• Tidak ada hasil yang ditemukan

IMPLEMENTASI SISTEM PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP KORPORASI DALAM TINDAK PIDANA LINGKUNGAN HIDUP

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "IMPLEMENTASI SISTEM PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP KORPORASI DALAM TINDAK PIDANA LINGKUNGAN HIDUP"

Copied!
106
0
0

Teks penuh

(1)

IMPLEMENTASI SISTEM PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP KORPORASI DALAM TINDAK PIDANA LINGKUNGAN

HIDUP

SKRIPSI

Skripsi ini disusun untuk melengkapi salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah

Yogyakarta

DIAJUKAN OLEH : NAMA : TAUFIQURRAHMAN

NIM : 20120610009

FAKULTAS HUKUM

(2)

IMPLEMENTASI SISTEM PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP KORPORASI DALAM TINDAK PIDANA LINGKUNGAN

HIDUP

SKRIPSI

Skripsi ini disusun untuk melengkapi salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah

Yogyakarta

DIAJUKAN OLEH : NAMA : TAUFIQURRAHMAN

NIM : 20120610009

FAKULTAS HUKUM

(3)

HALAMAN PERSETUJUAN SKRIPSI

IMPLEMENTASI SISTEM PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP KORPORASI DALAM TINDAK PIDANA LINGKUNGAN

HIDUP

Diajukan oleh :

Nama : TAUFIQURRAHMAN NIM : 20120610009

Telah disetujui oleh dosen pembimbing pada tanggal : ....

Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II

(4)

HALAMAN PENGESAHAN

IMPLEMENTASI SISTEM PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP KORPORASI DALAM TINDAK PIDANA LINGKUNGAN

HIDUP Diajukan oleh :

Nama : TAUFIQURRAHMAN NIM : 20120610009

Telah dipertahankan dihadapan tim penguji pada tanggal: .... Yang terdiri dari :

Ketua

MUKHTAR ZUHDY, S.H., M.Hum. NIK. 19660317199008153009

Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II

Dr. TRISNO RAHARJO, S.H., M.Hum. Dr. YENI WIDOWATI, S.H., M.Hum. NIK. 19710409199702153028 NIK. 196106171987032003

Mengesahkan Dekan FakultasHukum

Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

(5)

HALAMAN MOTTO

Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia; Allah menghendaki agar mereka merasakan sebagian dari

(akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (kejalan yang benar).

Katakanlah (Muhammad), bepergianlah di bumi lalu lihatlah bagaimana

kesudahan orang-orang dahulu. Kebanyakan dari mereka adalah orang-orang

yang mempersekutukan (Allah).”

(Q.S. Ar-Rum ayat 41-42)

“Berbuatlah untuk dunia mu seakan-akan engkau akan hidup selamanya, dan

berbuatlah untuk akhirat mu seakan-akan engkau akan mati esok hari”

(6)

HALAMAN PERSEMBAHAN

Skripsi ini penulis persembahkan sebagai wujud rasa hormat dan terima kasih yang tak terhingga kepada :

1. Almarhum Ayah tersayang Khambali yang telah bekerja keras mendidik dan membesarkan ku serta membimbingku sampai nafas terakhir mu kupersembahkan Tugas Akhir Ini kepada mu sebagai wujud rasa terima kasih ku atas segala jasa yang telah engkau berikan untuk keluarga

2. Ibunda Tri Darmi tersayang yang dengan segenap kasih sayang yang engkau berikan tanpa lelah telah membesarkanku dan selalu mendoakan yang terbaik bagi ku dan adik ku tersayang

(7)

SURAT PERNYATAAN KEASLIAN Yang bertanda tangan di bawah ini :

Nama : TAUFIQURRAHMAN NIM : 20120610009

Judul Skripsi : IMPLEMENTASI SISTEM PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP KORPORASI DALAM HAL TINDAK PIDANA LINGKUNGAN HIDUP

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi saya ini adalah asli dan belum pernah diajukan untuk mendapat gelar akademik sarjana baik di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta atau pun di Perguruan Tinggi lainnya.

Dalam skripsi ini tidak terdapat karya atau pendapat yang telah ditulis atau dipublikasikan oleh orang lain, kecuali secara tertulis dengan jelas dicantumkan dalam daftar pustaka.

Pernyataan ini saya buat dengan sesungguhnya dan apabila dikemudian hari terdapat ketidak benaran dalam pernyataan ini, maka saya bersedia menerima sanksi akademik sesuai dengan aturan yang berlaku di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.

Yogyakarta, 4 mei 2016

(8)

KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr. Wb

Dengan memanjatkan puja dan puji sykur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan Rahmat Hidayah beserta ‘Inayah Nya bagi penulis sehingga dapat

menyelesaikan skripsi/tugas akhir dengan judul “IMPLEMENTASI SISTEM PERTANGGUNGJAWABAN TERHADAP KORPORASI DALAM HAL TINDAK PIDANA LINGKUNGAN HIDUP”, yang merupakan syarat untuk menyelesaikan studi jenjang program Strata Satu (S1) pada pada Jurusan Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Yogyakarta serta sebagai persyaratan untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum (S.H.).

Tidak lupa pula penulis mengucapkan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada pihak-pihak yang telah membantu dan membimbing dengan kesabaran sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini terutama kepada :

1. Allah Subhanahu Wa Ta’ala, yang telah memberikan kepada hamba nikmat kehidupan, kesehatan, kemampuan akal fikiran serta selalu melindungi hamba dari segala mara bahaya sehingga dapat menyelesaikan tugas akhir ini dengan lancar.

2. Nabi Muhammad SAW yang telah membimbing kita dari zaman kegelapan hingga zaman yang penuh peradaban yang bermartabat sehingga kita dapat menerima pendidikan yang baik dan berakhlak islami.

(9)

4. Dr. Leli Joko Suryono, S.H., M.Hum., selaku Kepala Program Studi Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Yogyakarta;

5. Dr. Trisno Raharjo S.H., M.Hum., selaku dosen Pembimbing I; 6. Hj. Dr. Yeni Widowati S.H., M.Hum., selaku Dosen pembimbing II; 7. M. Endrio Susila S.H., M.Hum., selaku Dosen Pengampu/wali;

8. Dosen dan Staff Fakultas hukum Universitas Muhammadiyah Yogyakarta;

9. Dwi Hananta S.H., M.Hum. selaku Hakim Pengadilan Negeri Karanganyar;

10. Sahabat-sahabatku PB. Guyub Rukun Febri Setiawan, Avie Yogha Purba P, Prima Palaphan Bagaskara, Widhiarto Indracahya, Anis Rahman Wijaya, M. Nanang Kurniawan, Ridho Darco Jr, M. Farid, Ridwan B, Mayang, M. El Gebri Pangestu, dan seluruh teman-teman yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu terima kasih atas segala bantuan dari kalian baik secara moril dan materiil sehingga penulis dapat meyelesaikan tugas akhir ini dengan lancar;

Demikian kata pengantar ini dibuat oleh penulis, tentuanya hasil tugas akhir ini masih sangat jauh dari kata sempurna oleh sebab itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun dan bermanfaat. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat secara teori maupun praktek, Amin.

Yogyakarta, 4 Mei 2016 Penulis

(10)

DAFTAR ISI SAMPUL

HALAMAN PERSETUJUAN ... i

HALAMAN PENGESAHAN ... ii

HALAMAN MOTTO ... iii

HALAMAN PERSEMBAHAN ... iv

SURAT PERNYATAAN KEASLIAN ... v

KATA PENGANTAR ... vi

DAFTAR ISI ... ix

DAFTAR TABEL ... xiii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Rumusan Masalah ... 8

C. Tujuan Penelitian ... 8

D. Tinjauan Pustaka ... 9

E. Metode Penelitian ... 15

1. Jenis Penelitian/Tipe Penelitian ... 15

2. Sumber Data ... 16

3. Narasumber ... 17

4. Teknik Pengumpulan Data ... 17

5. Teknik Analisis Data ... 18

(11)

A. Tindak Pidana ... 19

1. Pengertian Tindak Pidana ... 19

2. Unsur-Unsur Tindak Pidana ... 22

B. Hukum Lingkungan Hidup ... 24

1. Pengertian Lingkungan Hidup ... 24

2. Pengaturan tentang Hukum Lingkungan Hidup Di Indonesia ... 25

C. Jenis Tindak Pidana Lingkungan Hidup Menurut UU No. 32 Tahun 2009 ... 27

BAB III PERTANGGUNG JAWABAN PIDANA KORPORASI DALAM TINDAK PIDANA LINGKUNGAN HIDUP ... 32

A. Korporasi ... 32

1. Pengertian Korporasi ... 32

2. Korporasi Sebagai Subyek Hukum ... 36

B. Teori Pertanggungjawaban Pidana ... 39

1. Pertanggungjawaban Mutlak(strict liability) ... 39

2. Pertanggungjawaban Pengganti(vicarious liability) .... 41

3. Teori Identifikasi ... 43

C. Penegakan Hukum Pidana Di Bidang Lingkungan Hidup .. 44

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS ... 48

(12)

2. Kasus Posisi II ... 59

3. Analisis Kasus ... 66

B. Kendala-kendala yang dihadapi ... 75

BAB V PENUTUP ... 77

A. Kesimpulan ... 77

B. Saran ... 78

(13)

Daftar Tabel

(14)
(15)
(16)

ABSTRAK

Perkembangan tindak pidana korporasi di bidang lingkungan hidup di Indonesia terus meningkat. TPLH menimbulkan dampak sangat kompleks tidak hanya sumber daya alam tetapi juga manusianya. Perlindungan dan pengelolaan TPLH diatur di dalam Undang-Undang No. 32 Tahun 2009. Berkaitan dengan pertanggungjawaban korporasi dalam TPLH di atur di dalam Pasal 116 sampai dengan 119 UUPPLH. Teori-teori pertanggungjawaban yang digunakan yaitu Teori Strict Liability, Vicarious Liability, dan Teori Identifikasi. Dari latar belakang tersebut maka muncullah beberapa permasalahan yaitu Bagaimana implementasi sistem pertanggungjawaban pidana korporasi dalam hal tindak pidana lingkungan hidup di Indonesia ? dan Apa saja kendala-kendala yang dihadapi dalam penegakan hukum lingkungan hidup ?

