak negatif dari mengonsumsi minuman beralkohol tersebut sangat membahayakan. Ini dilakukan pemerintahan dengan mengeluarkan beberapa peraturan perundang-undangan baik tingkat pusat maupun tingkat daerah. Peraturan tersebut salah satunya adalah Peraturan Menteri Perdagangan RI Nomor: 43/M-DAG/PER/9/2009 tentang Pengadaan, Pengedaran, Penjualan, Pengawasan, dan Pengendalian Minuman Beralkohol. Dalam Pasal 19 ayat (1) permen ini mengatur bahwa setiap perusahaan yang melakukan kegiatan pengedaran dan/atau penjualan minuman beralkohol golongan B dan/atau golongan C wajib memiliki SIUP-MB. Pada ayat (2) menyatakan bahwa setiap perusahaan yang melakukan kegiatan usaha pengedaran dan/atau penjualan minuman beralkohol golongan A wajib memilki SIUP. SIUP-MB merupakan surat izin untuk dapat melaksanakan kegiatan usaha perdagangan khusus minuman beralkohol golongan B dan/atau golongan C.
daerah yang mengatur lebih lanjut tentang perdagangan minuman beralkohol. Untuk daerah Kota Bandar Lampung terdapat Peraturan Daerah Nomor 11 Tahun 2008 tentang Pengawasan dan Pengendalian Pengedaran Penjualan Minuman Beralkohol. Pasal 7 ayat(1) Peraturan Daerah Nomor 11 Tahun 2008 ini menyatakan bahwa setiap perusahaan yang melakukan kegiatan usaha perdagangan minuman beralkohol golongan B dan atau golongan C wajib memiliki SIUP-MB.
Surat Izin Usaha Perdagangan Minuman Beralkohol (SIUP-MB) adalah surat izin untuk dapat melaksanakan kegiatan usaha perdagangan khusus minuman beralkohol golongan B dan/atau golongan C. Setiap perusahaan yang melakukan kegiatan pengadaan, pengedaran, dan/atau penjualan minuman beralkohol golongan B dan/atau C wajib memiliki SIUP-MB.
Khusus mengenai penerbitan SIUP-MB di Kota Bandar Lampung, sejak tahun 2008 setelah dikeluarkan Peraturan Daerah Nomor 11 Tahun 2008 sampai tahun 2011 belum berjalan sebagaimana mestinya. Perusahaan yang melakukan perdagangan minuman beralkohol dengan hanya memiliki SIUP (Surat Izin Usaha Perdagangan) tetap dinyatakan legal untuk melalukan perdagangan minuman beralkohol di Kota Bandar Lampung.
Menteri Perdagangan RI Nomor: 43/M-DAG/PER/9/2009 tentang Pengadaan, Pengedaran, Penjualan, Pengawasan, dan Pengendalian Minuman Beralkohol sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Perdagangan RI Nomor: 53/M-DAG/PER/12/2010.
Walaupun telah diatur dengan jelas bahwa perdagangan minuman beralkohol harus memiliki izin terlebih dahulu, perdagangan minuman beralkohol masih dilakukan juga oleh pihak-pihak yang tidak memiliki izin. Akibatnya, saat ini juga bukan hanya orang dewasa saja yang mengonsumsi minuman beralkohol namun remaja yang rata-rata merupakan pelajar telah juga mengonsumsi minuman beralkohol. Ini karena banyak penjual yang tidak mempunyai izin menjual minuman beralkohol secara sembunyi-sembunyi.
Tentunya, kios dan warung ini tidak mempunyai izin untuk melakukan usaha perdagangan apalagi izin untuk memperdagangkan minuman beralkohol.
Berdasarkan uraian tersebut di atas, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian mengenai perizinan perdagangan minuman beralkohol dengan judul, “Perizinan Perdagangan Minuman Beralkohol Di Kota Bandar Lampung.”
1. 2 Permasalahan dan Ruang Lingkup
1. 2. 1 Permasalahan
Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini adalah:
a. Bagaimanakah tata cara perizinan perdagangan minuman beralkohol di Kota Bandar Lampung?
b. Bagaimanakah pengawasan terhadap perizinan perdagangan minuman beralkohol di Kota Bandar Lampung?
1. 2. 2 Ruang Lingkup
1. 3 Tujuan dan Kegunaan Penelitian
1. 3. 1 Tujuan Penelitian
Sesuai dengan permasalahan yang akan dibahas, maka tujuan dari penelitian ini, adalah:
a. Mengetahui tata cara perizinan perdagangan minuman beralkohol di Kota Bandar Lampung.
b. Mengetahui pengawasan perizinan perdagangan minuman beralkohol di Kota Bandar Lampung.
1. 3. 2 Kegunaan Penelitian Kegunaan penelitian ini, yaitu:
a. Kegunaan teoritis, yaitu berguna sebagai upaya memahami ilmu hukum di bidang Hukum Administrasi Negara, khususnya Hukum Perizinan yang berkaitan dengan perizinan perdagangan minuman beralkohol di Kota Bandar Lampung.
II. TINJAUAN PUSTAKA
2. 1 Perizinan
2. 1. 1 Pengertian Izin
Izin menurut definisi yaitu perkenan atau pernyataan mengabulkan. Izin secara
khusus adalah suatu persetujuan penguasa untuk dalam keadaan tertentu
menyimpang dari ketentuan-ketentuan larangan peraturan perundang-undangan.
Sedangkan secara garis besar perizinan adalah prosedur atau tata cara yang
mengatur hubungan masyarakat dengan negara dalam hal adanya masyarakat
yang memohon izin.
Prinsip izin terkait dalam hukum publik oleh karena berkaitan dengan
perundang-undangan pengecualiannya apabila ada aspek perdata yang berupa persetujuan
seperti halnya dalam pemberian izin khusus. Izin merupakan perbuatan Hukum
Administrasi Negara bersegi satu yang diaplikasikan dalam peraturan berdasarkan
persyaratan dan prosedur sebagaimana ketentuan perundang-undangan.
Menurut N.M. Spelt dan J.B.J.M. ten Berge, izin merupakan suatu persetujuan
dari penguasa berdasarkan undang-undang atau peraturan pemerintah untuk dalam
keadaan tertentu menyimpang dari ketentuan larangan perundang-undangan (izin
dalam izin dapat dipahami bahwa suatu pihak tidak dapat melakukan sesuatu
kecuali diizinkan. Artinya, kemungkinan untuk seseorang atau suatu pihak tetutup
kecuali diizinkan oleh pemerintah. Dengan demikian, pemerintah mengikatkan
perannya dalam kegiatan yang dilakukan oleh orang atau pihak yang bersangkutan
(Philipus M. Hadjon, 1991: 127).
Pendapat Spelt dan ten Berge tersebut sedikit berbeda dengan pandangan Van der
Pot. Menurut Van der Pot, izin merupakan keputusan yang memperkenankan
dilakukannya perbuatan yang pada pronsipnya tidak dilarang oleh pembuat
peraturan. Menurut Prajudi Atmosudirdjo, izin (vergunning) adalah suatu
penetapan yang merupakan dispensasi pada suatu larangan oleh undang-undang.
Pada umunya pasal undang-undang yang bersangkutan berbunyi, “ dilarang tanpa
izin … (melakukan)… dan seterusnya.” selanjutnya larangan tersebut diikuti
dengan perincian syarat-syarat, kriteria dan sebagainya yang perlu dipenuhi oleh
pemohon untuk memperoleh dispensasi dan larangan, disertai dengan penetapan
prosedur dan petunjuk pelaksanaan (juklak) kepada pejabat-pejabat adminsitrasi
negara yang bersangkutan (Philipus M.Hadjon, 1991: 128).
