Representasi Perempuan dalam Film True Grit (Studi Analisis Semiotika Perempuan dalam Film True Grit)
SKRIPSI
(Disusun untuk memenuhi persyaratan dalam memperoleh gelar Sarjana Srata 1 Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Jurusan Ilmu Komunikasi – Universitas
Muhammadiyah Yogyakarta)
Disusun Oleh : Teuku Iqbal Fahmie
20120530104
JURUSAN ILMU KOMUNIKASI FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
iii
HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI
Saya yang bertanda tangan dibawah ini:
Nama : Teuku Iqbal Fahmie NIM : 20120530104
Fakultas : Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Jurusan : Ilmu Komunikasi
Konsentrasi : Public Relations
Universitas : Universitas Muhammadiyah Yogyakarta
Menyatakan bahwa skripsi ini adalah hasil karya saya sendiri dan seluruh sumber yang dikutip maupun dirujuk telah saya nyatakan dengan benar. Apabila dikemudian hari karya saya ini terbukti merupakan plagiat/menjiplak karya orang lain maka saya bersedia dicabut gelar kesarjanaanya.
Yogyakarta, 21 Desember 2016
iv
HALAMAN PERSEMBAHAN
Kupersembahkan Karya ini untuk : Abu dan Mama
v
MOTTO
Dan Barang siapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Allah akan
memberinya jalan keluar dari setiap kesulitan yang dihadapinya, dan
memberinya rezeki dari arah yang tidak terduga-duga.
vi
KATA PENGANTAR
Segala puji hanya milik Allah Rabb semesta alam. Shalawat dan salam senantiasa tercurah ke haribaan hamba dan utusan-Nya, Muhammad bin ‘Abdullah, penutup para Nabi, beserta keluarganya yang suci, para Sahabatnya
yang mulia dan segenap umatnya yang mengikuti petunjuk beliau hingga hari akhir.
Alhamdulillah, dengan izinNya penulis berhasil menyelesaikan skripsi yang berjudul “Representasi Perempuan dalam film True Grit tahun 2010”.
Adapun tujuan dari penyusunan skripsi ini adalah untuk memperoleh gelar sarjana (S-1) Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih banyak kelemahan dan kekurangan yang perlu diperbaiki. Dengan rasa hormat, penulis menyampaikan maaf yang sedalam-dalamnya. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun sangat diperlukan penulis dalam menciptakan proses pembelajaran yang baik bagi penulis dan sebagai sarana perbaikan karya tulis di masa yang akan datang. Tidak lupa penulis juga berterimakasih yang sebesar-besarnya kepada berbagai pihak yang yang telah mencurahkan waktu dan pikirannya, sehingga penulis bisa menyelesaikan skripsi ini. Untuk itu, dengan segenap kerendahan hati penulis ingin mengucapkan terimakasih kepada :
vii
2. Ibu Firly Annisa, S.IP., MA. selaku dosen pembimbing I yang telah banyak membantupenulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Terima kasih untuk setiap ilmu dan nasehat yangdiberikan atas penelitian ini.
3. Ibu Wulan Widyasari, S.Sos., MA. selaku dosen penguji I. Terima kasih telah meluangkanbanyak waktu selama ujian maupun selama penulis menyusun skripsi ini.
4. BapakBudi Dwi Arifianto, S.sn., M.Sn. selaku dosen penguji II. Terima kasih telah meluangkanbanyak waktu selama ujian maupun selama penulis menyusun skripsi ini.
5. Kedua Orang tuapenulis yang telah memberikan dukungan do’a tak terhingga sehingga Skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik.
6. Bapak/ Ibu Dosen Jurusan Ilmu Komunikasi terima kasih atas ilmu yang telah diberikanselama di bangku perkuliahan.
7. Bapak Mujono, Pak Muryadi dan Mba Siti, TU Jurusan Komunikasi, atas kemudahannya melengkapiberkas administrasi dan senantiasa memberikan informasi demi kelancaran jalannya skripsi.
viii
Penulis berharap semoga penelitian ini dapat member manfaat dan dapat dikembangkan untuk penelitian – penelitian lain di masa yang akan datang. Penulis menyadari bahwa penelitian ini masih memiliki banyak kekurangan karena keterbatasan waktu dan pengetahuan penulis. Dengan dasar itu penulis mengharapkan saran dan kritik yang membangun agar penelitian ini menjadi lebih berkualitas.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
Yogyakarta, 21 Desember 2016 Penulis
ix
3. Ketidakadilan dalan Bias Gender ... 15
F. Metode Penelitian ... 20 A. Perempuan Amerika Serikat Pada Tahun 1800 - 1863 ... 30
B. Perempuan dalam Film Western ... 39
x
D. Sinopsis Film True Grit ... 45 E. Penelitian Terdahulu ... 48
BAB III PEMBAHASAN
1. Perempuan Hidup Atas Stereotipe Laki - Laki ... 55 2. Perempuan Masih Membutuhkan Bantuan Laki - Laki ... 63 3. Perempuan Ideal dalam Film Western adalah perempuan yang menggunakan simbol Laki
- Laki ... 67
BAB IV PENUTUP
A. Kesimpulan ... 73 B. Saran ... 74
xi
DAFTAR TABEL
xii
DAFTAR GAMBAR
Keterangan Gambar 1: Cover Film True Grit ... 42
Keterangan Gambar 2: Saat pertama kali Mattie Rose melihat jenazah ayahnya ... 56
Keterangan Gambar 3: Mattie Rose bertemu dengan seorang Sheriff ... 58
Keterangan Gambar 4: Mattie Rose sedang berdialog dengan seorang pendeta ... 60
Keterangan Gambar 5: Mattie Rose datang ke sebuah pengadilan untuk melihat Rooster ... 63
Keterangan Gambar 6: Mattie Rose bertemu Rooster ... 64
Keterangan Gambar 7: Mattie Rose menggunakan pakaian koboi ... 67
xiii
DAFTAR BAGAN
Bagan 1: Klasifikasi Biner ... 16
Bagan 2: Signifikasi Dua Tahap Roland Barthes ... 23
Bagan 3: Metabahasa ... 25
Bagan 4: Konotasi ... 25
Bagan 5: Klasifikasi Biner ... 27
xiv
(Studi Analisis Semiotika Pemimpin Perempuan dalam Film True Grit) Tahun skripsi : 2016 + 81 Halaman+ 2 Tabel + 6 Bagan+ 23 Gambar Daftar kepustakaan : 22 Buku + 5 Jurnal + 9 Buku online & Internet + 3 Skripsi + 3 Tesis
Dalam film bergenre Western umumnyapada keseluruhan cerita selalu menampilkan tokoh laki – laki (koboi) sebagai pemeran utama, laki – laki dikonstruksikan sebagai simbol utama dalam film bergenre Western, Sedangkan perempuan selalu mendapatkan inferior di mana perannya marginal, meskipun memiliki peran, perempuan selalu ditampilkan berperan yang marjinal dalam sebuah film bergenrekan Western. Namun diantara film bergenre Western terdapat film yang menampilkan perempuan yang mempunyai peran penuh dalam keseluruhan cerita yang dimiliki oleh laki - laki. Film tersebut ialah True Grit menceritakan tentang seorang anak perempuan yang masih berumur 14 tahun bernama Mattie Rose dimana ingin mendapatkan keadilan atas kematian ayahnya yang telah di bunuh oleh seorang bandit dengan cara mencari dan menangkap sang bandit agar diadili. Dalam film ini perempuan di tampilkan berbeda dengan tokoh perempuan umumnya pada film genre Western, tokoh perempuan dalam film ini memiliki peran yang tidak marginal pada keseluruhan ceritanya. Penelitian bertujuan untuk mengetahui bagaimana perempuan direpresentasikan dalam film True Grit.
Pada penelitian ini, jenis penelitiannya adalah kualitatif serta menggunakan metode analisis semiotika signifikasi dua tahap denotasi dan konotasi Roland Barthes untuk mengetahui tanda – tanda yang terdapat dalam film tersebut melalui analisis per adegan gambar film. Penelitian ini menyimpulkan bahwa meskipun perempuan memiliki peran penuh pada keseluruhan cerita namun tetap saja bahwa perempuan ditampilkan dalam film genre Western musti mengikuti bentukan dari budaya laki – laki patriarkal, di mana perempuan dalam film Western itu idealnya harus menggunakan simbo – simbol laki – laki dan hal – hal lainnya yang berhubungan dengan budaya laki – laki patriarki. Artinya perempuan pada akhirnya masih saja berada pada kontrol laki – laki yang memiliki kekuasaan.
xv
Representation of Women in The True Grit Movie
(Study Semiotic Analysis of Women in The True Grit Movie)
Year of Thesis : 2016 + 81 Page + 2 Tables + 6 Chart + 23 Pictures List of literature 22 books + 5 Journals + 9 Online Sources + 3Essay + 3 Theses
In movie with Western genre, generally the whole story always show western movie the male figure (cowboy) as the main actor, men constructed as a symbol in the movie, while women always get inferior in marginal role. Even if she has a role, women are always displayed as a personwho tends to get a gender bias. But among the Western genre films are films that show women who had a full role in the overall story that is owned by mens. The True Grit tells the story of a girl who was 14 years old named Mattie Rose where want to get justice for the death of his father who had been killed by a bandit with a way to find and arrest the bandits are prosecuted. In this film women are show different from another figures are generally in the Western genres. The women characters in this movie have a role that is not marginal to the overall story. The purpose of this study is to determine how women as the main role are represented in the movie.