Metode Penelitian ini menggunakan penelitian hukum normatif dengan menggunakan dua macam pendekatan yaitu Pendekatan Peraturan Perundang-undangan (statue approach) sebagai dasar awal melakukan analisis dan Pendekatan Konsep (conseptual approach) mempelajari doktrin-doktrin dan asas-asas yang berkembang dalam ilmu hukum untuk menemukan doktrin-doktrin dan asas-asas yang relevan dengan permasalahan yang sedang diteliti yakni tentang implementasi pertanggungjawaban pidana terhadap korporasi dalam tindak pidana lingkungan hidup menurut Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 dan perlindungan korban tindak pidana korporasi terkait pengerusakan lingkungan hidup.

Pembebanan pertanggungjawaban yang penulis teliti menggunakan Teori Vicarious Liability Pertanggung jawaban ini adalah Suatu konsep pertanggung jawaban seseorang atas kesalahan yang dilakukan orang lain, yang mana tindakan tersebut dilakukan masih berada dalam ruang lingkup pekerjaannya. Sehingga dapat disimpulkan bahwa pada kasus yang telah penulis teliti dalam penelitian ini menggunakan Teori Vicarious Liablity. Kendala yang dihadapi dalam penegakan hukum lingkungan antara lain kesadaran hukum perusahaan yang berpotensi sebagai pencemar lingkungan hidup masih rendah hal tersebut dibuktikan dengan limbah cair yang dihasilkan melebihi batas maksimum baku mutu limbah cair.

(17)

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH

Semakin majunya pembangunan di bidang industri memberikan peran yang sangat besar bagi korporasi untuk berkontribusi dalam memajukan perekonomian di negara yang bersangkutan. Menjamurnya korporasi dalam jangkauan wilayah bisnis yang luas secara tidak langsung memberikan keuntungan bagi pemerintah dalam berbagai macam hal seperti pemasukan negara dari pajak yang dibebankan kepada korporasi, serta pembukaan lapangan kerja seluas-luasnya bagi masyarakat sehingga dapat membantu pemerintah dalam merealisasikan program pengembangan kesejahteraan masyarakat.

Peranan korporasi pada saat ini menjadi sangat penting dalam kehidupan masyarakat. Tujuan korporasi untuk terus meningkatkan keuntungan yang diperolehnya mengakibatkan sering terjadinya tindakan pelanggaran hukum atau perbuatan melawan hukum. Dalam perakteknya UU No 32/2009 tentang Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup kerap dianggap sebagai penghalang dalam perkembangan investasi sehingga tak heran undang-undang ini terus diabaikan dan sedikit demi sedikit namun pasti dilucuti kekuatannya.

(18)

(MINERBA).1 Belum termasuk izin perkebunan skala besar, wilayah kerja migas, panas bumi, dan tambang galian C. Kawasan pesisir dan laut juga tidak luput dari eksploitasi, lebih dari 16 titik reklamasi, penambangan pasir, pasir besi, dan menjadi tempat pembuangan limbah tailing Newmont dan Freeport. Demikian juga hutan kita, setidaknya 3,97 juta Hektar kawasan lindung terancam pertambangan, tak luput keanekaragaman hayati di dalamnya. Tidak hanya hutan, sungai kita juga dikorbankan. Jumlah daerah aliran sungai (DAS) yang rusak parah meningkat dalam 10 tahun terakhir. Dari sekitar 4000 DAS yang ada di Indonesia, sebanyak 108 DAS mengalami kerusakan parah. ESDM dinilai melakukan pembiaran atas kehancuran ini dan dibayar dengan kematian warga, kerusakan hutan, dan berubahnya pola ekonomi masyarakat.

Fakta di atas membuktikan bahwa kejahatan terhadap lingkungan hidup yang dilakukan oleh korporasi memiliki cakupan kerugian yang sangat luas daripada kejahatan pada umumnya baik dari segi jumlah korban maupun kerugian yang ditimbulkannya, sehingga korban kejahatan korporasi perlu mendapat perhatian khusus dalam pencegahan dan penanggulangannya yaitu berupa pertanggungjawaban pidana korporasi terhadap korban kejahatan korporasi. Dahulu ada semacam adagium yang menyatakan bahwa semakin miskin suatu bangsa semakin tinggi tingkat kejahatan yang terjadi. Sekarang adagium ini hanya berlaku bagi kejahatan konvensional, seperti perampokan,

1

(19)

pencurian, penipuan, penggelapan, dan lain-lain. Soedjono Dirdjosisworo menyatakan bahwa :

“Kejahatan sekarang menunjukkan bahwa kemajuan ekonomi juga

menimbulkan kejahatan bentuk baru yang tidak kurang bahaya dan besarnya

korban yang diakibatkannya. Indonesia dewasa ini dilanda kriminalitas

kontemporer yang cukup mengancam lingkungan hidup, sumber energi, dan

pola-pola kejahatan di bidang ekonomi seperti kejahatan bank, kejahatan

komputer, penipuan terhadap konsumen berupa barang-barang produksi kualitas

rendah yang dikemas indah dan dijajakan lewat advertensi secara besar-besaran

dan berbagai pola kejahatan korporasi yang beroperasi lewat penetrasi dan

penyamaran”.2

Kerusakan Sumber Daya Alam (SDA) banyak disebabkan oleh aktifitas manusia dan korporasi yang berafiliasi untuk melancarkan kegiatan mereka dalam melakukan pengerusakan lingkungan yang nyata. Dampak dari eksploitasi besar-besaran sebagai akibat penafsiran dan implementasi kebijakan yang keliru menimbulkan berbagai macam kerugian yang pada saat ini mulai dirasakan oleh segenap rakyat indonesia. Berbagai bencana terjadi silih berganti, mulai dari bencana yang timbul akibat fenomena alam seperti Tsunami di Aceh, Gempa bumi di Yogyakarta dan beberapa gunung berapi yang silih berganti meletus. Namun disamping itu semua ada beberapa bencana yang secara langsung diakibatkan oleh kelalaian manusia yang pada prakteknya telah bergerak secara terorganisir dalam sebuah korporasi contohnya seperti kasus Teluk Buyat di Sulawesi, Freeport di Papua,

2

(20)

semburan lumpur panas Lapindo di Sidoarjo Jawa Timur dan yang masih menjadi sorotan pemberitaan pada saat ini ialah kasus pembakaran hutan oleh Korporasi yang tidak bertanggung jawab yang telah mengakibatkan kerugian tidak hanya dari segi ekonomi saja bahkan sudah memakan korban jiwa.

Agenda KTT tanggal 3-14 Juni 1992 di Rio De Janeiro Brazil yang menghasilkan deklarasi Rio dan agenda 21 serta dilanjutkan pada sidang khusus dalam Majelis Umum PBB tanggal 23-27 Juni 1997 di New York, Amerika Serikat merencanakan perlu dilakukan pembangunan berkelanjutan (sustainable development) terhadap keasrian lingkungan hidup pada tahap nasional, regional, dan internasional. Tidak kecuali di Indonesia, pembangunan berkelanjutan perlu didukung serius oleh semua pihak dengan upaya penegakan hukum lingkungan yang berdayaguna dan berhasil guna untuk menyelamatkan lingkungan hidup dewasa ini dan masa depan.3

Pembangunan berkelanjutan mengandung makna jaminan mutu kehidupan manusia dan tidak melampaui kemampuan ekosistem untuk mendukungnya. Sebagai makhluk hidup yang dominan, manusia banyak menentukan corak kehidupan ekosistem, manusia dapat menaklukkan ekosistem alamiyah yang satu dengan yang lainnya.

Menurut Koesnadi Hardjosoemantri, ada dua bentuk ekosistem yang penting yakni yang pertama, ekosistem alamiyah (natural ecosystem) yang di dalamnya terdapat heterogenitas tinggi dari organisasi hidup disana

3

(21)

sehingga mampu mempertahankan proses kehidupan di dalamnya dengan sendirinya. Kedua, ekosistem buatan (artificial ecosystem) yang merupakan hasil kerja manusia sendiri yang mempunyai ciri kurang ketelitian sehingga bersifat lebih rentan dan supaya tetap stabil diperlukan usaha manusia untuk merawat ekosistem tersebut.4

Pencegahan dan penegakan hukum terhadap tindak pidana lingkungan hidup maka dibuatlah Peraturan perundang-undangan yang mengatur terkait perlindungan lingkungan hidup yang tertuang dalam Undang-Undang No. 4 Tahun 1982 tentang Lingkungan Hidup Jo. Undang-Undang-Undang-Undang No 23 Tahun 1997 tentang Perlindungan Lingkungan Hidup yang kemudian disempurnakan dalam Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Undang-Undang sektoral lainnya seperti UU Kehutanan, UU Pertambangan, PP tentang Pengendalian dan atau Pencemaran Lingkungan Hidup yang berkaitan dengan Kebakaran hutan dan atau Lahan, PP tentang Ijin Pembuangan Limbah, UU tentang Sumber Daya alam dan Ekosistemnya dan lain-lain.

