• Tidak ada hasil yang ditemukan

Representasi Perempuan Dalam Film (Analisis Semiotika Representasi Perempuan Dalam Film “Fifty Shades of Grey”)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Representasi Perempuan Dalam Film (Analisis Semiotika Representasi Perempuan Dalam Film “Fifty Shades of Grey”)"

Copied!
35
0
0

Teks penuh

(1)

Universitas Sumatera Utara BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1. Paradigma Penelitian

Thomas Khun dikenal sebagai orang pertama yang mempopulerkan istilah paradigma. Paradigma atau dalam bidang keilmuwan sering disebut sebagai perspektif (perspective), terkadang disebut mazhab pemikiran (school of thought) atau teori. Paradigma secara sederhana dapat diartikan sebagai kacamata atau cara pandang untuk memahami dunia nyata. Patton mengatakan (dalam Mulyana, 2004: 9) bahwa paradigma adalah:

“A paradigm is a world view, a general perspective, a way of breaking down the complexity of the real world. As such, paradigms are deeply embedded in the socialization of adherents and practitioners: paradigms tell them what is important, legitimate and reasonable. Paradigms are also normative, telling the practitioner what to do without the necessity of long existential orepistimological consideration. But it is this aspect of paradigms the constitutes bith their strength in that it makes action possible, their weakness in that the very reason foraction is hidden in the unquestioned assumptions of paradigm”.

Seperti yang dikatakan di atas, bahwa paradigma adalah suatu pandangan dunia, suatu perspektif yang umum, suatu cara mematahkan kompleksitas dalam dunia nyata. Dengan demikian, paradigma sangat tertanam dalam sosialisasi pengikut dan praktisi: paradigma memberitahu mereka apa yang penting, sah dan masuk akal. Paradigma juga normatif, memberitahu praktisi apa yang harus dilakukan tanpa perlu pertimbangan eksistensial atau epistemologis yang panjang. Tapi itu

adalah aspek paradigma yang merupakan kedua kekuatan dalam membuat tindakan yang mungkin, kelemahan mereka bahwa alasan untuk tindakan tersembunyi dalam asumsi diragukan paradigma.

(2)

Universitas Sumatera Utara a. Melihat realita (world views)

b. Bagaimana mempelajari fenomena

c. Cara-cara yang digunakan dalam penelitian

d. Cara-cara yang digunakan dalam menginterpretasikan temuan.

Paradigma itu sendiri bermacam-macam. Guba dan Lincoln menyebutkan ada empat macam paradigma yaitu, positivisme, post positivisme, konstruktivisme, dan kritis. Sedangkan Cresswel membedakan dua macam paradigma, yaitu kuantitatif dan kualitatif. Paradigma kuantitatif menekankan pada pengujian teori melalui pengukuran variabel penelitian dengan angka dan melakkan analisis data dengan prosedur statistik. Paradigma kualitatif merupakan paradigma penelitian yang menekankan pada pemahaman mengenai masalah-masalah dalam kehidupan sosial berdasarkan kondisi realitas yang holistis, kompleks dan rinci. Paradigma kualitatif disebut juga dengan pendekatan konstruktivis, naturalistik atau interpretatif, atau perspektif post modern (Erlina, 2011: 14).

Teori konstruktivisme adalah pendekatan secara teoritis untuk komunikasi yang dikembangkan tahun 1970-an oleh Jesse Deli dan rekan-rekannya. Teori konstruktivisme menyatakan bahwa individu melakukan interpretasi dan bertindak menurut kategori konseptual yang ada dalam

pikirannya. Dalam teori ini, realitas tidak menunjukkan dirinya dalam bentuknya yang kasar, tetapi harus disaring terlebih dahulu melalui bagaiana cara seseorang

melihat sesuatu (Morissan, 2009: 107). Paradigma konstrukivisme ialah paradigma dimana kebenaran suatu realitas sosial dilihat sebagai konstruksi sosial, dan kebenaran suatu realitas sosial bersifat relatif.

(3)

Universitas Sumatera Utara hubungan-hubungan sosialnya. Subjek mampu melakukan kontrol terhadap maksud-maksud tertentu dalam setiap wacana.

Weber menerangkan bahwa substansi bentuk masyarakat tidak hanya dilihat dari penilaian objektif saja, melinkan dilihat dari tindakan perorangan yang timbul dari alasan-alasan subjektif. Dalam proses sosial, individu manusia dipandang sebagai pencipta realitas sosial yang relatif bebas di dalam dunia sosialnya. Realitas sosial itu memiliki makna manakala realitas sosial tersebut dikonstruksikan dan dimaknakan secara subjektif oleh individu lain, sehingga memantapkan realitas itu secara objektif. Littlejohn mengatakan bahwa paradigma konstruktivis berlandaskan pada ide bahwa realitas bukanlah bentukan yang objektif, tetapi dikonstruksi melalui proses interaksi dalam kelompok, masyarakat, dan budaya (Wibowo, 2011: 27).

Penelitian ini menggunakan paradigma konstruktivis. Di dalam penelitian semiotika, banyak peneliti yang menggunakan paradigma konstruktivis, walaupun terdapat beberapa orang yang juga menggunakan paradigma kritis. Paradigma konstruktivis dianggap lebih relevan bila digunakan untuk melihat realitas signifikasi objek yang diteliti. Melalui paradigma konstruktivis, dapat dijelaskan 4 dimensi seperti yang tertulis (dalam Wibowo, 2011: 28):

1. Ontologis: relativism, relativitas merupakan konstruksi sosial. Kebenaran suatu realitas bersifat relatif, berlaku sesuai konteks spesifik yang dinilai relevan oleh pelaku sosial.

2. Epstemologis: transactionalist/subjectivist, pemahaman tentang suatu realitas atau temuan suatu penelitian merupakan produk interaksi antara peneliti dengan yang diteliti.

(4)

Universitas Sumatera Utara 4. Metodologis: menekankan empati dan interaksi dialektis antara peneliti dengan responden untuk merekonstruksi realitas yang diteliti, melalui metode-metode kualitatif seperti participant observasion. Kriteria kualitas penelitian authenticity dan relectivty: sejauh mana temuan merupakan refleksi otentik dari realitas yang di hayati oleh para pelaku sosial.

2.2. Kajian Pustaka

Dalam setiap penelitian, diperlukan teori yang mendukung. Seorang peneliti harus terlebih dahulu menyusun teori yang bersangkutan dengan topik penelitian sebagai landasan berpikir untuk menggambarkan dari sudut pandang mana penelitian tersebut dilihat. Teori adalah suatu set dari hubungan antara konstruk, konsep, definisi/batasan dan preposisi yang menyajikan suatu pandangan sistematis tentang fenomena dengan merinci hubungan-hubungan antar variabel, dengan tujuan menjelaskan dan memprediksi fenomena tersebut (Pujileksono, 2015:11). Teori dapat membantu memfokuskan perhatian dan peneliti akan mampu memahami fenomena-fenomena yang terjadi di dalamnya. Dalam hal ini, peneliti menggunakan beberapa teori yang relevan dengan topik yang menjadi permasalahan yang akan diteliti yaitu:

2.2.1. Komunikasi Massa

Dalam pembahasan komunikasi massa, perlu dibedakan definisi massa dalam arti umum dengan komunikasi massa. Massa dalam pembahasan komunikasi massa lebih menunjuk kepada si penerima pesan yang berkaitan

(5)

Universitas Sumatera Utara dirumuskan oleh Bittner (dalam Rakhmat, 2007:188): “Mass communication is messages communicated through a mass medium to a large number of people” yang berarti komunikasi massa adalah pesan yang dikomunikasikan melalui media massa pada sejumlah besar orang.

Definisi-definisi komunikasi massa yang telah dipaparkan secara prinsip mengandung makna yang sama, bahkan antara definisi yang satu dan definisi yang lain saling melengkapi. Melalui definisi-definisi tersebut, dapat diketahui karakteristik komunikasi massa sebagai berikut (Ardianto, 2004: 7):

1. Komunikator Terlembagakan

Ciri komunikasi massa yang pertama adalah komunikatornya. Komunikasi massa itu mengunakan media massa, baik media cetak maupun elektronik. 2. Pesan Bersifat Umum

Komunikasi massa itu bersifat terbuka, artinya komunikasi massa ditujukkan untuk semua orang dan tidak ditujukkan untuk sekelompok orang saja.