This Study used qualitative approach with two stages semiotic analysis method, denotation and connotation Roland Barthes to know the signs contained in the film through the analysis scene by scene. The study concluded that although women have a full role in the whole story, but nonetheless that the women featured in the film genre of Western must follow the formation of a culture of mens patriarchal, where women in the movie Western was ideally should use the symbol - symbol of mens and things of other matters relating to the culture of mens patriarchy. This means that women in the end still be in control of mens who have power.
ABSTRAK
(Studi Analisis Semiotika Pemimpin Perempuan dalam Film True Grit) Tahun skripsi : 2016 + 81 Halaman+ 2 Tabel + 6 Bagan+ 23 Gambar Daftar kepustakaan : 22 Buku + 5 Jurnal + 9 Buku online & Internet + 3 Skripsi + 3 Tesis
Dalam film bergenre Western umumnyapada keseluruhan cerita selalu menampilkan tokoh laki – laki (koboi) sebagai pemeran utama, laki – laki dikonstruksikan sebagai simbol utama dalam film bergenre Western, Sedangkan perempuan selalu mendapatkan inferior di mana perannya marginal, meskipun memiliki peran, perempuan selalu ditampilkan berperan yang marjinal dalam sebuah film bergenrekan Western. Namun diantara film bergenre Western terdapat film yang menampilkan perempuan yang mempunyai peran penuh dalam keseluruhan cerita yang dimiliki oleh laki - laki. Film tersebut ialah True Grit menceritakan tentang seorang anak perempuan yang masih berumur 14 tahun bernama Mattie Rose dimana ingin mendapatkan keadilan atas kematian ayahnya yang telah di bunuh oleh seorang bandit dengan cara mencari dan menangkap sang bandit agar diadili. Dalam film ini perempuan di tampilkan berbeda dengan tokoh perempuan umumnya pada film genre Western, tokoh perempuan dalam film ini memiliki peran yang tidak marginal pada keseluruhan ceritanya. Penelitian bertujuan untuk mengetahui bagaimana perempuan direpresentasikan dalam film True Grit.
Pada penelitian ini, jenis penelitiannya adalah kualitatif serta menggunakan metode analisis semiotika signifikasi dua tahap denotasi dan konotasi Roland Barthes untuk mengetahui tanda – tanda yang terdapat dalam film tersebut melalui analisis per adegan gambar film. Penelitian ini menyimpulkan bahwa meskipun perempuan memiliki peran penuh pada keseluruhan cerita namun tetap saja bahwa perempuan ditampilkan dalam film genre Western musti mengikuti bentukan dari budaya laki – laki patriarkal, di mana perempuan dalam film Western itu idealnya harus menggunakan simbo – simbol laki – laki dan hal – hal lainnya yang berhubungan dengan budaya laki – laki patriarki. Artinya perempuan pada akhirnya masih saja berada pada kontrol laki – laki yang memiliki kekuasaan.
ABSTRACT
Representation of Women in The True Grit Movie
(Study Semiotic Analysis of Women in The True Grit Movie)
Year of Thesis : 2016 + 81 Page + 2 Tables + 6 Chart + 23 Pictures List of literature 22 books + 5 Journals + 9 Online Sources + 3Essay + 3 Theses
In movie with Western genre, generally the whole story always show western movie the male figure (cowboy) as the main actor, men constructed as a symbol in the movie, while women always get inferior in marginal role. Even if she has a role, women are always displayed as a personwho tends to get a gender bias. But among the Western genre films are films that show women who had a full role in the overall story that is owned by mens. The True Grit tells the story of a girl who was 14 years old named Mattie Rose where want to get justice for the death of his father who had been killed by a bandit with a way to find and arrest the bandits are prosecuted. In this film women are show different from another figures are generally in the Western genres. The women characters in this movie have a role that is not marginal to the overall story. The purpose of this study is to determine how women as the main role are represented in the movie.
This Study used qualitative approach with two stages semiotic analysis method, denotation and connotation Roland Barthes to know the signs contained in the film through the analysis scene by scene. The study concluded that although women have a full role in the whole story, but nonetheless that the women featured in the film genre of Western must follow the formation of a culture of mens patriarchal, where women in the movie Western was ideally should use the symbol - symbol of mens and things of other matters relating to the culture of mens patriarchy. This means that women in the end still be in control of mens who have power.
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Perempuan di Amerika Serikat dalam sejarahnya khususnya pada tahun 1800an dimana pada tahun itu di Amerika Serikat dikenal sebagai tahun ekonomi berkembang. Menurut Howard Zinn dalam A People History of the United States, 1492-present. Laki-laki memiliki sifat yang agresif dan juga lebih mendominasi pekerjaan berkaitan dengan pekerjaan di luar rumah. Sedangkan perempuan pada saat itu menghabiskan waktu penuhnya setiap hari di rumah karena di luar dianggap berbahaya bagi kaum perempuan, selain itu perempuan juga di tuntut untuk bersikap penurut terhadap laki-laki.
2
Film sebagai produk dari media massa mampu memberikan suguhan visual yang menarik untuk dinikamati sebagai media hiburan oleh khalayaknya. Dengan esensi-esensi yang terdapat dalam film seperti genre film dan lainnya, selain sebagai media hiburan, film juga dapat berfungsi sebagai media informatif, edukatif dan terkadang persuasif (Ardiyanto dan Erdinaya, 2004: 136). Selain itu film juga mampu merepresentasikan sesuatu yang ada di sekitar kehidupan kita, baik itu orang, fenomena, peristiwa, sejarah, masalah sosial dan lain-lainnya kepada khayalak.
Film bergenre Western adalah film yang berlatar belakang kehidupan Amerika Serikat pada abad ke-17 hingga abad ke 19, dekat dengan kondisi yang sangat kelam dimana terjadi perbudakan dimana-mana, kekerasan, pembunuhan, rasisme dan juga termasuk pada penindasan terhadap perempuan. Sebab pada saat itu budaya patriarki dimana laki-laki dianggap mempunyai superioritas yang tinggi dan sarat keberadaannya. Film bergenre western dapat merepresentasikan keadaan perjuangan pemenuhan hak-hak bagi perempuan (Women Right) pada saat itu karena tepat dengan waktu perjuangan perempuan di Amerika Serikat yang di mulai pada abad ke- 17 hingga abad ke- 19.
3
menyebabkan film Western begitu populer adalah kisah kehidupan nyata para koboi yang telah melegenda di daerah barat Amerika Serikat yang membuat film genre Western semakin menarik dan menjadi salah satu genre film populer diantara genre –genre film lainnya (Andriadi, 2014:3).
Secara umum tokoh koboi dalam film genre Western dikenal sebagai tokoh laki-laki yang kuat, pemberani, pemberontak, agresif dan menekankan nilai-nilai kejantanaan seperti mempunyai kekuasaan diantara kelompoknya dan lain-lain, dominasi tersebut telah di kenal secara universal. Selain itu anggapan tersebut juga telah terkonstruksi secara sosial serta melalui proses kultur yang panjang. Tokoh koboi dalam film western berkaitan dengan kisah kehidupan nyata para koboi legendaris seperti Kit Carson, Wild Bill, Hickok, Butch Cassidy, dan Jesse James (Andriadi, 2014:3) sehingga peran perempuan cenderung termarjinalkan dalam keseluruhan cerita dalam film western.
4
True Grit adalah film genre Western yang di produksi tahun 2010 oleh Paramount Pictures dan Sky Dance Productions, di sutradarai oleh Coen bersaudara Joel Coen & Ethan Coen, di produseri oleh Steven Spielberg. Film ini di buat ulang pada tahun 2010 dimana sebelumnya di produksi untuk pertama kalinya pada tahun 1969, film ini sebelumnya sudah populer pada tahun 1969 di buktikan dengan mendapatkan penghargan 1 piala oscars, dan 7 nominasi dari penghargaan lainnya. Sedangkan film yang dibuat kembali pada tahun 2010 mendapatkan 10 nominasi oscars, memenangkan 36 penghargaan, dan 146 nominasi dari ajang penghargaan lainnya, Selain itu menurut situs online IMBD.com, film True Grit adalah film yang mendapatkan peringkat pertama dalam Best Western Film Since 2000.