Dibuatnya peraturan perundang-undangan tentang lingkungan hidup merupakan sebuah implementasi dari Pasal 28H Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berisi bahwa lingkungan hidup yang baik dan sehat merupakan hak asasi setiap warga negara Indonesia. Dikarenakan maraknya pengerusakan lingkungan yang melibatkan Korporasi di dalamnya oleh sebab itu sekiranya diperlukan sebuah peraturan

perundang-4

(22)

undangan yang secara tegas mengatur tentang sanksi pidana yang pantas diterapkan kepada korporasi yang secara sengaja maupun tidak telah melakukan pengerusakan lingkungan Hidup. Didalam Undang-Undang No 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan pengelolaan Lingkungan hidup secara eksplisit menyebutkan dalam Pasal 116 bahwa :

(1) Apabila tindak pidana lingkungan hidup dilakukan oleh, untuk, atau atas nama badan usaha, tuntutan pidana dan sanksi pidana dijatuhkan kepada :

a. Badan usaha; dan / atau

b. Orang yang memberi perintah untuk melakukan tindak pidana tersebut atau orang yang bertindak sebagai pemimpin kegiatan dalam tindak pidana tersebut.

(2) Apabila tindak pidana lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh orang, yang berdasarkan hubungan kerja atau berdasarkan hubungan lain yang bertindak dalam lingkup kerja badan usaha, sanksi pidana dijatuhkan terhadap pemberi perintah atau pemimpin dalam tindak pidana tersebut tanpa memperhatikan tindak pidana tersebut dilakukan secara sendiri atau bersama-sama.

Melihat kerugian yang timbul akibat perusakan lingkungan ini yaitu meliputi ekologis, ekonomis, dan kerugian yang tak ternilai berupa hilangnya keaneka ragaman hayati dan timbulnya korban jiwa serta kerusakan ekosistem lingkungan yang mengakibatkan bencana alam. Hal-hal tersebut diakibatkan oleh kesadaran masyarakat yang masih rendah dan adanya faktor kepentingan korporasi yang ingin meraup keuntungan berlipat ganda namun mengesampingkan kelestarian lingkungan hidup disekitarnya serta lemahnya penegakan hukum (Law Enforcement) terkait Tindak Pidana Lingkungan Hidup Itu sendiri.

(23)

mengharuskan para penegak hukum untuk berani mengambil tindakan dan memberikan ganjaran pidana yang sesuai dengan kejahatan yang dilakukannya. Majelis Hakim sebagai penegak keadilan dalam memberi putusan diharapkan dapat menciptakan putusan-putusan yang kompeten sehingga dapat menjadi yurisprudensi yang kuat dan dapat dipertanggungjawabkan untuk menyelesaikan pelanggaran/kejahatan dibidang lingkungan hidup. Penulis tertarik melakukan penelitian tentang : “IMPLEMENTASI SISTEM PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA

TERHADAP KORPORASI DALAM TINDAK PIDANA

(24)

B. RUMUSAN MASALAH

1. Bagaimana implementasi pertanggungjawaban pidana terhadap korporasi terkait tindak pidana lingkungan hidup dalam penegakan hukum di Indonesia ?

2. Apa saja kendala-kendala yang dihadapi dalam penegakan hukum lingkungan hidup ?

C. TUJUAN PENELITIAN

Penelitian ini memiliki tujuan, yaitu:5

1. Untuk mengkaji implementasi pertanggungjawaban pidana terhadap korporasi terkait tindak pidana lingkungan hidup dalam penegakan hukum di Indonesia.

2. Untuk mengetahui kendala-kendala yang dihadapi dalam penegakan hukum lingkungan hidup

5

(25)

D. TINJAUAN PUSTAKA

1. PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA

Pertanggungjawaban pidana adalah pertanggungjawaban seseorang terhadap tindak pidana yang dilakukannya. Tegasnya yang dipertanggungjawabkan orang itu adalah tindak pidana yang dilakukannya. Terjadinya pertanggungjawaban pidana karena telah ada tindak pidana yang dilakukan seseorang. Pertanggungjawaban pidana pada hakikatnya merupakan suatu mekanisme yang dibangun oleh hukum pidana untuk bereaksi terhadap pelanggaran atas kesepakatan menolak suatu perbuatan tertentu.

Sudarto mengatakan bahwa dipidananya seseorang tidaklah cukup apabila orang itu telah melakukan perbuatan yang bertentangan dengan hukum atau bersifat melawan hukum. Jadi meskipun perbuatan tersebut memenuhi rumusan delik dalam undang-undang dan tidak dibenarkan namun hal tersebut belum memenuhi syarat penjatuhan pidana. Untuk pemidanaan masih perlu adanya syarat untuk penjatuhan pidana yaitu orang yang melakukan perbuatan itu mempunyai kesalahan atau bersalah. Orang tersebut harus dipertanggungjawabkan atas perbuatannya atau jika dilihat dari sudut perbuatannya, perbuatannya baru dapat dipertanggungjawabkan kepada orang tersebut.6

Berdasarkan penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa kesalahan merupakan suatu hal yang sangat penting untuk memidana seseorang. 6

(26)

Tanpa itu pertanggungjawaban pidana tak akan pernah ada oleh sebab itu tidak heran jika dalam hukum pidana dikenal asas “tiada pidana tanpa

kesalahan”(Geen Straf Zonder Schuld) asas kesalahan ini merupakan asas

yang fundamental dalam hukum pidana dengan fundamentalnya asas tersebut, sehingga meresap dan menggema dalam hampir semua ajaran penting dalam hukum pidana.7

2. KORPORASI

Secara etimologi tentang kata Korporasi (Belanda : Corporatie, Inggris : Corporation, Jerman : Korporation) berasal dari kata

“corporatio” dalam bahasa Latin. Seperti halnya dengan kata-kata lain yang berakhiran dengan “tio”, maka corporatio sebagai kata benda (substantivum), berasal dari kata kerja corporare, yang banyak dipakai orang pada zaman abad pertengahan atau sesudah itu. Corporare sendiri berasal dari kata “corpus” (Indonesia = Badan), yang berarti memberikan badan atau membadankan. Corporatio itu berarti hasil dari pekerjaan membadankan, dengan perkataan lain badan yang dijadikan orang, badan yang diperoleh dengan perbuatan manusia sebagai lawan terhadap badan manusia, yang terjadi menurut alam.8

Berdasarkan uraian tersebut, ternyata korporasi adalah suatu badan hasil ciptaan hukum. Badan yang diciptakannya itu terdiri dari corpus, yaitu struktur fisik dan ke dalamnya hukum memasukkan unsur animus yang membuat badan itu mempunyai kepribadian. Karena badan hukum

7

Ibid

8

(27)

itu merupakan ciptaan hukum, maka kecuali penciptaannya, kematiannya pun juga ditentukan oleh hukum.9

Menurut Utrech tentang Korporasi ialah :

“suatu gabungan orang yang dalam pergaulan hukum bertindak bersama-sama sebagai suatu subyek hukum tersendiri suatu personifikasi. Korporasi adalah badan hukum yang beranggota, tetapi mempunyai hak dan kewajiban sendiri terpisah dari hak dan kewajiban anggota masing-masing”.10

Menurut Yan Pramadya Puspa yang dimaksud dengan corporatieatau korporasi adalah :

Suatu perseroan yang merupakan badan hukum; korporasi atau perseroan disini yang dimaksud adalah suatu perkumpulan atau organisasi yang oleh hukum diperlukan seperti manusia (personal) ialah sebagai pengemban (atau pemilik) hak dan kewajiban memiliki hak menggugat ataupun digugat di muka pengadilan. Contoh badan hukum itu adalah PT (Perseroan Terbatas), N.V. (namloze vennotschap), dan yayasan (stichting); bahkan negara juga merupakan badan hukum.11

Adapun pengertian korporasi dalam Ensklopedia Ekonomi, keuangan dan Perdagangan yang dihimpun oleh A. Abdurachman menyatakan :

Corporatio (korporasi; perseroan) adalah suatu kesatuan menurut hukum atau suatu badan susila yang diciptakan menurut undang-undang sesuatu negara untuk menjalankan suatu usaha atau aktifitas atau kegiatan lainnya yang sah. Badan ini dapat dibentuk untuk selama-lamanya atau untuk sesuatu jangka waktu terbatas, mempunyai nama dan identitas yang dengan nama dan identitas itu dapat dituntut di muka pengadilan, dan berhak akan mengadakan suatu persetujuan menurut kontrak dan melaksanakan semua fungsi lainnya yang

9

Ibid.,hlm 24. 10

Chidir Ali, 1987,Badan Hukum,Bandung, Alumni, Hlm 64, Dalam,Ibid.,hlm 25. 11

(28)

seseorang dapat melaksanakannya menurut undang-undang suatu negara. pada umumnya suatu Corporation dapat merupakan suatu organisasi pemerintah, atau partikelir.12

3. TINDAK PIDANA

Pengertian tindak pidana secara umum terbagi menjadi dua kelompok, yaitu kelompok yang memisahkan secara tegas antara tindak pidana dan pertanggungjawaban pidana, dan kelompok yang menyamakan antara tindak pidana dan pertanggungjawaban pidana. Moeljatno mengatakan bahwa pengertian tindak pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum larangan mana yang disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barang siapa yang melanggar larangan tersebut.13 Pada kesempatan yang lain, dia juga mengatakan dengan substansi yang sama bahwa tindak pidana adalah tindakan yang dilarang dan diancam dengan pidana, barangsiapa melanggar larangan tersebut.

