ANALISIS HUKUM ATAS PEMBATASAN INVESTASI ASING PADA SEKTOR INDUSTRI JASA PERBANKAN DI INDONESIA
SKRIPSI
Diajukan Untuk Melengkapi Tugas Akhir dan Memenuhi Syarat-Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum
Oleh : HENJOKO
100200105
DEPARTEMEN HUKUM EKONOMI
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
ANALISIS HUKUM ATAS PEMBATASAN INVESTASI ASING PADA SEKTOR INDUSTRI JASA PERBANKAN DI INDONESIA
SKRIPSI
Diajukan Untuk Melengkapi Tugas Akhir dan Memenuhi Syarat-Syarat Untuk
Memperoleh Gelar Sarjana Hukum
OLEH: HENJOKO NIM : 100200105
DEPARTEMEN HUKUM EKONOMI
Disetujui,
Ketua Departemen Hukum Ekonomi
NIP. 197501122005012002 Windha, S. H., M. Hum.
Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II
Prof. Dr. Budiman Ginting, S. H., M. Hum. Dr. Mahmul Siregar, S. H., M. Hum. NIP :19590511198601101 NIP. 197302202002121001
FAKULTAS HUKUM
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur Penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas
segala berkah dan rahmat yang telah diberikan-Nya selama ini, sehingga Penulis
bisa menyelesaikan karya tulis skripsi ini dengan baik dan benar.
Penulisan Skripsi yang berjudul: Analisis Hukum Atas Pembatasan Investasi Asing Pada Sektor Industri Jasa Perbankan di Indonesia adalah guna memenuhi persyaratan untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum (SH) di
Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
Penulis menyadari bahwa hasil penulisan skripsi ini masih jauh dari
kesempurnaan. Oleh karenanya, penulis sangat mengharapkan adanya saran dan
kritik dari para pembaca skripsi ini. Kelak dengan adanya saran dan kritik
tersebut, maka penulis akan dapat menghasilkan karya tulis yang lebih baik dan
berkualitas, baik dari segi substansi maupun dari segi cara penulisannya.
Secara khusus, Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya
kepada kedua orang tua Penulis yang telah membesarkan, mendidik, dan
mendukung Penulis hingga bisa menyelesaikan pendidikan formal Strata Satu
(S1) ini.
Penulis juga ingin menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya
kepada:
1. Bapak Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, M.Sc.(CTM), Sp.A(K).,
selaku Rektor Universitas Sumatera Utara (USU) yang telah mengelola dan
2. Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, S.H., M. Hum., selaku Dekan Fakultas
Hukum Universitas Sumatera Utara (USU) yang telah memimpin
penyelenggaraan pendidikan, penelitian, pengabdian kepada masyarakat, serta
membina tenaga pendidik dan mahasiswa di lingkungan Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara (USU).
3. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, S.H., M.Hum., selaku Pembantu Dekan I
Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara (USU) yang telah banyak
membantu Dekan dalam memimpin pelaksanaan pendidikan, penelitian, dan
pengabdian kepada masyarakat.
4. Bapak Syarifuddin Hasibuan, S.H., M.Hum.,DFM, selaku Pembantu Dekan II
Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara (USU) yang telah banyak
membantu Dekan dalam memimpin pelaksanaan kegiatan di bidang
administrasi umum.
5. Bapak Muhammad Husni, S.H., M.H., selaku Pembantu Dekan III Fakultas
Hukum Universitas Sumatera Utara (USU) yang telah banyak membantu
Dekan dalam pelaksanaan kegiatan di bidang pembinaan dan pelayanan
kesejahteraan mahasiswa.
6. Ibu Windha, S. H., M. Hum., selaku Ketua Departemen Hukum Ekonomi dan
Dosen Hukum Ekonomi. Ucapan terima kasih sebesar-besarnya atas segala
saran dan kritik yang sangat berarti dan bermanfaat bagi penyelesaian skripsi
7. Bapak Ramli Siregar, S.H., M. Hum., selaku Sekretaris Jurusan Departemen
Hukum Ekonomi. Ucapan terima kasih sebesar-besarnya atas ilmu yang telah
diberikan dalam perkuliahan.
8. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, S.H., M.Hum., Dosen Hukum Ekonomi
dan Dosen Pembimbing I. Ucapan terima kasih sebesar-besarnya atas segala
bantuan dan dukungannya yang sangat berarti dan bermanfaat bagi
penyelesaian skripsi ini.
9. Bapak Dr. Mahmul Siregar, S.H., M.Hum., selaku Dosen Hukum Ekonomi
dan Dosen Pembimbing II. Ucapan terima kasih sebesar-besarnya atas segala
bantuan, kritikan, saran, bimbingan, dan dukungan yang sangat berarti dan
bermanfaat hingga selesainya penyusunan skripsi ini.
10. Bapak Prof. Dr. Suhaidi, S.H., M.H., selaku Dosen Wali. Ucapan terima
kasih sebesar-besarnya atas segala bantuan sejak baru menjadi mahasiswa
sampai sekarang selesai menyelesaikan pendidikan.
11. Para Dosen, Asisten Dosen, dan seluruh staf administrasi di Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara yang telah berjasa mendidik dan membantu
Penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
12. Kakak dan adik Penulis yang selama ini banyak mendukung dan membantu
Penulis dalam proses perkuliahan di Fakultas Hukum Universitas Sumatera
Utara.
13. Heriyanto, Paulina, Yuthi, Jennifer, Aziz, Timot, Diana, Herbert, dan Andi
(ILMCC) Jessup Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara (USU). Thanks
for all memories!
14. Vellichia, Mama (Imelda), Chyntia, Jerry, dan seluruh teman di Fakultas
Hukum Universitas Sumatera Utara yang selalu bersama Penulis dalam suka
maupun duka pada saat menjalani masa perkuliahan
Medan, 24 Februari 2014
Penulis
Henjoko
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ... i
DAFTAR ISI ... v
DAFTAR TABEL ... viii
ABSTRAK ... ix
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1
B. Rumusan Masalah ... 6
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan ... 7
D. Keaslian Penulisan ... 8
E. Tinjauan Kepustakaan ... 10
F. Metode Penelitian ... 19
G. Sistematika Penulisan ... 24
BAB II ALASAN DIBENARKANNYA KEPEMILIKAN SAHAM OLEH ASING PADA SEKTOR INDUSTRI JASA PERBANKAN DI INDONESIA A. Reformasi Sektor Industri Jasa Perbankan ... 27
1. Kondisi perbankan nasional sebelum dan sesudah Paket Kebijakan Deregulasi Perbankan 1988 (Pakto 88) ... 27
2. Kehancuran sektor industri jasa perbankan nasional pada tahun 1998 ... 33
B. Kebutuhan Akan Dana Investasi Yang Besar Dalam Rangka Pembangunan Nasional ... 41
1. Fungsi sektor industri jasa perbankan sebagai lembaga pembiayaan ... 41
2. Peningkatan penyerapan dana masyarakat ... 47
3. Peningkatan kesejahteraan masyarakat ... 51
C. Keikutsertaan Indonesia Sebagai Anggota World Trade Organization (WTO) ... 53 1. Liberalisasi sektor industri jasa perbankan menurut
ketentuan General Agreement on Trade in Services
(GATS) ... 53
2. Pembebasan investasi asing menurut ketentuan
Agreement on Trade-Related Investment Measures
(TRIMs) ... 60
BAB III PENGATURAN KEPEMILIKAN SAHAM OLEH
ASING PADA SEKTOR INDUSTRI JASA PERBANKAN DI INDONESIA
A. Pengaturan Kegiatan Investasi di Indonesia ... 64
1. Dasar hukum kegiatan investasi di Indonesia ... 64
2. Bidang usaha investasi di Indonesia ... 67
3. Bentuk kegiatan investasi dalam sektor industri jasa perbankan nasional ... 70
B. Pengaturan Tentang Kepemilikan Saham Bank Umum di Indonesia ... 73
1. Dasar hukum kepemilikan saham bank umum di Indonesia ... 73
2. Persyaratan dan prosedur investasi dalam sektor industri jasa perbankan ... 76
C. Kebijakan Pembatasan Kepemilikan Saham Bank Umum di Indonesia ... 89
1. Dasar hukum pembatasan kepemilikan saham bank umum di Indonesia ... 89
2. Latar belakang pembatasan kepemilikan saham bank umum di Indonesia ... 95
3. Tujuan pembatasan kepemilikan saham bank umum di Indonesia ... 97
BAB IV PEMBATASAN KEPEMILIKAN SAHAM ASING
DALAM SEKTOR INDUSTRI JASA PERBANKAN DI INDONESIA
A. Perbandingan Terhadap Pembatasan Investasi Asing dalam Sektor Industri Jasa Perbankan di Negara Lain ... 101
B. Posisi Strategis Sektor Industri Jasa Perbankan dalam Kegiatan Ekonomi Nasional ... 104
C. Penerapan Asas Resiprokal Bagi Perbankan Nasional di Luar Negeri ... 110
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan ... 117
B. Saran ... 119
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1 Tabel Kronologis Tindakan Pemerintah (BPPN) di
Bidang Perbankan ... 39
Tabel 4.1 Tabel Batas Maksimum Jumlah Kepemilikan Asing
Analisis Hukum Atas Pembatasan Investasi Asing Pada Sektor Industri Jasa Perbankan di Indonesia
ABSTRAK Henjoko*1 Budiman Ginting** Mahmul Siregar***
Indonesia sebagai negara perekonomian berkembang memerlukan modal yang sangat besar dalam membiayai pertumbuhan ekonomi nasionalnya. Salah satu sumber modal tersebut ialah dari kegiatan investasi, terutama dari investor asing. Salah satu bidang ekonomi yang memperoleh kucuran modal asing ialah sektor industri jasa perbankan. Bahkan pihak asing telah memiliki peran yang cukup dominan dalam sektor perbankan. Peranan pihak asing yang cukup dominan tersebut menimbulkan pertanyaan mengenai alasan sampai dibenarkannya kepemilikan saham oleh asing pada sektor industri jasa perbankan di Indonesia, hingga mengenai pengaturan kepemilikan saham oleh asing pada sektor industri jasa perbankan di Indonesia. Kemudian seiring dengan penguasaan pihak asing yang semakin dominan dalam sektor perbankan, timbul pertanyaan mengenai perlunya pembatasan kepemilikan saham asing dalam sektor industri jasa perbankan di Indonesia.
Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif dan bersifat deskriptif. Data yang digunakan dalam penelitian ini ialah data primer, data sekunder, dan data tersier. Seluruh data tersebut dikumpulkan dengan menggunakan teknik studi kepustakaan. Kemudian data yang telah terkumpul tersebut dianalisis secara normatif kualitatif.
Pembatasan investasi asing pada sektor industri jasa perbankan di Indonesia merupakan hal yang wajib dilaksanakan oleh pemerintah saat ini. Sebab alasan ekonomi yang menjadi dasar dibenarkannya kepemilikan asing pada sektor industri jasa perbankan, hingga menjadi dominan seperti sekarang, tidak lagi sesuai dengan kemajuan ekonomi yang dicapai Indonesia saat ini. Oleh karenanya, perlu dilakukan perubahan pada ketentuan investasi yang sangat membebaskan investasi asing dalam sektor perbankan. Ketentuan tersebut terlalu membebaskan investasi asing hingga berakibat pada penguasaan pihak asing yang menjadi cukup dominan dalam sektor perbankan. Tindakan Bank Indonesia yang mengeluarkan peraturan tentang pembatasan kepemilikan saham pada bank umum sudah cukup tepat sebagai satu langkah awal. Walaupun tujuan utamanya untuk mencegah terjadinya dominasi satu pemegang saham pada suatu bank, Peraturan Bank Indonesia ini bisa menghentikan laju akuisisi bank nasional oleh pihak asing. Namun pemerintah masih tetap harus mengubah ketentuan lama yang sangat membebaskan kepemilikan asing dalam sektor perbankan. Sebab Peraturan Bank Indonesia tersebut sangat terkait erat dan tidak bisa dipisahkan dari
* Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
ketentuan lama tersebut. Selain itu, ketentuan tentang batas maksimum kepemilikan asing dalam sektor perbankan harus segera dibentuk. Hal ini bercermin pada ketentuan sejenis yang dianut oleh banyak negara di dunia. Seluruh tindakan pembatasan tersebut harus segera dilaksanakan mengingat posisi sektor perbankan yang sangat strategis dalam perekonomian nasional sehingga sangat rawan untuk didominasi oleh pihak asing. Ketentuan pembatasan tersebut juga diperlukan dalam rangka untuk mewujudkan asas resiprokal bagi perbankan nasional dalam berekspansi di negara lain. Sebab ketentuan tersebut kelak bisa dijadikan sebagai alat tawar untuk mengatasi berbagai bentuk tindakan pembatasan yang dilakukan oleh berbagai negara terhadap perbankan nasional Indonesia saat melakukan ekspansi usaha. Namun dalam pembentukan ketentuan tentang pembatasan tersebut, pemerintah tetap harus memperhatikan ketentuan hukum nasional dan internasional yang berlaku di Indonesia. Sebab pemerintah Indonesia memiliki berbagai kewajiban yang tidak boleh dilanggar berkaitan dengan ketentuan hukum nasional dan internasional yang mengikat Indonesia.
Analisis Hukum Atas Pembatasan Investasi Asing Pada Sektor Industri Jasa Perbankan di Indonesia
ABSTRAK Henjoko*1 Budiman Ginting** Mahmul Siregar***
Indonesia sebagai negara perekonomian berkembang memerlukan modal yang sangat besar dalam membiayai pertumbuhan ekonomi nasionalnya. Salah satu sumber modal tersebut ialah dari kegiatan investasi, terutama dari investor asing. Salah satu bidang ekonomi yang memperoleh kucuran modal asing ialah sektor industri jasa perbankan. Bahkan pihak asing telah memiliki peran yang cukup dominan dalam sektor perbankan. Peranan pihak asing yang cukup dominan tersebut menimbulkan pertanyaan mengenai alasan sampai dibenarkannya kepemilikan saham oleh asing pada sektor industri jasa perbankan di Indonesia, hingga mengenai pengaturan kepemilikan saham oleh asing pada sektor industri jasa perbankan di Indonesia. Kemudian seiring dengan penguasaan pihak asing yang semakin dominan dalam sektor perbankan, timbul pertanyaan mengenai perlunya pembatasan kepemilikan saham asing dalam sektor industri jasa perbankan di Indonesia.
Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif dan bersifat deskriptif. Data yang digunakan dalam penelitian ini ialah data primer, data sekunder, dan data tersier. Seluruh data tersebut dikumpulkan dengan menggunakan teknik studi kepustakaan. Kemudian data yang telah terkumpul tersebut dianalisis secara normatif kualitatif.
Pembatasan investasi asing pada sektor industri jasa perbankan di Indonesia merupakan hal yang wajib dilaksanakan oleh pemerintah saat ini. Sebab alasan ekonomi yang menjadi dasar dibenarkannya kepemilikan asing pada sektor industri jasa perbankan, hingga menjadi dominan seperti sekarang, tidak lagi sesuai dengan kemajuan ekonomi yang dicapai Indonesia saat ini. Oleh karenanya, perlu dilakukan perubahan pada ketentuan investasi yang sangat membebaskan investasi asing dalam sektor perbankan. Ketentuan tersebut terlalu membebaskan investasi asing hingga berakibat pada penguasaan pihak asing yang menjadi cukup dominan dalam sektor perbankan. Tindakan Bank Indonesia yang mengeluarkan peraturan tentang pembatasan kepemilikan saham pada bank umum sudah cukup tepat sebagai satu langkah awal. Walaupun tujuan utamanya untuk mencegah terjadinya dominasi satu pemegang saham pada suatu bank, Peraturan Bank Indonesia ini bisa menghentikan laju akuisisi bank nasional oleh pihak asing. Namun pemerintah masih tetap harus mengubah ketentuan lama yang sangat membebaskan kepemilikan asing dalam sektor perbankan. Sebab Peraturan Bank Indonesia tersebut sangat terkait erat dan tidak bisa dipisahkan dari
* Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
ketentuan lama tersebut. Selain itu, ketentuan tentang batas maksimum kepemilikan asing dalam sektor perbankan harus segera dibentuk. Hal ini bercermin pada ketentuan sejenis yang dianut oleh banyak negara di dunia. Seluruh tindakan pembatasan tersebut harus segera dilaksanakan mengingat posisi sektor perbankan yang sangat strategis dalam perekonomian nasional sehingga sangat rawan untuk didominasi oleh pihak asing. Ketentuan pembatasan tersebut juga diperlukan dalam rangka untuk mewujudkan asas resiprokal bagi perbankan nasional dalam berekspansi di negara lain. Sebab ketentuan tersebut kelak bisa dijadikan sebagai alat tawar untuk mengatasi berbagai bentuk tindakan pembatasan yang dilakukan oleh berbagai negara terhadap perbankan nasional Indonesia saat melakukan ekspansi usaha. Namun dalam pembentukan ketentuan tentang pembatasan tersebut, pemerintah tetap harus memperhatikan ketentuan hukum nasional dan internasional yang berlaku di Indonesia. Sebab pemerintah Indonesia memiliki berbagai kewajiban yang tidak boleh dilanggar berkaitan dengan ketentuan hukum nasional dan internasional yang mengikat Indonesia.
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Keberlangsungan suatu negara tidak dapat dilepaskan dari berjalannya
kegiatan ekonomi negara tersebut. Sebab secara umum, melalui kegiatan ekonomi
suatu negara dapat memenuhi berbagai kebutuhan hidup masyarakatnya dalam
rangka mencapai kesejahteraan. Kegiatan ekonomi ini kemudian
diimplementasikan oleh suatu negara dalam wujud pembangunan ekonomi
nasional yang berkesinambungan, dengan tujuan utamanya mencapai
pertumbuhan ekonomi yang setinggi-tingginya. Pembangunan ekonomi ini
sendiri, oleh banyak negara, ditempatkan pada urutan pertama dari seluruh
aktivitas pembangunan.2 Sedangkan pertumbuhan ekonomi sangat jamak
digunakan sebagai ukuran utama oleh banyak negara dalam mengukur tingkat
keberhasilan pembangunan ekonomi negara yang bersangkutan.3
Namun pertumbuhan ekonomi yang sangat tinggi tersebut tentu sangat
tergantung pada beberapa komponen, yaitu:4
2
Sirojuzilam dan Kasyful Mahalli, Regional: Pembangunan, Perencanaan, dan Ekonomi (Medan: USU Press, 2010), hlm. 1.