5
Dalam film genre Western perempuan pada umumnya dikenal sebagai sosok atau peran yang termarjinalkan dan dipandang inferior. Secara tidak langsung sosok perempuan dianggap terbatas dalam melakukan pekerjaan atau hal lainnya yang biasa dilakukan oleh laki-laki. Sehingga bias gender pun tidak terhindarkan dan menimbulkan ketidakadilan yang dialami oleh perempuan itu sendiri.
Gender selalu dikaitkan dengan jenis kelamin serta menurut pembagian kerja seksual dan perannya masing-masing dalam kehidupan sosial. Pemahaman untuk dapat membedakan pengertian yang mendasar antara laki-laki dan perempuan menurut jenis kelamin dan gender masih begitu tabu dalam pola fikir masyarakat. Dimana sifat-sifat yang melekat pada perempuan dan laki-laki telah terkonstruksi secara sosial dan melalui proses kultur yang panjang dengan didukung oleh kelembagaan keluarga, bahkan budaya dan tradisi sehingga perbedaan gender selalu dipahami sebagai ketentuan Tuhan seperti halnya pengertian jenis kelamin (Fakih, 2006:8).
6
Konstruksi sosial tersebut menimbulkan bias gender dalam kehidupan sosial perempuan, dimana perempuan dianggap inferior dalam melakukan pekerjaan yang biasa dilakukan oleh laki-laki termasuk dalam memperjuangkan keadilan dan hak-hak yang seharusnya mutlak terpenuhi secara penuh. Hal tersebut terjadi secara universal dan secara umum dan tidak di sadari oleh masyarakat sebab konstruksi sosial yang sudah terjadi sejak lama dan melalui prores kultur yang panjang. Sehingga bias gender tersebut menimbulkan ketidakadilan terhadap perempuan itu sendiri dalam berbagai aspek kehidupan di tengah – tengah masyarakat.
7
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut: “Bagaimana perempuan direpresentasikan dalam
Film True Grit (2010) ?”.
C. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana perempuan direpresentasikan dalam film True Grit (2010)
D. Manfaat Penelitian
Manfaat dari Penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Manfaat Teoritis
Secara teoritis penelitian ini diharapkan dapat memberikan pengetahuan serta wawasan yang baru mengenai representasi perempuan dalam genre film Western.
2. Manfaat Praktis
8
E. Kajian Teori
1. Perempuan dalam Film
Eksistensi perempuan dalam film selalu menjadi perbincangan dan perdebatan bagi para kritikus film, akademisi, gerakan perempuan serta khalayak umum. Opini-opini yang muncul mengenai penggambaran perempuan pada umumnya dalam film terbentuk melalui bagaimana peran yang dimainkan oleh perempuan itu sendiri dalam sebuah film, secara tekstual hal tersebut adalah tampilan lahiriah yang sedemikian rupa di ciptakan oleh orang – orang yang bertanggung jawab di balik layar.
Selain hal – hal yang terkait tampilan lahiriah yang terdapat dalam film yang melatar belakangi bagaimana penggambaran perempuan dalam film. Juga terdapat konteks, artinya bagaimana perempuan ditampilkan dalam sebuah film juga dibentuk berdasarkan suatu ideologi, budaya, propaganda, mitos dan lainnya yang ada dalam kehidupan nyata. Hal – hal tersebut lebih kental dan dekat kaitannya dengan budaya laki - laki patriarkal karena secara universal memang patriarki berawal dari kelembagaan keluarga dimana seorang ayah mempunyai keistimewaan dan superioritas dalam mengambil keputusan terhadap keluarganya.
9
merefleksikan budaya dominan patriarki dimana mengharuskan perempuan dalam film harus diperankan secara khusus dalam film, penguasa dalam film bisa jadi adalah seorang produser, sutradara, casting director atau pihak lainnya yang mempunyai kepentingan utama dalam film dimana pada umumnya adalah laki-laki yang dianggap mempunyai kekuasaan dalam mengambil keputusan dalam hal ini bagaimana perempuan itu sendiri di tampilkan di dalam film bagaimana perannya dan lain-lainnya.
Dalam perspektif feminis yang dikemukakan oleh mulvey dalam (Nadhifah, 2011:18) dari bukunya yaitu Visual Pleasure and Narrative Cinema menjabarkan bagaimana perempuan dalam film ditampilkan berdasarkan bentukan dari sistem patriarki sosial dimana tokoh perempuan dalam film bukanlah sebagai pencipta makna, melainkan hanyalah sebagai pembawa makna, dengan begitu perempuan berperan dalam film dibentuk oleh laki-laki, artinya peran perempuan dalam film cenderung di tentukan oleh laki-laki oleh karena itu tidak jarang bahwa kita melihat perempuan hanya sebagai objek dari sebuah film, dan jarang menjadi subjek utama.
10
Mulvey juga memperkenalkan istilah Narcisstic identification yaitu penonton yang mengidentifikasi dirinya dengan tokoh - tokoh utama laki-laki yang ada di dalam film dengan pengidentifikasian tersebut. Penonton laki-laki seolah-olah mendapatkan kendali penuh atas pemeran perempuan dan aksi yang terdapat pada film. Penonton laki-laki dapat memuaskan egonya untuk berkuasa dan merasa sebagai pemegang kendali atas apa yang dilihat oleh tokoh utama laki-laki dalam layar (Nadhifah, 2011:19).
Gambaran umum mengenai perempuan dalam film dengan fokus kepada bagaimana keterlibatan perempuan itu sendiri secara keseluruhan dalam film dimana berdasarkan bentukan dari laki-laki ternyata juga dibenarkan oleh perempuan itu sendiri (Irawan, 2014:5). Dalam hal ini ada kemungkinan tertentu mengapa perempuan membenarkan hal tersebut, yang pertama adalah terdapat pola fikir yang umum dimiliki oleh perempuan itu sendiri mengenai narsisme dimana perempuan harus tampil untuk eksistensinya, sementara tanpa disadari mereka telah menjadi komodifikasi di dalam film dimana tubuh, penderitaan, serta hal-hal yang membuat perempuan itu sendiri terlihat inferior adalah komoditinya.
2. Representasi Media
11
analogikan dengan huruf X dan Y, X sebagai representamen (secara harfiah berarti yang merepresentasikan), sedangkan Y adalah obyek yang direpresentasikan. Makna – makna yang telah dapat dibentuk dari representasi di analogikan dalam bentuk (X = Y) yang disebut interpretan, sedangkan keseluruhan dalam proses menentukan makna representasi disebut interpretasi (Danesi, 2011:20).
Representasi menurut Barker (dalam Vera, 2014:97) adalah konstruksi sosial yang mengharuskan kita mengeksplorasi pembentukan makna tekstual dan menghendaki penyelidikan tentang cara dihasilkannya makna pada beragam konteks, representasi dan makna budaya memiliki materialitas tertentu, mereka melekat pada bunyi, prasasti, obyek, citra, buku, majalah, dan program televisi.
12
Dalam proses kerja representasi khususnya yang berkaitan dengan media, bagaimana media menampilkan atau menghadirkan kembali suatu realitas, budaya, gagasan, orang, serta peristiwa tergantung pada aspek-aspek yang mempengaruhinya, apakah sesuatu direpresentasikan dengan makna yang sebenarnya atau terdapat unsur yang dikurangi dan ditambah dalam penyajiannya, dan siapakah yang bertanggung jawab dalam proses representasi tersebut. Untuk itu diperlukan suatu pendekatan yang sesuai dengan konteks representasi yang di inginkan.
Agar mendapatakan keseluruhan representasi yang sesuai dan tepat dengan konteks representasi yang diinginkan maka dibutuhkan suatu pendekatan khusus dalam representasi sebagai acuan dalam merepresentasikan sesuatu, berikut terdapat tiga pendekatan representasi menurut Stuart Hall (1997):
1. Reflektif adalah: yang berkaitan dengan pandangan atau makna tentang representasi yang entah dimana ‘di luar sana’ dalam masyarakat sosial kita 2. Intensional adalah: yang menaruh perhatian terhadap pandangan
kreator/produser representasi tersebut.
3. Konstruksionis adalah: yang menaruh perhatian terhadap pandangan bagaimana representasi dibuat melalui bahasa, termasuk kode-kode visual (Burton, 2008:136).