Roeslan saleh mengemukakan pendapatnya mengenai pengertian tindak pidana, yaitu sebagai perbuatan yang oleh aturan hukum pidana dinyatakan sebagai perbuatan yang dilarang.14 Marshall mengatakan bahwa tindak pidana adalah tindakan atau omisi yang dilarang oleh hukum

12

A. Abdurachhman, 1963, Ensiklopedia Ekonomi Keuangan Dan Perdagangan (Inggris-Indonesia), Jakarta, Jilid I, Yayasan Prapancha, hlm 246. Dalam Muladi, dan Dwidja Priyatno, 2012, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, Bandung, Kencana Prenadamedia Group, hlm 26

13

Moeljatno, 2009,Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta, Cet ke 8, PT. RINEKA CIPTA, Hlm 59

14

(29)

untuk melindungi masyarakat, dan dapat dipidana berdasarkan prosedur hukum yang berlaku. Dalam konsep KUHP tindak pidana diartikan sebagai perbuatan melakukan atau tidak melakukan sesuatu yang oleh peraturan perundang-undangan dinyatakan sebagai perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana. Dalam konsep juga dikemukakan bahwa untuk dinyatakan sebagai tindak pidana, selain perbuatan tersebut dilarang dan diancam pidana oleh peraturan perundang-undangan, harus juga bersifat melawan hukum atau bertentangan dengan kesadaran hukum masyarakat. Setiap tindak pidana selalu dipandang bersifat melawan hukum, kecuali ada alasan pembenar. Berdasarkan beberapa pengertian dapat disimpulkan bahwa tindak pidana adalah perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana barangsiapa yang melakukannya.15

4. PIDANA ATAU PEMIDANAAN

Moeljatno mengatakan bahwa istilah “hukuman” berasal dari kata

“straf” dan istilah “dihukum” yang berasal dari kata “wordt gestraf”

merupakan istilah yang konvensional. Beliau tidak setuju dengan istilah-istilah itu dan menggunakan istilah-istilah yang inkonvensional yaitu “pidana”

untuk menggantikan kata “straf” dan “diancam dengan pidana” untuk menggantikan kata “wordt gestraf” menurut moeljatno, kalau straf

diartikan “hukuman” maka strafrecht seharusnya diartikan “hukum

hukuman”.16

15

Ibid.,hlm 97-98 16

(30)

Istilah hukuman merupakan istilah umum dan konvensional dapat mempunyai arti yang luas dan berubah-ubah karena istilah itu dapat berkonotasi dengan bidang yang cukup luas. Istilah tersebut tidak hanya sering digunakan dalam bidang hukum tetapi juga dalam istilah sehari-hari dibidang pendidikan, moral, agama dan sebagainya. Oleh karena itu pidana merupakan merupakan istilah yang lebih khusus.

Sudarto memberikan pengertian pidana sebagai penderitaan yang sengaja dibebankan kepada orang yang melakukan perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu.17 Sedangkan Roeslan Saleh mengartikan pidana sebagai reaksi atas delik, dan ini berwujud suatu nestapa yang dengan sengaja ditimpakan negara pada pelaku delik itu.18 Kamus Black’s Law Dictionary di dalamnya dinyatakan bahwa punishmentadalah :

“any fine, or penalty or confinement inflicted upon a person by

authority of the law and the judgement and sentence of a court, for some crimes or offence committed by him, or for his

omission of a duty enjoined by law”.19 (setiap denda atau hukuman yang dijatuhkan pada seseorang melalui sebuah kekuasaan suatu hukum dan vonis serta putusan sebuah pengadilan bagi kejahatan atau pelanggaran yang dilakukan

17

Sudarto, 1986,Kapita Hukum Selekta Hukum Pidana,Bandung, Alumni, Hlm 109-110 DalamIbid.,hlm 186

18

Roeslan Saleh,Stelsel Pidana Indonesia, Jakarta,Aksara Baru. DalamIbid.

19

(31)

olehnya atau karena kelalaiannya terhadap suatu kewajiban yang dibebankan oleh aturan hukum).

Berdasarkan pengertian pidana diatas dapatlah disimpulkan bahwa pidana mengandung unsur-unsur dan ciri-ciri yaitu (1) pidana itu pada hakikatnya merupakan suatu pengenaan penderitaan atau nestapa atau akibat-akibat lain yang tidak menyenangkan; (2) pidana itu diberikan dengan sengaja oleh orang atau badan yang mempunyai kekuasaan (oleh yang berwenang); dan (3) pidana itu dikenakan kepada seseorang yang telah melakukan tindak pidana menurut undang-undang; dan (4) pidana itu merupakan pernyataan pencelaan oleh negara atas diri seseorang karena telah melanggar hukum.20

E. METODE PENELITIAN

1. Jenis Penelitian/Tipe Penelitian

Penelitian ini adalah penelitian hukum normatif dengan menggunakan dua macam pendekatan analisis21 yang pertama melalui Pendekatan Peraturan Perundang-undangan (statue approach)22 sebagai dasar awal melakukan analisis dan Pendekatan Konsep (conseptual approach)23dengan cara mempelajari doktrin-doktrin dan asas-asas yang berkembang dalam ilmu hukum untuk menemukan doktrin-doktrin dan asas-asas yang relevan dengan permasalahan yang sedang diteliti yakni

20

Ibid hlm 186

21

Mukti Fajar ND, dan Yulianto Achmad,Op. cit., hlm 191 22

Ibid, hlm 185 23

(32)

tentang implementasi pertanggungjawaban pidana terhadap korporasi dalam tindak pidana lingkungan hidup menurut Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 dan perlindungan korban tindak pidana korporasi terkait pengerusakan lingkungan hidup.

2. Sumber Data

Penelitian ini menggunakan data sekunder sebagai sumber data, untuk mendapatkan sumber data tersebut peneliti menggunakan studi kepustakaan yang mengkaji bahan hukum. Bahan hukum tersebut terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier.

a. Bahan hukum primer, merupakan bahan pustaka yang berisikanperaturan perundangan yang terdiri dari :

1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

2) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

3) Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.

4) Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. 5) Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan

Terbatas

(33)

7) Surat Keputusan Gubernur Jawa Tengah No. 660.1/02/1997 tentang Baku Mutu Limbah Cair.

8) Peraturan Daerah No. 10 Tahun 2004 tentang Baku Mutu Limbah Air Limbah.

9) Peraturan Daerah Jawa Tengah No. 5 Tahun 2012 sebagai perubahan atas Peraturan Daerah No. 10 Tahun 2004 tentang Baku Mutu Limbah Air Limbah.

b. Bahan Hukum Sekunder, yaitu bahan-bahan yang erat kaitannyadengan bahan hukum primer, dan dapat membantu untuk proses analisis, yaitu :

1) Buku-buku ilmiah yang terkait. 2) Jurnal hukum terkait.

3) Doktrin, pendapat dan kesaksian dari ahli hukum baik yang tertulis maupun tidak tertulis.

c. Bahan Hukum Tersier, yaitu berupa Kamus dan ensiklopedi.

3. Narasumber

Untuk melengkapi data dari bahan-bahan hukum primer, sekunder, maupun tersier penulis menambahkan data dengan cara wawancara terstruktur dengan narasumber Bapak Dwi Hananta S.H., M.H Hakim Pengadilan Negeri Karanganyar

(34)

Teknik pengumpulan data yang digunakan oleh penulis terdiri dari 2 macam :

a. Studi pustaka yaitu dengan cara menghimpun semua peraturan perundang-undangan, dokumen-dokumen hukum dan buku-buku yang berkaitan dengan penelitian.

b. Wawancara tertulis dengan Narasumber yang berkaitan erat dengan penelitian.

5. Teknik Analisis Data

(35)

Sistematika Penulisan Skripsi

BAB I Pada bab ini berisi pendahuluan berisi penyajian materi sebagaimana diuraikan dalam bagian pokok usulan penelitian. Bab pendahuluan ini terdiri dari latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, tinjauan pustaka, dan metode penelitian.

BAB II Pada bab ini menjelaskan tentang tindak pidana lingkungan hidup dalam Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

BAB III Pada bab ini menjelaskan tentang sistem pertanggungjawaban pidana korporasi dalam hal tindak pidana lingkungan hidup di Indonesia.

BAB IV Pada bab ini menjelaskan tentang hasil analisis dan penelitian implementasi pertanggungjawaban pidana korporasi terkait tindak pidana lingkungan hidup dalam penegakan hukum di Indonesia dan kendala yang dihadapi dalam penegakan hukumnya.