(1) akumulasi modal; (2)
pertumbuhan penduduk; dan (3) kemajuan teknologi. Tanpa mengesampingkan
pentingnya kedua komponen lainnya, faktor modal merupakan salah satu faktor
3
Ibid., hlm. 10. 4
yang sangat vital dalam pembangunan ekonomi nasional. Berdasarkan
sumbernya, modal bisa dibagi atas dua, yaitu:5
1. Modal yang berasal dari dalam negeri (modal dalam negeri/PMDN)
Terdiri atas 3 sumber, yaitu: tabungan sukarela masyarakat, tabungan
pemerintah, dan tabungan paksa.
2. Modal yang berasal dari luar negeri (modal asing/PMA)
Terdiri atas 3 sumber, yaitu: bantuan luar negeri, pinjaman luar negeri, dan
penanaman modal asing.
Faktor modal ini sendiri seringkali menjadi salah satu hambatan atau
kelemahan dalam pembangunan ekonomi di Indonesia. Indonesia sebagai negara
berkembang dengan tingkat kemakmuran yang relatif rendah, memiliki
kemampuan penyediaan modal yang amat terbatas.6 Hal ini tentu bisa dimengerti
karena penyediaan modal dalam negeri tentu sangat berbanding lurus dengan
tingkat kemakmuran masyarakatnya (tingkat pendapatan masyarakatnya).7 Oleh
karena kemampuan modal dalam negeri yang cukup lemah, Indonesia sangat
mengandalkan sumber modal dari luar negeri, terutama penanaman modal asing.
Di samping membawa devisa yang besar, penanaman modal asing juga membawa
serta teknologi dan manajemen yang lebih maju dan diperlukan oleh Indonesia.8
5
Sadono Sukirno, Ekonomi Pembangunan: Proses, Masalah, dan Dasar Kebijakan, Ed. Kedua (Jakarta: Kencana, 2006), hlm. 304.
Hal inilah yang kemudian menandai dimulainya liberalisasi di berbagai sektor
ekonomi Indonesia.
6
Ibid., hlm. 303. 7
Salah satu bidang ekonomi yang juga memperoleh kucuran modal asing
ialah sektor industri jasa perbankan. Sektor perbankan di Indonesia saat ini telah
mengalami sejarah liberalisasi yang cukup panjang. Berdasarkan isi Paket
Kebijakan Deregulasi Perbankan 1988 (Pakto 88) yang dikeluarkan melalui Surat
Keputusan Menteri Keuangan No.1061/KMK.00/1988 dan SE No.21/2/BPPP,
maka diberikan kemudahan yang sangat besar dalam pendirian bank baru dan
pembukaan kantor cabang bank baru, baik oleh bank nasional maupun bank asing.
Pakto 88 dianggap sebagai permulaan liberalisasi sektor perbankan di Indonesia,
yang tentu juga menandai dimulainya gelombang besar masuknya investasi asing
di dalam sektor perbankan nasional. Bahkan banyak pihak menilai Pakto 88
merupakan kebijakan pemerintah yang paling liberal dalam sejarah sektor
perbankan.9
Kemudian, seiring berjalannya waktu, Indonesia juga menjadi anggota
World Trade Organization (WTO) dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1994 tentang Pengesahan Agreement Establishing of The World Trade Organization. Konsekuensinya Indonesia juga terikat dengan General
Penerbitan Pakto 88 oleh pemerintah Orde Baru ini sendiri sangat
didasari oleh alasan ekonomi, yaitu untuk meningkatkan penghimpunan dana
masyarakat serta untuk menarik investasi asing melalui sektor perbankan dalam
rangka membiayai pembangunan nasional. Selain itu, alasan ekonomi ini tentu
juga dibarengi dengan alasan untuk memperluas jangkauan seluruh masyarakat
Indonesia, terutama masyarakat di luar Pulau Jawa dan tentunya daerah
perdesaan, terhadap sektor industri jasa perbankan.
9
Agreement on Trade in Services (GATS), di mana Indonesia harus membuka seluas-luasnya (liberalisasi) sektor jasa kepada pihak asing, termasuk di dalamnya
sektor industri jasa perbankan nasional. Liberalisasi sektor perbankan nasional ini
kemudian dipertegas oleh Peraturan Pemerintah No. 29 Tahun 1999 tentang
Pembelian Saham Bank Umum, di mana pihak asing diperbolehkan memiliki
saham bank umum di Indonesia hingga 99%. Peraturan ini sendiri diterbitkan
untuk melaksanakan paket reformasi ekonomi yang diberikan oleh International Monetary Fund (IMF)10
Namun seiring berjalannya waktu, berbagai kebijakan yang diambil oleh
Indonesia dalam sektor industri jasa perbankan nasional mulai menunjukkan hasil
atau konsekuensi yang sifatnya negatif. Hal ini sendiri kemudian dipertegas
dengan fakta bahwa paket reformasi ekonomi yang diberikan oleh IMF ternyata , dengan tujuan utamanya untuk memperbaiki dan
mereformasi sektor perbankan nasional yang telah hancur akibat krisis ekonomi
tahun 1997/1998. Investasi dari pihak asing juga diharapkan membawa serta
teknologi, produk, dan manajemen perbankan yang baru, serta meningkatkan
efisiensi dan profesionalitas dalam sektor perbankan dan keuangan nasional.
Kemudian, berbagai peraturan dalam bidang investasi, seperti Undang-Undang
Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal dan Peraturan Presiden Nomor
36 Tahun 2010 tentang Daftar Bidang Usaha yang Tertutup dan Bidang Usaha
yang Terbuka dengan Persyaratan di Bidang Penanaman Modal, memberikan
perlakuan yang setara bagi investor asing dalam berinvestasi di sektor perbankan
nasional.
10
tidak sesuai dengan kondisi perekonomian nasional Indonesia, bahkan cenderung
justru memperburuk perkonomian nasional Indonesia yang sebenarnya sudah
porak-poranda akibat krisis ekonomi tahun 1997/1998.11
Hasil riset oleh KATADATA Indonesia menunjukkan bahwa peta
perbankan nasional dalam satu dasawarsa terakhir telah mengalami pergeseran
signifikan. Penguasaan aset perbankan nasional oleh bank-bank milik negara dan
swasta nasional kian susut. Sebaliknya, porsi penguasaan aset oleh bank-bank
milik asing meningkat secara tajam. Pangsa aset bank swasta nasional tergerus
sekitar 20% dari 42% pada 1998 menjadi 22% pada 2011. Begitu juga pangsa aset
bank negara yang merosot 9% dari 44% menjadi tinggal 35% pada periode yang
sama. Sebaliknya, pangsa bank swasta milik asing telah melonjak tajam dari
hampir 0% menjadi 21%. Sedangkan pangsa aset bank asing dan bank campuran
meningkat 2% dari 11% pada 1998 menjadi 13% pada 2011. Bila ditotal, maka
total pangsa bank milik asing di Indonesia sudah mencapai 34%.
Salah satu konsekuensi
negatif yang kemudian mulai disorot oleh beberapa pihak saat ini ialah mengenai
penguasaan asing dalam sektor perbankan nasional. Penguasaan asing ini
cenderung terus mengalami pertumbuhan yang kuat dan hampir mengimbangi
penguasaan oleh pihak nasional. Pihak asing, dalam hal ini perbankan asing, tidak
hanya bisa membuka kantor cabangnya dengan bebas di Indonesia. Namun
mereka juga bisa dengan mudah mengambil alih bank nasional di Indonesia,
melalui pengambilalihan saham bank nasional tersebut secara mayoritas (99%).
12
11
Deliarnov, Ekonomi Politik (Jakarta: Penerbit Erlangga, 2006), hlm. 195-198.
Walaupun
12
belum mencapai setengah (50%) dari total aset perbankan nasional, pangsa aset
bank milik asing menunjukkan pertumbuhan yang sangat signifikan. Sebab dalam
jangka waktu yang hanya 13 tahun, pangsa aset bank milik asing telah tumbuh
dari hanya 11% pada tahun 1998 menjadi 34% pada tahun 2011.
Hal ini menimbulkan pendapat bahwa peran asing dalam sektor perbankan
nasional harus dibatasi saat ini. Pertimbangannya ialah dalam rangka untuk
menjaga kepentingan nasional, mengingat sektor perbankan memegang peranan
yang sangat penting dalam perekonomian nasional, terutama dalam hal
penghimpunan dana masyarakat (modal dalam negeri) dan penyaluran pinjaman
(kredit). Pertumbuhan dan perkembangan ekonomi yang sangat pesat saat ini,
tentu berbanding lurus dengan kemampuan pembiayaan dalam negeri yang
semakin besar, tidak lagi seperti periode 1970-1980an yang menjadi dasar
liberalisasi sektor industri jasa perbankan pada saat itu. Pertimbangan lainnya
ialah untuk mewujudkan asas resiprokal bagi industri perbankan nasional saat
melakukan ekspansi usaha ke negara lain.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dijelaskan sebelumnya, maka dapat
dirumuskan 3 (tiga) permasalahan yang akan dibahas dalam skripsi ini, yaitu:
1. Apa saja alasan dibenarkannya kepemilikan saham oleh asing pada sektor
industri jasa perbankan nasional?