3. Komunikannya Anonim dan Heterogen

Dalam komunikasi massa, komunikator tidak mengenal komunikan (anonim), karena cara berkomunikasinya menggunakan media sehingga tidak bertatap muka secara langsung. Selain anonim, komunikan komunikasi massa juga bersifat heterogen karena terdiri dari berbagai

lapisan masyarakat yang berbeda dan berada di mana saja. 4. Media Massa Menimbulkan Keserempakan

Jumlah sasaran khalayak atau komunikan dalam komunikasi massa relatif dalam jumlah banyak dan tak terbatas. Komunikan yang banyak tersebut secara serempak pada waktu yang bersamaan memperoleh pesan yang sama pula.

5. Komunikasi Mengutamakan Isi Ketimbang Hubungan

(6)

Universitas Sumatera Utara Komunikasi massa adalah komunikasi dengan atau melalui media massa. Karena melalui media massa, maka komunikator dan komunikannya tidak dapat melakukan kontak langsung. Dengan demikian, komunikasi massa bersifat satu arah.

7. Stimulasi Alat Indra Terbatas

Stimulasi alat indra bergantung pada jenis media massa yang digunakan. Pada suratkabar dan majalah pembaca hanya melihat, radio dan rekaman auditif, khalayak hanya mendengar, sedangkan pada media televisi dan film, menggunakan indra penglihatan dan pendengaran.

8. Umpan Balik Tertunda

Umpan balik dalam komunikasi massa tidak terjadi secara langsung karena komunikator tidak dapat melihat reaksi atau tanggapan dari komunikan secara langsung.

Komunikasi massa memiliki fungsi-fungsi penting terhadap masyarakat. Dominick membagi fungsi komunikasi massa sebagai berikut (Ardianto, 2004: 15):

1. Surveillance (Pengawasan)

Fungsi pengawasan komunikasi massa dibagi dalam dua bentuk utama, yaitu:

a. Fungsi pengawasan peringatan yaitu menginformasikan berbagai hal

terutama tentang ancaman kepada masyarakat.

b. Fungsi pengawasan instrumental yaitu menyampaikan atau menyebarkan informasi yang berguna dan dapat membantu khalayak/masyarakat dalam kehidupan sehari-hari.

2. Interpretation (Penafsiran)

(7)

Universitas Sumatera Utara 3. Linkage (Pertalian)

Media massa mampu menyatukan anggota masyarakat yang beragam, sehingga membentuk suatu pertalian berdasarkan kepentingan dan minat yang sama tentang sesuatu.

4. Transmission of values (Penyebaran nilai-nilai)

Media massa memberikan nilai-nilai kepada masyarakat dan berharap nilai-nilai ini bisa diadopsi oleh masyarakat.

5. Entertainment (Hiburan)

Hampir semua media massa menjalankan fungsinya sebagai hiburan. Walaupun ada beberapa media yang tidak memberikan fungsi tersebut tetapi memberikan fungsi informasi kepada masyarakat seperti majalah Tempo, Gatra dan lainnya. Fungsi dari media massa sebagai fungsi menghibur adalah untuk mengurangi ketegangan pikiran khalayak.

2.2.2. Semiotika

Semiotika adalah suatu ilmu atau metode analisis untuk mengkaji tanda. Manusia dengan perantara tanda-tanda, dapat melakukan komunikasi dengan sesamanya. Pada dasarnya, suatu tanda memiliki hubungan antara tanda dengan makna yang terkandung di dalam tanda tersebut. Tanda-tanda adalah perangkat yang kita pakai dalam upaya berusaha mencari jalan di dunia, di tengah-tengah manusia dan bersama-sama manusia. Semiotika pada dasarnya hendak mempelajari bagaimana kemanusiaan (humanity) memaknai hal-hal (things) (Barthes dalam Sobur, 2004: 15). Semiotika berusaha menjelaskan tentang tanda, secara sistematik, menjelaskan esensi, ciri-ciri dan bentuk suatu tanda, serta proses signifikasi yang menyertainya.

(8)

Universitas Sumatera Utara pemaknaan (signification). Semiotika atau semiologi merupakan terminologi yang merujuk pada ilmu yang sama. Istilah semiologi lebih banyak digunakan di Eropa sedangkan semiotika lazim dipakai oleh ilmuwan Amerika. Secara substansial, semiotika adalah kajian yang concern dengan dunia simbol. Alasannya, seluruh isi media massa pada dasarnya adalah bahasa (verbal), sementara itu bahasa merupakan dunia simbolik (Sobur, 2006: 140). Menurut Morissan, semiotika merupakan studi mengenai tanda (signs) dan simbol yang menggunakan tradisi penting dalam pemikiran tradisi komunikasi. Tradisi semiotika mencakup teori utama mengenai bagaimana tanda mewakili objek, ide, situasi, keadaan, perasaan dan sebagainya yang berada di luar diri (Morissan, 2009: 27).

Memahami semiotika tentu tidak bisa lepas dari pengaruh peran dua orang penting ini yaitu Charles Sanders Pierce (1839-1914) dan Ferdinand De Saussure (1857-1913). Keduanya meletakkan dasar-dasar bagi kajian semiotika. Kedua tokoh tersebut mengembangkan ilmu semiotika secara terpisah dan tidak mengenal satu sama lain. Saussure di Eropa sedangkan Pierce di Amerika Serikat.Latar belakang keilmuan Saussure adalah linguistik sedangkan Peirce adalah filsafat. Saussure menyebut ilmu yang dikembangkannya semiologi (semiology) (Tinarbuko, 2008: 11). Teori dari Pierce seringkali disebut sebagai “grand theory” dalam semiotika, karena gagasan Pierce bersifat menyeluruh, deskripsi struktural dari sistem penandaan. Sebuah tanda atau representamen menurut Charles S Pierce adalah sesuatu yang bagi seseorang mewakili sesuatu

yang lain dalam beberapa hal atau kapasitas (Wibowo, 2011: 13).

Dalam konsep semiotika Pierce, Pierce membagi tanda atas ikon (icon), indeks (index) dan simbol (symbol). Ikon adalah tanda yang hubungan antara penanda dan petandanya bersifat bersamaan bentuk alamiah atau bersifat kemiripan, indeks adalah tanda yang menunjukkan adanya hubungan alamiah antara tanda dan petanda yang bersifat kausal, sementara simbol adalah tanda yang menunjukkan hubungan alamiah antara penanda dengan petandanya dan hubungan diantaranya bersifat arbiter atau semena (Sobur, 2004: 41).

(9)

Universitas Sumatera Utara Gambar 1.

Kategori Tipe Tanda dari Pierce

Ikon

Indeks Simbol

Sumber dari Burhan Bungin, Penelitian Kualitatif (Jakarta: Kencana, 2010) hal: 168

Pierce mendefinisikan semiotika sebagai suatu hubungan antara tanda, objek, dan makna (Morrisan, 2009: 28). Dalam kajian komunikasi, pusat perhatian semiotika adalah menggali makna-makna tersembunyi di balik penggunaan simbol-simbol yang lantas dianalogikan sebagai teks atau bahasa.

Sedangkan menurut John Fiske (2007: 60-61) semiotika mempunyai tiga bidang studi utama, yaitu:

1. Tanda. Hal ini terdiri atas studi tentang berbagai tanda yang berbeda, cara tanda-tanda yang berbeda itu dalam menyampaikan makna, dan cara tanda-tanda itu terkait dengan manusia yang mengunakannya. Tanda

adalah konstruksi manusia dan hanya bisa dipahami dalam artian manusia yang menggunakannya.

2. Kode atau sistem yang mengorganisasikan tanda. Studi ini mencakup cara berbagai kode dikembangkan guna memenuhi kebutuhan suatu masyarakat atau budaya untuk mengeksploitasi saluran komunikasi yang tersedia untuk mentrasmisikannya.

3. Kebudayaan tempat kode dan tanda bekerja. Ini pada gilirannya bergantung pada penggunaan kode-kode dan tanda-tanda itu untuk keberadaan dan bentuknya sendiri.