Dalam hal izin kiranya perlu dipahami bahwa sekalipun dapat dikatakan dalam
ranah keputusan pemerintah, yang dapat mengeluarkan izin ternyata tidak selalu
organ pemerintah. Contohnya, izin untuk melakukan pemeriksaan terhadap
anggota Dewan Perwakilan Rakyat, dalam hal ini dikeluarkan oleh presiden
selaku kepala Negara. Menyangkut hubungan kelembagaan yang lain seperti
apabila Badan Pemeriksa Keuangan akan melakukan pemeriksaan untuk
ada izin dari menteri keuangan. Karena itu, kontek hubungan dalam perizinan
menampakkan komplesksitasnya. Tidak terbatas pada hubungan antara
pemerintah rakyat, tetapi juga menyangkut kelembagaan dalam Negara.
Izin tidak sama dengan pembiaran. Apabila ada aktivitas dari anggota masyarakat
yang sebenarnya dilarang oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku,
tetapi ternyata tidak dilakukan penindakan oleh aparatur yang berewenang
pembiaran itu bukan berarti diizinkan. Untuk dapat dikatakan izin harus ada
keputusan yang konstitutif dari aparatur menertibkan izin.
W.F Prins yang diterjemahkan mengatakan bahwa istilah izin dapat diartikan
tampaknya dalam arti memberikan dispensasi dari sebuah larangan dan
pemakaiannya dalam arti itu pula. Uthrecht mengatakan bilamana pembuatan
peraturan tidak umumnya melarang suatu perbuatan tetapi masih juga
memperkenankannya asal saja diadakan secara yang ditentukan untuk
masing-masing hal konkret maka perbuatan administrasi negara memperkenankan
perbuatan tersebut bersifat suatu izin (vergunning) (Philipus M.Hadjon, 1991:
125).
Izin merupakan suatu penetapan yang merupakan dispensasi dari suatu larangan
oleh undang-undang yang kemudian larangan tersebut diikuti dengan perincian
dari pada syarat-syarat, kriteria dan lainnya yang perlu dipenuhi oleh pemohon
untuk memperoleh dispensasi dari larangan tersebut disertai dengan penetapan
prosedur dan juklak (petunjuk pelaksanaan) kepada pejabat-pejabat administrasi
negara yang bersangkutan. Sjachran Basah mengatakan, izin merupakan
peraturan dalam hal konkret berdasarkan persyaratan dan prosedur sebagaimana
ditetapkan oleh ketentuan perundang-undangan yang berlaku (Philipus M.Hadjon,
2005: 328).
Izin menurut Bagir Manan, yaitu merupakan persetujuan dari penguasa
berdasarkan peraturan perundang-undangan untuk menguraikan tindakan atau
perbuatan tertentu yang secara umum dilarang. Izin khusus yaitu persetujuan
terlihat adanya kombinasi antara hukum publik dengan hukum privat, dengan kata
lain izin khusus adalah penyimpangan dari sesuatu yang dilarang. Izin yang
dimaksud yaitu:
1. Dispensasi
Menurut N.M. Spelt dan J.B.J.M. ten Berge, pelepasan atau pembebasan
(dispensasi) merupakan pengecualian yang sungguh-sungguh yaitu merupakan
pengecualian atas larangan sebagai aturan umum. Pemberian perkenan
berhubungan erat dengan keadaan-keadaan khusus persitiwa. Menurut Van der
Pot, dispensasi merupakan keputusan administrasi negara yang membebaskan
suatu perbuatan dari kekuasaan suatu peraturan yang menolak perbuatan itu. Hal
serupa dikemukakan oleh Amrah Muslimin, yang mengatakan bahwa dispensasi
adalah suatu pengecualian dari ketentuan-ketentuan umum, dalam hal pembuat
undang-undang sebenarnya pada prinsipnya tidak berniat mengadakan
pengecualian. Contoh: penetapan umur kawin bagi seseorang karena keadaan
khusus di bawah usia minimum 18 tahun. Contoh lain adalah penetapan bagi
kepala daerah A boleh tinggal di luar rumah jabatan. Mengacu kepada pengertian
tersebut maka sebenarnya dispensasi berangkat dari sebuah larangan yang
2. Pengertian Lisensi dan Konsesi
Menurut Prajudi Atom Sudirdjo, lisensi adalah suatu pengertian khas Indonesia
yang di negeri Belanda tidak ada. Istilah tersebut berasal dari istilah hukum
administrasi Amerika Serikat, license, yang dalam Bahasa Belanda disebut
Vergunning. Istilah lisensi sering digunakan pada tahun 1950-an ketika
perdagangan masing terikat pada sistem devisa ketat sehingga setiap importir
memerlukan lisensi dari kantor pusat urusan impor yang bekerjasama dengan
kantor urusan devisa, yaitu lembaga alat-alat pembayaran luar negeri untuk
mengimpor barang atau jasa (Philipus M.Hadjon, 2005: 331). Jadi, lisensi adalah
izin untuk melakukan sesuatu yang bersifat komersial serta mendatangkan
keuntungan atau laba. Setelah rezim devisa dihapus, istilah dan pengertian lisensi
makin tidak dikenal orang. Menurut Amrah Muslimin, lisensi merupakan izin
yang sebenarnya (de eigenlijke). Dasar pikiran dilakukannya penetapan yang
merupakan lisesnsi ialah bahwa hal-hal yang diliputi oleh lisensi diletakkan di
bawah pemerintah untuk mengadakan penertiban dan mencegah hal-hal yang
tidak diinginkan, umpamanya izin perusahan bioskop, ekspor, impor dan lain-lain.
Konsesi adalah suatu penetapan administrasi negara yang secara yuridis sangat
kompleks karena merupakan seperangkat dispensasi, izin, lisensi, disertai
pemberian semacam wewenang pemerintahan. Terbatas kepada konsesionaris.
Konsesi tidak mudah diberikan karena mengandung bahaya penyelundupan,
perusakan bumi dan kekayaan alam negara, dan kadang-kadang merugikan
masyarakat setempat yang bersangkutan. konsesi diberikan atas permohonan
dengan prosedur serta syarat-syarat yang terperinci kepada
tenaga kerja, maupun lahan atau wilayah usaha, misalnya perusahaan minyak
bumi, perusahaan perhutanan, perusahaan perikanan dan pertambangan pada
umumnya. Singkatnya, semua perusahaan yang mengusahakan sesuatu dengan
modal besar, dengan mengurangi kedaulatan atau wewenang pemerintahan
pemerintah, dan dengan luas areal atau lahan yang cukup besar sehingga
merupakan suatu usaha yang cukup rumit dari segi hukum, memerlukan konsesi,
tidak cukup izin biasa.
Selain pengertian izin yang diberikan oleh beberapa sarjana tersebut di atas, ada
pengertian izin yang dimuat dalam peraturan yang terbaru, misalnya Peraturan
Menteri Dalam Negeri Nomor 20 Tahun 2008 tentang Pedoman Organisasi dan
Tata Cara Kerja Unit Pelayanan Perizinan Terpadu di Daerah. Dalam ketentuan
tersebut, izin diberikan pengertian sebagai dokumen yang dikeluarkan oleh
pemerintah daerah berdasarkan peraturan daerah atau peraturan lain yang
merupakan bukti legalitas, menyatakan sah atau diperbolehkannya seseorang atau
badan untuk melakukan usaha atau kegiatan tertentu. Pemberian pengertian izin
tersebut menunjukkan adanya penekanan pada izin yang tertulis, yaitu berbentuk
dokumen, sehingga yang disebut sebagai izin tidak termasuk yang diberikan
secara lisan.