2. Bagaimanakah pengaturan kepemilikan saham oleh asing pada sektor industri
3. Mengapa kepemilikan saham asing perlu dibatasi dalam industri jasa
perbankan di Indonesia?
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan
1. Tujuan penulisan
Tujuan yang ingin dicapai melalui karya tulis skripsi ini ialah:
a. Untuk mengetahui latar belakang dibenarkannya kepemilikan oleh asing
dalam sektor industri jasa perbankan.
b. Untuk mengetahui pengaturan atas kepemilikan saham oleh asing pada
sektor industri jasa perbankan di Indonesia.
c. Untuk mengetahui alasan perlunya pembatasan kepemilikan saham oleh
asing dalam sektor industri jasa perbankan di Indonesia.
2. Manfaat penulisan
a. Secara teoritis
1) Untuk menambah wawasan mahasiswa Fakultas Hukum Universitas
Sumatera Utara dalam bidang hukum investasi, terutama berhubungan
dengan kegiatan investasi oleh pihak asing dalam sektor industri jasa
perbankan di Indonesia.
2) Sebagai salah satu bahan kajian oleh kalangan akademisi dalam
mempelajari kegiatan investasi oleh pihak asing dalam sektor industri
jasa perbankan di Indonesia.
1) Untuk memberikan masukan kepada pihak pemerintah dalam
melakukan penyusunan aturan tentang pembatasan kegiatan investasi
oleh pihak asing dalam sektor industri jasa perbankan di Indonesia di
masa yang akan datang.
2) Untuk memberikan masukan kepada pihak pemerintah dalam
melakukan penyusunan aturan tentang pengaturan kegiatan investasi
oleh pihak asing secara umum dalam kegiatan perekonomian nasional.
D. Keaslian Penulisan
Skripsi yang berjudul “Analisis Hukum Atas Pembatasan Investasi Asing
Pada Sektor Industri Jasa Perbankan di Indonesia” ini merupakan benar hasil
karya sendiri, tanpa meniru Karya Tulis milik orang lain. Oleh karenanya,
keaslian dan kebenaran ini dapat dipertanggungjawabkan sendiri dan telah sesuai
dengan asas-asas keilmuan yang harus dijunjung tinggi secara akademik yaitu
kejujuran, rasional, objektif, dan terbuka. Hal ini merupakan implikasi etis dalam
proses menemukan kebenaran ilmu sehingga dengan demikian penulisan Karya
Tulis ini dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah, keilmuan dan terbuka untuk
kritik yang sifatnya konstruktif. Selain itu, semua informasi di dalam skripsi ini
berasal dari berbagai karya tulis penulis lain, baik yang dipublikasikan ataupun
tidak, serta telah diberikan penghargaan dengan mengutip nama sumber penulis
Karya tulis skripsi ini memiliki kemiripan dengan beberapa skripsi yang
sudah ditulis oleh beberapa mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera
Utara, yaitu:
1. Nama : Dea Rizska
NIM : 070200375
Judul : Tinjauan Yuridis Terhadap Sistem Pengembalian
Uang Kembalian Pelanggan Pada Industri Retail
Departemen Store Berdasarkan Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan
Konsumen
2. Nama : Herna Bangun
NIM : 080200017
Judul : Perlindungan Hukum Desain Industri dalam
Sektor Industri Kreatif Menurut Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 2009
Walaupun terdapat kemiripan dengan beberapa judul di atas, namun
terdapat perbedaan signifikan mengenai substansi pembahasan. Penelitian yang
dilakukan dengan judul “Analisis Hukum Atas Pembatasan Investasi Asing Pada
Sektor Industri Jasa Perbankan di Indonesia” secara khusus membahas tentang
kegiatan investasi oleh pihak asing dalam sektor industri jasa perbankan di
Indonesia, serta kaitannya dengan ketentuan hukum nasional dan hukum
membahas tentang permasalahan di luar bidang investasi yang kemudian
dikaitkan dengan ketentuan hukum internasional ataupun ketentuan hukum
perbankan di Indonesia.
E. Tinjauan Kepustakaan
1. Perbankan
Menurut Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan beserta
perubahannya Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, perbankan adalah segala
sesuatu yang menyangkut tentang bank, mencakup kelembagaan, kegiatan usaha,
serta cara dan proses dalam melaksanakan kegiatan usahanya.13 Sedangkan bank
adalah: badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk
simpanan dan mengeluarkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan atau
bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak.14
Pengelompokan jenis-jenis bank secara umum dilihat dari:15
a. Aspek fungsi
1) Bank sentral, adalah bank yang merupakan badan hukum milik negara
yang tugas pokoknya membantu pemerintah, sebagai contoh: Bank
Indonesia, People Bank of China, Bank of Japan, Bank of England,
the Reserve Bank of India, dan Bank of Korea.
13
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, Pasal I, Bab I, Pasal 1, Angka 1.
14
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, Pasal I, Bab I, Pasal 1, Angka 2.
15
2) Bank umum, adalah bank yang sumber utama dananya berasal dari
simpanan pihak ketiga serta pemberian kredit jangka pendek dalam
penyaluran dana, sebagai contoh: BNI 46, BRI, Bank Mandiri, Bank
Bukopin, BTN, BCA, Bank Mega, Bank Danamon, Bank Swadesi,
Bank Permata, dan Bank Panin.
3) Bank pembangunan, adalah bank yang dalam pengumpulan danannya
berasal dari penerimaan simpanan deposito serta commercial paper, sebagai contoh: Bank Jatim, Bank Maluku, Bank DKI, Bank Jabar dan
Banten, Bank Papua, dan Bank NTT.
4) Bank desa, adalah kantor bank di suatu desa yang tugas utamanya
adalah melaksanakan fungsi perkreditan dan penghimpunan dana
dalam rangka program pemerintah memajukan pembangunan desa.
5) Bank Perkreditan Rakyat (BPR), adalah kantor bank di kota
kecamatan yang merupakan unsur penghimpun dana masyarakat
maupun menyalurkan dananya di sektor pertanian dan perdesaan.
b. Status kepemilikan
1) Bank milik negara, adalah bank yang seluruh modalnya berasal dari
kekayaan negara yang dipisahkan dan pendiriannya di bawah
Undang-Undang tersendiri, sebagai contoh: BNI 46, BRI, Bank Mandiri, Bank
Bukopin, dan BTN.
2) Bank milik swasta nasional, adalah bank milik swasta yang didirikan
dalam bentuk hukum perseroan terbatas, di mana seluruh sahamnya
hukum di Indonesia, sebagai contoh: BCA, Bank Mega, Bank
Danamon, Bank Swadesi, Bank Permata, Bank Panin, dan lain
sebagainya.
3) Bank swasta asing, adalah bank yang didirikan dalam bentuk cabang
bank yang sudah ada di luar negeri atau dalam bentuk campuran
antara bank asing dengan bank nasional yang ada di Indonesia. Bank
asing ini hanya diperkenankan menjalankan operasinya di lima kota
besar di Indonesia, sebagai contoh: Citibank, HSBC, ABN Amro,
Rabobank, Commonwealth, dan Bank ANZ.
4) Bank pembangunan daerah, adalah bank yang pendiriannya
berdasarkan peraturan daerah provinsi dan sebagian besar besar
sahmnya dimiliki oleh pemerintah kota dan pemerintah kabupaten, di
wilayah yang bersangkutan, dan modalnya merupakan harta kekayaan
pemerintah daerah yang dipisahkan, sebagai contoh: Bank jatim, Bank
Maluku, Bank DKI, Bank Jabar dan Banten, Bank Papua, Bank NTT,
dan lain-lain.
5) Bank campuran, adalah bank yang sebagian sahamnya dimiliki oleh
asing dan pihak swasta nasional, sebagai contoh: Bank UOB Buana,
Bank Hanvit Indonesia, ANZ Panin Bank, Bank Daiwa Perdania,
Bank Multicolor, Bank OCBC NISP, Bank Merincorp, Fuji
Namun selain beberapa kelompok bank di atas, ada juga yang pembagian
bank berdasarkan segi cara menetukan harga, yaitu:16
a. Bank yang berdasarkan prinsip konvensional
Mayoritas bank yang berkembang di Indonesia dewasa ini adalah bank
yang berorientasi pada prinsip konvensional.
b. Bank yang berdasarkan prinsip syariah
Bank berdasarkan prinsip syariah belum lama berkembang di Indonesia.
Namun di luar negeri terutama di negara-negara Timur Tengah, bank yang
berdasarkan prinsip ini sudah berkembang pesat sejak lama.
Sedangkan ruang lingkup kegiatan bank umum meliputi:17
a. Menghimpun dana dari masyarakat (funding).
b. Menyalurkan dana ke masyarakat dalam bentuk kredit.
c. Memberikan jasa-jasa lainnya.
d. Kegiatan di pasar modal.
2. Penanaman Modal (Investasi)
Beberapa pengertian investasi, yaitu:18
a. Dalam kamus istilah keuangan dan investasi digunakan istilah investment
(investasi) yang mempunyai arti: “penggunaan modal untuk menciptakan
uang, baik melalui sarana yang menghasilkan pendapatan maupun melalui
ventura yang lebih berorientasi ke resiko yang dirancang untuk
16
Kasmir, Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya, Ed. Revisi, Cet. Ketujuh (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2007), hlm. 38-39.