Semua model makna memiliki bentuk yang mirip secara luas.Masing-masing memperhatikan tiga unsur yang harus ada di dalam setiap studi tentang makna. Ketiga unsur tersebut adalah:

(10)

Universitas Sumatera Utara b. Acuan tanda dan

c. Penggunaan tanda.

Tanda merupakan sesuatu yang bersifat fisik, bisa di persepsikan sebagai indra kita. Tanda mengacu kepada sesuatu yang ada di luar tanda itu sendiri dan bergantung pada pengenalan oleh penggunaannya sehingga bisa disebut tanda (Fiske, 2007: 61).

Sedangkan Saussure memasukkan semiotika sebagai hal-hal yang berkaitan dengan kehidupan langsung. Saussure mengemukakan bahwa seseorang menggunakan tanda untuk mengirim makna tentang objek dan orang lain akan menginterpretasikan tanda tersebut. Menurut Saussure, bahasa itu merupakan suatu sistem tanda (sign). Tanda adalah kesatuan dari suatu bentuk penanda (signifier) dengan sebuah ide atau petanda (signified). Penanda adalah “bunyi yang bermakna” atau coretan bermakna (Sobur, 2004: 46). Saussure menggambarkan tanda terdiri atas signifier dan signified itu sebagai berikut:

Gambar 2.

Elemen-Elemen Makna dari Saussure

Sign

Composed of

Signification

Signifier plus Signified external reality

(physical existence (mental concept) of meaning of the sign)

Sumber dari Alex Sobur, Analisis Teks Media (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2006), hal.:

125

(11)

Universitas Sumatera Utara dan gambaran akustis. Hubungan antara keberadaan fisik tanda dan konsep mental tersebut dinamakan signification. Dengan kata lain, signification menurut Fiske adalah upaya dalam memberi makna terhadap dunia (Sobur, 2006: 125).

Selanjutnya ada seorang tokoh semiotika juga yang terkenal, yaitu Roland Barthes. Teori semiotik Barthes hampir secara harfiah diturunkan dari teori bahasa menurut de Saussure (Hoed, 2007: 9). Barthes melontarkan konsep tentang konotasi dan denotasi sebagai kunci analisisnya. Dengan mengabaikan bentuk dan substansi, Barthes mendefinisikan sebuah tanda sebagai sebuah ekspresi atau signifier dalam hubungannya dengan content atau signified (Wibowo, 2011:16). Fiske mengatakan bahwa model penelitian Barthes tersebut merupakan signifikasi dua tahap (two order of signification). Signifikasi tahap pertama merupakan hubungan antara signifier (ekspresi) dan signified (content) di dalam sebuah tanda terhadap realitas eksternal. Itulah yang dikatakan Barthes sebagai denotasi yaitu makna paling nyata dari tanda. Signifikasi tahap kedua digunakan Barthes dengan istilah konotasi, yang menggambarkan interaksi yang terjadi ketika tanda bertemu dengan perasaan atau emosi dari pembaca serta nilai-nilai dari kebudayaannya. Dalam pandangan George Rixer (dalam Ghazali, 2010:11), Barthes adalag pengembang utama ide-ide Saussure pada semua area kehidupan sosial. Barthes mengembangkan gagasan Saussure ke seluruh bidang kehidupan sosial. Tidak hanya bahasa semata, tetapi juga perilaku sebagaimana menjadi perwakilan atau tanda. Sementara itu Charles Sanders Pierce, manusia hanya dapat berkomunikasi

lewat sarana tanda (Tinarbuko, 2008: 16).

Charles Morris memudahkan dalam memahami ruang lingkup kajian semiotika. Menurutnya, kajian semiotika pada dasarnya dibedakan ke dalam tiga cabang penyelidikan (branches of inquiry) yaitu sintatik, semantik, dan pragmatik (Wibowo, 2011: 4):

1. Sintatik

(12)

Universitas Sumatera Utara selalu menjadi bagian dari sistem tanda yang lebih besar atau kelompok yang diorganisir melalui cara tertentu.

2. Semantik

Adalah cabang penyelidikan semiotika yang mempelajari hubungan di antara tanda-tanda dengan designata atau objek-objek yang diacunya.Yang dimaksud designata adalah tanda-tanda sebelum digunakan dalam tuturan tertentu. Semantik membahas bagaimana tanda berhubungan dengan referennya, atau apa saja yang diwakili tanda. Prinsip dasar semiotika adalah bahwa representasi selalu diperantarai atau dimediasi oleh kesadaran interpretasi seorang individu, dan setiap interpretasi atau makna dari suatu tanda akan berubah dari suatu situasi ke situasi lainnya.

3. Pragmatik

Adalah cabang penyelidikan semiotika yang mempelajari hubungan di antara tanda-tanda dengan interpreter-interpreter atau para pemakai-pemakai tanda. Tanda tidak dapat dipisahkan dari pemakai-pemakainya, atau keberadaan suatu tanda dapat dipahami hanya dengan mengembalikan tanda itu ke dalam masyarakat dalam masyarakat pemakainya. Aspek pragmatik dari tanda memiliki peran penting dalam komunikasi, khususnya untuk mempelajari mengapa terjadi kepahaman dan kesalahpahaman dalam berkomunikasi.

2.2.2.1. Semiotika Roland Barthes

(13)

Universitas Sumatera Utara bisa menyampaikan makna yang berbeda kepada orang yang berbeda situasinya. Roland Barthes meneruskan pemikiran tersebut dan dikenal dengan istilah “order of signification” (Kriyantono, 2008: 268).

Semiotika, atau dalam istilah Barthes disebut semiologi pada dasarnya hendak mempelajari bagaimana kemanusiaan (humanity) memaknai hal-hal (things). Memaknai berarti bahwa objek-objek tidak hanya membawa informasi, dalam hal mana objek-objek itu hendak berkomunikasi, tetapi juga mengkonstitusi sistem terstruktur dari tanda. Barthes merupakan orang terpenting dalam tradisi semiotika Eropa pasca Saussure. Pemikirannya bukan saja melanjutkan pemikiran Saussure tentang hubungan bahasa dan makna, namun ia justru melampaui Saussure terutama ketika ia menggambarkan tentang makna ideologis dari representasi jenis lain yang ia sebut sebagai mitos. Barthes menekankan pada cara tanda-tanda di dalam teks berinteraksi dengan pengalaman personal dan kultural penggunanya dan memperhatikan konvensi pada teks yag berinteraksi dengan konvensi pada teks yang berinteraksi dengan konveksi yang dialami (Kriyantono, 2008:268).

Konsep konotasi dan denotasi menjadi kunci dari analisis Barthes. Konsep ini dinamakan Two orders of signification (signifikasi dua tahap atau dua tatanan pertandaan) Barthes yang terdiri dari first order of signification yaitu denotasi, dan second orders of signification yaitu konotasi. Tatanan yang pertama mencakup penanda dan petanda yang membentuk tanda. Tanda inilah yang

(14)

Universitas Sumatera Utara Salah satu area penting yang dimasukkan Barthes dalam studinya tentang tanda adalah peran pembaca (the reader). Walaupun konotasi merupakan sifat asli dari tanda, tetapi sangat dibutuhan keaktifan para pembaca agar makna suatu tanda tersebut dapat berfungsi. Barthes memperjelas konsepnya dengan peta sebagai berikut ini:

Gambar 3.