(36)

BAB II

TINDAK PIDANA LINGKUNGAN HIDUP A. Tindak Pidana

1. Pengertian Tindak Pidana

Pembentuk undang-undang kita telah menggunakan perkataan strafbaarfeit untuk menyebutkan apa yang kita kenal sebagai “tindak

pidana” di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tanpa

memberikan sesuatu penjelasan mengenai apa sebenarnya yang dimaksud denganstrafbaarfeittersebut.1

Hazewinkel-suringa misalnya, telah membuat suatu rumusan yang bersifat umum dari strafbaar feit sebagai “suatu perilaku manusia yang

pada suatu saat tertentu telah ditolak di dalam suatu pergaulan hidup tertentu dan dianggap sebagai perilaku yang harus ditiadakan oleh hukum pidana dengan menggunakan sarana-sarana yang bersifat memaksa yang

terdapat di dalamnya”.2

Menurut Pompe, perkataan strafbaar feit itu secara teoritis dapat

dirumuskan sebagai “suatu pelanggaran norma (gangguan terhadap tertib

hukum) yang dengan sengaja ataupun tidak dengan sengaja telah dilakukan oleh seorang pelaku, dimana penjatuhan hukuman terhadap pelaku tersebut adalah perlu demi terpeliharanya tertib hukum dan

terjaminnya kepentingan umum”.

1

P.A.F Lamintang, 2014,Dasar-Dasar Hukum Pidana Di Indonesia,jakarta, cetakan 1, PT Sinar Grafika, Hal 179

2

(37)

Pompe pun berpendapat bahwa sangatlah berbahaya untuk mencari penjelasan mengenai hukum positif, yakni semata-mata dengan menggunakan pendapat-pendapat secara teoritis. Apabila melihat ke dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana maka akan menjumpai sejumlah besar strafbare feiten, yang dari rumusan-rumusan nya dapat diketahui bahwa tidak satupun dari strafbare feiten tersebut yang memiliki sifat-sifat umum seperti strafbaar feit, yakni bersifat wederrechetleijk, aan schuld te wijten dan strafbaar atau bersifat

“melawan hukum”, “telah dilakukan dengan sengaja ataupun tidak

dengan sengaja” dan “dapat dihukum”.

Sifat-sifat seperti dimaksud di atas perlu dimiliki oleh setiap strafbaar feit, oleh karena secara teoritis setiap pelanggaran norma atau setiap movertreding itu harus merupakan suatu perilaku atau gedraging yang telah dengan sengaja ataupun telah tidak disengaja dilakukan oleh seorang pelaku, yang di dalam penampilannya merupakan suatu perilaku yang bersifat bertentangan dengan hukum atauin strijd met het recht atau bersifatwederrechtelijk.

Sebagai contoh telah dikemukakan oleh Pompe suatu pelanggaran norma seperti yang telah dirumuskan di dalam Pasal 338 KUHP yang berbunyi :

(38)

Dikatakannya bahwa tidak setiap pembunuhan itu bersifat wederechtelijk, misalnya seseorang yang telah membunuh orang lain karena melakukan suatu pembelaan diri seperti yang dimaksud di dalam Pasal 48 KUHP.

Dikatakan selanjutnya oleh Pompe, bahwa menurut hukum positif, suatu strafbaar feit itu sebenarnya adalah tidak lain daripada suatu tindakan yang menurut suatu rumusan undang-undang telah dinyatakan sebagai tindakan yang dapat dihukum.3

Perbedaan yang ada antara teori dengan hukum positif itu sebenarnya hanyalah bersifat semu, oleh karena itu yang terpenting bagi teori itu adalah, bahwa tidak seorang pun dapat dihukum kecuali apabila tindakanya itu memang benar-benar bersifat melanggar hukum dan telah dilakukan berdasarkan suatu bentuk schuld, yakni dengan sengaja maupun tidak sengaja, sedangkan hukum positif kita pun tidak mengnal adanya suatu schuld tanpa adanya suatu wederechtelijk. Dengan demikian, sesuailah sudah apabila pendapat menurut teori dan pendapat menurut hukum positif disatukan dalam sebuah teori geen straf zonder schuld atau “tidak ada suatu hukuman dapat dijatuhkan terhadap

seseorang tanpa adanya kesengajaan ataupun ketidaksengajaan”, yang

berlaku baik bagi teori maupun bagi hukum positif.

3

(39)

2. Unsur-Unsur Tindak Pidana

Menurut ilmu pengetahuan Hukum Pidana, sesuatu tindakan itu dapat merupakaneen doen ataueen neit doenatau dapat merupakan “hal melakukan sesuatu” ataupun “ hal tidak melakukan sesuatu”, yang

terakhir ini di dalam doktrin juga sering disebut sebagaieen nelatenyang

juga berarti ”hal mengalpakan sesuatu yang diwajibkan (oleh Undang

-Undang)”.

Strafbaar feit itu oleh Hoge Raad juga pernah diartikan bukan

sebagai “suatu tindakan” melainkan sebagai suatu peristiwa atau sebagai

suatu keadaan, yaitu seperti yang dapat kita baca dari arrest-nya tanggal 19 November 1928, N.J. 1928 halaman 1671, W. 119154, dimana Hoge Raad telah menjumpai sejumlah tindak pidana di bidang perpajakan yang terdiri dari peristiwa-peristiwa atau keadaan-keadaan, dimana seseorang itu harus dipertanggungjawabakan atas timbulnya peristiwa-peristiwa atau keadaan-keadaan tersebut tanpa ia telah melakukan sesuatu kealpaan atau tanpa adanya orang lain yang telah melakukan suatu kealpaan, hingga ia harus dipertanggungjawabkan menurut hukum pidana.

Sungguh pun demikian setiap tindak pidana yang terdapat di dalam KUHP itu pada umumnya dapat dijabarkan ke dalam unsur-unsur yang pada dasarnya dapat kita bagi menjadi dua macam unsur, yakni unsur-unsur subjektif dan unsur-unsur-unsur-unsur obyektif.

4

(40)

Pengertian dari unsur subjektif itu adalah unsur yang melekat pada diri si pelaku atau yang berhubungan dengan diri si pelaku, dan termasuk ke dalamnya, yaitu segala sesuatu yang yang terkandung di dalam hatinya. Unsur objektif itu adalah unsur yang ada hubungannya dengan keadaan, yaitu di dalam keadaan mana tindakan dari si pelaku itu harus dilakukan. Unsur subjektif dari sesuatu tindak pidana itu adalah5:

a. Kesengajaan atau Ketidaksengajaan (dolusatauculpa);

b. Maksud atau voornemen pada suatu percobaan atau poging seperti yang dimaksud di dalam Pasal 53 ayat (1) KUHP;

c. Macam-macam maskud atau oogmerk seperti yang terdapat misalnya di dalam kejahatan-kejahatn pencurian, penipuan, pemerasan, pemalsuan, dan lain-lain.

d. Merencanakan terlebih dahulu atau voorbedachte raad seperti yang terdapat di dalam kejahatan pembunuhan menurut Pasal 340 KUHP;

Unsur objektif dari suatu tindak pidana itu adalah6 : a. Sifat melanggar hukum atauwederechtelijkheid;

b. Kualitas dari si pelaku, misalnya “keadaan sebagai seorang pegawai negeri” di dalam kejahatan jabatan menurut Pasal 415

atau “keadaan sebagai pengurus atau komisaris dari suatu

perseroan terbatas” di dalam kejahatan menurut Pasal 398 KUHP.

5

Ibid, hal 192 6

(41)

Kausalitas, yakni hubungan antara suatu tindakan sebagai penyebab dengan sesuatu kenyataan sebagai akibat.

B. Hukum Lingkungan Hidup 1. Pengertian Lingkungan Hidup

Definisi lingkungan hidup menurut UUPPLH Nomor 32 Tahun 2009 Tentang perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup sebagaimana tertera pada Pasal 1 angka ke 1 adalah :

“kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan makhluk

hidup, termasuk manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi alam itu sendiri, kelangsungan perikehidupan, dan kesejahteraan manusia

serta makhluk hidup lain”.

Rumusan tentang lingkungan hidup sebagaimana RM. Gatot P. Soemartono mengutip pendapat para pakar sebagai berikut :

“secara umum lingkungan diartikan sebagai segala benda, kondisi,

keadaan dan pengaruh yang terdapat dalam ruangan yang kita tempati, dan mempengaruhi hal yang hidup termasuk kehidupan manusia. Batas ruang lingkungan menurut pengertian ini bisa sangat luas, namun praktisnya dibatasi ruang lingkungan dengan faktor-faktor yang dapat dijangkau oleh manusia seperti faktor alam, faktor politik, faktor ekonomi, faktor soasial dan lain-lain”.7

7

(42)

Menurut Munadjat Danusaputro, lingkungan hidup adalah semua benda dan daya serta kondisi termasuk di dalamnya manusia dan tingkah perbuatannya yang terdapat dalam ruang dimana manusia berada dan mempengaruhi kelangsungan hidup serta kesejahteraan manusia dan jasad hidup lainnya. Dengan demikian tercakup segi lingkungan fisik dan segi lingkungan budaya.8

2. Pengaturan Hukum Lingkungan Hidup Di Indonesia

Awal sejarah pengaturan Hukum Lingkungan di Indonesia secara Komperhensif atau biasa disebut environmental law adalah dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Lingkungan (LN 1982 No.12, TLN No. 3215), yang disingkat dengan UULH yang kemudian diganti dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (LN 1997 No. 12, TLN No. 3125) yang disingkat UUPLH yang sekarang diganti dengang Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (LNRI Tahun 2009 Nomor 140 TLN nomor 5059) yang disingkat dengan UUPPLH.9

Hukum lingkungan hidup merupakan instrumen yuridis yang memuat kaidah-kaidah tentang pengelolaan lingkungan hidup. Hukum lingkungan hidup bertujuan untuk mencegah penyusutan dan