17
Mandala Manurung dan Prathama Rahardja, Uang, Perbankan, dan Ekonomi Moneter (Kajian Kontekstual Indonesia) (Jakarta: Penerbitan Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, 2004), hlm. 137-139.
18
mendapatkan modal. Investasi dapat pula berarti menunjuk ke suatu
investasi keuangan (di mana investor menempatkan uang ke dalam suatu
sarana) atau menunjuk ke investasi suatu usaha atau waktu seorang yang
ingin memetik keuntungan dari keberhasilan pekerjaannya.”
b. Dalam Ensiklopedia Ekonomi Keuangan Perdagangan, dijelaskan istilah
investment atau investasi, penanaman modal digunakan untuk: “penggunaan atau pemakaian sumber-sumber ekonomi untuk produksi
barang-barang produsen atau barang-barang konsumen. Dalam arti yang
semata-mata bercorak keuangan, investment mungkin berarti penempatan dana-dana (capital) dalam suatu perusahaan selama jangka waktu yang relatif panjang supaya memperoleh suatu hasil yang teratur dengan
maksimum keamanan.”
c. Dalam Kamus Ekonomi dikemukakan investment (investasi) mempunyai dua makna yakni: “Pertama, investasi berarti pembelian saham, obligasi, dan benda-benda tidak bergerak, setelah dilakukan analisa akan menjamin
modal yang dilekatkan dan memberikan hasil yang memuaskan.
Faktor-faktor tersebut yang membedakan investasi dengan spekulasi. Kedua, dalam teori ekonomi, investasi berarti pembelian alat produksi (termasuk
di dalamnya benda-benda untuk dijual) dengan modal berupa uang.”
d. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) disebutkan, investasi
e. Dalam Kamus Hukum Ekonomi digunakan terminologi, investment, penanaman modal, investasi yang berarti penanaman modal yang biasanya
dilakukan untuk jangka panjang misalnya berupa pengadaan aktiva tetap
perusahaan atau membeli sekuritas dengan maksud untuk memperoleh
keuntungan.
f. Dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman
Modal, penanaman modal adalah segala bentuk kegiatan menanam modal,
baik oleh penanam modal dalam negeri maupun penanam modal asing
untuk melakukan usaha di wilayah negara Republik Indonesia.19
Pada dasarnya kegiatan penanaman modal diklasifikasikan atas dua
kategori besar, yaitu:20
a. Investasi langsung (direct investment) atau penanaman modal jangka panjang
b. Investasi tidak langsung (indirect investment) atau penanaman modal tidak langsung (portofolio investment).
Di Indonesia, kegiatan investasi dilakukan dengan berdasarkan pada
asas-asas sebagai berikut:21
a. kepastian hukum;
b. keterbukaan;
c. akuntabilitas;
19
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, Bab I, Pasal 1, Angka 1.
20
Lusiana, Usaha Penanaman Modal di Indonesia, Ed. Pertama, Cet. Pertama (Jakarta: Rajawali Pers, 2002), hlm. 39-41.
21
d. perlakuan yang sama dan tidak membedakan asal negara;
e. kebersamaan;
f. efisiensi berkeadilan;
g. berkelanjutan;
h. berwawasan lingkungan;
i. kemandirian; dan
j. keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.
Selain itu, investasi juga dibagi atas dua macam berdasarkan sumber
dananya (modal), yaitu: investasi asing dan domestik. Investasi asing merupakan
investasi yang bersumber dari pembiayaan luar negeri. Sementara itu, investasi
domestik merupakan investasi yang bersumber dari pembiayaan dalam negeri.22
3. Investasi Asing
Sarjana-sarjana hukum ekonomi internasional dewasa ini belum sepakat
mengenai batasan atau definisi mengenai bidang hukum ini. Hal ini disebabkan
karena sangat luasnya ruang lingkup serta subjek-subjek hukum ekonomi
internasional.23
Namun ada beberapa ahli yang mencoba mendefinisikan istilah Hukum
Ekonomi Internasional, yaitu:24
a. Schwarzenberger mendefinisikan hukum ekonomi internasional sebagai
berikut: “the branch of international public law which is concerned with the ownership and exploitation of national resources, production and
22
Dhaniswara K. Harjono, Hukum Penanaman Modal, Ed. Pertama, Cet. Pertama (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2007), hlm. 11.
23
distribution of goods, invisible international transactions of an economic and financial character, currency and finance, related services and organization of the entities in such activities.”
b. Louis Henkin mengemukakan definisi sebagai berikut: “all the international law and international agreements governing economic transactions that cross state boundaries or otherwise have implications for more than one state, such as those involving movements of goods, funds, persons, intangibles, vessels or aircraft.”
c. Seidl Hovenveldern merumuskan definisinya sebagai berikut: dalam
pengertian luas, hukum ekonomi internasional adalah aturan-aturan hukum
internasional publik yang secara langsung berkaitan dengan tukar-menukar
ekonomi di antara subjek-subjek hukum internasional.
Pendekatan yang tidak terlalu luas dikemukakan oleh John H. Jackson,
bahwa: “International Economic Law could be defined as including all legal subjects which have both an international and an economic component.”25 Seperti cabang-cabang ilmu lainnya, Hukum Ekonomi Internasional juga memiliki
berbagai prinsip yang dianut di dalam berbagai ketentuannya, termasuk di
dalamnya General Agreement on Tariffs and Trade (GATT) dan GATS. Prinsip-prinsip tersebut antara lain yaitu:26
a. Prinsip Standar Minimum (MinimumStandards) b. Prinsip Perlakuan Sama (IdenticalTreatment) c. Prinsip Perlakuan Nasional (NationalTreatment)
25
Ibid., hlm. 5. 26
d. Prinsip dasar atau klausul “Most-Favoured-Nation (MFN)” e. Prinsip menahan diri untuk tidak merugikan negara lain
f. Prinsip Tindakan Pengaman: Klausul Penyelamat (Safeguards and Escape Clause)
g. Prinsip Preferensi bagi Negara Sedang Berkembang
h. Prinsip Penyelesaian Sengketa Secara Damai
i. Prinsip Kedaulatan Negara atas Kekayaan Alam, Kemakmuran dan
Kehidupan Ekonominya
j. Prinsip Kerja Sama Internasional
Di dalam Hukum Ekonomi Internasional juga terdapat beberapa organisasi
internasional yang terbentuk, salah satunya ialah WTO. WTO sebagai salah satu
organisasi internasional terpenting di bidang ekonomi global yang mulai
beroperasi pada 1 Januari 1995, adalah organisasi pendukung vital dalam upaya
memperkuat kerjasama ekonomi dunia. WTO berdiri sebagai hasil dari
Perundingan Putaran Uruguay (Uruguay Round).27
Piagam WTO sendiri memuat aturan-aturan kelembagaan beserta 4
lampiran penting. Keseluruhan perjanjian akhir perundingan Uruguay memuat 28
perjanjian dan 26.000 halaman berisi daftar tarif dan daftar jasa.28
27
Bismar Nasution, Hukum Kegiatan Ekonomi (I), Ed. Revisi, Cet. Kedua (Bandung: BooksTerrace & Library, 2007), hlm. 10.
Keempat Annex
(3) Annex 1c, memuat General Agreement on Trade-Related Aspects of Intellectual Property Rights (TRIPS) atau perdagangan HAKI. Annex 3 mengatur pembentukan the Trade Policy Review Mechanism (TPRM). Sedangkan Annex 4 memuat perjanjian yang sifatnya opsional (pilihan), yakni perjanjian-perjanjian
plurilateral.29
F. Metode Penelitian
Penelitian merupakan sarana yang dipergunakan oleh manusia untuk
memperkuat, membina serta mengembangkan ilmu pengetahuan.30 Skripsi ini
sebagai hasil penelitian tentu dihasilkan dari penerapan metodologi penelitian
sebagai pertanggungjawaban ilmiah terhadap komunitas pengemban ilmu
hukum.31
1. Jenis dan Sifat Penelitian
Skripsi ini merupakan penelitian hukum normatif dan bersifat deskriptif.
Penelitian hukum normatif adalah penelitian yang dilakukan dengan cara meneliti
bahan pustaka atau data sekunder belaka.32 Penelitian hukum normatif ini sendiri
mencakup:33
a. penelitian terhadap asas-asas hukum,
b. penelitian terhadap sistematika hukum,
29
Ibid., hlm. 119. 30
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Cet. Ketiga (Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia (UI-Press), 2005), hlm. 3.
31
Johnny Ibrahim, Teori dan Metodologi: Penelitian Hukum Normatif, Ed. Revisi (Malang: Bayumedia Publishing, 2008), hlm. 26.
32
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan Singkat, Ed. Pertama, Cet. Ketujuh (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2003), hlm. 13-14.
33
c. penelitian terhadap tahap sinkronisasi hukum,
d. penelitian sejarah hukum, dan
e. penelitian perbandingan hukum.
Penelitian hukum normatif sendiri mengacu pada berbagai bahan hukum
sekunder,34 yaitu inventarisasi berbagai peraturan hukum nasional dan
internasional dalam bidang perbankan dan penanaman modal (investasi),
jurnal-jurnal dan karya tulis ilmiah lainnya, serta artikel-artikel berita terkait. Sedangkan
penelitian deskriptif ialah penelitian yang pada umumnya bertujuan untuk
mendeskripsikan secara sistematis, faktual dan akurat terhadap suatu populasi atau
daerah tertentu35, dalam hal ini kegiatan investasi asing pada sektor industri jasa
perbankan nasional, mengenai alasan dibenarkannya dibenarkannya kepemilikan
asing dalam sektor perbankan, pengaturan kepemilikan asing dalam sektor
perbankan, serta tentang pembatasan investasi asing dalam sektor perbankan.