2. 1. 2 Sifat Izin
Pada dasarnya izin merupakan keputusan pejabat/ badan tata usaha negara yang
berwenang, yang isi substansinya mempunyai sifat sebagai berikut:
a. izin bersifat bebas, adalah izin sebagai keputusan tata usaha negara yang
berwenang dalam izin memiliki kebebasan yang besar dalam memutuskan
pemberian izin.
b. izin bersifat terikat, adalah izin sebagai keputusan tata usaha negara yang
penerbitannya terikat pada aturan dan hukum tertulis dan tidak tertulis serta
organ yang berwenang dalam izin kadar kebebasannya dan wewenangnya
tergantung pada kadar sejauhmana peraturan perundang-undangan
mengaturnya. Izijn yang bersifat terikat antara lain, yaitu IMB, izin HO, izin
usaha industri dan lain-lain.
Perbedaan antara izin yang bersifat bebas dan terikat adalah penting dalam
hal apakah izin dapat ditarik kembali/ dicabut atau tidak. Pada dasarnya izin
yang merupakan keputusan tata usaha negara yang bebas dapat ditarik
kembali/ dicabut, hal ini karena tidak ada persyaratan yang bersifat mengikat
bahwa izin tidak dapat ditarik kembali/ dicabut (Adrian Sutedi, 2008: 174).
Pada izin yang bersifat terikat, pembuat undang-undang memformulasikan
syarat-syarat izin dapat diberikan dan izin dapat ditarik kembali/ dicabut. Hal
yang penting dalam pembedaan di atas adalah dalam hal menentukan kadar
luasnya dasar pengujian oleh hakim tata usaha negara apabila izin tersebut
sebagai keputusan tata usaha negara apabila digugat.
c. Izin yang bersifat menguntungkan, merupakan izin yang isinya mempunyai
sifat menguntungkan bagi yang bersangkutan. Izin yang bersifat
menguntungkan isi nyata keputusan yang memberikan anugerah kepada yang
bersangkutan (Adrian Sutedi, 2008: 175). Dalam arti, yang bersangkutan
tanpa keputusan tersebut. Izin yang bersifat menguntungkan, antara lain SIM,
SIUP, SITU dan lain-lain.
d. Izin yang bersifat memberatkan, merupakan izin yang isinya mengandung
unsur-unsur memberatkan dalam bentuk ketentuan-ketentuan yang berkaitan
kepadanya (Adrian Sutedi, 2008: 175). Di samping itu, izin yang bersifat
memberatkan juga merupakan izin yang memberi beban kepada orang lain
atau masyarakat sekitarnya. Izin yang bersifat memberatkan, antara lain
pemberian izin kepada perusahaan tertentu.
2. 1. 3 Izin Sebagai Bentuk Ketetapan
Dalam negara hukum modern tugas dan kewenangan pemerintah tidak hanya
sekedar menjaga ketertiban dan keamanan, tetapi juga mengupayakan
kesejahteraan umum. Tugas dan kewenangan pemerintah untuk menjaga
ketertiban dan keamanan merupakan tugas klasik yang sampai pada saat ini masih
tetap dipertahankan. Dalam rangka melaksanakan tugas ini kepada pemerintah
diberikan wewenang dalam bidang pengaturan, yang dari fungsi pengaturan ini
muncul beberapa instrumen yuridis untuk menghadapi peristiwa individual dan
konkret, yaitu dalam bentuk ketetapan. Sesuai dengan sifatnya, individual dan
konkret, ketetapan ini merupakan ujung tombak dari instrumen hukum dalam
penyelenggaraan pemerintahan (Philipus M. Hadjon, 1998: 125). Salah satu
wujud dari ketetapan ini adalah izin.
Berdasarkan jenis-jenis ketetapan, izin termasuk sebagai ketetapan yang bersifat
konstitutif, yakni ketetapan yang menimbulkan hak baru yang sebelumnya tidak
yang memperkenankan sesuatu yang sebelumnya tidak diperbolehkan (C.J.N.
Versteden dalam Adrian Sutedi, 2008: 184). Dengan demikian, izin merupakan
instrumen yuridis dalam bentuk ketetapan yang bersifat konstitutif dan yang
digunakan pemerintah untuk menghadapi atau menetapkan peristiwa konkret.
Sebagai ketetapan, izin itu dibuat dengan ketentuan dan persyaratan yang berlaku
pada ketetapan pada umumnya.
2. 1. 4 Tujuan Sistem Perizinan
Melalui izin, pemerintah terlibat dalam kegiatan warganegara. Dalam hal ini,
pemerintah mengarahkan warganya melalui instrumen yuridis berupa izin.
Kadangkala kebijakan pemerintah untuk terlibat dalam kegiatan masyarakat,
bahkan tidak berhenti pada satu tahap, melainkan melalui serangkaian kebijakan,
setelah izin diproses, masih dilakukan pengawasan, pemegang izin diwajibkan
meyampaikan laporan secara berkala dan sebagainya. Pemerintah melakukan
pengendalian terhadap kegiatan masyarakat dengan melakukan instrumen
perizinan. Izin dapat dimaksudkan untuk mencapai berbagai tujuan tertentu.
Menurut Spelt dan ten Berge, motif-motif untuk menggunakan sistem izin dapat
berupa keinginan mengarahkan (mengendalikan/sturen) aktivitas-aktivitas
tertentu, hendak membagi benda-benda yang sedikit, dan mengarahkan dengan
menyeleksi orang-orang dan aktivitas-aktivitas. Secara lengkap tujuan dari izin
adalah sebagai berikut:
a. Mengarahkan aktivitas-aktivitas tertentu;
b. Mencegah bahaya terhadap lingkungan;
c. Keinginan melindungai objek-objek tertentu;
e. Menyeleksi orang-orang dan aktivitas-aktivitas lainnya.
Menurut Spelt dan ten Berge, pada umumnya sistem ini terdiri atas larangan,
persetujuan yang merupakan dasar perkecualian (izin) dan ketentuan-ketentuan
yang berhubungan dengan izin, yaitu sebagai berikut:
a. Larangan;
b. Persetujuan yang merupakan dasar pengecualian (izin);
c. Ketentuan-ketentuan yang berhubungan dengan izin.
2. 1. 5 Urgensi dan Susunan Izin
Keputusan yang dikeluarkan oleh pemerintah seringkali dapat dibedakan dari sisi
wujudnya menjadi dua hal, yaitu keputusan lisan dan keputusan tertulis.
Keputusan lisan dapat dikeluarkan oleh pemerintah terhadap hal yang bersifat
mendesak atau segera harus diambil. Tidak terlalu sulit untuk mendapatkan
gambaran mengenai hal ini, seperti dalam hal terjadi kebakaran, organ pemerintah
yang berwenang, yaitu aparatur kepolisian segera memerintahkan agar
orang-orang menyingkir dari jalan yang akan dilalui oleh mobil pemadam kebakaran.
Izin pada umumnya dibuat melalui serangakaian proses dalam jangka waktu
tertentu. Misalnya sebagai landas dan hukum, sebagai instrumen untuk menjamin
kepastian hukum, sebagai instrument untuk melindungi kepentingan dan sebagai
alat bukti dalam hal ada klaim.
Izin yang sama dapat termuat hal-hal yang berbeda-beda apabila yang
menerbitkan itu instansi yang berbeda. Mengingat izin yang dikeluarkan oleh
izin tertentu ada yang tersusun dalam bagian-bagian yang ringkas dan padat, tetapi
untuk jenis izin yang lain ada yang susunannya terurai secara terperinci.
2. 1. 6 Prosedur Penerbitan Izin
Penerbitan sebuah izin pada umumnya akan menempuh prosedur sebagai berikut:
1. Permohonan
Izin merupakan sebuah keputusan pemerintah, atau menurut Undang-Undang No.
51 Tahun tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986
tentang Peradilan Tata Negara (PTUN) disebut sebagai keputusan tata usaha
negara. Sebagai sebuah keputusan pemerintah, izin lahir tidak dengan sendirinya,
melainkan terlebih dahulu mesti ada permohonan dari seseorang atau suatu pihak
tertentu. Sebagai sebuah keputusan dari badan/pejabat yang berwenang, izin lain
melalui serangkaian proses yang dimulai dari permohonan yang kemudian
diproses melalui serangkaian tahapan yang kadangkala begitu panjang.