Konsep semiotika Roland Barthes

Tatanan pertama Tatanan kedua

realitas tanda kultur

Sumber: John Fiske, Cultural and Communication Studies (Yogyakarta: Jalasutra, 2007), hal:

122

Menurut Roland Barthes, “pembaca” melalui berbagai tahap dalam mendekonstruksikan makna dari tanda. Tatanan pertandaan Barthes tersebut menggambarkan relasi antara petanda dan penanda di dalam tanda dan antara tanda dengan referennya dalam realitas eksternal (Fiske, 2007: 118). Barthes menyebut tatanan ini sebagai denotasi. Denotasi merupakan image yang terlihat secara nyata, ukan asumsi individual dari “pembaca” (Rayner, 2001: 36). Di tatanan pertandaan kedua atau tahap konotasi merupakan saat “pembaca” menambah segelintir informasi terkait. Pada tahap inilah beberapa bagian yang tidak dimaknai dalam tahap denotatif dicoba untuk dimaknai. Tahapan konotasi ini adalah di mana makna dari tanda dipengaruhi oleh pengalaman budaya yang

isi bentuk

Denotasi Penanda

Petanda

konotasi

(15)

Universitas Sumatera Utara dibawa oleh “pembaca” (Rayner, 2001:36). Konotasi dipakai untuk menjelaskan salah satu dari tiga cara kerja tanda dalam tahapan kedua. Konotasi menggambarkan interaksi yang berlangsung saat tanda bertemu dengan perasaan atau emosi pengguna dan nilai-nilai kultural. Ini bisa saja terjadi saat makna bergerak menuju subjektif atau tatkala interpretant dipengaruhi sama banyaknya oleh penafsir objek atau tanda (Fiske, 2007: 118).

Konotasi membawa nilai-nilai ekspresif yang muncul dari akumulasi rangkaian kekuatan. Ketika konotasi diterima sebagai sesuatuyang “normal” maupun “alami”, maka ia bertindak sebagai peta makna konseptual yang dengan dengannya seseorang memahami dunianya. Inilah yang disebut dengan mitos (Barker, 2000: 117). Menurut pandangan Barthes, mitos adalah cara berpikir dari suatu kebudayaan mengenai sesuatu, cara untuk memahami sesuatu. Jika konotasi adalah pemaknaan tatanan kedua dari penanda, maka mitos merupakan pemaknaan tatanan kedua dari petanda. Pada tatanan kedua, sistem tanda dari tatanan pertama disisipkan ke dalam sistem nilai budaya.Barthes menggunakan mitos sebagai orang yang percaya. Mitos adalah cerita yang digunakan suatu kebudayaan untuk menjelaskan atau mencari pemahaman terkait beberapa aspek dari realitas maupun alam (Fiske, 2007: 121).

Barthes menegaskan cara kerja pokok mitos adalah untuk

menaturalisasikan sejarah, yang menyatakan bahwa mitos sebenarnya merupakan produk kelas sosial yang mencapai dominasi melalui sejarah tertentu. Maknanya,

peredaran mitos turut membawa sejarahnya walau mitos mencoba menyangkal hal tersebut, hingga akhirnya maknanya akan dianggap alami, bukan historis atau sosial. Mitos menyembunyikan asal-usul sejarah dan membuat kesan bahwa mitos tersebut bersifat universal. Konotasi dan mitos merupakan cara pokok-pokok tanda berfungsi dalam tatanan kedua pertandaan, yakni tatanan tempat berlagsungnya interaksi antara tanda dan pengguna/budayanya yang sangat aktif (Fiske, 2007: 124).

(16)

Universitas Sumatera Utara bertugas memberi justifikasi alamiah kepada maksud-maksud historis dan menjadikan berbagai peristiwa yang tak terduga tampak abadi (Barker, 2000: 117).

2.2.3. Film

Menurut kamus besar bahasa Indonesia, film adalah selaput tipis yang dibuat dari seluloid untuk tempat gambar negatif (yang akan dimainkan dalam bioskop). Film adalah sekedar gambar bergerak adapun pergerakannya disebut intermitten movement, gerakan yang muncul hanya karena keterbatasan kemampuan mata dan otak manusia menangkap sejumlah pergantian gambar dalam sepersekian detik.

2.2.3.1. Film Sebagai Media Komunikasi Massa

Film merupakan media komunikasi sebagai gambar bergerak yang membentuk suatu cerita dalam arti tayangan audio-visual yang dapat menyampaikan pesan kepada penonton. Menurut Bittner (dalam Ardianto, 2004:3) komunikasi massa adalah pesan yang dikomunikasikan melalui media massa pada sejumlah besar orang dan dari definisi tersebut diketahui bahwa komunikasi massa itu harus menggunakan media massa. Media komunikasi yang dapat dikategorikan sebagai media massa adalah radio, televisi, surat kabar, majalah, serta media film. Film merupakan media massa yang tidak terbatas pada ruang lingkupnya. Hal ini dipengaruhi unsur cita rasa dan unsur visualisasi yang

saling berkesinambungan.

(17)

Universitas Sumatera Utara pertukaran makna-makna. Film merupakan media komunikasi massa (audio visual) yang dibuat berdasarkan asas sinematografi dengan menggunakan bahan baku celluloid dalam berbagai ukuran melalui proses kimiawi dengan atau tanpa suara dan dapat dipertunjukkan atau ditayangkan dengan sistem proyeksi mekanik.

Makna yang ada di dalam film bukan hanya berasal dari dalam film itu sendiri, melainkan dari hubungan antara pembuat film (produser atau sutradara) dengan penikmat atau penonton dari film tersebut. Pemaknaan film dibentuk dalam proses produksi sebuah film terkait dengan si pemberi pesan, dimana proses produksi ini akan menentukan bagaimana pesan (message) yang akan disampaikan kepada penonton. Dalam pembuatan film, si pembuat film harus bisa mengemas sebuah film sehingga mampu untuk menarik penerima pesan secara emosional, bahkan mengambil realitas masyarakat dan diyakini sebagai kebenaran yang ada di masyarakat untuk menjadi landasan film.

Film merupakan media massa yang memiliki kelebihan dalam menyampaikan pesan. Film dapat membuat terhipnotis penontonnya karena cerita dan visualisasi gambar yang baik sehingga dapat memuaskan kebutuhan hiburan dari para penontonnya. Jangkauan film yang luas juga menjadi salah satu kelebihannya dan pengaruhnya dalam membentuk emosi para penonton juga melebihi media massa yang lain. Walaupun film memiliki kelebihan, tetapi film

juga memiliki kekurangan. Penayangan film yang sekilas membuat penontonnya harus berkonsentrasi penuh memperhatikan jalan cerita dari film tersebut, sehingga mereka tidak bisa mengalihkan pandangan ataupun melakukan kegiatan yang lain.

2.2.3.2. Sejarah Film

(18)

Universitas Sumatera Utara film televisi, dan film video laser setiap minggunya dan lebih dari satu juta tiket telah terjual setiap tahunnya di Amerika Serikat dan Kanada (Ardianto & Erdinaya, 2004: 134). Tidak seperti awal perkembangan surat kabar yang dikembangkan oleh para pebisnis dan patriot untuk sekelompok elit yang terlibat dalam politik yang dapat membaca, awal industri film kebanyakan dibangun oleh wirausaha yang ingin mendapatkan uang dengan menghibur semua orang (Baran, 2008: 210).

Film memang berawal dari perkembangan fotografi.Berawal dari gambar-gambar diperlihakan bergerak secara cepat dan berurutan, sehingga para penontonnya melihat gambar-gambar tersebut seolah-olah sedang bergerak (Baran, 2008: 212). Setelah itu Thomas Edison pun membuat studio gambar bergerak dekat dengan laboratoriumnya di kota New Jersey yang disebut Black Maria. Film yang sudah lengkap tidak diproyeksikan, melainkan diputar melalui sebuah kinetoskop, semacam alat pameran gambar berbentuk kotak dimana seringkali diiringi dengan musik yang disediakan oleh alat fonograf yang juga ditemukan oleh Edison (Baran, 2008: 213). Sekitar tiga tahun kemudian, kinetoskop menjadi populer di tempat-tempat hiburan dan pertunjukkan di kota-kota besar, dan hal ini menandai pertunjukkan film bergerak secara komersial.

Lumiere bersaudara kemudian menciptakan kemajuan berikutnya. Pada tahun 1895 mereka mematenkan sinematografi mereka, sebuah alat yang secara

(19)

Universitas Sumatera Utara pendek, namun segera setelah itu dia mulai membuat cerita berdasarkan gambar yang diambil secara berurutan di tempat-tempat yang berbeda.