8

ST Munadjat Danusaputro, Hukum Lingkungan, Buku I : Umum, 1980, Bina Cipta, Bandung, Dalam Syahrul Machmud, 2012, Penegakan Hukum Lingkungan Indonesia Penegakan Hukum Administrasi, Hukum Perdata, Hukum Pidana Menurut Undang-Undang No. 32 Tahun 2009,Yogyakarta, Cetakan 1, Graha Ilmu, Hal 78

9

Hadin Muhjad, 2015,Hukum Lingkungan, Yogyakarta, cetakan 1, GENTA Publishing,

(43)

kemerosotan mutu lingkungan. Munadjat Danusaputro berpendapat bahwa hukum lingkungan hidup adalah konsep studi lingkungan hidup yang mengkhususkan pada ilmu hukum, dengan objek hukumnya adalah tingkat kesadaran dan pengertian masyarakat terhadap aspek perlindungan sebagai kebutuhan hidup.10

Perbedaan mendasar antara Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 adalah adanya penguatan yang terdapat dalam Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang prinsip-prinsip perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang didasarkan pada tata kelola pemerintahan yang baik karena dalam setiap proses perumusan dan penerapan instrumen pencegahan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup serta penanggulangan dan penegakan hukum mewajibkan pengintegrasian aspek transparansi, partisipasi, akuntabilitas, dan keadilan. Karenanya setiap undang-undang yang telah disebutkan hanya memuat asas-asas dan prinsip-prinsip pokok bagi pengelolaan lingkungan hidup, oleh sebab itu undang-undang

tersebut berfungsi sebagai ”payung” bagi penyusunan peraturan

perundanga-undangan lainnya. Dengan demikian UULH, UUPLH atau UUPPLH disebut sebagai“umbrella act”atau“umbrella provision”.11

Fungsi dari UULH dan UUPLH/UUPLH tersebut harus mampu menjadi dasar dan landasan bagi pembentukan peraturan perundang-undangan tentang lingkungan hidup, disamping secara khusus

10

Syahrul Machmud, 2012,Op., cithal 78 11

(44)

memberikan arah serta ciri-cirinya terhadap semua jenis tata pengaturan tentang lingkungan hidup sehingga semua peraturan perundang-undangan tentang lingkungan hidup dapat terangkum dalam satu sistem Hukum Lingkungan Indonesia.

Danusaputro memakai istilah “kesadaran lingkungan hidup”

(“environmental awwarness atau “environmental oriented”), hukum

lingkungan harus merupakan hukum yang berwawasan lingkungan sebagai ciri utama hukum lingkungan modern. Hardjasoemantri, dan karya-karya lainnya tentang hukum lingkungan menggunakan istilah wawasan lingkungan hidup dan kesadaran lingkungan hidup untuk maksud yang sama yaitu diarahkan pada penyerasian antara pemanfaatan dan pelestarian fungsi SDA dan lingkungan hidup secara berkelanjutan. Kondisi ini berlangsuang dalam satu kesatuan pengertian dan bahasa sebagai suatu sikap dan tanggapan baru dalam menghadapi setiap masalah lingkungan hidup.12

C. Jenis Tindak Pidana Lingkungan Hidup Dan Sanksinya Menurut UU No. 32 Tahun 2009

Karateristik Penegakan hukum pindana dalam Undang-Undang ini memperkenalkan ancaman hukuman pidana minimun disamping maksimum, perluasan alat bukti, pemidanaan bagi pelanggaran baku mutu, keterpaduan penegakan hukum pidana, dan pengaturan tindak pidana korporasi. Penegakan hukum pidana lingkungan tetap memperhatikan asas ultimum

12

(45)

remedium yang mewajibkan penerapan penegakan hukum pidana sebagai upaya terakhir setelah penerapan penegakan hukum administrasi dianggap tidak berhasil. Penerapan asas ultimum remedium ini hanya berlaku bagi tindak pidana formil tertentu, yaitu pemidanaan terhadap pelanggaran baku mutu air limbah, emisi, dan gangguan.

Berikut adalah tabel kategori tindak pidana lingkungan hidup yang diatur di dalam Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup Pasal 98 sampai Pasal 115 :

Tabel.1

Jenis sanksi Tindak Pidana Lingkungan Hidup Menurut Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009

1. Delik Materil Tindak Pidana Lingkungan Hidup

Pasal Perbuatan Sanksi

98 ayat (1)

engaja melakukan perbuatan yang mengakibatkan dilampauinya : baku mutu udara ambien, baku mutu air, baku mutu air laut, atau kriteria baku kerusakan lingkungan hidup.

enjara Min 3 tahun, Maks 10 tahun, dan Denda Min 3 Milyar, Maks 10 Milyar.

98 ayat (2)

erbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan orang luka dan/atau bahaya kesehatan manusia.

enjara Min 4 tahun,

Maks 12 tahun, dan Denda Min 4 Milyar, Maks 12 Milyar.

98 ayat (3)erbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan orang luka berat atau mati.

enjara Min 5 tahun, Maks 15 tahun, dan Denda Min 5 Milyar, Maks 15 Milyar.

99 ayat (1)

arena kelalaiannya mengakibatkan dilampauinya : baku mutu udara, baku mutu air, baku mutu air laut, atau kriteria baku kerusakan lingkungan hidup.

enjara Min 1 tahun, Maks 3 tahun. Dan Denda Min 1 Milyar, Maks 3 Milyar.

99 ayat (2)

erbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan orang luka dan/atau bahaya kesehatan manusia.

(46)

mengakibatkan orang luka berat atau mati. tahun. Dan Denda

Min 3 Milyar, Maks 9 Milyar.

112

enjara Maks 1 tahun. Dan Denda Maks 500 Juta

2. Delik Formil Tindak Pidana Lingkungan Hidup

100 ayat (1)

Melakukan perbuatan yang melanggar baku mutu air limbah, baku mutu emisi, atau

baku mutu gangguan. Berdasarkan Pasal 100 ayat (2) tindak pidana ini baru dapat dikenakan apabila sanksi administratif yang telah pasal 69 ayat (1) huruf g.

enjara Min 1 tahun, Maks 3 tahun. Dan Denda Min 1 Milyar, Maks 3 Milyar.

102 Melakukan perbuatan pengelolaan limbah B3 tanpa izin

enjara Min 1 tahun, Maks 3 tahun. Dan Denda Min 1 Milyar, Maks 3 Milyar

103 Melakukan perbuatan Menghasilkan limbah B3 dan tidak melakukan pengelolaan

enjara Min 1 tahun, Maks 3 tahun. Dan Denda Min1 Milyar, Maks 3 Milyar 104 Melakukan perbuatan Dumping limbah dan/atau

bahan ke media lingkungan hidup tanpa izin

enjara Maks 3 tahun. Dan Denda Maks 3 Milyar

105

Melakukan perbuatan Memasukkan limbah ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia

enjara Min 4 tahun, Maks 12 tahun.

enda Min 4 Milyar. Maks 12 Milyar

106

Melakukan perbuatan Memasukkan limbah B3 ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia

(47)

107

Melakukan perbuatan Memasukkan B3 yang dilarang menurut peraturan perundang-undangan ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia

enjara Min 5 tahun, Maks 15 tahun. Dan Denda Min 5 Milyar, Maks 15 Milyar.

108 Melakukan perbuatan Pembakaran hutan

enjara Min 3 tahun, Maks 10 tahun. Dan Denda Min 3 Milyar. Maks 10 Milyar

109 Melakukan perbuatan Melakukan usaha dan/atau kegiatan tanpa memiliki izin lingkungan

enjara Min 1 tahun, Maks 3 tahun. Dan Denda Min 1

enjara Maks 3 tahun. Dan Denda Maks 3 Milyar

111 ayat (1)

ejabat pemberi izin lingkungan yang menerbitkan izin lingkungan tanpa dilengkapi dengan amdal atau UKL-UPL

enjara Maks 3 tahun. Dan Denda Maks 3 Milyar.

111 ayat (2)

ejabat pemberi izin usaha dan/atau kegiatan yang menerbitkan izin usaha dan/atau kegiatan tanpa dilengkapi dengan izin lingkungan

enjara Maks 3 tahun. Dan Denda Maks 3 Milyar

enjara Maks 1 tahun. Dan Denda Maks 1 Milyar

114 enanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang tidak melaksanakan paksaan pemerintah

enjara Maks 1 tahun dan Denda Maks 1 Milyar

enjara Maks 1 tahun. Dan Denda Maks 500 Juta.

(48)

a. Delik materiil adalah : delik yang rumusannya memberikan ancaman pidana terhadap perbuatan yang menimbulkan akibat dari perbuatan (adanya kausalitas antara perbuatan dan akibat dari perbuatan).

b. Delik formil adalah : delik yang rumusannya memberikan ancaman pidana terhadap perbuatan yang dilarang, tanpa memandang akibat dari perbuatan.