2. Penelitian persyaratan dan peran serta
Hal ini merupakan bagian yang penting dari tahapan penerbitan izin. Kecermatan,
kematangan, dan kehati-hatian perlu digunakan meskipun tidak harus sampai
berlebihan. Prinsip bertindak cermat dan hati-hati merupakan hal yang tidak bisa
diabaikan dalam pengambilan keputusan hukum. Sekali keputusan keluar dapat
menimbulkan akibat hukum tertentu yang kadang kala implikasinya cukup
banyak.
3. Pengambilan keputusan
Izin merupakan keputusan yang lahir dari adanya permohonan, sebelum izin
Kemungkinan pertama adalah permohonan itu dikabulkan yang berarti izin
diterbitkan dan kemungkinan yang kedua permohonan itu tidak dikabulkan yang
berarti izin tidak diterbitkan.
Proses pengambilan keputusan seringkali dilakukan tidak dengan seketika
melainkan melalui serangkaian proses. Pengambilan keputusan atas izin
kadangkala juga tidak murni sebagai keputusan satu pihak saja melainkan
keputusan itu dibuat dalam serangkaian proses memutuskan.
4. Penyampaian izin
Apabila proses penanganan izin telah selesai, yaitu apabila pejabat atau organ
pemerintah yang berwenang telah menandatangani izin tersebut, maka proses
selanjutnya adalah penyampaian izin. Penyampaian izin dapat dilakukan dengan
berbagai cara, misalnya melalui penyampaian langsung. Untuk surat izin
mengemudi (SIM), misalnya pemohon cukup menerima izin tersebut langsung
ditempat pengurusan karena biasanya setelah pemohon mengajukan permohonan,
langsung dilakukan pengujian baik tertulis maupun lisan.
2. 1. 7 Waktu Penyelesaian Izin
Waktu penyelesaian izin harus ditentukan oleh instansi yang bersangkutan. Waktu
penyelesaian yang ditetapkan sejak saat pengajuan permohonan sampai dengan
penyelesaian pelayanan. Dimensi waktu selalu melekat pada proses perizinan
karena adanya tata cara yang harus ditempuh seseorang dalam mengurus izin
tersebut. Dengan demikian regulasi dan deregulasi harus memenuhi kriteria
berikut (Adrian Sutedi, 2008: 187).
b. waktu yang ditetapkan sesingkat mungkin; dan
c. diinformasikan secara luas bersama-sama dengan prosedur dan
persyaratan
2. 1. 8 Biaya Perizinan
Biaya atau tarif pelayanan termasuk rinciannya yang ditetapkan dalam proses
pemberian izin. Penetapan besaran biaya pelayanan perlu memperhatikan hal-hal
sebagai berikut:
a. rincian biaya harus jelas untuk setiap perizinan, khususnya yang
memerlukan tindakan seperti penelitian, pemeriksaan, pengukuran dan
pengajuan;
b. ditetapkan oleh peraturan perundang-undangan atau dan memperhatikan
prosedur sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan (Adrian Sutedi,
2008: 187).
Pembiayaan menjadi hal yang mendasar dari pengurusan perizinan. Namun
perizinan sebagai bagian dari kebijakan pemerintah untuk mengatur aktivitas
masyarakat sudah seharusnya memenuhi sifat-sifat sebagai pelayanan publik.
Dengan demikian, meskipun terdapat pembiayaan, sesungguhnya bukan untuk
alat budgetaire negara.
Biaya perizinan harus memenuhi syarat-syarat (Adrian Sutedi, 2008: 188) sebagai
berikut:
a. disebutkan dengan jelas; b. mengikuti standar nasional;
c. tidak ada pengenaan biaya lebih dari sekali untuk setiap obyek (syarat) tertentu;
2. 2 Perdagangan
2. 2. 1 Pengertian Perdagangan
Perdagangan atau perniagaan pada umumnya adalah pekerjaan membeli barang
dari suatu tempat dan suatu waktu dan menjual barang tersebut di tempat dan
waktu lainnya untuk memperoleh keuntungan. Perdagangan atau pertukaran
mempunyai arti khusus dalam ilmu ekonomi. Perdagangan diartikan sebagai
proses tukar menukar yang didasarkan atas kehendak sukarela dari masing-masing
pihak. Perdagangan mempunyai tugas, yaitu:
a. Membawa atau memindahkan barang-barang dari tempat-tempat yang
berkelebihan (surplus) ke tempat-tempat yang kekurangan (minus).
b. Memindahkan barang-barang dari produsen ke konsumen.
c. Menimbun dan menyimpan barang-barang itu dalam masa yang berlebihan
sampai mengancam bahaya kekurangan.
2. 2. 2 Jenis Perdagangan
Jenis perdagangan dapat diklasifikasikan berdasarkan:
1. Menurut pekerjaan yang dilakukan pedagang, yaitu:
a. Perdagangan mengumpulkan dan
b. Perdagangan menyebarkan.
2. Menurut jenis barang yang diperdagangkan, yaitu:
a. Perdagangan barang yang ditujukan untuk memenuhi kebutuhan jasmani
b. Perdagangan buku, musik, kesenian.
c. Perdagangan uang dan kertas-kertas berharga (bursa efek).
3. Menurut daerah atau tempat perdagangan dijalankan, yaitu:
a. Perdagangan dalam negeri.
b. Perdagangan luar negeri (perdagangan internasional), yang meliputi
perdagangan ekspor dan perdagangan impor.
c. Perdagangan meneruskan (perdagangan transito).
Selain perdagangan, terdapat pula perniagaan (handelszaak). Usaha perniagaan
adalah segala usaha kegiatan baik aktif maupun pasif, termasuk juga segala
sesuatu yang menjadi perlengkapan perusahaan tertentu yang kesemuanya itu
dimaksud untuk memperoleh keuntungan.
2. 3 Minuman Beralkohol
2. 3. 1 Pengertian Minuman Beralkohol
Berdasarkan Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomor:
43/M-Dag/Per/9/2009 tentang Pengadaan, Pengedaran, Penjualan, Pengawasan dan
Pengendalian Minuman Beralkohol Pasal 1 angka 1, minuman beralkohol adalah
minuman yang mengandung ethanol yang diproses dari bahan hasil pertanian
yang mengandung karbohidrat dengan cara fermentasi dan destilasi atau
fermentasi tanpa destilasi, baik dengan cara memberikan perlakuan terlebih
dahulu atau tidak, menambahkan bahan lain atau tidak maupun yang diproses
dengan cara mencampur konsentrat dengan ethanol atau dengan cara pengenceran
2. 3. 2 Penggolongan Dan Jenis Minuman Beralkohol
Penggolongan dan jenis minuman beralkohol berdasarkan Pasal 2 Peraturan
Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomor: 43/M-Dag/Per/9/2009 tentang
Pengadaan, Pengedaran, Penjualan, Pengawasan dan Pengendalian Minuman
Beralkohol, yaitu sebagai berikut:
a. Minuman Beralkohol golongan A adalah minuman beralkohol dengan
kadar ethanol (C2H5OH) diatas 0% (nol perseratus) sampai dengan 5%
(lima perseratus);
b. Minuman Beralkohol golongan B adalah minuman beralkohol dengan
kadar ethanol (C2H5OH) lebih dari 5% (lima perseratus) sampai dengan
20% (dua puluh perseratus); dan
c. Minuman Beralkohol golongan C adalah minuman beralkohol dengan
kadar ethanol (C2H5OH) lebih dari 20% (dua puluh perseratus) sampai
dengan 55% (lima puluh lima perseratus).