Edwin S.Porter, seorang juru kamera Edison Company, melihat bahwa film dapat menjadi alat penyampai cerita yang jauh lebih baik dengan penggunaan dan penempatan kamera secara artistik yang disertai penyuntingan (Baran, 2008: 215). Film pertama yang menggunakan penyuntingan, gabungan potongan-potongan antar adegan, dan sebuah kamera bergerak untuk menceritakan kisah yang relatif kompleks berjudul The Great Train Robbery (1903) karya Porter yang berdurasi 12 menit menjadi film Western pertama. Film menjadi hiburan yang hadir lebih dulu dibandingkan televisi dan siaran radio. Menonton film ke bioskop merupakan aktivitas yang populer bagi orang Amerika pada tahun 1920-an hingga 1950-an (Ardianto & Erdinaya, 2004: 134).

2.2.3.3. Karakteristik Film

Tujuan utama dari film adalah sebagai media hiburan. Tetapi banyak juga film yang di dalamnya terkandung unsur informatif, edukatif, bahkan persuasif. Faktor-faktor yang dapat menunjukkan karakteristik film adalah layar lebar, pengambilan gambar, konsentrasi penuh, dan identifikasi psikologis dalam (Ardianto & Erdinaya, 2004: 136-137) yaitu:

1. Layar yang Luas/lebar

Film dan televisi sama-sama menggunakan layar, namun kelebihan media film

adalah layarnya yang berukuran luas. Layar film yang luas telah memberikan keleluasaan penontonnya untuk melihat adegan-adegan yang disajikan dalam film. Apalagi dengan berkembangnya teknologi, sekarang sudah terdapat bioskop yang menggunakan layar tiga dimensi, sehingga penonton seolah-olah melihat kejadian nyata dan diajak untuk ikut merasakan suasana yang terdapat di dalam film tersebut.

2. Pengambilan Gambar

(20)

Universitas Sumatera Utara kesan artistik dan suasana yang sesungguhnya, sehingga film menjadi lebih menarik.

3. Konsentrasi Penuh

Biasanya di saat menonton film di bioskop, kita terbebas dari gangguan hiruk pikuknya suara di luar karena biasanya ruangan kedap suara. Semua mata hanya tertuju kepada layar sementara pikiran dan perasaan kita tertuju kepada alur cerita tersebut. Bandingkan bila menonton televisi di rumah, selain lampu yang tidak dimatikan seperti di bioskop, orang di sekeliling kita juga senantiasa berkomentar atau hilir mudik mengambil makanan atau minuman dan gangguan lainnya.

4. Identifikasi Psikologis

Kita semua dapat merasakan bahwa suasana di gedung bioskop telah membuat pikiran dan perasaan kita larut dalam cerita yang disajikan. Karena penghayatan kita yang amat mendalam, seringkali secara tidak sadar kita menyamakan/ mengidentifikasikan pribadi kita dengan salah seorang pemain dalam film itu, sehingga seolah-olah kita lah yang berperan.Gejala ini menurut ilmu jiwa sosial disebut identifikasi psikologis.

Suasana menonton film di bioskop memang berbeda dengan menonton di televisi dan media lainnya. Layar yang lebar, sound effect yang menggelegar, suasana hening berkat ruangan kedap suara dan ruangan yang gelap memang

menambah situasi ketegangan dan emosional dalam menonton film yang ditayangkan. Menonton film di bioskop juga dapat mengumpulkan para penikmat film yang bisa saling berinteraksi dengan minat menonton yang sama.

(21)

Universitas Sumatera Utara Dengan kreativitas yang dimiliki oleh sekelompok orang yang profesional membuat film, seringkali terdapat banyak simbol atau ikon tertentu yang digunakan untuk pencapaian tertentu yang diharapkan. Gambar dan suara adalah unsur yang terpenting dalam film. Suara adalah perwujudan dari dialog naskah yang biasanya diiringi oleh backsound sebagai pengindah sebuah alur cerita yang akan mengiringi rekam gambar atau adegan. Melalui gambar dan suara, indera fisik kita akan dibawa merasakan potret dari realitas yang ada melalui sebuah proses mediasi, dimana lewat ketiganya tadi film akan mengantarkan kita pada dunia “nyata” film yang mirip dengan yang kita rasakan di dunia sebenarnya.

2.2.3.4. Unsur-Unsur Film

Terdapat beberapa unsur film yang perlu diperhatikan (dalam Grezia, 2015: 28-31):

1. Sutradara

Sutradara merupakan pionir pembuatan film tentang bagaimana yang harus

tampak oleh penonton. Tanggung jawabnya meliputi aspek-aspek kreatif, baik

interpretatif maupun teknis dari sebuah produksi film. Selain mengatur laku

didepan kamera dan mengarahkan akting serta dialog, sutradara juga mengontrol

posisi kamera beserta gerak kamera, suara dan pencahayaan. Di samping itu

sutradara menjadi penyumbang hasil akhir sebuah film.

2. Skenario

Skenario adalah naskah yang disusun dalam bentuk literer sebagai landasan bagi

penggarapan suatu produksi. Dalam dunia perfilman, skenario dinamakan juga

“shooting script” lengkap dengan dialog-dialog dan istilah teknis sebagai

instruksi kepada kerabat kerja seperti juru kamera, juru suara, juru cahaya dan

lain-lain. Skenario film disebut juga screen atau script yang diibaratkan seperti

cetak biru insinyur atau kerangka bagi tubuh manusia.

3. Penata Fotografi

(22)

Universitas Sumatera Utara maksimal. Selain itu juga juru kamera melakukan tugas pembingkaian. Dalam pelaksanaan tugasnya, seorang juru kamera juga membuat komposisi-komposisi dari subyek yang hendak direkam.

4. Penata artistik

Tata artistik berarti penyusunan segala sesuatu yang melatar belakangi cerita film, yakni mengangkat pemikiran tentang setting. Yang dimaksud setting adalah tempat-tempat waktu berlangsungnya cerita film. Oleh karena itu, sumbangan yang dapat diberikan seorang penata artistik kepada produksi film sangatlah penting. Seorang penata artistik boleh memiliki kecendrungan, namun bukan gaya yang harus tunduk pada tuntunan cerita atau pengarahan sutradara. Seorang artistik bertugas sebagai penterjemah konsep visual sutradara kepada pengertian-pengertian visual dan segala hal yang mengelilingi aksi di depan kamera, di latar depan bagaimana di latar belakang.

5. Penata Suara

Sebagai media audio visual, pengembangan film sama sekali tidak boleh hanya memikirkan aspek visual, sebab suara juga merupakan komponen aspek kenyataan hidup dalam sebuah film. Itu sebabnya perkembangan teknologi perekaman suara untuk film tidak bisa diabaikan. Tata suara dikerjakan di studio suara. Tenaga ahlinya disebut penata suara yang tugasnya dibantu oleh tenaga-tenaga pendamping, seperti perekaman suara di studio maupun di lapangan. Perpaduan unsur-unsur suara ini nantinya akan menjadi jalur suara

yang letaknya bersebelahan dengan jalur gambar dalam hasil akhir film yang nantinya akan dipersiapkan diputar di gedung-gedung bioskop.

6. Penata musik

(23)

Universitas Sumatera Utara

7. Pemeran

Pemeran atau aktor adalah orang yang memerankan suatu tokoh dalam sebuah cerita film.Pemeran mengekspresikan tingkah laku tidak lepas dari tuntunan.

8. Editor

Editor bertugas menysun hasil syuting hingga membentuk rangkaian cerita. Seorang editor berkerja dibawah pengawasan seorang sutradara tanpa mematikan kreatifitas, sebab tugas dari seorang editor berdasarkan konsepsi. Editor akan menyusun segala materi di meja editing menjadi pemotongan kasar (rought cut) dan pemotongan halus (tine cut). Hasil pemotongan halus disempurnakan lagi dan akhirnya ditransfer bersama suara dengan efek-efek transisi optik untuk menunjukkan waktu maupun adegan.

Dilihat dari segi teknis, unsur-unsur film terdiri dari (Gresia, 2015: 28):

1. Audio (Dialog dan Sound Effect)

a. Dialog berisikan kata-kata, dialog dapat digunakan untuk menjelaskan perihal tokoh atau peran, menggerakkan plot maju dan membuka fakta.

b. Sound Effect adalah bunyi-bunyian yang digunakan untuk melatar belakangi sebuah adegan yang berfungsi sebagai penunjang sebuah gambar untuk membentuk nilai dramatik dan dramatika sebuah adegan dalam film.