13
Sedangkan pendekatan intensional menjelaskan bagaimana bahasa tidaklah mencerminkan suatu makna dengan sendirinya melainkan terdapat seseorang yang bertanggung jawab terhadap representasi itulah yang berperan penting dalam menyampaikan suatu representasi yang ada, dalam hal ini adalah seorang yang berkuasa terhadap sesuatu yang direpresentasikan itu, dengan kata lain bahasa bekerja untuk menciptakan suatu makna atas ketentuan seseorang yang menciptakan suatu representasi yang ada (Hall, 1997:10).
14
Dari tiga penjabaran pendekatan dalam representasi di atas, peneliti memlih pendekatan konstruksionis sebagai pendekatan yang sesuai dengan konteks penelitian peneliti, dimana dalam memproduksi suatu makna selain melalui bahasa juga melalui visual atau gambar dengan meliputi tanda-tanda lainnya yang dapat dikonstruksi sehingga dapat memproduksi makna secara keseluruhan.
“Menurut Graeme Turner dalam (Irawanto, 1999:14). makna film adalah sebagai representasi dari realitas masyarakat. Berbeda dengan film sekedar sebagai refleksi dari realitas, refleksi dalam film hanya sekedar “memindah” realitas ke layar tanpa mengubah realitas itu. Film membentuk dan “menghadirkan kembali” realitas berdasarkan kode -kode, konveksi-konveksi dan ideologi dari kebudayaan” (Sobur, 2006:128).
15
tanda dibentuk untuk memahami makna yang ada melalui mata kamera dari sudut dan ruang yang tertentu.
3. Ketidakadilan dalam Bias Gender
Perbedaan antara laki-laki dan perempuan harus dipisahkan menurut jenis kelamin dan gender agar tidak terdapat kerancuan dalam pemahamannya. Menurut definisi jenis kelamin laki-laki dan perempuan dibedakan dari unsur biologis yang telah ditetapkan oleh kodrat Tuhan diantara keduanya. Sedangkan dalam agenda gender laki-laki dan perempuan dikonstruksi secara sosial dan melalui proses budaya yang panjang mempunyai sifat-sifat tertentu yang melekat dimana sifat-sifat yang melekat tersebut cenderung menyudutkan perempuan daripada laki-laki di dalam kehidupan masyarakat (Fakih, 2006: 71-72).
16
Dalam pendekatan strukturalisme terutama yang dikembangkan oleh Levi-Strauss yang berlandaskan pada prinsip opisisi biner diterangkan bahwa di setiap masyarakat, modern atau primitif, terdapat suatu struktur pemikiran universal yang mendasarkan diri pada pengklasifikasian segala sesuatu ke dalam dua kutub yang berlawanan, pengklasifikasian ini sudah terjadi di tingkat pemikiran tak sadar di otak manusia dan fungsinya menyaring segala rangsangan dari luar serta mengaturnya ke dalam kedua kategori yang mempunyai hubungan yang berlawanan (Saptari dan Holzner, 1997:76).
Pemahaman mengenai perbedaan, peran hingga terjadinya bias gender sendiri dianggap sebagai sistem pengklasifikasian universal. Dalam pendekatan strukturalisme yang berlandaskan pada prinsip oposisi biner dimana satu kategori dianggap mempunyai ciri yang berlawanan dengan kategori lainnya dalam kajian gender dapat diklasifikasikan melalui oposisi biner ini dengan melihat bagaiaman perempuan dan laki-laki dipahami menurut konsep gender, berikut adalah pemahaman mengenai perbedaan gender antara perempuan dan laki-laki menurut klasifikasi biner:
Bagan 1.1: Klasifikasi biner perempuan > < laki-laki
alam > < budaya
hal-hal fisik > < hal- hal mental emosi > < rasio /fikiran
supertisi (takhayul) > < pengetahuan ilmiah pengasuhan anak > < pencarian nafkah
17
Dalam klasifikasi biner perempuan laki-laki selalau diasosiasikan dengan segala sesuatu yang lebih tinggi. Mempunyai kekuasaan terhadap hal-hal yang pada umumnya yang hanya dapat dimiliki oleh laki-laki. Sedangkan perempuan selalu menempati posisi kedua perempuan laki-laki dengan hal-hal yang melekat dalam dirinya (Holzner dan Saptari, 1997: 206).
Bias gender pun tidak dapat terhindarkan, perempuan dianggap inferior karena sifat-sifat yang telah melekat terkonstruksi melalui pola fikir masyarakat dan telah tersosialisasi sejak lama. Hal tersebut menempatkan perempuan dalam keadaan yang tidak menguntungkan, sebab memunculkan permasalahan dalam berbagai aspek kehidupan perempuan yang berujung pada timbulnya ketidakadilan bagi perempuan baik itu dalam tatanana kehidupan sosial, pemenuhan mengenai hak-hak perempuan, dan lain sebagainya.
18
Dalam konteks penelitian ini, ada beberapa ketidakadilan yang dialami oleh perempuan yaitu upaya yang dilakukan oleh laki-laki untuk memarginalisasi terhadap tokoh perempuan dalam film yang harusnya mendapatkan haknya atas ekonomi. Selain itu juga terdapat ketidakadilan subordinasi dan stereotipe terhadap tokoh perempuan dimana tokoh perempuan dianggap tidak mampu untuk melakukan suatu yang biasa dilakukan oleh laki-laki. Terakhir adalah kekerasan, kekerasan disini tidak melalui fisik tetapi nonfisik yaitu melalui verbal dan nonverbal yang sangat menganggap rendah perempuan.
19
Permasalahan gender sebenarnya telah menjadi perhatian khusus bagi dunia internasional dibuktikan dengan deklarasi universal mengenai keseteraan bagi perempuan. Dimana perempuan mempunyai hak yang harus dipenuhi dan harusnya memiliki kesetaraan dengan laki-laki secara garis besar gender sebagai berikut (Sihite, 2007: 50):
1. Hak atas kehidupan 2. Hak atas perempuan
3. Hak atas kemerdekaan dan keamanan pribadi 4. Hak atas perlindungan yang sama di muka umum 5. Hak untuk bebas dari segala bentuk diskriminasi
6. Hak untuk mendapatkan pelayanan kesehatan fisik maupun mental yang sebaik-baiknya
7. Hak atas pekerjaan yang layak dan kondisi kerja yang baik
8. Hak untuk tidak mengalami penganiayaan atau kekejaman lain, perlakuan atau penyiksaan secara tidak manusiawi atau sewenang-wenang
20
F. Metode Penelitian 1. Metode Penelitian
Jenis penelitian yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif deskriptif dimana bertujuan untuk membuat deskripsi yang sistematis, tentang fenomena - fenomena dan fakta – fakta yang masih tersembunyi dibalik suatu obyek yang akan diteliti (Kriyanto, 2007: 69). Sedangkan metode yang akan digunakan dalam konteks penelitian ini adalah analisis semiotika.
Semiotika adalah metode yang berbasis analisis yang mempunyai fungsi untuk mengkaji suatu tanda tertentu, tanda –tanda itu sendiri dianalogikan sebagai suatu alat yang akan digunakan untuk dapat berusaha mencari tau mengenai makna yang terdapat di dunia, diantara manusia dan bersama-sama manusia itu sendiri, suatu tanda menandakan sesuatu yang lainnya selain dirinya sendiri, dan makna ialah hubungan antara suatu obyek atau ide dan suatu tanda (Sobur, 2006:15).
Sedangkan menurut fiske dalam (Vera, 2014: 2) Semiotika adalah Studi tentang pertanda dan makna dari sistem tanda, ilmu tentang tanda, tentang bagaimana makna dibangun dalam teks media atau studi tentang bagaimana tanda dari jenis karya apa pun dalam masyarakat yang mengkomunikasikan makna. Dalam konteks penelitian ini peneliti akan menggunakan analisis semiotika yang dikembangkan oleh Roland Barthes untuk mengkaji tanda-tanda yang terdapat dalam film yang akan diteliti melalui unsur-unsur kunci yang terdapat dalam film tersebut seperti dialog dan visualnya.
21
dan Petanda (Signified) di dalam tanda antara obyek yang diwakili dalam realitas yang ada di sebut denotasi, denotasi diartikan sebagai suatu yang telah dianggap kebenarannya oleh kognisi (Fiske, 2012:140).
Selanjutnya adalah konotasi sebagai tahap kedua dalam kerja signifikasi tanda di jelaskan sebagai interaksi ketika tanda bertemu dengan perasaan atau emosi dari penggunaan nilai-nilai dalam budaya, makna diartikan secara subjektif atau intersubjektif yang berarti ketika interpretasi (Interpretant ) dipengaruhi sama kuatnya dengan penafsir (Interperter) dan obyek atau tanda itu sendiri. Dalam hal ini tanda dalam konotasi dilihat melalui mitos – tertentu yang ada di tengah masyarakat, mitos muncul dari nilai-nilai kebudayaan yang terdapat dari realitas eksternal itu sendiri (Fiske, 2012:141).