2. 3. 3 Dasar Hukum Perdagangan Minuman Beralkohol
Pemerintah demi melindungi kesehatan, ketenteraman dan ketertiban serta
kehidupan moral masyarakat dari akibat buruk konsumsi minuman beralkohol,
maka perlu mengatur kebijakan yang berkaitan dengan aspek pengadaan,
pengedaran dan penjualan minuman beralkohol yang berasal dari dalam negeri
dan impor. Oleh karena itu, diperlukan peraturan perundang-undanga yang
mengatur perdagangan minuman beralkohol.
Peraturan tingkat pusat yang mengatur kegaiatan perdagangan minuman
43/M-DAG/PER/9/2009 tentang Pengadaan, Pengedaran, Penjualan, Pengawasan, dan
Pengendalian Minuman Beralkohol sebagaimana telah diubah dengan Peraturan
Menteri Perdagangan RI Nomor: 53/M-DAG/PER/12/2010 tentang Pengadaan,
Pengedaran, Penjualan, Pengawasan, dan Pengendalian Minuman Beralkohol.
Pada tingkat daerah peraturan mengenai perdagangan minuman beralkohol diatur
dalam peraturan perundang-undangan tingkat daerah seperti peraturan daerah.
Perdagangan minuman beralkohol di Kota Bandar Lampung dilakukan dengan
berdasarkan Peraturan Daerah Nomor 11 Tahun 2008 tentang Pengawasan dan
Pengendalian Pengedaran Penjualan Minuman Beralkohol, Peraturan Walikota
Bandar Lampung Nomor 80 Tahun 2011 tentang Tata Cara Pelaksanaan
Pemungutan Retribusi Izin Tempat Penjualan Minuman Beralkohol dan Peraturan
Walikota Bandar Lampung Nomor 81 Tahun 2011 tentang Tata Cara Penerbitan
Surat Izin Usaha Perdagangan Minuman Beralkohol.
2. 4 Izin Usaha Perdagangan Minuman Beralkohol
Perizinan perdagangan minuman beralkohol diperlukan demi ketenteraman dan
ketertiban serta kehidupan masyarakat dari akibat buruk konsumsi minuman
beralkohol. Perizinan tersebut yang berkaitan dengan aspek pengadaan,
pengedaran dan penjualan minuman beralkohol yang berasal dari dalam negeri
dan impor. Izin perdagangan minuman beralkohol terdiri dari Izin Tempat
Penjualan Minuman Beralkohol (ITP-MB) dan Surat Izin Usaha Perdagangan
2. 4. 1 Izin Tempat Penjualan Minuman Beralkohol (ITP-MB)
Izin Tempat Penjualan Minuman Beralkohol adalah izin yang diberikan kepada
orang pribadi atau badan untuk keperluan penjualan minuman beralkohol dari
bupati/walikota dalam hal ini Kepala Dinas Perindustrian, Perdagangan, Koperasi
UKM. Setiap perusahaan yang melakukan kegiatan pengadaan, pengedaran
dan/atau penjualan minuman beralkohol wajib memiliki ITP-MB. Klasifikasi Izin
Tempat Penjualan Minuman Beralkohol, terdiri dari:
a. Golongan A, yaitu hotel dan restoran;
b. Golongan B, yaitu diskotik, pub, bar dan tempat karaoke;
c. Golongan C, yaitu klab malam.
Untuk memperoleh izin maka pemohon harus mengajukan permohonan kepada
Bupati cq. Kepala Dinas Perindustrian, Perdagangan, Koperasi UKM
kabupaten/kota secara tertulis menggunakan Bahasa Indonesia. Izin Tempat
Penjualan Minuman Beralkohol (ITP-MB) berlaku tiga tahun dan harus mendaftar
ulang setiap tahun. Bupati/walikota dapat menolak untuk mengeluarkan izin
apabila:
a. Lokasi tempat penjualan minuman beralkohol jaraknya kurang dari 200
(dua ratus) meter dari tempat ibadah, rumah sakit, sekolah-sekolah, kantor
pemerintahan dan pusat pemukiman;
b. Lokasi atau tempat penjualan minuman beralkohol tidak pada lokasi yang
diperbolehkan;
2. 4. 2 Surat Izin Usaha Perdagangan Minuman Beralkohol (SIUP-MB)
Surat Izin Usaha Perdagangan Minuman Beralkohol (SIUP-MB) adalah surat izin
untuk dapat melaksanakan kegiatan usaha perdagangan khusus minuman
beralkohol Golongan B dan/atau Golongan C. Setiap perusahaan yang melakukan
kegiatan pengadaan, pengedaran, dan/atau penjualan minuman beralkohol
Golongan B dan/atau C wajib memiliki SIUP-MB. Adapun mekanisme penerbitan
SIUP-MB, sebagai berikut:
a. Permohonan Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP-MB) untuk Distributor
dan Sub Distributor hanya dapat dilakukan oleh perusahaan yang dimiliki
oleh Warga Negara Indonesia.
b. Permohonan Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP-MB) untuk Sub
Distributor dapat dilakukan oleh perusahaan yang berbentuk badan
hukum, perseorangan atau persekutuan
c. Permohonan Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP-MB) untuk penjual
langsung (minum ditempat) hanya dapat dilakukan oleh perusahaan yang
berbentuk badan hukum, perseorangan atau persekutuan.
2. 4. 3 Konsekuensi Pemberian Izin Usaha Perdagangan Minuman Beralkohol
Pemberian izin perdagangan minuman beralkohol memiliki konsekuensi bagi
pemerintah yang mengeluarkan izin dan bagi individu dan badan usaha yang
menerima izin tersebut. Konsekuensi bagi pemerintah adalah mengawasi
pelaksanaan izin yang telah diberikan kepada individu dan badan usaha yang
menerima izin dan memberikan sanksi apabila izin digunakan tidak sebagaimana
Konsekuensi bagi penerima izin adalah menggunakan izin sesuai dengan
peruntukkannya. Selain itu, penerima izin memiliki kewajiban memberikan
kontribusi terhadap daerah salah satunya dengan membayar retribusi sebagaimana
yang telah diatur dalam peraturan daerah. Khusus untuk izin perdagangan
minuman beralkohol, berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 Pasal
141, izin tempat penjualan minuman beralkohol merupakan objek retribusi
perizinan tertentu. Retribusi Izin Tempat Penjualan Minuman Beralkohol adalah
pemberian izin untuk melakukan penjualan minuman beralkohol di suatu tempat
tertentu. Oleh karena itu, penerima izin yang melakukan penjualan minuman
beralkohol wajib membayar retribusi kepada daerah. Dalam hal besarnya tarif
retribusi yang telah ditetapkan dalam peraturan daerah.
2. 5 Pengawasan
2. 5. 1 Pengertian Pengawasan
Pengawasan merupakan suatu kegiatan yang sangat penting agar pekerjaan
maupun tugas yang dibebankan kepada aparat pelaksana terlaksana sesuai dengan
rencana yang ditetapkan (Nurmayani, 2009: 81). Hal ini sesuai dengan pendapat
dari Sondang P. Siagian yang menyatakan pengawasan adalah suatu proses
pengamatan daripada pelaksanaan seluruh kegiatan organisasi untuk menjamin
agar semua pekerjaan yang sedang dilakukan berjalan sesuai dengan rencana yang
telah ditentukan sebelumnya (Sondang P. Siagian, 1980: 135).
Menurut Sujamto, pengawasan adalah segala usaha atau kegiatan untuk
atau kegiatan, apakah sesuai dengan yang semestinya atau tidak (Sujamto, 1983:
17). Pengertian pengawasan tersebut menekankan pada suatu proses pengawasan
yang berjalan secara sistematis sesuai dengan tahap-tahap yang telah ditentukan.