2. Visual

a. Angle kamera dibedakan menurut karakteristik dari gambar yang dihasilkan ada tiga yaitu:

1) High Angle, yaitu sudut pengambilan gambar dari tempat yang lebih tinggi dari objek. Hal ini akan memberikan kepada penonton sesuatu kekuatan atau rasa superioritas.

2) Low Angle, yaitu yaitu sudut pengambilan gambar dari tempat yang lebih rendah dari objek. Hal ini akan membuat seseorang tampak kelihatan mempunyai

kekuatan yang menonjol dan akan kelihatan kekuasaannya.

(24)

Universitas Sumatera Utara

Angle secara zoom in menggambarkan ekspresi wajah objek atau pemain dalam memainkan karakternya, sedangkan pengambilan secara zoom out menggambarkan secara menyeluruh ekspresi gerak tubuh dari objek atau pemain.

b. Teknik Pengambilan Gambar atau perlakuan kamera juga merupakan salah satu hal yang penting dalam proses penciptaan visualisasi simbolik yang terdapat dalam film. Proses tersebut akan dapat mempengaruhi hasil gambar yang diinginkan, apakah ingin menampilkan karakter tokoh, ekspresi wajah dan setting yang ada dalam sebuah film.

c. Setting adalah tempat atau lokasi untuk mengambil sebuah visual dalam pembuatan film.

2.2.3.5. Jenis-Jenis Film

Film dapat dikelompokkan pada jenis film cerita, film berita, film dokumenter, dan film kartun (dalam Ardianto, 2004: 138-140):

a. Film Cerita

Film cerita adalah jenis film yang mengandung suatu cerita yang lazim dipertunjukkan di gedung-gedung bioskop dengan bintang film tenar dan film ini didistribusikan sebagai barang dagangan. Cerita yang diangkat menjadi topik film bisa berupa cerita fiktif atau berdasarkan kisah nyata yang dimodifikasi, sehingga ada unsur menarik, baik dari jalan cerita maupun dari segi gambar yang artistik.

b. Film Berita

Film berita adalah film mengenai fakta, peristiwa yang benar-benar terjadi. Karena sifatnya berita, maka film yang disajikan kepada publik harus mengandung nilai berita (news value). Kriteria berita itu adalah penting dan menarik.Yang terpenting dalam film berita adalah peristiwanya terekam secara utuh.

c. Film Dokumenter

(25)

Universitas Sumatera Utara berita yang merupakan kenyataan, maka film dokumenter merupakan hasil interpretasi pribadi (pembuatnya) mengenai kenyataan tersebut.

d. Film Kartun

Film Kartun (cartoon film) dibuat untuk dikonsumsi anak-anak. Tujuan utama dari film kartun adalah untuk menghibur. Walaupun tujuan utamanya adalah untuk menghibur, tapi terdapat pula film-film kartun yang mengandung unsur-unsur pendidikan di dalamnya.

2.2.4. Sinematografi

Sinematografi/cinematography terdiri dari dua suku kata yaitu cinema dan graphy yang berasal dari bahasa Yunani, kinema, yang berarti gerakan dan graphoo yang berarti menulis. Jadi sinematografi bisa diartikan menulis dengan gambar yang bergerak (Nugroho, 2014:11). Di dalam sinematografi, unsur visual merupakan alat utama dalam berkomunikasi. Bahasa yang digunakan dalam sinematografi adalah suatu rangkaian beruntun dari gambar bergerak yang dalam pembuatannya memperhatikan ketajaman gambar, corak penggambarannya, memperhatikan seberapa gambar itu ditampilkan, iramanya dan sebagainya yang kesemuanya merupakan alat komunikasi nonverbal (Nugroho, 2014: 12).

Seperti arti dari sinematografi yang adalah gambar bergerak, itu berarti setiap pembuatan program yang menggunakan gambar bergerak sebenarnya memiliki keinginan untuk menyampaikan sesuatu kepada penontonnya yang dengan kata lain pembuat program itu sendiri ingin berkomunikasi dengan

menggunakan komunikasi audio visual kepada orang lain. Sesuatu yang ingin disampaikan itu bisa berupa ide, perasaan, ataupun visi dan misi dari si pembuat program yang sudah dipelajari sebelumnya atau dapat pula berupa sikap atau keberpihakan dari pembuat program terhadap suatu masalah, misalnya masalah gender, kekerasan terhadap anak, perempuan, perdamaian, bahkan mengenai rasa cinta dan mencintai.

(26)

Universitas Sumatera Utara beberapa elemen gambar dapat ditemui dalam kode, terutama yang berhubungan dengan bahasa gambar yang bisa dilihat sebagai berikut:

Tabel 1.

Teknik Dalam Pengambilan Gambar

PENANDA (SIGNIFIER) MENANDAKAN (SIGNIFIED)

PENGAMBILAN GAMBAR

Extreme Long Shot Kesan luas dan keluarbiasaan

Full Shot Hubungan sosial

Big Close Up Emosi, dramatik, moment penting

Close Up Intim atau dekat

Medium Shot Hubungan personal dengan subjek

Long Shot Konteks Perbedaan dengan publik

SUDUT PANDANG (Angle) Pengambilan Gambar:

High Dominasi, Kekuasaan dan otoritas

Eye-Level Kesejajaran, keamanan dan sederajat

Low Didominasi, dikuasai dan kurang otoritas

TIPE LENSA

Wide Angle Dramatis

Normal Normalitas dan keseharian

Telephoto Tidak personal, Voyeuristik

FOKUS

Selective focus Meminta perhatian (tertuju pada satu objek)

Soft Focus Romantis serta nostalgia

Deep Focus Semua unsur adalah penting (melihat secara

keseluruhan objek

PENCAHAYAAN

High Key Riang dan cerah

Low Key Suram dan muram

High Contrast Dramatikan dan teatrikal

Low Contrast Realistik serta terkesan seperti documenter

PEWARNAAN

Warm (kuning, orange, merah, abu-abu) Riang dan Cerah

Cool (biru dan hijau) Pesimisme, tidak ada harapan Black and White (Hitam dan Putih) Realisme, aktualisme, harapan

Sumber: Selby, Keith, dan Codery, Ron, How to Study Television, London, Mc Millisan. 1995 (dalam GresiaRepresentasi Pesan Budaya Karo Dalam Film 3 Nafas Likas. 2015)

2.2.5. Perempuan Dalam Film dan Televisi Hollywood

(27)

Universitas Sumatera Utara kebebasan seperti yang dimiliki oleh kaum laki-laki. Kaum perempuan berhak untuk memperoleh tempat tertinggi dalam ruang aktivitas yang dia lakukan, sebagaimana kaum laki-laki dalam ruang aktivitasnya (Nugroho, 2004: 29).

Meskipun perbincangan mengenai gender sudah sering dibicarakan, tetapi ternyata masih sering terjadi kesalahan memaknai konsep gender dan kaitannya dengan kaum perempuan. Kesalahpahaman ini bukan hanya terjadi kepada kalangan awam, tetapi juga kalangan berpendidikan. Istilah gender seringkali ditujukan kepada istilah jenis kelamin, dan yang lebih parahnya lagi istilah gender seringkali diartikan dengan jenis kelamin perempuan. Informasi ini jelaslah salah, karena istilah gender bukan hanya menyangkut jenis kelamin perempuan, melainkan juga jenis kelamin laki-laki. Gender adalah seperangkat sikap, peran, tanggungjawab, fungsi, hal dan perilaku yang melekat pada diri laki-laki dan perempuan akibat bentukan budaya atau lingkungan masyarakat tempat manusia itu tumbuh dan dibesarkan (Nugroho, 2004: 21). Kesimpulannya, gender adalah konsep yang mengacu pada peran dan tanggungjawab laki-laki dan perempuan sebagai hasil konstruksi sosial yang dapat diubah sesuai dengan perubahan zaman.