Tahap ketiga adalah simbol, Barthes menuturkan sebuah obyek menjadi simbol ketika diakui melalui konvensi dan menggunakan makna yang memungkinkan mewakili hal lain, misalnya smartphone Iphone adalah simbol kemewahan dan kekayaan (Fiske, 2012: 150).
22
interpretasi suatu tanda adalah mutlak milik pembaca (The Reader) atau peneliti (Barthes, 2007:25).
2. Obyek Penelitian
Obyek yang akan diteliti dalam penelitian ini adalah film Western yang berjudul True Grit, diproduksi pada tahun 2010. Penelitian dilakukan dengan cara menganalisis setiap dialog dan visual yang terdapat dalam potongan adegan film dengan fokus pada bagaimana perempuan direpresentasikan.
3. Tehnik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang digunakan peneliti dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
a. Teknik Observasi
Peneliti akan melakukan observasi terhadap obyek penelitian, pengamatan dilakukan dengan cara menonton film untuk memilih dan menentukan data-data yang dibutuhkan dalam konteks penelitian.
b. Teknik Dokumentasi
Selanjutnya adalah dengan melakukan pendokumentasian terhadap data – data yang telah ditentukan sebagai data utama dalam konteks penelitian dengan cara memotong gambar-gambar yang telah dipilih dari setiap adegan yang terdapat di dalam film.
c. Studi Pustaka
23
artikel, interntet dan lain-lain sebagainya adalah bagian dari studi pustaka yang digunakan untuk mengumpulkan data.
4. Tehnik Analisis Data
Teknik analisis data yang akan digunakan peneliti dalam penelitian ini adalah analisis semiotika yang dikembangkan oleh Roland Barthes, dalam proses kerjanya menganalisis makna-makna yang tersirat melalui tingkatan sistem signifikasi, tingkatan sistem signifikasi yang dimaksud terdapat pada penemuan Roland Barthes mengenai model sistematis yang berfokus pada gagasan mengenai signifikasi dua tahap (Two Order of Signification) Seperti pada gambar dibawah ini:
Bagan 1.2: Signifikasi dua Tahap Roland Barthes
Tahap Pertama Tahap Kedua
Realitas Tanda Budaya
Bentuk
Isi
(Sumber: Fiske dalam Sobur. Analisis Teks Media. 2006: 127)
Untuk menjelaskan gambar signifikasi dua tahap Roland Barthes adalah sebagai berikut: Signifikasi tahap pertama menjelaskan bahwa makna denotasi merupakan hubungan antara petanda (Signified) dan penanda Denotasi
Penanda
Petanda
Konotasi
24
(Signified) di dalam sebuah tanda terhadap realitas yang ada di dalam kehidupan nyata, bisa dikatakan bahwa makna detonasi adalah makna yang nyata atau yang sesungguhnya, sedangkan signifikasi tahap kedua makna konotasi di jelaskan bahwa tidak memiliki makna yang sebenarnya atau makna yang nyata untuk menjelaskan interaksi yang terjadi pada saat bertemu dengan perasaan atau emosi serta nilai-nilai budaya dari pembaca dalam memahami suatu peristiwa atau hal –hal tertentu lainnya, bisa dikatakan bahwa makna konotasi adalah makna yang bertumpu pada kajian tertentu seperti mitos serta ideologi tertentu dalam memahami kehidupan nyata (Sobur, 2006:128).
Barthes juga menjelaskan makna suatu tanda, dengan memperkenalkan konsep R (Relasi) – E(Ekspresi pengungkapan) – C(Contenu/isi atau konsep) ketiganya dapat bekerja melalui proses dua tahap signifikasi yaitu Signifiant dan Signifie, dimana Signifiant dapat berarti apa yang kita lihat dan kita kenal atau tidak kita kenal tentang sesuatu lalu di serap dan di cerna dalam fikiran kita, setelah itu oleh Signifie dibantu pemaknaannya melalui ekspresi pengungkapan (Hoed, 2014:96).
25
Dalam proses pengembangannya, sistem primer mengikuti dual jalur, jalur pertama adalah Metabahasa dan konotasi berikut adalah penjelasaannya:
Bagan 1.3: Metabahasa
26
Jalur pertama adalah pengembangan pada segi E, Suatu tanda mempunyai lebih dari satu E untuk C yang sama disebut metabahasa. Dicontohkan dalam bahasa pengertian ‘seorang yang dapat menggunakan ilmu gaib untuk tujuan tertentu’ di beri nama secara umum atau (diekspresikan) dukun, paranormal atau orang pintet, dalam linguistic gejala ini disebut sinomini. Sedangkan pada jalur kedua, pengembangan pada segi C, suatu tanda mempunyai lebih satu C untuk E yang sama disebut konotasi. contohnya pada bagan di atas dalam bahasa bisa di kategorikan dengan kata atau (diekspresikan) Mercy (E) yang maknanya (C) dalam sistem primer adalah kependekan dari ‘Mercedes Benz, merek sebuah mobil buatan jerman’.
Pada proses selanjutnya makna primer itu (C) berkembang menjadi ‘mobil mewah, mobil orang kaya, mobil konglomerat, atau symbol status sosial
27
Berdasarkan dalam kajian teori yang membahas mengenai ketidakadilan dalam bias gender maka peneliti juga akan menggunakan pendekatan struktuktural yang dikembangkang oleh Levi Strauss yaitu yang berlandaskan oposisi biner ke dalam teknik analisis data untuk dapat membantu mengkaji dan menganalisis simbol-simbol bias gender yang terdapat dalam konteks penelitian ini, peneliti akan menggunakan klasifikasi biner yang menjelaskan antara laki-laki dan perempuan dari dua penjelasan yang berbeda dan berlawanan dimana perempuan secara universal dianggap (alam) sedangkan laki-laki adalah (budaya), seperti yang digambarkan pada bagan berikut:
Bagan 1.5: Klasifikasi biner
perempuan > < laki-laki alam > < budaya
hal-hal fisik > < hal- hal mental emosi > < rasio /fikiran
supertisi (takhayul) > < pengetahuan ilmiah pengasuhan anak > < pencarian nafkah
(Sumber: Saptari & Holzner . Perempuan Kerja dan Perubahan Sosial: Sebuah Pengantar Studi Perempuan. 1997: 206).
28
keadaan tertentu dari tokoh, latar belakang, serta tempat yang ada di dalam film seperti berikut:
Tabel 1.1: Size Shot (ukuran gambar)
Penanda (Konotatif) Definisi Petanda (makna)
Close Up
(CU)
Hanya wajah Keintiman
Medium Shot
(MS)
Hampir Seluruh Wajah Hubungan personal
Long Shot
(LS)
Setting dan karakter Konteks, Skope, Jarak Publik
Full Shot (FS)
Seluruh tubuh Hubungan sosial
29
Tabel 1.2: Defenisi Angle Kamera
Penanda Definisi Petanda
Tilt Down
(High Angle)
Kamera mengarah ke bawah Kekuasan, kewenangan
Tilt Up (Low Angle) Kamera mengarah keatas Kelemahan, pengecilan Dolly in Kamera bergerak kedalam Pengamatan, fokus
Fade in Gambar terlihat pada layar kosong
Permulaan
Fade out Gambar di layar menjadi hilang
Penutup
Cut Perpindahan gambar Bersinambungan, menarik
Wipe Gambar terhapus dari layar Penentuan kesimpulan (Sumber: Arthur Asa Berger, Media Analysis Techniques. 2014: 31)
30
BAB II
GAMBARAN UMUM OBYEK PENELITIAN
A. Perempuan Amerika Serikat Pada Tahun 1800 – 1863Sejarah kaum perempuan di Amerika menjelaskan ironi – ironi dan kontradiksi – kontradiksi dalam masyarkat. Sekalipun kaum perempuan di Amerika merupakan kaum mayoritas penduduknya, namun mereka kerap kali diperlakukan seperti kelompok minoritas mendapat tempat tertentu dalam tatanan sosial, tidak memperoleh akses di kehidupan sosial, dan dipandang sebagai tergantung, lemah, dan penurut sesuai kodratnya. Sebaliknya, berbeda dengan kelompok – kelompok minoritas, kaum perempuan tidak hidup berkumpul dengan sebuah ghetto, melainkan tersebar merata di seluruh wilayah, kelas, dan kelompopok sosial, dan kerap kali lebih merasa dekat dan hangat.