Hal ini sesuai dengan pendapat dari Soekarno K. yang menyatakan bahwa
pengawasan adalah proses yang menentukan tentang apa yang harus dikerjakan
agar apa yang diselenggarakan sejalan dengan rencana (dalam Nurmayani, 2009:
82). Hal ini dipertegas kembali oleh T. Hani Handoko yang menyatakan bahwa
pengawasan adalah proses untuk menjamin bahwa tujuan-tujuan organisasi dan
manajemen tercapai (T. Hani Handoko, 1984: 354).
Berdasarkan beberapa pendapat tersebut di atas, penulis sepaham dengan
pengertian pengawasan yang diungkapkan oleh Sondang P. Siagian karena
pengawasan merupakan hal penting dalam menjalankan pelaksanaan seluruh
kegiatan organisasi untuk menjamin agar semua pekerjaan yang sedang dilakukan
berjalan sesuai dengan rencana yang telah ditentukan sebelumnya.
Pengawasan pada dasarnya diarahkan sepenuhnya untuk menghindari adanya
kemungkinan penyelewengan atau penyimpangan atas tujuan yang akan dicapai.
Melalui pengawasan diharapkan dapat membantu melaksanakan kebijakan yang
telah ditetapkan untuk mencapai tujuan yang telah direncanakan secara efektif dan
efisien. Bahkan, melalui pengawasan tercipta suatu aktivitas yang berkaitan erat
dengan penentuan atau evaluasi mengenai sejauhmana pelaksanaan kerja sudah
dilaksanakan. Pengawasan juga dapat mendeteksi sejauhmana kebijakan pimpinan
dijalankan dan sampai sejauhmana penyimpangan yang terjadi dalam pelaksanaan
Konsep pengawasan demikian sebenarnya menunjukkan pengawasan merupakan
bagian dari fungsi manajemen, pengawasan dianggap sebagai bentuk pemeriksaan
atau pengontrolan dari pihak yang lebih atas kepada pihak di bawahnya.
Berdasarkan ilmu manajemen, pengawasan ditempatkan sebagai tahapan terakhir
dari fungsi manajemen. Apabila ditinjau dari segi manajerial, pengawasan
mengandung makna pula sebagai pengamatan atas pelaksanaan seluruh kegiatan
unit organisasi yang diperiksa untuk menjamin agar seluruh pekerjaan yang
sedang dilaksanakan sesuai dengan rencana dan peraturan atau suatu usaha agar
suatu pekerjaan dapat dilaksanakan sesuai dengan rencana yang telah ditentukan
dan dengan adanya pengawasan dapat memperkecil timbulnya hambatan,
sedangkan hambatan yang telah terjadi dapat segera diketahui yang kemudian
dapat dilakukan tindakan perbaikannya. Sementara itu, apabila ditinjau dari segi
Hukum Administrasi Negara, pengawasan dimaknai sebagai proses kegiatan yang
membandingkan apa yang dijalankan, dilaksanakan atau diselenggarakan itu
dengan apa yang dikehendaki, direncanakan atau diperintahkan.
Hasil pengawasan ini harus dapat menunjukkan terjadinya kecocokan dan
ketidakcocokan dan menemukan penyebab ketidakcocokan yang muncul. Dalam
konteks membangun manajemen pemerintahan publik yang bercirikan tata kelola
pemerintahan yang baik (good governance), pengawasan merupakan aspek
penting untuk menjaga fungsi pemerintahan berjalan sebagaimana mestinya.
Dalam konteks ini, pengawasan menjadi sama pentingnya dengan penerapan good
governance itu sendiri.
Apabila dikaitkan dengan akuntabilitas publik, pengawasan merupakan salah satu
cara untuk membangun dan menjaga legitimasi warga masyarakat terhadap
kinerja pemerintahan dengan menciptakan suatu sistem pengawasan yang efektif,
baik pengawasan intern (internal control) maupun pengawasan ekstern (external
control) serta mendorong adanya pengawasan masyarakat (social control).
Sasaran pengawasan adalah temuan yang menyatakan terjadinya penyimpangan
atas rencana atau target.
2. 5. 2 Fungsi Pengawasan
Fungsi pengawasan adalah suatu kegiatan yang dijalankan oleh pimpinan ataupun
suatu badan dalam mengamati, membandingkan tugas atau pekerjaan yang
dibebankan kepada aparat pelaksana dengan standar yang telah ditetapkan guna
mempertebal rasa tanggung jawab untuk mencegah penyimpangan dan
memperbaiki kesalahan dalam pelaksanaan pekerjaan (Nurmayani, 2009: 82).
Hakikatnya setiap kebijaksanaan yang dilakukan oleh pimpinan suatu badan
mempunyai fungsi tertentu yang diharapkan dapat terlaksana, sejalan dengan
tujuan kebijaksaan tersebut. Demikian pula halnya dengan pelaksanaan
pengawasan pada suatu lingkungan kerja atau suatu organisasi tertentu.
Pengawasan yang dilaksanakan mempunyai fungsi sesuai dengan tujuannya.
Mengenai hal ini, Soerwarno Handayanigrat menyatakan empat hal yang terkait
dengan fungsi pengawasan, yaitu:
a. Mempertebal rasa tanggung jawab terhadap pejabat yang diserahi tugas dan wewenang dalam melaksanakan pekerjaannya;
b. Mendidik para pejabat agar mereka melaksanakan pekerjaan sesuai dengan prosedur yang telah ditentukan;
d. Untuk memperbaiki kesalahan dan penyelewengan agar pelaksanaan pekerjaan tidak mengalami hambatan-hambatan dan pemborosan (dalam Nurmayani, 2009: 82).
2. 5. 3 Tujuan Pengawasan
Pengawasan yang dilakukan adalah bermaksud untuk mendukung kelancaran
pelaksanaan kegiatan sehingga dapat terwujud daya guna, hasil guna, dan tepat
guna sesuai rencana dan sejalan dengan itu, untuk mencegah secara dini
kesalahan-kesalahan dalam pelaksanaan. Dengan demikian pada prinsipnya
pengawasan itu sangat penting dalam pelaksanaan pekerjaan, sehingga
pengawasan itu diadakan dengan maksud sebagai berikut:
a. mengetahui lancar atau tidaknya pekerjaan tersebut sesuai dengan yang
telah direncanakan;
b. Memperbaiki kesalahan-kesalahan yang dibuat dengan melihat
kelemahan-kelemahan, kesulitan-kesulitan dan kegagalan-kegagalan dan
mengadakan pencegahan agar tidak terulang kembali kesalahan-kesalahan
yang sama atau timbulnya kesalahan baru;
c. Mengetahui apakah penggunaan fasilitas pendukung kegiatan telah sesuai
dengan rencana atau terarah pada sasaran;
d. Mengetahui hasil pekerjaan dibandingkan dengan yang telah ditetapkan
dalam perencanaan semula;
e. Mengetahui apakah segala sesuatu berjalan efisien dan dapatkah diadakan
perbaikan-perbaikan lebih lanjut sehingga mendapatkan efisiensi yang
Menurut Sujamto, pengawasan diadakan dengan tujuan untuk mengetahui dan
menilai kenyataan yang sebenarnya tentang pelaksanaan tugas dan pekerjaan,
apakah sesuai dengan semestinya atau tidak (Sujamto, 1986: 115). Suatu
pengawasan yang dilakukan oleh suatu pimpinan dari suatu lingkungan kerja
tertentu mempunyai tujuan yang diharapkan tercapai. Soekarno K.
mengungkapkan beberapa hal pokok mengenai tujuan pengawasan, yaitu:
a. Untuk mengetahui apakah pelaksanaan telah sesuai dengan rencana; b. Untuk mengetahui apakah segala sesuatu yang dilaksanakan sesuai dengan
instruksi-instruksi dan asas-asas yang telah ditetapkan;
c. Untuk mengetahui mengetahui kesulitan-kesulitan, kelemahan-kelemahan
yang mungkin timbul dalam pelaksaan pekerjaan;
d. Untuk mengetahui apakah segala sesuatu berjalan secara efisien;
e. Untuk mengetahui jalan keluar, jika ternyata dijumpai kesulitan-kesulitan dan kelemahan-kelemahan ke arah perbaikan (Soekarno, 1989: 146).