Perjuangan perempuan melawan keterkaitan pada hubungan kekuasaan yang menempatkannya pada kedudukan yang lebih rendah dibandingkan laki-laki, memang perjuangan sepanjang hidup. Bila melihat karya sastra Indonesia, posisi

perempuan sering muncul sebagai simbol kehalusan, sesuatu yang bergerak lamban, bahkan terkadang berhenti. Perempuan begitu dekat dengan idiom-idiom seperti keterpurukan, ketertindasan, bahkan pada “konsep” yang terlanjur diterima kultur masyarakat bahwa mereka adalah “objek” bagi kaum laki-laki (Nugroho, 2004: 25). Dalam hal dunia seni seperti pada film dan sinetron, perempuan banyak dijadikan objek penderitaan oleh laki-laki baik dari fisik maupun psikis. Perempuan digambarkan sebagai sosok yang lemah dan tertindas.

(28)

Universitas Sumatera Utara mengungkapkan bahwa perempuan ditampilkan sebagaimana laki-laki merepresentasikan perempuan (Thornham, 1998 dalam Apriyanti, 2012: 15).

Dalam pertelevisian Hollywood, perempuan pada era 70-an digambarkan sebagai sosok kuat seperti dalam Charlie’s Angels, Wonder Woman, dan Police Woman. Namun, tetap saja pemeran karakter perempuan yang ditampilkan adalah stereotype perempuan seperti perempuan cantik, langsing serta berkulit putih (Byerly dan Ross, 2006: 34). Beberapa serial televisi menempatkan karakter perempuan sukses dan memfokuskan cerita pada pencarian akan kesenangan, cinta dan seks. Serial populer Ally McBeal (1997-2002) sedikit menampilkan cerita yang berbeda. Serial ini menceritakan pengacara perempuan sukses tetapi secara stereotype digambarkan cukup putus asa dalam pencarian cinta. McBeal yang diperankan oleh Calista Flockhart yang penampilannya didukung oleh tubuh kurus yang tampak seperti anoreksia. Rekan kerja Mc Beal, yaitu Ling (Lucy Liu) dan Nelle (Portia de Rossi) digambarkan lebih kuat daripada McBeal di mana mereka telah berulang kali menjalin hubungan dengan kolega pria dalam firma hukum yang sama. Meehan (1983) dalam (Barker, 2000: 264) pernah menganalisis stereotip yang umunya melekat pada diri perempuan dalam program televisi Amerika. Meehan mengidentifikasi hal-hal berikut sebagai stereotip yang umum ditemukan dalam penokohan perempuan:

Tabel 2.

Stereotype Perempuan dalam Televisi Amerika Nakal: Memberontak, aseksual, tomboi

Istri yang baik: Domestik, menarik, terpusat di rumah

Tamak: Agresif, Lajang

Sundal: Panjang tangan, curang, manipulatif

Korban: Pasif, menderita kekerasan atau kecelakaan

Bak umpan: Kelihatannya lemah padahal kuat

Genit: Secara seksual memancing laki-laki untuk suatu tujuan yang buruk

(29)

Universitas Sumatera Utara Penyihir: Kekuatan ekstra, namun tersubordinasi oleh laki-laki

Matriarch: Otoritas peran keluarga, lebih tua, dan tidak suka seks Sumber: Chris Barker, Cultural Studies: Teori dan Praktik (Bantul: Kreasi Wacana) hal.

264-265

Para pakar budaya feminis meneliti representasi perempuan dalam media yang difokuskan pada media film. Maggie Humm (1997) dalam (Hanafi, 2010: 17) mengemukakan bahwa proyek kaum feminis menekankan pada kemampuan untuk memperlihatkan bahwa perempuan telah mengalami konstruksi politik dan secara rutin direpresentasikan sebagai kaum tertekan. Analisis terebut muncul berdasarkan empat film yang muncul pada tahun 1930-1970-an yaitu Camille (1936), Blonde Venus (1932), Lady from Shanghai (1946) dan Looking for Mr. Goodbar (1977). Film tersebut mengungkapkan bahwa pria beroperasi dari beragam sudut pandang kekuasaan sehingga menyebabkan perempuan ditampilkan sebagai pihak yang diam dan termarjinalkan (Byerly dan Ross, 2006: 35).

Pada tahun 1990-an dan awal 2000-an, perempuan dalam film telah digambarkan memiliki peran yang kuat dalam berbagai acara (Byerly dan Ross, 2004: 11). Meskipun demikian, perempuan dalam film masih saja digambarkan sebagai love interest ataupun sosok penolong pria. Walaupun ada beberapa film yang tidak menonjolkan perempuan seperti sosok penolong/pendamping pria saja,

tetapi penggambaran tersebut masih ditampilkan secara general. Di masa lalu dan sekarang, gambaran perempuan di dalam film-film Hollywood hanyalah seorang “other” atau entitas lain selain pria (Gauntlett, 2008: 74).

(30)

Universitas Sumatera Utara

2.2.6. Stereotype Perempuan dalam Masyarakat

Dalam kajian feminis awal, representasi merupakan suatu ekspresi langsung realitas sosial dan atau distorsi potensial dan distorsi aktual atas realitas tersebut. Jadi, representasi perempuan merupakan misrepresentasi perempuan “sejati”. Inilah yang dikenal dengan perspektif stereotype perempuan (Hanafi, 2012: 19). Adanya konsep stereotype menempati posisi penting dalam citra perspektif perempuan. Kata stereotype digunakan untuk mengindikasikan representasi yang keliru, tidak lengkap atau negatif terhadap sekelompok orang di masyarakat (Williams, 2003: 123). Suatu stereotype mereduksi pribadi menjadi serangkaian ciri karakter yang dilebih-lebihkan dan cenderung menuju ke arah negatif.

Pendekatan stereotype perempuan menyuguhkan masalah karena dia menyatakan kebenaran dan kepalsuan sebuah representasi (Barker, 2000: 267). Hasil penelitian menunjukkan perempuan direpresentasikan dalam berbagai teks dan di stereotype-kan ke dalam dua hal, yaitu ideal dan “menyimpang” (Barker, 2000:268). Perempuan ideal mengasuh dan maternal. Dia menjadi pendukung laki-laki dalam mencapai ambisi mereka namun tidak memiliki apa pun, rela berkoran, berempati, dan berada di dalam rumah. Seorang istri/anak perempuan yang pasif, dia menerima kontrol laki-laki dan mengabdi kepada laki-laki dalam

kehidupan mereka, mempertahankan suami yang menjengkelkan sekalipun tanpa bertanya dan menerima begitu saja. Sedangkan perempuan yang menyimpang

mendominasi suami mereka dan tidak pernah berada di rumah untuk keluarganya. Untuk mencapai ambisinya, para perempuan memutus ikatan dengan keluarga, lepas dari kekangan laki-laki dan tidak cukup memahami suami mereka (Hanafi, 2012: 19).

(31)

Universitas Sumatera Utara yang ada bukanlah masalah jika perbedaan itu tidak menghasilkan ketidakadilan gender (gender inequalities) yang termanifestasikan dalam bentuk stereotype kepada perempuan seperti penjelasan di atas. Berbagai bentuk ketidakadilan terhadap perempuan juga terjadi, seperti subordinasi, marjinalisasi dan beban kerja lebih banyak (Handayani dan Sugiarti, 2008: 15).

Gender merupakan konsep sosial yang membedakan peran laki-laki dan perempuan. Hal ini berkaitan dengan faktor sosial, geografis dan kebudayaan dalam suatu masyarakat. Marginalisasi gender ini menimbulkan efek pada pemiskinan kaum perempuan yang salah satu bentuknya adalah pemiskinan ekonomi. Subordinasi adalah anggapan bahwa perempuan tidak dapat terlibat dalam pengambilan keputusan. Perempuan dianggap lebih mengandalkan emosi dan bersikap irasional, sehingga perempuan tidak dapat memimpin, sehingga perempuan hanya ditempatkan pada posisi yang kurang penting (Handayani dan Sugiarti, 2008: 15).