Penelitian deskriptif dimaksudkan untuk memberikan data yang seteliti
mungkin36
2. Data
, tentang pembatasan investasi asing dalam sektor industri jasa
perbankan di Indonesia.
Pengumpulan data yang digunakan dalam penyusunan skripsi ini,
menggunakan metode penelitian kepustakaan (library research) atau studi dokumen (document study). Metode penelitian kepustakaan dilakukan terhadap
34
Bambang Waluyo, Penelitian Hukum Dalam Praktek, Ed. Pertama, Cet. Kedua (Jakarta: Sinar Grafika, 1996), hlm. 14.
35
data yang bersifat sekunder yang ada di perpustakaan.37 Menurut Soerjono
Soekanto, data sekunder dalam penelitian hukum terdiri atas tiga bahan hukum,
yaitu:38
a. Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat, seperti
undang-undang, peraturan pemerintah, konvensi atau perjanjian
internasional, dan berbagai peraturan hukum nasional dan internasional
yang mengikat, antara lain:
1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan.
2) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan.
3) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia.
4) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang
Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999
tentang Bank Indonesia menjadi Undang-Undang.
5) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia.
6) Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal.
7) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa
Keuangan.
8) Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 1999 tentang Merger, Konsolidasi
dan Akuisisi Bank.
37
Bambang Waluyo, Op. cit., hlm. 13-14. 38
9) Peraturan Pemerintah No. 29 Tahun 1999 tentang Pembelian Saham
Bank Umum.
10) Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2010 tentang Daftar Bidang
Usaha Yang Tertutup dan Bidang Usaha Yang Terbuka Dengan
Persyaratan di Bidang Penanaman Modal.
11) Peraturan Bank Indonesia Nomor 14/ 8 /PBI/2012 tentang
Kepemilikan Saham Bank Umum.
12) Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 15/4/DPNP tentang Kepemilikan
Saham Bank Umum, 2013.
13) Agreement Establishing the World Trade Organization. 14) Agreement on Trade-Related Investment Measures. 15) General Agreement on Trade in Services.
16) Memorandum on Economic and Financial Policies (MEFP) antara Pemerintah Republik Indonesia dengan International Monetary Fund
(IMF).
b. Bahan hukum sekunder, yang memberikan penjelasan mengenai bahan
hukum primer, seperti: rancangan undang-undang, hasil-hasil penelitian,
hasil karya dari kalangan hukum, dan berbagai karya tulis ilmiah yang
berkaitan dengan penelitian yang dilakukan ini.
c. Bahan hukum tersier (tertier), yakni bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder;
contohnya adalah kamus, ensiklopedia, indeks kumulatif, dan seterusnya.
dan tersier di luar bidang hukum yang berhubungan dengan penelitian
yang dilakukan, terutama dari bidang ekonomi.
3. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data diperlukan untuk memperoleh suatu kebenaran
dalam penulisan skripsi, dalam hal ini digunakan metode pengumpulan data
dengan cara studi kepustakaan (library research), yaitu mempelajari dan menganalisis data secara sistematis melalui buku-buku, surat kabar, makalah
ilmiah, internet, peraturan perundang-undangan, dan bahan-bahan lain yang
berhubungan dengan materi yang dibahas dalam skripsi ini.
4. Analisis Data
Dalam menganalisis data penelitian digunakan analisis normatif kualitatif,
yaitu data yang diperoleh kemudian disusun secara sistematis dan selanjutnya
dianalisis secara kualitatif untuk mencapai kejelasan masalah yang akan dibahas
dan hasilnya tersebut dituangkan dalam bentuk skripsi. Metode kualitatif
dilakukan guna mendapatkan data yang bersifat deskriptif, yaitu data-data yang
akan diteliti dan dipelajari sesuatu yang utuh.
G. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan skripsi ini meliputi:
BAB I PENDAHULUAN
Bab ini menguraikan tentang latar belakang, rumusan masalah,
tujuan dan manfaat penelitian, keaslian penulisan, tinjauan
BAB II ALASAN DIBENARKANNYA KEPEMILIKAN SAHAM OLEH ASING PADA SEKTOR INDUSTRI JASA PERBANKAN DI INDONESIA
Bab ini menguraikan tentang reformasi sektor industri jasa
perbankan yang meliputi kondisi perbankan nasional sebelum dan
sesudah paket kebijakan deregulasi perbankan 1988 (Pakto 88),
kehancuran sektor industri jasa perbankan nasional pada tahun
1998, dan perbaikan sektor industri jasa perbankan pasca krisis
tahun 1998. Kemudian tentang kebutuhan akan dana investasi yang
besar dalam rangka pembangunan nasional yang meliputi fungsi
sektor industri jasa perbankan sebagai lembaga pembiayaan,
peningkatan penyerapan masyarakat, dan peningkatan
kesejahteraan masyarakat. Serta tentang keikutsertaan Indonesia
sebagai anggota World Trade Organization (WTO) yang meliputi liberalisasi sektor industri jasa perbankan menurut ketentuan
General Agreement on Trade in Services (GATS) dan pembebasan investasi asing menurut ketentuan Agreement on Trade-Related Investment Measures (TRIMs).
BAB III PENGATURAN KEPEMILIKAN SAHAM OLEH ASING
PADA SEKTOR INDUSTRI JASA PERBANKAN DI INDONESIA
Bab ini menguraikan tentang pengaturan kegiatan investasi di
Indonesia, bidang usaha investasi di Indonesia, dan bentuk kegiatan
investasi dalam sektor industri jasa perbankan nasional. Kemudian
tentang pengaturan kepemilikan saham bank umum di Indonesia
yang meliputi dasar hukum kepemilikan saham bank umum di
Indonesia, persyaratan dan prosedur investasi dalam sektor industri
jasa perbankan, dan peranan Bank Indonesia sebagai regulator
perbankan nasional. Serta tentang kebijakan pembatasan
kepemilikan saham bank umum di Indonesia yang meliputi dasar
hukum pembatasan kepemilikan saham bank umum di Indonesia,
latar belakang pembatasan kepemilikan saham bank umum di
Indonesia, dan tujuan pembatasan kepemilikan saham bank umum
di Indonesia.
BAB IV PEMBATASAN KEPEMILIKAN SAHAM ASING DALAM
SEKTOR INDUSTRI JASA PERBANKAN DI INDONESIA
Bab ini menguraikan tentang perbandingan terhadap pembatasan
investasi asing dalam sektor industri jasa perbankan di negara lain,
posisi strategis sektor industri jasa perbankan dalam kegiatan
ekonomi nasional, dan penerapan asas resiprokal bagi perbankan
nasional di luar negeri.
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
Bab ini menguraikan tentang kesimpulan dan saran atas
pembatasan kepemilikan saham asing dalam sektor industri jasa
memberikan pertimbangan dan referensi dalam penyusunan
peraturan hukum atas pembatasan kepemilikan saham asing dalam
BAB II
ALASAN DIBENARKANNYA KEPEMILIKAN SAHAM OLEH ASING PADA SEKTOR INDUSTRI JASA PERBANKAN DI INDONESIA
A. Reformasi Sektor Industri Jasa Perbankan
1. Kondisi perbankan nasional sebelum dan sesudah Paket Kebijakan
Deregulasi Perbankan 1988 (Pakto 1988)
Sektor industri jasa perbankan nasional di Indonesia memiliki sejarah yang
cukup panjang, yaitu sejak masa penjajahan Belanda, yang didominasi oleh
berbagai bank asing dan bank-bank bentukan pemerintahan kolonial Belanda.
Sektor ini mulai membuka lembaran baru ketika Indonesia mengumumkan
kemerdekaannya sebagai suatu negara yang merdeka, mandiri, dan berdaulat
penuh. Pemerintah Republik Indonesia mendirikan bank-bank milik negara
sebagai penggerak pembangunan ekonomi nasional. Sebagai langkah pertama
pada tanggal 19 Oktober 1945 didirikan Jajasan Poesat Bank Indonesia yang
bertindak sebagai bank umum.39
Pada periode 1968-1981, pertumbuhan ekonomi Indonesia melesat di atas
7 persen per tahunnya. Tingginya pertumbuhan ekonomi Indonesia pasca
runtuhnya orde lama hingga awal 1980-an salah satunya disebakan oleh
meningkatnya nilai ekspor Indonesia terutama karena terjadinya oil boom pada
39
tahun 1970-an.40 Pendapatan per kapita Indonesia dari tahun 1970 hingga 1979
naik hingga lebih dari 5 kali lipat, yakni dari USD 80 pada tahun 1970 menjadi
USD 410 pada akhir 1979. Namun memasuki dasawarsa 1980-an, perekonomian
Indonesia menghadapi tantangan yang sangat berat, yaitu kelesuan ekonomi dunia
dan merosotnya harga minyak dunia sejak akhir tahun 1981. Kelesuan yang
terjadi pada perekonomian dunia telah mengakibatkan turunnya permintaan akan
barang-barang ekspor nonmigas Indonesia. Sementara itu, penurunan harga
minyak menimbulkan tekanan-tekanan berat pada neraca pembayaran dan
terbatasnya sumber devisa yang dapat disediakan untuk membiayai kegiatan
pembangunan, serta menurunnya penerimaan pemerintah untuk menggerakkan
perekonomian.41 Laju pertumbuhan ekonomi pada tahun 1982 mencapai titik
terendah selama 10 tahun terakhir, yakni 2,3%. Kemerosotan ekonomi nasional
tersebut cukup memukul sektor perbankan nasional, sebab pemberian kredit
perbankan pada awalnya sangat tergantung pada Kredit Likuiditas Bank Indonesia
(KLBI).42
Untuk mendorong perekonomian, pemerintah memiliki strategi baru.