2. 5. 4 Jenis-Jenis Pengawasan
Pengawasan merupakan fungsi manajerial yang keempat setelah perencanaan,
pengorganisasian dan pengarahan. Sebagai salah satu fungsi manajemen,
mekanisme pengawasan di dalam suatu organisasi memang mutlak diperlukan.
Pelaksanaan suatu rencana atau program tanpa diiringi dengan suatu sistem
pengawasan yang baik dan berkesinambungan jelas akan mengakibatkan
lambatnya atau bahkan tidak tercapainya sasaran dan tujuan yang telah
ditentukan.
Pengawasan dapat diklasifikasikan atas beberapa jenis apabila ditinjau dari
beberapa segi, antara lain:
1. Pengawasan ditinjau dari segi cara pelaksanaanya
Pengawasan apabila ditinjau dari segi cara pelaksanaanya dibedakan atas
a. Pengawasan Langsung
Pengawasan langsung adalah pangawasan yang dilakukan dengan cara
mendatangi atau melakukan pemeriksaan di tempat terhadap objek yang
diawasi. Pemeriksaan setempat ini dapat berupa pemeriksaan administratif
atau pemeriksaan fisik di lapangan. Kegiatan secara langsung melihat
pelaksanaan kegiatan ini bukan saja dilakukan oleh perangkat pengawas
akan tetapi perlu lagi dilakukan oleh pimpinan yang bertanggung jawab
atas pekerjaan tersebut. Dengan demikian dapat melihat bagaimana
pekerjaan itu dilaksanakan dan bila dianggap perlu dapat memberikan
petunjuk-petunjuk dan instruksi maupun keputusan-keputusan yang secara
langsung menyangkut dan mempengaruhi jalannya pekerjaan.
b. Pengawasan tidak langsung
Pengawasan tidak langsung adalah kebalikan dari pengawasan langsung,
yang dilakukan tanpa mendatangi tempat pelaksanaan pekerjaan atau
objek yang diawasi. Pengawasan ini dilakukan dengan mempelajari dan
menganalisa dokumen yang menyangkut objek yang diawasi yang
disampaikan oleh pelaksana atau pun sumber lain. Pengawasan tidak
langsung selain dilakukan melalui laporan tertulis tersebut di atas, juga
dapat dilakukan dengan mempergunakan bahan yang berupa laporan lisan.
2. Pengawasan ditinjau dari segi hubungan antara subjek pengawasan dan objek yang diawasi.
Pengawasan apabila ditinjau dari segi hubungan antara subjek pengawasan dan
objek yang diawasi dibagi atas pengawasan intern dan pengawasan ekstern.
Pengawasan intern adalah pengawasan yang dilakukan oleh aparat dalam
organisasi itu sendiri. Artinya bahwa subjek pengawas yaitu pengawas
berasal dari dalam susunan organisasi objek yang diawasi. Pada dasarnya
pengawasan ini harus dilakukan oleh setiap pimpinan akan tetapi dapat
saja dibantu oleh setiap pimpinan unit sesuai dengan tugas masing-masing.
b. Pengawasan ekstern.
Pengawasan ekstern adalah pengawasan yang dilakukan oleh aparat dari
luar organisasi sendiri, artinya bahan subjek pengawas berasal dari luar
susunan organisasi yang diawasi dan mempunyai sistem tanggung jawab
tersendiri.
3. Pengawasan ditinjau dari segi waktu pelaksanaan pekerjaan
Pengawasan yang ditinjau dari segi waktu pelaksanaan pekerjaan dibagi atas
pengawasan preventif dan pengawasan respresif.
a. Pengawasan preventif
Pengawasan preventif adalah pengawasan yang dilakukan sebelum
pekerjaan mulai dilaksanakan, misalnya dengan mengadakan pengawasan
terhadap persiapan rencana kerja, rencana anggaran, rencana penggunaan
tenaga dan sumber-sumber lainnya.
b. Pengawasan refresif
Pengawasan refresif adalah pengawasan yang dilakukan setelah pekerjaan
atau kegiatan tersebut dilaksanakan, hal ini diketahui melalui audit dengan
pemerikasaaan terhadap pelaksanaan pekerjaan di tempat dan meminta
III. METODE PENELITIAN
3. 1 Pendekatan Masalah
Pendekatan masalah dalam penelitian ini dilakukan dengan pendekatan normatif dan pendekatan empiris. Pendekatan normatif dimaksudkan sebagai usaha mengadakan pembahasan dengan bertitik tolak kepada peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pendekatan empiris dilakukan dengan mengadakan pengamatan terhadap kenyataan yang ada di lapangan dalam rangka pelaksanaan peraturan-peraturan yang berlaku, khususnya mengenai perizinan perdagangan minuman beralkohol di Kota Bandar Lampung, baik secara langsung maupun tidak langsung terhadap pihak-pihak yang mengetahui masalah yang berhubungan dengan penelitian ini.
3. 2 Sumber Data
Sumber data dalam penelitian ini terdiri dari data primer dan data sekunder. 1. Data primer adalah data yang bersumber dari hasil wawancara dengan pihak-pihak yang terlibat dalam perizinan perdagangan minuman beralkohol di Kota Bandar Lampung, yaitu:
b. Muntahar selaku Kepala Bidang Pelayanan Perizinan pada Badan Penanaman Modal dan Perizinan Kota Bandar Lampung.
2. Data sekunder adalah data yang diperoleh dari studi pustaka terhadap bahan hukum yang terdiri dari:
a. Bahan hukum primer, yaitu meliputi:
a) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1984 tentang Perindustrian;
b) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah;
c) Peraturan Menteri Perdagangan RI Nomor: 43/M-DAG/PER/9/2009 tentang Pengadaan, Pengedaran, Penjualan, Pengawasan dan Pengendalian Minuman Beralkohol sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Perdagangan RI Nomor: 53/M-DAG/PER/12/2010 tentang Pengadaan, Pengedaran, Penjualan, Pengawasan dan Pengendalian Minuman Beralkohol;
d) Peraturan Daerah Kota Bandar Lampung Nomor 11 Tahun 2008 tentang Pengawasan dan Pengendalian Minuman Beralkohol;
e) Peraturan Walikota Bandar Lampung Nomor 80 Tahun 2011 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pemungutan Retribusi Izin Tempat Penjualan Minuman Beralkohol;
f) Peraturan Walikota Bandar Lampung Nomor 81 Tahun 2011 tentang Tata Cara Penerbitan Surat Izin Usaha Perdagangan Minuman Beralkohol.
c. bahan hukum tersier, yaitu bahan hukum yang bersumber dari kamus hukum, Kamus Besar Bahasa Indonesia majalah, surat kabar dan jurnal penelitian hukum serta bersumber dari bahan-bahan yang didapat melalui internet.
3. 3 Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data
3. 3. 1 Prosedur Pengumpulan Data
Prosedur pengumpulan data dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
a. Studi kepustakaan (library research) atau studi dokumen, untuk memperoleh data sekunder dipergunakan studi kepustakaan, yang dilakukan dengan cara membaca, mempelajari, mengutip dan merangkum data yang berkaitan dengan permasalahan yang akan dibahas.
b. Studi lapangan (field research), dilakukan dengan wawancara (interview) untuk mengumpulkan data dengan cara mengajukan pertanyaan kepada informan penelitian dengan menggunakan pedoman wawancara, sehingga tanya jawab dan diskusi menjadi lebih terarah sesuai dengan data yang dibutuhkan dalam penelitian.