31
Jelaslah, setiap perubahan dalam tingkah laku yang mempengaruhi satu – satunya kelompok paling besar di Amerika akan mempunyai dampak besar sekali terhadap masyarakat. Demikian pula, setiap perubahan dalam sikap – sikap budaya tentang laki – laki dan perempuan akan menuntut penyesuaian – penyesuaian penting dalam citra diri kita sendiri. Namun dalam menyelidiki perubahan – perubahan ini tidak boleh mengaburkan kelanjutan pengalaman yang dimiliki oleh kaum perempuan, atau apa yang dikatakan oleh keberlanjutan – keberlanjutan ini kepada kita mengenai bagaimana jenis kelamin berpengaruh terhadap kategori – kategori lain seperti ras dan kelas sehingga merampas kemungkinan peluang serta perlakuan yang sama bagi perorangan maupun kelompok.
Salah satu dari generalisasi yang barangkali diterima oleh sebagian besar sejarawan kaum perempuan wanita ialah bahwa ketetapan – ketetapan budaya mengenai tempat yang wajar bagi kaum perempuan secara menakjubkan tetap sama sepanjang waktu. Perempuan – perempuan dari masa kolonial misalnya diajar untuk bersikap sopan, saleha, setia, penurut, dan penuh perhatian.
32
hanya dibiarkan membanting tulang mereka di lading, pabrik – pabrik, serta menerima upah dan perlakuan yang buruk (Luedtke 1994:117 – 118).
Hingga pada 50 tahun pertama abad ke – 19 pada massa Industrialisasi sejarah perempuan berubah, dari munculnya pertumbuhan organisasi sosial, kesempatan belajar, dan konvensi hak – hak perempuan yang pertama kali di Senecca Falls pada tahun 1848, dapat dikatakan merupakan periode kemajuan yang kokoh dalam hal hak – hak perempuan. Tetapi apabila dicermati kembali pada kehidupan perempuan secara cermat melalui perbandingan ras, kelas etnis, dan agama akan terlihat sedikit kerancuan seperti yang akan dijelaskan pada beruikut (Juliasih 2009:84-85).
1. Perempuan Amerika dalam Sosial – budaya dan ekonomi pada masa Industrialisasi
Industrialisasi diawali sebelum perang saudara. Perang tersebut semakin memacu perkembangan industri, antara lain, dibangunnya pabrik – pabrik amunisi, senjata, perkapalan, mesin – mesin, garmen, dan pengalengan. Banyak perempuan bekerja di pabrik – pabrik tersebut, khusunya pada waktu perang meletus. Mereka menggantikan tenaga laki – laki yang berperang
33
dan masih tetap bekerja sebagai guru maka selama hidupnya tetap miskin karena gaji sebagai guru sangat sedikit. Sebagian besar perempuan lebih memilih bekerja di pabrik dari pada bekerja sebagai pembantu. Waktu untuk bersenang – senang adalah alasan perempuan tidak bekerja sebagai pembantu. Banyak diantara mereka yang bekerja dari jam 5 pagi sampai jam 10 malam selama 6 hari atau bahkan 7 hari terus menerus. Jarak status dan peran antara pembantu dan majikan sangat besar.
Dari awal revolusi industri perempuan diperlukan untuk barang produksi masal yang pernah mereka hasilkan untuk keluarga, misalnya antara lain, menjahit baju. Memproduksi barang – barang tersebut dapat dikerjakan di rumah atau pabrik. Pada umumnya, perempuan yang sudah menikah mengerjakan di rumah dan perempuan yang belum menikah di sewa untuk bekerja di pabrik. Pabrik – pabrik ini memberikan pekerjaan yang relative aman dan gaji yang wajar kepada perempuan Amerika. Para pengusaha mencari perempuan muda yang belum menikah sebagai pekerjanya. Pemilik pabrik percaya bahwa mereka kaum perempuan muda mau menerima gaji lebih rendah daripada laki – laki.
34
Kebanyakan perempuan bekerja di industri pakaian. Biasanya mereka membawa pekerjaan pulang. Karena kompetisi, upah untuk pekerjaan tersebut sangat murah. Mereka harus bekerja lebih lama untuk memperoleh upah lebih banyak. Akibatnya, mereka tidak mempunyai waktu untuk keluarga, anak – anak, dan diri mereka sendiri. Mereka bahkan hampir tidak mencukupi dirinya sendiri dan membiarkan anaknya mereka mencari makan sendiri. Perempuan Amerika pada masa Industrialisasi seperi yang telah di jelaskan di atas menunjukkan bahwa mereka menanggung beban ganda. Mereka tidak hanya harus menanggung pekerjaan rumah tangga, tetapi juga harus mencari nafkah untuk mencukupi keperluan rumah tangga mereka dan anak – anak mereka (Juliasih 2009:85 – 87).
2. Perempuan Amerika dalam agama pada masa Industrialisasi
35
Alasan – alasan resiko melahirkan, ajaran pengorbanan diri, kesibukan laki – laki dalam dunia dagang, dan pendidikan anak – anak, para pendeta juga merupakan pendorong spiritual anggota perempuan jemaah gereja yang mendorong perempuan untuk menjadi jemaat yang setia. Bimbingan spiritual para pendeta sangat penting artinya, begitu juga hubungan antar anggotanya dalam ikatan keyakinan yang sama. Keaktifan perempuan di dunia keagamaan menunjukkan bahwa mereka benar – benar serius menjadi jemaat yang setia. Diantara bentuk loyalitas mereka yang nyata pada agama adalah ketika perempuan – perempuan amerika mulai bernai membuat gerakan sosial di bawah naungan keagamaan.
36
3. Keintelektualan Perempuan Amerika pada Masa Industrialisasi
Pada tahun 1810-an untuk memperluas pengetahuan perempuan, ditambahkan matapelajaran, antara lain, filsafat, sastra, psikologi, dan fisiologi. Pada tahun 1819 Emma Willard, salah seorang pendukung pendidikan secara luas bagi perempuan, mengusulkan dan mendesak sistema yang didukung pemerintah untuk sekolah menengah pertama. Dalam An Address to the Public; Particulary to the Members of the Legislature of New
York, Proposing a Plan for Improving Female Education ‘Pidato untuk
umum terutama anggota dewan perwakilan New York yang mengusulkan rencana untuk memperbaiki pendidikan perempuan’, Willard mengatakan
bahwa pendidikan intelektual bagi perempuan akan memberikan a new and happy era in the history of her sex, and of her country, and of mankind ‘era
baru dan kebahagiaan dalam kebahagiaan dalam sejarah kaumnya, negaranya, dan seluruh umat manusia (Juliasih 2009:107).
37
tertentu pada saat itu. Berikut adalah Timeline perempuan Amerika Serikat dari tahun ke tahun:
Pada Tahun 1831 seorang perempuan bernama Maria W. Miller Stewart, adalah seorang perempuan imigran dari Afrika, seperti yang di ketahui bahwa pada tahun tersebut seorang imigran dari Afrika di Amerika seringkali tertindas dan seringkali menjadi budak atau bahkan tidak menjadi perhatian bagi khalayak di Amerika Serikat karena begitu kuatnya permasalahan rasisme pada saat itu, meskipun begitu tidak menghentikan Maria untuk menyuarakan hak-hak serta keadilan untuk dirinya sebagai perempuan dan juga untuk kaumnya, hal tersebut di tunjukkan bahwa Maria adalah perempuan pertama di amerika serikat yang menjadi orator profesional di publik Amerika dengan Topiknya adalah mengenai pendidikan perempuan dan sejarah perempuan, dan hak asasi untuk kaum imigran Afrika.
38
dengan cara segera mengatur gagasan-gagasan mengenai hak asasi untuk perempuan dan agar segera di deklarasikan dan juga untuk di publikasikan kepada khalayak yang ada di amerika serikat.
Dan pada tahun yang sama pula yaitu pada tahun 1848, kasus yang di alami oleh seorang perempuan yang bernama Myra Clark Gaines dalam usahanya untuk mendapatkan hak-haknya atas warisan harta ayahnya meskipun mendapatkan kecurigaan bahwa akte kelahirannya tidak sah, namun setelah menuai proses yang panjang dimana kasus ini telah tiga kali di dengar oleh mahkamah agung selama 56 tahun di antaranya pada tahun 1851, 1861, dan pada tahun 1867 akhirnya Gaines menang melawan Daniel Webster dengan argumen yang tegas bahwa warisan harta ayahya berhak dimiliki secara penuh olehnya (Cunnea, 1998:3).