Perempuan pun tersubordinasi oleh faktor-faktor yang dikonstruksikan secara sosial. Banyak mitos yang membuat kedudukan perempuan berada di bawah atau lebih rendah dibandingkan laki-laki, sebab perempuan dipandang dari segi seks, bukan kemampuan, kesempatan dan aspek-aspek manusiawi secara universal yaitu sebagai manusia yang berakal, bernalar dan perperasaan. Berbicara

mengenai hubungan perempuan dan laki-laki tidak bisa dilepaskan dari ideologi patriarki. Ideologi patriarkal melebih-lebihkan perbedaan biologis antara laki-laki

dan perempuan serta memastikan bahwa laki-laki akan selalu dominan dan perempuan akan selalu mendapatkan peranan yang lebih rendah. Ideologi ini begitu berkuasa sehungga sekilas terlihat bahwa perempuan menerima dengan lapang penindasan yang dialaminya. Keluarga dan masyarakat bahkan akademis pun menjustifikasi dan menguatkan subordinasi terhadap perempuan sehingga membuat perempuan secara internal merasa inferior terhadap laki-laki (Jurnal Filsafat Berperspektif Feminis, 2003). Ideologi gender berbasis patriarki pun menggeser wewenang perempuan.

(32)

Universitas Sumatera Utara mereka adalah objek penindasan para laki-laki. Kemudian dengan perempuan pada laki-laki, perempuan telah dibebaskan dari tanggungjawab atas hidupnya, karena semua telah ditentukan untuk dirinya. Perempuan pun tidak perlu berpikir selain apa yang sudah diberitahukan dan diajarkan kepadanya. Menurut Beauviour, sikap menghindar dari kebebasan inilah yang menjadi salah satu sumbangsih perempuan dalam melestarikan penindasan yang dilakukan budaya patriarkal (https://www.academia.edu).

Memang perempuan sudah mulai berkembang dan mulai memasuki ranah publik. Maksudnya sudah banyak perempuan yang bekerja, tetapi perkembangan perempuan tersebut tidak mengubah peranannya yang lama yaitu peranan dalam lingkup rumah tangga/peran reproduktif. Akhirnya perempuan memiliki beban ganda, karena selain bekerja di rumah mengurus rumah tangga, ia pun masih harus bekerja mencari nafkah (Handayani dan Sugiarti, 2008: 22).

2.2.7. Representasi

Menurut kamus besar bahasa Indonesia, representasi berarti perbuatan mewakili, keadaan diwakili, apa yang mewakili dan perwakilan. Dapat juga memiliki pengertian sebagai cermin, citra, gambaran, pantulan, potret, wajah, deskripsi dan taswir. Dalam teori semiotika, representasi disebut sebagai proses perekaman gagasan, pengetahuan atau pesan secara fisik. Secara lebih tepat didefinisikan sebagai penggunaan “tanda-tanda” (gambar, suara dan sebagainya) untuk menampilkan ulang sesuatu yang diserap, diindra, dibayangkan atau

dirasakan dalam bentuk fisik (Danesi, 2010: 3).

(33)

Universitas Sumatera Utara Menurut Danesi dalam bukunya pesan, tanda dan makna, dikatakan bahwa kapasitas otak untuk memproduksi dan memahami tanda disebut semiosis, sementara aktivitas membentuk ilmu pengetahuan yang dimungkinkan kapasitas otak untuk dilakukan oleh semua orang disebut representasi. Representasi dapat didefinisikan lebih jelas sebagai penggunaan tanda (gambar, bunyi dan lain-lain) untuk menghubungkan, menggambarkan, memotret atau mereproduksi yang dilihat, diindera, dibayangkan atau dirasakan dalam bentuk fisik tertentu. Dengan kata lain, proses menaruh X dan Y secara bersamaan itu sendiri. Menentukan makna X=Y bukanlah pekerjaan mudah. Maksud dari pembuat bentuk, konteks sejarah dan sosial saat representasi dibuat, tujuan pembuatannya dan sebagainya, merupakan faktor kompleks yang masuk dalam sebuah lukisan. Sebenarnya, salah satu tujuan dari pelbagai tujuan utama semiotika adalah untuk mempelajari faktor-faktor tersebut. Charles Peirce menyebut bentuk fisik aktual dari representasi X, sebagai representamen (secara literal berarti “yang merepresentasikan”); Peirce mengistilahkan Y yang dirujuknya sebagai objek representasi; dan menyebut makna yang dapat diekstraksi dari representasi (X=Y) sebagai interpretan. Keseluruhan proses menentukan makna representamen, tentu saja disebut interpretasi.

Sebagai contoh untuk hal-hal yang ditimbulkan representasi, perhatikan seks sebagai sebuah objek. Seks adalah sesuatu yan hadir di dunia sebagai fenomenon biologis dan emosional. Sebagai objek, seks dapat direpresentasikan (secara literal “presentasikan kembali”) dalam bentuk fisik tertentu. Misalnya dalam budaya kita, representasi umum seks meliputi: (1) foto dua orang yang sedang berciuma secara romantis; (2) puisi yang menggambarkan pelbagai aspek emosional seks atau; (3) film erotis yang menggambarkan aspek seks yang lebih fisik (Danesi, 2004: 25).

(34)

Universitas Sumatera Utara Istilah representasi itu sendiri menunjuk pada bagaimana seseorang, satu kelompok, gagasan atau pendapat tertentu ditampilkan dalam produk media. Pertama, apakah seseorang atau kelompok atau gagasan tersebut ditampilkan sebagaimana mestinya. Kata “semestinya” ini mengacu pada apakah seseorang atau kelompok itu diberitakan apa adanya atau diburukkan.

Penggambaran yang tampil bisa jadi adalah penggambaran yang buruk dan cenderung memarjinalkan seseorang atau kelompok tertentu. Kedua, bagaimanakan representasi itu ditampilkan, hal tersebut bisa diketahui melalui penggunaan kata, kalimat dan aksentuasi (Eriyanto, 2001: 113). “Representasi juga seharusnya tidak dilihat sebagai refleksi dari realita tetapi lebih kepada konstruksi sosial yang diproduksi dalam konteks kekuatan sosial yang dapat mempengaruhi para individu dalam kehidupan sehari-hari mereka entah dengan mereka sadari atau tidak” (Williams, 2003: 136). Konsep representasi sendiri bisa berubah-ubah, selalu ada pemaknaan baru. Representasi berubah-ubah akibat makna yang juga berubah-ubah. Setiap waktu terjadi proses negoisasi dalam pemaknaan. Jadi representasi bukanlah suatu kegiatan atau proses statis tapi merupakan proses dinamis yang terus berkembang seiring dengan kemampuan intelektual dan kebutuhan para pengguna tanda yaitu manusia sendiri yang juga terus bergerak dan berubah. Representasi merupakan suatu proses usaha konstruksi. Karena pandangan-pandangan baru yang menghasilkan pemaknaan

(35)

Universitas Sumatera Utara

2.3. Kerangka Pemikiran

BAB III

FILM “Fifty Shades of Grey”

Representasi Perempuan

(perempuan dalam penelitian ini adalah tokoh Anastasia Steele)

Semiotika Roland Barthes

Denotasi Konotasi Mitos

Gambar

Gambar 1.
Gambar 2.
Gambar 3.
Tabel 2.

Referensi

Dokumen terkait

Saran yang dapat peneliti sampaikan berdasarkan berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan adalah sebagai berikut: (1) Penilaian tidak hanya berdasarkan pada hasil

Kriptografi merupakan ilmu yang digunakan untuk mengamankan data.Untuk meningkatkan tingkat keamanannya maka kriptografi perlu dikembangkan. Blockcipher dengan pola

diperoleh ES sebesar 0,77, yang berarti bahwa pembelajaran dengan menggunakan teknik Predict-Observe-Explain memberikan pengaruh (efek) yang sedang terhadap keterampilan

Berdasarkan hasil analisa data yang diperoleh dari hasil tes peserta didik dapat disimpulkan bahwa (1) Nilai rata-rata peserta didik kelas V A Sekolah Dasar

Kepala sekolah mempunyai peran penting dalam kemajuan suatu sekolah. Setiap calon kepala sekolah harus memiliki persyaratan sebagaimana yang telah diatur dalam sebuah

Kesan siswa dalam mengikuti kegiatan pada sesi ini adalah siswa dapat. menamahami bahwa belajar bisa didapat dari mana saja, contohnya

Masalah yang menjadi fokus dari tulisan ini adalah bagaimana hukum wakaf bagi non muslim menurut mazhab hanafi dan maliki serta bagaimana kaitannya anatar pandangan mazhab

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh pelayanan prima secara parsial terhadap loyalitas nasabah BNI Syari’ah Cir ebon dan pengaruh tingkat kepuasan secara