Delik materiil terdapat pada Pasal 98, Pasal 99 dan Pasal 112, sedangkan delik formil terdapat pada Pasal 100 s/d Pasal 111 dan Pasal 113 s/d Pasal 115 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Tabel 2

Perbandingan Pengaturan Ketentuan Pidana Terkait Tindak Pidana Lingkungan Hidup dalam UU No 23 Tahun 1997 dan UU No. 32 Tahun 2009

No

Bahan Perbandingan UU No. 23 Tahun 1997 UU No. 32 Tahun 2009 1 umlah Pasal Yang Mengatur

tentang Ketentuan pidana

Pasal yaitu : Pasal 41, 42, 43, 44, 45 dan 46

(49)

perseroan, perserikatan, asal 117 : jika tuntutan pidana

(50)

BAB III

PERTANGGUNG JAWABAN PIDANA KORPORASI DALAM TINDAK PIDANA LINGKUNGAN HIDUP

A. Korporasi

1. Pengertian Korporasi

Definisi korporasi secara umum, hukum tidak hanya mengatur orang (manusia alamiah) sebagai subyek hukum, akan tetapi selain orang perseorangan dikenal pula subjek hukum yang lain, yaitu badan hukum yang padanya melekat hak dan kewajiban hukum layaknya orang perseorangan sebagai subjek hukum. Berdasarkan hal tersebut untuk mencari tahu apa yang dimaksud dengan korporasi, tidak dapat dilepaskan dari bidang hukum perdata. Ini disebabkan karena istilah

korporasi yang sangat erat kaitannya dengan istilah “badan hukum” yang

dikenal dalam bidang hukum perdata.1

Dilihat dari etimologinya (asal kata), pengertian korporasi yang dalam istilah sitilah lain dikenal dengan corporatie (Belanda), corporation (Inggris), korporation (Jerman), berasal dari bahasa latin yaitu “corporatio”.2 Terkait dengan istilah “corporatio” ini, menurut Muladi dan Dwijdja Priyatno :

“seperti halnya dengan kata lain yang berakhiran ”tio” maka

“corporatio” dianggap sebagai kata (substantivum) yang berasal dari

kata kerja “corporare” yang banyak dipakai orang pada zaman abad

1

Kristian, 2014, Hukum Pidana Korporasi Kebijakan Integral (Integral Policy) Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Di Indonesia, Bandung, cet 1, NUANSA AULIA, Hal 50

2

(51)

pertengahan atau sesudah itu. “corporare” itu sendiri berasal dari kata

“corpus” yang dalam bahasa indonesia berarti “badan”. Dengan

demikian, dapat disimpulkan bahwa corporatio dapat diartikan sebagai proses memberikan badan atau proses membadankan. Dengan

demikian, maka akhirnya “corporatio”itu berarti hasil pekerjaan

membadankan atau dengan perkataan lain, korporasi merupakan badan yang dijadikan orang, badan yang diperoleh dengan perbuatan manusia sebagai lawan terhadap badan manusia yang terjadi menurut alam.3

Kemudian menurut Satjipto Rahardjo dalam bukunya yang berjudul ilmu hukum dikemukakan secara tegas bahwa yang dimaksud dengan korporasi adalah :

“Badan yang diciptakannya itu terdiri dari corpus, yaitu struktur

fisiknya dan kedalamnya hukum memasukkan unsur animus yang membuat badan itu mempunyai kepribadian. Oleh karena badan hukum ini merupakan ciptaan hukum, maka kecuali penciptaanya, kematiannya pun ditentukan oleh hukum.4

Berbeda dengan pendapat para ahli di atas, Sutan Remi Sjahdeini menyatakan bahwa dalam mendefinisikan apa yang dimaksud dengan korporasi dapat dilihat dari artinya secara sempit, maupun melihat dalam artinya yang luas.5Sutan Remi Sjahdeini menyatakan bahwa :

“Menurut artinya yang sempit, yaitu sebagai badan hukum, korporasi merupakan figur hukum yang eksistensi dan kewenangannya untuk dapat berwenang melakukan perbuatan hukum diakui oleh hukum

3

Ibid

4

Satjipto Raharjo, 2000,Ilmu Hukum,Bandung, Citra Aditya Bakti, hlm 13 5

(52)

perdata. Artinya, hukum perdatalah yang mengakui eksistensi dari korporasi dan memberikannya hidup untuk dapat berwenang melakukan perbuatan hukum sebagai suatu figur hukum. Demikian

juga halnya dengan “matinya”korporasi. Suatu korporasi hanya mati

secara hukum apabila matinya korporasi itu diakui oleh hukum”.

Lalu pengertian luas korporasi dalam hukum pidana, Sutan Remi Sjahdeini mendefinisikan korporasi sebagai berikut :

“Dalam hukum pidana, korporasi meliputi baik badan hukum maupun

bukan badan hukum. Bukan saja badan-badan hukum seperti perseroan terbatas, yayasan, koperasi atau perkumpulan yang telah disahkan sebagai badan hukum yang digolongkan sebagai korporasi menurut hukum pidana, tetapi juga firma, persekutuan komanditer atau CV dan persekutuan atau maatschap, yaitu badan-badan uasaha

yang menurut hukum perdata bukan suatu badan hukum”.

(53)

bahawa korporasi yang dapat dipertanggungjawabkan secara pidana tidak perlu harus berbadan hukum, dalam hal ini setiap kumpulan manusia, baik dalam hubungan suatu usaha dagang ataupun usaha lain, dapat dipertanggungjawabkan secara pidana.6

Dari berbagai pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan ruang lingkup mengenai subjek hukum, yaitu korporasi sebagai subjek hukum dalam bidang hukum perdata dengan korporasi sebagai subjek hukum dalam bidang hukum pidana. Pengertian korporasi dalam bidang hukum perdata adalah “badan hukum”, sedangkan dalam hukum pidana pengertian “korporasi” bukan hanya yang berbadan

hukum, tetapi juga yang tidak berbadan hukum. Cakupan korporasi dalam hukum pidana jauh lebih luas dibandingkan dengan konsep badan hukum yang terdapat dalam konsep hukum perdata.

Dalam beberapa undang-undang yang bersifat khusus seperti yang tercantum pada pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Pasal 1 angka 10 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang dikemukakan bahwa :

“Korporasi adalah kumpulan orang dan atau kekayaan yang

terorganisasi baik merupakan badan hukum maupun bukan dan/atau badan hukum.7

6

Kristian,Op, cit.,hlm 51-52 7

(54)

2. Korporasi Sebagai Subjek Hukum

Awal dibentuknya hukum pidana positif yang berlaku di Indonesia belum mengatur tentang Korporasi sebagai subjek hukum pidana, karena KUHP sebagai hukum pidana positif yang berlaku di Indonesia hanya menentukan bahwa subjek hukum pidana hanya orang pribadi (alami). Hal tersebut berkaitan dengan pembentukan KUHP yang pada saat itu banyak dipengaruhi doktrin atau pandangan yang berpegang teguh pada adagium bahwa badan hukum tidak dapat dipidana(univesitas delinquere nonprotest8)dengan anggapan bahwa :

a. Korporasi tidak mempunyaimens rea(keinginan berbuat jahat). b. Korporasi bukan seorang pribadi meskipun korporasi dapat

melakukan berbagai perbuatan hukum yang biasanya dilakukan oleh orang pribadi.

c. Korporasi tidak memiliki kesadaran dan tidak punya badan aktual (no soul to be damned and no body kicked)

d. Korporasi tidak dapat dimintai pertanggungjawaban karena jika ada kejahatan yang dilakukan oleh direksi suatu korporasi, hal tersebut sudah pasti merupakan perbuatan di luar anggaran dasar dari korporasi yang bersangkutan, sehingga dalam hal seperti itu maka yang bertanggungjawab adalah direksinya secara pribadi atau secara bersama-sama dengan direksi lain, tetapi bukan korporasi yang harus bertanggungjawab (doktrinultra vires). 8

(55)

Seiring dengan meningkatnya peran korporasi dalam lalu lintas transaksi keuangan dan perdagangan di Indonesia dan diterimanya doktrin yang mengatakan korporasi dapat dimasukkan dalam functioneel daderschap (korporasi memiliki fungsi-fungsi seperti fungsi pemberi kerja, produsen, penentu harga, pemakai devisa dalam mengembangkan perekonomian suatu negara), maka berarti korporasi dapat menjadi subjek hukum pidana.9

S.R Sianturi10, mengatakan bahwa dalam perkembangan hukum pidana selanjutnya, bukan hanya manusia yang dianggap sebagai subjek, tetapi juga badan hukum terutama dalam hal-hal yang menyangkut :

a. Sumber keuangan negara (perpajakan, bea impor, dan ekspor barang dan lain sebagainya);

b. Pengaturan ekonomi (pengendalian harga, penggunaan cek, pengaturan perusahaan, dan lain sebagainya);

c. Pengaturan keamanan (subversi, keadaan bahaya, dan lain sebagainya).

Di Indonesia, Korporasi sebagai subjek hukum pidana mulai dikenal sejak tahun 1951, yaitu sejak diberlakukannya Undang-Undang Penimbunan Barang-Barang yang kemudian dikenal lebih luas dalam UU No. 7 Drt Tahun 1955 tentang Tidak Pidana Ekonomi. Menurut Sutan Remy Syahdeini11 bahwa Undang-Undang Darurat Nomor 17 Tahun

9

Ibid

10

SR. Sianturi, 1986,Asas-Asas Hukum Pidana Di Indonesia Dan Penerapannya,Jakarta, Alumni AHM-PTHM, hlm 218-219

11

(56)

1951 tentang Penimbunan Barang-Barang merupakan undang-Undang positif pertama yang secara resmi berpendirian bahwa suatu korporasi dapat menjadi pelaku tindak pidana.