39
membantu tentara Uni karena ia menginginkan kebebasan ratusan orang imigran dari Afrika yang dipaksa menjadi budak (
http://nationalgeographic.co.id/berita/2016/02/harriet-tubman-bekas-budak-yang-jadi-agen-rahasia , di akses pada tanggal tanggal 24 agustus 2016 jam 11:00 WIB. )
B. Perempuan dalam film Western
Kepopuleran film western awalnya muncul dari suguhan naratif yang menarik dan baru berkaitan dengan mitos perbatasan Amerika Serikat, serta elemen – elemen utama di dalamnya yang mudah dikenali masyarakat seperti gurun pasir, bar, baku tembak, duel satu lawan satu di antara koboi, poster wanted dan daerah Amerika Serikat bagian barat yang menjadi ikonik dalam film western, selain itu film western juga terinspirasi dari kisah nyata legendaris koboi yang hidup pada abad ke 19 seperti Kit Carson, Wild Bill, Hickok, dan Jesse James, namun tokoh koboi dalam film Western biasanya menekankan imaji ideal sosok seorang laki-laki, seperti menunjukan keagresifan seorang laki-laki yang powerful dan menekankan nilai-nilai kejantanan (Andriadi, 2014:3)
40
ketimpangan bias gender di dalam film western dimana perempuan cenderung terinferiorkan.
Dari sederetan film western populer dari tahun 2000-2015 yang menjadi rujukan data mengenai perempuan dalam film western sebagai acuan dalam penelitian ini yang menunjukkan perempuan termarjinalkan serta hanya sebagai pelengkap dalam cerita adalah sebagai berikut ada dalam dalam film (2000) All the Pretty Horses, (2001) American Outlaws, (2002) King of Texas, (2003) Open Range, (2004) The Alamo, (2005) The Proposition, (2006) Seraphim Falls, (2007) 3.10 to Yuma, (2008) Appaloosa, (2009) Dark Frontier, (2010) Tracker, (2011) Blackthorn, (2012) Django Unchained, (2013) The lone Ranger, (2014) The Dark Valley, (2015) The Hateful Eight.
41
Timko (2016:3). dalam jurnalnya yaitu The Promotion of Masculinity in the Western Film mengatakan bahwa Film Western mempromosikan maskulinitas dengan menunjukkan koboi sebagai karakter dominan yang memiliki banyak keterampilan dan selalu berada pada kondisi yang berbahaya, laki-laki dan perempuan dalam film western di analogikan seperti laki-laki lebih sering diam dengan kewibawaannya untuk menunjukkan superioritasnya sedangkan perempuan cenderung banyak bicara menunjukkan inferioritas perempuan seperti sering bergantung dengan mengadu, mencurahkan isi hati serta meminta tolong.
C. Profil Film True Grit
42
Gambar: 1.5 Cover Film True Grit
a. Cast: 2. Rooster Cockborn : Jeff Bridges 3. Mattie Ross : Hailee Steinfeld 4. Laboeuf : Matt Damon 5. Tom Chaney : Josh Brolin 6. Lucky Ned Pepper : Barry Pepper 7. Col. Stonehill : Dakin Matthews 8. Undertaker : Jarlath Conroy 9. Emmett Quincy : Paul Rae
43
12.Yarnell : Roy Lee Jones 13.Bear Man : Ed Lee Corbin 14.Sheriff : Leon Russom 15.Harold Parmalee : Bruce Green 16.Boarding House Landlady : Candyce Hinkle 17.Mr. Lee : Peter Leung 18.Cole Younger : Don Pirl 19.Cross-examining Lawyer : Joe Stevens 20.First Lawyer : David Lipman 21.Judge Parker : Jake Walker 22.Stableboy : Orlando Smart 23.Ferryman : Ty Mitchel 24.Repentent Condemned Man : Nicolas Salder 25.Unrepentent Condemned Man : Scott Sowers 26.Condemned Indian : Jonathan Joss
27.Woman at Hanging : Maggie A. Goodman 28.Indian Youth at Bagby’s : Brandon sanderson
44
b. Crew 1. Sutradara : Joel Coen
Ethan Coen 2. Produksi : Joel Coen
Ethan Coen Scott Rudin 3. Screenplay : Joel Coen
Ethan Coen 4. Eksekutif Produser : Steven Spielberg
Robert Graf David Ellison Paul Schwake Megan Ellison
5. Director Of Photography : Roger Deakins, ASC, BSC 6. Desainer Produksi : Jess Gonchor
45
D. Sinopsis Film True Grit
True Grit adalah film genre Western yang di produksi tahun 2010 oleh Paramount Pictures dan Sky Dance Productions yang di sutradarai oleh Coen bersaudara Joel Coen & Ethan Coen serta di produseri oleh Steven Spielberg. Film ini di buat ulang pada tahun 2010 yang sebelumnya di produksi pada tahun 1969, film ini sebelumnya sudah populer pada tahun 1969 di buktikan dengan mendapatkan penghargan 1 piala oscars, 7 nominasi dari penghargaan lainnya, sedangkan film yang dibuat kembali pada tahun 2010 mendapatkan 10 nominasi oscars, memenangkan 36 penghargaan, dan 146 nominasi dari ajang penghargaan lainnya.
Selain itu menurut situs online review film IMBD.com, True Grit adalah film yang mendapatkan peringkat pertama dalam Best Western Film Since 2000, termasuk dalam 15 Fierce Females Roles: Women in Western menurut situs online criminalelement.com, juga di akui di situs online the great western movies .com untuk salah satu tokoh perempuan terbaik dalam film True Grit sepanjang sejarah perfilman genre Western.
46
menjadi korban kemarahan yang membabi buta dari Tom Chaney sehingga Frank Ross ayahnya Mattie Rose di tembak mati di tempat.
Mattie Rose datang ke kota untuk menjemput jenazah ayahnya, tetapi tidak pulang bersama jenazahnya dan memilih tinggal sementara untuk mendapatkan keadilan atas kematian ayahnya yang telah dibunuh oleh Tom Chaney, Tanpa sepengetahuan Ibu Mattie Rose, Mattie Rose pun merencanakan perjalanan untuk mencari Tom Chaney dan menangkapnya agar dapat di adili di kotanya, Mattie Rose yang masih muda bahkan bersedia tidur di kamar mayat untuk sementara waktu agar dapat menunggu dan merencanakan perjalanannya mencari orang yang telah membunuh ayahnya. Sebelum melakukan perjalanan untuk menangkap dan mengadili Tom Chaney. Sebelum melakukan perjalanan Mattie Ross mendatangi sebuah tempat penjualan kuda dimana tempat ayahnya membeli kuda yang telah dibawa lari oleh Tom Chaney, tujuannya adalah untuk meminta pertanggung jawaban kepada penjual atas garansi kuda serta perlengkapannya, negosiasi pun berlangsung antara seorang perempuan muda dengan sang penjual kuda. Alhasil Mattie Rose akhirnya mendapatkan haknya atas garansi kuda serta perlengkapannya dari sang penjual kuda.
47
menangkap sang bandit agar dapat diadili di kota tempat sang bandit melakukan kejahatan lainnya.
48
E. Penelitian Terdahulu
1. Representasi Pemimpin perempuan dalam Film The Iron Lady (Studi Analisis Semiotika Pemimpin Perempuan dalam Film The Iron Lady)
Penelitian ini di tulis oleh mahasiswi Jurusan Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta angkatan 2011 bernama Gelvi Sulista, The Iron Lady Menceritakan perempuan yang menjadi sosok pemimpin dalam sebuah negara, lebih tepatnya film ini mengisahkan tentang perdana menteri inggris bernama Margaret Thatcher, beliau adalah perdana menteri perempuan pertama dan memiliki jabatan terlama di inggris. Film ini menggambarkan seorang pemimpin perempuan yang tangguh, tidak lemah, serta mampu melawan pola fikir tradisional masyarakat pada umumnya mengenai perempuan itu harus selalu berada pada kawasan domestiknya, dan tidak bisa memimpin. Film ini ingin membuktikan bahwa perempuan mampu untuk memimpin sebagai perdana menteri di sebuah negara yang budaya patriarkinya sangat begitu kental. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana pemimpin perempuan direpresentasikan dalam flim The Iron Lady?
49
masyarakat, dan bagaimana ketika akan memasuki ranah publik dan politik peran domestic sekaligus juga bekerja di luar sebagai seorang politi perempuan masih menjadi penghalang bagi Margaret thatcher dalam film ini, seakan dunia politik dan publik hanyalah milik laki-laki.
2. Representasi Perempuan Pada Tokoh Aung San Suu Kyi (Studi Semiotika dalam Film “The Lady” Karya Luc Besson)
Penelitian selanjutnya adalah karya dari Mahasiswi Jurusan Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Malang bernama Garnis Dwi Haryati, menceritakan kehidupan nyata perjalanan seorang Aung San Suu Kyi, peraih Nobel Perdamaian tahun 1991. Aung San Suu Kyi pada awalnya hanyalah seorang ibu rumah tangga yang setia dengan pekerjaan domestiknya hingga dengan tidak sengaja terjun kedunia politik atas saran dari utusan akademisi fakultas sejarah Universitas Ranggon karena Aung San Suu Kyi mempunyai darah seorang pahlawan Nasional Myanmar Aung San agar mengawal gerakan pro-demokrasi yang di usung oleh masyarakat.