Strategi tersebut adalah mendorong sektor privat untuk lebih berkontribusi dalam
perekonomian. Salah satu cara untuk mendorong sektor privat lebih produktif
adalah dengan melakukan deregulasi perbankan.43
40
Dzulfian Syafrian, “Deregulasi Perbankan dan Praktek Rent-Seeking Para Tikus Orde Baru”, INDEF, Tahun 2011, hlm. 1.
Dalam periode ini, Bank
Indonesia mengeluarkan tujuh paket kebijakan deregulasi, yaitu: (i) Paket
41
Bank Indonesia, Sejarah Bank Indonesia Periode IV: 1983-1997, Bank Indonesia Pada Masa Pembangunan Ekonomi dengan Pola Deregulasi (Jakarta: Unit Khusus Museum Bank Indonesia, 2006), hlm. 21.
42
Kebijakan 1 Juni 1983 (Pakjun 1983); (ii) Paket Kebijakan 27 Oktober 1988
(Pakto 1988); (iii) Paket Kebijakan 25 Maret 1989 (Pakmar 1989); (iv) Paket
Kebijakan 1 Desember 1989 (Pakdes 1989); (v) Paket Kebijakan 29 Januari 1990
(Pakjan 1990); (vi) Paket Kebijakan Kebijakan 28 Februari 1991 (Pakfeb 1991);
dan (vii) Paket Kebijakan 29 Mei 1993 (Pakmei 1993). Setelah Pakmei 1993,
kebijakan-kebijakan Bank Indonesia dikeluarkan tidak dalam bentuk paket,
melainkan dalam bentuk peraturan-peraturan yang terpisah.44 Dari ketujuh paket
kebijakan tersebut, mungkin yang paling dikenal yaitu Pakjun 1983 dan Pakto
1988. Sebab kedua paket kebijakan tersebut dianggap sebagai tonggak liberalisasi
sektor industri jasa perbankan di Indonesia. Pakjun 1983 dianggap sebagai titik
permulaan liberalisasi sektor industri jasa perbankan di Indonesia.45
Melalui Pakjun 1983, suku bunga perbankan yang tadinya ditetapkan oleh
pemerintah kemudian dibiarkan terbentuk melalui mekanisme pasar. Kemudian
ekspansi kredit perbankan yang tadinya dibatasi oleh pemerintah kemudian
dibebaskan. Giro Wajib Minimum bank-bank pada Bank Indonesia yang tadinya
ditetapkan 15% kemudian diturunkan menjadi 2%.46
44
Bank Indonesia, Sejarah Bank Indonesia Periode IV, hlm. 38.
Paket 1 Juni 1983 berisi tiga
kebijakan pokok, yaitu: (1) penghapusan ketentuan pagu aktiva neto perbankan
sebagai alat moneter utama dalam pengendalian moneter secara langsung sejak
tahun 1974; (2) pemberian kebebasan kepada bank-bank pemerintah untuk
menetapkan suku bunga deposito dan kredit, serta kebebasan dalam menetapkan
45
Sunarsip dan Suyono Salamun, “Analisis atas Deregulasi, Krisis, dan Restrukturisasi Perbankan di Indonesia”, Badan Pendidikan dan Pelatihan Keuangan Departemen Keuangan RI, Tahun 2003, hlm. 5.
46
syarat-syarat kredit nonprioritas; (3) pengurangan skim-skim KLBI sehingga
hanya disediakan untuk kredit berprioritas tinggi.47 Dengan membebaskan
bank-bank untuk menentukan sendiri keseimbangan tingkat bunganya masing-masing,
selain mendorong efisiensi mikro dan makro sektor perbankan, juga berdampak
positif bagi masyarakat. Dari data tahunan dapat dideteksi bahwa sebelum
deregulasi, ternyata tingkat suku bunga riil kita selalu negatif (sebagai
pengurangan antara suku bunga nominal yang diterapkan pemerintah dengan laju
inflasi). Setelah platfon suku bunga dilepas, tingkat bunga riil menjadi positif,
yang berarti akan mendorong masyarakat untuk menyimpan uangnya di sektor
perbankan.48
Untuk mengantisipasi kemungkinan membanjirnya dana masyarakat pada
perbankan maka dibuka peluang menanamkan dananya pada Bank Indonesia
dengan cara membeli Sertifikat Bank Indonesia (SBI). Selanjutnya untuk
mengantisipasi kemungkinan terjadinya mismatch antara sumber dan penggunaan dana perbankan dalam era persaingan bebas tersebut maka kepada perbankan
diberi peluang mencari pinjaman melalui Pasar Uang Antar Bank dengan cara
menjual Surat Berharga Pasar Uang (SBPU).49
47
Bank Indonesia, Sejarah Bank Indonesia Periode IV, hlm. 38-39.
Selanjutnya, untuk meningkatkan
pengerahan dana masyarakat guna pembiayaan pembangunan serta efisiensi dan
daya saing perbankan Indonesia, pemerintah mengeluarkan Pakto 1988. Beberapa
aspek penting dalam Pakto 1988 adalah: (1) kemudahan pembukaan kantor
cabang, (2) kemudahan pendirian bank baru, dan (3) penurunan reserve
48
requirement.50 Melalui ketiga aspek tersebut, diharapkan bisa tercapai beberapa tujuan utama dari Pakto 1988 sendiri, yaitu untuk lebih meningkatkan
penghimpunan dana, mendorong ekspor nonmigas, meningkatkan efisiensi bank
dan lembaga keuangan, meningkatkan efektivitas pelaksanaan kebijakan moneter,
dan menciptakan iklim yang lebih mendukung pengembangan pasar modal.51
Pakto 1988 ini dianggap oleh banyak pihak sebagai kebijakan perbankan
yang paling liberal sepanjang sejarah perbankan nasional di Indonesia. Sebab
hanya dengan modal Rp. 10 milyar, siapa saja bisa mendirikan bank baru. Selain
itu, bank-bank asing lama dan yang baru masuk diizinkan membuka cabangnya di
enam kota. Kemudian bentuk patungan antara bank asing dengan bank swasta
nasional juga diizinkan. Dengan demikian, secara terang-terangan monopoli dana
(simpanan masyarakat) oleh bank-bank milik negara dihapuskan. Bahkan,
beberapa bank kemudian menjadi bank devisa karena persyaratan untuk mendapat
predikat itu dilonggarkan.52
Pakto 1988 ini merupakan penyempurnaan atas Pakjun 1983 sebelumnya.
Kemudian setelah pengeluaran Pakto 1988, dikeluarkan lima paket kebijakan
deregulasi perbankan lainnya oleh Bank Indonesia yang merupakan pelengkap
dan penyempurnaan atas Pakjun 1983 dan Pakto 1988. Kemudian dalam
keterangan pers tentang Pakjan 1990, dikemukakan bahwa deregulasi yang
50
Sunarsip dan Suyono Salamun, Loc. cit., hlm. 5. 51
Bank Indonesia, Sejarah Bank Indonesia Periode IV, hlm. 43. 52
Edwin, “Pakto 1988 dan Dampaknya Terhadap Perekonomian”, http://businessknowledges.blogspot.com/2009/10/pakto-1988-dan-dampaknya-terhadap.html
dimulai sejak 1 Juni 1983 telah menunjukkan hasil menggembirakan sebagaimana
terlihat pada hal-hal di bawah ini:53
a. Pengerahan dana masyarakat melalui bank-bank dan pasar modal
meningkat pesat. Sejak Pakto 1988 dana yang dapat dihimpun oleh
perbankan telah naik dari Rp. 36,9 triliun pada akhir Oktober 1988
menjadi sekitar Rp. 51,8 triliun pada akhir Desember 1989 atau naik
sebesar 40,4%. Pengerahan dana masyarakat melalui pasar modal dalam
kurun waktu tersebut meningkat dari Rp. 1,0 triliun menjadi Rp. 3,2 triliun
atau naik sebesar 216%.
b. Peningkatan efisiensi dan pelayanan perbankan kepada perbankan kepada
masyarakat dengan jaringan yang makin luas. Jumlah bank umum, bank
pembangunan, dan bank tabungan yang pada akhir Oktober 1988
berjumlah 108 bank bertambah menjadi 147 bank dengan jumlah kantor
naik dari 1.846 menjadi 3.293 kantor. Dalam jumlah tersebut belum
termasuk unit desa BRI, yang dalam kurun waktu yang sama naik dari
2.589 kantor menjadi 2.797 kantor. Sementara itu, jumlah BPR telah naik
dari 7.491 bank pada akhir Oktober 1988 menjadi 7.555 bank pada akhir
Otober 1989.
c. Tingkat suku bunga dana dan kredit terus menunjukkan kecenderungan
menurun, yaitu suku bunga deposito turun dari rata-rata 19,0% pada
Februari 1989 menjadi rata-rata 16,7% pada Desember 1989, sedangkan
suku bunga kredit turun dari rata-rata sekitar 20% menjadi sekitar 18% dan
diharapkan pada tahun 1990 masih akan menurun.
d. Laju inflasi serta kurs rupiah terhadap mata uang asing tetap terkendali.