Sistem hukum pidana di Indonesia dalam perkembangannya telah memperluas perumusan tentang perumusan korporasi sebagai subjek hukum pidana sebagaimana terlihat dari berbagai perumusan korporasi sebagai subjek tindak pidana yang dijumpai dalam beberapa ketentuan perundang-undangan seperti Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika yang mencantumkan pengertian korporasi dalam Pasal 1 sub 13 dan Pasal 1 angka 15 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang perikanan, yang pada prinsipnya merumuskan pengertian korporasi adalah kumpulan terorganisasi dari orang atau kekayaan, baik merupakan badan hukum maupun bukan. Dengan kata lain bahwa hukum positif di Indonesia telah menempatkan badan hukum dan yang bukan badan hukum sebagai subjek hukum pidana, sepanjang badan hukum dan badan yang bukan badan hukum tersebut memiliki struktur organisasi, memiliki harta kekayaan baik yang terpisah maupun tidak terpisah.12

Barda Nawawi Arief13menjelaskan bahwa :

1. Penentuan korporasi sebagai subjek tindak pidana hanya untuk tindak pidana tertentu, diatur dalam undang-undang khusus;

12

Ibid.,hal 25 13

(57)

2. Pada awalnya tidak digunakan istilah “Korporasi”, tetapi

digunakan istilah yang bermacam-macam (tidak seragam) dan tidak konsisten;

3. Istilah Korporasi mulai terlihat pada tahun 1997 dalam UU Psikotropika yang dipengaruhi oleh istilah dalam konsep KUHP 1993.

Sebagai catatan bahwa tidak seragamnya perumusan korporasi dalam peraturan perundang-undangan di luar KUHP adalah merupakan bagian dari penyesuaian terhadap perkembangan perundang-undangan yang mengatur jenis tindak pidana korporasi dalam sistem perundang-undangan untuk menanggulangi tindak pidana korporasi yang semakin meningkat.

B. Teori-Teori Pertanggungjawaban Pidana

1. Teori Pertanggungjawaban Mutlak (Strict Liability)

Prinsip tanggung jawab mutlak (no-fault liability or libility without fault) di dalam kepustakaan biasanya dikenal dengan ungkapan “absolut

liability” atau “strict liability”. Dengan prinsip tanggung jawab tanpa keharusan untuk membuktikan adanya kesalahan atau dengan perkataan

lain, suatu prinsip tanggung jawab yang memandang “kesalahan” sebagai

sesuatu yang tidak relevan untuk dipermasalahkan apakah pada

kenyataan ada atau tidak. Ungkapan atau frase “absolute liability”

(58)

berjudul The Law of Totr pada tahun 1907, sedangkan ungkapan strict liabilitydikemukakan oleh W.H. Winfield pada tahun 1926 dalam sebuah artikel yang berjudulThe Myth of Absolute Liability.14

Menurut ajaran ini pertanggungjawaban pidana dibebankan kepada yang bersangkutan dengan tidak perlu dibuktikan adanya kesalahan (kesengajaan atau kelalaian) pada pelakunya. Karena menurut ajaran Strict Liability ini pertanggungjawaban pidana bagi pelakunya tidak dipermasalahkan apakah perbuatan pidana itu dilakukan dengan terdapat pada pelakunya unsur pertanggungjawban pidana yaitu berupa kesalahan (mens rea), makastrict liabilitydisebut jugaabsolute liabilityatau dalam bahasa Indonesia pertanggungjawaban mutlak.15

Dalam RUU KUHP 1999-2000 telah memasukkan ajaran strict liabilityini dalam Pasal 32 ayat (3), yang berbunyi seperti berikut :

“untuk tindak pidana tertentu, undang-undang dapat menentukan bahwa seseorang dapat dipidana semata-mata karena telah dipenuhinya unsur-unsur tindak pidana tersebut tanpa adanya

kesalahan”

Menurut Sutan Remy Sjahdeini16, ajaran strict liability ini dalam hanya diberlakukan terhadap tindak pidana tertentu saja, yaitu tindak pidana atau perbuatan pidana :

a. Tindak pidana pelanggaran, atau b. Tindak pidana kejahatan yang : 14

Muladi, dan Dwidja Priyatno,Op. cit.,hlm 111-113 15

Syahrul Mahmud,Op.cit.,hlm 141 16

(59)

1. Telah mengakibatkan kerugian terhadap keuangan atau perekonomian negara, atau

2. Telah menimbulkan gangguan ketertiban umum (ketentraman publik) atau

3. Telah menimbulkan kematian massal, atau telah menimbulkan derita jasmaniah secara massal yang berupa kematian, atau

4. Telah menimbulkan kerugian keuangan massal, atau telah menimbulkan kerusakan atau pencemaran lingkungan, atau 5. Tindak pidana yang berkaitan dengan kewajiban

pembayaran pajak.

Berdasarkan penjelasan yang ada dapat dilihat bahwa teori pertanggungjawaban mutlak dapat dibebankan kepada seseorang yang telah melanggar unsur-unsur tindak pidana dalam suatu ketentuan pidana tertentu dan tidak diperlukan pembuktian adanya suatu kesalahan pada pelakunya.

2. Teori Pertanggungjawaban Pengganti (Vicarious liability)

Teori atau ajaran atau doktrin ini diambil dari hukum perdata dalam konteks pertanggung jawaban perbuatan melawan hukum yang diterapkan pada hukum pidana.

(60)

Dalam perbuatan-perbuatan perdata, seorang majikan bertanggungjawab untuk kesalahan-kesalahan yang dilakukan oleh bawahannya sepanjang hal itu terjadi dalam rangka pekerjaannya. Hal ini memberikan kemungkingan kepada pihak yang dirugikan karena perbuatan-perbuatan melawan hukum dari mereka itu untuk menggugat majikannya agar membayar ganti rugi apabila dapat dibuktikan pertanggungjawabannya.17 Ajaran vicarious liability merupakan pengembangan yang terjadi dalam hukum pidana, karena ajaran ini menyimpang dari asas umum yang berlaku dalam sistem hukum common law bahwa seseorang tidak dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatan yang dilakukan tanpa sepengetahuannya atau tanpa otorisasi. Berdasarkan ajaran vicarious liability ini pihak lain dapat dipertanggungjawabkan secara pidana atas perbuatan pihak lain.

Berkaitan dengan korporasi, maka suatu korporasi dimungkinkan bertanggung jawab atas perbuatan-perbuatan yang dilakukan oleh pegawainya, kuasanya, mandatarisnya, atau siapapun yang bertanggung jawab kepada korporasi tersebut.

Penerapan doktrin ini hanya dilakukan setelah dapat dibuktikan bahwa memang terdapat hubungan subordinasi antara majikan dan orang yang melakukan tindak pidana tersebut.

17

(61)

3. Teori Identifikasi

Teori atau doktrin ini mengajarkan bahwa untuk dapat mempertanggungjawabkan pidana kepada suatu korporasi harus mampu diidentifikasi siapa yang melakukan tindak pidana tersebut dan apabila tindak pidana itu dilakukan oleh mereka yang merupakan directing mind dari korporasi tersebut, maka baru pertanggungjawaban dari tindak pidana itu dapat dibebankan kepada korporasi. Teori atau doktrin ini memberikan alasan pembenar bagi pembebanan pertanggungjawaban pidana kepada korporasi yang notabene tidak dapat berbuat dan tidak mungkin memilikimens reakarena tidak memiliki kalbu.18

Secara formal yuridisdirecting minddari korporasi dapat diketahui dari anggaran dasar korporasi tersebut. selain daripada itu dapat pula diketahui dari surat-surat keputusan pengurus yang berisi pengangkatan pejabat-pejabat atau para manager untuk mengisi jabatan-jabatan tertentu (misalnya untuk menjadi kepala kantor cabang atau kepala divisi dari korporasi yang bersangkutan) dan pemberian wewenang untuk melaksanakan tugas dan kewajiban yang terkait dengan jabatan tersebut. Pada penerapannya sering juga terjadi bahwa pengurus formal korporasi (dalam hal korporasi adalah suatu perseroan terbatas, pengurus yang dimaksud adalah direksi perseroan) berada di bawah pengaruh kendali formal yang sangat kuat dari orang-orang yang secara yuridis formal bukan pengurus. Orang-orang tertentu yang sekalipun menurut anggaran

18

Gambar

Tabel.1Jenis sanksi Tindak Pidana Lingkungan Hidup Menurut Undang-Undang
Tabel 2
Tabel.2

Referensi

Dokumen terkait

perencanaan, melaksanakan pengajaran, dan memberi balikan 2 Muhammad Ali, 1992:9) Dalam suatu perencanaan guru diharapkan merumuskan tujuan yang hendak dicapai,

Diharapkan dengan literasi media sosial dapat menumbuhkan kesadaran akan pentingnya menjadi pengguna media sosial yang bertanggung jawab dan dapat dijadikan bekal

Ditinjau dari perilaku seksual berisiko pada sopir angkutan umum sebagian kecil memiliki hubungan pasangan seksual selain dengan istri, dalam perilaku seksual tersebut

Berdasarkan hasil analisis regresi berganda yang dilakukan pada penelitian ini dapat disimpulkan bahwa Current Ratio (CR), Net Profit Margin (NPM), dan

Limbah cair adalah gabungan atau campuran dari air dan bahan-bahan pencemar yang terbawa oleh air, baik dalam keadaan terlarut maupun tersuspensi yang terbuang

Quilliam et al (2012) reported the activity of soil microorganisms by soil respiration, saying that reapplication of biochar significantly increased the level of basal

Pada bab ini akan membahas hasil penelitian dan pembahasan sebagai tindak lanjut hubungan pengetahuan dengan keaktifan ibu dalam mengikuti kelas ibu balita di

Hasil penelitian ini me- nandakan bahwa keragaman bahan tanam setek berpengaruh lebih besar terhadap ke- tiga komponen pertumbuhan batang tersebut dan berpengaruh