3. 3. 2 Prosedur Pengolahan Data
Pengolahan data dilakukan setelah data yang dibutuhkan terkumpul, baik berupa dari primer maupun data sekunder. Adapun prosedur pengolahan data dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
b. Sistematisasi, yaitu proses penyusunan data menurut sistem yang telah ditetapkan.
c. Klasifikasi data, yaitu menyusun dan mengelompokkan data berdasarkan jenis data.
3. 4 Analisis Data
V. KESIMPULAN DAN SARAN
5. 1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil pembahasan mengenai permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini pada bab sebelumnya, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:
a. Setiap pengusaha yang melakukan kegiatan perdagangan minuman beralkohol di Kota Bandar Lampung wajib memiliki Surat Izin Tempat Penjualan Minuman Beralkohol (SITP-MB) dan Surat Izin Usaha Perdagangan Minuman Beralkohol (SIUP-MB). Pengusaha yang ingin memiliki Surat Izin Tempat Penjualan Minuman Beralkohol (SITP-MB) dapat mengajukan permohonan kepada walikota melalui Dinas Koperasi, UKM, Perindustrian dan Perdagangan Kota Bandar Lampung. Bagi pengusaha yang ingin memiliki Surat Izin Usaha Perdagangan Minuman Beralkohol (SIUP-MB), pengusaha dapat mengajukan permohonan kepada walikota melalui BPMP Kota Bandar Lampung.
Penjualan Minuman Beralkohol (SITP-MB) dan Surat Izin Usaha Perdagangan Minuman Beralkohol (SIUP-MB) akan dilakukan penyitaan, pemusnahan minuman beralkohol dan penutupan tempat usaha yang bersangkutan. Bagi pengusaha yang memiliki Surat Izin Tempat Penjualan Minuman Beralkohol (SITP-MB) dan Surat Izin Usaha Perdagangan Minuman Beralkohol (SIUP-MB) namun melakukan pelanggaran akan diberikan sanksi pemberhentian sementara izin dan pencabutan izin.
5. 2 Saran
Berdasarkan kesimpulan di atas, peneliti menyarankan:
a. Pemerintah harus mengadakan sosialisasi yang maksimal kepada pengusaha yang melakukan kegiatan perdagangan minuman beralkohol di Kota Bandar Lampung mengenai kewajiban memiliki Surat Izin Tempat Penjualan Minuman Beralkohol (SITP-MB) dan Surat Izin Usaha Perdagangan Minuman Beralkohol (SIUP-MB).
(Skripsi)
Oleh
Meyzon Duanda Herginawan
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS LAMPUNG
I. PENDAHULUAN ...
1
1. 1 Latar Belakang ...
1
1. 2 Permasalahan dan Ruang Lingkup ...
6
1. 2. 1 Permasalahan ...
6
1. 2. 2 Ruang Lingkup...
6
1. 3 Tujuan dan Kegunaan Penelitian ...
6
1. 3. 1 Tujuan ...
7
1. 3. 2 Kegunaan ...
7
II. TINJAUAN PUSTAKA...
8
2. 1 Perizinan...
8
2. 1. 1 Pengertian Izin...
8
2. 1. 2 Sifat Izin ...
13
2. 1. 3 Izin Sebagai Bentuk Ketetapan ...
15
2. 1. 4 Tujuan Sistem Perizinan...
16
2. 1. 5 Urgensi dan Susunan Izin...
17
2. 1. 6 Prosedur Penerbitan Izin ...
18
2. 1. 7 Waktu Penyelesaian Izin ...
19
2. 1. 8 Biaya Perizinan ...
20
2. 2 Perdagangan ...
21
2. 2. 1 Pengertian Perdagangan ...
21
2. 2. 2 Jenis Perdagangan ...
21
2. 3 Minuman Beralkohol...
22
2. 3. 1 Pengertian Minuman Beralkohol ...
22
2. 3. 2 Penggolongan dan Jenis Minuman Beralkohol ...
23
2. 3. 3 Dasar Hukum Perdagangan Minuman Beralkohol...
23
2. 4 Izin Usaha Perdagangan Minuman Beralkohol...
24
2. 4. 1 Izin Tempat Penjualan Minuman Beralkohol ...
25
2. 4. 2 Surat Izin Perdagangan Minuman Beralkohol ...
26
2. 4. 3 Konsekuensi Pemberian Izin Perdagangan Minuman
Beralkohol ...
26
2. 5 Pengawasan ...
27
2. 5. 1 Pengertian Pengawasan ...
27
2. 5. 2 Fungsi Pengawasan ...
30
2. 5. 3 Tujuan Pengawasan...
31
3. 2 Sumber Data...
35
3. 3 Pengumpulan dan Pengolahan Data...
37
3. 4 Analisis Data ...
38
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN...
39
4. 1 Perizinan Perdagangan Minuman Beralkohol di Kota
Bandar Lampung ...
39
4. 1. 1 Surat Izin Tempat Penjualan Minuman Beralkohol
(SITP-MB) ...
42
4. 1. 2 Surat Izin Usaha Perdagangan Minuman Beralkohol
(SIUP-MB)...
47
4. 2 Pengawasan Terhadap Perizinan Perdagangan Minuman Beralkohol
di Kota Bandar Lampung ...
52
V. KESIMPULAN DAN SARAN ...
63
5. 1 Kesimpulan ...
63
5. 2 Saran ...
64
Buku:
Atmosdirjo, S. Prajudi. 1994.
Hukum Administrasi Negara
. Ghalia Indonesia,
Jakarta
Hadjon, Philipus M., 1991.
Pengantar Hukum Perizinan
. Penerbit Alumni,
Bandung
---. 2005.
Pengantar Hukum Administrasi Indonesia
. Gadjah
Mada University Press, Yogyakarta
Muslimin, Amrah. 1980.
Beberapa Asas-Asas dan Pengertian Pokok Tentang
Administrasi dan Hukum Administrasi Neg
ara. Penerbit Alumni, Bandung
Muhammad, Abdulkadir. 2008.
Metode Penelitian Hukum
. PT Citra Aditya Bakti.
Bandung.
Mustafa, Bacshan. 1985.
Pokok-Pokok Hukum Administrasi Negara
. Penerbit
Alumni, Bandung
Nurmayani. 2009.
Hukum Administrasi Daerah
. Universitas Lampung, Bandar
Lampung.
Ridwan H.R. 2002.
Hukum Administrasi Negara
, Cetakan Pertama, UII Press,
Yogyakarta
Sinambela, L.P., 1992.
Ilmu dan Budaya, Perkembangan Ilmu Administrasi
Negara
, Edisi Desember
____________. 2006.
Reformasi Pelayanan Publik; Teori Kebijakan dan
Implementasi
, Bumi Aksara, Jakarta
Sunggono, Bambang. 2003.
Metodologi Penelitian Hukum
, Cetakan keenam, Raja
Grafindo Persada, Jakarta
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi
Daerah
Peraturan Menteri Perdagangan RI Nomor: 43/M-DAG/PER/9/2009 tentang
Pengadaan, Pengedaran, Penjualan, Pengawasan
dan Pengendalian
Minuman Beralkohol
Peraturan Menteri Perdagangan RI Nomor: 53/M-DAG/PER/12/2010 tentang
Perubahan
Peraturan
Menteri
Perdagangan
RI
Nomor:
43/M-DAG/PER/9/2009 Pengadaan, Pengedaran, Penjualan, Pengawasan, dan
Pengendalian Minuman Beralkohol
Peraturan Daerah Nomor 11 Tahun 2008 tentang Pengawasan dan Pengendalian
Minuman Beralkohol di Kota Bandar Lampung
Peraturan Walikota Bandar Lampung Nomor 80 Tahun 2011 tentang Tata Cara
Pelaksanaan Pemungutan Retribusi Izin Tempat Penjualan Minuman
Beralkohol