50
perannya sebagai perempuan karier, ibu, dan seorang isteri. Walaupun demikian, penggambaran diatas justru secara otomatis membalikkan fakta penggambaran itu karena kesuksesan dari perempuan dalam film The Lady tidak lepas dari peran pria, dalam hal ini tokoh suami yang memperjuangkan kebebasan Aung San Suu Kyi dari rumah tahanan melalui hadiah bergengsi Internasional Nobel Perdamaian. Pada konteks ini, film The Lady juga menggambarkan ideologi budaya Patriarki dan Feminisme. Penggambaran ini berupa sosok perempuan dalam kesempatan yang dimilikinya untuk terlibat dalam bidang politik menuntut kesetaraan atas kaum laki-laki, dan perempuan mampu bersaing dengan laki-laki bahkan lebih unggul.
3. Representasi Perempuan Sebagai Objek Seksualitas ( Studi
Semiotika Representasi Perempuan Sebagai Objek Seksualitas pada Video Klip Bird, Right Now, Gangnam Style, dan Gentleman dalam Official YouTube Psy )
Penelitian ini adalah karya Nurdini Tsabitul Chusna Mahasiswi Jurusan Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Surakarta. Esensi dari penelitian ini lahir dari trend musik korea yang melanda seluruh dunia dan begitu populer di kalangan remaja, salah satu artis korea yang begitu dikenal adalah PSY dimana selalu menghadirkan kontroversi dalam setiap lagunya termasuk dalam konsep video klip yang di usung untuk di suguhkan ke khalayak publik dimana sering menggunakan perempuan dengan pakaian mini ataupun gerakan yang merepresentasikan perempuan sebagai objek seksualitas.
51
52
BAB III PEMBAHASAN
Pada BAB ini peneliti akan menganalisis lebih dalam lagi bagaimana perempuan ditampilkan dalam film genre Western yaitu film True Grit melalui kategori yang telah di tentukan di mana berkaitan dengan pembahasan utama dari penelitian ini untuk selanjutnya dibuktikan menurut paradigma konstruktivisme serta menggunakan metode semiotika Roland Barthes yaitu dengan sistem signifikasi dua tahap, selain itu peneliti juga akan menganalisis materi film dari sisi gambar, suara, dialog serta konveksi-konveksi yang terdapat dalam materi film lainnya yang dapat membantu dalam menganalisis penelitian ini.
53
Jenis film dalam penelitian ini adalah film koboi (Western) di mana cenderung menampilkan bias gender di mana laki-laki dianggap paling utama sedangkan perempuan posisi serta perannya dalam film Western diposisikan inferior, namun peneliti berusaha menelusuri apakah semua film Western merepresentasikan perempuan yang inferior. Melalui paradigma kontrukstivisme peneliti berusaha menjawab pertanyaan tersebut, dan peneliti menemukan salah satu film Western yang menempatkan perempuan pada peran penting dalam film itu, serta sendiri yaitu film True Grit dan sekaligus menjadi tolak ukur analisis gender dalam hal bias gender dalam penelitian ini.
54
Menurut Fakih (2006:73-75) ada lima uraian ketidakadilan yang di alami perempuan akibat dari sistem tatanan sosial masyarakat luas yang telah terkonstruksi dan telah melalui proses kultur yang panjang. Yaitu pertama marginalisasi terhadap perempuan yang berakibat pada pemiskinan terhadap perempuan, Fakih menuturkan meskipun tidak setiap marginalisasi menyebabkan ketidakadilan namun yang dipersoalkan adalah dalam analisis gender marginalisasi terhadap perempuan cenderung disebabkan oleh perbedaan gender di mana perempuan dibatasi untuk bebas berusaha dan bekerja.
Kedua adalah Subordinasi yang berakibat kepada pandangan bahwa perempuan itu emosional, cenderung memakai perasaan sehingga perempuan terbatas hanya diperbolehkan sebagai ibu rumah tangga saja, selain sumbangan dari pemikiran masyarakat terhadap perbedaan gender bahkan negara pun juga membatasi memlalui regulasi yang dibuat di mana banyak kebijakan dibuat tanpa menganggap penting hak-hak kaum perempuan.
55
pekerjaan atau tanggung jawab yang berkaitan dengan cakupan domestic adalah mutlak menjadi bagian yang harus dipenuhi oleh seorang perempuan.
Ketidakadilan gender yang telah dikemukakan oleh Fakih di atas berkaitan dengan proses representasi perempuan dalam penelitian ini, di mana peneliti mencoba menelaah kembali, mencoba menganalisis lebih dalam lagi bagaimana sesungguhnya tokoh perempuan ditampilkan dalam film True Grit ini, apakah erat kaitannya dengan permasalahan bias gender serta stereortipe perempuan dalam film Western. Untuk itu peneliti telah menyiapkan kategori – kategori yang telah dipilih peneliti untuk menganalisis serta merepresentasikan perempuan dalam film True Grit, kategori yang dimaksud antara lain adalah sebagai berikut; Perempuan hidup atas stereotype perempuan, perempuan masih bergantung kepada laki - laki, perempuan ideal dalam film Western adalah perempuan yang menggunakan simbol laki – laki.
1. Perempuan hidup atas stereotipe dari laki – laki
56
Keterangan Gambar: Saat pertama kali Mattie Rose melihat jenazah ayahnya.
Pada signifikasi tahap pertama denotasi dalam gambar 1.6 saat pertama kali Mattie Rose melihat jenazah ayahnya. Dalam gambar tersebut terlihat Mattie Rose hanya terdiam sejenak, ia sedang meratapi ayahnya yang tidak lagi bernyawa. Pada saat Mattie Rose hanya terdiam melihat kearah jenazah ayahnya si pengurus jenazahpun seperti yang terlihat dalam gambar 1.7 menawarkan kepada Mattie Rose jika ia ingin mencium jenazah ayahnya untuk yang terakhir kalinya. Pengurus berkata “Jika kau ingin menciumnya itu tidak mengapa”. Terlihat dalam potongan gambar selanjutnya yaitu pada gambar 1.8 Mattie Rose tetap terdiam sejenak lalu mulai menanggapinya dengan
Gambar 1.6
Gambar 1.8 Gambar 1.9
57
mengalihkan tawaran si pengurus jenazah dengan pertanyaan mengenai biaya keseluruhan perawatan jenazah ayahnya. Mattie Rose bertanya “mengapa begitu mahal?”. Kemudian setelah Mattie Rose mendapatkan jawabannya, kembali
dalam gambar 1.9 si pengurus jenazah mengulangi perkataannya tersebut yaitu:
Pengurus Jenazah : “Jika kau ingin menciumnya itu tidak mengapa. Namun Mattie Rose menjawabnya dengan berkata”
Mattie Rose : “Terima kasih, jiwanya telah pergi sambil melanjutkan pembicaraan mengenai rincian biaya, hal tersebut terlihat pada gambar 2.0”
Pada signifikasi tahap kedua konotasinya adalah ketika Mattie Rose menunjukkan sikap yang tenang bahwa ia telah menerima kenyataan bahwa ayahnya telah tiada. Di sisi lain Mattie Rose mendapatkan pelabelan dari si pengurus jenazah di mana si pengurus jenazah berusaha mendramatisir keadaan dengan berkata “Jika kau ingin menciumnya maka itu tidak mengapa”, hingga si
58
Keterangan gambar: Mattie Rose bertemu dengan seorang Sheriff Pada signifikasi tahap pertama nya adalah ketika Mattie Rose berdialog dengan seorang Sheriff. Dialog tersebut adalah berkaitan dengan bandit yang telah membunuh ayahnya Mattie serta mengenai penegak hukum yang akan membantu Mattie Rose dalam pengejaran si bandit. Mattie Rose bertanya kepada Sheriff tersebut;
Mattie Rose : “Bisakah ia menyewa seorang penegak hukum (Marshall) yang dapat membantunya dalam pengejaran bandit, lalu siapakah yang terbaik diantaranya?”. Setelah itu si Sheriff berkata kepada Mattie Rose”.
Sheriff : “Apakah anda mempunyai pengalaman dengan pemburu bayaran?” Sambil tersenyum nyengir kepada Mattie Rose”.
Mattie Rose : “Itu pertanyaan konyol, aku disini untuk selesaikan urusan ayahku”
Sheriff : “Sendirian”?
Mattie Rose : “Aku yang bisa, ibu bahkan tidak dapat mengeja kata kucing, aku berniat ingin melihat pembunuh ayah mati digantung ”.