Dalam tahun 1989, laju inflasi dapat dipertahankan pada tingkat 5,97%
sedangkan depresiasi rupiah terhadap USD adalah 4%.
2. Kehancuran sektor industri jasa perbankan nasional pada tahun 1998
Periode tahun 1997/1998 merupakan momen yang tidak akan terlupakan
oleh bangsa ini dalam sejarahnya. Sebab pada periode tersebut, Indonesia
mengalami pergolakan dalam negeri yang sangat mengguncang segala aspek
kehidupan dalam negeri. Pergolakan itu sendiri sebenarnya bermula dari
guncangan pada bidang ekonomi sebagai akibat krisis mata uang Baht-Thailand,
yang kemudian merembes ke negara-negara lain di kawasan Asia, terutama Asia
Tenggara. Indonesia sendiri kemudian menjadi negara terparah dalam krisis
ekonomi Asia tahun 1997/1998 tersebut. Sektor perbankan sebagai salah satu
bagian tak terpisahkan dari kegiatan ekonomi nasional, menjadi salah satu sektor
yang paling terpukul parah oleh krisis. Ada yang menyebut periode tersebut
sebagai dua tahun yang paling berat dan penuh bahaya dalam sejarah perbankan
Indonesia. Hal tersebut tergambarkan dalam judul Paper IMF yang menggunakan kata-kata “two years of living dangerously”, yang disusun oleh pejabat-pejabat
International Monetary Fund (IMF).54
54
Charles Enoch, et. al., “Indonesia: Anatomy of Banking Crisis, Two Years of Living Dangerously 1997-99”, IMF Working Papers, WP/ol/52, Tahun 2001, halaman sampul.
Bahkan ada yang menganggap krisis perbankan pada periode tersebut
merupakan krisis perbankan terparah yang terjadi di suatu negara pada abad
ke-20, mengingat dampak langsungnya terhadap PDB dan penambahan jumlah utang
negara.55 Krisis yang terjadi di Indonesia saat itu dinilai cukup mengejutkan dan
membingungkan, mengingat pertumbuhan ekonomi nasional rata-rata 7% per
tahun selama 3 dekade, tim pembuat kebijakan ekonomi yang berpengalaman,
tidak mempunyai masalah makroekonomi, dan cadangan mata uang asing yang
cukup.56 Namun sebenarnya, jika ditelisik lebih jauh, krisis yang terjadi saat itu
sebenarnya disebabkan oleh beberapa masalah serius pada sektor keuangan, yaitu
kepemilikan silang dan manajemen silang dalam sektor keuangan, nilai tukar
Rupiah yang terlalu tinggi (over valuation), dan pemberian pinjaman (kredit) yang tidak hati-hati.57
Ketiga permasalahan tersebut merupakan dampak negatif dari kebijakan
deregulasi perbankan yang dimulai sejak tahun 1983. Deregulasi perbankan
sebenarnya merupakan kebijakan yang cukup tepat dalam memberikan ruang
gerak bagi sektor privat untuk berekspansi, terlebih kondisi Indonesia saat itu
memang sedang mendapat tantangan dari resesi global. Namun sayangnya terjadi
begitu banyak bias implementasi kebijakan. Alhasil, kebijakan ini mendorong
terjadinya moral hazard dari sisi para pengusaha hitam. Hal ini diperparah oleh tidak adanya tindakan tegas pemerintah terhadap pelanggaran-pelanggaran hukum
55
Ibid.,hlm. 8. 56
Stephen Grenville, “The IMF and the Indonesia Crisis”, IEO Background Paper, Tahun 2004, hlm. 3.
57
yang terjadi, bahkan berkolusi dengan beberapa pejabat pemerintah saat itu.58
Ketika terjadi guncangan akibat jatuhnya nilai tukar Baht-Thailand pada
Juli 1997, Indonesia ikut terseret ke dalam krisis nilai tukar yang kemudian
bahkan dengan cepatnya menjelma menjadi suatu krisis perbankan.
Akibatnya terbentuk sistem perbankan lemah yang diindikasikan oleh akumulasi
kredit macet (non-performing loans/NPL) dan pinjaman luar negeri jangka pendek yang sangat membengkak. Sistem perbankan yang lemah ini
menyebabkan perekonomian Indonesia sangat rentan terhadap guncangan
eksternal.
59
Krisis nilai
tukar Rupiah-Indonesia sendiri tampak jelas setelah pemerintah melalui Bank
Indonesia melakukan perubahan perubahan manajemen nilai tukar dari sistem
nilai tukar dari mengambang terkendali (managed floating exchange rate) ke sistem nilai tukar mengambang bebas (free floating exchange rate) pada tanggal 14 Agustus 1997. Rupiah mendapatkan tekanan-tekanan depresiatif yang sangat besar diawali dengan krisis nilai tukar di Thailand dan menyebar ke negara
ASEAN lainnya. 60
58
Dzulfian Syafrian, Op. cit., hlm. 4.
Krisis moneter yang terjadi berakibat pada kekeringan
likuiditas pada sektor perbankan dan beberapa bank kecil mulai mengalami
gangguan operasional.
59
Suminto Sastrosuwito dan Yasushi Suzuki, “The Post Indonesian Banking Reform and Consolidation: It’s Impact on Competition and Performance”, Makalah pada 2011 Institutions and Economics International Conference on "Institution, Law, and Economic Development", Fukuoka, Jepang, 2011, hlm. 2.
60
Krisis perbankan sendiri secara nyata mulai terjadi dengan ditandai oleh
pencabutan izin usaha (likuidasi) 16 bank swasta pada 24 November 1997 oleh
Menteri Keuangan dalam rangka mencegah semakin meluasnya krisis perbankan
(systemic risk) dan besarnya risiko yang ditanggung masyarakat (economic cost).61 Tindakan likuidasi ini juga dilakukan sebagai salah satu hasil evaluasi dan rekomendasi IMF yang tertuang dalam Letter of Intent (LoI) antara Pemerintah dengan IMF pada tanggal 31 Oktober 1997. Namun langkah tersebut dilakukan
tanpa adanya persiapan yang matang, berupa pemberian jaminan umum kepada
pemilik deposito atau simpanan di bank, dan bahkan jaminan yang kemudian
diumumkan hanya berlaku untuk sebagian kecil depositor pada bank-bank yang
ditutup.62 Hal ini juga diperparah oleh beberapa riset yang dilakukan oleh
lembaga keuangan internasional menunjukkan betapa buruknya ranking
perbankan Indonesia dibanding negara-negara lain di kawasan Asia Timur
ataupun Tenggara.63
Akumulasi dari semua kejadian tersebut tentu sangat buruk, di mana
terjadi depresiasi kepercayaan masyarakat terhadap perbankan. Pada pertengahan
bulan Desember, masyarakat melakukan penarikan deposito secara besar-besaran
(bank rush) pada hampir semua perbankan yang ada, yang nilainya diperkirakan saat itu mencapai hampir setengah dari aset sistem perbankan nasional.
64
61
Bank Indonesia, “Sejarah Bank Indonesia: Perbankan Periode 1997-1999”, Unit Khusus Museum Bank Indonesia, Tahun 2006, hlm. 2.
Selain
itu, kebijakan ini juga menyebabkan terjadinya kehancuran sistem perbankan
62
Stephen Grenville, Op. cit., hlm. 9. 63
nasional dan anjloknya nilai tukar Rupiah terhadap Dollar Amerika.65 Memasuki
bulan Januari 1998, dampak krisis, terutama yang menyangkut sektor perbankan,
ternyata semakin meluas. Saldo debet bank-bank di BI terus berlanjut.66
3. Perbaikan sektor industri jasa perbankan pasca krisis tahun 1998
Krisis perbankan yang dimulai sejak pertengahan tahun 1997 dan semakin
memburuk pada awal tahun 1998, disikapi oleh pemerintah dengan mengeluarkan
berbagai kebijakan untuk meredam krisis perbankan.
Berdasarkan usul IMF dalam kelanjutan negosiasi LoI II, guna
memulihkan kepercayaan masyarakat terhadap perbankan, Pemerintah pada akhir
Januari 1998 mengambil kebijakan untuk memberikan jaminan pembayaran atas
kewajiban bank kepada depositor dan kreditor dalam dan luar negeri (blanket guarantee).67
65
Hendri Saparini, Op. cit., hlm. 6.
Pada saat bersamaan, Pemerintah juga membentuk Badan
Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) atau Indonesia Bank Restructuring Agency. BPPN memiliki tiga kegiatan utama, yaitu: (1) untuk melaksanakan program jaminan pemerintah, termasuk pendataan kewajiban bank, pembayaran
premi, dan verifikasi klaim, (2) restrukturisasi bank melalui penutupan,
penggabungan (merger), rekapitalisasi dan penjualan kepemilikan pemerintah
pada bank-bank bermasalah; serta mendapatkan kembali pinjaman yang buruk
dan memantau sekaligus menjual ase